Resensi Buku Judul Buku : Jesus A Gospel Pengarang : Henri Nouwen Penerbit : Kanisius Tahun : 2012 Tebal : 192 halaman Anda sedang galau? Anda sedang cemas, gelisah dan takut? Anda sedang menderita, terluka dan putus asa? Bacalah Kitab Suci dan buku ini! Kalaupun Anda tidak sedang galau, cemas, gelisah, takut, menderita, terluka atau putus asa; namun rindu bertumbuh dalam hidup rohani, ingin semakin mengenal diri sendiri dan masuk dalam misteri Allah secara lebih dalam, bacalah Kitab Suci dan buku ini. Mengapa? Konsili Vatikan II (1962-1965), dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, mengajarkan dengan tegas bahwa “kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menjadi pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu” (DV 2). Dengan bahasa yang lebih lunak, dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Konsili mengatakan bahwa “Sesungguhnya hanya dalam misteri Sabda yang menjelmalah misteri manusia benar-benar menjadi jelas. … Kristus, Adam yang Baru, dalam perwahyuan misteri Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya panggilannya yang amat luhur” (GS 22). Menurut Bapa-bapa Konsili, Kristus adalah jalan untuk masuk dalam misteri Allah secara lebih dalam. Kristus pula adalah pintu untuk mengenal siapakah manusia sesungguhnya. Namun untuk mengenal Kristus, kita perlu membaca Kitab Suci. Santo Hieronimus mengatakan, “tidak mengenal Alkitab berarti tidak mengenal Kristus” (DV 25). Dalam rangka pengenalan akan Kristus sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Suci itulah, buku Jesus A Gospel, karya Henri Nouwen yang disunting oleh Michael O’Laughlin dan diterjemahkan oleh Mgr. Ignatius Suharyo ini sangat berguna. Buku ini dapat menemani Anda menapaki jalan-jalan baru sepanjang seluruh Injil. “Ketika Anda bergerak melewati bentangan yang sudah biasa tetapi selalu mencengangkan ini, pesan Yesus akan menggemakan nada baru dalam diri Anda” (hlm. 7). Hal ini terjadi karena dalam perjalanan ini kita didampingi oleh Henri Nouwen, seorang penulis buku-buku rohani yang paling berpengaruh dan disenangi di antara penulispenulis kristiani pada zaman ini. Seperti Santo Paulus, kelebihan Henri Nouwen adalah “mampu berbicara dengan istilah-istilah yang sederhana, … berbicara dari hati ke hati, dan … memusatkan apa yang harus ia katakan pada Yesus” (hlm. 8). Resensi Buku — 235 Henri Jozef Machiel Nouwen lahir di Nijkerk, Belanda pada tanggal 24 Januari 1932. Ia adalah seorang Pastor Katolik dan seorang pendidik. Bidang keahlian Nouwen adalah psikologi. Ia mengajar di The Menninger Foundation Clinic (Topeka – Kansas), The University of Notre Dame, Yale University dan Harvard University. Sejak tahun 1986, Nouwen bertugas dan tinggal di The L’Arche Community of Daybreak (Toronto – Kanada). Komunitas L’Arche adalah komunitas iman ekumenis yang memberi kesempatan kepada kaum muda untuk hidup dalam kebersamaan dengan orang-orang cacat, khususnya cacat mental. Di tempat inilah Nouwen mengalami tahun-tahun yang paling berpengaruh dalam hidup dan tulisannya. Di sinilah Henri berubah sepenuhnya. “Lalu sesuatu seperti mukjizat terjadi: guru ulung ini menyadari bahwa orang-orang cacat dan terluka ini menjadi guru-gurunya. … Di L’Arche inilah muncul sebagian besar gagasan-gagasan utama Henri tentang Injil. Di sini ia menulis beberapa bukunya yang paling baik. Pesannya menjadi lebih sederhana lagi, dan semakin terpusat pada Yesus.” (hlm. 11) Meskipun pusat utama dalam sebagian besar buku Nouwen adalah pribadi Yesus, sampai akhir hidupnya (Hilversum, Belanda, 21 September 1996) Nouwen tidak pernah menulis suatu buku mengenai hidup Yesus. Karena itulah Penerbit Orbis menerbitkan buku Jesus A Gospel ini, yakni “buku mengenai Yesus yang bahanbahannya dapat dikumpulkan dari berbagai tulisan Henri mengenai Yesus” (hlm. 12). Buku ini sangat mudah diikuti karena alurnya yang “kronologis”; setiap bab diinspirasikan oleh satu peristiwa Yesus yang dikisahkan dalam Injil-injil. Bab-bab tersebut disusun secara berurutan mulai peristiwa kabar gembira kepada Maria hingga peristiwa turunnya Roh Kudus atas para rasul. Setelah kutipan kisah, setiap bab berisi refleksi khusus yang dibuat Henri Nouwen dan catatan lain yang lebih umum – kerap kali dalam bentuk sharing yang sangat pribadi – sebagai catatan pinggir. Kitab Suci, refleksi dan catatan pinggir dalam setiap bab disatukan dalam satu tema yang lengkap sehingga membantu pembaca untuk merenungkan secara mendalam. Satu hal yang paling menyentak, dan itulah yang menjadi pesan pokok buku ini, adalah gambaran tentang Allah dalam pewartaan Yesus yang sama sekali lain dengan gambaran dunia yang menekankan kekuasaan, kehebatan, kemegahan. Pesan pokok itu terangkum dalam kalimat ini: “Jalan Allah adalah jalan kelemahan. Isi kabar gembira Injil adalah justru bahwa Allah menjadi kecil dan rendah, dan karena itu menghasilkan buah di antara kita.”(hlm. 19) Jalan Allah adalah jalan tersembunyi. “Ia menghayati hidup-Nya dalam solidaritas yang begitu dekat dengan kita sehingga kita dapat mengatakan bahwa hidup-Nya lebih utuh dari pada manusia mana pun juga. Lewat ‘kesamaan’ manusiawi inilah kita dapat ambil bagian dalam hidup ilahi-Nya” (hlm. 20). 236 — Orientasi Baru, Vol. 21, No. 2, Oktober 2012 Dengan begitu, Nouwen senyatanya mengritik sikap Gereja Katolik yang selama ini dalam arti tertentu masih memandang diri sebagai yang superior. Di zaman ini, menurut Nouwen, “semakin pentinglah menyadari bahwa Gereja bukan sekedar ‘di sana’ di tempat para uskup dan paus, melainkan ‘di sini’ ketika kita berada di sekeliling meja Tuhan” (hlm. 100). Oleh karena itu, menurut Nouwen, zaman ini sangat diperlukan pemimpin-pemimpin kristiani masa depan yang sadar bahwa jalan mereka “bukanlah jalan bergerak naik sebagaimana yang ditempuh dan dibayar mahal oleh dunia, melainkan jalan bergerak turun yang akan berakhir di salib. … jalan bergerak turun yang telah ditempuh oleh Yesus … jalan kegembiraan dan damai dari Allah, kegembiraan dan damai yang bukan dari dunia ini” (hlm. 170). Jalan Allah adalah jalan kelemahan. Dengan mengarisbawahi hal tersebut, Nouwen senyatanya juga ingin mengoreksi pandangan umum orang-orang kristiani yang salah atau tidak lengkap mengenai Yesus. “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” “Engkau adalah dokter-ku!” “Engkau adalah sahabat-ku!” “Engkau adalah supermanku!” Tidak jarang kita datang pada Yesus hanya ketika kita sakit, ketika kita merasa sendirian, ketika kita membutuhkan bantuan. Kalau benar demikian, kita tidak berbeda dengan orang banyak yang berbondong-bondong mencari Yesus karena ingin melihat mukjizat namun yang satu demi satu mengundurkan diri karena mendengar perkataan-Nya yang keras (bdk. Yoh 6:60-66). Mungkin kita heran mengapa dalam buku ini Nouwen tidak banyak berbicara tentang mukjizat-mukjizat Yesus. Bukankah mukjizat-mukjizat Yesus sebagaimana dikisahkan dalam Injil-injil itulah yang selama ini menjadi “identitas” Yesus yang sering kita banggakan? Jalan Allah adalah jalan kelemahan. Benar, “manusia selamanya ingin melihat tanda-tanda: peristiwa-peristiwa yang hebat, istimewa, sensasional yang dapat sedikit mengalihkan perhatian mereka dari kenyataan yang berat” (hlm. 102). Bagaimanapun juga, menurut Nouwen sebagaimana menurut Injilinjil, “kita dapat melihat manakah tanda yang sesungguhnya itu; bukan mukjizat yang sensasional, melainkan penderitaan, kematian, pemakaman, dan kebangkitan Yesus” (hlm. 103). “Yesus adalah Penyelamat kita, bukan sekedar karena apa yang Ia katakan dan lakukan bagi kita. Ia adalah Penyelamat kita karena apa yang Ia katakan dan lakukan, Ia katakan dan lakukan dalam ketaatan kepada Bapa-Nya” (182). Yesus adalah kabar gembira bukan karena kehebatan-Nya melainkan terutama karena ketaatan-Nya. Ketaatan kepada kehendak Bapa ini jugalah yang menjadi jalan kita ketika kita rindu bertumbuh dalam hidup rohani, ingin semakin mengenal diri sendiri dan masuk dalam misteri Allah secara lebih dalam. Ketaatan kepada kehendak Bapa ini jugalah yang mestinya menjadi jalan kita ketika kita sedang galau, cemas, gelisah, takut, menderita, terluka atau putus asa. Ketika kita galau, memakai kata-kata Nouwen, Yesus akan berkata, “akan tetapi, agar kita dapat sampai pada pengalaman yang paling dasar dalam hal Resensi Buku — 237 rasa dimiliki, yaitu bahwa kita adalah milik Allah, kita harus meninggalkan mereka yang menganggap diri mengenal kita dan menemukan sumber terdalam hidup kita . … Tanpa meninggalkan mereka, amat sulit menjadi seutuhnya merdeka dan mendengarkan Dia yang telah memanggil kita bahkan sebelum kita dilahirkan.”(49) Ketika kita gelisah, cemas, takut, memakai kata-kata Nouwen Yesus akan berkata, “kalau benar bahwa kita tidak bisa mengubah sesuatu dengan mengkhawatirkannya, lalu bagaimana kita dapat melatih hati dan budi kita agar tidak menyia-nyiakan waktu dan tenaga dengan membiarkan rasa khawatir itu berputar-putar dalam diri batin kita? … “Carilah dahulu Kerajaan Allah.””(65) Ketika kita terluka, menderita dan putus asa, memakai kata-kata Nouwen, Yesus akan berkata, “semua orang mengalami penderitaannya sendiri-sendiri: kematian, depresi, pengkhianatan, penolakan, kemiskinan, perpisahan, kehilangan, dan sebagainya. Dalam banyak hal, penderitaan itu di luar kemampuan kita. Namun, apakah kita memilih untuk menghayati pengalaman itu sebagai kesempatan untuk menyalahkan atau sebagai kesempatan untuk melihat Allah yang berkarya?”(67). (Y.B. Prasetyantha, MSF) 238 — Orientasi Baru, Vol. 21, No. 2, Oktober 2012