Tingkat Pencemaran Logam Berat Di Kawasan

advertisement
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum
Perairan pantai Subang yang terletak di pantai utara pulau Jawa
berhadapan langsung dengan Laut Jawa yang berada di sebelah utaranya.
Beberapa sungai utama bermuara di pantai Subang, seperti Sungai Cilamaya,
Blanakan, Ciasem, Cipunagara dan Sungai Cileuleuy yang membentuk 5 anak
sungai. Umumnya sungai-sungai tersebut dimanfaatkan oleh nelayan sebagai
sarana keluar/masuk perahu saat melakukan penangkapan ikan di perairan pantai
utara Subang.
Di antara sungai-sungai tersebut, Sungai Blanakan merupakan jalur yang
paling ramai sebagai sarana keluar/masuk kapal penangkapan ikan dari luar
Subang, karena di tepi sungai ini terdapat Tempat Pendaratan Ikan (TPI)
Blanakan. Para nelayan dari lokasi perairan sekitar umumnya langsung
mendaratkan ikan hasil tangkapannya di TPI tersebut (Ariawan & Irawanti 2005).
Selain itu, di daerah pesisir dekat laut lepas terdapat unit penambangan minyak
pertamina yang berjarak sekitar ± 1Km dari Muara Blanakan. Di bagian daratan
Blanakan sangat dekat dengan jalur pantura yang termasuk daerah perlintasan
kendaran yang tersibuk di Pulau Jawa. Selain itu, terdapat hamparan persawahan
yang mengelilingi Kecamatan Blanakan, dimana buangan irigasi persawahan
tersebut diantaranya masuk ke Sungai Blanakan. Salah satu mata pencaharian
masyarakat Kecamatan Blanakan adalah bertambak ikan di daerah mangrove
dengan konsep sylvofishery.
Beberapa aktivitas di sekitar Kecamatan Blanakan yang berpontensi
meningkatkan kandungan logam berat dalam perairan adalah pengecatan untuk
anti fouling pada kapal dan pencucian kapal di sungai dapat meningkatkan
konsentrasi logam Cu. Kegiatan transportasi yang menghasilkan asap dari bahan
bakar baik itu dari kapal tempel maupun kendaraan motor menjadi penyumbang
Pb ke perairan Blanakan begitu juga halnya dengan penambangan minyak mentah
yang ada didaerah laut Blanakan yang berpotensi penyumbang Pb ke pesisir
Blanakan. Menurut penelitian Pacyna (1986) dalam Darmono (2001) minyak
mentah mengandung logam Pb sebesar 1-310 µg/L dan Cd sebesar 30-2100 µg/L.
18
Sedangkan kegiatan perbaikan/ pengecatan kapal dan penggunaan pestisida
merupakan penyumbang logam Cd ke perairan tersebut (Mukhtasor 2007)
2007).
4.2 Parameter Lingkungan
Parameter fisika dan kimia
kimia yang diamati pada penelitian ini antara lain
suhu, pH, oksigen terlarut (DO) dan salinitas. Hasil pengamatan
ngamatan tersebut tersaji
pada Tabel 3.
Tabel 3. Parameter fisika dan kimia perairan Blanakan
Parameter
Satuan
Data Sampel
Baku Mutu*
C
29-34
28
28-32
pH
-
5-8
7-8,5
DO
mg/L
4,1-8,9
>5
Salinitas
psu
1-30
0,5
0,5-30
0
Suhu
* KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004
4.2.1 Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor penting bagi kelangsungan hidup
organisme dalam suatu ekosistem darat maupun perairan (Khazali 1998). Suhu di
perairan dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu
dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran dan kedalaman badan air.
Perubahan suhu air berpengaruh terhadap sifat fisika, kimia, dan biologi perairan.
Peningkatan suhu akan meningkatkan reaksi kimia, evaporasi dan votilisasi
(Effendi 2003). Hasil pengukuran suhu di lokasi penelitian disajikan pada Gambar
3.
34
31
29
Hulu
Blanakan
Tambak
A
34
30
Tambak
B
30
Tambak
C
Tambak
D
Muara
Ciasem
31
30
Muara
Blankan
Muara
Gangga
Gambar 3. Grafik nilai suhu (oC) di perairan lokasi penelitian
19
Berdasarkan Gambar 3 di atas dapat dilihat bahwa suhu perairan di lokasi
penelitian berada pada rentang angka 29-34 oC dan hal ini sesuai dengan baku
mutu KepMen LH (2004) yaitu sekitar 28-32 oC. Suhu pada kedelapan daerah
tersebut masih dapat ditoleransi bagi kehidupan biota. Daerah tambak C dan D
memiliki suhu paling tinggi dibandingkan dengan daerah perairan lainnya yaitu
sebesar 34 oC, sedangkan daerah perairan hulu Blanakan memiliki suhu paling
rendah yaitu sebesar 29 oC. Daerah tambak C dan D memiliki suhu yang paling
tinggi karena daerah tersebut memiliki jumlah mangrove yang lebih sedikit
dibandingkan daerah lainnya. Hal ini menyebabkan panas matahari yang sampai
ke perairan tambak C dan D lebih besar daripada daerah lainnya. Hulu Blanakan
memiliki suhu yang rendah karena perairannya tergolong
perairan terbuka
dimana perpindahan maupun perubahan suhu relatif lebih cepat berubah. Hal ini
juga didukung oleh kondisi lingkungan hulu Blanakan yang didominasi oleh
pepohonan rindang.
Berbeda halnya dengan daerah tambak A dan B yang memiliki populasi
mangrove yang lebih lebat. Pada tambak A dan B, suhu perairannya relatif lebih
rendah. Selain itu, perairan tambak merupakan perairan yang tergolong semi
tertutup dimana debit air diatur oleh masukan dan keluaran air dari kalen (pintu).
Berbeda halnya pula dengan daerah muara yang merupakan perairan terbuka,
dimana terjadi perpindahan suhu yang relatih cepat. Suhu berbanding lurus
dengan toksisitas dari logam berat, semakin tinggi suhu dari suatu perairan
tersebut maka semakin tinggi juga tingkat toksisitas logam yang ada di perairan
tersebut yang dapat membahayakan bahkan menyebabkan kematian biota.
4.2.2 Salinitas
Setiap lokasi memiliki kadar salinitas yang berbeda-beda menurut sebaran
horizontal salinitasnya, dimana semakin menuju laut maka salinitasnya semakin
tinggi. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola
sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi) dan aliran sungai
(run off) yang ada di sekitarnya (Effendi 2003). Hal tersebut sesuai dengan data
salinitas yang ditampilkan pada Gambar 4 yang menunjukkan bahwa perairan
yang posisinya semakin ke laut (muara), nilai salinitasnya semakin tinggi.
20
30,0
8,0
0
1,0
4,0
7,0
30,0
30
30,0
7,5
Gambar 4. Grafik nilai salinitas (psu) di perairan lokasi penelitian
Berdasarkan grafik salinitas perairan tersebut dapat diketahui bahwa hulu
Blankan memiliki
emiliki salinitas paling kecil, yaitu sebesar 1psu.. Hal tersebut wajar
karena semakin ke arah hulu, salinitasnya akan semakin mendekati salinitas air
tawar. Pada daerah tambak A, B, C, dan D masing-masing
masing
sing memiliki salinitas 88,4
psu, 7,0 psu dan 7,5 psu.
psu. Tambak A dan C terletak lebih dekat ke arah laut (hilir)
dibanding tambak B dan D. Menurut Effendi 2003, nilai salinitas
as semakin ke laut
akan semakin tinggi nilainya.. Hal ini sesuai dengan yang didapat di lapangan,
dimana nilai salinitas tambak A dan C lebih tinggi (8 psu dan 7,55 psu) dibanding
dengan tambak C dan D (4 psu dan 7 psu)) yang letak tambaknya lebih dekat
dengan
an hulu. Salinitas tertinggi terdapat pada daerah Muara Ciasem, Muara
Blanakan, dan Muara Gangga
Ga
yaitu masing-masing sebesar 30 psu
psu. Hal tersebut
sesuai dengan literatur
teratur yang menyebutkan bahwa daerah muara memiliki
perpaduan air laut yang lebih dominan dibandingkan dengan air tawar, selain itu
pengambilan sampel ini dilakukan tepat pada saat air pasang.
Kondisi ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nybakken (1992)
bahwa kondisi perairan daerah estuari dipengaruhi oleh pengaruh dara
daratan (tawar)
dan lautan. Salinitas
alinitas tinggi terjadi saat pengaruh lautan lebih dominan
dibandingkan pengaruh dari daratan, yaitu ketika terjadi pasang. Sedangkan nilai
salinitas rendah dipengaruhi oleh pengaruh daratan, yaitu ketika air tawar masuk
ke perairan melalui aliran sungai.
sungai. Hal inilah yang menyebabkan perairan muara
21
memiliki kisaran salinitas yang luas, sedangkan pada hulu Blanakan memiliki
kisaran yang rendah.
4.2.3 pH
Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion
ion-ion
hidrogen
gen dan menunjukan kondisi air. Dengan
Dengan mengetahui nilai pH perairan dapat
mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam perairan. Nilai
pH suatu perairan
iran memiliki ciri yang khusus yaitu adanya keseimbangan antara
asam dan basa dalam air dan yang diukur dalam konsentrasi ion hidrogen (Sarjono
2009). Hasil pengukuran pH di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5.
8,0
7,0
6,5
7,0
8,0
8,0
7,0
5,0
Hulu
Blanakan
Tambak Tambak B Tambak C Tambak
A
D
Muara
Ciasem
Muara
Blankan
Muara
Gangga
Gambar 5. Grafik nilai pH di perairan lokasi penelitian
Berdasarkan
sarkan hasil pengukuran nilai pH
p perairan selama pengamatan
menunjukann nilai pH berada pada kisaran 5-8. Nilai pH tertinggi terdapat pada
perairan muara, yaitu Muara
ra Ciasem, Muara Blanakan, dan M
Muara Gangga,
masing-masing sebesar 8, sehingga perairan ini tergolong perairan basa. Tingkat
toksisitas logam berat di perairan juga
juga dapat dipengaruhi oleh pH. Toksisitas
logam berat akan semakin meningkat seiring dengan meningk
meningkatnya pH di
perairan. Hal ini karena adanya logam yang sukar larut yang menyebabkan logam
lebih banyak mengendap di dasar perairan (Sarjono 2009). Pada umumnya pH
air laut tidak bervariasi karena adanya kapasitas penyangga (buffering
capacity) dari sistem karbon dioksida dalam air laut, hal ini berarti pH air laut
tidak mudah berubah. Namun demikian
dem
apabila terjadi pembebanan pengotoran
perairan yang terus--menerus, baik yang berasal dari limbah domestik maupun
22
industri, maka akan terjadi pula perubahan pH. Jika hal ini terjadi maka akan
menimbulkan gangguan bagi biota laut (Nontji 1984 dalam Mulyawan 2005).
Produktifitas perairan dapat dipengaruhi oleh pH, air yang bersifat basa dan
netral cenderung lebih produktif dibanding dengan air yang bersifat asam.
4.2.4 Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter penting dalam analisis
kualitas air. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh seluruh jasad hidup untuk
pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan
energi untuk pertumbuhan dan pembiakan (Salmin 2005). Hasil pengukuran
oksigen terlarut di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik kandunga DO (mg/L) di perairan lokasi penelitian
Berdasarkan hasil pengukuran nilai oksigen terlarut (DO) yang dilakukan
di lapangan didapatkan nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat pada daerah tambak A
yaitu sebesar 8,9 mg/L. Nilai oksigen terendah terdapat pada daerah Hulu Blanakan
yaitu sebesar 4,1 mg/L. Sedangkan kandungan oksigen terlarut pada stasiun
pengamatan lainnya berkisar antara 7,0 mg/L hingga 8,6 mg/L . Hulu Blanakan
memiliki nilai DO yang rendah disebabkan perairan tersebut dekat dengan
perumahan penduduk dan sering menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga
seperti limbah organik. Limbah rumah tanggga dapat menurunkan nilai DO perairan,
karena mikroorganisme mempergunakan oksigen untuk mendegradasi organik
tersebut (Nybakken 1982). Sungai Blanakan memiliki kedalaman yang lebih rendah
dibanding perairan lainnya, sehingga suhu dari sinar matahari cepat masuk dan
23
mempengaruhi nilai DO sampel perairan. Stasiun pengamatan tambak A memiliki
nilai DO yang tinggi dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya. Hal
tersebut diduga karena tambak A memiliki kepadatan pohon mangrove yang
tinggi dibanding tambak B, C, dan tambak D. Sehingga pada saat masukan cahaya
tinggi pada siang hari, akan terjadi proses fotosintesis yang tinggi pula (Effendi
2003).
Dalam suatu perairan seperti perairan pesisir, pasti memiliki nilai saturasi
DO. Saturasi merupakan tingkat jenuh, dan saturasi DO merupakan tingkat
terjenuh DO yang ada dalam suatu perairan. Umumnya saturasi oksigen dari hulu
ke hilir perairan akan semakin. Muara memiliki DO yang cukup tinggi, disebabkan
pada saat pasang terjadi pergerakan pengaduk-adukan air yang dapat meningkatkan
nilai DO pada perairan tersebut. (Effendi 2003).
4.3 Logam Berat
4.3.1 Kadmium (Cd)
Hasil pengukuran Cd di perairan Blanakan menunjukkan bahwa kadar Cd
rerata di perairan Blanakan relatif sama, yakni <1 µg/L. Perairan Hulu Blanakan
memiliki nilai Cd sebesar 0,22 µg/L, pada daerah tambak A, B, C, dan D masingmasing sesuai urutan memiliki nilai sebesar 0,38 µg/L, 0,36 µg/L, 0,18 µg/L dan
0,49 µg/L. Daerah muara yaitu Muara Ciasem, Muara Blanakan dan Muara
Gangga masing-masing memiliki nilai Cd sebesar 0,51 µg/L dan 0,27 µg/L.
Berdasarkan baku mutu menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004, nilai Cd yang
diperoleh dari 8 daerah pengambilan sampel tersebut belum melewati batas yang
ditentukan yaitu sebesar 1 µg/L. Kandungan Cd tertinggi terdapat pada Muara
Ciasem yaitu sebesar 0.51 µg/L, diikuti tambak D, tambak A, B, Muara Blanakan
dan Muara Gangga, Hulu Blanakan dan yang terendah pada tambak C. Menurut
Jaakola dkk. (1971) dalam Sanusi (1985), air laut yang belum tercemar
mengandung 1-2 µg/L Cd. Sedangkan pada perairan laut yang tercemar antara 50100 kali lebih besar. Secara ringkas, gambaran hasil pengukuran kandungan
logam berat Cd di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 7.
24
0,49
0,38
0,51
0,36
0,27
0,27
Muara
Blankan
Muara
Gangga
0,22
0,18
Hulu
Blanakan
Tambak A Tambak B Tambak C Tambak D
Muara
Ciasem
Gambar 7. Grafik kandungan logam Cd (µg/L) di perairan lokasi penelitian
Hart dan Davis (1981) dalam Anggraeny (2010) menyatakan bahwa Cd
yang terdapat dalam air hampir 90 persen dalam bentuk terlarut, hanya sebagian
kecil diabsorpsi oleh padatan tersuspensi atau partikel. Kadmium bersifat toksis
terhadap hewan air disebabkan sifat logam berat tersebut yang mudah terikat pada
gugus sulfhydri (-SH) protein tubuh hewan. Hal tersebut menyebabkan aglutinasi,
aktivitas enzim terhambat, mengikat ligand fosfat, mengubah membran permeabilitas
sel, bersifat anti metabolit terhadap Zn, merusak dan mereduksi sistem detoksifikasi
mikrosomal dalam hati. Menurut Katz (1973) dalam Sanusi (1985), dikemukakan
bahwa toksisitas Cd pada ikan dapat mengakibatkan terbentuknya lapisan mukus pada
insang ikan. Hal itu menimbulkan gangguan terhadap respirasi dan sistem sirkulasi
darah lewat insang.
Daerah Muara Ciasem memiliki nilai Cd yang tinggi karena daerah ini
merupakan tempat perlintasan kapal-kapal penangkap ikan, dimana setiap kapal
penangkap ikan tersebut akan melepaskan Cd yang berasal dari cat kapal
(Syahminan 1996). Selain dari pada itu, pengambilan sampel ini dilakukan di saat
pasang dimana sumber Cd dari laut lepas terbawa oleh arus laut. Dalam perairan
sekalipun mengandung kadar Cd yang rendah, dapat menimbulkan tekanan fisiologis
25
berat terhadap kehidupan tiram, yaitu melalui kerusakan sublethal terhadap efisiensi
pemanfaatan makanan ( Sanusi 1985).
Berdasarkan hasil penelitian Widigdo & Pariwono (2000) (Lampiran 6)
menunjukkan bahwa nilai logam berat Cd yang diperoleh pada penelitian ini
jauh lebih rendah, dimana nilai logam berat Cd pada penelitian Widigdo &
Pariwono (2000) berada pada kisaran nilai 3-36 µg/L, dengan nilai tertinggi
terdapat pada daerah muara. Nilai logam berat tersebut berbeda dapat disebabkan
karena perbedaan waktu pengambilan sampel yang memiliki rentang 10 tahun.
Selain itu juga karena perairan Blanakan, khususnya daerah tambak, sudah banyak
digalakkan dan disosialisasikan tentang pentingnya menanam mangrove pada
tambak yang memiliki peran dalam mengasimilasi logam berat pada air (Gunawan
& Anwar 2008). Berdasarkan hasil penelitian Gunawan & Anwar (2008) pada
Lampiran 8 didapat nilai logam berat Cd < 4 µg/L yang diamati didaerah Ciasem
pada tahun 2008. Nilai Cd di daerah Ciasem lebih tinggi disebabkan daerah
Ciasem lebih dekat dengan jalur pantura, dimana terdapat banyak aktivitas
transportasi kendaraan yang secara umum menjadi penyumbang logam Cd ke
perairan.
Untuk kebutuhan budidaya udang, kandungan logam berat Cd yang
diperbolehkan berada dalam perairan tambak adalah sebesar 0-10 µg/L
(Prihatman 2000). Dalam badan perairan, kelarutan Cd dalam konsentrasi tertentu
dapat membunuh biota perairan. Biota-biota yang tergolong kelompok udangudangan akan mengalami kematian dalam selang waktu 96 jam bila di dalam
badan perairan terlarut logam atau persenyawaan Cd pada rentang konsentrasi
antara 5-150 µg/L. Untuk jenis biota laut seperti ikan akan mengalami kematian
bila dalam badan perairan tersebut terkandung logam Cd pada rentang konsentrasi
22000-55000 µg/L (Lestari & Edward 2004).
4.3.2 Tembaga (Cu)
Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui bahwa nilai logam berat jenis Cu
pada masing-masing stasiun pengamatan memiliki kadar < 8 µg/L. Pada daerah
Hulu Blanakan memiliki nilai sebesar 2,21 µg/L, daerah Tambak A, B, C, dan D
sesuai urutan sebesar 2,04 µg/L, 0,51 µg/L, 2,55 µg/L, dan 1,02 µg/L. Tiga daerah
muara seperti Muara Ciasem, Muara Blanakan dan Muara Gangga masing-masing
26
sebesar 1,87 µg/L dan 2,89 µg/L. Dari kedelapan daerah tersebut, Muara
Blanakan dan Muara Gangga memiliki kadar logam berat Cu paling tinggi
dibandingkan dengan daerah lainnya. Nilai Cu yang diperoleh berdasarkan baku
mutu KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004 menunjukan bahwa nilai Cu pada
kedelapan tempat belum melewati batas yang ditetapkan yaitu sebesar 8 µg/L,
sehingga logam berat Cu belum begitu berbahaya bagi biota yang ada di perairan.
Namun Cu termasuk kedalam kelompok logam esensial dimana dalam kadar yang
rendah dibutuhkan oleh organisme sebagai Ko-enzim dalam proses metabolisme
tubuh. Sifat racunnya baru muncul dalam kadar yang tinggi. Biota perairan sangat
peka terhadap kelebihan Cu dalam badan perairan dimana ia hidup. Muara
Gangga dan Muara Blanakan memiliki nilai Cu tertinggi dikarenakan perairan ini
merupakan daerah tempat perlintasan kapal-kapal perikanan setiap waktu. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Mukhtasor (2007) bahwa logam berat Cu dipakai dalam
pengawetan kayu dan cat antikarat pada lambung kapal.
2,89
2,89
Muara
Blankan
Muara
Gangga
2,55
2,21
2,04
1,87
1,02
0,51
Hulu
Blanakan
Tambak A Tambak B Tambak C Tambak D
Muara
Ciasem
Gambar 8. Grafik kandungan logam Cu (µg/L) di perairan lokasi penelitian
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Widigdo & Pariwono (2000) pada daerah Subang, didapatkan nilai Cu yang sudah
melewati batas baku mutu KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 235
µg- 412 µg. Hal ini diduga karena pengambilan sampel pada penelitian Widigdo
& Pariwono dilakukan pada tahun 2000, sehingga diduga terjadi pengendapan
27
logam berat Cu ke dasar perairan. Selain itu, daerah pengambilan sampel
penelitian yang dilakukan Widigdo & Pariwono (2000) lebih dekat dengan laut
lepas, sehingga logam berat memiliki kecenderungan lebih cepat mengendap ke
dasar laut, hal ini dikarenakan senyawa-senyawa logam Cu memiliki tingkat
kelarutan yang relatif kecil dan kondisi perairan yang bersalinitas tinggi (Kadang
2005).
Untuk kebutuhan budidaya udang, kandungan logam berat Cu yang
diperbolehkan berada dalam perairan adalah sebesar 0-20 µg/L (Prihatman
20000). Ikan sensitif terhadap logam Cu karena mempunyai penahan yang efektif
pada proses absorpsi tembaga. Juga merupakan racun bagi algae dan moluska.
Konsentrasi Cu sebesar 2.000 µg dapat membunuh ikan (Cannel 1974 dalam
Syahminan 1996). Konsentrasi logam Cu sebesar 50 µg telah membahayakan
lingkungan laut. Logam Cu dapat terakumulasi oleh organisme laut dengan faktor
konsentrasi sebesar 5.000 kali besarnya dalam moluska dan seribu kali dalam ikan
(Razak 1980 dalam Syahminan 1996). Konsentrasi Cu terlarut dalam air laut sebesar
10 µg dapat mengakibatkan kematian fitoplankton. Kematian tersebut disebabkan
daya racun Cu telah menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel
fitoplankton. Jenis-jenis sumberdaya ikan yang termasuk dalam keluarga udangudangan akan mengalami kematian dalam tenggang waktu 96 jam, bila
konsentrasi Cu berada dalam kisaran 170-100.000 µg/L. Dalam tenggang waktu
yang sama, biota yang tergolong ke dalam keluarga moluska akan mengalami
kematian bila kadar Cu yang terlarut dalam badan perairan di mana biota tersebut
hidup berkisar antara 160-500 µg/L, dan kadar Cu sebesar 2.500-3.000 µg/L
dalam badan perairan telah dapat membunuh ikan-ikan (Lestari & Edward 2004).
Berdasarkan hasil penelitian (Lampiran 6) yang dilakukan oleh Widigdo
& Pariwono (2000) menunjukan bahwa nilai logam berat Cu yang diperoleh
jauh lebih tinggi dibanding dengan hasil data logam berat Cu yang diperoleh
pada penelitian ini, dimana logam Cu memiliki rentang nilai dari 235-412 µg/L
dengan nilai tertinggi terdapat pada daerah muara. Nilai logam berat tersebut
berbeda bisa disebabkan karena selang tahun pengambilan sampel yang dilakukan
yang memiliki rentang 10 tahun dimana logam berat tersebut mengalami
pengendapan ke dasar laut.
28
4.3.3 Timbal (Pb)
Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui nilai logam berat jenis Pb pada
masing-masing stasiun pengamatan.
4,63
4,84
2,32
1,47
1,05
1,26
0,63
Hulu Tambak A Tambak B Tambak C Tambak D Muara
Blanakan
Ciasem
0,42
Muara
Blankan
Muara
Gangga
Gambar 9. Grafik kandungan logam Pb (µg/L) di perairan lokasi penelitian
Dari kedelapan stasiun pengamatan tambak D memiliki kadar logam berat
timbal (Pb) paling tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Kedelapan stasiun
pengamatan tersebut memiliki kadar < 8 µg/L. Hal ini mengindikasikan bahwa
masing-masing perairan tersebut belum tercemar oleh logam Pb sesuai dengan
baku mutu KepMen LH No. 51 Tahun 2004. Berdasarkan data, Muara Blanakan
dan Ciasem merupakan perairan dengan nilai logam berat Pb yang rendah. Hal ini
sesuai dengan pustaka yang dikemukakan oleh Sudarmaji dkk. (2006) bahwa di
dalam air laut kadar Pb lebih rendah dari pada air tawar. Walaupun di lapangan
diketahui bahwa terdapat sebuah pabrik kilang minyak bumi di lepas pantai
dimana minyak bumi ini merupakan salah satu sumber dari logam berat Pb.
Menurut Millero & Sohn (1992) dalam Anggraeny (2010) timbal (Pb) merupakan
jenis logam yang masuk ke perairan laut melalui atmosfer dan cepat menghilang
dari perairan laut karena residence time-nya singkat dimana Pb memiliki
residence time selama 14 hari di perairan. Selain itu, Pb memiliki berat atom yang
besar sehingga memiliki kemungkinan untuk mengendap ke sedimen lebih cepat.
Tambak C dan tambak D memiliki nilai Pb yang lebih tinggi. Jika dilihat
dari kondisi lingkungannya tambak C dan D ditumbuhi oleh sedikit mangrove
dibandingkan dengan tambak A dan B. Tambak yang memiliki sedikit mangrove,
29
batuan maupun batuan pasir akan lebih mudah tergerus oleh air (laut dan darat)
dan terbawa oleh air tambak baik saat pasang maupun surut dimana kadar Pb
secara alami di dalam tanah sekitar 5.000-25.000 µg/kg (Sudarmaji dkk. 2006).
Hal tersebut juga diperjelas oleh Gunawan dkk. (2007) yang mengatakan adanya
fakta bahwa tambak empang parit yang masih mempertahankan mangrovenya
mengandung bahan pencemar lebih rendah daripada tambak yang sudah tidak ada
mangrovenya merupakan indikasi bahwa mangrove memiliki peranan yang
penting dalam menjaga kualitas habitat perairan. Selain itu juga dengan adanya
mangrove pada tambak akan berdampak pada meningkatnya keragaman makhluk
hidup, yang mana makhluk hidup tersebut dapat menyerap logam berat
(bioakumulasi), seperti pada tambak A & B. Unsur Pb cenderung mengalami
bioakumulatif dalam tanaman dan tubuh hewan air. Senyawa ini dalam bentuk
organik lebih beracun dibandingkan dalam bentuk anorganik.
Berdasarkan hasil penelitian (Lampiran 6) yang dilakukan oleh Widigdo
& Pariwono (2000) menunjukan bahwa nilai logam berat Pb yang diperoleh jauh
lebih tinggi dibanding dengan hasil data logam berat Pb yang diperoleh pada
penelitian ini, dimana logam Pb memiliki rentang nilai dari 27-80 µg/L dengan
nilai tertinggi terdapat pada daerah muara. Nilai logam berat tersebut berbeda
dapat disebabkan karena selang tahun pengambilan sampel yang dilakukan yang
memiliki rentang 10 tahun. Selain itu juga karena perairan Blanakan khususnya
daerah tambak sudah banyak digalakkan dan disosialisasikan tentang pentingnya
menanam mangrove pada tambak yang memiliki peran dalam mengasimilasi
logam berat pada air (Gunawan & Anwar 2008). Selain itu juga penelitian
terdahulu dilakukan di daerah laut dimana logam berat lebih cepat mengendap ke
dasar perairan dan pengambilan logam berat Pb dilakukan hanya sekali sampling
(spasial). Berdasarkan penelitian (Lampiran 8) yang dilakukan oleh Gunawan &
Anwar (2008) di daerah tambak Ciasem didapat nilai logam berat Pb sebesar 562
µg/L, nilai Pb ini lebih besar ukurannya bila dibandingkan dengan parameter yang
diamati lainnya. Hal ini diduga karena daerah tambak Ciasem lebih dekat dengan
jalan raya (pantura) dan rumah penduduk, dimana jalan raya dan transportasi
merupakan penyumbang Pb ke dalam perairan termasuk tambak.
30
Dari segi kebutuhan untuk budidaya udang/ikan, kandungan logam berat
Pb yang diperbolehkan berada dalam perairan adalah sebesar 0-30 µg/L
(Prihatman 2000). Berdasarkan penelitian Ghalib dkk. (2002) menyatakan bahwa
keberadaan logam berat timbal sebanyak 50 µg/L terjadi laju penurunan konsumsi
oksigen sebesar 0,0959 µl O2/mg berat basah/ jam pada perlakuan juvenil bandeng
(Chanos chanos) sehingga akan mempengaruhi proses respirasi pada ikan yang
dapat menyebabkan ikan lemas dan mati. Timbal dapat mempengaruhi kerja
enzim-enzim atau fungsi protein, bahkan dapat menyebabkan kematian pada ikan
dan organisme perairan lainya yaitu pada konsentrasi 50 µg/L (Hutagalung &
Razak 1981 dalam Syahminan 1996). Pb bersifat toksis terhadap biota laut, kadar
Pb sebesar 100 – 200 µg/L dapat menyebabkan keracunan pada jenis ikan tertentu
dan pada kadar 188000 µg/L dapat membunuh ikan-ikan. Berdasarkan penelitian
yang pernah dilakukan diketahui bahwa biota-biota perairan seperti krustakea
akan mengalami kematian setelah 245 jam, bila pada badan perairan dimana biota
itu berada terlarut Pb pada konsentrasi 2750-49000 µg/L (Lestari & Edward
2004).
4.4 Implikasi Pengelolaan
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa daerah Blanakan yang
menjadi tempat pengambilan sampel belum terjadi indikasi pencemaran pada
perairan baik itu pada tambak, sungai, maupun muara. Namun, logam berat Cd,
Cu, dan Pb merupakan bahan inorganik yang bersifat tidak dapat diurai oleh
makhluk hidup sehingga akan terakumulasi didalam tubuh biota dan juga manusia
yang mengkonsumsinya.
Berdasarkan hasil penelitian logam berat (Lampiran 4) Cd, Cu, dan Pb
oleh Napitu (2011) pada biota ikan dan udang di empat stasiun penelitian perairan
Blanakan yang sama daerahnya yaitu tambak, hulu, dan muara didapatkan nilai
Cu sebesar 18-381 µg/L dengan nilai terbesar terdapat pada udang di daerah
muara. Nilai Cd berkisar dari 4-5 µg/L, dan nilai Pb memiliki rentang nilai 5196,3 µg/L yang mana nilai tertinggi terdapat pada udang di daerah muara.
Dari data yang didapatkan oleh Napitu dan saya mengindikasikan bahwa
nilai logam berat pada air lebih kecil dibandingkan pada biota,. Logam berat Cd,
Cu, dan Pb merupakan logam berat yang bersifat non biodegradable sehingga
31
akan terus terakumulasi dalam tubuh yang mengkonsumsinya yang disebut proses
bioakumulasi. Semakin tinggi tingkat tropic level-nya maka semakin banyak pula
logam berat tersebut yang terakumulasi. Ini yang disebut proses biomagnification
atau bioamplification. Sebagai gambaran bila kandungan pencemar non
biodegradable dalam air 0,003 µg/L, maka di dalam plankton akan naik menjadi
40 µg/L, kemudian di dalam tubuh ikan-ikan kecil yang memakan plankton
menjadi 500 µg/L, bila ikan-ikan kecil ini dimakan oleh ikan yang lebih besar
maka kandungan pencemar dalam ikan besar ini menjadi 2000 µg/L. Kemudian
bila ikan-ikan besar ini dimakan oleh burung elang maka kandungan bahan
pencemar di dalam tubuh burung elang tersebut menjadi 25000 µg/L (Wardhana
1995 dalam Gunawan & Anwar 2008). Demikian juga sama halnya bila ikan
tersebut dimakan oleh manusia, maka manusia yang menerima bahan pencemar
tertinggi. Berdasarkan batasan dari Dirjen Perikanan Budidaya yang merujuk ke
batasan dari Komisi Eropa, batasan maksimum residu yang dibolehkan Maximum
Residual Limit (MRL) untuk jenis logam berat di dalam udang untuk Pb, dan Cd
adalah 500 µg/L sedangkan pada ikan adalah berturut-turut untuk Pb, dan Cd
adalah 200 µg/L, dan 50 µg/L (Putra dkk. 2008). Konsentrasi residu maksimum
yang diizinkan bagi produk laut untuk kesehatan manusia adalah sebagai berikut,
Pb 1500 µg/L dan Cd 200 µg/L, sedangkan Cu yang merupakan salah satu unsur
essensial masing-masing adalah 10000 µg/L (FAO 1983 dalam Arifin 2011).
Salah satu upaya mengurangi dampak dari pencemaran tersebut adalah
melalui mekanisme penyaringan alami oleh komponen biotik ekosistem, terutama
vegetasi mangrove. Hasil penelitian Gunawan & Anwar (2008) membuktikan
bahwa ekosistem mangrove mampu meredam pengaruh pencemaran perairan
melalui proses asimilasi perairan. Hasil penelitian Gunawan dkk. (2007)
menunjukkan bahwa pemanfaatan mangrove secara lestari melalui pola
sylvofishery memberikan dampak ekologis yang baik. Bahkan dalam substrat
tambak biasa mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri 16 kali lebih besar
dibandingkan substrat mangrove dan 14 kali lebih (Lampiran 5) besar dari tambak
empang parit (sylvofishery). Meskipun demikian, saat ini ekosistem mangrove di
lokasi tersebut banyak ditebang sehingga tidak mampu menjalankan mekanisme
alaminya menyaring pencemaran air. Adanya fakta bahwa tambak empang parit
32
yang masih mempertahankan mangrovenya mengandung bahan pencemar lebih
rendah daripada tambak yang sudah tidak ada mangrovenya merupakan indikasi
bahwa mangrove memiliki peranan yang penting dalam menjaga kualitas habitat
perairan. Hal ini seharusnya menjadi pembelajaran dan disebarluaskan kepada
para petambak yang telah membabat mangrovenya agar mau menanaminya
kembali.
Pemahaman juga diberikan, bahwa kualitas produk perikanan akan sangat
menentukan harga jual di pasar. Oleh karena itu kualitas habitat perairan (dalam
hal ini termasuk ekosistem mangrove) perlu dijaga kelestariannya. Dengan
demikian produk perikanan dari Indonesia diharapkan dapat diterima pasar, baik
dalam maupun luar negeri. Untuk memulihkan kembali fungsi ekologis dan
mengoptimalkannya dengan fungsi ekonomis maka perlu dilakukan restorasi atau
rehabilitasi tambak empang parit. Dalam kegiatan restorasi ini, tidak saja dengan
menanami kembali kawasan hutan mangrove yang gundul tetapi juga
mengembalikan disain empang parit yang telah banyak diubah. Dengan komposisi
dan disain lanskap sylvofishery secara menyeluruh sehingga memenuhi
perbandingan 80% mangrove dan 20% tambak secara merata, maka diharapkan
fungsi ekologis dan ekonomis secara berangsur akan kembali optimal.
Download