II. TINJAUAN PUSTAKA A. Wilayah Karanganyar Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kabupaten Sragen di sebelah utara, Propinsi Jawa Timur di sebelah timur, Kabupaten Wonogiri dan Sukoharjo di sebelah selatan serta Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali di sebelah barat. Karanganyar terletak antara 1100 40” – 1100 70” Bujur Timur dan 70 28” - 70 46” Lintang Selatan. Ketinggian rata-rata 511 meter di atas permukaan laut serta beriklim tropis dengan temperatur 22o – 31o. Rata–rata ketinggian wilayah di kabupaten Karanganyar berada di atas permukaan laut yakni sebesar 511 m, adapun wilayah terendah di kabupaten karanganyar berada di kecamatan Jaten hanya 90 m dan wilayah tertinggi berada di kecamatan tawangmangu yang mencapai 2000 m diatas permukaan laut (Badan Pusat Statistik 2011). Pertanian tanaman bahan makanan merupakan salah satu sektor dengan produk yang dihasilkan menjadi kebutuhan pokok hidup rakyat. Kabupaten Karanganyar sebagian tanahnya merupakan tanah pertanian yang memiliki potensi cukup baik bagi pengembangan tanaman agro industri. Matesih, Tawangmangu, Ngargoyoso dan Jenawi sangat potensial untuk tanaman buah dan sayur-sayuran antara lain melon, semangka, pisang, bawang merah, bawang putih, timun, kobis, sawi, cabe, labu, pare, tomat dan buncis (Badan Pusat Statistik 2011). B. Cucurbitaceae Cucurbiteceae merupakan tanaman pertanian yang merambat termasuk dalam tanaman buah dan sayuran penting (Wehner dan Maynard 2003), semua spesies Cucurbitaceae merambat atau menjalar, biasanya dengan sulur yang berada pada node atau buku-buku (Crase 2011). Sulur atau alat-alat pembelit merupakan metamorfosis cabang, dahan atau daun penumpu (Tjitrosoepomo 2002). Spesies dari Cucurbitaceae antara lain Cucumis sativus, Momordica charantia, Citrullus vulgaris dan Cucumis melo. Mentimun termasuk tanaman semusim yang bersifat menjalar atau memanjat dengan perantaraan pemegang yang berbentuk pilin. Batangnya basah, berbulu 4 5 serta berbuku-buku, panjang atau tinggi tanaman dapat mencapai 50 cm – 250 cm, bercabang dan bersulur yang tumbuh di sisi tangkai daun (Rukmana 1994). Daun tanaman mentimun lebar berlekuk menjari dan dangkal, berwarna hijau muda sampai hijau tua. Daun ini tumbuh berselang seling keluar dari ruas batang. Daunnya beraroma kurang sedap dan langu, berbulu tidak tajam (Sunarjono 2003). Pare merupakan tanaman yang mudah tumbuh di semua tempat. Daerah dengan ketinggian 1-1.500 mdpl cocok untuk tempat tumbuhnya. Pare tumbuh optimal pada pH tanah 5-6. Tanah yang cenderung asam juga cocok untuk pertumbuhannya sehingga tidak perlu pengapuran. Menurut Rismunandar (1975) dan Soeseno (1991), buah pare sudah dapat mulai dipanen 3 bulan setalah tanam, dan tanaman dapat terus menghasilkan buah hingga umur 4 bulan (Sharanabasappa 2002). Semangka (Citrullus vulgaris L) diperkirakan berasal dari daerah kering tropis dan sub tropis Afrika. Karena termasuk tanaman tropis, maka sinar matahari mutlak diperlukan dalam budidaya semangka agar produksi optimal. Semangka termasuk ke dalam keluarga Cucurbitaceae, satu keluarga dengan melon, mentimun, dan labu. Semangka merupakan tanaman semusim, tumbuh merambat hingga panjangnya mencapai 3-5 meter (Cahyono 1996). Beberapa literatur menyebutkan bahwa tanaman melon (Cucumis melo L.) berasal dari Turki dan adalagi yang menyebutkan dari daerah India (Tjahjadi 1995). Melon termasuk tanaman semusim atau setahun yang bersifat menjalar atau merambat. Melon memiliki akar tunggang dan akar cabang yang menyebar pada kedalaman lapisan tanah antara 30-50 cm. Batang tanaman biasanya mencapai ketinggian (panjang) antara 1,5-3 meter, berbentuk segi lima, lunak, berbuku-buku sebagai tempat melekatnya tangkai daun. Helai daun berbentuk bundar bersudut lima dan berlekuk-lekuk, diameternya antara 9-15 cm dan letak antara satu daun dengan daunnya saling berselang (Rukmana 1994). 6 C. Cucumber Mosaic Virus Cucumber mosaic virus merupakan virus yang termasuk dalam Famili Bromoviridae, Genus Cucumovirus. Virion CMV berbentuk bulat dengan simetri ikosahedral dan mengandung 180 protein yang masuk dalam kelompok pentamers dan hexamers (Harris et al. 2001). Asam nukleat CMV terdiri dari tiga RNA utas tunggal fungsional yang terenkapsidasi dalam tiga partikel (Zitter dan Murphy 2009). Inang CMV sangat luas dan telah dilaporkan mencapai lebih dari 1200 spesies dan lebih dari 100 famili tanaman monokotil dan dikotil, termasuk sayuran, tanaman hias, tanaman berkayu dan herba. CMV dapat ditransmisikan dengan mudah secara mekanis, terbawa benih pada 19 spesies tanaman, dan lebih dari 80 spesies kutu daun (Hemiptera: Aphididae) sebagai vektor termasuk Myzus persicae dan Aphis gossypii yang mentransmisikan CMV secara non persisten (Zitter dan Murphy 2009), serta dapat ditransmisikan melalui tali putri yaitu lebih dari 10 spesies Cuscuta sp. (Francki et al. 1979). CMV menyebabkan infeksi sistemik pada sebagian besar inang yang terinfeksi tetapi dapat tidak bergejala seperti pada alfalfa. Intensitas gejala CMV pada tanaman terinfeksi dapat sangat berbeda-beda tergantung tanaman, umur tanaman saat infeksi terjadi (Zitter dan Murphy 2009), dan kondisi lingkungan (Provvidenti 1996). CMV dapat menginfeksi tanaman pada saat baru tumbuh sampai fase generatif dan jarang menginfeksi bibit, tetapi bila terjadi maka kotiledon akan menguning dan layu (Provvidenti 1996). CMV dapat menyebabkan mosaik pada tanaman monokotil dan dikotil, antara lain tanaman Cucurbitaceae, solanaceae dan tanaman hias (tapak dara) (Provvidenti 1996). Pada Cucurbitaceae, CMV dapat menyebabkan tanaman menjadi kerdil (Francki et al. 1979, Provvidenti 1996, Babadoost 1999), mosaik kuning yang nyata pada daun, perubahan bentuk daun, pengurangan ukuran daun dan pengurangan ruas batang yang nyata (Francki et al. 1979, Babadoost 1999). Pada tanaman Cucurbitaceae muda, gejala sistemik berupa pengeritingan daun, mosaik, dan perubahan ukuran daun (Provvidenti 1996, Babadoost 1999). Bunga tanaman Cucurbitaceae yang terinfeksi CMV dapat mengalami ketidaknormalan dan mahkotanya berwarna kehijauan (Provvidenti 1996), bahkan dapat mengalami 7 gugur bunga (Francki et al. 1979). Gejala berat oleh CMV sebagian besar terjadi pada summer squash, labu, dan melon sedangkan gejala ringan terjadi pada mentimun, winter squash, dan semangka (Provvidenti 1996). Buah yang terinfeksi CMV dapat berubah bentuk, berukuran kecil (Provvidenti 1996), berwarna kuning, kasar di ujung atau pangkal dan berasa pahit (Babadoost 1999). CMV mempunyai kisaran inang yang luas, sehingga tidak hanya Cucurbitaceae saja tetapi juga pada Fabaceae. Penyakit mosaik yang disebabkan oleh CMV ditemukan menginfeksi tanaman bengkuang di beberapa pertanaman bengkuang di Bogor dan sekitarnya. Berdasarkan hasil survey menunjukan bahwa penyakit mosaik ditemukan di semua lokasi dengan intensitas 14,2-100%. CMV tersebar luas terutama di daerah Bogor dan Prembun, Jawa Tengah (Damayanti 2010). D. Penularan Mekanis Penularan secara mekanis merupakan metode penularan yang mudah dilakukan dan banyak digunakan untuk percobaan penularan di laboratorium. Virus yang menginfeksi tanaman hanya terbatas pada floem atau pembuluh tapis tidak dapat ditularkan secara mekanis karena inokulasi itu hanya dapat mengintroduksi virus ke sel epidermis tanaman. Inokulasi secara mekanis dilakukan dengan mengoleskan sap (ekstrak daun) pada permukaan daun tanaman yang mengalami luka mikro (sublethal wouding or abrasi) secara mekanis. Efisiensi inokulasi viruss dapat dilakukan dengan penambahan karborundum (silicon karbida) ke dalam sap atau ditaburkan pada permukaan daun. Karborundum berfungsi sebagai agensia abrasi saat ekstrak dioleskan pada permukaan daun tanaman (Akin 2006). Inokulasi merupakan proses transmisi melalui agens karborundum yang dicampur sap, yaitu aplikasi ekstrak dari tanaman yang mengandung virus ke permukaan daun tanaman yang sehat. Dengan tujuan untuk memfasilitasi partikel virus melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman, permukaan dari daun harus dilukai terlebih dahulu. Apabila tanaman yang dilukai rentan terhadap virus maka reaksi yang muncul adalah adanya lesion lokal pada daun yang diinokulasi, gejala sistemik (bercak, mosaik, deformasi daun) dan juga dapat tidak menunjukkan 8 gejala (Green 1971). Inokulasi mekanik membutuhkan luka pada tanaman dan disusul dengan adanya kontak sel sehat dengan cairan sap. Luka yang dibuat dapat sekecil rambut daun. Dibawah kondisi alami, transmisi terjadi melalui kontak antar daun. Di alam hanya beberapa virus yang bertransmisi melalui kontak seperti Tobacco mosaic virus (TMV), Potato virus y (PVY) dan sebagainya (Noordman 1973). Pembuatan ekstrak untuk inokulasi secara umum dengan melumatkan jaringan daun yang menunjukkan gejala infeksi virus di mortar kecil dan ditambah fosfat buffer 0,01 M dengan pH 7. Fosfat buffer sebagai bahan penstabil kondisi virus diluar sel tanaman untuk sementara waktu serta pengaturan pH 7 disesuaikan dengan kondisi kemasaman sitoplasma umumnya. Diharapkan dari hal itu, virus mampu tetap hidup saat berada di luar sel tanaman untuk sementara waktu sebelum diinokulasikan. Kemudian ekstrak disaring hingga menyisakan cairannya saja. Cairan tersebut selanjutnya dioleskan bersama karborundum ke daun tanaman sehat. Karborundum yaitu sebagai agen peluka dinding sel tanaman pada daun (Green 1971). Keberhasilan inokulasi secara mekanis tergantung pada konsentrasi virus dalam sap, sumber inokulum, metode penyimpanan inokulum, ketahanan virus dalam sap, dan tanaman inang. Kondisi lingkungan sebelum dan sesudah inokulasi, seperti cahaya dan suhu juga mempengaruhi keberhasilan inokulasi. Konsentrasi virus yang tinggi biasa didapatkan pada daun muda yang telah menunjukkan gejala penyakit (Akin 2006). Dalam perlakuan inokulasi, ada beberapa hal yang menjadi penghambat yaitu adanya zat yang menghambat partikel virus, misalnya quinon yaitu senyawa yang sangat beracun yang dapat menghancurkan beberapa protein. Quinon mendegradasi subunit protein, sehingga mengekspos asam nukleat ke enzim ribonuklease (Hull 2002). E. Uji ELISA ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan 9 enzim sebagai pelapor (reporter label). Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat antigen atau konjugat antobodi, dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibody (Lequin 2005). Pada ELISA, antigen dan antibodi melekat pada sumuran pelat mikrotiter (Dijkstra dan de Jager 1998). Pelat mikrotiter polistiren selain sebagai wadah sekaligus juga sebagai substrat pengikat antigen atau antibodi karena permukaanya mempunyai molekul-molekul yang bermuatan positif (Wahyuni 2005). Teknik ELISA memerlukan sejumlah reagen yang berfungsi untuk mendukung terjadinya reaksi antigen dan antibodi. Jenis antibodi yang digunakan untuk mendeteksi sampel dapat berupa antibodi monoklonal atau antibodi poliklonal (Wahyuni 2005). Keuntungan ELISA pada pengujian virus tanaman antara lain dapat mendeteksi konsentrasi virus yang sangat rendah (1-10 ng/ml), hanya sedikit antibodi yang dibutuhkan, pengujian dapat dilakukan terhadap sap tanaman maupun virus yang telah dimurnikan. Selain itu, pengujian dapat dilakukan untuk jumlah sampel dalam skala besar, dapat distandardisasi menggunakan kit bahan pengujian, dan dapat digunakan untuk mengukur analisis kuantitatif (nilai absorbansi) disamping hasil kualitatif (Dijkstra dan de Jager 1998). Triple Antibody Sandwich (TAS) termasuk metode direct-ELISA yang menggunakan tiga tahap penggunaan antibodi. Antibodi dimasukkan secara langsung pada pelat mikrotiter untuk pengikatan antibodi dengan tujuan untuk mengikat antigen secara spesifik ke pelat mikrotiter. Antibodi kedua (biasanya dari sumber yang sama dengan antibodi pertama) dikonjugasikan dengan enzim yang berfungsi sebagai pendeteksi antibodi (Stephanie dan Kruti 2013). Kerugian direct-ELISA adalah harus disiapkan konjugat secara terpisah untuk masing-masing virus yang diuji. Pada metode indirect-ELISA, keberadaan antigen-antibodi pertama terdeteksi oleh antibodi yang diproduksi pada spesies hewan yang berbeda dengan hewan sumber antibodi pertama. Antibodi tersebut biasanya disebut antibodi kedua yang telah dilabel enzim. Antibodi kedua dapat digunakan untuk mendeteksi virus-virus yang berbeda. Antibodi tersebut 10 merupakan konjugat “universal”. Kespesifikan reaksi indirect-ELISA biasanya lebih rendah daripada metode TAS-ELISA (Dijkstra dan de Jager 1998). Reaksi positif antara antigen dan antibodi ditandai dengan perubahan warna cairan kompleks antigen dan antibodi yang terkonjugasi dengan enzim menjadi kuning atau biru toska, tergantung pada macam substrat yang digunakan. Misalnya reaksi menggunakan p-nitrophenil phosphate akan menjadi menjadi berwarna kuning. Intensitas warna yang bervariasi mencerminkan konsentrasi virus yang terkandung dalam cairan tersebut. Intensitas warna yang terjadi dikonversikan menjadi angka oleh spektrum cahaya pada A405 nm dan alat untuk membacanya disebut ELISA-reader. Inkubasi dengan enzim substrat berkisar 20 sampai 40 menit, dan tidak boleh lebih dari dua jam karena kontrol negatif akan ikut berubah warnanya (Wahyuni 2005).