4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Wilayah Karanganyar Karanganyar

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Wilayah Karanganyar
Karanganyar merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang
berbatasan dengan Kabupaten Sragen di sebelah utara, Propinsi Jawa Timur di
sebelah timur, Kabupaten Wonogiri dan Sukoharjo di sebelah selatan serta Kota
Surakarta dan Kabupaten Boyolali di sebelah barat. Karanganyar terletak antara
1100 40” – 1100 70” Bujur Timur dan 70 28” - 70 46” Lintang Selatan.
Ketinggian rata-rata 511 meter di atas permukaan laut serta beriklim tropis dengan
temperatur 22o – 31o. Rata–rata ketinggian wilayah di kabupaten Karanganyar
berada di atas permukaan laut yakni sebesar 511 m, adapun wilayah terendah di
kabupaten karanganyar berada di kecamatan Jaten hanya 90 m dan wilayah
tertinggi berada di kecamatan tawangmangu yang mencapai 2000 m diatas
permukaan laut (Badan Pusat Statistik 2011).
Pertanian tanaman bahan makanan merupakan salah satu sektor dengan
produk yang dihasilkan menjadi kebutuhan pokok hidup rakyat. Kabupaten
Karanganyar sebagian tanahnya merupakan tanah pertanian yang memiliki potensi
cukup baik bagi pengembangan tanaman agro industri. Matesih, Tawangmangu,
Ngargoyoso dan Jenawi sangat potensial untuk tanaman buah dan sayur-sayuran
antara lain melon, semangka, pisang, bawang merah, bawang putih, timun, kobis,
sawi, cabe, labu, pare, tomat dan buncis (Badan Pusat Statistik 2011).
B. Cucurbitaceae
Cucurbiteceae merupakan tanaman pertanian yang merambat termasuk
dalam tanaman buah dan sayuran penting (Wehner dan Maynard 2003), semua
spesies Cucurbitaceae merambat atau menjalar, biasanya dengan sulur yang
berada pada node atau buku-buku (Crase 2011). Sulur atau alat-alat pembelit
merupakan
metamorfosis
cabang,
dahan
atau
daun
penumpu
(Tjitrosoepomo 2002). Spesies dari Cucurbitaceae antara lain Cucumis sativus,
Momordica charantia, Citrullus vulgaris dan Cucumis melo.
Mentimun termasuk tanaman semusim yang bersifat menjalar atau memanjat
dengan perantaraan pemegang yang berbentuk pilin. Batangnya basah, berbulu
4
5
serta berbuku-buku, panjang atau tinggi tanaman dapat mencapai 50 cm – 250 cm,
bercabang dan bersulur yang tumbuh di sisi tangkai daun (Rukmana 1994). Daun
tanaman mentimun lebar berlekuk menjari dan dangkal, berwarna hijau muda
sampai hijau tua. Daun ini tumbuh berselang seling keluar dari ruas batang.
Daunnya
beraroma
kurang
sedap
dan
langu,
berbulu
tidak
tajam
(Sunarjono 2003).
Pare merupakan tanaman yang mudah tumbuh di semua tempat. Daerah
dengan ketinggian 1-1.500 mdpl cocok untuk tempat tumbuhnya. Pare tumbuh
optimal pada pH tanah 5-6. Tanah yang cenderung asam juga cocok untuk
pertumbuhannya sehingga tidak perlu pengapuran. Menurut Rismunandar (1975)
dan Soeseno (1991), buah pare sudah dapat mulai dipanen 3 bulan setalah tanam,
dan
tanaman
dapat
terus
menghasilkan
buah
hingga
umur
4
bulan
(Sharanabasappa 2002).
Semangka (Citrullus vulgaris L) diperkirakan berasal dari daerah kering
tropis dan sub tropis Afrika. Karena termasuk tanaman tropis, maka sinar matahari
mutlak diperlukan dalam budidaya semangka agar produksi optimal. Semangka
termasuk ke dalam keluarga Cucurbitaceae, satu keluarga dengan melon,
mentimun, dan labu. Semangka merupakan tanaman semusim, tumbuh merambat
hingga panjangnya mencapai 3-5 meter (Cahyono 1996).
Beberapa literatur menyebutkan bahwa tanaman melon (Cucumis melo L.)
berasal dari Turki dan adalagi yang menyebutkan dari daerah India
(Tjahjadi 1995). Melon termasuk tanaman semusim atau setahun yang bersifat
menjalar atau merambat. Melon memiliki akar tunggang dan akar cabang yang
menyebar pada kedalaman lapisan tanah antara 30-50 cm. Batang tanaman
biasanya mencapai ketinggian (panjang) antara 1,5-3 meter, berbentuk segi lima,
lunak, berbuku-buku sebagai tempat melekatnya tangkai daun. Helai daun
berbentuk bundar bersudut lima dan berlekuk-lekuk, diameternya antara 9-15 cm
dan letak antara satu daun dengan daunnya saling berselang (Rukmana 1994).
6
C. Cucumber Mosaic Virus
Cucumber mosaic virus merupakan virus yang termasuk dalam Famili
Bromoviridae, Genus Cucumovirus. Virion CMV berbentuk bulat dengan simetri
ikosahedral dan mengandung 180 protein yang masuk dalam kelompok pentamers
dan hexamers (Harris et al. 2001). Asam nukleat CMV terdiri dari tiga RNA utas
tunggal fungsional yang terenkapsidasi dalam tiga partikel (Zitter dan Murphy
2009). Inang CMV sangat luas dan telah dilaporkan mencapai lebih dari 1200
spesies dan lebih dari 100 famili tanaman monokotil dan dikotil, termasuk
sayuran, tanaman hias, tanaman berkayu dan herba. CMV dapat ditransmisikan
dengan mudah secara mekanis, terbawa benih pada 19 spesies tanaman, dan lebih
dari 80 spesies kutu daun (Hemiptera: Aphididae) sebagai vektor termasuk Myzus
persicae dan Aphis gossypii yang mentransmisikan CMV secara non persisten
(Zitter dan Murphy 2009), serta dapat ditransmisikan melalui tali putri yaitu lebih
dari 10 spesies Cuscuta sp. (Francki et al. 1979).
CMV menyebabkan infeksi sistemik pada sebagian besar inang yang
terinfeksi tetapi dapat tidak bergejala seperti pada alfalfa. Intensitas gejala CMV
pada tanaman terinfeksi dapat sangat berbeda-beda tergantung tanaman, umur
tanaman saat infeksi terjadi (Zitter dan Murphy 2009), dan kondisi lingkungan
(Provvidenti 1996). CMV dapat menginfeksi tanaman pada saat baru tumbuh
sampai fase generatif dan jarang menginfeksi bibit, tetapi bila terjadi maka
kotiledon akan menguning dan layu (Provvidenti 1996).
CMV dapat menyebabkan mosaik pada tanaman monokotil dan dikotil,
antara lain tanaman Cucurbitaceae, solanaceae dan tanaman hias (tapak dara)
(Provvidenti 1996). Pada Cucurbitaceae, CMV dapat menyebabkan tanaman
menjadi kerdil (Francki et al. 1979, Provvidenti 1996, Babadoost 1999), mosaik
kuning yang nyata pada daun, perubahan bentuk daun, pengurangan ukuran daun
dan pengurangan ruas batang yang nyata (Francki et al. 1979, Babadoost 1999).
Pada tanaman Cucurbitaceae muda, gejala sistemik berupa pengeritingan daun,
mosaik, dan perubahan ukuran daun (Provvidenti 1996, Babadoost 1999). Bunga
tanaman Cucurbitaceae yang terinfeksi CMV dapat mengalami ketidaknormalan
dan mahkotanya berwarna kehijauan (Provvidenti 1996), bahkan dapat mengalami
7
gugur bunga (Francki et al. 1979). Gejala berat oleh CMV sebagian besar terjadi
pada summer squash, labu, dan melon sedangkan gejala ringan terjadi pada
mentimun, winter squash, dan semangka (Provvidenti 1996). Buah yang terinfeksi
CMV dapat berubah bentuk, berukuran kecil (Provvidenti 1996), berwarna
kuning, kasar di ujung atau pangkal dan berasa pahit (Babadoost 1999).
CMV mempunyai kisaran inang yang luas, sehingga tidak hanya
Cucurbitaceae saja tetapi juga pada Fabaceae. Penyakit mosaik yang disebabkan
oleh CMV ditemukan menginfeksi tanaman bengkuang di beberapa pertanaman
bengkuang di Bogor dan sekitarnya. Berdasarkan hasil survey menunjukan bahwa
penyakit mosaik ditemukan di semua lokasi dengan intensitas 14,2-100%. CMV
tersebar luas terutama di daerah Bogor dan Prembun, Jawa Tengah
(Damayanti 2010).
D. Penularan Mekanis
Penularan secara mekanis merupakan metode penularan yang mudah
dilakukan dan banyak digunakan untuk percobaan penularan di laboratorium.
Virus yang menginfeksi tanaman hanya terbatas pada floem atau pembuluh tapis
tidak dapat ditularkan secara mekanis
karena inokulasi itu hanya dapat
mengintroduksi virus ke sel epidermis tanaman. Inokulasi secara mekanis
dilakukan dengan mengoleskan sap (ekstrak daun) pada permukaan daun tanaman
yang mengalami luka mikro (sublethal wouding or abrasi) secara mekanis.
Efisiensi inokulasi viruss dapat dilakukan dengan penambahan karborundum
(silicon karbida) ke dalam sap atau ditaburkan pada permukaan daun.
Karborundum berfungsi sebagai agensia abrasi saat ekstrak dioleskan pada
permukaan daun tanaman (Akin 2006).
Inokulasi merupakan proses transmisi melalui agens karborundum yang
dicampur sap, yaitu aplikasi ekstrak dari tanaman yang mengandung virus ke
permukaan daun tanaman yang sehat. Dengan tujuan untuk memfasilitasi partikel
virus melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman, permukaan dari daun harus
dilukai terlebih dahulu. Apabila tanaman yang dilukai rentan terhadap virus maka
reaksi yang muncul adalah adanya lesion lokal pada daun yang diinokulasi, gejala
sistemik (bercak, mosaik, deformasi daun) dan juga dapat tidak menunjukkan
8
gejala (Green 1971). Inokulasi mekanik membutuhkan luka pada tanaman dan
disusul dengan adanya kontak sel sehat dengan cairan sap. Luka yang dibuat dapat
sekecil rambut daun. Dibawah kondisi alami, transmisi terjadi melalui kontak
antar daun. Di alam hanya beberapa virus yang bertransmisi melalui kontak
seperti Tobacco mosaic virus (TMV), Potato virus y (PVY) dan sebagainya
(Noordman 1973).
Pembuatan ekstrak untuk inokulasi secara umum dengan melumatkan
jaringan daun yang menunjukkan gejala infeksi virus di mortar kecil dan ditambah
fosfat buffer 0,01 M dengan pH 7. Fosfat buffer sebagai bahan penstabil kondisi
virus diluar sel tanaman untuk sementara waktu serta pengaturan pH 7 disesuaikan
dengan kondisi kemasaman sitoplasma umumnya. Diharapkan dari hal itu, virus
mampu tetap hidup saat berada di luar sel tanaman untuk sementara waktu
sebelum diinokulasikan. Kemudian ekstrak disaring hingga menyisakan cairannya
saja. Cairan tersebut selanjutnya dioleskan bersama karborundum ke daun
tanaman sehat. Karborundum yaitu sebagai agen peluka dinding sel tanaman pada
daun (Green 1971).
Keberhasilan inokulasi secara mekanis tergantung pada konsentrasi virus
dalam sap, sumber inokulum, metode penyimpanan inokulum, ketahanan virus
dalam sap, dan tanaman inang. Kondisi lingkungan sebelum dan sesudah
inokulasi, seperti cahaya dan suhu juga mempengaruhi keberhasilan inokulasi.
Konsentrasi virus yang tinggi biasa didapatkan pada daun muda yang telah
menunjukkan gejala penyakit (Akin 2006). Dalam perlakuan inokulasi, ada
beberapa hal yang menjadi penghambat yaitu adanya zat yang menghambat
partikel virus, misalnya quinon yaitu senyawa yang sangat beracun yang dapat
menghancurkan beberapa protein. Quinon mendegradasi subunit protein, sehingga
mengekspos asam nukleat ke enzim ribonuklease (Hull 2002).
E. Uji ELISA
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay) merupakan uji serologis yang
umum digunakan di berbagai laboratorium imunologi. ELISA diperkenalkan pada
tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya
interaksi antigen dengan antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan
9
enzim sebagai pelapor (reporter label). Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat antigen atau konjugat
antobodi, dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibody
(Lequin 2005).
Pada ELISA, antigen dan antibodi melekat pada sumuran pelat mikrotiter
(Dijkstra dan de Jager 1998). Pelat mikrotiter polistiren selain sebagai wadah
sekaligus juga sebagai substrat pengikat antigen atau antibodi karena
permukaanya mempunyai molekul-molekul yang bermuatan positif (Wahyuni
2005). Teknik ELISA memerlukan sejumlah reagen yang berfungsi untuk
mendukung terjadinya reaksi antigen dan antibodi. Jenis antibodi yang digunakan
untuk mendeteksi sampel dapat berupa antibodi monoklonal atau antibodi
poliklonal (Wahyuni 2005).
Keuntungan ELISA pada pengujian virus tanaman antara lain dapat
mendeteksi konsentrasi virus yang sangat rendah (1-10 ng/ml), hanya sedikit
antibodi yang dibutuhkan, pengujian dapat dilakukan terhadap sap tanaman
maupun virus yang telah dimurnikan. Selain itu, pengujian dapat dilakukan untuk
jumlah sampel dalam skala besar, dapat distandardisasi menggunakan kit bahan
pengujian, dan dapat digunakan untuk mengukur analisis kuantitatif (nilai
absorbansi) disamping hasil kualitatif (Dijkstra dan de Jager 1998).
Triple Antibody Sandwich (TAS) termasuk metode direct-ELISA yang
menggunakan tiga tahap penggunaan antibodi. Antibodi dimasukkan secara
langsung pada pelat mikrotiter untuk pengikatan antibodi dengan tujuan untuk
mengikat antigen secara spesifik ke pelat mikrotiter. Antibodi kedua (biasanya
dari sumber yang sama dengan antibodi pertama) dikonjugasikan dengan enzim
yang berfungsi sebagai pendeteksi antibodi (Stephanie dan Kruti 2013).
Kerugian direct-ELISA adalah harus disiapkan konjugat secara terpisah
untuk masing-masing virus yang diuji. Pada metode indirect-ELISA, keberadaan
antigen-antibodi pertama terdeteksi oleh antibodi yang diproduksi pada spesies
hewan yang berbeda dengan hewan sumber antibodi pertama. Antibodi tersebut
biasanya disebut antibodi kedua yang telah dilabel enzim. Antibodi kedua dapat
digunakan untuk mendeteksi virus-virus yang berbeda. Antibodi tersebut
10
merupakan konjugat “universal”. Kespesifikan reaksi indirect-ELISA biasanya
lebih rendah daripada metode TAS-ELISA (Dijkstra dan de Jager 1998).
Reaksi positif antara antigen dan antibodi ditandai dengan perubahan warna
cairan kompleks antigen dan antibodi yang terkonjugasi dengan enzim menjadi
kuning atau biru toska, tergantung pada macam substrat yang digunakan.
Misalnya reaksi menggunakan p-nitrophenil phosphate akan menjadi menjadi
berwarna kuning. Intensitas warna yang bervariasi mencerminkan konsentrasi
virus yang terkandung dalam cairan tersebut. Intensitas warna yang terjadi
dikonversikan menjadi angka oleh spektrum cahaya pada A405 nm dan alat untuk
membacanya disebut ELISA-reader. Inkubasi dengan enzim substrat berkisar 20
sampai 40 menit, dan tidak boleh lebih dari dua jam karena kontrol negatif akan
ikut berubah warnanya (Wahyuni 2005).
Download