BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010 merupakan salah satu letusan besar dalam catatan sejarah terjadinya erupsi Gunung Merapi. Letusan eksplosif yang terjadi secara tiba-tiba tersebut menyebabkan 346 orang meninggal, 121 korban luka berat, dan 5 orang korban hilang (PIP2BDIY, 2012). Permukiman yang terletak disekitar lereng Gunung Merapi mengalami kerusakan yang cukup parah. Beberapa pemukiman bahkan sampai terkubur oleh material yang keluar pada saat erupsi terjadi. Tercatat sekitar 2.682 rumah rusak berat dan tidak layak huni, 156 rumah rusak, dan 632 rumah rusak ringan (DPUP Sleman, 2013). Sedangkan kerugian materi yang dialami pemerintah dan masyarakat dalam berbagai sektor mencapai Rp 2.141 triliun. Setelah letusan terjadi, warga yang terkena dampak bencana direlokasi ke tempat tinggal yang masih berupa hunian sementara (huntara). Sebanyak 2613 unit hunian sementara yang berasal dari bantuan berbagai macam pihak dipergunakan warga untuk tempat tinggal. Rumah bantuan tersebut dibuat dari bahan material bambu dan gedhek. Terdapat sepuluh lokasi yang dijadikan hunian sementara, yaitu Plosokerep, Gondang 1, Gondang 2, Gondang 3, Gondang luar, Banjarsari, Jetis Sumur, Dongkelsari, Kuwang, dan Kethingan. Warga menempati hunian sementara sekitar dua tahun dari tahun 2010 sampai akhir tahun 2012. Mulai tahun 2011 sampai 2013, pemerintah membuat rencana dan telah berhasil membangun rumah permanen atau hunian tetap (huntap) bagi para korban yang kehilangan tempat tinggal. Selain itu beberapa sektor lengkap dengan infrastrukturnya yang sempat rusak karena bencana tersebut juga sempat diperbaiki. Pembangunan hunian tetap ini merupakan suatu program rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani bencana erupsi Gunung Merapi yang difasilitatori oleh pihak REKOMPAK (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas). Bantuan yang 1 disalurkan lewat program REKOMPAK berupa Bantual Dana Lingkungan (BDL), Bantua Dana Rumah (BDR), Komponen Pendampingan Masyarakat, dan Komponen Pendampingan Teknis. Dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan program tersebut totalnya sebesar Rp 770,903 milyar dengan rincian Rp 272,956 milyar untuk sektor infrastruktur, Rp 138,076 milyar untuk sektor permukiman, Rp 146,227 milyar untuk sektor ekonomi produktif, dan Rp 111,298 milyar untuk sektor sosial. Masyarakat yang tadinya tinggal di hunian sementara mulai dipindahkan ke hunian-hunian tetap yang sudah disediakan. Terdapat sekitar18 hunian tetap yang tersebar lokasi-lokasi yang lebih aman daripada lokasi rumah tinggal mereka sebelumnya. Hunian tetap tersebut tersebar di Umbulharjo (Huntap Bulak Susukan, Karangkendal, dan Plosokerep), Kepuharjo (Huntap Batur dan Pagerjurang), Wukirsari (Huntap Gondang 2, Gondang 3, dan Dongkelsari), Glagaharjo (Huntap Gading, Banjarsari, dan Jetis Sumur), Argomulyo (Huntap Kuwang dan Randusari), Sendangagung (Huntap Kisik, Gambretan, dan Cancangan), Sindumartani (Huntap Klenthingan dan Jlapan), dan beberapa huntap mandiri individu. Kondisi kehidupan masyarakat korban bencana ini berubah drastis sejak terjadi letusan. Sebelumnya mereka tinggal di sebuah lingkungan pedesaan dengan halaman rumah yang luas, jarak antar rumah tidak berdempetan, dan lingkungan yang masih alami. Sebagian besar masyarakat dulunya memiliki pekerjaan sebagai petani, buruh, dan juga peternak. Namun kondisi hunian tetap yang sekarang membuat mereka sulit untuk untuk melakukan aktivitas mereka sebelumnya. Lahan pertanian milik mereka sudah rusak dan jauh dari permukiman. Ditambah lagi ruang untuk beternak sangat terbatas. Kondisi lingkungan perumahan mereka telah berubah menjadi lingkungan yang secara fisiknya menyerupai perumahan perkotaan. Pembangunan hunian tetap merupakan salah satu proses pembentukan lingkungan baru yang sejak awal pembangunannya mengacu pada dokumen perencanaannya. Perkembangannya pun tidak terjadi secara alamiah. Selain rumah, pembangunan fasilitas sarana dan prasarana di hunian tetap juga telah disediakan satu paket dengan pembangunan perumahannya. Masyarakat hunian tetap yang 2 sudah mulai menempati lokasi tempat tinggal melakukan adaptasi untuk dapat tinggal di suatu hunian yang baru, dengan kondidi fisik lingkungan yang baru juga. Adaptasi dilakukan mulai dari membiasakan diri untuk tinggal dengan warga dari beberapa dusun secara berdampingan sampai pada adaptasi untuk menggunakan fasilitas yang ada secara bersamaan. Diharapkan sarana prasarana ini dapat menunjang kehidupan masyarakat yang tinggal di hunian tetap tersebut. Begitu juga halnya yang terjadi di salah satu hunian tetap, yaitu Hunian tetap Pagerjurang. Hunian tetap ini memiliki sarana prasarana yang terhitung paling lengkap. Hunian tetap yang terletak di Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman ini merupakan salah satu hunian tetap yang memiliki jumlah lahan paling luas dan juga jumlah penduduk yang paling banyak. Namun kelengkapan sarana prasarana ternyata tidak selalu menimbulkan respon positif dari warga. Ditambah lagi dengan jumlah warga yang cukup banyak dan terdiri dari gabungan lima buah dusun kemudian memunculkan variasi-variasi penerimaan masyarakat terhadap sarana dan prasarana yang telah disediakan. Kenyataan yang dihadapi sekarang adalah Gunung Merapi, ataupun gunungapi-gunungapi lainnya masih selalu aktif sampai ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dengan ancaman erupsi Gunung Merapi yang terjadi setiap dua sampai lima tahun sekali, maka letusan besar sudah dapat diprediksikan akan terjadi lagi. Sampai saat ini, pembangunan hunian tetap merupakan salah satu program rehabilitasi dan rekonstruksi yang dapat memulihkan kondisi masyarakat yang terkena dampak bencana. Apabila letusan besar terjadi lagi, maka program pembangunan hunian tetap dimungkinkan akan dilakukan lagi. Oleh karena itu, informasi untuk perbaikan-perbaikan dan pembuatan inovasi dalam pembangunan sarana dan prasarana di hunian tetap merupakan salah satu elemen penting untuk melengkapi perencanaan dan mendukung kehidupan sosial masyarakat serta menciptakan kenyamanan di lingkungan permukiman yang baru. 3 1.2 Pertanyaan Penelitian Program pembangunan hunian tetap merupakan suatu program rehabilitasi dan rekonstruksi yang di lakukan untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang terdampak erupsi Gunung Merapi. Hunian tetap ini merupakan suatu kawasan permukiman yang benar-benar baru dan direncanakan secara bersama antara pihak pemerintah dan masyarakat. Bantuan pembangunan rumah dan bantuan pembangunan lingkungan berupa sarana dan prasarana telah dibuat satu paket untuk masing-masing hunian tetap. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah penerimaan warga terhadap sarana prasarana yang ada di Hunian Tetap Pagerjurang? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap penerimaan warga terhadap sarana dan prasarana yang ada di Hunian Tetap Pagerjurang yang terlihat dari persepsi masyarakat, hasil observasi, dan dokumen-dokumen terkait. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat kepada semua pihak sebagai berikut: a. Menuangkan persepsi masyarakat terhadap sarana prasarana yang ada di lingkungan hunian tetap yang selama ini tidak terlihat secara langsung. b. Memberikan informasi yang akurat tentang penerimaan masyarakat sebagai dampak dari kesesuaian pembangunan sarana prasarana di lingkungannya. c. Memberikan informasi yang bersifat evaluatif kepada pemerintah agar pada pembangunan hunian-hunian tetap selanjutanya terdapat peningkatan kualitas sarana prasarana yang dibangun. 4 1.5 Batasan Penelitian Batasan penelitian ini meliputi : a. Fokus Penelitian ini berfokus untuk menggali bagaimanakah sebenarnya penerimaan masyarakat terhadap kondisi sarana prasarana yang ada di Hunian Tetap Pagerjurang. Kondisi sarana prasarana yang dimaksudkan adalah meliputi kondisi fisiknya, perilaku masyarakat terhadap sarana prasarana yang ada, ketercukupan dari sarana prasarana, dan ketepatan lokasi penempatan sarana prasarana yang pada akhirnya akan menunjukkan bagaimana sebenarnya penerimaan masyarakat terhadap sarana prasarana beserta alasan-alasan logis mengapa hal tersebut terjadi. b. Lokasi Wilayah amatan penelitian ini adalah di Hunian Tetap Pagerjurang. Kawasan hunian tetap ini terletak di Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Hunian tetap terbagi menjadi tiga blok. Blok pertama dihuni oleh seluruh masyarakat Dusun Petung. Blok kedua, yang berada tengah, dihuni oleh seluruh masyarakat Dusun Kaliadem, dan blok ketiga dihuni oleh sebagian masyarakat Dusun Manggong, Kepuh, dan Pagerjurang. 1.6 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai hunian tetap yang ada di Kabupaten Sleman sudah beberapa kali dilakukan. Berikut ini adalah penelitian yang telah dilakukan di hunian tetap di Kabupaten Sleman. 5 Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Peneliti/Tahun Judul Fokus Harry Priyanto Pembangunan Mengeksplorasi proses Putra Huntara Pasca perencanaan dan (2012) Bencana Merapi di pelaksanaan Kabupaten Sleman pembangunan huntara Metode Eksploratif dan mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi Bagus Proses Konsensus Proses konsensus Ramadhan dalam Relokasi permukiman yang ada di (2013) Hunian Korban kawasan rawan bencana 3 Erupsi Gunung Gunung Merapi di Dusun Merappi 2010 dan Pelemsari dan Dusun Faktor yang Pangukrejo Kualitatif Mempengaruhi Sumber : Analisis Peneliti 2014 Sepanjang pengetahuan peneliti yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian yang berfokus pada penerimaan warga terhadap sarana prasarana yang ada di Hunian Tetap Pagerjurang, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman dengan metode induktif-kualitatif belum pernah dilakukan. Penelitian ini masih tergolong baru karena pembangunan huntap baru selesai pada awal tahun 2013. Oleh karena itu penelitian dengan judul “Kemenduaan Warga Terhadap Sarana dan Prasarana Hunian Tetap Pagerjurang, Kabupaten Sleman” ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. 6