BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hipertensi adalah suatu penyakit heterogen yang disebabkan oleh penyebab yang spesifik (hipertensi sekunder) atau dari mekanisme patofisiologi yang tidak diketahui (hipertensi primer) (Dipiro et al., 2009). Hipertensi merupakan penyakit silent killer karena hipertensi yang tidak terkendali dan tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan serangan jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan (Katzung, 2001). Hipertensi termasuk penyakit dengan prevalensi tinggi dan jumlahnya terus meningkat setiap tahunnya. Proporsi terbesar berasal dari negara berkembang, Indonesia termasuk dalam negara berkembang tersebut (WHO, 2013). Di Indonesia, penyakit hipertensi menjadi peringkat pertama penyebab kematian pada tahun 2000. Prevalensi penyakit hipertensi di Indonesia meningkat sebesar 26,5% dan sebagian besar 63,2% kasus hipertensi tidak terdiagnosis. Peningkatan hipertensi terjadi dengan peningkatan umur dan mempunyai angka yang lebih tinggi pada perempuan, status ekonomi yang rendah, perilaku merokok, pasien dengan diabetes melitus, dan obesitas (Delima dan Siswoyo, 2009). Hipertensi pada kehamilan termasuk dalam komplikasi kehamilan, sebagai salah satu dari trias komplikasi selain pendarahan dan infeksi. Sejumlah kehamilan 1 2 sekitar 10-15% disertai komplikasi hipertensi (preeklamsia) dan berkontribusi besar dalam morbiditas dan mortalitas neonatal dan materna (Plaat dan Krishnachetty, 2014). Hipertensi selama kehamilan merupakan suatu penyakit yang mengganggu, tidak hanya pada ibu juga berdampak pada fetus, yaitu bisa menjadi hambatan, baik saat penyaluran oksigen, peredaran darah, nutrisi dari ibu menuju fetus. Terhambatnya transport oksigen maupun nutrisi menuju fetus akan mempengaruhi tumbuh kembang bayi, terutama perkembangan otak fetus. Selain itu, penanganan hipertensi yang buruk pada kehamilan bisa menyebabkan keguguran, morbiditas hingga mortalitas (Rubin, 1996). Pengontrolan tekanan darah ibu dengan antihipertensi penting untuk menurunkan insidensi perdarahan serebral dan mencegah terjadinya stroke maupun komplikasi serebrovaskular (Sidani dan Siddik- Sayyid, 2011). Pemilihan obat harus aman, efektif, dan digunakan secara rasional untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Terapi dengan obat pada masa kehamilan memerlukan perhatian khusus karena ancaman efek teratogenik obat dan perubahan fisiologis pada ibu sebagai respon terhadap kehamilan. Obat antihipertensi dapat menembus sawar plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin (Sharma dan Verma, 2006). Tatalaksana terapi hipertensi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah pasien sampai batas tidak mengganggu atau merusak fungsi organ maupun fisiologis yang lain, menurunkan risiko total morbiditas, dan mortalitas (OGCCU, 2003). Faktanya hipertensi pada kehamilan (preeklamsia) penyebab utama morbiditas ibu, janin, dan 3 kematian di dunia sekitar 5,6%, serta menyebabkan hampir 40% kelahiran sebelum 35 minggu (WHO, 2013). Kematian maternal juga terjadi di kabupaten Bantul Yogyakarta sebanyak 4 kasus pada tahun 2011 (Riskesda, 2013). Tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada wanita hamil karena ketidaktepatan penggunaan obat antihipertensi di dunia diperkirakan sekitar 4,3% (Ther, 2013). Oleh karena itu mendorong dilakukan berbagai penelitian tentang evaluasi ketepatan penggunaan obat pada terapi hipertensi. Penelitian ini penting untuk menilai ketepatan dan kesesuaian terapi dengan standar pelayanan medik dan guideline ACOG dilihat dari pemilihan obat yang efektif dan keamanan penggunaannya pada masa kehamilan sehingga dapat dilakukan tindak lanjut untuk mengoptimalkan pemakaian obat pada pasien hipertensi selama kehamilan. Penggunaan obat hipertensi pada kehamilan dapat dikatakan berhasil dan efektif ketika tekanan darah mencapai target yaitu <140/90 mmHg, nilai proteinuria dan udema bernilai negatif (Sibai, 2010). Maka dari itu, untuk menilai keberhasilan penggunaan obat hipertensi pada wanita hamil, pada penelitian penting untuk mengetahui luaran terapi yang meliputi tekanan darah, proteinuria, dan edema. Ancaman yang besar terhadap kehidupan ibu dan janin akibat hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan kebanyakan dapat dicegah. Pengawasan prenatal yang baik dan perawatan yang tepat akan memperbaiki kondisi pasien dengan hasil yang memuaskan bagi ibu maupun janin (Rubin, 1996). Optimalisasi pelayanan kesehatan dalam memberikan terapi pada wanita hamil dengan gangguan hipertensi merupakan 4 langkah yang diperlukan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi (WHO, 2013). Rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, merupakan rumah sakit yang mempunyai sarana dan prasarana yang lengkap, selain itu juga mempunyai banyak tenaga medis yang handal dan profesional. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pola penggunaan obat hipertensi dan outcome terapi pada masa kehamilan. B. 1. Rumusan Masalah Bagaimana pola pengobatan hipertensi pada kehamilan dan kesesuaian terapi dengan standar pelayanan medis dan guideline ACOG di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode 2012 2015? 2. Bagaimana clinical outcome pengobatan hipertensi pada kehamilan di Rumah Sakit PKU Yogyakarta periode 2012 2015? C. 1. Tujuan Penelitian Mengetahui pola pengobatan hipertensi pada kehamilan dan kesesuaian terapi dengan standar pelayanan medis dan guideline ACOG di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode 2012 2015. 2. Mengetahui clinical outcome pengobatan hipertensi pada kehamilan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode 2012 2015. 5 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Bermanfaat untuk rumah sakit : a. Sebagai salah satu informasi tentang pola pengobatan hipertensi pada wanita hamil di rumah sakit tersebut. b. Sebagai masukan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. 2. Bermanfaat untuk pemerintah dan institusi : a. Memperkaya data dan informasi tentang pola penggunaan obat antihipertensi pada wanita hamil di Indonesia. b. Sebagai pembanding dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan Indonesia pada umumnya dan peningkatan pelayanan kefarmasian pada khususnya. 3. Bermanfaat untuk peneliti : a. Meningkatkan pengetahuan akan dunia kesehatan dan farmasi sekaligus sebagai sarana untuk mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang diperoleh. b. Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan terapi yang efektif dan efisien guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. c. Sebagai tambahan pengetahuan maupun bahan pertimbangan untuk perkembangan profesionalisme dan penelitian dimasa yang akan datang. 6 E. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi pada kehamilan a. Definisi hipertensi Tekanan darah tinggi (hipertensi) merupakan suatu keadaan kronik dimana tekanan darah arteri sistemik meningkat melebihi ambang normal. Tekanan darah dinilai baik dari tekanan pada saat kondisi diastolik maupun sistolik, tekanan darah normal berkisar 60-80 mmHg untuk diastolik dan 90-120 mmHg untuk sistolik. Pasien dikatakan hipertensi jika tekanan darah lebih dari 90 mmHg untuk diastolik dan lebih sama dengan dari 140 mmHg untuk sistolik. Tekanan darah kisaran 80-90 mmHg pada diastolik dan 120-140 mmHg pada sistolik termasuk kondisi prehipertensi (OGCCU, 2003). b. Hipertensi pada kehamilan Kehamilan merupakan proses fisiologis yang normal dan alamiah. Hamil sebenarnya bukan penyakit, tetapi dapat menyebabkan keadaan patofisiologis sampai kematian pada ibu ataupun janin. Perubahan fisiologis selama kehamilan, misalnya peningkatan progresteron, peningkatan berat badan, peningkatan volume plasma, peningkatan volume cairan tubuh dan penurunan protein plasma (Pritchard, 1991). Hipertensi merupakan masalah yang sering muncul selama kehamilan yang sangat berhubungan dengan mortalitas materna dan 7 morbiditas fetal. Hipertensi pada kehamilan dapat didefinisikan yaitu peni prekonsepsi atau tekanan darah trisemester pertama (Folic et al., 2008). c. Klasifikasi hipertensi selama kehamilan Klasifikasi kelainan hipertensi pada kehamilan yang dianjurkan oleh American College of Obstetrics and Gynecologists (2013), adalah sebagai berikut: 1) Hipertensi kronik Hipertensi yang terjadi sebelum 20 minggu kehamilan atau pada wanita yang telah mengalami riwayat hipertensi sebelumnya (ACOG, 2013). Hipertensi kronik mempengaruhi kehamilan sekitar 3-5% dan dapat menimbulkan risiko dua kali lebih besar terjadinya preeklamsia (Plaat dan Krishnachetty, 2014). Hipertensi kronik ini harus dilakukan konfirmasi tekanan darah selama 24 jam, sehingga pengukuran tekanan darah di rumah sangat diutamakan (Sibai, 1996). 2) Preeklamsia-eklamsia Merupakan hipertensi yang terjadi setelah 20 miggu kehamilan dan ditandai dengan proteinuria. Kondisi ini menyebabkan 8 komplikasi pada kehamilan sekitar 5-6% dan menjadi penyebab utama 50000 kematian dunia tiap tahunnya (ACOG, 2013) Preeklamsia merupakan kelainan multisistem yang tidak diketahui penyebabnya, merupakan kelainan unik selama kehamilan. Secara klinik preeklamsia dapat dimanifestasikan sebagai sindrom materna (hipertensi, proteinuria, dan atau tanpa abnormalitas mulitisistem) dan sindrom fetal (retriksi pertumbuhan pada fetal, terjadinya pengurangan cairan amniotik, dan abnormalitas oksigenasi) (Sibai et al., 2005). Dua puluh persen wanita yang mengalami preklamsia berat didapat sindrome HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, low platelet count) yang ditandai dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar, trombositopenia akibat kelainan hepar dan sistem koagulasi (Plaat dan Krishnachetty, 2014). Preeklamsia sendiri menyebabkan masalah yang serius, baik komplikasi pada ibu dan bayinya. Preeklamsia juga menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak bayi sehingga meningkatkan terjadinya stroke dimasa yang akan datang. Selanjutnya bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami preeklamsia memiliki ukuran jantung yang lebih kecil dan terjadinya peningkatan denyut jantung, kejadian ini biasa muncul pada anak dengan usia 5 hingga 8 tahun. Preeklamsia menjadi faktor risiko 9 penyakit kardiovaskular bagi ibu dimasa yang akan datang (Plaat dan Krishnacetty, 2014). Eklamsia yaitu konvulsi yang terjadi pada pasien dengan preeklamsia (AGCCU, 2003), timbulnya kejang pada penderita preeklamsia yang disebabkan bukan karena kelainan neurologik yang kebetulan diderita seperti epilepsi. Hampir semua eklamsia timbul dalam 24 jam sekitar persalinan, namun pada kasus tertentu dapat timbul sampai 10 hari postpartum (Dipiro et al., 2009). Preeklamsia superimpose pada hipertensi kronik hipertensi dengan simptom preeklamsia, sebelum 20 minggu kehamilan, pada wanita dengan penyakit hipertensi vaskuler kronik atau penyakit ginjal (Plaat dan Krishnacetty, 2014). Tabel I. Gejala dan Keterlibatan Sistem pada Severe-Preeklamsia (Plaat dan Krishnacetty, 2014) Gejala Haematologi Biokimia (Ginjal dan Hati) Sakit kepala Trombositopenia Urea, kreatinin, potassium Pandangan kabur Altered koagulasi HELLP (Haemolysis, Low Platelet, Elevated Liver Enzymes) Meningkatnya urat serum Nyeri pada abdominal Gemetar pada tangan dan kaki sodium, Proteinuria Albumin rendah Glukosa rendah AST > 32 u/L dan ALT > 35 u/L Bilirubin > 1,2 mg/dL Keterangan: AST= Aspartate Transaminase, ALT= Alanin Transaminase 10 3) Hipertensi gestasional Meningkatnya tekanan darah setelah 20 minggu kehamilan yaitu > 140/90 mmHg, tidak ditandai dengan adanya proteinuria atau gejala sistemik lainnya, dan biasanya akan normal kembali setelah kelahiran (Plaat dan Krishnacetty, 2014). Hipertensi ini jika tidak ditangani dengan baik dapat berkembang menjadi preeklamsia yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin (Sibai, 2010). Hipertensi selama kehamilan secara umum berdasarkan tekanan darah, dibagi atas 3 kategori, dapat dilihat pada Tabel II. Tabel II. Kategori Hipertensi pada Wanita Selama Kehamilan (ACOG, 2011) No 1. 2. 3. 2. Hipertensi selama kehamilan Mild hipertensi: 140-149/90-99 mmHg Moderate hipertensi: 150-159/100-109 mmHg Severe hipertensi: >160/>110 mmHg Epidemiologi Setiap tahun hipertensi telah membunuh sekitar 9,4 juta jiwa penduduk di dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan hipertensi juga akan meningkat seiring dengan jumlah pertambahan penduduk. WHO juga memperkirakan tahun 2025 sekitar 29%, hipertensi akan menyerang penduduk di dunia. WHO menyebutkan sebesar 40% penduduk negara berkembang di dunia mengalami hipertensi, sedangkan di negara maju sekitar 35% (WHO, 2013). Asia tenggara dipersentasekan sekitar 36% penduduk mengalami 11 hipertensi, sekitar 1,5 juta jiwa meninggal setiap tahunnya, sehingga bisa dikatakan satu dari tiga orang di Indonesia mengalami hipertensi (WHO, 2013). Angka kejadian hipertensi di dunia bervariasi antara 4-9% dari seluruh kehamilan, jika dibandingkan dengan angka kematian ibu. Sekitar 8% pada semua kehamilan komplikasi yang paling sering adalah hipertensi dan dapat diperkirakan 192 ibu hamil meninggal setiap hari karena komplikasi kehamilan yang disebabkan hipertensi (Folic et al., 2008). Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia 7,5 kali lebih besar dibanding AKI di Malaysia, 10 kali lebih besar dibanding dengan AKI di Singapura (WHO, 2013). Menurut WHO tahun 2008, di negara maju angka kejadian preeklampsia berkisar antara 5-6% dan eklampsia 0,1-0,7%. Angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di seluruh dunia adalah 6-8% di antara seluruh wanita hamil. Preeklamsia dan eklamsia merupakan penyebab utama terjadinya morbiditas dan mortalitas kehamilan di dunia. Diperkirakan sekitar 14% kematian materna berhubungan preeklamsia (Anand, 2014). Preeklamsia dan eklamsia menduduki peringkat kedua setelah hemoraghi spesifik penyebab kematian materna (ACOG, 2013). Hipertensi gestasional, kejadian pada wanita primigravida sekitar 6-17% dan kejadian untuk wanita multigravida sekitar 2-4 % (Sibai, 2010). Berdasarkan laporan rutin program kesehatan dinas kesehatan provinsi tahun 2010, 2 penyebab terbesar kematian ibu melahirkan yaitu pendarahan (32%) dan hipertensi dalam kehamilan 25% (Depkes, 2010). 12 Berdasarkan Riskesda tahun 2007, provinsi Yogyakarta masuk dalam 5 provinsi dengan kasus hipertensi kehamilan terbanyak (35,8%). 3. Etiologi Sampai saat ini, penyebab yang pasti tentang hipertensi selama kehamilan belum diketahui. Ada banyak teori yang mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut. Adapun teori tersebut antara lain: peran prostasiklin dan tromboksan, peran faktor imunologis, peran faktor genetik. Kebanyakan teori belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Ternyata tidak hanya satu faktor melainkan banyak faktor penyebab yang sukar ditentukan mana yang sebab dan mana yang akibat (Rubin, 1996). Penyebab preeklamsia sendiri juga belum diketahui secara pasti. Ada beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan preeklamsia. Tabel III. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Terjadinya Preeklamsia (Plaat dan Krishnacetty, 2014) Faktor Kehamilan Faktor Materna Faktor Paterna Kehamilan pertama Nullipara Histori preeklamsia onset dini pada kehamilan sebelumnya < 34 minggu Kehamilan ganda atau kembar Inseminasi donor Multiparietas Usia >35 tahun dan <20 tahun Riwayat keluarga preeklamsia Diabetes, obesitas, hipertensi kronik, kelainan renal Riwayat HELLP Kehamilan molar Abnormalitas pada kromosom sindrome 13 4. Patofisiologi Vasospasme merupakan dasar patofisiologi pada hipertensi kehamilan. Vasospasme atau kontriksi vaskuler meningkatkan resistensi aliran darah dan menyebabkan timbulnya hipertensi arterial. Vasospasme sendiri akan menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah, lebih lanjut angiostensin II mempunyai aksi langsung terhadap endotel sehingga menyebabkan kontraksi. Hal ini menyebabkan kerusakan atau kebocoran endotel, sehingga komponen darah seperti platelet dan fibrinogen akan masuk ke subendotelial. Perubahan ini bersama dengan hipoksia jaringan, akan menyebabkan pendarahan atau gangguan berbagai organ (Cunningham, 2005). Patofisiologi preeklamsia sendiri dibagi menjadi 2 tahap yaitu perubahan perfusi plasenta dan sindrome materna. Tahap pertama terjadi selama 20 minggu kehamilan. Fase ini terjadi perubahan abnormal remodelling dinding arteri spiralis. Abnormalitas dimulai saat perkembangan plasenta, diikuti produksi substansi yang jika mencapai sirkulasi materna menyebabkan terjadi sindrom materna. Tahap ini merupakan tahap kedua atau disebut fase sistemik. Fase ini merupakan fase klinis preeklamsia dengan elemen pokok respon inflamsi sistemik materna dan disfungsi endotel. Tahap sindrom materna dikarakteristik dengan terjadinya penurunan perfusi dan adanya aktivasi koagulasi cascade dengan formasi mikrotrombi dan kerusakan organ (Plaat dan Krishnacetty, 2014). 14 5. Pengobatan Beberapa obat antihipertensi aman dan efektif baik untuk hipertensi selama kehamilan. Tujuan terapi untuk melindungi ibu dari malapetaka seperti pendarahan intraserebral. Kesulitan dalam meresepkan obat akan berpengaruh terhadap janinnya, proses melahirkan janin yang selanjutnya dapat bertahan hidup dan memulihkan kesehatan ibu secara total. Penggunaan obat antihipertensi pada wanita hamil ditujukan untuk mencegah masalah serebrovaskular (Sibai et al., 2005). Pengobatan hipertensi harus mempertimbangkan risiko pada ibu dan bayi. Obat antihipertensi dapat menembus dan melewati plasenta dengan berbagai konsentrasi pada sirkulasi fetal. Hal ini dapat dibuktikan dengan terjadinya small for gestasional age (SGA) pada fetal dan terjadinya pengurangan berat badan ketika lahir pada ibu yang mengonsumsi antihipertensi dengan tekanan dar et al., 2008). Selama trisemester pertama, obat dapat menyebabkan bayi cacat lahir (teratogenesis), dengan risiko terbesar adalah kehamilan 3-8 minggu. Selama semester kedua, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan secara fungsional pada janin atau dapat meracuni plasenta. Obat yang teratogenik dapat merusak janin dalam pertumbuhan, maka penggunaan obat pada wanita hamil perlu hati-hati (Depkes, 2010). 15 Hipertensi selama kehamilan dikategorikan menjadi 2 yaitu severe 6 materna dan mild to moderate hipertensi (dari 140/90 mmmHg sampai 159/109 mmHg). Masih sering terjadi kontraversi kapan penggunaan antihipertensi dan pada level berapa tekanan darah yang ditarget selama kehamilan. Secara umum dari beberapa rekomendasi salah satunya dari ACOG (2013) penggunaan 110-140/80-90 mmHg (Folic et al., 2008). Parenteral hidralazin dan labetolol serta short acting nifedipin oral merupakan obat-obatan yang banyak diresepkan untuk mengontrol severe hipertensi (Sibai et al., 2005). a. Alfa 2 agonis adrenergik Metildopa merupakan obat yang sering kali diresepkan dan menjadi lini pertama pengobatan hipertensi kehamilan (Folic et al., 2008). Awalnya obat ini merupakan drug of choice untuk mengotrol hipertensi kronik dan mild-moderate hipertensi selama kehamilan, tetapi seiring dengan banyaknya penelitian, kasus ini dapat dikontrol dengan penggunaan labetolol (Anand, 2014). Beberapa penelitian menunjukan, ibu yang menerima metildopa selama kehamilan dinyatakan aman untuk fetal maupun materna. Metildopa tidak mempunyai efek pada kardiak output atau aliran darah ke uterus atau ke ginjal serta tidak merubah kecepatan jantung fetal selama pengobatan. Dosis yang dianjurkan untuk 16 pengobatan antihipertensi selama kehamilan adalah 250 mg- 3g tiap hari (Folic et al., 2008). Metildopa merupakan antihipertensi dengan kategori kehamilan B dalam FDA. Obat ini juga memiliki profil keamanan yang lebih baik dibanding obat antihipertensi lainnya, tetapi untuk saat ini penggunaan labetolol lebih sering karena faktor lebih efisien dan memiliki efek samping yang lebih ringan (Anand, 2014). Metildopa juga aman dalam mengontrol tekanan darah hipertensi preeklamsia. Secara klinik dapat menurunkan tekanan darah arteri secara signifikan, selain itu tidak memberikan efek terjadinya kekurangan berat badan lahir pada bayi, komplikasi pada bayi dan perkembangan bayi pada satu tahun pertama (Folic et al., 2008). b. Antagonis reseptor adrenergik Labetolol memiliki mekanisme aksi dengan cara mengeblok alfa dan beta adrenoreseptor dan mempunyai efek hipotensi tanpa mempengaruhi kardiovaskuler materna serta aliran darah ke ginjal. Penggunaan labetolol pada mild to moderate hipertensi secara signifikan mengurangi tekanan darah materna tanpa meningkatkan intrauterin dan neonatal hipoglisaemia (Folic et al., 2008). Labetolol merupakan obat antihipertensi lini kedua untuk mengatasi hipertensi akut selama kehamilan, tetapi akhir akhir ini banyak digunakan mengobati hipertensi kronik selama kehamilan. Obat 17 diklasifikasikan kategori kehamilan C dalam FDA (Anand, 2014). Dosis untuk terapi hipertensi selama kehamilan adalah 200 1600 mg dalam dosis bagi secara peroral (Plaat dan Krishnacetty, 2014). c. Antagonis chanel kalsium Antagonis kalsium dapat menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh arteri dengan menghambat kalsium masuk pada otot polos. Calcium channel blocker mempunyai aksi dengan cara mengeblok tipe-L dari kalsium chanel kemudian mengurangi terjadinya influk sehingga menyebabkan vasodilatasi arterial dan menurunkan resistensi peripheral dan akhirnya mengurangi tekanan darah (Anand, 2014). Beberapa obat dalam golongan ini telah banyak digunakan selama kehamilan karena tidak menyebabkan efek teratogenik (Folic et al., 2008). Nifedipin dan verapamil sudah terbukti keamanan dan efikasi digunakan selama kehamilan. Beberapa studi menunjukan keduanya tidak memberi efek teratogenik penggunaan pada trisemester pertama. Pemberian nifedipin pada severe hipertensi secara signifikan dapat menurunkan tekanan darah dan mengurangi jumlah rawat inap maternal di rumah sakit (Folic et al., 2008). Nifedipin juga secara luas digunakan pada pengobatan akut hipertensi kehamilan. Nifedipin termasuk kategori C dalam kehamilan. Penggunaan nifedipin pada severe hipertensi biasa 18 digunakan dosis 10 mg secara peroral dengan frekuensi tiga sehari (Anand, 2014). d. Vasodilator Hidralazin secara oral secara luas digunakan pada hipertensi kronik baik pada semua trisemester tetapi penggunaan ini bukan yang pertama, beberapa studi penggunaan hidralazin tidak memberi efek teratogenik. Hidralazin intravena dapat digunakan pada severe hipertensi seperti labetolol secara parenteral dan nifedipin oral (Folic et al., 2008). Hidralazin sebagai lini pertama pada severe hipertensi. Aksi obat ini menyebakan vasodilatasi peripheral, hidralazin mengaktifkan potasium chanel menyebabkan efluk potasium sehinga menurunkan potasium yang akan mencegah kontriksi otot polos. Obat ini termasuk dalam kategori C dalam kehamilan (Anand, 2014). Dosis yang digunakan untuk terapi hipertensi pada kehamilan diawali dengan 5 mg secara intravena bolus dilanjutkan dengan 5 mg tiap hari (Plaat dan Krishnacetty, 2014). 19 Tabel IV. Beberapa Macam Obat dalam Terapi Antihipertensi Selama Kehamilan (Ther, 2013) Medication Efek materna Hidralazin samping Efek samping fetal dan neonatal Kontraindikasi Mual,muntah, hipotensi, takikardi, sakit kepala, palpitasi Trombositopenia neonatal Hipersensitif hidrazin Labetolol Hipotensi, sakit kapala, takikardi Bradikardia, neonatal Metildopa Mulut mual Nikardepin Sakit kepala, takikardi, mual Hipotensi pada neonatal Stenosis aorta, gagal jantung, hipersensitif nikardipin Nifedipin Takikardi, mual. Hipotensi pada neonatal Hipersensitif nifedipin, penggunaan CYP3A4 inducer, gagal jantung, kerusakan hati. pada hipotensi kering, pada Gagal jantung kongesti, kerusakan miokardia, penderita ashma Kerusakan hati, hindari pada wanita yang depresi, CHF Congestive Heart Failure) F. Keterangan Empiris Peneliti ingin melihat pola pengobatan hipertensi pada kehamilan dan clinical outcome. Ada beberapa faktor risiko yang mungkin berpengaruh terhadap hipertensi selama kehamilan yaitu usia ibu, indek massa tubuh (IMT), usia kehamilan, gravida (kehamilan) dan riwayat kehamilan sebelumnya. Pengobatan hipertensi pada wanita hamil perlu perhatian khusus baik efikasi, keamanan dan efek samping dalam pengobatan. Melalui penelitian ini diharapkan dapat melihat keberhasilan terapi, dan ketepatan pola penggunaan obat akan dikaji kesesuaiannya dengan standar pelayanan 20 medik dan guideline ACOG serta sehingga dapat diketahui kondisi akhir pasien yang meliputi tekanan darah, proteinuria, dan edema.