6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Beras Beras adalah biji-bijian (serealia) dari famili rumput-rumputan (gramine) yang kaya akan karbohidrat sehingga menjadi makanan pokok manusia, pakan ternak dan industri yang mempergunakan karbohidrat sebagai bahan baku. Beras merupakan salah satu makanan pokok. Beras bisa rusak selama penyimpanan disebabkan beberapa hal, diantaranya adalah kerusakan mikrobiologis selama penyimpanan disebabkan oleh kapang, selain itu yang paling banyak merusak beras adalah jenis Sitophilus sp. Oleh karena itu penyimpanan beras harus dilakukan dengan baik untuk melindungi beras dari pengaruh cuaca dan hama, mencegah atau menghambat perubahan mutu dan nilai gizi. (Dianti, 2010). Beras Giling (Milled Rice) adalah proses pengelupasan lapisan kulit ari sehingga didapat biji beras yang putih bersih. Biji beras yang putih bersih ini sebagian besar terdiri dari pati. Beras "giling" berwarna putih agak transparan karena hanya memiliki sedikit aleuron dan kandungan amilosa umumnya sekitar 20%. Beras putih diperoleh dari hasil penggilingan karena telah terbebas dari bagian dedaknya yang berwarna coklat. Kandungan nutrisi beras merupakan sumber karbohidrat utama di dunia. Karbohidrat merupakan penyusun terbanyak dari serealia. Karbohidrat tersebut terdiri dari pati (bagian utama), pentosan, selulosa, hemiselulosa dan gula bebas Di dalam beras pecah kulit terkandung 85-95 % pati, 2-2,5 % pentosan dan 0,6-1,1 % gula (Dianti, 2010). Sifat pati dalam beras sangat berpengaruh terhadap rasa nasi. Pati beras terdiri dari molekul-molekul besar yang tersusun atau dirangkai dari unit-unit gula sederhana berupa glukosa. Kalau rangkaiannya lurus disebut amilosa dan kalau rangkaiannya bercabang disebut amilopektin. Rasio amilosa/amilopektin dapat menentukan tekstur, pera tidaknya nasi, cepat tidaknya mengeras serta lekat tidaknya nasi. Rasio amilosa/amilopektin 6 7 tersebut dapat pula dinyatakan sebagai kadar amilosa saja (Koswara, 2009). Kandungan amilosa yang terdapat pada beras, berkorelasi negatif dengan tekstur nasi. Beras dengan kadar amilosa rendah akan menghasilkan nasi yang pulen, lengket, enak, dan mengkilat. Beras dengan kadar amilosa sedang akan menghasilkan nasi yang bersifat empuk walaupun dibiarkan beberapa jam, sedangkan beras yang berkadar amilosa tinggi akan pera dan berberai (Askanovi, 2011). Tabel 2.1 Komposisi Kimia Beras Pecah Kulit (PK) dan Beras Sosoh (BS) Komposisi Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Gula (g) Abu (g) Kalsium (mg) Magnesium (mg) Phosphorus (mg) Iron (mg) Thiamin (mg) Niacin (mg) Asam pantotenat (mg) Beras PK 7,50 2,68 76,17 1,90 1,27 33,00 143,00 264,00 1,80 0,41 4,30 1,49 Beras Sosoh 6,61 0,58 79,34 0,20 0,58 9,00 35,00 108,00 0,80 0,07 1,60 1,34 Sumber: USDA, 2010 2. Diversifikasi Pangan Diversifikasi pangan adalah upaya penganekaragaman pola konsumsi pangan masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk (Almatsier 2001). Program diversifikasi pangan meliputi kegiatan pemanfaatan sumber daya alam hayati yang ada di Indonesia serta upaya promosi kepada masyarakat untuk mengonsumsi makanan yang beragam. Masalah utama diversifikasi pangan di Indonesia terutama diversifikasi makanan pokok adalah ketergantungan masyarakat terhadap beras (Widara, 2012). Diversifikasi konsumsi pangan menurut Peraturan Pemerintah RI No 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan Pasal 1 ayat 9 dijabarkan 8 sebagai upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (Widara, 2012). Hasil penelitian Martianto et al. (2009) mengenai percepatan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal menunjukkan bahwa perspektif diversifikasi pangan terdiri dari diversifikasi semua jenis pangan dan diversifikasi pangan pokok. Salah satu kendala pada diversifikasi pangan adalah tingginya konsumsi beras. Adanya perkembangan teknologi pangan dapat membantu upaya diversifikasi dengan cara mengolah bahan-bahan sumber karbohidrat menjadi produk yang diterima masyarakat. Salah satu bentuk olahan dari bahan tersebut adalah beras analog. Karakteristik beras analog ini diharapkan dapat lebih diterima masyarakat karena memiliki bentuk dan rasa yang menyerupai beras sehingga masyarakat tidak perlu mengubah pola makannya karena cara konsumsi beras analog sama seperti beras yang berasal dari padi (Widara, 2012). Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2013), rata-rata konsumsi beras di Indonesia mencapai 130 kilogram per kapita per tahun atau lebih dari dua kali lipat konsumsi rata-rata dunia, dimana rata-rata konsumsi beras dunia hanya 60 kilogram per kapita per tahun. Tingginya tingkat konsumsi beras di Indonesia selain pola konsumsi masyarakat yang sulit berubah dari beras ke bahan pangan lain. Hal tersebut disebabkan oleh faktor sosial antara lain masyarakat menganggap mengonsumsi sumber beras termasuk dari status sosial dan hanya akan mengonsumsi sumber karbohidrat lain (gaplek atau tiwul) jika jumlahnya terbatas atau tidak mampu membeli beras (Widara, 2012). Upaya penerapan diversifikasi pangan pokok di Indonesia berfokus pada pengurangan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi sumber karbohidrat lokal seperti jagung, sagu, sorgum dan umbi-umbian. Namun masyarakat masih belum terbiasa mengonsumsi makanan tersebut bersama lauk karena makanan tersebut biasa dimakan sebagai kudapan saja. Oleh karena itu, upaya lebih lanjut diperlukan untuk menarik minat masyarakat terhadap makanan tersebut dengan mengolahnya menjadi makanan yang 9 dapat diterima masyarakat. Salah satu upaya yang dapat menjadi solusi masalah tersebut adalah pengoptimalan pengembangan teknologi pangan (Widara, 2012). 3. Beras Analog Beras analog atau beras tiruan merupakan beras yang terbuat dari bahan-bahan seperti umbi-umbian dan serealia yang bentuk maupun komposisi gizinya mirip dengan beras (Samad, 2003). Pengembangan beras analog sangat penting sebagai bentuk diversifikasi bahan pangan yang merupakan makanan pokok bangsa Indonesia. Beras analog dengan sifat fungsional khusus memiliki prospek yang sangat baik, seperti produk beras analog yang kaya serat dapat bermanfaat untuk mengurangi kolesterol, mencegah obesitas atau untuk penderita diabetes yang perlu mengkonsumsi karbohidrat rendah kalori (Budijanto & Yuliyanti, 2012) dan beras analog yang diperkaya dengan protein dapat bermanfaat untuk mengurangi defisiensi protein (Kato, 2006; Ichikawa & Chiharu, 2007) (Agusman. 2014). Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan (artificial rice). Beras analog merupakan beras tiruan yang berbentuk seperti beras, dapat dibuat dari tepung non beras dengan penambahan air. Beras analog dikonsumsi seperti layaknya makan nasi dari beras padi. Beras analog dapat dirancang sehingga semiliki kandungan gizi hampir sama bahkan melebihi beras padi, dan juga dapat memiliki sifat fungsional sesuai dengan bahan baku yang digunakan (Noviasari, 2013). Beras analog merupakan produk mirip beras yang dibuat dari sumber karbohidrat selain padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras. Beras analog terbuat dari bahan baku antara lain 50-98% bahan yang mengandung pati atau turunannya, 2-45% bahan yang dapat memperkaya beras analog, dan 0,1-10% hidrokoloid (Sari, 2014). Metode pembuatan beras analog terdiri atas dua cara yaitu metode granulasi dan ekstrusi. Perbedaan pada kedua metode ini adalah tahapan gelatinisasi adonan dan tahap pencetakkan. Hasil cetakan metode granulasi 10 adalah butiran sedangkan hasil cetakan metode ekstrusi adalah bulat lonjong dan sudah lebih menyerupai beras (Noviasari, 2013). Beras analog dapat diproduksi dengan menggunakan teknologi ekstrusi yang telah banyak digunakan dalam memproduksi berbagai produk pangan. Penerapan teknologi ekstrusi memudahkan dalam pembuatan beras analog, karena paling efektif dari segi proses dan dapat menghasilkan beras analog yang menyerupai butir beras. Prinsip ekstrusi adalah proses pengolahan bahan pangan yang mengkombinasikan beberapa proses yang berkesinambungan antara lain pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi, pengadonan, shearing, dan pembentukan hasil ekstrusi. Beras analog dikeringkan sampai kadar air 4-15% untuk mencapai kadar air optimal sehingga dapat meningkatkan umur simpan (Noviasari, 2013). 4. Pembuatan Beras Analog a. Bahan Pembuatan Beras Analog Jagung (Zea mays L.) merupakan biji-bijian yang tergolong dalam jenis tanaman serealia. Serealia merupakan biji-bijian dari famili rumput-rumputan (gramine) yang kaya akan karbohidrat sehingga dapat menjadi makanan pokok manusia, pakan ternak, dan industri yang menggunakan karbohidrat sebagai bahan baku (Muchtadi, 2010). Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa dan amilopektin. Persentase kandungan amilosa dan amilopektin pada pati jagung sebesar amilosa 27% dan amilopektin 73% (Gardjito, 2011). Suhu gelatinisasi pati jagung berkisar 62 – 70°C. Karbohidrat merupakan komponen yang paling banyak terdapat dalam biji jagung. Karbohidrat jagung terutama berupa pati. Pati mengandung dua macam molekul yaitu amilosa dan amilopektin. Karbohidrat jagung selain pati yaitu gula, pentosan dan serat kasar. Total gula pada biji jagung 1,0 – 3,0 persen. Sukrosa merupakan 11 bagian terbesar dari komponen gula, sedangkan glukosa, fruktosa dan rafinosa hanya terdapat dalam jumlah kecil (Koswara, 2009). Tabel 2.2 Komposisi Kimia Tepung Jagung Komponen Persentase (%)** Air 10,9*** Protein 7,89 Lemak 4,6**** Karbohidrat 75,89-79,98* Abu 1,05 Sumber: Gardjito (2011)*, Suarni (2005)**, Koswara (2009)***, Dewi (2012)**** Protein jagung berkisar antara 8-11% yang terdiri atas lima fraksi, yaitu albumin, globulin, prolamin, glutenin, dan nitrogen non protein (Suarni, 2002). Jagung memiliki asam amino yang lengkap namun rendah kandungannya, selain itu jagung juga kekurangan asam amino triptofan yaitu hanya sebesar 0,6%. Jagung juga memiliki asam amino pembatas yaitu lisin. Asam amino pembatas adalah asam amino yang sangat kurang terkandung dalam suatu bahan pangan (Azizah, 2013) Mocaf merupakan produk turunan dari tepung singkong yang menggunakan prinsip modifikasi sel singkong secara fermentasi (Subagio, 2006). Mocaf adalah salah satu bahan pangan lokal yang kaya karbohidrat sehingga dapat dijadikan bahan pangan alternatif yang dapat dikembangkan dalam upaya diversifikasi pangan. Dewi (2012) telah memanfaatkan mocaf sebagai bahan dasar pembuatan beras analog dengan teknologi ekstrusi (Agusman, 2014). Kata mocaf adalah singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung singkong yang dimodifikasi. Secara definitif, mocaf adalah produk tepung dari singkong (Manihot esculenta Crantz) yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikroba BAL (Bakteri Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini. Mikroba yang tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat 12 menghancurkan dinding sel singkong, sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-asam organik, terutama asam laktat (Subagio, 2008). Secara teknis, cara pengolahan mocaf sangat sederhana, mirip dengan pengolahan tepung ubi kayu biasa, namun disertai dengan proses fermentasi. Ubi kayu dibuang kulitnya, dikerok lendirnya, dan dicuci bersih, kemudian dilakukan pengecilan ukuran ubi kayu dilanjutkan dengan tahap fermentasi selama 12-72 jam. Setelah fermentasi, ubi kayu tersebut dikeringkan kemudian ditepungkan sehingga dihasilkan produk tepung ubi kayu termodifikasi (Subagio, 2008). Tabel 2.3 Komposisi Kimia Mocaf dan Tepung Singkong Parameter MOCAF Tepung Singkong Kadar air (%) Max. 13 Max. 13 Kadar protein (%) Max. 1,0 Max. 1,2 Kadar abu (%) Max. 0,2 Max. 0,2 Kadar pati (%) 85-87 82-85 Kadar serat (%) 1,9-3,4 1,0-4,2 Kadar lemak (%) 0,4-0,8 0,4-0,8 Kadar HCN (mg/kg) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Sumber: Subagio, 2008 Pada Tabel 2.2 diketahui komposisi kimia dari tepung mocaf dan tepung singkong tidak jauh berbeda. Kandungan protein mocaf lebih rendah dibandingkan tepung ubi kayu, dimana senyawa ini dapat menyebabkan warna coklat ketika pengeringan atau pemansan. Dampaknya adalah warna mocaf yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung ubi kayu biasa (seperti Tabel 2.3). 13 Tabel 2.4 Perbedaan Sifat Fisik Mocaf dengan Tepung Singkong Parameter MOCAF Tepung Singkong Besar Butiran (mesh) Max. 80 Max. 80 Derajat Keputihan (%) 88-91 85-87 Kekentalan (mPa.s) 52-55 (2% 20-40 (2% pasta pasta panas) panas) 75-77 (2% 30-50 (2% pasta pasta dingin) dingin) Sumber: Subagio, 2008 Perbedaan sifat organoleptik mocaf dengan tepung singkong tertera pada tabel 2.4. Mocaf menghasilkan aroma dan cita rasa khas yang menutupi aroma dan cita rasa singkong yang cenderung tidak menyenangkan konsumen apabila bahan tersebut diolah. Hal ini karena hidrolisis granula pati menghasilkan monosakarida sebagai bahan baku penghasil asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan (Subagio, 2008). Tabel 2.5 Perbedaan Sifat Fisik Mocaf dengan Tepung Singkong Parameter MOCAF Tepung Singkong Warna Putih Putih agak kecoklatan Aroma Netral Kesan singkong Rasa Netral Kesan singkong Sumber: Subagio, 2008 Salah satu tanaman buah yang saat ini sedang populer di masyarakat adalah buah naga. Buah naga yang populer di Indonesia memiliki dua varian, yaitu buah naga merah dengan daging buah berwarna merah (Hylocereus polyrhizus) dan buah naga putih dengan daging buah berwarna putih (Hylocereus undatus). Buah naga merah memiliki kemampuan anti radikal yang lebih tinggi dibandingkan buah naga putih (Wisesa, 2014). Buah naga termasuk dalam buah yang eksotik karena penampilannya yang menarik, rasanya asam manis menyegarkan dan memiliki beragam manfaat untuk kesehatan (Sutomo, 2007). Manfaat buah naga menurut Marhazlina (2008) dalam penelitiannya adalah sebagai anti-hiperkolesterolemik, sedangkan Pedreño dan 14 Escribano (2001) menyatakan bahwa buah naga berpotensi sebagai anti radikal bebas karena mengandung betasianin (Wahyuni, 2011). Buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) atau kadang-kadang disebut pitaya merah telah diteliti secara komprehensif untuk potensi antioksidan terutama polifenol dan betasianin. Betasianin merupakan pigmen yang bertanggung jawab untuk warna merah ungu dari buah. Betasianin sangat sensitif terhadap suhu tinggi. Telah ditemukan bahwa hampir 90% dari retensi pigmen berkurang seiring dengan meningkatnya suhu dari 250C ke 750C (Ramli, 2014). Tabel 2.6 Kandungan Gizi Buah Naga Merah Zat Kandungan Gizi Air 82,5 – 83 g Protein 0,159 – 0,229 g Lemak 0,21 – 0,61 g Serat Kasar 0,7 – 0,9 g Karoten 0,005 – 0,012 g Kalsium 6,3 -8,8 g Fosfor 30,2 -36,1 g Iron 0,55 – 0,65 g Vitamin B1 0,028 – 0,043 g Vitamin B2 0,043 – 0,045 g Vitamin B3 0,297 – 0,43 g Vitamin C 8–9g Thiamine 0,28 – 0,030 g Riboflavin 0,043 – 0,044 g Niacin 1,297 – 1,300 g Abu 0,28 g Lain-lain 0,54 – 0,68 Sumber: Taiwan Food Industry Develop & Research Authoritis dalam Panjuantiningrum (2009) Hylocereus polyrhizus atau buah naga merah adalah anggota dari keluarga Cactaceae dari subfamili "Cactoidea" (Raveh et al., 1993) dengan warna merah daging berwarna ungu dan biji hitam. Lapisan merah buah memiliki sumber yang kaya vitamin misalnya, B1, B2, B3, dan C, mineral misalnya kalium, natrium, kalsium, besi, dan fosfor, dan zat gizi misalnya lemak, protein, karbohidrat, flavonoid, serat kasar, thiamin, phytoalbumin, niacin, pyridoxine, 15 kobalamin, glukosa, betacyanin, fenolik, karoten, dan polifenol (Le Bellec et al., 2006). Betacyanin merupakan komponen utama (95%) dari pigmen merah dalam ekstrak. Selain itu, kulit buah naga termasuk betacyanin yang dapat membuat kontribusi untuk menghasilkan produk kecantikan dan kesehatan (Ding et al., 2009). Menurut Cai et al, (2005), Hoa et al, (2006), dan Strack et al, (2003), dalam keluarga Caryophyllales, betalain ditempatkan di kelompok yang sama dengan pigmen antosianin (Minh, 2014). Gliserol Monostearat (GMS) adalah surfaktan non-ionik yang banyak digunakan oleh industri stabilizer dan emulsifier. Nama IUPAC bagi senyawa ini adalah 2,4-dihidroksipropil oktadekanoat dan dikenal dengan nama lain gliserin monostearat atau monostearin. Senyawa ini secara alami terdapat dalam tubuh manusia dan produk berlemak. Salah satu bahan baku pembuatan GMS adalah asam lemak yang berasal dari minyak sawit. Surfaktan non-ionik adalah suatu zat amfifil yang molekulnya terdiri dari 2 bagian, hidrofil dan lipofil. Zat ini bila dilarutkan dalam air tidak memberikan ion. Kelarutannya dalam air disebabkan adanya bagian dari molekul yang mempunyai afinitas terhadap pelarut (Widara, 2012). GMS juga berfungsi sebagai pelumas pada barel ekstrusi sehingga dapat mengurangi panas proses ekstrusi. Pengaruh penambahan GMS terhadap ekstrusi grits jagung yaitu mengurangi WSI (Water Solubility Index) atau indeks kelarutan dalam air, SEC (Specific Energy Consumption), dan expansion (pengembangan produk) tetapi meningkatkan WAI (Water Absorption Index). Fungsi-fungsi tersebut sangat dibutuhkan untuk membuat beras analog yang diproses pada suhu ekstrusi yang tinggi dan menghasilkan produk yang tidak mengembang serta tidak mudah larut dalam air (Widara, 2012). 16 Gambar 2.1 Struktur Gliserol Monostearat (Widara, 2012). Minyak sawit merupakan minyak yang diperoleh dari hasil ekstraksi dari buah kelapa sawit. Minyak sawit secara alami berwarna kemerahan karena mengandung jumlah tinggi betakaroten. Minyak sawit sering dimanfaatkan sebagai minyak goreng yang berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan. Pada pembuatan beras analog, penambahan minyak berfungsi sebagai penambah nilai kalori (Yaningtyas, 2013). Minyak sawit berfungsi sebagai pelumas pada saat ekstrusi sehingga adonan tidak lengket serta memudahkan proses pencetakan adonan. Bila minyak dicampur dengan protein dan pati dapat memperbaiki tekstur dan kenampakan pada waktu pembentukan adonan sehingga mengurangi kelarutan pati pada waktu pemasakan (Puspitasari, 2014). Air berfungsi sebagai bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada di dalam bahan makanan. Air juga berfungsi mengatur suhu adonan, melarutkan bahan-bahan (seperti garam, gula), mendispersikan bahan bukan tepung secara seragam dan memungkinkan pati mengalami gelatinisasi saat pemanasan. Air dianggap sebagai suatu agensia pengeras karena air dapat bergabung dengan protein dalam tepung (Sari, 2014). Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi kenampakan, tekstur, serta cita rasa. Fungsi air dalam pembuatan beras analog yaitu air ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan. Selain itu, air berfungsi sebagai media dalam pencampuran garam dan pengikatan 17 karbohidrat sehingga membentuk adonan yang baik (Yaningtyas, 2013). Air terdiri dari molekul-molekul H2O yang terikat satu sama lain dengan ikatan hidrogen yang bersifat polar. Sifat ini mampu melemahkan ikatan hidrogen bahan lain sehingga mempercepat proses pencampuran dan pembentukan adonan. Daya larut bahan yang melibatkan ikatan hidrogen meningkat dengan meningkatnya suhu (Winarno, 2004). Garam dapur berfungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur dan meningkatkan elastisitas serta mengurangi kelengketan adonan. Selain itu garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga tidak menyebabkan kelengketan dan tidak mengembang secara berlebihan serta penambahan garam dapat meningkatkan gelatinisasi. daya pengembangan Penambahan garam dan menurunkan suhu secara berlebihan akan mempengaruhi produk yang dihasilkan. Dalam pembuatan beras analog, penambahan garam dapur untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas, serta untuk mengikat air. Selain itu, garam dapur dapat meningkatkan daya pengembangan dan menurunkan suhu gelatinisasi (Yaningtyas, 2013). b. Proses Pembuatan Beras Analog Metode pembuatan beras analog terdiri atas dua cara yaitu metode granulasi dan ekstrusi. Perbedaan pada kedua metode ini adalah tahapan gelatinisasi adonan dan tahap pencetakan. Hasil cetakan metode granulasi adalah butiran sedangkan hasil cetakan metode ekstrusi adalah bulat lonjong dan sudah lebih menyerupai beras (Widara, 2012). Hingga saat ini teknologi pembuatan beras analog antara lain metode pembutiran atau granulasi dan metode ekstrusi. Perbedaan metode tersebut menyebabkan perbedaan bentuk akhir produk. Pada pembuatan beras analog menggunakan metode pembutiran beras akan 18 memiliki bentuk bulat seperti sagu mutiara, namun pada metode ekstrusi bentuk produk adalah lonjong dan hampir menyerupai butir beras (Widara, 2012). Pembuatan beras analog yang telah dipatenkan oleh Kurachi (1995) dengan metode granulasi diawali dengan tahap pencampuran tepung, air, dan hidrokoloid sebagai bahan pengikat. Proses pencampuran dilakukan pada suhu 30-80oC sehingga sebagian adonan telah mengalami gelatinisasi (semigelatinisasi). Setelah itu adonan dicetak menggunakan granulator, kemudian dikukus (gelatinisasi) dan dikeringkan (Widara, 2012). Metode pembuatan beras analog oleh Budijanto et al. (2012) dengan cara ekstrusi memiliki sedikit perbedaan dengan metode granulasi yaitu adanya tahap penyangraian dan ekstrusi. Tahap ekstrusi meliputi proses pencampuran, pemanasan (gelatinisasi) dan pencetakan melalui die. Tahap berikutnya adalah ekstrudat dikeringkan menggunakan oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam (Widara, 2012). Beras analog dapat diproduksi dengan menggunakan teknologi ekstrusi yang telah banyak digunakan dalam memproduksi berbagai produk pangan. Penerapan teknologi ekstrusi memudahkan dalam pembuatan beras analog, karena paling efektif dari segi proses dan dapat menghasilkan beras analog yang menyerupai butir beras. Prinsip ekstrusi adalah proses pengolahan bahan pangan yang mengkombinasikan beberapa proses yang berkesinambungan antara lain pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi, pengadonan, shearing, dan pembentukan hasil ekstrusi. Beras analog dikeringkan sampai kadar air 4-15% untuk mencapai kadar air optimal sehingga dapat meningkatkan umur simpan (Noviasari, 2013). Pada tahap ekstrusi adonan dimasukkan ke dalam mesin ekstruder panas dengan twin screw yang secara otomatis akan memotong-motong bahan sehingga menyerupai butiran beras. Di dalam mesin ekstruder panas tersebut, adonan beras analog akan mengalami pemanasan 19 sebanyak 2 kali yaitu untuk pemanasan pertama bahan dipanaskan dengan suhu 80°C dan untuk pemanasan selanjutnya bahan dipanaskan dengan menggunakan suhu 70°C, sehingga butiran beras yang dihasilkan telah mengalami gelatinisasi secara optimal dan menghasilkan butiran beras yang masih basah. Proses degradasi pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil diminimalkan sehingga fungsi beras analog sebagai sumber karbohidrat tetap dapat dipertahankan (Akhiriani, 2014). B. Kerangka Berpikir Budaya masyarakat yang menganggap belum makan jika belum mengonsumsi nasi. Tingginya konsumsi beras di Indonesia dan ketergantungan yang tinggi terhadap beras. Nilai impor beras yang tinggi. Diperlukan adanya pangan alternatif tanpa mengubah budaya masyarakat, namun tetap memenuhi gizi tubuh seperti beras. Mocaf sebagai sumber karbohidrat dan tepung jagung sebagai sumber karbohidrat dan penambah protein yang rendah pada mocaf serta buah naga merah sebagai antioksidan. Beras analog berbasis tepung jagung, mocaf, dan puree buah naga merah Pengkajian karakteristik fisik, kimia, dan organoleptik beras analog berbasis tepung jagung, mocaf, dan puree buah naga merah Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian 20 C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini antara lain: 1. Formulasi antara tepung jagung, mocaf, dan puree buah naga merah akan berpengaruh terhadap tingkat penerimaan konsumen terhadap beras analog yang dihasilkan. 2. Beras analog berbasis tepung jagung, mocaf, dan puree buah naga merah akan mempunyai karakteristik fisik dan kimia menyerupai beras, dan memiliki kandungan antioksidan.