1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuntutan masyarakat terhadap reformasi di pemerintahan semakin
mendesak untuk membentuk Indonesia baru yang bersih dan berbasis kinerja.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka
Panjang
Nasional
2005-2025
telah
mengamanatkan
bahwa
pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk
mendukung keberhasilan pembangunan bidang lainnya.
Sebagai wujud komitmen nasional untuk melakukan reformasi birokrasi,
pemerintah telah menetapkan reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan
menjadi prioritas utama sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2010 – 2014. Makna reformasi birokrasi adalah perubahan besar
dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan Indonesia.
Berkaitan
dengan
proses
tumpang
tindih
antar
fungsi-fungsi
pemerintahan, banyaknya jumlah pegawai dan memerlukan anggaran yang
tidak sedikit. Upaya menata ulang proses birokrasi dari tingkat tertinggi
hingga tingkat terendah dan melakukan terobosan baru dengan langkahlangkah bertahap, konkrit, realistis, sungguh-sungguh, berfikir di luar
kebiasaan/rutinitas yang ada dan perlu didukung dengan upaya yang luar
biasa. Upaya merevisi dan membangun berbagai regulasi, menyesuaikan
1
2
berbagai kebijakan dan praktik manajemen pemerintah pusat dan daerah serta
menyesuaikan tugas fungsi instansi pemerintah dengan paradigma dan peran
baru.
Atas dasar makna tersebut, pelaksanaan reformasi birokrasi diharapkan
dapat: 1
1.
Mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan
kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan;
2.
Menjadikan negara yang memiliki birokrasi yang bersih, mampu dan
melayani;
3.
Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat berupa perumusan
dan pelaksanaan kebijakan/program instansi serta meningkatkan
efisiensi (biaya dan waktu) dalam pelaksanaan semua segi tugas
organisasi;
4.
Menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif dalam
menghadapi globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
Penyediaan pelayanan yang berkualitas merupakan yang harus
dipenuhi oleh setiap penyelenggara negara sesuai tuntutan dan perkembangan
masyarakat.
Pada
dasarnya
bahwa
keberhasilan
pemerintah
dalam
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat merupakan salah satu
indikator penting dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan
pembangunan.
1
http://pmprb.menpan.go.id/pmprb/tentangreformasibirokrasi, 12 Juni 2013 pukul 13.00WIB
3
Reformasi birokrasi dalam
penyelenggaraan
pemerintahan yang
sedang berjalan saat ini menempatkan pelayanan publik sebagai bagian dari
agenda nasional. Berbagai permasalahan yang masih saja menyertai dalam
penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia diantaranya berkenaan dengan
prosedur yang tidak jelas, berbelit-belit, waktu penyelesaiannya yang tidak
menentu, tata cara yang kurang tepat dan biaya-biaya yang tidak transparan
hingga sikap serta perilaku petugas pelayanan yang tidak mengindahkan etika
sebagai “pelayan masyarakat” dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Berbagai upaya perubahan atau reformasi di bidang politik, ekonomi,
sosial budaya serta hukum saat ini ternyata masih belum mampu mendorong
terjadinya reformasi birokrasi secara nyata termasuk didalamnya reformasi
bidang pelayanan publik. Banyak hal ciri-ciri yang mencerminkan lemahnya
birokrasi di Indonesia masih terindikasi, misalnya struktur kelembagaan
pemerintah yang cenderung membesar, rumusan dan pelaksanaan tugas pokok
dan fungsi antar instansi/Badan/Lembaga yang seringkali overlapping,
hubungan kerja yang tidak jelas,
pegawai yang tidak profesional serta
rendahnya kinerja pelayanan publik.
Dalam era reformasi saat ini pelayanan publik menjadi isu kebijakan
yang semakin strategis, mengingat perbaikan pelayanan publik di Indonesia
cenderung “berjalan di tempat”, sedangkan implikasinya sangat luas dalam
aspek ekonomi, politik, sosial budaya dan lain sebagainya.
4
Dalam aspek ekonomi perbaikan pelayanan publik akan bisa
memperbaiki iklim investasi yang sangat diperlukan bangsa ini agar bisa
segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Buruknya pelayanan
publik sering menjadi variabel yang dominan mempengaruhi penurunan
investasi yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Buruknya
pelayanan publik tersebut terlihat dari masih kuatnya perilaku koruptif aparat
pelayanan publik. Untuk itu, maka reformasi birokrasi terutama disektor
pelayanan publik di Indonesia merupakan suatu keharusan.
Berkenaan hal tersebut di atas, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia telah menyusun Road Map Reformasi Birokrasi. Hal ini diperlukan
untuk mendukung visi dan misi Kementerian Kesehatan dalam membentuk
masyarakat sehat mandiri dan berkeadilan agar dapat: 2
1.
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani;
2.
Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya
kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan;
3.
Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan;
4.
Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.
Prioritas dalam perubahan reformasi birokrasi Kementerian Kesehatan
ini ada di Kelembagaan, budaya organisasi, ketatalaksanaan, regulasi, Sumber
Daya Manusia Kesehatan.
2
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/438-visi-dan-misi-depkes-Tahun2010-2014.html,
tanggal 12 Juni 2013 pukul 13.30 WIB.
5
Selanjutnya
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2004
tentang
Perbendaharan Negara, telah membuka koridor baru bagi penerapan basis
kinerja ini di lingkungan pemerintah. Dalam Pasal 68 dan Pasal 69 UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 bahwa instansi pemerintah yang tugas pokok
dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola
pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas,
efisiensi dan efektivitas. Instansi tersebut dikenal dengan istilah Badan
Layanan Umum (BLU). Terkait dengan BLU di bidang kesehatan, Rumah
Sakit milik Kementeriaan Kesehatan yang saat ini berbentuk Badan Layanan
Umum berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1243/MENKES/
SK/VIII/2005 tentang Penetapan 13 eks Rumah Sakit Perusahaan Jawatan
(perjan) menjadi Unit Pelaksana teknis (UPT) Departemen Kesehatan dengan
Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, antara lain
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung, RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, RSUP Dr. Kariadi Semarang, RSUP
Sanglah Denpasar, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSUP
Fatmawati Jakarta, RSUP Persahabatan Jakarta, RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang, RSUP Dr. M. Djamil Padang, RS Jantung dan Pembuluh darah
Harapan Kita Jakarta, RS Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta dan RS
Kanker Dharmais Jakarta.
BLU merupakan instansi pemerintah dan termasuk kekayaan negara
yang tidak dipisahkan memiliki perbedaan dengan instansi pemerintah lainnya
dalam bentuk pengelolaan keuangan. BLU diberikan kewenangan untuk
6
mengelola keuangan sendiri berupa pendapatan atas jasa yang dilakukannya
tanpa perlu disetorkan terlebih dahulu kepada kas negara/daerah. Selain itu
BLU juga dapat melakukan investasi, memberikan piutang dan meminjam
utang serta melakukan pengadaan barang dan jasa sendiri. 3
Bentuk kewenangan lain yang diberikan pada BLU di luar keuangan
adalah BLU diperbolehkan merekrut pegawai non Pegawai negeri Sipil (PNS)
secara tetap maupun kontrak (selain pegawai negeri PNS yang menjadi
pegawai BLU). Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di BLU, proses perekrutan,
pengangkatan dan pemberhentiannya disesuaikan dengan peraturan perundangundangan di bidang kepegawaian. 4
Perekrutan pegawai non PNS ini bukan hanya untuk tingkat pegawai
biasa namun juga pada tingkat pejabat pengelola BLU. Pemimpin dan pejabat
teknis BLU dapat diisi dari tenaga-tenaga professional sesuai kebutuhan BLU
sendiri. 5
Namun dalam praktek hukumnya, hal ini tidak didukung oleh
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, yang menyatakan dalam
Peraturan
Menteri
Per/02/M.PAN/I/2007
3
4
5
Negara
tentang
Pendayagunaan
Pedoman
Aparatur
Organisasi
Negara
Satuan
Nomor
Kerja
di
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Lihat Undnag-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
Pasal 33 PP Nomor 23 Tahun 2005:
1.
Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dan pegawai negeri sipil dan/atau tenaga
professional non-pegawai negeri sipil sesuai dengan kebutuhan BLU.
2.
Syarat pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU yang berasal dan
pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kepegawaian.
7
Lingkungan Instansi Pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PK-BLU) dinyatakan bahwa pengisian tenaga
professional non PNS ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 80
Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
beserta peraturan pelaksananya. Oleh karena itu dalam Keputusan Presiden
Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah dicabut dengan Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 dan telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70
Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah lebih mengenal istilah
tenaga ahli yang diperkerjakan secara kontrak berdasarkan kegiatan yang telah
dianggarkan dalam APBN/APBD dan tidak memungkinkan adanya pegawai
tetap non PNS.
Selain itu ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat
ini juga belum mengatur mengenai hak dan kewajiban pegawai non PNS pada
BLU. Dalam pasal 40 ayat (4) dan pasal 42 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan
layanan Umum Daerah menyatakan bahwa pengangkatan dan pemberhentian
pegawai BLUD yang berasal dari non PNS dilakukan dengan kontrak dalam
jangka waktu tertentu berdasarkan pada prinsip efisiensi, ekonomis dan
produktif dalam meningkatkan pelayanan dan ini celah terjadinya keputusan
pimpinan dalam upaya pemutusan hubungan kerja yang sewenang-wenang atau
penyalahgunaan wewenang dari pihak pemerintah.
Sehubungan dengan Tenaga Kerja, dalam Pasal 27 ayat 2 UndangUndang Dasar 1945 yang berbunyi, ”Bahwa setiap warga negara mempunyai
8
hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusia”. Tenaga kerja
kontrak/tidak tetap adalah pekerja yang bekerja berdasarkan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) yaitu perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja
untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Sedangkan Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) yaitu perjanjian kerja yang menjadi
dasar bagi pekerja tetap.
Tenaga kerja sangat mempengaruhi pada kemajuan perusahaan,
kedudukan tenaga kerja sebagai pelaku pembangunan mempunyai peranan
dalam peningkatan produktifitas serta kesejahtraan perusahaan harus
diberdayakan sehingga satu perusahaan mampu bersaing dalam era globalisasi
dan dalam pembagunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan
kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dalam tujuan pembangunan.
Perjanjian kerja diatur dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. perjanjian kerja sebagai perjanjian
antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang mempunyai
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Atas pengertian tersebut,
maka dapat dijelaskan berapa unsur penting perjanjian kerja yaitu adanya
perbuatan hukum/peristiwa hukum berupa perjanjian, adanya subjek atau
pelaku yakni pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja masing-masing
membagi kepentingan, membuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para
pihak.
Perjanjian kerja menurut Imam Supomo adalah suatu perjanjian,
dimana pihak satu (buruh) menggikatkan diri untuk bekerja dengan menerima
9
upah pada pihak lain (majikan) yang mengikat dirinya untuk mempekerjakan
buruh itu dengan membayar upah. 6
Peristiwa hukum perjanjian merupakan tindakan yang dilakukan oleh
pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja untuk saling mengikatkan diri
dalam suatu hubungan yang bersifat normatif atau saling mengikat. Dalam
berbagai teori ilmu hukum perikatan, perjanjian merupakan bentuk dari
perikatan dimana 2 (dua) pihak mengikatkan diri untuk berbuat, memberikan
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu yang dituangkan dalam suatu
perjanjian baik secara lisan maupun secara tertulis. Perjanjian selalu
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pelaku yang telibat didalamnya.
Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban tersebut dapat berupa
batal terhadap perjanjian tersebut. Bahkan memungkinkan menimbulkan
konsekuensi penggantian kerugian atas segala bentuk kerugian yang timbul
akibat tidak terpenuhinya prestasi yang diperjanjikan.
Perjanjian kerja mengakibatkan hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha/pemberi kerja, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh
buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk
bekerja pada majikan dengan menerima upah. Majikan menyatakan
kesanggupannya untuk memperkerjakan buruh dengan membayar upah. Dalam
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyatakan bahwa: ”hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja
antara pengusaha dan pekerja/buruh”. Dengan demikian tidak ada keterkaitan
6
Lalu Husni SH.Mhum. Pengantar Hukum ketenaga kerjaan Indonesia. Grafindo Persada Mataram 2003
hal 40
10
apapun yang menyangkut pekerjaan antara pekerja dan/atau buruh serta
pengusaha tertentu apabila sebelumnya tidak ada perjanjian yang mengikat
keduanya.
Berdasarkan pasal 1320 KUH perdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan 4 (empat) syarat yaitu:
1. Adanya kesepakatan bagi mereka yang mengikat diri;
2. Adanya kecakapan untuk membuat perikatan;
3. Menyangkut hal yang tertentu;
4. Ada suatu sebab yang halal.
Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subyektif, yaitu syarat yang
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian apabila tidak memenuhi
syarat ini maka perjanjian dapat dibatalkan (Venieteg baarheid) yang artinya
untuk batalnya perjanjian tersebut harus dimintakan pembatalan dari
pengadilan. Syarat 3 dan 4 merupakan syarat objektif maka perjanjian akan
batal (Nieteg baarheid) artinya perjanjian tersebut tidak berlaku sejak
dibuatnya, perjanjian yang tidak pernah ada perjanjian antara pihak-pihak
tersebut.
Pada prinsipnya perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis maupun
lisan. Namun perjanjian kerja sebaiknya dibuat secara tertulis, karena
perjanjian kerja merupakan sebagai bukti otentik.
Dilihat dari segi kontrak, pada umumnya kontrak yang dibuat oleh
pemerintah adalah kontrak standard, yang isi dari kontrak atau perjanjian kerja
pegawai non PNS di BLU pada umumnya adalah perjanjian kerja dengan
11
waktu tertentu. Hal ini menjadi masalah ketika perjanjian kerja itu habis masa
berlakunya dan status kepegawaian dari pegawai dengan waktu tertentu masih
belum jelas sebagai pegawai tetap atau pegawai kontrak dengan masa kontrak
tidak terbatas.
Penulis melakukan penelitian atas hal-hal tersebut di atas, khususnya
praktik yang terjadi di RSUP Persahabatan. Diharapkan hasil penelitian penulis
yang tertuang di dalam tesis ini dapat digunakan oleh semua pihak yang
membutuhkan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah substansi hubungan kerja pada Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) antara RSUP Persahabatan dengan Pegawai Non PNS?
2.
Bagaimanakah dampak positif pelaksanaan PKWT terhadap kedudukan
dan karir Pegawai Non PNS di RSUP Persahabatan?
3.
Bagaimanakah implikasi status Pegawai Non PNS pada RSUP
Persahabatan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara?
12
C. Keaslian Penelitian
Untuk melihat keaslian penelitian telah dilakukan penelusuran
penelitian pada referensi dan hasil penelitian serta dalam media cetak maupun
elektronik. Penelitian yang berkaitan dengam “Dampak Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu terhadap Kedudukan dan Pola Karier Pegawai Non Pegawai
Negeri Sipil pada Badan Layanan Umum (Studi Kasus Perjanjian pada
Sarana pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah : RSUP Persahabatan)” belum
pernah diadakan penelitian oleh peneliti lainnya dan dalam kesempatan ini
penulis akan menulis masalah tersebut. Demikian penelitian ini adalah asli
dan dapat dijadikan penelitian hukum.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini bagi ilmu pengetahuan adalah diharapkan
secara teoritis hasil dari penulisan hukum ini dapat memberikan konstribusi
dan masukan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu
hukum serta menambah kekayaan referensi dalam hukum perdata khususnya
yang berkaitan dengan perjanjian, hukum ketenagakerjaan dan kepegawaian.
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini meliputi 3 (tiga) hal, sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui substansi hubungan kerja terhadap kekuatan
mengikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu bagi Pegawai Non Pegawai
Negeri Sipil, khususnya di RSUP Persahabatan;
13
2.
Untuk mengetahui dampak positif kedudukan dan kekuatan mengikat
dari Perjanjian Kerja Waktu Tertentu bagi Pegawai Non Pegawai
Negeri Sipil di RSUP Persahabatan dilihat dari prinsip perjanjian
sebagaimana dimaksud pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
3.
Untuk mengetahui implikasi status kepegawaian dari Pegawai Non PNS
dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara.
Download