Sambutan PERSETIA pada Persidangan MPL PGI, di Salib Putih, 27

advertisement
Sambutan PERSETIA
pada Persidangan MPL PGI, di Salib Putih, 27 - 31 Januari 2017
Peran dan tanggungjawab gereja untuk mendukung dan mendorong peningkatan mutu
Pendidikan Tinggi Teologi
Pertumbuhan dan pertambahan jumlah sekolah teologi di Indonesia sejak awal abad XXI sangatlah
tidak masuk akal. Pada awal tahun 2017 ini mungkin jumlahnya sudah mendekati 400-an, sementara
jumlah Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia yang tercatat dalam PD DIKTI sekitar 4600-an.
Dari jumlah yang fantastis ini tercermin suatu cara berpikir dan cara bekerja yang
mengutamakan jumlah daripada mutu (quantity over quality). Fakta lapangan memperlihatkan sejumlah
besar program studi (prodi) dari ratusan sekolah tersebut tidak lolos dalam memenuhi kualifikasi
dan standar minimal pelayanan publik di bidang pendidikan yang diperiksa oleh Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Padahal pada Agustus 2019 semua perguruan tinggi, sekolahsekolah teologi tak-terkecuali, harus sudah terakreditasi institusi (AIPT) selain terakreditasi semua
program studi yang diselenggarakannya.
Gereja-gereja mungkin tak berdaya untuk mendampingi dan mendukung sekolah-sekolah
teologi yang didirikan oleh perkumpulan atau perorangan, namun kami ingin mendorong agar sedapat
mungkin gereja-gereja dapat melakukan beberapa hal berikut ini bagi sekolah-sekolah yang diasuhnya
ataupun yang diasuh oleh warga gerejanya.
A. Mempersiapkan tenaga pengajar yang handal dan berkomitmen. Handal dalam arti
telah memiliki kualifikasi akademis yang diakui baik oleh komunitas akademis, gerejawi, maupun
lembaga negara yang berwenang. Berkomitmen berarti memiliki panggilan dan tanggungjawab untuk
mengabdi di dunia akademis seumur hidup. Karena dosen teologi merupakan sebuah jenjang karir
tersendiri yang jalurnya berbeda dengan panggilan kependetaan (baik di jemaat maupun di organisasi
kepemimpinan).
B. Menyediakan fasilitas dan dana yang memadai untuk mendukung sekolah, dosen, dan
mahasiswa teologi mengembangkan penelitian dan pengabdian masyarakat yang
kontekstual. Kedua hal ini sangat penting karena banyak sekolah teologi masih mengabaikan
pengembangan dua hal ini, dan hanya memperhatikan satu hal saja dari Tri-Darma Perguruan
Tinggi.
C. Sekolah-sekolah teologi yang terlalu banyak jumlahnya di republik ini, selain melemahkan
kualitas rata-rata Pendidikan Teologi, juga telah merusak kepercayaan dan penghargaan
masyarakat atas Pendidikan Teologi. Oleh karena itu, gereja-gereja yang memiliki keterbatasan atas
dua hal di atas (mempersiapkan tenaga handal-berkomitmen serta menyediakan fasilitas dan dana
yang memadai), padahal keduanya merupakan standar minimal bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi,
maka sebaiknya menutup sekolah-sekolahnya atau menjalin kerjasama-bergabung dengan
1
beberapa sekolah lain. Penggabungan merupakan salah satu cara untuk mengatasi berbagai
kekurangan yang ada dan menanggulangi bersama beberapa persoalan mendasar (jumlah dosen
menjadi lebih banyak, fasilitas-fasilitas menjadi lebih lengkap, dana dapat diolah lebih baik, dan
seterusnya). Bila hal seperti ini dapat dilakukan, sesungguhnya hal ini sejalan dengan komitmen
keesaan, yaitu saling bekerjasama untuk saling memperkuat satu sama lain.
Arah kerjasama Perguruan Tinggi Teologi dan gereja-gereja
Pada sambutan PERSETIA dalam MPL tahun lalu, telah kami sampaikan akan diberlakukannya
penataan-ulang seluruh rumpun ilmu di Indonesia, tak-terkecuali teologi. Dalam nomenklatur yang
baru, teologi akan memperoleh nama-nama baru, tergantung pada pilihan rumpun keilmuan
yang akan menjadi rumahnya. Sekolah-sekolah yang memilih untuk berada dalam binaan Kementerian
Agama akan berada dalam rumpun ilmu keagamaan, bersama dengan seluruh pendidikan teologi
agama-agama lainnya, akan mendapat nama program studi Ilmu Agama Kristen. Sedangkan
sekolah-sekolah dalam binaan Kementerian Ristekdikti dengan rumpun ilmu humaniora akan memiliki
nama program studi Filsafat Keilahian.
Selain nama, sesungguhnya peraturan umum yang berlaku untuk jenjang pendidikan tinggi
tidak ada lagi perbedaannya di antara sekolah-sekolah dalam binaan Kementerian Agama atau
Kementerian Ristekdiktik. Semua perguruan tinggi dalam binaan kementerian apapun juga harus
terdaftar dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD DIKTI) Kemenristekdikti. Demikian juga
semua dosen harus mengikuti jenjang karir yang diproses oleh DIKTI. Standar pendidikan yang
berlaku secara nasional: Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) dan Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia (KKNI) berlaku bagi semua, tak terkecuali sekolah-sekolah dalam binaan
Kemenag.
Banyak sekolah teologi yang selama ini merasa sudah mendapatkan perlindungan dan rasa
aman dengan berada dalam binaan Ditjen Bimas Kristen (DBK) Kemenag, cepat atau lambat harus
bekerja keras untuk memenuhi sejumlah standar yang berlaku secara nasional ini. Gereja-gereja dapat
mendampingi dan menunjang sekolah-sekolah dengan hal-hal yang sudah kami sampaikan di atas.
Peran Pendidikan Teologi bagi gereja-gereja
Peran Pendidikan Teologi sebagai akal-sehat gereja-gereja menjadi semakin menentukan setelah kita
menyaksikan bahwa tahun 2016 telah menjadi tahun ‘kejayaan’ populisme, arogansi-, dan perilakuberagama-yang-bodoh.
Proctor memperkenalkan sebuah istilah: agnotology1, sebagai sebuah studi atas
penyebarluasan secara sengaja kebodohan (the study of deliberate propagation of ignorance). Dan gagasan
yang menonjol adalah ignorance is power. Studi ini dimulai dari penelitian atas industri rokok yang
1
http://www.bbc.com/future/story/20160105-the-man-who-studies-the-spread-of-ignorance.
2
secara sistematis menekan kampanye hidup sehat; dan setelah penelitian berlanjut terus, maka
ditemukan gejala yang sama terjadi dalam berbagai aspek hidup kemasyarakatan. Yang paling menonjol
sepanjang tahun 2016 pemanfaatan proses dis-informasi dan pembodohan masyarakat dalam
kehidupan politik dan keagamaan melalui media-sosial dan komunitas keagamaan. Semakin masyarakat
dikacaukan dan dibodohi melalui pesan-pesan keagamaan, maka semakin mudah masyarakat
dipengaruhi untuk mengikuti agenda-agenda politik yang destruktif.
Justru dalam keadaan seperti inilah pendidikan teologi mendapatkan panggilan yang
menantang. Pendidikan teologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang kritis dan konstruktif dapat menjadi
salah satu pendorong untuk mengatasi gerakan pembodohan massal yang sedang terjadi pada
masyarakat beragama di Indonesia.
Atas nama pengurus PERSETIA, kami mengucapkan selama bersidang.
tentang PERSETIA
Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) dibentuk oleh DGI pada tahun 1964. Sejak
saat itu PERSETIA senantiasa bekerja keras untuk mempersiapkan sekolah-sekolah teologi dan pusat-pusat
pendidikan teologi gereja, agar dapat mengembangkan dirinya (dosen, kelembagaan, kurikulum, jejaring
penelitian, dan publikasi akademis).
Sejak 2010 ketika terjadi berbagai perubahan dan standar baru dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi,
PERSETIA terus membantu sekolah-sekolah untuk dapat meningkatkan dirinya dengan beberapa programmendesak. Antara lain: lokakarya pengisian borang akreditasi program studi (2010), beberapa lokakarya dan
konsultasi kurikulum, hingga lokakarya pengisian feeder PD DIKTI (2016). Pada tahun 2017 akan
dilangsungkan konsultasi menyangkut KKNI dan SNPT, serta program studi Filsafat Keilahian.
Direktur Pelaksana dan Pengurus PERSETIA
Lenta E. Simbolon; Yusak Soleiman; Asnath Niwa Nathar; Yusak Budi Setyawan; Karolina Agustien Kaunang;
Jammes Takaliuang; Yetty Leiloh; Daniel Sopamena; Petrus Bimo S. Pamungkas.
3
Download