BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkembangnya
teknologi
informasi
dan
komunikasi
memberi
kesempatan pada setiap bidang kehidupan untuk berkembang pula, seperti
perdagangan, politik, sosial, pendidikan dan bidang-bidang lain. Fokus penelitian
ini adalah bagaimana teknologi informasi dan komunikasi tersebut dapat
membantu berkembangnya bidang pendidikan. Keberadaan teknologi informasi
dan komunikasi memberi andil besar dalam membentuk ulang sistem pendidikan,
baik institusi yang sebelumnya sudah modern maupun yang pada awalnya masih
konvensional. Gur (2014) dalam sebuah seminar mengenai teknologi informasi
dan komunikasi mengemukakan bahwa akses terhadap internet menawarkan
kemungkinan untuk mengalami pembelajaran jarak jauh tanpa tuntutan untuk
meninggalkan rumah, sehingga membuka kesempatan bagi pembelajar di mana
pun untuk mendapat akses belajar tanpa dibatasi jarak dan waktu. Para pembelajar
jarak jauh tersebut dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yakni pembelajar
yang mencari pelajaran tambahan di luar kelas formal, para pekerja profesional,
dan juga pembelajar dewasa yang ingin meningkatkan kemampuan diri. Ketiga
kategori tersebut merupakan pembelajar berkelanjutan (longlife learners) yang
jumlahnya akan terus meningkat di masa depan dan keberadaan mereka inilah
yang memupuk bisnis pembelajaran online pada saat ini.
Telah banyak penelitian terkait pemanfaatan internet dalam dunia
pendidikan dan pengajaran,
sedangkan penelitian
yang
berfokus
pada
pembelajaran bahasa juga tak kalah banyaknya. Munir (2009:113) mengatakan
bahwa internet dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran, media untuk
mencari dan memperdalam materi, membangkitkan motivasi pembelajar, media
untuk mengoreksi tugas dan hal-hal lain yang mendukung kegiatan belajar dan
mengajar. Penelitian lain dilakukan oleh Guri-Rosenblit (2005) yang menjelaskan
detil perbedaan pembelajaran jarak jauh (distance learning) dan pembelajaran
yang memanfaatkan multimedia (e-learning) dalam dunia pendidikan. Dia
menjelaskan bahwa distance learning terjadi ketika pembelajar tidak dapat
mendatangi lokasi pembelajaran karena kendala geografis maupun waktu,
sehingga sistem ini dipilih sebagai pendidikan utama, sedangkan e-learning
merupakan pembelajaran tambahan yang biasanya dilakukan di luar kelas dengan
memanfaatkan multimedia untuk mendapatkan informasi atau keahlian tambahan.
Penelitian Hammerly (1971) menjelaskan mengenai metode-metode yang dapat
diterapkan dalam pengajaran bahasa kedua (second language learning) agar
pengajar dapat mengaplikasikan metode yang hasilnya maksimal. Penelitian
Schwalbe (1983) menjelaskan mengenai penggunaan bahasa para pengajar selama
proses pengajaran dilihat dari teori Interaksionisme Simbolik. Berdasarkan topiktopik utama yang telah disebutkan sebelumnya, peneliti akan meramu menjadi
penelitian yang terpadu bertemakan pembelajaran online interaktif (synchronous
learning) dengan materi Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, dilihat dari sisi
pengajar dan dianalisis melalui kacamata Interaksionisme Simbolik.
Di Indonesia sejauh ini pengajaran Bahasa Indonesia sebagai bahasa
kedua dengan menggunakan media internet yang interaktif belum memiliki
prosedur pelaksanaan standar yang disepakati secara nasional oleh lembagalembaga pendidikan yang menyediakan jasa tersebut. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat membantu lembaga-lembaga pendidikan penyelenggara sistem
pembelajaran Bahasa Indonesia jarak jauh dalam memaksimalkan programnya,
baik dari segi bisnis maupun akademis.
Weller (2002:20) mengatakan bahwa pada awalnya keberadaan internet
dianggap sebagai ancaman komersialisasi terhadap pendidikan. Unsur bisnis di
bidang pendidikan tidak dapat dikatakan telah seratus persen mengurangi kualitas
pendidikan karena di pihak lain keberadaan lembaga pendidikan yang
memanfaatkan internet ini menguntungkan para pembelajar yang memiliki
keterbatasan jarak dan waktu. Pada kenyataannya selain pertimbangan bisnis,
lembaga pendidikan juga harus mempertimbangkan perubahan sistem pengajaran,
sarana dan prasarana, serta tenaga kerja yang juga memerlukan anggaran yang
tidak lebih murah daripada pelaksanaan sistem pembelajaran konvensional.
Pembelajaran dengan menggunakan media internet sangat tergantung pada
infrastruktur teknologi yang layak guna serta koneksi yang stabil dan dapat
diandalkan dalam menjalankan pengajaran online (Bates dalam Guri-Rosenblit,
2005:484). Selain itu penyelenggaraan pembelajaran online harus didukung
tenaga
pengajar
yang
kompeten
dan
menguasai
teknologi.
Dalam
menyelenggarakan kelas online, sebuah lembaga pendidikan tidak bisa hanya
berfokus pada teknologi dan pengajaran, namun harus juga memperhatikan halhal lain yang terkait dan mendukung pelaksanaan kelas tersebut, seperti
pendaftaran, tes penerimaan, pembayaran, ujian, forum diskusi, penilaian, dan
juga pengumuman (Gur, 2014).
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi sebagai media belajar
bukan merupakan fungsi utama dari internet itu sendiri. Contoh yang dapat kita
lihat misalnya penggunaan media internet dalam bidang komersial, informasi,
ataupun hiburan yang masih mendominasi kegunaan internet di Indonesia.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan
bahwa pengguna internet tahun 2013 meningkat menjadi 71 juta pengguna, naik
13% dari tahun sebelumnya, seperti dilansir dari harian Merdeka (Pitoyo, 2014).
Penggunaan internet sebagai media belajar menjawab tuntutan globalisasi
masyarakat modern, karena mewujudkan konsep tidak dibutuhkannya kehadiran
komunikator dan komunikan, melainkan proses bertukarnya informasi di antara
mereka dan tercapainya obyektif dari penyampaian informasi tersebut yang perlu
digarisbawahi.
Hingga tahun 2002 tercatat sebanyak 174 universitas di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan Jerman
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai media pembelajaran,
sedangkan di Indonesia hingga saat ini secara resmi terdapat enam universitas
yang telah menerapkan sistem kuliah online yaitu UI, UGM, ITB, ITS, Binus, dan
STMIK Amikom, namun tidak menutup kemungkinan bahwa jumlah ini akan
bertambah di tahun-tahun ke depan (Harian Republika, 2014, “Wapres luncurkan
kuliah online”). Tujuan utama diterapkannya sistem pembelajaran online adalah
tersedianya sistem pendidikan yang lebih fleksibel bagi pembelajar berkelanjutan
(lifelong learners) dan pembelajar yang berasal dari luar negeri (international
students).
Peneliti ingin menekankan bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan
oleh sekolah-sekolah tinggi maupun lembaga-lembaga pendidikan bahasa yang
sebelumnya hanya menggunakan metode pembelajaran konvensional agar dapat
menyajikan konvergensi metode pembelajaran yang baru dengan mengaplikasikan
metode online. Tidak hanya penggunaan teknologi dan informasi yang dapat
dipelajari dari penelitian ini, namun juga Interaksionisme Simbolik yang terjadi
selama berlangsungnya pembelajaran, sehingga dapat dijadikan acuan untuk
meminimalisir kendala komunikasi dalam pengajaran bahasa, khususnya Bahasa
Indonesia sebagai bahasa kedua.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti
ingin mengetahui:
1. “Bagaimana teori Interaksionisme Simbolik dapat digunakan dalam
menganalisis komunikasi yang terjadi dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara
sinkron (real time)?”
2. “Bagaimana TIK dimanfaatkan dalam penyelenggaraan kelas Bahasa
Indonesia online secara sinkron?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini memiliki tujuan, yaitu:
1. “Memahami Interaksionisme Simbolik yang terjadi dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia secara tatap muka langsung dengan bantuan media
internet secara sinkron (real time)”
2. “Memahami pemanfaatan TIK dalam pengajaran Bahasa Indonesia online
secara sinkron”
D. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini, peneliti berharap bahwa para
pembaca riset ini dapat menemukan manfaat akademis dan manfaat praktis terkait
bidang komunikasi, bisnis, juga pendidikan dan pengajaran bahasa secara online
yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan akan memperkuat teori-teori penggunaan TIK
dalam dunia pendidikan dan pengajaran khususnya yang melibatkan interaksi
face to face antara pengajar sebagai komunikator dan pembelajar sebagai
komunikan, sehingga hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan rujukan
bagi penelitian-penelitian berikutnya yang terkait dengan TIK dan pendidikan
bahasa.
2. Manfaat Praktis
Dalam bidang bisnis pendidikan, temuan penelitian ini dapat membantu
lembaga-lembaga pengajaran dalam menyajikan konvergensi produk. Di
dalamnya akan dilengkapi dengan informasi mengenai alih media pengajaran
dari konvensional menjadi online, pedagogi yang paling cocok diaplikasikan,
serta analisis teori interaksionisme simbolik untuk meminimalisir kendala
komunikasi yang terjadi antara pengajar dan pembelajar.
E. Kerangka Teori
Di dalam kerangka teori akan dipaparkan mengenai teori yang
mendukung dan berelevansi dengan pelaksanaan penelitian. Beberapa garis besar
teori ini akan terkait erat dengan pemanfaatan TIK dalam bidang pendidikan dan
pengajaran, pedagogi pengajaran bahasa kedua (pedagogy of second language
teaching), juga Interaksionisme Simbolik dalam pengajaran bahasa.
1. Pemanfaatan TIK dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran.
Teknologi informasi dan komunikasi sangat membantu dunia
pendidikan dan pengajaran. Pemanfaatan situs web maupun multimedia
mendukung pelaksanaan pembelajaran semua bidang keilmuan, terkait
dengan penelitian ini, khususnya pengajaran bahasa. Penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi dalam bidang pendidikan dibagi menjadi dua
proses yakni sinkron (synchronous) dan asinkron (synchronous) (Artyana,
2014). Sinkron merupakan komunikasi yang memungkinkan dilakukannya
komunikasi dengan media ketik dengan respon langsung (real-time text chat),
komunikasi menggunakan fasilitas audio (audio conferencing) di antara dua
individu bahkan lebih, komunikasi menggunakan fasilitas video (video
conferencing) di antara dua individu atau lebih, juga berbagi ruang kerja
(workspaces) seperti penggunaan papan tulis virtual (whiteboards) secara
langsung (Weller, 2002:83). Pembelajaran sinkron memberikan kesempatan
kepada pengajar dan pembelajar untuk bertatap muka dengan bantuan online
multimedia dengan program aplikasi khusus seperti Skype, Yahoo Messanger,
dan Google Talk. Kappas & Kramer (2011:3) menjelaskan bahwa interaksi
yang difasilitasi oleh video (video-mediated interactions) menjadi lebih
mudah sejak diluncurkannya Skype, yang artinya aplikasi ini dan dengan
didukung oleh kamera web yang terintegrasi dengan komputer pribadi atau
laptop dapat digunakan oleh seseorang yang ingin melakukan percakapan
menggunakan media video (video-mediated conversations) dengan orang lain
di seluruh dunia asalkan mereka memiliki teknologi yang sama. Karena
pengajar dan pembelajar bertatap muka secara langsung, maka terjadilah
proses komunikasi. Pengajar sebagai komunikator, pembelajar sebagai
komunikan, dan materi Bahasa Indonesia sebagai pesan yang akan
disampaikan. Proses komunikasi yang terjadi di sini adalah pembelajaran
antar manusia dengan dukungan media komputer (human to human tutoring
with computer supported).
Sementara yang dimaksud dengan proses asinkron adalah ketika
pembelajar memanfaatkan media internet untuk belajar secara mandiri dari
situs web atau aplikasi yang telah disediakan, seperti Moodle, Quizlet,
Learning Space, dan ratusan aplikasi lainnya yang tersedia di internet. Proses
asinkron mendorong pembelajar untuk belajar mandiri sebagai kelas
tambahan di luar kelas konvensional karena dalam sistem asinkron
pembelajar tidak melakukan interaksi langsung dengan pengajar, melainkan
dengan sistem komputer ataupun tokoh replika yang membantu proses belajar
(pedagogigal agents) yang didesain untuk membantu memudahkan proses
pembelajaran antara manusia dengan komputer (computer to human tutoring)
(Artyana, 2014).
Penelitian terkait topik tentang penggunaan TIK dalam pembelajaran
bahasa telah banyak dilakukan oleh para ahli bahasa dan penelitian-penelitian
tersebut terus dikembangkan dan disempurnakan. Informasi terkini mengenai
sistem pembelajaran modern tentunya menarik bagi pengajar, pembelajar, dan
juga pihak penyelenggara pembelajaran seperti sekolah-sekolah, lembaga
bahasa, dan universitas. Hiltz (dalam Munir, 2012:9) membandingkan
efektivitas pembelajaran konvensional dengan pembelajaran online dalam
penelitiannya dan menemukan bahwa pembelajaran online lebih efektif jika
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional di kelas. Colorita (dalam
Munir, 2012:9) menemukan bahwa pembelajar yang belajar secara online
lebih tinggi tingkat partisipasinya dibandingkan dengan kelas konvensional.
Sementara Munir (2009) pada penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa
pembelajaran Bahasa Melayu dengan menggunakan elektronik lebih
signifikan
hasilnya
dibanding
dengan
pembelajaran
konvensional.
Lengkanawati (dalam Munir, 2012:9) menjelaskan bahwa pembelajaran
Bahasa Inggris yang menggunakan elektronik hasilnya lebih signifikan
dibandingkan dengan yang menggunakan metode pembelajaran konvensional.
Penelitian-penelitian tersebut difokuskan pada para pembelajar karena dari
merekalah penelitian tentang tingkat
efektivitas penerapan program
pembelajaran online dapat diamati secara detil. Efektif tidaknya pengajaran
dapat diukur melalui tes kemampuan bahasa yang diujikan kepada para
pembelajar di akhir program.
Dalam penelitian ini peneliti ingin membuktikan bahwa teknologi
informasi dan komunikasi secara langsung atau real time makin
mengembangkan metode pembelajaran bahasa. Keberadaannya di masa
depan tidak hanya akan menjadi pelengkap kelas konvensional namun juga
dapat dipertimbangkan sebagai pilihan utama yang menggantikan kelas
konvensional ketika tatap muka antara pengajar dan pembelajar tidak dapat
dilakukan secara langsung karena berbagai alasan.
Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dapat dilihat dari
tiga aspek yakni intensitas penggunaan, jenis layanan, dan fungsinya. Dari
segi penggunaan, menurut Munir (2009:113) internet dapat digunakan
sebagai media pembelajaran dengan rinciannya yaitu sebagai media
pembelajaran,
media
untuk
mencari
dan
memperdalam
materi,
membangkitkan motivasi murid, media untuk mengoreksi tugas murid, dan
hal-hal lain yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Internet dapat
diakses setiap hari untuk memaksimalkan proses pembelajaran. Sementara
dari sudut pandang jenis layanannya, menurut Mac Bridge (2001:12) layanan
internet terdiri dari surel, grup berita (newsgroup), mentransfer data,
gopherspace, situs web, panggilan telepon melalui internet (internet
telephony). Fungsi internet menurut Dicky (2004) dapat digunakan sebagai
media berkomunikasi, media pertukaran data, media untuk mencari informasi,
dan media untuk membentuk komunitas.
2. Pedagogy Pengajaran Bahasa Kedua dan Studi Desain LOTE (Language
Other Than English).
Teknik pengajaran Bahasa Indonesia terdiri dari banyak metode,
namun para ahli bahasa menyarankan teknik yang dirangkum oleh William
Francis Mackey dalam buku Language Teaching Analysis (dalam Sumardi,
1974:32-40). Di dalamnya terdapat lima belas metode pengajaran bahasa yang
lazim digunakan yaitu: (1) Metode Langsung (Direct Method), (2) Metode
Natural (Natural Method), (3) Metode Psikologi (Psychological Method), (4)
Metode Fonetik (Phonetic Method), (5) Metode Bacaan (Reading Method), (6)
Metode Tata Bahasa
(Grammar Method),
(7) Metode Terjemahan
(Translation Method), (8) Metode Terjemahan Tata-Bahasa (GrammarTranslation Method), (9) Metode Eklektik (Eclectic Method), (10) Metode
Unit (Unit Method), (11) Metode Kontrol Bahasa (Language-Control Method),
(12) Metode Mim-Mem (Mim-Mem Method), (13) Metode Latihan Teori
(Practice-Theory Method), (14) Metode Seasal (Cognate Method), (15)
Metode Dwi Bahasa (Dual-Language Method). Konten serupa juga
dipaparkan oleh Jack C. Ricards and Theodore S. Rogers dalam bukunya
Pendekatan dan Metode dalam Pengajaran Bahasa (Approaches and Methods
in Language Teaching) terbitan tahun 1999 dengan tujuh metode yaitu: (1)
Pendekatan Lisan dan Pengajaran Bahasa Situasional (The Oral Approaches
and Situational Language Teaching), (2) Metode Audiolingual (The
Audiolingual Method), (3) Pengajaran Bahasa Komunikatif (Communicative
Language Teaching), (4) Respon Fisik Total (Total Physical Response), (5)
Metode Diam (The Silent Way), (6) Pengajaran Bahasa Komunitas
(Community Language Teaching), dan (7) Pendekatan Natural (The Natural
Approaches).
Teknik-teknik di atas menjelaskan metode yang dapat diterapkan
ketika mentransfer materi Bahasa Indonesia dari pengajar kepada pembelajar
dengan obyektif bahwa di akhir proses pembelajaran si pembelajar dapat
mempraktekkan materi yang telah ia peroleh dengan didasarkan pada beberapa
keterampilan seperti menyimak, membaca, berbicara dan menulis, dan
termasuk di dalamnya adalah penguasaan tata bahasa dan juga pemahaman
budaya. Rician dari masing-masing metode tersebut akan dipakai sebagai
acuan dasar dalam penyusunan pertanyaan wawancara kepada subyek
penelitian.
Dalam pengajaran bahasa kedua hendaknya pengajar mengajarkan
semua keterampilan secara setara, baik itu latihan pengucapan, tata bahasa,
kosakata, keterampilan menulis, membaca dan berbicara juga keterampilan
menyimak, serta dengan dengan meminimalisir penggunaan bahasa asli
pembelajar (Hammerly, 1971:503). Penelitian intensif harus dilakukan untuk
mengamati proses belajar-mengajar (tutoring and learning) (Bente & Breuer
dalam Bente & Kamer, 2010).
Mempelajari bahasa yang terus menerus berkembang memerlukan
kontrol agar pemaknaannya benar dan sesuai ketika dipakai berkomunikasi.
Dalam rancangan pembelajaran bahasa selain Bahasa Inggris atau LOTE
(Language Other Than English) peran pembelajar sangat penting karena
mereka disyaratkan untuk berpartisipasi aktif dengan penutur asli. Komunikasi
yang terjadi antara pengajar dan pembelajar dalam mempelajari bahasa akan
berfokus pada berbagi pengetahuan sekaligus makna (share knowledge and
meaning) dengan didukung oleh konteks, tujuan pembelajaran, juga pengaruh
gender dan identitas sosial (Learner, 1999:5). Pengalaman, kompetensi dan
latar belakang pembelajar juga mempengaruhi bentuk rancangan pembelajaran
(study design) dalam pembelajaran bahasa. Terdapat tiga unit area studi untuk
menyusun rancangan pembelajaran (study design) yaitu (1) bentuk wacana
(discourse form), (2) kegiatan, pengaturan dan peran yang terkait dengan topik
(activities, setting and roles related to topics), dan (3) unsur-unsur linguistik
(linguistic elements). Strukturnya dapat dijelaskan dalam gambar berikut:
Gambar 1:
Struktur Rancangan Pembelajaran LOTE
Area of Study
1. Discourse
Forms
2. Activities, settings
and roles related
to topics
3. Linguistic
Elements
Work
Requirements
Sumber: Languages Other Than English: Indonesian Study Design.
Pembelajaran
yang
dikembangkan
harus
mempertimbangkan
pengetahuan linguistik dan dimensi kultural, informasi mengenai sejauh mana
keterampilan pembelajar dan alasan mempelajari bahasa tersebut, dan
penugasan
untuk
masing-masing
unit
(Learner,
memaksimalkan dimensi kultural dan linguistik,
1999:8).
pengajar
Untuk
memberi
kesempatan pembelajar untuk mengekspresikan ide-ide dan imajinasi,
sehingga kemampuan bahasa secara reseptif dan produktif dapat berkembang
secara seimbang. Informasi mengenai latar belakang kemampuan bahasa dan
minat pembelajar dapat membantu menetapkan titik awal pembelajaran,
sehingga obyektif pembelajar dapat tercapai. Bagi pembelajar yang memiliki
minat khusus terhadap linguistik dan kultur porsinya dapat disesuaikan
kemudian. Sementara untuk format penugasan (work requirements) didesain
agar dapat menyempurnakan keterampilan pembelajar dan dapat dilakukan
selama kelas berlangsung ataupun di luar kelas. Proses penyusunan desain
studi LOTE tidak sederhana dan komponen-komponen di dalamnya harus
saling mendukung dan berintegrasi sehingga pembelajaran tersebut sesuai
untuk para pembelajar di masing-masing level.
Agar dapat mendukung kebutuhan pembelajar terhadap pengetahuan
linguistik dan kultural maka berbagai sumber harus digunakan dengan topik
variatif. Sumber materi pembelajaran yang digunakan harus realistik, tetapi
dapat diedit dan disesuaikan dengan level kemampuan berbahasa pembelajar
dan juga tujuan dari latihan pembelajaran tersebut, namun begitu sumber
yang otentik dapat digunakan untuk pembelajar yang memiliki kemampuan
lebih. Kedua cara ini memiliki tujuan sama yakni menstimulasi respon
pembelajar.
Merangkum teori pedagogi dan pembelajaran bahasa kedua yang telah
dipaparkan di atas, penelitian ini berfokus pada pengajaran keterampilan
berbahasa, yakni penguasaan kosakata dan struktur kalimat, penguasaan tata
bahasa, berbicara, menyimak, membaca, dan menulis. Dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, pengajar harus mentransfer
keterampilan-keterampilan tersebut kepada para pembelajar, uniknya proses
tersebut akan dilakukan secara online dengan bantuan teknologi informasi
dan komunikasi. Hal inilah yang membedakan penelitian ini dengan
penelitian-penelitian pendahulunya.
3. Pemahaman Proses Komunikasi dalam Pembelajaran Bahasa: Teori
Interaksionisme Simbolik
Pembelajaran bahasa merupakan bagian dari pembelajaran budaya dan
pengajar dituntut agar dapat mentransfer kemampuan kebahasaan sekaligus
elemen budaya kepada pembelajar asing. Dengan adanya perbedaan budaya
di antara pengajar dan pembelajar, maka proses pembelajaran tentu saja
tidaklah mudah. Selain penguasaan pedagogi, pengajar juga harus dibekali
dengan pemahaman silang budaya (cross cultural understanding) sebelum
berkomunikasi langsung dengan pembelajar asing untuk meminimalisasi
gesekan antarbudaya. Ketika berkomunikasi dengan pembelajar, seorang
pengajar harus menyesuaikan diri dengan konteks yang sedang dibahas dalam
pembelajaran dan dalam menyampaikannya dibentuk menjadi pernyataan,
pertanyaan, kata umum, kata khusus, mengulangi kata, memberikan kata baru,
ataupun menggunakan kata yang mereka sukai juga dipadukan dengan aturan
tata bahasa.
Bahasa selalu berubah-ubah secara dinamis, tidak hanya dari generasi
ke generasi, namun juga pada kehidupan seseorang karena bahasa merupakan
hasil interaksi anggota masyarakat pemakainya yang di dalamnya terdiri atas
kelompok yang berbeda usia, kelas sosial, dialek, maupun anggota kelompok
dari negara lain. Perbedaan tersebut memengaruhi gaya interkomunikasi di
antara anggota masyarakat. Faktor lain yang juga memengaruhi perubahan
bahasa adalah ketika interaksi antarbudaya terjadi secara intens sehingga
mereka saling pinjam bahasa dan dialek. Ini merupakan fenomena yang
umum dalam kondisi interkomunikasi anggota masyarakat yang berbeda
kultur dan negara. Para pengajar Bahasa Indonesia di sini berasal dari
berbagai daerah di Indonesia sehingga gaya komunikasi mereka menunjukkan
perbedaan, terlebih lagi mereka telah terpapar bahasa dan budaya dari
pembelajar asing. Terkait dengan kondisi tersebut, peneliti berasumsi bahwa
bahasa para pengajar akan berubah secara konstan menyesuaikan bahasa dan
budaya lawan bicaranya. Teori bahasa ini potensial untuk membangun teori
komunikasi interkultural secara signifikan karena menghubungkan antara
bahasa dengan komunikasi, juga komunikasi dengan budaya. Terjadinya
fenomena tersebut dipengaruhi oleh aksi, peristiwa, pernyataan, dan
hubungan dengan orang, obyek, dan abstraksi yang terasosiasi dengan mereka,
sehingga sangat penting untuk menggarisbawahi prinsip-prisip linguistik dan
juga teori bahasa dalam kerangka penelitian mengenai komunikasi
interkultural.
Terdapat beberapa karakteristik bahasa yang penting untuk dimengerti
dalam fungsi komunikasinya (Hockett dalam Gudykunst, 2003:154). Pertama
adalah produktivitas (productivity) yang menjelaskan bahwa elemen bahasa
dapat digabungkan dengan sebuah pengucapan bermakna baru. Kedua adalah
perbedaan (discreteness) yakni ketika bahasa menunjukkan bahwa kita dapat
mengetahui artinya walaupun pengucapannya berbeda. Ketiga adalah refleksi
diri (self reflexive) yaitu ketika bahasa dapat ditujukan untuk dirinya sendiri.
Keempat pemindahan (displacement) adalah ketika bahasa dapat digunakan
untuk menggantikan sesuatu yang tidak dapat dihadirkan secara fisik.
Terakhir adalah perubahan (arbitrary) ketika bahasa bisa berubah semaunya.
Kelima elemen tersebut harus selalu dijadikan acuan oleh para pengajar
dalam pembelajaran bahasa.
Ketika kita berkomunikasi dengan orang yang berasal dari tatanan
linguistik yang berbeda ataupun kelompok kultural yang berbeda, maka
derajat makna yang kita sampaikan cenderung tidak ditangkap secara
menyeluruh, khususnya ketika perbedaan antara kedua bahasa sangat jauh.
Kemiripan antara bahasa kedua pihak penutur memengaruhi pemahaman kita.
Bahasa memengaruhi cara kita berpikir dan ini yang menjadi dasar hipotesis
Sapir & Whorf. Mereka menjelaskan bahwa bahasa bukanlah instrumen
untuk mengekspresikan ide, namun bahasalah yang membentuk ide-ide.
Whorf berpendapat bahwa bahasa memainkan peran yang dominan dalam
mendasari persepsi dunia dari orang yang memakai bahasa tersebut. Variasi
lintas budaya dalam bahasa dan gaya komunikasi verbal memengaruhi cara
orang-orang dari kultur yang berbeda dalam berkomunikasi. Peneliti
meyakini bahwa cara para pengajar berkomunikasi dan menjelaskan materi
pengajaran akan dipengaruhi oleh budaya yang hidup di dalam dirinya.
Dalam
Kesalahpahaman
proses
komunikasi
tersebut
bisa
kesalahpahaman
tergolong
sulit
dihindari.
kesalahpahaman
murni
(misunderstanding) yang terjadi ketika kedua belah pihak tidak menyadari
bahwa ada kesalahan, namun bisa juga kesalahpahaman yang tak lengkap
(incomplete understanding) yang terjadi ketika salah satu pihak menyadari
bahwa ada kesalahan informasi. Kesalahpahaman informasi disebabkan oleh
kesalahan pragmatik, yang mana hal tersebut merupakan hasil dari aturan
sosial sebuah perilaku komunikasi yang menjelaskan bahwa aturan sosial dari
kultur lain lebih layak untuk diikuti. Ketika para pengajar menguasai
pemahaman silang budaya, kesalahpahaman dapat diminimalisasi.
Bahasa bukanlah media penyebar informasi yang kaku karena
memengaruhi dan dipengaruhi oleh interaksi sehari-hari. Teori-teori simbol,
bahasa, dan komunikasi non-verbal memberikan ide bahwa pesan terdiri atas
bagian dan fitur tertentu, termasuk verbal dan non-verbal yang mana perilaku
komunikasi yang memberikan makna. Kajian bahasa dapat berhubungan
dengan sejumlah tradisi, bergantung pada fokusnya. Kajian bahasa yang
menguji kegunaan bahasa dengan kelompok budaya yang beragam akan
mencerminkan sosial budaya (Birdwhistell, Paul Ekman dan Wallace Fiesen
dalam Littlejohn, 2012:153). Apabila bahasa dilihat dari teori pelaku
komunikasi yang menggarisbawahi faktor budaya dalam teori-teori kritis,
maka terdapat enam asumsi yang dapat kita lihat melalui sudut pandang yang
berpusat pada bahasa yaitu semua komunikasi terjadi dalam kerangka kerja
budaya, semua individu diam-diam mengolah pengetahuan budaya dan
menggunakannya dalam berkomunikasi, terdapat ideologi linguistik yang
dominan
dalam
masyarakat
mengesampingkan kelompok
multikultur
budaya
yang
lain,
menggantikan
anggota
kelompok
atau
yang
terpinggirkan mengolah pengetahuan tentang kedua budaya, pengetahuan
budaya dapat terpelihara ataupun lewat begitu saja dan secara konstan
berubah, serta semua budaya saling memengaruhi dan mempergunakan satu
sama lain (Fern Johnson dalam Littlejohn, 2012).
Sangat sulit bagi peneliti untuk dapat menguasai lebih dari dua kultur
agar dapat membangun jembatan pemahaman di antara kultur-kultur yang
berbeda, hal yang lebih mudah dilakukan adalah mengidentifikasi perbedaan
daripada menemukan persamaan. Menjadi bilingual akan memudahkan
penelitian dan terlebih lagi jika bikultural. Melihat teori Saphir-WhorfCassier (dalam Kuhn, 1964:76) mengenai bahasa dan orientasi budaya
(language
and
culture
orientation)
akan sangat
membantu
dalam
menganalisis interaksionisme simbolik dalam penggunaan bahasa. Dikatakan
bahwa bahasa terdiri dari konsep yang terbatas namun memiliki penafsiran
yang tak terbatas, seperti misalnya bagaimana menentukan waktu, gerakan,
juga batas ruang, sementara aturan penggunaan tata bahasa dipengaruhi oleh
bagaimana sebuah kelompok menilai sesuatu. Interaksionisme Simbolik
terkait pada pemaknaan, bahasa yang digunakan, juga pemikiran. Dalam
melihat bahasa, perspektif Interaksionisme Simbolik adalah menemukan apa
yang dapat dilakukan oleh bahasa, atau lebih tepatnya, apa yang dapat
dilakukan oleh komunikator dengan bahasa tersebut untuk dapat menciptakan
sebuah makna dalam interaksi komunikasi (Haliday dalam Schwalbe,
1983:292). Melalui perspektif tersebut bahasa dilihat sebagai sumber dari
simbol yang digunakan oleh aktor sosial untuk menemukan makna-makna
potensial dalam komunikasi.
Penelitian ini menjelaskan mengenai penggunaan bahasa para
pengajar
Bahasa
Indonesia
dalam
pembelajaran
dilihat
dari
teori
Interaksionisme Simbolik dengan berpedoman pada keterkaitan antara bahasa
dan diri seseorang (language and self) yang dibedakan menjadi lima kategori
yaitu bahasa sebagai alat untuk memunculkan diri lain (ontogenetic), bahasa
sebagai alat untuk mereview diri (categorical), bahasa sebagai alat untuk
mengevaluasi diri (expressive), bahasa sebagai alat untuk mempresentasikan
diri (performative) dan bahasa sebagai alat untuk transformasi diri
(transformative) yang mengacu pada sudut pandang pemikiran Median
(Schwalbe, 1983:292).
Melalui pemikiran Median tersebut peneliti mendasarkan teori
penelitian yang mengungkap mengenai komunikasi yang terjadi dalam ruang
lingkup subyek penelitian. Sebagai pengajar yang kesehariannya sangat dekat
dengan penggunaan bahasa, subyek penelitian dianggap dapat menyajikan
data relevan terkait antara bahasa dan diri seseorang. Dalam berkomunikasi
dengan sesamanya, para pengajar saling menyesuaikan diri sesuai dengan
status mereka sebagai seorang pengajar yang notabene memiliki tanggung
jawab mengajarkan bahasa secara baik dan benar. Kepada para pembelajar,
mereka akan melakukan komunikasi interpersonal yang disesuaikan dengan
aturan yang telah disepakati bersama.
F. Metodologi Penelitian
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai hal-hal yang terkait dengan
rencana pelaksanaan penelitian termasuk di dalamnya adalah paradigma, metode,
pengumpulan dan analisis data, dan beberapa hal lain yang mendukung penelitian.
1. Paradigma dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menganalisis bahasa yang digunakan oleh para pengajar
Bahasa Indonesia dalam pembelajaran. Pendekatan yang digunakan adalah
paradigma konstruktivisme yang menekankan karakter realitas yang jamak
dan lentur; jamak dengan pengertian bahwa bisa diungkapkan dalam beragam
sistem simbol dan bahasa; lentur dalam arti bahwa realitas bisa direntangkan
dan dibentuk sesuai dengan tindakan-tindakan bertujuan dari para pelaku yang
memiliki tujuan (Denzin & Lincoln, 2009:157). Para pengajar Bahasa
Indonesia tersebut memiliki obyektif untuk menyampaikan pengetahuan
bahasa sekaligus budaya kepada anggota masyarakat lain berbeda kultur.
Pilihan bahasa dan cara mereka mengalihmediakan materi pembelajaran
merupakan bahan analisis penelitian ini. Proses transfer materi kemampuan
bahasa dengan didukung media internet secara langsung (real time) akan
menjadi bahasan spesifik.
Dalam konstruktivisme, manusia tidak menemukan atau mendapatkan
pengetahuan, namun menyusun atau membentuknya karena kita dengan aktif
menciptakan konsep, model, dan skema untuk menjelaskan pengalaman dan
selanjutnya secara terus menerus menguji dan memodifikasi konstruksikonstruksi tersebut berdasarkan pengalaman baru. Pendapat ini juga diperkuat
pula oleh Gergen & Gergen (1991) yang menjelaskan bahwa penjelasan
tentang dunia berada dalam sistem artikulasi yang dimiliki bersama, biasanya
bahasa lisan atau tulisan dan yang ditekankan di sini adalah penciptaan makna
secara kolektif seperti yang dibentuk oleh berbagai konvensi bahasa dan
proses sosial lainnya. Teori Gergen tentang realitas juga menyiratkan bahwa
bahasa merupakan satu-satunya realitas yang dapat kita ketahui. Melalui
proses komunikasi antara pengajar Indonesia dengan pembelajar asing dapat
kita analisis realitas cara berkomunikasi antarbudaya dari pilihan bahasa dan
penjelasan yang mereka gunakan (Gergen dalam Gudykunst, 2003:156).
Paradigma
konstruktivisme
adalah
sebuah
pemikiran
yang
konstruksinya tidak berada di luar para individu yang menciptakan dan
memiliknya; konstruksi yang muncul bukan sebuah dunia obyektif yang
keberadaannya terpisah dari para konstruktornya (Guba & Lincoln dalam
Denzin, 2009:162). Aktivitas penelitian yang ada dimulai dari beragam isu
dan atau perhatian para partisipan dan melewati dialektika, analisis, kritik, dan
sebagainya yang pada akhirnya sampai pada konstruksi bersama antara
peneliti dengan responden tentang sesuatu. Sifat konstruksi salah satunya
adalah upaya untuk menjelaskan atau menafsirkan pengalaman dan
kebanyakan memiliki sifat dapat mempertahankan dan memperbarui diri
(Guba & Lincoln dalam Denzin, 2009:162). Sifat lain bahwa konstruksi
dikenal secara luas dan merupakan “konstruksi yang diupayakan” dalam arti
bahwa upaya-upaya kolektif dan sistematis demi sebuah kesepakatan umum
mengenai suatu hal, misalnya ilmu pengetahuan (Guba & Lincoln dalam
Denzin, 2009:162). Peneliti merupakan bagian dari komunitas responden,
sehingga akses terhadap informasi dan data akan lebih mudah.
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
tunggal. Fenomena yang akan diteliti memiliki unit pusat yang perlu dikaji
yakni Interaksionisme Simbolik dalam pembelajaran bahasa Indonesia oleh
para pengajar dengan didukung oleh unit kajian lain yakni penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran tersebut. Pemaparan
eksplanatoris digunakan untuk menyelidiki fenomena dalam sebuah konteks
kehidupan nyata dan bilamana batas antara fenomena dan konteks tersebut
tak tampak dengan tegas, sehingga multisumber bukti perlu dimanfaatkan
dalam mendukung penelitian. Terkait dengan uji kualitas desain yang akan
digunakan dalam penelitian ini maka peneliti mengambil dari sisi validitas
internal yang di dalamnya menetapkan hubungan kausal, di mana kondisikondisi tertentu diperlihatkan guna mengarahkan kondisi-kondisi lain (Yin,
2013:38).
3. Subyek Penelitian
Penelitian diadakan di Wisma Bahasa, sebuah sekolah bahasa yang
didirikan pada tahun 1982 di Yogyakarta. Lembaga ini menyediakan jasa
pembelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa kepada penutur asing yang
berasal dari berbagai negara dengan latar belakang yang beragam, mulai dari
diplomat, pengusaha, peneliti, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga. Telah
lebih dari 30 tahun sejak sekolah ini didirikan dan program yang mereka
miliki terus dikembangkan dari hanya sistem pembelajaran konvensional
sampai menjadi sistem pembelajaran online yang mulai diperkenalkan sejak
kira-kira lima tahun yang lalu dengan media internet secara real time
menggunakan aplikasi Skype yang memungkinkan pertemuan tatap muka
antara pengajar dan pembelajar melalui media tersebut. Para pengajar di
sekolah tersebut hingga tahun 2015 terdiri dari 44 orang dengan daerah asal
yang beragam dan 23 orang sudah terlibat dalam pengajaran kelas online, serta
sisanya masih dalam proses pelatihan penggunaan multimedia.
Subyek penelitian akan diwakili oleh tujuh orang informan. Mereka
dipilih dengan pertimbangan lama pengalaman menyelenggarakan kelas
online yang dibedakan atas tiga kategori pengajar, yakni dari yang telah
mengajar selama lebih dari tiga tahun, yang telah mengantongi pengalaman
selama dua tahun dan juga yang berpengalaman mengajar selama satu tahun.
Perwakilan dari kedua gender, informan berasal dari beberapa suku berbeda
yang tentunya memiliki kultur berbeda. Mereka juga memiliki profesi yang
beragam sebelum berprofesi sebagai pengajar bahasa dan setengahnya
memiliki kemampuan penguasaan bahasa lain selain Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris. Dengan memilih nara sumber yang beragam, hasil wawancara
mencakup beberapa sudut pandang yang berbeda dan mewakili semua aspek
yang tengah diteliti oleh penulis.
Dari para pengajar sebagai subyek penelitian didapat sumber data
wawancara yang kemudian dikolaborasikan dengan prosedur pelaksanaan
kelas online dan kemudian dilihat juga dari sisi karakter pembelajar dalam
menerima proses pengajaran.
4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Wisma Bahasa Yogyakarta. Sebagai
pemenang lembaga kursus berprestasi tingkat nasional tahun 2014, penelitian
di Wisma Bahasa akan menarik bagi lembaga-lembaga lain yang ingin
mengembangkan bisnis serupa, menguntungkan dari segi bisnis dan juga
akademis karena dapat membantu para pengajar agar lebih siap dalam
pembelajaran dengan sistem online. Waktu penelitian adalah pada bulan
Oktober 2015 dengan alasan bahwa pada kwartal terakhir tahun 2015 lembaga
ini akan memaksimalkan target pencapaian akhir tahunan. Menurut data per
Mei 2015 target penyelenggaraan kelas online belum terlampaui, maka Wisma
Bahasa perlu memperbaiki dan mengejar target yang pada awal tahun telah
ditetapkan sehingga pencapaian tahunan tetap stabil.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan cara observasi
partisipan karena peneliti terlibat langsung dalam kegiatan yang diteliti.
Peneliti sebagai mantan pengajar di lembaga tempat dilakukannya penelitian
paham benar bagaimana terjadinya proses pengajaran online. Melalui
pengalaman mengajar yang dimiliki dan proses pengamatan atau observasi
maka hasil yang didapat akan lebih akurat karena penelitian tersebut dilihat
dari sudut pandang orang dalam. Selain observasi, peneliti juga akan
melakukan wawancara mendalam terhadap para pengajar yang masih aktif
melakukan sistem pembelajaran online. Dalam proses pengumpulan data,
peneliti akan memegang prinsip penggunaan multisumber bukti, menciptakan
sumber data dasar studi kasus dan memelihara rangkaian bukti yang telah
terkumpul
agar
data
yang
didapat
dapat
dipertanggungjawabkan
keakuratannya.
Teknis pelaksanaan wawancara akan dilakukan secara real time
dengan memanfaatkan aplikasi Skype. Masing-masing informan dihubungi
secara terpisah dengan layanan panggilan video (video call) sehingga
memungkinkan
adanya
tatap
muka.
Wawancara
tersebut
direkam
menggunakan aplikasi Vodburner sehingga hasilnya dapat ditranskrip dan
digunakan sebagai sumber data yang otentik. Pengumpulan data wawancara
tidak dapat dilakukan secara langsung karena posisi peneliti menyebabkan
peneliti tidak dapat bertemu langsung dengan para nara sumber, sehingga
pelaksanaan wawancara dilakukan dengan menggunakan media online.
Mungkin hal ini tidak biasa namun metode ini sangat membantu sekaligus
memudahkan peneliti yang memiliki keterbatasan jarak dan perbedaan waktu
dengan para informan. Karena melibatkan teknologi, kendala umum seperti
gangguan teknis dan ketidakstabilan koneksi internet, juga perasaan tidak
nyaman dan kurang natural mungkin muncul. Namun begitu peneliti
mempercayai bahwa para informan telah terlatih dalam menggunakan media
teknologi tersebut dalam proses pembelajaran yang mereka lakukan, sehingga
peneliti yakin bahwa para nara sumber cukup percaya diri dan nyaman dengan
penyelenggaraan tanya-jawab secara sinkron ini.
6. Sumber Data
Terdapat dua jenis sumber data yang dijadikan acuan dalam penelitian
ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari
observasi, wawancara mendalam dari para responden yakni para pengajar
yang melakukan proses pembelajaran online, juga dokumen tertulis yang
dimiliki oleh Wisma Bahasa seperti identitas para pengajar, perkembangan
program pembelajaran online dari tahun ke tahun, data kuantitatif pencapaian
tahunan target kelas, dan data-data lain yang mendukung. Data sekunder
didapat dari studi literatur yang berasal dari sumber cetak dan online seperti
buku, jurnal, artikel koran dan lain-lain yang memperkuat teori penelitian.
7. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, sesuai dengan desain penelitian dengan
menggunakan uji validitas internal, maka peneliti akan mengerjakan susunan
eksplanasi dalam bentuk naratif. Eksplanasi sebuah fenomena dalam arti
menetapkan rangkaian keterkaitan timbal-balik tentang fenomena yang dikaji
(Yin, 2013:147). Studi kasus dapat dikatakan baik apabila proposisinya
signifikan secara teoretis sehingga dapat berujung pada kontribusi pokok ke
arah pembangunan sebuah teori. Dalam proses analisis data eksplanasi penulis
akan memperhatikan tiga faktor utama yakni mengidentifikasi data apa yang
harus dikumpulkan, menetapkan data dasar untuk setiap kasus, juga
menyiapkan rangkaian bukti-bukti pendukung selanjutnya sehingga data yang
telah terkumpul dapat dianalisis dengan baik sesuai dengan ide pokok
penelitian. Struktur pelaporan penelitian ini menggunakan struktur analitislinear yang merupakan pendekatan standar dalam menjelaskan laporan
penelitian. Peneliti berasumsi bahwa pembaca penelitian ini tidak hanya para
akademisi di bidang komunikasi secara umum, namun secara khusus adalah
para praktisi di bidang pembelajaran bahasa. Dalam penelitian ini mereka akan
menerima penjelasan mengenai persoalan yang akan dipaparkan, metode,
temuan dan juga kesimpulan penelitian yang diharapkan dapat memberi
manfaat praktis dan akademis.
8. Limitasi Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus sehingga hasilnya tidak dapat
digeneralisasi, maka jika penelitian serupa diselenggarakan di lokasi yang
berbeda, hasil yang diperoleh mungkin dapat bervariasi. Topik penelitian ini
berfokus pada Interaksionisme Simbolik dalam pembelajaran bahasa dari
sudut pandang pengajar dan juga pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi dalam pembelajaran online secara langsung dengan bantuan
media internet (real time), sehingga apabila penelitian serupa mencoba
memotret dari sudut pandang yang berbeda, maka hasil yang didapat akan
berbeda pula. Penelitian lanjutan terhadap penelitian ini dapat berfokus pada
pembelajar untuk mengetahui sisi lain dari Interaksionisme Simbolik yang
terjadi dalam pembelajaran. Selama proses pengumpulan data, wawancara
dilakukan dengan media internet sehingga dimungkinkan bahwa hasilnya
tidak sesempurna dengan proses wawancara melalui metode tatap muka secara
langsung.
Dalam penelitian ini posisi peneliti tidak sepenuhnya sebagai pihak
luar (outsider) karena peneliti memiliki pengalaman bekerja pada instansi
tersebut dan tahu benar bagaimana tahap-tahap pelaksanaan kelas online dan
kebijakan yang berlaku, namun peneliti tetap memegang prinsip obyektifitas
dalam penelitian ini. Dengan adanya pengalaman dan pengetahuan mengenai
topik penelitian dan kemudahan akses pengumpulan data, penelitian berjalan
lebih lancar meskipun posisi peneliti dan nara sumber dibatasi oleh jarak.
9. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan panduan pertanyaan wawancara
selama pelaksanaan wawancara mendalam dengan subyek penelitian.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut disusun sesuai dengan kerangka teori yang
terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam bidang
pendidikan dan pengajaran, pedagogi pengajaran bahasa kedua (pedagogy of
second languange teaching), komunikasi yang terjalin antara pengajar dan
pembelajar untuk menganalisis Interaksionisme Simbolik dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Download