Jurnal Medika Veterinaria ISSN : 0853-1943 Vol. 8 No. 2, Agustus 2014 PENINGKATAN JUMLAH NILA (Oreochromis niloticus) JANTAN MELALUI PENGGUNAAN HORMON METIL TESTOSTERON ALAMI Masculinization of Tilapia (Oreochromis niloticus) Using Methyl Testosterone Natural Hormone 1 Rosmaidar1, Winaruddin2, dan Mimi Herlina3 Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2 Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran HewanUniversitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 Program StudiPendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh E-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh hormon metil testosteron alami terhadap tingkat keberhasilan pembentukan jenis kelamin jantan ikan nila (Oreochromis niloticus). Penelitian ini menggunakan 270 ekor larva ikan nila berumur 7 hari. Larva ikan nila tersebut dibagi ke dalam 3 perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri atas 30 larva ikan.Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan I sebagai kontrol diberi pakan pelet secara adlibitum, perlakuan II diberi pakan yang mengandung hormon metil testosteron alami, dan perlakuan III diberi hormon melalui perendaman yaitu larva ikan direndam dengan hormon metil testosteron alami selama 20 jam. Selanjutnya ikan dipelihara sesuai dengan prosedur yang berlaku. Pengamatan dilakukan pada umur ke-60 sampai kelamin ikan dapat diamati. Rata-rata (±SD) persentase jenis kelamin jantan ikan nila pada perlakuan PI, PII, dan PIII berturut-turut adalah 36,39±3,97; 66,72±6,13; dan 82,37±6,87%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase jenis kelamin jantan ikan nila yang diberi hormon metil testosteron alami melalui pakan dan diberi hormon metil testosteron alami melalui perendaman berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persentase jenis kelamin jantan ikan nila yang tidak diberi hormon metil testosteron alami (kontrol). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian hormon metil testosteron alami dapat meningkatkan persentase jenis kelamin jantan. ____________________________________________________________________________________________________________________ Kata kunci: larva ikan nila, hormon metil testosteron alami, persentase jenis kelamin jantan ABSTRACT This study aimed to determine the effect of methyl testosterone natural hormoneon the rate of masculinization of tilapia (Oreochromis niloticus). The study used 270 tilapia larvae with the age of 7 days as experimental animals. Tilapia larvae were divided into 3 treatments; each treatment consisted of 30 larvae fish. This study was an experimental study using completely randomized design with 3 treatments and 3 replications. Treatment I as control group was fed with pellets ad libitum, treatment II was given feed containing methyl testosterone natural hormone, and treatment group III was given hormone treatment by soaking the fish larvae with methyl testosterone natural hormone for 20 hours. Larvae were raised in accordance with applicable procedures. Observation was conducted when the larvae fish were at 60 days old and the sex of fish can be observed. Parameter examined was the percentage of the male sex. The average (± SD) percentage of male tilapia in group PI, PII, and PIII were 36.39±3.97, 66.72±6.13, and 82.37±6.87%, respectively. The results showed that the percentage of male sex of tilapia fed with natural hormone of methyl testosterone through the diet and dipping was significantly different (P<0.05) from control fish. In conclusion, the administration of natural hormone of methyl testosterone increased the percentage of the male sex of tilapia). ____________________________________________________________________________________________________________________ Key words: tilapia larvae, natural hormone methyl testosterone, the male sex percentage PENDAHULUAN Nila merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya air tawar di Indonesia yang memiliki prospek cerah. Sejak diperkenalkan tahun 1970, ikan nila terus berkembang dan semakin disukai masyarakat, bahkan dapat mengalahkan jenis ikan lain yang sudah terlebih dahulu hadir di Indonesia. Hal ini disebabkan karena nila tergolong ikan yang harga jualnya terjangkau oleh masyarakat (Usni, 2003). Secara biologis, laju pertumbuhan ikan nila jantan lebih cepat dibandingkan dengan ikan nila betina (sexual dimorphism). Data-data empiris menunjukkan penggunaan populasi tunggal kelamin (monosex) jantan pada budidaya ikan nila akan memberikan produksi lebih baik dibandingkan populasi campuran (mixedsex) (Ariyanto et al., 2010). Masalah umum yang dihadapi dalam budi daya ikan nila adalah kemampuan reproduksi ikan yang tinggi, sehingga sukar diatur dan sering terjadi inbreeding. Akibatnya tingkat pertumbuhan ikan menjadi lambat 128 sehingga diperlukan waktu yang lama untuk mencapai ukuran konsumsi, bahkan pertumbuhannya sering terhenti (stagnan) (Mantau et al., 2001). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dikembangkan alternatif budidaya dengan pemeliharaan ikan secara tunggal kelamin, yaitu hanya memelihara benih ikan nila jantan saja karena pertumbuhannya lebih cepat dan ukurannya lebih besar dibanding nila betina (Jangkaru dan Asih, 1988). Benih ikan nila jantan dapat diproduksi secara komersil dengan teknik pengalihan kelamin (sex reversal) menggunakan hormon 17α-metil testosteron (Adel et al., 2006). Aplikasinya dilakukan secara oral (pemberian melalui pakan) dan perendaman larva (Mantau, 2005). Pembalikan kelamin dengan pemberian hormon androgen seperti metil testosteron cukup efektif untuk memproduksi populasi jantan.Tingkat keberhasilan merubah kelamin jantan dapat mencapai 96-100% (Zairin, 2002). Hormon sintetis lainnya yang umum digunakan seperti 17α-metil dihidroestosteron (MDHT) Jurnal Medika Veterinaria dan trembolon asetat. Namun seiring dengan perkembangannya, penggunaan hormon sintetis dikhawatirkan memberikan dampak negatif terhadap keamanan pangan dan kelestarian lingkungan (Bartet et al., 2003). Beberapa penelitian telah berhasil mengembangkan benih dengan menggunakan bahan senyawa steroid sintetis dan telah menghasilkan populasi monosex (Yamazaki, 1983). Hormon steroid sangat berpotensi untuk mengarahkan kelamin pada saat diferensiasi kelamin. Perlakuan dengan menggunakan hormon steroid sangat bergantung kepada jenis perlakuan, dosis, waktu, dan spesies (Donaldson dan Hunter, 1982). Pembentukan jenis kelamin jantan dengan rangsangan hormon perlu memperhatikan umur ikan. Shapiro (1987) menyatakan bahwa semakin muda umur ikan, peluang terbentuknya kelamin jantan semakin besar, dan semakin tua umur ikan peluang perubahan kelamin betina ke jantan makin berkurang. Pembentukan jenis kelamin jantan sebaiknya dilakukan pada umur 3-7 hari setelah telur menetas dan maksimal pada umur 7-10 hari (Suyanto, 1994). Menurut Adel et al. (2006), menyatakan bahwa senyawa sintetis memiliki beberapa kelemahan diantaranya sulit terurai di dalam tubuh, mencemari lingkungan, dan seringkali menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan, bahkan saat ini peredarannya sudah dibatasi oleh pemerintah. Selain itu berdasarkan penelitian, telah ada bukti bahwa penggunaan hormon sintetis mendapatkan hasil yang paradoks, terutama bila pemakaian dosis yang berlebihan atau waktu pemberian yang terlalu lama. Konsumen ikan menghendaki agar ikan yang dikonsumsinya diproduksi dari hasil produksi terbebas dari bahan-bahan yang berbahaya. Untuk itu langkah alternatif dalam rangka mencari pengganti hormon sintetis adalah penggunaan dengan senyawa bahan alami. Senyawa bahan alami memiliki kelebihan diantaranya mudah terurai dalam tubuh, efek samping yang ditimbulkan sedikit, dan menekan biaya operasional. Pemanfaatan senyawa dari bahan alami diharapkan dapat mudah diaplikasikan pada tingkat budidaya ikan agar lebih efektif dan efisien (Wiryodigdo, 2005). MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan larva ikan nila berumur 7 hari sebanyak 270 ekor yang diperoleh dari Balai Benih Ikan Jantho, Aceh Besar. Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan I (kontrol) larva ikan sebanyak 30 ekor diberi pakan pelet secara ad libitum. Perlakuan II pemberian pakan yang mengandung hormon metil testosteron alami (Produksi BATAN) selama 20 hari secara ad libitum. Perlakuan III larva ikan direndam dalam 2 liter air yang dilarutkan dengan 0,25 g hormon metil testosteron alami selama 20 jam. Selanjutnya ikan dipelihara sesuai prosedur yang berlaku dalam kolam terpal sampai berumur 60 hari. Rosmaidar, dkk Pada umur ke-60 hari dilakukan pengamatan jenis kelamin berdasarkan jumlah lubang disekitar anus. Pada ikan nila jantan terdapat dua lubang yaitu lubang anus dan lubang urogenital, sedangkan pada ikan nila betina terdapat tiga lubang yaitu lubang anus, lubang ureter, dan lubang genital. Persentase jenis kelamin jantan ditentukan menurut Zairin (2002) dengan menggunakan rumus: J (%) = A x 100% T J (%) : persentase jenis kelamin jantan (%) A : jumlah ikan jantan T : jumlah sampel ikan yang diamati Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan mengunakan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemeriksaan persentase jenis kelamin jantan ikan nila yang diberi perlakuan hormon metil testosteron alami melalui pakan dan melalui perendaman disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.Persentase jenis kelamin jantan ikan nila setelah diberi perlakuan pemberian hormon metil testosteron alami pada kontrol, melalui pakan, dan melalui perendaman Rata-rata (±SD) persentase Perlakuan jenis kelamin jantan Perlakuan I (kontrol) 36,39±3,97a Perlakuan II (pemberian hormon melalui pakan) 66,72±6,13b Perlakuan III (perendaman dalam hormon) 82,37±6,87c a, b, c Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase jenis kelamin jantan kelompok yang diberi hormon metil testosteron alami melalui pakan dan perendaman berbeda sangat nyata (P<0,05) dengan kelompok kontrol. Persentase jenis kelamin jantan tertinggi terdapat pada pemberian hormon metil testosteron secara perendaman (perlakuan III). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian hormon metil testosteron dapat meningkatkan persentase jenis kelamin jantan lebih banyak. Secara genetika jenis kelamin ditentukan oleh gonosom atau kromosom kelamin. Hal ini telah ditetapkan semenjak terjadinya pembuahan. Namun demikian pada masa-masa awal sebelum diferensiasi kelamin, faktor lingkungan sangat berperan dalam mengarahkan ekspresi gen (genotipe) tanpa mengubah fenotipenya. Dengan demikian, pada akhirnya jenis kelamin suatu organisme ditentukan secara bersama oleh gen dan lingkungan (Suciptoet al., 2004). Hasil yang diperoleh dalam penenlitian ini masih lebih rendah daripada hasil yang diperoleh Zairin 129 Jurnal Medika Veterinaria (2002). Faktor utama penyebab rendahnya persentase jenis kelamin jantan ikan nila yang didapat dengan pemberian hormon metil testosteron alami dari testis sapi (produksi BATAN) dalam penelitian ini diduga karena rendahnya kandungan bahan aktif dari hormon metil testosteron alami. Faktor lain yang diduga menjadi penyebab rendahnya persentase jenis kelamin jantan ikan nila dengan menggunakan hormon metil testosteron alami yaitu masih adanya pengaruh hormon lain yang ikut beraktivasi pada proses perubahan kelamin ikan. Adapun penyebab ikut bekerja aktif beberapa hormon selain testosteron dikarenakan bahan yang digunakan masih berupa ekstrak kasar sehingga masih sangat memungkinkan masih ada hormonhormon steroid lain (estrogen, progesteron, dan inhibin testosteron). Pengarahan kelamin merupakan salah satu teknik yang dapat dilakukan untuk memperoleh keturunan monosex, baik jantan maupun betina. Dalam merangsang perubahan kelamin pada ikan, pemberian dengan hormon steroid harus dimulai pada waktu yang tepat. Waktu yang tepat untuk perlakuan tersebut tergantung pada saat terjadinya diferensiasi kelamin ikan (Yamazaki, 1983). Periode yang baik untuk memberikan perlakuan adalah pada stadium benih atau pada saat ikan mulai makan. Benih yang digunakan dalam penerapan teknologi pembalikan kelamin (sex reversal) adalah benih berumur 7 hari setelah menetas atau panjang total berkisar antara 9-13 mm, karena ikan dengan ukuran dan panjang tersebut secara morfologis masih belum mengalami diferensiasi kelamin (Torrans dan Lowell, 1988). Berkaitan dengan hal tersebut, Hines dan Watts (1995), menyatakan ketika benih berukuran 9 mm merupakan saat yang baik memulai manipulasi diferensiasi kelamin dengan waktu pemberian perlakuan enam minggu. Walaupun demikian keberhasilan perubahan jenis kelamin juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tipe dan dosis hormon yang digunakan, metode pemberian hormon, lama perlakuan, dan jenis ikan (Hines dan Watts, 1995). Menurut Zairin (2002), dosis hormon yang diberikan sangat berpengaruh terhadap sex reversal ikan. Pemberian dosis yang terlalu rendah akan menyebabkan proses pengarahan perubahan kelamin berlangsung kurang sempurna. Pemberian dosis yang tinggi akan menyebabkan kecenderungan ikan menjadi steril dan limbah sisa perlakuan yang dikhawatirkan mencemari lingkungan sehingga memengaruhi perbandingan kelamin ikan. Penggunaan dosis biasanya dikaitkan dengan lama perlakuan. Dosis yang tinggi biasanya dilakukan dalam waktu yang pendek sedangkan dosis rendah diberikan dalam jangka waktu panjang. Meningkatnya jumlah ikan jantan pada kelompok yang diberi hormon metil testosteron alami dalam penelitian ini diduga akibat adanya kandungan bahan aktif dari hormon metil testosteron alami. Senyawa stigmasterol mempunyai daya ikat pada reseptor sehingga memengaruhi sistem endokrin ikan. Daya ikat 130 Vol. 8 No. 2, Agustus 2014 stigmasterol pada reseptor akibat adanya kemiripan antara struktur molekul stigmasterol dengan kolesterol dan hormon androgen (Tremblay dan Van der Kraak, 1998). Selain gonad jantan dan betina, dalam perlakuan perendaman metil testosteron juga didapati gonad dengan status intersex, yang dalam satu gonad terdapat bakal sel jantan (sperma) dan bakal sel betina (ovum). Hampir pada setiap perlakuan alih kelamin terdapat ikan yang kelaminnya intersex. Pada penelitian ini terdapat 13,3% ikan berstatus intersex pada perlakuan perendaman sebanyak 20 mg/l. Pada penelitian Muslim (2010), terdapat sebanyak 8,3% ikan nila intersex dengan pemberian tepung testis sapi dalam pakan. Iskandar (2010), mendapati 7,8% ikan intersex dengan perlakuan perendaman ekstrak testis sapi pada ikan nila. Pada ikan Pomoxis nigromaculatus terdapat 23% ikan dengan status intersex (Arslan, 2004). Gangguan pada organ reproduksi juga terjadi pada ikan kakap Eropa (Dicentrarchus labrax) pada usia dewasa setelah perendaman dengan hormon metil testosteron yang mencapai 11% ikan intersex (Chatain, 1999). Menurut Zairin (2002), ikan intersex merupakan penyimpangan pembentukan kelamin akibat dosis hormon atau lama perlakuan yang kurang tepat pada saat perlakuan. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari dosis dan lama perlakuan optimum dalam perlakuan alih kelamin untuk meningkatkan populasi jantan dan mengurangi ikan intersex. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian hormon metil testosteron alami dapat meningkatkan persentase jenis kelamin jantan. Pemberian secara perendaman lebih baik daripada pemberian melalui pakan. DAFTAR PUSTAKA Adel, M.E.S., A. Ashraf, Ramadan, and Y.A.E. Khattab. 2006. Sexreversal of Nile Tilapia Fry Using Different Doses of 1ator 7a-Methyl Testosterone at Different Dietary Protein Levels. Center Labory for Aquaculture Research. Abbassa, Abohammad. Sharkia Governorate Egypt. Ariyanto, D.K., Sumantadinata, dan A.O. Sudrajat. 2010. Diferensiasi kelamin tiga genotip ikan nila yang diberi bahan aromatase inhibitor. Jurnal Ris Akuakultur. 5(2):166. Arslan, T. 2004. Production of monosex male black crappie, Pomoxis nigrgomaculatus, Populatiaons by multiple androgen immersion. Aquaculture. 234:561-573. Bartet, A.N., A.R.S.B. Athauda, M.S. Fitzpatrick, and W.M.C. Sanchez. 2003. Ultrasound and enhanced immersion protocols for masculinization of nile tilapia (Oreochromis niloticus). Jurnal of The World Aquaculture Society:210-216. Chatain, B., E. Saillant, and S. Peruzzi. 1999. Production of monosex male populations of european seabass, Dicentrarchus labrax L. by use of the synthetic androgen17α-methyldehydrotestosterone. Aquaculture. 178:225-234. Donaldson, E.M. dan G.A. Hunter. 1982. Sex control in fish with carticular reference to salmonids Canadian. Journal of Fisheries and Aquatic Sciences. 39:99-110. Hines, G.A. and S.A. Watts. 1995. Non-steroidal chemical sex manipulation of tilapia. Journal of The World Aquaculture Society. 26:98-101. Jurnal Medika Veterinaria Iskandar, A. 2010. Efektifitas Ekstrak Tepung Testis Sapi dalam Alih Kelamin Ikan Nila Oreochromis niloticus Melalui Teknik Perendaman. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jangkaru, Z. dan M.S. Asih. 1988. Pembesaran ikan nila secara tunggal kelamin dan campuran di kolan tanah. Bulletin Penelitian Perikanan Darat Bogor. 7(1):53-60. Mantau, Z. 2005. Produksi benih ikan nila jantan dengan rangsangan hormon metil testosteron dalam tepung pelet. Jurnal Litbang Pertanian. 24 (2):80-82. Mantau, Z., A. Supit, Sudarty, J.B.M. Rawung, U. Buchari, L. Oroh, J. Sumampow, dan A. Mamentu. 2001. Penelitian Adaptif Pembenihan Ikan Mas dan Maskulinisasi Ikan Nila di Sulawesi Utara. Laporan Hasil Penelitian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Kalasey, Sulawesi Utara. Mozes, R.T. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung. Muslim. 2010. Maskulinisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Pemberian Tepung Testis Sapi. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Shapiro, Y.D. 1987. Differentiation and evolution of sex change in fishes. Bioscient. 37(7):490-496. Rosmaidar, dkk Sucipto, A., S. Hanif, D. Junaedi, dan T. Yuniarti. 2004. Breeding Program Produksi Nila Kelamin Jantan di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Sukabumi. Jawa Barat. http://defishery. files.wordpress.com/2009/11/hibridasi-ikan-nila-bbat-sukabumi.pdf. Suyanto, S.R. 1994. Nila. Penebar Swadaya, Jakarta. Torrans, L.F.M. dan F. Lowell. 1988. Sex reversal of Oreochromis aureus by Immersionin mibolerone. A synthetic steroid. Jurnal of The World Aquaculture Society. 19:97-102. Tremblay, L. dan G.L. Van Der Kraak. 1998. Use of a series of homologous in vitro and in vivo assays to evaluate the endocrine modulating actions of β-sitosterol in rainbow trout. Aquatic Toxicology. 43:149-162. Usni, A. 2003. Pembenihan dan Pembesaran Nila Gift. Swadaya, Jakarta. Wiryodigdo, S. 2005. Khasiat dan Keamanan Obat Alami. Seminar Obat Alami VS Obat Sintetis: Sudah Aman dan Efektifkah Obat yang Kita Konsumsi. FMIPA, Universitas Indonesia, Depok. Yamazaki, R. 1983. Sex Control and manipulation in fish. Jurnal Aquaculture. (33):329-354. Zairin, M.J.R. 2002. Sex Reversal Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya, Jakarta. 131