Pengasuhan Dua Anak Laki-laki Bergejala Autis pada Keluarga

advertisement
Pengasuhan Dua Anak Laki-laki Bergejala Autis pada Keluarga Batak
dalam Mempertahankan Nilai Hamoraon, Hagabeon, dan Hasangapon
Irin Oktafiani
Endang Partrijunianti
Antropologi Sosial, FISIP, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini menjelaskan mengenai pola pengasuhan dua anak laki-laki bergejala autis dalam keluarga Batak.
Perasaan sayang yang dirasakan oleh orangtua kemudian terbentuk menjadi perilaku dalam pengasuhan anak
mereka. Walaupun lahir dengan keadaan berbeda, anak laki-laki bergejala autis tetap diasuh seperti anak normal
lainnya dalam rangka mempertahankan nilai budaya dalam masyarakat Batak. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara in-depth interview dan pengamatan untuk mendapatkan data yang menjelaskan keterkaitan
pengasuhan dua keluarga dengan anak laki-laki bergejala autis, terhadap nilai budaya masyarakat Batak, yaitu
hamoraon, hagabeon, dan hasangapon.
The Upbringing of Children with Autism Symptoms in Two Bataknese Family to keep
the Cultural Values of Hamoraon, Hagabeon, and Hasangapon
Abstract
This thesis explains about upbringing patterns of two male child with autism symptoms in Batak’s family. The
love felt by the parents then, becomes into behaviors to raise their children. Although born in different being
like others, but these male child with autism symptoms still treated like normal children to keep the Bataknese
cultural values. Datas collected by in-depth interview and observation way to explain about the connection
between the upbringings of two families of boys with autism symptoms towards Bataknese cultural values of
hamoraon, hagabeon, and hasangapon.
key words: cultural value; upbringing; Bataknese male child; autism
1 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Pendahuluan
Studi mengenai sistem kekerabatan mendapat perhatian khusus dalam disiplin
antropologi dan menjadi penting karena berperan sebagai dasar dalam memahami
perkembangan teori-teori yang ada dalam masyarakat (Keesing,1975). Seseorang tidak dapat
mempelajari dan memahami aspek kehidupan suatu masyarakat tanpa terlebih dahulu
memahami sistem kekerabatan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Oleh karena itu,
walaupun terkesan sebagai studi “primitif” namun, mempelajari sistem kekerabatan tetap
diperlukan agar lebih mudah memperoleh pemahaman dalam mempelajari masyarakat.
Sistem kekerabatan (kinship) dapat terbentuk dari hubungan darah atau hubungan
perkawinan (Ferraro, 2004:222). Kekerabatan berisi dua atau lebih generasi keluarga. Setiap
suku bangsa dalam masyarakat memiliki sistem kekerabatan yang berbeda. Secara garis
besar, sistem kekerabatan yang ada di dunia ini terbagi ke dalam tiga sistem keturunan, yaitu:
patrilineal, matrilineal, dan cognatic (Keesing, 1975:17). Perbedaan ketiga sistem ini dapat
dilihat dari cara menarik garis keturunan. Sistem kekerabatan patrilineal adalah sistem
kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah, sedangkan dalam
sistem kekerabatan matrilineal, garis keturunan ditarik dari pihak perempuan atau ibu.
Kemudian, sistem kekerabatan cognatic adalah sistem kekerabatan yang garis keturunannya
dapat ditarik dari pihak laki-laki ataupun perempuan dan bisa juga kombinasi dari keduanya.
Di dalam sistem kekerabatan ada istilah klan atau yang lebih dikenal dengan marga.
Marga adalah kelompok orang yang berasal dari keturunan seorang kakek bersama (Ihromi,
1986:9). Jika garis keturunan diperhitungkan dari garis pihak laki-laki maka marga tersebut
bersifat patrilineal. Marga atau klan tidak bisa dilepaskan dari sistem kekerabatan. Di dalam
tulisan Loeb (1933) mengenai sistem kekerabatan Batak dan Minangkabau, dituliskan bahwa
marga ikut mengatur beberapa aspek dalam kehidupan, diantaranya; hak dan kewajiban,
pembagian harta warisan dan tata cara berkomunikasi di depan umum.
Keluarga dan kekerabatan tidak akan bisa muncul jika laki-laki dan perempuan tidak
menjalin hubungan yang bertujuan memiliki anak (Ferarro, 2004: 224). Kehadiran anak
menjadi penting sebagai penerus keturunan. Pada beberapa suku bangsa tertentu, anak tidak
hanya berperan sebagai penerus keturunan tetapi juga, berperan sebagai penerus adat-istiadat
yang dipegang dalam masyarakat. Anak-anak tersebut belajar dari keluarga dan
lingkungannya agar kelak dapat menggantikan posisi pemimpin dalam keluarga atau bahkan
2 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengasuhan anak oleh keluarga menjadi penting agar
anak kelak ‘layak’ untuk menjadi penerus klan.
Keluarga Batak memiliki sistem kekerabatan dengan prinsip patrilineal (Melalatoa,
1995:33). Peran laki-laki menjadi penting karena terdapat tugas yang harus diemban oleh
mereka. Bukan berarti keluarga Batak tidak melihat peranan perempuan dalam sistem
kekerabatannya, namun laki-laki memiliki peran yang lebih penting sebagai penerus nama
keluarga. Sejak kecil, anak lelaki di keluarga Batak sudah dipersiapkan agar memahami
segala hal tentang adat mereka. Persiapan tersebut dimulai dengan belajar bahasa Batak dan
mencintai desa (bonapasogit) (Limbong, 1997) kemudian, anak tersebut harus dapat
menerapkannya dengan baik. Anak laki-laki juga akan mendapatkan pelajaran mengenai
nenek moyang mereka dalam silsilah keluarga Batak, mulai dari opung sampai ke generasi
mereka. Kemudian akan diberikan pula pelajaran tentang nilai-nilai budaya Batak dalam
perkumpulan marga (Saragih, 1997). Gultom (2004: 88) menuliskan, bahwa keluarga yang
memiliki anak laki-laki akan lebih menonjol secara sosial dan budaya dibandingkan dengan
keluarga tanpa anak laki-laki.
Pentingnya kehadiran anak laki-laki bagi keluarga Batak, secara khusus terlihat dalam
nilai yang diyakini keluarga Batak Toba. Semakin banyak anak laki-laki, maka akan semakin
‘kaya’ dan sempurna sebuah keluarga. Orang Batak Toba menganggap hanya anak lakilakilah yang dapat meneruskan marga. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, jika sang istri
sudah tidak bisa melahirkan anak laki-laki, maka suami akan memilih menikah dengan
perempuan lain demi kehadiran anak laki-laki dalam keturunannya (Situmorang, 1989). Pada
akhirnya, kehadiran anak laki-laki dalam keluarga dapat dilihat sebagai sebuah tuntutan yang
harus dipenuhi. Walaupun, kini banyak orangtua yang tidak lagi mementingkan hal tersebut,
namun seringkali tuntutan itu justru datang dari para mertua (Hutabarat, 2010).
Saya memiliki beberapa teman yang berasal dari keluarga Batak dan di antara mereka
terdapat cerita-cerita menarik tentang upaya memiliki anak laki-laki dalam keluarganya.
Seorang teman saya pernah bercerita tentang keinginan ayahnya memiliki anak laki-laki
dalam keluarga mereka. Teman saya itu merupakan anak pertama perempuan dan ia
mengetahui dari ibunya bahwa ayahnya agak kecewa ketika anak pertama dalam keluarganya
berjenis kelamin perempuan. Kemudian orangtuanya berusaha lagi namun, hasilnya masih
tidak memuaskan, anak kedua dan ketiga mereka adalah kembar perempuan. Usaha terus
berlanjut, namun takdir berkata lain, anak keempat mereka juga berjenis kelamin perempuan.
Memiliki empat anak bukanlah hal yang mudah karena ada banyak biaya yang harus
3 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
dikeluarkan untuk masa depan mereka, pada akhirnya ayahnya menyerah untuk mendapatkan
anak laki-laki dan mulai bersyukur dengan semua yang dimilikinya.
Berbeda dengan tetangga saya yang menikah pada usia 25 tahun. Ia dan suami
menginginkan anak laki-laki dan ternyata terkabul. Kemudian dengan jeda dua tahun, ia bisa
mengandung lagi dan melahirkan anak laki-laki. Kini pasangan tersebut menghentikan
program untuk memiliki anak karena merasa dua anak laki-laki sudah cukup untuk
meneruskan marganya. Dari cerita-cerita tersebut, saya dapat menyimpulkan kehadiran anak
laki-laki dalam keluarga Batak dinilai sangat penting untuk penerus marga dan pemimpin
keluarga pengganti ayahnya.
Penilaian keluarga Batak terhadap kehadiran anak lelaki dapat dikatakan tidak banyak
berubah. Walaupun dalam beberapa kasus orangtua sudah dapat menerima apapun jenis
kelamin anaknya namun, tuntutan memiliki anak lelaki masih ada dan cukup besar
jumlahnya. Kenyataannya kadang anak laki-laki yang sangat diharapkan kehadirannya itu,
terlahir dengan kondisi autis. Namun, keluarga tetap memiliki beban untuk melanjutkan
nama keluarga melalui kehadiran anak laki-laki tersebut. Oleh karena itu, penting untuk
melihat cara pengasuhan anak laki-laki bergejala autis dalam keluarga Batak. Kondisi autis
akan mengganggu perkembangan anak dalam belajar apalagi gejala autis ini muncul dalam
usia awal kanak-kanak. Anak dengan gejala autisme akan menlewati masa perkembangan
yang berbeda dengan anak pada umumnya. Masa perkembangan yang berbeda ini akan
membuat orangtua memiliki perasaan tertentu terhadap anaknya, apalagi jika anak tersebut
harus berinteraksi di luar keluarga inti mereka, misalnya keluarga kedua orangtuanya atau
tetangga di sekitar tempat tinggalnya.
Orang Batak memiliki tiga nilai kebahagiaan yang ingin dicapai dalam kehidupannya
yaitu hamoraon (kekayaan), hagabeon (beranak cucu), dan hasangapon (dihormati). Semua
orang Batak ingin mencapai ketiga nilai tersebut. Kondisi anak dengan gejala autis bisa
menjadi penghambat dalam mencapai ketiga nilai tersebut. Kesulitan interaksi kemungkinan
akan menghambat anak dalam mencapai kekayaan, memiliki pasangan dan anak, dan
mendapatkan kehormatan dalam masyarakat.
Sudah ada banyak penelitian mengenai pengasuhan anak autis dalam keluarga yang
dilakukan oleh disiplin ilmu psikologi. Beberapa penelitian dalam psikologi di antaranya;
sudah membahas mengenai perawatan anak autis, kepuasan rumah tangga orangtua dengan
anak bergejala autis dan juga pola pengasuhan yang dilakukan oleh ibu Batak terhadap anak
yang menderita gejala autis (lihat Rahmah, 2012; Haris, 1984; Diana, 2000). Disiplin
antropologi belum pernah membahas mengenai pengasuhan anak dalam masyarakat Batak
4 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
yang menderita autisme, tetapi sudah banyak tulisan mengenai masyarakat dan kebudayaan
Batak.
Anak laki-laki adalah penyambung keturunan bagi keluarga Batak yang mempunyai
sistem kekerabatan patrilineal. Peran mereka sebagai penyambung nama marga yang
kemudian akan mewakili keluarganya dalam bersosialisasi dengan keluarga lain. Oleh karena
itu masih banyak keluarga Batak yang mengusahakan kehadiran anak laki-laki dalam
keluarga mereka agar kelak bisa menggantikan posisi ayah mereka dalam meneruskan nama
marga.
Bagi orang Batak memiliki anak laki-laki dengan kondisi autis tentu sangat
menyedihkan, mengingat bagi orang Batak anak laki-laki sangat berharga dan diharapkan
sebagai penerus klan (marga). Bertolak dari kenyataan itu, pertanyaan yang diajukan dalam
skripsi ini adalah bagaimana sikap dan perilaku orangtua untuk menunjukkan cara mereka
dalam menanggapi gejala autis anaknya dan mengatasi perasaan kecewa atau sedih yang
mereka rasakan? Pengasuhan seperti apa yang mereka lakukan sehingga anak dengan gejala
autis dapat dididik untuk mampu memenuhi sebagian nilai budaya masyarakat Batak?
Tulisan saya ini akan melengkapi kajian-kajian psikologi dan antropologi sebelumnya
karena akan menggambarkan perasaan yang dialami oleh orangtua (ayah dan ibu) yang
memiliki anak autis hingga akhirnya tercipta pola pengasuhan tertentu. Kemudian saya juga
melihat dari sisi perspektif kebudayaan Batak dan ketiga nilai kebahagiaan (hamoraon,
hagabeon, dan hasangapon) sebagai acuan perilaku orangtua, tidak hanya dalam perspektif
pengasuhan anak seperti yang pernah ditulis oleh kajian psikologi. Tulisan ini akan
menitikberatkan perilaku orangtua dua keluarga yang menjadi informan saya terkait dengan
keadaan mereka sebagai orangtua bersuku bangsa Batak dan sudah tidak tinggal di daerah
asalnya, yaitu keluarga Charles dan Tyson.
Pengasuhan dalam Antropologi
Ada banyak definisi dari pengasuhan. Meskipun demikian, dari sisi antropologi,
pengasuhan terkait dengan hubungan antara pengasuh dan subjek yang diasuh. Lebih dari itu,
pengasuhan dalam tulisan etnografi sebagai sarana mempelajari masyarakat, dikaitkan
dengan masa tumbuh kembang anak dan pengenalan anak kepada lingkungan agar anak
menjadi sama dengan yang diinginkan lingkungan (Rodgers, 1988). Oleh karena itu, masa
kanak-kanak menjadi hal yang penting untuk dilihat karena berhubungan dengan cara-cara
penanaman nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
5 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Pengasuhan anak dikaji secara intensif dalam bidang antropologi psikologi sebagai:
(1) media untuk mentrasmisikan suatu konfigurasi kebudayaan dari suatu generasi ke
generasi lain; (2) pengasuhan anak juga merupakan alat komunikasi orangtua dan anak-anak
mereka (Danandjaja, 1988). Untuk melihat hubungan yang terbentuk dalam pengasuhan,
antropologi bisa menggunakan analisis yang dikembangkan Gregory Bateson yang disebut
sebagai schismogenesis, yaitu suatu proses pembedaan dalam norma-norma kekhasan pribadi
sebagai akibat dari interaksi antarindividu yang terus-menerus secara berulang. Oleh sebab
itu, kita bisa melihat schismogenesis melalui pola watak yang dimunculkan ke dalam
beberapa tipe, yaitu dominance-submission, succorance-dependance, dan exhibitionismspectator.
Dalam disiplin ilmu psikologi pengasuhan bertumpu pada aksi orangtua atau orang
dewasa sebagai pengasuh dalam menentukan sesuatu yang ‘tepat’ bagi anaknya. Menurut
Sunarti (2004), pengasuhan merupakan implementasi dari serangkaian keputusan yang
dilakukan orangtua atau orang dewasa kepada anak sehingga memungkinkan anak menjadi
bertanggung jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, dan memiliki karakter-karakter
yang baik. Menjadi anggota masyarakat yang baik dan memiliki karakter yang baik
merupakan tujuan aksi dari si pengasuh.
Di sisi lain, ada pula yang melihat pengasuhan melalui prosesnya. Jika proses ini
berlangsung dengan baik maka pengasuhan dianggap berhasil. Konsep pengasuhan ini
diungkapkan oleh Berns (1997), pengasuhan diartikan sebagai sebuah proses interaksi yang
berlangsung terus-menerus antara orangtua dan anak. Menurut Berns pengasuhan
mengutamakan interaksi yang terus-menerus dan tidak ada tujuan untuk masyarakat seperti
pada konsep pertama, karena dalam pengasuhan ini, hal yang terpenting adalah hubungan
antara orangtua dan anak.
Dari ketiga konsep di atas dapat saya simpulkan bahwa pengasuhan adalah proses
interaksi antara pengasuh dan subjek yang diasuh dalam rangka menjadikan subjek asuh
sesuai dengan kemauan dan tujuan dari pengasuhnya. Tujuan dari si pengasuh ini bisa dalam
bentuk agar diterima dengan baik dalam masyarakat, menjadi anggota masyarakat yang baik
atau bisa saja sekadar menjaga hubungan orangtua dengan anaknya. Pada tulisan ini saya
memakai konsep pengasuhan yang diajukan oleh Rodgers (1988) dan Danandjaja (1988)
bahwa pengasuhan disimpulkan sebagai masa untuk mempersiapkan anak agar kelak dapat
bergabung dalam masyarakat dan mentransmisikan suatu konfigurasi kebudayaan secara
turun-temurun.
6 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Macam-macam Pola Pengasuhan dalam Psikologi
Di dalam disiplin ilmu psikologi, pengasuhan erat kaitannya dengan peran orangua
dalam mengajarkan batasan-batasan serta aturan yang harus diikuti oleh anak menuju
kedewasaan. Dalam mengajarkan batasan berserta aturan tersebut terdapat empat jenis pola
yang dipakai oleh orangtua dalam mengasuh anaknya. Pada tahun 1971 Diana Baumrind
menjelaskan ada empat jenis parental patterns, yaitu authoritarian parenting, authoritative
parenting, permissive-indulgent, dan permissive-indifferent.
Keempat pola pengasuhan tersebut memiliki penjelasan masing-masing. Pertama
authoritarian parenting adalah cara pengasuhan yang otoriter. Orangtua menempatkan
perannya sebagai pemegang kendali dalam kehidupan anak. Ada batasan dan aturan yang
jelas antara hal yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Kedua, authoritative parenting
merupakan pengasuhan yang mengandalkan musyawarah dalam setiap pengambilan
keputusan untuk anak. Anak dilibatkan juga dalam menentukan apa yang baik dan tidak baik
bagi dirinya. Dalam pengasuhan jenis ini ada kompromi antara orangtua dan anak. Ketiga
adalah permissive-indulgent yaitu pengasuhan yang lebih membebaskan anak dalam
menentukan batasan dan aturan dalam hidupnya. Orangtua hanya memainkan sedikit peran
dalam kehidupan anak. Biasanya dengan pola pengasuhan ini anak akan menjadi nakal dan
manja kepada orangtua. Terakhir adalah permissive-indifferent, dalam pola ini orangtua sama
sekali tidak berperan dalam kehidupan anak. Bisa dikatakan orangtua lepas tangan dalam
menentukan batasan dan aturan dalam kehidupan anak. Pola pengasuhan ini semakin jelas
dengan adanya kehadiran pengasuh bayaran atau nanny di dalam rumah. Orangtua kehilangan
perannya dalam pola pengasuhan ini
Keluarga Batak
Para ahli antropologi secara khusus telah banyak membahas mengenai suku bangsa
Batak dan ragam kehidupannya. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan keluarga Batak
adalah keluarga luas keturunan Batak yang memiliki marga dari garis keturunan laki-laki
langsung, dan bukan dengan proses pembelian marga.
Suku bangsa Batak memiliki sistem patrilineal yang mengatur garis keturunan dari
laki-laki (Loeb, 1933). Laki-laki dalam keluarga Batak akan meneruskan keluarga melalui
marga yang mereka sandang. Marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan
keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan itu diperhitungkan dari garis lakilaki atau bersifat patrilineal (Ihromi, 1986: 9). Anak laki-laki menjadi penting dalam keluarga
7 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Batak karena selain sebagai penurun marga, anak laki-laki juga sebagai penerima warisan
dan gelar-gelar adat (Loeb, 1933).
Autis
Sudah banyak literatur yang membahas mengenai autisme seperti psikologi, filsafat
dan arkeologi. Beberapa literatur psikologi membahas ciri-ciri anak autis, kepuasaan
pernikahan bagi orangtua yang memiliki anak autis dan terapi yang dapat digunakan untuk
menyembuhkan anak autis (lihat Diana, 2006). Dalam bidang filsafat Melissa Majorie Park
(2005) menuliskan etnografi mengenai suasana klinik terapi anak autis. Kemudian dalam
bidang arkeologi dibahas mengenai autisme sebagai integrasi yang berbeda dari perilaku
manusia modern (Pikkins, 2009).
Liu dan kawan-kawan (2010:328) mendefinisikan autis sebagai berikut: autism is a
developmental disorder that profoundly limits the ability of those with the disease to
communicate, form and maintain social relations, and respond to environmental stimuli.
Berdasarkan definisi ini penyandang autis mengalami gangguan dalam berkomunikasi,
merespons, dan membangun relasi sosial terhadap lingkungannya. Penelitian menyatakan
bahwa anak autis dapat di didiagnosis melalui ciri-ciri khusus yaitu children with AD (Autism
Disease) may show a failure to cuddle; an indifference to affection or physical contact; a
lack of eye contact, facial responsiveness, or socially directed smiles; and a failure to
respond to their parents' voices (Ijzendoorn, 2007:598).
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) autis masuk
dalam kategori golongan gangguan perkembangan pervasif F84. Kelompok gangguan
golongan F84 ditandai dengan abnormalitas kualitatif dalam interaksi sosial dan pola
komunikasi (1993:327). Autisme pada masa kanak-kanak lebih spesifik lagi masuk ke dalam
kategori golongan F.84.0 ditandai dengan adanya abnormalitas yang muncul sebelum usia 3
tahun dan dengan ciri fungsi yang abnormal dalam tiga bidang dari interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang-ulang (1993:328).
Jadi autis dalam tulisan ini adalah kondisi gangguan syaraf yang menyebabkan
penderita kesulitan dalam berkomunikasi, merespons dan membangun relasi sosial dan
emosional dengan lingkungannya yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bab selanjutnya.
Keluarga Tyson
Pak J dan Ibu T bukanlah orang asli dari Tangerang. Mereka adalah pendatang namun
sudah belasan tahun di Tangerang. Besar di daerah masing-masing Pak J dan Ibu T menikah
karena Pak J berteman dengan abang Ibu T yang sama-sama bekerja sebagai supir bis malam
8 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
di Tangerang. Mereka dikenalkan kemudian menikah. Pak J menjelaskan jika bukan karena
mengenal abang dari Ibu T pasti sang istri tidak mau dengannya.
Pada awal pernikahan Pak J dan Ibu T sama-sama bekerja. Mereka tinggal di sebuah
rumah yang berbeda dari rumah yang sekarang. Di rumah yang terdahulu mereka sudah
memiliki Abel dan Tyson yang masih berumur dua tahun. Pak J menceritakan bahwa mereka
pindah ke rumah yang sekarang adalah sebuah keputusan yang berat buatnya karena sudah
tidak bisa bekerja lagi dan rumah yang ditempati sekarang adalah rumah kontrakan yang
lebih murah.
Tepat sudah tujuh tahun berlalu Pak J sudah tidak bekerja lagi dikarenakan matanya
sudah tidak bisa melihat jelas. Ia menjelaskan pada saat melihat matanya merasa buram.
Kondisi ini ia dapatkan setelah sebelumnya Pak J sakit gigi. Sakit gigi ini awalnya ia abaikan
kemudian karena kepalanya semakin pusing akhirnya ia memutuskan untuk mencabut
giginya sendiri. Ternyata keputusannya mencabut gigi berakibat kepada kondisi
pengelihatannya. Esok harinya ia tidak bisa melihat dengan jelas dan sudah tujuh tahun
kondisi ini ia rasakan. Dengan kondisi mata buram seperti itu akhirnya Pak J tidak bisa
bekerja lagi sebagai sopir.
Pak J mengatakan bahwa sekarang kondisinya sudah lebih baik dan sudah bisa
bekerja sedikit-sedikit. Perusahaan bis malam pun mau mempekerjakannya menjadi tukang
cuci bis. Ia mengatakan bahwa ia bersyukur karena masih dapat kepercayaan sebagai tukang
cuci. Ia merasa sedih jika hanya berdiam diri di rumah dan tidak menghasilkan uang. Jadi
setiap pekerjaan yang ditawarkan akan ia usahakan untuk mendapatkan tambahan bagi
keluarga.
Pak J mengaku sudah tujuh tahun ini tidak berkomunikasi baik dengan istrinya
semenjak matanya menjadi buram dan kehilangan pekerjaan. Ia mengerti bahwa istrinya
menjadi terbebani karena harus bekerja sendirian untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh
karena itu ia rela jika harus bertukar posisi sebagai pengurus rumah tangga. Setiap hari
setelah mengantar Tyson ke sekolah Pak J akan mencuci dan membersihkan rumah.
Kemudian menjemput Tyson dan menyiapkan makanan mereka. Walaupun sudah bertukar
posisi di rumah tetapi tetap saja komunikasi antara Pak J dan Ibu T tidak membaik.
Pak J mengatakan kondisi rumah tangganya semakin memburuk semenjak mereka
pindah di rumah yang sekarang. Hal ini dikarenakan rumah adik istrinya berada di gang yang
sama dengan mereka. Jika ada pertengkaran adiknya sering ikut campur walaupun tidak
langsung berkata kepada Pak J, tapi Pak J yakin istrinya sudah ‘dikompori’ oleh adiknya. Ia
yakin kalau dirinya sering dibicarakan negatif oleh adik iparnya apalagi setelah ia tidak
9 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
bekerja. Oleh karena itu sekarang ini, semenjak pindah rumah, masalah kecil pasti akan
menjadi besar, masalah besar akan menghancurkan rumah tangga mereka.
Orangtua Tyson adalah orangtua yang sering melakukan kekerasan kepada anaknya
dan hal itu diakui oleh Pak J. Pak J dan istri sering memukul anaknya supaya anaknya mau
rajin belajar, tapi semenjak Tyson lahir Pak J sudah tidak mau memukul anak-anaknya lagi
berbeda dengan istrinya. Pak J mengakui bahwa ia ingin kedua anaknya bisa menjadi orang
yang sukses di masa depan dan tidak segan memukul agar anaknya bisa menjadi disiplin dan
pintar. Pak J tidak memukul anaknya lagi semenjak orangtuanya meninggal. Sebelum
meninggal orangtuanya berpesan untuk tidak kasar kepada cucu-cucunya karena anak-anak
memiliki memori yang kuat, orangtua Pak J tidak mau jika nantinya cucunya menyimpan
dendam kepada orangtuanya. Orangtua Pak J menyadari kalau masa tua mereka terletak di
tangan anak-anaknya apabila saat mereka kecil suda disakiti, pada saat dewasa mereka akan
menelantarkan orangtuanya dan tidak menyayangi mereka. Pada awal pernikahan Pak J tidak
terlalu memegang prinsip ini tetapi terkadang saat ia menyadari kalau ia terlalu kasar kepada
anaknya ia akan mengajak anaknya pergi keluar rumah, membelikan jajanan dan meminta
maaf kepada anaknya.
Ada sebuah kejadian yang sampai sekarang masih diingat oleh Pak J. Pada saat itu
Tyson masih sangat kecil, Pak J sudah tidak bekerja. Kakak Tyson yaitu Abel meminta uang
kepadanya untuk jajan. Hari itu ia tidak memegang uang sama sekali. Pada saat Pak J sedang
mencuci baju, kemudian Abel memecahkan genteng yang ada di rumahnya. Ada tumpukan
genteng sisa di rumahnya yang ditaruh di belakang dekat tempat mencuci, kenang Pak J.
Pak J mengatakan bahwa istrinya masih melakukan pemukulan kepada anaknya sampai
sekarang. Hal itu dilakukan jika Pak J tidak ada di rumah. Namun sebagai kepala keluarga ia
masih dihormati karena jika ada Pak J, Ibu T tidak berani memukul anaknya.
Pak J mengatakan bahwa semester depan Tyson akan dipindahkan dari Tangerang. Ia
akan diasuh oleh opung dari ibunya. Pak J mengakui bahwa ia tidak mau kalau Abel yang
harus berpisah darinya karena ia sudah merasa sangat dekat dengan Abel. Berbeda dengan
Tyson yang ia anggap keterbelakangan dan memiliki sifat yang keras. Tyson akan lebih baik
dibesarkan di kampung supaya ibunya tidak stres dengan kelakuan anaknya.
Abel kakak Tyson merupakan kakak yang menyayangi adiknya. Hal ini saya ketahui
dari pengakuan guru sekolah minggu Abel. Pada saat Abel dan Tyson beribadah bersama di
gereja Abel selalu menjaga adiknya. Saya sendiri melihat kakaknya menjaga adiknya
walaupun hanya ada kesempatan satu kali waktu itu. Saya melihat Abel dengan baik
10 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
menasihati Tyson untuk tidak keluar masuk ruang ibadah agar tidak menganggu yang lain
dan Tyson menuruti kakaknya. Saat selesai ibadah juga Tyson terlihat dipeluk dari belakang
oleh kakaknya supaya tidak jalan-jalan dan mengganggu jemaat lain yang berlalu-lalang.
Saya sangat senang melihat Abel begitu menyayangi Tyson.
Dari pengakuan tetangganya, saya mengetahui kalau Ibu T suka memukul Tyson.
Tetangganya membenarkan kalau Ibu T memang sering melakukan pemukulan kepada
Tyson. Mereka menganggap Ibu T melakukan hal itu karena ada tekanan dari dalam
keluarga, Ibu T capek bekerja kemudian harus menghadapi anak yang malas belajar.
Tetangga sekitar rumah tidak melihat kalau pemukulan terhadap Tyson berlebihan karena
tidak pernah melihat luka yang ada pada tubuh Tyson. Jika ada luka, mereka pikir itu
hanyalah luka kecil akibat bermain.
Keluarga Charles
Keluarga Charles hanya sendirian di Tangerang ini. Saudaranya kebanyakan ada di
kampungnya di daerah gunung Sinabung sisanya menyebar di tempat lain. Walaupun bukan
orang asli Tangerang, tetapi Ibu Charles sudah lama tinggal di Tangerang. Ibu Charles sudah
di Tangerang sejak lulus kuliah dari IKIP di Medan. Kira-kira sudah lebih dari tiga puluh
tahun Ibu Charles tinggal di Tangerang. Suaminya juga sudah lebih dari dua puluh tahun
tinggal di Tangerang.
Orangtua Charles menikah di usia yang sudah tidak muda lagi. Ibu Charles menikah
di usia 40 sedangkan Ayah Charles lebih muda sepuluh tahun. Setelah menikah mereka tidak
langsung dikaruniai anak. Namun harus menunggu sekitar tujuh tahun sampai akhirnya bisa
mendapatkan Charles. Orangtua Charles sangat bersyukur dengan adanya kehadiran Charles
karena mereka berdua bisa melanjutkan marga.
Pada saat Charles berumur 6 bulan sampai 1,5 tahun Charles sering mengalami
kejang. Ibunya mengusahakan banyak cara agar penyakit kejangnya ini sembuh dan tidak
kambuh lagi.
Sampai sekarang orangtua Charles tidak mau marah kepadanya karena takut penyakitnya saat
kecil akan muncul lagi. Kedua orangtua Charles tidak tega jika mengingat bagaimana
anaknya pada masa kecil menderita.
Kasih sayang orangtua Charles tidak hanya saya ketahui lewat pengakuan
orangtuanya tetapi saya bisa melihat sendiri setiap saya mengajar di kelas dan pada saat saya
datang ke rumah Charles. Ibu dan Ayahnya akan menuruti apa yang diminta Charles seperti
menggendongnya ke kamar. Di sekolah juga ibunya sering mencium kening Charles sebelum
11 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
pergi. Dari matanya terlihat ibunya sangat menyayangi Charles. Saat Ayahnya menggendong
Charles juga tidak muncul kesan Ayahnya terpaksa menggendong Charles karena sedang ada
tamu yaitu saya dan ayah saya.
Ayah Charles kerja sebagai supir alat berat pada sebuah pabrik di Tangerang. Ia
bekerja pada malam hari dan baru pulang pada saat pagi hari. Jika sempat maka pada pagi
hari Ayah Charles yang akan mengantarkannya ke sekolah jika tidak maka ibu Charles yang
akan mengantarkannya ke sekolah. Nanti pada waktu pulang sekolah Ayahnya sudah pulang
dan bisa menjemput Charles ke sekolah.
Orangtua Charles sudah mengusahakan banyak cara agar anaknya mau belajar. Ibu
Charles menceritakan bahwa ia sudah memberi anaknya suplemen agar otaknya bisa lebih
“pintar” namun tidak ada hasilnya. Ia juga sudah diberi les tambahan di Bu Klara namun
hasilnya nihil. Charles hanya tertarik pada musik. Jika diberi pelajaran lain dia tidak mau.
Keluarga Charles semester depan akan pindah ke kampungnya di Sinabung. Hal ini
dikarenakan Ayah Charles merasa lelah kerja di Tangerang dan ingin kembali berkebun di
kampung. Ditambah lagi mertuanya sendirian di kampung. Mereka akhirnya memutuskan
untuk pindah sekeluarga untuk menata kehidupan baru yang lebih baik. Ibu Charles juga
menambahkan kalau di kampung ia bisa membantu suaminya bekerja, berbeda dengan di sini,
ia tidak punya pekerjaan dan hanya mengandalkan suaminya.
Harapan dari orangtua Charles adalah anaknya semester ini, minimal sudah bisa
membaca supaya tidak malu saat dibawa ke kampung.
Sekarang, strategi orangtua Charles agar anaknya mau belajar adalah dengan
menjanjikan anaknya apa yang ia minta. Orangtuanya akan menuruti permintaan anaknya.
Beruntung Charles biasanya akan meminta makanan, jadi lebih mudah dituruti daripada
barang-barang atau mainan.
Orangtua Charles mengaku pernah memukul anaknya pada saat masih kecil. Namun
sekarang mereka sudah tidak mau lagi memukul anaknya. Mereka berharap seiring dengan
berjalannya waktu Charles bisa belajar disiplin dengan sendirinya. Mereka tidak mau
memaksa anaknya karena takut anaknya menjadi stres.
Kejadian saat anaknya sakit masih jelas terbayang di dalam pikiran orangtua Charles
sehingga mereka sekarang terlihat begitu memanjakan anaknya. Mereka juga mengakui kalau
hal yang mereka lakukan adalah memanjakan anaknya. Memanjakan menjadi jalan yang
mereka pilih dibanding jika harus melihat anaknya sakit seperti waktu kecil.
Pandangan Orangtua terhadap Tyson dan Charles
12 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Sebelumnya saya agak takut mewawancarai orangtua dari kedua anak. Saya takut
kalau para orangtua ini tidak berkenan jika anaknya diteliti. Namun ternyata dengan menjadi
guru dari anak mereka, orangtua bisa lebih terbuka kepada saya. Terkadang orangtua yang
lebih aktif menceritakan keadaan anaknya kepada saya.
Saat pertama kali saya mewawancarai orangtua Charles, ibunya sudah bisa terbuka
kepada saya. Namun ketika sudah yang ketiga kali Ibu Charles kemudian balik bertanya
kepada saya, “Mengapa anak saya Bu yang dijadikan penelitian? Anak saya kan bego tidak
seperti anak yang lain.” Ternyata Ibu Charles menyadari kalau anaknya berbeda dari anak
yang lain. Saya menjawab karena memang saya sudah memperhatikan anak ini dari awal,
nantinya akan dibandingkan dengan tiga anak lain yaitu Tyson, Raymond dan Irfan. Akhirnya
Ibu Charles mengerti dan tidak bertanya lagi.
Dari wawancara saya mendapatkan satu kata dari orangtua Charles yang
mendeskripsikan anaknya, yaitu bego. Ibunya menjelaskan ia mengatakan anaknya bego
karena memang perkembangan belajar dan komunikasinya lebih lambat dari yang lain.
Namun tetap setelah mengatakan anaknya bego, ibu Charles mengatakan kalau ia dan suami
sangat menyayangi anaknya tersebut. Tidak mau memukul dan memarahi Charles karena
takut Charles stres.
Berbeda dengan orangtua Tyson. Orangtua Tyson saat diwawancarai terlihat
bersemangat dalam menjelaskan perkembangan anaknya, sayangnya ia bersemangat
menjelaskan mengenai perkembangan Abel, kakak Tyson. Setiap ada pertanyaan yang
menyangkut kegiatan Tyson di rumah dan perkembangannya pasti orangtua Tyson akan
berbalik menjelaskan mengenai kepintaran Abel. Sampai pada akhirnya keluar satu
pernyataan bahwa Ayah Tyson menganggap Tyson keterbelakangan, “Yah mau gimana pun
Tyson tuh beda dari kakaknya. Kalo Tyson kan maaf nih, dia kan keterbelakangan gitu”.
Maksud Ayah Tyson dengan keterbelakangan karena Tyson sulit diatur dan tidak sepintar
kakaknya dalam pendidikan dan susah untuk fokus.
Tyson akan dikirim ke tempat opungnya di kampung pada semester depan untuk
menjalani sekolah. Ayah Tyson mengatakan alasan mereka mengirim Tyson kesana adalah
untuk mendapatkan didikan langsung dari opungnya, sekaligus meringankan biaya hidup
mereka di sini. Tidak bisa dipungkiri biaya sekolah kedua anaknya sulit jika harus ditanggung
oleh ibunya sendiri. Oleh karena itu jalan yang mereka tempuh adalah dengan mengirimkan
salah satu anaknya ke medan. Biaya di kampung lebih murah daripada biaya sekolah di sini,
kemudian Ayah Tyson juga sudah sangat dekat dengan Abel jadi tidak ingin lepas dari Abel.
13 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Terlihat bahwa Ayah Tyson lebih sayang kepada Abel daripada Tyson karena tidak
rela melepas Abel untuk dirawat oleh opungnya padahal keuangan mereka tidak mencukupi.
Ditambah lagi dengan Tyson yang disebut “keterbelakangan” oleh orangtuanya menandakan
kalau orangtuanya sadar kalau Abel dan Tyson berbeda.
Ayah Tyson mengatakan Tyson adalah salah satu cobaan yang ia dan keluarga alami
saat ini akibat pada masa mudanya ia sering bermain judi. Ia menceritakan pada waktu muda
sebelum menikah dengan istrinya ia sering bermain judi dan menghamburkan uang, sekarang
semua sudah berbeda.
Matanya menjadi rabun dan kemudian ia tidak bisa bekerja, ditambah lagi dengan kondisi
anak yang menurutnya “keterbelakangan”. Oleh karena itu sekarang Ayah Tyson lebih sering
ke gereja agar hidupnya lebih tenang dan tidak bertengkar dengan istrinya.
Perasaan orangtua Batak yang memiliki anak dengan gejala autis: Anak saya bego,
anak saya keterbelakangan
Kedua orangtua Charles dan Tyson memberikan ungkapan untuk menggambarkan
anaknya masing-masing. Ibu Charles mengatakan anaknya bego sedangkan Ayah Tyson
mengatakan bahwa anaknya keterbelakangan. Bego dan keterbelakangan merupakan
ungkapan yang menyatakan bahwa ada perbedaan antara anaknya dengan anak yang lain.
Dalam kehidupan sehari-hari ungkapan ini digunakan untuk memarahi dan mencemooh orang
lain.
Di dalam penyebutan bego dan keterbelakangan ada penandaan bahwa orangtua
menyadari bahwa anaknya tidak “normal“ seperti yang lain. Seperti yang kita ketahui selama
ini bahwa kebudayaanlah yang membentuk kategori normal dan berbeda. Kata bego dan
keterbelakangan mengungkapkan kondisi menyimpang yang akhirnya membuat orangtua
sadar terhadap keadaan anaknya.
Pada saat melakukan wawancara dengan orangtua Charles, Ibu Charles berulang kali
mengatakan bahwa anaknya tidak pintar seperti anak yang lain. Saya merasakan adanya
penolakan dari Ibu Charles untuk menjelaskan kepada saya mengenai kondisi anaknya. Ibu
Charles merasa bahwa ada anak lain yang lebih pantas untuk diteliti karena mereka lebih
pintar dari Charles.
Lain lagi dengan orangtua Tyson. Orangtua Tyson memiliki dua anak. Abel, kakak
Tyson, tidak memiliki gejala autis seperti Tyson. Dalam wawancara saya dengan Ayah
Tyson, ayahnya selalu membanggakan Abel dan kemudian membandingkannya dengan
Tyson. Tyson dianggap keterbelakangan dibandingkan dengan kakaknya. Kemudian Ayah
14 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Tyson juga menganggap keberadaan Tyson sebagai cobaan yang harus ia terima akibat
kebiasaannya pada waktu muda yang sering bermain judi. Ia merasa mendapatkan anak
seperti Tyson adalah cobaan dari Tuhan karena dulu ia juga jarang ke gereja. Sekarang ia
menjadi sering ke gereja setelah mendapatkan cobaan ini.
Kedua orangtua melalui perkataannya terkesan malu terhadap kondisi anaknya selain
melalui ucapan bego dan keterbelakangan. Jika kita menanyakan kepada Ibu Charles
mengenai keadaan anaknya mengapa belum bisa menulis dan membaca pada umur ini maka
ia akan menjelaskan bahwa pada umur enam bulan sampai satu setengah tahun anaknya
mengalami panas dan kejang-kejang, sampai akhirnya dirawat di rumah sakit. Ibu Charles
akan membawa alasan mengenai sakit masa kecil Charles dan menjadikannya alasan
mengapa anaknya berbeda dari yang lain. Ia dan suami akan malu jika anaknya belum bisa
membaca sampai semester ini, padahal sudah disekolahkan di kota.
Berbeda dengan Tyson, Ayah Tyson juga malu tidak hanya karena kelakuan anaknya
tetapi juga karena kondisinya yang sudah tidak bekerja lagi. Ia mengatakan malu jika
anaknya pulang sekolah kemudian pergi bermain ke tempat tantenya lalu diberikan makan di
sana. Padahal Ayah Tyson sudah menyiapkan makanan untuknya, tapi Tyson lebih memilih
makan di rumah tantenya.
Ayah Tyson malu dengan kelakuan Tyson yang seperti itu, tidak mau diam di rumah
dan akhirnya makan di tempat tantenya.
Dari penjelasan dan kutipan sebelumnya terlihat seperti ada perasaan malu orangtua
terhadap keadaan anak-anak mereka. Awalnya saya berpikir bahwa kedua orangtua malu
dengan kondisi anak-anaknya, namun jika dilihat lebih jauh perkataan mereka mengenai
anaknya merupakan ekspresi rasa sayang mereka yang begitu dalam kepada anaknya. Pada
kesempatan pertama saya mewawancarai ayah Tyson, Tyson terlihat begitu dekat dengan
ayahnya. Tyson memeluk ayahnya dari belakang sembari saya mewawancarai ayahnya.
Kemudian ayahnya juga dengan penuh perhatian melepaskan sepatu sekolahnya (catatan
lapangan, 19 dan 27 Maret 2014). Tyson memeluk ayahnya tanpa paksaan. Perlakuan Tyson
terhadap ayahnya menjadi satu bukti adanya ikatan perasaan sayang antara ayah dan anak
laki-lakinya.
Tidak berbeda dengan Charles saya juga bisa menangkap bahwa ayah dan ibu Charles
sangat menyayangi Charles. Ibu dan ayahnya mau melakukan banyak hal demi kemajuan
anaknya, dari mulai memberikan les tambahan, memberikan obat untuk kesehatannya,
sampai membantunya dalam mengerjakan pr (catatan lapangan 27 November 2013, 17 Maret
15 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
dan 17 April 2014). Ayah dan ibu Charles terlihat jelas menyayangi anaknya melalui
perlakuan mereka.
Kedua pasangan orangtua sangat menyayangi anak mereka, meskipun begitu,
perkataan bego, keterbelakangan, dan malu yang dikeluarkan oleh orangtua Charles dan
Tyson menjadi bukti bahwa kedua orangtua merasa malu terhadap keadaan anaknya. Kedua
orangtua menutupi rasa malu mereka dengan berbagai cara, diantaranya dengan
menyekolahkan anak di sekolah biasa dan datang di waktu ibadah yang lebih sepi jemaatnya.
Perasaan sayang sekaligus malu yang menciptakan perlakuan kasar dan memanjakan
anak
Jika dilihat melalui model pengasuhan dalam psikologi yang diberikan Diana
Baumrind (1971), kedua anak yaitu Tyson dan Charles masuk ke dalam dua pola pengasuhan
yang berbeda. Charles diasuh dengan pola permissive-indulgent yaitu anak dibebaskan untuk
menentukan hal-hal yang ia mau dan orangtua hanya sedikit memainkan perannya. Akibatnya
anak menjadi manja dan susah diatur. Sedangkan Tyson diasuh dalam pola pengasuhan
authoritarian. Dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan pengasuhan yang otoriter. Hal ini
terlihat dalam perlakuan ibunya terhadap Tyson. Sekalipun tidak bertemu langsung dengan
ibunya, tetapi cerita dari Ayah Tyson dan tetangganya, serta bekas luka yang ada di tangan
Tyson sudah membuktikan bahwa ibunya menganut sistem yang otoriter. Sayangnya
sekalipun sudah diasuh dengan pola otoriter anaknya malah menjadi lebih keras dan bisa
melawan orangtuanya.
Charles diasuh dengan pola permissive-indulgent yang akhirnya menjadikannya
menjadi anak yang manja. Jika ia tidak mau mengerjakan tugas maka ibunya akan
menurutinya karena takut kalau anaknya nanti sakit lagi seperti saat masih kecil. Kemudian
karena malu sampai sekarang anaknya belum bisa lancar membaca dan menulis, orangtuanya
kini membujuknya dengan memberikan apa yang ia mau.
M: Ya kita kasih aja apa yang dia mau, dijanjiin gitu. Biasanya sih dia
makanan, gak macem-macem gitu makanya jadi gemuk gitu badannya kalo
gak mau ngerjain pr juga gitu aja kita janjiin makanan terus mau sebentar dia
kerjain kalo udah kepepet biasa saya yang tulisin hahaha
(informan, catatan lapangan 17 Maret 2014)
Lain lagi dengan Tyson. Ia diasuh dengan pola asuh otoriter sama seperti kakaknya
pada waktu kecil. Ayah Tyson mengakui bahwa ibunya memang lebih galak daripada dirinya.
Perlakuan kasar terhadap anak dilakukan lebih sering kepada Tyson karena dibandingkan
16 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
dengan kakaknya, Tyson lebih susah menangkap pelajaran dan sering tidak mau belajar.
Terlihat bahwa Ibu Tyson sangat menginginkan anak-anaknya menjadi anak yang pintar.
Namun hal yang ia lakukan tidak benar karena menyakiti anaknya. Ayah Tyson menceritakan
kalau perbuatan ibunya sekarang sering dilawan oleh Tyson dan pernah dilawan oleh
kakaknya yang pernah belajar pencak silat.
Ayah Tyson mengakui ia juga merupakan orang yang keras terhadap anak, tetapi ia
tidak kelewatan seperti ibunya. Ia merasa perlakuan kasar sang istri terhadap anak-anaknya
didukung pula oleh kondisinya yang sudah tidak bekerja. Istrinya yang sekarang harus
bekerja untuk menghidupi keluarganya. Oleh karena itu terkadang dia merasa malu terhadap
dirinya sendiri karena tidak bekerja. Namun ia masih bersyukur istrinya tidak akan memukul
anaknya saat ia berada di tempat yang sama.
Pengasuhan dalam antropologi juga dijelaskan dalam kerangka antropologi psikologi.
Gregory Bateson (lihat Danandjaja, 1988) mengembangkan konsep schismogenesis yakni
interaksi dua individu yang kontras (bipolar interaction). Dua individu yang berbeda
mengambil alih pola watak sesuai dengan perannya dalam masyarakat. Dalam hubungan
keluarga hubungan interaksi bipolar ini terbagi dalam beberapa tipe hubungan, yaitu
hubungan antara penguasa (dominance) dan yang dikuasai (submission), kemudian orang
yang memberi bantuan (succorance) dan yang menggantungkan diri (dependence), terakhir
adalah hubungan yang bersifat mempertontonkan diri (exhibitionism) dan penonton
(spectator).
Hubungan dua pasangan orangtua dengan anaknya bisa dilihat juga melalui konsep
schismogenesis ini. Tyson dan orangtuanya membentuk pola watak dominance-submission.
Orangtua menjadi penguasa dan anak menjadi orang yang dikuasai. Ayah dan Ibu Tyson
keras dalam memperlakukan anaknya. Tidak ada kompromi dan sampai melakukan
pemukulan, hal ini memperlihatkan bahwa orangtua bertindak sebagai penguasa dalam
kehidupan anaknya. Akibatnya Tyson akhirnya menjadi anak yang keras dan mudah melawan
namun tetap takut kepada ibunya.
Berbeda dengan orangtua Charles yang cenderung lebih memanjakan, jika dilihat
dalam kerangka antropologi psikologi hubungan pola watak yang terbentuk adalah
succorance-dependence. Orangtua cenderung memberikan bantuan dalam kehidupan anak.
Terlihat ketika anaknya tidak mau belajar akhirnya orangtua terjun langsung dan
mengerjakan tugas anaknya, sayangnya hal ini malah menjadikan anak menjadi seseorang
yang bergantung sekali kepada orangtuanya. Misalnya saat Charles ditinggal ibunya di
17 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
sekolah akhirnya ia menangis dan memegang pintu berharap ibunya akan kembali. Ia menjadi
ketergantungan kepada orangtuanya.
Dalam konsep schimogenesis dilihat dari masa tumbuh kembang anak, pola watak
yang dimunculkan bersifat genting karena di dalam hubungan tersebut ia dilatih di dalam
hubungan pola total yang bersifat khas dari masyarakatnya (Danandjaja, 1988: 73). Pola
watak berbeda yang diambil oleh kedua pasangan orangtua ini diharapkan akan bisa
membentuk anaknya menjadi anak yang normal, seperti yang lain, dan bersifat genting
karena akan menentukan kelak anaknya bisa mencapai nilai kebahagiaan yang ada dalam
suku bangsa Batak.
Sosialisasi dan Adaptasi Menjadi Anak Laki-laki dalam Keluarga Batak
Anak dalam dua keluarga ini dituntut untuk menjadi sama seperti anak yang lain
walaupun memiliki kondisi yang berbeda. Ibu Tyson bahkan sampai melakukan pemukulan
agar anaknya bisa mengerjakan tugas sama seperti anak yang lain dan menjadi pintar. Ibu
Charles juga mau menuruti apa pun yang diminta anaknya agar anaknya mau belajar.
Menjadi anak laki-laki penerus marga harus pintar dan bisa menjadi kebanggaan dalam
keluarga. Jika anak yang meneruskan marga adalah anak yang berprestasi berarti menjadi
kebanggaan juga bagi marga tersebut, sebaliknya jika penerus marga adalah anak yang
“bodoh” maka tidak akan menjadi kebanggaan.
Menurut Erchak (2000) dalam rangka sosialisasi, orangtua melakukan perbuatanperbuatan yang identik dengan aturan dalam masyarakat agar anak kelak meniru perbuatan
tersebut dan diterima oleh masyarakat. Keharusan menjadi anak pintar disosialisasikan
melalui dua gaya pengasuhan orangtua dan kedua anak. Perbuatan-perbuatan identik yang
dilakukan kedua orangtua dalam rangka sosialisasi kehidupan masyarakat orang Batak yaitu
melalui seringnya datang ke dalam acara-acara yang berhubungan dengan adat Batak.
Kemudian kedua keluarga juga mencoba beragam cara agar anaknya bisa menjadi anak yang
pintar dan mulai mengenalkan bahwa mereka adalah anak laki-laki dalam keluarga Batak.
Orangtua Charles misalnya sesekali menggunakan kata abang untuk memanggil anaknya
kemudian ayahnya juga mengajak Charles untuk bermain dengan saudara laki-laki yang lain
dalam keluarga ketika sedang dalam perkumpulan, agar kelak anaknya tidak terlalu dekat
dengan ibunya (pihak perempuan).
Sosialisasi tidak bisa dilepaskan dari adaptasi karena adaptasi adalah proses
selanjutnya setelah melakukan sosialisasi. Adaptasi merupakan saat dimana seseorang sudah
bisa mempertimbangkan kelakuannya agar bisa diterima dalam masyarakat (Erchak, 2000).
Anak diharapkan bisa beradaptasi dengan hal-hal yang disosialisasikan kemudian bisa
18 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
menjadi seperti yang diinginkan orangtua. Sayangnya, kedua anak beradaptasi tidak sesuai
dengan ekspektasi dari orangtua. Dalam keluarga Batak penting bagi anak laki-laki pertamatama untuk bisa berinteraksi dengan anggota keluarga lain atau orang Batak keluarga lain tapi
Charles malah semakin manja. Jika ada orang Batak lain ia tidak berani menemui dan hanya
diam jika ditanya, seperti saat saya datang ke rumahnya. Prestasinya di sekolah juga tidak
meningkat karena ia terlalu mengandalkan orangtuanya dalam mengerjakan tugas. Tyson
malah semakin tidak sopan saat ada orang lain datang ke rumahnya. Di saat mengerjakan
tugas ia melawan orangtuanya dan berteriak keras saat dimarahi atau dipukul. Sikap manja
dan perlawanan merupakan hasil dari penyesuaian diri Tyson dan Charles terhadap pola
pengasuhan yang ada di dalam keluarganya.
Bentuk adaptasi lain yang terlihat dalam dua keluarga informan ini adalah adaptasi
yang dilakukan oleh kedua pasangan orangtua. Orangtua Charles beradaptasi, menutupi
keadaan anaknya melalui pengakuan bahwa sang ibu melahirkan Charles dalam kondisi yang
sulit (tua dan telat mendapatkan anak). Hal ini dilakukan agar kondisi anak dapat dimaklumi
oleh para saudara dan tetangga sesama Batak. Kemudian orangtua Tyson juga melakukan
adaptasi untuk menutupi rasa malu mereka kepada anaknya dengan membanggakan kondisi
anak pertama mereka. Kedua bentuk perilaku yang tercipta ini merupakan respon terhadap
kekecewaan orangtua terhadap kondisi anaknya, sekalipun kedua orangtua sangat
menyayangi anaknya.
Menjadi orang Batak: Struktur yang dipertahankan
Struktur dalam keluarga mengandung segala aturan yang dipahami dan harus
dilakukan dalam menjaga kelangsungan keluarga (Hsu, 1971). Aturan ini menyangkut
hubungan, ekspektasi peran masing-masing anggota keluarga, hak, dan kewajiban. Dalam
keluarga Batak anak laki-laki dari kecil sudah diberikan pengetahuan agar kelak ia bisa
menjadi penerus marga. Semenjak kecil ia sudah diajarkan bahwa kehadirannya menjadi
penting dalam keluarga. Oleh sebab itu ia harus menjaga perilakunya agar bisa menjadi
kebanggaan keluarga.
Struktur dan nilai memiliki keterkaitan yang jelas satu dengan yang lain. Amyot
(1959) mengatakan bahwa struktur bergantung kepada nilai yang dibagikan secara sosial di
dalam masyarakat yang menjadi acuan dalam sikap dan perilaku.
Nilai membantu
kelangsungan struktur karena mengatur sikap dan perilaku para anggota masyarakat yang
menaatinya atau menjadikannya acuan. Demikian halnya dengan struktur yang ada dalam
keluarga Batak. Keluarga-keluarga yang ada dalam masyarakat turut serta dalam
19 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
mempertahankan struktur orang Batak melalui sikap dan perilakunya sesuai dengan nilai
yang ada di dalamnya.
Struktur yang dipertahankan dalam kasus kedua keluarga ini adalah cara-cara
melakukan apa saja agar bisa menjadi sama dengan anak “normal” di keluarga Batak. Anak
“normal” yang kelak akan menjadi pemimpin dan akan menjadi kebanggaan bagi keluarga
adalah anak yang bisa diarahkan pada nilai hidup orang Batak.
Dalam kasus keluarga Charles dan Tyson terlihat bahwa kedua orangtua tidak bisa
mencapai level hamoraon (kekayaan) karena mereka hidup biasa saja pada kelas menengah.
Oleh sebab itu kedua orangtua mencari jalan agar anaknya kelak bisa mencapai tingkat
hamoraon. Sekolah yang pintar kemudian mendapatkan pekerjaan yang bagus adalah jalan
menuju kekayaan. Proses ini memang tidak tertulis secara khusus dalam aturan adat Batak,
tetapi di “amini” oleh kebanyakan orang Batak sebagai jalan menjadi kaya.
Kemudian menyangkut nilai hagabeon kedua keluarga memang memiliki anak lakilaki sebagai penerus marga, tapi tidak memiliki anak yang normal oleh sebab itu mereka
tidak bisa dihormati dan masuk ke dalam keluarga terpuji. Apabila lingkungannya
mengetahui anaknya mengalami autis maka jelas tidak bisa dibanggakan oleh keluarga
karena akan berdampak pada pergaulan dan prestasinya. Maka awalnya ada pengingkaran
(denial) mengenai kondisi anak dan lantas orangtua kedua keluarga memasukkan anaknya ke
sekolah umum bukan ke sekolah khusus, selain dari alasan ekonomi.
Jadi, nilai hidup yang dipegang oleh orang Batak membentuk perilaku orangtua dalam
mengasuh anaknya. Gaya pengasuhan yang dipilih agar anak mereka dapat mencapai nilai
kebahagiaan hamoraon, hagabeon, dan hasangapon dalam hidupnya. Menjadi anak pintar
adalah target yang harus dicapai oleh anak laki-laki dalam keluarga Batak. Bagi orang Batak,
anak yang pintar didapat melalui tingkat pendidikan yang tinggi. Bisa menyekolahkan anak
sampai tingkat tinggi adalah suatu kehormatan, sekaligus dianggap sebagai orang yang
mampu di masyarakat. Setelah menjadi pintar, anak diharapkan mendapat pekerjaan yang
baik lalu bisa membantu kehidupan orangtua di masa mendatang.
Oleh sebab itu kedua anak ini sekalipun mereka menunjukkan gejala autis, tetapi
orangtua mereka tetap ingin memperlakukan mereka sama seperti anak yang lain. Charles
dimanja dan Tyson dipukul agar mau mengerjakan tugas seperti anak yang lain. Harapan
kedua orangtua adalah jika mereka mampu mengerjakan tugas seperti anak pada umumnya
maka mereka bisa menjadi pintar dan melanjutkan sekolah sama seperti yang lain, agar
akhirnya mereka bisa bekerja dan menjadi kaya karena mendapatkan pekerjaan yang bagus
20 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Dalam pengasuhan kedua anak ini kedua orangtua belum memikirkan strategi yang
akan mereka lakukan agar anak dapat mencapai hagabeon dan hasangapon. Kedua orangtua
baru memikirkan bagaimana agar anak mereka bisa menjadi pintar dan menjadi kaya
(hamoraon). Meskipun begitu tidak menutup kemungkinan kelak akan muncul perilaku dan
strategi baru yang dilakukan orangtua agar anaknya dapat mencapai nilai hagabeon dan
hasangapon.
Kembali lagi jika dikaitkan dengan temuan Hildred Geertz mengenai keluarga Jawa,
struktur juga dipertahankan dalam keseharian orang Batak melalui keluarga. Nilai hamoraon,
hagabeon, hasangapon dipertahankan dan dijaga kelangsungannya melalui pengasuhan
orangtua kepada anak agar falsafah dalihan na tolu tetap terjaga dalam keluarga. Dalihan na
tolu sesuai dengan makna struktur dalam pemikiran Hsu (1971), ia menjadi acuan dan
penentu bertindak dalam sistem kekerabatan orang Batak. Struktur bertahan turun-temurun
dengan adanya nilai hamoraon, hagabeon, dan hasangapon.
Kesimpulan
Memiliki anak dengan gejala autis adalah hal yang menyedihkan bagi orang Batak. Hal ini
ditunjukan melalui perilaku yang tercermin dari kedua orangtua yang menjadi subjek
penelitian saya. Kedua orangtua berusaha menutupi kenyataan bahwa anak mereka melalui
beberapa perilaku diantaranya adalah dengan memasukkan anak mereka ke sekolah biasa
agar anaknya terlihat sebagai anak normal.
Pengasuhan yang dimunculkan oleh kedua pasangan orangtua yaitu permissive-indulgent dan
autoritative terkait dengan latar belakang dari kedua orangtua. Orangtua Charles melakukan
pengasuhan permissive-indulgent dikarenakan tidak tega jika mengingat anaknya yang sakit
pada saat kecil. Di sisi lain orangtua Tyson melakukan pengasuhan authoritative terkait
dengan kondisi perekonomian keluarga. Sayangnya, dua tipe pengasuhan ini adalah tipe
pengasuhan anak pada umumnya, padahal anak dengan gejala autis memerlukan pengasuhan
dan perawatan khusus agar bisa kembali berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik.
Pengasuhan yang dilakukan kedua orangtua bertujuan agar anaknya kelak dapat mencapai
nilai hamoraon, hagabeon, dan hasangapon, yaitu nilai yang ingin dicapai oleh semua orang
Batak. Kedua orangtua ingin agar anaknya bisa menjadi pintar agar kelak menjadi kaya dan
bisa mencapai nilai hasangapon. Meskipun sekarang belum terlihat usaha orangtua dalam
rangka mencapai nilai hagabeon dan hasangapon, tidak menutup kemungkinan kelak
orangtua akan melakukan strategi-strategi dalam rangka mencapai hagabeon dan hasangapon.
Saran
21 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Seharusnya pengetahuan mengenai anak autis bisa lebih diperdalam oleh banyak
orangtua dalam keluarga Batak, apalagi mereka sudah merasakan bahwa anaknya berbeda.
Mereka seharusnya bisa memberikan terapi atau perlakuan khusus agar anak-anak mereka
sembuh dan menjadi anak ideal seperti yang mereka inginkan. Jelas dengan perlakuan yang
sama dengan anak lainnya, anak-anak dengan gejala autis tidak akan bisa terlihat
keistimewaannya.
Kemudian dengan melihat pengasuhan anak bergejala autis melalui nilai budaya akan
membuat kita mengerti alasan-alasan mengapa orangtua memunculkan pola pengasuhan
demikian. Para psikolog dan praktisi kesehatan dapat melakukan pendekatan kepada orangtua
untuk melakukan terapi kesehatan apabila mengetahui alasan dan nilai budaya orangtua,
seperti dalam tulisan ini. Diharapkan selanjutnya orang Batak akan lebih bersyukur dengan
keadaan anak yang mereka dapatkan dan menerima anak tersebut dengan baik.
Kepustakaan
Amyot, Jacques
1959
The Problem of Values in Social Anthropology. Philippine Sociological
Review, Vol. 7, No. 4. Pp. 1-6
Baird, Gillian, Hilary Cass, and Vicky Slonims
2003
Diagnosis of Autism. British Medical Journal, Vol. 327, No. 7413. Pp. 488493
Berns, R.
1997
Child, Family, School, Community: Socialization and Support.
4
th
ed.
Boston: Allyn and Bacon.
Centers for Disease Control & Prevention (CDC)
2006
Parental Report of Diagnosed Autism in Children Aged 4–17 Years —United
States, 2003–2004. Morbidity and Mortality Weekly Report. Vol. 55, No. 17
(May 5, 2006), pp. 481-486
Departemen Kesehatan R.I. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik
1993
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III.
Jakarta: Departemen Kesehatan
Danandjaja, James
1988
Antropologi Psikologi: Teori, Metode, dan Sejarah Perkembangannya.
Jakarta: Rajawali Press
22 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Diana, Betty
2006
Gambaran Kepuasan Pernikahan Pada Pasangan Suami-Istri yang Mempunyai
Anak Autis. Tesis Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Ferraro, Garry
2004
Cultural Anthropology: an applied perspective. 5th ed. Canada: Thomson
Learning
Firth, Raymond
1951
Elements of Social Organization. London: Watts & Co.
Geertz, Hildred
1961
The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization. United States of
America: The Free Press of Glencoe, Inc.
Gultom, Sarah Regina
2004
Konsep Diri, Diskrepansi Diri, dan Sikap Terhadap Ketidakhadiran Anak
Laki-laki pada Pria Batak yang Telah Berkeluarga. Skripsi Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Harris, Sandra L.
1984
The Family and the Autistic Child: A Behavioral Perspective. Family
Relations. Vol. 33, No. 1, pp. 127-134
Hsu, Francis K. L.
1971
Kinship and Culture. Chicago: Aldline Publishing Company
Hutabarat, Angela Anastasia
2010
Manajemen Konflik Pada Wanita Menikah yang Tidak Memiliki Anak Lakilaki dalam Keluarga Batak
Ijzendoorn, Marinus H., Anna H. Rutgers, et al.
2007
Parental Sensitivity and Attachment in Children with Autism Spectrum
Disorder: Comparison with Children with Mental Retardation, with Language
Delays, and with Typical Development Author. Child Development, Vol. 78,
No. 2 (Mar. - Apr., 2007), pp. 597-608
Ihromi, T. O.
1980
Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT. Gramedia
Keesing, Roger M.
1975
Kin Groups and Social Structure. California: Wadsworth Publishing Co Inc
Liu, Kayuet, Noam Zerubavel, and Peter Bearman
23 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
2010
Social Demographic Change and Autism. Demographic. Vol 47 No. 2. Pp.
327-343
Loeb, E. M.
1933
Patrilineal and Matrilineal Organization in Sumatera: The Batak and The
Minangkabau. American Anthropologist, New Series, Vol.35, No. 1. Pp. 16-50
Prior, Margot
1984
Developing Concepts of Childhood Autism: The Influence of Experimental
Cognitive Research. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 52,
No. 1. Pp. 4-16
Rodgers, Susan
1988
Me and Toba: A Childhood World in a Batak Memoir. Indonesia. 45. Pp. 6383
Sunarti, E.
2004
Mengasuh dengan Hati. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Situmorang, Sorta Marlina
1989
Pandangan Masyarakat batak Toba di Jakarta terhadap Keberadaan Anak
Laki-laki sebagai Penerus Marga: Studi Kasus Pada Empat Keluarga. Skripsi
jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Vergouwen, J. C.
1986
Masyarakat dan hukum Adat batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet
Viner, A. C
1979
The Changing Batak. Journal of The Malaysian Branch of The Royal Asiatic
Society. Vol. 52 no.2 (236). Pp. 84-112
24 Pengasuhan Dua..., Irin Oktafiani, FISIP UI, 2014
Download