48 BAB V PEMBAHASAN Penelitian mengenai hubungan

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian mengenai hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian
stunting pada balita ini dilaksanakan dari bulan Oktober - November 2016 di
beberapa Posyandu Balita Wilayah Binaan UPT. Puskesmas Sangkrah Surakarta.
Penelitian dilakukan di enam posyandu balita. Menggunakan simple random
sampling, didapatkan 30 balita pada kelompok kasus yang terdiri dari 15 balita
perempuan dan 15 balita laki-laki, serta 30 balita pada kelompok kontrol yang
terdiri dari 14 balita laki-laki dan 16 balita perempuan. Pengambilan sampel
dilakukan dengan cara mengetahui terlebih dahulu tinggi balita dan umur balita
berdasarkan pengukuran tinggi badan di Posyandu, kemudian menemui orang tua
balita untuk menandatangani informed consent dan wawancara guna mengisi
kuisioner pemberian ASI eksklusif.
Setelah dilakukan analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square
diperoleh hasil dua variabel yang signifikan secara statistik, yaitu variabel bebas
ASI eksklusif dengan nilai p = 0,010 dan variabel luar riwayat BBLR dengan nilai
p = 0,006. Kemudian setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi
logistik, variabel bebas ASI eksklusif dan variabel luar riwayat BBLR juga
menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik dengan nilai p secara berturutturut 0,034 dan 0,035.
Berdasarkan hasil di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima
yaitu terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
pada balita. Hubungan ini dibuktikan dengan nilai p yang signifikan, kemudian
nilai OR = 0,201 pada analisis bivariat menunjukkan bahwa ASI eksklusif
merupakan faktor proteksi terhadap kejadian stunting pada balita dan setelah
dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, pemberian ASI eksklusif
tetap merupakan faktor proteksi dengan OR = 0,234. Sehingga dengan kata lain,
pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan kejadian stunting pada balita.
Penelitian ini didapatkan lebih banyak balita pada kelompok kontrol yang
mendapatkan ASI eksklusif (86,7%) dibandingkan dengan kelompok kasus
(56,7%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hadi (2010) bahwa
kejadian stunting pada balita di Kota Banda Aceh tahun 2010 disebabkan oleh
pemberian ASI tidak eksklusif. Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa
anak balita di wilayah Kota Banda Aceh yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
memiliki risiko untuk mengalami stunting 5 kali lebih besar terhadap anak balita
yang mendapatkan ASI eksklusif.
Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar ibu balita memberikan ASI
yang di kombinasikan dengan susu formula. Beberapa alasan yang banyak
diutarakan adalah ibu yang bekerja sehingga anak sering dititipkan, selain itu ASI
yang tidak lancar dan bayi yang sudah tidak mau lagi diberikan ASI. Pemberian
ASI bersamaan dengan susu formula dapat memenuhi kebutuhan gizi, namun susu
formula tidak mengandung zat antibodi sebaik ASI sehingga rawan terkena
penyakit (Hendra et al., 2010). Dalam ASI terdapat berbagai zat imun yang tidak
akan didapatkan pada susu formula seperti immunoglobulin yang berfungsi
sebagai pencegah terjangkitnya penyakit, zat sekretori yang berguna untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
melumpuhkan bakteri pathogen e-coli dan berbagai virus pada saluran
pencernaan, serta laktoferin yang berguna sebagai zat kekebalan yang berfungsi
mengikat zat besi disaluran pencernaan. Kemudian ASI juga memiliki
perbandingan whei dan casein yang sesuai dengan rasio 65:35, sedangkan susu
formula memiliki rasio 20:80 sehingga menyebabkan protein dan zat-zat lainnya
yang terkandung pada ASI lebih mudah diserap (Nirwana, 2014).
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Victoria et al (2016)
pemberian ASI secara eksklusif dapat menurunkan kejadian diare dan infeksi
daripada bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif sehingga dapat mengganggu
pertumbuhannya. Berdasarkan hasil wawancara, pemberian ASI yang tidak
eksklusif terjadi akibat bayi yang diperkenalkan MP-ASI sebelum usia 6 bulan.
Sedangkan pengenalan cairan atau makanan selain ASI sebelum usia 4 bulan juga
dikaitkan dengan terjadinya defisiensi mikronutrien dalam 2 tahun pertama
kehidupan. Didukung oleh penelitian Kramer (2004) manfaat utama dari ASI
eksklusif dalam 6 bulan pertama dibandingkan dengan 3 bulan pertama adalah
pengurangan kejadian infeksi gastrointestinal.
Selain itu penelitian ini juga didapatkan 6 balita stunting dan 1 balita normal
yang tidak mendapatkan ASI ketika baru dilahirkan. Lebih banyaknya balita yang
tidak mendapatkan ASI pada hari pertama kehidupannya pada kelompok kasus
dapat disebabkan oleh karena balita tersebut tidak mendapatkan kolostrum.
Sementara kolostrum yang kaya akan nutrisi dan antibodi yang penting bagi
mikrobiota usus banyak didapatkan pada hari-hari pertama kehidupan
(Kuchenbecker et al., 2014). Kemudian didapatkan pula 3 balita pada kelompok
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
kasus yang mendapatkan ASI saja tanpa makanan pendamping ASI (MP-ASI)
hingga usia 1 tahun. Hal tersebut tidak sesuai dengan rekomendasi The American
Academy of Pediatrics (AAP) bahwa pemberian MP-ASI sebaiknya dimulai saat
usia 6 bulan sebab ASI hanya bisa memenuhi kebutuhan dalam 6 bulan pertama
saja, setelah bulan ke-6 kebutuhan gizi sudah tidak tercukupi secara penuh oleh
pemberian ASI saja (Faldetta, 2012). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh
Simondon (2001) di Senegal yang menyatakan bahwa prevalensi stunting lebih
tinggi pada balita yang mendapatkan ASI eksklusif selama lebih dari 24 bulan.
Penelitian ini didapatkan bahwa proporsi balita dengan riwayat BBLR lebih
banyak ditemukan pada balita stunting. Setelah dilakukan analisis, diperoleh hasil
yang signifikan antara riwayat BBLR dengan kejadian stunting dengan nilai p =
0,006 dan OR = 12,429, kemudian pada analisis multivariat dengan uji regresi
logistik diperoleh p = 0,03 dan OR adj = 10,510. Hal ini berarti balita dengan
riwayat BBLR akan meningkatkan risiko terjadinya stunting sebesar 12,429
dibandingkan dengan balita yang tidak mempunyai riwayat BBLR. Kemudian
berdasarkan analisis multivariat regresi logistik bersamaan dengan riwayat
pemberian ASI eksklusif, risiko ini menjadi 10,510 kali. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suciati (2015) bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara panjang badan lahir, berat badan lahir dan awal
pemberian MPASI dengan kejadian stunting dengan nilai p masing-masing 0,001
(OR: 6,08), 0,006 (OR: 1,14) dan 0,003 (OR: 3,18). Didukung penelitian yang
dilakukan oleh Mbuya (2010) juga menunjukkan bahwa bayi dengan riwayat
BBLR mengalami stunting dengan presentase 41,4%.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
52
Meilyasari (2014) memaparkan pengaruh berat badan lahir terhadap kejadian
stunting terjadi pada usia 6 bulan awal, kemudian menurun hingga usia 24 bulan.
Balita dengan riwayat BBLR dapat tumbuh secara optimal apabila pada 6 bulan
pertama dapat mengejar pertumbuhannya. Risiko bayi yang lahir dengan riwayat
BBLR untuk menjadi stunting pada usia 6-12 bulan adalah 3,6 kali dibanding bayi
yang lahir dengan berat badan lahir normal (Rahayu, 2011). Bayi dengan riwayat
BBLR menunjukkan terjadinya retardasi pertumbuhan di dalam uterus baik akut
maupun kronis (Lammi-Keefe, 2008). Sehingga anak dengan riwayat BBLR lebih
rentan untuk terkena infeksi, seperti diare dan infeksi saluran nafas bawah dan
juga peningkatan risiko ikterus, anemia, gangguan paru kronis, kelelahan serta
hilangnya nafsu makan dibandingkan dengan anak tanpa riwayat BBLR (Rahman
et al., 2016). Penjelasan serupa telah disampaikan pula oleh Ramakrishnan (2004)
berdasarkan studi pada bayi perempuan dengan riwayat BBLR di negara
berkembang, ia menemukan bahwa anak dengan riwayat BBLR mengalami
kegagalan pertumbuhan pada usia dini dan saat memasuki masa remaja yang
kemudian akan mengalami komplikasi maternal ketika dewasa.
Penelitian ini didapatkan anak dengan riwayat berat badan lahir normal yang
mengalami stunting sebanyak 70%. Hal ini dapat disebabkan oleh tidak cukupnya
asupan nutrien untuk bayi normal yang menyebabkan terjadinya growth faltering
(gagal tumbuh). Stunting yang terjadi akibat growth faltering dan catch up growth
yang
tidak
memadai,
mencerminkan
ketidakmampuan
untuk
mencapai
pertumbuhan yang optimal (Kusharisupeni, 2002). Pertumbuhan normal dapat
dikejar apabila anak diberikan dukungan asupan gizi yang adekuat. Asupan gizi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
53
yang adekuat berkaitan dengan kualitas dan kuantitas makanan yang diberikan
pula dan hal ini dapat dipengaruhi oleh status ekonomi keluarga (Anugraheni,
2012).
Penelitian ini diperoleh hasil yang tidak signifikan antara status sosial
ekonomi dengan kejadian stunting (p = 0,371).
Ditemukan sebanyak 70%
keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah pada kelompok kasus dan 83,3%
pada kelompok kontrol. Tingkat ekonomi dinilai rendah apabila pendapatan
keluarga tiap bulan dibawah batas UMR Kota Surakarta pada tahun 2016 yang
dibulatkan menjadi Rp 1.400.000. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
penelitian yang di lakukan di Maluku Utara, penelitian tersebut menyatakan
bahwa kejadian stunting dan severe stunting pada balita usia 0-59 bulan
berhubungan signifikan dengan status ekonomi keluarga. Sebagian besar balita
yang mengalami gangguan pertumbuhan memiliki status ekonomi yang rendah
(Ramli et al., 2009). Makanan yang didapat pada keluarga dengan status ekonomi
rendah biasanya akan kurang bervariasi dan sedikit jumlahnya terutama pada
bahan pangan yang berfungsi untuk pertumbuhan anak seperti sumber protein,
vitamin dan mineral, sehingga meningkatkan risiko kurang gizi. Keterbatasan ini
akan meningkatkan risiko terjadinya stunting pada anak balita (Nasikhah, 2012).
Hasil yang berbeda mengenai hubungan status sosial ekonomi dengan kejadian
stunting ini tergantung dari bagaimana status sosial ekonomi diukur dan
diklasifikasikan oleh peneliti.
Faktor lain yang dapat menjadi penyebab stunting pada anak adalah
pendidikan orang tua, baik ayah maupun ibu. Dalam penelitian ini yang diteliti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
54
adalah tingkat pendidikan ibu. Pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak
signifikan antara kejadian stunting dengan tingkat pendidikan ibu dengan nilai p =
0,292. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Kecamatan
Semarang Timur oleh Nasikhah (2012) bahwa hasil analisis bivariat dan
multivariat antara kejadian stunting dengan tingkat pendidikan ibu tidak bermakna
secara statistik, sedangkan tingkat pendidikan ayah merupakan faktor risiko
kejadian stunting yang bermakna. Berdasarkan hasil wawancara, variabel tingkat
pendidikan ibu yang tidak bermakna pada penelitian ini dapat terjadi karena status
pekerjaan ibu dimana ibu yang berpendidikan tinggi biasanya memiliki pekerjaan
sehingga anak akan dititipkan kepada anggota keluarga lain seperti neneknya.
Alam (2007) menyatakan bahwa ibu dengan pendidikan yang tinggi lebih banyak
memberi susu formula pada bayinya sebab ibu bekerja dan tidak memiliki waktu
untuk menyusui. Girma (2002) dalam Nasikhah (2012) menyatakan kurangnya
waktu yang dimiliki oleh ibu yang bekerja untuk anaknya dapat menyebabkan
anak menderita kurang gizi yang selanjutnya akan berpengaruh buruk terhadap
pertumbuhan dan pekembangannya.
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu keterbatasan waktu penelitian dan
jumlah sampel penelitian. Jumlah sampel yang digunakan berdasarkan rule of
thumb merupakan jumlah sampel minimal dalam suatu penelitian. Jumlah sampel
yang minimal ini dapat menyebabkan 95% CI memiliki rentang yang lebar,
sehingga menunjukkan bahwa ketepatan penelitian ini kurang. Rentang 95% CI
dapat di perkecil dengan menambahkan jumlah sampel penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
55
Rancangan penelitian dengan desain case control yang bersifat retrospektif
juga turut menjadi kekurangan dalam penelitian ini karena ada kemungkinan
terjadi recall bias. Penelitian case control juga mempunyai korelasi yang lebih
lemah dibandingkan dengan penelitian cohort. Kemudian Instrumen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang memungkinkan terjadi
interview bias sehingga responden salah dalam menafsirkan pertanyaan dan juga
kemungkinan terjadinya keterbatasan responden untuk mengemukakan pendapat
dan kejujuran responden yang sulit dikendalikan dapat berpengaruh pada
informasi yang di peroleh.
commit to user
Download