Belajar dari Krisis Yunani http://sp.beritasatu.com/tajukrencana/belajar-dari-krisis-yunani/91393 Selasa, 7 Juli 2015 | 16:18 Ilustrasi krisis di Yunani. [Google] Kemenangan para pendukung "tidak" terhadap persyaratan dana talangan yang diajukan Bank Sentral Eropa dan sejumlah kreditor untuk menyelamatkan ekonomi Yunani dari kebangkrutan harus dibayar mahal oleh Negeri Para Dewa itu. Yunani kemungkinan harus keluar dari Uni Eropa, tak lagi menggunakan euro bersama 18 negara Eropa lainnya, dan tak lagi menerima semua bantuan dari negara-negara anggota Uni Eropa. Dengan segala konsekuensi, rakyat Yunani memilih mengatakan "tidak" kepada bailout atau tindakan penyelamatan yang disertai persyaratan sangat berat itu. Sekitar 61,3% pemilih menolak persyaratan dana talangan dengan konsekuensi tidak menerima dana talangan. Penyelamatan yang ditawarkan kreditor menuntut pemerintah Yunani menaikkan pajak, melakukan reformasi dana pensiun, dan meneruskan penghematan. Nasib Yunani di zona Uni Eropa baru akan diputuskan tiga pekan akan datang. Dalam periode ini, Yunani dan para kreditor, terutama Bank Sentral Eropa (ECB) melakukan negosiasi intensif, mempertimbangkan plus-minus Yunani tetap menggunakan euro atau tidak lagi pengguna euro dan harus keluar atau tetap di Uni Eropa. Paling tidak, dengan menolak persyaratan dana talangan, Yunani harus siap menggunakan mata uang sendiri dan menerima semua konsekuensinya. "Kebangkrutan" ekonomi Yunani saat ini merupakan dampak langsung dari gaya hidup yang 1 besar pasak dari tiang. Biaya hidup Negeri Para Dewa itu tidak sesuai kemampuan. Pengeluaran jauh lebih besar dari pendapatan, sehingga negara yang memilih keluar dari Uni Eropa itu terjebak dalam belitan utang yang kian hari kian menggunung. Rasio utang negara berpenduduk 11 juta itu mencapai 175% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 8% dari PDB. Sekitar 356 miliar euro utang Yunani didominasi surat utang yang sebagian besar digunakan untuk membiayai para pensiun dan menggaji pegawai negeri. Pekan depan, 15 Juli 2015, negeri dengan pengangguran 27% ini harus membayar utang jatuh tempo sebesar 3,5 miliar euro kepada ECB. Bila Yunani kembali gagal bayar --seperti terhadap Dana Moneter Internasional ((MF) sebesar 1,5 euro pada 30 Juni 2015, aliran dana darurat dari ECB akan diputuskan lebih awal. Jika itu terjadi, pemerintah Yunani takkan memiliki cukup dana untuk mendanai pengeluaran rutin. Perbankan akan terus kekeringan dana dan masyarakat tetap tak bisa mencairkan uangnya. Meski saat sedang mengalami perlambatan, kondisi ekonomi Indonesia relatif segar-bugar dibanding Yunani. PDB Yunani hanya US$ 242 miliar atau peringkat 45 dunia, sedang PDB Indonesia US$ 890 miliar dan masuk peringkat 15 dunia. Laju pertumbuhan ekonomi Yunani kuartal pertama 2015 hanya 0,2%, sedang Indonesia 4,7%. Tingkat pengangguran di Yunani sudah 27%, sedang Indonesia hanya 6% dari total angkatan kerja. Penduduk miskin di negeri para filsuf itu mencapai 24%, sedang Indonesia tinggal 7% dari total penduduk. Meski pendapatan per kapita Indonesia US$ 3.500 jauh lebih kecil dari Yunani yang sudah mencapai US$ 21.000, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tren naik dengan kelas menengah yang terus meningkat dan bonus demografi yang besar. Jumlah kelas menengah sekitar 60 juta dan penduduk usia produktif sekitar 69% dari total penduduk. Penduduk usia produktif dan golongan kelas menengah yang besar mencerminkan kekuatan permintaan yang besar. Kondisi APBN Indonesia jauh lebih sehat dan pengelolaan utang negara tergolong pruden atau berhati-hati. Rasio utang negara terhadap PDB hanya 25% dan defisit APBN-P 2015 terhadap PDB hanya 1,9%. Tingkat kepercayaan pemodal terhadap Indonesia cukup besar. Standard & Poor’s baru saja menaikkanoutlook Indonesia dari "stable" menjadi "positive" dan memberikan rating BB+. Sedang dengan default atau gagal bayar akhir Juni lalu, peringkat utang Yunani diturunkan ke level terendah. Dengan ambruknya kepercayaan internasional terhadap prospek ekonomi, Yunani harus 2 memberikan kupon bunga tinggi setiap menerbitkan surat utang. Imbal hasil atau yield obligasi pemerintah Yunani bertenor 10 tahun termasuk yang tertinggi di dunia, yakni 29%. Bandingkan dengan yield surat utang negara (SUN) Indonesia yang hanya 8,2%. Tidak ada dampak langsung kebangkrutan ekonomi Yunani terhadap Indonesia. Investasi dan perdagangan Yunani dengan Indonesia tidak seignifikan. Sedang dampak tidak langsung hanya sementara. Kejatuhan harga saham dan pelemahan rupiah menyusul krisis Yunani hanya sementara. Prospek tumbuh ekonomi Indonesia sangat besar. Jika ada arah kebijakan yang jelas untuk setiap sektor, pemberian insentif selektif kepada dunia usaha, dan penempatan figur yang tepat di kabinet, ekonomi Indonesia pada semester kedua 2015 akan melaju di atas 5% dan ekonomi Indonesia akan melompat ke fase recovery atau pemulihan. Tapi, apa pun kepercayaan diri kita, kasus Yunani yang besar pasak dari tiang layak menjadi pelajaran. *** 3