Pengobatan TB dalam Program Nasional ISTC dan Strategi DOTS Herliani Dwi Putri Halim – Jeane Andini – Jody Felizio - Lutfie Pendahuluan Tujuan pengobatan TB adalah: • Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas. • Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya. • Mencegah kekambuhan. • Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain. • Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta; 2011 International Standards for Tuberculosis Care: Standar 7 ISTC: Standar 7 • Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi lebih lanjut dan terjadinya resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib memberikan panduan obat yang memadai tapi juga memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan sarana lain, jika memungkinkan, untuk menilai kepatuhan pasien serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta; 2011 International Standards for Tuberculosis Care: Standar 8 ISTC: Standar 8 • Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Dosis obat anti TB yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) sangat direkombinasikan. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta; 2011 Prinsip Pengobatan TB • OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. • Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). • Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta;2011 • Tahap Awal (Intensif) Pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. • Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta;2011 • • • • Penelitian Mitchison membagi kuman M. tuberculosis dalam beberapa populasi dalam hubungan antara pertumbuhannya dengan aktivitas obat yang membunuhnya, yaitu: Populasi A. Kuman tumbuh berkembang biak terus menerus dengan cepat. INH Populasi B. Kuman tumbuh sangat lambat dan berada dalam lingkungan asam. Pirazinamid Populasi C. Kuman berada dalam keadaan dormant hampir sepanjang waktu. Hanya kadang saja kuman ini mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat. Rifampicin Populasi D. Terdapat kuman yang sepenuhnya bersifat dormant sehingga sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat anti tuberkulosis. Jumlah populasi ini tidak jelas dan hanya dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh manusia itu sendiri. Aditama TY, et.al. Tuberkulosis Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.p. 26-32. Pengelompokan OAT Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta;2011 Isoniazid (INH) • Merupakan obat paling aktif untuk TB • Bersifat bakterisidal • Menghambat enzim yang beperan dalam sintesis asam mikolat dan dinding sel bakteri • Mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral • Diekskresikan terutama dalam urin Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik buku 3 ed.8. Jakarta: Salemba Medika; 2004. p.91-101 Rifampisin • • • • • Berikatan kuat dengan RNA Polimerase Menghambat sintesis RNA bakteri Bersifat bakterisidal dengan penggunaan bersama Isoniazid Diabsorbsi baik pada pemberian oral Dieksresikan melalui hati Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik buku 3 ed.8. Jakarta: Salemba Medika; 2004. p.91-101 Etambutol • Bersifat bakteriostatik • Tetap menekan pertumbuhan kuman TB yang telah resisten terhadap INH dan streptomisin. • Menghambat sintesis metabolit sel sel tidak bisa tumbuh mati • Resistensi timbul bila Etambutol digunakan tunggal Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik buku 3 ed.8. Jakarta: Salemba Medika; 2004. p.91-101 Pirazinamid • Bersifat tuberkulostatik pada kadar 12,5 μg/ml • Mudah diserap diusus • Memiliki masa paruh 10-16 jam Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik buku 3 ed.8. Jakarta: Salemba Medika; 2004. p.91-101 Streptomisin • • • • Bersifat bakteriostatik dan bakterisid Digunakan secara intravena Diekskresikan melalui filtrasi glomerulus Masa paruh 2-3 jam, memanjang pada pasien dengan gagal ginjal Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik buku 3 ed.8. Jakarta: Salemba Medika; 2004. p.91-101 Efek Samping INH Neuropati perifer dapat dicegah dengan pemberian vit B6, hepatotoksik Rifampisin Sindrom flu, hepatotoksik Streptomisin Etambutol Etionamid PAS Cycloserin Nefrotoksik, gangguan nervus VIII kranial Neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/dermatitis Hepatotoksik, gangguan pencernaan Hepatotoksik, gangguan pencernaan Kejang, depresi, psikosis Amin Z, Bahar A. Pengobatan Tuberkulosis mutakhir. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. 4th ed. Jakarta: Pusat penerbitan Dep. IPD FKUI; 2006. p.995-9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis:pedoman diagnosis dan tatalaksana di Indonesia. Jakarta: 2002, hal. 16. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis:pedoman diagnosis dan tatalaksana di Indonesia. Jakarta: 2002, hal. 16. Dosis Obat Nama Obat Dosis harian Dosis berkala 3x seminggu BB<50kg BB>50kg Isoniazid 300 mg 400 mg 600 mg Rifampisin 450 mg 600 mg 600 mg Pirazinamid 1000 mg 2000 mg 2-3 g Streptomisin 750 mg 1000 mg 1000 mg Etambutol 750 mg 1000 mg 1-1,5 g Etionamid 500 mg 750 mg 99 10 g PAS Rangkuman: Jenis, Sifat, dan OAT Lini Pertama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta;2011 Regimen Pengobatan Kategori 1 Pasien TB Fase Awal Fase Lanjutan TBP sputum BTA positif baru 2SHRZ (EHRZ) 6HE Bentuk TBP berat 2SHRZ (EHRZ) 4HR TB ekstra-paru (berat) 2SHRZ (EHRZ) 4H3R3 Relaps 2SHZE/ 1 HRZE 5H3R3E3 Gagalan pengobatan 2SHZE/ 1 HRZE 5HRE TBP sputum BTA-negatif 2HRZ atau 2 H3R3Z3 6HE TB ekstra-paru (menengah berat) 2HRZ atau 2 H3R3Z3 2HR/4H 2HRZ atau 2 H3R3Z3 2H3R3/4H TBP BTA-negatif 2 Default 3 4 Kasus kronis (masih BTApositif setelah pengobatan ulang yang disupervisi) tidak dapat diaplikasikan (mempertimbangkan menggunakan obat barisan kedua) Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: • Pasien baru TB paru BTA positif • Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif • Pasien TB ekstra paru Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta;2011 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta;2011 Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: • Pasien kambuh • Pasien gagal • Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta;2011 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta;2011 OAT Sisipan (HRZE) • Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta;2011 International Standards for Tuberculosis Care: Standar 9 ISTC: Standar 9 • Untuk meningkatkan serta mengevaluasi kepatuhan terhadap pengobatan, dilakukan pendekatan yang berfokus pada pasien, didasari oleh kebutuhan pasien serta adanya hubungan yang saling menghargai di antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Supervisi dan dukungan yang dilakukan seharusnya menaruh perhatian khusus pada gender dan kelompok usia, serta harus pula sesuai dengan intervensi yang dianjurkan, termasuk di dalamnya edukasi dan konseling pasien. • Elemen yang utama pada pendekatan ini adalah penggunaan pengukuran untuk menilai, meningkatkan kepatuhan berobat, dan mendeteksi ketidakpatuhan. Adapun pengukuran ini dibuat secara khusus sesuai keadaan masing – masing individu dan dapat diterima oleh baik pasien maupun pemberi pelayanan. Salah satu metode yang dipakai adalah pengawasan langsung minum obat oleh seorang PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggung jawab kepada pasien dan sistem kesehatan Hopewell PC, et al. International Standars for Tuberculosis Care. 2nd edition. San Fransisco: Tuberculosis Coalition for Tehcnical Assistance; 2009.p.38-45 Kepatuhan Berobat Hopewell PC, et al. International Standars for Tuberculosis Care. 2nd edition. San Fransisco: Tuberculosis Coalition for Tehcnical Assistance; 2009.p.38-45 Pengawas Minum Obat (PMO) • Syarat: – Bersedia dengan sukarela membantu pasien tuberkulosis hingga sembuh selama pengobatan dengan OAT, serta menjaga kerahasiaan penderita HIV / AIDS. – Diutamakan seorang petugas kesehatan, tetapi dapat pula kader kesehatan ataupun anggota keluarga yang disegani oleh pasien Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. hal. 31-5, 52-5 • Tugas: – Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik – Melakukan pengawasan minum obat terhadap pasien – Mengingatkan pasien untuk memeriksa ulang dahaknya sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan – Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai – Mengenai efek samping minor akibat obat dan menasihati pasien agar tetap mau meminum obat – Merujuk pasien bila efek samping berat muncul – Melakukan kunjungan rumah – Menganjurkan anggota keluarga lain untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala untuk tuberkulosis. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. hal. 31-5, 52-5 International Standards for Tuberculosis Care: Standar 11 ISTC: Standar 11 • Penilaian pada kecenderungan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, paparan pada organisme yang mungkin menyebabkan resistensi, dan prevalensi resistensi pada komunitas harus dilakukan pada seluruh pasien. Tes efektivitas obat harus dilakukan pada awal terapi bagi seluruh pasien. • Pada pasien yang masih menunjukkan hasil BTA positif setelah tiga bulan pengobatan, gagal berobat, atau kambuh, harus dilakukan penilaian resistensi obat. Bila kecurigaan terhadap resistensi besar, maka dilakukan kultur dan tes resistensi untuk isoniazid dan rifampisin. Konseling serta edukasi pasien harus dimulai sesegera mungkin untuk meminimalisir potensi transmisi. Demikian pula dengan pengendalian infeksi. Hopewell PC, et al. International Standars for Tuberculosis Care. 2nd edition. San Fransisco: Tuberculosis Coalition for Tehcnical Assistance; 2009.p.38-45 Penyebab Resistensi Obat • Faktor Mikrobiologik • Faktor Klinik – Faktor Penyelenggara Kesehatan – Faktor Obat – Faktor Pasien • Faktor Program • Faktor HIV / AIDS • Faktor Kuman Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. hal. 31-5, 52-5 Jenis Resistensi Obat TB • Resistensi primer Sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan • Resistensi inisial tidak diketahui pasti apakah telah terdapat riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau memang belum pernah sebelumnya • Resistensi sekunder telah mempunyai riwayat pengobatan OAT lebih dari 1 bulan. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. hal. 31-5, 52-5 Jenis Resistensi Obat TB • Mono resisten satu jenis OAT • Poli resisten lebih dari satu OAT selain kombinasi isoniazid dan rifampisin • Resistensi obat ganda (multi drug resistance) minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. • Resistensi obat ekstensif (extensive drug resistance) kriteria MDR + satu obat golongan fluorokuinolon, dan setidaknya salah satu dari OAT injeksi lini ke dua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin) • Resistensi obat total lini pertama maupun ke dua Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. hal. 31-5, 52-5 Suspek Resisten TB • • • • • • • • • Gagal pengobatan kategori 1 Gagal pengobatan pada kategori 2 Gagal konversi setelah sisipan dengan kategori 1 Gagal konversi setelah sisipan dengan kategori 2 Mendapatkan terapi dari fasilitas non DOTS, termasuk pada penggunaan terapi lini ke dua seperti kuinolon dan kanamisin TB paru kasus kambuh setelah dinyatakan sukses terapi Kembali setelah lalai / default pada pengobatan kategori 1 maupun 2 Suspek TB dengan keluhan, yang sering berkontak atau tinggal dekat dengan pasien TB – MDR yang telah terkonfirmasi. TB-HIV Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviono, Soedarsono, dkk. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011. hal. 31-5, 52-5 Tindak Lanjut Suspek TB -MDR Pengambilan Sputum Pemeriksaan pada Laboratorium yang terjamin mutunya Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan OAT (lini 1 / 2) International Standards for Tuberculosis Care: Standar 12 ISTC: Standar 12 • Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita TB yang disebabkan oleh kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti TB lini kedua. Paduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitivitas obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti. Paling tidak digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi biakan. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan. Kelompok OAT untuk TB Resisten 1.Kelompok 1: OAT lini 1 yaitu isoniazid (H), rifampisin (R), etambutol (E), pirazinamid (Z), dan rifabutin (Rfb). 2.Kelompok 2: obat suntik berupa kanamisin (Km), amikasin (A), kapreomisin (Cm), dan streptomisin (S). 3.Kelompok 3: Fluorokuinolon berupa moksifloksasin (Mfx),levofloksasin (Lfx), dan ofloksasin (Ofx). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Resisten ganda. Dalam Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: 2011, hal. 35-38. 4.Kelompok 4: bakteriostatik OAT lini kedua yaitu etionamid (Eto), protionamid (Pto), sikloserin (Cs), terzidone (Trd), dan PAS. 5.Kelompok 5: obat yang belum diketahui efektivitasnya yaitu klozamin (Cfz), linezoid (lzd), amoksiklav (amx/clv), tiosetazone (Thz), imipenem/ cilastin (Ipm/cln), H dosis tinggi, dan klartitromisin (Clr). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Resisten ganda. Dalam Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: 2011, hal. 35-38. • Pemberian obat suntik berdasarkan hasil konversi diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah hasil sputum atau kultur pertama menjadi (-). • Regimen standar di Indonesia: Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah 6Z-(E)Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis:pedoman diagnosis dan tatalaksana di Indonesia. Jakarta: 2002, hal. 21-22. International Standards for Tuberculosis Care: Standar 13 ISTC: Standar 13 Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek samping seharusnya disimpan untuk pasien. Alur Permintaan, Distribusi, dan Pelaporan Logistik Kementerian kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional: penanggulangan tuberculosis. Edisi 2. Jakarta: 2011, hal.57. Langkah untuk Menjamin Kelangsungan Pengobatan • Memfasilitasi perusahaan obat lokal dalam proses pra-kualifikasi (white listing). • Memastikan ketersediaan obat dan logistik non-OAT (reagen, peralatan dan suplai laboratorium) yang kontinyu, tepat waktu dan bermutu di seluruh fasilitaspelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan DOTS, termasuk di fasilitas yang melayani masyarakat miskin dan rentan. • Menjamin sistem penyimpanan dan distribusi obat TB yang efektif dan efisien, termasuk kemungkinan untuk bermitra dengan pihak lain • Menjamin distribusi obat yang efisien dan efektif secara berjenjang sesuai kebutuhan. • Menjamin terlaksananya sistem informasi manajemen untuk obat TB (termasuk sistem alert elektronik dan laporan pemakaian dan stok OAT). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 20102014. Jakarta: 2011, hal.53. Kesimpulan • Pengobatan tuberkulosis hendaknya dijalankan sesuai dengan prinsip pada ISTC dan strategi DOTS – Standar 7: pencegahan penularan infeksi dan resistensi – Standar 8: terapi inisial dan lanjutan – Standar 9: peningkatan kepatuhan dan PMO – Standar 11: pengenalan resistensi – Standar 12: tatalaksana resistensi – Standar 13: perekaman tertulis TERIMA KASIH