IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sejarah

advertisement
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sejarah Perkembangan Pasar Modal Indonesia
Sejarah pasar modal Indonesia dimulai sejak zaman kolonial Belanda.
Dimana pada saat itu, Belanda benar-benar membutuhkan satu biro yang
memperdagangkan efek-efeknya di Indonesia. Oleh karena itu, pada 14
Desember 1912 Amsterdamse Effectenbureurs memilih Batavia sebagai
cabangnya. Bursa ini tercatat kembali sebagai bersa keempat yang tertua di
Asia setelah Hongkong (1817), Mumbai (1830) dan Tokyo (1878).
Seperti halnya pasar modal sekarang, bursa efek batavia pada waktu itu
sebagai sumber pembiayaan bagi perkebunan Belanda di Indonesia maju
pesat, sehingga dalam waktu singkat menjadi salah satu bursa internasional
yang sangat menguntungkan. Yang diperdagangkan pada waktu itu adalah
saham dan obligasi perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia dan
obligasi pemerintah Hindia Belanda. Tuntutan pasar yang begitu pesat
terhadap perdagangan efek, membuat pemerintah Belanda memutuskan
bahwa kantor perdagangan bursa tidak cukup didirikan hanya di Batavia saja.
Pada tanggal 11 Januari 1925, dibukalah bursa efek di Surabaya. Kemudian
pada tanggal 1 Agustus 1925 menyusul dibuka kantor perdagangan efek di
Semarang. Menurut data dari Fritz Arenz Oroh, seorang bekas Kepala
Pembantu Urusan Pasar Uang dan Pasar Modal Bank Indonesia,
menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 1938 terdapat 107 perusahaan
swasta yang go public dengan total modal disetor sebesar 183,03 juta gulden
dan emisi obligasi senilai 21,75 juta gulden (Suta, 2000).
4.1.1. Era Pasca Perang Dunia II
Pasca perang dunia II, Jerman berhasil menduduki Belanda,
kemudian saham-saham orang Belanda direbut oleh Jerman. Tentu
saja hal tersebut sangat mempengaruhi pasar modal Indonesia yang
pada waktu itu sangat bergantung pada eksistensi Belanda. Akhirnya,
pada 10 Mei 1940 bursa efek Batavia terpaksa ditutup. Hal ini
membuat pemegang saham dan pedagangnya resah, karena pada saat
itu terdapat 250 jenis saham dengan nilai 1,4 miliar gulden. Untuk
mengatasi keadaan tersebut, pada 23 Desember 1940 kantor bursa
Batavia dibuka kembali. Eksistensi bursa efek Batavia tidak
berlangsung lama, karena tidak lama kemudian Jepang masuk ke
Indonesia. Sesudah itu, bursa efek Batavia libur panjang.
Pada
17
Agustus
1945,
Indonesia
memproklamasikan
kemerdekaanya. Sebuah negara yang baru berdiri jelas membutuhkan
modal pembangunan yang besar. Apalagi bersamaan dengan itu
terjadi revolusi fisik, yang membuat negara ini semakin terpuruk pada
masalah sumber dana. Pemerintah memerlukan sumber pembiayaan
bagi pembangunan. Untuk itu, maka pada tanggal 1 September 1951
dikeluarkan UU Darurat No. 13, tentang Bursa dan kemudian
ditetapkan sebagai UU Bursa No. 15 tahun 1952. Berdasarkan itu,
pada 3 Juni 1952 Menteri Keuangan Soemitro Djojohadikusumo
meresmikan kembali BEJ yang berkantor di gedung De Javashe Bank
(Bank Indonesia, Jakarta Kota). Sayangnya perjalanan bursa ini
tertatih-tatih, praktis meskipun pemerintah telah memiliki UU Bursa,
namun sama sekali tidak ada aktivitas jual beli saham.
Kevakuman ini terus berlangsung hingga pemerintahan presiden
Soekarno, Orde Lama jatuh dan beralih ke pemerintahan Orde Baru.
Pada awalnya, pemerintahan Orde Baru meski sangat membutuhkan
dana pembangunan, tetapi belum terfikir untuk menghidupkan
kembali aktivitas pasar modal Indonesia. Namun begitu, peresmian
tersebut bukan berarti pasar moal Indonesia telah memasuki era
kebangkitan. Perjalanan pasar modal Indonesia membutuhkan waktu
yang cukup panjang untuk sampai pada kondisi yang seperti sekarang
ini.
4.1.2. Era Pra Deregulasi
Di masa ini bisa dibilang pasar modal Indonesia mengalami masa
yang cukup suram. Sebab saat itu perusahaan masih kental diwarnai
budaya perusahaan keluarga. Ciri perusahaan seperti ini sangat
tertutup, jangankan membuka diri agar sahamnya bisa dimiliki oleh
publik di pasar modal, untuk memberi sedikit sahamnya kepada satu
atau dua orang saja terasa berat dan bahkan tabu.
Kondisi seperti itu tentu saja membuat pemerintah harus bekerja
keras untuk membujuk perusahaan-perusahaan tersebut agar mau
membuka diri dan masuk ke pasar modal. Berbagai kemudahan
diberikan pemerintah seperti tax incentive, tetapi belum mampu
merangsang minat pengusaha untuk menjual sahamnya ke masyarakat.
Masalah lain yang membuat pasar modal Indonesia kurang
diminati oleh perusahaan adalah faktor yang muncul dari lembaga
pasar modal itu sendiri. Banyak aturan pasar modal yang dianggap
pemilik perusahaan tidak begitu menguntungkannya, antara lain :
1. Adanya persyaratan laba minimum 10% dari modal.
2. Tertutup kesempatan bagi investor asing untuk ikut dalam
kepemilikan saham.
3. Adanya batas minimum fluktuasi harga saham sebesar 4% dari
harga awal dalam setiap hari perdagangan di bursa.
4. Tidak adanya perlakuan yang sama, terutama dalam hal pajak
terhadap penghasilan yang berasal dari bunga deposito dengan
dividen.
5. Belum dibukanya kesempatan bagi perusahaan untuk mencatatkan
seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh di bursa.
4.1.3. Era Deregulasi (1987-1990)
Pemerintah mulai merombak berbagai aturan yang dianggap
menghambat minat perusahaan untuk masuk ke dalam bursa. Oleh
karena itu, diluncurkan tiga perangkat paket penting kebijakan pasar
modal. Intinya berupa penyederhanaan aturan yang dikemas dalam
paket-paket deregulasi, yaitu :
1. Paket Desember 1987 (Pakdes)
2. Peket Oktober 1988 (Pakto)
3. Paket Desember 1988
4.1.4. Era Pasca Deregulasi
Dengan
adanya berbagai kebijakan ini telah
menebalkan
kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia. Puncak
kepercayaan itu, terjadi setelah pemerintah menetapkan Undang-
Undang (UU) No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berlaku
secara efektif mulai 1 Januari 1996. Pemberlakuan berbagai kebijakan
ini dikatakan sebagai momentum penting dalam perjalanan pasar
modal Indonesia, sehingga sampai tahun 1996 Bapepam telah
mengeluarkan 102 peraturan sebagai petunjuk pelaksanaan teknis dari
UU itu. Melalui peraturan-peraturan itu, setidaknya pasar modal
Indonesia memiliki seperangkat peraturan yang komperhensif.
Lahirnya berbagai deregulasi kebijakan itu, mulai dari UU sampai
Keputusan
Bapepam
mengakibatkan
pasar
modal
Indonesia
berkembang pesat. Ini bisa terlihat perkembangan statistik di bursa
pada akhir tahun 1996, tercatat ada 295 emiten yang melakukan
penawaran umum dengan total emisi RP. 61,4 triliun. Sedangkan
untuk meningkatkan peran investor domestik, sampai 31 Desember
1996 telah beroperasi 25 reksa dana dengan total asset Rp 2,7 triliun.
Namun era gemilang ini tidak berjalan mulus karena perekonomian
Indonesia mengalami musibah pada tahun 1997, pada awalnya hanya
menghantam nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga mencapai Rp
17.000 per dolar AS. Depresiasi rupiah pada gilirannya berimbas pada
pasar modal, karena mayoritas emiten memiliki utang dalam mata
uang asing, dan sayangnya utang tersebut jarang yang diberi bemper
hedging, akibatnya emiten mengalami kesulitan likuiditas, utang
macet dan rugi kurs. Hal ini membuat harga saham anjlok, dan indeks
saham sulit diselamatkan.
Musibah krisis moneter yang menimpa ekonomi nasional tidak
dapat dipungkiri merupakan ujian yang terberat bagi pasar modal
Indonesia. Namun, bukan berarti pasar modal Indonesia telah
berakhir, buktinya indeks pada awal tahun 2000 mencapai level 700
dan emiten baru mulai bermunculan. Pada awal tahun 2005 indeks
malah mencapai angka 1.015 dan jumlah emiten mencapai angka 335
perusahaan. Krisis keuangan global yang melanda pasar perumahan di
Amerika Serikat pada awal 2008 memberikan sedikit dampaknya pada
pasar modal di Indonesia. Hal tersebut berimplikasi terhadap turunnya
nilai IHSG hingga pada level 1.355,40 (Bapepam, 2009). Namun, di
awal tahun 2009, pasar modal telah menunjukkan kegairahannya
kembali.
4.2. Bursa Efek Indonesia (BEI)
Bursa Efek Indonesia (BEI) merupakan perusahaan yang bergerak di
bidang perdagangan pasar modal. Bursa efek sudah mulai beroperasi sejak
tahun 1912 pada masa kolonial Belanda hingga saat ini. Pada awalnya
terdapat dua bursa yang ada di Indonesia yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan
Bursa Efek Surabaya (BES). Pada tanggal 1 Desember 2007 para pemegang
saham bursa efek secara resmi telah menyetujui rancangan penggabungan
kedua perusahaan yang kemudian menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Dalam Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi 2009, kebijakan untuk
menggabungkan dua bursa tersebut sudah menjadi harapan lama oleh
pemerintah, yaitu dalam hal ini Bapepem-LK (Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan). Gagasan penggabungan ini memiliki alasan logis,
yaitu :
1. Pasar modal Indonesia termasuk yang tertinggal dibandingkan dengan
bursa-bursa dari negara lain termasuk negara tetangga, baik dari nilai
kapitalisasinya, jumlah emitennya, produk investasi, serta masih
rendahnya kompetisi investor lokal yang ikut bermain.
2. Keinginan untuk menciptakan pasar modal yang kuat dan mampu
bertarung dengan bursa lain.
3. Fenomena penggabungan berbagai bursa di seluruh dunia dengan dasardasar seperti ingin menciptakan efisiensi dan menghadapi persaingan
global.
Dengan penggabungan ini diharapkan pasar modal Indonesia menjadi
lebih kuat dan efisien karena para pelaku pasar hanya mengenal satu bursa
efek yang memfasilitasi semua segmen pasar, sehingga perusahaan efek
cukup menjadi anggota di satu bursa dan emiten cukup tercatat di satu bursa.
Infrastruktur perdagangan menjadi terintegrasi dan memfasilitasi seluruh
instrument yang diperdagangkan.
Tabel 2. Manfaat Ekonomis Penggabungan BES dan BEJ
Sudut Pandang
Sinergi
1. Pengurangan biaya teknologi informasi
2. Pengurangan biaya SDM yang memiliki tugas
sama
Efisiensi Biaya
Peningkatan
Pendapatan
Peningkatan pendapatan jasa transaksi perdagangan
Optimalisasi
Peningkatan sumber daya tanpa perubahan struktur
Permodalan
modal
Sumber : Fahmi, Irham dan Yovi Lavianti Hadi, 2009.
BEI beralamat di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jl. Jendral Sudirman kav
52-53, Jakarta Selatan, yang merupakan gedung awal BEJ.
4.3. Perusahaan- Perusahaan Sektor Industri Pertanian di BEI
BEI menggolongkan saham-saham menjadi 9 sektor, dimana setiap
sektor dibagi lagi menjadi beberapa sub sektor untuk menggolongkan masingmasing perusahaan sekuritas ke dalam jenis usahanya. Salah satunya adalah
saham sektor industri pertanian. Adapun saham sektor industri pertanian
digolongkan menjadi 5 sub sektor, yaitu corps, plantation, animal husbandry,
fishery dan other.
Tabel 3. Kode Saham dan Pembagian Sub Sektor Perusahaan Sektor
Industri Pertanian
No
Kode Saham
1 BISI
2 BWPT
3 AALI
4 UNSP
5 GZCO
6 LSIP
7 SGRO
8 SMAR
9 TBLA
10 CPDW
11 MBAI
12 CPRO
13 DSFI
14 IIKP
15 BTEK
Sumber : Bursa Efek Indonesia, 2009.
Sub Sektor
Corps
Plantation
Plantation
Plantation
Plantation
Plantation
Plantation
Plantation
Plantation
Animal Husbandry
Animal Husbandry
Fishery
Fishery
Fishery
Others
Data mengenai kode saham perusahaan dan pembagian sub-sub sektor
yang tergabung dalam sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 5. Sedangkan
untuk data nama-nama perusahaan yang termasuk ke dalam sektor keuangan,
secara lengkap disajikan dalam Lampiran 1.
Tidak semua perusahaan di Tabel 3 dimasukkan ke dalam perhitungan
analisis kinerja saham, namun terlebih dahulu dilakukan seleksi terhadap
saham-saham tersebut. Saham yang tidak terdaftar di salah satu tahun antara
tahun 2008 dan 2009 akan dihilangkan. Hal ini disebabkan saham yang tidak
terdaftar di salah satu tahunnya, akan menyebabkan nilai harga saham
tersebut nol. Selain itu, investor juga tidak bisa memilih saham tersebut untuk
menyimpan dana investasinya. Pada tahun 2008, PT. Gozco Plantation Tbk
(GZCO) baru terdaftar pada periode di akhir tahun tepatnya di bulan
November dan Desember, sehingga saham ini tidak disertakan dalam
perhitungan. Hal ini juga terjadi pada saham PT. BW Plantation Tbk (BWPT)
yang baru saja terdaftar di tahun 2009.
4.4. Perspektif Terhadap Sektor Pertanian
Peran serta sektor pertanian dalam pembangunan sangat besar, terutama
dalam menyalurkan dana sebagai penggerak sektor rill. Sektor pertanian
merupakan salah satu sektor industri yang berkaitan erat dengan
pembangunan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, sektor pertanian perlu
didukung oleh berbagai pihak agar mampu meningkatkan pembangunan pada
sektor rill.
Penurunan tingkat suku bunga SBI pada saat ini yaitu pada tingkat 6,5%
(Bank Indonesia, 2009), memberikan pengaruh positif terhadap sektor
industri pertanian, sebab dengan demikian sektor pertanian semakin gencar
dan inovatif dalam meraih pendapatan dengan menarik para investor asing
maupun
lokal
yang
awalnya
memilih
sektor
perbankan
dalam
menginvestasikan dana yang mereka miliki. Kondisi ekonomi yang semakin
baik dan stabil juga merupakan faktor yang mendorong membaiknya
performa pasar modal. Sedikitnya jumlah volume dan value perdagangan
saham pada sektor pertanian, membuat rendahnya kemajuan sektor ini
dibandingkan dengan yang lainnya. Padahal, jika dikaji lebih dalam sektor
pertanian juga memiliki prospek yang baik kedepan, jika keputusan investasi
pada sub sektor didalamnya dilakukan dengan tepat. Oleh karena itu, analisis
kinerja saham yang tepat dapat membantu para investor untuk menentukan
kearah mana mereka harus menginvestasikan dana yang dimiliki pada sektor
pertanian. Pemilihan setiap saham berdasarkan kinerjanya tergantung pada
perspektif investor. Dengan mengetahui kinerja masing-masing saham pada
sektor industri pertanian, maka minat investor terhadap saham pertanian
menjadi lebih besar. Hal ini dapat membantu meningkatkan volume dan value
perdagangan saham sektor pertanian di BEI serta turut memberikan andil bagi
pembangunan bangsa.
4.5.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fluktuasi Harga Saham Sektor
Pertanian di BEI
Secara fundamental harga suatu jenis saham dipengaruhi oleh kinerja
perusahaan dan kemungkinan risiko yang dihadapi perusahaan. Kinerja
perusahaan tercermin dari laba operasional dan laba bersih per saham serta
beberapa rasio keuangan yang menggambarkan kekuatan manajemen dalam
mengelola perusahaan. Risiko perusahaan tercermin dari daya tahan
perusahaan dalam menghadapi siklus ekonomi serta faktor makro ekonomi
dan makro non ekonomi. Dengan kata lain, kinerja perusahaan dan risiko
yang dihadapi dipengaruhi oleh faktor makro dan mikro ekonomi (Samsul
Mohamad, 2006).
4.5.1. Faktor Makro
Faktor makro merupakan faktor yang berada di luar perusahaan,
tetapi mempunyai pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan kinerja
perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut
Mohamad Samsul (2006), faktor makro ekonomi tersebut antara lain
adalah :
A. Tingkat Bunga Umum Domestik
Kenaikan tingkat bunga pinjaman akan meningkatkan beban
bunga kredit dan menurunkan nilai laba bersih sehingga
mengakibatkan laba per saham juga menurun dan akhirnya akan
berakibat pada turunnya harga saham di pasar. Naiknya suku bunga
deposito akan membuat investor beralih dalam menginvestasikan
dana yang mereka miliki untuk ditabungkan pada deposito.
Kenaikan suku bunga pinjaman atau suku bunga deposito akan
mengakibatkan turunnya harga saham, begitupun sebaliknya.
B. Tingkat Inflasi
Pengaruh tingkat inflasi dapat berdampak positif atau negatif
terhadap harga saham, hal tersebut bergantung pada derajat inflasi
itu sendiri. Inflasi yang berlebihan dapat merugikan perekonomian
secara keseluruhan, yaitu dapat membuat banyak perusahaan
mengalami kebangkrutan. Inflasi yang tinggi dapat menjatuhkan
harga saham di pasar, sementara inflasi yang sangat rendah
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat lamban, dan
pada akhirnya harga saham juga akan bergerak sangat lamban.
C. Peraturan Perpajakan
Kenaikan pajak penghasilan, dapat menurunkan nilai laba bersih
perusahaan yang selanjutnya akan menurunkan harga saham.
Begitu pula dengan kenaikan pajak penjualan serta pajak
penghasilan konsumen. Jadi kenaikan pajak secara keseluruhan
dapat mengurangi nilai laba bersih perusahaan yang nantinya
mempengaruhi harga saham di pasaran, yaitu menurunnya harga
saham. Namun hal ini tetap tergantung pada penggunaan dan
penerimaan dana pajak oleh pemerintah. Penggunaan dan
penerimaan pajak ke sektor ekonomi luas akan mempunyai
pengaruh yang berbeda daripada ke sektor khusus yang sempit.
Jika penggunaan dana pajak oleh pemerintah digunakan untuk
mendukung kesejahteraan sektor pertanian, seperti ditingkatkannya
subsidi alat-alat operasional bagi perusahaan-perusahaan yang
bergerak dalam bidang sektor industri pertanian, maka hal ini tentu
akan
mengurangi
beban
operasional
perusahaan,
sehingga
meningkatkan laba bersih perusahaan dan menaikan harga saham
sektor industri pertanian di BEI.
D. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mempunyai
dampak tertentu terhadap perusahaan yang dikenai kebijakan
tersebut. Kebijakan yang sama dapat memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap perusahaan yang berbeda. Sebagai contoh
kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian, antara lain
penghapusan dan atau pengurangan subsidi terhadap pupuk atau
alat operasional lainnya, penurunan tarif impor komoditi pangan
yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan
pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan
(contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah nondepartemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).
Kebijakan-kebijakan tersebut sangat mempengaruhi profitabilitas
perusahaan yang bergerak di bidang pertanian. Apabila pemerintah
menurunkan subsidi terhadap alat-alat pertanian maka beban
operasional perusahaan akan meningkat. Penurunan tarif impor
tehadap komoditi pangan akan mengurangi penjualan perusahaan
dalam negeri yang bergerak di bidang pangan sehingga
profitabilitas perusahaan pertanian menurun. Begitupun juga
dengan berkurangnya peranan pemerintah dalam perdagangan
bahan pangan, semakin memperburuk kondisi ekonomi bidang
pertanian di Indonesia. Hal tersebut tentu saja akan mengurangi
harga saham sektor industri pertanian di BEI. Namun, bagi
perusahaan yang berada di sektor properti misalnya, kebijakan
pemerintah tersebut tidak berdampak apapun.
E. Kurs Valuta Asing
Kenaikan kurs US$ yang tajam terhadap rupiah akan berdampak
negatif terhadap emiten yang mempunyai utang dalam dolar
sementara produk emiten tersebut dijual secara lokal. Hal tersebut
dikarenakan jumlah dana yang harus dikembalikan oleh perusahaan
menjadi lebih besar dari dana yang dipinjam sebelumnya.
Sedangkan produk perusahaan yang bersangkutan dijual secara
lokal sehingga pendapatan perusahaan dalam bentuk rupiah.
Sementara, emiten yang berorientasi ekspor justru akan menerima
dampak positif dari kenaikan kurs US$ terebut. Indeks harga
saham gabungan (IHSG) juga akan terkena dampak positif dan
negatif tergantung pada kelompok yang dominan dampaknya. Jika
BEI pada saat tertentu dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan dalam
negeri yang modalnya berasal dari luar, maka banyak perusahaan
emiten yang rugi dan IHSG cenderung menurun.
F. Tingkat Bunga Pinjaman Luar Negeri
Tingkat suku bunga pinjaman luar negeri berkisar antara 2% 4%. Semakin besar suku bunga pinjaman, maka semakin besar
dana yang harus dikeluarkan oleh para emiten saham dalam
membayar utang pinjaman luan negeri, sehingga mengurangi
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan nilai laba bersih
perusahaan.
Jika
profitabilitas
perusahaan
menurun,
maka
kepercayaan investor akan menginvestasikan dana yang mereka
miliki juga menurun, sehingga hal ini dapat menurunkan harga
saham perusahaan emiten yang bersangkutan.
G. Kondisi Perekonomian Internasional
Kondisi negara tujuan ekspor atau negara asal impor sangat
berpengaruh terhadap kinerja emiten. Salah satu cara mengetahui
kondisi perekonomian negara tujuan maupun negara asal adalah
dengan melihat nilai IHSG negara yang bersangkutan. Ketika
kondisi perekonomian negara tujuan ekspor atau negara asal impor
sedang dalam keadaan membaik, maka nilai IHSG negara yang
bersangkutan cenderung stabil atau bahkan naik. Hal tersebut dapat
meningkatkan hasil ekspor atau impor produk-produk pertanian
dalam negeri, sehingga meningkatkan profitabilitas perusahaan.
Apabila profitabilitas perusahaan meningkat, maka harga saham
perusahaan tersebut juga naik, dan sebaliknya.
H. Siklus Ekonomi
Siklus ekonomi mempunyai pengaruh terhadap harga saham
selama masa lebih dari 5 tahun. Pada masa siklus ekonomi yang
tumbuh, lapangan pekerjaan tersedia banyak, setiap bidang usaha
memperoleh kemajuan, pengangguran relatif kecil, pendapatan
masyarakat relatif meningkat, dan keamanan lebih terjamin, hal
tersebut dapat membuat kegiatan bursa efek menjadi lebih
semarak. Harga saham mengalami kenaikan sepanjang periode
tersebut. Jenis saham yang mengalami kenaikan tajam pada masa
tersebut adalah saham yang diterbitkan oleh emiten yang
memproduksi barang-barang tahan lama (durable goods) seperti
barang-barang modal, property, otomotif, produk baja, peralatan
rumah tangga, dan barang yang lainnya. Sementara jenis saham
yang diterbitkan oleh emiten yang memproduksi barang-barang
yang tidak tahan lama (non durable goods) seperti produk
pertanian mengalami kenaikan harga yang relatif kecil bila
dibandingkan dengan kenaikan harga saham dari durable goods.
I. Faham Ekonomi
Faham ekonomi yang dianut oleh suatu negara sangat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan.
Hal ini berhubungan dengan faham ekonomi menentukan
kebijakan-kebijakan yang diambil dalam bidang ekonomi. Di
Indonesia sendiri faham ekonomi yang dianut adalah faham
ekonomi liberal yang sesuai dengan filosofi bapak ekonomi kita,
yaitu Adam Smith. Kegiatan ekonomi dilaksanakan oleh
masyarakat tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah sebagai
penyelenggara negara hanya bertindak sebagai pengatur agar
kegiatan ekonomi masyarakat berjalan teratur dan persaingan
berjalan sehat. Ketika faham ekonomi yang dianut oleh suatu
negara tepat dengan kondisi negaranya, maka pertumbuhan
ekonomi di negara yang bersangkutan akan cenderung stabil,
sehingga nilai IHSG negaranya juga stabil.
J. Peredaran Uang
Pemerintah dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi melaluli
kebijakan fiskal (pajak) dan kebijakan moneter (peredaran uang).
Kebijakan moneter dilaksanakan oleh Bank Sentral melalui 3 cara,
yaitu :
1. Perubahan reserve requirements
Yaitu sejumlah dana deposit yang wajib dimiliki oleh bank
komersil terhadap bank sentral. Biasanya berkisar dari 7%
hingga 22%. Bank sentral dapat memperbesar nilai reserve
requirements untuk mengurangi jumlah uang beredar sehingga
mengurangi laju inflasi dan sebaliknya. Ketika jumlah uang
yang beredar di masyarakat berkurang, maka kegiatan
perekonomian di masyarakat cenderung menurun, dan hal
tersebut berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan dan
perorangan. Ini akan mengurangi harga saham perusahaanperusahaan emiten. Namun, jika pemerintah tidak berusaha
untuk menstabilkan jumlah uang beredar dengan membiarkan
jumlah uang yang beredar tetap banyak di masyarakat, maka hal
ini akan menaikan laju inflasi yang nantinya juga akan
berpenagruh buruk terhadap perekonomian negara yang
bersangkutan. Oleh karena itu, pemerintah harus selalu
memainkan peranannya dalam kebijakan moneter yang akan
berpengaruh terhadap harga saham-saham di BEI.
2. Kebijakan suku bunga
Pada saat tingkat suku bunga kredit dinaikkan maka ini
bertujuan agar uang yang keluar dapat secara selektif, artinya
hanya pihak-pihak yang mampu membeyar suku bunga kredit
saja yang dapat melakukan pinjaman. Oleh karena itu, kebijakan
ini dapat mengurangi jumlah uang beredar dan investor
cenderung menginvestasikan uang yang mereka miliki ke
deposito, sehingga pasar modal mengalami kelesuan.
3. Open market operation
Pengendalian jumlah uang yang beredar dilakukan melalui
penjualan surat berharga yang dimiliki dengan harga yang
terjangkau, sehingga hal ini dapat mengurangi jumlah uang yang
beredar di masyarakat dan mengurangi laju inflasi. Ketika laju
inflasi berkurang, maka hal ini akan berdampak pada naiknya
harga saham di BEI.
4.5.2. Faktor Mikro
Baik buruknya kinerja perusahaan tercermin dari rasio-rasio
keuangan yang secara rutin diterbitkan oleh emiten. Pada umumnya
perusahaan yang sudah go public diwajibkan oleh peraturan yang
dikeluarkan Bapepam untuk menerbitkan laporan keuangan triwulan,
tengah tahunan, dan tahunan baik yang sudah diaudit maupun yang
belum diaudit. Faktor mikro ekonomi yang mempunyai pengaruh
terhadap harga saham suatu perusahaan itu sendiri, yaitu variabelvariabel seperti :
A. Laba bersih per saham
Laba bersih adalah jumlah pendapatan perusahaan setelah
dikurangi dengan beban-beban dan utang perusahaan. Ketika laba
bersih perusahaan meningkat dikarenakan beberapa hal, seperti
naiknya penjualan maupun berkurangnya beban-beban operasional
maka ini akan menaikan minat para investor untuk berinvestasi
pada saham di perusahaan yang bersangkutan. Hal tersebut
mengakibatkan nilai harga saham akan meningkat di BEI.
B. Nilai buku per saham
Earning Per Share (EPS) atau nilai buku per saham adalah nilai
yang diperoleh dengan cara membagi laba yang didapatkan oleh
perusahaan setelah pajak dengan jumlah saham yang beredar.
Pemodal seringkali memperhatikan EPS dalam melakukan analisis.
Semakin besar nilai buku per sahamnya maka semakin besar pula
kepercayaan dan minat para investor untuk menginvestasikan dana
yang mereka miliki ke perusahaan tersebut, sehingga hal ini dapat
menaikan harga saham di BEI.
C. Rasio ekuitas terhadap utang
Rasio ekuitas terhadap utang yaitu perbandingan antara hutang
dengan modal sendiri yang dimiliki. Investor perlu mengetahui
kesehatan perusahaan melalui perbandingan antara modal sendiri
dan modal pinjaman. Jika modal sendiri lebih besar dari modal
pinjaman, maka perusahaan itu sehat dan tidak mudah bangkrut.
Jadi investor harus selalu mengikuti perkembangan rasio ekuitas
terhadap utang ataupun debt to equity ratio (DER). Semakin besar
niali DER perusahaan, maka kepercayaan dan minat investor
terhadap saham perusahaan yang bersangkutan akan berkurang,
sehingga nilai harga saham akan turun, begitupun sebaliknya.
D. Rasio laba bersih terhadap ekuitas (ROE).
Investor
ingin
mengetahui
efisiensi
manajemen
dalam
menjalankan modalnya melalui rasio tingkat laba bersih terhadap
ekuitas (return on equity). ROE diperoleh dengan membagi nilai
laba setelah pajak dengan ekuitas. Semakin besar nilai ROE maka
semakin besar pula profitabilitas perusahaan, hal ini akan
memperbesar kepercayaan dan minat investor terhadap saham
perusahaan tersebut, sehingga nilai harga saham akan meningkat di
Bursa Efek Indonesia, begitupun sebaliknya.
E. Cash Flow per saham
Bagi perusahaan yang baru berdiri dan mendapatkan fasilitas
perpajakan, seringkali laba bersihnya negatif tetapi arus kasnya
positif. Hal ini terjadi karena diterapkannya metode penyusutan,
sehingga di tahun-tahun awal laba minimum bahkan negatif namun
di tahun selanjutnya laba semakin besar. Dalam hal ini investor
akan menggunakan cash flow per saham dan bukan laba bersih per
saham. Sehingga apabila perusahaan yang dianalisis oleh investor
adalah perusahaan yang baru saja berdiri profitabilitas perusahaan
tersebut dilihat dari cash flow per sahamnya. Apabila cash flow
perusahaan positif maka profitabilitas perusahaannya baik dan
harga sahamnya akan naik.
4.6. Analisis Kinerja Saham pada Saham-saham Sub Sektor Pertanian di
Bursa Efek Indonesia
Dalam memilih saham-saham sektor industri pertanian di Bursa Efek
Indonesia, maka investor sebaiknya mengetahui terlebih dahulu kinerja
setiap saham yang ada pada sektor industri pertanian. Analisis kinerja saham
didapatkan dengan mengetahui terlebih dahulu nilai-nilai dari tingkat
pengembalian (Ri) dan nilai risiko (Var) dari masing-masing saham. Nilainilai tersebut digunakan sebagai indikator penilaian kinerja suatu saham.
Saham dengan kinerja yang baik dapat menjadi alternatif investor untuk
menanamkan investasinya. Kriteria baik atau tidaknya saham industri
pertanian tergantung pada pandangan dan sikap investor terhadap risiko dan
tingkat pengembalian.
Nilai R (presentase tingkat keuntungan) diperoleh dari perhitungan
terhadap penjumlahan nilai Deviden yang dibagikan oleh perusahaan setiap
tahunnya per saham dengan perubahan harga saham (bulanan) dibagi harga
saham pada awal jangka waktu. Perubahan harga saham yang dimaksud
adalah harga saham Quartalan di tahun 2009. Perhitungan tersebut
menggunakan persamaan 1. Nilai R hasil perhitungan inilah yang akan
dimasukkan ke dalam software Modern Portofolio Theory and Investment
Analysis untuk mendapatkan nilai Excpected Return (Ri) dan risiko (σi) dari
masing-masing saham di setiap sub sektor saham industri pertanian.
4.7. Analisis Kinerja Saham-saham Sub Sektor Corps Pada Sektor Pertanian
di BEI Melalui Penilaian Ri dan σi
Penggolongan sub sektor Corps dengan Other dilakukan secara sengaja
oleh penulis, dikarenakan beberapa pertimbangan. Diantaranya adalah hanya
ada satu perusahaan saja yang terdaftar dalam masing-masing sub sektor
tersebut, sehingga sulit melihat adanya hubungan saling mempengaruhi
antar satu saham dengan saham lain, yang nantinya akan berguna dalam
pembentukan portofolionya. Penggolongan tersebut menjadikan saham BISI
dan BTEK menjadi satu portofolio dalam saham Corps.
Dalam Tabel 4, terlihat bahwa saham BISI memiliki risiko yang lebih
rendah yaitu sebesar 0.229 dengan nilai expected return (Ri) yang lebih kecil
yaitu sebesar 0.002 dibandingkan dengan saham BTEK. Risiko dapat
diartikan sebagai kemungkinan tingkat keuntungan yang diperoleh
menyimpang dari tingkat keuntungan yang diharapkan. Semakin kecil nilai
risikonya, maka semakin kecil pula kemungkinan saham tersebut
menyimpang dalam memberikan tingkat keuntungan yang diharapkan.
Tingkat pengembalian yang diharapkan untuk saham BTEK lebih besar
yaitu 0.014 dengan tingkat risiko yang lebih pesar pula yaitu 0.263
dibandingkan dengan saham BISI. Hal ini sesuai dengan pernyataan
investasi pada pasar modal yang mengatakan hubungan antara tingkat
pengembalian dan risiko yaitu high risk high return.
Tabel 4. Nilai Ri dan σi serta kovarian pada saham sub sektor Corps.
Ri
σi
BISI
BTEK
BISI
0.053 -0.006
0.002
0.229
BTEK
0.014
0.263 -0.006 0.0069
Dalam memilih saham yang akan masuk ke dalam portofolio
invetasinya, seorang investor yang rasional akan memilih untuk memegang
portofolio yang efisien yaitu memaksimumkan keuntungan pada tahap risiko
tertentu atau meminimumkan risiko pada tingkat keuntungan yang
diharapkan tertentu. Oleh karena itu, hal ini mengindikasikan pemilihan
saham didasarkan kepada masing-masing persepsi investor. Saham BISI
memiliki kinerja yang lebih baik dari saham BTEK jika dilihat dari tingat
risiko yang minimum pada tingkat keuntungan yang diharapkan tertentu.
Namun jika investor bertindak sebagai risk taker maka saham BTEK
merupakan saham yang memiliki kinerja lebih baik dibandingkan dengan
saham BISI karena memberikan nilai return yang lebih besar. Nilai kovarian
antara saham BISI dengan BTEK adalah -0.006. hal ini mengindikasikan
hubungan keuntungan antara kedua sekuritas tersebut. Dengan kovarians
yang negatif, ini berarti apabila saham BISI menghasilkan keuntungan yang
melebihi keuntungan rata-rata maka saham BTEK tidak mempunyai
kecenderungan untuk bertindak dengan cara yang sama, yaitu melebihi
keuntungan rata-ratanya, begitupun sebaliknya.
Pada Tabel 5, diperlihatkan hasil perhitungan nilai koefisien korelasi
antara saham BISI dengan BTEK. Koefisien korelasi terbagi menjadi 3 nilai
ekstrim. Ketiga nilai tersebut yaitu koefisien korelasi positif sempurna (+1)
yang mengindikasikan tidak ada alternatif yang dapat diambil untuk
mengurangi risiko yang diperoleh oleh investor dengan menyertakan kedua
saham dalam portofolio investasi, korelasi nol (0) yang menyatakan bahwa
jika portofolio dibentuk dengan sempurna, risiko satu portofolio yang terdiri
dari satu dan dua saham akan kurang daripada risiko sekuritas manapun,
serta korelasi negatif sempurna (-1) yang berarti berkemungkinan untuk
diwujudkan satu strategi untuk menghapuskan jumlah risiko portofolio.
Namun, pada kenyataannya ketiga hal tersebut jarang sekali terjadi.
Koefisien korelasi biasanya berkisar antara -1 sampai dengan +1.
Tabel 5. Nilai Koefisien Korelasi Antar Saham pada Sub Sektor Corps
BISI
BISI
BTEK
BTEK
1
-0.1
-0.1
1
Nilai koefisien korelasi antara saham BISI dengan saham BTEK adalah
-0.1. Rodoni dan Othman Young (2002), menjelaskan bahwa dalam keadaan
korelasi negatif berkemungkinan untuk diwujudkan satu strategi untuk
menghapuskan jumlah portofolio. Artinya, bahwa masih ada satu strategi
yang dapat diwujudkan dalam membentuk portofolio Corps dengan
menyertakan kedua saham tersebut.
4.8. Analisis Kinerja Saham-saham Sub Sektor Plantation Pada Sektor
Pertanian di BEI Melalui Penilaian Ri dan σi
Pada sub sektor Plantation, terdapat 6 saham terseleksi dari 8 saham
yang ada. Kedua saham yang tidak dimasukkan dalam perhitungan antara
lain adalah saham PT. Gozco Plantation Tbk dengan kode saham GZCO
yang baru terdaftar pada periode akhir di tahun 2008 tepatnya di bulan
November dan Desember. Hal ini juga terjadi pada saham PT. BW
Plantation Tbk dengan kode saham BWPT yang baru saja terdaftar di tahun
2009. Saham yang dimasukkan dalam perhitungan analisis kinerja saham
dan pembentukan portofolio optimal pada portofolio plantation antara lain
adalah saham dengan kode AALI, UNSP, LSIP, SGRO, SMAR dan TBLA.
Penambahan deviden tidak setiap bulan dilakukan. Hal ini dikarenakan
pada corporate activity terdapat aktivitas yang berbeda-beda pada setiap
perusahaan. Ada perusahaan yang hanya memberikan deviden kepada para
pemegang saham dalam jangka waktu semesteran (enam bulanan), tahunan
(dua belas bulanan) atau bahkan pada tahun tersebut perusahaan yang
bersangkutan tidak membayarkan devidennya disebabkan perusahaan yang
bersangkutan tidak mampu memperoleh laba bersih di tahun terkait. Sebagai
contoh, pada PT. Bakrie Sumatera Plantation Tbk dengan kode saham
UNSP deviden diberikan sebanyak dua kali selama periode penelitian, yaitu
pada bulan Juli 2008 sebesar Rp 17,- serta pada bulan agustus 2009 sebesar
Rp 9,- . Besarnya deviden yang dibagikan kepada para pemegang saham
juga tidak sama. Hal ini mengindikasikan investor diasumsikan sebagai
pemegang saham biasa (bukan saham preferen) yang mendapatkan deviden
sesuai dengan nilai pendapatan bersih perusahaan.
Untuk lebih lengkapnya, pada lampiran 3 ditunjukkan deviden
perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam sub sektor plantation serta
waktu pembagiannya. Sehingga apabila ada kesalahan dalam penambahan
deviden di waktu yang tidak tepat ataupun tidak ditambahkanya deviden
yang seharusnya dibagikan oleh perusahaan maka hal ini akan
mempengaruhi nilai tingkat keuntungan yang dihasilkan dan otomatis
mempengaruhi nilai Ri serta nilai σi.
Penilaian kinerja saham-saham pada sub sektor plantation dilihat dari
nilai expected return (Ri) dan risiko (σi) dari masing-masing saham yang
terdaftar pada sub sektor plantation.
Tabel 6. Nilai Ri dan σi Serta Kovarian pada Saham Sub Sektor
Plantation.
Ri
AALI
σi
AALI UNSP LSIP
SGRO SMAR TBLA
0.013 0.198
0.024 0.264
0.039
0.03 0.033
0.017
0.023
0.015
0.03
0.07 0.044
0.03
0.043
0.047
0.01 0.208
SGRO 0.009 0.147
SMAR 0.032 0.202
0.033
0.044 0.043
0.025
0.031
0.035
0.017
0.03 0.025
0.021
0.018
0.025
0.023
0.043 0.031
0.018
0.041
0.028
TBLA
0.015
0.047 0.035
0.025
0.028
0.066
UNSP
LSIP
0.009 0.257
Dalam Tabel 6, saham SGRO memiliki nilai risiko minimal pada tingkat
Ri tertentu. Saham SGRO memiliki nilai risiko sebesar 0.147 dengan
expected return sebesar -0.009. Sedangkan saham LSIP memiliki nilai risiko
yang lebih besar yaitu 0.208 dengan expected return yang lebih besar pula
sebesar 0.01. Hal ini sesuai dengan teori dasar keuangan yang menyatakan
bahwa semakin besar nilai risikonya maka semakin besar pula tingkat
keuntungannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa investor
memiliki kecenderungan bersikap risk averse yaitu menghindari atau
menolak risiko maka sebaiknya dalam kondisi seperti ini, investor lebih
memilih untuk menginvestasikan dana yang ia miliki ke saham SGRO
dibandingkan dengan yang lainnya, karena dilihat dari faktor risikonya,
saham SGRO memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan saham
lain. Namun, jika investor tersebut bersikap risk taker maka SMAR adalah
saham yang memberikan tingkat return paling besar yaitu 0.032 dengan
tingkat risiko 0.202.
Nilai kovarian antara saham pada sub sektor plantation juga disajikan
dalam Tabel 6. Nilai kovarian antar saham tersebut memiliki nilai yang
positif. Nilai kovarian menerangkan kepada kita hubungan keuntungan
antara sekuritas. Dengan kovarian yang positif, ini berarti apabila saham
AALI menghasilkan keuntngan yang melebihi keuntungan rata-rata maka
saham UNSP, LSIP, SGRO, SMAR dan TBLA juga mempunyai
kecenderungan untuk bertindak dengan cara yang sama.
Koefisien korelasi antara sekuritas menunjukkan dapat atau tidaknya
kombinasi saham dilakukan pada suatu portofolio untuk mengurangi risiko
pada portofolio tersebut. Jika koefisien korelasi menunjukan nilai positif
sempurna (+1) maka tidak ada pilihan yang dapat dilakukan oleh investor
dengan kombinasi saham seperti itu. Nilai positif yang sempurna juga
menyatakan
tidak
ada
pengurangan
risiko
yang
dicapai
dengan
pembentukkan portofolio seperti itu. Hal ini biasanya terjadi apabila kita
membentuk satu portofolio dengan kombinasi saham yang sama. Misalnya,
untuk kasus portofolio plantation, investor menginvestasikan seluruh dana
yang ia miliki pada saham AALI, maka koefisien korelasi yang muncul
adalah positif sempurna yaitu +1. Oleh karena itu, dalam dunia nyata jarang
sekali ditemukan kondisi seperti ini. Sehingga jika nilai tersebut tetap positif
dan terletak antara -1 sampai dengan +1 maka dapat berarti bahwa tetap ada
pengurangan risiko yang dicapai dengan pembentukkan portofolio yang
seperti itu. Keseluruhan koefisien korelasi pada sub sektor plantation
ditunjukan pada tabel 7.
Tabel 7. Nilai Koefisien Korelasi Antar Saham pada Sub Sektor
Plantation
AALI
UNSP LSIP
SGRO SMAR TBLA
AALI
1
0.567
0.812
0.594
0.57
0.293
UNSP
1
0.801
0.775
0.807
0.69
0.567
LSIP
1
0.828
0.729
0.655
0.812
0.801
SGRO
1
0.621
0.667
0.594
0.775
0.828
SMAR
1
0.542
0.57
0.807
0.729
0.621
TBLA
1
0.293
0.69
0.655
0.667
0.542
Dalam menghitung 6 sekuritas yang ada, maka kita harus menentukan nilai
koefisien korelasi sebanyak
=
= 15 yaitu :
1. AALI dengan UNSP memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.567.
2. AALI dengan LSIP memiliki koefisien korelasi yang positif sebesar
0.812.
3. AALI dengan SGRO memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.594.
4. AALI dengan SMAR memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.570.
5. AALI dengan TBLA memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.293.
6. UNSP dengan LSIP memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.801.
7. UNSP dengan SGRO memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.775.
8. UNSP dengan SMAR memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.807.
9. UNSP dengan TBLA memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.690.
10. LSIP dengan SGRO memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.828.
11. LSIP dengan SMAR memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.729.
12. LSIP dengan TBLA memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.655.
13. SGRO dengan SMAR memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.621.
14. SGRO dengan TBLA memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.667.
15. SMAR dengan TBLA memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.542.
Dalam menganalisis kinerja saham-saham yang terdaftar pada sub sektor
plantation, terlihat bahwa saham SGRO memiliki kinerja yang paling baik
jika dilihat dari tingkat risikonya.
4.9. Analisis Kinerja Saham-saham Sub Sektor Animal Husbandry Pada
Sektor Pertanian di BEI Melalui Penilaian Ri dan σi
Dalam sub sektor saham Animal Husbandry terdapat dua sekuritas,
yaitu PT. Cipendawa Tbk dengan kode saham CPDW serta PT.
Multibreeder Adirama Ind Tbk dengan kode saham MBAI.
Nilai tingkat pengembalian yang diharapkan serta risiko masing-masing
saham merupakan output yang dihasilkan dari proses pengolahan data yang
dilakukan. Dalam tabel 13 disajikan nilai expected return (Ri) dan risiko (σi)
untuk masing-masing saham yang menyusun sub sektor Animal Husbandry.
Hal ini dimaksudkan guna menganalisis kinerja masing-masing saham
pembentuk sub sektor Animal Husbandry yang dilihat dari nilai Ri dan σi.
Tabel 8. Nilai Ri dan σ1 Serta Kovarian pada Saham Sub Sektor
Animal Husbandry
Ri
σi
CPDW
MBAI
CPDW
0.029
0.165
0.027
-0.001
MBAI
0.037
0.251
0.063
-0.001
Dalam Tabel 8, terlihat bahwa CPDW memiliki risiko yang lebih kecil
dibandingkan dengan saham MBAI yaitu sebesar 0.165. Pemilihan saham
didasarkan atas persepsi dari investor. Dengan mengasumsikan investor
bersikap risk averse maka investor akan lebih memilih saham yang
meminimumkan risiko pada tingkat pengembalian tertentu. Oleh karena itu,
dalam hal ini saham CPDW memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan
dengan saham MBAI.
Jika investor bersikap sebagai risk taker maka saham MBAI memiliki
kinerja yang lebih baik karena menawarkan nilai expected return yang lebih
besar sebesar 0.037 pada tingkat risiko tertentu sebesar 0.251.
Adapun nilai dari koefisien korelasi antar saham CPDW dengan saham
MBAI pada sub sektor Animal Husbandry dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Nilai Koefisien Korelasi Antar Saham pada Sub Sektor Animal
Husbandry
CPDW
MBAI
CPDW
1
-0.02
MBAI
-0.02
1
Setelah dilakukan perhitungan menggunakan software Modern
Portofolio Theory And Investment Analysis didapatkan nilai koefisien
korelasi antara saham CPDW dengan MBAI sebesar -0.02. Tanda negatif
mengindikasikan bahwa ada alternatif yang dapat dilakukan oleh investor
dalam pembentukan portofolio dengan menyertakan kedua saham ini guna
mengurangi risiko sekuritas yang ada.
4.10. Analisis Kinerja Saham-saham Sub Sektor Fishery Pada Sektor
Pertanian di BEI Melalui Penilaian Ri dan σi
Pada sub sektor Fishery terdapat tiga perusahaan emiten yang terdaftar
selama periode penelitian. Diantaranya adalah PT.Central Proteinprima Tbk
yang memiliki kode saham CPRO, PT. Dharma Samudera Fishing Industries
Tbk yang memiliki kode saham DSFI serta PT. Inti Agri Resources Tbk
dengan kode saham IIKP.
Analisis kinerja masing-masing saham dilakukan dengan menghitung
nilai Ri dan σi. Pada tabel 10 disajikan nilai Ri, σi, serta nilai kovarian antar
sekuritas yang terdaftar pada sub sektor Fishery.
Tabel 10. Nilai Ri dan σi Serta Kovarian pada Saham Sub Sektor
Fishery
Ri
σi
CPRO
DSFI
IIKP
CPRO
-0.051
0.199
0.04
0.001
0.01
DSFI
-0.008
0.049
0.001
0.002
0.007
IIKP
0.071
0.073
0.266
0.01
0.007
Dari Tabel 10, terlihat bahwa saham yang memiliki nilai risiko paling
rendah pada tingkat expected return tertentu adalah saham dengan kode
DSFI. Saham ini memiliki nilai risiko paling rendah diantara ketiga saham
lain yang terdaftar pada sub sektor Fishery sebesar 0.049 dengan tingkat
expected return tertentu sebesar -0.008. Sedangkan saham yang memiliki
tingkat risiko paling tinggi adalah saham dengan kode IIKP yaitu sebesar
0.266, namun saham ini memiliki nilai expected return yang lebih besar
dibandingkan dengan saham CPRO. IIKP mempunyai nilai expected return
sebesar 0.073, sedangkan saham CPRO hanya memiliki nilai expected
return sebesar -0.051 dengan tingkat risiko yang lebih besar dari saham
DSFI sebesar 0.199. Hal ini dapat dijadikan dasar pembentukan portofolio
saham pada sub sektor Fishery. Saham yang memiliki kinerja terbaik sesuai
dengan persepsi investor akan memperoleh persentase dana yang lebih besar
dibandngkan dengan saham lainnya.
Dalam menilai kinerja saham dapat dilihat dari dua hal, yaitu expected
return sebagai sesuatu yang disukai oleh investor dan risiko sebagai sesuatu
yang tidak disukai oleh investor. Dalam Tabel 12, terlihat dengan jelas
bahwa saham DSFI memiliki nilai risiko paling rendah. Nilai return yang
negatif, yaitu sebesar -0.008 merupakan nilai return terbesar ke dua setelah
saham IIKP. Dengan mengasumsikan investor bersikap risk averse, maka
saham dengan nilai risiko paling rendah dapat dikatakan sebagai saham
dengan kinerja yang paling baik. Hal ini berarti saham DSFI memiliki
kinerja yang paling baik diantara saham lain. Jika diasumsikan investor
bersikap risk taker, maka saham IIKP merupakan saham dengan kinerja
paling baik yang menawarkan nilai expected return maksimal.
Nilai kovarian antara saham sub sektor Fishery dapat dilihat juga pada
Tabel 12.
1. Kovarian CPRO, DSFI sebesar 0.001, hal ini mengindikasikan hubungan
tingkat keuntungan diantara saham CPRO dengan saham DSFI. Jika
saham CPRO dapat menghasilkan keuntungan di atas keuntungan ratarata, maka saham DSFI akan cenderung melakukan hal yang sama
dengan saham CPRO yaitu menghasilkan keuntungan yang juga di atas
keuntungan rata-rata.
2. Kovarian CPRO, IIKP sebesar 0.010. Dengan kovarian yang positif
maka terdapat kecenderungan pergerakan tingkat keuntungan yang sama
diantara saham CPRO dengan IIKP.
3. Kovarian DSFI, IIKP sebesar 0.007. saham DSFI cenderung melakukan
pergerakan tingkat keuntungan yang sama dengan saham IIKP.
Selain diperoleh nilai kovarian antara saham, dalam penggunaan
software Modern Portofolio Theory And Investment Analysis juga diperoleh
nilai koefisien korelasi. Nilai ini menyatakan terdapat atau tidaknya
alternative yang dapat diambil oleh investor dalam membentuk portofolio
yang bersangkutan untuk mengurangi risiko sekuritasnya. Nilai koefisien
korelasi terletak antara +1 sampai dengan -1. Jika nilai koefisian korelasinya
adalah positif sempurna, yaitu +1 maka tidak ada alternatif yang dapat
dilakukan pleh investor untuk mengurangi risiko sekuritasnya dengan
pembentukan portofolio tersebut. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh
untuk saham yang terdaftar dalam sub sektor Fishery dapat dilihat pada
Tabel 11.
Tabel 11. Nilai Koefisien Korelasi Antar Saham pada Sub Sektor
Fishery
CPRO
DSFI
CPRO
DSFI
IIKP
1
0.065
0.19
0.065
1
0.539
IIKP
1
0.19
0.539
Nilai koefisien korelasi antara sekuritas pada sub sektor Fishery terletak
antara +1 sampai dengan -1. Hal ini mengindikasikan bahwa ada alternatif
yang dapat diambil oleh investor dalam pembentukan portofolio Fishery
yang menyertakan saham CPRO, DSFI dan IIKP untuk mengurangi risiko
sekuritasnya.
4.11. Hal-hal yang Menjadi Kendala
Investasi dalam saham sebenrnya mampu memberikan keuntungna
yang besar bagi investor apabila investor tersebut mampu menentukan
saham yang tepat dan melakukan diversifikasi secara baik terhadap
portofolio investasi yang dimilikinya. Namun sayangnya, di Indonesia tidak
terlalu banyak orang yang mengerti mengenai saham, sehingga kurang
tertarik untuk berinvestasi pada saham, dan itu mungkin sebagian darinya.
Selebihnya, mereka lebih akrab dengan deposito dan berbagai jenis tabungan
pada bank.
Faktor-faktor penyebab yang dapat diamati dari kurang populernya
investasi pada pasar modal (saham) adalah karena tidak adanya kepastian
tingkat keuntungan yang akan diterima investor, pada suatu periode investasi
tertentu, serta besarnya risiko yang harus dihadapi akibat harga saham
berfluktuasi hampir setiap harinya dan besarnya modal yang dibutuhkan
untuk berinvestasi dalam pasar modal.
Selain itu, untuk berinvestasi pada saham diperlukan ketelitian dan
keahlian tertentu dalam memilih saham yang bagus untuk dibeli. Tidak
seperti pada deposito, dimana investor cukup memperhatikan deposito mana
yang memeberikan tingkat pengembalian yang tinggi, tetapi dalam saham
investor harus dapat menetukan apakah saham yang akan dibelinya
memeberikan tingkat risiko yang tinggi atau tidak serta investor harus
mampu memprediksikan saham yang memberikan tingkat keuntungan.
Berbagai masalah diatas menjadi kendala tersendiri dalam mengganti
investasi deposito menjadi investasi dalam bentuk saham. Namun
sebenarnya kendala ini dapat diminimalisasi dengan semakin banyaknya
manajer investasi, perusahaan sekuritas, kelompok-kelompok investasi dan
berbagai bentuk reksa dana yang menawarkan berbagai macam investasi
pasar modal, termasuk saham.
4.12. Implikasi Manajerial
Implikasi manajerial yang dapat diberikan, antara lain adalah :
1. Investor mendapatkan pengetahuan dan informasi mengenai
investasi di pasar modal yang mampu memberikan tingkat
pengembalian sehingga para investor dapat memilih saham di pasar
modal menjadi bagian dari investasinya selain dari pada sektor
perbankan.
2. Perusahaan yang telah terdaftar di BEI menjadi perusahaan emiten
dapat mengetahui kinerja saham perusahaannya melalui tingkat
pengembalian dan risiko yang dimiliki, sehingga perusahaan emiten
mengetahui seberapa besar ketertarikan investor untuk membeli
saham perusahaannya. Dengan demikian, perusahaan emiten dapat
menentukan waktu yang tepat dalam menyerap dana dari pasar
modal dengan efisien untuk segera melakukan ekspansi pada
perusahaan mereka.
3. Perusahaan sekuritas dapat menggunakan hasil penelitian ini
sebagai referensi untuk menentukan kinerja saham-saham sektor
industri pertanian. Hal ini akan menambah informasi mengenai data
historis kinerja saham sektor pertanian dan perusahaan sekuritas
bisa melakukan investasi pada sektor pertanian berdasarkan pada
hasil analisis kinerja saham pada penelitian ini.
Download