IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sejarah Perkembangan Pasar Modal Indonesia Sejarah pasar modal Indonesia dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Dimana pada saat itu, Belanda benar-benar membutuhkan satu biro yang memperdagangkan efek-efeknya di Indonesia. Oleh karena itu, pada 14 Desember 1912 Amsterdamse Effectenbureurs memilih Batavia sebagai cabangnya. Bursa ini tercatat kembali sebagai bersa keempat yang tertua di Asia setelah Hongkong (1817), Mumbai (1830) dan Tokyo (1878). Seperti halnya pasar modal sekarang, bursa efek batavia pada waktu itu sebagai sumber pembiayaan bagi perkebunan Belanda di Indonesia maju pesat, sehingga dalam waktu singkat menjadi salah satu bursa internasional yang sangat menguntungkan. Yang diperdagangkan pada waktu itu adalah saham dan obligasi perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia dan obligasi pemerintah Hindia Belanda. Tuntutan pasar yang begitu pesat terhadap perdagangan efek, membuat pemerintah Belanda memutuskan bahwa kantor perdagangan bursa tidak cukup didirikan hanya di Batavia saja. Pada tanggal 11 Januari 1925, dibukalah bursa efek di Surabaya. Kemudian pada tanggal 1 Agustus 1925 menyusul dibuka kantor perdagangan efek di Semarang. Menurut data dari Fritz Arenz Oroh, seorang bekas Kepala Pembantu Urusan Pasar Uang dan Pasar Modal Bank Indonesia, menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 1938 terdapat 107 perusahaan swasta yang go public dengan total modal disetor sebesar 183,03 juta gulden dan emisi obligasi senilai 21,75 juta gulden (Suta, 2000). 4.1.1. Era Pasca Perang Dunia II Pasca perang dunia II, Jerman berhasil menduduki Belanda, kemudian saham-saham orang Belanda direbut oleh Jerman. Tentu saja hal tersebut sangat mempengaruhi pasar modal Indonesia yang pada waktu itu sangat bergantung pada eksistensi Belanda. Akhirnya, pada 10 Mei 1940 bursa efek Batavia terpaksa ditutup. Hal ini membuat pemegang saham dan pedagangnya resah, karena pada saat itu terdapat 250 jenis saham dengan nilai 1,4 miliar gulden. Untuk mengatasi keadaan tersebut, pada 23 Desember 1940 kantor bursa Batavia dibuka kembali. Eksistensi bursa efek Batavia tidak berlangsung lama, karena tidak lama kemudian Jepang masuk ke Indonesia. Sesudah itu, bursa efek Batavia libur panjang. Pada 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya. Sebuah negara yang baru berdiri jelas membutuhkan modal pembangunan yang besar. Apalagi bersamaan dengan itu terjadi revolusi fisik, yang membuat negara ini semakin terpuruk pada masalah sumber dana. Pemerintah memerlukan sumber pembiayaan bagi pembangunan. Untuk itu, maka pada tanggal 1 September 1951 dikeluarkan UU Darurat No. 13, tentang Bursa dan kemudian ditetapkan sebagai UU Bursa No. 15 tahun 1952. Berdasarkan itu, pada 3 Juni 1952 Menteri Keuangan Soemitro Djojohadikusumo meresmikan kembali BEJ yang berkantor di gedung De Javashe Bank (Bank Indonesia, Jakarta Kota). Sayangnya perjalanan bursa ini tertatih-tatih, praktis meskipun pemerintah telah memiliki UU Bursa, namun sama sekali tidak ada aktivitas jual beli saham. Kevakuman ini terus berlangsung hingga pemerintahan presiden Soekarno, Orde Lama jatuh dan beralih ke pemerintahan Orde Baru. Pada awalnya, pemerintahan Orde Baru meski sangat membutuhkan dana pembangunan, tetapi belum terfikir untuk menghidupkan kembali aktivitas pasar modal Indonesia. Namun begitu, peresmian tersebut bukan berarti pasar moal Indonesia telah memasuki era kebangkitan. Perjalanan pasar modal Indonesia membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk sampai pada kondisi yang seperti sekarang ini. 4.1.2. Era Pra Deregulasi Di masa ini bisa dibilang pasar modal Indonesia mengalami masa yang cukup suram. Sebab saat itu perusahaan masih kental diwarnai budaya perusahaan keluarga. Ciri perusahaan seperti ini sangat tertutup, jangankan membuka diri agar sahamnya bisa dimiliki oleh publik di pasar modal, untuk memberi sedikit sahamnya kepada satu atau dua orang saja terasa berat dan bahkan tabu. Kondisi seperti itu tentu saja membuat pemerintah harus bekerja keras untuk membujuk perusahaan-perusahaan tersebut agar mau membuka diri dan masuk ke pasar modal. Berbagai kemudahan diberikan pemerintah seperti tax incentive, tetapi belum mampu merangsang minat pengusaha untuk menjual sahamnya ke masyarakat. Masalah lain yang membuat pasar modal Indonesia kurang diminati oleh perusahaan adalah faktor yang muncul dari lembaga pasar modal itu sendiri. Banyak aturan pasar modal yang dianggap pemilik perusahaan tidak begitu menguntungkannya, antara lain : 1. Adanya persyaratan laba minimum 10% dari modal. 2. Tertutup kesempatan bagi investor asing untuk ikut dalam kepemilikan saham. 3. Adanya batas minimum fluktuasi harga saham sebesar 4% dari harga awal dalam setiap hari perdagangan di bursa. 4. Tidak adanya perlakuan yang sama, terutama dalam hal pajak terhadap penghasilan yang berasal dari bunga deposito dengan dividen. 5. Belum dibukanya kesempatan bagi perusahaan untuk mencatatkan seluruh saham yang ditempatkan dan disetor penuh di bursa. 4.1.3. Era Deregulasi (1987-1990) Pemerintah mulai merombak berbagai aturan yang dianggap menghambat minat perusahaan untuk masuk ke dalam bursa. Oleh karena itu, diluncurkan tiga perangkat paket penting kebijakan pasar modal. Intinya berupa penyederhanaan aturan yang dikemas dalam paket-paket deregulasi, yaitu : 1. Paket Desember 1987 (Pakdes) 2. Peket Oktober 1988 (Pakto) 3. Paket Desember 1988 4.1.4. Era Pasca Deregulasi Dengan adanya berbagai kebijakan ini telah menebalkan kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia. Puncak kepercayaan itu, terjadi setelah pemerintah menetapkan Undang- Undang (UU) No.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal yang berlaku secara efektif mulai 1 Januari 1996. Pemberlakuan berbagai kebijakan ini dikatakan sebagai momentum penting dalam perjalanan pasar modal Indonesia, sehingga sampai tahun 1996 Bapepam telah mengeluarkan 102 peraturan sebagai petunjuk pelaksanaan teknis dari UU itu. Melalui peraturan-peraturan itu, setidaknya pasar modal Indonesia memiliki seperangkat peraturan yang komperhensif. Lahirnya berbagai deregulasi kebijakan itu, mulai dari UU sampai Keputusan Bapepam mengakibatkan pasar modal Indonesia berkembang pesat. Ini bisa terlihat perkembangan statistik di bursa pada akhir tahun 1996, tercatat ada 295 emiten yang melakukan penawaran umum dengan total emisi RP. 61,4 triliun. Sedangkan untuk meningkatkan peran investor domestik, sampai 31 Desember 1996 telah beroperasi 25 reksa dana dengan total asset Rp 2,7 triliun. Namun era gemilang ini tidak berjalan mulus karena perekonomian Indonesia mengalami musibah pada tahun 1997, pada awalnya hanya menghantam nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga mencapai Rp 17.000 per dolar AS. Depresiasi rupiah pada gilirannya berimbas pada pasar modal, karena mayoritas emiten memiliki utang dalam mata uang asing, dan sayangnya utang tersebut jarang yang diberi bemper hedging, akibatnya emiten mengalami kesulitan likuiditas, utang macet dan rugi kurs. Hal ini membuat harga saham anjlok, dan indeks saham sulit diselamatkan. Musibah krisis moneter yang menimpa ekonomi nasional tidak dapat dipungkiri merupakan ujian yang terberat bagi pasar modal Indonesia. Namun, bukan berarti pasar modal Indonesia telah berakhir, buktinya indeks pada awal tahun 2000 mencapai level 700 dan emiten baru mulai bermunculan. Pada awal tahun 2005 indeks malah mencapai angka 1.015 dan jumlah emiten mencapai angka 335 perusahaan. Krisis keuangan global yang melanda pasar perumahan di Amerika Serikat pada awal 2008 memberikan sedikit dampaknya pada pasar modal di Indonesia. Hal tersebut berimplikasi terhadap turunnya nilai IHSG hingga pada level 1.355,40 (Bapepam, 2009). Namun, di awal tahun 2009, pasar modal telah menunjukkan kegairahannya kembali. 4.2. Bursa Efek Indonesia (BEI) Bursa Efek Indonesia (BEI) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan pasar modal. Bursa efek sudah mulai beroperasi sejak tahun 1912 pada masa kolonial Belanda hingga saat ini. Pada awalnya terdapat dua bursa yang ada di Indonesia yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES). Pada tanggal 1 Desember 2007 para pemegang saham bursa efek secara resmi telah menyetujui rancangan penggabungan kedua perusahaan yang kemudian menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam Irham Fahmi dan Yovi Lavianti Hadi 2009, kebijakan untuk menggabungkan dua bursa tersebut sudah menjadi harapan lama oleh pemerintah, yaitu dalam hal ini Bapepem-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan). Gagasan penggabungan ini memiliki alasan logis, yaitu : 1. Pasar modal Indonesia termasuk yang tertinggal dibandingkan dengan bursa-bursa dari negara lain termasuk negara tetangga, baik dari nilai kapitalisasinya, jumlah emitennya, produk investasi, serta masih rendahnya kompetisi investor lokal yang ikut bermain. 2. Keinginan untuk menciptakan pasar modal yang kuat dan mampu bertarung dengan bursa lain. 3. Fenomena penggabungan berbagai bursa di seluruh dunia dengan dasardasar seperti ingin menciptakan efisiensi dan menghadapi persaingan global. Dengan penggabungan ini diharapkan pasar modal Indonesia menjadi lebih kuat dan efisien karena para pelaku pasar hanya mengenal satu bursa efek yang memfasilitasi semua segmen pasar, sehingga perusahaan efek cukup menjadi anggota di satu bursa dan emiten cukup tercatat di satu bursa. Infrastruktur perdagangan menjadi terintegrasi dan memfasilitasi seluruh instrument yang diperdagangkan. Tabel 2. Manfaat Ekonomis Penggabungan BES dan BEJ Sudut Pandang Sinergi 1. Pengurangan biaya teknologi informasi 2. Pengurangan biaya SDM yang memiliki tugas sama Efisiensi Biaya Peningkatan Pendapatan Peningkatan pendapatan jasa transaksi perdagangan Optimalisasi Peningkatan sumber daya tanpa perubahan struktur Permodalan modal Sumber : Fahmi, Irham dan Yovi Lavianti Hadi, 2009. BEI beralamat di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jl. Jendral Sudirman kav 52-53, Jakarta Selatan, yang merupakan gedung awal BEJ. 4.3. Perusahaan- Perusahaan Sektor Industri Pertanian di BEI BEI menggolongkan saham-saham menjadi 9 sektor, dimana setiap sektor dibagi lagi menjadi beberapa sub sektor untuk menggolongkan masingmasing perusahaan sekuritas ke dalam jenis usahanya. Salah satunya adalah saham sektor industri pertanian. Adapun saham sektor industri pertanian digolongkan menjadi 5 sub sektor, yaitu corps, plantation, animal husbandry, fishery dan other. Tabel 3. Kode Saham dan Pembagian Sub Sektor Perusahaan Sektor Industri Pertanian No Kode Saham 1 BISI 2 BWPT 3 AALI 4 UNSP 5 GZCO 6 LSIP 7 SGRO 8 SMAR 9 TBLA 10 CPDW 11 MBAI 12 CPRO 13 DSFI 14 IIKP 15 BTEK Sumber : Bursa Efek Indonesia, 2009. Sub Sektor Corps Plantation Plantation Plantation Plantation Plantation Plantation Plantation Plantation Animal Husbandry Animal Husbandry Fishery Fishery Fishery Others Data mengenai kode saham perusahaan dan pembagian sub-sub sektor yang tergabung dalam sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 5. Sedangkan untuk data nama-nama perusahaan yang termasuk ke dalam sektor keuangan, secara lengkap disajikan dalam Lampiran 1. Tidak semua perusahaan di Tabel 3 dimasukkan ke dalam perhitungan analisis kinerja saham, namun terlebih dahulu dilakukan seleksi terhadap saham-saham tersebut. Saham yang tidak terdaftar di salah satu tahun antara tahun 2008 dan 2009 akan dihilangkan. Hal ini disebabkan saham yang tidak terdaftar di salah satu tahunnya, akan menyebabkan nilai harga saham tersebut nol. Selain itu, investor juga tidak bisa memilih saham tersebut untuk menyimpan dana investasinya. Pada tahun 2008, PT. Gozco Plantation Tbk (GZCO) baru terdaftar pada periode di akhir tahun tepatnya di bulan November dan Desember, sehingga saham ini tidak disertakan dalam perhitungan. Hal ini juga terjadi pada saham PT. BW Plantation Tbk (BWPT) yang baru saja terdaftar di tahun 2009. 4.4. Perspektif Terhadap Sektor Pertanian Peran serta sektor pertanian dalam pembangunan sangat besar, terutama dalam menyalurkan dana sebagai penggerak sektor rill. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor industri yang berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, sektor pertanian perlu didukung oleh berbagai pihak agar mampu meningkatkan pembangunan pada sektor rill. Penurunan tingkat suku bunga SBI pada saat ini yaitu pada tingkat 6,5% (Bank Indonesia, 2009), memberikan pengaruh positif terhadap sektor industri pertanian, sebab dengan demikian sektor pertanian semakin gencar dan inovatif dalam meraih pendapatan dengan menarik para investor asing maupun lokal yang awalnya memilih sektor perbankan dalam menginvestasikan dana yang mereka miliki. Kondisi ekonomi yang semakin baik dan stabil juga merupakan faktor yang mendorong membaiknya performa pasar modal. Sedikitnya jumlah volume dan value perdagangan saham pada sektor pertanian, membuat rendahnya kemajuan sektor ini dibandingkan dengan yang lainnya. Padahal, jika dikaji lebih dalam sektor pertanian juga memiliki prospek yang baik kedepan, jika keputusan investasi pada sub sektor didalamnya dilakukan dengan tepat. Oleh karena itu, analisis kinerja saham yang tepat dapat membantu para investor untuk menentukan kearah mana mereka harus menginvestasikan dana yang dimiliki pada sektor pertanian. Pemilihan setiap saham berdasarkan kinerjanya tergantung pada perspektif investor. Dengan mengetahui kinerja masing-masing saham pada sektor industri pertanian, maka minat investor terhadap saham pertanian menjadi lebih besar. Hal ini dapat membantu meningkatkan volume dan value perdagangan saham sektor pertanian di BEI serta turut memberikan andil bagi pembangunan bangsa. 4.5.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fluktuasi Harga Saham Sektor Pertanian di BEI Secara fundamental harga suatu jenis saham dipengaruhi oleh kinerja perusahaan dan kemungkinan risiko yang dihadapi perusahaan. Kinerja perusahaan tercermin dari laba operasional dan laba bersih per saham serta beberapa rasio keuangan yang menggambarkan kekuatan manajemen dalam mengelola perusahaan. Risiko perusahaan tercermin dari daya tahan perusahaan dalam menghadapi siklus ekonomi serta faktor makro ekonomi dan makro non ekonomi. Dengan kata lain, kinerja perusahaan dan risiko yang dihadapi dipengaruhi oleh faktor makro dan mikro ekonomi (Samsul Mohamad, 2006). 4.5.1. Faktor Makro Faktor makro merupakan faktor yang berada di luar perusahaan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan kinerja perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Mohamad Samsul (2006), faktor makro ekonomi tersebut antara lain adalah : A. Tingkat Bunga Umum Domestik Kenaikan tingkat bunga pinjaman akan meningkatkan beban bunga kredit dan menurunkan nilai laba bersih sehingga mengakibatkan laba per saham juga menurun dan akhirnya akan berakibat pada turunnya harga saham di pasar. Naiknya suku bunga deposito akan membuat investor beralih dalam menginvestasikan dana yang mereka miliki untuk ditabungkan pada deposito. Kenaikan suku bunga pinjaman atau suku bunga deposito akan mengakibatkan turunnya harga saham, begitupun sebaliknya. B. Tingkat Inflasi Pengaruh tingkat inflasi dapat berdampak positif atau negatif terhadap harga saham, hal tersebut bergantung pada derajat inflasi itu sendiri. Inflasi yang berlebihan dapat merugikan perekonomian secara keseluruhan, yaitu dapat membuat banyak perusahaan mengalami kebangkrutan. Inflasi yang tinggi dapat menjatuhkan harga saham di pasar, sementara inflasi yang sangat rendah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi menjadi sangat lamban, dan pada akhirnya harga saham juga akan bergerak sangat lamban. C. Peraturan Perpajakan Kenaikan pajak penghasilan, dapat menurunkan nilai laba bersih perusahaan yang selanjutnya akan menurunkan harga saham. Begitu pula dengan kenaikan pajak penjualan serta pajak penghasilan konsumen. Jadi kenaikan pajak secara keseluruhan dapat mengurangi nilai laba bersih perusahaan yang nantinya mempengaruhi harga saham di pasaran, yaitu menurunnya harga saham. Namun hal ini tetap tergantung pada penggunaan dan penerimaan dana pajak oleh pemerintah. Penggunaan dan penerimaan pajak ke sektor ekonomi luas akan mempunyai pengaruh yang berbeda daripada ke sektor khusus yang sempit. Jika penggunaan dana pajak oleh pemerintah digunakan untuk mendukung kesejahteraan sektor pertanian, seperti ditingkatkannya subsidi alat-alat operasional bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang sektor industri pertanian, maka hal ini tentu akan mengurangi beban operasional perusahaan, sehingga meningkatkan laba bersih perusahaan dan menaikan harga saham sektor industri pertanian di BEI. D. Kebijakan Pemerintah Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mempunyai dampak tertentu terhadap perusahaan yang dikenai kebijakan tersebut. Kebijakan yang sama dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perusahaan yang berbeda. Sebagai contoh kebijakan pemerintah dalam bidang pertanian, antara lain penghapusan dan atau pengurangan subsidi terhadap pupuk atau alat operasional lainnya, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan (contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah nondepartemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah). Kebijakan-kebijakan tersebut sangat mempengaruhi profitabilitas perusahaan yang bergerak di bidang pertanian. Apabila pemerintah menurunkan subsidi terhadap alat-alat pertanian maka beban operasional perusahaan akan meningkat. Penurunan tarif impor tehadap komoditi pangan akan mengurangi penjualan perusahaan dalam negeri yang bergerak di bidang pangan sehingga profitabilitas perusahaan pertanian menurun. Begitupun juga dengan berkurangnya peranan pemerintah dalam perdagangan bahan pangan, semakin memperburuk kondisi ekonomi bidang pertanian di Indonesia. Hal tersebut tentu saja akan mengurangi harga saham sektor industri pertanian di BEI. Namun, bagi perusahaan yang berada di sektor properti misalnya, kebijakan pemerintah tersebut tidak berdampak apapun. E. Kurs Valuta Asing Kenaikan kurs US$ yang tajam terhadap rupiah akan berdampak negatif terhadap emiten yang mempunyai utang dalam dolar sementara produk emiten tersebut dijual secara lokal. Hal tersebut dikarenakan jumlah dana yang harus dikembalikan oleh perusahaan menjadi lebih besar dari dana yang dipinjam sebelumnya. Sedangkan produk perusahaan yang bersangkutan dijual secara lokal sehingga pendapatan perusahaan dalam bentuk rupiah. Sementara, emiten yang berorientasi ekspor justru akan menerima dampak positif dari kenaikan kurs US$ terebut. Indeks harga saham gabungan (IHSG) juga akan terkena dampak positif dan negatif tergantung pada kelompok yang dominan dampaknya. Jika BEI pada saat tertentu dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri yang modalnya berasal dari luar, maka banyak perusahaan emiten yang rugi dan IHSG cenderung menurun. F. Tingkat Bunga Pinjaman Luar Negeri Tingkat suku bunga pinjaman luar negeri berkisar antara 2% 4%. Semakin besar suku bunga pinjaman, maka semakin besar dana yang harus dikeluarkan oleh para emiten saham dalam membayar utang pinjaman luan negeri, sehingga mengurangi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan nilai laba bersih perusahaan. Jika profitabilitas perusahaan menurun, maka kepercayaan investor akan menginvestasikan dana yang mereka miliki juga menurun, sehingga hal ini dapat menurunkan harga saham perusahaan emiten yang bersangkutan. G. Kondisi Perekonomian Internasional Kondisi negara tujuan ekspor atau negara asal impor sangat berpengaruh terhadap kinerja emiten. Salah satu cara mengetahui kondisi perekonomian negara tujuan maupun negara asal adalah dengan melihat nilai IHSG negara yang bersangkutan. Ketika kondisi perekonomian negara tujuan ekspor atau negara asal impor sedang dalam keadaan membaik, maka nilai IHSG negara yang bersangkutan cenderung stabil atau bahkan naik. Hal tersebut dapat meningkatkan hasil ekspor atau impor produk-produk pertanian dalam negeri, sehingga meningkatkan profitabilitas perusahaan. Apabila profitabilitas perusahaan meningkat, maka harga saham perusahaan tersebut juga naik, dan sebaliknya. H. Siklus Ekonomi Siklus ekonomi mempunyai pengaruh terhadap harga saham selama masa lebih dari 5 tahun. Pada masa siklus ekonomi yang tumbuh, lapangan pekerjaan tersedia banyak, setiap bidang usaha memperoleh kemajuan, pengangguran relatif kecil, pendapatan masyarakat relatif meningkat, dan keamanan lebih terjamin, hal tersebut dapat membuat kegiatan bursa efek menjadi lebih semarak. Harga saham mengalami kenaikan sepanjang periode tersebut. Jenis saham yang mengalami kenaikan tajam pada masa tersebut adalah saham yang diterbitkan oleh emiten yang memproduksi barang-barang tahan lama (durable goods) seperti barang-barang modal, property, otomotif, produk baja, peralatan rumah tangga, dan barang yang lainnya. Sementara jenis saham yang diterbitkan oleh emiten yang memproduksi barang-barang yang tidak tahan lama (non durable goods) seperti produk pertanian mengalami kenaikan harga yang relatif kecil bila dibandingkan dengan kenaikan harga saham dari durable goods. I. Faham Ekonomi Faham ekonomi yang dianut oleh suatu negara sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara yang bersangkutan. Hal ini berhubungan dengan faham ekonomi menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil dalam bidang ekonomi. Di Indonesia sendiri faham ekonomi yang dianut adalah faham ekonomi liberal yang sesuai dengan filosofi bapak ekonomi kita, yaitu Adam Smith. Kegiatan ekonomi dilaksanakan oleh masyarakat tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah sebagai penyelenggara negara hanya bertindak sebagai pengatur agar kegiatan ekonomi masyarakat berjalan teratur dan persaingan berjalan sehat. Ketika faham ekonomi yang dianut oleh suatu negara tepat dengan kondisi negaranya, maka pertumbuhan ekonomi di negara yang bersangkutan akan cenderung stabil, sehingga nilai IHSG negaranya juga stabil. J. Peredaran Uang Pemerintah dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi melaluli kebijakan fiskal (pajak) dan kebijakan moneter (peredaran uang). Kebijakan moneter dilaksanakan oleh Bank Sentral melalui 3 cara, yaitu : 1. Perubahan reserve requirements Yaitu sejumlah dana deposit yang wajib dimiliki oleh bank komersil terhadap bank sentral. Biasanya berkisar dari 7% hingga 22%. Bank sentral dapat memperbesar nilai reserve requirements untuk mengurangi jumlah uang beredar sehingga mengurangi laju inflasi dan sebaliknya. Ketika jumlah uang yang beredar di masyarakat berkurang, maka kegiatan perekonomian di masyarakat cenderung menurun, dan hal tersebut berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan dan perorangan. Ini akan mengurangi harga saham perusahaanperusahaan emiten. Namun, jika pemerintah tidak berusaha untuk menstabilkan jumlah uang beredar dengan membiarkan jumlah uang yang beredar tetap banyak di masyarakat, maka hal ini akan menaikan laju inflasi yang nantinya juga akan berpenagruh buruk terhadap perekonomian negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, pemerintah harus selalu memainkan peranannya dalam kebijakan moneter yang akan berpengaruh terhadap harga saham-saham di BEI. 2. Kebijakan suku bunga Pada saat tingkat suku bunga kredit dinaikkan maka ini bertujuan agar uang yang keluar dapat secara selektif, artinya hanya pihak-pihak yang mampu membeyar suku bunga kredit saja yang dapat melakukan pinjaman. Oleh karena itu, kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang beredar dan investor cenderung menginvestasikan uang yang mereka miliki ke deposito, sehingga pasar modal mengalami kelesuan. 3. Open market operation Pengendalian jumlah uang yang beredar dilakukan melalui penjualan surat berharga yang dimiliki dengan harga yang terjangkau, sehingga hal ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat dan mengurangi laju inflasi. Ketika laju inflasi berkurang, maka hal ini akan berdampak pada naiknya harga saham di BEI. 4.5.2. Faktor Mikro Baik buruknya kinerja perusahaan tercermin dari rasio-rasio keuangan yang secara rutin diterbitkan oleh emiten. Pada umumnya perusahaan yang sudah go public diwajibkan oleh peraturan yang dikeluarkan Bapepam untuk menerbitkan laporan keuangan triwulan, tengah tahunan, dan tahunan baik yang sudah diaudit maupun yang belum diaudit. Faktor mikro ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap harga saham suatu perusahaan itu sendiri, yaitu variabelvariabel seperti : A. Laba bersih per saham Laba bersih adalah jumlah pendapatan perusahaan setelah dikurangi dengan beban-beban dan utang perusahaan. Ketika laba bersih perusahaan meningkat dikarenakan beberapa hal, seperti naiknya penjualan maupun berkurangnya beban-beban operasional maka ini akan menaikan minat para investor untuk berinvestasi pada saham di perusahaan yang bersangkutan. Hal tersebut mengakibatkan nilai harga saham akan meningkat di BEI. B. Nilai buku per saham Earning Per Share (EPS) atau nilai buku per saham adalah nilai yang diperoleh dengan cara membagi laba yang didapatkan oleh perusahaan setelah pajak dengan jumlah saham yang beredar. Pemodal seringkali memperhatikan EPS dalam melakukan analisis. Semakin besar nilai buku per sahamnya maka semakin besar pula kepercayaan dan minat para investor untuk menginvestasikan dana yang mereka miliki ke perusahaan tersebut, sehingga hal ini dapat menaikan harga saham di BEI. C. Rasio ekuitas terhadap utang Rasio ekuitas terhadap utang yaitu perbandingan antara hutang dengan modal sendiri yang dimiliki. Investor perlu mengetahui kesehatan perusahaan melalui perbandingan antara modal sendiri dan modal pinjaman. Jika modal sendiri lebih besar dari modal pinjaman, maka perusahaan itu sehat dan tidak mudah bangkrut. Jadi investor harus selalu mengikuti perkembangan rasio ekuitas terhadap utang ataupun debt to equity ratio (DER). Semakin besar niali DER perusahaan, maka kepercayaan dan minat investor terhadap saham perusahaan yang bersangkutan akan berkurang, sehingga nilai harga saham akan turun, begitupun sebaliknya. D. Rasio laba bersih terhadap ekuitas (ROE). Investor ingin mengetahui efisiensi manajemen dalam menjalankan modalnya melalui rasio tingkat laba bersih terhadap ekuitas (return on equity). ROE diperoleh dengan membagi nilai laba setelah pajak dengan ekuitas. Semakin besar nilai ROE maka semakin besar pula profitabilitas perusahaan, hal ini akan memperbesar kepercayaan dan minat investor terhadap saham perusahaan tersebut, sehingga nilai harga saham akan meningkat di Bursa Efek Indonesia, begitupun sebaliknya. E. Cash Flow per saham Bagi perusahaan yang baru berdiri dan mendapatkan fasilitas perpajakan, seringkali laba bersihnya negatif tetapi arus kasnya positif. Hal ini terjadi karena diterapkannya metode penyusutan, sehingga di tahun-tahun awal laba minimum bahkan negatif namun di tahun selanjutnya laba semakin besar. Dalam hal ini investor akan menggunakan cash flow per saham dan bukan laba bersih per saham. Sehingga apabila perusahaan yang dianalisis oleh investor adalah perusahaan yang baru saja berdiri profitabilitas perusahaan tersebut dilihat dari cash flow per sahamnya. Apabila cash flow perusahaan positif maka profitabilitas perusahaannya baik dan harga sahamnya akan naik. 4.6. Analisis Kinerja Saham pada Saham-saham Sub Sektor Pertanian di Bursa Efek Indonesia Dalam memilih saham-saham sektor industri pertanian di Bursa Efek Indonesia, maka investor sebaiknya mengetahui terlebih dahulu kinerja setiap saham yang ada pada sektor industri pertanian. Analisis kinerja saham didapatkan dengan mengetahui terlebih dahulu nilai-nilai dari tingkat pengembalian (Ri) dan nilai risiko (Var) dari masing-masing saham. Nilainilai tersebut digunakan sebagai indikator penilaian kinerja suatu saham. Saham dengan kinerja yang baik dapat menjadi alternatif investor untuk menanamkan investasinya. Kriteria baik atau tidaknya saham industri pertanian tergantung pada pandangan dan sikap investor terhadap risiko dan tingkat pengembalian. Nilai R (presentase tingkat keuntungan) diperoleh dari perhitungan terhadap penjumlahan nilai Deviden yang dibagikan oleh perusahaan setiap tahunnya per saham dengan perubahan harga saham (bulanan) dibagi harga saham pada awal jangka waktu. Perubahan harga saham yang dimaksud adalah harga saham Quartalan di tahun 2009. Perhitungan tersebut menggunakan persamaan 1. Nilai R hasil perhitungan inilah yang akan dimasukkan ke dalam software Modern Portofolio Theory and Investment Analysis untuk mendapatkan nilai Excpected Return (Ri) dan risiko (σi) dari masing-masing saham di setiap sub sektor saham industri pertanian. 4.7. Analisis Kinerja Saham-saham Sub Sektor Corps Pada Sektor Pertanian di BEI Melalui Penilaian Ri dan σi Penggolongan sub sektor Corps dengan Other dilakukan secara sengaja oleh penulis, dikarenakan beberapa pertimbangan. Diantaranya adalah hanya ada satu perusahaan saja yang terdaftar dalam masing-masing sub sektor tersebut, sehingga sulit melihat adanya hubungan saling mempengaruhi antar satu saham dengan saham lain, yang nantinya akan berguna dalam pembentukan portofolionya. Penggolongan tersebut menjadikan saham BISI dan BTEK menjadi satu portofolio dalam saham Corps. Dalam Tabel 4, terlihat bahwa saham BISI memiliki risiko yang lebih rendah yaitu sebesar 0.229 dengan nilai expected return (Ri) yang lebih kecil yaitu sebesar 0.002 dibandingkan dengan saham BTEK. Risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan tingkat keuntungan yang diperoleh menyimpang dari tingkat keuntungan yang diharapkan. Semakin kecil nilai risikonya, maka semakin kecil pula kemungkinan saham tersebut menyimpang dalam memberikan tingkat keuntungan yang diharapkan. Tingkat pengembalian yang diharapkan untuk saham BTEK lebih besar yaitu 0.014 dengan tingkat risiko yang lebih pesar pula yaitu 0.263 dibandingkan dengan saham BISI. Hal ini sesuai dengan pernyataan investasi pada pasar modal yang mengatakan hubungan antara tingkat pengembalian dan risiko yaitu high risk high return. Tabel 4. Nilai Ri dan σi serta kovarian pada saham sub sektor Corps. Ri σi BISI BTEK BISI 0.053 -0.006 0.002 0.229 BTEK 0.014 0.263 -0.006 0.0069 Dalam memilih saham yang akan masuk ke dalam portofolio invetasinya, seorang investor yang rasional akan memilih untuk memegang portofolio yang efisien yaitu memaksimumkan keuntungan pada tahap risiko tertentu atau meminimumkan risiko pada tingkat keuntungan yang diharapkan tertentu. Oleh karena itu, hal ini mengindikasikan pemilihan saham didasarkan kepada masing-masing persepsi investor. Saham BISI memiliki kinerja yang lebih baik dari saham BTEK jika dilihat dari tingat risiko yang minimum pada tingkat keuntungan yang diharapkan tertentu. Namun jika investor bertindak sebagai risk taker maka saham BTEK merupakan saham yang memiliki kinerja lebih baik dibandingkan dengan saham BISI karena memberikan nilai return yang lebih besar. Nilai kovarian antara saham BISI dengan BTEK adalah -0.006. hal ini mengindikasikan hubungan keuntungan antara kedua sekuritas tersebut. Dengan kovarians yang negatif, ini berarti apabila saham BISI menghasilkan keuntungan yang melebihi keuntungan rata-rata maka saham BTEK tidak mempunyai kecenderungan untuk bertindak dengan cara yang sama, yaitu melebihi keuntungan rata-ratanya, begitupun sebaliknya. Pada Tabel 5, diperlihatkan hasil perhitungan nilai koefisien korelasi antara saham BISI dengan BTEK. Koefisien korelasi terbagi menjadi 3 nilai ekstrim. Ketiga nilai tersebut yaitu koefisien korelasi positif sempurna (+1) yang mengindikasikan tidak ada alternatif yang dapat diambil untuk mengurangi risiko yang diperoleh oleh investor dengan menyertakan kedua saham dalam portofolio investasi, korelasi nol (0) yang menyatakan bahwa jika portofolio dibentuk dengan sempurna, risiko satu portofolio yang terdiri dari satu dan dua saham akan kurang daripada risiko sekuritas manapun, serta korelasi negatif sempurna (-1) yang berarti berkemungkinan untuk diwujudkan satu strategi untuk menghapuskan jumlah risiko portofolio. Namun, pada kenyataannya ketiga hal tersebut jarang sekali terjadi. Koefisien korelasi biasanya berkisar antara -1 sampai dengan +1. Tabel 5. Nilai Koefisien Korelasi Antar Saham pada Sub Sektor Corps BISI BISI BTEK BTEK 1 -0.1 -0.1 1 Nilai koefisien korelasi antara saham BISI dengan saham BTEK adalah -0.1. Rodoni dan Othman Young (2002), menjelaskan bahwa dalam keadaan korelasi negatif berkemungkinan untuk diwujudkan satu strategi untuk menghapuskan jumlah portofolio. Artinya, bahwa masih ada satu strategi yang dapat diwujudkan dalam membentuk portofolio Corps dengan menyertakan kedua saham tersebut. 4.8. Analisis Kinerja Saham-saham Sub Sektor Plantation Pada Sektor Pertanian di BEI Melalui Penilaian Ri dan σi Pada sub sektor Plantation, terdapat 6 saham terseleksi dari 8 saham yang ada. Kedua saham yang tidak dimasukkan dalam perhitungan antara lain adalah saham PT. Gozco Plantation Tbk dengan kode saham GZCO yang baru terdaftar pada periode akhir di tahun 2008 tepatnya di bulan November dan Desember. Hal ini juga terjadi pada saham PT. BW Plantation Tbk dengan kode saham BWPT yang baru saja terdaftar di tahun 2009. Saham yang dimasukkan dalam perhitungan analisis kinerja saham dan pembentukan portofolio optimal pada portofolio plantation antara lain adalah saham dengan kode AALI, UNSP, LSIP, SGRO, SMAR dan TBLA. Penambahan deviden tidak setiap bulan dilakukan. Hal ini dikarenakan pada corporate activity terdapat aktivitas yang berbeda-beda pada setiap perusahaan. Ada perusahaan yang hanya memberikan deviden kepada para pemegang saham dalam jangka waktu semesteran (enam bulanan), tahunan (dua belas bulanan) atau bahkan pada tahun tersebut perusahaan yang bersangkutan tidak membayarkan devidennya disebabkan perusahaan yang bersangkutan tidak mampu memperoleh laba bersih di tahun terkait. Sebagai contoh, pada PT. Bakrie Sumatera Plantation Tbk dengan kode saham UNSP deviden diberikan sebanyak dua kali selama periode penelitian, yaitu pada bulan Juli 2008 sebesar Rp 17,- serta pada bulan agustus 2009 sebesar Rp 9,- . Besarnya deviden yang dibagikan kepada para pemegang saham juga tidak sama. Hal ini mengindikasikan investor diasumsikan sebagai pemegang saham biasa (bukan saham preferen) yang mendapatkan deviden sesuai dengan nilai pendapatan bersih perusahaan. Untuk lebih lengkapnya, pada lampiran 3 ditunjukkan deviden perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam sub sektor plantation serta waktu pembagiannya. Sehingga apabila ada kesalahan dalam penambahan deviden di waktu yang tidak tepat ataupun tidak ditambahkanya deviden yang seharusnya dibagikan oleh perusahaan maka hal ini akan mempengaruhi nilai tingkat keuntungan yang dihasilkan dan otomatis mempengaruhi nilai Ri serta nilai σi. Penilaian kinerja saham-saham pada sub sektor plantation dilihat dari nilai expected return (Ri) dan risiko (σi) dari masing-masing saham yang terdaftar pada sub sektor plantation. Tabel 6. Nilai Ri dan σi Serta Kovarian pada Saham Sub Sektor Plantation. Ri AALI σi AALI UNSP LSIP SGRO SMAR TBLA 0.013 0.198 0.024 0.264 0.039 0.03 0.033 0.017 0.023 0.015 0.03 0.07 0.044 0.03 0.043 0.047 0.01 0.208 SGRO 0.009 0.147 SMAR 0.032 0.202 0.033 0.044 0.043 0.025 0.031 0.035 0.017 0.03 0.025 0.021 0.018 0.025 0.023 0.043 0.031 0.018 0.041 0.028 TBLA 0.015 0.047 0.035 0.025 0.028 0.066 UNSP LSIP 0.009 0.257 Dalam Tabel 6, saham SGRO memiliki nilai risiko minimal pada tingkat Ri tertentu. Saham SGRO memiliki nilai risiko sebesar 0.147 dengan expected return sebesar -0.009. Sedangkan saham LSIP memiliki nilai risiko yang lebih besar yaitu 0.208 dengan expected return yang lebih besar pula sebesar 0.01. Hal ini sesuai dengan teori dasar keuangan yang menyatakan bahwa semakin besar nilai risikonya maka semakin besar pula tingkat keuntungannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa investor memiliki kecenderungan bersikap risk averse yaitu menghindari atau menolak risiko maka sebaiknya dalam kondisi seperti ini, investor lebih memilih untuk menginvestasikan dana yang ia miliki ke saham SGRO dibandingkan dengan yang lainnya, karena dilihat dari faktor risikonya, saham SGRO memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan saham lain. Namun, jika investor tersebut bersikap risk taker maka SMAR adalah saham yang memberikan tingkat return paling besar yaitu 0.032 dengan tingkat risiko 0.202. Nilai kovarian antara saham pada sub sektor plantation juga disajikan dalam Tabel 6. Nilai kovarian antar saham tersebut memiliki nilai yang positif. Nilai kovarian menerangkan kepada kita hubungan keuntungan antara sekuritas. Dengan kovarian yang positif, ini berarti apabila saham AALI menghasilkan keuntngan yang melebihi keuntungan rata-rata maka saham UNSP, LSIP, SGRO, SMAR dan TBLA juga mempunyai kecenderungan untuk bertindak dengan cara yang sama. Koefisien korelasi antara sekuritas menunjukkan dapat atau tidaknya kombinasi saham dilakukan pada suatu portofolio untuk mengurangi risiko pada portofolio tersebut. Jika koefisien korelasi menunjukan nilai positif sempurna (+1) maka tidak ada pilihan yang dapat dilakukan oleh investor dengan kombinasi saham seperti itu. Nilai positif yang sempurna juga menyatakan tidak ada pengurangan risiko yang dicapai dengan pembentukkan portofolio seperti itu. Hal ini biasanya terjadi apabila kita membentuk satu portofolio dengan kombinasi saham yang sama. Misalnya, untuk kasus portofolio plantation, investor menginvestasikan seluruh dana yang ia miliki pada saham AALI, maka koefisien korelasi yang muncul adalah positif sempurna yaitu +1. Oleh karena itu, dalam dunia nyata jarang sekali ditemukan kondisi seperti ini. Sehingga jika nilai tersebut tetap positif dan terletak antara -1 sampai dengan +1 maka dapat berarti bahwa tetap ada pengurangan risiko yang dicapai dengan pembentukkan portofolio yang seperti itu. Keseluruhan koefisien korelasi pada sub sektor plantation ditunjukan pada tabel 7. Tabel 7. Nilai Koefisien Korelasi Antar Saham pada Sub Sektor Plantation AALI UNSP LSIP SGRO SMAR TBLA AALI 1 0.567 0.812 0.594 0.57 0.293 UNSP 1 0.801 0.775 0.807 0.69 0.567 LSIP 1 0.828 0.729 0.655 0.812 0.801 SGRO 1 0.621 0.667 0.594 0.775 0.828 SMAR 1 0.542 0.57 0.807 0.729 0.621 TBLA 1 0.293 0.69 0.655 0.667 0.542 Dalam menghitung 6 sekuritas yang ada, maka kita harus menentukan nilai koefisien korelasi sebanyak = = 15 yaitu : 1. AALI dengan UNSP memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.567. 2. AALI dengan LSIP memiliki koefisien korelasi yang positif sebesar 0.812. 3. AALI dengan SGRO memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.594. 4. AALI dengan SMAR memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.570. 5. AALI dengan TBLA memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.293. 6. UNSP dengan LSIP memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.801. 7. UNSP dengan SGRO memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.775. 8. UNSP dengan SMAR memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.807. 9. UNSP dengan TBLA memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.690. 10. LSIP dengan SGRO memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.828. 11. LSIP dengan SMAR memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.729. 12. LSIP dengan TBLA memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.655. 13. SGRO dengan SMAR memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.621. 14. SGRO dengan TBLA memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.667. 15. SMAR dengan TBLA memiliki koefisien korelasi positif sebesar 0.542. Dalam menganalisis kinerja saham-saham yang terdaftar pada sub sektor plantation, terlihat bahwa saham SGRO memiliki kinerja yang paling baik jika dilihat dari tingkat risikonya. 4.9. Analisis Kinerja Saham-saham Sub Sektor Animal Husbandry Pada Sektor Pertanian di BEI Melalui Penilaian Ri dan σi Dalam sub sektor saham Animal Husbandry terdapat dua sekuritas, yaitu PT. Cipendawa Tbk dengan kode saham CPDW serta PT. Multibreeder Adirama Ind Tbk dengan kode saham MBAI. Nilai tingkat pengembalian yang diharapkan serta risiko masing-masing saham merupakan output yang dihasilkan dari proses pengolahan data yang dilakukan. Dalam tabel 13 disajikan nilai expected return (Ri) dan risiko (σi) untuk masing-masing saham yang menyusun sub sektor Animal Husbandry. Hal ini dimaksudkan guna menganalisis kinerja masing-masing saham pembentuk sub sektor Animal Husbandry yang dilihat dari nilai Ri dan σi. Tabel 8. Nilai Ri dan σ1 Serta Kovarian pada Saham Sub Sektor Animal Husbandry Ri σi CPDW MBAI CPDW 0.029 0.165 0.027 -0.001 MBAI 0.037 0.251 0.063 -0.001 Dalam Tabel 8, terlihat bahwa CPDW memiliki risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan saham MBAI yaitu sebesar 0.165. Pemilihan saham didasarkan atas persepsi dari investor. Dengan mengasumsikan investor bersikap risk averse maka investor akan lebih memilih saham yang meminimumkan risiko pada tingkat pengembalian tertentu. Oleh karena itu, dalam hal ini saham CPDW memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan saham MBAI. Jika investor bersikap sebagai risk taker maka saham MBAI memiliki kinerja yang lebih baik karena menawarkan nilai expected return yang lebih besar sebesar 0.037 pada tingkat risiko tertentu sebesar 0.251. Adapun nilai dari koefisien korelasi antar saham CPDW dengan saham MBAI pada sub sektor Animal Husbandry dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Nilai Koefisien Korelasi Antar Saham pada Sub Sektor Animal Husbandry CPDW MBAI CPDW 1 -0.02 MBAI -0.02 1 Setelah dilakukan perhitungan menggunakan software Modern Portofolio Theory And Investment Analysis didapatkan nilai koefisien korelasi antara saham CPDW dengan MBAI sebesar -0.02. Tanda negatif mengindikasikan bahwa ada alternatif yang dapat dilakukan oleh investor dalam pembentukan portofolio dengan menyertakan kedua saham ini guna mengurangi risiko sekuritas yang ada. 4.10. Analisis Kinerja Saham-saham Sub Sektor Fishery Pada Sektor Pertanian di BEI Melalui Penilaian Ri dan σi Pada sub sektor Fishery terdapat tiga perusahaan emiten yang terdaftar selama periode penelitian. Diantaranya adalah PT.Central Proteinprima Tbk yang memiliki kode saham CPRO, PT. Dharma Samudera Fishing Industries Tbk yang memiliki kode saham DSFI serta PT. Inti Agri Resources Tbk dengan kode saham IIKP. Analisis kinerja masing-masing saham dilakukan dengan menghitung nilai Ri dan σi. Pada tabel 10 disajikan nilai Ri, σi, serta nilai kovarian antar sekuritas yang terdaftar pada sub sektor Fishery. Tabel 10. Nilai Ri dan σi Serta Kovarian pada Saham Sub Sektor Fishery Ri σi CPRO DSFI IIKP CPRO -0.051 0.199 0.04 0.001 0.01 DSFI -0.008 0.049 0.001 0.002 0.007 IIKP 0.071 0.073 0.266 0.01 0.007 Dari Tabel 10, terlihat bahwa saham yang memiliki nilai risiko paling rendah pada tingkat expected return tertentu adalah saham dengan kode DSFI. Saham ini memiliki nilai risiko paling rendah diantara ketiga saham lain yang terdaftar pada sub sektor Fishery sebesar 0.049 dengan tingkat expected return tertentu sebesar -0.008. Sedangkan saham yang memiliki tingkat risiko paling tinggi adalah saham dengan kode IIKP yaitu sebesar 0.266, namun saham ini memiliki nilai expected return yang lebih besar dibandingkan dengan saham CPRO. IIKP mempunyai nilai expected return sebesar 0.073, sedangkan saham CPRO hanya memiliki nilai expected return sebesar -0.051 dengan tingkat risiko yang lebih besar dari saham DSFI sebesar 0.199. Hal ini dapat dijadikan dasar pembentukan portofolio saham pada sub sektor Fishery. Saham yang memiliki kinerja terbaik sesuai dengan persepsi investor akan memperoleh persentase dana yang lebih besar dibandngkan dengan saham lainnya. Dalam menilai kinerja saham dapat dilihat dari dua hal, yaitu expected return sebagai sesuatu yang disukai oleh investor dan risiko sebagai sesuatu yang tidak disukai oleh investor. Dalam Tabel 12, terlihat dengan jelas bahwa saham DSFI memiliki nilai risiko paling rendah. Nilai return yang negatif, yaitu sebesar -0.008 merupakan nilai return terbesar ke dua setelah saham IIKP. Dengan mengasumsikan investor bersikap risk averse, maka saham dengan nilai risiko paling rendah dapat dikatakan sebagai saham dengan kinerja yang paling baik. Hal ini berarti saham DSFI memiliki kinerja yang paling baik diantara saham lain. Jika diasumsikan investor bersikap risk taker, maka saham IIKP merupakan saham dengan kinerja paling baik yang menawarkan nilai expected return maksimal. Nilai kovarian antara saham sub sektor Fishery dapat dilihat juga pada Tabel 12. 1. Kovarian CPRO, DSFI sebesar 0.001, hal ini mengindikasikan hubungan tingkat keuntungan diantara saham CPRO dengan saham DSFI. Jika saham CPRO dapat menghasilkan keuntungan di atas keuntungan ratarata, maka saham DSFI akan cenderung melakukan hal yang sama dengan saham CPRO yaitu menghasilkan keuntungan yang juga di atas keuntungan rata-rata. 2. Kovarian CPRO, IIKP sebesar 0.010. Dengan kovarian yang positif maka terdapat kecenderungan pergerakan tingkat keuntungan yang sama diantara saham CPRO dengan IIKP. 3. Kovarian DSFI, IIKP sebesar 0.007. saham DSFI cenderung melakukan pergerakan tingkat keuntungan yang sama dengan saham IIKP. Selain diperoleh nilai kovarian antara saham, dalam penggunaan software Modern Portofolio Theory And Investment Analysis juga diperoleh nilai koefisien korelasi. Nilai ini menyatakan terdapat atau tidaknya alternative yang dapat diambil oleh investor dalam membentuk portofolio yang bersangkutan untuk mengurangi risiko sekuritasnya. Nilai koefisien korelasi terletak antara +1 sampai dengan -1. Jika nilai koefisian korelasinya adalah positif sempurna, yaitu +1 maka tidak ada alternatif yang dapat dilakukan pleh investor untuk mengurangi risiko sekuritasnya dengan pembentukan portofolio tersebut. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh untuk saham yang terdaftar dalam sub sektor Fishery dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Nilai Koefisien Korelasi Antar Saham pada Sub Sektor Fishery CPRO DSFI CPRO DSFI IIKP 1 0.065 0.19 0.065 1 0.539 IIKP 1 0.19 0.539 Nilai koefisien korelasi antara sekuritas pada sub sektor Fishery terletak antara +1 sampai dengan -1. Hal ini mengindikasikan bahwa ada alternatif yang dapat diambil oleh investor dalam pembentukan portofolio Fishery yang menyertakan saham CPRO, DSFI dan IIKP untuk mengurangi risiko sekuritasnya. 4.11. Hal-hal yang Menjadi Kendala Investasi dalam saham sebenrnya mampu memberikan keuntungna yang besar bagi investor apabila investor tersebut mampu menentukan saham yang tepat dan melakukan diversifikasi secara baik terhadap portofolio investasi yang dimilikinya. Namun sayangnya, di Indonesia tidak terlalu banyak orang yang mengerti mengenai saham, sehingga kurang tertarik untuk berinvestasi pada saham, dan itu mungkin sebagian darinya. Selebihnya, mereka lebih akrab dengan deposito dan berbagai jenis tabungan pada bank. Faktor-faktor penyebab yang dapat diamati dari kurang populernya investasi pada pasar modal (saham) adalah karena tidak adanya kepastian tingkat keuntungan yang akan diterima investor, pada suatu periode investasi tertentu, serta besarnya risiko yang harus dihadapi akibat harga saham berfluktuasi hampir setiap harinya dan besarnya modal yang dibutuhkan untuk berinvestasi dalam pasar modal. Selain itu, untuk berinvestasi pada saham diperlukan ketelitian dan keahlian tertentu dalam memilih saham yang bagus untuk dibeli. Tidak seperti pada deposito, dimana investor cukup memperhatikan deposito mana yang memeberikan tingkat pengembalian yang tinggi, tetapi dalam saham investor harus dapat menetukan apakah saham yang akan dibelinya memeberikan tingkat risiko yang tinggi atau tidak serta investor harus mampu memprediksikan saham yang memberikan tingkat keuntungan. Berbagai masalah diatas menjadi kendala tersendiri dalam mengganti investasi deposito menjadi investasi dalam bentuk saham. Namun sebenarnya kendala ini dapat diminimalisasi dengan semakin banyaknya manajer investasi, perusahaan sekuritas, kelompok-kelompok investasi dan berbagai bentuk reksa dana yang menawarkan berbagai macam investasi pasar modal, termasuk saham. 4.12. Implikasi Manajerial Implikasi manajerial yang dapat diberikan, antara lain adalah : 1. Investor mendapatkan pengetahuan dan informasi mengenai investasi di pasar modal yang mampu memberikan tingkat pengembalian sehingga para investor dapat memilih saham di pasar modal menjadi bagian dari investasinya selain dari pada sektor perbankan. 2. Perusahaan yang telah terdaftar di BEI menjadi perusahaan emiten dapat mengetahui kinerja saham perusahaannya melalui tingkat pengembalian dan risiko yang dimiliki, sehingga perusahaan emiten mengetahui seberapa besar ketertarikan investor untuk membeli saham perusahaannya. Dengan demikian, perusahaan emiten dapat menentukan waktu yang tepat dalam menyerap dana dari pasar modal dengan efisien untuk segera melakukan ekspansi pada perusahaan mereka. 3. Perusahaan sekuritas dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai referensi untuk menentukan kinerja saham-saham sektor industri pertanian. Hal ini akan menambah informasi mengenai data historis kinerja saham sektor pertanian dan perusahaan sekuritas bisa melakukan investasi pada sektor pertanian berdasarkan pada hasil analisis kinerja saham pada penelitian ini.