pola hubungan islam dan negara dalam pemikiran jaringan islam

advertisement
POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Pemikiran Politik Islam
Untuk Memenuhi Syarat Pencapaian Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Ihsan Maulana
NIM: 104033201092
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M/1430 H
POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Program Studi Pemikiran Politik Islam
Untuk Memenuhi Syarat Pencapaian Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Ihsan Maulana
NIM: 104033201092
Di Bawah Bimbingan
M. Zaki Mubarak. M. Si
NIP: 197309272005011008
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M/1430 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul ”POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM
PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL”, telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 November 2009. Skripsi telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada program
Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 20 November 2009
Panitia Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota
Sekertaris Merangkap Anggota
Dr. Hendro Prasetyo, MA
NIP: 196407191990031001
Joharatul Jamilah, S. Ag, M. Si
NIP: 196808161997032002
Anggota,
Penguji I
Penguji II
Dr. Sirojuddin Aly, MA
NIP: 195406052001121001
Dr. Nawiruddin, M. Ag
NIP: 197201052001121003
Pembimbing
M. Zaki Mubarak, M. Si
NIP: 197309272005011008
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 September 2009
Ihsan Maulana
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Allah Swt, yang telah melimpahkan berbagai nikmat
dan karunia, dialah yang Maha Esa lagi Maha Kuasa. Dengan rahmat, inayah dan
ridhanya juga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw, keluarganya, para
sahabatnya dan para pengikutnya.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan baik dalam pengetahuan maupun dalam teknik penulisan, oleh
karena itu dengan rendah hati dan lapang dada penulis mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun bagi semua pihak. Akhir kata penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besaranya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Pertama-tama rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof.
Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, Selaku
Sekertaris Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terima kasih khusus kepada Bapak Agus Darmadji, M. Fils, Dr.
Sirojuddin Aly, MA, M. Zaki Mubarak, M. Si, selaku dosen pembimbing akademik
dan pembimbing skripsi yang memberikan arahan, saran, masukan serta kritikan
yang bersifat membangun dalam penulisan skripsi ini. Begitu juga seluruh dosen
dan staf pengajar pada program Studi Pemikiran Politik Islam, penulis sampaikan
terima kasih yang setinggi-tingginya.
Terima kasih dari hati yang paling dalam kepada mereka yang sangat
berjasa memberikan sumbangan moral maupun material yang terhingga nilainnya,
yang begitu sabar dalam penantian, yaitu kedua orang tua penulis, (Alm) Bapak H.
Muhammad Ali dan Ibu Hj. Marpuah, keduanya ikut terlibat langsung jatuh bangun
dalam kehidupan penulis. Kakak-kakak dan abang-abang tercinta juga patut
mendapat ucapan terima kasih. Mereka antara lain, (almh) Hj. Rokibah, S. Ag,
Ahmad, Marwajih, Mardan, Rosyadah, Ismail, Muhammad Taufiq, S. Si, Siti
Marliah, S. Ag, Siti Nazullah, Amd, S. Pd I, serta Sahruddin, SHI. (eka elrun ono)
karena doa dan pengertian mereka, untuk mereka semua penulis persembahkan
karya ini. Atra esterni ono thelduin.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Burhanuddin Muhtadi dan
Abdul Hakim, yang telah membantu penulis dalam meminjamkan beberapa buku,
majalah, serta koran yang penulis sangat perlukan, ucapan terima kasih pula penulis
sampaikan atas wawancaranya secara langsung, sehingga penulis menemukan
pemikiran Islam yang sangat signifikan.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
mahasiswa Pemikiran Politik Islam angkatan 2004, baik kelas A dan B, yang juga
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, semoga kita tetap solid dan selalu
menjaga tali silaturrahmi. Khusus kepada my girls friend, Yuliana, dialah salah satu
bintang dari sekian banyak bintang yang bersinar, atas pengorbanannya sedikit
banyak telah menemani dalam suka dan duka, ikut dalam pencarian data, buku, dan
selalu memberikan support, eka elrun ono, atra esterni ono thelduin, kata tersebut
layak penulis persembahkan untuknya. Thanks for all..
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun
materil, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam sebuah karya ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi sederhana ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak, serta mampu mengisi wawasan khazanah Pemikiran Politik
Islam.
Jakarta, 28 Desember 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................
i
DAFTAR ISI .......................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................... 10
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 10
D.
Metode Penelitian................................................................. 11
E.
Sistematika Penulisan........................................................... 11
BAB II BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG ISLAM DAN NEGARA
A.
Tiga Pendekatan Islam dan Negara....................................... 13
1. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik.......................... 15
2. Paradigma Islam Substantif .............................................. 20
3. Paradigma Islam Sekularistik............................................ 22
B.
Islam dan Pluralisme ............................................................ 31
C.
Hak Asasi Manusia .............................................................. 36
D.
Formalisasi Syariat Islam .................................................... 41
BAB III SEPUTAR JARINGAN ISLAM LIBERAL
A.
Latar Belakang Berdirinya JIL.............................................. 52
B.
Visi, Misi dan Tujuan JIL .................................................... 58
C.
Perkembangan dan Program JIL ........................................... 60
BAB IV TELAAH TERHADAP ISU WACANA PEMIKIRAN JARINGAN
ISLAM LIBERAL
A.
Islam dan Sekularisme ( Negara Islam).............................. 66
B.
Islam Pluralisme dan HAM (Negara Plural)...................... 71
C.
Penerapan Syariat Islam di Indonesia................................. 79
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan .......................................................................... 88
B.
Saran dan Kritik .................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wacana tentang agama dan negara, seolah tidak akan pernah ada habisnya.
Dua institusi ini sangat penting bagi masyarakat, khususnya bagi yang berada dalam
wilayah keduanya. Agama sebagai sumber etika moral mempunyai kedudukan yang
sangat jelas karena berkaitan erat dengan prilaku seseorang dalam interaksi sosial
kehidupannya dan agama dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran dalam setiap
langkah kehidupan, baik terhadap sesama maupun dengan sumber agama tersebut.
Sedangkan negara merupakan sebuah bangunan yang mencakup seluruh
aturan mengenai tata kemasyarakatan yang mempunyai wewenang dalam
memaksakan setiap aturan yang dibuatnya kepada masyarakat. Di sini, bisa saja
aturan yang dibuat oleh negara sejalan dengan apa yang menjadi sumber acuan
masyarakat (agama), tetapi bisa juga berlawanan atau tidak sejalan dengan agama,
tergantung bagaimana sistem yang dianut oleh seluruh negara tersebut, yang
kemudian menimbulkan benturan-benturan antara agama dan negara.
Perdebatan mengenai Islam, apakah harus dikaitkan dengan permasalahan
negara, pastinya perdebatan ini akan terus menerus dibahas dalam dunia intelektual
dalam dan luar kampus, aktivis dan sebagainya masih sering mendiskusikan bentuk
yang ideal apakah Islam berhubungan dengan negara atau tidak. Hubungan Islam
dan negara merupakan persoalan tidak hanya dunia intelektual an sich yang
membahas
persoalan
ini,
tapi
sebagian
masyarakat
Muslim
Indonesia
mempersoalkan masalah ini, persoalan ini sebenarnya bagian dari masalah yang
sangat besar tentang dimana posisi agama dalam negara. Bermacam argumentasi
telah muncul dalam rangka menjawab persoalan dan perdebatan ini.
Banyak upaya yang telah dilakukan para intelektual muslim dalam rangka
pencarian konsep tentang relasi agama dan negara pada dasarnya mengandung dua
maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan
aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan. ”Bagaimana
bentuk negara Islam?”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki
konsep tertentu mengenai negara.
Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses
penyelenggaraan negara (menekankan aspek praktis dan substansial), yakni
mencoba menjawab pertanyaan. ”Bagaimana isi negara menurut Islam?”.
pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep
tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar tentang
etika dan moral.
Sebagimana Munawir Sjadzali mengatakan bahwa persoalan ini banyak di
perbincangkan oleh beberapa kalangan. Pertama, mereka yang berpendirian bahwa
Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya
menyangkut hubungan antara manusia dengan tuhan, sebaliknya Islam adalah
agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan
manusia termasuk kehidupan bernegara, kalangan ini mengacu kepada sistem
politik Islam yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan Empat
Sahabatnya.
Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah sebagai suatu agama yang tidak
ada hubungannya dengan urusan kenegaraan, menurut kalangan ini Muhammad
hanyalah seorang rasul biasa seperti hanya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas
hanya mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dan berbudi
pekerti baik. Nabi Muhammad menurut kalangan ini tidak pernah mendirikan dan
menjadi kepala negara.
Ketiga, mereka menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang
serba lengkap yang di dalamnya mengatur sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini
juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur hubungan
antara manusia dan Maha Penciptanya, sebagaimana pengertian Barat. Menurut
mereka Islam merupakan ajaran totalitas, tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk
pokok saja, karena itu menurut mereka, dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan dalam artian teori yang lengkap, namun disana terdapat sejumlah
tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.1
Perdebatan mengenai hubungan Islam dan negara telah melahirkan tiga
kelompok besar dalam kalangan peneliti.2 Pertama, dengan tegas menolak adanya
hubungan antara agama dan negara dalam hal ini adalah Islam, kelompok ini
beranggapan bahwa agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda dan
bertolak belakang. Agama sama sekali tidak membicarakan persoalan negara
dengan jelas, kelompok ini disebut dengan kelompok sekuler. Kedua, mereka yang
mengasumsi bahwa agama dan negara mempunyai ikatan erat yang tidak dapat
dipisahkan. Kelompok ini sering disebut kelompok formalis. Ketiga, mereka yang
mengambil jalan tengah yang mencoba mencari titik temu antara kedua kelompok
tersebut.
Terlepas dari kelompok-kelompok tersebut apakah dalam Islam sekaligus
dalam kitab suci Al-quran di perintah dan di tuntut untuk mendirikan negara atau
1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UIPRESS, 1993), h. 1-2.
2
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais
(Jakarta: Teraju, 2005), h.40.
tidak, kenyataannya banyak kalangan Islam politik (yang me\nginginkan penyatuan
antara agama dan negara) membutuhkan sebuah sistem kenegaraan yang Islami,
karena bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan diperlukan suatu
kekuatan (institusi politik). Untuk menegakkan keadilan dan menjaga perdamaian,
diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik atau negara.3
Banyak faktor yang membuat kalangan yang menolak Islam sebagai negara
atau tidak menyukai Islam disatukan dengan negara dengan berbagai banyak alasan,
faktor tersebut lebih kepada bahwa Islam belum dapat diterima oleh kalangan
masyarakat secara utuh, masih adanya ketakutan dengan Islam jika mempunyai
keterkaitan dengan negara dengan jargon syariat Islam yang banyak kalangan
mengatakan tidak ideal diterapkan dalam konteks negara Indonesia dan lain
sebagainya.
Di lain pihak banyak kalangan yang sepakat dengan penyatuan antara Islam
dan negara, paling tidak Islam harus mempunyai andil dalam negara. Beragam
potret aliran maupun mazhab baik dalam soal fikih, tasawuf, ilmu kalam maupun
cabang ilmu Islam lainnya, merupakan bukti bahwa Islam tidaklah monolitis.4
Penafsiran dua istilah tersebut akan terus menerus menjadi persoalan dan
perdebatan antara kalangan yang setuju dan yang tidak setuju secara tegas bahwa
Islam terlepas dari negara. Dalam penafsiran antara Islam dan negara, sebagaimana
yang penulis katakan tadi adalah kalangan yang setuju bahwa Islam tidak
dipisahkan dengan konteks negara. Penafsiran yang lain mengatakan Islam dan
negara merupakan dua entitas yang terpisah dan harus dipisahkan. Sedangkan
pandangan yang paling moderat pun juga ada, pandangan moderat menegaskan,
meski Islam dan negara merupakan persoalan yang berbeda namun kedunya
3
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1981), h. 8-9.
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang
Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), h.21.
4
mempunyai kaitan yang sifatnya substansial yang akan selalu ada.5 Perbedaan disini
akan selalu ada dalam menafsirkan segala sesuatu dan mewarnai dunia keislaman.
Para pemikir politik Islam sepakat bahwa hubungan antara Islam dan politik
dalam makna negara, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Dari aspek manapun,
definisi politik selalu di postulasikan terkait dengan Islam. Ada dua dimensi dalam
hubungan Islam dengan negara, yaitu dimensi the art of government (seni dalam
memerintah) dan dimensi struggle for power (perjuangan untuk meraih kekuasaan).
Jika politik didefinisikan dalam konteks the art of government, menurut Abdul
Rasyid Moten, sudah dapat diketahui adanya hubungan antara Islam dan negara,
bahkan negara tidak dapat dilepaskan dari Islam dalam formulasi Al-Quran, hal ini
masuk kedalam lingkup amar ma’ruf nahyi munkar (memerintahkan yang baik dan
mencegah yang munkar). Dalam formulasi sosiologis berarti adanya keharusan bagi
setiap umat Islam, dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman, berpartisipasi
dalam mengoreksi jalannya pemerintahan.6 Begitu juga jika politik di definisikan
sebagai struggle for power, maka tak ada kontradiksi antara Islam dan negara.7
Sebagaimana diketahui, titik akhir dari struggle for power adalah formasi
kekuasaan politik.
Para pemikir Islam kontemporer, terutama Muhammad Rasyid Ridha,
Sayyid Qutb dan al-Maududi, telah bayak mengemukakan pandangannya bahwa
Islam adalah suatu agama yang tidak mengurusi masalah agama semata, Islam
sekaligus mengurusi masalah kenegaraan. Dalam arti lain, bahwa negara merupakan
wacana keagamaan yang berimplikasi kepada suatu keterkaitan antara kedunya.
5
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h.6.
Abdul Rasyid Moten, Political Science an Islamic Perspective (London: Macmalian Press,
1996), h. 20.
7
Moten, Political Science an Islamic,h.20.
6
Kalau dalam konteks politik Indonesia sebenarnya perdebatan sekaligus
pergulatan hubungan antara Islam dan negara sudah berlangsung. Dalam proses
awal pembentukan sebuah negara, ketika itu persoalan yang paling krusial yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah menyepakati bentuk dasar sebuah negara.
Dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan) permasalahan pokok yang dibahas ketika itu antara lain persoalan
bentuk negara, ini juga menyangkut masalah hubungan agama dengan negara.
Dari kelompok pembela dasar Islam, juru bicara terkemuka adalah Ki Bagus
Hadikusumo, KH. Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkar, Muhammad Natsir dan KH. A.
Wachid Hasyim. Dalam kelompok ini pihak Islam bersatu menghadapi pihak
nasionalis. Gagasan tentang suatu bentuk negara berdasarkan Islam telah muncul
kepermukaan, sejak Indonesia masih di bawah kekuasaan Jepang.8
Kemudian pergolakan ini berlanjut ketika umat Muslim berusaha
memformalisasikan Islam dalam konteks negara Islam sebagai dasar agama tentu
tidak dapat diterima oleh kalangan nasionalis sekuler. Demikian pula dengan
kelompok Islam politik tetap gigih untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Perdebatan Soekarno dengan Muhammad Natsir tentang hubungan agama (Islam)
dengan negara terekam dalam panji Islam9, perdebatan ini akan terus menerus tidak
ada habisnya.
Perdebatan yang sama terjadi dalam sidang konstituante di Bandung pada
tahun 1956-1959. Voting yang dilakukan majelis, yang bertugas membuat UUD
baru. Ini tidak dapat menetapkan dasar negara antara pilihan pancasila dan Islam.
Saat itu terjadi perdebatan antara pancasila dan Islam. Partai-partai Islam seperti
Masyumi dan NU memperjuangkan negara demokrasi berdasarkan Islam. Dan
h. viii
8
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002),
9
Suhelmi, Polemik Negara Islam,h. viii.
partai nasionalis seperti PNI dan Partai Komunis bersatu mempertahankan pancasila
sebagai dasar negara.10
Perdebatan ini kembali mewarnai politik Indonesia, ketika
Soeharto
berkuasa bagaimana ketika itu partai Islam yang mengusung Islam sebagai dasar
negara tidak diberikan ruang gerak yang signifikan. Soeharto tidak mau
membiarkan partai Islam memimpin Indonesia dengan alasan mencoba mendirikan
negara Islam dan jargon Syariat Islam. Lengsernya Soeharto masih saja perdebatan
ini dibahas, perdebatan yang terjadi tidak banyak bergeser dari apa yang
diperdebatkan Soekarno dan Natsir, jadi tidak memuat persoalan-persoalan baru.
Piagam Jakarta adalah salah satu perdebatan yang menarik pada masa
reformasi, banyak ketika itu partai Islam mencoba mengangkat kembali piagam
Jakarta yang semula juga pernah diperdebatkan, PPP (Partai Persatuan
Pembangunan) dan PBB (Partai Bulan Bintang), kedua partai ini mencoba
mengangkat tema yang sudah lama dibahas, kedua partai ini mencoba
mempermasalahkan kembali persoalan-persoalan yang menyangkut masalah agama
dan negara, mereka mencoba menjadikan syariat Islam sebagai salah satu hukum
negara.
Usulan itu berawal dari keinginan F-PPP dan F-PBB dalam rapat panitia
Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR yang bertugas menyiapkan amandemen pasal-pasal
UUD 1945 untuk sidang tahunan MPR tahun 2000. Sidang tersebut mencuat
persoalan piagam Jakarta dan syariat Islam di Indonesia, catatan atas kontroversi
amandemen pasal 29 UUD 1945. Ketegangan itu berakhir ketika MPR memutuskan
untuk menunda pembahasan beberapa pasal sensitif dalam rangka amandemen.
Alasan penundaan ini secara formal adalah keterbatasan waktu sidang. Tetapi ini
10
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama 40 Negara dan
Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 7.
sebenarnya menunjukkan bahwa masalah itu memang bukan permaslahan yang
mudah bagi perumusan bangunan negara Indonesia.
Pada konteks kekinian muncul HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang mencoba
mengangkat persoalan-persoalan klasik, yang tidak jauh seputar hubungan Islam
dan negara mereka mencoba memperjuangkan bentuk Khilafah Internasional. Ini
adalah bagian dari kalangan kelompok yang memaknai keterkaitan hubungan Islam
dan negara, disamping banyak juga yang menolak argumentasi tersebut.
Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan suatu jaringan yang membahas
tentang masalah-masalah keislaman. Keterkaitan agama (Islam) dan negara salah
satu topik pembahasan yang akan tidak henti-hentinya diperdebatkan, baik dari
kalangan yang pro dan yang kontra.
Mengenai pembahasan Islam dan negara, JIL menjelaskan bahwa kalau
umat Islam mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah
pemahaman yang benar, evaluatif, kritis dan rasional akan menunjukkan bahwa
Islam bukanlah agama politik semata dalam konteks negara. Bahkan, porsi politik
dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun berkaitan dengan kepentingan banyak
orang yang berarti kepentingan rakyat kecil (lower class in the society), bukan pada
tatanan model-model politik. Oleh karena itu negara (politik) dan agama (Islam)
suatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan
kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu
yang lain. Pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan
praktis, bukan atas dasar negara.11
Sebagian orang percaya bahwa politik dalam makna negara merupakan
bagian dari agama. Karena itu, ia harus diatur sesuai dengan ajaran agama.
11
Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September
2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam/
Sementara sebagian lagi percaya bahwa politik merupakan urusan duniawi dan
tidak ada hubungannya dengan agama. Ini adalah masyarakat yang sudah
terdoktrinasi dengan istilah “Islam adalah agama sekaligus negara”.12 Dengan
demikian sering kali menimbulkan dilema termasuk dalam munculnya berbagai
pemikiran dan pemahaman tentang Islam yang tidak saja berbeda, namun bertolak
belakang bahkan berbenturan.
Jaringan Islam Liberal (JIL) turut berbicara dan meramaikan perdebatan
antara Islam dan negara. Banyak artikel, buku dan jurnal yang telah di terbitkan
sebagai bagian dari kepedulian dan kontribusi dalam mencari jalan keluar dalam
persoalan perdebatan yang sangat lama. Dengan demikian berbagai penjelasan baik
yang setuju dan tidak setuju diatas mengantarkan saya untuk mengetahui dan
mengetengahkan pokok-pokok persoalan yang cukup signifikan, sejauh mana
pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL) mewarnai persoalan antara Islam dan
negara.
Pandangan yang sangat kritis inilah yang menarik perhatian penulis untuk
memahami lebih lanjut hubungan Islam dan negara menurut JIL. Disamping itu,
penulis juga akan mencoba mencari letak argumentasi JIL tentang hubungan Islam
dan negara. Untuk itu, penulis tertarik untuk mengkajinya melalui skripsi yang
berjudul: Pola Hubungan Islam dan Negara dalam Pemikiran Jaringan Islam
Liberal.
12
Abdul Moqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, Upaya Merumuskan Keberagaman
Yang Dinamis (Jakarta: JIL, 2005), h. 86.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam proposal skripsi ini
dibatasi pada pembahasan sekitar hubungan Islam dan negara menurut Jaringan
Islam Liberal (JIL) serta isu wacana global pemikiran JIL
Dengan pembatasan masalah seperti ini, maka yang akan penulis
permasalahkan pada penulisan ini adalah bagaimana pola hubungan Islam dan
negara dalam pemikiran Jaringan Islam Liberal dan isu wacana global pemikiran
JIL
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas
rumusan ideal menurut JIL soal hubungan Islam dan negara. Serta melakukan
analisis kritis terhadapnya. Sementara tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
hal-hal sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan secara rinci pemikiran JIL tentang hubungan Islam
dan negara.
2. Untuk mengetahui wacana-wacana yang selama ini JIL serbarkan
gagasan-gagasannya ke publik.
3. Untuk mengetahui konsep yang ideal tentang hubungan Islam dan
negara.
Sedangkan kegunaan penelitian ini diantaranya untuk memperkaya
khazanah intelektual politik Islam. Penulis mengharapkan agar penelitian ini ada
kegunaan dan dapat memberikan arti akademis dalam menambah informasi dan
memperkaya wawasan ke-islaman dalam bidang pengembangan Pemikiran Politik
Umat Islam.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode library research
(penelitian kepustakaan), yaitu dengan menelaah buku-buku, majalah, artikel-artikel
dan juga jelajah dunia maya (internet) yang penulis anggap relevan dengan pokok
permaslahan.
Sebagai data pendukung dan pelengkap skripsi, penulis juga akan
melakukan wawancara lansung atau tidak langsung dengan aktivis JIL. Dari
wawancara ini diharapkan mampu menemukan pemikiran kritis JIL terkait dengan
hubungan Islam dan negara.
Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah dan penulisan dalam
skripsi ini di sesuaikan dengan standar penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis dan
disertasi) yang di terbitkan Center for Quality Development and Assurance
(CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima
bab yang akan di uraikan secara ringkas, dari masing-masing bab sebagi berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan, yang memuat tentang Latar
Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.
Bab kedua, akan membahas seputar tiga pendekatan hubungan Islam dan
negara secara singkat, yang terdiri dari tiga paradigma antara lain, Paradigma Islam
Simbolistik Formalistik, Paradigma Islam Substantif serta Paradigma Islam
Sekularistik. Kemudian penulis membahas beberapa permasalahan islam dan negara
yang terdiri dari Islam dan Pluralisme, HAM serta Formalisasi Syariat Islam.
Bab ketiga, akan dibahas singkat tentang Jaringan Islam Liberal (JIL), Latar
Belakang Berdirinya JIL, Visi, Misi, Tujuan Berdirinya JIL serta Perkembangan
dan Program JIL.
Bab keempat, membahas tentang isu wacana pemikiran Jaringan Islam
Liberal (JIL), yang di dalamnya terdapat penjelasan mengenai Islam dan
Sekularisme, Islam Pluralisme dan HAM serta Penerapan Syariat Islam di
Indonesia.
Bab kelima, adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan, saran dan kritik
berkaitan dengan masalah yang akan diajukan dari keseluruhan proposal skripsi ini.
BAB II
BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG
ISLAM DAN NEGARA
A. Tiga Pendekatan Hubungan Islam dan Negara
Perdebatan mengenai hubungan negara dan agama telah menjadi persoalan
yang cukup krusial, apakah negara bagian dari agama ataukah sebaliknya.
Pertanyaan adalah, apakah negara ada hubungannya dengan agama dalam konteks
Islam. Wacana atau istilah relasi antara Islam (Agama) dan negara tentu mewarnai
perdebatan fiqh siyasah (fiqih politik) dalam Islam. Peristiwa ini bisa jadi
dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup masyarakat
di wilayah tertentu. Suatu negara memerlukan sesuatu institusi apakah itu Islam
atau hal lain untuk mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan secara bersamasama untuk mencapai suatu cita-cita dan keinginan. Otoritas politik memiliki
urgensi yang harus ada yang terwakilkan untuk memerlukan konsep negara,
sehingga dirasa perlu oleh sebagian kaum Muslimin untuk memerlukan konsep
negara yang berhubungan dengan agama dan berinstitusi dengan Islam itu sendiri.
Perdebatan ini sebenarnya bukan perdebatan atau persoalan baru dalam
wacaana keislaman. Jargon syariat Islam menjadi bahan pertimbangan diantara
kelompok-kelompok masyarakat Muslim. Kejadian seperti ini hampir dialami oleh
sebagian negara yang mempunyai pemeluk agama Islam lebih banyak ketimbang
agama-agama yang lain. Peristiwa ini bisa dilihat dari banyaknya organisasi atau
gerakan Islam di dunia yang menyuarakan agar negara harus berdasarkan Islam,
dengan kata lain menginginkan negara agama, seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir),
Jama’at Islamiyah (India), FIS (Aljazair), PAS (Malaysia), bahkan di Indonesia
ketika itu ada Masyumi dan sekarang muncul HTI (Hizbut Tahrir Indoneia).
Historitas negara agama tersebut dapat disebut sebagai alternataif yang bisa
dilakukan dan diwujudkan oleh kalangan Islam politik untuk menjadikan syariat
sebagai sistem kenegaraan.
Kalau kita melihat dari kaca mata dunia sampai saat ini tidak ada satupun
negara yang menjadi acuan bagi negara lain, tidak ada representasi negara Islam.
Banyak pemikiran Islam itu tidak lepas dari pengaruh dunia Barat. Pada masa
modern, ekspansi, imprealisme dan kolonialisme Eropa kewilayah Islam tidak
hanya menciptakan dis-integrasi politik (dis-integrartion of politic) Islam tapi lebih
jauh menggoncangkan jati diri Islam.1
Perdebatan ini melahirkan tiga kelompok atau aliran, antara lain, Pertama,
mereka yang secara tegas menginginkan penyatuan Islam dan negara. Kedua,
mereka yang menginginkan isi dari negara bukan karena simbol dan formalnya saja.
Ketiga, mereka yang memisahkan antara permasalahan agama (Islam) dan negara.
Kelompok dan aliran tersebut semuanya mempunyai pandangan yang berbeda
dalam memahami hubungan antara agama dan negara, tetapi dari ketiga pandangan
tersebut mengakui peran penting negara dalam proses pencarian identitas negara,
umat Islam ada yang meniru Barat dan ada pula yang menolak secara terangterangan, tetapi menurut penulis tidak semua yang berasal dari Barat itu tidak baik
pasti ada baiknya juga, tetapi ada juga yang bersikeras mengatakan bahwa Islam
mempunyai konsep yang jelas.
Beragam macam pendukung dan penentang tentang relasi agama dan
negara, ada yang ekstrim, ada yang moderat. Pendukung yang ekstrim, mereka yang
mencoba menerapkan Islam sebagai institusi negara, mengubah sistem politik
1
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 2.
menjadi khilafah atau negara Islam. Sementara ada juga yang memisahkan agama
(Islam) dari konteks negara.
Pandangan, relasi atau hubungan antara agama dan negara menurut
Kamaruzzaman menjadi dua gerakan. Pertama, gerakan fundamentalisme yaitu
kalangan yang menginginkan adanya integrasi agama dan negara. Kedua disebut
gerakan modernisme yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu, modernisme Islam
dan modernisme sekuler. Modernisme Islam berpandangan bahwa agama dan
negara di integrasikan namun tidak mempersoalkan jika umat Islam mencontoh
Barat. Adapun kelompok modernisme sekuler, mereka memisahkan antara agama
dan negara dan pada waktu bersamaan mencontoh gaya Barat dalam sistem
kenegaraan.2
Di sini penulis mencoba menggambarkan beberapa pandangan yang ada
dalam memahami hubungan antara agama dan negara, yang akan diklarifikasikan
berdasarkan tiga paradigma yaitu, paradigma Islam formalistik, paradigma Islam
substansif serta paradigma Islam sekularistik, penulis juga mengklasifikasi tokohtokoh yang berada dalam paradigma tersebut.
1. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik
Paradigma ini menginginkan pengintegrasian antara Islam dan negara.
Karena Islam adalah agama yang serba lengkap yang mengatur masalah agama,
negara dan masyarakat, dalam paradigma ini mereka mencoba menjelaskan bahwa
Islam tidak dapat dilepaskan dengan persoalan negara, tidak ada pemisahan
layaknya agama Kristen dalam doktrin two sord-nya tersebut.
2
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis
(Magelang: Indonesia Tera, 2001), h.50.
Paradigma ini menjelaskan bahwa antara Islam dan politik tidak dapat
dipisahkan, sekiranya muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala
sesuatu, termasuk persoalan agama dan politik, syariat Islam, din wa daulah
merupakan Istilah yang berhubungan dengannya. Dalam pandangan ini Islam
merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya memilki sistem
dan teori politik tersendiri.
Sistem pemerintahan dan politik yang bergariskan Islam tak lain hanya
sistem yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan Khulafa ArRasyidin. Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi menjadi dua aliran, yakni
tradisionalis dan fundamentalis. Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap
ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan empat sahabatnya, dengan
tokoh sentralnya adalah Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis adalah
mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan
negara untuk kembali kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep
lainnya.3
Dengan begitu mereka mempunyai keyakian bahwa umat Islam mempunyai
kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk Islam, entah itu dengan
kata apa, karena kepercayaan yang teguh bahwa antara Islam dan politik harus
disatukan, banyak orang memberi penilaian terhadap kelompok ini sebagai
penganut mazhab teokratis.4
Tokoh yang berada dalam paradigma ini adalah Muhammad Natsir,
disamping banyak tokoh yang lain baik di luar maupun di dalam negeri. Faktor
yang paling dominan yang melatar belakangi pemikiran Natsir tentang hal ini
3
Edward Bot, “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15
Desember 2008, h. 30.
4
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang
Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), h. 8.
adalah keyakinannya akan ajaran Al-Qur’an. Muhammad Natsir secara tegas dalam
pidatonya tentang ”Islam sebagai dasar negara” menyatakan yakni “kehendak kami
(saya dan Masyumi) sebagaimana yang sudah diketahui kita semua, supaya negara
Republik Indonesia kita ini berdasarkan Islam.5
Natsir melihat adanya keterkaitan antara agama dan negara. Lembaga negara
sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada, dan pikiran seperti
ini nampaknya menguasai pandangan Natsir dalam pelaksanaan syariat Islam atau
hukum-hukum Islam di Indonesia.
Menurut Natsir Islam dan negara merupakan dua sisi mata uang yang tidak
bisa dilepaskan dan dipisahkan, oleh karena itu keterkaitan Islam dan negara sangat
signifikan, kalau ada pembedaan antara keduanya, menurutnya itu karena pengaruh
Barat. Barat yang mencoba menancapkan doktrin kedalam dunia Islam. Natsir
memandang bahwa Islam meliputi dua aspek, yakni agama dan masyarakat politik.
Islam tidak memisahkan persoalan rohani dan duniawi, melainkan mencakup dua
segi, hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.6
Ahmad Suhelmi mengungkapkan bahwa pandangan Natsir tentang agama
tertitik tolak dari pandangan bahwa agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari
negara, bagi Natsir urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral
risalah Islam. Dalam menangani dan mengatur masalah sosio-politik umat, diantara
prinsip-prinsip yang harus diikuti dan dihormati. Menurut Natsir adalah prinsip
syura, tentang bagaimana mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura,
5
Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h. 8.
Aay Muhammad Furqon, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum
Muda Muslim Indonesia Kontemporer (Bandung: Mizan, 2004), h. 8.
6
menurut Natsir semuanya bergantung kepada ijtihad umat Islam, karena Islam tidak
menetapkan secara kaku dan pasti.7
Ia adalah demokrat yang bagus dan gigih, sekalipun tidak senang dengan
praktik-praktik sistem demokrasi di Barat. ”Demokrasi bagus” akan tetapi sistem
kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman
instelling-instelling demokrasi. Islam menurutnya adalah sintesis antara demokrasi
dan otokrasi atau sistem politik diktatosial, tetapi bagaimana sintesis ini
beroperasinya, Natsir tidak menjelaskan teorinya secara menyakinkan.8
Kemudian upaya ini juga terjadi pada gerakan yang dinamakan dengan
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Suatu gerakan yang berideologikan
Islam yang mempunyai tujuan mendirikan negara Islam yang di dalamnya berlaku
hukum syariat Islam. Gerakan ini muncul pada tahun 1949-1962 yang melakukan
konfrontasi dengan jalur peperangan lewat tentara yang mereka latih dengan
mengambil teknik perjuangan gerilya. Tokoh yang melakukan gerakan ini antara
lain, Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar dan Daud Beureureh.
Paradigma ini memahami bahwa Islam sebagai agama pada prinsipnya tidak
dapat dipisahkan, alasan seperti ini memunculkan sebuah sistem syariat secara
langsung sebagai sebuah konstitusi negara, ada semacam kesadaran teologis yang
sangat kental, bahwa syariat Islam dengan kesempurnaannya dapat menyelesaikan
seluruh problem yang dihadapi umat Islam.
Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa pengaruh aliran ini pada umumnya
berpendirian bahwa Islam merupakan sebuah agama yang serba lengkap yang
mengurusi masalah keduniaan dan kenegaraan serta masalah politik. Oleh
karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem
7
h. ix-x.
8
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002),
Suhelmi, Polemik Negara Islam, h. ix-x.
ketatanegaraan Islam, sistem kenegaraan atau politik yang harus diteladani adalah
sistem yang telah dilaksanakan Rasulullah dan empat sahabatnya.9
Para pendukung aliran ini secara tegas menolak adanya liberalisme,
sekularisme dan ideologi-ideologi Barat lainnya, mereka mendukung adopsi yang
komprehensif dari sumber-sumber illahiyah yang sakral sebagai suatu cara untuk
mengakhiri hegemoni Barat dan sekaligus berupaya mengatasi berbagai masalah
sulit yang dihadapi masyarakat Muslim.
Mereka menginginkan penyatuan agama dan negara, mereka beranggapan
bahwa integrasinya agama dan negara juga dibangun atas contoh Nabi, yang
sekaligus bertindak sebagai agamawan dan negarawan. Kekuasaan agama dan
negara harus digabung dalam satu atap, sehingga memungkinkan syariat Islam bisa
diterapkan dan komunitas Muslim terlindungi.
Pandangan yang menginginkan menyatunya agama dan negara menurut
Zuhairi Misrawi dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama, sebagai tawaran alternatif
bagi kegagalan sistem sekuler, ini menjadi alasan yang sering disebut-sebut guna
membangun masyarakat yang Islami. Kedua, penyatuan agama dan negara sebagai
suatu resistensi terhadap modernitas.10
Dalam tulisannya itu ia mengatakan bahwa Yusuf Qardhawi adalah salah
satu pemikir Muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan negara,
sebagai alternatif dari kegagalan sistem sekuler yang telah memporak-porandakan
nilai dan moralitas. Menurut Qardhawi tegasnya, Islam mempunyai seperangkat
9
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UIPRESS, 1993), h.1.
10
Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler,”artikel diakses tanggal 1
Desember 2008 dari http://islamlib.com/id/index.php?page=artikel&id=148.html//
nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan dan
berkeadaban. Al-Qur’an dan Sunnah rujukan utamanya.11
2. Paradigma Islam Substantif
Paradigma ini menolak pendapat bahwa antara agama dan negara itu
disatukan, tetapi juga menolak adanya pemisahan secara total atau agama dan
negara tidak dapat disatukan, paradigma ini terdiri dari kelompok yang mencoba
mengetengahkan atau bisa dikatakan juga dengan kelompok yang mengambil jalan
tengah, kelompok yang berada ditengah-tengah antara yang setuju dan tidak setuju
dengan penyatuan agama dan negara.
Sebagaimana Munawir Sjadzali mengatakan bahwa kelompok ini menolak
secara tegas bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam
terdapat sistem kenegaraan, tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam
adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia
dengan Maha Penciptanya. Kelompok ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak
terdapat sistem kenegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara.12
Ada yang mengatakan juga bahwa kelompok ini adalah kelompok modernis,
kelompok yang memandang bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (termasuk
pemerintahan dan negara) hanya pada tatanan nilai dan dasar-dasarnya saja dan
secara teknis umat Islam bisa mengambil sistem lain yang dirasakan bernilai dan
bermanfaat.13
11
Misrawi, Dalam Redaksi Islam Liberal, “Negara Syariat atau Negara Sekuler,
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2.
13
Edward Bot, “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15
Desember 2008, h. 30.
12
Mereka
berpendapat
bahwa
Islam
mengatur
masalah
keduniaan
(kemasyarakatan) hanya secara dasar-dasarnya saja, adapun secara teknis bisa
mengadopsi sistem lain, yang dalam hal ini sistem “Barat” yang memperlihatkan
kelebihannya. Paradigma ini biasanya di dukung oleh kaum modernis.
Kalau kita lihat dari dua paradigma sebelumnya, paradigma ini mencoba
menyelaraskan agama dan politik (negara) tanpa harus memformulasikan ataupun
memisahkan keduanya. Bagi mereka yang penting adalah substansinya. Paradigma
ini juga bisa disebut dengan paradigma Islam substantif.
Adapaun tokoh yang berada dalam paradigma ini antara lain, Muhammad
Abduh, Muhammad Husain Haikal, Adapun dalam konteks Indonesia ada,
Muhammad Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan sebagainya.
Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak terdapat format hubungan
agama dengan masalah kenegaraan dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah
doktrin politik. Meskipun demikian secara substansial keduanya sulit dipisahkan.
Paradigma ini lebih menekankan nilai substansinya dari pada formal dan legalnya.
Karena wataknya yang substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan,
persamaan, musyawarah dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsipprinsip Islam), kecenderungan ini mempunyai potensi untuk berperan sebagai
pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern,
dimana negara bangsa merupakan salah satu unsur utamanya.
Refleksi kelompok ini dalam bidang politik, pada dasarnya adalah
melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang
menekankan manifestasi substansial dan nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.14
14
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 155.
Negara tidak perlu menelusup masuk kedalam hubungan antara manusia dan
tuhannya. Dengan kata lain negara tidak berhak mengintervensi kehidupan
beragama seseorang. Tugas pemerintah dalam hal ini adalah sebagai penjaga
perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan serta kenyamanan
warganya. Dengan kata lain negara hanya mengurus sesuatu yang berkaitan dengan
kemaslahatan politik saja bukan ikut campur dalam masalah privat, yang terpenting
dalam kelompok ini adalah menciptakan format kehidupan demokratis yang
berkeadaban (civility) dan format kewargaan yang inklusif (inclusive citizenship)
tanpa menelikung ajaran-ajaran normatif suatu agama hanya puas menerapkan halhal simbolik, tetapi hal-hal substansial yang menjadi inti agama tidak terwujud.
Dalam hal ini yang diinginkan oleh paradigma ini adalah jangan
mementingkan formalnya saja tetapi substansinya. Kemudian kelompok ini
menginginkan bagaimana antara ulama dan pemerintah (agama dan negara) bisa
saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurusi masalah moral rakyatnya,
kemudian pemerintah mengurusi masalah kesejahteraan, ketentraman dan
perdamaian rakyat bisa tercapai.
Agama dan negara harus bisa berjalan bersamaan bahkan harus saling
mendukung tanpa harus diformalisasikan dan di pisahkan, yang terpenting
bagaimana nilai-nilai Islam dapat diimplelemtasikan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
3. Paradigma Islam Sekularistik
Sekularisme adalah sebuah ideologi atau paham yang intinya adalah agama
merupakan masalah pribadi dan masalah subjektif, setiap individu yang hanya
bermanfaat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kejiwaan. Disamping itu paham
hidup ini memandang agama hanya berhubungan dengan masalah privat, dalam arti
masalah-masalah pribadi. Oleh karena itu, urusan kemasyarakatan, seperti politik,
ekonomi, kebudayaan, pengembangan ilmu dan teknologi modern, dalam
pandangan sekularisme tidak dapat dan tidak perlu dikaitkan dengan agama.15
Sekularisme telah banyak digunakan dalam berbagi cara dalam sejumlah
perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme diartikan sebagai
kebijakan memisahkan gereja dari negara. Di negara-negara Katolik, menekankan
pembedaan antara orang awam dari kaum pendeta. Istilah tersebut menunjuk pada
dua aspek yang sama, dan digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah
dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan gereja dan negara.
Kata secular, seculer, seculare berarti temporal, sementara, tak abadi.
Sekularisme adalah gerakan dalam masyarakat yang mencoba memisahkan urusan
luar dunia dari dunia ini.16
Terminologi Islam dan sekularisme sering menjadi perdebatan yang tidak
akan pernah usai, banyak kalangan intelektual Islam merujuk kepada sekularisme
untuk mengartikan dan menjawab persoalan tentang agama (Islam) dengan negara,
dan banyak pula yang secara tegas menolak konsep sekularisme dengan alasan
ideologi tersebut berasal dari Barat dan berbahaya bagi Islam itu sendiri. Para
sejarawan mendefinisikan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai
hal yang mengindikasikan ”penempatan” agama dalam masyarakat.17
Islam dan pengalaman Islam secara historis sangat berbeda dengan Kristen
dan Barat. Kristen Romawai dan Protestan sama-sama mengakui, meskipun dengan
15
Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan,
1998), h. 75.
16
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 179.
17
Sommerville, The Secularazation of Early Modern England, (New York: Oxford, 1992),
h. 8.
interpretasi yang berbeda, pembedaan antara gereja dan negara serta wilayah
kekuasaan mereka berbeda. Islam tidak mengakui ini, para teolog Islam
membedakan antara urusan agama dan negara dalam kaitannya dengan upaya untuk
mencapai keselamatan di akhirat dan hal yang hanya berkenaan dengan kehidupan
pribadi di dunia ini. Meskipun demikian Islam tidak pernah mendefinisikan
persoalan keagamaan dan politik sebagai dua institusi yang berbeda. Islam juga
tidak mempunyai institusi kependetaan yang dapat dipisahkan dari institusi politik.
Islam tidak mengalami reformasi analog seperti reformasi Protestan di dunia
Kristen Barat. Gerakan reformasi Islam, sebelum kedatangan pengaruh Barat,
bertujuan memurnikan Islam dari bid’ah dengan jalan memperkuat otoritas Islam
atas masyarakat serta memastikan kepatuhan total terhadap hukum-hukum, hal ini
berbeda dengan tujuan Protestan yang bermaksud memurnikan agama dengan
memisahkan dari negara.
Sekularisme sering kali dikaitkan dengan era pencerahan di Eropa dan
memainkan peranan utama dalam peradaban Barat. Prinsip utama pemisahan gereja
dan negara di Amerika Serikat dan Fasisme di Prancis, didasarkan dari sekularisme.
Kelompok sekuler percaya bahwa Islam dan politik harus dipisahkan dan tidak
mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam adalah sistem keagamaan,
tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik atau pemerintahan, pola
pemisahan agama dan negara ini menolak eksistensi ”negara agama” juga kaitan
dengan hukum keagamaan
Di dunia Islam, sekularisasi bukan hanya sebuah proses, tapi juga telah
menjadi paradigma ideologi dan dogma yang diyakini kebenarannya dan dianggap
secara sistematis dan terencana. Sekularisasi dianggap prasyarat transformasi
masyarakat tradisional menjadi modern, pendukung arus sekular menyuguhkan
analisis yang penuh optimis atas nilai-nilai Barat, dan mengukuhkannya sebagai
konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan peluang kepada warisan politik
Islam untuk berkembang atau berevolusi.18
Ada dua macam sekularisme, yaitu, sekularisme objektif dan sekularisme
subjektif. Sekularisme objektif terjadi bila secara struktural atau institusional
terdapat pemisahan antara agama dan lembaga-lembaga lain. Sedangkan
sekularisme subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipatahkan
dalam agama, ada pemisahan antara pengalaman hidup dengan pengalaman
keagamaan. Sekularisme objektif dalam politik diwujudkan dalam pemisahan antara
agama dan negara.19
Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan
antara agama (Islam) dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi
keterkaitan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum
keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil
dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi
hak-hak kalangan beragama minoritas.
Secara umum sekularisme dipahami sebagai upaya untuk memisahkan
agama dari urusan-urusan dunia. Dan telah jadi anggapan umum bahwa hasil utama
sekularisme dalam konteks Kristen Barat adalah pemisahan gereja dan negara. Dan
dalam konteks Islam sekularisme juga dianggap sebagai prasyarat bagi keberhasilan
demokratisasi masyarakat termasuk dalam masyarakat muslim.
Sekularisme sebetulnya adalah istilah netral untuk menunjuk kepada konsep
tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertamakali di perkenalkan oleh
18
Ahmad Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syahab (Jakarta:
Citra, 2006), h. 1.
19
Peter L. Berger, The Secred Canopy: Element of Social Theory of Religion (New York,
Doubleday and Company Inc, 1969), h. 179.
George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah
gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas keagamaan
dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme masing-masing agama dan negara
memiliki otoritasnya sendiri-sendiri, negara mengurusi politik sedangkan agama
mengurusi gereja.
Sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat, kaum sekular
menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara keduanya, bagi mereka Islam
dan politik merupakan dua hal yang sangat berbeda. Mendirikan negara bukanlah
suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh
agama. Karena itu, menempatkan agama disatu pihak dan politik (negara) dipihak
lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan Islam dan negara.
Sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan totalitas antara agama
dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan antara
pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum
sipil dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar negara. Hal ini
dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama
minoritas.
Dalam pengalaman sejarah Eropa, proses sekularisme hidup perdampingan
dengan intersifikasi keagamaan pada tingkat personal dan rakyat, sekularisme
sering kali selalu dikaitkan dengan pengalaman sejarah bangsa Eropa dan
memainkan peranan penting dalam peradaban Barat.
Peristiwa yang menghebohkan dan mengejutkan di dunia Islam adalah
bagaimana ketika itu Mustafa Kemal Attaturk memberlakukan sekularisme di Turki
pada tahun 1924, yang kita tahu bahwa Turki yang sebelumnya menjadi pusat
khilafah Islamiyah yang salah satu tokoh intelektualitas Muslim Ali Abd Ar-Raziq
menerbitkan bukunya yang berjudul al-Islam wa ushul al-hukmi (Islam dan dasardasar pemerintahan) pada tahun 1925 yang berisi penolakan secara tegas tentang
doktrin yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus Allah kedunia dengan
membawa misi ganda (double mission), dunia dan akhirat.20 Dalam artian Nabi
Muhammad hanya membawa risalah kenabian an sich tanpa ada sangkut pautnya
dengan kehidupan temporal (negara). Peristiwa sekularisme juga terjadi di negaranegara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, baik oleh adanya intervensi Barat
secara langsung maupun tidak langsung.
Yang membuat kasus Turki menjadi penting adalah kompleksitas persoalan
yang menjadi latar belakang peristiwa sekularisme. Sebagai negara yang makin
demokratis dan ingin menjunjung kebebasan (liberalisme) berserikat, Turki
memberi saluran dan mengakomodasi berbagai aliran politik, agar maistream
politik yang demokratis itu semakin diterima dan mengakar. Yang terjadi adalah,
politik Islam itu sangat menguat serta berpotensi mengubah sistem politik Turki
yang demokratis dan sekuler itu sendiri.
Bagi pembela demokrasi, kasus Turki mengangkat kembali dilema sistem
demokrasi,
yaitu
bagaimana sebenarnya mengakomodasi berbagai politik
kepentingan dan aliran masyarakat, namun tetap menjaga agar politik kepentingan
dan aliran itu tidak cukup kuat untuk menggoyahkan sistem demokrasi.
Sebagaimana kita mengetahui bahwa Turki dihidupi oleh dua peradaban
besar di dunia yang terus menerus tumbuh dan berinteraksi, yakni peradaban Barat
dan Peradaban Islam. Kemal Attaturk adalah peletak kebudayaan Barat yang
terpenting di Turki modern, ia mengubah politik Islam di Turki yang mewarisi dari
Ottoman Empire menjadi politik nasional demokrasi seperti di Barat dengan
20
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), h. 136.
berbagai kebijakan yang radikal.21 Di tingkat eksekutif dan legislatif, Attaturk
menghapuskan kesultanan dan kekhalifahan Islam di tahun 1924, menghapuskan
kementrian, pengadilan dan berbagai gelar keagamaan, mengadopsi sistem hukum
sekuler Swiss tahun 1926 dan mendeklarasikan Turki sebagai negara republik yang
sekuler dalam amandemen konstitusi tahun 1937.
Lebih jauh dari itu, Turki juga merubah pendidikan nasional yang bercorak
keagamaan menjadi pendidikan model Barat sejak tahun 1926, huruf resmi
berbahasa Arab juga diubah menjadi bahasa Latin di tahun 1928. bahasa resmi
Nasional Turki di bersihkan dari pengaruh Persia dan Arab dan menjaga perifikasi
bahasa ini dengan mendirikan Turkish Linguistic Society, tahun 1932. bahkan
panggilan solat diganti dari bahasa Arab menjadi bahasa Turki. Emansipasi wanita
digalakkan dengan mengaktifkan mereka di dunia politik.22 Namun bagaimanapun
juga peradaban Islam lebih lama mengakar, kecenderungan Islamisasi terus hidup
dengan menggunakan atribut modern dan juga dihasilkan oleh pendidikan Barat
yang modern juga.
Sebagaimana Turki, kemudian datang Iran yang ketika itu Dinasti Pahlevi
(1925-1979) merupakan periode sekuler, ketika upaya-upaya untuk memaksakan
tatanan modernisasi negara pada akhirnya menyulut perlawanan masa yang
dipelopori dan dimotori oleh tokoh-tokoh agama syiah yang otoritasnya belum
pernah secara penuh ditumpas.
21
Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik (Jakarta: Putra Berdikari Bangsa,
2000), h. 4.\
22
Denny JA, dkk, Negara Sekuler, h. 4.
Sekularisme sebagai suatu yang impor dari asing dihubungkan dengan
pengaruh Amerika yang berlangsung secara gradual terhadap Iran dan terhadap
penguasa kedua Pahalevi, Muhammad Reza Syah.23
Kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa sekularisme di negara
Muslim yang ketika itu banyak yang menentang dengan perlawanan. Kalau dalam
konteks Indonesia, salah satu proklamator kita Soekarno, ia adalah salah seorang
Muslim yang mendukung pemisahan antara agama dan negara, ketika itu banyak
orang yang menganggap sebagai sekularis. Soekarno mengungkapkan bahwa agama
(Islam) harus dipisahkan oleh negara, karena Indonesia dari sudut pandangan
populasi bukanlah negara yang dihuni oleh 100 persen Muslim. Dengan kenyataan
itu tentu kalau Islam dijadikan dasar negara akan terjadi diskriminasi terhadap
pemeluk agama yang lain.
Menurut Soekarno, agama merupakan masalah spiritual dan pribadi
sedangkan
kehidupan
bernegara
adalah
masalah
dunia
temporal
dan
kemasyarakatan. Bertolak dari asumsi ini Soekarno menilai bahwa aplikasi ajaran
agama hanyalah tanggung jawab pribadi setiap Muslim dan sama sekali bukan
masalah yang harus diurus oleh negara dan pemerintah.24
Cak Nur berpendapat bahwa negara Islam itu tidak terdapat dalam AlQur’an dan konsep negara Islam tidak ada dalam sejarah Islam serta sebuah bentuk
apologis umat Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia
Islam selama beabad-abad.25
23
Jhon. L Espositto, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 1999), h.
134.
24
Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi
Nasionalis Sekuler (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 59
25
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), h.
13.
Menurut An-Naim pemisahan antara agama dan negara tidak berarti bahwa
Islam menurunkan ketingkat privat karena prinsip-prinsip Islam, sebetulnya masih
bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang-undang
negara. Namun, pengajuan ini harus didukung oleh public reason yang berarti
bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus
merujuk pada keyakinan agama.26
Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu kewajiban
agama, dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut kewajiban
mendirikan negara. Namun tidak pula mewajibkan untuk mengabaikannya,
melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum Muslim.
Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari
politik (negara) karena bagi mereka Islam hanya terbatas pada moral dan pribadi.
Paradigma ini selalu memisahkan Islam (agama) dengan urusan pemerintahan,
karena mereka berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniaan
termasuk pemerintahan dan negara.27 tokoh yang terkenal yang menyuarakan secara
lantang adalah Ali Abd Ar-Raziq, Thaha Husain, Abdullahi Ahmed An-Naim serta
Soekarno dalam konteks Indonesia. Mereka semua menentang penyatuan antara
agama (Islam) dan negara.
Dari ketiga paradigma tersebut, JIL dalam hal ini berada pada paradigma
Islam sekularistik, karena menurutnya entitas kenegaraan dan keagamaan harus
dipisahkan, mereka memberi gagasan tentang sekularisme sebagai sesuatu yang
harus dijalankan dalam negara atau pemerintah.
26
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan
Syariah, Penerjemah Sri Murniati (Jakarta: Mizan, 2007), h. 78.
27
Edward Bot, . “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15
Desember 2008, h. 30.
B. Islam dan pluralisme
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan zaman
pencerahan (enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang
disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern, yaitu masa
yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang
berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari
kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di
Eropa yang timbul sebagai konsikuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi
antara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja, munculah suatu fahan yang dikenal
dengan ”Liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi dan
keragaman (pluralism).
Islam sendiri sebagai agama yang universal sangat menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan, persamaan hak, kebebasan (liberalism) dan mengakui adanya
agama yang plural. Pluralisme agama menurut Islam adalah hukum atau aturan
tuhan (law of God) yang tidak akan berubah, tidak akan dilawan dan diingkari.
Ungkapan ini bagi sebagian orang menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai
pluralisme, karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak
penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan agama masing-masing.
Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya paham ”pluralisme
agama”, penyebaran paham ini di Indonesia sangat meluas. Istilah pluralisme
agama atau pengakuan seorang sebagai pluralis dalam konteks teologi, bisa
ditelusuri pada catatan harian Ahmad Wahib salah satu penulis gerakan Islam
liberal di Indonesia, disamping M. Dawam Raharjo dan Djohan Effendi.
Ketika akhir tahun 1960-an, paham ini tentu saja sangat aneh, meskipun ideide persamaan agama tidak pernah berhenti dilontarkan, tetapi hampir tidak ada
kalangan tokoh agama atau akademisi Muslim yang melontarkan pahan semacam
ini.
Gagasan penyamaan agama, oleh sebagian kalangan kemudian di
populerkan dengan istilah Pluralisme Agama yang dikembangkan sampai ke level
operasional kehidupan sosial. Seperti penghalalan perkawinan antar agama dan
sebagainnya. Gagasan ini juga secara tidak terlalu tepat distandarkan pada ide
Trancendent Unity of Religion yang secara sistematis dikembangkan oleh Frieth
Ohof Schoon. Dengan gagasan ”pluralisme agama” itu, maka tidak boleh ada ”truth
claim”, bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan gagasan ini, maka
masing-masing agama tidak dibolehkan mengklaim memiliki kebenaran mutlak,
karena masing-masing mempunyai metode, jalan atau bentuk untuk mencapai
tuhan.
Ide Trancendent Unity of Religion sendiri berpendapat, bahwa semua agama
adalah sama, esensinya adalah sama, sebab agama itu didasarkan kepada sumber
yang sama. Bentuknya bisa berbeda, karena manifestasi yang berbeda ketika
menanggapi yang mutlak.
Diskursus tentang istilah Islam dan pluralisme merupakan tema penting
yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan Muslim pada dekade
1980-an. Pentingnya tema ini nampaknya tidak bisa dipisahkan dari kondisi objektif
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai tingkat kemajemukan tinggi
secara fisik (negara kepulauan) maupun dari segi sosial budaya (social culture).
Secara fisik kepulauan Indonesia terdiri tidak kurang dari ± 15.000 pulau besar
kecil dihuni maupun tidak dihuni. Selain itu Indonesia terdiri dari beberapa suku,
bahasa, adat-istiadat serta agama yang juga menunjukkan heterogenitas sosial
budaya, sekalipun Islam agama terbesar di Indonesia, namun ia mengenal
perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang berbeda antara daerah yang
satu dengan daerah yang lain.28
Nurcholish sangat menyadarai bahwa masyarakat Indonesia sangat
pluralistik, baik dari segi etis, adat-istiadat maupun agama. Dari segi agama, selain
Islam realitas menunjukkan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama
besar dapat berkembang subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Itulah
sebabnya masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting.
Namun demikian ia tetap optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini,
Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan, seperti dinyatakan
dalam urainnya sebagai berikut:
”Kenyataan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam
disebut sebagai dukungan karena Islam adalah agama yang pengalamannya
dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme adalah unik dalam sejarah
agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih nampak jelas dan
nyata pada berbagai masyarakat dunia, dimana agama Islam merupakan
anutan mayoritas agama-agama lain, tidak mengalami kesulitan berarti, tapi
sebaliknya dimana mayoritas bukan Islam dan kaum Muslim menjadi
minoritas, mereka ini selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil, kecuali di
negara-negara demokratis Barat. Disana umat Islam sejauh ini masih
memperoleh kelebihan beragama yang menjadi hak mereka”.29
Fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan apresiasi
terhadap pluralisme, sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula
mencerminkan tekad demi berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Intinya adalah Indonesia mempunyai
pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragaman aliran
politik dan keagamaan, sejak zaman pra kemerdekaan hingga setidaknya ia melihat
ideologi negara pancasilalah yang sudah memberi kerangka dasar bagi masyarakat
Indonesia dalam masalah pluralisme keagamaan.
28
29
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), h. iv.
Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. xvviii.
Masalah dasar pluraslime yang dikembangkan Cak Nur sering menuai
kontroversi dari kalangan intelektual Muslim lainnya, bahkan MUI sekalipun. Cak
Nur menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan memperoleh manfaat yang sangat
besar dalam usaha transformasi sosial menuju demokrasi, keterbukaan demi
keadilan itu, jika pluralisme dapat ditanamkan dan dijalankan oleh setiap Muslim
yang merupakan agama mayoritas bangsa Indonesia, oleh karena itu ia dengan tegas
menyatakan bahwa tidak ada jalan lagi bagi umat Muslim khususnya Indonesia
untuk menjalankan pluralisme untuk membuat negeri, bangsa ini maju, makmur,
kuat dan modern sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia.
Pluralisme, sebagimana halnya seluruh fenomena dan mazhab pemikiran,
memiliki sifat pertengahan (moderat/adil), keseimbangan juga mempunyai sisi yang
ekstrim, baik yang melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Sisi pertengahan
(keadilan) serta keseimbangannyalah yang dapat memelihara hubungan antara
kemajemukan perbedaan dan pluralitas serta faktor kesamaan, pengikat dan
kesatuan. Sementara itu, dis-integrasi dan kacau balau ditimbulkan oleh “sikap
ekstrem memusuhi menyempal”, yang tidak mengakui dan tidak memiliki faktor
pemersatu, juga oleh sikap “penyeragaman” (yang mengingkari kekhasan dan
perbedaan), yaitu, sikap ekstrem represif dan otoriter “yang menafihkan perbedaan
masing-masing pihak dan keunikannya.30 Islam sendiri hanya mengakui
“ketunggalan” (yang tidak mempunyai sisi parsial dan bentuk yang plural).
Muhammad Fathi Osman mengatakan bahwa pluralisme adalah bentuk
kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat
tertentu atau dunia secara keseluruhan, makannya menurutnya lebih dari sekedar
toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan
30
Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan Dalam Bingkai
persatuan . Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattanie (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 10.
perasaan pribadi, sementara koeksistensi semata-mata penerimaan terhadap pihak
lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme menuntut untuk
melakukan kerjasama, memahami agama lain demi kebaikan bersama, setiap
manusia wajib memiliki hak dan kesempatan untuk menikmatinya, setiap manusia
memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan
kepentingan.31
Ini menandakan bahwa pluralisme sangat memegang teguh prinsip-prinsip
keagamaan sesuai dengan agama masing-masing, memiliki rasa toleransi
keagamaan baik individu maupun golongan, membiarkan setiap manusia
menggunakan dan menikmati hak-haknya tersebut.
Pluralisme mempunyai arti bahwa kelompok-kelompok kecil (minoritas
society) dapat berperan serta secara penuh, dan setara dengan kelompok-kelompok
besar (majoritas society) dalam lingkup masyarakat yang majemuk, sembari
mempertahankan ideologi dan identitas serta perbedaan yang khas. Pluralisme
hampir layaknya sebuah agama dilindungi oleh negara dan hukum, pada awalnya
pluralisme hanya mengacu kepada masalah-masalah tertentu antara lain, perbedaan
agama dan suku, tetapi lebih lanjut pluralisme mengasumsi berbagai macam
keyakinan, kelembagaan dan komunitas yang seyogyanya muncul berbarengan dan
menikmati pengakuan dan perlakuan yang sama.
Kelompok mayoritas dalam hal ini adalah Islam, seperti pemeluk agama lain
yang menjadi mayoritas di sebuah negara, harus hidup dengan kalangan minoritas
(Muslim harus bisa hidup dengan kalangan minoritas) dalam suatu negeri tertentu.
Penduduk Muslim dari suatu negeri dapat memiliki perbedaan-perbedaan kesukuan
31
Muhammad Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan (Pandangan AlQur’an, Kemanusiaan Sejarah dan Peradaban. Penerjemah Irfan Abu Bakar (Jakarta: Paramadina,
2006), h. 2-3.
dan doktrinal dalam diri mereka sendiri ataupun dengan kaum Muslim lain
diseluruh dunia.
Non-Muslim yang berada dalam negara yang berpenduduk Muslim
mayoritas harus dilakukan oleh kaum Muslim dan pemerintah setempat dengan baik
dan adil, martabat dan hak-hak mereka harus dijamin meskipun harus dilindungi
oleh hukum Islam dan pemerintahan. Begitupun juga dengan non-Muslim yang
merupakan penduduk tidak tetap dalam negara Islam juga berhak terhadap martabat
diri dan keamanan yang dilindungi oleh hukum Islam sekalipun, kemudian nonMuslim dapat memperoleh pekerjaan di negara mayoritas Muslim sekalipun
menjabat sebagai menteri (wazir).32
C. Hak Asasi Manusia
Selain pluralisme yang merupakan isu global ada juga isu-isu lain yang
penting diketahui dan banyak dibahas oleh kalangan intelektual diantaranya adalah.
Pertama, Environment, lingkungan merupakan masalah yang perlu dibahas oleh
negara, kemudian masalah ini menjadi masalah yang serius bagi semua negara demi
menjaga kepentingan alam (nature). Kedua, Free Trede, hal ini merupakan hak
manusia tanpa harus ikut campur negara dan dibahas oleh kekuasaan negara, negara
hanya boleh mengatur undang-undang perdagangan bebas. Ketiga, Public Health
Service, isu flu babi merupakan suatu bentuk penyakit yang mengganggu kesehatan
masyarakat dan merupakan perhatian seluruh dunia internasional sembari mencari
permasalahannya disamping banyak pula penyakit-penyakit yang menggaggu
kesehatan manusia. Keempat, Emansipasi Wanita, pada dasawarsa ini muncul tren
wanita boleh mengimami laki-laki, pemberontakan kaum wanita dalam mencari
32
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sultaniyah (Kairo: Maktabat Musthafa Al-Babi- Al-Halabi,.
1973), h. 27.
kehidupan dunia, yang memunculkan pendapat bahwa wanita sama dengan laki-laki
dan tidak boleh ditempatkan sebagai subordinasi kaum laki-laki. Kelima, Human
Right, ini merupakan isu global yang terakhir yang harus diperjuangkan oleh
bangsa-bangsa dan harus dilindungi oleh negara, sehingga negara tidak berhak
menghapus demi kepentingan kekuasaan.
Semua manusia dilahirkan bebas (live for liberty) dan sama dalam martabat
dan hak-hak asasi, dan bahwa setiap manusia berhak terhadap semua hak dan
kebebasan yang telah disebutkan itu, tanpa perbedaan dalam bentuk apapun juga,
seperti ras, warna kulit, jenis kelamin lebih jauh lagi tentang agama dan
kepercayaan.33 Hak asasi manusia adalah suatu karunia yang diberikan Tuhan
kepada umat manusia begitu ia dilahirkan, jadi sudah merupakan hukum kodrat.34
Masalah HAM merupakan masalah yang sangat penting secara politik dan
dipandang dari segi ideologi, adat istiadat dan terutama sekali kemajuan warga
negara. Masalah ini merupakan suatu masalah yang tidak hanya memberikan
inspirasi kepada para politik, organisasi-organisasi keagamaan, tetapi juga manusia
secara pribadi dalam melaksanakan kebebasan.35 Lebih jauh Peter R. Baehr
mengatakan bahwa semua negara menghormati hak asasi manusia dan kebebasan,
termasuk kebebasan berfikir, berpendapat, beragama atau berkeyakinan, bagi semua
orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa bahkan agama sekalipun.36
Pengertian hak dalam berbagai bahasa dan menurut bangsa-bangsa
barangkali tidak akan sama disebabkan oleh perbedaan budaya, tradisi dan sistem
nilai yang berlaku dalam masyarakat, namun substansi hak yang merupakan
33
Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia. Penerjemah A. Rahman Zainuddin (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 33.
34
Davies, Hak-hak Asasi Manusia, h. viii
35
Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah. Penerujemah A. Rahman
Zainuddin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. xxiii.
36
Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri. Penerjemah Somadi
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 46.
kebenaran yang diperjuangkan oleh setiap orang maupun kelompok masyarakat
pasti tidak akan banyak berbeda dan memiliki kesamaan yang sangat besar.
Perbedaan faham tentang hak tentu dilatar belakangi oleh cara pandang mereka
terhadap kebenaran.
Secara bahasa, hak asasi manusia dalam bahasa Inggris disebut Human
Right dan dalam bahasa Arab disebut Huququl Insan. Right dalam bahasa Inggris
berarti: hak, kebenaran, kanan,37 sedangkan hak dalam bahasa Arab berarti: lawan
kebatilan, keadilan, bagian serta nasib.
Secara terminologi yang disebut dengan hak menurut Shalahuddin Hamid
adalah kebenaran yang diperjuangkan kewenangannya dan menjadi milik individu
dan kelompok sesuai dengan cara pandang terhadap kebenaran baik berupa materi
maupun non materi.38
Hak asasi manusia yang sering disebut orang Indonesia dengan HAM
menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusi.
Selama ini HAM masuk kedalam sistem internasional yang dibakukan dengan
Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948. pembahasan tentang
HAM akan berpengaruh besar terhadap perubahan struktur nilai universal yang
sudah ditetapkan dalam sistem internsioanal. Pembahasan ini penting untuk
dituangkan dalam wacana akademis maupun wacana dialogis antara bangsa dengan
alasan bahwa sejauh ini HAM dikembangkan dan dikendalikan oleh PBB yang
belum mengakomodasi nilai-nilai bangsa-bangsa secara sempurna. Deklarasi
tersebut masih kental dengan peradaban dan kebudayaan Eropa dan Amerika yang
punya perbedaan yang sangat signifikan dengan budaya-budaya dan kepercayaan di
negara-negara lain, seperti negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga.
37
Jhon M. Echols dan Hasan Shadili, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996).
Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Amisco,
2000), h. 11.
38
Banyak sebagian kalangan intelektual Muslim mengklaim bahwa Islam
sebagai agama terbesar di dunia dan di Indonesia mengatur segala aspek kehidupan
manusia, begitu juga dengan permaslahan HAM. Harmonisasi antara tradisi Islam
(Islamic trade) dengan konsep HAM (Human Right Concepth) adalah sesuatu yang
niscaya, sehingga hukum Islam pra modern yang menghambat kemungkinan itu
haruslah ditafsir ulang.39
Dalam Islam, konsep HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri
dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya
yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam, karena dalam sistem
demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang spesial.
Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu.40
fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan
HAM.
Keagungan ajaran Islam sebagaimana banyak kalangan intelektual Muslim
tercermin dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perbuatan
manusia yang berhubungan dengan Allah, manusia maupun alam semesta tidak
satupun lepas dari aspek ibadah, hal tersebut memahamkan agar manusia tidak
sewenang-wenang, berbuat tidak adil, berbuat zalim terhadap sesama manusia dan
tidak memperdulikan kepentingan umum, yang semua ini bahwa Islam
menganjurkan yang baik dan mencegah yang buruk, melalui HAM Islam sangat
toleran dan membela terhadap kezaliman.
Konsep HAM antara pandangan Barat dan pandangan Islam cukup berbeda.
Barat memandang realitas keagamaan dalam pandangan filsafat, sosiologis,
39
Budhy Munawar Rahman “ HAM dan Persoalan Relativisme Budaya” dalam Komaruddin
Hiadayat dan Ahamd Gaus AF, (ed), Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 47.
40
Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta: Republika,
2004), h. 91.
psikologis dan antropologis. Pendekatan Barat terhadap HAM terpola melalui
pendekatan kepentingan manusia secara individu maupun kolektif, dengan
pendekatan ini pemikiran Barat mengakui hak-hak individu dan kolektif serta
kewajiban-kewajiban kolektif sementara kewajiban-kewajiban individu tidak
diakui.41 Kemudian dalam pembahasannya Barat dipengaruhi oleh filsafat Yunani
dan filsafat Yahudi-Kristen, namun tidak dapat disimpulkan bahwa faham Barat
adalah faham Yahudi-Kristen, sebab nilai immateri yang ada dalam agama-agama
tersebut belum tentu menjadi standar, mungkin lebih tepat dikatakan faham Barat
mengarah kepada sekularisme yang mementingkan realitas atau nilai materi.
Hak asasi manusia dalam Islam bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi
sepenuhnya, karena itu dalam hubungannya ini ada dua prinsip, yakni prinsip
pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan manusia, hal ini terbukti
dengan adanya jaminan Islam terhadap HAM melalui berbagi cara, terdapat tiga hal
yang membuktikan keterkaitan Islam dengan HAM.42 Pertama, dalam Al-Qur’an
tidak terdapat paksaan bagi manusia untuk memeluk agama yang mereka yakini
bahkan Islam tidak memaksa manusia supaya masuk kedalam agama Islam. Kedua,
model masyarakat (model society) yang dikembangkan Rasul di Madinah melalui
piagam Madinah merupakan deklarasi HAM pertama di dunia. Dalam piagam
tersebut setiap masyarakat Madinah dibolehkan dan menganut agama masingmasing dan tidak mengganggu orang lain dalam melaksanakan ibadah, karena itu
banyak sarjana memandang bahwa piagam Madinah ini merupakan teks sebagai
pengakuan hak asasi manusia, walaupun kemudian teks ini dilanggar oleh
kelompok non-Muslim, namun harus diakui bahwa sumbangsih Islam terhadap
41
Muhammad Immarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat. Penerjemah Mushsalah
Maufir (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 128.
42
Kamaruzzaman, Wajah Baru Islam di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 105.
cetak biru (blue print) HAM di muka bumi, sebab teks HAM di Barat mulai dikenal
pada abad ke-13 dengan munculnya magna charta (1215). Ketiga, dalam Islam
dikenal lima prinsip hak asasi manusia yang sering kali dijumpai dalam kitab-kitab
fiqih yakni, hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup, hak perlindungan
keyakinan, hak perlindungan terhadap hak milik serta hak berkeluarga atau hak
memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.43 Lima prinsip ini yang
selalu menjadi pegangan dalam pengkajian hukum Islam.
D. Formalisasi Syariat Islam
Dalam agama syariat merupakan ruh, syariat memainkan peranan penting
dalam kehidupan beragama, syariat merupakan sesuatu yang terdapat pada agama
yang harus dijalankan, ia merupakan jalan, cara serta metode yang digunakan oleh
agama tertentu untuk merealisasikan tujuan dan inti agama yang dimaksud, sesuai
dengan tempat agama itu dilahirkan dan disebarkan.
Secara etimologi, syariat berarti peraturan atau ketetapan yang Allah
perintahkan kepada hamba-hambanya.44
Seperti, puasa, salat, haji, zakat dan
seluruh kebajikan. Kata syariat berasal dari kata syara’a al-syai’a yang berarti
menerangkan atau menjelaskan sesuatu.45
Sejumlah kamus bahasa menyebutkan bahwa syari’ah atau syir’ah dalam
arti dasarnya adalah sumber air atau jalan kemata air.46 Syariat adalah jalan luas
yang harus dilalui oleh orang-orang beriman. Dalam Islam jalan yang dimaksud
43
Masdar F. Mas’udi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin Nadj dan
Naning Mardiniah, (ed), Diseminasi Hak Asasi Manusia, 2000, h. 66-67.
44
Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam: Kekuasaan Aturan Illahi Untuk Manusia.
Penerjemah Ade Nurdin dan Risman (Bandung: Mizan, 2003), h. 13.
45
Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, h. 13.
46
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiyai Pesantren
(Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 2.
adalah jalan yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, baik yang disampaikan
dalam bentuk wahyu yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Syariat Islam dalam pengertian terminologinya masih menjadi perdebatan di
kalangan ulama dan intelektual. Sebagian besar ulama Islam merumuskan syariat
Islam sebagai aturan-aturan atau hukum-hukum tuhan yang tertuang dalam AlQur’an dan Sunnah. Aturan-aturan tersebut meliputi kompleksitas dan totalitas
kebutuhan manusia baik secara vertikal individual, yakni hubungan individu
manusia dengan sang khalik maupun hubungan horizontal kolektif, yakni hubungan
antara manusia dengan manusia yang lain, bahkan juga dengan kehidupan alam
sekitarnya.
Perjuangan penerapan syariat Islam bukanlah hal baru, gagasan ini sangat
meramaikan perjalanan sejarah (traveling history) bangsa Indonesia. Para tokoh
intelektual yang duduk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) sempat berdebat keras dengan tokoh Islam nasionalis
sekuler dan kalangan Kristian, mereka semua memperdebatkan dengan apa yang
dinamakan dengan Piagam Jakarta. Sebagai hukum final negara.
Perdebatan seputar masalah piagam Jakarta yang mengandung tujuh kata
yang diperdebatkan yaitu, ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya,” Dalam sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, wakil Kristen
dari Indonesia Timur, Latuharhary, menggugat kesepakatan soal tujuh kata tersebut,
yang telah dicapai dalam sidang sebelumnya, menurutnya kalimat tersebut dapat
membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap Istiadat. Ia menyarankan untuk
mencari alternatif lain yang tidak banyak membawa akibat yang bisa mengacaukan
rakyat Indonesia.
Soekarno yang merupakan ketua tim kecil (panitia sembilan) menolak
keberatan Latuharhary, menurutnya barangkali tidak perlu diulangi bahwa
preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan antara
golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam.
Jadi, manakala kalimat ini tidak dimasukkan, ia yakin bahwa pihak Islam tidak bisa
menerima preambule ini.47 Kemudian Soekarno menegaskan kembali bahwa ”saya
kira sudah nyata kalimat dengan didasarkan ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah diterima oleh
panitia”.48
Dalam risalah sidang BPUPKI disebutkan, pada rapat tanggal 13 Juli 1945,
Wahid Hasyim ayah dari Abdurrahman Wahid mengusulkan agar syariat yang
dikatakan presiden Soekarno ditambah dengan, ”Yang beragama Islam”. Juga pasal
29 ditambahkan, ”Agama negara adalah agama Islam,” bahkan pada rapat tanggal
14 Juli 1945, tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan agar kata
”bagi pemeluknya” dicoret. Jadi bunyinya hanya ”ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam”, tetapi usul tersebut ditolak.
Perdebatan mengenai hal ini berlanjut di meja konstituante, mereka yang
berada dalam kelompok Islam memperjuangkan kembali Piagam Jakarta, bahkan
menurut Prof. Kesman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo sampai meninggal
dalam penantian akan kembalinya Piagan Jakarta, dalam biografinya juga dikatakan
bahwa Piagam Jakarta sebenarnya merupakan ”Gentlemelis Agreement” dari
bangsa ini.
Dalam konteks kekinian, Partai Keadilan (PK) yang bermetamorfosis
menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia dan FIS di Aljazair, adalah
47
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal (Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan
Jawabannya (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 138-139.
48
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal, h. 138-139.
sebagian contoh partai-partai yang mendukung agenda penerapan syariat Islam
dalam pemerintahan di sejumlah negara Muslim lain seperti, Pakistan, Yordania,
Mesir, Maroko, Iran dan Kuwait. Kelompok-kelompok Islamis, mereka ikut
bersaing di pentas politik nasional, masing-masing dengan menggunakan prosedur
pemilihan umum.
Namun demikian, Arab Saudi salah satu negara yang secara konsisten
memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sosial-politik melalui jalur
ototarianisme bukan dibangun lewat prosedur non-demokrasi sejak kepemimpinan
Muhammad Al-Saud dan Muhammad bin Abd Al-Wahhab, menyepakati suatu
kontrak politik yang melahirkan kerajaan kaya minyak itu, sampai sekarang syariat
Islam masih tetap berjalan.
Kemudian Afghanistan dibawah kekuasaan pemerintahan Taliban sebelum
dirobohkan oleh koalisi Amerika Serikat dan sekutunya, juga menjadi contoh yang
baik betapa ototarianisme menjadi jalan tol bagi pelaksanaan syariat Islam yang
efektif.
Semua ini adalah peristiwa yang terjadi di Indonesia dan di negara-negara
Muslim lainnya. Syariat Islam akan terus menerus menjadi sesuatu yang pasti akan
diperdebatkan sepanjang masa.
Syariat Islam pasti memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan
politik masyarakat Islam, karena dapat berperan dan akan menerus memainkan
peran yang penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan
nilai-nilai etika yang dapat direpleksikan dalam perundang-undangan yang
demokratis. Namun An-Naim berpendapat bahwa prinsip atau aturan syariat tidak
dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum (law)
dan kebijakan public (public spehere) dengan alasan bahwa prinsip-prinsip dan
aturan-aturan ini merupakan bagian dari syariat.49 Apabila pemberlakuan syariat
Islam itu diusahakan maka hal ini merupakan kehendak politik negara dan bukan
hukum Islam. Bahwa adanya klaim elit penguasa yang kadang melegitimasi
kekuasaan negara atas nama syariat tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau
mengkin dilaksanakan. Mengingat bahwa prinsip-prinsip syariat ditinjau dari watak
dan fungsinya memang menolak setiap kemungkinan penerapan syariat oleh negara.
Maka klaim untuk melakukan hal itu bertentangan dengan logika, sekalipun
berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi pertentangan itu. Dengan kata lain,
masalahanya bukan sekedar karena kurangnya pengalaman sehingga dapat
ditingkatkan disana-sini, tapi karena tujuan yang ingin dicapai memang mustahil
untuk diraih. Namun pernyataan ini tidak berarti bahwa Islam harus dikeluarkan
dari perumusan kebijkan publik dan perundang-undangan atau dari kehidupan
publik pada umumnya. Sebaliknya negara tidak perlu berusaha menerapkan syariat
secara formal agar umat Islam benar-benar dapat menjalankan keyakian Islamnya
secara sungguh-sungguh, sebagai bagian dari kewajiban beragama bukan karena
paksaan negara.50
Umat Islam dimanapun berada, apakah itu sebagai mayoritas ataupun
minoritas, dituntut untuk menjalankan syariat Islam sebagai bagian dari kewajiban
agamanya. Tuntutan ini akan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya manakala
negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan (netral for doktrin
religion) dan tidak berusaha menerapkan prinsip syariat Islam sebagai kebijakan
dan undang-undang negara, artinya masyarakat tidak dapat benar-benar
menjalankan agama sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya tentang Islam,
apabila orang yang menggunakan kekuasaan negara memaksakan pemahaman
49
Abdullahi Ahmed An-Naim, The Future of Syari’a in The Muslim World, Tanpa Tahun
Terbit dan Penerbit, h. 7.
50
An-Naim, The Future of Syari’a in The Muslim World, h. 7.
mereka tentang syariat Islam kepada masyarakat secara keseluruhan, baik Muslim
ataupun non-Muslim, tapi ini tidak berarti bahwa negara dapat atau harus
sepenuhnya bersikap netral karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan warga negara.
An-Naim mengatakan bahwa syariat Islam hanya bisa dijalankan dengan
suka rela oleh penganutnya, sedangkan prinsip-prinsip syariat Islam akan
kehilangan otoritas dan nilai-nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara.
Dimana diperlukan sekularisme, yakni pemisahan antara Islam dan negara secara
kelembagaan sangat diperlukan agar syariat Islam bisa berperan positif dan
mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam.51
Pemikir liberal kelahiran Mesir, Said Al-Asymawi turut berbicra dalam
permasalahan ini, ia mengatakan bahwa syariat Islam hanyalah metode, jalan atau
cara yang digunakan oleh agama tertentu untuk merealisasikan tujuan dan inti
agama yang dimaksud, sesuai dengan tempat agama itu dilahirkan dan disebarkan,
menurutnya tidak satupun agama yang bertujuan menjerumuskan pemeluknya
kedalam jurang kenistaan, tapi sebaliknya, agama mengarahkan pemeluknya ke
dunia yang lebih utama dengan tetap tidak mencerabut jiwa dari eksistensi dirinya
dan dunia yang melingkupnya. Dengan demikian, syariat Islam merupakan jalan
untuk mengantarkan umat ke arah perubahan yang lebih baik, utama dan maju.52
Syariat tidak lain hanyalah wadah yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Syariat Islam menghendaki hukum dan keputusan yang benar
jika hukum itu diletakkan dihadapan manusia, sebagai sebuah metode dan jalan
menuju kemajuan dan kemuliaan. Syariat bukan seperangkat aturan dan kaidah,
syariat juga bukan fiqih yang selama ini diyakini umat Islam. Hukum-hukum
51
52
An-Naim, The Future of Syari’a in The Muslim World, h. 3.
Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. v.
syariat mengikuti perkembangan realitas sosial, dan selalu melangkah dalam
perkembangan tersebut. Oleh karena itu, ia menjelaskan tentang dasar-dasar syariat
dan membatasi objeknya dengan realitas sosial dalam membahas prinsip dasar
syariat harus menjadi tujuan utama ketika hendak menerapkan syariat Islam. Jika
tidak, maka ia hanya menjadi sekedar pembahasan teoritis dan penyelidikan logis
yang bertentangan dengan syariat agama dan inti Islam itu sendiri.
Oleh karena itu, menurutnya dalam Islam tidak jarang menemukan orangorang salah paham dalam memaknai syariat, bisa jadi apa yang selama ini mereka
anggap syariat bukanlah syariat itu sendiri. Sebaliknya, apa yang selama ini tidak
bisa anggap syariat, justru merupakan inti syariat. Oleh karena itu, menangkap arti
hakiki syariat dalam konteks keberagamaan menjadi hal yang niscaya.53
53
Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, h. vi.
BAB III
SEPUTAR JARINGAN ISLAM LIBERAL
Perkembangan awal ideologi liberal erat kaitannya dengan perkembangan
pemikiran-pemikiran yang lahir pada masa pencerahan dan revolusi Perancis pada
tahun 1789.1 Istilah liberalisme adalah sebuah ideologi yang diterapkan pada
individu dan masyarakat yang mana setiap individu dapat mengejar dan
mewujudkan tujuan mereka. Prinsip liberal fundamental mengakui keunggulan
kebebasan sebagai nilai acuan politik, itu menegaskan bahwa kemerdekaan adalah
dasar semuanya. Sedikit pembatasan terhadap kebebasan bisa dibenarkan,
masalahnya, siapakah yang bisa dibenarkan untuk melakukan pembatasan itu.
Karena itu otoritas politik dan hukum bisa dibenarkan sepanjang dimaksudkan
untuk membatasi kebebasan warga negara. Kemerdekaan dimaksudkan untuk
kemajuan diri seperti seorang individu yang benar menentukan prilakunya sendiri.
Kebebasan (liberty) adalah kemerdekaan dalam konteks sosial dan kebebasan
individual dalam relasinya pada ranah sosial politik. Konsep kebebasan individual
adalah inti dari ideologi liberal.
Liberalisme yang dahulu berkembang di Eropa rupanya tidak dapat
dibendung. Cepat atau lambat gerakan ini telah merasuk keseluruh penjuru dunia.
Platfomnya adalah untuk membebaskan individu dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, semakin menjanjikan kehidupan manusia yang lebih selera. Liberalisme
yang mulanya berada ditatanan politik-ekonomi kini juga telah menginspirasi para
agamawan dan rohaniawan untuk menafsir ulang teks-teks agama, termasuk
kalangan Islam di Indonesia.
1
Carlton Clymer Roddee, (ed), Pengantar Ilmu Politik, Penerjemah Zulkifly Hamid
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 132.
Lebih lanjut Leonard Binder mengatakan bahwa liberalisme adalah satu
faham yang berkembang di Eropa yang menjelaskan beberapa prinsip, yakni.
Pertama, prinsip kebebasan individu. Kedua, prinsip kontrak sosial. Ketiga, prinsip
masyarakat pasaran bebas. Keempat, prinsip meyakini wujudnya pluralitas sosialkultural dan politik masyarakat.2
Doktrin liberal berpangkal dari keyakinan bahwa kesepakatan demi
kebaikan bersama bagi kelompok bersejarah manapun bisa dicapai menggunkan
wacana rasional. Doktrin liberal mengasumsikan adanya komunitas politik
heterogen, keanggotaan yang tidak tetap dan peduli terhadap penetapan kebaikan
bersama bagi bermacam kelompok yang memiliki kepentingan dan jati diri masingmasing. Penentuan kebaikan bersama untuk sebuah komunitas yang anggotanya
tidak banyak memiliki perbedaan mendasar adalah persoalan lain. Disamping itu,
jika komunitas politik diyakini bersifat lintas sejarah, maka doktrin liberal akan
menjadi semakin problematik.3
Konsep liberal menurut Charles Kurzman, memang terdengar seperti sebuah
kontradiksi dan perselisihan, Kurzman mencontohkan beberapa pandangan Barat
terhadap Islam melalui unsur-unsur yang eksotik, misalnya, Islam disamakan
dengan fanatisme (sebagaimana disebut dalam karya Voltaire: kekuasaan politik
Islam disamakan dengan kezhaliman). Montesquieu menyebut dalam farsenya
dengan kezaliman Timur.4
Konteks Islam liberal tegasnya lagi harus dilihat sebagai sebuah alat bantu
analisis, bukan katagori yang mutlak. Disinilah Kuzman mendefinisikan liberal
dengan pengertian yang agak longgar, yakni kelompok yang bersikap oposan
2
Leonard Binder, Islam liberal, Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), h. 3-6.
3
Binder, Islam liberal, h. 3-6.
4
Charles Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-isu Global, Terjemah Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001), h.xii.
terhadap revivalis Islam. Sementara Islam dipahami dengan mereka yang
mempercayai bahwa Islam memiliki peranan penting dalam dunia kontemporer,
sebagi lawan dari kaum sekularis.5
Banyak orang berspekulasi tentang Islam liberal, menamakan istilah Islam
liberal dengan semaunya. Islam liberal seringkali mengandung konotasi negatif
dimana ia diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas,
kemunafikan yang mendewakan kebenaran dan permusuhan kepada Islam.6
Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang mengenai liberal dalam
Islam, liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan
dengan sikap primitif, ibbabiyah, sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas
yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai
ancaman terhadap keberagaman yang sudah terlembaga.7
Sebuah buku yang sangat penting yang diterbitkan oleh Paramadina dan
Pustaka Antara dengan judul: Gagasan Islam Liberal di Indonesia penulis buku ini,
Greg Barton, meneliti khusus empat pemikir Neomodernisme di Indonesia bahkan
ada yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh tersebut peletak dari Islam liberal
Indonesia, diantaranya adalah Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib
dan Abdurrahman Wahid, periode 1968-1980.
Istilah Islam liberal dapat digunakan lebih jauh, yaitu interpretasi Islam yang
paralel dengan prinsip modernitas dan demokrasi, kata ”interpretasi” sangat
ditekankan disini, karena Islam pun dalam kenyataannya dapat dan telah di
interpretasi oleh kelompok lain yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.8 Istilah
5
Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal, h. xii.
Adian Husaini dan Nu’im Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan
Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),h. 2.
7
Abdul Moqsith Gazali, Ijtihad Islam Liberal (Jakarta: JIL, 2004), h.xvi.
8
Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik (Jakarta: Putra Bedikari Bangsa, 2000),
h.118.
6
Islam liberal pertama kali oleh Asaf Ali Asghar Fyzee, inti utama dari pemikiran
Islam liberal, menurut hasil penelitian Leonard Binder adalah, mesti Al-Qur’an itu
bahasa wahyu namun demikian makna dan esensi wahyu bukanlah hal yang bersifat
verbal, sehingga untuk mendapatkan makna wahyu tidak terbatas pada kata-kata
yang terungkap dalam Al-Qur’an dan untuk memahaminya melalui kata-kata, tetapi
penafsirannya dapat melampauinya, sehingga menemukan arti sebenarnya.9
Menurut Greg Barton Islam liberal adalah paham yang membuka wawasan
ijtihad dan kebebasan berfikir dalam Islam.10 Pengertian Islam liberal sebagaimana
yang dipakai Charles Kurzman dan Greg Barton tidaklah mesti mengacu kepada
istilah yang pernah disebut Leonard Binder sebelumnya. Islamic liberalism,
liberalisme Islam seperti yang diangkat pakar politik ini merupakan sebuah tema
yang menampilkan dialog yang terbuka antara dunia Islam dan Barat, antara
pemikiran Islam Arab dan Barat. Dalam konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan
cuma upaya menarik akar-akar trend ”Liberalisme Islam” sampai ke dunia Barat,
tetapi lebih dari itu adalah adanya proses take and give yang saling mengisi dalam
menangani persoalan-persoalan dialektika hubungan antara problem kemodernan,
transformasi sosial dan tradisi lokal.11
Menurut Kurzman, pada umumnya membicarakan Islam liberal berarti
membandingkan dengan liberalisme Barat yang intinya pada daya kritisnya,
meskipun terdapat perbedaan diantara keduannya, karena liberal Islam masih
berpijak pada Al-Qur’an dan Hadis serta Sejarah Islam.12
9
Rudy Suharto, Islam dan Tantangan Modernitas: Kajian Metode Ijtihad Islam Liberal
(Jakarta: Jurnal Al-Huds, 2002), h. 37.
10
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia (Jakarta: Pustaka Antara Paramadina,
1999), h. 21.
11
Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia, h. 21.
12
Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal, h. xxxiii
Lebih jauh Kurzman mengatakan bahwa Islam liberal dapat terbagi menjadi
tiga tipologi, yaitu. Bentuk liberal sharia, silent sharia dan interpreted sharia.
Tipologi pertama melihat Al-Qur’an dan praktik umat Islam awal sebagai sumber
ajaran yang memiliki posisi liberal. Dengan demikian, sumber ajaran itu akan
mengalami kontekstualisasi yang tidak pernah diam. Pendapat yang kedua
mengatakan bahwa syariat tidak membicarakan semua permaslahan. Ada sebuah
persoalan tertentu yang tidak disentuhnya. Kenyataan ini bisa karena wahyu tidak
lengkap namun karena hal itu diserahkan kepada usaha penemuan manusia yang
dapat dan keliru. Kerena itu pluralitas merupakan kemestian.13
A. Latar Belakang Berdirinya Jaringan Islam Liberal
Islam liberal menurut Charles Kurzman muncul sekitar abad ke-18 ketika
kerajaan Turki Utsmaniyah Dinasti Shafawi dan dinasti Mughal (India) berada
diambang keruntuhan. Pada saat itu tampilah para ulama untuk mengadakan
gerakan pemurnian, yaitu, kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Faham liberal banyak berkembang di penjuru dunia, mulai dari India sampai
dengan Indonesia, faham liberal di India diawali dengan seorang tokoh keagamaan
yang bernama Syah Waliullah pada tahun 1703-1762, menurutnya Islam harus
mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan keperluan penduduknya. Ide
liberalisme juga mewarnai kahidupan Timur Tengah, Eropa dan sebaginya, para
liberalis mencoba memasukan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum
pendidikan Islam.14
Di Mesir munculah Qasim Amin (1865-1908) ia adalah pemikir pembaharu
dan peletak emansipasi wanita, penulis buku Tahrir Al-Mar’ah (Emansipasi
13
Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal, h. xxxiii
Luthfi Assyaukanie “Sejarah Liberalisasi Islam,” Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009
dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
14
Wanita), yang mencoba mengangkat citra kaum perempuan ke level yang lebih
tinggi dan sederajat dengan kaum laki-laki. Kemudian muncul Ali Abdul Ar-Raziq
(1888-1966), yang gencar menentang sistem khilafah, karena menurutnya Islam
tidak memiliki dimensi politik, karenanya Muhammad hanyalah pemimpin agama
bukan negarawan.
Di teruskan di Pakistan, seorang pemikir yang menetap di Amerika dan
menjadi pengarah di Universitas Chicago. Pemikir tersebut bernama Fazrul
Rahman, Rahman lahir pada tahun 1914, ia mempelopori tafsir konstektual, satusatunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Dia mengatakan Al-Qur’an
itu mengandung dua aspek, yaitu peraturan spesifik dan idea moral dan dituju oleh
Al-Qur’an adalah idea moralnya.15
Keterangan di atas hanya sedikit keterangan tentang munculnya Islam
liberal, disamping itu banyak pula yang terdapat di negara-negara lain, yang
mencoba mengangkat permaslahan Islam itu sendiri dengan bersandingan dengan
faham liberalisme.
Di Indonesia, istilah Islam liberal telah menunjukkan popularitasnya sejak
1970-an, hampir bersamaan dengan menguatnya posisi Islam revivalis.16 Wacana
Islam liberal mulai populer dan berkembang sejak 1970-an dengan tokoh utama
seperti Nurcholish Madjid, meski Nurcholish Madjid sendiri tidak pernah
menggunakan istilah Islam liberal untuk gagasan dan pemikirannya.17 Cak Nur
telah memulai gagasan sejak 1970-an. Pada saat itu dia telah menyuarakan
pluralisme agama dengan mengatakan: ”Rasanya toleransi agama hanya akan
timbul diatas dasar faham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini
15
Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 18.
Kurzman, Wacana Islam Liberal h. xvviii.
17
Adian Husaini dan Nu’im Hidayat, Islam Liberal, h.2.
16
dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal yang mengarah
kepada setiap manusia yang kiranya merupakan inti setiap agama.18
Salah satu aktivis JIL, Novriantoni mengatakan bahwa, keberadaan JIL
untuk menindaklanjuti proyek pembaharuan Islam yang sudah ada. Novi juga tidak
menampik keberadaan sosok Cak Nur yang turut menginspirasi JIL. Menurutnya,
ketika zaman Cak Nur perspektif tentang Islam itu inklusif, kini JIL agak sedikit
melangkah kedepan, sedikit lebih kritis. Selain Cak Nur, beberapa tokoh yang turut
menginspirasi JIL adalah Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali maupun Harun
Nasution.
Setelah Cak Nur meluncurkan gagasannya apada era 1970-an, kini giliran
generasi yang lebih muda seperti, Ulil Abshar Abdalla, Lutfhi Assaukanie dan
Ahmad Sahal melakukan langkah-langkah yang sistematis dan terorganisir dalam
mengusung gagasannya. Kelompok ini menamakan dirinya dengan ”Jaringan Islam
Liberal yang biasa disebut dengan JIL”. Jaringan Islam Liberal yang mereka singkat
dengan JIL ini mulai menancapkan dirinya pada bulan Maret 2001, kegiatan awal
dilakukan melalui forum diskusi dunia maya (milis) yang tergabung dalam
[email protected], selain menyebarkan gagasan-gagasannya lewat
website dengan alamatnya www.islamlib.com.19
Islam dan liberal adalah dua istilah yang mempunyai makna yang berbeda,
adapun dua istilah ini adalah sesuatu yang antagonis, yaitu saling bertentangan dan
berlawanan. Islam liberal menggambarkan prinsip yang mereka anut, yaitu yang
menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang
menindas. Liberal disini bermakna dua yakni, kebebasan dan pembebasan, mereka
18
Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), h.
19
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002),
239.
h. 185.
percaya bahwa Islam selalu dilekati dengan kata sifat tersebut, sebab pada
kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan
penafsirannya, mereka memilih satu jenis tafsir dan dengan demikian satu kata sifat
terhadap Islam, yaitu ”liberal” untuk mewujudkan Islam liberal, mereka membentuk
Jaringan Islam Liberal (JIL).
Gagasan Jaringan Islam Liberal, dibicarakan pertama kali di Utan Kayu,
tahun 2001, pada waktu itu beberapa intelektual muda antara lain, Ulil Abshar
Abdalla, Lutfhi Assyaukanie, Gunawan Muhammad dan lain-lain, berkumpul untuk
membentuk Jaringan Islam Liberal.
JIL yang merupakan forum intelektual terbuka dan menyebarkan faham
liberalisme Islam Indonesia ini awalnya sebatas komunitas diskusi beberapa
intelektual muda muslim di ISAI (Insitut Studi Arus Informasi), namun kemudian
berkembang menjadi forum diskusi via internet.
Jaringan Islam Liberal (JIL) terbentuk pada tanggal 9 Maret 2001. Tanggal
tersebut merujuk pada awal diluncurkannya milis [email protected]
yang awalnya beranggotakan puluhan aktivis-intelektual muda dari berbagai
kelompok Muslim moderat. Sejak awal, JIL di desain sebagai forum bersama kaum
Muslim moderat untuk menyaringkan aspirasi dan opini mereka tentang persoalanpersoalan sosial-keagamaan dalam perspektif demokrasi dan pluralisme. Disebut
menyaringkan, karena suara Muslim moderat yang diyakini sebagai mayoritas
secara statistik di Indonesia, selama ini cenderung “diam” (silent majority).
Sementara kalangan hardliners, meskipun minoritas tapi vokal (vocal minority).
Pengelolaan JIL dikomandani oleh beberapa pemikir muda, antara lain, Ulil
Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Luthfi Assyaukanie (Dosen Paramadina Mulya)
dan Ahmad Sahal (Jurnal Kalam). Markas JIL yang berpusat di Jl. Utan Kayu No.
68H Jakarta Timur, markas tersebut sering diramaikan dengan diskusi atau
kongkow-kongkow para aktivis muda dari berbagai kalangan.
Jaringan Islam Liberal dengan slogan menuju Islam yang membebaskan,
bertujuan untuk memperkokoh landasan demokratisasi melalui penanaman nilainilai
pluralisme,
inklusivisme
dan
humanisme,
membangun
kehidupan
keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan terhadap perbedaan,
mendukung gagasan penyebaran pemahaman keagamaan (terutama Islam) yang
pluralis, terbuka dan humanis, mencegah agar gagasan yang militan dan pro
kekerasan menguasai publik.
JIL adalah sebuah fenomena menarik di Indonesia, karena dianggap
mendobrak kemapanan dan kejumudan berfikir. Hal ini bisa dimengerti karena ratarata aktivis JIL memiliki latar belakang Islam tradisional, yang berorientasi masalah
ubudiyah dan tradisi yang dogmatis, yang praktis harus diikuti tanpa diskusi,
padahal aturan-aturan itu sering tidak relevan dengan pembebasan umat Islam dari
kemiskinan, kebodohan ataupun penindasan.20
Disamping aktif dalam berkampanye lewat internet dan radio, sejumlah
aktivis Islam liberal juga menerbitkan jurnal Tashwirul Afkar, yang dikomadani
oleh Ulil, jurnal yang terbit empat bulan sekali ini resmi dibawahi oleh Lakpesdam
NU (Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM) bekerja sama dengan The Asia
Fundation.
Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan
beberapa landasan diantarannya adalah:21 Pertama, membuka pintu ijtihad pada
semua dimensi Islam, mereka percaya bahwa ijtihad adalah prinsip utama untuk
20
Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www. islamlib.com/id/halaman/tentang-
21
Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www. islamlib.com/id/halaman/tentang-
jil/html
jil/html
menafsirkan segala sesuatu. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau
keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam
akan mengalami pembusukan. Islam liberal percaya bahwa ijtihad bisa
diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyat
(ritual) dan ilahiyyat (teologi).
Kedua, mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks,
mereka tidak menafsirkan sesuatu tanpa lewat sumber hukum Islam yakni, AlQur’an dan Hadis, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal
sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam.
Ketiga, mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, mereka
mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan)
sebagai suatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang
mungkin dapat memperoleh kebenaran dan kemungkinan kesalahan.
Keempat, memihak pada yang minoritas dan tertindas, mereka berpijak pada
penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan
dipinggirkan.
Setiap
struktur
sosial-politik
yang
memperlakukan
praktik
ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam.
Minoritas disini mencakup minoritas agama, etik, ras, jender, budaya, politik dan
ekonomi.
Kelima, kebebasan beragama, mereka menyakini bahwa urusan beragama
dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi.
Mereka tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat
atau kepercayaan.
Keenam, memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan
politik, mereka yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan.
Mereka menentang negara agama (teokrasi). Mereka yakin bentuk negara yang
sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua
wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi
kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala
bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat dan urusan publik harus
diselenggarakan melalui proses konsensus.
B. Visi, Misi dan Tujuan Berdirinya Jaringan Islam Liberal
Layaknya sebuah organisasi keagamaan atau non keagamaan pasti
mempunyai visi, misi serta tujuan mengapa organisasi tersebut berdiri. Salah satu
pembahasan skripsi ini mengenai visi, misi serta tujuan berdirinya JIL. Kita
mengetahui bahwa JIL adalah sebuah jaringan yang tidak akan bisa dipahami hanya
dengan pendekatan wacana pemikiran keagamaan an sich, yang steril dan vakum
dari berbagai pertimbangan lain. Sebab eksistensi JIL sebenarnya tidak lepas dari
konteks-konteks ideologi, politik, sosiologis dan historis yang melingkupnya. Untuk
itu dirasa perlu penulis menyampaikan visi, misi serta tujuan Jaringan Islam
Liberal.
Visi JIL dirumuskan dalam
memperkokoh
landasan
demokrasi
beberapa hal,
melalui
diantaranya.
penanaman
nilai
Pertama,
pluralisme,
inklusivisme dan humanisme. Kedua, membangun kehidupan keagamaan yang
berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan.22
Adapun misi JIL sebagaimana termaktub dalam websitenya sebagai
berikut:23 Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yaang liberal sesuai dengan
prinsip-prinsip yang mereka anut serta menyebarkannya kepada seluas mungkin
22
Luthfi Assyaukanie “Asal usul, visi misi, agenda serta tujuan Islam liberal,” Artikel
diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
23
Assyaukanie “Asal usul, visi misi, agenda serta tujuan Islam liberal.
masyarakat. Kedua, mengusahakan terbentuknya ruang dialog yang bebas dari
tekanan konservatisme, mereka menyakini bahwa, terbentuknya ruang dialog akan
memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga, mengupayakan
terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Sedangkan tujuan dari JIL adalah menyebarkan gagasan-gagasan Islam
liberal seluas-luasnya kepada masyarakat, baik yang diterima atau tidak diterima
oleh khayalak masyarakat Indonesia khususnya, maupun mancanegara umumnya.
Adapun tujuan khususnya adalah:24.
Pertama, menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan
yang pluralis dan demokratis serta berperspektif gender di kampus-kampus, mediamassa cetak maupun elektronik dengan tujuan yang lebih spesifik, yakni, memberi
pandangan alternatif bagi umat tentang isu-isu sosial keagamaan, sehingga tidak
dimonopoli oleh satu penafsiran yang anti-demokrasi dan anti-pluralisme serta
misoginis. Mengajak publik untuk berpikir kritis, argumentatif, berpikir kontekstual
dan tidak terjebak pada nilai-nilai yang dogmatis.
Kedua, membentuk intellectual community yang bersifat organik dan
responsif serta berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan
yang
suportif terhadap
pemantapan
konsolidasi demokrasi di Indonesia
Memperbanyak jaringan kampus untuk bersama-sama memperjuangkan wacana
Islam dan demokrasi.
Ketiga, menggulirkan intellectual networking yang secara aktif melibatkan
jaringan kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, akademisi
dan civitas academica di perguruan tinggi, dan lain-lain untuk menolak fasisme atas
nama agama. Mengaktifkan jaringan-jaringan kampus, mengajak LSM, media
24
Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal: Pewaris Pemikiran
Islam di Indonesia (Jakarta: Litbang. Dep. Agama, 2005), h. 7.
masa, intelektual dan para akademisi untuk bersama-sama memperjuangkan isu
kebebasan sipil, sosial-keagamaan sebagai prioritas pemantapan demokraasi.
Mengingat kompleksitas permasalahan dan luasnya cakupan, adalah sebuah
keniscayaan bagi JIL untuk membangun networking dan kemitraan strategis dengan
media massa, LSM, akademisi, dan tidak menutup kemungkinan dengan parlemen
dan pemerintah. Namun, JIL sendiri harus realistik untuk menetapkan area of
concern pada wilayah publik, meski tidak menutup pintu untuk menjalin aliansi
strategis dengan LSM-LSM yang sudah bergerak pada level parlemen dan
pemerintahan.
C. Perkembangan dan Kegiatan Pokok Jaringan Islam Liberal
Perkembangan JIL untuk saat ini masih melalui forum diskusi dalam
kampus, UIN adalah salah satu kampus yang sering kedatangan aktivis JIL untuk
mengadakan diskusi mengenai keagamaan dan politik nasional dan internasional,
tapi keberadaan aktivis JIL yang menempuh studi di luar negeri adalah salah satu
penghambat bagi JIL itu sendiri diantaranya adalah, Ulil Abshar Abdalla yang studi
di AS, Nong Darul Mahmada yang studi di Australia, Lutfhi Assyaukanie yang
studi di Singapura, Anick yang studi di India serta Burhanuddin yang belum lama
ini sudah kembali ke Tanah Air setelah studi di Australia dan Ahmad Wahib yang
studi di Amerika Serikat.
Ditambah lagi dengan melemahnya dukungan dana dari Asia Fundation
yang merupakan penyokong dana terbesar bagi JIL, lembaga tersebut sekarang
tidak lagi memberikan sumbangan. JIL sendiri tidak menjelaskan berapa dana yang
diberikan oleh The Asia Foundation. Mungkin ini adalah salah satu penghambat
bagi perkembangan JIL itu sendiri untuk memperluas kader-kader atau menambah
aktivis-aktivis JIL yang lain.
Sementara kegiatan yang sampai saat ini berkembang dan terus-menerus
disampaikan oleh JIL adalah sebagai berikut:25
Pertama, sindikasi penulis Islam liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan
tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal atau belum dikenal oleh publik
luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme.
Kedua, mengadakan talk-show di Kantor Berita Radio 68H. talk-show ini
akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar
pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosialkeagamaan di Tanah Air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu dan
disiarkan melalui jaringan Radio namlapanha di 40 Radio, antara lain: Radio
namlapanha Jakarta, Radio Smart Manado, Radio DMS Maluku, Radio Unisi
Yogyakarta, Radio PTPN Solo, Radio Mara Bandung dan Radio Prima Aceh.
Ketiga, penerbitan buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang
bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan
tulisan maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tematema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara
dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL.
Keempat, mereka menerbitkan buku setebal 50-100 halaman, buku tersebut
membahas masalah isu yang menjadi perdebatan dalam masyarakat antara lain
antara lain, jihad, penerapan syariat Islam liberalisme, sekularisme, HAM, jilbab
dan lain-lain.
25
Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September
2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam.
Kelima, website Islamlib.com. Program ini berawal dari dibukanya milis
Islam liberal ([email protected]) yang mendapat respon positif..
Keenam, iklan layanan masyarakat. mereka membuat iklan layanan
masyarakat (public service advertisment), dengan tema seputar, pluralisme,
penghargaan atas perbedaan dan pencegahan konflik sosial.
Ketujuh, diskusi keagamaan. Mereka bekerjasama dengan pihak luar
(Universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren dan pihak-pihak lain), JIL
menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keagamaan
dan keislaman secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling
yang diadakan melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok mahasiswa di
sejumlah Universitas, seperti Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Islam
Negeri (UIN), Universitas Diponegoro Semarang, Insitut Pertanian Bogor, dan lainlain.
Lebih lanjut Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin mengatakan bahwa
ada beberapa agenda dan kegiatan yang selama ini sudah berjalan antara lain:26
Pada
2001, mereka menggunakan beberapa medium untuk mensosialisasikan
tafsir-tafsir yang suportif terhadap isu-isu kebebasan sipil itu, yakni. Pertama,
mailing list [email protected] yang hingga saat ini telah tercatat
sekitar ratusan anggota. Kedua Jaringan radio, yang awalnya hanya berangotakan
10 radio yang secara reguler menyiarkan rubrik “Agama dan Toleransi”. Ketiga,
sindikasi koran daerah melalui jaringan Jawa Pos di seluruh Indonesia yang hingga
saat ini masih melampirkan satu halaman penuh tiap minggu buat rubrik yang
mereka
kelola.
26
Keempat,
memproduksi
dan
mengelola
Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal,h. 1-3.
website
http://www.islamlib.com. Kelima, mengadakan diskusi keislaman di Teater Utan
Kayu secara rutin pada setiap bulannya.
Adapun agenda kerja pada 2002, mereka berusaha memperluas wilayah
jangkauan media, baik radio, sindikasi media maupun iklan layanan masyarakat di
TV-TV. Jadi empat medium sosialisasi pada 2001 keberadaan JIL di atas tetap
dilanjutkan dengan fokus dan sasaran lebih luas, sehingga gagasan-gagasan JIL
tidak bersifat elitis dan bisa diterima lebih luas di lapisan masyarakat.
Pada 2002 ini juga, jaringan radio yang dimiliki JIL sekitar 50 radio di
seluruh Indonesia yang merelai talkshow mingguan tentang isu-isu terkait dengan
para narasumber yang kredibel. Selain itu, mereka berusaha meng-up date secara
reguler tampilan dan contents website http://www.islamlib.com.
Pada tahun kedua ini pula, mereka mulai menerbitkan artikel, wawancara,
diskusi dan milis ke dalam penerbitan buku (“Wajah Liberal islam Indonesia”). JIL
juga menerbitkan booklet dari naskah-naskah berkualitas, baik dari intelektual tanah
air seperti Prof. Dr. Nasaruddin Umar lewat buku “Qur’an untuk Perempuan” atau
terjemahan buku karya Muhammad Said al-Asymawi tentang hijab. Di 2002 ini JIL
sudah mulai merambah dunia kampus, dengan mengadakan diskusi-diskusi secara
langsung di kampus-kampus umum. Pelaksanaan diskusi di kampus sekuler
merupakan masukan dari peserta workshop jaringan JIL di kampus-kampus yang
merasa gerah dengan fenomena revivalisme keagamaan yang cenderung literal dan
fundamentalistik. Melaksanakan workshop bagi para penulis dan kontributor JIL
juga digelar pada 2002 ini. Tak terkecuali penayangan iklan layanan masyarakat di
stasiun-stasiun televisi. Sudah dua tema yang mereka tayangkan, yakni tema
keberagaman intra-Islam dan pluralisme beragama. Salah satu iklan layanan
masyarakat tersebut (iklan Islam Warna-warni) menjadi kontroversi dan sekaligus
menjadi bahan baku penulisan skripsi, tesis dan disertasi dari aspek semiotik
sebagaimana yang sudah tercantum dalam agenda di atas.
Pada 2003 JIL, mereka tetap melanjutkan kegiatan-kegiatan reguler di atas.
Ada beberapa tambahan agenda kegiatan seperti menggelar workshop bersama
Abdullah Ahmed An-Naim dan Nasr Hamid Abu Zayd. Yang pertama bahkan telah
dibukukan sebagai kompilasi dari hasil workshop yang menggairahkan. Pada 2003
ini, JIL melakukan pembenahan dan perluasan agenda kerja sebagai berikut:
Pertama, untuk sindikasi media berhasil dikembangkan tidak hanya dengan
memanfaatkan jaringan Jawa Pos, tapi juga dengan jaringan Kompas, Media
Indonesia, Pikiran Rakyat dan Suara Merdeka. Hanya saja, perluasan sindikasi
tersebut tidak sampai pada tahap pemuatan secara reguler.
Kedua, untuk program radio, berhasil diadakan survei pendengar untuk
acara talk show “Agama dan Toleransi” yang sesuai dengan hasil yang didapat yang
kemudian dimuat oleh majalah Time, terdapat lima juta pendengar acara talkshow.
Ketiga, untuk jaringan kampus yang awalnya hanya dikonsentrasikan di
kampus-kampus di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Ciputat dan Bandung, pada
2003 ini berhasil diluaskan ke seluruh kampus di Jawa.
Keempat, JIL juga mulai meluaskan kapling garapan dengan menyentuh isuisu kebebasan politik (political rights). mereka menyadari bahwa isu-isu kebebasan
sipil tak mungkin terselenggara dengan baik di tengah iklim politik otokrasi. Hal
inilah yang menjadi raison d’etre keterlibatan dalam Jaringan Pendidikan Pemilih
untuk Rakyat (JPPR)-The Asia Foundation.
Adapun keterlibatan JIL dalam pendidikan pemilih (voters education)
melalui JPPR diaplikasikan dalam dua kegiatan utama, yakni, pembuatan dan
penayangan iklan melalui televisi. JIL menggarap tiga iklan dengan tema besar,
antara lain: Menolak politisasi agama, toleransi politik, pilihan politik atas dasar
program dan platform. JIL juga telah merilis program sindikasi penyadaran hak-hak
politik melalui di Jawa Pos dan Media Indonesia. Di kedua media besar di tanah air
ini, sindikasi pemilu yang digalang JIL mempublikasikan artikel-artikel yang
mencerahkan dua artikel setiap minggunya.
Dalam tulisan yang berjudul ”Empat Agenda Islam Yang Membebaskan”,
Lutfhi Assyaukanie salah seorang pelopor JIL yang juga Dosen di Universitas
Paramadina memperkenalkan empat agenda atau kegiatan Islam liberal, yaitu.
Pertama, agenda politik. Maksudnya urusan negara adalah urusan dunia, sistem
kerajaan dan demokrasi. Kedua, mengangkat kehidupan antara agama. Menurutnya
perlu dipraktikkan teologi pluralisme karena semakin majemuknya kehidupan
bermasyarakat di negara Islam. Ketiga, emansipasi wanita. Keempat, kebebasan
berependapat.
BAB IV
TELAAH TERHADAP ISU WACANA
PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
A. Islam dan Sekularisme (Negara Sekuler)
Islam dan sekularisme adalah sebuah istilah yang sangat berbeda,
sekularisme bagi kebanyakan orang selalu dikaitkan dengan permasalahan negara.
Terminologi Islam dan sekularisme sering menjadi perdebatan panjang dalam dunia
keislaman. Dalam konteks agama dan negara, banyak kalangan pemikir yang
merujuk kepada sekularisme untuk mengartikan masalah dalam agama, negara dan
masyarakat, banyak para pemikir Islam yang menolak secara tegas tentang
sekularisme, dengan alasan ideologi tersebut yang membuang Islam dari
permasalahan negara.
Dalam musyawarah nasionalnya tanggal 26-29 Juli 2005, MUI (Majelis
Ulama Indonesia) telah mengeluarkan fatwa diantaranya adalah pernyataan bahwa
sekularisme, pluralisme dan liberalisme dalam pemikiran keagamaan tidak sesuai
dengan ajaran Islam dan karena itu diharamkan untuk mengikutinya1. Setelah fatwa
haram tersebut terdengar beberapa intelektual Muslim merasa gerah atas fatwa
haram tesebut, banyak pula dari intelektual tersebut menjawab fatwa tersebut
melalui wacana dan dialog.
Sekularisme telah banyak digunakan oleh beberapa negara Islam dan noIslam, sekularisme diartikan sebagai suatu kebijakan yang memisahkan agama dari
negara, faham ini yang kebanyakan diadopsi oleh kebanyakan negara Kristen Eropa
dan Barat
1
M. Dawam Raharjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme”, Artikel Diakses Tanggal
17 April 2009, dari http//www.ircp.online.org?.
Sebuah negara demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu
menerapkan prinsip-prinsip sekularisme yang benar. Sebaliknya, demokrasi yang
gagal dan buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip
sekularisme yang benar, atau menerapkan Islam dalam konteks negara, seperti
Turki, Mesir dan Irak, adalah contoh negara yang berusaha mengadopsi
sekularisme, tapi menerapkannya salah. Kesalahan dalam mempersepsi dan
menerapkan konsep ini berakibat fatal, karena bukan saja gagal dalam mewujudkan
sistem politik yang demokratis, tapi juga mencemari konsep sekularisme yang
luhur.2
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penolakan sebagai kaum Muslim
terhadap sekularisme selama ini karena mereka merujuk kepada pengalaman
negara-negara yang gagal dalam menerapkan prinsip ini. Seperti yang disebut
diatas. Sekularisme Turki, misalnya diidentikan dengan serial pelanggaran terhadap
atribut-atribut dan praktik-praktik keagamaan, sekularisme berarti pelanggaran
jilbab, penutupan institusi pengajaran Al-Qur’an dan penangkapan aktivis Islam.
Selama ini sebagian masyarakat Muslim mencurigai dan sangat takut
dengan istilah sekularisme yang dimengerti sebagai pemisahan agama (Islam) dan
politik, atau lebih luas lagi, antara agama (Islam) dan kehidupan publik. Sebagian
Muslim memandang pemisahan tersebut sebagai pemisahan yang menempatkan
Islam jauh dari campur tangan negara. Sikap sebagian Muslim takut akan laranganlarangan sekularisme seperti pelanggaran jilbab, menikah beda agama, dan lainlain.
Dalam websitnya JIL mengatakan bahwa kekuasaan agama dan politik harus
dipisahkan. Mereka menentang negara agama (teokrasi) atau sistem pemerintahan
2
Lutfhi Assyaukanie, “Berkah Sekularisme”, Artikel Diakses Tanggal 17 April 2009 dari
http//www.islamlib.com/id/index.php?page=article&id=799//.
Islam, mereka meyakini bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama
dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama
adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama
tidak mempunyai hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik.
Agama berada diruang privat dan unsur publik harus diselenggarakan melalui
proses konsensus.
Mengamati berbagai persoalan yang berkembang khususnya dalam bidang
politik Islam, dan jika kita mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa
sebuah pemahaman yang benar, evaluatif, kritis dan rasional. Ulil Mengatakan
bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan porsi politik dalam Islam
sangatlah kecil, itupun berkaitan langsung dengan kepentingan banyak orang yang
berarti kepentingan rakyat kecil, bukan pada tatanan model-model politik.3
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa politik dan negara adalah sesuatu yang
terpisah, dan mempunyai bagian masing-masing Dan sesungguhnya pembentukan
pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfa’at-manfa’at amaliah, bukan
atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada
kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama.4
Al-Qur’an sendiri di dalamnya tidak membahas persoalan negara, Al-Qur’an
tidak menyuruh untuk mendirikan negara yang berdasarkan Islam, tapi hanya
memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, membantu kaum lemah dan
melarang melakukan perbuatan yang tidak senonoh, tercela serta durhaka. AlQur’an hanya meletakkan garis besar pada kaum Muslimin, kemudian memberikan
kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan ketentuan tidak
sampai melanggar basis-basis yang telah di tetapkan.
3
4
Ulil Abshar Abdalla, ”Politik Dalam Islam”, Jawa Pos, 1 Juni 2003.
Abdalla, ”Politik Dalam Islam”.
Aktivis JIL Novriantoni, kerap mengkritisi peran ulama, yang baginya
cenderung berubah menjadi qodoh (hakim) ketimbang berperan sebagai dai.
Menurutnya ulama itu seharusnya berposisi sebagai dai bukam sebagai hakim. Ia
mengutip pendapat tokoh Ikhwanul Muslimin Makmun Hudaibi, yang mengatakan
nahnu du’ad wa lasna qodoh (kita adalah dai bukan hakim).5
Karena itulah perlunya sekularisme, pemisahan antara wewenang agama dan
negara, negara teokrasi itu adalah negara-negara yang membawa bencana lebih
besar dari pada negara sekular, ia mengatakan bahwa, khilafah adalah utopia yang
harus mulai ditinggalkan oleh umat Islam.6
JIL dikenal sebagai jaringan dan paham yang mengusung sekularisme,
FUUI (Forum Ulama Umat Islam) dibawah pimpinan KH. Atian Ali Da’i telah
mengeluarkan semacam fatwa hukuman mati terhadap Ulil Abshar Abdalla dkk,
dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagaimana yang penulis uangkapkan di awal
telah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan JIL, tentang ide-idenya, sebagaimana
kesesatan Ahmadiyah dan LDII.
Ulil menilai definisi MUI dan FUUI tentang sekularisme terlalu sederhana,
memaknai sekularisme sebagai memisahkan urusan dunia dari agama (Islam).
Menurutnya sekularisme adalah memisahkan kekuasaan kaum agama (Islam) dan
kekuasaan negara. Negara sekular artinya negara yang tidak dikuasai ulama seperti
Iran yang mengenal konsep wilayatul faqih (kekuasaan kaum ulama), sekularisme
tidak menghalangi dan memusuhi peran agama dalam rung publik.7
5
Hasil Wawancara antara Suparni Surjono, mantan duta besar RI di Suriname dengan
Novriantoni tentang Islam dan Sekularisme, artikel diakses tanggal I September 2008, dari
http//www.islamlib.com//.
6
Hasil Wawancara antara Suparni Surjono dengan Novriantoni tentang Islam dan
Sekularisme dari http//www.islamlib.com//.
7
Hasil wawancara antara Majalah Sabili dengan Ulil Abshar Abdalla, tentang sekularisme
dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008, dari http//www.islamlib.com
Burhanuddin, mantan Presiden Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
ia juga mantan aktivis JIL mengatakan Islam dan sekularisme merupakan sesuatu
yang berbeda, menurutnya terlalu dini untuk mengadopsi Islam dalam konteks
negara, tidak mungkin Islam disatukan dalam permasalahan negara, bukan berarti
Islam tidak secara penuh diletakkan di ruang publik, tapi Islam pun layak ambil
peran dalam persamalahan negara jika dibutuhkan.8
Para intelektual kelompok liberal seperti, Ulil abshar Abdalla, Lufhi
Assyaukanie, Saiful Mujani dan Hamid Basyaib, menampilkan antitesis dari
kelompok Harakah Islamis (yang ingin menerapkan syariat Islam), sekularisme
dipandang sebagi satu-satunya juru selamat. Mereka menentang setiap bentuk Islam
politik yang hendak menerapkan sistem nilai dan simbol-simbol Islam di bidang
politik, mereka juga menolak gagasan negara Islam serta formalisasi syariat.
Mereka menganggap bahwa sekularisasi (diartikan sebagai pemisahan agama dan
negara) adalah pilihan terbaik kaum Muslim untuk menghadapi tantangan
modernitas. Lebih jauh mereka menganjurkan agar agama ditarik mundur dari
ruang publik keruang privat.
Karena dianggap keluar dari mainstream ajaran Islam, beberapa pihak
menyarankan agar JIL membikin agama baru dan tidak mengatasnamakan Islam,
karena sebagian Muslim mengatakan bahwa JIL telah keluar dari Islam yang
sebenarnya, sekularisme adalah tidak bisa diterima dalam konteks Islam.
8
Hasil wawancara langsung dengan Burhanuddin, tanggal 23 April 2009.
B. Islam, Pluralisme dan HAM (Negara Plural)
Seperti halnya Islam dan sekularisme, Islam dan pluralisme juga merupakan
persoalan yang berbeda. Islam dan pluralisme telah menjadi salah satu wacana
kontemporer yang sering dibicarakan pada akhir-akhir abad ke-20 khususnya
Indonesia. Inti dari wacana ini sebenarnya adalah mencoba menjembatani hubungan
beragam agama yang seringkali terdengar dampak yang tidak harmonis dengan
mengatasnamakan agama yang kemudian muncul konflik yang menimbulkan
kekerasan atas nama agama.
Pluralisme adalah tren pemikiran baru yang berada di dunia global, yang
merupakan suatu faham dimana setiap pemeluk agama tidak berhak mengklaim
bahwa agama tersebut sebagai agama yang paling benar (true religion).
Dawam Raharjo mengatakan pluralisme dapat dilaksanakan dengan tiga
cara yaitu, saling memahami dan memperoleh, saling pengertian dan penghargaan,
berlomba dalam kebajikan dan kerja sama dalam kebaikan.9
JIL dibawah kepemimpinan Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa semua
agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju yang maha
benar. Semua agama, dengan demikian adalah benar (the religion is true) dengan
variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan
religiusitas itu, semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama, yaitu
keluarga pencipta, jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.10 Budhy
Munawar Rahman salah satu aktivis JIL memberikan legitimasi kepada ”kebenaran
semua agama” bahwa pemeluk semua agama layak disebut sebagai ”orang yang
beriman”, oleh karena itu yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah
9
M. Dawam Raharjo “Mengapa Semua Agama itu Benar”, Tempo. 1 Januari 2006, h. 207.
Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal: Pewaris Pemikiran
Islam di Indonesia (Jakarta: Litbang. Dep. Agama, 2005), h. 41.
10
pluralisme antara agama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman tanpa
harus melihat agamanya adalah sama di hadapan Allah, karena tuhan kita semua
adalah tuhan yang satu.11
Ulil mengatakan bahwa ”kebenaran tuhan lebih besar dari Islam itu sendiri
sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Islam
hanyalah sebuah ”proses” yang tak pernah selesai tak akan selesai. Oleh sebab itu
ayat ”inna al-dinna inda Allahi al-islam” (Qs: 3. 19), lebih tepat di artikan sebagai
”sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tidak pernah selesai
menuju ketundukan” (kepada yang Maha Esa).12
Pluralisme sebagaimana yang tercantum dalam websitnya merupakan salah
satu agenda penting JIL disamping banyak agenda-agenda lain. Lutfhi Assyaukanie
juga ikut berbicara dalam hal ini, Lutfhi mengatakan bahwa pentingnya pluralisme
dan tidak bisa ditawar-tawar. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pengalaman
sejarah (historis) bisa dilihat pada awal-awal masyarakat Madinah yang dipimpin
oleh Nabi Muhammad Saw. Sering dijadikan model percontohan adanya toleransi
kehidupan antar agama dalam Islam. Dengan model ini, Islam dianggap sebagai
agama yang menghormati keberadaan agama-agama lain, inklusif dan toleran.
Dengan melihat konsep pluralisme ini, ia lebih lanjut mengatakan bahwa tidak ada
halangan untuk melakukan pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda baik
laki-laki maupun perempuan, karena pada hakikatnya semua agama adalah sama
menuju tuhan, hanya saja ada perbedaan dalam ekspresi beragama masing-masing
umat.13
11
Adian Husaini, Membedah Islam Liberal (Bandung: PT. S. Anvil Cipta Media, 2002), h.
65.
12
Artikel diakses tanggal 29 April 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islamliberal.html.
13
Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Libera, h. 42.
Lutfhi Assyaukanie yang menjabat koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)
dan Deputy Director dari The Freedom Institute, lebih lanjut mengatakan pluralisme
dalam beragama adalah kenyataan, manusia hidup di dunia ini dengan banyak etnis,
banyak agama, dan setiap agama mempunyai yang disebut true claim, klaim
kebenaran. Mereka yang Muslim menganggap Islam sebagai agama yang benar
yang tercantum dalam ayat Al-Qur’an (Qs. 3: 19), begitu juga Kristen, Yahudi,
Hindu, Buddha dan lain-lain. Pertanyaan selanjutnya adalah kalau setiap warga
mempunyai klaim kebenaran, bagaimana mereka bisa hidup bersama. Salah satu
tawaran yang diberikan oleh para ilmuan, sarjana dan lain-lain termasuk JIL adalah
dengan memeluk konsep pluralisme. Artinya saling menghormati bahwa setiap
agama menurut perpektif masing-masing memiliki kebenaran, ia menyatakan
negara tidak perlu campur tangan dalam mengurusi masalah agama, mungkin ada
regulasi yang terkait dengan hal-hal yang umum saja, tetapi tidak masuk kedalam
urusan kecil. Urusan-urusan yang terkait dengan pemahaman keagamaan biarkan
masyarakat yang mengurusi.14
Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa pluralisme adalah suatu konsep
dimana umat yang menjadi mayoritas dimana pun ia berada baik itu Islam, Kristen,
Yahudi dan sebagainya harus dapat menghargai dan menghormati umat-umat yang
menjadi minoritas, pluralisme harus dipahami sebagai suatu yang harus dijalankan
oleh seluruh umat, dan yang terpenting katanya adalah bersama-sama beribadah dan
jangan mengklaim kebenaran.15
Islam sebagaimana kita mengetahui sangat mengakui fakta akan pluralisme
dan kemerdekaan kebebasan beragama. Dasar pengakuan itu terdiri dari dua hal
14
Hasil Wawancara Antara Jeleswari Pramodhawardani dengan Lutfhi Assyaukanie.
Artikel diakses tanggal 29 April 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
15
Hasil Wawancara langsung dengan Burhanuddin Muhtadi, salah satu aktivis JIL, yang
sekarang menggeluti penelitian bersama Saiful Mujani di LSI, tanggal 25 Mei 2009.
yakni, Pertama, karena pluralisme merupakan ajakan terhadap penggunaan pikiran
manusia, Al-Qur’an sangat memberikan kedudukan yang sangat penting terhadap
pilihan rasional dan dorongan individu. Menjadi seorang Muslim (to be a Muslim)
adalah urusan pilihan rasional dan cara respon individu. Dalam Al-Qur’an pun tidak
terdapat paksaan dalam beragama, karena beragama merupakan pilihan dan
kebebasan individu, bahwa seorang keluarga pun tidak boleh memaksa anaknya
untuk menganut agama bapak-ibunya. Kedua, penerimaan sosial atas nilai Islam
sebagai sebuah pemahaman oleh individu dan masyarakat yang berbeda-beda.
Maksudnya, basis pluralisme ini senantiasa dikelola oleh perbedaan pendapat yang
secara luas di perbolehkan oleh norma-norma social. Dialektika sosial akan
mengembangkan dan menguatkan definisi yang bisa diterima oleh nilai etika. Maka
tradisi dialog antara agama menjadi penting guna mengembangkan nilai-nilai etika
Islam yang sangat menghargai kebebasan beragama.
Berdasarkan keterangan diatas, maka peranan negara sebagai penjamin
kebebasan beragama sangat penting dan perlu dipertegas lagi. Negara harus
menjamin bahwa kemerdekaan beragama tidak akan melanggar hak-hak orang lain.
Negara tidak boleh mendukung satu agama serta satu kelompok paham serta
menindas yang lainnya. Fungsi negara adalah menjamin kebebasan menjalankan
agama diberikan secara sama kepada semua agama dan pahamannya. Sebab pada
dasarnya ada hubungan yang mutlak antara kebebasan beragama, institusi yang
dapat menjamin kebebasan itu, seandainya salah satunya tidak dapat dijalankan,
maka kehidupan demokrasi dan jaminan kebebasan warga negara akan terancam
juga
Relasi antara agama, etnik, budaya bahkan sesama Muslim sendiri terus
mengalami kehancuran pada dasawarsa tahun ini. Kehancuran tersebut di sebabkan
adanya perbedaan perpektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut
kepentingan. Kunci utama (the first key) agar tetap bertahan tergantung pada cara
belajar mengelola keragaman dan konflik (universalis and conflict). Nyatanya
bahwa prioritas untuk menghadapi pluralisme bangsa yang semakin canggih dan
percepatannya melalui globalisasi, pasti akan memperoleh solusi ketika pandangan
dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa.
Dalam konteks ini Islam semestinya muncul sebagai agama yang universal
(universalism religion). Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam
untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati.
Sebagian kaum liberal berharap, abad 21 ini akan menyaksikan sebuah kebangkitan
religius spiritual global baik dalam wilayah politik dan prifat, meskipun peran
marjinal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam
kehidupan ini. Disinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji
kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini tak terkecuali
Islam sebagai agama mayoritas.16
Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita
bersama kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik dan
kebudayaan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama
apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus
dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas nama kemanusiaan.
Maka dari itu diperlukan dialog dua pikiran dan hati mengenai pikiran
bersama, dan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang.
Pluralisme untuk dialog, bukan pertentangan. Pencelaan dan mengklaim kebenaran
16
Zakiyuddin Baidhawy, Berislam Di Era Multikulturalisme, Dalam Buku Abdul Moqsith
Ghazali (peny), Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan Yanag Dinamis (Jakarta:
JIL 2005), h. 50.
beragama yang dianutnya tetapi pluralisme merupakan teknologi masa depan yang
muncul dari pandangan rasional autentik berbasis wahyu progresif yang merupakan
dasar bagi semua pengalaman keagamaan. Dialog membawa pada pandangan dunia
keagamaan yang tidak parsial dan tidak diskriminatif. Pola pikir manusia yang
monolog yang membuat bangsa menderita dan mengalami kegagalan terbesar
dalam mengelola pluralisme. Pasti akan merasakan betapa pedihnya kekerasan,
relasi antara sesama atas nama etnik, budaya bahkan agama, jika umat manusia
mengklaim semuanya yang terjadi dalam diri manusia adalah yang paling benar.
Selain pluralisme, HAM juga sesuatu yang sangat penting yang penulis
perlu kaji dalam pandangan JIL, yang kita semua mengetahui bahwa HAM adalah
segala sesuatu yang berada dalam diri kita yang wajib ditegakkan dan perlu
diperjuangkan tanpa ada penindasan dari negara atas nama apapun.
Banyak gagasan besar bekenaan dengan HAM selaras dengan pemikiran
Islam, kaidah hukum, prinsip dasar kepemimpinan demokratik dalam yurispundensi
Islam (fiqih) sangat sentral sudah berabad-abad yang lalu. Islam mengakui bahwa
setiap keputusan, aturan dan prosedur dari penguasa publik disetiap jenjang tidak
sah atau tidak mengikat karena legal jika mereka tidak konsisten dengan hukum
(syariat).17 Ini tentu saja berkaitan dengan konsep perlindungan hak asasi manusia.
HAM menurut JIL sebagai sesuatu yang semi wajib dimanapun manusia
berada, termasuk di sebuah negara yang mungkin tidak menjamin hak manusia itu
ditegakkan. HAM menjadi sesuatu yang harus dihargai dan dilindungi bahkan
17
Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru: Menggugat Dominasi
Global Barat. Penerjemah Poerwanto (Bandung: Mizan, 1995), h. 58.
dihormati oleh negara.18 Negara harus menjamin hak asasi manusia baik laki-laki
maupun perempuan.
Lebih jauh JIL menegaskan bahwa hukum Islam (syariat) yang sebagian
kelompok radikal mengagung-agungkan supaya diterapkan di Indonesia, menurut
JIL sebenarnya sangat mengekang HAM secara umum, syariat Islam sangat
membatasi HAM pada umumnya. Islam sebagaimana agama yang diyakini sangat
menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dalam mengapresiasikan tindakan dan
pendapatnya, Islam sendiri adalah agama yang memperhatikan hak asasi manusia.
JIL menegaskan jika syariat Islam ditegakkan, jangan sampai HAM yang menjadi
sesuatu yang sangat penting bagi manusia dilanggar oleh kelompok lain baik
didalam maupun diluar komunitas Islam, bahkan negara pun tidak berhak
melanggar.
Islam sebagaimana yang orang pahami yang juga terdapat dalam Al-Qur’an,
yakni sangat toleran terhadap manusia untuk memeluk agama yang mereka yakini,
negara dalam hal ini tidak boleh memaksakan kehendak untuk masuk kedalam
agama Islam tersebut, tidak boleh ada proses Islamisasi terhadap agama diluar
Islam, karena hak beragama merupakan sesuatu dasar bagi keyakinan umat
manusia.
Seandainya Syariat Islam diterapkan di Indonesia khususnya, yang menjadi
probelem masalah adalah kaum minoritas dan perempuan, bagi kaum minoritas
mereka akan susah bergerak diruang publik karena syariat dikhususkan bagi umat
Islam an sich, mereka akan susah mengaktualisasikan hak mereka. Sedangkan
kaum perempuan akan terjegal turun langsung dalam kegiatan publik, seperti
18
Artikel diakses tanggal 31 Mwei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islamliberal.html.
perempuan sekarang banyak bergerak dalam wilayah negara dan banyak beraktifitas
dimana-mana.19
Islam dan HAM merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam
yang menjadi umat terbesar di Indonesia. Islampun sebenarnya sangat menjunjung
tinggi HAM, sebagaimana Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa umat Islam
yang menjadi umat terbesar di Indonesia tidak boleh atau harus menyadari bahwa
hak orang lain diluar Islam pun memiliki hak yang sama dengan hak umat Islam,
negara pun harus bisa memahami dengan hal ini.20
Islam sendiri harusnya tidak menekankan HAM yang sedikit keluar dari
mainstream hukum Islam, seperti menikah beda agama, wanita mengimami lakilaki yang dilakukan Aminah Wadud, memperoleh warisan dari keluarga yang
berbeda agama, umat Islam sekolah di sekolah Kristen atau agama yang lain,
mengenai hal tersebut JIL menegaskan bahwa tidak ada salahnya dan tidak ada
sejarah yang berkenaan dengan diskriminasi berdasarkan agama, dan menilai bahwa
diskriminasi mengenai segala sesuatu tersebut atas dasar agama adalah sangat
melanggar penegakkan HAM. Hal tersebut adalah titik ketegangan antara syariat
sebagai hukum dan HAM. Oleh karena itu JIL dalam websitnya sangat mendukung,
menghormati serta mendukung kalangan yang tertindas dan sangat melindungi
terhadap kelompok yang sewenang-wenang menindas kelompok minoritas.
HAM dalam Islam bukan hanya dilindungi tetapi juga diakui, sebagimana
JIL mengatakan Islam sebagai agama sangat melindungi HAM, oleh sebab itu
19
Redaksi JIL “Syariat Islam Membawa Bencara Bagi Umat” Artikel diakses tanggal 31
Mwei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
20
Hasil Wawancara langsung dengan Burhanuddin Muhtadi, salah satu aktivis JIL, yang
sekarang menggeluti penelitian bersama Saiful Mujani di LSI, tanggal 25 Mei 2009
banyak kalangan yang sewenang-wenang menindas segala sesuatu atas nama Islam,
menurutnya hal itu tidak benar.21
D. Penerapan Syariat Islam di Indonesia
Wacana mengenai syariat Islam sering menjadi perdebatan dan menuai
kontroversi dalam memahami dan menafsirkan wacana tersebut dalam konteks
negara. Banyak diskusi, seminar tentang persoalan ini, banyak pula kalangan yang
pro dan kontra terhadap wacana tersebut serta banyak pula kalangan yang tidak mau
tau dan membisu dalam persoalan ini.
Syariat Islam merupakan pembahasan terakhir penulis, karena itu syariat
Islam jadi pembahasan penting, sebagaimana penulis mengkaji pembahasanpembahasan penting sebelumnya. Syariat mempunyai reputasi yang buruk dan tidak
jelas dalam konteks Indonesia, syariat Islam menjadi perdebatan di Indonesia, sejak
zaman kemerdekaan dan sekarang, persoalan ini tidak akan membuahkan hasil yang
signifikan bagi umat manusia di Indonesia.
Syariat tidak lain hanyalah wadah yang menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Syariat Islam menghendaki hukum dan keputusan yang benar
jika hukum itu diletakkan dihadapan manusia, sebagai sebuah metode dan jalan
menuju kemajuan dan kemuliaan. Syariat bukan seperangkat aturan dan kaidah,
syariat juga bukan fiqih yang selama ini diyakini umat Islam. Hukum-hukum
syariat mengikuti perkembangan realitas sosial, dan selalu melangkah dalam
perkembangan tersebut. Oleh karena itu, ia menjelaskan tentang dasar-dasar syariat
dan membatasi objeknya dengan realitas sosial dalam membahas prinsip dasar
syariat harus menjadi tujuan utama ketika hendak menerapkan syariat Islam. Jika
21
Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal, h. 42
tidak, maka ia hanya menjadi sekedar pembahasan teoritis dan penyelidikan logis
yang bertentangan dengan syariat agama dan inti Islam itu sendiri.
Oleh karena itu, menurutnya dalam Islam tidak jarang menemukan orangorang salah paham dalam memaknai syariat, bisa jadi apa yang selama ini mereka
anggap syariat bukanlah syariat itu sendiri. Sebaliknya, apa yang selama ini tidak
bisa anggap syariat, justru merupakan inti syariat. Oleh karena itu, menangkap arti
hakiki syariat dalam konteks keberagamaan menjadi hal yang niscaya.22
Sebagaimana kita mengetahui bahwa dewasa ini muncul kecenderungan
baru di banyak negara Muslim untuk menerapkan syariat Islam dengan cara
memanfaatkan kebebasan dan demokrasi yang suka tidak suka juga memberi
peluang bagi munculnya ekspresi keagamaan dalam kutub paling ekstrem tersebut.
Aspirasi penerapan syariat Islam berbanding lurus dengan pasang naik demokrasi di
negera-negara Muslim. Di antara mereka yang menginginkan syariat Islam
diterapkan, mereka juga paham dan fasih melahirkan idiom-idiom demokrasi dan
memaksimalkan lembaga-lembaga demokrasi sebagai sarana untuk mencapai
tujuan.
Tuntutan penerapan syariat Islam ujung-ujungnya selalu saja bertendensi
mengelompokkan umat Islam kedalam dualisme secara semampunya, kaum yang
beriman dan golongan murtad atau kafir. Tuntutan itu selalu mempolarisasi warga
negara menjadi orang Islam dan bukan orang Islam. Ide penerapan syariat Islam
menurut JIL malah tak jarang melontarkan aroma permusuhan kepada Barat,
khususnya Amerika Serikat, dan kebanyakan negara lain di dunia, tanpa mereka
sendiri siap untuk menghadapi konsikuensi yang mungkin muncul akibat hembusan
angin permusuhan tersebut.
22
Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, h. vi.
Sampai detik ini, belum terdapat batasan yang jelas tentang apa yang
dimaksud dengan penerapan syariat Islam. Slogan penerapan syariat Islam dalam
pengertian kelompok yang lebih ambisius menegakkan bermakna seperangkat
hukum-hukum agama seperti ibadah. Di lain kesempatan, syariat Islam
dimaksudkan sebagai sebuah sistem yang Islami, pada lain waktu, syariat juga
berarti hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan persoalan muamalah,
sebagaimana dalam Al-Qur’an dan sunnah. Mereka juga memasukkan sebagai
opini, hukum ataupun fatwa yang serangkum dalam khazanah fiqih Islam.
JIL secara terang-terangan mengkritisi kelompok yang ambisius terhadap
penerapan syariat Islam lewat surat kabar, milis internet, buku dan diskusi. JIL
mengatakan bahwa kelompok tersebut menyeru tuntutan legalisasi syariat atau lebih
berani mengubah sistem hukum yang sudah ada. Penerapan syariat Islam
bertendensi sektarianisme dengan memperlakukan agama sebagai kedok, dan
syariat Islam sebagai topeng. Yang mereka harapkan dengan berlaku apologetik.
Publik tidak akan mampu membaca maksud dan tendensi mereka. Semua ini selalu
dilakukan mereka dengan cara mengekploitasi sentimen masa, ketidakpuasan publik
dan aura Islam itu sendiri.23
JIL mengatakan syariat Islam tidak akan mampu berperan dalam
menegakkan sistem pemerintah yang baik dan tidak akan berhasil melayani
kepentingan rakyat.24 Kegagalan pemerintah menegakkan hukum di Indonesia,
seperti menghentikan hiburan malam, diskotik, rumah-rumah maksiat dan lain-lain,
membuat umat Islam gerah dan menuntut pemberlakuan hukum syariat Islam
ditegakkan. Penerapan syariat Islam secara formal bisa mengarah kepada pendirian
23
Burhanuddin (ed), Syariat Islam: Pandanagan Muslim Liberal (Jakarta: JIL & The Asia
Fundation, 2003), h. 17.
24
Burhanuddin (ed), Syariat Islam: Pandanagan Muslim Liberal, h. 17.
negara Islam, tetapi pemerintah Indonesia tidak akan pernah mengizinkan
penerapan syariat Islam yang mengarah kepada pendirian negara Islam.25
Kita semua dapat mengetahui bahwa JIL sangat kritis dalam permasalahan
ini. Aktivis JIL, Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan dalam wawancara di koran
Tempo, ia mengatakan, ”Makannya kita termasuk orang yang menentang
pelaksanaan dan penerapan syariat Islam di Indonesia, karena hukum disitu
permasalahannya. Ia mengatakan bahwa tidak ada hukum yang Islami (nothing Law
of Islam), syariat Islam akan menimbulkan perpecahan umat.26
Menurut JIL, sebenarnya umat Islam Indonesia harus belajar dari
pengalaman Sudan dan Pakistan, bila syariat Islam ditegakkan ada tiga kalangan
yang menjadi korban. Pertama, kaum perempuan. Kedua, minoritas non-Muslim.
Ketiga, orang-orang miskin.27
Seandainnya syariat Islam diterapkan disebuah negara yang sekuler, plural
dan majemuk seperti Indonesia ini, dan seandainnya semua masyarakat Muslim,
mungkin tidak ada masalah. Sebelum berbicara tentang sanski hukum, termasuk
kemungkinan penerapan potongan tangan, yang lebih penting menurut Azumardi
Azra adalah menciptakan tatanan yang adil terlebih dahulu. Laksanakan dulu syariat
yang mendorong proses perubahan sosial menuju tatanan yang lebih adil dimana
orang-orang miskin dijamin oleh negara, baru membicarakan syariat yang
memberikan hukuman, lebih penting memperhitungkan realitas sosial yang plural.
25
Burhanuddin (ed), Syariat Islam: Pandanagan Muslim Liberal, h. 79-80..
Ulil Abshal Abdalla, “Penerapan Syariat Islam”, Tempo 22 Januari 2002.
27
Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September
2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam/
26
Bila tidak, ia khawatir penerapan syariat Islam itu justru tidak berjalan atau malah
kontraproduktif.28
Azra kemudian menegaskan kembali, jika syariat Islam diterapkan secara
terburu-buru akan memunculkan paradoks dan konflik diantara kaum Muslim dan
juga masyarakat Indonesia secara umum. Syariat atau hukum apapun berlakunya
hanya di dalam masyarakat, jangan membawa permasalahan ini kedalam negara. Ia
kembali mengatakan, syariat Islam diterapkan harus memperhitungkan kenyataan
yang ada, bukan hanya kenyataan masyarakat bahwa Indonesia itu sebagian besar
umat Islam, tetapi juga ada kelompok-kelompok minoritas lain yang non-Muslim.
Umat Islam Indonesia bukanlah realitas monolithik, tetapi realitas yang beragama,
banyak golongan, pemahaman keislamannya, tujuan kecintaannya, ketertarikan dan
pengetahuan yang berbeda-beda, ini mungkin tidak akan bisa bertahan, bahkan bisa
memyebabkan kehancuran, makannya ia mengatakan bahwa penerapan syariat
Islam harus dipikirkan kembali.
Pentolan JIL Ulil Absahar Abdalla mengatakan, dalam sebuah sejarah Islam
klasik tidak diketemukan rekaman sejarah (historis record) yang menunjukkan
syariat Islam merupakan peradilan negara. Tradisi pemikiran hukum Islam,
menurutnya bukan hasil peradilan Islam yang betul-betul pernah ada, melainkan
hanya kumpulan-kumpulan pendapat hukum (legal opinion) yang dikembangkan
dari bagian sebuah latihan intelektual (intellectual exercise). Para pemuka Islam
sebagai respon terhadap persoalan-persoalan sosial yang ada tanpa pernah
dipraktikkan dalam suatu praktik peradilan. Syariat Islam bukan instrumen yang
28
Hasil wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Azumardi Azra Artikel diakses
tanggal 21 Juni 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
dihasilkan oleh negara, itu tidak pernah ada buktinya, kalaupun ada menurutnya
buktinya tersebut sangat lemah.29
Kemudian ia mencontohkan, pada zaman Iskandar Muda dari Kesultanan
Aceh, apakah pernah ada suatu peradilan perdagangan yang betul-betul
menggunakan hukum Islam dalam menyelesaikan kasus-kasus perdagangan?, tidak
pernah ada, juga kasus-kasus perdata, rekamannya tidak pernah ada.
Jargon Islam negara dan agama,
sebenarnya
konstruksi modern.
Menurutnya, Islam di zaman klasik itu merupakan suatu agama yang hidup (living
religion) di dalam masyarakat yang disangga sejumlah organisasi sosial yang hidup
di tengah-tengah masyarakat, yang kalau di Indonesia seperti NU dan
Muhammadiyah.
Kemudian publik mengenal semacam hukum (law) yang hidup dikalangan
mereka. Hukum itu biasannya ditegakkan lewat figur-figur para tokoh agama atau
kiai. Namun negara sama sekali tidak pernah menjalankan fungsinya sebagai
pembuat peraturan perundang-undangan. Negara sebagai the enforcer of law itupun
tidak pernah ada.
Lebih
lanjut
ia
mengatakan,
fundamentalisme
Islam
atau
yang
menginginkan syariat Islam diterapkan itu merupakan respon terhadap modernitas.
Respon ini pun dilakukan dengan logika atau prosedur peralatan teoritik modern
menggunakan bahasa-bahasa agama, contohnya jargon Al-Qur’an sebagai
konstitusi. Menurutnya itu suatu loncatan logika yang hingga kini belum ada
pertanggung jawabannya. Di dalam seluru sejarah Islam klasik (histories classic of
29
Redaksi JIL “Syariat Islam Membawa Bencara Bagi Umat” Artikel diakses tanggal 31
Mei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
Islam) tidak pernah ada suatu gerakan yang mengatakan Al-Qur’an itu adalah
konstitusi.30
Syariat Islam menurutnya merupakan gagasan abstrak yang dikembangkan
menjadi tradisi ilmiah yang kemudian dikenal dengan fikih. Hal ini dipakai untuk
landasan hukum pengaturan kehidupan umat Islam pada masa modern. Hukum
Islam sebenarnya pemikiran hukum yang dikembangkan secara independen diluar
istana, hal ini seperti pemikiran filsafat dan teologis klasik dalam Kristen (theology
classic of Kristian).
Koordianator JIL, Lutfhi Assaukanie mengatakan, konsep syariat Islam itu
sebenarnya tidak pernah ada, itu merupakan karangan orang-orang yang datang
belakangan yang memiliki idealisasi yang berlebihan terhadap Islam (sama seperti
negara Islam, ekonomi Islam, Bank Islam dan lain-lain).31 semua hukum yang
diterapkan dalam masyarakat pada dasarnya adalah hukum yang positif, termasuk
hukum yang yang diberlakukan oleh Nabi Muhammad, kalupun sumber
konstitusinya berasal dari Al-Qur’an, hal itu karena Muhammad adalah seorang
Rasul, dan beliau tidak memiliki konstitusi yang lebih baik yang available pada saat
itu selain Al-Qur’an.
Pada banyak kasus, delik-delik perundangan yang diterapkan Muhammad
dan kawan-kawannya sebenarnya mengambil semangat hukum adat (urf), termasuk
dalam kasus rajam, potong anggota badan secara silang, pembakaran manusia
(dalam kasus sodomi) dan denda (diyat, yang diambil dari kondifikasi Romawi dan
Nabatean). Hanya sedikit yang beliau ambil dari Al Qur’an.
30
Hasil wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Azumardi Azra Artikel diakses
tanggal 21 Juni 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html
31
Lutfhi Assyaukanie, ”Menolak Syariat Untuk Menagatur Kehidupan Publik”, Kompas,
18 September 2002.
Menurutnya, Muhammad sedang berinteraksi dengan manusia, dengan
orang Yahudi dan orang-orang tribal Madinah. Selama hukum merupakan refleksi
dari dinamika sebuah masyarakat, maka apa yang dipraktikkan oleh Nabi (yang
Anda sebut sunnah fi’liyyah) adalah keputusan manusiawi belaka. Tidak ada
sesuatu yang istimewa yang harus dianggap sebagai sesuatu yang ‘unik’ atau
Islami.
Lebih kritis ia mengatakan, Ibadah haji saja, sebut Luthfi, warisan
jahiliyyah, zakat warisan Romawi yang direvisi, sholat warisan Daud yang
dimodifikasi, dan dalam sistem ekonomi Rasulullah menyetujui semua praktik
ekonomi orang-orang Romawi yang saat itu mendominasi hampir semua urusan
administrasi dan tata negara, kecuali riba. (orang orang Romawi atau siapa pun
sesungguhnya akan berkeberatan jika riba yang dimaksud adalah transaksi
merugikan orang lain). Menurutnya tidak ada yang Islami dari semua itu.
Aktivis JIL Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pasang naik-surutnya
tuntutan mengimplementasikan syariat Islam berhubungan dengan terlepasnya suatu
negara dari rezim pemerintahan otoriter, ia mengatakan gejala ini merupakan gejala
global yang terjadi hampir diseluruh negara-negara dengan mayoritas Muslim yang
baru saja mengalami kemerdekaan maupun terlepas dari rezim otoriter.32
Sistem demokrasi yang terwujud ketika sebuah negara terlepas dari rezim
otoriter, membuka peluang bagi semua faham termasuk radikalisme agama untuk
masuk kedalam sistem ketatanegaraan. Paradoks ini terjadi karena kelemahan
sistem demokrasi adalah tidak adanya self defence mechanism untuk menghalau
kekuatan yang mementang demokrasi itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari
32
Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal, h. 42.
berkembangnya kelompok yang pro terhadap penerapan syariat Islam dan anti
demokrasi, seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).33
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa agama bagaikan dunia metaphor, yang
tidak bisa dipandang dari satu kacamata saja. Ayat-ayat kitab suci jagan ditafsirkan
secara literal karena akan kehilangan nilai universal dan humanisnya, tidak ada
contoh keberhasilan dari negara dengan sistem syariat Islam di dunia ini. Sistem
pemerintah Taliban, ketika masih berkuasa di Afghanistan, misalnya hanya dikenal
karena kekuasaan dari hasil opiumnya, apalagi syariat Islam memang hanya
menang di jargon tapi sangat susah bila diterapkan. Tapi bagaimanapun juga ia
mengagumi efisikasi atau keyakinan tinggi dari para ekstrim Islam dalam
memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam sistem pemerintahan.
JIL menegaskan dalam websitenya, yakni penerapan syariat Islam di
Indonesia tidak akan pernah berhasil, karena akhirnya masyarakat akan sadar bahwa
syariat Islam hanya menjadi alat bargai politik bagi segelintir orang politikus.
Syariat Islam akan berhadapan langsung dengan syariat itu sendiri, syariat Islam
yang mana, dan menurut pemahaman siapa yang akan diterapkan nantinya. Inilah
tantangan penerapan syariat Islam itu sendiri.
Syariat Islam tidak akan masalah, tapi pemaksaan pada pemahaman itu yang
salah, syariat Islam harus dibuat sebegitu kuat dan dinamis sehingga orang akan
mengikuti syariat karena kesadaran sendiri bukan paksaan oleh negara.
33
Hasil Wawancara langsung dengan Burhanuddin Muhtadi, salah satu aktivis JIL, yang
sekarang menggeluti penelitian bersama Saiful Mujani di LSI, tanggal 12 Juli 2009
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Perdebatan mengenai pola hubungan agama dan negara di dunia Islam,
masih terus berlangsung antara kalangan yang pro dan kontra, hingga saat ini belum
ada kesepakatan final tentang topik ini. Di beberapa negara Muslim hal ini masih
menjadi perdebatan antara intelektual-intelektual Muslim, tentang bagaimana pola
hubungan antara keduanya tersebut, karena beberapa intelektual Muslim ada yang
menginginkan integritas agama dan negara, beberapa yang lain menghendaki
pemisahan agama dan negara dengan memadukan nilai-nilai Islam, bahkan ada pula
yang sama sekali menginginkan pemisahan antara keduannya tersebut dengan
alasan Islam tidak mempunyai konsep tentang negara (Islam nothing consept).
Sebagimana yang sudah dijelaskan pada bab II, bahwa ada tiga paradigma
yang menjelaskan pola hubungan Islam dan negara. JIL merupakan salah satu
organisasi keagamaan, tetapi kelompok ini tidak menamakan organisasi melainkan
menamakan dirinya sebagai jaringan yang intens mengkaji tentang pola hubungan
Islam dan negara. JIL yang dalam websitenya mempunyai empat agenda politik,
mereka mencoba menawarkan konsep sekularisme yang intinya adalah pemisahan
antara konsep agama dan negara.
Mengenai pola hubungan Islam dan negara menurut JIL, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan, diantarannya sebagai berikut
Pertama, mengenai pola hubungan Islam dan negara, JIL dalam hal ini
mengatakan bahwa Islam dan negara adalah sesuatu yang berbeda dan harus
dipisahkan. Secara jelas dalam buku Wajah Islam Liberal di Indonesia, JIL menolak
konsep negara Islam (Ad-Daulah Al-Islamiyah), dan konsep sekularisme
(secularism concept) sebagai pemisahan antara negara dan agama yang merupakan
konsep yang ideal (ideal concept) untuk Indonesia. Hal ini tertera juga pada agenda
politik JIL yang pertama, yakni, urusan negara adalah murni urusan dunia tanpa
ikut campur negara.
Kedua, mengenai pluralisme agama, JIL menegaskan bahwa setiap agama
tidak boleh menyatakan dengan istilah truth claim, mereka mengatakan semua
agama yang ada di dunia ini adalah sama dan benar.
Ketiga, persoalan HAM. JIL mengatakan bahwa jika negara berpenduduk
mayoritaas Muslim tidak boleh mengekang masyarakat untuk melakukan sesuatu
tanpa melihat agama yang lain, negara harus dapat menjamin kebebasan agamaagama lainnya. HAM menjadi sesuatu yang harus dihargai dan dihormati oleh
siapapun, bahkan negara pun tidak boleh melanggar dan mengekang warganya
untuk melakukan sesuatu.
Keempat, mengenai syariat Islam dalam konteks Indonesia, JIL mengatakan
syariat Islam adalah penafsiran manusia, syariat Islam tidak akan bisa diterapkan
dan tidak boleh dipaksakan.
2. Saran dan Kritik
Berdasarkan pemaparan dari hasil skripsi tersebut dan sudah barang tentu
skripsi inipun sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga melalui inilah penulis
mengajukan beberapa saran dan kritik terhadap gagasan pemikiran JIL. Dengan
saran dan kritik ini penulis berharap dapat memberi kontribusi bagi perkembangan
intelektual, secara khusus bagi penulis dan umumnya bagi pemikir-pemikir Islam
masa depan yang diharapkan dapat menelaah lebih jauh penelitian ini:
Pertama, mengenai hubungan Islam dan negara dimasa depan dan akan
datang, saran yang utama adalah komunitas politik Islam tidak perlu
mengembangkan hubungan Islam dan negara yang bersifat simbolistik-formalistik,
hal ini sangat penting, sehingga tidak berimplikasi pada permusuhan antara Islam
dan kalangan non-Muslim yang sangat berbaur di negara ini.
Kedua, gagasan sekularisme yang sangat digemborkan JIL supaya menjadi
dasar negara, penulis melihat JIL terlalu ceroboh untuk mengartikan sekularisme,
Islam sebenarnya tidak mengenal istilah sekularisme, sekularisme yang ditafsirkan
oleh JIL sebagai pemisahan total layaknya Turki, pemisahan secara total akan
berdampak buruk pula, sekularisme yang dikembangkan jangan mencontoh
kegagalan Turki yang menghapus beberapa lembaga keagamaan dan menempatkan
agama berada di ruang privat. Dasar negara akan terwujud sesuai dengan zaman
dimana ideologi apa yang saat itu berkemabang, pasti ideologi tersebut yang akan
dipakai oleh hampir semua negara bahkan Indonesia sekalipun, sebagai dasar
negara. Sekularisme jangan diartikan sebagai pemisahan total yang harus
memisahkan agama dari negara.
Ketiga, pluralisme agama yang dikembangkan JIL, penulis sangat
mengkritisi gagasan tersebut, salah-satu pengertian pluralisme yakni semua agama
adalah sama dan benar, penafsiran tersebut menurut hemat penulis akan
menimbulkan dampak yang sangat fatal, yakni terjadinya pendangkalan akidah
dikalangan umat Islam, sehingga akan menggoncangkan jati diri umat Islam,
sebagai seorang Muslim harus meyakini agama Islam adalah agama yang benar
sesuai dengan Qs. 3: 15, agama yang berada disisi Allah Swt, pluralisme harus
diartikan sama-sama menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan masing-
masing, biarlah manusia dan tuhannya masing-masing yang mengklaim kebenaran,
bukan antara sesama agama saling mengakui kebenaran.
Keempat, mengenai HAM, penulis beranggapan bahwa jangan ditafsir
secara semaunya, HAM pun harus disesuaikan dengan Islam sebagai agama itu
sendiri, memahami HAM harus dicermati lagi dan harus juga berpegang kepada
pedoman yakni, Al-Qur’an dan Hadis.
Kelima, gagasan pengimplementasi syariat Islam, bagi penulis setiap umat
Islam harus menjalankan syariat Islam dimanapun ia berada, permasalahan
kemudian adalah jika syariat Islam dijadikan hukum negara ini juga harus ditafsir
ulang, karena Indonesia negara yang tidak hanya Islam saja yang berada
didalamnya, agama-agama lain pun banyak yang menghuni negara ini, syariat Islam
sebagai hukum harus diperbincangkan dan diadakan ruang dialog.
JIL tidak akan bisa dipahami hanya dengan pendekatan wacana pemikiran
dan gagasan an sich, yang steril dan vakum dari berbagai pertimbangan lain, sebab
eksistensi JIL sesungguhnya tidak lepas dari konteks-konteks ideologi, politik,
sosiologis dan historis yang melingkupnya. JIL tidak bisa dipahami secara lugu
hanya sebatas wacana dan sebagainnya, tetapi harus dilihat secara komprehensif
sebagai sebuah ideologi yang tidak bisa dilepaskan dari konstelasi politik nasional
dan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdalla, Ulil Abshar, Menjadi Muslim Liberal, Jakarta: Nalar, 2005.
Al-Asmawi, Muhammad Said, Nalar Kritis Syari’ah, Yogyakarta: LKIS,
2004.
Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniah, Kairo: Maktabat Musthafa Al-Babi
Al-Halabi, 1973.
An-Naim, Abdullahi Ahmed, Dekontruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKIS,
1994.
-----------, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan
Syari’ah, Jakarta: Mizan, 2007.
-----------, The Future of Syari’a in The Muslim World, Tanpa Tahun Terbit.
Anwar, M Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian
Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta:
Paramadina, 1995.
Assyaukanie, Lutfhi, (ed), Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: JIL,
2002.
Azra, Azumardi, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme,
Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.
Baehr, Peter R, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Baidhawy, Zakiyuddin, Berislam Di Era Multikulturalisme, Dalam Buku
Abdul Moqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan
Keberagamaan Yang Dinamis, Jakarta: JIL, 2005.
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal Indonesia, Jakarta: Pustaka Antara
Paramadina, 1999.
Berger, Peter L, The Secred Canopy: Element of Social Theory of Religion,
New York: Doulbleday and Company Inc, 1969.
Binder, Leonard, Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Bolkestein, Frits, Liberalisme Dalam Dunia Yang Tengah Berubah, Jakarta:
Sumatera Institute, 2006.
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1981.
Burhanuddin, (ed), Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL
& The Asia Fundation, 2003.
Cassese, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1994.
Davies, Peter, Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1994.
Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik, Jakarta: Putra Berdikari
Bangsa, 2000.
Echols, Jhon M dan Hasan Shadili, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 1996.
Effendy, Bahtiar, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan
Negara Yang Tidak Mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005.
----------, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama 40 Negara dan
Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Espositto, Jhon L, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung:
Mizan, 1999.
Furqon, Aay Muhammad, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis
Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Bandung:
Mizan, 2004.
Ghazali, Abdul Moqsith, Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan
Keberagamaan Yang Dinamis, Jakarta: JIL, 2005.
Hamid, Shalahuddin, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, Jakarta:
Amisco, 2000.
Husaini, Adian, Membedah Islam Liberal, Bandung: PT. S. Anvil Cipta
Media, 2002.
---------,
dan
Nuim
Hidayat,
Islam
Liberal
(Sejarah,
Konsepsi,
Penyimpangan dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani, 2002.
Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan
Dalam Bingkai Persatuan, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
---------, Perang Terminologi Islam Versus Barat, Jakarta: Rabbani Press,
1998.
Jaiz, Hartono Ahmad, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2004.
Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan
Fundamentalis, Magelang: Indonesia Tera, 2001.
-------------------, Wajah Baru Islam di Indonesia, Yogyakarta: UII Press,
2004.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.
Kurzman, Charles, (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001.
Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina,
1992.
--------, Islam Komodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1992.
Mahmada, Nong Darul dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal: Pewaris
Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Litbang Dep. Agama, 2005.
Mardjono,
Hartono,
Menegakkan
Syariat
Islam
Dalam
Konteks
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1997.
Mas’udi F. Masdar, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin
Nadj dan Mardinah, (ed), Diseminasi Hak Asasi Manusia, Jakarta,
Rajawali Press, 2000.
Moten, Abdul Rasyid, Political Science an Islamic Perspektif, London:
Macmalian Press, 1996.
Muhammad, Husein, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiyai
Pesantren, Yogyakarta: LKIS, 2007.
Muzaffar, Chandra, Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru:
Menggugat Dominasi Global Barat, Bandung: Mizan, 1995.
Osman, Muhammad Fathi, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan
(Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban,
Jakarta: Paramadina, 2006.
Qardhawi, Yusuf, Membumikan Syariat Islam: Kekuasaan Aturan Ilahi
Untuk Manusia, Bandung: Mizan, 2003.
Rahman, Budhy Munawr, HAM dan Persoalan Relativisme Budaya, dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus F, (ed), Islam Negara dan
Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta:
Paramadina, 2005.
Rais, Amien, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung:
Mizan, 1998.
Rodee, Carlton Clymer, (ed), Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002.
Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1996
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran), Jakarta: UI PRESS, 1993.
Sommerville, The Sucularazation of Early Modern England, New York:
Oxford, 1992.
Suharto, Rudy, Islam dan Tantangan Modernitas: Kajian Metode Ijtihad
Islam Liberal, Jakarta: Jurnal Al-Huds, 2002.
Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, Jakarta:
Teraju, 2002.
----------, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati
Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999.
Syamsuddin M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos,
2001.
Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan
Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005.
Urbaningrum, Anas, Islam-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid,
Jakarta: Republika, 2004.
Vaezi, Ahmad, Agama Politik: Nalar Politik Islam, Jakarta: Citra, 2006.
Zein, Kurniawan dan Sarifuddin, Syariat Islam Yes-Syariat Islam No:
Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta:
Paramadina, 2001.
Koran dan Majalah
Abdalla, Ulil Abshar, ”Penerapan Syariat Islam”, Tempo 22 Januari 2002.
---------, ”Politik Dalam Islam”, Jawa Pos 1 Juni 2003.
---------, ”Menyegarakan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas 18
November 2003.
Assyaukanie, Lutfhi, ”Cerita Panjang Sejarah Islam Liberal”, Kompas 2
Maret 2007.
---------------, ”Menolak Syariat Islam Untuk Mengatur Kehidupan Publik”,
Kompas 18 November 2002.
Bot, Edward, ”Islam dan Negara Menurut Said Al-Asmawi”, Suara
Muhammadiyah 1-15 Desember 2008.
Effendy, Djohan, ”Kebebasaan Beragama Harus Berarti Kebebasan Untuk
Tidak Beragama, Jawa Pos 26 Agustus 2001.
Misrawi, Zuhairi, ”Tafsir Humanis Atas Syariat Islam, Gatra, 22 Juli 2001.
Mujani, Saiful, ”Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi”, Gatra 5
Agustus 2001.
Sumber Internet
Luthfi Assyaukanie “Asal usul, visi misi, agenda serta tujuan Islam liberal,”
Artikel
diakses
tanggal
20
Januari
2009
dari
http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
Assyaukanie, ”Berkah Sekularisme”, Artikel Diakses Tanggal 17 April 2009
dari http//www.islamlib.com/id/index.php?page=article&id=799//.
Luthfi Assyaukanie “Sejarah Liberalisasi Islam,” Artikel diakses tanggal 20
Januari
2009
dari
http://www.islamlib.com//agenda-islam-
liberal.html.
Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler,”artikel diakses
tanggal
1
Desember
2008
dari
http://islamlib.com/id/index.php?page=artikel&id=148.html//
Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal
1 September 2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politikdalam-islam/
Artikel
diakses
tanggal
20
Januari
2009
dari
http://www.
islamlib.com/id/halaman/tentang-jil/html.
Redaksi JIL “Syariat Islam Membawa Bencara Bagi Umat” Artikel diakses
tanggal 31 Mei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islamliberal.html.
Wawancara antara Majalah Sabili dengan Ulil Abshar Abdalla, tentang
sekularisme dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September
2008, dari http//www.islamlib.com.
Wawancara
Antara
Jeleswari
Pramodhawardani
dengan
Lutfhi
Assyaukanie. Artikel diakses tanggal 29 April 2009 dari
http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
Wawancara antara Suparni Surjono dengan Novriantoni tentang Islam dan
Sekularisme dari http//www.islamlib.com//.
Wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Azumardi Azra Artikel
diakses
tanggal
21
Juni
2009
dari
http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.
Hasil Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Burhanuddin Muhtadi (Mantan aktivis JIL),
Jakarta, tanggal 23 April 2009 dan 25 Mei 2009.
POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL
Cirendeu, Tanggerang tanggal 23 April 2009, melakukakn wawancara guna
menyelesaikan tugas akhir karya ilmiah strata I. Ihsan Maulana Mahasiswa
Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Burhanuddin Muhtadi mantan
aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Wawancara dilaksanakan pada jam 07: 30
WIB.
Ihsan
:
Assaalamu’alaikum, Wr. Wb. Apa kabarnya mas Burhan?
Mas Burhan :
Wa’alaikum Salam, Wr. Wb, alhamdulillah baik, sekarang
bagaimana Ihsan sudah lulus belum kuliahnya?
Ihsan
:
Belum Mas, sekarang lagi menyusun skripsi Mas, judulnya Hubungan Islam
dan negara menurut Jaringan Islam Liberal, apakah sekarang masih di JIL
Mas?
Mas Burhan :
Bagus, lebih fokus kemana kamu menulis itu, sekarang Mas sudah tidak
aktif di JIL, saya sekarang bersama Bpk. Saiful Mujani di LSI, memang
dulu Mas aktif, tapi sekarang sudah malas berbicara JIL lagi pula Mba
Rahma melarang saya di JIL.dia takut nanti saya liberal dari semua
pemahaman keislaman.
Ihsan
:
Setelah studi ke Australia, terus Mas ambil tesis apa?
Mas Burhan :
Sekolah di luar negeri dan di dalam negeri sama saja, tergantung dari kita
mau belajar yang sungguh-sungguh atau tidak, apa serius apa cuma gayagaya saja, tesis saya tentang PKS.
Ihsan
:
Mas, saya agak kesulitan dalam penyelesaian skripsi saya, soalnya tokohtokoh tidak ada di Indonesia, saya sama Mas Burhan saja, oh iya Mas, kapan
ya JIL berdiri?
Mas Burhan :
Sebelum saya aktif, JIL sebenarnya sudah ada, kalau tidak salah tanggal 09
Maret 2001, kamu liat aja di situsnya.
Ihsan
:
Mas atas dasar apa JIL berdiri, tujuannya apa mas?
Mas Burhan :
Setahu dan seingat saya, JIL berdiri atas kumpul-kumpul intelektual muda
yang pola pikirnya sama dengan intelektual-intelekyual yang senior seperti
Nurcholish Madjid, berawal dari diskusi lama-lama terbentuk itu JIL, kalau
tujuanya pasti berbeda-beda antara saya dan tokoh-tokoh yang lain, kalau
saya melihat tujuannya kearah pemikiran yang lebih terbuka tapi tetap
berdasarkan Al-Qur’an. Mungkin menyebarakan pemikirannya kepada
masyarakat luas, terutama kalangan akademisi.
Ihsan
:
Mas, bagaimana perkembangan, nah dananya dari mana tuh?
Mas Burhan :
Kalau perkembangan sekarang saya kurang tahu, yang waktu saya aktif
banyak perkembangan dan program, seperti diskusi lewat kampus, lewat via
internet, menerbitkan buku yang dibuat sendiri oleh JIL, mengundang
tokoh-tokoh yang JIL anggap sama daya pikir kritisnya dan tokoh yang
menginspirasi JIL itu sendiri, soal dana banyak dari kocek sendiri, LSM dan
The Asia Fundation.
Ihsan
:
Mas, masa perkembangan sedikit bangat?
Mas Burhan :
Saya banyak lupa, kamu liat aja di internet, saya kasih buku kemudian kamu
baca, jagan diliat aja.
Ihsan
:
Mas, sebagaimana mas katakan tadi The Asia Fundation, kalau di bukubuku JIL, banyak ada bacaan JIL dan The Asia Fundatioan, itu organisasi
atau apa Mas?
Mas Burhan :
Ah kamu sudah tau malah tanya saya! The Asia Fundation itu LSM, kadangkadang JIL itu bekerja sama dengan pihak tersebut tapi kadang-kadang juga
tidak
Ihsan
:
Ah Mas sembunyi-sembunyi ni, tidak kenapa-kenapa ko Mas, kan saya
saudara Mas juga, hehehe?
Mas Burhan :
Tidak ko, tidak sembunyi, lebih jelas kamu liat di internet aja
Ihsan
:
Mas suruh saya liat internet melulu, saya kan tidak punya komputer,
mengerjakan skripsi aja di rumah Mba Lia, saya bagi satu ya Laptopnya,
hehehe...! Mas saya pinjem buku-buku yang ada sangkut pautnya tentang
JIL ya?
Mas Burhan :
Ya, pinjam saja, nanti kalau sudah selesai kembalikan lagi, tulis saja buku
yang kamu pinjam, Mas juga sudah lupa bukunya ada di rak mana.
Ihsan
:
Mas, saya kan bab empat membahas tentang Islam dan Sekularisme, Islam
dan Pluralisme, HAM serta Penerapan Syariat Islam di Indonesia,
bagaimana Mas?
Mas Burhan :
Ya udah tidak kenapa-kenapa, kata pembimbing kamu bagaimana ko malah
tanya saya!
Ihsan
:
Katanya tidak kenapa-kenapa, oh ya mas saya minta pendapat tentang
masalah tersebut ya. Mas, Islam dan Sekularime bagaimana?
Mas Burhan :
Islam dan Sekularisme itu dua konsep yang berbeda, Islam ya Islam
sekularisme ya sekularisme. Islam tidak mengenal sekularisme. Sekularisme
itu suatu paham yang memisahkan urusan agama dan negara, bukan berarti
yang tidak ada itu kita tinggalkan. Masalah ini sebenarnya menyangkut
masalah politik. Sekularisme itu lawan dari fundamentalisme Islam yang
mencoba menyatukan agama dan negara, dalam hal ini Islam tidak mungkin
disatukan kedalam permasalahan negara. Islam harus dipisahkan dengan
negara, yang ditakutkan Islam cuma sebagai simbol saja, sebagai alat
legitimasi politik, oleh karena itu harus ada pemisahan antara agama dan
negara, bukan berarti jauh dari agama. Islampun harus berperan dalam
negara.
Ihsan
:
Kenapa harus sekularisme?
Mas Burhan :
Indonesia bukan negara Islam, Al-Daulah Al-Islamiyah tidak ada, kita juga
tidak mengenal wilayatul faqih dalam konsep syiahnya Iran, jangan
dipikirkan sekularisme itu seperti banyak orang, pasti akan buruk pemikiran
tersebut, bukan berarti yang dari Barat itu buruk.
Ihsan
:
Kalau Islam dan Pluralisme bagaimana Mas?
Mas Burhan :
Saya tidak bisa lama-lama disini, saya mau jalan kerja, lain kali aja ya?
Ihsan
:
Terim kasih ya Mas
Mas Burhan :
Sama-sama oh ya, kalau mau datang lagi telepon dulu, takutnya saya tidak
ada di rumah.
Ihsan
:
Ya, terima kasih.
Cirendeu, Tanggerang tanggal 25 Mei 2009, melakukakn wawancara guna
menyelesaikan tugas akhir karya ilmiah strata I. Ihsan Maulana Mahasiswa
Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Burhanuddin Muhtadi mantan
aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Wawancara dilaksanakan pada jam 21: 00
WIB.
Mas Burhan :
Sudah lama apa baru sampai ?
Ihsan
:
Lumayan Baru 15 menit
Mas Burhan :
Dari mana?
Ihsan
:
Dari rumah
Mas Burhan :
Kabar Ma’ Aji bagaimana?
Ihsan
:
Alhamdulillah sehat, oh ya Mas langsung aja ya karena sudah malam,
kemarin kan saya bertanya tentang sekularaisme sekarang pluralisme,
bagaimana menurut Mas?
Mas Burhan :
Pluralisme apa saya lupa,
Ihsan
:
Mas, sudah malam, besok saya mau kerja masuk pagi!
Mas Burhan :
Pluraalisme itu suatu paham yang banyak intelektual Muslim mengatakan
bahwa semua agama itu sama, kita tidak berhak mengklaim agama kita
paling benar dari pada agama yang lain, dihadapan pemeluk-pemeluk
agama. Tapi kita sebagai Muslim berhak meyakini bahwa Islam adalah
agama yang berada disisi Allah, pluralisme merupakan agenda JIL, dimana
pluralisme harus dijalankan dalam kehidupan beragama, karena Indonesia
itu banyak beragama etnik dan agama yang berbaur. Dimanapun kita berada,
apakah itu sebagai minoritas atau mayoritas, intinya adalah sama-sama
menghargai dan menghormati, yang terpenting adalah jangan mengklaim
kebenaran, kalu sama-sama mengklaim kebenaran, akan terjadi konflik antar
agama nantinya.
Ihsan
:
Mengenai Islam dan HAM bagaimana Mas?
Mas Burhan ;
HAM merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam yang
menjadi mayoritas. Islam pun sebenarnya sangat menjunjung tinggi HAM,
hak orang lain diluar Islam pun memiliki hak yang sama dengan hak umat
Islam, negara pun harus bisa memahami tentang hal ini.
Ihsan
:
Bagaimana tentang syariat Islam Mas?
Mas Burhan :
Mengenai syariat Islam, sebenarnya ini gagasan fundamentalis dan Islam
radikal, ide ini sebenarnya timbul ketika suatu agama yang telah merdeka
atau peralihan kemerdekaan, kemudian orang-orang tersebut gerah terhadap
pemerintahan otoriter, setelah pemerintahan jatuh, kalangan tersebut
membuka peluang untuk masuk kedalam sistem kenegaraan.
Ihsan
:
Apakah syariat Islam wajib dijalankan?
Mas Burhan :
Wajib lah, tetapi banyak dari syariat Islam itu dijadikan alat politik para
pemuka politikus Islam, jadi syariat Islam sebatas topeng saja
Ihsan
:
Sudah malam nih Mas, Terima Kasih ya?
Mas Burhan :
Sama-sama
Ihsan
:
Assalamu’alaikum
Mas Burhan :
Waalaikum Salam
Download