(CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK)

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK) atau
yang sering disebut juga dengan gagal ginjal kronis (GGK) adalah kerusakan pada
ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa dari
darah, dengan ditandai adanya protein dalam urin serta penurunan laju filtrasi
glomerulus yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Black & Hawks, 2009).
Sebanyak 10% dari populasi dunia terkena PGK, dan jutaan diantaranya
meninggal setiap tahun karena pengobatan yang tidak terjangkau (World Kidney
Day, 2015). Menurut studi Global Burden of Disease tahun 2010, PGK
menempati peringkat ke-27 dalam daftar penyebab kematian diseluruh dunia pada
tahun 1990, namun naik menjadi peringkat ke-18 pada tahun 2010 (Jha et al.,
2013). Lebih dari 2 juta orang diseluruh dunia saat ini menerima pengobatan
dengan dialisis atau transplantasi ginjal untuk tetap hidup, namun angka ini
mungkin hanya mewakili 10% dari orang yang benar-benar membutuhkan
pengobatan untuk hidup (Couser et al., 2011).
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi gagal
ginjal kronis berdasar diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi
tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti di Aceh, Gorontalo, dan
Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
1
2
Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur
masing-masing 0,3%.
Kurang lebih dari 26 juta orang dewasa di Amerika dan Negara lain
berisiko terkena PGK. Insidensi dan prevalensi gagal ginjal meningkat setiap
tahunnya. Banyak
pasien yang dihadapkan pada problem medis yang
berhubungan dengan PGK, salah satu dan yang menjadi mayoritas problem
tersebut adalah anemia yang berkembang sejak awal pasien terkena PGK dan
berkontribusi dalam penurunan kualitas hidup pasien (Lankhorst & Wish, 2010).
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien PGK adalah defisiensi
eritropoietin sedangkan faktor lain yang mempengaruhi diantaranya adalah
berkurangnya masa hidup sel darah merah, kehilangan darah, dan kekurangan zat
besi (Wells et al., 2009). Anemia pada PGK dapat diterapi dengan pemberian
Recombinant Human Erythropoietin (r-HuEPO) atau transfusi. Penanganan untuk
anemia defisiensi besi diatasi dengan pemberian preparat besi. Selain itu, pada
pasien dengan status gizi rendah harus diperbaiki dengan pemberian gizi yang
baik dan hemodialisis yang adekuat (KDIGO, 2012).
Menurut National Kidney Foundation di Amerika (NKF-K/DOQI)
merekomendasikan pemberian Recombinant Human Erythropoeitin (r-HuEPO)
pada semua tingkat PGK, baik yang belum atau telah menjalani terapi dialisis.
Terapi r-HuEPO pada pasien PGK telah terbukti bermakna secara klinik
(Evidence Level A) dapat menghilangkan gejala maupun mengurangi komplikasi
akibat anemia pada pasien PGK. Selain itu terapi r-HuEPO dapat mengurangi
kebutuhan transfusi darah, mengurangi komplikasi transfusi, mengurangi efek
3
sekunder anemia terhadap sistem kardiovaskuler, serta meningkatkan kualitas
hidup secara umum (PERNEFRI, 2011).
Pengobatan
dengan
Erythropoietin-Stimulating
Agents
(ESA)
menggunakan beberapa variasi dosis yang disesuaikan dengan kadar Hb pasien.
Tujuan dari penggunaan ESA adalah untuk meningkatkan kadar Hb 1-2 g/dL (1020 g/L) selama sebulan, dan menghindari peningkatan konsentrasi Hb hingga >2
g/dL dalam satu bulan. Tingkat kenaikan kadar Hb bervariasi tergantung dari
respon individu terhadap ESA. Pasien yang menjadi poor responder diantaranya
adalah wanita, memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, memiliki tanda-tanda
kekurangan zat besi dan mengalami inflamasi, serta pasien dengan kelebihan berat
badan. Selain hal tersebut, respon terapi juga tergantung pada dosis awal,
frekuensi dosis, dan rute pemberian (KDIGO, 2012).
Pharmaceutical
care
mempunyai
makna
secara
langsung
yaitu,
bertanggung jawab dalam menyediakan obat yang bertujuan untuk mencapai hasil
terapi tertentu guna meningkatkan kualitas hidup pasien.
Hasil terapi tersebut
meliputi: menyembuhkan penyakit, mengurangi gejala yang dirasakan pasien,
memperlambat proses perjalanan penyakit, mencegah penyakit atau gejala-gejala
penyakit. Farmasis mempunyai tiga peran penting dalam pharmaceutical care,
yaitu: (1) Mengidentifikasi DRPs baik yang aktual maupun yang potensial terjadi,
(2) Mengatasi DRPs yang terjadi aktual, dan (3) mencegah terjadinya DRPs
potensial (Bezverhni et al., 2012).
Pasien dengan PGK memiliki berbagai macam komplikasi seiring dengan
meningkatnya derajat (stage) PGK. Komplikasi tersebut antara lain dislipidemia,
4
hiperkalemia, asidosis metabolik, anemia, dan gangguan tulang dan mineral (Walt
et al., 2015). Selain itu, pasien dengan PGK juga memiliki beberapa kondisi
komorbiditas seperti hipertensi, diabetes, gagal jantung, obstruksi saluran kemih,
dan lain sebagainya (KDOQI, 2002). Penyakit yang lebih dari satu pasti akan
mengarah pada penggunaan beberapa obat yang sering disebut dengan polifarmasi
(Nobili et al., 2011). Polifarmasi tersebut dikaitkan dengan peningkatan risiko
terjadinya drug related problems (DRPs) (Viktil et al., 2006).
Munculnya
beberapa
kondisi
yang
telah
disebutkan
di
atas,
memungkinkan terjadinya DRPs karena penggunaan berbagai macam obat untuk
mengobati komplikasi maupun komorbid yang ada. Seperti salah satu penelitian
oleh Marquito dkk (2013) menyatakan bahwa dalam peresepan obat yang
diberikan kepada pasien PGK berpotensi menimbulkan interaksi obat yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti diabetes melitus, hipertensi,
obesitas dan kondisi PGK yang lebih lanjut. Selain itu, penelitian dari Manley dkk
(2005) melaporkan kejadian DRPs sebanyak 1.593 kasus yang terjadi pada 395
pasien dialisis. Menurut penelitian dari Joel dkk (2013) kejadian DRPs pada PGK
berbanding lurus dengan jumlah obat yang diberikan. Begitu pula pada penelitian
yang dilakukan oleh Rani dkk (2014) disebutkan bahwa jumlah kejadian DRPs
yang semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah obat yang diberikan pada
pasien PGK.
Mengingat akan hal itu, perlunya dilakukan kajian terhadap kejadian DRPs
terhadap pasien PGK dengan anemia, dan melihat pengaruh usia, jumlah
komorbid dan jumlah obat yang digunakan terhadap kejadian DRPs, guna
5
memperkecil angka terjadinya DRPs untuk mencapai hasil terapi yang diharapkan
dan dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui :
1.
Berapakah persentase kejadian setiap kategori DRPs meliputi: terapi obat
yang tidak perlu, perlu terapi obat tambahan, dosis terlalu rendah, adverse
drug reaction dan dosis terlalu tinggi, serta total kejadian DRPs pasien PGK
dengan anemia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
2.
Apakah terdapat hubungan antara usia, jumlah komorbid, serta jumlah obat
yang digunakan pasien PGK dengan anemia dengan kejadian DRPs di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui persentase kejadian setiap kategori DRPs serta total
kejadian DRPs pasien PGK dengan anemia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2.
Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara usia, komorbid, serta
jumlah obat yang digunakan pasien PGK dengan anemia dengan kejadian
DRPs di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
.
6
D. Manfaat Penelitian
1.
Sebagai salah satu sumber informasi mengenai kejadian DRPs pada pasien
PGK dengan anemia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2.
Sebagai bahan kajian bagi apoteker mengenai kejadian DRPs di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta guna mengatasi dan mencegah terjadinya DRPs di
kemudian hari.
3.
Sebagai masukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Penyakit ginjal kronik (PGK)
a. Definisi PGK
PGK didefinisikan sebagai kelainan fungsi ginjal atau struktur ginjal
selama lebih dari 3 bulan, terjadi penurunan kecepatan filtrasi glomerulus
(Glomerular Filtration Rate – GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73m2 dengan atau
tanpa kerusakan ginjal (Anonim, 2015b; KDOQI, 2002). PGK merupakan suatu
gangguan progresif fungsi ginjal yang bersifat irreversible dalam kasus
metabolisme maupun dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit serta
dapat menyebabkan uremia (Moeljono, 2014).
b. Etiologi
Dua penyebab utama dari PGK ini adalah diabetes dan tekanan darah
tinggi, yang terjadi pada dua dari tiga kasus. Diabetes terjadi ketika gula darah
terlalu tinggi, menyebabkan kerusakan banyak organ dalam tubuh, termasuk
ginjal dan jantung, serta pembuluh darah, saraf dan mata. Tekanan darah tinggi,
7
atau hipertensi, terjadi ketika tekanan darah terhadap dinding pebuluh darah
meningkat. Jika tidak terkendali, atau tidak terkontrol, tekanan darah tinggi dapat
menjadi penyebab utama serangan jantung, stroke dan PGK. PGK juga
menyebabkan tekanan darah tinggi (Anonim, 2015a).
Beberapa kondisi yang juga dapat menyebabkan PGK dengan prevalensi
yang lebih kecil, antara lain:
a. Glomerulonefritis (radang ginjal)
b. Pielonefritis (infeksi pada ginjal)
c. Penyakit ginjal polikistik
d. Kegagalan pembentukan ginjal normal pada bayi yang belum lahir ketika
berkembang di rahim
e. Lupus eritematosus sistemik (kondisi dari sistem kekebalan tubuh di mana
tubuh menyerang ginjal yang dianggap sebagai benda asing)
f. Jangka panjang penggunaan rutin obat-obatan seperti : obat litium dan
NSAID, termasuk aspirin dan ibuprofen.
g. Penyumbatan, misalnya karena batu ginjal atau penyakit prostat.
(Anonim, 2015c)
Menurut data PERNERI (Perkumpulan Nefrologi Indonesia) tahun 2011,
penyebab
PGK
pada
pasien
hemodialysis
didapatkan
sebagai
berikut,
glomerulopati primer 14%, nefropati diabetika 27%, nefropati lupus 1%, penyakit
ginjal hipertensi 34%, ginjal polikistik 1%, nefropati asam urat 2%, nefropati
obstruksi 8%, pielonefritis kronik 6%, lain-lain 6%, tidak diketahui 1%.
8
c. Faktor Risiko
PGK memiliki beberapa faktor risiko, dimana faktor risiko tersebut
didefinisikan sebagai suatu pemicu yang dapat memperbesar dan mempercepat
proses dari suatu penyakit. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI)
telah mengkategorikan faktor risiko PGK antara lain sebagai berikut, yang tertera
dalam tabel I.
Faktor Kerentanan
Faktor Inisiasi
Faktor Progresi
Tabel I. Faktor Risiko PGK
Definisi
Contoh
Meningkatkan kerentanan
Usia yang lebih tua, riwayat
terhadap penyakit ginjal
keluarga
Secara langsung menginisiasi
Diabetes,
tekanan
darah
penyakit ginjal
tinggi, penyakit autoimun,
infeksi
sistemik,
infeksi
saluran kemih, batu ginjal,
obstruki saluran kemih bagian
bawah, toksisitas obat
Menyebabkan memburuknya Kadar proteinuria tinggi,
penyakit ginjal dan penurunan tekanan darah yang lebih
fungsi ginjal secara cepat tinggi, kontrol glikemik yang
setelah inisiasi penyakit ginjal buruk pada pasien diabetes,
merokok
(KDOQI, 2002)
d. Patofisiologi
Mayoritas penyebab terjadinya penyakit ginjal progresif biasanya terjadi
karena kerusakan parenkim ginjal yang bersifat irreversibel. Elemen kunci jalur
tersebut adalah hilangnya masa nefron, hipertensi kapiler glomerular dan
proteinuria. Beberapa peneliti meyakini bahwa kerusakan ginjal ini berhubungan
dengan peningkatan tekanan atau peregangan sisa glomerulus. Hal ini terjadi
akibat vasodilatasi fungsional atau peningkatan tekanan darah dan regangan
kronis pada arteriol dan glomeruli diduga akhirnya menyebabkan sklerosis pada
pembuluh. Lesi-lesi sklerosis ini akhirnya dapat mengakibatkan penurunan ginjal
lebih lanjut yang berakhir pada ESRD (Guyton dan Hall, 2007).
9
e. Manifestasi Klinik
a. Gejala dan tanda PGK stadium awal (Arici, 2014)
1) Lemah
2) Nafsu makan berkurang
3) Nokturia, poliuria
4) Terdapat darah pada urin, atau urin berwarna lebih gelap
5) Urin berbuih
6) Sakit pinggang
7) Edema
8) Peningkatan tekanan darah
9) Kulit pucat
b. Gejala dan tanda PGK stadium lanjut (Arici, 2014)
1) Umum (lesu, lelah, peningkatan tekanan darah, tanda-tanda kelebihan
volume, penurunan mental, cegukan)
2) Kulit ( penampilan pucat, uremic frost, pruritic exexcoriations)
3) Pulmonari (dyspnea, efusi pleura, edema pulmonari, uremic lung)
4) Gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, kehilangan berat badan,
stomatitis, rasa tidak menyenangkan di mulut)
5) Neuromuskuler (otot berkedut, sensorik perifer dan motorik neuropati,
kram otot, gangguan tidur, hiperrefleksia, kejang, ensefalopati, koma)
6) Metabolik endokrin (penurunan libido, amenore, impotensi)
7) Hematologi (anemia, pendarahan abnormal)
10
f. Klasifikasi PGK
PGK dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 hal, yaitu menurut diagnosis
etiologi dan menurut derajat (stage) penyakit. Klasifikasi atas dasar derajat (stage)
penyakit dibuat berdasarkan level laju filtrasi glomerulus (LFG) yang dapat dilihat
pada tabel II:
Tabel II. Klasifikasi Stadium PGK Berdasarkan Level GFR
GFR
Stadium (ml/mnt/1,73
Deskripsi
Simptom
m2)
GFR
1
≥ 90
normal/meningkat
60-89
Penurunan
ringan
GFR Asimptomatik
2
45-59
Penurunan
sedang
GFR Asimptomatik
3a
3b
30-44
Penurunan
sedang
GFR Anemia, fatigue, kram
otot
4
15-29
Penurunan
berat
5
<15
GFR Anoreksia, Nausea,
Gout, Insomnia,
Neuropati
Penyakit
ginjal Itch, sakit kepala,
stadium akhir
gangguan kognitif,
kematian
(Dasari et al., 2014)
g. Komplikasi
PGK juga disertai dengan penyakit lain sebagai penyulit atau komplikasi
yang sering lebih berbahaya. Komplikasi yang sering ditemukan menurut Alam &
Hadibroto (2008) antara lain :
a. Anemia
Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena terjadi
gangguan pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas mematangkan sel
11
darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung
kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi
karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan
jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan,
kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada
kaki dan tangan.
b. Osteodistrofi ginjal
Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan
metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah tinggi, akan
terjadi pengendapan garam dan kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak
(klasifikasi
metastatic)
berupa
nyeri
persendian
(artritis),
batu
ginjal
(nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama
jantung, dan gangguan penglihatan.
c. Gagal jantung
Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang
memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau
daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada penderita PGK dimulai dari
anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi
pelebaran bilik jantung kiri (left ventricular hypertrophy/LVH). Lama-kelamaan
otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana
mestinya (sindrom kardiorenal).
12
d. Disfungsi ereksi
Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan
ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya.
Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang memproduksi hormon testosteron
untuk merangsang hasrat seksual (libido)), secara emosional penderita gagal ginjal
kronis menderita perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Penyebab
utama gangguan kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai
darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan ginjal.
h. Komorbid
Pasien dengan PGK memiliki sejumlah besar kondisi komorbiditas.
Komorbiditas didefinisikan sebagai kondisi selain penyakit utama (dalam hal ini,
PGK), dan diklasifikasikan ke dalam 3 bagian:
a. Penyakit yang menyebabkan PGK antara lain adalah diabetes, tekanan darah
tinggi, dan obstruksi saluran kemih.
b. Penyakit yang tidak berhubungan dengan PGK yaitu penyakit paru obstruktif
kronis, gastroesophageal reflux disease (GERD), penyakit degeneratif sendi,
penyakit Alzheimer, Malignansi.
c. Penyakit Kardiovaskular seperti atherosklerosis (penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler, penyakit periferal vaskuler), hipertrofi ventrikel kiri,
gagal jantung.
(KDOQI, 2002)
13
i. Diagnosis
Setiap sistem organ utama akan dipengaruhi oleh penyakit gagal ginjal
kronik, hal itu terutama terjadi jika perkembangannya telah mencapai end-stage
renal disease (ESRD). Tanda dan gejala dihubungkan dengan uremia dan
komplikasi sekunder PGK. Secara subyektif dan obyektif, tanda dan gejala yang
nampak bergantung dengan stadium PGK yang diderita (Dipiro et al., 2005).
Pendekatan diagnosis PGK mempunyai sasaran berikut (Sukandar, 2006):
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal
b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi semua faktor yang dapat memperburuk fungsi ginjal
(reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar,
2006).
2. Anemia pada PGK
Anemia merupakan komplikasi yang umum terjadi pada PGK,
prevalensinya akan meningkat seiring dengan meningkatnya derajat (stage) dari
PGK itu sendiri, sehingga hampir semua pasien dengan PGK stadium 5 terkena
anemia (Lodolce & Krueger, 2012).
14
a. Eritropoiesis
Ginjal mempunyai peranan yang sangat penting dalam produksi eritrosit.
Ginjal memproduksi enzim yang disebut faktor eritropoietin yang mengaktifkan
eritropoietin, hormon yang dihasilkan hepar. Fungsi eritropoietin adalah
menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah, terutama sel darah
merah. Tanpa eritropoietin, sumsum tulang pasien penyakit hepar atau ginjal tidak
dapat memproduksi sel darah merah (Baradero et al., 2005).
b. Definisi Anemia
Anemia menurut KDOQI didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
kadar hemoglobin kurang dari 13,5 g/dL pada pria dewasa, dan kurang dari 12
g/dL pada wanita dewasa (KDOQI, 2002). Anemia merupakan suatu kondisi
dimana terjadi penurunan haemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada
penurunan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen (Dipiro et al., 2005).
Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau kapasitas
membawa oksigen tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologis yang
bervariasi menurut umur, jenis kelamin, ketinggian, merokok dan status
kehamilan (WHO, 2015).
c. Klasifikasi Anemia
Secara morfologi anemia dibagi menjadi:
a. Anemia makrositik atau yang sering disebut anemia megaloblastik (defisiensi
vitamin B12, defisiensi asam folat)
15
b. Anemia mikrositik hipokromik antara lain yaitu anemia defisiensi besi,
kelainan genetik (anemia sickle cell, thalassemia, kelainan hemoglobin)
c. Anemia normositik yaitu pendarahan berat, hemolysis, kegagalan pada
sumsum tulang, anemia pada penyakit kronis.
d. Anemia pada penurunan fungsi gagal ginjal
e. Anemia pada kelainan endokrin
f. Anemia myelodisplastik
(Dipiro et al., 2008)
d. Patofisiologi Anemia pada PGK
Patofisiologi anemia pada pasien PGK yang utama disebabkan oleh
penurunan produksi hormon eritropoietin oleh sel-sel progenitor di medula ginjal
(Dipiro et al., 2005). Eritropoietin tersebut penting dalam stimulasi diferensiasi
sel induk unipotensial menjadi sel pronormoblast eritrosit di dalam sum-sum
tulang (Soeparman dan Sukaton, 1990), sehingga apabila terjadi penurunan
eritropoietin akan terjadi anemia karena penurunan jumlah eritrosit. Faktor lain
yang berkaitan dengan anemia adalah terjadi penurunan waktu hidup eritrosit
sebagai akibat kondisi uremia, pada pasien PGK stadium 5 umur eritrosit hanya
60 hari (Dipiro et al., 2005). Penurunan jumlah dan umur eritrosit tersebut
mengakibatkan terjadinya anemia dengan jenis normositik (Soeparman et al.,
1990).
16
e. Etiologi
Secara umum etiologi anemia dibagi menjadi 3, yang pertama adalah
defisiensi yang meliputi defisiensi Fe, vitamin B12, asam folat dan piridoksin.
Yang kedua adalah gangguan fungsi sumsum tulang yang meliputi anemia pada
penyakit kronis, anemia pada geriatrik, dan kelainan sumsum tulang malignan.
Dan yang ketiga adalah gangguan pada sistim perifer yaitu pendarahan dan
hemolisis (Dipiro et al., 2005).
Faktor-faktor yang ikut berperan dalam timbulnya anemia pada PGK,
yaitu :
a. Gangguan eritropoesis yang meliputi defisiensi eritropoietin, Fe, asam folat,
inhibitor uremik, hiperparatiroid, intoksikasi aluminium.
b. Pemendekan umur eritrosit antara lain hemolysis, transfusi berulang.
c. Kehilangan darah yang disebabkan oleh pendarahan karena trombopati
ataupun prosedur hemodialisis.
(Pranawa, 1993)
f. Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang timbul antara lain lemah, pusing, napas yang pendek,
takikardi, pucat. Indikasi data laboratorium dalam pemeriksaan adalah
hemoglobin (Hb), red blood cell (RBC), hematokrit rendah. Mean corpuscular
volume (MCV), transferrin saturation (TSAT), ferritin rendah untuk anemia
defisiensi Fe. MCV tinggi untuk anemia defisiensi asam folat dan Vitamin B12
(Dipiro et al., 2005).
17
g. Diagnosis
Diagnosis dan evaluasi anemia pada pasien PGK menurut Kidney Disease:
Improving Global Outcomes (KDIGO) (2012) :
a. Pada pasien PGK tanpa anemia, dilakukan pemantauan kadar Hemoglobin
(Hb) jika terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium).
b. Pada pasien PGK dengan anemia tanpa terapi ESA, dilakukan pemantauan
kadar Hb jika terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium).
c. Diagnosis anemia pada pasien dewasa atau anak usia > 15 tahun jika kadar Gb
< 13 g/dL pada pria atau < 12 g/dL pada wanita.
d. Diagnosis anemia pada pasien anak jika kadar Hb < 11 g/dL (usia 0,5-5
yahun), < 11,5 g/dL (usia 5-12 tahun), dan < 12 g/dL (usia 12-15 tahun).
e. Pada pasien PGK dengan anemia, dilakukan pemeriksan darah perifer
lengkap, hitung retikulosit absolut, kadar ferritin serum, saturasi transferin
serum (TSAT), serta kadar vitamin B12 dan folat serum.
h. Penatalaksanaan Anemia pada PGK
Adapun beberapa macam tatalaksana terapi anemia pada pasien PGK yang
direkomendasikan oleh KDIGO (2012) adalah sebagai berikut:
a. Pemberian Fe untuk terapi anemia pada pasien PGK:
1) Saat memberikan terapi Fe, dipertimbangkan rasio risiko-manfaat
(meminimalkan transfusi darah, pemberian ESA, gejala dan komplikasi
anemia, serta risiko efek samping terapi Fe).
18
2) Pada pasien PGK dewasa dengan anemia tanpa terapi ESA atau Fe,
dianjurkan pemberian Fe secara intravena (i.v) sebagai uji coba (trial) jika
diinginkan peningkatan kadar Hb tanpa pemberian ESA atau kadar TSAT
≤ 30% dan kadar feritin ≤ 500 ng/mL.
3) Pada pasien PGK dewasa yang tidak mendapat terapi Fe namun mendapat
terapi ESA, dianjurkan pemberian Fe i.v sebagai uji coba (trial) jika
diinginkan peningkatan kadar Hb atau penurunan dosis ESA dan TSAT ≤
30% dan kadar feritin ≤ 500 ng/mL.
4) Pada pasien PGK non-dialisis yang membutuhkan suplementasi Fe,
pemilihan rute pemberian Fe berdasarkan derajat defisiensi Fe,
ketersediaan akses intravena, respons terhadap pemberian Fe oral
sebelumnya, efek samping pemberian Fe oral/i.v sebelumnya, tingkat
kepatuhan pasien, dan biaya terapi.
5) Pemberian Fe berikutnya disesuaikan berdasarkan respons Hb, status Fe,
respons terhadap terapi ESA, dan status klinis pasien.
6) Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang tidak mendapat terapi
Fe atau ESA, direkomendasikan pemberian Fe oral (atau Fe i.v jika
menjalani hemodialisis) saat TSAT ≤ 20% dan kadar feritin serum ≤ 100
ng/mL. Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang mendapat
terapi ESA namun tidak mendapat terapi Fe, direkomendasikan pemberian
Fe oral (atau Fe i.v jika menjalani hemodialisis) untuk mempertahankan
TSAT > 20% dan feritin serum > 100 ng/mL.
19
7) Pemantauan status Fe (TSAT dan feritin serum) dilakukan minimal setiap
3 bulan selama mendapat terapi ESA. Pemantauan dianjurkan lebih sering
saat mulai atau peningkatan dosis terapi ESA, saat terjadi kehilangan
darah, pemantauan respons setelah 1 siklus terapi Fe i.v, atau kondisi lain
dimana terjadi kehilangan Fe.
8) Pasien yang mendapat Fe i.v dianjurkan untuk dipantau selama 60 menit
pasca infus terhadap terjadinya reaksi alergi.
9) Hindari pemberian Fe i.v pada pasien dengan infeksi sistemik.
b. Pemberian ESA dan terapi lain untuk terapi anemia pasien PGK
1) Inisial ESA:
a) Sebelum memulai terapi ESA, disingkirkan kemungkinan penyebab
terjadinya anemia (termasuk defisiensi besi dan kondisi inflamasi).
b) Pertimbangkan rasio risiko-manfaat sebelum memulai terapi ESA
c) Hati-hati pemberian ESA pada pasien PGK dengan penyakit kanker.
d) Jika kadar Hb > 10g/dL tidak direkomendasikan pemberian terapi
ESA.
e) Pada pasien PGK dewasa, terapi ESA dianjurkan untuk dimulai saat
kadar Hb 9,0-10,0 g/dL untuk mencegah penurunan kadar < 9g/dL.
f) Pada beberapa pasien dimana peningkatan kualitas hidup pasien
terpantau pada kadar Hb yang lebih tinggi, terapi ESA dimulai pada
kadar Hb > 10 g/dL.
g) Pada
pasien
dewasa
dengan
konsentrasi
Hb
<
10,0g/dL
direkomendasikan supaya inisiasi terapi ESA secara individual
20
berdasarkan konsentrasi Hb, respon sebelum terapi besi, risiko
membutuhkan transfusi, risiko yang terkait dengan terapi ESA dan
adanya gejala anemia yang timbul.
h) Terapi ESA secara umum tidak ditujukan untuk mempertahankan
kadar Hb > 11,5 g/dL pada pasien PGK dewasa. Namun, pada pasien
tertentu kadar Hb > 11,5 g/dL mungkin diperlukan.
i) Dosis ESA awal ditentukan menurut kadar Hb pasien, berat badan, dan
pertimbangan klinis.
j) Penyesuaian dosis ESA menurut kadar Hb pasien, perubahan kadar
Hb, dosis ESA saat ini, serta pertimbangan klinis.
k) Dosis awal ESA (Epoietin alfa dan beta) yaitu 20-50 IU/kgBB 3 kali
seminggu.
l) Dosis epoietin alfa dapat ditingkatkan setiap 4minggu dengan
peningkatan dosis mingguan 3 kali 20 IU/kg jika diperlukan
m) Jika kadar Hb mendekati 11,5 g/dL, dosis ESA diturunkan 25%. Jika
kadar Hb terus meningkat, terapi perlu dihentikan sehingga kadar Hb
turun kembali.
n) Jika kadar Hb meningkat > 1g/dL dalam periode 2 minggu, dosis ESA
harus dikurangi 25% dari dosis sebelumnya.
o) Pada pasien GGK yang menjalani haemodialisis, ESA dapat diberikan
secara subkutan atau intravena. Sedangkan pada pasien yang tidak
menjalani dialisis atau dialisis peritoneal direkomendasikan pemberian
ESA secara subkutan.
21
p) Frekuensi pemberian ESA ditentukan berdasarkan stadium PGK,
treatment setting, efikasi, toleransi dan pilihan pasien, serta jenis ESA.
q) Pemilihan ESA berdasarkan pertimbangan farmakodinamik, aspek
keamanan, efikasi, biaya, dan ketersediaan. Serta ESA yang diberikan
harus yang sudah mendapat approval dari badan regulasi setempat.
r) Selama pasien mulai mendapat ESA, pemantauan Hb sekurangkurangnya sebulan sekali.
s) Pada pasien yang tidak menjalani dialisis, selama mendapat terapi
pemeliharaan dengan ESA, pemeriksaan kadar Hb sekurangkurangnya setiap 3 bulan. Sedangkan pada pasien dengan dialisis
sekurang-kurangnya sebulan sekali.
2) Terapi pemeliharaan ESA:
a) Secara
umum
penggunaan
ESA
tidak
digunakan
untuk
mempertahankan kadar Hb diatas 11,5 g/dL pada orang dewasa pasien
dengan CKD (2C).
b) Individualisasi terapi diperlukan karena beberapa pasien mungkin
memiliki peningkatan kualitas hidup pada Hb > 11,5 g/dL.
c) Pada seluruh pasien PGK dewasa, direkomendasikan pemberian ESA
tidak untuk meningkatkan kadar Hb > 13g/dL.
d) Dianjurkan untuk mengurangi dosis ESA dibandingkan penghentian
ESA saat diperlukan pengurangan dosis ESA.
e) Pasien dianggap hiporesponsif terhadap ESA jika tidak terdapat
peningkatan kadar Hb setelah 1 bulan terapi ESA dengan dosis sesuai.
22
Pada pasien tersebut tidak disarankan pemberian ESA dengan dosis 2
kali lipat.
f) Tidak direkomendasikan pemberian androgen maupun terapi lainnya
(misal, vitamin C, D , E, asam folat, l-carnitine, dan pentoxifyllin)
sebagai terapi adjuvant ESA.
g) Pemantauan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya Pure Red
Cell Aplasia (PRCA) pada pasien yang mendapat terapi ESA lebih dari
8 minggu dan mengalami penurunan Hb cepat (0,5-1,0 g/dL/minggu)
atau membutuhkan transfusi 1-2 kali seminggu, kadar trombosit dan
sel
darah
putih
normal,
dan
jumlah
retikulosit
absolut
<
10.000/mikroliter.
h) Jika pasien terdiagnosa mengalami PRCA, terapi ESA harus
dihentikan. Direkomendasikan pemberian peginesatide sebagai terapi
PRCA.
i) Evaluasi ulang dosis ESA jika pasien mengalami efek samping ESA
atau
pasien
mengalami
penyakit
akut/progresif
yang
dapat
menyebabkan hiporesponsif ESA.
3. Drug Related Problems (DRPs)
DRPs dapat dikatakan sebagai suatu pengalaman atau kejadian yang tidak
menyenangkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan
dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome
terapi pasien (Cipolle et al., 1998).
23
Tabel III. Kategori DRPs dan Penyebabnya
Kategori DRPs
Terapi obat yang tidak perlu
Penyebab DRPs
a.
b.
c.
d.
e.
Perlu terapi obat tambahan
a.
b.
c.
Obat yang tidak efektif
a.
b.
c.
Dosis terlalu rendah
a.
b.
c.
Adverse Drug Reaction
a.
b.
c.
d.
e.
Dosis terlalu tinggi
Ketidakpatuhan
a.
b.
c.
d.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Pasien menerima terapi obat tanpa indikasi yang
jelas.
Pasien menerima obat lebih dari satu padahal
hanya dibutuhkan satu terapi obat.
Pasien lebih tepat dengan terapi tanpa obat.
Pasien menerima obat untuk mengatasi efek
samping obat lain yang sebenarnya dapat
dicegah.
Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, dan
merokok dapat menyebabkan masalah.
Kondisi medis pasien memerlukan inisiasi terapi
obat.
Terapi obat pencegahan diperlukan untuk
mengurangi risiko dari berkembangnya kondisi
penyakit pasien.
Pasien memerlukan farmakoterapi tambahan
untuk mencapai efek yang potensial.
Obat yang digunakan pasien bukan obat yang
paling efektif.
Bentuk sediaan obat yang tidak sesuai.
Obat yang diterima pasien bukan merupakan
obat yang efektif untuk pengobatannya.
Dosis terlalu rendah untuk menimbulkan respon
yang diinginkan.
Interval dosis yang diberikan terlalu panjang
untuk menghasilkan respon yang diinginkan.
Durasi obat terlalu pendek untuk menimbulkan
respon yang diinginkan.
Penggunaan obat menyebabkan reaksi yang
tidak diinginkan.
Penggunaan obat menyebabkan reaksi alergi
pada pasien.
Penggunaan obat memiliki kontraindikasi
terhadap faktor risiko.
Interaksi obat
Perubahan regimen obat yang diberikan terlalu
cepat
Dosis yang diberikan pasien terlalu tinggi.
Frekuensi pemberian obat yang tidak tepat.
Durasi obat terlalu panjang.
Dosis obat dinaikkan terlalu cepat.
Pasien tidak memahami petunjuk penggunaan
obat.
Pasien lebih memilih untuk tidak menggunakan
obat.
Pasien lupa untuk meminum obatnya.
Obat terlalu mahal bagi pasien.
Pasien tidak dapat menggunakan obat dengan
tepat.
Obat tidak tersedia untuk pasien.
(Cipolle et al., 2004)
24
DRPs terbagi menjadi dua, yaitu aktual dan potensial. DRPs aktual adalah
problem atau masalah yang sudah terjadi pada pasien dan farmasis harus berusaha
mengambil tindakan untuk menyelesaikannya, sedangkan DRPs potensial adalah
suatu problem pengobatan yang mungkin terjadi, suatu resiko yang dapat
berkembang pada pasien jika farmasis tidak melakukan suatu tindakan untuk
mencegahnya.
DRPs dapat dipecahkan atau dicegah apabila penyebab masalah tersebut
dipahami dengan jelas. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi kejadian
DRPs. Tidak hanya kategori DRPs saja tetapi juga penyebabnya. Dengan
mengidentifikasi penyebab, praktisi dan pasien peduli terhadap DRPs sehingga
pasien menyadari mafaat yang potensial dari terapi (Cipolle et al., 1998).
Penjelasan mengenai kategori DRPs dan penyebabnya dapat dilihat pada tabel III.
Pernyataan yang menjelaskan DRPs pada umumnya terdiri dari tiga
komponen, yaitu:
a. Deskripsi mengenai kondisi medis pasien
b. Terapi obat yang terlibat
c. Hubungan yang spesifik antara terapi obat dan kondisi pasien
(Cipolle et al., 2004)
F. Landasan Teori
PGK merupakan penyakit kronis yang memiliki berbagai komplikasi dan
komorbid yang muncul seiring meningkatnya derajat (stage) PGK. Pasien PGK
sering
diresepkan
beberapa
obat
untuk
mengatasi
penyakit
penyerta,
25
memperlambat perkembangan PGK dan meminimalkan angka morbiditas dan
mortalitas (Cardone et al., 2010).
DRPs umum terjadi pada semua tahap PGK (Cardone et al., 2010).
Jumlah dan kompleksitas obat meningkat seiring dengan perkembangan PGK
yang dapat menimbulkan kejadian DRPs akibat ketidakpatuhan pasien dalam
penggunaan obat, interaksi antar obat dan reaksi obat merugikan yang
kemungkinan akan muncul selama menggunakan obat (Belaiche et al., 2012).
Penelitian dari Manley dkk (2005) melaporkan kejadian DRPs sebanyak
1.593 kasus yang terjadi pada 395 pasien dialisis. Menurut penelitian dari Joel dkk
(2013) kejadian DRPs pada PGK berbanding lurus dengan jumlah obat yang
diberikan. Begitu pula pada penelitian yang dilakukan oleh Rani dkk (2014)
disebutkan bahwa jumlah kejadian DRPs yang semakin meningkat dengan
bertambahnya jumlah obat yang diberikan pada pasien PGK.
Selain itu, seiring bertambahnya usia pada pasien PGK, maka fungsi ginjal
akan semakin menurun, jenis dan jumlah obat yang dikonsumsi pasien juga akan
meningkat karena munculnya berbagai macam komplikasi dan komorbid,
sehingga menimbulkan risiko terjadinya DRPs yang lebih tinggi (Cardone et al.,
2010).
26
G. Kerangka Konsep
Pasien PGK dengan
Anemia
Drug Related Problems :
1.
2.
3.
Usia
Jumlah Komorbid
Jumlah obat yang
digunakan
1.
2.
3.
4.
5.
Terapi obat yang tidak perlu
Perlu terapi obat tambahan
Dosis terlalu rendah
Adverse Drug Reaction
Dosis terlalu tinggi
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
H. Keterangan Empirik
Dengan dilakukannya penelitian ini dapat diketahui persentase kejadian
setiap kategori DRPs meliputi: terapi obat yang tidak perlu, perlu terapi obat
tambahan, dosis terlalu rendah, adverse drug reaction dan dosis terlalu tinggi,
serta total kejadian DRPs pasien PGK dengan anemia yang menjalani rawat inap
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2015.
I. Hipotesis
Terdapat hubungan antara usia, jumlah komorbid dan jumlah obat yang
digunakan pasien PGK dengan anemia dengan kejadian DRPs.
Download