BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik (PGK) atau yang sering disebut juga dengan gagal ginjal kronis (GGK) adalah kerusakan pada ginjal yang menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa dari darah, dengan ditandai adanya protein dalam urin serta penurunan laju filtrasi glomerulus yang berlangsung selama lebih dari 3 bulan (Black & Hawks, 2009). Sebanyak 10% dari populasi dunia terkena PGK, dan jutaan diantaranya meninggal setiap tahun karena pengobatan yang tidak terjangkau (World Kidney Day, 2015). Menurut studi Global Burden of Disease tahun 2010, PGK menempati peringkat ke-27 dalam daftar penyebab kematian diseluruh dunia pada tahun 1990, namun naik menjadi peringkat ke-18 pada tahun 2010 (Jha et al., 2013). Lebih dari 2 juta orang diseluruh dunia saat ini menerima pengobatan dengan dialisis atau transplantasi ginjal untuk tetap hidup, namun angka ini mungkin hanya mewakili 10% dari orang yang benar-benar membutuhkan pengobatan untuk hidup (Couser et al., 2011). Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis berdasar diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti di Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi 1 2 Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur masing-masing 0,3%. Kurang lebih dari 26 juta orang dewasa di Amerika dan Negara lain berisiko terkena PGK. Insidensi dan prevalensi gagal ginjal meningkat setiap tahunnya. Banyak pasien yang dihadapkan pada problem medis yang berhubungan dengan PGK, salah satu dan yang menjadi mayoritas problem tersebut adalah anemia yang berkembang sejak awal pasien terkena PGK dan berkontribusi dalam penurunan kualitas hidup pasien (Lankhorst & Wish, 2010). Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien PGK adalah defisiensi eritropoietin sedangkan faktor lain yang mempengaruhi diantaranya adalah berkurangnya masa hidup sel darah merah, kehilangan darah, dan kekurangan zat besi (Wells et al., 2009). Anemia pada PGK dapat diterapi dengan pemberian Recombinant Human Erythropoietin (r-HuEPO) atau transfusi. Penanganan untuk anemia defisiensi besi diatasi dengan pemberian preparat besi. Selain itu, pada pasien dengan status gizi rendah harus diperbaiki dengan pemberian gizi yang baik dan hemodialisis yang adekuat (KDIGO, 2012). Menurut National Kidney Foundation di Amerika (NKF-K/DOQI) merekomendasikan pemberian Recombinant Human Erythropoeitin (r-HuEPO) pada semua tingkat PGK, baik yang belum atau telah menjalani terapi dialisis. Terapi r-HuEPO pada pasien PGK telah terbukti bermakna secara klinik (Evidence Level A) dapat menghilangkan gejala maupun mengurangi komplikasi akibat anemia pada pasien PGK. Selain itu terapi r-HuEPO dapat mengurangi kebutuhan transfusi darah, mengurangi komplikasi transfusi, mengurangi efek 3 sekunder anemia terhadap sistem kardiovaskuler, serta meningkatkan kualitas hidup secara umum (PERNEFRI, 2011). Pengobatan dengan Erythropoietin-Stimulating Agents (ESA) menggunakan beberapa variasi dosis yang disesuaikan dengan kadar Hb pasien. Tujuan dari penggunaan ESA adalah untuk meningkatkan kadar Hb 1-2 g/dL (1020 g/L) selama sebulan, dan menghindari peningkatan konsentrasi Hb hingga >2 g/dL dalam satu bulan. Tingkat kenaikan kadar Hb bervariasi tergantung dari respon individu terhadap ESA. Pasien yang menjadi poor responder diantaranya adalah wanita, memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, memiliki tanda-tanda kekurangan zat besi dan mengalami inflamasi, serta pasien dengan kelebihan berat badan. Selain hal tersebut, respon terapi juga tergantung pada dosis awal, frekuensi dosis, dan rute pemberian (KDIGO, 2012). Pharmaceutical care mempunyai makna secara langsung yaitu, bertanggung jawab dalam menyediakan obat yang bertujuan untuk mencapai hasil terapi tertentu guna meningkatkan kualitas hidup pasien. Hasil terapi tersebut meliputi: menyembuhkan penyakit, mengurangi gejala yang dirasakan pasien, memperlambat proses perjalanan penyakit, mencegah penyakit atau gejala-gejala penyakit. Farmasis mempunyai tiga peran penting dalam pharmaceutical care, yaitu: (1) Mengidentifikasi DRPs baik yang aktual maupun yang potensial terjadi, (2) Mengatasi DRPs yang terjadi aktual, dan (3) mencegah terjadinya DRPs potensial (Bezverhni et al., 2012). Pasien dengan PGK memiliki berbagai macam komplikasi seiring dengan meningkatnya derajat (stage) PGK. Komplikasi tersebut antara lain dislipidemia, 4 hiperkalemia, asidosis metabolik, anemia, dan gangguan tulang dan mineral (Walt et al., 2015). Selain itu, pasien dengan PGK juga memiliki beberapa kondisi komorbiditas seperti hipertensi, diabetes, gagal jantung, obstruksi saluran kemih, dan lain sebagainya (KDOQI, 2002). Penyakit yang lebih dari satu pasti akan mengarah pada penggunaan beberapa obat yang sering disebut dengan polifarmasi (Nobili et al., 2011). Polifarmasi tersebut dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya drug related problems (DRPs) (Viktil et al., 2006). Munculnya beberapa kondisi yang telah disebutkan di atas, memungkinkan terjadinya DRPs karena penggunaan berbagai macam obat untuk mengobati komplikasi maupun komorbid yang ada. Seperti salah satu penelitian oleh Marquito dkk (2013) menyatakan bahwa dalam peresepan obat yang diberikan kepada pasien PGK berpotensi menimbulkan interaksi obat yang dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti diabetes melitus, hipertensi, obesitas dan kondisi PGK yang lebih lanjut. Selain itu, penelitian dari Manley dkk (2005) melaporkan kejadian DRPs sebanyak 1.593 kasus yang terjadi pada 395 pasien dialisis. Menurut penelitian dari Joel dkk (2013) kejadian DRPs pada PGK berbanding lurus dengan jumlah obat yang diberikan. Begitu pula pada penelitian yang dilakukan oleh Rani dkk (2014) disebutkan bahwa jumlah kejadian DRPs yang semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah obat yang diberikan pada pasien PGK. Mengingat akan hal itu, perlunya dilakukan kajian terhadap kejadian DRPs terhadap pasien PGK dengan anemia, dan melihat pengaruh usia, jumlah komorbid dan jumlah obat yang digunakan terhadap kejadian DRPs, guna 5 memperkecil angka terjadinya DRPs untuk mencapai hasil terapi yang diharapkan dan dapat memperbaiki kualitas hidup pasien. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui : 1. Berapakah persentase kejadian setiap kategori DRPs meliputi: terapi obat yang tidak perlu, perlu terapi obat tambahan, dosis terlalu rendah, adverse drug reaction dan dosis terlalu tinggi, serta total kejadian DRPs pasien PGK dengan anemia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? 2. Apakah terdapat hubungan antara usia, jumlah komorbid, serta jumlah obat yang digunakan pasien PGK dengan anemia dengan kejadian DRPs di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui persentase kejadian setiap kategori DRPs serta total kejadian DRPs pasien PGK dengan anemia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara usia, komorbid, serta jumlah obat yang digunakan pasien PGK dengan anemia dengan kejadian DRPs di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. . 6 D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai salah satu sumber informasi mengenai kejadian DRPs pada pasien PGK dengan anemia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Sebagai bahan kajian bagi apoteker mengenai kejadian DRPs di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta guna mengatasi dan mencegah terjadinya DRPs di kemudian hari. 3. Sebagai masukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit ginjal kronik (PGK) a. Definisi PGK PGK didefinisikan sebagai kelainan fungsi ginjal atau struktur ginjal selama lebih dari 3 bulan, terjadi penurunan kecepatan filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate – GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Anonim, 2015b; KDOQI, 2002). PGK merupakan suatu gangguan progresif fungsi ginjal yang bersifat irreversible dalam kasus metabolisme maupun dalam menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit serta dapat menyebabkan uremia (Moeljono, 2014). b. Etiologi Dua penyebab utama dari PGK ini adalah diabetes dan tekanan darah tinggi, yang terjadi pada dua dari tiga kasus. Diabetes terjadi ketika gula darah terlalu tinggi, menyebabkan kerusakan banyak organ dalam tubuh, termasuk ginjal dan jantung, serta pembuluh darah, saraf dan mata. Tekanan darah tinggi, 7 atau hipertensi, terjadi ketika tekanan darah terhadap dinding pebuluh darah meningkat. Jika tidak terkendali, atau tidak terkontrol, tekanan darah tinggi dapat menjadi penyebab utama serangan jantung, stroke dan PGK. PGK juga menyebabkan tekanan darah tinggi (Anonim, 2015a). Beberapa kondisi yang juga dapat menyebabkan PGK dengan prevalensi yang lebih kecil, antara lain: a. Glomerulonefritis (radang ginjal) b. Pielonefritis (infeksi pada ginjal) c. Penyakit ginjal polikistik d. Kegagalan pembentukan ginjal normal pada bayi yang belum lahir ketika berkembang di rahim e. Lupus eritematosus sistemik (kondisi dari sistem kekebalan tubuh di mana tubuh menyerang ginjal yang dianggap sebagai benda asing) f. Jangka panjang penggunaan rutin obat-obatan seperti : obat litium dan NSAID, termasuk aspirin dan ibuprofen. g. Penyumbatan, misalnya karena batu ginjal atau penyakit prostat. (Anonim, 2015c) Menurut data PERNERI (Perkumpulan Nefrologi Indonesia) tahun 2011, penyebab PGK pada pasien hemodialysis didapatkan sebagai berikut, glomerulopati primer 14%, nefropati diabetika 27%, nefropati lupus 1%, penyakit ginjal hipertensi 34%, ginjal polikistik 1%, nefropati asam urat 2%, nefropati obstruksi 8%, pielonefritis kronik 6%, lain-lain 6%, tidak diketahui 1%. 8 c. Faktor Risiko PGK memiliki beberapa faktor risiko, dimana faktor risiko tersebut didefinisikan sebagai suatu pemicu yang dapat memperbesar dan mempercepat proses dari suatu penyakit. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) telah mengkategorikan faktor risiko PGK antara lain sebagai berikut, yang tertera dalam tabel I. Faktor Kerentanan Faktor Inisiasi Faktor Progresi Tabel I. Faktor Risiko PGK Definisi Contoh Meningkatkan kerentanan Usia yang lebih tua, riwayat terhadap penyakit ginjal keluarga Secara langsung menginisiasi Diabetes, tekanan darah penyakit ginjal tinggi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu ginjal, obstruki saluran kemih bagian bawah, toksisitas obat Menyebabkan memburuknya Kadar proteinuria tinggi, penyakit ginjal dan penurunan tekanan darah yang lebih fungsi ginjal secara cepat tinggi, kontrol glikemik yang setelah inisiasi penyakit ginjal buruk pada pasien diabetes, merokok (KDOQI, 2002) d. Patofisiologi Mayoritas penyebab terjadinya penyakit ginjal progresif biasanya terjadi karena kerusakan parenkim ginjal yang bersifat irreversibel. Elemen kunci jalur tersebut adalah hilangnya masa nefron, hipertensi kapiler glomerular dan proteinuria. Beberapa peneliti meyakini bahwa kerusakan ginjal ini berhubungan dengan peningkatan tekanan atau peregangan sisa glomerulus. Hal ini terjadi akibat vasodilatasi fungsional atau peningkatan tekanan darah dan regangan kronis pada arteriol dan glomeruli diduga akhirnya menyebabkan sklerosis pada pembuluh. Lesi-lesi sklerosis ini akhirnya dapat mengakibatkan penurunan ginjal lebih lanjut yang berakhir pada ESRD (Guyton dan Hall, 2007). 9 e. Manifestasi Klinik a. Gejala dan tanda PGK stadium awal (Arici, 2014) 1) Lemah 2) Nafsu makan berkurang 3) Nokturia, poliuria 4) Terdapat darah pada urin, atau urin berwarna lebih gelap 5) Urin berbuih 6) Sakit pinggang 7) Edema 8) Peningkatan tekanan darah 9) Kulit pucat b. Gejala dan tanda PGK stadium lanjut (Arici, 2014) 1) Umum (lesu, lelah, peningkatan tekanan darah, tanda-tanda kelebihan volume, penurunan mental, cegukan) 2) Kulit ( penampilan pucat, uremic frost, pruritic exexcoriations) 3) Pulmonari (dyspnea, efusi pleura, edema pulmonari, uremic lung) 4) Gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, kehilangan berat badan, stomatitis, rasa tidak menyenangkan di mulut) 5) Neuromuskuler (otot berkedut, sensorik perifer dan motorik neuropati, kram otot, gangguan tidur, hiperrefleksia, kejang, ensefalopati, koma) 6) Metabolik endokrin (penurunan libido, amenore, impotensi) 7) Hematologi (anemia, pendarahan abnormal) 10 f. Klasifikasi PGK PGK dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 hal, yaitu menurut diagnosis etiologi dan menurut derajat (stage) penyakit. Klasifikasi atas dasar derajat (stage) penyakit dibuat berdasarkan level laju filtrasi glomerulus (LFG) yang dapat dilihat pada tabel II: Tabel II. Klasifikasi Stadium PGK Berdasarkan Level GFR GFR Stadium (ml/mnt/1,73 Deskripsi Simptom m2) GFR 1 ≥ 90 normal/meningkat 60-89 Penurunan ringan GFR Asimptomatik 2 45-59 Penurunan sedang GFR Asimptomatik 3a 3b 30-44 Penurunan sedang GFR Anemia, fatigue, kram otot 4 15-29 Penurunan berat 5 <15 GFR Anoreksia, Nausea, Gout, Insomnia, Neuropati Penyakit ginjal Itch, sakit kepala, stadium akhir gangguan kognitif, kematian (Dasari et al., 2014) g. Komplikasi PGK juga disertai dengan penyakit lain sebagai penyulit atau komplikasi yang sering lebih berbahaya. Komplikasi yang sering ditemukan menurut Alam & Hadibroto (2008) antara lain : a. Anemia Dikatakan anemia bila kadar sel darah merah rendah, karena terjadi gangguan pada produksi hormon eritropoietin yang bertugas mematangkan sel 11 darah, agar tubuh dapat menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Akibat dari gangguan tersebut, tubuh kekurangan energi karena sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh dan jaringan tidak mencukupi. Gejala dari gangguan sirkulasi darah adalah kesemutan, kurang energi, cepat lelah, luka lebih lambat sembuh, kehilangan rasa (baal) pada kaki dan tangan. b. Osteodistrofi ginjal Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah tinggi, akan terjadi pengendapan garam dan kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (klasifikasi metastatic) berupa nyeri persendian (artritis), batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan. c. Gagal jantung Jantung kehilangan kemampuan memompa darah dalam jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja, tetapi kekuatan memompa atau daya tampungnya berkurang. Gagal jantung pada penderita PGK dimulai dari anemia yang mengakibatkan jantung harus bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (left ventricular hypertrophy/LVH). Lama-kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal). 12 d. Disfungsi ereksi Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang memproduksi hormon testosteron untuk merangsang hasrat seksual (libido)), secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Penyebab utama gangguan kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah suplai darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung dengan ginjal. h. Komorbid Pasien dengan PGK memiliki sejumlah besar kondisi komorbiditas. Komorbiditas didefinisikan sebagai kondisi selain penyakit utama (dalam hal ini, PGK), dan diklasifikasikan ke dalam 3 bagian: a. Penyakit yang menyebabkan PGK antara lain adalah diabetes, tekanan darah tinggi, dan obstruksi saluran kemih. b. Penyakit yang tidak berhubungan dengan PGK yaitu penyakit paru obstruktif kronis, gastroesophageal reflux disease (GERD), penyakit degeneratif sendi, penyakit Alzheimer, Malignansi. c. Penyakit Kardiovaskular seperti atherosklerosis (penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, penyakit periferal vaskuler), hipertrofi ventrikel kiri, gagal jantung. (KDOQI, 2002) 13 i. Diagnosis Setiap sistem organ utama akan dipengaruhi oleh penyakit gagal ginjal kronik, hal itu terutama terjadi jika perkembangannya telah mencapai end-stage renal disease (ESRD). Tanda dan gejala dihubungkan dengan uremia dan komplikasi sekunder PGK. Secara subyektif dan obyektif, tanda dan gejala yang nampak bergantung dengan stadium PGK yang diderita (Dipiro et al., 2005). Pendekatan diagnosis PGK mempunyai sasaran berikut (Sukandar, 2006): a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal b. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi c. Mengidentifikasi semua faktor yang dapat memperburuk fungsi ginjal (reversible factors) d. Menentukan strategi terapi rasional e. Meramalkan prognosis Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006). 2. Anemia pada PGK Anemia merupakan komplikasi yang umum terjadi pada PGK, prevalensinya akan meningkat seiring dengan meningkatnya derajat (stage) dari PGK itu sendiri, sehingga hampir semua pasien dengan PGK stadium 5 terkena anemia (Lodolce & Krueger, 2012). 14 a. Eritropoiesis Ginjal mempunyai peranan yang sangat penting dalam produksi eritrosit. Ginjal memproduksi enzim yang disebut faktor eritropoietin yang mengaktifkan eritropoietin, hormon yang dihasilkan hepar. Fungsi eritropoietin adalah menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah, terutama sel darah merah. Tanpa eritropoietin, sumsum tulang pasien penyakit hepar atau ginjal tidak dapat memproduksi sel darah merah (Baradero et al., 2005). b. Definisi Anemia Anemia menurut KDOQI didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana kadar hemoglobin kurang dari 13,5 g/dL pada pria dewasa, dan kurang dari 12 g/dL pada wanita dewasa (KDOQI, 2002). Anemia merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan haemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada penurunan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen (Dipiro et al., 2005). Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau kapasitas membawa oksigen tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologis yang bervariasi menurut umur, jenis kelamin, ketinggian, merokok dan status kehamilan (WHO, 2015). c. Klasifikasi Anemia Secara morfologi anemia dibagi menjadi: a. Anemia makrositik atau yang sering disebut anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat) 15 b. Anemia mikrositik hipokromik antara lain yaitu anemia defisiensi besi, kelainan genetik (anemia sickle cell, thalassemia, kelainan hemoglobin) c. Anemia normositik yaitu pendarahan berat, hemolysis, kegagalan pada sumsum tulang, anemia pada penyakit kronis. d. Anemia pada penurunan fungsi gagal ginjal e. Anemia pada kelainan endokrin f. Anemia myelodisplastik (Dipiro et al., 2008) d. Patofisiologi Anemia pada PGK Patofisiologi anemia pada pasien PGK yang utama disebabkan oleh penurunan produksi hormon eritropoietin oleh sel-sel progenitor di medula ginjal (Dipiro et al., 2005). Eritropoietin tersebut penting dalam stimulasi diferensiasi sel induk unipotensial menjadi sel pronormoblast eritrosit di dalam sum-sum tulang (Soeparman dan Sukaton, 1990), sehingga apabila terjadi penurunan eritropoietin akan terjadi anemia karena penurunan jumlah eritrosit. Faktor lain yang berkaitan dengan anemia adalah terjadi penurunan waktu hidup eritrosit sebagai akibat kondisi uremia, pada pasien PGK stadium 5 umur eritrosit hanya 60 hari (Dipiro et al., 2005). Penurunan jumlah dan umur eritrosit tersebut mengakibatkan terjadinya anemia dengan jenis normositik (Soeparman et al., 1990). 16 e. Etiologi Secara umum etiologi anemia dibagi menjadi 3, yang pertama adalah defisiensi yang meliputi defisiensi Fe, vitamin B12, asam folat dan piridoksin. Yang kedua adalah gangguan fungsi sumsum tulang yang meliputi anemia pada penyakit kronis, anemia pada geriatrik, dan kelainan sumsum tulang malignan. Dan yang ketiga adalah gangguan pada sistim perifer yaitu pendarahan dan hemolisis (Dipiro et al., 2005). Faktor-faktor yang ikut berperan dalam timbulnya anemia pada PGK, yaitu : a. Gangguan eritropoesis yang meliputi defisiensi eritropoietin, Fe, asam folat, inhibitor uremik, hiperparatiroid, intoksikasi aluminium. b. Pemendekan umur eritrosit antara lain hemolysis, transfusi berulang. c. Kehilangan darah yang disebabkan oleh pendarahan karena trombopati ataupun prosedur hemodialisis. (Pranawa, 1993) f. Manifestasi Klinik Gejala klinis yang timbul antara lain lemah, pusing, napas yang pendek, takikardi, pucat. Indikasi data laboratorium dalam pemeriksaan adalah hemoglobin (Hb), red blood cell (RBC), hematokrit rendah. Mean corpuscular volume (MCV), transferrin saturation (TSAT), ferritin rendah untuk anemia defisiensi Fe. MCV tinggi untuk anemia defisiensi asam folat dan Vitamin B12 (Dipiro et al., 2005). 17 g. Diagnosis Diagnosis dan evaluasi anemia pada pasien PGK menurut Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) (2012) : a. Pada pasien PGK tanpa anemia, dilakukan pemantauan kadar Hemoglobin (Hb) jika terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium). b. Pada pasien PGK dengan anemia tanpa terapi ESA, dilakukan pemantauan kadar Hb jika terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium). c. Diagnosis anemia pada pasien dewasa atau anak usia > 15 tahun jika kadar Gb < 13 g/dL pada pria atau < 12 g/dL pada wanita. d. Diagnosis anemia pada pasien anak jika kadar Hb < 11 g/dL (usia 0,5-5 yahun), < 11,5 g/dL (usia 5-12 tahun), dan < 12 g/dL (usia 12-15 tahun). e. Pada pasien PGK dengan anemia, dilakukan pemeriksan darah perifer lengkap, hitung retikulosit absolut, kadar ferritin serum, saturasi transferin serum (TSAT), serta kadar vitamin B12 dan folat serum. h. Penatalaksanaan Anemia pada PGK Adapun beberapa macam tatalaksana terapi anemia pada pasien PGK yang direkomendasikan oleh KDIGO (2012) adalah sebagai berikut: a. Pemberian Fe untuk terapi anemia pada pasien PGK: 1) Saat memberikan terapi Fe, dipertimbangkan rasio risiko-manfaat (meminimalkan transfusi darah, pemberian ESA, gejala dan komplikasi anemia, serta risiko efek samping terapi Fe). 18 2) Pada pasien PGK dewasa dengan anemia tanpa terapi ESA atau Fe, dianjurkan pemberian Fe secara intravena (i.v) sebagai uji coba (trial) jika diinginkan peningkatan kadar Hb tanpa pemberian ESA atau kadar TSAT ≤ 30% dan kadar feritin ≤ 500 ng/mL. 3) Pada pasien PGK dewasa yang tidak mendapat terapi Fe namun mendapat terapi ESA, dianjurkan pemberian Fe i.v sebagai uji coba (trial) jika diinginkan peningkatan kadar Hb atau penurunan dosis ESA dan TSAT ≤ 30% dan kadar feritin ≤ 500 ng/mL. 4) Pada pasien PGK non-dialisis yang membutuhkan suplementasi Fe, pemilihan rute pemberian Fe berdasarkan derajat defisiensi Fe, ketersediaan akses intravena, respons terhadap pemberian Fe oral sebelumnya, efek samping pemberian Fe oral/i.v sebelumnya, tingkat kepatuhan pasien, dan biaya terapi. 5) Pemberian Fe berikutnya disesuaikan berdasarkan respons Hb, status Fe, respons terhadap terapi ESA, dan status klinis pasien. 6) Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang tidak mendapat terapi Fe atau ESA, direkomendasikan pemberian Fe oral (atau Fe i.v jika menjalani hemodialisis) saat TSAT ≤ 20% dan kadar feritin serum ≤ 100 ng/mL. Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang mendapat terapi ESA namun tidak mendapat terapi Fe, direkomendasikan pemberian Fe oral (atau Fe i.v jika menjalani hemodialisis) untuk mempertahankan TSAT > 20% dan feritin serum > 100 ng/mL. 19 7) Pemantauan status Fe (TSAT dan feritin serum) dilakukan minimal setiap 3 bulan selama mendapat terapi ESA. Pemantauan dianjurkan lebih sering saat mulai atau peningkatan dosis terapi ESA, saat terjadi kehilangan darah, pemantauan respons setelah 1 siklus terapi Fe i.v, atau kondisi lain dimana terjadi kehilangan Fe. 8) Pasien yang mendapat Fe i.v dianjurkan untuk dipantau selama 60 menit pasca infus terhadap terjadinya reaksi alergi. 9) Hindari pemberian Fe i.v pada pasien dengan infeksi sistemik. b. Pemberian ESA dan terapi lain untuk terapi anemia pasien PGK 1) Inisial ESA: a) Sebelum memulai terapi ESA, disingkirkan kemungkinan penyebab terjadinya anemia (termasuk defisiensi besi dan kondisi inflamasi). b) Pertimbangkan rasio risiko-manfaat sebelum memulai terapi ESA c) Hati-hati pemberian ESA pada pasien PGK dengan penyakit kanker. d) Jika kadar Hb > 10g/dL tidak direkomendasikan pemberian terapi ESA. e) Pada pasien PGK dewasa, terapi ESA dianjurkan untuk dimulai saat kadar Hb 9,0-10,0 g/dL untuk mencegah penurunan kadar < 9g/dL. f) Pada beberapa pasien dimana peningkatan kualitas hidup pasien terpantau pada kadar Hb yang lebih tinggi, terapi ESA dimulai pada kadar Hb > 10 g/dL. g) Pada pasien dewasa dengan konsentrasi Hb < 10,0g/dL direkomendasikan supaya inisiasi terapi ESA secara individual 20 berdasarkan konsentrasi Hb, respon sebelum terapi besi, risiko membutuhkan transfusi, risiko yang terkait dengan terapi ESA dan adanya gejala anemia yang timbul. h) Terapi ESA secara umum tidak ditujukan untuk mempertahankan kadar Hb > 11,5 g/dL pada pasien PGK dewasa. Namun, pada pasien tertentu kadar Hb > 11,5 g/dL mungkin diperlukan. i) Dosis ESA awal ditentukan menurut kadar Hb pasien, berat badan, dan pertimbangan klinis. j) Penyesuaian dosis ESA menurut kadar Hb pasien, perubahan kadar Hb, dosis ESA saat ini, serta pertimbangan klinis. k) Dosis awal ESA (Epoietin alfa dan beta) yaitu 20-50 IU/kgBB 3 kali seminggu. l) Dosis epoietin alfa dapat ditingkatkan setiap 4minggu dengan peningkatan dosis mingguan 3 kali 20 IU/kg jika diperlukan m) Jika kadar Hb mendekati 11,5 g/dL, dosis ESA diturunkan 25%. Jika kadar Hb terus meningkat, terapi perlu dihentikan sehingga kadar Hb turun kembali. n) Jika kadar Hb meningkat > 1g/dL dalam periode 2 minggu, dosis ESA harus dikurangi 25% dari dosis sebelumnya. o) Pada pasien GGK yang menjalani haemodialisis, ESA dapat diberikan secara subkutan atau intravena. Sedangkan pada pasien yang tidak menjalani dialisis atau dialisis peritoneal direkomendasikan pemberian ESA secara subkutan. 21 p) Frekuensi pemberian ESA ditentukan berdasarkan stadium PGK, treatment setting, efikasi, toleransi dan pilihan pasien, serta jenis ESA. q) Pemilihan ESA berdasarkan pertimbangan farmakodinamik, aspek keamanan, efikasi, biaya, dan ketersediaan. Serta ESA yang diberikan harus yang sudah mendapat approval dari badan regulasi setempat. r) Selama pasien mulai mendapat ESA, pemantauan Hb sekurangkurangnya sebulan sekali. s) Pada pasien yang tidak menjalani dialisis, selama mendapat terapi pemeliharaan dengan ESA, pemeriksaan kadar Hb sekurangkurangnya setiap 3 bulan. Sedangkan pada pasien dengan dialisis sekurang-kurangnya sebulan sekali. 2) Terapi pemeliharaan ESA: a) Secara umum penggunaan ESA tidak digunakan untuk mempertahankan kadar Hb diatas 11,5 g/dL pada orang dewasa pasien dengan CKD (2C). b) Individualisasi terapi diperlukan karena beberapa pasien mungkin memiliki peningkatan kualitas hidup pada Hb > 11,5 g/dL. c) Pada seluruh pasien PGK dewasa, direkomendasikan pemberian ESA tidak untuk meningkatkan kadar Hb > 13g/dL. d) Dianjurkan untuk mengurangi dosis ESA dibandingkan penghentian ESA saat diperlukan pengurangan dosis ESA. e) Pasien dianggap hiporesponsif terhadap ESA jika tidak terdapat peningkatan kadar Hb setelah 1 bulan terapi ESA dengan dosis sesuai. 22 Pada pasien tersebut tidak disarankan pemberian ESA dengan dosis 2 kali lipat. f) Tidak direkomendasikan pemberian androgen maupun terapi lainnya (misal, vitamin C, D , E, asam folat, l-carnitine, dan pentoxifyllin) sebagai terapi adjuvant ESA. g) Pemantauan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya Pure Red Cell Aplasia (PRCA) pada pasien yang mendapat terapi ESA lebih dari 8 minggu dan mengalami penurunan Hb cepat (0,5-1,0 g/dL/minggu) atau membutuhkan transfusi 1-2 kali seminggu, kadar trombosit dan sel darah putih normal, dan jumlah retikulosit absolut < 10.000/mikroliter. h) Jika pasien terdiagnosa mengalami PRCA, terapi ESA harus dihentikan. Direkomendasikan pemberian peginesatide sebagai terapi PRCA. i) Evaluasi ulang dosis ESA jika pasien mengalami efek samping ESA atau pasien mengalami penyakit akut/progresif yang dapat menyebabkan hiporesponsif ESA. 3. Drug Related Problems (DRPs) DRPs dapat dikatakan sebagai suatu pengalaman atau kejadian yang tidak menyenangkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan atau diduga berkaitan dengan terapi obat dan secara aktual maupun potensial mempengaruhi outcome terapi pasien (Cipolle et al., 1998). 23 Tabel III. Kategori DRPs dan Penyebabnya Kategori DRPs Terapi obat yang tidak perlu Penyebab DRPs a. b. c. d. e. Perlu terapi obat tambahan a. b. c. Obat yang tidak efektif a. b. c. Dosis terlalu rendah a. b. c. Adverse Drug Reaction a. b. c. d. e. Dosis terlalu tinggi Ketidakpatuhan a. b. c. d. a. b. c. d. e. f. Pasien menerima terapi obat tanpa indikasi yang jelas. Pasien menerima obat lebih dari satu padahal hanya dibutuhkan satu terapi obat. Pasien lebih tepat dengan terapi tanpa obat. Pasien menerima obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang sebenarnya dapat dicegah. Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, dan merokok dapat menyebabkan masalah. Kondisi medis pasien memerlukan inisiasi terapi obat. Terapi obat pencegahan diperlukan untuk mengurangi risiko dari berkembangnya kondisi penyakit pasien. Pasien memerlukan farmakoterapi tambahan untuk mencapai efek yang potensial. Obat yang digunakan pasien bukan obat yang paling efektif. Bentuk sediaan obat yang tidak sesuai. Obat yang diterima pasien bukan merupakan obat yang efektif untuk pengobatannya. Dosis terlalu rendah untuk menimbulkan respon yang diinginkan. Interval dosis yang diberikan terlalu panjang untuk menghasilkan respon yang diinginkan. Durasi obat terlalu pendek untuk menimbulkan respon yang diinginkan. Penggunaan obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan. Penggunaan obat menyebabkan reaksi alergi pada pasien. Penggunaan obat memiliki kontraindikasi terhadap faktor risiko. Interaksi obat Perubahan regimen obat yang diberikan terlalu cepat Dosis yang diberikan pasien terlalu tinggi. Frekuensi pemberian obat yang tidak tepat. Durasi obat terlalu panjang. Dosis obat dinaikkan terlalu cepat. Pasien tidak memahami petunjuk penggunaan obat. Pasien lebih memilih untuk tidak menggunakan obat. Pasien lupa untuk meminum obatnya. Obat terlalu mahal bagi pasien. Pasien tidak dapat menggunakan obat dengan tepat. Obat tidak tersedia untuk pasien. (Cipolle et al., 2004) 24 DRPs terbagi menjadi dua, yaitu aktual dan potensial. DRPs aktual adalah problem atau masalah yang sudah terjadi pada pasien dan farmasis harus berusaha mengambil tindakan untuk menyelesaikannya, sedangkan DRPs potensial adalah suatu problem pengobatan yang mungkin terjadi, suatu resiko yang dapat berkembang pada pasien jika farmasis tidak melakukan suatu tindakan untuk mencegahnya. DRPs dapat dipecahkan atau dicegah apabila penyebab masalah tersebut dipahami dengan jelas. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi kejadian DRPs. Tidak hanya kategori DRPs saja tetapi juga penyebabnya. Dengan mengidentifikasi penyebab, praktisi dan pasien peduli terhadap DRPs sehingga pasien menyadari mafaat yang potensial dari terapi (Cipolle et al., 1998). Penjelasan mengenai kategori DRPs dan penyebabnya dapat dilihat pada tabel III. Pernyataan yang menjelaskan DRPs pada umumnya terdiri dari tiga komponen, yaitu: a. Deskripsi mengenai kondisi medis pasien b. Terapi obat yang terlibat c. Hubungan yang spesifik antara terapi obat dan kondisi pasien (Cipolle et al., 2004) F. Landasan Teori PGK merupakan penyakit kronis yang memiliki berbagai komplikasi dan komorbid yang muncul seiring meningkatnya derajat (stage) PGK. Pasien PGK sering diresepkan beberapa obat untuk mengatasi penyakit penyerta, 25 memperlambat perkembangan PGK dan meminimalkan angka morbiditas dan mortalitas (Cardone et al., 2010). DRPs umum terjadi pada semua tahap PGK (Cardone et al., 2010). Jumlah dan kompleksitas obat meningkat seiring dengan perkembangan PGK yang dapat menimbulkan kejadian DRPs akibat ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat, interaksi antar obat dan reaksi obat merugikan yang kemungkinan akan muncul selama menggunakan obat (Belaiche et al., 2012). Penelitian dari Manley dkk (2005) melaporkan kejadian DRPs sebanyak 1.593 kasus yang terjadi pada 395 pasien dialisis. Menurut penelitian dari Joel dkk (2013) kejadian DRPs pada PGK berbanding lurus dengan jumlah obat yang diberikan. Begitu pula pada penelitian yang dilakukan oleh Rani dkk (2014) disebutkan bahwa jumlah kejadian DRPs yang semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah obat yang diberikan pada pasien PGK. Selain itu, seiring bertambahnya usia pada pasien PGK, maka fungsi ginjal akan semakin menurun, jenis dan jumlah obat yang dikonsumsi pasien juga akan meningkat karena munculnya berbagai macam komplikasi dan komorbid, sehingga menimbulkan risiko terjadinya DRPs yang lebih tinggi (Cardone et al., 2010). 26 G. Kerangka Konsep Pasien PGK dengan Anemia Drug Related Problems : 1. 2. 3. Usia Jumlah Komorbid Jumlah obat yang digunakan 1. 2. 3. 4. 5. Terapi obat yang tidak perlu Perlu terapi obat tambahan Dosis terlalu rendah Adverse Drug Reaction Dosis terlalu tinggi Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian H. Keterangan Empirik Dengan dilakukannya penelitian ini dapat diketahui persentase kejadian setiap kategori DRPs meliputi: terapi obat yang tidak perlu, perlu terapi obat tambahan, dosis terlalu rendah, adverse drug reaction dan dosis terlalu tinggi, serta total kejadian DRPs pasien PGK dengan anemia yang menjalani rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2015. I. Hipotesis Terdapat hubungan antara usia, jumlah komorbid dan jumlah obat yang digunakan pasien PGK dengan anemia dengan kejadian DRPs.