2.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Manajemen Sumberdaya Manusia Manajemen sumberdaya manusia secara sederhana didefinisikan sebagai suatu kegiatan pengelolaan sumberdaya manusia. Manajemen sumberdaya manusia merupakan satu gerakan pengakuan terhadap pentingnya unsur manusia sebagai sumberdaya yang potensial, yang perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu memberikan kontribusi yang maksimal bagi organisasi dan bagi pengembangan dirinya. Mangkunegara (2001) mengatakan bahwa manajemen sumberdaya manusia adalah suatu kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, pemberian balas jasa, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemisahan tenaga kerja dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Dessler (2009) mendefinisikan manajemen sumberdaya manusia merupakan proses memperoleh, melatih, menilai, dan memberikan kompensasi kepada karyawan, memperhatikan hubungan kerja, kesehatan, keamanan, dan masalah keadilan. Robbin (2007) mendefinisikan manajemen sumberdaya manusia adalah proses pengkoordinasian kegiatankegiatan pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut terselesaikan secara efisien dan efektif dengan dan melalui orang lain. Efisien berarti memperoleh output terbesar dengan input tertentu; digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu secara benar”. Efektif adalah menyelesaikan kegiatan-kegiatan sasaran organisasi dapat tercapai; digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu yang benar’. Dari paparan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa sumberdaya manusia diakui sebagai faktor penting dalam proses aktivitas organisasi yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi. 2.1.1 Pentingnya Manajemen Sumberdaya Manusia Hariono (2010) memberikan alasan mengapa kita harus mempelajari manajemen sumberdaya manusia di dalam suatu organisasi ?. Pertama, untuk menggali potensi manusia dalam organisasi sehingga dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kedua, manusia sebagai makhluk sosial yang unik harus menjadi fokus perhatian terhadap keinginan (wants) dan kebutuhannya (needs) 10 yang harus dipenuhi. Ketiga, manusia memiliki cita-cita untuk mencapai tujuan yang diinginkan melalui jalur karir yang ditempuhnya. Keempat, organisasi adalah kumpulan orang-orang. Kesuksesan orang-orang di dalamnya haruslah sesuai dengan tujuan organisasi yang ingin dicapai. Kelima, organisasi dibentuk bukan hanya dalam jangka pendek, melainkan dalam jangka panjang sehingga kebutuhan SDM harus direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan dikendalikan secara efektif. 2.1.2 Manajemen Sumberdaya Manusia dan Organisasi Fungsi-fungsi manajemen dalam organisasi sekurang-kurangnya meliputi aspek manajemen sumberdaya manusia, manajemen produksi dan operasi, manajemen keuangan, dan manajemen pemasaran. Manajemen sumberdaya manusia adalah salah satu fungsi utama dari suatu organisasi. Fungsi-fungsi lain tidak akan bisa berjalan tanpa adanya peran dari sumberdaya manusia yang memiliki kualitas. Gratton disitasi Mullins (2005) menyatakan setidaknya ada empat proposisi dasar yang ada kaitannya dengan organisasi yaitu : 1. Terdapat perbedaan yang mendasar antara orang sebagai asset dan asset tradisional dari keuangan atau teknologi 2. Memahami perbedaan yang mendasar akan menciptakan pandangan baru secara menyeluruh mengenai pemikiran dan pekerjaan dalam organisasi, yaitu suatu pergeseran pola pikir 3. Strategi usaha hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan manusia 4. Menciptakan pendekatan strategi dengan mengutamakan manusia melalui suatu dialog yang kuat dalam organisasi. 2.1.3 Perilaku Individu, Kelompok, dan Organisasi Robbins (2007) mengidentifikasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku individu, yaitu : (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) status perkawinan, (4) masa kerja, (5) kemampuan (fisik, intelektual dan kesuaian kemampuan dengan pekerjaan). Perilaku dalam kelompok dibagi ke dalam dua bagian yaitu pertama kelompok formal, perilaku ditentukan oleh dan diarahkan ke 11 sasaran organisasi dan yang kedua, kelompok informal terbentuk secara alamiah sebagai tanggapan terhadap kebutuhan akan kontak sosial. Untuk mulai memahami perilaku kelompok kerja, perlu memandangnya sebagai substansi yang tertanam ke dalam sistem yang lebih besar. Perilaku kelompok dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang dipaksakan dari luar. Kondisikondisi eksternal ini mencakup strategi keseluruhan organisasi, struktur wewenang, peraturan formal, sumber daya, proses seleksi karyawan, evaluasi kerja dan sistem imbalan, budaya, dan tatanan kerja fisik seperti ditunjukan pada Gambar 1. Sumber : Robbins, 2007. Gambar 1. Model Perilaku Kelompok Gambar 2 menunjukkan pada pengerjaan tugas kelompok ada kecenderungan bagi individu untuk mengurangi upaya mereka. Dengan kata lain, kemalasan sosial melukiskan kerugian juga dapat menghasilkan hasil yang positif. Kelompok dapat menciptakan output yang lebih besar daripada jumlah input-nya. Sumber : Robbins, 2007. Gambar 2. Dampak Proses Kelompok 12 Munandar (2008) mengambarkan proses terbentuknya perilaku organisasi dimulai dari terbentuknya perilaku individu, kemudian perilaku individu membentuk perilaku kelompok dan perilaku kelompok menggambarkan perilaku organisasi (Gambar 3). Sumber : Munandar, 2008. Gambar 3. Sistem Perilaku Organisasi 2.2 Teori Kelembagaan dan Organisasi Syahyuti (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam hal konsep, setidaknya ada empat bentuk cara untuk membedakan ~ kata yang menerangkan fenomena sosial ini ~ lembaga dan organisasi, yaitu : (1) tradisional dan modern, (2) asal pembentukannya dari bawah dan atas, (3) berbeda level namun dalam satu kontinum, dan (4) organisasi merupakan elemen dari lembaga. Menghadapi berbagai kekeliruan dan ketidaksepakatan selama ini, khususnya di Indonesia, maka perlu dilakukan perumusan rekonseptualisasi tentang terminologi lembaga dan organisasi (Tabel 2). 13 Tabel 2. Rekonseptualisasi Terminologi Lembaga dan Organisasi Terminologi dalam literatur berbahasa Inggris 1. Institution 2. Institutional 3. Organization 4. Organizational Terminologi dalam literatur berbahasa Indonesia Kelembagaan, Institusi Terminologi semestinya Lembaga Kelembagaan, Institusi Organisasi, Lembaga Kelembagaan Keorganisasian, Kelembagaan Keorganisasian Organisasi Materi didalamnya Norma, nilai, regulasi pemerintah, pengetahuan petani tentang regulasi Hal-hal berkenaan dengan lembaga Contoh: kelompok tani, koperasi, asosiasi petani berdasar komoditas Hal-hal yang berkenaan dengan organisasi, misalnya perihal kepemimpinan, keanggotaan, manajemen, dan keuangan organisasi Sumber : Syahyuti, 2010. 2.2.1 Teori Kelembagaan Studi terhadap lembaga di mulai abad ke-19 dan 20, Max Weber mengemukakan hasil studinya tentang pengaruh birokrasi terhadap perilaku masyarakat. Teori ini berkembang menjadi lebih mikro dan individual melalui pendekatan Teori Perilaku (behavioural theory) dan Teori Pilihan Rasional (rational choice theory). Durkheim menjelaskan bahwa lembaga adalah sistem simbol yang berisi pengetahuan, kepercayaan dan otoritas moral yang menghasilkan keteraturan kolektif yang didasarkan pada tindakan rasional. Weber dan Durkheim sepakat menentukan faktor norma dan pengetahuan sebagai pembentuk perilaku. 2.2.2 Teori Organisasi Studi tentang organisasi diawali dengan studi tentang birokrasi oleh Weber yang membangun Teori Lebih Rendah (middle range theory) dan dilanjutkan dengan Selznick dengan Teori Struktural Fungsional (function structure theory) dan kelembagaan lama (old institutional). Studi ini menekankan bahwa pentingnya kontrol norma yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi aktor dan menekannya dalam situasi sosial. 14 2.2.3 Teori Kelembagaan Baru Interaksi antara Teori Kelembagaan dan Teori Organisasi melahirkan Teori Kelembagaan Baru (new institutionalism theory). Studi mengenai hal ini mulai berinteraksi semenjak era 1970-an, yaitu tumbuhnya perhatian pada pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational forms) dan lapangan organisasi (organization fields). Beberapa teori yang mempengaruhi munculnya Teori Kelembagaan Baru adalah Teori Birokrasi (Weber), Teori Kelembagaan Kultural (Parsons), Teori Kelembagaan Rasionalitas Terhadap Organisasi Organisasi (Simmon (Selznick), dan dan March), Teori Teori Lingkungan Kelembagaan (Alexander). Syahyuti (2010) menegaskan bahwa ada tiga elemen yang menjadi akar dari pembentukan teori ini, yaitu: aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-kognitif. Pertama, aspek regulatif perhatiannya tertujukan pada aturan (rule) yang ada dan “keuntungan apa” yang akan diperoleh pelaku dalam bertindak. Diyakini bahwa masyarakat dipenuhi oleh berbagai aturan, dan berperilaku dengan melihat aturan. Masyarakat akan berusaha memaksimalkan keuntungan untuk dirinya dengan menggunakan atau berkelit dari aturan yang ada. Karena, dalam perspektif ini masyarakat dipandang sebagai makhluk yang rasional. Kedua, aspek normatif perhatiannya tertujukan pada norma-norma yang hidup dan disepakati ditengah dimasyarakat. Norma sebagai penentu pokok perilaku individu dalam masyarakat, bersifat membatasi sekaligus mendorong individu. Norma pada hakekatnya menjelaskan tentang kewajiban individu. Ketiga, aspek cultural-kognitif perhatiannya tertujukan pada pengetahuan kultural yang dimiliki oleh individu dan masyarakat dengan menggunakan perspektif pengetahuan. Intinya, dinyakini bahwa manusia memaknai segala hal diseputarnya, termasuk norma dan regulasi, namun ia tidak langsung patuh sepenuhnya. Ia memaknai lagi norma dan regulasi yang ada, lalu memilih sikap dan perilakunya sendiri. Sehingga manusia sebagai aktor yang aktif. Berdasarkan ketiga aspek tersebut, lembaga dirumuskan sebagai yang menyediakan stabilitas dan keteraturan dalam masyarakat. 15 2.3 Organisasi Petani Pemberdayaan petani dengan pendekatan pengorganisasian secara formal merupakan hal yang umum tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil dalam pelaksanaannya. Negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal. Sebagian besar organisasi petani dibentuk untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas kontrol dan kepentingan administratif bagi pelaksana program. Penelitian Pranadji et al. (2004) mengemukakan bahwa gejala pada saat ini hampir tidak ada organisasi (ekonomi) petani mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri dengan baik. Hingga kini organisasi petani yang dibentuk dari atas hampir tidak ada yang mampu bertahan hidup dengan tingkat daya saing tinggi. 2.3.1 Intervensi Negara dan Pasar dalam Organisasi Petani Negara dan pasar merupakan dua elemen lingkungan pokok yang mempengaruhi berjalannya organisasi petani. Modernisasi sangat mewarnai pendekatan pemerintah dalam pembangunan pertanian. Corak kebijakan pembangunan desa semasa Orde Baru ditandai “kuatnya negara masuk desa” dimana semua desa mengikuti model “desa di Jawa” (Sajogyo, 2002). Melalui Revolusi Hijau, terjadi introduksi teknologi, birokrasi dan pasar. Namun pendekatan yang disebabkan modernisasi tersebut menimbulkan dampak, antara lain : (1) timbulnya pelapisan sosial dan akumulasi penguasaan lahan, (2) hilangnya nilai egaliter dalam masyarakat, (3) hubungan patron-klien melemah digantikan hubungan komersial kalkulasi untung-rugi. Kondisi sosial politik ini memberikan lingkungan yang kurang kondusif untuk berkembangnya organisasi petani yang kuat dan berakar (Syahyuti, 2010). Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam penelitian Syahyuti (2010) bahwa eksistensi organisasi milik petani bergantung kepada kondisi lingkungan dimana ia hidup. Dua kekuatan yang menentukan dalam eksistensi ini adalah negara dan pasar. Pertama, negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal untuk kepentingan administratif petani dalam menjalankan program-program pemberdayaan petani di perdesaan sementara yang kedua, pasar cenderung menekan petani (secara individu dan kelompok) untuk berperilaku efisien dan 16 menguntungkan, melalui tekanan pasar menginginkan seluruh perilaku petani harus dapat dirasionalisasikan dan dikalkulasikan dalam dimensi untung-rugi. 2.3.2 Organisasi Petani dalam Teori Kelembagaan Baru Era globalisasi merubah konstelasi paradigma pembangunan pertanian di tingkat dunia. Berbagai konsep yang sedang populer dewasa ini antara lain : pendekatan kemiskinan, ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pembangunan berkelanjutan, gender, dan juga pemberdayaan (Syahyuti, 2007). Perubahan lingkungan tersebut mengharuskan Indonesia menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Hal ini nampak dari perubahan pola pembangunan sektor pertanian di Indonesia, semula pendekatan komoditas menjadi pendekatan Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis yang bercirikan pada orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani (Sudaryanto et al., 2005). Paradigma baru ini ditandai dengan kuatnya intervensi negara terhadap pembangunan organisasi petani, melalui introduksi teknologi, birokrasi dan pasar terhadap pembangunan sektor pertanian. Syahyuti (2010) mengemukakan bahwa dampak dari intervensi tersebut mengakibatkan perubahan pada struktur ekonomi dan politik lokal petani. Petani mengembangkan organisasinya sesuai dengan kondisi dan pemahaman mereka, semisal : mempertimbangkan kebutuhan spesifik komoditas yang mereka usahakan. Teori Kelembagaan Baru seolah menjawab dinamika perubahan paradigma pembangunan pertanian. Pendekatan yang dilakukan dalam teori ini adalah untuk memaparkan kerangka pemikiran bagaimana petani menjalankan usahanya sehari-hari. Petani membangun relasi horizontal (sesama petani) dan relasi vertikal (dengan pemasok saprodi, permodalan, teknologi, dan pedagang hasil pemasaran). Dalam setiap relasi petani memiliki dua pilihan yaitu yang bersifat individual dan bentuk aksi kolektif. Pengorganisasian petani pada hakekatnya merupakan upaya untuk menjalankan tindakan kolektif, dengan kenyakinan bahwa tindakan kolektif lebih murah dan efektif. Agar tindakan kolektif berjalan, maka harus dapat diketemukan cara untuk memotivasi individu agar mau melibatkan diri. Organisasi hanyalah salah satu wadah dalam menjalankan tindakan kolektif. Tindakan kolektif yang selama ini gagal dijalankan dalam organisasi formal petani di Indonesia, 17 disebabkan petani telah memiliki berbagai relasi dimana relasi tersebut berada di luar organisasi formal. Petani enggan berorganisasi karena kompensasi yang diterima tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan yang mereka peroleh. Perilaku ini sejalan dengan Teori Pilihan Rasional (rational choice theory). Syahyuti (2010) menyimpulkan bahwa pengembangan keorganisasian petani dimasa mendatang setidaknya perlu memperhatikan prinsip-prinsip : (1) organisasi formal untuk petani hanyalah sebuah opsi bukan keharusan, (2) pengembangan organisasi memperhatikan prinsip multi purpose sehingga tidak terikat lagi pada egosubsektor dan keproyekan, (3) organisasi hanyalah alat bukan tujuan, (4) petani dihargai sebagai individual yang rasional dan memahami kondisinya, (5) bentuk organisasi yang ditawarkan ke petani adalah yang mampu memperkuat relasi-relasi vertikal (dengan pemasok saprodi, permodalan, teknologi, pelaku pengolahan, dan pedagang hasil pertanian). 2.4 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Departemen Pertanian (2008) mendefinisikan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebagai kumpulan beberapa kelompok tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha. Gapoktan terdiri atas kelompok tani yang ada dalam wilayah suatu wilayah administrasi desa atau yang berada dalam satu wilayah aliran irigasi petak pengairan tersier. Gapoktan pada hakekatnya organisasi yang dapat dipilih (opsi) disamping organisasi-organisasi lain yang juga terlibat dalam aktivitas ekonomi secara langsung. Pengembangan gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan aksesibilitas terhadap berbagai lembaga layanan usaha, misalnya lemah terhadap lembaga keuangan, terhadap lembaga penyedia sarana produksi pertanian, serta terhadap sumber informasi. Pada prinsipnya gapoktan diarahkan sebagai sebuah organisasi ekonomi yang mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya, yaitu : sebagai organisasi pengelolaan sumberdaya alam, untuk tujuan aktivitas kolektif, pengembangan usaha, dan melayani kebutuhan informasi. 18 2.4.1 Konsep Pengembangan Gapoktan Tujuan utama pembentukan gapoktan adalah untuk memperkuat organisasi petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus dengan sasaran yang jelas. Pembentukannya didasari bahwa pertanian modern tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada organisasi yang dicirikan dengan organisasi ekonomi yang mampu menyentuh dan menggerakkan perekonomian di perdesaan melalui pertanian. Setidaknya ada tiga peran pokok yang diharapkan dapat dimainkan oleh gapoktan. Pertama, gapoktan difungsikan sebagai organisasi strategis yang merangkum seluruh aktivitas organisasi petani di perdesaan. Kedua, gapoktan diharapkan mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bersama. Ketiga, gapoktan bertindak sebagai Organisasi Usaha Ekonomi Perdesaan sehingga dapat menerima Dana Penguatan Modal. Agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan, maka koordinasi untuk menata pelibatan setiap Gapoktan berada dalam koordinasi Dinas Pertanian setempat. Konsep sistem agribisnis menggambarkan bahwa aktivitas pertanian perdesaan tidak akan keluar dari upaya untuk : menyediakan sarana produksi, permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha tani (on farm), pemenuhan informasi teknologi, serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kondisi dilapangan organisasi yang diintroduksikan saat ini sesungguh telah tumpang tindih. Tabel 3. Matrik Fungsi Agribisnis dan Organisasi yang Menjalankan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Fungsi Penyediaan saprotan Penyediaan modal Penyediaan air irigasi Kegiatan usahatani Pengolahan Pemasaran Penyediaan infor&tek. Penyediaan info pasar Organisasi Yang Menjalankan KUA Kop. UPJA PPD Keltan Gapoktan P3A V V - V V V V V - V V V - V - V V - V V V V V V Sumber : Syahyuti, 2007. K.Agb Kelcapir - - - V - - - - - - - - - - V - - - - V V V V V - - - - V - - - V V V V V - V V V V V V 19 2.5 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Pendekatan komoditas yang dilakukan pada masa Orde Baru tidak dapat disangkal memberikan hasil yang menakjubkan, salah satu bukti keberhasilan tersebut dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Ciri pendekatan komoditas adalah pengembangan komoditas secara parsial dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani (Sudaryanto et al, 2005). Kelemahan mendasar sistem pendekatan komoditas (Simatupang, 2004) disebabkan antara lain : (1) tidak memperhatikan keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan panduan horizontal, vertikal, dan spasial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang memperhatikan aspirasi pendapatan petani. Pendekatan ini seringkali tidak efisien dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani. Persaingan pasar global mengharuskan perekonomian nasional di deregulasi melalui pengurangan subsidi, dukungan harga, dan proteksi lainnya. Sejak pertengahan 1970-an, para ahli mulai sadar bahwa sektor pertanian sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro maupun perekonomian global (Simatupang, 2004). Akhirnya kemampuan bersaing bertumpu pada kemampuan bersaing melalui proses produksi yang efisien. Partisipasi dan kemampuan wirausaha petani menjadi faktor kunci keberhasilan, serta saling tergantungnya antara usaha ekonomi dan non ekonomi. Seiring dengan itu, orientasi pembangunan pertanian pun akan mengalami perubahan dari orientasi peningkatan produksi menjadi orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis adalah usaha kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan pertanian. Bidang usahanya meliputi : usaha menghasilkan sarana produksi usahatani, usahatani, usaha pengolahan produksi usahatani, dan usaha perdagangan sarana produksi, produksi primer, dan produk olahan usahatani. Sistem ini tidak membedakan skala usaha, asalkan merupakan usaha ekonomi yang mengusahakan sarana dan produk pertanian dimana usaha produk pertanian menjadi komponen utamanya. Jadi usahatani keluarga pun dapat tergolong kategori ini. Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis mempunyai dua makna 20 yang berbeda namun saling berhubungan, yaitu : (1) suatu usaha ekonomi, dan (2) suatu sistem terpadu (Simatupang, 2004). 2.5.1 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Suatu Usaha Ekonomi/ Perusahaan Sistem ini bercirikan oleh dua hal, yaitu : (1) berorientasi pada pasar; barang/jasa yang dihasilkan dijual melalui pasar dan sebagian atau seluruhnya sarana produksi yang dibutuhkan dibeli dari pasar, (2) bersifat rasional; bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Setidaknya ada dua pengertian mengenai konsep ini, yaitu : Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis tidak membedakan skala usaha, asalkan merupakan usaha ekonomi yang mengusahakan sarana dan produk pertanian, dan usaha produksi pertanian merupakan komponen utama dari sistem ini. 2.5.2 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Suatu Sistem Terpadu Merupakan satu kesatuan jaringan yang tidak terpisahkan antara empat komponen, yaitu (1) jaringan perusahaan, (2) konsumen, (3) kebijakan dan perekonomian makro, dan (4) lembaga penunjang. Hal ini mengambarkan bahwa sebagai suatu sistem terpadu Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis lebih luas dari cakupan Sistem Perusahaan. Jaringan perusahaan Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis meliputi segala perusahaan yang berkaitan dengan komoditas pertanian. Jaringan ini terbagi menjadi tiga dimensi, yaitu : vertikal, horizontal, dan spasial. 1. Dimensi vertikal dicirikan oleh kaitan (arus) produk yang dihasilkan oleh setiap perusahaan. Bidang usahanya meliputi penghasil sarana penghasil sarana produksi usahatani, usahatani industri pengolahan hasil, dan pedagang. Sebagai contoh, alur vertikal disajikan pada Gambar 4. 21 Gambar 4. Dimensi Vertikal pada Jaringan Perusahaan 1. Dimensi horizontal dicirikan oleh kaitan sumberdaya yang digunakan dalam proses produksi yang dihasilkan oleh masing-masing perusahaan yang ada dalam jaringan vertikal. Gambar 5 merupakan contoh alur dimensi horizontal. 22 Gambar 5. Dimensi Horizontal pada Jaringan Perusahaan 2. Dimensi spasial berkaitan dengan lokasi atau regional dari Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis dengan berbagai hal, seperti : luas dan kebutuhan lahan, konsentrasi konsumen, dan ketersediaan sarana dan prasarana produksi. Oleh kerana itu Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis biasanya khas untuk suatu kawasan. 2.6 Definisi, Tujuan dan Jenis Pelatihan 2.6.1 Definisi Pelatihan Sekula disitasi Hariono (2010) mengemukakan pendapat tentang pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir di mana pegawai non manajerial mempelajari 23 pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan terbatas. Dessler (2009) mendefinisikan pelatihan sebagai proses mengajarkan karyawan baru atau yang ada sekarang, keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan mereka. Menurut Mathis et al. (2006) pelatihan adalah suatu proses dimana orang orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, proses ini terikat dengan berbagai tujuan organisasi, pelatihan dapat dipandang secara sempit maupun luas. Secara terbatas, pelatihan menyediakan para pegawai dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat diketahui serta keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini. Terkadang ada batasan yang ditarik antara pelatihan dengan pengembangan, dengan pengembangan yang bersifat lebih luas dalam cakupan serta memfokuskan pada individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna baik bagi pekerjaannya saat ini maupun di masa mendatang. Simanjuntak (2005) mendefinisikan pelatihan merupakan bagian dari investasi sumberdaya manusia (human investment) untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kerja, dan dengan demikian meningkatkan kinerja pegawai. Pelatihan biasanya dilakukan dengan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan jabatan, diberikan dalam waktu yang relatif pendek, untuk membekali seseorang dengan keterampilan kerja. Pelatihan didefinisikan oleh Ivancevich (2008) sebagai usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam pekerjaannya sekarang atau dalam pekerjaan lain yang akan dijabatnya segera. Selanjutnya, sehubungan dengan definisinya tersebut, Ivancevich mengemukakan sejumlah butir penting yang diuraikan sebagai berikut : (1) pelatihan adalah sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang/sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi, (2) pelatihan terkait dengan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang sekarang dilakukan, (3) pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang spesifik untuk berhasil dalam pekerjaannya. Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah suatu kegiatan investasi sumberdaya manusia dalam bentuk peningkatan kompetensi 24 untuk membekali pekerja ketrampilan sesuai yang dibutuhkan yang dilakukan dalam jangka pendek. 2.6.2 Tujuan Pelatihan Tujuan umum pelatihan sebagai berikut : (1) untuk mengembangkan keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif, (2) untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional, dan (3) untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan). Secara umum ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan, tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi. Mangkunegara (2005) menjelaskan bahwa tahapan-tahapan dalam pelatihan dan pengembangan meliputi (1) mengidentifikasi kebutuhan pelatihan (needs assessment), (2) menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan, (3) menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat ukurnya, (4) menetapkan metode pelatihan, (5) mengadakan percobaan (try out) dan revisi, dan (6) mengimplementasikan dan mengevaluasi. 2.6.3 Jenis-Jenis Pelatihan Menurut Mathis dan Jackson (2006) pelatihan dapat dirancang untuk memenuhi tujuan berbeda dan dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai cara, yang meliputi : 1. Pelatihan yang dibutuhkan dan rutin, dilakukan untuk memenuhi berbagai syarat hukum yang diharuskan dan berlaku sebagai pelatihan untuk semua karyawan (orientasi karyawan baru). 2. Pelatihan pekerjaan/teknis, memungkinkan para karyawan untuk melakukan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab mereka dengan baik. 3. Pelatihan antarpribadi dan pemecahan masalah, dimaksudkan untuk mengatasi masalah operasional dan antarpribadi serta meningkatkan hubungan dalam pekerjaan organisasional. 25 4. Pelatihan perkembangan dan inovatif, menyediakan fokus jangka panjang untuk meningkatkan kapabilitas individual dan organisasional untuk masa depan. 2.7 Analisis Kebutuhan Pelatihan (Traning Needs Assessment) Secara umum analisis kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis data dalam rangka mengidentifikasi bidangbidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di dalam perusahaan yang perlu ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan menjadi meningkat. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat tentang apakah ada kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan. Mengingat bahwa pelatihan pada dasarnya diselenggarakan sebagai sarana untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi gap antara kinerja yang ada saat ini dengan kinerja standar melalui suatu pelatihan. Jika ditelaah secara lebih lanjut, maka analisis kebutuhan pelatihan memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah: 1. Memastikan bahwa pelatihan memang merupakan salah satu solusi untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan 2. Memastikan bahwa para partisipan yang mengikuti pelatihan benar-benar orang-orang yang tepat 3. Memastikan bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan selama pelatihan benar-benar sesuai dengan elemen-elemen kerja yang dituntut dalam suatu jabatan tertentu 4. Mengidentifikasi bahwa jenis pelatihan dan metode yang dipilih sesuai dengan tema atau materi pelatihan 5. Memastikan bahwa penurunan kinerja atau pun masalah yang ada adalah disebabkan karena kurangnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap-sikap kerja; bukan oleh alasan-alasan lain yang tidak bisa diselesaikan melalui pelatihan 6. Memperhitungkan untung-ruginya melaksanakan pelatihan mengingat bahwa sebuah pelatihan pasti membutuhkan sejumlah dana. 26 Gap yang akan dianalisis dalam kebutuhan pelatihan berkaitan dengan manusia (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) dan organisasi, maka analisis kebutuhan pelatihan seyogyanya mencakup kedua area tersebut. Cascio 1992; Schuler 1993; Erasmus et al. 2000; Miller 2002; Bernardin 2003; MDF 2005; dan Wulandari 2005) sependapat bahwa untuk menentukan kebutuhan pelatihan yang objektif dan sistematis harus melakukan tahapan analisis terhadap tiga aspek utama, yaitu : organisasi, operasi/jabatan, dan individu. Pertama, analisis organisasi. Analisis ini memfokuskan pada kebutuhan strategi perusahaan dalam merespon dinamika bisnis masa depan. Kebutuhan strategi perusahaan dirumuskan dengan mengacu pada dua elemen pokok yaitu strategi perusahaan dan nilai perusahaan. Kedua elemen tersebut merupakan faktor kunci efektifitas dan keberhasilan bagi organisasi dalam proses pencapaian tujuannya. Indikator dalam kedua elemen tersebut dipergunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang masih mengalami kekurangan paling besar, dan karenanya perlu diprioritaskan melalui penilaian kebutuhan pelatihan. Indikatorindikator dimaksud antara lain : perencanaan, komunikasi, kerjasama, pelayanan prima, pembelajaran, kepemimpinan, dan pengembangan. Kedua, analisis operasi/jabatan. Analisis ini memfokuskan pada profil kompetensi yang dipersyaratkan untuk setiap jabatan. Identifikasi profil kebutuhan kompetensi jabatan bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pilihan modul pelatihan yang relevan dengan kebutuhan kompetensi jabatan. Alur proses identifikasi kompetensi jabatan dimulai dengan klarifikasi terhadap strategi dan nilai organisasi, kemudian dilakukan analisis terhadap peraturan dan alur kerja organisasi melalui pengumpulan dengan metode wawancara dan diskusi kelompok dan studi pengendalian mutu. Outputnya berupa penyempurnaan dalam bentuk validasi, perbaikan, dan implementasi. Ketiga, analisis individu. Analisis ini memfokuskan pada gap antara tingkatan kompetensi yang dipersyaratkan dengan tingkatan aktual individu. Kinerja standar yang telah ditetapkan pada tingkat operasi merupakan kinerja yang ingin dicapai. Sedangkan informasi mengenai kinerja aktual individu dapat diperoleh dari data kinerja individu, penilaian supervisor, attitude survey, wawancara, dan sebagainya. Gap antara kinerja aktual dan kinerja yang ingin 27 dicapai akan diisi dengan pelatihan. Dari tahap-tahap analisis tersebut dapat dikatakan bahwa analisis organisasi merupakan dasar untuk melakukan analisis operasi, dan analisis operasi sebagai dasar analisis individu. Ketiga analisis kebutuhan pelatihan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Kerugian yang diperoleh jika program pelatihan tidak terkoordinasi dengan tujuan dan sasaran organisasi adalah waktu dan biaya banyak dikeluarkan tanpa menghasilkan peningkatan kinerja. 2.8 Metode Training Needs Assessment Tool Metode TNA-T adalah salah satu tipe analisis individu digunakan untuk menganalisis gap KKJ dengan KKP. Jika gap KKJ dengan KKP disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap, maka solusinya adalah dengan pelatihan. Akan tetapi jika bukan gap bukan disebabkan oleh faktor tersebut, maka solusinya bukan pelatihan tetapi dengan solusi lain sesuai dengan faktorfaktor penyebabnya. Selisih antara KKJ dan KKP merupakan kekurangan kemampuan yang perlu dilatih. 2.9 Penelitian Terdahulu Tabel 4 adalah rangkuman dari beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan referensi dalam penelitian ini sebagai informasi agar penelitian yang dilakukan tidak tumpang tindih ataupun melakukan pengulangan penelitian terhadap obyek yang sama. Tabel 4. Penelitian Terdahulu tentang Analisis Kebutuhan Pelatihan Tahun Lokasi Penelitian Metode Penelitian Puspita 2004 Bank BNI Divisi Syariah TNA-T Alimin 2004 Petani di Kec.Sukanegara Kab.Cianjur Uji Korelasi Peringkat Spearman Taslaangreini 2004 PT. Bank Riau TNA-T Peneliti Hasil Kajian Pelatihan berbasis kompetensi membantu pegawai mengetahui apa yang belum diketahui dan pekerjaan apa yang belum dikerjakan Semakin tinggi taraf faktor internal pada petani sayur-sayuran, semakin tinggi kompetansi aktual dan semakin rendah gap kompetensi petani sehingga kebuthan pelatihan petani rendah. Semakin tinggi faktor eskternal semakin tinggi kompetensi aktual semakin rendah gap gap kompetensi petani sehingga kebutuhan pelatihan petani rendah Kepala bagian memerlukan pelatihan, kebutuhan materi pelatihan ada yang sama ada yang berbeda sesuai dengan uraian jabatan