2.tinjauan pustaka

advertisement
2.TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Manajemen Sumberdaya Manusia
Manajemen sumberdaya manusia secara sederhana didefinisikan sebagai
suatu kegiatan pengelolaan sumberdaya manusia. Manajemen sumberdaya
manusia merupakan satu gerakan pengakuan terhadap pentingnya unsur manusia
sebagai sumberdaya yang potensial, yang perlu dikembangkan sedemikian rupa
sehingga mampu memberikan kontribusi yang maksimal bagi organisasi dan bagi
pengembangan dirinya. Mangkunegara (2001) mengatakan bahwa manajemen
sumberdaya manusia adalah suatu kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, pemberian
balas jasa, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemisahan tenaga kerja dalam
rangka pencapaian tujuan organisasi. Dessler (2009) mendefinisikan manajemen
sumberdaya manusia merupakan proses memperoleh, melatih, menilai, dan
memberikan kompensasi kepada karyawan, memperhatikan hubungan kerja,
kesehatan, keamanan, dan masalah keadilan. Robbin (2007) mendefinisikan
manajemen sumberdaya manusia adalah proses pengkoordinasian kegiatankegiatan pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut terselesaikan secara efisien dan
efektif dengan dan melalui orang lain. Efisien berarti memperoleh output terbesar
dengan input tertentu; digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu secara
benar”. Efektif adalah menyelesaikan kegiatan-kegiatan sasaran organisasi dapat
tercapai; digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu yang benar’.
Dari paparan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa sumberdaya manusia diakui
sebagai faktor penting dalam proses aktivitas organisasi yang efektif dan efisien
untuk mencapai tujuan organisasi.
2.1.1 Pentingnya Manajemen Sumberdaya Manusia
Hariono (2010) memberikan alasan mengapa kita harus mempelajari
manajemen sumberdaya manusia di dalam suatu organisasi ?. Pertama, untuk
menggali potensi manusia dalam organisasi sehingga dapat dimanfaatkan
seoptimal mungkin. Kedua, manusia sebagai makhluk sosial yang unik harus
menjadi fokus perhatian terhadap keinginan (wants) dan kebutuhannya (needs)
10
yang harus dipenuhi. Ketiga, manusia memiliki cita-cita untuk mencapai tujuan
yang diinginkan melalui jalur karir yang ditempuhnya. Keempat, organisasi
adalah kumpulan orang-orang. Kesuksesan orang-orang di dalamnya haruslah
sesuai dengan tujuan organisasi yang ingin dicapai. Kelima, organisasi dibentuk
bukan hanya dalam jangka pendek, melainkan dalam jangka panjang sehingga
kebutuhan SDM harus direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan
dikendalikan secara efektif.
2.1.2 Manajemen Sumberdaya Manusia dan Organisasi
Fungsi-fungsi manajemen dalam organisasi sekurang-kurangnya meliputi
aspek manajemen sumberdaya manusia, manajemen produksi dan operasi,
manajemen keuangan, dan manajemen pemasaran. Manajemen sumberdaya
manusia adalah salah satu fungsi utama dari suatu organisasi. Fungsi-fungsi lain
tidak akan bisa berjalan tanpa adanya peran dari sumberdaya manusia yang
memiliki kualitas. Gratton disitasi Mullins (2005) menyatakan setidaknya ada
empat proposisi dasar yang ada kaitannya dengan organisasi yaitu :
1. Terdapat perbedaan yang mendasar antara orang sebagai asset dan asset
tradisional dari keuangan atau teknologi
2. Memahami perbedaan yang mendasar akan menciptakan pandangan baru
secara menyeluruh mengenai pemikiran dan pekerjaan dalam organisasi, yaitu
suatu pergeseran pola pikir
3. Strategi usaha hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan manusia
4. Menciptakan pendekatan strategi dengan mengutamakan manusia melalui
suatu dialog yang kuat dalam organisasi.
2.1.3 Perilaku Individu, Kelompok, dan Organisasi
Robbins
(2007)
mengidentifikasi
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perilaku individu, yaitu : (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) status
perkawinan, (4) masa kerja, (5) kemampuan (fisik, intelektual dan kesuaian
kemampuan dengan pekerjaan). Perilaku dalam kelompok dibagi ke dalam dua
bagian yaitu pertama kelompok formal, perilaku ditentukan oleh dan diarahkan ke
11
sasaran organisasi dan yang kedua, kelompok informal terbentuk secara alamiah
sebagai tanggapan terhadap kebutuhan akan kontak sosial.
Untuk mulai memahami perilaku kelompok kerja, perlu memandangnya
sebagai substansi yang tertanam ke dalam sistem yang lebih besar. Perilaku
kelompok dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang dipaksakan dari luar. Kondisikondisi eksternal ini mencakup strategi keseluruhan organisasi, struktur
wewenang, peraturan formal, sumber daya, proses seleksi karyawan, evaluasi
kerja dan sistem imbalan, budaya, dan tatanan kerja fisik seperti ditunjukan pada
Gambar 1.
Sumber : Robbins, 2007.
Gambar 1. Model Perilaku Kelompok
Gambar 2 menunjukkan pada pengerjaan tugas kelompok ada kecenderungan bagi
individu untuk mengurangi upaya mereka. Dengan kata lain, kemalasan sosial
melukiskan kerugian juga dapat menghasilkan hasil yang positif. Kelompok dapat
menciptakan output yang lebih besar daripada jumlah input-nya.
Sumber : Robbins, 2007.
Gambar 2. Dampak Proses Kelompok
12
Munandar (2008) mengambarkan proses terbentuknya perilaku organisasi dimulai
dari terbentuknya perilaku individu, kemudian perilaku individu membentuk
perilaku kelompok dan perilaku kelompok menggambarkan perilaku organisasi
(Gambar 3).
Sumber : Munandar, 2008.
Gambar 3. Sistem Perilaku Organisasi
2.2 Teori Kelembagaan dan Organisasi
Syahyuti (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dalam hal konsep,
setidaknya ada empat bentuk cara untuk membedakan ~ kata yang menerangkan
fenomena sosial ini ~ lembaga dan organisasi, yaitu : (1) tradisional dan modern,
(2) asal pembentukannya dari bawah dan atas, (3) berbeda level namun dalam satu
kontinum, dan (4) organisasi merupakan elemen dari lembaga. Menghadapi
berbagai kekeliruan dan ketidaksepakatan selama ini, khususnya di Indonesia,
maka perlu dilakukan perumusan rekonseptualisasi tentang terminologi lembaga
dan organisasi (Tabel 2).
13
Tabel 2. Rekonseptualisasi Terminologi Lembaga dan Organisasi
Terminologi dalam
literatur berbahasa
Inggris
1. Institution
2. Institutional
3. Organization
4. Organizational
Terminologi
dalam literatur
berbahasa
Indonesia
Kelembagaan,
Institusi
Terminologi
semestinya
Lembaga
Kelembagaan,
Institusi
Organisasi,
Lembaga
Kelembagaan
Keorganisasian,
Kelembagaan
Keorganisasian
Organisasi
Materi didalamnya
Norma, nilai, regulasi
pemerintah, pengetahuan
petani tentang regulasi
Hal-hal berkenaan dengan
lembaga
Contoh: kelompok tani,
koperasi, asosiasi petani
berdasar komoditas
Hal-hal yang berkenaan
dengan
organisasi,
misalnya
perihal
kepemimpinan,
keanggotaan, manajemen,
dan keuangan organisasi
Sumber : Syahyuti, 2010.
2.2.1 Teori Kelembagaan
Studi terhadap lembaga di mulai abad ke-19 dan 20, Max Weber
mengemukakan hasil studinya tentang pengaruh birokrasi terhadap perilaku
masyarakat. Teori ini berkembang menjadi lebih mikro dan individual melalui
pendekatan Teori Perilaku (behavioural theory) dan Teori Pilihan Rasional
(rational choice theory). Durkheim menjelaskan bahwa lembaga adalah sistem
simbol yang berisi pengetahuan, kepercayaan dan otoritas moral yang
menghasilkan keteraturan kolektif yang didasarkan pada tindakan rasional. Weber
dan Durkheim sepakat menentukan faktor norma dan pengetahuan sebagai
pembentuk perilaku.
2.2.2 Teori Organisasi
Studi tentang organisasi diawali dengan studi tentang birokrasi oleh Weber
yang membangun Teori Lebih Rendah (middle range theory) dan dilanjutkan
dengan Selznick dengan Teori Struktural Fungsional (function structure theory)
dan kelembagaan lama (old institutional). Studi ini menekankan bahwa
pentingnya kontrol norma yang secara bersamaan kemudian menginternalisasi
aktor dan menekannya dalam situasi sosial.
14
2.2.3 Teori Kelembagaan Baru
Interaksi antara Teori Kelembagaan dan Teori Organisasi melahirkan Teori
Kelembagaan Baru (new institutionalism theory). Studi mengenai hal ini mulai
berinteraksi semenjak era 1970-an, yaitu tumbuhnya perhatian pada pentingnya
bentuk-bentuk keorganisasian (organizational forms) dan lapangan organisasi
(organization fields). Beberapa teori yang mempengaruhi munculnya Teori
Kelembagaan Baru adalah Teori Birokrasi (Weber), Teori Kelembagaan Kultural
(Parsons),
Teori
Kelembagaan
Rasionalitas
Terhadap
Organisasi
Organisasi
(Simmon
(Selznick),
dan
dan
March),
Teori
Teori
Lingkungan
Kelembagaan (Alexander).
Syahyuti (2010) menegaskan bahwa ada tiga elemen yang menjadi akar
dari pembentukan teori ini, yaitu: aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek
kultural-kognitif. Pertama, aspek regulatif perhatiannya tertujukan pada aturan
(rule) yang ada dan “keuntungan apa” yang akan diperoleh pelaku dalam
bertindak. Diyakini bahwa masyarakat dipenuhi oleh berbagai aturan, dan
berperilaku dengan melihat aturan. Masyarakat akan berusaha memaksimalkan
keuntungan untuk dirinya dengan menggunakan atau berkelit dari aturan yang
ada. Karena, dalam perspektif ini masyarakat dipandang sebagai makhluk yang
rasional. Kedua, aspek normatif perhatiannya tertujukan pada norma-norma yang
hidup dan disepakati ditengah dimasyarakat. Norma sebagai penentu pokok
perilaku individu dalam masyarakat, bersifat membatasi sekaligus mendorong
individu. Norma pada hakekatnya menjelaskan tentang kewajiban individu.
Ketiga, aspek cultural-kognitif perhatiannya tertujukan pada pengetahuan kultural
yang dimiliki oleh individu dan masyarakat dengan menggunakan perspektif
pengetahuan.
Intinya,
dinyakini
bahwa
manusia
memaknai
segala
hal
diseputarnya, termasuk norma dan regulasi, namun ia tidak langsung patuh
sepenuhnya. Ia memaknai lagi norma dan regulasi yang ada, lalu memilih sikap
dan perilakunya sendiri. Sehingga manusia sebagai aktor yang aktif. Berdasarkan
ketiga aspek tersebut, lembaga dirumuskan sebagai yang menyediakan stabilitas
dan keteraturan dalam masyarakat.
15
2.3 Organisasi Petani
Pemberdayaan petani dengan pendekatan pengorganisasian secara formal
merupakan hal yang umum tidak hanya di Indonesia, namun kurang berhasil
dalam pelaksanaannya. Negara menginginkan petani diorganisasikan secara
formal. Sebagian besar organisasi petani dibentuk untuk tujuan distribusi bantuan
dan memudahkan tugas kontrol dan kepentingan administratif bagi pelaksana
program. Penelitian Pranadji et al. (2004) mengemukakan bahwa gejala pada saat
ini hampir tidak ada organisasi (ekonomi) petani mampu bertahan hidup dan
mengembangkan diri dengan baik. Hingga kini organisasi petani yang dibentuk
dari atas hampir tidak ada yang mampu bertahan hidup dengan tingkat daya saing
tinggi.
2.3.1 Intervensi Negara dan Pasar dalam Organisasi Petani
Negara dan pasar merupakan dua elemen lingkungan pokok yang
mempengaruhi berjalannya organisasi petani. Modernisasi sangat mewarnai
pendekatan pemerintah dalam pembangunan pertanian. Corak kebijakan
pembangunan desa semasa Orde Baru ditandai “kuatnya negara masuk desa”
dimana semua desa mengikuti model “desa di Jawa” (Sajogyo, 2002). Melalui
Revolusi Hijau, terjadi introduksi teknologi, birokrasi dan pasar. Namun
pendekatan yang disebabkan modernisasi tersebut menimbulkan dampak, antara
lain : (1) timbulnya pelapisan sosial dan akumulasi penguasaan lahan, (2)
hilangnya nilai egaliter dalam masyarakat, (3) hubungan patron-klien melemah
digantikan hubungan komersial kalkulasi untung-rugi. Kondisi sosial politik ini
memberikan lingkungan yang kurang kondusif untuk berkembangnya organisasi
petani yang kuat dan berakar (Syahyuti, 2010).
Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam penelitian Syahyuti (2010) bahwa
eksistensi organisasi milik petani bergantung kepada kondisi lingkungan dimana
ia hidup. Dua kekuatan yang menentukan dalam eksistensi ini adalah negara dan
pasar. Pertama, negara menginginkan petani diorganisasikan secara formal untuk
kepentingan
administratif
petani
dalam
menjalankan
program-program
pemberdayaan petani di perdesaan sementara yang kedua, pasar cenderung
menekan petani (secara individu dan kelompok) untuk berperilaku efisien dan
16
menguntungkan, melalui tekanan pasar menginginkan seluruh perilaku petani
harus dapat dirasionalisasikan dan dikalkulasikan dalam dimensi untung-rugi.
2.3.2 Organisasi Petani dalam Teori Kelembagaan Baru
Era globalisasi merubah konstelasi paradigma pembangunan pertanian di
tingkat dunia. Berbagai konsep yang sedang populer dewasa ini antara lain :
pendekatan kemiskinan, ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pembangunan
berkelanjutan, gender, dan juga pemberdayaan (Syahyuti, 2007). Perubahan
lingkungan tersebut mengharuskan Indonesia menyesuaikan diri dengan
perubahan tersebut. Hal ini nampak dari perubahan pola pembangunan sektor
pertanian di Indonesia, semula pendekatan komoditas menjadi pendekatan Sistem
Usaha
Pertanian/Agribisnis
yang
bercirikan
pada
orientasi
peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan petani (Sudaryanto et al., 2005).
Paradigma baru ini ditandai dengan kuatnya intervensi negara terhadap
pembangunan organisasi petani, melalui introduksi teknologi, birokrasi dan pasar
terhadap pembangunan sektor pertanian. Syahyuti (2010) mengemukakan bahwa
dampak dari intervensi tersebut mengakibatkan perubahan pada struktur ekonomi
dan politik lokal petani. Petani mengembangkan organisasinya sesuai dengan
kondisi dan pemahaman mereka, semisal : mempertimbangkan kebutuhan spesifik
komoditas yang mereka usahakan. Teori Kelembagaan Baru seolah menjawab
dinamika perubahan paradigma pembangunan pertanian. Pendekatan yang
dilakukan dalam teori ini adalah untuk memaparkan kerangka pemikiran
bagaimana petani menjalankan usahanya sehari-hari. Petani membangun relasi
horizontal (sesama petani) dan relasi vertikal (dengan pemasok saprodi,
permodalan, teknologi, dan pedagang hasil pemasaran). Dalam setiap relasi petani
memiliki dua pilihan yaitu yang bersifat individual dan bentuk aksi kolektif.
Pengorganisasian petani pada hakekatnya merupakan upaya untuk
menjalankan tindakan kolektif, dengan kenyakinan bahwa tindakan kolektif lebih
murah dan efektif. Agar tindakan kolektif berjalan, maka harus dapat diketemukan
cara untuk memotivasi individu agar mau melibatkan diri. Organisasi hanyalah
salah satu wadah dalam menjalankan tindakan kolektif. Tindakan kolektif yang
selama ini gagal dijalankan dalam organisasi formal petani di Indonesia,
17
disebabkan petani telah memiliki berbagai relasi dimana relasi tersebut berada di
luar organisasi formal. Petani enggan berorganisasi karena kompensasi yang
diterima tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan yang mereka peroleh.
Perilaku ini sejalan dengan Teori Pilihan Rasional (rational choice theory).
Syahyuti (2010) menyimpulkan bahwa pengembangan keorganisasian petani
dimasa mendatang setidaknya perlu memperhatikan prinsip-prinsip : (1)
organisasi formal untuk petani hanyalah sebuah opsi bukan keharusan, (2)
pengembangan organisasi memperhatikan prinsip multi purpose sehingga tidak
terikat lagi pada egosubsektor dan keproyekan, (3) organisasi hanyalah alat bukan
tujuan, (4) petani dihargai sebagai individual yang rasional dan memahami
kondisinya, (5) bentuk organisasi yang ditawarkan ke petani adalah yang mampu
memperkuat relasi-relasi vertikal (dengan pemasok saprodi, permodalan,
teknologi, pelaku pengolahan, dan pedagang hasil pertanian).
2.4 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
Departemen Pertanian (2008) mendefinisikan Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) sebagai kumpulan beberapa kelompok tani yang bergabung dan
bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha. Gapoktan
terdiri atas kelompok tani yang ada dalam wilayah suatu wilayah administrasi
desa atau yang berada dalam satu wilayah aliran irigasi petak pengairan tersier.
Gapoktan pada hakekatnya organisasi yang dapat dipilih (opsi) disamping
organisasi-organisasi lain yang juga terlibat dalam aktivitas ekonomi secara
langsung. Pengembangan gapoktan dilatarbelakangi oleh kenyataan kelemahan
aksesibilitas terhadap berbagai lembaga layanan usaha, misalnya lemah terhadap
lembaga keuangan, terhadap lembaga penyedia sarana produksi pertanian, serta
terhadap sumber informasi. Pada prinsipnya gapoktan diarahkan sebagai sebuah
organisasi ekonomi yang mampu menjalankan fungsi-fungsi lainnya, yaitu :
sebagai organisasi pengelolaan sumberdaya alam, untuk tujuan aktivitas kolektif,
pengembangan usaha, dan melayani kebutuhan informasi.
18
2.4.1 Konsep Pengembangan Gapoktan
Tujuan utama pembentukan gapoktan adalah untuk memperkuat organisasi
petani yang ada, sehingga pembinaan pemerintah kepada petani akan terfokus
dengan sasaran yang jelas. Pembentukannya didasari bahwa pertanian modern
tidak hanya identik dengan mesin pertanian yang modern tetapi perlu ada
organisasi yang dicirikan dengan organisasi ekonomi yang mampu menyentuh
dan menggerakkan perekonomian di perdesaan melalui pertanian. Setidaknya ada
tiga peran pokok yang diharapkan dapat dimainkan oleh gapoktan. Pertama,
gapoktan difungsikan sebagai organisasi strategis yang merangkum seluruh
aktivitas organisasi petani di perdesaan. Kedua, gapoktan diharapkan mampu
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan bersama. Ketiga, gapoktan bertindak sebagai Organisasi Usaha
Ekonomi Perdesaan sehingga dapat menerima Dana Penguatan Modal. Agar tidak
terjadi tumpang tindih kegiatan, maka koordinasi untuk menata pelibatan setiap
Gapoktan berada dalam koordinasi Dinas Pertanian setempat.
Konsep sistem agribisnis menggambarkan bahwa aktivitas pertanian
perdesaan tidak akan keluar dari upaya untuk : menyediakan sarana produksi,
permodalan usahatani, pemenuhan tenaga kerja, kegiatan berusaha tani (on farm),
pemenuhan informasi teknologi, serta pengolahan dan pemasaran hasil pertanian.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada kondisi dilapangan organisasi yang
diintroduksikan saat ini sesungguh telah tumpang tindih.
Tabel 3. Matrik Fungsi Agribisnis dan Organisasi yang Menjalankan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Fungsi
Penyediaan
saprotan
Penyediaan
modal
Penyediaan
air irigasi
Kegiatan
usahatani
Pengolahan
Pemasaran
Penyediaan
infor&tek.
Penyediaan
info pasar
Organisasi Yang Menjalankan
KUA
Kop.
UPJA
PPD
Keltan
Gapoktan
P3A
V
V
-
V
V
V
V
V
-
V
V
V
-
V
-
V
V
-
V
V
V
V
V
V
Sumber : Syahyuti, 2007.
K.Agb
Kelcapir
-
-
-
V
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
-
-
-
-
V
V
V
V
V
-
-
-
-
V
-
-
-
V
V
V
V
V
-
V
V
V
V
V
V
19
2.5 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis
Pendekatan komoditas yang dilakukan pada masa Orde Baru tidak dapat
disangkal memberikan hasil yang menakjubkan, salah satu bukti keberhasilan
tersebut dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Ciri pendekatan
komoditas adalah pengembangan komoditas secara parsial dan lebih berorientasi
pada peningkatan produksi dibanding peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
petani (Sudaryanto et al, 2005). Kelemahan mendasar sistem pendekatan
komoditas (Simatupang, 2004) disebabkan antara lain : (1) tidak memperhatikan
keunggulan komparatif tiap komoditas, (2) tidak memperhatikan panduan
horizontal, vertikal, dan spasial berbagai kegiatan ekonomi, dan (3) kurang
memperhatikan aspirasi pendapatan petani. Pendekatan ini seringkali tidak efisien
dan keberhasilannya sangat tergantung pada besarnya subsidi dan proteksi
pemerintah, serta kurang mampu mendorong peningkatan pendapatan petani.
Persaingan pasar global mengharuskan perekonomian nasional di deregulasi
melalui pengurangan subsidi, dukungan harga, dan proteksi lainnya. Sejak
pertengahan 1970-an, para ahli mulai sadar bahwa sektor pertanian sangat
dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro maupun perekonomian global
(Simatupang, 2004). Akhirnya kemampuan bersaing bertumpu pada kemampuan
bersaing melalui proses produksi yang efisien. Partisipasi dan kemampuan
wirausaha petani menjadi faktor kunci keberhasilan, serta saling tergantungnya
antara usaha ekonomi dan non ekonomi. Seiring dengan itu, orientasi
pembangunan pertanian pun akan mengalami perubahan dari orientasi
peningkatan
produksi
menjadi
orientasi
peningkatan
pendapatan
dan
kesejahteraan.
Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis adalah usaha kegiatan ekonomi yang
berkaitan dengan pertanian. Bidang usahanya meliputi : usaha menghasilkan
sarana produksi usahatani, usahatani, usaha pengolahan produksi usahatani, dan
usaha perdagangan sarana produksi, produksi primer, dan produk olahan
usahatani. Sistem ini tidak membedakan skala usaha, asalkan merupakan usaha
ekonomi yang mengusahakan sarana dan produk pertanian dimana usaha produk
pertanian menjadi komponen utamanya. Jadi usahatani keluarga pun dapat
tergolong kategori ini. Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis mempunyai dua makna
20
yang berbeda namun saling berhubungan, yaitu : (1) suatu usaha ekonomi, dan (2)
suatu sistem terpadu (Simatupang, 2004).
2.5.1 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Suatu Usaha Ekonomi/
Perusahaan
Sistem ini bercirikan oleh dua hal, yaitu : (1) berorientasi pada pasar;
barang/jasa yang dihasilkan dijual melalui pasar dan sebagian atau seluruhnya
sarana produksi yang dibutuhkan dibeli dari pasar, (2) bersifat rasional; bertujuan
untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Setidaknya ada
dua pengertian mengenai konsep ini, yaitu : Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis
tidak membedakan skala usaha, asalkan merupakan usaha ekonomi yang
mengusahakan sarana dan produk pertanian, dan usaha produksi pertanian
merupakan komponen utama dari sistem ini.
2.5.2 Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis Sebagai Suatu Sistem Terpadu
Merupakan satu kesatuan jaringan yang tidak terpisahkan antara empat
komponen, yaitu (1) jaringan perusahaan, (2) konsumen, (3) kebijakan dan
perekonomian makro, dan (4) lembaga penunjang. Hal ini mengambarkan bahwa
sebagai suatu sistem terpadu Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis lebih luas dari
cakupan
Sistem
Perusahaan.
Jaringan
perusahaan
Sistem
Usaha
Pertanian/Agribisnis meliputi segala perusahaan yang berkaitan dengan komoditas
pertanian. Jaringan ini terbagi menjadi tiga dimensi, yaitu : vertikal, horizontal,
dan spasial.
1. Dimensi vertikal dicirikan oleh kaitan (arus) produk yang dihasilkan oleh
setiap perusahaan. Bidang usahanya meliputi penghasil sarana penghasil sarana
produksi usahatani, usahatani industri pengolahan hasil, dan pedagang. Sebagai
contoh, alur vertikal disajikan pada Gambar 4.
21
Gambar 4. Dimensi Vertikal pada Jaringan Perusahaan
1. Dimensi horizontal dicirikan oleh kaitan sumberdaya yang digunakan dalam
proses produksi yang dihasilkan oleh masing-masing perusahaan yang ada
dalam jaringan vertikal. Gambar 5 merupakan contoh alur dimensi horizontal.
22
Gambar 5. Dimensi Horizontal pada Jaringan Perusahaan
2. Dimensi spasial berkaitan dengan lokasi atau regional dari Sistem Usaha
Pertanian/Agribisnis dengan berbagai hal, seperti : luas dan kebutuhan lahan,
konsentrasi konsumen, dan ketersediaan sarana dan prasarana produksi. Oleh
kerana itu Sistem Usaha Pertanian/Agribisnis biasanya khas untuk suatu
kawasan.
2.6 Definisi, Tujuan dan Jenis Pelatihan
2.6.1 Definisi Pelatihan
Sekula disitasi Hariono (2010) mengemukakan pendapat tentang pelatihan
adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur
sistematis dan terorganisir di mana pegawai non manajerial mempelajari
23
pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan terbatas. Dessler (2009)
mendefinisikan pelatihan sebagai proses mengajarkan karyawan baru atau yang
ada sekarang, keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk
menjalankan
pekerjaan mereka. Menurut Mathis et al. (2006) pelatihan adalah suatu proses
dimana orang orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai
tujuan organisasi. Oleh karena itu, proses ini terikat dengan berbagai tujuan
organisasi, pelatihan dapat dipandang secara sempit maupun luas. Secara terbatas,
pelatihan menyediakan para pegawai dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat
diketahui serta keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini.
Terkadang ada batasan yang ditarik antara pelatihan dengan pengembangan,
dengan pengembangan yang bersifat lebih luas dalam cakupan serta memfokuskan
pada individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna baik bagi
pekerjaannya saat ini maupun di masa mendatang.
Simanjuntak (2005) mendefinisikan pelatihan merupakan bagian dari
investasi sumberdaya manusia (human investment) untuk meningkatkan
kemampuan dan keterampilan kerja, dan dengan demikian meningkatkan kinerja
pegawai. Pelatihan biasanya dilakukan dengan kurikulum yang disesuaikan
dengan kebutuhan jabatan, diberikan dalam waktu yang relatif pendek, untuk
membekali seseorang dengan keterampilan kerja. Pelatihan didefinisikan oleh
Ivancevich (2008) sebagai usaha untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam
pekerjaannya sekarang atau dalam pekerjaan lain yang akan dijabatnya segera.
Selanjutnya, sehubungan dengan definisinya tersebut, Ivancevich mengemukakan
sejumlah butir penting yang diuraikan sebagai berikut : (1) pelatihan adalah
sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang/sekelompok
pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi, (2) pelatihan terkait
dengan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang
sekarang dilakukan, (3) pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan membantu
pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang
spesifik untuk berhasil dalam pekerjaannya.
Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah suatu
kegiatan investasi sumberdaya manusia dalam bentuk peningkatan kompetensi
24
untuk membekali pekerja ketrampilan sesuai yang dibutuhkan yang dilakukan
dalam jangka pendek.
2.6.2 Tujuan Pelatihan
Tujuan umum pelatihan sebagai berikut : (1) untuk mengembangkan
keahlian, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih
efektif, (2) untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat
diselesaikan secara rasional, dan (3) untuk mengembangkan sikap, sehingga
menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan
manajemen (pimpinan).
Secara umum ada tiga tahap pada pelatihan yaitu tahap penilaian kebutuhan,
tahap pelaksanaan pelatihan dan tahap evaluasi. Mangkunegara (2005)
menjelaskan bahwa tahapan-tahapan dalam pelatihan dan pengembangan meliputi
(1) mengidentifikasi kebutuhan pelatihan (needs assessment), (2) menetapkan
tujuan dan sasaran pelatihan, (3) menetapkan kriteria keberhasilan dengan alat
ukurnya, (4) menetapkan metode pelatihan, (5) mengadakan percobaan (try out)
dan revisi, dan (6) mengimplementasikan dan mengevaluasi.
2.6.3 Jenis-Jenis Pelatihan
Menurut Mathis dan Jackson (2006) pelatihan dapat dirancang untuk
memenuhi tujuan berbeda dan dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai cara, yang
meliputi :
1. Pelatihan yang dibutuhkan dan rutin, dilakukan untuk memenuhi berbagai
syarat hukum yang diharuskan dan berlaku sebagai pelatihan untuk semua
karyawan (orientasi karyawan baru).
2. Pelatihan pekerjaan/teknis, memungkinkan para karyawan untuk melakukan
pekerjaan, tugas dan tanggung jawab mereka dengan baik.
3. Pelatihan antarpribadi dan pemecahan masalah, dimaksudkan untuk mengatasi
masalah operasional dan antarpribadi serta meningkatkan hubungan dalam
pekerjaan organisasional.
25
4. Pelatihan perkembangan dan inovatif, menyediakan fokus jangka panjang
untuk meningkatkan kapabilitas individual dan organisasional untuk masa
depan.
2.7 Analisis Kebutuhan Pelatihan (Traning Needs Assessment)
Secara umum analisis kebutuhan pelatihan didefinisikan sebagai suatu
proses pengumpulan dan analisis data dalam rangka mengidentifikasi bidangbidang atau faktor-faktor apa saja yang ada di dalam perusahaan yang perlu
ditingkatkan atau diperbaiki agar kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan
menjadi meningkat. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh data akurat
tentang apakah ada kebutuhan untuk menyelenggarakan pelatihan. Mengingat
bahwa pelatihan
pada
dasarnya
diselenggarakan
sebagai
sarana
untuk
menghilangkan atau setidaknya mengurangi gap antara kinerja yang ada saat ini
dengan kinerja standar melalui suatu pelatihan. Jika ditelaah secara lebih lanjut,
maka analisis kebutuhan pelatihan memiliki beberapa tujuan, diantaranya adalah:
1.
Memastikan bahwa pelatihan memang merupakan salah satu solusi untuk
memperbaiki atau meningkatkan kinerja pegawai dan produktivitas perusahaan
2.
Memastikan bahwa para partisipan yang mengikuti pelatihan benar-benar
orang-orang yang tepat
3.
Memastikan bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang diajarkan selama
pelatihan benar-benar sesuai dengan elemen-elemen kerja yang dituntut dalam
suatu jabatan tertentu
4.
Mengidentifikasi bahwa jenis pelatihan dan metode yang dipilih sesuai dengan
tema atau materi pelatihan
5.
Memastikan bahwa penurunan kinerja atau pun masalah yang ada adalah
disebabkan karena kurangnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap-sikap kerja;
bukan oleh alasan-alasan lain yang tidak bisa diselesaikan melalui pelatihan
6.
Memperhitungkan untung-ruginya melaksanakan pelatihan mengingat bahwa
sebuah pelatihan pasti membutuhkan sejumlah dana.
26
Gap yang akan dianalisis dalam kebutuhan pelatihan berkaitan dengan manusia
(pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) dan organisasi, maka analisis kebutuhan
pelatihan seyogyanya mencakup kedua area tersebut.
Cascio 1992; Schuler 1993; Erasmus et al. 2000; Miller 2002; Bernardin
2003; MDF 2005; dan Wulandari 2005) sependapat bahwa untuk menentukan
kebutuhan pelatihan yang objektif dan sistematis harus melakukan tahapan
analisis terhadap tiga aspek utama, yaitu : organisasi, operasi/jabatan, dan
individu. Pertama, analisis organisasi. Analisis ini memfokuskan pada kebutuhan
strategi perusahaan dalam merespon dinamika bisnis masa depan. Kebutuhan
strategi perusahaan dirumuskan dengan mengacu pada dua elemen pokok yaitu
strategi perusahaan dan nilai perusahaan. Kedua elemen tersebut merupakan
faktor kunci efektifitas dan keberhasilan bagi organisasi dalam proses pencapaian
tujuannya. Indikator dalam kedua elemen tersebut dipergunakan untuk
menganalisis faktor-faktor yang masih mengalami kekurangan paling besar, dan
karenanya perlu diprioritaskan melalui penilaian kebutuhan pelatihan. Indikatorindikator dimaksud antara lain : perencanaan, komunikasi, kerjasama, pelayanan
prima, pembelajaran, kepemimpinan, dan pengembangan.
Kedua, analisis operasi/jabatan. Analisis ini memfokuskan pada profil
kompetensi yang dipersyaratkan untuk setiap jabatan. Identifikasi profil
kebutuhan kompetensi jabatan bertujuan untuk memberikan informasi mengenai
pilihan modul pelatihan yang relevan dengan kebutuhan kompetensi jabatan. Alur
proses identifikasi kompetensi jabatan dimulai dengan klarifikasi terhadap strategi
dan nilai organisasi, kemudian dilakukan analisis terhadap peraturan dan alur
kerja organisasi melalui pengumpulan dengan metode wawancara dan diskusi
kelompok dan studi pengendalian mutu. Outputnya berupa penyempurnaan dalam
bentuk validasi, perbaikan, dan implementasi.
Ketiga, analisis individu.
Analisis ini memfokuskan pada gap antara
tingkatan kompetensi yang dipersyaratkan dengan tingkatan aktual individu.
Kinerja standar yang telah ditetapkan pada tingkat operasi merupakan kinerja
yang ingin dicapai. Sedangkan informasi mengenai kinerja aktual individu dapat
diperoleh dari data kinerja individu, penilaian supervisor, attitude survey,
wawancara, dan sebagainya. Gap antara kinerja aktual dan kinerja yang ingin
27
dicapai akan diisi dengan pelatihan.
Dari tahap-tahap analisis tersebut dapat dikatakan bahwa analisis organisasi
merupakan dasar untuk melakukan analisis operasi, dan analisis operasi sebagai
dasar analisis individu. Ketiga analisis kebutuhan pelatihan tersebut harus
dilakukan secara terintegrasi. Kerugian yang diperoleh jika program pelatihan
tidak terkoordinasi dengan tujuan dan sasaran organisasi adalah waktu dan biaya
banyak dikeluarkan tanpa menghasilkan peningkatan kinerja.
2.8 Metode Training Needs Assessment Tool
Metode TNA-T adalah salah satu tipe analisis individu digunakan untuk
menganalisis gap KKJ dengan KKP. Jika gap KKJ dengan KKP disebabkan oleh
rendahnya pengetahuan, ketrampilan dan sikap, maka solusinya adalah dengan
pelatihan. Akan tetapi jika bukan gap bukan disebabkan oleh faktor tersebut,
maka solusinya bukan pelatihan tetapi dengan solusi lain sesuai dengan faktorfaktor penyebabnya. Selisih antara KKJ dan KKP merupakan kekurangan
kemampuan yang perlu dilatih.
2.9 Penelitian Terdahulu
Tabel 4 adalah rangkuman dari beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan
referensi dalam penelitian ini sebagai informasi agar penelitian yang dilakukan
tidak tumpang tindih ataupun melakukan pengulangan penelitian terhadap obyek
yang sama.
Tabel 4. Penelitian Terdahulu tentang Analisis Kebutuhan Pelatihan
Tahun
Lokasi Penelitian
Metode
Penelitian
Puspita
2004
Bank BNI Divisi
Syariah
TNA-T
Alimin
2004
Petani di
Kec.Sukanegara
Kab.Cianjur
Uji Korelasi
Peringkat
Spearman
Taslaangreini
2004
PT. Bank Riau
TNA-T
Peneliti
Hasil Kajian
Pelatihan
berbasis
kompetensi
membantu pegawai mengetahui apa
yang belum diketahui dan pekerjaan
apa yang belum dikerjakan
Semakin tinggi taraf faktor internal
pada petani sayur-sayuran, semakin
tinggi kompetansi aktual dan semakin
rendah gap kompetensi petani sehingga
kebuthan pelatihan petani rendah.
Semakin tinggi faktor eskternal
semakin tinggi kompetensi aktual
semakin rendah gap gap kompetensi
petani sehingga kebutuhan pelatihan
petani rendah
Kepala bagian memerlukan pelatihan,
kebutuhan materi pelatihan ada yang
sama ada yang berbeda sesuai dengan
uraian jabatan
Download