BAB 1 Tinjauan Pustaka 2.1. Materialisme 2.1.1. Definisi Belk (1985) mendefinisikan materialisme sebagai bagian dari ciri kepribadian yang dimiliki setiap orang. Di kemudian hari, Richins dan Dawson memperluas konsep Belk dan mendefinisikan materialisme sebagai nilai individu yang menganut pentingnya kepemilikan benda, kompetisi, dan pendapatan keuntungan sebagai kesejahteraan manusia (Beutel & Marini, 1995; Richins & Dawson, 1992). Sifat dan perilaku yang condong pada nilai materialisme disebut dengan materialistik. 2.1.2. Dimensi Richins dan Dawson (1992) menyatakan bahwa materialisme mencakup 3 dimensi yaitu sebagai berikut: (1) acquisition centrality, yaitu nilai yang menganggap bahwa penting untuk memiliki materi guna mencapai tujuan hidup, (2) happiness, yaitu kepemilikan sebagai keharusan untuk mencapai kepuasan dan kesejahteraan dalam hidup, (3) success, yaitu kepercayaan bahwa kesuksesan seseorang dinilai dari materi-materi yang mereka miliki. 2.1.3. Faktor Penyebab Ada beberapa faktor yang menyebabkan materialisme (Kasser, Ryan, Couchman, & Sheldon, 2004). Yang pertama, insecurity adalah kecenderungan individu untuk mengatasi rasa cemas dan ragu tentang perasaan berharga, mengatasi tantangan secara efektif, dan perasaan aman terhadap dunia yang sulit diprediksi; dengan cara memiliki materi-materi dalam rangka mengatasi perasaan tidak aman (insecurity) tersebut. Nilai materialisme individu juga dapat timbul karena keterpaparan terhadap model dan nilai materialisme, dalam bentuk pesan-pesan implisit dan eksplisit yang menampilkan pentingnya uang dan kepemilikan. Gaya hidup yang materialistik pada anggota keluarga dan teman sebaya, juga yang ditampilkan oleh media, menimbulkan materialisme pada individu. Terakhir, pengiklanan dan penyebaran kapitalisme juga dapat menyebabkan materialisme. Iklan-iklan yang terpengaruh oleh kapitalisme memperlihatkan model-model yang dapat menimbulkan perasaan inferioritas. Oleh karena itu, individu yang terpengaruh akan berusaha mengurangi rasa inferioritas itu dengan cara memiliki uang atau materi-materi lainnya yang ditampilkan oleh iklan tersebut. 2.1.4. Dampak yang ditimbulkan Kasser dkk., (2004) mencatat bahwa orientasi individu materialistik yang mengarah kepada kepemilikan, uang, citra diri, dan status dilaporkan memiliki kesejahteraan subjektif yang lebih rendah. Mereka juga memaparkan bahwa remaja yang materialistik memiliki aktualisasi diri dan vitalitas yang lebih rendah, demikian juga dengan kecenderungan lebih banyak untuk mengalami depresi dan kecemasan. Ada tiga hal yang menjadi dampak dari materialisme menurut Kasser dkk., (2004), yaitu competence, relatedness, dan autonomy. Individu yang materialistik mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan akan perasaan kompeten. Materialisme dihubungkan dengan rendahnya self-esteem dan narsisistik. Orang yang materialistik juga sering membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga dapat menimbulkan perasaan buruk terhadap diri sendiri. Pada akhirnya, individu akan menjadi semakin materialistik, padahal riset menyatakan bahwa tujuan-tujuan yang bersifat materialistik berefek kecil dalam meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Hubungan interpersonal antara individu-individu yang materialistik relatif singkat dan ditandai dengan reaksi emosi yang ekstrim dan konflik, bukan dengan kepercayaan dan kebahagiaan. Terakhir, autonomy adalah perasaan bahwa individu memiliki pilihan, kepemilikan, dan keterlibatan yang mendalam terhadap aktivitas individu tersebut. 2.2. Kesulitan dalam Regulasi Emosi 2.2.1. Definisi Regulasi emosi (Gratz & Roemer, 2004) adalah kemampuan untuk mengatur emosi yang dialami agar individu dapat mengontrol perilaku yang timbul yang impulsif, tidak pantas, dan tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, individu yang mengalami kesulitan dalam regulasi emosi kurang mampu mengatur emosi yang sedang dialaminya. 2.2.2. Dimensi Menurut Gratz dan Roemer (2004), ada empat dimensi yang merefleksikan regulasi emosi, yaitu: Kesadaran dan pemahaman terhadap emosi, melibatkan pengawasan dan evaluasi pengalaman emosi sebagai cara untuk memodifikasi emosi dan perilaku. Dimensi ini diturunkan menjadi awareness dan clarity sebagai faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Penerimaan emosi. Individu perlu menerima emosi yang dialami daripada mengontrol respon emosi yang timbul. Dimensi ini diturunkan menjadi nonacceptance sebagai faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Kemampuan untuk terlibat dalam perilaku yang berorientasi pada tujuan dan untuk menahan diri dari perilaku impulsif saat mengalami emosi negatif. Dimensi ini diturunkan menjadi goal sebagai faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Akses ke strategi regulasi emosi yang efektif. Kemampuan ini dibutuhkan agar individu dapat mengatur respon emosi yang sesuai dengan tujuan dan tuntutan situasi. Dimensi ini diturunkan menjadi strategy sebagai faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Dari dimensi yang dijelaskan pada sebelumnya, Gratz dan Roemer (2004) menurunkan 6 faktor regulasi emosi yang menjadi dimensi pada alat ukur Difficulties in Emotional Regulation Scale (DERS), yaitu sebagai berikut: Nonacceptance of Emotional Responses (nonacceptance), adalah kecenderungan untuk memiliki emosi negatif tambahan sebagai respon atas emosi negatif diri, atau reaksi penolakan atas distress diri sendiri. Difficulties Engaging in Goal-Directed Behavior (goals), adalah kesulitan dalam berkonsentrasi dan menyelesaikan tugas saat mengalami emosi negatif. Impulse Control Difficulties (impulse), adalah kesulitan dalam mengontrol perilaku diri sendiri saat mengalami emosi negatif. Lack of Emotional Awareness (awareness), adalah kurangnya kecenderungan untuk menyadari dan mengakui emosi. Limited Access to Emotional Regulation Strategies (strategies), adalah kepercayaan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan individu untuk mengelola emosi saat sedang kesal. Lack of Emotional Clarity (clarity), adalah kurangnya tingkat kejelasan dan pengetahuan individu terhadap emosi yang sedang dialami. 2.2.3. Dampak kesulitan dalam regulasi emosi Individu yang mengalami kesulitan dalam regulasi emosi rentan mengalami gangguan-gangguan psikopatologis seperti gangguan suasana hati, gangguan kecemasan, borderline personality disorder, depresi, substance use disorder, eating disorders, dan somatoform disorders (Berking & Wupperman, 2012; Gross, 2008). Selain itu, kesulitan dalam regulasi emosi juga mempengaruhi individu dalam populasi normal, yaitu produktivitas kerja, hubungan interpersonal, dan perasaan nyaman terhadap diri sendiri (Gross & Munoz, 1995). Kemampuan untuk mengembangkan, mempertahankan, dan mengekspresikan emosi positif, serta kemampuan untuk menangani emosi negatif adalah hal yang penting dalam berbagai pekerjaan. Hubungan yang sukses seringkali ditandai dengan pola interaksi yang stabil sehingga suatu hubungan menjadi memuaskan dan bertahan lama (American Psychiatric Association, 1994, dalam Gross & Munoz, 1995). Terakhir, individu yang merasa nyaman terhadap dirinya sendiri saat sendirian akan mengurangi kecenderungan akan hubungan yang merusak atau praktik pengelolaan emosi yang tidak sehat (seperti penggunaan zat-zat terlarang). 2.3. Masalah Kesehatan Mental 2.3.1. Definisi WHO (2013) mendefinisikan kesehatan mental sebagai keadaan sejahtera dimana individu mampu menyadari potensinya sendiri, mampu mengatasi tekanan kehidupan yang normal, mampu bekerja secara produktif, dan mampu untuk berkontribusi bagi masyarakat. Oleh karena itu, individu yang mengalami masalah kesehatan mental, kurang menyadari potensinya sendiri, kurang mampu mengatasi tekanan kehidupan yang normal, kurang mampu bekerja secara produktif, dan kurang mampu untuk berkontribusi bagi masyarakat. Bagi Veit dan Ware (1983), konsep kesehatan mental lebih luas daripada disabilitas dan gangguan. Kesehatan mental (Ware, Snow, Kosinki, & Gandek, 1993, dalam Marques, Pais-Ribeiro, & Lopez, 2011) diindikasikan oleh dua konstruk utama, yaitu indikator psychological distress (seperti rendahnya gejala anxiety, depresi, dan lain-lain) dan kehadiran indikator psychological well-being (seperti tingginya perasaan semangat, minat, dan kesenangan dalam hidup). 2.3.2. Dimensi Veit dan Ware (1983) menyatakan bahwa kesehatan mental terdiri atas dua dimensi, yakni Psychological Distress dan Psychological Well-Being. Di dalam masing-masing dimensi terdapat subdimensi-subdimensi sebagai berikut: Psychological Distress a) Anxiety, yaitu kecemasan berlebihan pada aspek-aspek kehidupan. b) Depression, yaitu perasaan tertekan yang sering muncul. c) Loss of behavioral/emotional control, yaitu kontrol terhadap perilaku, pemikiran, dan perasaan. Psychological Well-Being a) General positive affect, yaitu sikap positif secara umum terhadap dunia. 2.3.3. Faktor penyebab masalah kesehatan mental Penyebab masalah kesehatan mental berasal dari berbagai faktor. WHO (2012) menyebutkan bahwa kesehatan mental seseorang tidak hanya ditentukan berdasarkan atribut individu, namun juga keadaan sosioekonomi tempat individu berinteraksi dengan orang lain, dan lingkungan yang lebih luas tempat individu hidup. Pertama, atribut dan perilaku individu berkaitan dengan hal-hal dalam individu seperti kemampuan untuk menghadapi pemikiran dan perasaan serta menangani tekanan. Contohnya adalah self-esteem, kematangan kognitif dan emosional, kesulitan dalam berkomunikasi, penyakit medis, dan penggunaan obat-obatan. Kedua, keadaan sosial dan ekonomis menyatakan bahwa kapasitas individu untuk membangun dan mengembangkan sangat dipengaruhi oleh keberadaan sosial, seperti keluarga, teman, lingkungan sekolah, dan lingkungan kerja. Contohnya adalah rasa kesepian, konflik keluarga, pemaparan terhadap kekerasan/pelecehan, pendapatan yang rendah, kemiskinan, kegagalan sekolah/kerja, dan tekanan dari tempat kerja. Ketiga, faktor lingkungan meliputi lingkungan sosiokultural dan geopolitik yang lebih luas yang juga dapat mempengaruhi status kesehatan mental individu, rumah tangga, atau komunitas. Contohnya adalah akses yang buruk ke pelayanan dasar, ketidakadilan, diskriminasi, ketidaksetaraan sosial/gender, serta pemaparan terhadap peperangan atau bencana alam. 2.3.4 Dampak yang Ditimbulkan Individu yang mengalami masalah kesehatan mental rentan untuk mengalami disabilitas secara ekonomi, personal distress, disfungsi, dan juga kematian (Kring dkk., 2013; Smetanin, Stiff, Briante, Adair, Ahmad, & Khan, 2011). 2.4. Kerangka Berpikir 1.1 Bagan Keterkaitan Antar Variabel Penelitian yang dilakukan melibatkan variabel materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi sebagai variabel prediktor, serta masalah kesehatan mental sebagai variabel kriteria. Pada subbab ini, akan dijelaskan peran materialisme terhadap masalah kesehatan mental, dan peran kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental, serta peran kedua variabel secara simultan terhadap masalah kesehatan mental. Menurut WHO, masalah kesehatan mental individu dipengaruhi oleh tiga tingkatan faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam individu, faktor yang berasal dari keadaan sosial tempat tinggal individu, dan faktor lingkungan yang berasal dari lingkup yang lebih luas seperti negara. Materialisme adalah nilai yang ada di dalam individu, yang dipengaruhi oleh keadaan sosial dan faktor lingkungan (dalam konteks penelitian ini adalah kehidupan urban) sehingga dapat mempengaruhi masalah kesehatan mental individu yang tinggal di Jakarta. Regulasi emosi sendiri merupakan faktor yang penting dan berasal dari dalam individu sehingga individu yang tidak mampu meregulasi emosinya dapat mengalami masalah kesehatan mental sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk mengatasi tekanan dan perbedaan (WHO, 2012) Peneliti mengajukan materialisme sebagai prediktor yang berperan terhadap masalah kesehatan mental karena materialisme adalah nilai sehingga mencakup salah satu faktor individu yang mempengaruhi masalah kesehatan mental (WHO, 2012). Salah satu dimensi dari Materialisme adalah Happiness, yaitu kepuasan dan kesejahteraan hidup yang akan dicapai dengan memiliki uang dan materi (Richins & Dawson, 1992). Kepuasan yang dimaksudkan di sini secara definisi sejajar dengan dimensi Psychological Well-Being pada Kesehatan Mental yang mengukur kesejahteraan psikologis pada individu (Davies dkk., 1998). Individu yang materialistik menekankan kepemilikan uang dan materi sebagai syarat untuk bahagia. Oleh karena itu, saat individu yang materialistik tidak memiliki uang dan/atau benda materi, individu tidak akan merasa bahagia. Individu juga tidak pernah merasa cukup karena selalu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain sehingga menjadi tidak bahagia (Kasser dkk., 2004). Sebagai tambahan, Kasser dkk. (2004) menyatakan bahwa individu yang materialistik memiliki self-esteem yang rendah sehingga perasaan kompeten individu cenderung kurang. Self-esteem yang rendah ini akan menimbulkan perasaan buruk terhadap diri sendiri dan mengakibatkan masalah kesehatan mental. Acquisition Centrality dan Success adalah dua dimensi yang ada pada materialisme selain happiness. Kedua dimensi (Richins & Dawson, 1992) ini menitikberatkan pentingnya benda-benda materi sebagai sesuatu yang harus dimiliki agar individu dapat mencapai tujuan hidup (acquisition centrality) dan menunjukkan betapa suksesnya individu (success). Padahal, WHO (2013) menyebutkan bahwa individu yang sehat secara mental adalah individu yang menyadari potensinya. Uang dan benda-benda materi seharusnya diperlakukan sebagai salah satu alat yang membantu individu dalam mengembangkan potensinya, bukanlah sebagai satu-satunya alat yang dapat mencapai tujuan, atau bahkan tolok ukur dari kesuksesan itu sendiri. Nilai yang menyimpang terhadap benda-benda materi ini akan menimbulkan anxiety pada individu karena individu akan terus membandingkan dirinya dengan orang lain dalam hal materi. Beberapa penelitian yang menghubungkan kesehatan mental dan materialisme telah dijalankan. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa nilai materialisme yang tinggi berkaitan dengan tingkat kesejahteraan yang rendah karena adanya kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan psikologi yaitu autonomy, competence, dan relatedness, bilamana tiga hal tersebut menjadi dampak dari materialisme (Unanue dkk., 2014). Penelitian yang diadakan oleh Zukauskas dan Zukauskiene (2013) menunjukkan bahwa kesejahteraan subjektif berkorelasi dengan pendapatan, bahwa semakin tinggi pendapatan, semakin rendah kesejahteraan individu yang turut berpengaruh pada kesehatan mental individu tersebut. Berbagai penelitian lain yang mengaitkan materialisme dengan masalah kesehatan mental menemukan bahwa individu yang materialistik memiliki subjective well-being yang lebih rendah (Bauer dkk., 2012; Karabati & Cemalcilar, 2010; Kasser, 2003; Siang & Talib, 2012). Adapun, kesejahteraan adalah salah satu aspek yang membentuk kesehatan mental. Berkaitan dengan distress, aspek lain dalam kesehatan mental, Smith (2010) mengaitkan antara materialisme dengan kesejahteraan dan gejala depresi. Melalui disertasi Smith (2010) yang dijalankan selama 12 tahun, dilaporkan bahwa individu dengan nilai materialisme yang tinggi juga menunjukkan gejala depresi yang juga tinggi. Variabel prediktor kedua yang diasumsikan turut berperan dalam kesehatan mental adalah kesulitan dalam regulasi emosi. Seperti halnya materialisme, variabel ini termasuk dalam faktor dari dalam individu yang turut berpengaruh dalam masalah kesehatan mental individu. Dalam masalah kesehatan mental, ada subdimensi loss of behavioral/emotional control yaitu perasaan sulit untuk mengontrol perilaku dan emosi. Subdimensi ini berkaitan langsung dengan kesulitan dalam regulasi emosi karena individu yang tidak mampu mengelola emosinya cenderung tidak dapat mengontrol perilaku yang timbul sehingga perilaku individu menjadi impulsif (impulse). Individu yang mengalami kesulitan dalam regulasi emosi akan mengalami hambatan dalam mengontrol emosi dan perilaku. Selanjutnya kurangnya kontrol tersebut akan menimbulkan kesulitan bagi individu karena emosi dan perilaku yang timbul tidak sesuai dengan tujuan individu tersebut dan tuntutan situasi (goal). Kurangnya kesadaran (awareness) dan penerimaan terhadap emosi diri sendiri (nonacceptance) juga akan menimbulkan distress karena individu yang menolak emosinya cenderung menyalahkan diri sendiri. Hal ini, ditambah dengan kurangnya strategi individu untuk meregulasi emosi (strategy), akan membuat individu tersebut tidak mampu mengatasi distress. Padahal, salah satu syarat kesehatan mental adalah individu mampu mengatasi distress yang dialami. Dengan kata lain, kesulitan dalam regulasi emosi adalah variabel yang lebih luas dari subdimensi loss of behavioral/emotional control karena dalam kesulitan meregulasi emosi, terdapat juga goal, awareness, nonacceptance, dan strategy seperti yang dijabarkan diatas. Hal ini didukung dengan penelitian Berking dan Wupperman (2012) bahwa kurangnya kemampuan untuk mengatasi emosi berkorelasi dengan masalah kesehatan mental seperti depresi, borderline personality disorder, substance-use disorders, eating disorders, somatoform disorders, and gejala-gejala psikopatologi lainnya. Gross dan Munoz (1995) juga menyatakan bahwa regulasi emosi penting bagi setiap individu untuk dapat bekerja secara efektif, membangun hubungan yang memuaskan dan berjangka panjang, dan terbebas dari praktik regulasi emosi yang tidak sehat (seperti substance abuse dan tindakan merusak diri lainnya). 2.5. Hipotesis 1. Ho = Materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi tidak berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental. H1 = Materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental. 2. Ho = Materialisme tidak berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental. H1 = Materialisme berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental. 3. Ho = Kesulitan dalam regulasi emosi tidak berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental. H1 = Kesulitan dalam regulasi emosi berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental.