1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Di Indonesia telah banyak dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan serta gizi, selain aspek produksi dan ketersediaan pangan. Konsep ketahanan pangan dan gizi memperhatikan aspek konsumsi dan dampaknya terhadap status gizi, artinya produksi dan ketersediaan pangan dapat diakses oleh setiap rumah tangga dan individu dalam jumlah yang memenuhi kebutuhan gizi (Sulchan dan Endang, 2007). Beberapa macam produknya adalah kecap, kerupuk susu, tahu, tempe, dll. Reu (1995) (dalam Indarti, 1996) menyatakan bahwa tempe yang mempunyai kualitas baik adalah kumpulan massa miselium tanpa spora yang menutupi dan menembus bahan pokoknya (kedelai) sehingga membentuk satu kesatuan yang kompak. Pembuatan tempe kedelai merupakan industri rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya unit usaha pembuatan tempe skala rumah tangga yang mampu bertahan diantara gejolak kenaikan harga kedelai (Wardani, 2009). Pada umumnya prinsip pembuatan tempe kedelai untuk setiap pengrajin sama, yaitu melalui tahap penyortiran, pencucian, perendaman, pengukusan, peragian, pembungkusan, dan pemeraman (Anonim, 2009). Namun hasil akhir dapat berbeda-beda dari segi tekstur maupun cita rasa. Hal ini dikarenakan pengrajin tempe mulai mengembangkan terobosan-terobosan baru dalam pembuatan tempe. Kedelai yang dipakai umumnya menggunakan kedelai impor (Amerika) yang harganya fluktuatif tergantung dari nilai tukar rupiah terhadap dolar. Oleh sebab itu para pengrajin melakukan improvisasi dalam pembuatan tempe untuk menekan biaya produksi. Ada yang dalam bentuk positif dan ada yang negatif. Improvisasi negatif yang dilakukan antara lain dengan menghemat waktu pemanasan, mereka hanya melakukan satu kali pemanasan dari yang biasanya dua kali pemanasan serta waktu pemanasan yang di perpendek. Hal ini menyebabkan tidak sempurnanya proses inaktivasi senyawa anti gizi alami kedelai. Yang paling banyak dilakukan adalah mengurangi jumlah kedelai, tetapi supaya volume tempe yang dihasilkan masih kelihatan besar, mereka memasukkan lagi kulit kedelai, menir jagung (burse), parutan ketela pohon, karak (nasi sisa yang dikeringkan), potongan papaya, dll kedalam kedelai yang siap di beri inokulum. Banyaknya campuran non kedelai ini rawan akan kontaminasi yang berpotensi menyebabkan keracunan makanan (Yakobus, 2009). Improvisasi positif juga sudah ada di temukan, syaratnya adalah tidak dengan menggunakan bahan yang tidak dirombak oleh jamur dan juga tidak menghambat pertumbuhan jamur contohnya adalah dengan mencampurkan tepung wortel ke dalam kedelai guna menambah beta karoten pada tempe (Nurhidayat, 2009). Peluang untuk menambahkan gizi tempe dapat juga dengan tepung belut. Dilihat dari komposisi gizinya, belut mempunyai nilai energi yang cukup tinggi, yaitu 303 kkal per 100 gram daging. Nilai energi belut jauh lebih tinggi dibandingkan telur (162 kkal/ 100 g tanpa kulit) dan daging sapi (207 kkal per 100 g). Hal itulah yang menyebabkan belut sangat baik untuk digunakan sebagai sumber energi. Meskipun mempunyai nilai gizi yang tinggi, kandungan lemak pada belut cukup tinggi, yaitu mencapai 27 g per 100 g, lebih tinggi dibandingkan lemak pada telur (11,5 g/100 g) dan daging sapi (14,0 g/100 g). Di antara kelompok ikan, belut digolongkan sebagai ikan berkadar lemak tinggi. Kandungan lemak pada belut hampir setara dengan lemak pada daging babi (28 g/100 g). Walaupun kadar lemaknya tinggi, belut tidak perlu dihindari dalam pola makan kita. Bagaimanapun, lemak memegang peran penting sebagai sumber kelezatan, sumber energi, penyedia asam lemak esensial, dan tentu saja sebagai pembawa vitamin larut lemak (A, D, E dan K). Seperti pada jenis ikan lain, belut juga mengandung asam lemak omega 3. Kadar omega 3 pada lemak ikan, termasuk belut, sangat bervariasi berkisar antara 4,48 persen sampai dengan 11,80 persen. Kandungan omega 3 pada ikan, tergantung kepada jenis, umur, ketersediaan makanan, dan daerah penangkapan. Dan hasil penelitian, diketahui bahwa bagian tubuh ikan memiliki lemak dengan komposisi omega 3 yang berbeda-beda. Kadar omega 3 pada bagian kepala sekitar 12 persen, dada 28 persen, daging permukaan 31,2 persen, dan isi rongga perut 42,1 persen (berdasarkan berat kering) (Fransisca, 2008). Oleh karena belut merupakan salah satu jenis ikan air tawar dan mengandung omega 3, maka untuk meningkatkan kualitas tempe, belut dapat 2 ditambahkan dalam proses pembuatan tempe dengan mengubah bentuk belut menjadi tepung terlebih dahulu. Belum banyak penelitian yang terkait dengan ide seperti tersebut diatas. 1.2. TUJUAN Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu: 1.2.1. Memperoleh data kadar protein, kadar lemak kasar, kadar asam lemak bebas, kadar abu, dan kadar air tempe dari berbagai perbandingan inokulum tempe dan tepung belut. 1.2.2. Membandingkan kadar protein, kadar lemak kasar, kadar asam lemak bebas, kadar abu, dan kadar air tempe yang diukur dari berbagai perbandingan antara inokulum tempe dan tepung belut. 3