106 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Permohonan

advertisement
106
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica
Mochtar, artis yang menikah secara sirri dengan Mantan Menteri
Sekretaris Negara di Era Orde Baru Moerdiono. Machica memohonkan
agar Pasal 2 ayat (2) yang mengatur masalah pencatatan perkawinan dan
Pasal 43 ayat (1) yang mengatur status keperdataan anak luar kawin
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi dan harus dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,
Muhammad Iqbal Ramadhan merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh
ketentuan pasal tersebut. Hal ini karena perkawinan antara Machica
Mochtar dengan Moerdiono tidak diakui menurut hukum positif sehingga
anaknya (Iqbal), tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya
(Moerdiono) dan keluarga ayahnya.
2.
Terhadap permohonan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
diajukan Machica Mochtar tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan
putusan mengabulkan permohonan untuk sebagian sebagaimana tertuang
di dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010. Dalam putusan tersebut
Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 43 ayat (1)
107
conditonally unconstitutional atau konstitusional bersyarat. Artinya
ketentuan Pasal 43 ayat (1) inkonstitusional sepanjang ayat tersebut
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang secara
ilmu pengetahuan dan/ alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah sebagai ayahnya sehingga harus dibaca:
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
3.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat (final and
binding). Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh
upaya hukum berikutnya paska putusan itu sebagaimana putusan
pengadilan biasa yang masih memungkinkan kasasi dan Peninjauan
Kembali, selain itu juga ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi
memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan dalam persidangan
Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi ini berlaku sebagai
“hukum baru” dan berlaku secara nasional. Pada sisi ini, dalam konteks
hukum sebagai alat rekayasa social (law is a tool of social engenering),
putusan Mahkamah Konstitusi sarat dengan nilai-nilai hukum progresif.
Walaupun demikian, perkembangan mutakhir dari kasus ini putusan dari
Majelis hakim Pengadilan Agama (PA) Jakarta Selatan mengeluarkan
108
putusan atas Muhammad Iqbal Ramadhan, yang menyatakan anak
Machicha Mochtar itu tidak mendapatkan hak perdata atas Moerdiono,
sehingga tak berhak atas hak waris. Pengadilan Agama masih berpegang
pada UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Di mana dalam putusan
tersebut Majelis menolak hubungan keperdataan dari Iqbal dengan
Moerdiono dan keluarga, status Iqbal tak bisa dinyatakan berdasarkan
putusan Mahkamah Konstitusi (di mana hukum tidak dapat berlaku surut),
soal hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, sehingga tidak
berhak mendapatkan hak waris.
4.
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait tema pembahasan tesis ini tidak
memberikan penjelasan ketika ada pihak yang bersengketa waris dan
terhalang oleh istilah “anak luar kawin” sebagaimana yang telah
dibatalkan Mahkamah Konstitusi bisa menjadikan putusan Mahkamah
Konstitusi ini sebagai yurisprudensi, terlepas bahwa dia beragama Islam
atau tidak, sehingga masih terdapat kekosongan hukum mengenai masalah
pewarisan anak luar kawin Paska Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,
maka menurut hemat penulis pengaturannya tetap menggunakan
KUHPerdata (bagi penduduk yang tunduk pada KUHPerdata). Menurut
KUHPerdata seorang anak dapat dipanggil sebagai ahli waris apabila
mempunyai hubungan darah dengan pewaris (Pasal 832 KUHPerdata) baik
sebagai anak sah maupun anak luar kawin yang telah diakui sah melalui
akta-akta otentik.
109
B. Saran
Pemberlakukan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan paska Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Anak
Luar Kawin sebaiknya tetap harus memperhatikan peraturan-peraturan terkait
lainnya yang terdapat pada KUHPerdata, Hukum Islam, Hukum Adat,
Undang-undang Administrasi Kependudukan. Hal ini dimaksudkan agar
tujuan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat tercapai
tanpa merugikan ahli waris sah lainnya. Hal ini karena didasari bahwa
kenyataan berlakunya hukum perdata yang bersifat plural di Indonesia.
Sebagai warga negara Indonesia dalam menghadapi persoalanpersoalan hukum harus tetap elegan, menjunjung tinggi, menghormati dan
menghargai putusan hakim. Harus tumbuh kesadaran masyarakat mengenai
akibat dari suatu perkawinan yang dilakukan tanpa pencatatan di lembaga
pencatatan perkawinan, karena akibat hukum dari perkawinan yang tidak
dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara sehingga istri tidak berhak atas
nafkah dan warisan dari suami jika suami meninggal, tidak berhak atas harta
waris jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut
dianggap tidak pernah terjadi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 haruslah
diringi dengan tindak lanjut untuk instansi yang terkait seperti Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri agar semakin jelas mengenai hak-hak anak
110
yang mengalami kasus serupa seperti ini. Ada jalan lain yaitu bagi anak-anak
yang lahir dari perkawinan sirri bisa mengajukan permohonan penetapan hak
anak ke Pengadilan Negeri agar nantinya Pengadilan Negeri bisa menetapkan
hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh ayah biologisnya.
Untuk itu, penulis merasa perlu adanya peraturan pemerintah yang
memperjelas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat Lex Generalis,
sehingga memerlukan ketentuan yang bersifat Lex Spesialis yang hanya
menjustifikasi
perkawinan
tidak
dicatat,
karena
sesuai
konteksnya
permohonan uji materi itu adalah dalam rangka mencari keadilan yaitu
mencari pengakuan atas nikah sirri.
Para pihak yang berkepentingan dalam masalah ini termasuk para
hakim harus lebih cermat dan bijak dalam mengapresiasi dan menafsirkan
terminologi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan”. Para pihak di sini
ditantang untuk membuahkan pemikiran yang lebih presisi bahwa yang
dimaksud dengan klausul “di luar perkawinan” itu sesuai dengan konteksnya
yaitu “nikah sirri” yaitu perkawinan yang hanya memenuhi ketentuan Pasal 2
ayat (1) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pemerintah harus lebih ketat melakukan kontrol sehingga bisa
mencegah perbuatan yang dapat melanggar hukum dan norma kesusilaan
setidaknya dapat meminimalisir perbuatan-perbuatan menyimpang itu karena
bagi sebagian pihak putusan MK ini dapat diartikan berbeda menjurus kepada
hal negatif tentang pengertian “anak diluar kawin” menjadi “anak hasil zina.”
Download