TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Langsat Tanaman langsat adalah tanaman buah yang cukup dikenal di Indonesia. Tanaman ini dibudidayakan masyarakat dengan tujuan utama memanen buahnya saja. Tanaman ini berhabitus pohon dengan tinggi sekitar 15-20 meter. Berakar tunggang, batang berkayu, bulat, bercabang dan putih kotor. Daun majemuk, bulat telur, ujung meruncing, pangkal runcing, panjang sekitar 20 cm, lebar 10 cm, bertangkai dan berwarna hijau. Bunga majemuk, bentuk tandan pada batang dan cabang, menggantung dengan panjang sekitar 10-30 cm. Buah buni, bulat, berdiameter 2-4 cm, beruang lima, kuning kecoklatan. Rasa buah muda asam dan bergetah dengan biji berwarna hijau dan berasa pahit. Kulit batang berasa lebih pahit dibandingkan dengan biji (Simbala et al. 2004). Dari segi kandungan fitokimia, belum banyak dilaporkan. Daun tumbuhan ini diduga mengandung alkaloida, saponin, flavonoida dan polifenol. Biji langsat telah dimanfaatkan masyarakat sebagai obat cacing, obat demam dan obat diare. Menurut Simbala et al. (2004) tanaman langsat diklasifikasikan sebagai berikut: Dunia : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Meliaceae Genus : Lansium Species : Lansium domesticum L. Gambar 1 Batang, daun dan buah langsat (L. domesticum L.). 7 Radikal bebas Radikal bebas adalah substansi reaktif yang dibentuk dalam sel-sel tubuh sebagai hasil proses metabolisme. Pada tahun 1954 Gerschman dan timnya pertama mengemukakan teori pembentukan radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbitalnya. Banyak dari molekul ini adalah spesies oksigen. Radikal bebas oksigen dan produk non radikalnya dikelompokkan dalam spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species (ROS)). Radikal bebas sangat reaktif, merupakan molekul yang tidak stabil dan bereaksi dengan cepat pada biomolekul melalui banyak jenis reaksi antara lain penangkapan hidrogen, donasi elektron dan penggunaan elektron bersama. Radikal bebas akan melepaskan elektron pada molekul sekitarnya untuk menghasilkan pasangan elektron agar menjadi molekul yang stabil (Hosseinian, 2006 ; Maxwell & Lip, 1997). ROS dihasilkan baik melalui faktor eksogen maupun endogen yang secara langsung mempengaruhi kehidupan sel. Sumber penting radikal bebas dalam tubuh dihasilkan oleh sistem enzim prooksidatif seperti lipooksigenase, metabolisme obat, polutan, dan senyawa kimia asing bagi tubuh (xenobitotik). Di dalam sel manusia, mitokondria menggunakan oksigen lebih dari 90%, mitokondria menjadi sumber utama ROS dan radikal bebas. Sekitar 1–5% oksigen yang digunakan oleh mitokondria direduksi dan dikonversi menjadi ROS. Reduksi tetravalen oksigen dalam transpor elektron mitokondria sangat penting untuk menghasilkan energi seluler, akan tetapi reduksi ini tidak seratus persen efesien, sebagian membentuk radikal superoksida (O2*-). Radikal superoksida didismutasi oleh superoksida dismutase membentuk H2O2. Substansi ini sangat oksidan, interaksi dengan ion logam seperti Fe2+ dan Cu+ menghasilkan radikal hidroksil yang sangat reaktif (OH*), akhirnya dapat menyebabkan banyak kerusakan jaringan biologis (Young et al. 2002; Hosseinian, 2006; Maxwell & Lip, 1997). Radikal bebas juga dapat menginisiasi reaksi berantai pembentukan ROS pada asam lemak tak jenuh rantai panjang yang dikenal dengan reaksi peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid adalah reaksi propagasi yang menghasilkan radikal lipid dan radikal peroksida. Asam lemak tak jenuh rantai panjang konstituen lipid kompleks membran sel seperti fosfolipid dan lipoprotein menjadi target utama 8 inisiasi oleh radikal bebas pada reaksi peroksidasi lipid. Selama oksidasi lipid akan terbentuk malondialdehid (MDA) yang dapat bereaksi dengan gugus amino bebas pada protein, fosfolipid dan asam nukleat sehingga merusak struktur dan fungsinya (Young et al. 2002; Maxwell & Lip, 1997). ROS dapat dikelompokkan menjadi radikal oksigen dan kelompok derivat non radikal oksigen. Kelompok radikal oksigen terdiri dari O2-(superoksid), HO2(hidroperoksil), OH-(hidroksil), L(R)OO-(peroksil) serta NO-(nitrit oksid) sedangkan yang derivat non radikal oksigen antara lain ONOO- (peroksi nitrit), -OCl (hipoklorit), 1-O2-(oksigen singlet), L(R)OOH (hidroperoksida) dan H2O2 (hidrogen peroksida) (Abuja & Albertini, 2001; Hosseinian, 2006). Sasaran utama reaksi radikal bebas di dalam sel adalah ikatan-ikatan rangkap dari lipida yang terdapat di dalam membran sel. Akibatnya fluiditas membran akan berkurang dan sederetan reseptor selular akan berkurang. Serangan radikal bebas juga dapat menimbulkan penumpukan kalsium dan lipofusin. Radikal bebas dapat pula menjadikan enzim dan protein thiol (-SH) tidak aktif dengan cara pembentukan ikatan silang maupun denaturasi. Akibatnya sintesis dan degradasi protein terganggu. Jika radikal bebas menyerang asam-asam nukleat akan menimbulkan gangguan terhadap molekul DNA yang berakibat terbentuknya mutasi basa-basa nitrogen serta berakhir dengan pembentukan karsinogenesis. ROS juga dapat menginduksi apoptosis, menggangu jalur signal seluler, menggangu reaksi oksidasi reduksi sel dan meningkatkan kecepatan mutasi DNA (Harliansyah, 2001; Valko et al. 2006). Beberapa pembahasan mutahir tentang mekanisme terjadinya penyakit degeneratif, mensinyalir bahwa stres oksidatif dan radikal bebas sangat berpengaruh terhadap penyakit degeneratif dan kanker (Mc Cord, 2000). Interaksi ROS dengan biomolekul dalam sel dijelaskan oleh Mates & Gomez (gambar 2). 9 Regulasi * pertumbuhan sel * diferensiasi sel * kematian sel oleh apoptosis dan nekrosis Aktifasi dari : * transduksi sinyal * proliferasi sel Penurunan efesiensi dari : * DNA polimerase * Repair DNA Kerusakan oksidatif pada protein Stres oskidatif menginduksi protein dan gen Menginduksi peroksidasi lipid ROS Perubahan konformasi DNA Perubahan kimia pada basa nitrogen materi genetik Perluasan/peningkatan ”hot spot” mutagenitas Perubahan ikatan -H Penghambatan dalam replikasi Replikasi tidak akurat MUTASI Gambar 2 Interaksi spesies oksigen reaktif (ROS) terhadap biomolekul di dalam sel (Mates & Gomez 1999). Antioksidan Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid walaupun dalam konsenterasi yang sedikit (Sampels, 2005). Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Antioksidan dapat berperan sebagai peredam radikal bebas (free radical scavenger), dekomposer peroksida, mereduksi singlet oksigen dan menghambat enzim (Dean, 2003; Simpson, 2006). 10 Tubuh manusia memiliki aktivitas antioksidan endogenus. Enzim-enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT) dan glutation peroksidase (GPX) berperan dalam meredam oksidan dan mencegah sel dari kerusakan. Disamping enzim-enzim tersebut molekul non enzim dalam sel seperti thioredoksin, thiol dan ikatan disulfida berperan dalam sistem pertahanan antioksidan tubuh. Hasil studi epidemilogi mekanisme antioksidan endogenus ini tidak mampu mengimbangi jumlah radikal bebas yang dihasilkan tubuh dan pada kondisi tertentu aktivitasnya menjadi tidak efisien sehingga radikal bebas tersebut menyebabkan kerusakan oksidatif pada biomolekul (Yang et al. 2007; Aqil et al. 2006; Mosquiera et al. 2007). Ketidakseimbangan jumlah radikal bebas dan sistem antioksidan endogenus menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Untuk mencegah stres oksidatif maka dibutuhkan antioksidan non enzimatis dari luar tubuh. Substansi yang terkandung dari sayuran dan buah seperti α-tokoferol, β-karoten asam askorbat, flavonoid dan senyawa fenolik, zink dan selenium termasuk dalam kelompok antioksidan eksogenus (Simpson, 2006). Sistem perlindungan dari dalam maupun dari luar tubuh sering tidak memadai karena terlalu banyaknya radikal bebas yang terbentuk sebagai akibat dari polusi udara, asap rokok, sinar ultra violet yang diproduksi sinar matahari, pestisida dan senyawa xenobiotik di dalam makanan, bahkan olah raga yang berlebihan. Zat pemicu yang diperlukan oleh tubuh untuk menghasilkan antioksidan tidak cukup dikonsumsi. Kombinasi antara antioksidan dari luar tubuh dan antioksidan dalam tubuh dapat menekan radikal bebas. Sebagai contoh, tubuh manusia dapat menghasilkan glutation, salah satu antioksidan yang sangat kuat, hanya saja tubuh memerlukan asupan vitamin C sebesar 1000 mg untuk memicu tubuh menghasilkan glutation ini. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menjadi kunci utama pencegahan stres oksidatif dan penyakitpenyakit kronis yang dihasilkannya. Keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas diilustrasikan pada gambar 3. 11 Gambar 3 Keseimbangan radikal bebas-antioksidan mencegah stres oksidatif. Aktivitas antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Simpson, 2006; Harliansjah, 2007). Penambahan antioksidan primer (AH) dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Harliansjah, 2007). Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipid adalah : Inisiasi : R* radikal lipida Propagasi : ROO* + AH ----------> RH + A* antioksidan + AH ----------> ROOH + A* Besarnya konsenterasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan golongan fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan. Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sampel yang akan diuji. Reaksi berikut menunjukkan antioksidan yang bertindak 12 sebagai prooksidan pada konsenterasi yang tinggi (Sampels, 2005; Harliansjah, 2007). AH + O2 -----------> A* + HOO* AH + ROOH ----------> RO* + H2O + A* Telah diketahui mutasi gen dapat terjadi melalui mekanisme kesalahan replikasi dan kesalahan genetik yang berkisar antara 10-15 %, atau faktor dari luar yang merubah struktur DNA seperti virus, polusi, radiasi, dan senyawa xenobiotik dari konsumsi pangan sebesar 80-85 %. Jadi jelas bahwa radikal bebas dan reaksi oksidasi berantai yang dihasilkan besar pengaruhnya pada proses mutasi. Kerusakan oksidatif DNA merupakan bagian dari karsinogenesis yang memberi pengaruh sangat besar saat ini dengan banyaknya komponen xenobiotik pada makanan yang membentuk radikal bebas dalam tubuh. Konsumsi antioksidan alami dapat berperan sebagai biopreventif kanker (Silalahi, 2006; Harliansjah, 2007). Senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami umumnya berasal dari tumbuhan. Angiospermae memiliki kira-kira 250.000 sampai 300.000 spesies dan dari jumlah ini kurang lebih 400 spesies yang telah dikenal dapat menjadi bahan pangan manusia. Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat dimakan. Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji dan serbuk sari (Mosquiera et al. 2007; Harliansjah, 2007). Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lainlain. Jahe (Zingiber officinale Roscoe.) biasa digunakan sebagai bumbu atau obat tradisional. Komponen-komponen pedas dari jahe seperti 6 gingerol dan 6shogaol dikenal memiliki aktivitas antioksidan yang cukup kuat. Dari ekstrak jahe yang telah dibuang komponen volatilnya dengan destilasi uap, maka dari fraksi non volatilnya setelah pemurnian, ditemukan adanya empat senyawa turunan 13 gingerol dan empat macam diarilheptanoid yang memiliki aktivitas antioksidan kuat (Harliansjah, 2007). Ada beberapa senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan telah berhasil diisolasi dari kedelai (Glycine max L.), salah satunya adalah flavonoid. Flavonoid kedelai unik dimana dari semua flavonoid yang terisolasi dan teridentifikasi adalah isoflavon. Pada dosis 2,24 mg/0,2 ml isolat flavonoid dari herba benalu mangga mampu menghambat pertumbuhan kanker pada hewan uji mencit. Senyawa flavonoid dari benalu adalah senyawa kuersetin yang bersifat inhibitor terhadap enzim DNA topoisomerase I sel kanker (Sukardiman et al. 1995). Flavonoid yang terdapat pada buah-buahan dan sayuran memberi pengaruh yang menguntungkan dan sebagai antioksidan. Antioksidan dari flavonoid tergantung pada struktur molekulnya. Flavonoid adalah substansi polifenolik yang banyak terdapat pada tumbuhan; berdasarkan struktur kimia yang termasuk dalam golongan flavonoid adalah flavonol, flavon, flavanon, isoflavon, katekin, antosianidin dan kalkon. Sekitar 4000 flavonoid telah diidentifikasi banyak yang berasal dari sayuran, buah, teh, kopi, bir, wine dan minuman sari buah. Secara epidemologi konsumsi sayur dan buah segar secara rutin menekan resiko kanker dan penyakit degeneratif akibat spesies radikal bebas. Konsumsi sayuran, buah dan ramuan obat herbal yang kaya kandungan flavonoid menekan resiko terserang penyakit jantung dan kanker (Buhler & Miranda, 2000; Okawa et al. 2001). Kanker Kanker dianggap suatu kelompok penyakit seluler dan genetik karena dimulai dari satu sel yang telah mengalami mutasi DNA sebagai komponen dasar gen. Sel-sel yang mengalami kerusakan genetik tidak peka lagi terhadap mekanisme regulasi siklus sel normal sehingga akan terus melakukan proliferasi tanpa kontrol (Silalahi, 2006). Kerusakan dalam struktur DNA dapat berakibat pertumbuhan sel yang tidak terkendali yang dikenal dengan penyakit kanker. Banyak faktor penyebab terjadinya kanker, faktor internal terutama keberadaan gen-gen yang berperan pada siklus sel telah menjadi pusat perhatian 14 dalam hubungan dengan proses terjadinya tumor. Mutasi yang terjadi pada DNA di dalam gen yang meregulasi siklus sel (pertumbuhan, kematian dan pemeliharaan sel) akan menyebabkan penyimpangan siklus sel, dan salah satu akibatnya adalah pembentukan kanker atau karsinogenesis. Ada tiga cara atau faktor penting dalam proses terjadinya mutasi gen yaitu: (1) faktor lingkungan yang meliputi nutrisi, agen infektor, gaya hidup; (2) faktor kebetulan, dan (3) faktor keturunan atau bawaan (Silalahi, 2006). Liver sehat Sel sehat Kerusakan pada sel Akumulasi kesalahan genetik Kanker Hati Sel yang tidak sehat mengalami pembelahan dengan cepat dan menjadi sel kan ker Gambar 4 Mutasi dan proses perkembangan kanker hati (Ren et al. 2003) Karsinogenesis atau proses perkembangan pembentukan kanker terdiri atas tiga tahapan yaitu inisiasi, promosi dan progresi. Tahap inisiasi ditandai dengan perubahan permanen pada sel. Inisiasi ini disebabkan oleh agen karsinogen baik endogen maupun eksogen yang menyebabkan perubahan sel-sel di jaringan, penghambatan metabolisme DNA yang menyebabkan terjadinya perubahan susunan DNA sel awal atau disebut mutasi (Pitot & Dragan, 1991). Agen-agen karsinogen ditunjukan pada tabel 1. 15 Tabel 1 Klasifikasi umum agen Karsinogenik (Pitot & Dragan, 1991). Kelas I. Kimia II. Radiasi III. Biologis IV. Genetik Contoh Hidrokarbon polisiklik, amina dan halida aromatik, hormon, logam dan polimer permukaan Ionisasi ( sinar x, gama, partikel radiasi) dan radiasi ultraviolet Virus (papova, herpes, retrovirus dan hepadna virus) Transgenik melalui (enhancer – promotoroncogene constructs; selective breeding) Massa relatif molekuler (dalton) 5 x 10 – 5 x 104 <<< 1-1 3 x 106 – 170x106 (genom viral) ~ 106 - 108 Tahap promosi, ditandai dengan karakter tahap inisasi yang bersifat reversibel. Pada tahap ini sel-sel yang telah termutasi dipapar lagi oleh agen-agen lain dari lingkungan. Frekuensi agen-agen mutagenik mempengaruhi sel-sel inisiasi, perubahan susunan genetik sel melalui mekanisme reseptor. Pada tahap ini agen-agen promosi (agen karsinogenik) meningkatkan resiko perkembangan kanker dengan kecepatan proliferasi sel-sel yang terinisiasi. Pada tahap ini sel-sel akan bertumbuh menjadi tumor (Pitot & Dragan, 1991). Tumor dapat mengalami perubahan genetik multipel (Yokota & Sugimura, 1991). Kanker akan terjadi dengan cepat apabila agen promosi meningkat dan pada konsenterasi yang tinggi dalam sel. Agen-agen karsinogenik yang menginduksi langsung perubahan struktur DNA antara lain polipeptida dan hormon steroid, minuman beralkohol, defisiensi metil dan galaktosamin. Tahap progresi, tahap ini dicirikan dengan perubahan kariotipe, perkembangan sel yang telah bersifat irreversibel, aneuploid malignan neoplasma, perubahan mekanisme biokimia sel yang disebabkan oleh perubahan kariotipe. Pada tahap ini radikal bebas memacu progresi kanker (Pitot & Dragan, 1991). Analisis molekuler dari tahap-tahap perkembangan kanker pada manusia mulai dari lesi prakanker sampai tumor metastatik lanjut menunjukkan bahwa akumulasi dari perubahan genetik berkorelasi dengan fenotip malignan dari sel-sel tumor. Inaktivasi dari multiple tumor supressor gen memegang peranan utama dalam kejadian dan progresi kanker pada manusia. Dua gen tumor supresor inaktif pada pembentukan kanker. Lesi premalignan termasuk deplesia, hiperplasia, leukoplokia, adenoma (Yakota & Sugimura, 1993). Untuk jelasnya model progresi tumor disajikan pada gambar 3. 16 1 A. Sel normal 2 Lesi prakanker 1 B. Sel normal 3 Karsinoma Metastasis 2 Fenotipe normal 3 Karsinoma Metastasis Gambar 5 Tipe progresi tumor (Pitot & Dragan, 1991) Gambar A, model genetik dari progresi kanker manusia. Tumor dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi prakanker, karsinoma dam metastasis. Lesi prakanker tidak dapat dideteksi secara klinis. Pada gambar A progresi tumor dengan lesi prakanker. Pada gambar B progresi tumor tanpa lesi prakanker. Kejadian genetik ditunjukkan dengan nomor 1-3. Walaupun jumlah kejadian genetik minimum terjadi pada konversi sel normal menjadi karsinoma belum banyak diketahui, beberapa bukti menyatakan bahwa dua gen yaitu RB dan p53 berperan dalam represi sel kanker (Yakota & Sugimura, 1993). Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (tumor suppresor gene (TSG)) dan gen penjaga (gatekeeper gene). Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. Gen penekan tumor biasanya menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis. Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein penekan tumor dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen penjaga berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker (Mc Kelvery, et al. 2003; Gondhowiarjo, 2004). Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi ketiga gen yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor dan gen penjaga secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan 17 penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu tertentu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Sebagai contoh pada kondisi TSG kurang aktif atau proto-onkogen terlalu aktif. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai (McKelvery, et al. 2003; Gondhowiarjo, 2004, Walker & Blackburn, 2004). RB dan dan gen p53 adalah dua dari banyak target perubahan genetik pada kanker manusia. Hasil kajian beberapa tahun terakhir ini menunjukkan bahwa mekanisme biokimia dari gen-gen ini berperan sebagai tumor supressor. Gen p53 adalah monitor signal biokimia dalam sel yang dapat mengindikasikan kerusakan DNA atau mutasi. Produk gen p53 adalah hasil dari transkripsi multifaktor yang meregulasi induksi apoptosis dalam sel dalam perusakan DNA, dengan demikian mencegah propagasi kerusakan DNA sel lain. Lebih dari 50% tumor pada manusia, termasuk jenis-jenis sarkoma mengalami mutasi pada gen p53 (Nambiar, et al. 2001). Pada deteksi perkembangan kanker, protein p53 membangun diri dalam nukleus sel, mengarahkan sel pada penghentian pertumbuhan atau penghancuran diri. Tetapi pada kondisi normal, sel tidak membutuhkan ekspresi gen p53. Kenyataannya adanya protein p53 dalam nukleus akan menghambat pertumbuhan sel normal. Gen p53 akan dikirim dari nukleus ke sitoplasma untuk degradasi. Pada saat kerusakan DNA terjadi, fosfat melekat pada protein p53, mencegah p53 meninggalkan nukleus sehingga terakumulasi di nukleus. Setengah dari sel-sel tumor tidak ditemukan aktivitas p53, hal ini dapat disebabkan oleh gen kinase yang bertanggung jawab untuk fosforilasi termutasi. Ketika gen ini rusak, kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki karena p53 terus dikirim ke sitoplasma dan didegradasi di sana (Franzen, 2001). 18 Gen p53 dapat mengalami modifikasi jika diserang oleh gugus kimia tertentu. Pada kondisi tertentu, protein p53 sangat tidak stabil dan ditemukan dalam jumlah sangat sedikit dalam sel. Tetapi pada saat sel mengarah pada kerusakan DNA, dengan perlahan di degradasi p53, sehingga protein p53 akan meningkat dan berperan melindungi. Pada saat kandungan p53 lebih tinggi dari normal berperan sebagai supresor tumor, berikatan dengan banyak sisi regulasi dalam sel genom untuk mengaktifasi produksi protein lain yang dapat menghentikan pembelahan sel jika DNA yang rusak dapat diperbaiki. Apabila kerusakan terlampau besar sehingga tidak dapat direpair, protein ini akan mengarahkan pada program kematian sel (apoptosis) (SIBS, 2005). Faktor lingkungan seperti gaya hidup dan pola makan berkorelasi dengan insiden kanker misalnya paparan sinar ultraviolet dengan kanker kulit, merokok dengan kanker paru-paru. Tetapi tidak semua perokok akan mengidap kanker paru-paru atau berjemur akan selalu menderita kanker kulit; berarti ada faktor lain di luar faktor lingkungan yakni kesalahan replikasi DNA dan bawaan (McKelvery, et al. 2003; Go, et al. 2003; Milner, 2004, dan Nowell, et al. 2004). Adanya faktor kebetulan dapat diterangkan sebagai berikut. Tubuh mengadakan replikasi DNA secara akurat, tetapi masih terjadi kesalahan satu kali dari 10 juta pasangan basa. Kemudian 99,9% dari yang salah dalam replikasi, dikoreksi dan diperbaiki, berarti replikasi DNA yang salah masih ada tersisa. Di samping itu, proses metabolisme normal dalam tubuh menghasilkan radikal bebas yang reaktif dan menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap DNA secara terusmenerus. Kanker dapat terjadi akibat akumulasi DNA termutasi dalam gen terutama yang mengatur proses siklus dan pertumbuhan sel. Mekanisme ke tiga cara terjadinya mutasi DNA adalah melalui faktor keturunan atau bawaan, yang menyebabkan 5-10% kanker. Mutasi yang terjadi pada DNA di dalam gen yang meregulasi siklus sel akan mengakibatkan penyimpangan, dan salah satu dampak negatifnya adalah pembentukan kanker atau karsinogenesis (McKelvery, et al. 2003; Silalahi, 2006). Seperti telah dijelaskan sebelumnya karsinogenesis berlangsung lama dan dibagi tiga tahap yakni inisiasi, promosi dan progresi. Pada tahap inisiasi sudah terjadi perubahan permanen di dalam genom sel akibat kerusakan DNA yang 19 berakhir pada mutagenesis. Sel yang telah berubah ini tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan sel normal di sekitarnya. Pada tahap ini proses mutasi akan mengaktivasi atau menghambat proto-onkogen. Faktor yang mengubah fungsi proto-onkogen dan TSG antara lain adalah karsinogen yang mengubah struktur DNA, radiasi yang memicu pembentukan spesies kimia reaktif dan radikal bebas, dan virus. Tahap inisiasi berlangsung dalam satu sampai beberapa hari. Tahap promosi berlangsung lama bisa lebih dari sepuluh tahun. Suatu proses panjang yang disebabkan oleh kerusakan yang melekat dalam materi genetik di dalam sel. Melalui mekanisme epigenetik akan terjadi ekspansi sel-sel rusak membentuk premalignansi dari populasi multiseluler tumor yang melakukan proliferasi (Lee, et al. 2004). Senyawa-senyawa yang merangsang pembelahan sel disebut promotor atau epigenetik karsinogen. Pada tahap perkembangan (progression), terjadi instabilitas genetik yang menyebabkan perubahan-perubahan mutagenik dan epigenetik. Proses ini akan menghasilkan klon baru sel-sel tumor yang memiliki aktivitas proliferasi, bersifat invasif (menyerang) dan potensi metastatiknya meningkat. Selama tahapan ini, sel-sel malignan berkembang biak menyerbu jaringan sekitar, menyebar ke tempat lain. Jika tidak ada yang menghalangi pertumbuhannya, akan terbentuk dalam jumlah yang cukup besar untuk mempengaruhi fungsi tubuh, dan gejala-gejala kanker muncul. Tahap terakhir ini berlangsung selama lebih dari satu tahun, sehingga seluruh karsinogenesis dapat berlangsung selama dua puluh tahun (Silalahi, 2003). Insiden kanker pada orang yang lebih tua lebih tinggi daripada orang muda karena perubahan DNA akibat paparan lingkungan berisiko dan kesempatan akumulasi yang lebih besar seiring dengan bertambahnya usia, oleh karena itu jika timbul kanker pada usia muda patut diselidiki adanya faktor keturunan. Pengenalan lebih dini risiko kanker pada satu keluarga sangat penting untuk manajemen pencegahan dan terapi (McKelvery, et al. 2003; Silalahi, 2006). Kemajuan di bidang genetik tidak hanya meningkatkan pemahaman tentang keterkaitan gen dengan penyakit tetapi juga membuka kesempatan yang lebih luas untuk meneliti kerentanan genetik. Tes genetik meliputi analisis DNA, RNA, kromosom, protein, dan metabolit dapat meramalkan atau mendeteksi 20 penyakit. Tes ini biasanya dilakukan terhadap DNA dan kromosom yang diisolasi dari sampel darah atau sel tumor (Keku et al, 2003). Kanker dapat menyebabkan banyak gejala yang berbeda, bergantung pada lokasinya dan karakter dari keganasan dan apakah ada metastasis. Sebuah diagnosis yang menentukan biasanya membutuhkan pemeriksaan mikroskopik jaringan yang diperoleh dengan biopsi. Setelah didiagnosis, penderita kanker biasanya dirawat dengan operasi, kemoterapi dan atau radiasi. Pengobatan kanker yang umum dilakukan saat ini adalah dengan cara kemoterapi. Kemoterapi adalah terapi kimia dengan menggunakan zat-zat kemoterapi untuk menekan pertumbuhan kanker. Zat-zat kimia yang digunakan dapat dari hasil sintesis kimia, semisintetik, fitokimia, bioaktif hewan dan dari mikroorganisme. Metode kemoterapi dilakukan dengan cara memberikan obat dalam bentuk senyawa kimia untuk membunuh sel-sel kanker dalam tubuh pasien. Kemoterapi dapat diberikan melalui mulut atau injeksi, kadang-kadang dapat juga langsung pada bagian tubuh yang terkena kanker. Kebanyakan kemoterapi diberikan secara infus melalui pembuluh darah vena. Namun, teknik kemoterapi di samping membunuh sel-sel kanker juga dapat mengakibatkan rusaknya sel-sel normal yang kebetulan menyerap obat tersebut. Efek samping pengobatan ini cukup berat, misalnya mual, muntah, rambut rontok, dan lain-lain. Operasi bedah merupakan pilihan efektif untuk tipe kanker yang tidak terikat erat pada jaringan tubuh lainnya, serta sel-sel kankernya terbungkus dalam satu kesatuan. Namun, teknik pembedahan ini menjadi kurang menguntungkan pada jenis kanker terbuka, karena dapat meninggalkan sisa-sisa sel kanker yang dapat tumbuh kembali di kemudian hari. Teknik operasi bedah juga tidak dapat digunakan untuk jenis kanker yang sudah bermetastasis. Saat ini dengan mahalnya obat kemoterapi sintetik dan meningkatnya kasus penyakit kanker maka pengobatan kanker difokuskan pada komponen fitokimia dan bioaktif dari mikroba dan hewan yang berpotensi menekan pertumbuhan sel normal atau reaksi metabolik. Sekitar 400 spesies tanaman dalam 315 genus dan 97 famili mempunyai aktivitas sebagai penghambat tumor (Farnsworth, 1996). Berbagai zat fitokimia 21 yang berkhasiat sebagai antikanker dari beberapa tanaman telah berhasil diisolasi oleh Mc Laughlin dkk, dimana pencarian senyawa bioaktif tersebut dilakukan setelah dalam praskrining aktivitas terhadap ekstrak tanaman menunjukkan hasil positif atau aktif (Mc Laughlin, 1991). Saat ini teridentifikasi ada sekitar 400 ribu tumbuhan obat, 60% diantaranya berpotensi sebagai antikanker; 75% berpotensi antiinfeksi. Sekitar 107 spesies tanaman yang diuji sebagai antitumor berasal dari famili zingiberaceae dan umbelliferae (Murakami et al. 1999). Tumbuhan memiliki komponen pencegah tumor berupa senyawa fitokimia atau dikenal dengan cancer chemoprevention. Pencegahan kanker menggunakan senyawa fitokimia adalah salah satu upaya menggunakan bahan kimia alam yang diharapkan dapat mencegah tahap awal dari suatu karsinogenesis, sebelum terjadi penyebaran lebih jauh. Senyawa kanker pada tanaman diantaranya indol isothiosianat, dithiolthion dan organo sulfur yang banyak pada crucifera (Rusmarilin, 2003). Tabel 2 Flavonoid Antikanker Jenis Kanker Kanker mulut Sel HSC-2, HSG, SCC-25 Kanker payudara MCF-7 Kanker tiroid ARO, NPA, WRO Kanker Paru-paru SK-LU1, SW900, H441, H661, haGo-K1, A549 Flavon, quercetin. LNCaP, PC3, DU145 Catechin, epicatechin, quercetin, kaempferol, luteolin, genistein, apigenin, myricetin, ilymarin. Caco-2, HT-29, IEC-6, HCT-15 Flavon, quercetin, genistein, anthocyanin. Kanker Prostat Kanker Usus Leukimia HL-60, K562, Melanoma Mencit B16 4A5 Sumber: Ren et al. 2003. Jenis Flavonoid Flavanon, isoflavon, EGC, chalcones, EGCG, curcumin, genistein, ECG, quercetin, cisplatin. Flavanon, daidzein, genistein, quercetin, luteolin. Genistein, apigenin, kaempfrol, chrysin, luteolin, biochanin A Jurkat Apigenin, quercetin, myricetin, chalcones. Chalcones Indonesia adalah negara dengan biodiversitas flora dan fauna terbesar kedua setelah Brasil. Tidak heran banyak peneliti datang mengkaji flora dan fauna tumbuhan di Indonesia yang berpotensi obat: antibakteri, antidiabetes, antihiperlipidemia dll, baik secara legal maupun ilegal. Banyak prekursor obat antikanker berasal dari tumbuhan antara lain Podophyllootoxin dari Podophyllum 22 hexandrum sebagai prekursor obat kanker etoposide, teniposide dan etopophose (Farkya, et al. 2007). Homoharringtonine (Ceflatonin) alkaloid yang diisolasi dari Cephalotaxus harringtonia sebagai obat antikanker yang telah memiliki merek dagang. Aktivitas Ceflatonin sebagai inhibitor sintesis protein. Phenoxodiol adalah derivat dari isoflavon dan daidzein diisolasi dari kacang-kacangan berperan sebagai inhibitor NADH oksidase (Williams, 2005). Ceflatonin Phenoxodiol Gambar 6 Obat antikanker yang berasal dari tumbuhan dan telah memiliki merek dagang. Beberapa penelitian yang melaporkan potensi fitokimia tumbuhan sebagai obat antikanker adalah : 1. Kunyit dapat mencegah kanker usus dengan cara menginhibisi enzim-enzim lipid peroksidase dan siklooksigenase-2 yang merupakan implikasi perkembangan kanker dan menginduksi enzim glutation-S-transferase. Induksi siklooksigenase-2 dihubungkan dengan produksi prostaglandin (hormon pengatur gerakan otot). Kunyit juga menunjukkan aktivitas sebagai antioksidan yang dihubungkan dengan mekanisme pemadaman singlet O2 yang dapat merusak DNA, namun sifat antioksidan ini bukan sebagai penghambatan superoksida anion atau radikal bebas hidroxil (Didinkaem, 2007). 2. Daun Eupatorium triplinerve Vahl. Ekstrak heksana daun E. triplinerve Vahl. mempunyai aktivitas hambatan pertumbuhan terhadap kultur sel mieloma dengan metode viabilitas sel dengan nilai ED50 = 5,85 μg/ml (Hidayat, 2002). 3. Kulit batang sesoot (Garcinia picrorrhiza Miq.) Ekstrak aseton dan n-heksana dari kulit batang sesoot, mempunyai efek anti-mutagenik terhadap mutagen standar sehingga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai antikanker. 23 4. Katekin dan polifenol dari ekstrak teh hijau menunjukkan aktivitas antikanker yang kuat (Colic & Pavelic, 2004). 5. Eksrak lengkuas mengandung ACA= 1’asetoksi khavikol asetat. Kandungan tertinggi pada eksrak etil asetat dengan waktu maserasi 48 jam sekitar 1,62 +0,02%. Memiliki potensi menghambat semua jenis alur sel kanker dan sel kanker primer manusia. Aktivitas antikanker ekstrak lengkuas disebabkan oleh kemampuan ekstrak ini meningkatkan INF-y oleh alir sel kanker paru-paru, leukimia, melanoma primer, melanoma matastase dan kanker serviks (Rusmarilin, 2003). Dalam pencarian bahan bioaktif yang mempunyai aktivitas antikanker digunakan beberapa metode skrining aktivitas biologis sebagai berikut: (i) Uji kematian larva udang laut (Brine shrimp lethality test (BSLT)), (ii) Uji hambatan tumor pada lempeng kentang (Potato disc crow gall tumor inhibition assay), (iii) Uji proliferasi kuncup lemna (Lemna frond proliferation assay), (iv) Uji sitotoksik in vitro dan in vivo (Hidayat, 2002). Dalam kajian penemuan obat antikanker, banyak sistem bioassay yang telah diketahui. Secara in vitro dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu pengujian seluler (cellular assays) dan pengujian mekanisme (molecular assays). Pengujian seluler juga dapat dibagi menjadi pengujian sitotoksisitas dan pengujian morfologi sel. Contoh dari pengujian sitotoksisitas adalah mengukur konsenterasi sampel yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan sel sebanyak 50% dalam kultur sel tunggal (single cell line). Pada tahun 1956 NCI menseleksi L1210 (leukimia tikus) sebagai screen utama dan kemudian pada tahun 1971 digantikan oleh P388 (lymphocystic leukimia) untuk pengujian in vitro antikanker. Kultur sel ini lebih sensitif dibandingkan L1210 tetapi memiliki karakteristik yang mirip. Pertama kali digunakan untuk skrining pada tahun 1985. Karena sitotoksisitas konsisten maka sitotoksisitas menjadi bioassay yang memiliki keuntungan utama yaitu semua mekanisme potensial pada proliferasi seluler dapat dimonitoring secara simultan (Suffness, 1987). Beberapa penelitian in vivo aktivitas antikanker senyawa fitokimia tumbuhan antara lain dilakukan oleh Mun’im, et al. (2001) melakukan uji tumorigenesis pada sari buah merah (Pandanus conoideus Lam.) dengan 24 menggunakan tikus putih (Ratus novergicus) galur Sprague-Dawley yang berumur lima minggu dengan berat 100-150 gram yang diinduksi dengan DMBA (7,12 dimetilbenz(a)antrasen). Tikus dibagi dalam beberapa kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok perlakuan dengan berbagai konsenterasi sari buah merah dan kontrol normal yang hanya diberi 1 ml minyak wijen. Pengamatan aktivitas dilakukan dengan melihat kerusakan histologi paru-paru. Sukardiman et al. 1995, melakukan penelitian efek antikanker isolat flavonoid dari herba benalu Mangga (Dendrophtoe petandra). Bioassay yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih betina galur BALB-C, berusia sekitar dua bulan. Kanker dibuat dengan menyuntikkan larutan benzopirena dalam oleum olivarum secara subkutan pada daerah interskapuler (tengkuk) dengan dosis 0,3 mg/0,l ml selama 10 kali dengan interval 2 hari sekali. Benjolan kanker pada mencit akan mulai tumbuh dua bulan setelah penyuntikan benzopirena. Hewan coba dibagi dalam 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari lima ekor mencit: (1). Kelompok kontrol (tanpa pemberian isolat flavonoid) (2). Kelompok yang diberi flavonoid dengan dosis 0,56 mg/0,2 ml (3). Kelompok yang diberi flavonoid dengan dosis 1,12 mg/ 0,2 ml (4). Kelompok yang diberi flavonoid dengan dosis 2,24 mg/ 0,2 ml. Pada dosis 2,44 mg/0,2 ml, isolat flavonoid herba benalu mangga (D. petandra) mampu menghambat pertumbuhan kanker pada mencit (p < 0,05).