dampak desentralisasi fiskal terhadap transformasi tenaga kerja sektor

advertisement
BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN
Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang
digunakan pada penelitian ini.
Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1)
keterkaitan penerimaan daerah dengan output pada perekonomian kabupaten dan
kota, (2)
keterkaitan pengeluaran daerah dengan penerimaan daerah pada
perekonomian kabupaten dan kota, (3) keterkaitan output dengan pengeluaran
daerah pada perekonomian kabupaten dan kota, (4)
keterkaitan tenaga kerja
dengan output pada perekonomian kabupaten dan kota, (5) keterkaitan fiskal
dengan perubahan struktur output dan tenaga kerja pada perekonomian kabupaten
dan kota, dan (6) kerangka pemikiran kebijakan fiskal, perubahan struktur output
dan tenaga kerja.
4.1. Keterkaitan Penerimaan Daerah dengan Output pada Perekonomian
Kabupaten dan Kota
Kebijakan desentralisasi fiskal memberi wewenang kepada Pemerintah
Daerah untuk mengatur sumber penerimaan dan pengeluaran daerah. Pada sektor
penerimaan, Pemerintah Daerah berusaha memperoleh penerimaan dari potensi
daerah yang dapat menghasilkan penerimaan terutama dari pajak dan retribusi.
Dalam hal pemungutan pajak dan retribusi pemerintah mempertimbangkan
PDRB. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sumedi (2005), Nanga (2005), dan
Astuti (2007) yang menjelaskan bahwa penerimaan daerah dipengaruhi oleh
produk domestik regional bruto. Penerimaan dari bagi hasil dan dana alokasi
umum untuk Pemerintah Daerah didasarkan pada kemampuan perekonomian
dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah serta jumlah penduduk. Oleh
104
karena itu defisit fiskal dan jumlah penduduk juga turut menentukan besarnya
dana alokasi umum.
4.2. Keterkaitan Pengeluaran Daerah dan Penerimaan Daerah pada
Perekonomian Kabupaten dan Kota
Pengeluaran
Pemerintah
Daerah
dapat
menentukan
pertumbuhan
perekonomian. Namun demikian, pengeluaran daerah ditentukan oleh seberapa
besar penerimaan daerah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sumedi (2005),
Nanga (2005), dan Astuti (2007) yang menyatakan bahwa pengeluaran daerah
dipengaruhi oleh penerimaan daerah.
Pengeluaran pembangunan untuk infrastruktur, pelayanan umum, serta
untuk pembangunan pertanian dan irigasi dipengaruhi oleh penerimaan daerah.
Semakin tinggi penerimaan daerah maka pengeluaran pembangunan untuk sektor
infrastruktur, pelayanan umum dan sektor pertanian dan irigasi cenderung
semakin meningkat.
4.3. Keterkaitan Output dengan Pengeluaran Daerah pada Perekonomian
Kabupaten dan Kota
Produk domestik regional bruto atau output untuk sektor pertanian
dipengaruhi oleh pengeluaran daerah dan tenaga kerja sektor pertanian.
Sedangkan produk domestik regional bruto sektor non pertanian secara umum
dipengaruhi oleh tenaga kerja sektor dan total pengeluaran daerah. Secara umum
output sektor dipengaruhi oleh tenaga kerja sektor. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Sumedi (2005), Nanga (2005), Erikasari (2005), Pakasi (2005), dan
Astuti (2007) yang menyatakan bahwa secara umum output sektor dipengaruhi
oleh jumlah tenaga kerja sektor. Di samping itu, output sektor juga dipengaruhi
105
oleh pengeluaran pemerintah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sumedi
(2005), Nanga (2005), dan Astuti (2007) yang menyatakan bahwa secara umum
output daerah dipengaruhi oleh pengeluaran daerah.
4.4. Keterkaitan Tenaga Kerja dengan Output pada Perekonomian
Kabupaten dan Kota
Penggunaan tenaga kerja sektor dipengaruhi oleh produk domestik
regional bruto sektor. Hal ini sejalan dengan teori permintaan tenaga kerja. Teori
tentang permintaan tenaga kerja adalah teori tentang seberapa banyak suatu
perusahaan akan mempekerjakan tenaga kerja pada tingkat upah dan pada periode
tertentu, cateris paribus.
Bagi pengusaha, mempekerjakan seseorang karena
membantu memproduksi barang atau jasa untuk dijual kepada konsumen. Oleh
karena itu, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja tergantung
dari pertambahan permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksinya.
Oleh karena itu permintaan akan tenaga kerja merupakan derived demand
(Fleisher, 1970; Simanjuntak, 1985; McConnell dan Brue, 1995; Borjas, 1996).
Namun penambahan jumlah tenaga kerja oleh perusahaan tidak dilakukan
untuk jangka pendek, walaupun permintaan masyarakat terhadap produk yang
dihasilkan tinggi. Dalam
jangka pendek, perusahaan akan mengoptimalkan
jumlah tenaga kerja yang ada dengan penambahan jumlah jam kerja atau
penggunaan mekanisasi. Dalam jangka panjang, kenaikan jumlah permintaan
masyarakat terhadap produk akan direspon oleh perusahaan dengan menambah
jumlah tenaga kerja, hal ini berarti tersedianya kesempatan kerja baru bagi tenaga
kerja.
106
Berdasarkan teori permintaan terhadap tenaga kerja, maka hal-hal yang
dipertimbangkan oleh seorang pengusaha untuk menambah jam kerja adalah: (1)
tambahan hasil marginal, yaitu tambahan hasil (output) yang diperoleh pengusaha
dengan penambahan seorang pekerja, (2) penerimaan marjinal, yaitu jumlah uang
yang akan diterima oleh pengusaha dengan tambahan hasil marjinal tersebut,
dimana penerimaan marjinal merupakan besarnya tambahan hasil marjinal
dikalikan dengan harga outputnya, dan (3) biaya marjinal yaitu: jumlah biaya
yang dikeluarkan pengusaha dengan mempekerjakan tambahan pekerja (upah
pekerja tersebut).
Bila tambahan penerimaan marjinal lebih besar dari biaya
marjinal, maka mempekerjakan seorang pekerja akan menambah keuntungan
pengusaha.
Teori di atas merupakan teori produktivitas marjinal tentang
permintaan tenaga kerja pada pasar bersaing.
Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Mangkuprawira (2000).
Mangkuprawira (2000) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi angkatan
kerja, upah riil, dan produktivitas kerja menurut jenis sektor kegiatan ekonomi dan
jenis wilayah di Jawa (kecuali DKI Jaya) dan Bali. Dari ulasan tentang perkotaan
dan pedesaan maka dapat diperoleh informasi penting bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kesempatan kerja baik dilihat dari jenis sektor dan tipe daerah
cenderung beragam.
Hanya ada satu faktor yang sama-sama mempengaruhi
kesempatan kerja di berbagai tipe sektor dan daerah yaitu produk domestik
regional sektor bruto. Indikasi dari kenyataan ini menunjukkan diperlukannya
pertumbuhan produk domestik regional atau pendapatan regional bruto di semua
sektor dan wilayah untuk meningkatkan kesempatan kerja. Dalam jangka pendek
dimana diantara 1997-1998 merupakan periode krisis ekonomi diperlukan
107
program padat karya dan program pembangunan prasarana pendukung desa
tertinggal.
4.5. Keterkaitan Kebijakan Fiskal dengan Perubahan Struktur Output dan
Tenaga Kerja pada Perekonomian Kabupaten dan Kota
Kebijakan fiskal, misalnya pengeluaran daerah, berpengaruh positif
terhadap PDRB sektor.
Hal ini sesuai dengan teori makroekonomi, dimana
peningkatan pengeluaran pemerintah menggeser kurva IS, dan berdampak pada
pergeseran kurva permintaan agregat, sehingga berdampak pada peningkatan
output (Branson dan Litvack, 1981). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian
Sumedi (2005), Nanga (2005), dan Astuti (2007) yang menyatakan bahwa secara
umum peningkatan pengeluaran daerah berpengaruh terhadap peningkatan output
daerah atau produk domestik regional bruto. Namun demikian, seiring dengan
pertumbuhan ekonomi di negara berkembang terjadi penurunan kontribusi pada
sektor pertanian dan terjadi peningkatan kontribusi sektor industri terhadap Gross
Domestic Product (GDP). Tetapi, di negara yang berpendapatan tinggi, kontribusi
sektor pertanian maupun industri terhadap GNP berkurang yang menunjukkan
telah berkembangnya sektor jasa. Hal ini konsisten dengan hukum Petty-Clark
yang memprediksi bahwa pusat pergerakan ekonomi akan bergeser dari sektor
primer ke sektor sekunder, dan selanjutnya ke sektor tersier seiring dengan
meningkatnya pendapatan per kapita (income per capita). Pergeseran ini terjadi
karena alokasi sumberdaya antar sektor sebagai dampak dari peningkatan yang
begitu cepat untuk komoditi industri pada awal pertumbuhan ekonomi, diikuti
oleh percepatan pertumbuhan permintaan untuk jasa, yang sejalan dengan
108
konsumsi komoditi industri (Clark, 1940; Kuznets, 1966; Syrquin dan Chenery,
1988) dalam Hayami (2001).
Selanjutnya, Todaro dan Smith (2004) dalam bukunya yang berjudul
Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga mengemukakan bahwa teori perubahan
struktural (structural-change theory) memusatkan perhatiannya pada mekanisme
yang
memungkinkan
negara-negara
yang
masih
terbelakang
untuk
mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari pola
perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih
modern, lebih berorientasi ke kehidupan perkotaan, serta memiliki sektor industri
manufaktur yang lebih bervariasi dan sektor jasa-jasa yang tangguh.
Dalam
analisis model perubahan struktural tersebut menggunakan perangkat-perangkat
neoklasik berupa teori harga dan alokasi sumberdaya, serta metode-metode
ekonometri modern untuk menjelaskan terjadinya proses transformasi. Aliran
pendekatan perubahan struktural ini didukung oleh ekonom-ekonom terkemuka
seperti W. Arthur Lewis (1954) yang terkenal dengan model teoritisnya tentang
”surplus tenaga kerja dua sektor” (two sector surplus labor) dan Hollis B.
Chenery (1960) yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang ”polapola pembangunan” (patterns of development).
Salah satu model teoritis pembangunan yang paling terkenal, yang
memusatkan perhatian pada transformasi struktural (structural transformation)
suatu transformasi subsisten, dirumuskan oleh W. Arthur Lewis, salah satu
ekonom besar dan penerima Hadiah Nobel. Pada pertengahan dekade 1950-an,
dan kemudian diubah, dan dikembangkan lebih lanjut oleh John Fei dan Gustav
Ranis. Model dua-sektor Lewis (Lewis two-sector model) ini diakui sebagai teori
109
”umum” yang membahas proses pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga
yang mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja selama dekade 1960-an dan
awal dekade 1970-an.
Teori rumusan Lewis ini, sampai sekarangpun masih
banyak pengaruhnya, terutama di kalangan ahli ekonomi pembangunan di
Amerika.
Menurut model pembangunan yang diajukan oleh Lewis, perekonomian
yang terbelakang terdiri dari dua sektor, yakni: (1) sektor tradisional, yaitu sektor
pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas
marginal tenaga kerja sama dengan nol, ini merupakan situasi yang
memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja (surplus
labor) sebagai suatu fakta bahwa jika sebagian tenaga kerja tersebut ditarik dari
sektor pertanian, maka sektor itu tidak akan kehilangan outputnya, dan (2) sektor
industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi menjadi tempat
penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor
subsisten.
Perhatian utama dari model ini diarahkan pada terjadinya proses
pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan
tenaga kerja di sektor modern.
Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan
kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan output pada
sektor modern tersebut. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut
ditentukan oleh tingkat investasi di bidang industri dan akumulasi modal secara
keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi itu sendiri ditentukan oleh
adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah, dengan asumsi
bahwa ”para kapitalis” yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia
menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Yang terakhir, tingkat upah di
110
sektor industri perkotaan (sektor modern) diasumsikan konstan dan, berdasarkan
suatu premis tertentu, jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah di
sektor pertanian subsisten tradisional. Lewis berasumsi bahwasanya tingkat upah
di daerah perkotaan sekurang-kurangnya harus 30 persen lebih tinggi daripada
rata-rata pendapatan di daerah pedesaan untuk memaksa para pekerja pindah dari
desa-desa asalnya ke kota-kota. Pada tingkat upah di daerah perkotaan yang
konstan, maka kurva penawaran tenaga kerja pedesaan dianggap elastis sempurna.
Chenery dan Syrquin (1975) melakukan penelitian terhadap 101 negara
sebagai sampel yang masing-masing memiliki lebih dari satu juta jiwa dalam
kurun waktu 1950-1970. Penelitiannya berhasil mengidentifikasi 21 indikator
perubahan struktural melalui tiga proses yang menyertai pertumbuhan yaitu proses
akumulasi, proses alokasi, proses demografis, dan distribusi. Beberapa hal yang
menarik dari hasil penelitian ini yaitu jika pendapatan per kapita mengalami
peningkatan maka terjadi proses alokasi sebagai berikut: (1) struktur permintaan
domestik mengalami perubahan berupa penurunan konsumsi rumahtangga, (2)
terjadi pergeseran struktur produksi dimana pangsa sektor pertanian menurun,
sedangkan pangsa sektor industri dan jasa meningkat, (3) struktur perdagangan
mengalami perubahan, yaitu ekspor barang industri dan jasa meningkat, dan
ekspor bahan mentah menurun.
Peningkatan total ekspor memberi peluang
terhadap peningkatan impor, sehingga impor meningkat.
4.6. Kerangka Pemikiran Kebijakan Fiskal, Perubahan Struktur Output
dan Tenaga Kerja
Kebijakan desentralisasi fiskal membawa perubahan mendasar dalam
pengambilan kebijakan pembangunan.
Dengan adanya pembagian sumber-
111
sumber penerimaan daerah dan pusat dalam bentuk bagi hasil pajak dan
sumberdaya, Pemerintah Daerah mempunyai kemampuan dan wewenang yang
lebih besar dalam menghimpun pendapatan daerah. Pemerintah memiliki peran
yang signifikan dalam menyusun anggaran untuk mendukung kinerja sektor riil
melalui konsumsi dan investasi langsung maupun melalui efek multiplier dan
stimulasi kepada pelaku ekonomi.
Hasil dari alokasi anggaran adalah output yang diukur dari Produk
Domestik Regional Bruto sektoral. Selanjutnya, dari hasil output (PDRB) yang
telah dihasilkan, Pemerintah Daerah menyusun rencana pembangunan. Dalam
pelaksanaan pembangunan seringkali pemerintah memprioritaskan pada satu
sektor.
Kebijakan pemerintah dalam memprioritaskan sektor tertentu akan
mendorong terjadinya perubahan struktur output maupun perubahan struktur
tenaga kerja.
Ilustrasi dari kerangka pemikiran konseptual ini disajikan pada
Gambar 10.
PENERIMAAN
DAERAH
PAD
KEBIJAKAN
FISKAL
ALOKASI
ANGGARAN
RUTIN
PEMBANGUNAN
- OUTPUT SEKTORAL
- TENAGA KERJA SEKTORAL
PERUBAHAN STRUKTUR:
- OUTPUT
- TENAGA KERJA
Gambar 10. Kerangka Pemikiran Kebijakan Fiskal, Perubahan
Struktur Output dan Tenaga Kerja
Download