FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENINGKATAN STATUS GIZI PADA BALITAGIZI KURUS DAN GIZI SANGAT KURUS DI PUSKESMAS PUSAT PEMULIHAN GIZI (PPG) RAWAT JALAN DI KOTA DEPOK TAHUN 2012-2013 Devita Ariestiana Prabowo1, Nurhayati A. Prihartono2 Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia1 Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia2 [email protected] ABSTRAK Gizi buruk merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terjadi pada balita. Kasusnya semakin banyak ditemukan karena malnutrisi pada balita lebih sulit dideteksi.Seringkali gizi buruk pada balita disertai dengan penyakit infeksi yang menyertai, disamping akibat asupan makanan yang kurang.Desain penelitian berupa cross sectionaldengan data sekunder dari laporan PPG, form pelacakan gizi buruk, dan pemeriksaan klinis balita gizi buruk tahun 2012-2013.Variabel dependen adalah peningkatan status gizi balita dan variabel independennya meliputi faktor karakteristik balita, orang tua, dan perilaku ibu.Analisis data berupa analisis univariat dan bivariat.Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita yang mengalami peningkatan status gizi sebesar 55,0%, lebih banyak terjadi pada balita umur < 12 bulan (60,0%), dengan jenis kelamin perempuan (61,2%), yang lahir dengan BBLR (61,9%), ASI eksklusif (65,0%), disertai penyakit infeksi penyerta (58,7%), pada balita dengan ibu yang beumur <31 tahun (49,0%), berpendidikan tinggi (80,6%), ayah yang bekerja sebagai pekerja kasar (61,8%), ibu yang tidak bekerja (58,5%), dan ibu yang patuh dalam kunjungan PPG (70,7%).Faktor yang secara statistik memiliki hubungan yang bermakna dengan peningkatan status gizi adalah tingkat pendidikan ibu dan kepatuhan ibu dalam kunjungan PPG. Kata Kunci : Balita; Gizi Buruk; Pusat Pemulihan Gizi Related Factors in Increasing Nutritional Status on Moderate and Severe Malnutrition Toddlers at Public Health Centre With Outpatient Therapeutic Feeding Centre (TFC) Depok 2012-2013 ABSTRACT Malnutrition is a public health problem that occurs in toddler. The case increasingly found due to malnutrition in children under five is more difficult to detection. Oftentimes, malnutrition among children under five accompanied by an accompanying infectious diseases, in addition to due to the lack of food intake. The study design was cross-sectional, using secondary data from outpatient TFC reports, forms tracking of malnutrition, and clinical examination form malnutrition children in 2012-2013. Dependent variables is increase in nutritional status and the independent variables include factors toddlers characteristics, Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 parents charracteristics, and mother behavior. Analisis performed by univariate and bivariate analyzes. The results showed that the proportion of infants who have increased nutritional status is 55.0%, is more common in infants aged <12 months (60.0%), with female sex (61.2%), who were born with low birth weight (61, 9%), exclusive breastfeeding (65.0%), accompanied by concomitant infections (58.7%), in infants whose mothers age <31 years (49.0%), highly educated (80.6%), father who worked as a laborer (61.8%), mothers who did not work (58.5%), and mothers who are obedient to visit TFC (70.7%). Factors that have a statistically significant association with increased nutritional status is the level of maternal education and maternal adherence in PPG excursions. Keywords : Malnutrition; Therapeutic Feeding Centr; Toddlers Pendahuluan Status gizi di Indonesia masih belum membaik karena permasalahan gizi merupakan masalah yang kompleks dan meliputi banyak sektor.Disamping itu, program gizi dapat pula belum efektif dengan dukungan data yangkurang dan lemahnya komitmen terhadap pembangunan gizi. Hal ini menjadi tantangan besar karena dalam lima tahun terakhir angka kurang gizi dan gizi buruk naik, yang dipengaruhi oleh lintas sektor seperti demografi, tingkat pendidikan (terutama ibu), tingkat pendapatan, akses terhadap layanan kesehatan, dan ketahanan pangan). (Atmakarta, 2007) Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA Kementrian Kesehatan RI mengemukakan bahwa keadaan gizi merupakan salah satu penyebab dasar kematian bayi dan anak.Gizi buruk seringkali disertai penyakit seperti TB, ISPA, diare, dan lain-lain.Risiko kematian anak gizi buruk 17 kali lipat dibandingkan dengan anak normal. (Kementrian Kesehatan, 2013) Keadaan gizi masyarakat akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan umur harapan hidup yang merupakan salah satu unsur utama dalam penentuan keberhasilan pembangunan negara. Kurang gizi menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan, kreatifitas dan produktifitas penduduk. (Depkes, 2000) Kekurangan gizi dapat terjadi akibat beberapa hal, misalnya akses terhadap pangan yang rendah, makanan ibu hamil kurang kalori protein atau terserang penyakit.Penyebab tidak langsung balita kurang gizi adalah persediaan pangan, pola asuh dan sanitasi, air bersih, dan pelayanan kesehatan. (Atmakarta, 2007) Pencegahan penyakit gizi kurang dan gizi buruk lebih sulit karena menyangkut masalah ekonomi keluarga (kemiskinan), pola pengasuhan anak (pendidikan), dan pelayanan kesehatan.Kemiskinan menyebabkan orang tua tidak dapat memberikan makanan sehat yang bergizi seimbang.Pendidikan bagi keluarga juga masih kurang terutama untuk ibu, meskipun Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 mereka mempunyai cukup uang, tetapi tidak punya pengetahuan tentang kesehatan dan gizi.Pengetahuan kesehatan dan gizi yang cukup merupakan salah satu syarat penting bagi seorang ibu untuk dapat mengasuh anak dengan baik. (Soekirman, 2006) Secara umum prevalensi gizi buruk di Indonesia adalah 5,4% dan gizi kurang 13,0% atau 18,4% untuk gizi buruk dan kurang. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan JangkaMenengah (RPJM) tahun 2015 sebesar 20% dan target MDGs untuk Indonesia sebesar 18,5%, maka secara nasional target tersebut sudah terlampaui. (Departemen Kesehatan RI, 2009) Pencapaian target tersebut belum sepenuhnya merata di 33 provinsi, karena masih terdapat beberapa provinsi yang sulit dijangkau untuk pemerataan gizi baik. Berdasarkan kelompok umur, persentase gizi buruk terbesar berdasarkan hasil Riskesdas 2007 adalah pada kelompok umur 0-5 bulan, pada jenis kelamin laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. (Departemen Kesehatan RI, 2009) UNHCR mengemukakan bahwa besarnya masalah balita kurus (sangat kurus dan kurus) di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya > 5% dan dianggap masalah yang serius apabila prevalensinya antara 10,1%-15,0%. Masalah ini dianggap kritis apabila prevalensinya>15,0%. (Departemen Kesehatan RI, 2009) Prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia masih sebesar 17,9% dan stunting masih 35,6%. Diperkirakan 14,2% balita di Indonesia mengalami gizi lebih dan kegemukan (obesitas). Bahkan pada kelompok dewasa, prevalensi gizi lebih telah mencapai 21%. (Riskesdas, 2010) Prevalensi balita sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi, yaitu 5,3% meskipun angka ini menurun dari penelitian tahun 2010 sebesar 6,0% dan tahun 2007 sebesar 6,2%. Pada tahun 2013 secara nasional prevalensi balita kurus sebesar 12,1% yang artinya masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. (Riskesdas, 2013) Kasus Gizi buruk terhadap balita masih menjadi masalah Kesehatan Masyarakat di Indonesia dan juga masalah di Kota Depok. Hal ini menjadi perhatian penuh bagi Dinkes Depok dalam memberantas kasus gizi buruk . kasus gizi buruk umumnya disertai dengan penyakit seperti diare, ISPA, Tuberkulosis (TB), HIV, maupun gangguan pertumbuhan. Dalam mengurangi kasus Gizi buruk di Kota Depok, pemerintahan Kota Depok sangat komperhensif dalam hal penanganan gizi buruk. (Dinas Kominfo, 2013) Pemerintah Kota Depok terus mengupayakan untuk menekan angka gizi buruk di Kota Depok, hal ini dilakukan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah Program Pusat Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 Pemulihan Gizi (PPG) dan Therapeutic Feeding Centre (TFC). Program ini dilakukan di lima Puskemas, yaitu Puskesmas Sukmajaya (melayani PPG rawat inap) dan Puskesmas Cimanggis, Pancoran Mas, Tapos, dan Sawangan (melayani PPG rawat jalan). (Lilik, 2013) Kasus gizi buruk berdasarkan hasil validasi/pelacakan balita gizi buruk, sejak tahun 2010 perlahan mengalami penurunan. Pada tahun 2010 kasus balita gizi buruk sebanyak 199 balita (0,18%). Pada tahun 2011 angka balita gizi buruk sebanyak 129 balita (0,11%), tahun 2012 angka balita gizi buruk sebanyak 120 balita (0,10%), hingga pada tahun 2013 angka balita gizi buruk menurun menjadi 87 balita (0,08%). (Lilik, 2013) Tinjauan Teoritis Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Susenas menunjukkan bahwa balita dengan BB/U <- 3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningkat dari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan puncaknya 11,6% pada 1995. Upaya pemerintah antara lain melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan tatalaksanan gizi buruk kepada tenaga kesehatan. (Departemen Kesehatan, 2007) Kurang gizi dapat dilihat sebagai suatu proses kurangnya konsumsi makanan ketika kebutuhan normal terhadap satu atau beberapa nutrisitidak terpenuhi, atau nutrisi tesebut hilang dengan jumlah yang lebih besar daripada yang didapat. (Gibney, 2000) Penyakit gizi salah (gizi kurang dan gizi buruk) terutama diderita oleh anak-anak yang sedang tumbuh pesat, yaitu anak balita.Malnutrisi yang dimaksud umumnya mencangkup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan yang tidak mencukupi kebutuhan badan.Seringkali, malnutrisi yang diderita balita dimulai ketika ia masih dalam kandungan ibunya, sedangkan ibunya ada kemungkinan menderita anemia atau defisiensi zat gizi lainnya. Hal ini menyebabkan bayi lahir sebelum waktunya dan berat lahirnya rendah. (Sediaoetama, 2008) Gizi buruk balita disebabkan oleh kurangnya energi dan protein (KEP) dalam jangka waktu lama.Hal ini akibat kekurangan makanan sumber energi dan protein.Kekurangan energi protein dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan.Umumnya KEP lebih banyak terjadi di daerah pedesaan, hal ini disebabkan oleh faktor kemiskinan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan/atau pemberian makanan sesudah bayi disapih, serta tentang pemeliharaan lingkungan yang sehat. (Almatsier, 2004) Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 Faktor-faktor risiko tinggi yang mempunyai pengaruh terhadap status gizi anak berkaitan dengan kondisi medis, sosial, ekonomi dan tingkat pendidikan, yang mencakup: BBLR, anak kembar, banyak anak dalam keluarga, jarak kelahiran yang pendek, pertumbuhan yang lambat pada umur muda, penyapihan dini, pemberian makanan tambahan terlalu dini atau terlalu telat, sering terkena infeksi, ibu yang buta huruf diantara ibu yang berpendidikan, kemiskinan, pendatang baru pada suatu daerah, dan anak-anak yang orang tuanya tidak lengkap. (Suhardjo, 2010) Faktor berikut ini menjadi penyebab tidak langsung terjadinya kurang gizi, seperti: ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh ibu, dan pola pelayanan kesehatan dasar. Ketahanan pangan rumah tangga terkait ada tidaknya makanan bergizi seimbang, termasuk ASI. Pola asuh ibu terhadap anaknya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu, karna menyangkut pemilihan dan pemberian makan pada anak, kebersihan diri dan lingkungan, cara merawat anak dan kasih sayang. Pelayanan kesehatan dasar ibu dan anak yang diselenggarakan di Puskesmas, Posyandu dan dokter praktek swasta meliputi persediaan air bersih, tempat pembuangan sampah, imunisasi, dan pendidikan kesehatan. (Soekirman, 2006) Penanggulangan gizi buruk dilaksanakan dalam bentuk pelayanan langsung terhadap kelompok sasaran, dan pelayanan secara tidak langsung di masyarakat.Pelayanan langsung dilaksanakan dalam bentuk pelayanan gizi di Puskesmas dan Posyandu dengan sasaran ibu dan anak.Pelayanan tidak langsung di masyarakat dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan gizi masyarakat dan fortifikasi makanan. (Beck, 1993) Pusat Pemulihan Gizi (PPG) berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan anak gizi buruk secara intensif di suatu tempat/ruangan khusus dan ibu atau keluarga dapat terlibat secara aktif dalam perawatan anak gizi buruk.PPG dapat dikembangkan dengan kegiatan pelayanan gizi lainnya yang tidak terbatas pada pelayanan anak gizi buruk saja.Penyelenggaraan PPG dapat memanfaatkan fasilitas bangunan yang sudah ada di puskesmas perawatan/rumah sakit atau membuat bangunan khusus/baru. (Andewi, 2011) PPG merupakan salah satu kegiatan pengembangan Posyandu. Biasanya anak balita dengan gizi buruk mendapatkan perawatan di PPG selama 2-3 bulan. Dalam pemantauan selama masa perawatan di PPG, anak balita yang dinyatakan sembuh, selanjutnya dikembalikan kepada keluarga untuk dilanjutkan pemulihan status gizinya sehingga tidak kembali ke keadaan semula. (Andewi, 2011) Di Indonesia, anak kelompok balita menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk penyakit kekurangan gizi. Kelompok ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 perbaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena balita tidak dapat datang sendiri ke layanan kesehatan. (Sediaoetama, 2008) Anak balita dianggap kelompok umur yang paling belum berguna dalam keluarga, karena belum sanggup dalam ikut membantu menambah kebutuhan keluarga. Umumnya anak usia balita dititipkan kepada saudara yang lebih tua dalam pengurusannya, tetapi sering belum cukup mempunyai pengalaman dan keterampilan untuk mengurus anak dengan baik. Anak usia balita belum dapat mengurus diri sendiri dengan baik, dan belum dapat berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukan untuk kebutuhan makannya. (Sediaoetama, 2008) Jenis kelamin akan menentukan kebutuhan gizi bagi seseorang. Laki-laki akan lebih banyak membutuhkan zat gizi terutama energi dan protein dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan karena anak laki-laki cenderung lebih aktif dalam aktivitas sehari-harinya. (Apriadji 1986, dalam Puspitasari 2012) Bayi dengan badan lahir rendah (BBLR) akan meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian bayi. Bayi BBLR berpotensi besar untuk mengalami berbagai masalah kesehatan sebagai akibat belum lengkap dan matangnya organ dan fungsi tubuh. (Maryunani, 2013) ASI dapat menjadi sumber utama gizi bagi bayi, kegagalan menyediakan ASI menjadi penyebab utama malnutrisi bayi/balita bahkan kematian bayi. Balita yang tidak cukup atau bahkan tidak sama sekali mendapatkan ASI akan lebih sering menderita penyakit, khususnya diare. (Sediaoetama, 2008) Adanya interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah diketahui sejak lama.Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi.Malnutrisi, walaupun masih ringan, mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.Hubungan ini bersinergi, sebab malnutrisi disertai infeksi umumnya mempunyai konsekuensi yang lebih besar daripada sendiri-sendiri. (Pudjiadi, 1990) Pendidikan orang tua mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.Latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Pendidikan yang tinggi cenderung akan lebih dapat mengelola rumah tangga, seperti konsumsi pangan keluarga dengan lebih baik, misalnya memilih makanan yang bergizi namun tetap dengan harga yang terjangkau. (Satoto 1990, dalam Puspitasari 2012) Pekerjaan, yang secara langsung akan mempengaruhi tingkat pengahasilan, merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Gizi seseorang seringkali dihubungkan dengan tingkat pendapatan seseorang, karena semakin Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 tinggi pendapatan seseorang maka perbaikan kesehatan yang berdampak pada status gizi yang baik pula. (Sediaoetama, 2008) Faktor penyebab KEP adalah tradisi sosial budaya yang mempengaruhi, dalam hal ini ibu yang bekerja. Ibu yang bekerja mencari nafkah tambahan akan meninggalkan anak balitanya dirumah. Hal ini akan mengakibatkan balita kurang mendapatkan perhatian dan pengobatan (jika balita sakit).Ibu yang bekerja juga akan meninggalkan bayinya setelah melahirkan (cuti melahirkan selesai). Hal ini menyebabkan banyak balita yang tidak mendapatkan ASI sedangkan pemberian MPASI tidak dilakukan dengan sebagaimana mestinya. (Pudjiadi, 1990) Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan desain studi cross sectional (potong lintang). Desain studi pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan denganpeningkatan status gizi pada balita gizi kurus dan gizi sangat kurus di Puskesmas PPG rawat jalan di Kota Depok Tahun 2012-2013, pengukuran peningkatan status gizi pada balita dilakukan pada saat yangsama. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Puskesmas PPG rawat jalan yang terdapat di empat Puskesmas di Kota Depok (UPT Puskesmas Cimanggis, Sawangan, Pancoran Mas, dan Tapos).Waktu penelitian dilakukan pada bulan April-Juni2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita usia 0-59 bulan yang tinggal di Kota Depok pada Tahun 2012-2013. Sampel dalam penelitian ini yaitu ibu yang memiliki balita (anak usia 0-59 bulan) yang menderita gizi kurang atau burukyaitudengan status gizi <-2,6SD (berdasarkan diagnosa dokter di layanan kesehatan, hasil pemeriksaan antropometri dan kondisi klinis). Sampel dipilih secara total sampling, dimana peneliti datang ke PuskesmasPPG rawat jalan dan mengambil seluruh balita yang tercatat dalam laporan PPG untuk dijadikan sampel. Sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu 112 responden. Dari total 136 sampel balita gizi kurang dan gizi buruk tahun 2012-2013 yang didapatkan, hanya 100sampel yang datanya dapat diolah. Hal ini disebabkan karena kurang lebih 30 data tidak dapat dilengkapi karena data hilang, data ini terdapat pada data balita gizi kurang dan gizi buruk tahun 2012 di UPT Puskesmas Cimanggis.Sebanyak empat sampel tidak diikutsertakan karena variabel status gizi akhir tidak ada, sehingga tidak dapat diketahui apakah status gizinya meningkat atau tidak, dan dua sampel tidak diikutsertakan karena termasuk kriteria eksklusi (kelainan genetik). Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 Hasil Penelitian Berikut ini merupakan hasil distribusi frekuensi status gizi balita yang meningkat dan tidak meningkat dalam Tabel berikut: Tabel 1. Distribusi Balita Gizi Kurus dan Gizi Sangat Kurus Berdasarkan PeningkatanStatus Gizi di Puskesmas PPG Rawat Jalan di Kota Depok Tahun 2012-2013 Status Gizi Jumlah Persentase (%) Meningkat Tidak Meningkat 55 45 55.0 45.0 Total 100 100.0 Tabel 1. menunjukkan bahwa hasil penelitian tentang peningkatan status gizi balita gizi kurus dan sangat kurus sebagian besar mengalami peningkatan status gizi yaitu 55,0% dan yang tidak mengalami peningkatan sebesar 45,0%. Berikut ini merupakan hasil distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik balita pada Tabel berikut: Tabel 2. Distribusi Balita Gizi Kurus dan Gizi Sangat Kurus Berdasarkan Umur Balita di Puskesmas PPG Rawat Jalandi Kota Depok Tahun 2012-2013 Variabel Jumlah Persentase (%) Umur Balita < 12 Bulan ≥ 12 Bulan Total 25 75 100 25.0 75.0 100.0 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 51 49 51.0 49.0 Total 100 100.0 ≥ 2500 gram < 2500 gram Missing Total 65 21 14 100 65.0 21.0 14.0 100.0 ASI Eksklusif Ya Tidak Missing Total 40 47 13 100 40.0 47.0 13.0 100.0 Infeksi Penyerta Ada Tidak Ada Total 46 54 100 46.0 54.0 100.0 Berat Badan Lahir Berdasarkan Tabel 2. diketahui bahwa distribusi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus lebih banyak terjadi pada balita umur ≥ 12 bulan (75%), dengan jenis kelamin laki-laki Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 (51,0%), balita yang lahir dengan berat badan normal (65%), balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif (47%), dan balita yang gizi kurus/sangat kurusnya tidak disertai adanya penyakit infeksi penyerta (54%). Berikut ini merupakan hasil distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik orang tua pada Tabel berikut: Tabel 3. Distribusi Balita Gizi Kurus dan Gizi Sangat KurusBerdasarkan Umur Ibu di Puskesmas PPG Rawat Jalandi Kota Depok Tahun 2012-2013 Variabel Umur Ibu < 31 Tahun ≥ 31 tahun Missing Total Pendidikan Ibu Tinggi (Tamat SLTA keatas) Rendah (Tamat SLTP kebawah) Missing Total Pekerjaan Ayah Bukan Pekerja Kasar Pekerja Kasar Missing Total Status Ibu Bekerja Bekerja Tidak Bekerja Missing Total Jumlah Persentase (%) 49 36 15 100 49.0 36.0 15.0 100.0 31 55 14 100 31.0 55.0 14.0 100.0 29 55 16 100 29.0 55.0 16.0 100.0 5 82 13 100 5.0 82.0 13.0 100.0 Berdasarkan Tabel 3. diketahui bahwa distribusi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus berdasarkan karakteristik orang tua lebih banyak terjadi pada balita yang memiliki ibu berumur < 31 tahun (49,0%), balita dengan ibu yang memiliki pendidikan rendah (55,0%), balita yang memiliki ayah yang bekerja sebagai pekerja kasar (buruh, pedagang, sales, cleaning service, tukang sapu) yaitu 55,0%, dan balita yang memiliki ibu yang tidak bekerja (82,0%). Berikut ini merupakan hasil distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik orang tua pada Tabel berikut: Tabel 4. Distribusi Balita Gizi Kurus dan Gizi Sangat KurusBerdasarkan Kepatuhan Kunjungan di Puskesmas PPG Rawat Jalan Kota Depok Tahun 2012-2013 Variabel Kepatuhan PPG Patuh Tidak Patuh Missing Total Jumlah Persentase (%) 41 56 3 100 41.0 56.0 3.0 100.0 Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 Berdasarkan Tabel 4. diketahui bahwa distribusi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus lebih banyak terjadi pada balita dengan ibu yang tidak patuh membawa balitanya ke PPG (56,0%) Berikut ini merupakan hasil analisis bivariat antara karakteristik balita, orang tua, dan perilaku ibu terhadap peningkatan status gizi pada balita gizi kurus dan sangat kurus pada Tabel berikut: Tabel 5. Rekapituasi Hubungan Karakteristik Balita, Orang Tua, dan Perilaku Ibu terhadap Peningkatan Status Gizi pada Balita Gizi Kurus dan Gizi Sangat Kurus di Puskesmas PPG Rawat Jalan di Kota Depok Tahun 2012-2013 Peningkatan Status Gizi Balita (n=100) Meningkat Tidak meningkat Total n (%) n (%) n (%) Variabel Umur Balita < 12 bulan ≥ 12 bulan Total Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Berat Badan Lahir Normal BBLR Total ASI Eksklusif Ya Tidak Total Penyakit Infeksi Penyerta Ada Tidak ada Total Umur Ibu < 31 Tahun ≥ 31 Tahun Total Pendidikan Ibu Tinggi Rendah Total Pekerjaan Ayah Bukan pekerja kasar Pekerja kasar Total Status Ibu Bekerja Bekerja Tidak bekerja Total Kepatuhan Kunjungan PPG Patuh Tidak Patuh Total 15 (60,0) 40 (53,3) 55 (55,0) 10 (40,0) 35 (46,7) 45 (45,0) 25 (100,0) 75 (100,0) 100 (100,0) 25 (49,0) 30 (61,2) 55 (55,0) 26 (51,0) 19 (38,8) 45 (45,0) 51 (100,0) 49 (100,0) 100 (100,0) 36 (55,4) 13 (61,9) 49 (57,0) 29 (44,6) 08 (38,1) 37 (43,0) 65 (100,0) 21 (100,0) 86 (100,0) 26 (65,0) 22 (46,8) 48 (55,2) 14 (35,0) 25 (53,2) 39 (44,8) 40 (100,0) 47 (100,0) 87 (100,0) 27 (58,7) 28 (51,9) 55 (55,0) 19 (41,3) 26 (48,1) 45 (45,0) 46 (100,0) 54 (100,0) 100 (100,0) 28 (57,1) 20 (55,6) 48 (56,5) 21 (42,9) 16 (44,4) 37 (43,5) 49 (100,0) 36 (100,0) 85 (100,0) 25 (80,6) 24 (43,6) 49 (57,0) 06 (19,4) 31 (56,4) 37 (43,0) 31 (100,0) 55 (100,0) 86 (100,0) 15 (51,7) 34 (61,8) 49 (58,3) 14 (48,3) 21 (38,2) 35 (41,7) 29 (100,0) 55 (100,0) 84 (100,0) 1 (20,0) 48 (58,5) 49(56,3) 04 (80,0) 34 (41,5) 38 (43,7) 5 (100,0) 82 (100,0) 87 (100,0) 29 (70,7) 24 (42,9) 53 (54,6) 12 (29,3) 32 (57,1) 44 (45,4) 41 (100,0) 56 (100,0) 97 (100,0) Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 P-value Missing n (%) 0.646 0.235 14 (14,0) 0.624 13 (13,0) 0.130 0.548 15 (15,0) 1.000 14 (14,0) 0.001 16 (16,0) 0.486 13 (13,0) 0.163 3 (3,0) 0.008 Berdasarkan Tabel 5. diketahui bahwa berdasarkan karakteristik balita, proporsi peningkatan status gizi pada balita gizi kurus dan gizi sangat kurus lebih banyak terjadi pada balita yang berumur < 12 bulan (60,0%), balita dengan jenis kelamin perempuan (61,2%), yang lahir dengan BBLR (61,9%), balita yang mendapatkan ASI eksklusif (65,0%), balita gizi kurus dan sangat kurus yang disertai adanya penyakit infeksi penyerta (58,7%). Dari lima faktor tersebut, tidak terdapat satu pun variabel yang menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna terhadap peningkatan status gizi balita (tidak ada hubungan yang signifikan antara umur balita/jenis kelamin/berat badan lahir/ASI eksklusif/infeksi penyerta terhadap peningkatan status gizi balita). Berdasarkan Tabel 5. diketahui bahwa berdasarkan karakteristik orang tua, proporsi peningkatan status gizi pada balita gizi kurus dan gizi sangat kurus lebih banyak terjadi pada balita yang memiliki ibu berumur < 31 tahu (57,1%), balita dengan ibu yang memiliki pendidikan tinggi/tamat SLTA keatas (80,6%), balita yang memiliki ayah yang bekerja sebagai pekerja kasar (61,8%), dan balita yang memiliki ibu yang tidak bekerja/hanya sebagai IRT (58,5%). Dari empat faktor tersebut, diketahui bahwa faktor pendidikan ibu memiliki p-value 0,001 yang berarti adanya perbedaan yang secara statistik bermakna (ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu terhadap peningkatan status gizi balita). Berdasarkan Tabel 5. diketahui bahwa berdasarkan perilaku ibu, proporsi peningkatan status gizi pada balita gizi kurus dan gizi sangat kurus lebih banyak terjadi pada balita yang ibunya patuh membawa balitanya ke Puskesmas PPG yaitu 70,7%. Hasil ini menunjukkan nilai p-value 0,008 yang berarti ada perbedaan yang secara statistik bermakna (ada hubungan yang signifikan antara tingkat kepatuhan ibu berkunjung ke PPG terhadap peningkatan status gizi balita). Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan status gizi balita gizi kurus dan gizi sangat kurussebagian besar mengalami peningkatan yaitu 55,0% dan yangtidak mengalami peningkatan sebesar 45,0%. Peningkatan ini menunjukkan bahwa upaya perbaikan gizi ini berhasil dengan didukung perilaku sadar gizi yang baik dari ibu balita penderita gizi kurang maupun gizi buruk. Pada Tabel 5. hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus yang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita yang berusia < 12 bulan yaitu sebesar 60,0%. Hal ini sejalan dengan penelitian Yunarto (2004) yang menyatakan bahwa balita yang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 pada balita umur 6-12 bulan. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Syuryatir (2001) yang menyatakan bahwa peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita dengan umur 1259 bulan. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,646 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara umur balita dengan peningkatan status gizi balita.Hal ini juga didukung oleh penelitian Latief (2003) yang menunjukkan hasil analisis dengan hubungan yang tidak bermakna antara umur balita dengan status gizi balita yang meningkat. Hasil penelitian pada Tabel 5. menunjukkan bahwa proporsi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus yang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita perempuan yaitu sebesar 61,2%. Hal ini didukung oleh penelitian Kurniasari (2000) yang menyatakan bahwa balita perempuan lebih banyak yang meningkat status gizinya dari gizi buruk menjadi gizi kurang atau gizi normal. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Latief (2003) bahwa proporsi status gizi yang berubah lebih banyak terjadi pada balita laki-laki. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,235, yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin dengan peningkatan status gizi. Hal ini didukung oleh penelitian Kurniasari (2000) yang menyatakan bahwa hasil uji chi square menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara jenis kelamin dengan peningkatan status gizi di akhir penelitian. Penelitian ini Tabel 5. menunjukkan bahwa proporsi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus yang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita yang lahir dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram) yaitu sebesar 61,9%. Hal ini sejalan dengan penelitian Sutiari (2011) yang menyatakan bahwa tidak ada jaminan bahwa anak yang lahir dengan berat badan normal akan memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih baik. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,624 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara berat badan lahir bayi dengan peningkatan status gizi.Hal ini didukung oleh penelitian Sutiari (2011) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi sewaktu lahir dengan pertumbuhan. Penelitian ini (Tabel 5.) menunjukkan bahwa proporsi balitagizi kurus dan gizi sangat kurus yang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita yang cukup mendapatkan ASI eksklusif (≥ 6 bulan) yaitu sebesar 65,0%. Hal ini sejalan dengan penelitian Harefa (2008) yang menyebutkan bahwa perubahan nilai Z-score lebih banyak terjadi pada balita yang disapih pada usia>6 bulan. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Latief (2003),yang menyebutkan bahwa sebagian besar balita dengan status gizi yang berubah terdapat pada balita dengan konsumsi ASI kurang dari 4 bulan. Analisis statistik menghasilkan nilai p-value 0,130 yang berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 kecukupan ASI eksklusif dengan peningkatan status gizi.Hasil analisis ini didukung oleh penelitian Latief (2003) yang menyatakan bahwa hubungan antara ASI dan perubahan status gizi tidak bermakna. Pada penelitian ini (Tabel 5.) menunjukkan proporsi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus yang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita yang disertai adanya penyakit infeksi penyerta yaitu sebesar 58,7%. Penelitian ini didukung oleh penelitian Puspitasari (2012) yang menyatakan bahwa balita yang status gizinya meningkat jadi normal lebih banyak dialami oleh balita yang memiliki penyakit infeksi penyerta (TB Paru dan ISPA). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Yunarto (2004) dimana perubahan status gizi lebih banyak terjadi pada balita dengan infeksi yang ringan (seperti pilek, batuk, dan demam biasa) dibandingkan dengan balita dengan infeksi berat (seperti diare, pneumonia, campak, atau penyakit kronis lainnya). Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,548 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara adanya penyakit infeksi penyerta terhadap peningkatan status gizi.Hal ini didukung oleh penelitian Apriyanti dan Syuryati (2001) dalam Yunarto (2004) yang menyebutkan bahwapenyakityang diderita balitatidak berhubungan dengan perubahan ataupeningkatanstatus gizi. Pada (Tabel 5.) hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi balita gizi kurus dan gizi sangat kurusyang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita dengan ibu yang berusia < 31 tahun yaitu sebesar 57,1%. Hal ini tidak didukung oleh penelitian Puspitasari (2012) yang mengemukakan bahwa peningkatan status gizi balita lebih banyak terjadi pada balita dengan ibu yang berumur ≥ 27 tahun. Hasil analisis uji chi square menunjukkan nilai p-value1,000 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara umur ibu dengan peningkatan status gizi balita. Hal ini didukung oleh penelitian Puspitasari (2012) yang menyatakan bahwa hubungan antara umur ibu dan perubahan status gizi secara statistik tidak bermakna. Penelitian ini (Tabel 5.) menunjukkan bahwa proporsi balita gizi kurus dan gizi sangat kurusyang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita dengan ibu yang berpendidikan tinggi (tamat SLTA/SMK keatas) sebesar 80,6%. Hal ini sejalan dengan penelitian Syuryatir (2001) yang mengemukakan bahwa peningkatan status gizi terjadi pada balita dengan ibu yang memiliki pendidikan tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan nilai pvalue 0,001 yang berarti bahwa adanya perbedaan yang bermakna (adanya hubungan yang signifikan) antara tingkat pendidikan ibu dengan peningkatan status gizi balita. Hal ini didukung oleh penelitian Djoko (1993) dan Alibbirwin (1997) dalam Jamilah (2005) yang Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 menyatakan ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan kenaikan berat badan anak balita. Hasil penelitian ini (Tabel 5.) menunjukkan bahwa proporsi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus yang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita dengan ayah yang bekerja sebagai pekerja kasar (buruh/pedagang/satpam/sales/cleaning service/supir/tukang sapu) yaitu sebesar 61,8%. Hal ini didukung oleh penelitian Yunarto (2004)yang menyebukan bahwa balitayang memiliki ayah yang bekerja sebagai buruh lebih banyak mengalami perubahan status gizi dibandingkan dengan ayah balitayang bekerja sebagai non buruh. Hasil analisis menunjukkan nilai p-value 0,486 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna (hubungan yang tidak signifikan) antara pekerjaan ayah dengan peningkatan status gizi balita. Hal ini didukung oleh penelitian Yunarto (2004) yang menyatakan Hasil uji chi square menunjukkan hasil yang tidak signifikan antara pekerjaan ayah dengan perubahan status gizi. Hasil penelitian (Tabel 5.) menunjukkan bahwa proporsi balita gizi kurus dan gizi sangat kurusyang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita dengan ibu yang tidak bekerja (hanya sebagai ibu rumah tangga) yaitu sebesar 58,5%. Hal ini didukung oleh penelitian Syuryatir (2001) yang mengemukakan bahwa peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita dengan ibu yang tidak bekerja (sebagai ibu rumah tangga). Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,163 yang berarti tidak ada perbedaan yang bermakna antara status ibu bekerja dengan peningkatan status gizi.Hal ini didukung oleh penelitian Syuryatir (2001) yang menyatakan bahwa uji statistik menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara pekerjaan ibu dengan peningkatan status gizi. Penelitian ini (Tabel 5.17) menunjukkan proporsi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus yang mengalami peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita dengan ibu yang patuh membawa balitanya berobat ke Puskesmas PPG rawat jalan yaitu sebesar 70,7%. Hal ini didukung oleh penelitian Irawan (2006), dimana ibu balita yang patuh dalam melakukan pengobatan pemulihan balita gizi buruk memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan yangtidak patuh. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p-value 0,008 yang berarti adanya perbedaan yang bermakna (hubungan yang signifikan) antara kepatuhan kunjungan PPG dengan peningkatan status gizi balita.Hal ini didukung oleh penelitian Irawan (2006) yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara kepatuhan dengan perubahan status gizi balita. Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 Kesimpulan 1. Ada perbedaan dalam peningkatan status gizi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus, yang secara statistik berhubungan (memiliki perbedaan yang bermakna) yaitu tingkat pendidikan ibu dan kepatuhan ibu dalam kunjungan PPG. 2. Karakteristik balita terhadap peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada balita umur < 12 bulan, jenis kelamin perempuan, dengan berat lahir < 2500 gram (BBLR), dan disertai adanya penyakit infeksi. 3. Karakteristik orang tua terhadap peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada ibu yang berusia <31 tahun, dengan pendidikan yang tinggi (tamat SLTA/SMK keatas), dengan ayah yang bekerja sebagai pekerja kasar (buruh/sales/pedagang/cleaning service/satpam/tukang sapu), dan ibu yang tidak bekerja (hanya sebagai ibu rumah tangga). 4. Perilaku ibu terhadap peningkatan status gizi lebih banyak terjadi pada ibu yang patuh membawa balitanya ke Puskesmas PPG untuk mendapatkan perawatan pemulihan gizi buruk, dalam hal ini dengan ketentuan minimal satu minggu sekali selama 3 bulan. Saran Bagi Dinas Kesehatan dan Puskesmas 1. Perlu ditingkatkan lagi food recall 24 jam pada saat pelacakan/validasi balita gizi buruk. 2. Kelengkapan merupakan faktor penting untuk mengetahui keberhasilan suatu program, sehingga form pelacakan/validasi balita gizi buruk dan form pemeriksaan klinis sebaiknya terisi lengkap. 3. Perlu ditingkatkan penyuluhan kepada ibu balita yang berisi pentingnya pemberian ASI dan tata laksana balita gizi buruk. 4. Perlu ditingkatkan pendampingan dari kader Posyandu dalam mengingatkan ibu untuk datang ke PPG. Bagi Peneliti Lain Hasil pada penelitian ini dapat membangun suatu hipotesis, dimana terdapat perbedaan yang secara statistik bermakna (signifikan) antara tingkat pendidikan ibu dan kepatuhan kunjungan PPG terhadap peningkatan status gizi balita gizi kurus dan gizi sangat kurus, oleh sebab itu, disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk: Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014 1. melakukan penelitian analitik untuk melihat hubungan sebab akibat yang lebih detail, dan 2. mengangkat faktor tingkat konsumsi energi balita, penyebab gizi buruk, dan kunjungan di Posyandu, untuk melihat kemungkinan adanya hubungan antara ketiga faktor tersebut dengan peningkatan status gizi balita. Kepustakaan Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Andewi. 2011. CFC Penatalaksanaan Gizi Buruk di Masyarakat. Dirjen Bina Gizi KIA: Kementrian Kesehatan Jakarta Atmakarta, Arum. 2007. Sasaran Pembangunan Nasional dan Proyeksi Prevalensi Gizi Kurang pada Balita sampai dengan Tahun 2025. Jakarta: Pertemuan Pembahasan Dampak Pembangunan Kesehatan sampan dengan 2025 Beck, Mary. 1995. Nutrition and Dietetic for Nurses. Diterjemahkan oleh Andry Hartono dan Kristiani. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica Departemen Kesehatan RI. 2000. Buku Panduan Pengelolaan Program Perbaikan Gizi Kabupaten/Kota. Jakarta: Katalog Dalam Terbitan Departemen Kesehatan RI ____. 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005: Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat. Jakarta: Katalog Dalam Terbitan Departemen Kesehatan RI Kementrian Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Badan Litbangkes Kemkes RI ____. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Litbangkes Kemkes RI Dinas Kominfo. 2013. Upaya Pemerintah Kota Depok dalam Menekan Gizi Buruk Balita. Diunduh dari www.depok.go.id pada 4 Desember 2013 pukul 20.11 Lilik. 2013. Pemkot Depok Peduli Gizi Balita. diunduh dari warta depok 2013 dalam http://www.depok-ku.com/135/ pada 1 Desember 2013 Maryunani, Anik. 2013. Asuhan Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Jakarta: Trans Info Media Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2008. Ilmu Gizi: Untuk Mahasiswa dan Profesi Di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. Soekirman, Susana, et al,. 2006. Hidup Sehat: Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia. Jakarta: Primamedia Pustaka Faktor-faktor yang…, Devita Ariestiana Prabowo, FKM UI, 2014