TINJAUAN PUSTAKA Zink Zink (Zn) merupakan mikromineral yang mutlak harus ada dalam pakan walaupun dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Menurut Underwood (1966), zink ditemukan dalam tubuh hewan pada tahun 1926. Pada tahun 1934 Bertrand dan Bhattacherjee menyimpulkan bahwa zink memiliki fungsi yang penting dalam pemenuhan mineral untuk mamalia dan unggas (Scanes 2004). Church (1988) menjelaskan bahwa zink terdapat dalam setiap jaringan tubuh dan konsentrasi tertinggi ditemukan di hati, tulang, otot, ginjal, pankreas, mata, kelenjar prostat, kulit, rambut, bulu, dan wool. Rasio konsentrasi Zn dalam sel dan plasma adalah 9:1. Konsentrasi Zn dalam plasma lebih sedikit dalam albumin (1/3) dan lebih banyak dalam globulin (2/3). Keberadaan Zn dalam sel darah merah sebagai komponen karbonik anhidrase. Zink memiliki peran dalam pembentukan, pertumbuhan, dan pemeliharaan sel-sel tubuh. Beberapa enzim di dalam tubuh hewan diketahui membutuhkan zink untuk melaksanakan fungsinya. Penambahan zink sebagai aktivator beberapa enzim (McDonald et al. 1926). Zn mengaktifkan beberapa enzim dan memegang peranan dalam menyusun RNA dan DNA. Zn juga sebagai aktivator beberapa sistem metalloenzyme dan ada kemungkinan bersama-sama dengan beberapa metal ion untuk mengaktifkan beberapa enzim. Penyerapan Zink dalam saluran pencernaan terjadi di usus kecil tepatnya di sel usus sekitar 5-40 %. Transfer Zn keluar dari saluran pencernaan mukosa sel ke plasma dikontrol oleh metallothionin, molekul zink yang kecil berikatan dengan protein dan disintesa untuk meningkatkan konsentrasi Zn dalam plasma (Church 1988). Kekurangan Zn sangat berpengaruh terhadap proses fisiologi seperti replikasi sel dan perkembangannya, pembentukan bulu pada unggas, pertumbuhan tulang, fertilitas, sistem kekebalan tubuh, keseimbangan elektron, dan tingkah laku (Klasing 2006). Menurut McDonald et al. (1926), kekurangan zink pada anak ayam ditandai dengan pertumbuhan yang lambat, kaki yang abnormal, bulu tampak kering dan kusam, parakeratosis, dan abnormalitas pertumbuhan tulang. Dermatitis juga dapat terjadi khususnya di daerah kaki dan menyebabkan pernafasan menjadi abnormal. Pada hewan lainnya dapat terjadi alopesia, dermatitis dan parakeratosis, hiperkeratosis, dan abnormal pada rambut dan wool. (Underwood 1966). Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian (Scanes 2004). Keracunan Zn pada pakan unggas dengan diet Zn dibawah 1 g/ kg dan di atas 2 g/kg pada ayam dewasa tidak pernah dilaporkan. Keracunan Zn biasanya terjadi karena mengkonsumsi jenis yang bukan berupa pakan seperti koin atau logam yang berlapis seng. Anemia, pertumbuhan terganggu pada anak ayam, dan kehilangan berat badan pada ayam dewasa merupakan akibat dari keracunan Zn. Kandungan yang tinggi pada pakan unggas (>2 g/kg) menyebabkan produksi telur berhenti (Klasing2006). Menurut McDonald et al. (1926), zink dapat diperoleh dengan mudah. Ragi merupakan sumber yang kaya akan zink dan ditemukan juga pada gabah padi serta biji padi-padian. Protein hewani seperti tepung daging dan ikan merupakan sumber yang kaya akan Zn dibandingkan dengan protein yang bersumber dari tanaman. Underwood (1966) menjelaskan bahwa Zink bersumber dari tanaman rumput-rumputan dan berbagai macam tanaman makanan ternak. Tanaman leguminosa dan tanaman makanan ternak lainnya kaya akan Zn dibandingkan dengan rumput-rumputan. Menurut Underwood (1966), batas konsumsi Zn yang aman perlu diperhatikan untuk mendukung kesehatan ternak dan pertumbuhan yang optimum. Resiko keracunan Zink dalam peternakan sapi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan peternakan babi dan unggas. Pada konsentrasi 1.000 ppm belum menunjukkan gejala sakit tetapi dalam konsentrasi yang lebih tinggi, akan menyebabkan pertumbuhan dan nafsu makan menurun, artritis, dan perdarahan pada saluran pencernaan. Kematian dapat terjadi di level 4.000 – 8000 ppm. Pada ayam broiler, level 1.200 – 1.400 ppm dalam diet belum menunjukkan gejala sakit tetapi pada level 3.000 ppm ditandai dengan pertumbuhan dan nafsu makan yang menurun. Bentuk umum dari Zink yang sering digunakan seperti oksida, sulfat, atau karbonat (Underwood 1966). Zink yang digunakan dalam penelitian ini adalah zink oxida (ZnO). ZnO tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam dan alkali. ZnO mudah diserap oleh tubuh, dapat diperoleh dengan mudah di pasar dengan harga yang terjangkau. ZnO merupakan mineral yang penting, dapat dijadikan sebagai bahan tambahan makanan karena sifatnya yang tidak toksik walaupun dikonsumsi dalam taraf yang relatif tinggi. Penambahan ZnO pada pakan basal biasanya tidak kurang dari 50-60 ppm. (Anonymous 2008b ; Underwood 1966). Bawang Putih Bawang putih merupakan bumbu dapur yang sering digunakan sebagai bumbu dasar untuk masakan Indonesia. Bawang putih diduga berasal dari Asia Tengah, Asia Barat dan daerah Mediterania, yang kemudian menyebar ke daerah Asia lainnya yang beriklim tropis (Wibowo 1999). Menurut Linnaeus dalam Syamsiah dan Tajudin (2003), klasifikasi ilmiah dari bawang putih adalah sebagai berikut: Kerajaan : Plantae Division : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Ordo : Monocotyledonae Familia : Liliales Subsuku : Liliaceae Genus : Allium Spesies : Allium sativum Linn Sejak ribuan tahun yang lalu bawang putih telah menyebar di Mediteranian Timur. Bangsa Yunani dan Roma menggunakan tanaman ini sebagai obat dan suplemen bagi budak-budak yang membangun piramid di Mesir, kemudian tanaman ini menyebar di India dan Cina (Walter et al. 2007). Menurut Walter et al. (2007), bawang putih adalah herba semusim yang memiliki ketinggian sekitar 30-60 cm dan banyak ditanam di daerah pegunungan yang mendapat sinar matahari yang cukup. Herba ini memiliki batang yang semu dan berwarna hijau. Bagian bawahnya bersiung-siung kemudian bergabung menjadi umbi besar berwarna putih atau merah ros. Tiap siung terbungkus kulit putih dan kalau diiris baunya sangat tajam. Daunnya berbentuk pita (pipih memanjang) yang terdiri dari 10-16 helai daun, berakar serabut dan bunganya berwarna putih. Gambar 1 Bawang Putih. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Bawang_putih (2008a) Daerah penyebaran bawang putih di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara Timur. Bawang putih tumbuh dengan baik pada ketinggian antara 600-1200 m di atas permukaan laut (Wibowo 1999). Bawang putih ditanam di tanah tegalan, pekarangan maupun di tanah sawah setelah panen padi. Pada tanah yang ringan, gembur (bertekstur pasir atau lempung), dan mudah meneteskan air (porous) dapat menghasilkan umbi bawang putih yang lebih baik dari pada tanah yang berat seperti liat atau lempung (Hilman et al. 1997). Menurut Melcher (2006), bawang putih mengandung senyawa aktif allicin (diallyl thiosulfinate) dan ajone yang berperan sebagai antimikroba (antibakteri dan antijamur). Kandungan allicin dan alliin yang berkaitan dengan daya anti kolesterol dengan menguraikan lemak dan lipid dalam darah. Daya ini mencegah penyakit jantung koroner dan tekanan darah tinggi. Bawang putih juga mengandung vitamin B dan C, serta beberapa mineral seperti fosfor, kalsium, kalium, dan besi. Allicin sebenarnya tidak ditemukan pada bawang putih, tetapi merupakan produk yang dihasilkan oleh kerja enzim alliin alkyl-sultenate-lyase terhadap alliin (asam amino non-protein S-allycyteine sulfoxide). Asam amino dan enzim tersebut disimpan dalam kompartemen seluler yang terpisah. Sewaktu tanaman ini terluka, pembatas antara kompartemen ini pecah dan alliin lyase mengkatalisis eliminasi beta dari alliin menghasilkan piruvat, serta amonia dan asam alilsulfenat. Kedua molekul ini secara spontan bereaksi membentuk allicin. Ajoene merupakan turunan dari allicin. Beberapa mikroba penyebab penyakit kronis dapat dihambat oleh senyawa-senyawa tersebut, misalnya Salmonella typhimurium penyebab penyakit tipus, Helicobacter pyterium penyebab maag (tukak lambung), dan Mycobaeterium tuberculosis penyebab TBC (Melcher 2006). Amagase (2006) menambahkan bahwa bawang putih juga berfungsi dalam meningkatkan sistem kekebalan, menurunkan resiko kanker dan melindungi hati. Kunyit Kunyit merupakan tanaman herba yang banyak digunakan sebagai bumbu dapur, obat dan komestika. Sejak ribuan tahun yang lalu kunyit telah dikembangkan di India kemudian menyebar di Asia Tenggara dan Cina. Pedagang dari Arab mengenalkan kunyit ke bangsa Eropa beberapa tahun kemudian (Walter et al. 2007). Menurut Valenton dalam Winarto (2003) kunyit memiliki klasifikasi ilmiah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermathopyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma domestica Val Kunyit tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 1 m dan berbatang semu. Bentuk batangnya bulat, berwarna hijau keunguan. Rimpang kunyit yang tua berwarna orange sedangkan tunas muda berwarna putih, membentuk rumpun yang rapat. Berakar serabut dan berwarna cokelat muda. Setiap tanaman berdaun 3-8 helai, panjang daun beserta pelepahnya sampai 70 cm, helaian daun berbentuk lanset memanjang, berwarna hijau dan hanya bagian atas dekat pelepahnya berwarna agak keunguan, panjang 28-85 cm, lebar 10-25 cm. Bunga muncul dari ujung batang semu dengan panjang 10-15 cm (Martha Tilaar Innovation Center 2002). Kunyit tumbuh dengan baik di daerah tropis dan subtropis dengan curah hujan 2.000 mm sampai 4.000 mm tiap tahun. Kunyit dapat pula tumbuh di daerah dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun, tetapi dengan pengairan yang cukup dan tertata dengan baik (Syukur 20002). Gambar 2 Gambar Kunyit . Sumber: http://enidra.multiply.com (2007a). Beberapa kandungan kimia dari rimpang kunyit yang telah diketahui yaitu protein (6,3%), lemak (5,1%), mineral (3,5%), karbohidrat (69,4%), minyak atsiri (5,8%), dan kurkumin (3-4%) yang menyebabkan warna kuning pada kunyit (Chattopadhyay 2004). Pengobatan tradisional India menggunakan serbuk kunyit untuk mengobati berbagai penyakit. Kurkuminoid menjadi pusat perhatian para peneliti yang mempelajari keamanan, sifat antioksidan, antiinflamasi, efek pencegah kanker, antidiabetes, dan lain sebagainya. Senyawa kurkuminoid telah diteliti kemampuannya untuk melindungi sel-sel, jaringan dan organ tubuh dari kerusakan yang diakibatkan radikal bebas dengan menetralisasi radikal bebas, dan mencegah pembentukan radikal yang baru. Curcumin diketahui dapat meningkatkan sekresi mucin pada kelinci. Peningkatan sekresi mucin tersebut merupakan suatu respon untuk melindungi saluran pencernaan dari paparan yang bersifat mengiritasi (Chattopadhyay 2004). Penyakit Marek Penyakit Marek adalah penyakit limfamatous pada ayam yang ditandai dengan terjadinya lymphoproliferative dan demielinasi saraf tepi. Penyakit Marek pertama sekali dilaporkan pada tahun 1907 oleh dokter hewan Hungaria yang bernama Jozsef Marek yang ditandai dengan kejadian paresis beberapa ayam yang disebabkan oleh infiltrasi sel-sel mononuklear pada saraf perifer dan saraf spinal. Penyakit Marek menyebar di USA pada tahun 1914 kemudian dilaporkan terjadi di Inggris, Belanda, dan hampir seluruh negara (Calnek et al. 1997 ; Jordan 1990). Penyakit Marek sering dilaporkan terjadi pada peternakan ayam yang menyebabkan kerugian yang sangat besar dari segi ekonomi. Virus dapat tinggal dalam lingkungan selama delapan bulan. Penyakit dapat menyebar melalui epitel bulu, kontaminasi dari jerami, saliva dan melalui saluran pernafasan. Transmisi virus Marek tidak terjadi secara vertikal dan penebaran dari induk ke anak melalui kontaminasi telur tidak dapat terjadi karena virus tidak tahan pada suhu dan kelembaban untuk inokulasi (Calnek et al. 1997). Menurut Calnek et al. (1997), masa inkubasi virus Marek sangat bervariasi dan tergantung dari strain virus, dosis, status kekebalan ayam, rute infeksi, umur, genetik, dan jenis kelamin ayam. Infiltrasi sel-sel mononuklear dapat ditemukan pada saraf dan organ lainnya ketika ayam yang terinfeksi virus Marek berumur sekitar 2 minggu. Gejala klinis dan lesio yang parah akan kelihatan ketika ayam berumur 3-4 minggu. Induksi tumor dapat diamati dalam waktu 10-14 hari setelah diinokulasi ke dalam tubuh ayam. Kematian dini juga dapat terjadi dalam waktu 8-12 hari pos inokulasi. Masa inkubasi virus Marek sulit untuk ditentukan, kadang-kadang penyakit terjadi pada ayam yang masih muda (berumur 3-4 minggu) dan kebanyakan kasus yang serius terjadi setelah ayam berumur 8-9 minggu. Gejala paralisis timbul pada ayam ketika ayam berumur sekitar 6-10 minggu. Ayam berumur sekitar 10-24 minggu merupakan usia yang rentan terkena penyakit Marek, walaupun dalam beberapa kasus gejala penyakitnya tidak tampak selama hidup. Kebanyakan unggas yang terkena penyakit Marek akan mati. Penyakit yang disebabkan Herpesvirus group B ditandai dengan adanya pertumbuhan sel yang abnormal di saraf perifer dan susunan saraf pusat. Oleh karena itu nama yang umum disebutkan jika unggas terkena Marek’s adalah kelumpuhan pada unggas. Penyakit ini juga menyebabkan lesio pada organ viscera dan berbagai organ lainnya. Lesio yang terjadi dapat berupa tumor. Gejala klinis yang timbul akibat infeksi penyakit Marek dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu bentuk akut (visceral) dan bentuk klasik yang bersifat kronis (Tabbu 2000). Jordan (1990) menjelaskan bahwa kematian akibat Classical Marek’ disease mencapai 10-15%. Tanda klinis tergantung pada efek akibat infeksi pada saraf tepi. Keterlibatan pada saraf di sayap dan kaki akan menyebabkan kelumpuhan pada daerah tersebut. Apabila virus menyerang nervus cervicalis maka ayam akan mengalami tortikolis dan jika menyerang nervus vagus atau nervus intercostalis maka akan menyebabkan gangguan pada pernafasan. Kematian akibat Acute Marek’s disease lebih tinggi dari pada Classical Marek’ disease yaitu mencapai 10-30% bahkan dapat mencapai 80% jika wabahnya meningkat. Banyak ayam yang mati secara tiba-tiba tanpa disertai gejala klinis. Gejala lain ditandai dengan kondisi ayam yang melemah sebelum mati dan beberapa ayam menunjukkan gejala paralisis yang mirip pada bentuk klasik. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit ini selalu dihubungkan dengan kejadian paresis asimetris yang progresif dan berlanjut dengan paralisis komplit dari satu atau lebih ekstremitas. Gejala paralisis yang ditimbulkan bervariasi pada setiap ayam. Kesulitan dalam bernafas juga dapat terjadi serta gangguan pada lokomotor sangat mudah dikenali, yaitu terjadi inkoordinasi saat berjalan. Paralisis pada kaki terjadi ditandai dengan salah satu kaki berada lebih depan dibandingkan dengan kaki yang lain. Paralisis pada saraf menyebabkan ayam tidak dapat berdiri dan jika semakin parah ayam tidak dapat makan dan minum. Ketika ayam diperiksa secara kasat mata maka akan terlihat gejala klinisnya namun dalam beberapa kasus gejala penyakit hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Gejala klinis yang tidak spesifik ditandai dengan terjadinya penurunan berat badan, kepucatan, anoreksia, dan diare. Pada kondisi yang kurang baik, kematian sering terjadi akibat kelaparan dan dehidrasi karena unggas tidak mampu mencapai makanan dan air atau dapat juga terjadi karena terinjak-injak oleh ayam lainnya dalam satu kandang (Calnek et al. 1997). Witter et al. (1999) menginokulasi highly virulent Marek’s disease virus strains pada ayam yang berumur 3 minggu. Pada hari ke 9 setelah inokulasi, tampak gejala klinis berupa paralisis pada sayap dan leher ayam. Vakuolisasi pada cerebellum dan cerebrum juga terlihat saat pengamatan secara mikroskopis. Secara mikroskopis penyakit dapat diketahui dengan terjadinya proliferasi sel limfoid yang akan berkembang menjadi tumor. Jenis keparahan dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe A, B dan C. Tipe A ditandai dengan lesio yang terdiri dari proliferasi sel limfoid serta adanya limfoblast dan limfosit yang berukuran kecil, sedang dan besar. Sel Schwann mengalami proliferasi dan terdapat sel plasma dan limfosit berukuran kecil. Tipe A merupakan awal terjadinya infeksi Marek. Demielinasi saraf terjadi pada tipe A dan B yang dapat menyebabkan kelumpuhan. Tipe B merupakan lanjutan dari tipe A dan biasanya terjadi pada ayam yang telah lama terinfeksi oleh virus Marek. Tipe C terdiri dari limfosit dan sel plasma serta tidak disertai gejala klinis (Jordan 1990). Differensial diagnosa penyakit Marek adalah Limfoid leukosis. Limfoid leukosis juga menyebabkan tumor pada organ dan jaringan tetapi tidak menyebabkan paralisis (Tabbu 2000). Menurut Jordan (1990), metode yang baik untuk mencegah penyakit Marek adalah memperhatikan manajemen pemeliharaan ayam dengan melakukan vaksinasi, isolasi ayam dari sumber infeksi dan memelihara ayam yang secara genetik memiliki sistem kekebalan terhadap virus Marek. Secara komersial, vaksinasi terdiri dari 3 serotipe yang dapat digunakan secara tunggal maupun dikombinasi. Dosis tunggal diberikan pada ayam berumur sehari (DOC). Vaksin serotipe 1 berupa strain onkogenik yang melemahkan, serotipe 2 berupa strain tidak virulen non onkogenik dan serotipe 3 atau Hervesvirus of turkey non onkogenik. Sampai saat ini, belum ada pengobatan untuk penyakit Marek untuk itu pencegahan merupakan langkah yang utama. Morfologi usus halus dan sekal tonsil Usus halus merupakan salah satu organ pencernaan yang sangat penting dalam proses pencernaan makanan. Usus halus terletak antara lambung dan usus besar yang merupakan tempat utama terjadinya pencernaan secara kimia dan penyerapan nutrisi. Struktur usus halus yang khas mendukung fungsinya untuk mencerna dan menyerap nutrisi. Menurut Gerrit & Bevelander (1988) usus halus terdiri dari empat selaput atau lapisan yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan adventisia atau serosa. Mukosa usus tersusun dari lapisan epitel silinder dan terdapat sel goblet. Mukosa usus dicirikan dengan adanya kripta Lieberkuhn atau kelenjar usus (Marshall 1979). Menurut Gerrit & Bevelander (1988), submukosa merupakan jaringan ikat longgar yang mengandung pembuluh darah dan saraf dari pleksuspleksus Heller dan Meissner. a Keterangan gambar : b c a. epitel vili (enterosit) b. lamina propria c. sel goblet d d. villus e. kripta Lieberkuhn e f. submukosa. f Gambar 3 Histologi usus halus normal. Sumber : http://www.cvm.okstate.edu (2007b) Pada duodenum mamalia terdapat kelenjar Brunner yang berfungsi untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh isi lambung yang asam. Kelenjar Brunner akan mengeluarkan cairan kental alkali. Tunika muskularis tersusun dari dua lapis otot polos, lapis dalam tersusun melingkar (inner circular layer) dan lapis luar tersusun memanjang (outer longitudinal layer). Di antara kedua otot tersebut terdapat pleksus saraf Auerbach. Adventisia atau serosa berupa suatu lapisan jaringan penyambung yang tertutup oleh mesotel. Fungsinya untuk menunjang kontraksi usus yang mencampur dan mendorong makanan (Gerrit & Bevelander 1988). Vili usus memegang peranan yang sangat penting dalam penyerapan sarisari makanan. Vili terdapat pada semua bagian usus dan memiliki ciri yang khas, bentuknya seperti jari dengan panjang sekitar 0,5 – 1,5 mm. Apabila dilihat di bawah mikroskop, masing-masing vili tampak terdiri dari suatu tonjolan dari lamina propria yang dikelilingi oleh epitel silindris selapis dan sel goblet. Vili di duodenum berbentuk daun, pada jejunum bentuknya tinggi dan agak membesar. Ileum memiliki vili yang lebih pendek dan berbentuk gada. Dalam tiap vili terdapat suatu limfatika sentral yang disebut suatu lakteal yang tersedia untuk penyerapan lemak-lemak tertentu dari saluran pencernaan terserap ke dalam lakteal (Gerrit dan Bevelander, 1988). Lamina propria adalah jaringan retikuler dan terdapat pembuluh darah, jaringan limfe, dan serat-serat otot polos yang berpencar. Jaringan retikuler dari lamina propria terdiri dari limfosit yang menyebar. Kelenjar tersebut dapat berukuran besar dan meluas bawah mukosa (Marshall 1979). Antar dasar-dasar vili terdapat kelenjar pencernaan yang meluas ke dalam bagian bawah mukosa yang disebut kelenjar Liberkuhn. Pada dasar tiap kelenjar terdapat sekelompok sel, sel-sel dari Paneth yang lebih besar jika dibandingkan dengan sel-sel sekitarnya dan mempunyai nukleus yang lebih pucat. Sitoplasmanya kadang-kadang lebih gelap atau kadang-kadang lebih terang daripada sel-sel sekitarnya. Sel Paneth mensekresikan lisozim. Sel-sel serupa dengan sel-sel Paneth juga dijumpai di bagian-bagian lain saluran pencernaan tetapi paling banyak ditemukan terdapat dalam usus kecil (Bevelander dan Ramaley 1988). Sel-sel kripta menyediakan sel-sel baru untuk permukaan vili untuk menggantikan sel-sel terbuang dalam lumen. Kelenjar brunner adalah lobus musin dengan sekresi yang ditujukan ke kelenjar kripta. Kelenjar brunner pada duodenum sangat banyak pada bagian awal. Jaringan limfoid tersebar luas dalam seluruh mukosa usus kecil. Pada ileum nodula terkumpul dalam kelompok– kelompok (bercak-bercak Payer) dan mengisi tidak hanya mukosa tetapi juga submukosa (Bevelander dan Ramaley 1988). Morfologi permukaan vili usus halus sangat berperan dalam menyerap nutrien bahan pakan, oleh karena itu morfologi usus halus harus mempunyai struktur yang optimal dalam menyerap nutrisi. Struktur tersebut dapat diamati sebagai performa vili usus halus. Performa vili usus halus dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis bahan pakan, zat kimia pakan dan feed aditif, serta gangguan pertumbuhan vili usus halus. Pakan tambahan juga dapat merusak struktur vili jika penambahannya mengganggu keseimbangan asam basa usus halus sehingga menyebabkan kerusakan usus halus (Rofiq 2004). Sekal tonsil merupakan jaringan limfatik yang terdekat dengan usus halus. Menurut Bacha (2000), sekal tonsil adalah jaringan limfoid di sekitar perbatasan sekum yang menyebar ataupun membentuk nodular di lamina propria ataupun submukosa. Menurut Pink (1976) dalam Roitt dan Delves (1992), struktur sekal tonsil mirip dengan usus buntu yang merupakan cabang usus dan berisi limfosit. Struktur organ ini ialah kripta, nodul limfatik (folikel limfoid), Musculus muscularis externa, ekstrafolikuler, epitel dan vili. Berdasarkan Dellman (1998), struktur sekal tonsil ayam mirip dengan struktur tonsil (palatine tonsil) di mamalia.