BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sejak dulu sudah dikenal adanya gangguan jiwa, misalnya dalam cerita Mahabarata dan Ramayana dikenal adanya “Srikandi Edan”, “Gatot Kaca Gandrung”. Pada zaman dahulu kala, perlakuan terhadap para penderita gangguan jiwa di Indonesia tidak diketahui dengan jelas. Bila beberapa tindakan terhadap penderita gangguan jiwa sekarang dianggap sebagai warisan nenek moyang kita, maka kita dapat membayangkan bagaimana penderita gangguan jiwa itu ditangani pada zaman dahulu. Misalnya dipasung, dirantai atau diikat lalu ditempatkan tersendiri di rumah atau di hutan (jika sifat gangguan jiwanya membahayakan). Bila tidak berbahaya, dibiarkan berkeliaran di desa, sambil mencari makanan dan menjadi tontonan masyarakat, ada juga yang diperlakukan seperti orang sakti, mbah wali atau medium (perantara antara roh dan manusia) (Yosep, 2009). Saat ini gangguan jiwa diidentifikasi dan ditangani sebagai masalah medis. American Psychiatric Assosiation (1994) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress (mis. Gejala nyeri) atau disabilitas (kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting) atau disertai peningkatan resiko kematian yang menyakitkan, nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan kebebasan (Videbeck, 2008). Ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organik. Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria, dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol, dan lain-lain. Kedua, gangguanmental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya karena salah dalam pola pengasuhan (pattern of parenting) hubungan yang patologis di 1 2 antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial atau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orang tua, hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain) (Yosep, 2009). Kesehatan jiwa dan gangguan jiwa seringkali sulit didefinisikan. Orang dianggap sehat jika mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat dan perilaku mereka pantas serta adaptif. Sebaliknya, seseorang dianggap sakit jika gagal memainkan peran dan memikul tanggung jawab atau perilakunya tidak pantas. Kebudayaan setiap masyarakat sangat memengaruhi nilai dan keyakinan masyarakat tersebut. Perilaku yang dapat diterima dan pantas dalam suatu masyarakat dapat dianggap maladaptif atau tidak pantas pada masyarakat lain (Videbeck, 2008). Hampir 1% penduduk di dunia menderita gangguan jiwa skizofrenia selama hidup mereka. Gejalanya muncul pada usia 15-25 tahun pada laki – laki, dan pada perempuan antara usia 25-35 tahun (Hadisukanto, 2010). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2010 ada 11,6% penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental atau berkisar 19 juta penduduk. Dimana 0,46% diantaranya bahkan mengalami gangguan jiwa berat atau sekitar 1 juta penduduk (Post, 2012). Sesuai dengan data yang diperoleh dari bidang rekam medik Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo (2010), menunjukkan bahwa 68% pasien rawat inap dari tahun 2005 sampai 2009 adalah pasien yang mempunyai riwayat pernah masuk ke rumah sakit jiwa sebelumnya, sebagian besar pasien mengalami halusinasi. Pasien dengan halusinasi diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua, dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena tingkat kekambuhan pada pasien 3 gangguan jiwa di wilayah kota Semarang sangat tinggi dibandingkan dengan jumlah pasien baru yang belum pernah mengalami gangguan jiwa sebelumnya (Felicia Risca Ryandini & Meikawati, 2011). Hasil laporan November 2011, pasien yang dirawat di Ruang VII (Hudowo) sebanyak 26 pasien gangguan jiwa diantaranya terdapat 6 pasien halusinasi pendengaran, 4 pasien halusinasi penglihatan, 4 pasien harga diri rendah, 3 pasien menarik diri, 5 pasien perilaku kekerasan, 2 pasien defisit perawatan diri, 2 pasien waham. Jika tidak segera ditangani, pasien dengan halusinasi akan mengalami gangguan dalam pengalaman sensorinya, pasien akan mengalami gangguan psikotik berat, yang akan beresiko mencederai diri, orang lain serta lingkungan. Perawat sangat berperan penting dalam penanggulangan banyaknya pasien gangguan jiwa khususnya pada penderita halusinasi, Pertolongan yang dilakukan oleh perawat adalah dengan melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi. Dari fenomena yang tertuang diatas, penulis tertarik untuk mengambil judul karya tulis ilmiah “Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Pasien Halusinasi Pendengaran di ruang VII (Hudowo) RSJD Amino Gondohutomo Semarang”. B. Tujuan Penulisan a. Tujuan Umum Tujuan umum penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu agar mahasiswa mampu memberikan Asuhan Keperawatan Jiwa pada Pasien Halusinasi Pendengaran, serta dapat mendokumentasikan hasil tindakan yang telah dilakukan. b. Tujuan Khusus 1. Mendiskripsikan, mengkaji dan menganalisa pasien dengan Halusinasi Pendengaran. 2. Memprioritaskan masalah keperawatan sesuai dengan urutan masalah yang muncul. 4 3. Menentukan diagnosa keperawatan pada pasien dengan halusinasi pendengaran. 4. Menentukan intervensi keperawatan pasien dengan halusinasi pendengaran. 5. Mengimplementasikan tindakan keperawatan yang telah disusun dalam bentuk pelaksanaan tindakan keperawatan yang telah ditetapkan. 6. Mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan berdasarkan tujuan keperawatan yang telah ditetapkan. C. Metode Penulisan Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan metode pengkajian pustaka, yaitu menjelaskan tentang halusinasi melalui data yang terdapat dari buku dan juga menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan proses keperawatan. Adapun teknik penulisan adalah diskriptif, yang merupakan gambaran kasus yang dikelola dengan cara pengumpulan data yang diperoleh saat pengkajian : 1. Wawancara Mengadakan wawancara dengan klien maupun dengan tim kesehatan mengenai data pasien halusinasi pendengaran. 2. Observasi partisipasi Dengan melakukan pendekatan dan melakukan asuhan keperawatan secara langsung pada klien dirumah sakit. 3. Studi dokumentasi Dokumentasi diambil dan dipelajari dari catatan medik, catatan perawatan untuk mendapatkan data-data mengenai perawatan dan pengobatan. 5 4. Studi kepustakaan Menggunakan dan mempelajari literatur medis maupun perawatan penunjang sebagai teoritis untuk menegakkan diagnosa dan perencanaan keperawatan. D. Sistematika Penulisan Bab I, berisi tentang pendahualan yang meliputi latar belakang masalah, tujuan penulisan serta metode penulisan. Bab II, berisi tentang konsep teori yang meliputi definisi, rentang respon halusinasi, etiologi, manifestasi klinik, pohon masalah, masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji, intervensi keperawatan, strategi komunikasi (SP). Bab III, berisi tentang tinjauan kasus yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, evaluasi. Bab IV, berisi tentang pembahasan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, evaluasi. Bab V, berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan dan saran. DAFTAR PUSTAKA