BAB I Postur PKS Sebagai Partai Kader: Situasi Dilematis Ataukah Langkah Inkosisten? A. Latar belakang Kajian ini dipicu oleh temuan dari disertasi Burhanudin Muhtadi (2012). Dia menunjukkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera terjebak dalam situasi dilematis ketika mencoba untuk bersungguh-sungguh memberlakukan ideologi yang diyakininya. Dilema ini adalah sebagai berikut. Di satu sisi, partai tersebut hendak mempertahankan dan memperjuangkan ideologi Islam yang mereka cita-citakan. Untuk itu PKS mendefinisikan dirinya sebagai partai kader. Di sisi lain, PKS hendak meraih suara sebanyak-banyaknya, sebagaimana partai-partai lain. Untuk itu PKS hadir sebagai partai massa. PKS menjadikan dirinya sebuah partai yang terbuka bebas bagi semua kalangan, untuk dapat meraih suara sebanyak-banyaknya. Dengan begitu, PKS bisa menguasai kursi di parlemen. Dalam konteks ini, ideologi Islam direduksi cukup menjadi sekedar identitas yang dibawa-bawa oleh pendukungnya. Yang penting, partai tersebut meraih simpati masyarakat dengan identitas partai Islam yang ia sajikan. Telaah yang dilakukan dalam studi ini dedikasikan untuk mendalami, kalau bukan meninjau ulang, thesis statement yang dipertahankan sebagai penanda kedoktoran Burhanudin Muhtadi tersebut di atas. Studi ini bermaksud untuk mendalami situasi dilematis yang dihadapi. Jangan-jangan, yang terjadi bukan jebakan yang dilematis, melainkan inkonsistensi. Jebakan itu, jangan-jangan bisa dihindari. Burhanudin Muhtadi (2012) melihat dilema yang dialami PKS bedasarkan perubahan drastis ideology yang dianut PKS. Merunut awal kemunculan PKS, embrio Partai tersebut muncul ketika runtuhnya Rezim orde baru. Dan membuat kebangkitan ideologi Islam di Indonesia. Pada zaman orde baru, tak banyak ideology yang berkembang. Semua harus tunduk pada rezim otoriter orde baru. Begitu pun ideology Islam. Semua pemikiran politik Islam disatukan dalam satu wadah partai bernama Partai Persatuan Pembangunan. Tak ada aliran dalam Islam yang bisa berkembang termasuk pemikiran kelompok Tarbiyah (Machmudi,2008). Tarbiyah merupakan Sebuah pemikiran Islam yang berlandaskan pada pemikiran Ikhwanul muslimin di Mesir. Tahun 1998 menjadi sebuah momen kelompok tarbiyah ini merancang ulang sebuah gerakan politik. Mereka berpikir untuk mempercepat gerakan Tarbiyah, menyebarkan nilai-nilai Islam berdasarkan prinsip Ikhwanul Muslimin, dan mewujudkan goal gerakan ini menjadikan Islam sebagai sebuah solusi (Munandar, 2011). Islam menjadi ustahziyal alam (pemimpin peradaban). Sayangnya kehadiran tarbiyah diindonesia hadir dimasa represif terhadap ideologi. Secara sembunyi-sembunyi aktivitas Tarbiyah berkembang. Pola nya adalah dari kampus ke kampus. Ia mengincar para aktivis yang ada di lembaga dakwah kampus Indonesia (Aidulsyah, 2015). Sampai akhirnya rezim itu tumbang dan gerakan sosial di kampus itu berubah menjadi gerakan politik praktis. Yaitu partai politik. Langkah taktis dibuat guna merubah gerakan sosial ini menjadi sebuah gerakan politik. Pada akhirnya anggota partai sepakat untuk membentuk partai politik. Nama partai keadilan dipilih. Grand design dirancang oleh orang orang yang dulu nya sebagai aktivis Tarbiyah. Mereka berpikir bagaimana cara untuk menelurkan gagasan Islam ala Ikhwanul Muslilmin ditengah masyarakat yang indonesia yang heterogen. ustadz Abu Ridho (1998), menyebutkah bahwa PK (Partai Keadilan) adalah partai kader. Dimana Member Partai Keadilan menjadi salah peenggerak roda partai. Semangat menelurkan ideologi Islam menjadi landasan utama partai ini berdiri. Capaian partai dari segi elektoral memang tidak signifikan. Namum gaungnya membuat partai ini menjadi sebuah poros tengah di politik indonesia. kurang dari sepuluh persen pemilih PKS semenjak mengikuti kontestasi pemilihan umum. (LSI,2012). Anis Matta (2012) mengatakan untuk menjadikan PKS menjadi sebuah partai besar bahkan menjadi partai penguasa, PKS haruslah membuka lebih lebar basis konstituensinya Kongres yang dilakukan PKS pada tahun 2008 menjadi titik awal. PKS memulai sebuah langkah dilematis. Kenaikan suara yang dialami PKS tidak terlalu signifikan. Hanya 1 persen dari pemilu sebelumnya. Namun PKS mendapat label buruk dari berbagai macam pengamat politik maupun masyarakat umum. Alasannya kebijakan yang diambil PKS menjadi sebuah partai terbuka adalah keputusan yang tidak tepat. Beberapa kader internal mulai membalik badan dari partai tersebut. dilema yang dialami PKS menjadi semakin besar, karena disatu sisi identitas Islam tidak dilepas. Namun pengurus partai tetap bersikukuh bahwa kekuasan politik adalah target utama kemenangan politik. Suara yang sebanyak banyak nya menjadi sebuah langkah taktis yang harus di dapat. Identitas Islam dan haus untuk kekuasaan. Ini adalah hal yang kontradiktif bagi partai ini. Di satu sisi penulis melihat jauh kebelakang ketika partai keadilan sejahtera di dirikan. Pada tahun 1999 terjadi sebuah polemik yang terjadi anatara dua kubu. Ada yang disebut „kader tarbawi’ dan dan ada pula „kader siyasi‟ dalam Jamaah Tarbiyah. Dua pilihan sulit ketika era reformasi, apakah gerakan Tarbiyah ini akan menjelma menjadi sebuah institusi demokrasi, atau berjalan seperti yang saat ini dijalankan (Munandar, 2011). Lebih jelasnya, apakah Jamaah Tarbiyah tetap menjadi sebuah gerakan sosial atau ia menjadi sebuah partai politik. Visi besar jamaah ini adalah menjadi ustaziyal alam/memberi tolak ukur dari dunia, untuk menjadi bagian dari dunia. Mereka harus masuk ke dalam ranah suatu Negara. Dan institusi formal, bagi sebuah organisasi politik ialah partai politik. Penolakan terjadi dikarenakan sebuah larangan untuk mencampur adukan sesuatu yang baik dan yang buruk. Cita cita mengaungkan nilai Islam kepada dunia adalah niat yang baik sedangkan system demokrasi adalah suatu yang bertentangan dengan nilai Islam (Gustomy,2000). Musyawarah menjadi metode para kader untuk memutuskan dua pilihan sulit ini. Pada tahun 1998 dideklarasikanlah sebuah partai politik dengan nama partai keadilan, yang dikemudian hari berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Forum syuro memutuskan untuk menjadikan gerakan Tarbiyah menjadi sebuah partai poltik. Struktur organisasi di bentuk. System organisasi kepartaian dibentuk. Termasuk di dalamnya system kaderisasi partai, yang di kemudian hari menjadi andalan partai ini dalam mendulang suara. Mendapatkan suara dukungan dengan segala cara apapun adalah sebuah pragmatisme politik. ketika sebuah partai sudah memiliki nilai dan identitas, pragmatisme adalah sebuah kesalahan besar (Burhanudin Muhtadi, 2012). Namun dalam kegiatan berpartai, mendapatkan suara terbanyak adalah sebuah tujuan didirikannya sebuah partai politik. Maka pilihan untuk melakukan pragmatisme politik adalah sebuah keniscayaan. Sebuah pilihan wajar yang akan dilakukan setiap partai politik yang mengikuti elektoral. Tak peduli apapun identitas yang partai politik kenakan. Membenturkan identitas dengan pragmatisme politik adalah sebuah pilihan lumrah. Akan tetapi identitas Islam menjadi sorotan lebih tajam bagi masyarakat. Islam dicitrakan sebagai suatu yang bersih, suci, dan terbebas dari sesuatu yang negatif sekecil apapun. Maka dari itu partai politik yang membawa identitas Islam harus menemukan sebuah format ideal untuk menghindari semua label itu. Partai politik Islam harus membuat langkah yang tepat ketika akan memasuki politik praktis. Langkah tepat itu dimulai ketika mendirikan partai politik. Partai politik Islam membawa sebuah nilai yang ingin disebarkan kedalam masyarakat. Dengan nilai yang ia bawa ia mampu memberikan warna dalam kehidupan politik di sebuah Negara. Kaderisasi partai politik menjadi kunci bagi partai Islam jika ingin menggapai cita cita tersebut. Kaderisasi partai merupakan follow up yang dilakukan partai politik setelah melakukan rekrutmen politik (Rahmat,2008). Dengan melakukan kaderisasi sebuah partai dapat memasukan nilai nilai kepartaian dalam setiap member partainya. Dan partai Islam, jika ingin menggapai cita cita partai nya haruslah melakukan kaderisasi yang konsisten kepada kaderkadernya. Pembentukan system kaderisasi partai dimulai sejak sebuah partai didirikan. Ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi setiap partai Islam yang terjun langsung ke politik praktis. Sebuah partai harus membagun sebuah konsep kaderisasi yang konsisten. Nilai-nilai Islam tersampaikan kepada anggota partai. dan menjadi warna bahkan menguasai gagasan sebuah Negara. B. Rumusan masalah Atas dasar di atas penulis mencoba mengungkapkan terkait Konsep partai kader, dengan studi kasus Partai Keadilan Sejahtera dalam membangun partai kader di indonesia. Bagaimana perubahan bentuk Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai kader? C. Kerangka Teori: Dua Model Partai Kader, Masing-Masing Sebagai Pilihan Utuh Partai Kader Public Area Office Party Ground Policy-Seeking Vote-Seeking HEGEMONI DOMINASI Bagan 1.1 dua model partai kader Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, studi ini menggunakan kerangka teori dua model partai kader, masing–masing sebagai pilihan utuh. Partai politik memiliki tiga pilihan orientasi dalam meraih kekuasaaan. Pertama orientasi kebijakan/policy-seeking party. kedua, orientasi suara/vote-seeking party. Ketiga, orientasi jabatan/office-seeking party (Wolinetz,2002). Tetapi dengan pilihan orientasi manapun, partai harus berbasis office/pengurus partai. Dengan begitu , bagi partai kader opsinya hanya dengan dua pilihan. Mengejar hegemoni dengan policy-seeking ataukah mengejar dominasi melalui jalur vote-seeking. dua pilihan tersebut kemudian penulis jabarkan menjadi dua model partai kader. Partai kader hegemoni dan partai kader dominasi. Model Pertama ialah model partai kader hegemoni. Model ini menunjukan Keniscayaan partai kader ialah memperoleh suara melalui perjuangan ide dan gagasan. Keberadaan partai kader di ranah negara akan membangun sebuah hegemoni. seperti yang dikemukakan oleh Anthony Gramsci (1999), bahwa hegemoni berasal dari kata eugemonia, yang berarti sebuah penyebaran cita–cita, visi, dan nilai secara luas hingga akhirnya mengakar dalam sebuah negara dan mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat. Kehadiran partai kader di dalam ranah negara, meng generate produk yang di hasilkan partai politik di level office. Peranan tersebut dimainkan oleh aktor partai di ranah negara/publik area. Aktor partai di ranah tersebut berusaha mengadvokasi kebijakan-kebijakan berbasis ideology partainya. Lewat performance politik seperti itulah sebuah partai kader idealnya mendapatkan dan menduplikasi suaranya. Maka, orientasi ideal sebuah partai kader ialah policy-seeking. Orientasi demikian membuat partai politik tidak lagi berbicara perolehan suara mereka. Namun sejauh mana value dari partai politik tertuang dalam kebijakan sebuah Negara. Model kedua ialah model partai dominasi. Model partai ini merupakan sebuah model alternative dan kecenderungan partai politik menggunakan model ini. Hal tersebut dikarenakan setiap partai politik beriorientasikan kekuasaan. Sistem demokrasi membuat partai politik bersaing untuk mendapatkan kekuasaan tersebut harus mengikuti pertarungan pemilu. Partai politik berupaya semaksimal mungkin untuk mendapat suara sebanyak-banyaknya. Upaya memperebutkan suara ini dikatakan oleh mosca (1993) untuk saling sebagai jalan meraih dominasi. Maka instrument yang tepat dilakukan partai politik ini adalah perwujudan orientasi partai vote-seeking. Sebuah partai kader yang menjalankan pola demikian berasumsikan nilai partai akan diimplementasikan jika partai sudah mencapai dominasi politik. Kerangka Teori ini merupakan rangkaian dua teori yang tidak pernah di pakai sekaligus. Yang pertama adalah teori tiga wajah partai. Dan yang keduateori orientasi partai politik. konsep tiga wajah partai mengatakanbahwaPartai apapun harus hadir dalam tiga wajah tersebut, yakni di level Negara, level organisasi partai, dan level grassroot/ konstituen. Aktualisasi konsep partai kader, pada dasarnya adalah upaya untuk memastikan ada korespondendi antara yang dikehendaki rakyat di wajah grassroot/konstituen dengan apa yang diputuskan di wajah Negara. Dan hal ini merupakan hal yang seharusnya terjadi. Partai politik menjadi jembatan/linkage antara masyarakat dan negara. hal tersebut dinamakan segitiga politik, C.1 Teori Orientasi Partai Politik Penulis juga tidak bisa menafikan, dalam teori kekuasaan. Konsep kekuasaan tidak hanya sebagai kekuasaan wacana. Partai politik juga mencari kekuasaan yang bersumber dari partai di ranah grassroot. ada representasi massa, dan jalur ini optimal ketika representasi menghasilkan suara mayoritas, atau dominasi. Wolinetz (2002) mengemukakan skema kategorisasi bedasarkan orientasi partai, yaitu partai pejuang kebijakan (the policy-seeking party), partai pengejar suara (the vote-seeking party), dan partai pengejar jabatan public (the office-seeking party). The policy-seeking party adalah partai yang berorientasi pada isu memprioritaskan artikulasi kebijaknnya dibandingkan merebut suara pemilih atau menduduki jabatan-jabatan public. Dengan demikian, terdapat sejumlah anggota yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap sebagian atau seluruh tujuan partai. The vote-seeking party adalah partai yang berorientasi pada pemenangan pemilu, sehingga hal-hal lain, termasuk kebijakan dan jabatan public yang dikejar disesuaikan dengan tujuan tersebut, organisasi disusun minimalis, terdiri dari professional partai, kandidat, dan calon kandidat, yang dapat dibantu oleh sejumlah relawan sesuai kebutuhan. The office-seeking party adalah partai yang berorientasi menduduki jabatan-jabatan publik. Baik dengan kekuatan sendiri. Maupun berkoalisi dengan kekuatan politik lain. Baik dengan tujuan mempertahankan diri, menyeimbangkan system politik yang bekerja, atau memperoleh akses terhadap patron. Dengan demikian, partai jenis ini tidak akan berkomitmen terhadap kebijakan atau strategi yang akan membuat kekuatan-kekuatan politik lain enggan berkoalisi dengannya. Partai jenis ini tidak cocok bagi para kader ideologis, dan lebih mampu mempertahankan para pemburu jabatan. Dalam partai ini, kecenderungan faksionalisasi untuk memperebutkan sumber daya partai akan semakin kuat sejalan dengan bertambah besarnya ukuran partai. D. Metode Penelitian D.1 Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kualitatif. Hal tersebut dilakukan karena dengan menggunakan kualitatif maka peneliti mampu menjawab rumusan masalah dengan lebih komperhensif. bentuk kegagalan PKS dapat dibedah dengan metode penelitian ini. Metode penelitian Kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari orang–orang dan perilaku yang diamati (Bognan & Taylor, 1994) Dalam menggunakan penelitian kualitatif ini, penulis melakukan beberapa tahapan penelitian. Pertama, akan dilihat bagaimanakah PKS terbentuk. Mulai dari konflik saat ia menjelma dari gerakan social menuju partai politik. dan bagaimana ia merencakan sebuah platfrom dan nilai kepartaian serta menerapkan semua hal itu dalam aktivitas politik di era demokrasi. Kemudian penulis memberikan gambaran perjalan PKS dalam beberapa dekade waktu, termasuk di dalamnya jumlah peningkatan kader dari massa ke massa. Dan terakhir penulis mencoba melihat sebuah kegamangan pks dalam menjalankan aktivitas politik yang melenceng dari nilai dan platfrom partai. dalam mengungkapkan data dan fakta yang penulis dapatkan. Ada sebuah subjektifitas penulis dalam mencari kebenaran dari jawaban yang ada. Sehingga dalam pengambilan data penulis dapat lebih spesifik menemukan sebuah jawaban. Dalam pilihan penggunaan metode penelitian kualitatif, penulis menggunakan teknik studi kasus. Karena dengan menggunakan teknik study kasus, peneliti dapat terlebih dahulu mengikuti dan memahami konsep partai politik Islam dalam tubuh PKS. Penulis mendapatkan data dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Yogyakarta dan DPW serta Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKS regional Jakarta. Dua wilayah, Jakarta dan jogja dapat memberikan sebuah kesesuaian sistem kepartaian yang dianut PKS secara nasional. Penggunaan teknik studi kasus juga dengan pertimbangan bahwa nantinya akan mempermudah peneliti dalam mengeksplorasi data–data yang diperoleh yakni dengan mengaitkannya satu sama lain jawaban yang nantinya didapatkan menjadi sebuah hasil penelitian yang mampu dipahami secara mudah oleh penulis dan pembacanya. Karena dengan menggunakan teknik studi kasus yag mengacu pada serangkaian prosedur yang ada dalam teknik tersebut, peneliti akan dimudahkan memperoleh data yang nantinya diarahkan untuk merumuskan sejumlah pertanyaan penelitian yang sifatnya menggunakan kata tanya “mengapa dan bagaimana”. Penggunaan kata– kata tanya tersebut, akan mengarahkan peneliti untuk dapat mengungkapkan fakta tersembunyi yang berkaitan dengan strategi politik yang digunakan oleh partai. Selain itu penggunaan teknik studi kasus dalam penelitian ini juga akan mempermudah penulis memilah–milah data diperoleh. Hal ini di karenakan menggunakan teknik study kasus memberikan kebebasan bagi penulis untuk secara fleksibel menggunakan semua strategi pengumpulan data mulai dari wawancara, observasi dan dokumentasi yang sekiranya dapat membantu peneliti mendapatkan data yang ingin diperoleh, sehingga nantinya dapat memilah dari semua data yang didapatkan, sumber data manakah yang benar–benar relevan untuk digunakan. D.2 Jenis dan sumber data Penelitian ini menggunakan sumber data dari: 1. Person. Merupakan data yang diperoleh dari orang yang benar – benar mengetahui tentang seluk -beluk partai. Sehingga sumber data yang digunakan didapatkan dari kader partai, simpatisan partai, pengurus partai di tingkatan baik itu tingkatan Dewan Pimpinan Ranting (DPRA), Dewan Pimpinan Cabang (DPC), DPD, DPW di DKI Jakarta, DPW PKS DIY maupun level pusat yaitu DPP PKS. 2. Tempat. Tempat diperolehnya data adalah di kantor PKS di berbagai tingkatan. Mulai dari kantor pusat hingga level ranting. 3. Paper. Dengan melakukan studi kepustakaan, di mana data diperoleh melalui berbagai literatur dan dokumen yang mempunyai kaitan dengan tema yang sedang diteliti. Dari ketiga sumber data tersebut, Penulis memperoleh 2 jenis data, yakni: 1. Data primer Data yang diperoleh secara langsung dari kegiatan pengamatan dilapangan. Data ini biasanya berupa data wawancara dengan responden dan observasi. Di mana data yang di dapatkan dari wawancara dengan responden cenderung lebih subyektif karena merupakan persepsi dari pribadinya sendiri. 2. Data Sekunder Merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung oleh peneliti dilapangan, yakni berupa berbagai macam literatur dan dokumen yang berkaitan dengan tema penelitian. Penggunaan data sekunder akan sangat membantu bagi peneliti, karena sifat datanya yang berasal dari literatur dan dokumentasi yang relatif lebih obyektif. D.3 Teknik pengumpulan data yang akan digunakan: 1. Wawancara Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara . wawancara di awali dengan pengurus DPW PKS regional DIY dimana penulis menuntut ilmu di kota jogja. Disana penulis bertemu dengan pak Sugeng, pak Zuhrif Hudaya, dan pak Sukamta. Kemudian penulis beralih kepada pengurus PKS level ranting, kecamatan daerah dan wilayah. Penulis berteman cukup baik dengan para pengurus. Di mana tempat kelahiran penulis berada di kota ini. dua kota ini menjadi representative tempat penelitian penulis untuk mengetahui sebuah cerita tentang berdiri dan berkembangnya PKS. Termasuk di dalam nya hambatan dan kendala yang dialami PKS. Di akhir wawancara penulis juga melakukan konfirmasi terhadap PKS tingkat Pusat. Penulis bertemu dengan Ustadz Muhayar dan Ustadz Ibnu Sabil yang berada di bagian kaderisasi tingkat pusat. Guna mengkonfirmasi data-data yang penulis dapatkan di tingkat regional. Dengan mengunakan tiga wawancara tersebut, penulis dapat melihat aktivitas politik yang dilakukan oleh PKS dalam pemilukada dan peranan kaderisasi didalamnya. Namun penulis juga akan menggunakan teknik observasi secara terbatas dengan melihat bagaimana gestur tubuh responden ketika di wawancarai guna menilai apakah perkataan yang dia sampaikan bisa dijadikan sebagai data utama / data pendukung penelitian. 2. Dokumentasi Dalam penelitian ini penulis fokus untuk mencari dan mengumpulkan semua data tentang PKS dan kaitannya dalam dinamika politik yang dialami PKS, baik dalam internal maupun eksternal.Terutama dokumen – dokumen partai yang mencakup tentang pemetaan gagasan partai, serta perkembangannya dalam sistem kepartaian di indonesia. Yang tak luput penulis kumpulkan juga berkaitan dengan data kaderisasi partai. D.4 Teknik analisa data Analisa data pada intinya adalah proses untuk memahami dan membaca semua data yang di peroleh, baik itu data primer /sekunder. Kegiatan ini dilakukan untuk menyederhanakan data yang diperoleh agar lebih mudah dirunut secara terstruktur sesuai dengan urutan keutamaan data yang paling relevan untuk digunakan sebagai data penelitian. Materi data yang terkumpul di kumpulkan satu–persatu sesuai dengan keutamaan data mulai dari yang primer hingga sekunder. Analisis data primer dimulai dengan mengumpulkan semua data wawancara yang selanjutnya dibuatkan transkip wawancara secara utuh dan mudah dipahami, dengan tidak melupakan latar belakang responden yang di wawancarai. Latar belakang responden akan sangat berpengaruh karena berkaitan dengan mengapa responden berani mengatakan seperti itu, posisi apakah yang sedang dia emban dalam partai, dan kewenangan apakah yang dia punyai sesuai dengan struktur jabatan di dalam partai lalu di perbandingkan dengan observasi terbatas yang telah dilakukan. Sehingga nantinya dapat dikategorisasikan data primer yang ada menjadi data primer utama dan biasa. Selanjutnya melakukan analisis data sekunder yang pada intinya untuk menguatkan analisis data primer yang telah dilakukan. Yakni dengan mengkategorisasikan semua dokumen, litaratur dan laporan media yang diperoleh. Dimulai dari yang paling berkaitan dengan tujuan penelitian hingga yang paling tidak berkaitan. Untuk memperkuat analisis juga bisa dilakukan konfirmasi dengan pengurus partainya, apakah data yang ada benar – benar merupakan sesuatu yang terjadi di dalam tubuh partai. Terakhir melakukan cross check antara data primer dan sekunder apakah sesuai dan secara rasional dapat di terima. Yang pada akhirnya dapat dilakukan penafsiran secara komprehensif oleh peneliti dengan mengkaitkan dan menghubungkan semua data yang diperoleh, sehingga akan menuntun pada kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.