1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Berbeda

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Berbeda dengan krisis tahun 1997, krisis ekonomi tahun 2010 dan 2012 telah
menyebabkan beberapa negara maju termasuk negara-negara yang tergabung dalam masyarakat
Uni Eropa seperti Yunani, Italia, Spanyol mempunyai beban utang yang tinggi dan cenderung
mengalami gagal bayar (default) sehingga cenderung menuju ketidakstabilan fiskal. Penerapan
fiskal yang agresif mengakibatkan ruang fiskal (fiscal space) makin sempit untuk berperan
sebagai kebijakan makro yang efektif. Walau bank-bank sentral telah melakukan penurunan
tingkat suku bunga hingga mendekati 0 persen, kebijakan moneter gagal meningkatkan output
(Blanchard, et al.,2010). Dominasi moneter dengan mengabaikan kebijakan fiskal yang agresif
dianggap sebagai penyebab krisis ekonomi. Menurut Bank Dunia, kondisi ini bisa menjadi pintu
masuk untuk mengevaluasi kembali peran kebijakan fiskal dalam perekonomian yang selama ini
dianggap hanya sebagai sumber inflasi (inflationary) dan mendistorsi perekonomian (Tcherneva,
2008).
Hubbard et al., (2012:408) menjelaskan terdapat dua masalah fiskal yang akan dihadapi
negara-negara di masa mendatang yaitu volume utang yang tidak terkendali dan defisit anggaran
yang sulit dicapai. Masalah fiskal ini akan terus meningkat seiring dengan peningkatan harapan
hidup dan tingginya pengeluaran pemerintah untuk membiayai program-program kesejahteraan
masyarakat. Kondisi ini menyebabkan efektifitas kebijakan fiskal berkurang karena ruang fiskal
(fiscal space) terbatas. Untuk mengurangi beban fiskal tersebut beberapa negara melakukan
pengetatan anggaran, misalnya Amerika Serikat pada tahun 2013 mengetatkan anggarannya
1
hingga $85 milyar, Inggris melakukan program pemangkasan defisit anggaran hingga 25 persen
disertai dengan menciptakan lapangan kerja baru, dengan harapan kebijakan fiskal dapat
menstabilkan kembali perekonomiannya (Kompas, 2012).
Efektifitas kebijakan fiskal dalam memperbaiki perekonomian masih diperdebatkan
hingga saat ini, namun secara empiris efektivitas kebijakan fiskal telah dibuktikan di China,
India dan Eropa Timur. Negara-negara ini telah menerapkan kebijakan fiskal pro-cycle sebagai
kebijakan utama dan hasilnya negara-negara ini mampu mengatasi krisis yang terjadi (Blanchard
et al., 2010).
Telah terjadi perubahan paradigma secara fundamental pada penerapan kebijakan fiskal
saat ini, yaitu dari kerangka kerja kebijakan fiskal yang bersifat diskresi menuju kebijakan fiskal
kaidah. Menurut Blejer dan Adrienne (1991) kebijakan fiskal diskresi adalah tingkat defisit yang
dikontrol pemerintah, sementara Rahutami (2007:33) menjelaskan kebijakan diskresi yaitu
kebijakan yang dibuat hanya didasarkan pada penilaian dan pertimbangan tertentu. Depkeu
(2012,89) menjelaskan kebijakan dikresi sebagai suatu besaran yang sengaja dibuat untuk
mengantisipasi gejolak dalam perekonomian yang terjadi, dan paket-paket stimulus fiskal adalah
contoh penerapan diskresi fiskal tersebut. Sebaliknya, kebijakan kaidah fiskal menurut Kopits
dan Symansky (1998) adalah, pemerintah membuat batasan atau target tertentu yang permanen
dalam bentuk indikator kinerja fiskal, seperti batasan defisit anggaran, batasan jumlah utang
pemerintah, batasan pinjaman serta komponen utama fiskal lainnya. Menurut Santoso (2011:50)
penerapan kebijakan kaidah adalah menetapkan besaran tertentu dari suatu target kebijakan yang
akan dicapai secara independen tanpa mempersoalkan kondisi perekonomian. Besaran tersebut
bertujuan untuk memagari pemerintah dalam melakukan agresifitas fiskal sehingga tidak keluar
2
dari prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran. Konsep ini untuk menghindari resiko
kegagalan bayar (default) melalui disiplin fiskal.
Disiplin fiskal melalui pembatasan defisit anggaran merupakan 1 dari 10 prinsip dalam
Washington Consensus yang diinisiasi oleh John Williamson pada tahun 1989. Walaupun
memang tidak secara tegas disebutkan batasan defisit anggaran yang harus dipatuhi pemerintah,
namun prinsip ini dianggap mampu melindungi inflasi dan ancaman neraca pembayaran. Prinsip
untuk menjalankan fiskal secara disiplin juga diterapkan oleh negara-negara di kawasan Uni
Eropa dengan menerapkan konsep Maastricht Treaty yang secara tegas menyebutkan batas
maksimal rasio utang pemerintah yaitu tidak lebih dari 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB)
dan menjaga defisit anggaran maksimal 3 persen PDB (Wickens, 2008:97). Konsep ini mulai
diperkenalkan tahun 1992 yang kemudian diperluas dengan konsep Stability Growth Pact (SGP)
pada tahun 1997. Konsep ini dipergunakan di beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Secara empiris, penerapan batas rasio utang pemerintah dan defisit anggaran ini dibuktikan oleh
Alesina and Perotti (1995) yang menemukan konsep ini mampu mendorong konsolidasi fiskal
yang sifatnya jangka panjang. Shick (2010) juga mendukung penerapan kaidah fiskal ini karena
selain dapat menstabilkan perekonomian, penetapan target fiskal yang tepat dan akurat akan
memperbaiki kinerja perekonomian. Blanchard et al., (2010) dan Favero dan Monacelli (2005)
menyarankan agar penerapan kaidah fiskal diterapkan dalam perekonomian untuk menjaga
stabilitas output. Secara empiris, selama 15 tahun negara-negara yang tergabung dalam the
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menggunakan kaidah fiskal
(fiscal rule) untuk menstabilkan perekonomian dengan tujuan meningkatkan
output
dan
menjaga kesinambungan fiskal.
3
Konsep pengelolaan utang melalui penerapan batas maksimal rasio utang pemerintah
mengindikasikan bahwa pemerintah dapat terus menambah utang sepanjang rasio utang terhadap
PDB tidak melebihi 60 persen dan rasio defisit anggaran terhadap PDB masih lebih rendah dari
3 persen PDB. Permasalahannya adalah, selama PDB meningkat maka utang pemerintah dapat
terus meningkat, sementara utang harus dibayar. Tingginya beban utang ini akan mengurangi
keleluasaan pemerintah mengalokasikan anggarannya. Jika pemerintah tidak bisa mengendalikan
agresifitas fiskal ini, dikhawatirkan akan mengancam kesinambungan fiskal dan mempengaruhi
kinerja perekonomian. Secara empiris, Reinhart et al., (2012) menemukan ada hubungan
simultan antara beban utang yang tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, di mana
negara-negara dengan rasio utang pemerintah yang melebihi
mengalami stagnasi sebaliknya pertumbuhan ekonomi
90 persen PDB cenderung
yang rendah akan mengganggu
pembayaran utang. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah akibat utang, Kumar dan
Woo (2010) juga menemukan bahwa setiap peningkatan 10 persen rasio utang pemerintah
terhadap PDB, akan menurunkan 0,2 persen pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya. Secara
empiris kelemahan konsep pengelolaan utang seperti ini telah membawa negara-negara Uni
Eropa menuju ketidakstabilan fiskal, seperti yang dialami Yunani, Italia, Portugal dan Spanyol.
Keynesian mengusulkan kebijakan stabilisasi fiskal yakni peningkatan defisit anggaran ketika
perekonomian sedang mengalami pengangguran, sebaliknya ketika pengangguran berkurang
defisit anggaran harus dikurangi (Farmer,2002:311). Menurut Farmer, penambahan utang yang
akan dilakukan pemerintah harus disesuaikan beberapa faktor yakni dengan kemampuan
membayar termasuk pajak yang berhasil dikumpulkan, PDB, ukuran relatif utang dan defisit
anggaran. Bahkan untuk menghindari kesalahan hitung, Blanchard (2003:551) menawarkan
konsep inflation-adjusted deficit, yaitu satu konsep dasar penghitungan rasio utang pemerintah
4
dengan menggunakan nilai PDB riil sebagai dasar penentuan rasio utang dan penambahan utang
dilakukan ketika kondisi perekonomian mengalami resesi, namun setelah perekonomian kembali
normal bahkan mengalami masa kejayaan (booming), pemerintah harus melakukan kebijakan
surplus anggaran. Pemerintah tidak lagi perlu menambah utang walaupun rasio utang masih di
bawah 60 persen PDB atau defisit anggaran belum mencapai 3 persen PDB. Lalu bagaimana di
Indonesia, kebijakan fiskal seperti apa yang dapat meningkatkan output dan menciptakan
kesinambungan fiskal?
Sejak tahun 2003 pemerintah Indonesia telah merubah orientasi fiskalnya dari orientasi
stimulus fiskal menuju konsolidasi fiskal dengan prinsip kehati-hatian. Kebijakan ini untuk
menstabilkan kembali perekonomian akibat dampak krisis ekonomi tahun 1997 yang telah
menyebabkan pertumbuhan ekonomi terendah mencapai -13,2 persen disertai beban utang
pemerintah mencapai 89 persen PDB. Konsolidasi fiskal menurut Dekpeu (2009:89) ditujukan
untuk menjaga agar fiskal berkelanjutan,
yaitu suatu kondisi struktur APBN yang secara
dinamis mampu menjalankan fungsinya sebagai katalisator dan stabilisator perekonomian dan
mampu memenuhi berbagai kebutuhan belanja atau kewajibannya secara aman dalam jangka
panjang. Salah satu ukuran tercapainya kesinambungan fiskal yaitu defisit anggaran yang
terkendali dengan syarat rasio utang terhadap PDB konstan setiap tahunnya bahkan diupayakan
makin menurun sepanjang tahun. Dasar pengelolaan utang dan defisit anggaran di Indonesia ini,
diatur dalam UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah No 23
Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD dan Jumlah
Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Daerah. Peraturan Pemerintah No 23/2003 pasal 5
menetapkan bahwa batas maksimal utang pemerintah yaitu 60 persen PDB dengan target defisit
anggaran maksimal 3 persen PDB. Untuk mengoperasionalisasikan peraturan pemerintah
5
tersebut, pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No.
95/PMK02/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Mekanisme Pemantauan Defisit APBN,
APBD dan Pinjaman. Walaupun dalam UU No.17 tahun 2003 dan peraturan-peraturan yang
mengikutinya tidak memberikan informasi tentang hal ini, namun jika mengamati besaran target
rasio utang pemerintah dan defisit anggaran pada PP No 23 Tahun 2003 sama dengan besaran
yang dipergunakan dalam konsep Maasctricht Treaty yang dipergunakan di negara-negara Uni
Eropa. Permasalahan mendasar pada penerapan konsep ini dijelaskan oleh Abdurohman dan
Syahrir (2012) bahwa model ini belum cukup memberikan petunjuk lebih lanjut kapan anggaran
pemerintah harus defisit, berimbang atau surplus Jika agresifitas fiskal ini tidak segera
dikendalikan, kesinambungan fiskal terganggu. Kondisi ini juga dialami Indonesia, dimana saat
ini ruang fiskal (fiscal space) menjadi sempit karena beban membayar utang dan subsidi yang
sangat tinggi.
Pada tahun 2008 total utang pemerintah secara nominal sebesar Rp1636,74 triliun,
menjadi Rp2371,39 triliun pada tahun 2013 atau meningkat 55 persen. Walaupun secara ratarata rasio utang pemerintah masih di bawah 30 persen PDB, agar tidak mengalami kondisi yang
sama seperti negara-negara yang sedang mengalami ketidaksatbilan fiskal, perlu dilakukan
penelitian tentang alternatif lain konsep pengelolaan defisit anggaran dan utang pemerintah yang
mampu mewujudkan kesinambungan fiskal
dan menjaga stabilitas perekonomian karena
kesinambungan fiskal akan meningkatkan kepercayaan masyarakat untuk memegang obligasi
pemerintah (Wickens,2008:96). Kesinambungan fiskal menurut Wickens (2008:96) dapat
ditunjukkan dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB yang senantiasa konstan dan terbatas.
Jika pemerintah dianggap mampu mewujudkan kesinambungan fiskal ini maka kepercayaan
masyarakat dalam dan luar negeri untuk memegang obligasi pemerintah meningkat yang
6
berakibat meningkatnya akumulasi modal, nilai kurs stabil, mendorong pertumbuhan ekonomi
termasuk ekspor dan impor. Menurut Kobayashi (2013), pemerintah harus menjaga agar utang
tetap stabil sehingga kredibilitas pemerintah dan kepercayaan masyarakat tetap terjaga dan
pemerintah tidak kehilangan power dalam menjalankan kebijakannya. Menurut Depkeu
(2012:89), kesinambungan fiskal adalah suatu kondisi dimana struktur APBN secara dinamis
mampu menjalankan fungsinya sebagai katalisator dan stabilisator perekonomian dan mampu
memenuhi berbagai kebutuhan belanja atau kewajiban secara aman dalam jangka panjang.
Secara rata-rata selama periode 2000-2012, rasio utang pemerintah terhadap PDB di
Indonesia sebesar 29,47 persen dengan rata-rata rasio defisit anggaran sebesar 1,6 persen PDB
(Depkeu, 2012, data diolah). Pola hubungan antara rasio utang pemerintah terhadap PDB dengan
kinerja pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih acak dan belum menunjukkan pola searah
bahkan sebaliknya yaitu ketika rasio utang meningkat kecenderungan pertumbuhan ekonomi
menurun. Rasio utang pemerintah yang tinggi, belum mencerminkan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, bahkan pada beberapa periode menunjukkan ketika rasio utang tertinggi,
pertumbuhan ekonomi terendah. Kecenderungan rasio utang pemerintah terhadap PDB di
Indonesia mengalami penurunan selama periode 2000.1 sampai 2012.4, sedangkan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia cenderung stabil pada kisaran 5 persen hingga 6,5 persen. Pada awal-awal
periode pengamatan terjadi pola yang searah, ketika rasio utang pemerintah meningkat di atas 40
persen pertumbuhan ekonomi meningkat sekitar 5,3 persen, namun pada periode selanjutnya,
pola tidak searah ditunjukkan
dalam
Gambar 1.1, yaitu ketika rasio utang pemerintah
meningkat 33 persen, pertumbuhan ekonomi turun mendekati 4,5 persen.
7
2000Q1
2000Q3
2001Q1
2001Q3
2002Q1
2002Q3
2003Q1
2003Q3
2004Q1
2004Q3
2005Q1
2005Q3
2006Q1
2006Q3
2007Q1
2007Q3
2008Q1
2008Q3
2009Q1
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
2011Q3
2012Q1
2012Q3
%
50.0
45.0
40.0
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.0
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Utang/PDB (%)
Sumber: BI (2013) dan DJPU (2013)
Gambar 1.1.Pertumbuhan Ekonomi, Rasio Utang Pemerintah 2000.1-2012.4
Manfaat penerapan kebijakan kaidah fiskal (fiscal rule) yang bersifat penyetabil utang,
menurut Tcherneva (2008) adalah kebijakan ini dapat mengontrol pemerintah dalam melakukan
pengelolaan utang. Jika pemerintah mampu menjaga besaran tingkat utangnya pada posisi yang
stabil, yaitu mempertahankan tingkat utangnya pada posisi yang moderat serta melaksanakan
disiplin anggaran, kaidah fiskal efektif memperbaiki perekonomian. Kemampuan pemerintah
menjaga posisi utang ini akan menentukan kesinambungan fiskal, karena dengan menjaga posisi
jumlah utang yang tetap stabil, kesenjangan output berkurang, karena permintaan tidak terlalu
berlebihan (Blanchard et al.,2010) dan Favero dan Monacelli (2005). Menurut Rahmany (2009),
untuk mencapai kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam jangka
panjang, pemerintah wajib menjaga posisi rasio utangnya tetap konstan tiap tahunnya. Mitchell
et al., (1999) juga menemukan bahwa kesinambungan fiskal bisa tercapai jika rasio utang
terhadap PDB lama kelamaan mendekati nol seiring dengan berjalannya waktu. Secara empiris,
beberapa negara telah membuktikan bahwa kebijakan fiskal mampu memperbaiki perekonomian
jika pemerintah mampu menjaga stabilitas utang dengan disiplin untuk mencapai target defisit
8
anggaran. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang konsep defisit penyetabil utang dan
implikasinya terhadap kinerja perekonomian di Indonesia.
Efektifitas satu kebijakan tidak terlepas dari kebijakan lainnya oleh karena itu penerapan
kebijakan fiskal juga harus memperhatikan kebijakan lain yang berkembang dalam
perekonomian. Ketika kebijakan moneter berjalan sendiri dan mengabaikan kebijakan fiskal,
krisis ekonomi terjadi, demikian juga sebaliknya. Selain itu juga dibutuhkan model yang dapat
mengaitkan antar waktu yaitu jangka pendek dan jangka panjang dengan menerapkan unsur asa
masyarakat karena implementasi kebijakan fiskal memerlukan tenggang waktu. Selama proses
kejutan berlangsung, pelaku ekonomi akan melakukan antisipasi dengan membangun asa
menggunakan berbagai informasi, sehingga ketika kebijakan fiskal tersebut diterapkan,
efektifitas kebijakannya sudah berubah. Eksekusi kebijakan fiskal mulai dari tahap memberikan
wacana awal kepada masyarakat, sosialisasi hingga eksekusi kebijakan mempunyai tenggang
waktu (time lag) yang lebih lama dibandingkan kebijakan moneter. Tenggang waktu ini dikenal
dengan aspek kelembagaan fiskal. Lebih lanjut Hubbard et al., (2012:432) menjelaskan bahwa
salah satu keterbatasan kebijakan fiskal adalah masalah kesenjangan waktu kebijakan (policy
lag). Kesenjangan waktu terjadi karena adanya mekanisme birokrasi yang harus dilewati seperti
otoritas fiskal harus menggelar beberapa kali rapat pertemuan dengan pihak DPR
untuk
meminta persetujuan mereka. Kesenjangan waktu kebijakan ini menyebabkan efektifitas
kebijakan berkurang.
Perekonomian Indonesia dibangun dari sektor permintaan agregat, penawaran agregat,
kebijakan moneter dan sektor luar negeri yang bersifat menerawang ke depan (forward looking)
dengan pilihan antar waktu dengan pelaku ekonomi yang nalar. Pilihan antar waktu yang nalar
karena didukung informasi yang mudah didapatkan masyarakat. Rumah tangga konsumen dan
9
pemerintah menghadapi kendala anggaran pilihan antar waktu antara mengkonsumsi saat ini
atau meningkatkan tabungannya atau pemerintah yang akan mengenakan pajak saat ini atau
menundanya dengan meningkatkan defisit anggaran. Penggunaan pilihan antar waktu dan asa
nalar membuat keputusan individu menjadi lebih tepat.
Kesinambungan fiskal berorientasi jangka panjang. Ketika otoritas fiskal menetapkan
konsep defisit penyetabil utang berupa rasio utang tahun ini stabil, para pelaku ekonomi akan
merespon kebijakan ini dengan membuat keputusan berdasarkan semua informasi yang
dimilikinya. Salah satu kerangka pemikiran ekonomi yang berorientasi jangka panjang dan
memasukkan unsur optimisasi antar waktu dan asa nalar sebagai dasar pengambilan keputusan
para pelaku ekonomi, adalah pemikiran Makroekonomika Konsensus Baru (MKB). Pemikiran
ini merupakan pemikiran ekonomi makro terbaru sejak era Sintesa Neo Klasik yang merupakan
konvergensi antara pemikiran Keynesian Baru dan Teori Siklus Bisnis Riil (Tcherneva,2008).
Pemikiran MKB selain dapat menganalisis interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter yang
menerapkan konsep kebijakan kaidah (rule). Otoritas moneter mampu mengendalikan target
tingkat harga dengan mempengaruhi suku bunga kebijakan (𝑟 ∗ ), merupakan bentuk penerapan
kebijakan kaidah moneter yang merupakan cirri dari pemikiran pemikiran MKB. Pemikiran
MKB juga mampu menganalisis keseimbangan perekonomian yang dinamis termasuk
perekonomian kecil terbuka (open small economy) seperti Indonesia. Asumsi harga yang lengket
(sticky) merupakan fenomena yang ditemui pelaku ekonomi saat ini (Goodfriend and King,
1997). Para pelaku ekonomi akan bertindak rasional dalam membuat keputusan antar waktu.
Asumsi harga yang lengket (sticky) serta rasionalitas para pelaku ekonomi dalam membuat
keputusan merupakan dua unsur utama dalam pemikiran MKB yang diturunkan masing-masing
dari pemikiran Keynesian Baru dan Teori Siklus Bisnis Riil.
10
Dalam jangka panjang variabel-variabel yang diamati dalam kondisi keseimbangan, sedangkan
dalam jangka pendek memerlukan waktu penyesuaian dari satu keseimbangan ke keseimbangan
lainnya. Salah satu model yang mampu mengestimasi model antar waktu yang dinamis dan
terkointegrasi yang diturunkan dari teori ekonomi adalah model Vector Error Correction Model
(VECM). Menurut Boschi dan Girardi (2005) model VECM dapat digunakan untuk menganalisis
baik hubungan jangka panjang maupun jangka pendek yang dinamis diantara variabel yang
saling independen. Model VECM mensyaratkan data stasioner pada I(1) dan terkointegrasi yang
didukung oleh dasar teori ekonomi yang kuat. VECM merupakan pengembangan dari model
Structural Vector Auotoreggresive (SVAR) dan Vector Autoregressive (VAR) yang dibangun
berdasarkan a-theory. Dengan mengamati nilai error correction term (ect) dapat diamati proses
menuju keseimbangan dan kecepatan penyesuaian menuju keseimbangan tersebut jika terjadi
kejutan dalam perekonomian. Untuk mengestimasi model VECM dalam penelitian ini akan
digunakan metode Two Stage Least Square (TSLS). Sama seperti model OLS biasa, model TSLS
mengasumsikan error pada variabel terikat tidak berkorelasi dengan variabel bebasnya,
hubungan variabel bebas dan terikat adalah linier. TSLS ini dipergunakan untuk mengatasi
masalah adirnya variabel endogen sebagai variabel independen dan untuk mengestimasi regresi
yang mengandung variabel instrument (Bollen, 2001)
.
1.2. Permasalahan.
Target utama kebijakan ekonomi makro jangka panjang yaitu pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan kesinambungan fiskal. Kesinambungan fiskal adalah ketika rasio pengeluaran
pemerintah terhadap
PDB
stasioner dan konsisten dengan seluruh permintaan agregat
(Edwards,2003). Menurut Wickens (2008:96) dan Reinhart et al., (2012), ketika pemerintah
11
mampu mewujudkan kesinambungan fiskal melalui upaya menjaga rasio utang pemerintah yang
stabil dan terbatas, maka kepercayaan masyarakat untuk memegang obligasi pemerintah
meningkat. Menurut Parliamentary
Budget Officer (PBO)
kesinambungan fiskal
(fiscal
sustainability) terjadi jika aliran penerimaan dan pengeluaran negara lancar sehingga rasio utang
terhadap PDB kembali ke posisi semula. Menjaga utang tetap stabil merupakan syarat mencapai
kesinambungan fiskal (Rahmany, 2009). Salah satu jenis kebijakan fiskal yang dapat menjaga
kesinambungan fiskal dalam jangka panjang dan stabilitas perekonomian adalah penerapan
kaidah fiskal berupa defisit penyetabil utang (Blanchard et al., (2010), Favero dan Monacelli
(2005), Mitchell et al., (1999)).
Penerapan kebijakan batas maksimal rasio utang pemerintah dan rasio defisit anggaran
masing-masing sebesar 60 persen PDB dan 3 persen PDB seperti yang diatur dalam PP No 23
Tahun 2003 pasal 5 dianggap masih belum cukup memberi petunjuk kapan anggaran pemerintah
harus melakukan kebijakan defisit, berimbang atau surplus anggaran. Kebijakan penentuan
defisit anggaran di Indonesia cenderung masih didasarkan pada pendekatan akuntansi dan
mengabaikan nalaritas ekonomi dalam perumusannya (Abdurohman dan Syahrir, 2012). Dalam
konsep pengelolaan utang seperti ini mengindikasikan bahwa pemerintah dapat terus menambah
utang sepanjang jumlah utang belum melebihi 60 persen PDB dan defisit anggaran belum
melebihi 3 persen PDB. Jika pemerintah tidak bisa mengendalikan agresifitas fiskal ini akan
mengancam kesinambungan fiskal. Sebagian besar anggaran hanya dipergunakan untuk beban
membayar utang dan tidak ada akumulasi modal sehingga akan mempengaruhi kinerja
perekonomian. Beban utang ini tidak saja membebani perekonomian pada periode itu saja
tetapi juga dalam jangka panjang. Blanchard (2003:562) menjelaskan bahwa beban utang yang
12
tinggi mempunyai dua konsekuensi biaya yang harus ditanggung perekonomian, yaitu rendahnya
akumulasi modal dan meningkatnya beban pajak yang akan mendistorsi perekonomian.
Mencermati permasalahan tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang alternatif konsep
defisit anggaran dan pengelolaan utang di Indonesia yang mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan menjaga utang tetap stabil untuk mewujudkan kesinambungan fiskal. Salah satu
konsep defisit anggaran dan pengelolaan utang menurut Blanchard (2003:566) dan Farmer
(2002:315) yang diperoleh dari kendala anggaran pemerintah adalah nilai penambahan utang saat
ini (𝑏𝑡 ) tidak hanya didasarkan pada PDB, namun harus didasarkan atas pertimbangan kondisi
defisit primer anggaran tahun ini (𝑑𝑡∗ ), ditambah dengan rasio antara beban bunga membayar
utang (𝑟𝑡 ) dengan tingkat pertumbuhan ekonomi riil (𝑔𝑡 ). Jika pertumbuhan ekonomi lebih
besar dari pada bunga membayar utang (𝑔𝑡 > 𝑟𝑡 ), maka rasio utang pemerintah dapat
ditingkatkan, sebaliknya jika tingkat pertumbuhan ekonomi lebih kecil dari pada bunga
membayar utang (𝑔𝑡 < 𝑟𝑡 ), dengan
asumsi pemerintah tidak dapat menciptakan
surplus
anggaran, maka rasio utang pemerintah harus dikurangi. Favero dan Monacelli (2005) dalam
menjelaskan stabilitas fiskal menggunakan konsep defisit penyetabil utang atau debt stabilizing
deficit, yaitu tingkat defisit anggaran yang dijaga pemerintah agar rasio utang pemerintah
senantiasa stabil. Penerapan defisit penyetabil utang ini menurut Favero dan Monacelli (2005)
serta Wickens (2008:97) dapat
meningkatkan
kepercayaan masyarakat untuk memegang
obligasi pemerintah meningkat karena masyarakat meyakini kemungkinan pemerintah
mengalami gagal bayar (default), kecil, sedangkan kelemahannya terutama ketika terjadi krisis
pemerintah terkunci dan tidak mampu mengatasinya karena terikat pada target utang dan defisit
anggaran ,sementara kondisi perekonomian membutuhkan peningkatan utang tersebut.
13
Beberapa penelitian yang terkait dengan pengaruh kebijakan defisit anggaran dan utang
pemerintah terhadap kinerja perekonomian antara lain ditemukan oleh beberapa peneliti sebagai
berikut. Balassone et al., (2000) menemukan bahwa ketika pemerintah melakukan ekspansi
fiskal yang menyebabkan defisit anggaran, kondisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi
melalui peningkatan permintaan agregat, sebaliknya ketika dilakukan kebijakan pengetatan
anggaran, kondisi ini akan menekan permintaan agregat. Sementara kebijakan defisit anggaran
berpengaruh terhadap suku bunga diteliti oleh Cebula (1997) dan menemukan bahwa penerapan
defisit anggaran tidak berdampak pada suku bunga jangka pendek, namun berdampak pada suku
bunga jangka panjang. Kenaikan defisit anggaran sebesar 1 persen menyebabkan suku bunga
jangka panjang naik 25-30 basis point ditemukan oleh Laubach (2009). Reinhart et al., (2012)
menyatakan bahwa tidak masalah dengan ketergantungan utang yang tinggi, sepanjang pasar
dapat menyerap kondisi tersebut pada tingkat bunga yang rendah. Hubungan defisit anggaran
dengan harga ditemukan oleh Sargent and Wallace (1981) dan berkesimpulan bahwa kenaikan
defisit anggaran menyebabkan kenaikan inflasi dalam jangka panjang, namun tidak dalam
jangka pendek.
Seberapa kuat defisit anggaran mempengaruhi inflasi, tergantung pada
kredibilitas lembaga keuangan di suatu negara dan seberapa akurat dan disiplin bank sentral
menjaga ingkat inflasi. Metin (1998) meneliti di Turki menemukan bahwa defisit anggaran
secara signifikan meningkatkan inflasi dan menurunkan pendapatan nasional. Demikian juga
Boschi dan Girardi (2005) menemukan di negara-negara yang memiliki tingkat inflasi yang
tinggi akan menampilkan hubungan positif antara defisit anggaran dengan inflasinya.
Nilai tukar merepresentasikan harga-harga dalam perekonomian karena perubahan nilai
tukar mempengaruhi
neraca perdagangan dan neraca pembayaran, struktur dan jumlah
produksi, alokasi sumber daya (Beare,1978:346). Pengaruh defisit anggaran terhadap nilai tukar
14
dapat melalui jalur tingkat harga, pendapatan dan suku bunga. Menurut Beare (1978:347),
kedalaman pengaruh nilai tukar tergantung juga pada faktor spesifik suatu negara misalnya
keterbukaan perekonomiannya, efektifitas kebijakan fiskal dan moneter. Menurut Beare
(1978:347) ekspansi fiskal melalui penjualan obligasi akan meningkatkan suku bunga domestik
dan atau meningkatkan arus modal asing masuk. Kondisi ini akan membuat nilai tukar domestik
menguat dan cenderung mendorong penurunan harga-harga barang impor dan meningkatkan
harga barang-barang domestik. Kondisi ini menyebabkan nilai ekspor bersih menurun dan
berakibat neraca transaksi berjalan menurun.
Di dalam pasar barang, pengaruh meningkatnya pengeluaran pemerintah akan
meningkatkan permintaan agregat, yang akhirnya cenderung meningkatkan harga-harga barang
domestik dan barang-barang dari luar negeri. Kenaikan harga barang ini akan meningkatkan nilai
tukar mata uang luar negeri.
Secara empiris Burney (1992) meneliti di Pakistan dan
menemukan bahwa defisit anggaran mempengaruhi secara langsung nilai tukar riil melalui
tingkat harga, sedangkan pengaruh tidak langsungnya melalui suku bunga dan pertumbuhan uang
beredar.
Pengaruh defisit anggaran dengan neraca transaksi berjalan juga diteliti oleh Bernheim
(1988) yang menemukan terjadi defisit kembar (twin deficit) di Amerika Serikat yaitu makin
defisit anggaran makin defisit neraca transaksi berjalan. Di Amerika Serikat, ketika terjadi
peningkatan defisit anggaran sebesar $1 menyebabkan penurunan surplus neraca transaksi
berjalan sebesar $0,3 sedangkan di Mexico, akibat peningkatan defisit anggaran $1
menyebabkan penurunan surplus neraca transaksi berjalan sebesar $0,85, sementara di Jepang
defisit anggaran tidak mempengaruhi neraca transaksi berjalan.
15
Salah satu pemikiran yang dinamis yang berorientasi pada waktu sehingga pelaku
ekonomi mampu membuat keputusan yang rasional, adalah pemikiran MKB. Dalam
mengaplikasikan pemikiran ini, diperlukan model yang dapat menganalisis hubungan dinamis
antar waktu yaitu perilaku variabel ekonomi dalam
jangka pendek, jangka panjang dan
hubungan jangka pendek dan jangka panjang, dan model ini ada pada VECM. Model ini
mensyaratkan data stasioner pada I(1) dan dapat mengamati kecepatan penyesuaian menuju
keseimbangan setelah menghadapi kejutan dengan memperhatikan nilai koefisien error
correction term (ect). Menurut Thomas (1997:384), syarat nilai koefisien ect (-1) adalah antara 0
dan 1 dan harus bertanda negatif dan signifikan. Jika persyaratan tersebut terpenuhi maka ect
tersebut dapat mengindikasikan kecepatan penyesuaian (speed of adjustment).
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk melihat implikasi
pengaruh penerapan defisit penyetabil utang terhadap kinerja perekonomian di Indonesia yang
diwakili oleh kesenjangan output, tingkat harga, suku bunga, nilai tukar, neraca transaksi
berjalan dan defisit primer di Indonesia berdasarkan pemikiran MKB. Untuk melakukan
verifikasi empiris sebagai salah satu prinsip pemikiran MKB, dilakukan simulasi berupa
penerapan besaran defisit penyetabil utang yang berbeda untuk melihat pola kejutan yang
dihasilkan.
1.3. Keaslian Penelitian
Perbedaan utama
penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, adalah
menginvestigasi peran kebijakan fiskal untuk mewujudkan kesinambungan fiskal dan
pertumbuhan ekonomi dengan menerapkan kebijakan fiskal bersifat kaidah yang dianalisis
dalam kerangka pemikiran Makroekonomika Konsensus Baru (MKB), dan pendekatan ini masih
16
belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian sebelumnya mengaitkan pengaruh penerapan
kebijakan fiksal namun masih bersifat diskresi dan dalam kerangka dominasi kebijakan moneter,
seperti dilakukan Santoso (2011), Arestis (2009), Tcherneva (2008), Rahutami (2007),
Maryatmo (2004). Studi ini menerapkan kaidah fiskal berupa defisit penyetabil utang dalam
perekonomian yang dalam beberapa literatur penerapan kaidah ini diyakini mampu menciptakan
kesinambungan
fiskal
dan
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi.
Penelitian-penelitian
sebelumnya menjelaskan peran kebijakan fiskal dalam perekonomian yang dilandasi pemikiran
Keynesian Baru namun dalam studi ini menggunakan pemikiran Makroekonomi Konsensus Baru
yang merupakan konvergensi antara pemikiran Keynesian Baru dan Teori Siklus Bisnis Riil.
Suhartoko (2013) telah menggunakan pemikiran MKB ini menggunakan model Giese and
Wagner (2007) dalam perekonomian tertutup, sementara dalam studi ini menggunakan model
Arestis (2009) dengan 6 persamaan reduced form dalam perekonomian terbuka. Metodologi
yang digunakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dalam mengestimasi model menggunakan
persamaan simultan, seperti yang dilakukan Tcherneva (2008), Giese and Wagner (2007),
Rahutami (2007), Maryatmo (2004), sedangkan dalam studi ini model yang dibangun adalah
model dalam sistim persamaan yang diestimasi menggunakan metode VECM untuk
menganalisis perilaku variabel-variabel ekonomi dalam jangka pendek dalam alur jangka
panjang. Di bawah ini disajikan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan
studi ini.
17
Tabel 1.1. Ringkasan Penelitian Sebelumnya yang Terkait Penelitian
Peneliti
Santoso,
(2011)
Hussain et al.,
(2010.)
Simorangkir,
(2010)
Arestis (2009)
Thcerneva
(2008)
Rahutami
(2007)
Clark, (2005)
Boschi dan
Girardi (2005)
Variabel
Metodologi
Hasil
Tingkat bunga, rasio
defisit anggaran
terhadapProduk
Domestik Bruto (PDB)
Menganalisis hubungan
dinamis penawaran
uang, pengeluran
pemerintah nilai tukar
riil dan output di 4
negara ASEAN
Menganalisis pengaruh
interaksi stimulus fiskal
dan pelonggaran moneter
dengan penurunan
tingkat bunga terhadap
pertumbuhan ekonomi di
Indonesia saat krisis
Pasar Barang yang
forward looking,
persamaan inflasi,
kaidah moneter,
cadangan devisi dan nilai
tukar
Menggunakan Teori
Keynesian Baru dengan
membangun model DSGE
Menggunakan persamaan
simultan dengan 6
persamaan
Model NCM dalam
perekonomian terbuka mampu
menggantikan dengan baik model
IS-LM yang selama ini dipakai.
Pasar Barang yang
forward looking,
Keynesian Baru Phillips
Curve (NKPC) dan
Taylor Rule
Menganalisis Interaksi
sector moneter dan fiskal
di Indonesia , dengan
pendekatan ekonomi
Simultan, 1980.1 –
2006.4
Menganalisa dampak
variabel ekonomi makro
yaitu ekspektas inflasi,
defisit anggaran, nilai
tukar riil, suku bunga
riil terhadap GDP riil
Mendiskusikan
penggunaan metode
SVAR terkointgrasi dan
model VECM untuk
menganalisis penentu
inflasi di kawasan Eropa.
Menggunakan persamaan
simultan 3 pasar
Melalui perubahan permintaan
agregat dan pasar kerja kebijakan
fiskal mempengaruhi tingkat
inflasi.
Menggunakan Keynesian
Baru mengamati
keseimbangan pasar barang
, pasar uang, harga,
Iinteraksi kebijakan moneter dan
fiskal, .Sasaran inflasi dan
benchmark kebijakan moneter
kaidah, patut dipertimbangkan
Menggunakan pendekatan
VECM untuk mengestimasi
model persamaan IS-MPIA di Korea
Ekspetasi inflasi, nilai tukar riil
dan suku bunga riil berpengaruh
negatif terhadap GDP riil,
sebaliknya defiist berpengaruh
positif
Estimasi menggunakan
model Structural VECM
untuk menganalisis
determinan jangka panjang
dan jangka pendek dinamis
dari inflasi di Eropa.
Dalam jangka panjang dan jangka
pendek inflasi dipengaruhi oleh
penawaran dan
permintaan;peningkatan inflasi
secara temporer menghasilkan
redistribusi pendapatan untuk
kelompok pendapatan rendah
Estimasi didahului dengan
uji kointegrasi johansen
diikuti dengan SCVAR dan
VECM, dengan Granger
Causality dan test
eksogenitas.
Menggunakan Fiscal
Computable General
Equlibrium
Interaksi menghadapi kejutan
inflasi lebih efektif dibandingkan
ketika menghadapi kejutan
output.
Terdapat hubungan jangka
panjang yang stabil antara
variabel2 makro ekonomi di 4
negara ASEAN.
Multiplier effect terhadap
pertumbuhan ekonomi lebih
besar ketika ada interaksi
kebijakan stimulus dan
pelonggaran kebijakan moneter
18
Peneliti
Maryatmo
(2004)
Variabel
Menganalisis dampak
kebijakan defisit
anggaran terhadap
variabel-variabel
moneter dalam jangka
pendek dan jangka
panjang . (1983:12002:4)
Metodologi
Menggunakan reduced form
persamaan simultan l dan
Uji Kausalitas dalam
kerangka Keynesian Baru
Lanjutan Tabel 1.1.
Hasil
Defiisit anggaran melalui
penerimaan pemerintah
mempengaruhi suku bunga.
Melalui pengeluaran pemerintah
mempengaruhi kurs dan tingkat
harga
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1) Mengestimasi pengaruh penerapan defisit penyetabil utang terhadap kesenjangan output,
tingkat harga dalam negeri, suku bunga domestik, nilai tukar, neraca transaksi berjalan
dan defisit primer anggaran;
2)
Mengestimasi pola respon kesenjangan output, tingkat harga dalam negeri, suku bunga
domestik, nilai tukar, neraca transaksi berjalan dan defisit primer anggaran ketika
menghadapi kejutan berupa simulasi besaran defisit penyetabil utang.
1.5. Kontribusi Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan tiga kontribusi, yaitu sebagai berikut.
1. Pengembangan model empiris yakni penerapan kebijakan fiskal bersifat kaidah dalam
kerangka pemikiran Makroekonomi Konsensus Baru;
2. Pengembangan alat analisis yang berupa penggunaan analisis kejutan dalam model
VECM;
3. Kontribusi kebijakan khususnya kepada otoritas fiskal berupa alternatif konsep
pengelolaan defisit anggaran
dan utang pemerintah yang dapat mewujudkan
kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi.
19
Download