analisis praktik residensi keperawatan medikal bedah

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH :
PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELITUS
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
KARYA ILMIAH AKHIR
FITRIAN RAYASARI
NIM 0906504764
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2012
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH :
PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELITUS
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
KARYA ILMIAH AKHIR
Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh
Gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
FITRIAN RAYASARI
NIM 0906504764
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2012
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
PERNYATAAN KEASLIAN
Tulisan yang terdapat dalam Karya Ilmiah Akhir ini belum pernah disampaikan
atau diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Ners Spesialis
Keperawatan Medikal Bedah di institusi pendidikan manapun. Berdasarkan
pengetahuan dan keyakinan penulis, Karya Ilmiah Akhir ini tidak memuat tulisantulisan yang pernah dipublikasikan orang lain secara keseluruhan kecuali tulisan
tersebut digunakan sebagai bahan rujukan.
Nama
: FITRIAN RAYASARI
NPM
: 0906504764
Tanda Tangan
:
Tanggal
: Juli 2012
iii
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
LEMBAR PENYATAAN PLAGIARISME
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama: Fitrian Rayasari
NPM : 0906504764
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Ilmiah Akhir ini saya buat
tanpa adanya tindakan plagiarisme sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
Universitas Indonesia. Jika dikemudian hari ternyata saya terbukti melakukan
tindakan tersebut, maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan siap
menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia.
Yang Menyatakan
Fitrian Rayasari
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah
ini :
Nama
: Fitrian Rayasari
NPM
: 0906504764
Program Studi : Magister dan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis karya
: Karya Ilmiah Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujuai untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclisive Royalty Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah: Penerapan Teori
Adaptasi Roy Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Endokrin
di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta
Beserta perangkat yang ada ( jika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan,mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di
Pada Tanggal
: Depok
: Juli 2010
Yang Menyatakan
Fitrian Rayasari
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Karya Ilmiah Akhir ini telah diperiksa, dipertahankan dan disetujuai di hadapan
Tim Penguji Program Spesialis Keperawatan Kekhusussan Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Depok, Juli 2012
Pembimbing I
DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc
Pembimbing II
Lestari Sukmarini, SKp., MN
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Karya ilmiah ini diajukan oleh :
Nama
: Fitrian Rayasari
NPM
: 0906504674
Program Studi
: Magister dan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Judul Karya Ilmiah
:
Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah: Penerapan Teori
Adaptasi Roy Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Endokrin di Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners Spesialis
Keperawatan Medikal Bedah pada Program Studi Magister dan Spesialis
Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing 1 : DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc.
Pembimbing 2 : Lestari Sukmarini, SKp., MN
Penguji 1
: dr. Suharko Soebardi, Sp.PD., KEMD
Penguji 2
: Ernawati, SKp.,MKep.,Sp.KMB
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal
: 10 Juli 2012
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur praktikan panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
akhirnya praktikan dapat menyelesaikan penyusunan laporan analisis praktek residensi
spesialis keperawatan medikal bedah di RSUP Fatmawati Jakarta. Selanjutnya dalam
penysunan Karya Ilmiah Akhir ini, praktikan banyak mendapat bimbingan dan dukungan
serta arahan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini ingin menyampaikan rasa
terima dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1.
DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc, selaku Supervisor Utama dengan sabar dan
penuh perhatian memberikan bimbingan pada praktikan dalam penyusunan laporan
ini.
2.
Lestari Sukmarini, S.Kp., M.N., selaku Supervisor yang telah banyak membimbing
dan mengarahkan praktikan dalam penyusunan laporan ini.
3.
Rita Herawati, S.Kp.,M.Kep,.selaku Supervisor klinik yang telah membimbing
dengan praktikan selama menjalani praktik residensi di RSUP. Fatmawati
4.
Dewi Irawati, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
5.
Direktur RSUP Fatmawati Jakarta beserta staf struktural maupun fungsional yang
telah memberikan ijin dan kesempatan pada praktikan untuk melakukan kegiatan
residensi.
6.
Penanggung jawab, Kepala ruangan dan perawat ruangan lantai 5 selatan,
Poliklinik dan IGD RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan kesempatan
dan bantuan kepada praktikan selama melakukan kegiatan residensi.
7.
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengembangkan ilmu di Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
8.
Miciko Umeda, SKp., M. Biomed., selaku Ketua Program Studi D III Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah
v
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu di Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
9.
Suami dan anakku serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dengan
penuh cinta, kasih sayang, kesabaran, perhatian dan senantiasa mendo’akan selama
penulis menjalani pendidikan.
10.
Rekan-rekan dosen Program studi D III Keperawatan FKK UMJ, teman-teman
seangkatan pada peminatan endokrin dan pihak lain yang telah membantu
penyusunan karya tulis ilmiah ini.
11.
Semua pihak yang ikut membantu, sehingga kegiatan residensi dan laporan ini
dapat diselesaikan.
Praktikan sangat menyadari bahwa laporan ini tidak terlepas dari kekurangan dan
kesalahan, sehingga praktikan berharap saran dan masukkan yang membangun demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan ilmu dan rahmat-Nya
kepada hamba-hamba yang selalu berbagi ilmu bermanfaat pada sesama, Amien.
Depok, Juli 2012
Praktikan
vi
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
ABSTRAK
Nama
Program Studi
: Fitrian Rayasari
: Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Judul
:
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah penerapan Teori
Adaptasi Roy pada Asuhan Keperawatan Kasus Gangguan Sistem
Endokrin di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Gangguan sistem endokrin yang terbanyak dipelayanan kesehatan adalah pada kasus
Diabetes Mellitus (DM) dan DM tipe 2 presentasenya mencapai 95%. Pada
perkembangnnya gula darah yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi,
baik pada mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Pencegahan dan penanganan komplikasi
DM, dilakukan oleh multidisiplin keilmuan yang dilakukan secara terpadu. Peran perawat
spesialis medikal bedah pada kekhususan endokrin diharapkan mampu melakukan asuhan
keperawatan secara holistik hingga pasien DM mampu beradaptasi dengan penyakitnya
dan mampu mengontrol gula darahnya. Model Adaptasi Roy,dapat digunakan sebagai
landasan perawat melakukan asuhan yang komprehensif dengan mengurangi stimulus yang
ada dan meningkatkan koping individu sehingga tercapai perilaku yang adaptif. Melalui
penerapan praktek keperawatan berbasis pembuktian (evidence based practice),
pengkajian kaki diabetik dilakukan untuk pencegahan terjadinya komplikasi ulkus kaki
diabetik. Pada peran perawat sebagai innovator pengkajian kaki dapat digunakan sebagai
salah satu standar pengkajian keperawatan pada pasien DM, sehingga tercapai peningkatan
asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan DM.
Kata kunci: Perawat spesialis, Gangguan sistem endokrin, Teori Adaptasi Roy,
Pengkajian kaki diabetik.
vii
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
ABSTRACT
Name
Study Program
: Fitrian Rayasari
: Medical Surgical Nursing, Faculty of Nursing Science, Universitas
Thesis Title
: Practice Analysis on Residency Medical Surgery Nursing by Applying Roy
Indonesia
Adaptation Theory to Endocrine System Disorder Nursing in Fatmawati
Central Public Hospital, Jakarta.
Endocrine System Disorder mostly occurs in health service on Diabetes Mellitus,
especially the DM Type-2, in which the percentage reach 95%. Furthermore, uncontrolled
blood sugar causes several micro vascular or macro vascular complications. The DM
prevention and treatment should be done by means of integrated multi-discipline efforts. It
is expected that medical surgical nurses who are majoring in endocrine will be able to
conduct a holistic nursing so that the DM patients are able to adapt to his illness and
control his blood sugar. Roy Adaptation Model is applied as the basis for the nurses to
conduct comprehensive care by reducing existing stimulus and increasing individual
coping in order to generate adaptive behaviors. Through the application of evidence-based
practice, diabetic foot research is conducted to prevent diabetic foot ulcers complication.
In the nurse's role as an innovator, foot assessment can be utilized as a standard for nursing
assessment on DM patient and, therefore, increasing nursing treatment for them.
Keywords: specialized nurse, endocrine system disorder, Roy Adaptation Theory, diabetic
foot assessment.
viii
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................. vii
ABSTRACT ............................................................................................................. viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii
DAFTAR BAGAN ................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan ...............................................................................
1.3 Manfaat Penulisan .............................................................................
1
1
4
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. ......................................................................... 6
2.1 Konsep Penyakit Diabetes Mellitus .................................................. 6
2.1.1 Pengertian .......................................................................... 6
2.1.2 Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi .............................. 6
2.1.3 Tanda dan Gejala................................................................ 11
2.1.4 Diagnosis ............................................................................ 12
2.1.5 Penatalaksanaan ................................................................. 14
2.1.6 Komplikasi ......................................................................... 21
2.2 Asuhan Keperawatan Menggunakan Model Adaptasi Roy .............. 31
2.2.1 Dasar Teori Adaptasi Roy .................................................. 31
2.2.2 Asumsi-Asumsi Utama ...................................................... 32
2.2.3 Asuhan Keperawatan ......................................................... 38
2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien
Dengan Diabetes Melitus ................................................................. 42
2.3.1 Pengkajian ......................................................................... 42
2.3.2 Diagnosa Keperawatan....................................................... 49
2.3.3 Intervensi Keperawatan ...................................................... 51
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DISBETES
MELITUS DENGAN KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG DAN
SELULITIS ............................................................................................. 55
3.1 Deskripsi Kasus Kelolaan Utama ..................................................... 55
3.2 Penerapan Model Adaptasi Roy Pada Kasus Kelolaan Utama ......... 56
3.3 Pembahasan ....................................................................................... 77
3.4 Analisis penerapan Teori Adaptasi Roy pada 32 (tiga puluh dua)
kasus kelolaan .................................................................................. 101
ix
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
BAB 4. PRAKTEK BERDASARKAN PEMBUKTIAN PENGKAJIAN KAKI
SEBAGAI DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI PADA PASIEN
DM TIPE II ............................................................................................ 113
4.1 Critical Review................................................................................. 115
4.2 Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian ................ 119
4.3 Pembahasan ...................................................................................... 126
BAB
5. KEGIATAN INOVASI PENINGKATAN KEMAMPUAN
PERAWAT DALAM PENGKAJIAN KAKI DIABETIK SEBAGAI
UPAYA DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI DIABETIK … 132
5.1 Analisa Situasi.................................................................................. 132
5.2 Kegiatan Inovasi............................................................................... 137
5.3 Pembahasan ...................................................................................... 141
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN...................................................................145
6.1 Simpulan .......................................................................................... 145
6.2 Saran ................................................................................................. 146
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1
Tipe insulin dan cara kerja
20
Tabel 3.1
Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI).
57
Tabel 3.2
Pengkajian Kaki
62
Tabel 3.3
Rencana Asuhan Keperawatan
68
Tabel 4.1
Klasifikasi Resiko Ulkus Diabetik
International Group on the Diabetik Foot
Menurut
123
Tabel 4.2
Distribusi responden berdasarkan usia di ruang lantai 5
Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
N=20
123
Tabel 4.3
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lama
menderita DM dan Kadar HBA1C, di ruang lantai 5
Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
N=20
124
Tabel 4.4
Distribusi resiko ulkus kaki diabetic berdasarkan lama
menderita DM dan kadar HBA1C, di ruang lantai 5
Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
N=20
125
Tabel 4.5
Distribusi resiko ulkus kaki diabetic berdasarkan lama
di ruang lantai 5 Selatan Gedung Teratai RSUP
Fatmawati Jakarta 2012 N=20
125
xi
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1
Photografi kaki Ny. S
61
Gambar 3.2
Photografi Abses punggung Ny. S
61
Gambar 3.3
Photografi Pengkajian kaki Ny. S
62
Gambar 4.1
Area melakukan uji monosilament
122
xii
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 2.1
Model Adaptasi Roy
35
xiii
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Gambaran 32 kasus kelolaan lainnya dengan menggunakan
pendekatan Teori Adaptasi Roy
Lampiran 2
Format pengkajian kaki
Lampiran 3
Kuesioner kegiatan inovasi
Lampiran 4
Rencana kegiatan inovasi
Lampiran 5
Soal pre dan postest pelaksanaan pelatihan pengkajian kaki
Lampiran 6
Pedoman Pengkajian Kaki Diabetik
Lampiran 7
Leafleat Edukasi Perawatan Kaki Diabetik
xiv
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar
glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun
absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut
maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati.
Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life
expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola
hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes
mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah
penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan
Data yang didapatkan dari International Diabetes Federation, 2011 menyatakan jumlah
penderita diabetes diseluruh dunia hingga tahu 2011 mencapai 366 juta orang dan
diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2030 diperkirakan jumlahnya mencapai 552
juta orang. Penyandang
diabetes yang ada di dunia 80 % tinggal di negara dengan
pendapatan rendah hingga menengah atau negara berkembang termasuk Indonesia.
Dari sepuluh negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak pada usia 20 – 79 tahun ,
Indonesia menempati urutan ke 10 ,dengan jumlah penderita mencapai 7,3 juta orang.
Jumlah ini akan meningkat hingga 11,8 juta orang pada tahun 2030 dan diprediksi
Indonesia menempati urutan ke 9 dari 10 negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak.
Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi diabetes
mellitus sebesar 1,5 - 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di
daerah urban prevalensi Diabetes mellitus sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju,
sehingga diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
2
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia
yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003
diperkirakan terdapat penderita diabetes di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di
daerah rural
sejumlah 5,5 juta.
Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan
penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang
berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita diabetes mellitus
sejumlah 12 juta di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2011).
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang akan terus ada di dalam tubuh
seseorang, namun dapat dikontrol dengan melakukan pengelolaan yang benar. Jika
tidak dilakukan dengan pengelolaan yang benar, penyakit diabetes ini akan
menimbulkan berbagai komplikasi. Dampak dari komplikasi ini tidak hanya masalah
fisik saja yang dirasakan oleh pasien, juga masalah psikis, dan social. Asuhan
keperawatan yang diberikan hendaknya membuat penyandang diabetes dapat
beradaptasi dengan kondisi yang dialami. Adaptasi yang terjadi pada penyandang
diabetes diharapkan akan mampu merubah perilaku untuk meningkatkan pencegahan
dan pengelolaan.
Seorang pakar keperawatan yaitu Callista Roy, telah mengembangkan teori
keperawatan yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Roy melihat bahwa
manusia merupakan sistem terbuka yang akan mendapatkan stimulus dari luar
tubuhnya dan masusia akan berespon dengan beradaptasi. Perawat mempunyai
peranan penting dalam membantu individu yang sakit maupun yang sehat dalam
berespon terhadap stressor, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas
hidupnya melalui suatu proses adaptasi.
Penyandang diabetes yang dirawat di rumah sakit mendapatkan berbagai stimulus
dari dalam dirinya maupun dari lingkungan. Perawat merupakan salah satu profesi
dibidang kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara holistik. Dalam
melakukan asuhan keperawatan pada penyandang diabetes untuk membantu berespon
secara adaptif, perawat spesialis dapat berperan sebagai pemberi asuhan
(practitioner/care provider), pendidik (educator), konselor (counselor), agen
perubahan atau agen inovasi (change egent/innovator), penasihat klien (client
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
3
advocate), manajer (manager), dan peneliti (researcher), dan pelindung (protector)
(NACNS, 2008 dalam Perry & Potter, 2009)
Dalam laporan ini praktikan menguraikan peran perawat dalam membantu
penyandang diabetes dan keluarganya untuk berespon terhadap stimulus yang
didapatkan secara adaptif. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
(practitioner/care provider) dengan menerapkan Model Adaptasi Roy. Penyandang
diabetes masuk ke rumah sakit dengan berbagai komplikasi terjadi karena
ketidaktahuan
dan
ketidakpatuhan
dalam
pengelolaan
diabetes di
rumah.
Memberikan edukasi dan meningkatkan motivasi serta keyakinan diri dalam
merawat dirinya sendiri merupakan upaya perawat untuk membuat penyandang
diabetes ini beradaptasi. Peran yang dilakukan praktikan merupakan peran sebagai
pendidik (educator), konselor (counselor), dan penasihat klien (client advocate).
Peran perawat spesialis yang lain yang praktikan lakukan adalah peran sebagai
peneliti (researcher) Pada peran ini, praktikan mengaplikasikan Evidence Base
Nursing (EBN) sebagai upaya meningkatkan kualitas intervensi keperawatan. EBN
yang praktikan aplikasikan adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya deteksi
dini ulkus diabetik, merupakan hasil critical reviw yang dilakukan oleh Taylor M.C,
pada tahun 2008 dengan judul Foot Assessment in type 2 Diabetes : an evidencebased practice approce. Penerapan EBN ini didasarkan pada tingginya angka
kejadian ulkus diabetes di tempat praktikan melakukan praktek yaitu 29,1 %, dari
seluruh pasien diabetes yang dirawat. Tidak menutup kemungkinan, penyandang
diabetes tanpa ulkus pada akhirnya akan mengalami ulkus jika tidak diketahui faktor
resikonya dan ditindak lanjuti dengan edukasi, maupun perawatan kaki. Peran
sebagai agen inovasi (change egent/innovator) dilakukan praktikan bersama tim
dengan mengembangkan metode pencegahan ulkus kaki melalui pengkajian faktor
resiko dan edukasi
Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan analisis kegiatan praktek residen ini
praktikan akan memaparkan analisis kegiatan praktek residensi dalam menjalankan
berbagai peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan menggunakan
pendekatan model adaptasi Roy
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
4
1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1.
Tujuan Umum
Melakukan analisis terhadap kegiatan praktek resiidensi
medikal
bedah
pada
peminatan
keperawatan
keperawatan
endokrin
dengan
mengaplikasikan teori model adaptasi Roy di RSUP Fatmawati
1.2.2.
Tujuan Khusus
Melakukan analisis beberapa peran yang dijalani praktikan dalam praktek
residensi yang meliputi :
a.
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien endokrin
khususnya pasien diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model
Adaptasi Roy.
b.
Peran perawat sebagai peneliti melalui penerapan evidence based
practice khususnya pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya
deteksi dini ulkus diabetik.
c.
peran
sebagai
innovator,
fasilitator,
narasumber
(resources),
koordinator dan role model melalui proyek inovasi yang dilakukan di
ruang penyakit dalam.
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi pelayanan keperawatan
a. Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pelayanan keperawatan
sebagai acuan dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan
yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem endokrin
khususnya diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi
Roy
b. Meningkatkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan penelitian
sebagai dasar pengambilan keputusan klinik berdasarkan evidence based
nursing practice pada kasus gangguan sistem endokrin khususnya
diabetes melitus
1.3.2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Melalui hasil analisis ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan
medikal bedah tentang aktualisasi peran perawat baik sebagai pemberi
layanan, pendidik, konselor, agen perubahan atau agen inovasi, penasihat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
5
klien, peneliti, pelindung, dan manajer kasus
khususnya dalam bidang
keperawatan endokrin
1.3.3. Bagi pendidikan keperawatan
Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan kurikulum pembelajaran khususnya dalam mengembangkan
intervensi – intervensi keperawatan mandiri untuk meningkatkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin berdasarkan evidence
based practice
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar
glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun
absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut
maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati.
Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life
expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola
hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes
mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah
penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan
Data yang didapatkan dari International Diabetes Federation, 2011 menyatakan jumlah
penderita diabetes diseluruh dunia hingga tahu 2011 mencapai 366 juta orang dan
diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2030 diperkirakan jumlahnya mencapai 552
juta orang. Penyandang
diabetes yang ada di dunia 80 % tinggal di negara dengan
pendapatan rendah hingga menengah atau negara berkembang termasuk Indonesia.
Dari sepuluh negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak pada usia 20 – 79 tahun ,
Indonesia menempati urutan ke 10 ,dengan jumlah penderita mencapai 7,3 juta orang.
Jumlah ini akan meningkat hingga 11,8 juta orang pada tahun 2030 dan diprediksi
Indonesia menempati urutan ke 9 dari 10 negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak.
Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi diabetes
mellitus sebesar 1,5 - 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di
daerah urban prevalensi Diabetes mellitus sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju,
sehingga diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
2
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia
yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003
diperkirakan terdapat penderita diabetes di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di
daerah rural
sejumlah 5,5 juta.
Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan
penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang
berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita diabetes mellitus
sejumlah 12 juta di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2011).
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang akan terus ada di dalam tubuh
seseorang, namun dapat dikontrol dengan melakukan pengelolaan yang benar. Jika
tidak dilakukan dengan pengelolaan yang benar, penyakit diabetes ini akan
menimbulkan berbagai komplikasi. Dampak dari komplikasi ini tidak hanya masalah
fisik saja yang dirasakan oleh pasien, juga masalah psikis, dan social. Asuhan
keperawatan yang diberikan hendaknya membuat penyandang diabetes dapat
beradaptasi dengan kondisi yang dialami. Adaptasi yang terjadi pada penyandang
diabetes diharapkan akan mampu merubah perilaku untuk meningkatkan pencegahan
dan pengelolaan.
Seorang pakar keperawatan yaitu Callista Roy, telah mengembangkan teori
keperawatan yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Roy melihat bahwa
manusia merupakan sistem terbuka yang akan mendapatkan stimulus dari luar
tubuhnya dan masusia akan berespon dengan beradaptasi. Perawat mempunyai
peranan penting dalam membantu individu yang sakit maupun yang sehat dalam
berespon terhadap stressor, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas
hidupnya melalui suatu proses adaptasi.
Penyandang diabetes yang dirawat di rumah sakit mendapatkan berbagai stimulus
dari dalam dirinya maupun dari lingkungan. Perawat merupakan salah satu profesi
dibidang kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara holistik. Dalam
melakukan asuhan keperawatan pada penyandang diabetes untuk membantu berespon
secara adaptif, perawat spesialis dapat berperan sebagai pemberi asuhan
(practitioner/care provider), pendidik (educator), konselor (counselor), agen
perubahan atau agen inovasi (change egent/innovator), penasihat klien (client
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
3
advocate), manajer (manager), dan peneliti (researcher), dan pelindung (protector)
(NACNS, 2008 dalam Perry & Potter, 2009)
Dalam laporan ini praktikan menguraikan peran perawat dalam membantu
penyandang diabetes dan keluarganya untuk berespon terhadap stimulus yang
didapatkan secara adaptif. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
(practitioner/care provider) dengan menerapkan Model Adaptasi Roy. Penyandang
diabetes masuk ke rumah sakit dengan berbagai komplikasi terjadi karena
ketidaktahuan
dan
ketidakpatuhan
dalam
pengelolaan
diabetes di
rumah.
Memberikan edukasi dan meningkatkan motivasi serta keyakinan diri dalam
merawat dirinya sendiri merupakan upaya perawat untuk membuat penyandang
diabetes ini beradaptasi. Peran yang dilakukan praktikan merupakan peran sebagai
pendidik (educator), konselor (counselor), dan penasihat klien (client advocate).
Peran perawat spesialis yang lain yang praktikan lakukan adalah peran sebagai
peneliti (researcher) Pada peran ini, praktikan mengaplikasikan Evidence Base
Nursing (EBN) sebagai upaya meningkatkan kualitas intervensi keperawatan. EBN
yang praktikan aplikasikan adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya deteksi
dini ulkus diabetik, merupakan hasil critical reviw yang dilakukan oleh Taylor M.C,
pada tahun 2008 dengan judul Foot Assessment in type 2 Diabetes : an evidencebased practice approce. Penerapan EBN ini didasarkan pada tingginya angka
kejadian ulkus diabetes di tempat praktikan melakukan praktek yaitu 29,1 %, dari
seluruh pasien diabetes yang dirawat. Tidak menutup kemungkinan, penyandang
diabetes tanpa ulkus pada akhirnya akan mengalami ulkus jika tidak diketahui faktor
resikonya dan ditindak lanjuti dengan edukasi, maupun perawatan kaki. Peran
sebagai agen inovasi (change egent/innovator) dilakukan praktikan bersama tim
dengan mengembangkan metode pencegahan ulkus kaki melalui pengkajian faktor
resiko dan edukasi
Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan analisis kegiatan praktek residen ini
praktikan akan memaparkan analisis kegiatan praktek residensi dalam menjalankan
berbagai peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan menggunakan
pendekatan model adaptasi Roy
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
4
1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1.
Tujuan Umum
Melakukan analisis terhadap kegiatan praktek resiidensi
medikal
bedah
pada
peminatan
keperawatan
keperawatan
endokrin
dengan
mengaplikasikan teori model adaptasi Roy di RSUP Fatmawati
1.2.2.
Tujuan Khusus
Melakukan analisis beberapa peran yang dijalani praktikan dalam praktek
residensi yang meliputi :
a.
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien endokrin
khususnya pasien diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model
Adaptasi Roy.
b.
Peran perawat sebagai peneliti melalui penerapan evidence based
practice khususnya pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya
deteksi dini ulkus diabetik.
c.
peran
sebagai
innovator,
fasilitator,
narasumber
(resources),
koordinator dan role model melalui proyek inovasi yang dilakukan di
ruang penyakit dalam.
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi pelayanan keperawatan
a. Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pelayanan keperawatan
sebagai acuan dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan
yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem endokrin
khususnya diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi
Roy
b. Meningkatkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan penelitian
sebagai dasar pengambilan keputusan klinik berdasarkan evidence based
nursing practice pada kasus gangguan sistem endokrin khususnya
diabetes melitus
1.3.2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Melalui hasil analisis ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan
medikal bedah tentang aktualisasi peran perawat baik sebagai pemberi
layanan, pendidik, konselor, agen perubahan atau agen inovasi, penasihat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
5
klien, peneliti, pelindung, dan manajer kasus
khususnya dalam bidang
keperawatan endokrin
1.3.3. Bagi pendidikan keperawatan
Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan kurikulum pembelajaran khususnya dalam mengembangkan
intervensi – intervensi keperawatan mandiri untuk meningkatkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin berdasarkan evidence
based practice
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Konsep Penyakit Diabetes Mellitus
2.1.1. Pengertian
Diabetes sering disingkat dengan DM merupakan kelompok penyakit metabolik
yang yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah sebagai akibat dari
penurunan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau keduanya (ADA, 2012).
Glukosa yang berasal dari makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan akan
bersirkulasi di dalam darah dalam jumlah tertentu. Selanjutnya proses regulasi atau
metabolisme glukosa di sel otot, lemak dan hepar akan diperankan oleh hormone
insulin.
Hormon insulin ini merupakan rangkaian asam amino yang diproduksi oleh sel beta
kelenjar pancreas. Pada keadaan terentu dapat terjadi penurunan produksi insulin
oleh sel beta pancreas atau insulin yang ada tidak sensitive terhadap kadar glukosa
dalam darah. Kondisi ini akan meningkatkan glukosa dalam sirkulasi darah atau
disebut hyperglikemia. Hyperglikemia yang terus terjadi dan dalam jangka waktu
yang lama dapat menimbulkan berbagai gangguan baik pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler), pembuluh darah besar (makrovaskuler), maupun gangguan pada
saraf (neuropathy) (Smeltzer & Bare, 2008; Manaf, 2009; Lewis et al, 2011;
LeMone, 2011).
2.1.2. Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu
ke waktu. Hasil penelitian baik klinis maupun laboratories menunjukan bahwa
diabetes merupakan suatu keadaan yang heterogen baik etiologi maupun
macamnya dan pada akhirnya kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian
lebih berdasarkan etiologi penyakitnya, sehingga PERKENI, 2011; ADA, 2012
mengklasifikasikan diabetes menjadi :
2.1.2.1. Diabetes Tipe I
Diabetes tipe 1 ini umumnya terjadi karena kerusakan sel beta pancreas
sehingga produksi insulin mengalami kegagalan dan mengakibatkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
7
defisiensi insulin absolute. Jumlah penyandang DM tipe 1 ini hanya 5 - 10
% dari jumlah seluruh penyandang DM. Pada klasifikasi awal DM tipe 1 ini
disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Ini
dikarenakan pada penyandang DM tipe 1 mutlak membutuhkan insulin dari
luar tubuhnya. Kerusakan sel beta pancreas terjadi karena reaksi autoimun
sebagai dampak dari berbagai pencetus salah satunya adalah proses
infeksi.virus seperti virus
Cocksakie, Rubella, CMV, Herpes, dan lain
sebagainya hingga timbul peradangan sel–sel beta (insulitis). Ada beberapa
tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA
(Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies),
dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). Defisiensi
insulin absolut terjadi jika kerusakan sel beta pancreas mencapai 80 - 90%
yang akan menyebabkan gangguan metabolisme ( Lewis et al, 2011).
Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel alpha kelenjar pankreas pada
penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1
ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel alpha kelenjar
pankreas. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon,
namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon
tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah
kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah
cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapat terapi insulin (Depkes, 2005; Smeltzer & Bare, 2008;
Lewis, 2011).
Faktor resiko pada DM tipe 1 diantaranya adalah genetic. Ditemukan pada1
dalam 400 hingga 1 dalam 1000 untuk semua populasi, Resiko berkembang
menjadi DM tipe 1 pada anak dengan orang tua yang menyandang DM 1
dalam 50 resiko,Maftin, 2009 (dalam LeMone, 2011). Faktor resiko lain
adalah lingkungan. Infeksi virus, zat kimia dan asap rokok dapat menjadi
factor pemicu terjadinya insulitis dari reaksi autoimun.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
8
2.1.2.2. DM Tipe II
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM
Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes,
umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM
Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes,
2005).
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor. Faktor genetik dan
pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM
tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta
kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu
faktor pradisposisi utama dimana 85 % penyandang DM tipe 2
mengalami obesitas sebelumnya (Black & Hawks, 2009)
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang
berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang
cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi.
Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas,
gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β
Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe
1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2
hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya
umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
9
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase
pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan
glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah,
sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya.
Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif,
yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. Namun pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insulin (Depkes, 2005; Suyono dalam Sugondo dkk, 2011;
LeMone, 2011).
Faktor resiko dari DM tipe 2
menurut Port & Matfin, 2009 dalam
(LeMone, 2011) diantaranya adalah :
a. Riwayat DM pada orang tua atau saudara kandung. Meskipun tidak
teridentifikasi adanya HLA, seorang anak dari penyandang DM tipe 2
beresiko 2 hingga 4 kali lipat dan 35 % mempunyai resiko berkembang
menjadi intoleransi glukosa.
b. Obesitas, dimana berat badan lebih dari 20% BB ideal atau BMI lebih
dari 27 kg/m2. Obesitas khususnya obesitas visceral berhubungan
dengan resistensi insulin
c. Pada wanita dengan riwayat DM gestational, atau melahirkan lebih dari
4 kg
d. Hypertensi , peningkatan lipid profile : kolesterol, HDL & trigliserida
e. Metabolik sindrom dengan manifestasi yang berhubungan dengan DM
tipe 2
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
10
2.1.2.3. DM Tipe Gestasional
ADA, 2012 mendefinisikan DM gestational adalah intoleransi glukosa yang
terjadi atau pertama kali diketahui saat proses kehamilan. Kondisi ini bisa
berlanjut hingga setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami DM
sejak sebelum kehamilannya tidak termasuk kelompok ini. Di Amerika DM
tipe ini terjadi pada 7 % dari seluruh kasus kehamilan.
Timbulnya intoleransi glukosa biasanya terjadi pada kehamilan trimester
dua atau tiga akibat dari sekresi hormone plasenta yang berdampak
menghambat kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2008). Bayi yang dilahirkan
oleh ibu dengan DM tipe ini akan beresiko mempunyai berat badan yang
besar (makrosomia).
Faktor resiko pada DM gestational ini berdasarkan adanya riwayat DM
pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat keluarga dengan DM tipe 2,
adanya glikosuria dan riwayat polycystic ovary symdrom
2.1.2.4. DM Tipe lain
Klasifikasi DM yang terakhir ,dimana DM ini tidak termasuk DM tipe
1,tipe 2 maupun tipe gestational. DM ini dikenal dengan DM tipe lain. Pada
DM ini, penyebabnya adalah (ADA, 2012) :
a. Kerusakan genetic pada fungsi sel beta
b. Kerusakan genetic pada aksi insulin
c. Penyakit eksokrin pancreas : Pancreatitis, trauma/pancreotomy,
neoplasia, Cystic fibrosis, hemocromatosis, dan lainnya
d. Endokrinopathy:
acromegaly,
cushing’s
syndrome,glukagonoma,
aldosteronoma, hypertiroidism, somatostatinoma
e. Obat-obatan atau zat kimia : vacor, pentamidine, asam nicotinic,
glukokortikaoid, diazoxide, thiazide, dilantin dan yang lainnya
f. Infeksi : Rubella, CMV, dan yang lainnya
g. Sindrom genetic lain yang berhubungan dengan diabetes : Down
sindrom, turner sindrom, myothonic dystrophy, wolfram sindrom dan
yang lainnya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
11
2.1.3. Tanda dan Gejala
Gejala klinis klasik pada semua tipe DM dikenal dengan trias poly. yaitu
polydhipsi, polypaghia dan polyuria. Gejala trias poly ini seringkali tidak pada
awalnya dirasakan oleh penyandang DM tipe 2, sehingga pada penyandang DM
tipe 2 datang kepelayanan kesehatan dengan gejala komplikasi yang ditimbulkan
(Lewis, et al 2011; LeMone, 2011). Berikut ini diuraikan tanda dan gejala yang
ditimbulkan dari peningkatan gula darah pada penyandang DM menurut LeMone et
al, 2011
2.1.3.1. Polyuria
Polyuria atau sering disebut sering buang air kecil, terjadi karena adanya
akumulasi
glukosa
di
dalam
sirkulasi
darah
menyebabkan
hyperosmolaritas pada serum. Selanjutnya terjadi perpindahan cairan dari
intra seluler ke dalam system sirkulasi. Peningkatan volume dalam
pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke ginjal dan hyperglikemia
menyebabkan dieresis osmotic yang pada akhirnya meningkatkan
pengeluaran urine.
Ambang batas ginjal terhadap kadar glukosa darah adalah 180 mg/dL.
Ketika kadar gula darah lebih dari nilai tersebut, maka glukosa akan
dikeluarkan bersama urine. Kondisi ini disebut dengan glukosuria.
2.1.3.2. Polydipsia
Penurunan volume cairan di intraseluler dan peningkatan pengeluaran
urine akan menyebabkan dehidrasi tingkat sel. Mukosa mulut menjadi
kering dan sensasi haus dirasakan, maka akan menyebabkan peningkatan
asupan cairan.
2.1.3.3. Polyphagia
Penurunan jumlah atau sensitifitas insulin untuk membantu memasukan
glukosa ke dalam sel, menyebabkan terjadinya penurunan metabolism dan
pembentukan energy. Penurunan energi ini akan menstimulasi pusat lapar
dan penyandang DM menjadi banyak makan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
12
2.1.3.4. Penurunan berat badan
Pemenuhan kebutuhan energy akibat kegagalan penggunaan glukosa
sebagai sumber energy didapatkan dari sumber energy lain yaitu protein
dan lemak. Pemecahan asam amino (Proteolisis) terjadi pada otot yang
disimpan sebagai cadangan protein. Berkurangnya cadangan protein otot
menyebabkan penurunan berat badan.
2.1.3.5. Penurunan Penglihatan
Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dapat menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik pada mata dan perubahan pada lensa
sehingga pasien akan mengalami gangguan dalam penglihatan.
2.1.4. Diagnosis
Penegakan diagnose DM tidak hanya dilakukan berdasarkan keluhan yang
disampaikan oleh pasien. Diagnosis DM harus didasarkan pada pemeriksaan
penunjang khususnya pemeriksaan gula darah. Keluhan klasik seperti polyuria,
polydipsi, polyphagia, badan yang lemah, penurunan berat badan tanpa diketahui
jelas penyebabnya menjadi dasar dugaan adanya DM.
Pada beberapa dekade, diagnosis DM ditegakkan dengan pemeriksaan gula darah
sewaktu, gula darah puasa dan gula darah 2 jam setelah beban (glukosa 75 gr).
Sejak tahu 2009, pada International Expert Committee termasuk di dalamnya
terdapat perwakilan dari American Diabetes Association (ADA), International
Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study of Diabetes
(EASD), merekomendasikan pemeriksaan HbA1C sebagai uji untuk diagnosis DM.
Didiagnosis sebagai penyandang DM jika di dapatkan hasil HbA1C > 6.5%.
Pemeriksaan HbA1C menggunakan metode yang telah terstandar oleh National
Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and
Complications Trial (DCCT) (ADA, 2012).
HbA1C atau haemoglobin glikosilate merupakan gugus heterogen yang terbentuk
dari ikatan hemoglobin dan gukosa dalam darah. Apabila hemoglobin bercampur
dengan larutan dengan kadar glukosa yang tinggi, rantai beta molekul hemoglobin
mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, proses ini dinamakan glikosilasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
13
Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini
meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal, sekitar
4-6% hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin glikosilat atau
hemoglobin A1c. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar hemoglobin A1c
dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan
hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar hemoglobin A1c yang tinggi
mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes selama 3-5 minggu sebelumnya.
Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar hemoglobin A1c kembali ke
normal dalam waktu sekitar 3 minggu.
Karena HbA1c terkandung dalam eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari, maka
HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan.
Pemeriksaan ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan informasi
yang lebih jelas tentang keadaan penderita dan seberapa efektif terapi diabetik yang
diberikan. Peningkatan kadar HbA1c > 6.5% mengindikasikan diabetes mellitus
yang tidak terkendali dalam 3 bulan terakhir. Keuntungan yang lain dari
pemeriksaan ini, tidak memerlukan persiapan seperti puasa dan pengambilan darah
hanya dilakukan sekali saja (ADA, 2012; Black & Hawk, 2009). Namun demikian
HbA1C hanya dapat dilakukan pada laboratorium yang telah terstandar.
Pemeriksaan yang lain dan masih direkomendasikan oleh ADA, 2012 maupun
PERKENI, 2011 adalah pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa, gula
darah 2 jam setelah beban. Berikut kriteria diagnosis DM menurut ADA, 2012
a.
Adanya gejala klasik DM dengan hasil HbA1C > 6.5 % , dan pemeriksaan
menggunakan metode yang terstandart (NGSP atau DCCT), atau
b.
Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL
(11,1 mmol/L). Gula darah plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau
c.
Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa puasa > 126 mg/dL (7,0
mmol/L). Puasa diartikan tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8
jam, atau
d.
Kadar gula plasma 2 jam pada Toleransi Tes Glukosa Oral (TTGO) > 200
mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, yaitu
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
14
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air.
Pada orang-orang yang beresiko DM namun tidak menunjukan adanya gejala DM,
perlu dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mendeteksi lebih awal adanya gangguan pada toleransi glukosa atau resiko DM
sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih awal. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan melalui pemeriksaan guladarah sewaktu, atau gula darah puasa. Berikut
ini kadar gula darah sebagai penyaring diagnosis DM (Pra diabetes)
a. Gula darah puasa 100mg/dL (5,6 mmol/L) – 125 mg/dL (6,9 mmol/L)
b. Gula darah 2 jam setelah beban dengan 75 gr glukosa oral 140 mg/dL (7.8
mmol/L) sampai 199 mg/dL (11.0 mmol/L)
c. HbA1C : 5,7% sampai 6,4 %
Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukan kelainan hasil, dilakukan
pemeriksaan ulang setiap tahun. Untuk yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko
lain, penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Pemeriksaan penunjang lain yang disarankan untuk mengetahui factor resiko
maupun gangguan metabolism lebih lanjut diantaranya adalah pemeriksaan lipid
profile. Gangguan metabolism glukosa dapat menimbulkan peningkatan pada kadar
trigliserida, penurunan HDL, perubahan pada struktul LDl, dimana dapat
ditemukan peningakatan small dense LDL. Penurunan kadar C-Peptida dalam
darah dapat digunakan untuk menggambarkan penurunan produksi insulin oleh sel
beta pancreas.
2.1.5. Penatalaksanaan
Tujuan jangka pendek dari penatalaksanaan pada penyandang DM
adalah
menghilangkan keluhan dan tanda dari DM, mempertahankan kenyamanan, dengan
gula darah yang terkontrol. Sedangkan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai
adalah mencegah dan menghambat progresivitas penyulit atau komplikasi seperti
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pada akhirnya keberhasilan
penataksanaan akan meningkatkan kualitas hidup penyandang DM, menurunnya
angka mortalitas dan morbiditas DM.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
15
Penatalaksanaan DM ini dilakukan secara holistic dan terpadu dengan melibatkan
multidisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, educator, dan lainnya)
dan
keluarga sebagai system pendukung utama.
Pilar penatalaksanaan utama untuk DM meliputi edukasi, perencanaan makan,
latihan jasmani, intervensi farmakologis dan monitoring gula darah. Berikut ini
penjelasan dari 5 pilar penatalaksanaan DM :
2.1.5.1. Edukasi
Edukasi merupakan proses perpindahan informasi dari suatu sumber untuk
menambah pengetahuan (internalisasi) satu individu dalam rangka
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dan diharapkan
menampilkan satu perubahan perilaku (Nasution, 2008). Penyandang DM
umumnya mempunyai resiko dari pola hidup yang tidak sehat. Selain itu
pengendalian gula darah dan pencegahannya memerlukan perawatan
sepanjang hidupnya, sehingga perubahan pola hidup dan kepatuhan
terhadap perawatan hendaknya didasarkan pada pengetahuan yang benar.
Tujuan dari edukasi pada penyandang DM adalah terjadinya perubahan
perilaku untuk jangka panjang. Perubahan perilaku ini dapat dicapai
dengan cara memberikan pengetahuan yang dibutuhkan sehingga
penyandang DM mampu membuat keputusan sendiri yang akan
memperbaiki kesehatan individu tersebut.
Prinsip edukasi yang harus disampaikan adalah sesuai kebutuhan,
diberikan secara bertahap sehingga proses internalisasi dapat tercapai.
Memperhatikan kondisi diabetisi seperti tingkat pendidikan, usia,
pengetahuan dan persepsi yang dimiliki, budaya hingga kondisi psikologis
merupakan hal penting untuk pencapaian informasi.
Edukasi yang diberikan untuk diabetisi diantaranya informasi tentang DM,
pengendalian gula darah melalui perencanaan makan, latihan jasmani dan
obat-obatan, pemantauan gula darah, tanda dan gejala komplikasi akut dan
pencegahan komplikasi kronikseperti perawatan kaki.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
16
2.1.5.2. Pengaturan makan
Pengaturan makan merupakan salah satu terapi non farmakologis yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang DM (diabetisi). Prinsip dari
perencanaan makan ini adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individu (Yunir .E & Soebardi, 2009; ADA, 2012).
Manfaat yang didapatkan dari perencanaan makan pada penyandang DM
antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah
sistolikdan diastolic, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil
lipid, dan pada akhirnya meningkatkan sensitifitas insulin dan mencegah
timbulnya kompliksi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM
hamper sama dengan anjuran makan pada umumnya, yaitu gizi seimbang
sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi dari masing-masing individu.
Penekanan perencanaan makan pada diabetisi adalah pentingnya
keteraturan pada jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama pada
diabetisi yang menggunakan obat penurun glukosa atau insulin (Sukardji
dalam Sugondo, Suwondo, Subekti, 2011; PERKENI, 2011).
Komposisi bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi dalam rangka
mencapai gizi seimbang terdiri dari makronutrien, yaitu karbohidrat,lemak
dan protein, dan mikronutrien yang terdiri dari vitamin dan mineral.
Jumlah karbohidrat yang dianjurkan 45 – 65 % dari total asupan energi,
protein 10- 20 % dan lemak 20 – 25%.
Selain komposisi bahan makanan, jumlah kalori juga merupakan hal yang
harus diperhatikan. Setiap individu akan berbeda jumlah kalori yang
dibutuhkan. Penghitungan kalori pada penyandang DM disesuaikan
dengan jenis kelamin, aktifitas fisik, berat badan, stress metabolic dan
kondisi kehamilan.
Makanan yang telah disesuaikan komposisi dan kalori, kemudian dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan
malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
17
2.1.5.3. Latihan jasmani
Latihan fisik atau olah raga pada penyandang diabetisi akan membantu
dalam pengendalian gula darah, menurunkan lemak dalam darah,
menurunkan berat badan, menjaga kebugaran dan akan meningkatkan
sensitifitas insulin. Aktivitas fisik melibatkan kelompok besar otot-otot
utamanya
yang mempengaruhi
peningkatan
pengambilan
oksigen
sehingga terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif.
Prinsip latihan jasmani pada pasien diabetes hampir sama dengan latihan
jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti: frekuensi,
intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan
pada pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali
dalam 1 minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (60-70% maximum
heart rate), dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun
jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani endurans
(aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan,
jogging dan bersepeda. Latihan jasmani yang dipilih adalah latihan yang
disenangi oleh pasien (Yunir & Soebardi, 2009).
Proses terjadinya pengendalian kadar glukosa darah (penurunan kadar
glukosa darah) pada penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani
karena meningkatnya ambilan glukosa oleh otot yang bekerja selama
latihan jasmani berlangsung dan pada masa pemulihan atau pasca latihan
jasmani. Penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani
memperoleh sumber energinya berasal dari glukosa dan glikogen otot.
Pada saat latihan jasmani berlangsung (kontraksi otot rangka), aliran darah
akan meningkat ke daerah otot yang bekerja tersebut untuk membawa
bahan sumber energi (glukosa). Kontraksi sel otot merupakan peristiwa
berinteraksinya aktin dan miosin yang didahului oleh pelepasan ion
kalsium intrasel karena rangsangan persarafan. Kalsium
intrasel
mengaktifkan sejumlah enzim PKC serine kinase yang diduga
menstimulasi molekul transpor glukosa, GLUT4. Peristiwa kontraktil juga
mengubah rasio AMP/ATP sehinggga mengaktivasi AMP kinase. AMP
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
18
kinase memfosforilasi dan mengaktivasi enzim NO sintase sehingga
meningkatkan produksi NO (Nitrat Oxide) dan menstimulasi peningkatan
transport glukosa ke dalam sel otot rangka yang aktif. AMP kinase juga
memfosforilasi molekul p38 MAPK yang akan meningkatkan translokasi
GLUT4. Peningkatan GLUT4 pada sel otot yang aktif pada penderita DM
tipe 2 akan meningkatkan ambilan glukosa dari plasma darah sehingga
akan menurunkan kadar glukosa darah.
Latihan jasmani menjadi kontraindikasi pada kondisi guladarah >
250mg/dL, terdapat keton yang positif dan gangguan kardiovaskuler. Pada
kondisi ini meningkatkan metabolism sehingga meningkatkan kadar gula
darah dan benda keton.
Tahapan dalam latihan jasmani pada penyandang DM dimulai dengan
pemanasan, latihan inti, pendinginan dan peregangan. Untuk menghindari
hal yang tidak diinginkan seperti hipoglikemia, maka latihan fisik yang
akan dilakukan harus direncanakan & dalam pengawasan.
2.1.5.4. Obat-obatan
Terapi farmakologis atau obat, digunakan jika penatalaksanaan melalui
pengaturan makan dan latihan fisik, serta perubahan gaya hidup tidak
mampu mengendalikan gula darah. DM tipe 2 yang merupakan populasi
terbanyak terjadi karena resistensi insulin, penggunaan obat hiperglikemi
oral seringkali menjadi pilihan utama. Namun pada kondisi kerusakan sel
beta atau untuk mencegah kerusakan lebih lanjut insulin eksogen juga
menjadi pertimbangan untuk digunakan (Sugondo, Suwondo, Subekti
2011).
a. Obat hiperglikemia oral (OHO)
Ada 2 jenis obat hipoglikemik oral diantaranya adalah pemicu sekresi
insulin (seperti sulfonylurea dan glinid) dan obat penambah
sensitivitas terhadap insulin (biguanid, tiazolidindion, penghambat
glukosidase alfa dan incretin mimetic)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
19
ï‚·
Sulfonyluera
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta
pangkeras
untuk
melepaskan
insulin
yang
tersimpan.
Sulfonylurea pada umunya diberikan dengan dosis rendah untuk
mencegah
hipoglikemi.
Jenis
obat
sulfonylurea
adalah
klorpropamid, glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimepirid.
ï‚·
Glinid
Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 jenis obat seperti repaglinid, dan nateglinid.
ï‚·
Biguanid
Jenis obat ini seperti: metformin dam metformin XR. Metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja
insulin pada tingkat selular. Metformin tidak dapat menyebabkan
penurunan glukosa darah sampai normal sehingga obat ini
dikenal juga dengan obat anti hiperglikemik. Kombinasi
supfoniluera dengan metformin tanpak memberikan kombinasi
yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling aditif.
ï‚·
Tiazolidindion
Golongan
obat
yang
mempunyai
efek
farmakologis
meningkatkan sensitivitas insulin/ dapat diberikan secara oral.
- Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan
penyerapan
glukosa
dan
menurunkan
hiperglikemia postprandial.
- Golongan incretin memetic
Pada pemberian glukosa secara oral, akan didapatkan kenaikan
kadar insulin yang lebih besar dari pada pemberian glukosa
secara intravena.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
20
b. Insulin
Insulin eksogen atau berasal dari luar tubuh diberikan pada semua DM
tipe 1. Indikasi pemberian pada DM tipe 2 adalah pada kondisi dimana
terapi lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa
darah, terjadi peningkatan metabolism : stress berat, infeksi,
pembedahan, MCI dan stroke. Komplikasi akut seperti ketoasidosis,
sindrom hiperosmolar non ketotik juga menjadi indikasi penggunaan
insulin eksogen (Sugondo, 2011)
Berdasarkan cara kerjanya insulin eksogen (puncak kerja dan jangka
waktu efeknya), insulin dibagi menjadi empat tipe, yaitu : Insulin kerja
singkat(short acting insulin), insulin kerja cepat (rapid acting insulin),
insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja
panjang (long acting insulin).
Tabel 2.1.
Tipe insulin dan cara kerja
Cara Kerja
Sediaan
Onset
Puncak
Durasi
Rapid acting
Humalog (insulin
lispro)
Novolog ( Insulin
Aspart)
5 – 10
menit
1 jam
2–4
jam
Short acting
Humulin R
Novolin R
0,5 – 2
jam
2- 4 jam
4–6
jam
Intermediate
acting
Long acting
Humulin N (NPH)
Humulin 70/30
2–4
jam
4 – 10
jam
10- 16
jam
Humulin U (Ultralente)
Lantus ( Insulin
glargine)
Tidak ada onset dan tidak ada
masa puncak kerjanya
2.1.5.5. Monitoring gula darah
Monitoring gula darah sangat penting dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemi atau hiperglikemi, terutama
pada orang yang mendapatkan terapi insulin atau OHO yang berdampak
pada peningkatan sekresi insulin. Saat ini telah banyak dipasarkan alat
monitoring gula darah yang dapat digunakan oleh para penyandang DM.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
21
Monitoring gula darah oleh diabetisi sendiri hasilnya sangat dipengaruhi
oleh kemampuan diabetisi mengenali dan menggunakan alat tersebut.
Perawat berperan dalam memberikan edukasi untuk tehnik pemeriksaan
hingga pembacaan hasil.
Monitoring glukosa oleh diabetisi dapat dilakukan 2–4 kali sehari pada
penyandang DM yang mendapat terapi insulin yaitu pagi sebelum makan
dan sebelum tidur, atau setiap sebelum makan dan 2 jamsetelah makan.
Jika gula darah sudah stabil dapat dilakukan 2–3 kali dalam seminggu.
Untuk penyandang DM yang tidak mendapatkan insulin, monitoring dapat
dilakukan 2–3 kali seminggu termasuk pemeriksaan 2 jam setelah beban
glukosa atau setelah makan (Smeltzer & Bare, 2008).
Monitoring gula darah sendiri dianjurkan pada penyandang DM yang
guladarahnya tidak terkontro, kejadian hypoglikemia berulang dan wanita
hamil dengan hyperglikemia (PERKENI, 2011)
2.1.6. Komplikasi
Penatalaksanaan DM yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai komplikasi,
baik yang disebabkan karena penurunan gula darah yang terlalu drastis maupun
peningkatan gula darah. Komplikasi yang terjadi bisa bersifat akut maupun kronik.
2.1.6.1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia
Hypoglikemia adalah terjadinya penuruanan glukosa dalam darah
hingga dibawah 60 mg/dL. Pada penyandang DM, hypoglikemia
biasanya terjadi peningkatan kadar insulin yang tidak tepat, baik akibat
penyuntikan insulin eksogen maupun konsumsi OHO dengan aksi
peningkatan sekresi insulin seperti sulfonylurea.
Hipoglikemi merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kegawatan
hingga kematian. Hal ini terjadi karena glukosa merupakan komponen
penting yang dibutuhkan untuk metabolism sistim saraf pusat (otak).
Pada gangguan asupan glukosa yang berlangsung dalam beberapa
menit, akan menyebabkan gangguan pada fungsi saraf pusat dengan
gejala mulai dari gangguan koknisi, penurunan kesadaran hingga koma.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
22
Mekanisme
tubuh
dalam
kondisi
hipoglikemia
yaitu
dengan
melepaskan neuroendokrine dan mengaktifkan sistim saraf otonom.
Penekanan produksi insulin, produksi glucagon dan epinephrine
merupakan pencegahan terhadap hipoglikemia lanjut. Peniningkatan
epinephrine
akan
menimbulkan
manifestasi
palpitasi,
cemas,
diaphoresis, lapar dan pucat (Lewis, 2011).
Tanda dan gejala hipoglikemia, menurut Sugondo, dkk, 2011 dapat
dibagi dalam 4 stadium, yaitu
- Stadium parasimpatik : lapar, mual dan tekanan darah menurun
- Stadium gangguan otak ringan : lemah,lesu, sulit bicara, gangguan
koknitif seperti kesulitan menghitung
- Stadium Simpatik : keringat dingin pada area wajah dan ekstremitas
yang disertai dengan berdebar-debar
- Stadium gangguan otak berat : koma dengan atau tanpa kejang.
Pencegahan hipoglikemia dapat dilakukan dengan member edukasi
kepada diabetisi mengenai OHO atau insulin yang digunakan: kapan
harus dikonsumsi,bagaimana penyuntikan insulin yang benar seperti
lokasinya, waktunya, dosis dan tehnik penyuntikan. Pengaturan makan
sesuai jumlah, jenis dan jadwal penjadi pokok utama pencegahan.
Pengenalan terhadap gejala hipoglikemia dan penanganan awal juga
merupakan hal penting yang harus diketahui penyandang DM, sehingga
tidak jatuh kepada hipoglikemia tahap lanjut.
Jika hipoglikemia sudah terjadi maka, pengobatan harus segera
dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan otak lebih lanjut
(Soegondo 2011), yaitu :
- Stadium awal : masih komposmentis, dapat diberikan gula murni
30 gr (2 sendok makan) atau sirup, permen dan makanan yang
mengandung karbohidrat mudah cerna dan insulin atau OHO tidak
diberikan.
- Stadium koma hipoglikemia : segera dibawa ke pelayanan
kesehatan. Pemberian glukosa 40 % sebanyak 2 flakon intravena
setiap 10- 20 menit hingga pasien sadar, disertai pemberian cairan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
23
dextrose 10% perinfuse 6 jam/kolf dengan pemantauan gula darah
setiap 30 menit.
b. Ketoasidosis
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) juga merupakan komplikasi akut yang
menyebabkan kondisi kegawatan sehingga membutuhkan pengelolaan
yang cepat. KAD suatu keadaan dekompensasi dan kekacauan
metabolic yang ditandai dengan hyperglikemia, asidosis dan ketosis
dan gejala dehidrasi (Suwondo P, 2009; Lewis, 2011, LeMone, 2011).
Walaupun KAD lebih mudah terjadi pada DM tipe 1, namun tidak
sedikit penyandang DM tipe 2 juga mengalami komplikasi KAD dan
20 % dari pasien KAD, baru diketahui menderita DM.
Faktor pencetus terjadinya KAD adalah infeksi, MCI, pancreatitis akut,
penggunaan obat steroid dan menghentikan atau mengurangi dosis
insulin.
Proses terjadinya KAD dapat diawali dengan defisiensi insulin absolute
maupun relative mengakibatkan sel tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa. Sistem homeostasis tubuh teraktivasi sehingga cadangan
glukosa dihati dan otot dikeluarkan. Kondisi ini menyebabkan
hiperglikemia yang berat. Selanjutnya terjadi hormone kontraregulator
meningkat terutama epinephrine yang akan merangsang aktivasi
hormone lipase sensitive, lipolisis meningkat, benda keton dan asam
lemak bebat juga akan meningkat dalam darah. Akumulasi benda keton
ini akan menyebabkan asidosis metabolic.
Gejala dehidrasi terjadi diawali dengan glycosuria yang akan
menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan
elektrolite-seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan
klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia
pra renal dan dapat menimbulkan shock hypovolemik. Asidosis
metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan
derajat ventilasi (peranafasan Kussmaul). Muntah-muntah juga
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
24
biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan
elektrolite.
Diagnosis KAD dapat ditegakkan berdasarkan pada nilai gula darah
lebih dari 250 mg/dL, pH darah kurang dari 7,35, HCO3 rendah dengan
anion gap yang tinggi dan keton serum positif. Pemeriksaan lain
sebagai
penunjang
dari
manifestasi
yang
ditimbulkan
yaitu
pemeriksaan elektrolit, urium creatinin, dan penghitungan osmolaritas.
Penatalaksanaan KAD dilakukan berdasarkan patofisiologi dan
pathogenesis penyakit. Diperlukan pengelolaan yang intensive dengan
prinsip pengelolaan KAD, yaitu : penggantian cairan dan elektrolit
yang hilang, menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis
sel hati dengan pemberian insulin, mengatasi pencetus KAD,
mengembalikan kekondisi fisiologis dengan pemantauan glukosa.
-
Penggantian cairan (rehidrasi) : Cairan yang digunakan adalah
NaCl 0,9%. Diberikan 1- 2 liter pada jam pertama, kemudian jam
kedua diberikan 1 liter, setelah itu cairan diberikan sesuai dengan
tingkat dehidrasi. Rehidrasi pada KAD selain memperbaiki perfusi
jaringan, juga akan menurunkan hormone kontraregulator insulin.
-
Insulin : insulin mulai diberikan dalam bentuk bolus pada jam ke 2,
dengan dosis 180 mU/KgBB, dilanjutkan dengan drip 90
mU/KgBB dalam NaCl 0,9%. Bila gula darah stabil dalam 12 jam
(200 – 300 mg/dL), dilanjutkan dengan drip insulin 1 – 2 ui/jam
dan dilakukan penyesuaian insulin setiap jam. Pemberian insulin
pada KAD ini bertujuan menurunkan konsentrasi hormone
glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,
pelepasan asam lemak bebas, pelepasan asam amino dan
meningkatkan penggunaan insulin oleh sel.
-
Kalium : hipokalemia bisa terjadi pada KAD karena perpindahan
ion K,dari dalam sel keluar sel yang pada akhirnya keluar melalui
urine karena proses dehidrasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
25
c. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
HHNK merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis
utama didapatkan adanya dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan dapat
disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.
Faktor pencetus timbulnya HHNK diantaranya infeksi, pengobatan,
DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta
seperti
tumor
yang
menghasilkan
hormone
adeokortikotropin,
pancreatitis dan lainnya. Pada usia lanjut dengan DM HHNK lebih
mudah terjadi khususnya lansia dengan penyakit penyerta dan asupan
nutrisi yang kurang.
Proses
perjalanan
HHNK
sama
dengan
KAD
dimana
tidak
tercukupinya insulin akan mengakibatkan hiperglikemia yang pada
akhirnya terjadi dieresis osmotik. Kehilangan cairan intravascular akan
menyebabkan keadaan hiperosmolar yang akan memicu sekresi
hormone anti diuretic, rasa haus yang berkepanjangan akan dirasakan
oleh pasien. Kehilangan cairan yang tidak terkompensasi akan
menimbulkan penurunan perfusi jaringan hingga koma.
Pemeriksaan
penunjang
untuk
mendiagnosis
adanya
HHNK
diantaranya adalah kadar glukosa darah yang > dari 600mg/dL,
osmolaritas serum yang tinggi >320 mOsm perkg air, pH > 7.30, dapat
ditemukan adanya ketonemia ringan atau tidak ditemukan. Sebagian
pasien menunjukan asidosis metabolic dengan anion gap ringan hingga
berat. Konsentrasi BUN dan kreatininsering kalimeningkat yang
menggambarkan adanya penurunan fungsi ginjal akibat dehidrasi dan
akan terjadi penurunan elektrolit.
Penatalaksanaan HHNK yang pertamaadalah rehidrasi dengan agresif
menggunakan cairan NaCL 0,9 % dimulai dari 1 liter setiap jam.
Pemberian
elektrolit
khususnya
kalium
yang
hilang
bersama
pengeluaran cairan. Pemantauan terhadap kondisi aritmia sebagai
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
26
akibat hypokalemi harus dilakukan. HHNK diawali dengan ketidak
cukupan kebutuhan insulin, sehingga pemberian insulin sangat penting.
Pemberian insulin ini dilakukan setelah kondisi kekurangan cairan
tubuh teratasi.
2.1.6.2. Komplikasi Kronik
Kelainan metabolik pada DM tipe 2 dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan perubahan berbagai organ pada tubuh dan bersifat
irreversible. Hiperglikemia menyebabkan glukosa direduksi menjadi
sorbitol dalam sel yang mengandung enzim aldoreduktase. Sorbitol bersifat
hidrofilik
sehingga
tidak dapat
melewati
membran sel
sehingga
meningkatkan akumulasi poliol intrasel sehingga sel menjadi bengkak dan
mengalami kerusakan akibat proses osmotik (Waspadi dalam Sudoyo, 2009;
Sibernagl & Lang, 2007).
Hiperglikemia menyebabkan kerusakan jaringan melalui terbentuknya
glikosilasi
antara
glukosa dengan
protein
non-enzimatik
Advance
Glycocilation End Products (AGES) yang berikatan dengan reseptor
membran sel serta adanya pembentukan radikal bebas reactive oxygen
species (ROS) yang dapat mengakibatkan pengendapan kolagen pada
membran basalis pembuluh darah, kerusakan endothelium, penyempitan
lumen dan penurunan permiabilitas pembuluh darah (Scott, Gronowski,
Eby, 2007; Waspadji dalam Sudoyo, 2009).
Kerusakan dinding pembuluh darah kecil dapat menyebabkan neuropati,
nefropati dan retinopati. Neuropati disebabkan akibat penumpukan sorbitol
pada sel schwan dan neuron sehingga mengganggu konduksi sel-sel saraf
yang mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom, sensori dan refleks.
Neuropati ditandai dengan adanya penurunan fungsi serabut saraf secara
progresif. Neuropati merupakan komplikasi yang banyak terjadi pada DM
dan diperkirakan terjadi pada 50% pasien DM baik tipe 1 maupun tipe 2
(Lin, 2011).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
27
Nefropati
berhubungan
dengan
adanya
glomerulosklerosis
yang
mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus, proteinuria, hipertensi
dan gagal ginjal. Terjadinya gagal ginjal pada pasien DM tipe 2 dapat
berhubungan dengan adanya penurunan Angiotensin Concerting Enzyme
(ACE 2) yang berperan dalam melindungi ginjal (Reich, Oudit, Penninger,
Scholey, & Herzenberg, 2008). Menurut Batuman resiko terjadinya
nefropati diabetik dapat dialami pasien yang mengalami DM lebih dari 30
tahun.
Retinopati disebabkan adanya penumpukan sorbitol pada lensa mata yang
mengakibatkan penarikan cairan dan perubahan kejernihan lensa mata (Bate
& Jerums, 2003). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan pada
kelompok usia 25-74 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar
700.000 orang mengalami retinopati diabetik proliferasi dengan setiap
tahunnya terdapat 65.000 kasus. Prevalensi retinopati diabetik di Amerika
Serikat menunjukkan angka cukup tinggi yaitu sekitar 28.5% yang terutama
terjadi pada pasien DM dengan usia diatas 40 tahun (Bhavsar, 2011).
Hiperglikemia juga menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah
yang besar yang berhubungan dengan terjadinya infark miokard, stroke dan
penyakit pembuluh darah tepi. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan
pembentukan protein plasma yang mengandung glukosa seperti fibrinogen,
haptoglobin, macroglobulin alpha 2 dan faktor pembekuan V-VIII yang
cenderung mengakibatkan peningkatan pembekuan dan viskositas darah
yang mempermudah terjadinya trombosis.
Trombosis yang disertai dengan peningkatan kadar kolesterol Very Low
Density Lipoprotein (VLDL) akan menyebabkan makroangiopati yang
memicu terjadinya penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan penyakit
pembuluh darah perifer (Ignatavicius & Workman, 2010). Pasien DM tipe 2
memiliki resiko tinggi untuk mengalami gagal jantung. Kemungkinan
mekanisme yang menjelaskan tentang hubungan DM tipe 2 dengan penyakit
jantung adalah adanya peningkatan tekanan darah dan efek dari
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
28
metabolisme seperti hiperinsulinemia dan hiperglikemia (Gholap, Davies,
Patel, Sattar, & Kunthi, 2011).
Komplikasi kronik yang banyak terjadi akibat adanya komplikasi pada
makrovaskuler, mikrovaskuler maupun neuropati adalah komplikasi pada
kaki atau kaki diabetic.
Kaki diabetic didefinisikan sebagai kaki pada pasien diabetes yang rentan
terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi
pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari
diabetes. Kaki diabetic ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy),
berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan
komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,2008;
Waspadji, 2009; Turn, 2011).
Seperti dijelaskan pada definisi bahwa terjadinya kaki diabetik disebabkan
selain oleh adanya gangguan vaskuler, gangguan saraf perifer, juga dapat
disebabkan adanya deformitas musculoskeletal maupun infeksi. Proses
terjadinya kaki diabetic dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Neuropathy
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik
yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,
sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan
radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai
jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran
darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel,
dan terjadilah ND (Subekti I, 2010).
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor),
otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan
bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
29
bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50%
pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun.
Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme
vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis
kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi
saraf karena hiperglikemia.
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya
saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan
ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah
proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk,
kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya
pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa
baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran
terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda
yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas
terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyunghuyung.
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita
neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki.
Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini
adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan
fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat
perubahan neuropatik (Smeltzer & Bare, 2008).
b. Mikrovaskuler (mikroangiopathy)
Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan
terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan
glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan
terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk
advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
30
reseptornya
masing-masing
di
membrane
sel
sehingga
dapat
meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh
darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui
transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat
diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan
membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan
lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi
kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009).
c. Deformitas
Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi
sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama
adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam,
dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus.
Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada
serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat
menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw
toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles)
dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus.
Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik
menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan
edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom
memudahkan terjadinya artropati Charcot.
d. Infeksi
Penyandang Diabetes
pada jangka waktu lama akan mengalami
penurunan pada system imunitas. Penurunan system imun dapat
disebabkan oleh 3 faktor yaitu : kerusakan fungsi polimorphonuclear
leukosit, neuropathi diabetic dan penurunan vaskuler. Gangguan vaskuler
akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi sel darah
putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang
rusak dan ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang
dengan cepat. Pada kondisi ini penyandang diabetes akan mudah
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
31
mengalami infeksi terutama pada kaki yang mengalami luka (Hawks &
Black, 2010)
2.2. Asuhan Keperawatan Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy
2.2.1.Dasar Teori adaptasi Roy
Sister Calissta Roy lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, seorang
profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai mengembangkan
teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964. Roy mengembangkan suatu model
yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Model adaptasi Roy berasal
dari pemikiran Roy yang sangat terkesan dengan ketahanan anak-anak terhadap
perubahan mayor fisik dan psikososial saat dirawat di bangsal pediatric. Dimulai
dari seminar dengan Dorothy E. Jhonson untuk mempresentasikan suatu model
keperawatan dan kemudian dilanjutkan dengan berdasar pada teori adaptasi
Helson (1964), maka Roy kemudian menghasilkan suatu teori yang disebut
model adaptasi.
Ada beberapa ahli yang memberikan pengaruh atau berkontribusi terhadap
perkembangan teoritis model adaptasi Roy, para ahli tersebut antara lain Helson
(Helson’s Adaptation Theory), Rapoport (Rapoport’s Definition), Dohrenwend,
Lazarus, Mechanic, Selye, Marie Direver (Self Integrity), Martinez and sato
(common and primary stimuli affecting the modes), Poush Tedrow and Van
Landingham (Interdependence mode), Randel (Role Function Mode) (Tomey &
Alligood, 2006).
Pada awalnya, Roy mendiskusikan tentang konsep diri dan identitas kelompok
dengan menggunakan teori interaksi social sebagai dasar teori, salah satu contoh
penggunaan teori tersebut adalah persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh
respon dari orang lain. Selain itu Sullivan juga mempengaruhi Roy untuk
membuktikan bahwa seseorang itu muncul dari interaksi social yanga ada.
Gardner dan Erickson, 1984 dalam Tomey & Alligood, 2006 juga berpengaruh
pada mode yang lain, yaitu fisik-psikologis, fungsi peran dan interdependensi
untuk memahami bahwa manusia juga berasal dari komponen biologis dan
behavioral.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
32
2.2.2.Asumsi-Asumsi Utama
Roy (1988 dalam Roy & Andrews, 1999) mengidentifikasi asumsi spesifik pada
dua prinsip filosofi yaitu asumsi humanism dan veritivity. Asumsi humanism
mengatakan bahwa manusia dan pengalamannya merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk mengetahui dan menilai sesuatu untuk membentuk suatu kekuatan
kreatif, sedangkan asumsi veritivity mengatakan tentang keyakinan pada tujuan,
nilai dan arti dalam kehidupan manusia Roy (1988 dalam Roy & Andrew,
1999). Selain itu terdapat asumsi keilmuan yang berasal dari gabungan teori
system dan teori level adaptasi. Teory system mengatakan bahwa system
adaptasi manusia terlihat dari interaksi dan tindakan untuk mencapai suatu
tujuan di dunia ini. Sedangkan system adaptasi manusia sangatlah kompleks,
dengan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan stimulus dari
lingkungan, manusia mempunyai kemampuan untuk merubah lingkungan
sekitarnya.
Dalam memahami konsep adaptasi, Roy (Roy & Andrew,1999 dalam Tomey &
Alligood, 2006) mengembangkan 5 asumsi dasar dalam model adaptasi ini, yaitu
adaptasi, keperawatan, manusia/individu, kesehatan dan lingkungan.
2.2.2.1. Adaptasi
Adaptasi adalah suatu proses dan hasil, dimana manusia adalah sebagai
individu dalam satu kelompok yang menggunakan kesadaran penuh dan
pilihan untuk membentuk suatu integrasi antara manusia dan
lingkungan. Untuk mempertahankan integritas, individu berespon
terhadap stimulus dari lingkungan.
2.2.2.2. Keperawatan
Keperawatan sebagai suatu profesi pelayanan kesehatan yang berfokus
pada proses dan pola hidup manusia serta menekankan terhadap
promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
sebagai suatu kesatuan. Roy mengidentifikasikan aktifitas keperawatan
sebagai suatu pengkajian terhadap perilaku dan stimulus yang
mempengaruhi adaptasi. Keputusan dalam perawatan berdasarkan pada
pengkajian dan perencanaan yang disusun untuk mengatur stimulus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
33
yang masuk. Pada akhirnya, tujuan Roy dalam keperawatan adalah
promosi
adaptasi
individu
dan
kelompok
pada
setiap
mode
(physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role
function mode and interdependence mode) yang berkontribusi terhadap
kondisi sehat, kualitas hidup dan meninggal dengan tenang.
Keperawatan mempunyai peran yang unik yaitu sebagai fasilitator
untuk beradaptasi dengan mengkaji perilaku pada tiap mode dan faktorfaktor yang mempengaruhi adaptasi dengan cara ikut andil untuk
mengembangkan kemampuan beradaptasi dan meningkatkan interaksi
lingkungan.
2.2.2.3. Manusia.
Menurut Roy manusia adalah individu yang holistic, sebagai mahluk
adaptif terhadap lingkungan yang ada. Sebagai system adaptif, manusia
didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari beberapa bagian yang
berfungsi secara menyeluruh untuk mencapai suatu tujuan. Individu
sebagai suatu system meliputi manusia sebagai individu atau kelompok
baik itu keluarga, organisasi, komunitas atau masyarakat dalam suatu
kesatuan secara menyeluruh. Manusia mempunyai kemampuan untuk
berfikir, merasakan, menyadari dan mengartikan sesuatu untuk
merubah lingkungan dan pada akhirnya mempengaruhi lingkungan.
Dengan kata lain manusia dipandang sebagai mahluk bio-psiko-sosialspiritual yang holistik dalam segenap aspek individu dengan bagianbagiannya yang berperan bersama membentuk kesatuan, ditambah
manusia sebagai sistem yang hidup berada dalam interaksi yang
konstan dengan lingkungannya.
Dalam keperawatan, Roy mendefinisikan manusia sebagai focus utama,
penerima asuhan keperawatan, sebagai system adaptif yang hidup dan
sangat kompleks dengan aktifitas proses internal (kognator dan
regulator) untuk mempertahankan adaptasi pada 4 lini mode
(physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role
function mode and interdependence mode).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
34
2.2.2.4. Sehat
Sehat adalah suatu kondisi dan suatu proses untuk menjadi manusia
yang utuh dan berintegrasi (satu). Sehat merupakan suatu refleksi dari
adaptasi, yaitu interaksi antara individu dan lingkungan. Definisi ini
muncul dengan pemikiran bahwa adaptasi adalah suatu proses
dukungan fisik, psikologis dan integritas social menuju suatu kesatuan
dan keutuhan. Pada awalnya, Roy menampilkan kondisi sehat sebagai
suatu kondisi yang berkelanjutan dari kondisi mati dan rendahnya
status kesehatan menuju kondisi yang lebih baik dan sejahtera, untuk
selanjutnya Roy memfokuskan pada asumsi bahwa sehat adalah suatu
proses dimana kesehatan dan kematian selalu beriringan. Roy
menyatakan bahwa sehat bukanlah bebas dari menghindari kematian,
penyakit, kesedihan dan stress, tetapi lebih pada kemampuan untuk
mengatasi semua hal tersebut dengan cara yang kompeten.
Sehat dan sakit adalah kondisi yang tidak terelakkan karena merupakan
dimensi hidup dan pengalaman hidup manusia. Ketika mekanisme
koping seseorang tidak efektif, maka jatuhlah individu pada kondisi
sakit, tetapi ketika seseorang dapat beradaptasi secara terus menerus
maka orang tersebut sehat. Sebagai individu yang beradaptasi terhadap
stimulus yang ada, individu mempunyai kebebasan untuk merespon
terhadap stimulus lainnya.
2.2.2.5. Lingkungan.
Lingkungan
adalah
semua
kondisi,
keadaan,
situasi
yang
mempengaruhi pembentukan perilaku individu atau kelompok dengan
fakta yang mempertimbangkan kualitas sumber daya alam dan manusia
yang terdiri dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Perubahan
lingkungan akan menstimulasi seseorang untuk berespon secara adaptif.
Antara sistem dan lingkungan terjadi pertukaran informasi, materi dan
energi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
35
Sebagai suatu system terbuka, manusia menerima input atau stimulus dari dirinya
sendiri dan lingkungan. Tingkatan adaptasi ditentukan oleh efek yang tergabung
dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi terjadi ketika seseorang
berespon positif terhadap perubahan lingkungan, dimana respon adaptif ini
meningkatkan integritas seseorang untuk mencapai suatu kondisi sehat. Sebaliknya,
jika responnya tidak efektif maka akan terjadi gangguan integritas seseorang.
Di bawah ini bentuk diagram yang digunakan Roy untuk menggambarkan sistem
adaptasi manusia dalam bentuk sistem yang terdiri dari proses input, output,
kontrol dan umpan balik:
Input
Tingkat
adaptasi
(stimulus
fokal,
konstektual
dan
residual
Proses kontrol
Efektor
Mekanisme
koping
(Regulator
Kognator)
Fungsi fisiologis
Konsep diri
Fungsi peran
interdependensi
Output
Respons
adaptif dan
inefektif
Feeback
Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy
Dari gambar di atas terdapat 2 subsistem di model adaptasi Roy, pertama yaitu
fungsional atau subsistem proses kontrol yang terdiri dari regulator dan kognator.
Yang kedua adalah subsistem effector yang terdiri dari 4 mode adaptif, yaitu 1)
kebutuhan fisik, 2) konsep diri, 3) fungsi peran, dan 4) interdependence.
Berikut keterangan gambar 2.1 tentang manusia sebagai suatu system adaptif:
a.
Input
Roy mengidentifikasikan bahwa input merupakan stimulus yang terdiri dari
informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan
respon dimana dibagi dua dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal,
kontekstual dan stimulus residual.
ï‚·
Stimulus fokal
Stimulus yang dihadapi saat ini yang memerlukan waktu cepat untuk
respons adaptasi atau stimulus yang langsung berhadapan dengan
seseorang dan efeknya segera dirasakan, misalnya infeksi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
36
ï‚·
Stimulus kontekstual
Semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun
eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diamati, diukur serta dapat
dilaporkan secara subyektif. Rangsangan ini muncul secara bersamaan
dimana dapat menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal seperti
isolasi sosial.
ï‚·
Stimulus residual
Faktor internal yang dimiliki individu yang memungkinkan mempengaruhi
perilaku, misalnya: keyakinan, sikap, pengalaman masa lalu yang disebut
koping.
b.
Kontrol (proses)
Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk dari mekanisme yang
Roy gunakan. Mekanisme kontrol ini terdiri dari regulator dan kognator yang
merupakan bagian dari subsistem koping.
ï‚·
Sub sistem regulator
Sub sistem regulator berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis,
dimana terdapat respon otomatis terhadap perubahan lingkungan melalui
proses neuro chemical endocrine coping proses. Banyak proses fisiologis
yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator sub sistem.
ï‚·
Sub sistem kognator
Kognator
berhubungan
dengan
mode
adaptive
konsep
diri;
interdependensi dan fungsi peran dimana respon yang muncul melalui 4
canel kognitif-emosi, yaitu proses persepsi terhadap suatu informasi,
belajar, penilaian dan emosi, proses ini terjadi dalam otak.
c.
Output
Output atau keluaran dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diukur,
diamati atau secara subyektif dapat dilaporkan baik dari dalam maupun luar.
Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy membagi output sistem
sebagai respon yang adaptif atau respon yang mal adaptif. Respon yang adaptif
dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat
bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
37
kelangsungan hidup, perkembangan dan reproduksi. Sedangkan respon yang
mal adaptif adalah perlaku yang tidak mendukung dalam tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses
kontrol seseorang sebagai sisten adaptif. Beberapa mekanisme koping ditentukan
secara genetik (misalnya leukosit) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang
dapat menyerang tubuh. Mekanisme lain yang dapat dipelajari seperti pengunaan
antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu
keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan
kognator dimana mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi.
Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator sub sistem sering
bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh
individu itu sendiri serta mekanisme koping yang digunakan. Penggunaan
mekanisme koping yang maksimal megembangkan tingkat adaptasi seseorang dan
meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespons secara positif. Untuk sub
sistem regulator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol sehingga sangat
terbuka untuk melakukan penelitian tentang respons kontrol dari sub sistem
kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya konsep ini
mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan
menetapkan sistem efektor yaitu 4 (empat) model adaptasi yang terdiri dari:
a.
Kebutuhan Fisiological
Kebutuhan fisiologi meliputi interaksi manusia dengan lingkungan dan
kesepakatan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain cairan dan
elektrolit, latihan dan istirahat, eliminasi, nutrisi, sirkulasi dan oksigen serta
regulasi yang berhubungan dengan perasaan, suhu dan regulasi endokrin.
b.
Konsep Diri
Konsep diri merupakan satu dari tiga mode psikososial yang berfokus pada
psikologis dan spiritual sebagai aspek dari system manusia. Terbentuk dari
persepsi internal dan persepsi dari orang lain. Terdiri dari body sensation yaitu
bagaimana seseorang merasakan keadaan fisiknya, body image, bagaimana
seseorang memandang fisik dirinya, self consistency, bagaimana upaya
seseorang untuk memelihara dirinya dan menghindari dari ketidakseimbangan,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
38
dan moral etic spiritual self yang merupakan keyakinan seseorang dan evaluasi
dirinya.
c.
Fungsi Peran
Fungsi peran ini bagaimana mengenal pola interaksi social seseorang. Peran
ini direfleksikan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer
merupakan peran utama yang ditentukan oleh jenis kelamin, usia, dan tahap
perkembangan. Peran sekunder merupakan tugas yang harus diselesaikan
berdasarkan tugas perkembangan dan peran primernya. Peran tersier
merupakan peran yang bersifat sementara, bebas untuk dilakukan, aktivitas
dapat berupa hobi. Tujuan dari adaptasi fungsi peran ini adalah integritas social
(Tomey & Alligood, 2006)
d.
Saling Ketergantungan (interdependency)
Mode ini menunjukan mekanisme koping pada individu yang saling
berhubungan dan menghasilkan rasa saling mencintai, menghargai dan saling
membutuhkan. Hubungan ini biasanya terjadi antara individu dengan support
sistemnya.
Hasil dari mekanisme koping dari ke 4 mode ini adalah adaptif atau inefektif. Respon
adaptif ditunjukan dengan meningkatnya integritas seseorang yang meliputi intergritas
fisik, psikologi dan sosial. Sebaliknya, jika integritas ini tidak tercapai, maka respon
inefektif yang akan didapatkan.
2.2.3. Asuhan keperawatan menurut Model Adaptasi Roy
2.2.3.1. Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu :
a.
Pengkajian perilaku (behavior)
Pengkajian perilaku (behavior) merupakan langkah pertama proses
keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku
bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku
pasien adaptif atau inefektif. Perilaku yang diamati terdiri dari dua hal
yaitu perilaku yang dapat diobservasi dan perilaku yang tidak dapat
diobservasi, seperti keluhan pasien. Pengkajian tipe perilaku yang dapat
diobservasi diperoleh dengan cara dilihat, didengar, dan/atau diukur.
Apabila ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi normal
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
39
maka hal ini mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu
dapat disebabkan oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator
(Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).
Data perilaku yang diamati meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1)
fisiologis, yang terdiri dari pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi,
eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensori/ pengindraan, cairan
dan elektrolit, fungsi neurologis, fungsi endokrin; 2) konsep diri,
meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi peran, meliputi proses transisi
peran, perilaku peran, integrasi peran, pola penguasaan peran, dan
proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola memberi dan menerima,
dan strategi koping perpisahan dan kesendirian.
b.
Pengkajian stimulus merupakan tahap dua untuk mengetahui factor
yang mempengaruhi perilaku yang ditunjukan oleh individu. Faktor
yang mempengaruhi ini disebut juga dengan stimulus dan stimulus
dapat internal dan eksternal yang mencakup semua kondisi, keadaan
dan mempengaruhi sekeliling dan/atau mempengaruhi perkembangan
dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi
antara lain kultur (status sosial ekonomi, etnis, dan sistem keyakinan);
keluarga (struktur dan tugas-tugas); tahap perkembangan (faktor usia,
jenis, tugas, keturunan, dan genetik); integritas mode adaptif (fisiologis
yang mencakup patologi penyakit, konsep diri, fungsi peran, dan
interdependensi);
efektivitas
kognator
(persepsi,
pengetahuan,
ketrampilan); pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan internal
atau eksternal, pengelolaan medis, menggunakan obat-obat, alkohol,
tembakau). Pengkajian stimulus diarahkan pada stimulus fokal,
kontekstual, dan residual.
2.2.3.2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Roy & Andrews, 1999 diagnosa keperawatan merupakan proses
penilaian yang menghasilkan pernyataan status adaptasi seseorang. Sebelum
dilakukan penetapan diagnosa keperawatan semua data sudah terkumpul.
Data perilaku merupakan hasil dari pengamatan, pengukuran, dan laporan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
40
subjektif. Data lain adalah penyataan tentang stimulus fokal, kontekstual,
dan residual yang mempengaruhi data perilaku tersebut.
Selanjutnya Roy menggambarkan tiga metode dalam menegakkan diagnose
keperawatan. Metode pertama menggunakan tipologi diagnose berhubungan
dengan empat mode adaptasi. Metode kedua dalam menegakkan diagnose,
dengan mengobservasi tingkah laku yang berhubungan dengan stimulus,
baik fokal, konstektual maupun residual. Metode yang ketiga merupakan
kesimpulan satu atau lebih model adaptasi yang berhubungan dengan
stimulus.
2.2.3.3. Penetapan tujuan keperawatan.
Keperawatan terdiri dari dua yaitu : tujuan keperawatan dan aktivitas
keperawatan. Tujuan keperawatan adalah mempertinggi interaksi manusia
dengan lingkungan. Jadi peningkatan adaptasi dalam tiap empat cara
adaptasi yaitu : (1) fungsi fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran dan
(4) interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan integritas adaptasi dan
berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup dan kematian
dengan damai. Tujuan keperawatan tercapai ketika stimulus fokal berada
dalam suatu area adaptasi yang adaptif. Ketika stimulus fokal berada pada
area tersebut, manusia dapat membuat suatu penyesuaian diri atau
berespons adaptif. Hal tersebut membebaskan individu dari koping yang
tidak efektif dan memungkinkan individu untuk merespon stimulus yang
lain. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat mencapai peningkatan
penyembuhan dan kesehatan. Jadi peranan penting adaptasi sangat
ditekankan pada konsep ini.
Tujuan dari adaptasi adalah membantu perkembangan aktivitas keperawatan
yang digunakan pada proses keperawatan meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, tujuan, intervensi dan evaluasi. Adaptasi model keperawatan
menetapkan “data apa yang dikumpulkan, bagaimana mengidentifikasi
masalah dan tujuan utama, pendekatan apa yang dipakai dan bagaiman
mengevaluasi efektifitas proses keperawatan”. Setelah dilakukan pengkajian
terhadap perilaku, stimulus, dan diformulasikan ke dalam diagnosa
keperawatan
maka
langkah
selanjutnya
adalah
penentuan
tujuan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
41
keperawatan. Penetapan tujuan keperawatan diartikan sebagai pembuatan
pernyataan yang jelas dari keluaran perilaku (behavior outcomes) dari
pelayanan keperawatan. Ada tiga hal yang dimuat dalam pernyatan tujuan
keperawatan yaitu perilaku (behavior), perubahan yang diharapkan (change
expected), dan kerangka atau rentang waktu (time frame). Setelah itu tujuan
keperawatan jangka pendek dan jangka panjang ditentukan.
2.2.3.4. Intervensi dan implementasi
Menurut Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006 tujuan dari
intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan mempertinggi perilaku
adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi perilaku adaptif.
Intervensi direncanakan untuk mengelola stimulus. Sebagai stimulus,
intervensi berfokus bagaimana tujuan dapat dicapai. Fokus intervensi adalah
mengarah pada suatu stimulus yang mempengaruhi suatu perilaku.
Pengelolaan stimulus meliputi merubah, meningkatkan, menurunkan,
memindahkan, menghilangkan, dan/atau mempertahankannya. Merubah
stimulus memperkuat kemampuan mekanisme koping seseorang untuk
berespon secara positif dan hasilnya adalah perilaku adaptif. Langkah dalam
menyusun intervensi keperawatan meliputi penetapan atas empat hal yaitu
1) apa pendekatan alternatif yang akan dilakukan; 2) apa konsekuensi yang
akan terjadi; 3) apakah mungkin tujuan tercapai oleh alternatif tersebut; dan
4) nilai alternatif itu diterima atau tidak. Intervensi keperawatan ini
dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain (pasien, keluarga, dan tim
kesehatan).
Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari
intervensi keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan
memulai langkah-langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat.
Implementasi keperawatan dilaksanakan terus menerus sesuai dengan
perkembangan pasien. Implementasi dapat berubah-ubah dalam cara,
teknik, dan pendekatan yang tergantung pada perubahan tingkat adaptasi
pasien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
42
2.2.3.5. Evaluasi
Evaluasi merupakan penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan.
Oleh karena itu, evaluasi tersebut menjadi refleksi dari tujuan keperawatan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan suatu
intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan
pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi
keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Tomey & Alligood,
2006)
2.3. Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan
Diabetes Mellitus
Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya Diabetes
Mellitus menggunakan model adaptasi Roy dirasakan tepat. Roy menekankan pada
kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap stimulus yang didapatkan. Diabetes
mellitus merupakan gangguan endokrin yang akan terus ada dalam tubuh penyandang
DM, namun gangguan yang ditimbulkan dapat dikontrol. Model adaptasi yang
dikembangkan oleh Roy, merupakan salah satu proses yang dapat digunakan oleh
individu untuk berada pada kondisi terkontrol.
Sebagai system terbuka, penyandang DM akan selalu mendapatkan stimulus baik
fokal, kontekstual maupun residual. Untuk dapat beradaptasi terhadap stimulus
tersebut, maka perawat berupaya meningkatkan koping yang dimiliki penyandang DM
tersebut dengan berbagai intervensi untuk berupaya meningkatkan regulator dan
kognator. Pada akhirnya diharapkan penyandang DM dapat beradaptasi secara penuh
(integrity), compensatory, maupun adaptasi pada tingkat compromised. Berikut ini
akan diuraikan asuhan keperawatan pada pasien DM dengan pendekatan model
adaptasi Roy.
2.3.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama di dalam proses keperawatan. Model
adaptasi Roy mengembangkan pengkajian dengan dua tahap. Tahap pertama
dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perilaku pada empat mode
yaitu : fisiologis, konsep diri, peran dan interdependen. Tahap kedua
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
43
menganalisis stimulus yang mempengaruhi. Stimulasi ini terdiri dari stimulasi
fokal, kontekstual dan residual. Berikut ini diuraikan pengkajian pada pasien
DM dengan pendekatan model adaptasi Roy meliputi pengkajian perilaku dan
stimulus
2.3.1.1. Pengkajian Perilaku
a. Mode Fisiologi
-
Oksigenasi ( Roy & Andrew, 1999; Smeltzer & Bare, 2008;
Doenges, 2010; Lewis, 2011; LeMone, 2011)
Perilaku yang ditunjukan pada kebutuhan oksigenasi pada
pasien DM meliputi perilaku pada fungsi pernafasan
dan
fungsi sirkulasi. Fungsi pernafasan meliputi dikelompokkan
dalam mekanisme ventilasi, difusi dan perfusi. Fungsi sirkulasi
meliputi fungsi jantung dan transportasi oksigen.
-
Fungsi pernafasan pada pasien DM kemungkinan akan
didapatkan perubahan perilaku seperti : adanya keluhan batuk
dengan atau tanpa sputum yang purulent, sesak nafas. Dari
hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya tachipnea,
pernafasan khussmaul, adanya ronchi atau wheezing, sputum
yang berwarna jernih, kuning atau kehijauan.
-
Fungsi sirkulasi kemungkinan akan di dapatkan keluhan
claudicatio, kesemutan pada ekstemitas, luka yang lama
sembuh pada area kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tachycardia, tekanan darah kemungkinan normal,
hipertensi, atau perubahan tekanan darah pada posisi. Adanya
irama jantung yang tidak teratur (dysritmia), penurunan nadi
yang menurun atau tidak teraba terutama pada area kaki
(dorsalis pedis dan posterior tibialis), nilai ABI normal, rendah
atau tinggi. Pada pengukuran tekanan vena jugularis
didapatkan hasil yang meningkat (pada komplikasi gagal
jantung), kulit kering, hangat, kemerahan, bola mata cekung
yang merupakan tanda adanya dehidrasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
44
Perubahan dari hasil pemeriksaan diagnostic merupakan
perubahan perilaku yang dapat diamati. Hasil laboratorium
yang dapat terjadi pada pasien dengan DM diantaranya ;
perubahan pada nilai Hb kemungkinan didapatkan adanya
penurunan nilai Hb. Nilai analisa gas darah, pada kasus KAD
menunjukan adanya asidosis metabolic. Gangguan pada
sirkulasi maupun pernafasan dapat dilihat dari pemeriksaan
radiologi, seperti foto thorak. Adanya gambaran infeksi pada
paru dansaluran pernafasan, adanya pembesaran jantung
sebagai
manifestasi
komplikasi
DM
pada
system
kardiovaskuler dan pernafasan. Selain dari foto thoraks, EKG
dapat digunakan untuk melihat adanya gambaran iskemik pada
otot jantung dan penurunan kontraktilitas otot jantung.
Pemeriksaan USG Doppler arteri dapat digunakan untuk
menilai vaskularisasi kearah perifer (kaki).
-
Aktifitas dan Istirahat
Keluhan yang dirasakan pada pasien DM terkait dengan
kebutuhan aktifitas dan istirahat diantaranya adanya gangguan
tidur
dan
istirahat
salah
satu
penyebabnya
adalah
ketidaknyamanan (nyeri, sesak) dan poliuria. Keluhan lain
seperti mudah lelah, kelemahan umum, kesulitan berjalan atau
berubah posisi (dampak adanya ulkus atau perubahan struktur
kaki). Pada otot pasien DM biasanya mempunyai keluhan
penurunan kekuatan otot, maupun kram otot.
Pemeriksaan fisik untuk menilai perubahan perilaku pada
kebutuhan aktifitas istirahat ini akan didapatkan diantaranya :
perubahan denyut nadi dan pernafasan (lebih cepat) saat
istirahat atau setelah aktifitas, adanya kelemahan umum dan
penurunan kesadaran. Pada otot terjadi penurunan kekuatan
dan tonus otot.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
45
Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai
perilaku ini diantaranya radiologi (foto) untuk area kaki.
-
Nutrisi
Perubahan perilaku dari kebutuhan nutrisi yang dikeluhkan
pasien DM diantaranya peningkatan nafsu makan (poliphagia),
namun berat badan cenderung menurun. Pada komplikasi
KAD atau gastrospathy didapatkan keluhan yang berlawanan
yaitu kehilangan nafsu makan, mual dan muntah. Pemeriksaan
fisik didapatkan IMT yang kurang atau lebih dari normal,
tercium halitosis atau bau manis pada komplikasi KAD.
Pemeriksaan
diagnostik
terutama
untuk
laboratorium
didapatkan peningkatan gula darah, peningkatan HbA1C,
kadar lemak yang meningkat, penurunan protein (albumin),
maupun perubahan pada C peptide. Serum amilase akan
meningkat jika ditemukan adanya pancreatitis akut yang
disebabkan oleh KAD
-
Cairan, Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa
Cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, pada pasien
DM biasanya mengalami perubahan. Keluhan sering BAK
(poliuria) dan diikuti dengan polidipsi merupakan keluhan
yang sering dirasakan oleh pasien DM. Kehilangan cairan
melalui urin dalam jumlah yang banyak dan muntah menjadi
keluhan yang disakan pada komplikasi DM seperti KAD dan
HHNK.
Pemeriksaan fisik untuk melihat perubahan pada kebutuhan
cairan pada DM dengan komplikasi KAD atau HHNK
diantaranya membrane mukaso mulut yang kering, turgor kulit
tidak elastis, diaphoresis, kulit kering dan bersisik. Pada DM
dengan komplikasi gagal jantung atau nefropati akan
ditemukan edema.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
46
Pemeriksaan
laboratorium
yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi perubahan perilaku pada cairan dan elektrolit
ini diantaranya, pemeriksaan gula darah, ditemukan hasil yang
meningkat, pemeriksaan natrium : hasilnya bisa normal, atau
menurun. Pemeriksaan Kalium akan didapatkan kadar yang
norma, meningkat pada fase awal dan akan menurun seiring
dengan kondisi dehidrasi lanjut. Pemeriksaan osmolaritas
sangat penting dilakukan, akan terjadi peningkatan pada
HHNK. Pemeriksaan analisa gas darah penting dilakukan
untuk pasien DM yang dicurigai KAD, dan akan didapatkan
asidosis metabolic disertai peningkatan benda keton dalam
darah.
-
Eliminasi
Adanya keluhan sering BAK (poliuria), perubahan pola
berkemih, nocturia merupakan keluhan yang sering dirasakan
oleh pasien DM. Nyeri, panas dan kesulitan BAK merupakan
tanda adanya neurogenik bledder dan kemungkinan infeksi
saluran kemih. Pola BAB dapat dirasakan adanya keluhan
konstipasi, maupun diare. Pemeriksaan fisikyang didapatkan
pada pasien DM bisa ditemukan adanya penurunan atau
peningkatan bising usus, distensi abdomen, tahanan pada
bledder. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan
melihat fungsi ginjal (urium, kreatinin yang meningkat)
menunjukan adanya penurunan fungsi ginjal, pemeriksaan
makroskopik urine dapat ditemukan warna urine yang keruh
dan berbau sebagai tanda infeksi dan untuk memastikan
infeksi pada saluran kemih dapat dilakukan pemeriksaan kultur
urine.
-
Proteksi
Pengkajian perilaku berhubungan dengan proteksi meliputi
keluhan daya tahan tubuh yang menurun seperti sering demam,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
47
kelemahan, luka yang lama yang makin meluas. Kondisi kulit
yang kering,pecah,pecah dan bersisik serta adanya keluhan
gatal, menjadi resiko terhadap penurunan proteksi. Parastesia
akibat diabetic neuropati juga merupakan keluhan yang sering
dirasakan. Peningkatan resiko infeksi pada area genetalia dapat
ditemukan pada pasien DM wanita, ditemukan adanya
peningkatan sekresi vagina
-
Sensasi
Perubahan sensasi pada pasien DM terjadi akibat komplikasi
kronik. Adanya penurunan penglihatan dapat terjadi akibat
retinopati. Gangguan sensasi lain yang dapat ditemukan pada
pasien DM diantaranya penurunan terhadap sensasi nyeri,
perubahan suhu dan perubahan tekstur.
Pemeriksaan fisik terhadap penurunan sensasi
dilakukan
dengan menguji sensasi terhadap nyeri, suhu, serta perbedaan
kasar dan halus. Pemeriksaan menggunakan monofilament
10gr merupakan pemeriksaan level A yang direkomendasikan
pada pasien DM.
-
Fungsi Neurologi
Perubahan perilaku pada fungsi neurologi dapat dilihat
darimulai tingkat kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran
dapat
terjadi
pada
komplikasi
akut
hypoglikemia,maupun
coma akibat KAD
Gangguan
lain
neurologi
sebagai
dan HHNK.
komplikasi
didapatkan adanya neuropati motorik
seperti
kronik
(kaki charcot),
neuropathi sensorik (penurunan sensasi), neuropati otonom
(kulit kering, tidak ada rambut pada area kulit, gastropaty dan
neuropati
bleder).
Pemeriksaan
reflek
tendon
dalam
didapatkan penurunan reflek tendon dalam.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
48
-
Fungsi Endokrin
Perubahan fungsi endokrin pada pasien DM adalah adanya
penurunan
produksi
atau
sensitifitas
insulin
yang
mengakibatkan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan
protein. Perubahan perilaku yang dapat dilihat dan diukur
dapat terjadi pada semua fungsi seperti yang telah dijelaskan
pada fungsi-fungsi diatas.
b.
Mode Konsep Diri
Mode konsep diri merupakan bagian dari psikologis dan spiritual.
Kebutuhan psikologis yang merupakan respon psikologis
terhadap apa yang dirasakan dari perubahan fisik. Gangguan
psikologis tersebut dapat berupa, kecemasan, stress, ketakutan,
malu terhadap bentuk tubuhnya, beban financial, hingga
menyalahkan Tuhan, atau mempunyai persepsi yang salah yang
berkaitan dengan kepercayaannya. Perilaku yang dapat diamati
diantaranya, selalu menanyakan keadaannya, menolak untuk
bertemu dengan orang lain, hingga ditemukan adanya tanda
depresi.
c.
Mode Peran
Perubahan peran yang terjadi pada pasien DM dapat berupa peran
primer, sekunder maupun tersier. DM sebagai penyakit menahun
yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi kronis pada
akhirnya akan mengganggu peran dari pasien tersebut pada
kehidupan sehari-hari, terutama pada pasien DM yang dirawat di
rumah sakit dengan berbagai komplikasi.
d.
Mode Interdependensi
Pengkajian perilaku terhadap model interdependensi meliputi
hasil pengamatan dan ungkapan dari pasien DM tentang orang
lain yang bermakna, perilaku saling menghargai, mencintai dan
saling memperhatikan dari sistem pendukung yang dimiliki
(orang terdekat, keluarga). Pasien DM dengan berbagai
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
49
komplikasi kronik, mengalami perubahan peran cenderung
tergantung dengan orang terdekat. Dukungan yang tidak
didapatkan dengan baik, misalnya keluarga jenuh atau harus
menggantikan perannya, akan menimbulkan gangguan konsep
diri untuk pasien DM.
2.3.1.2. Pengkajian Stimulus
Pengkajian stimulus merupakan pengkajian tahap dua, untuk
mengetahui penyebab perubahan perilaku maladaptive yang di
dapatkan pada pengkajian tahap satu. Pada pesien DM stimulus fokal
yang merupakan stimulus langsung yang mempengaruhi adanya
perubahan perubahan perilaku pada ke 4 mode. Stimulus fokal
meliputi : usia, dimana usia diatas 30 tahun merupakan usia beresiko
untuk mengalami DM. Stimulus lain diantaranya, adanya riwayat
melahirkan dengan berat badan bayi yang dilahirkan lebih dari 4 kg,
obesitas dan hiperlipidemia. Pada pasien DM yang mengalami
komplikasi, stimulus fokal meliputi gula darah yang tidak terkontrol,
peningkatan metabolism yang disebabkan oleh infeksi, stress
psikologi, atau proses pembedahan. Pada mode konsep diri, peran dan
interdependensi fokal stimulus terjadi karena dirawat di rumah sakit,
berbagai komplikasi yang dialami proses kehilangan seperti amputasi.
Stimulus kontektual dan stimulus residual yang mempengaruhi
diantaranya adanya riwayat DM dalam keluaraga, riwayat perawatan
kesehatan sebelumnya, seperti diitnya, monitoring gula darah, olah
raga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Tingkat pendidikan dan
tingkat pengetahuan merupakan stimulus kontektual penting yang
mempengaruhi perubahan perilaku baik adaptif maupun maladaptive.
(Roy & Andrew, 1999; Doengoes, 2010).
2.3.2. Diagnosa keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien DM, maka
diagnose keperawatan yang dapat ditegakan adalah sebagai berikut (NANDA
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
50
2012-2014; Smeltzer & Bare, 2008; Doengoes, 2010; LeMone, 2011; Lewis,
2011).
2.3.2.1. Diagnosa Keperawatan pada Mode Fisiologi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi,
peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk.
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load.
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan
hambatan sirkulasi perifer.
d. Perubahan aktifitas fisik berhubungan dengan nyeri, perubahan
persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan
kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik.
e. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi,
peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses
infeksi).
f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas.
g. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic,
pengeluaran berlebi dari sistim pencernaan dan keterbatasan asupan.
h. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis
osmotic, proses infeksi.
i. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah.
j. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori,
perubahan kimia endogen.
k. Ketidakstabilan
kadar
gula
darah
berhubungan
dengan
ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses
infeksi dan perubahan status kesehatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
51
2.3.2.2. Diagnosa keperawatan pada Mode Konsep Diri
Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi
penyakit, kesalahan informasi.
2.3.2.3. Diagnosa Keperawatan pada Mode Peran
Perubahan fungsi peran berhubungan dengan krisissituasi, perawatan
yang lama dan keterbatasan fisik.
2.3.2.4. Diagnosa keperawatan pada Mode Interdependensi
a. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan dukungan sosial yang
tidak adekwat.
b. Tidak efektifnya managemen terapeutik berhubungan dengan kurang
pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi.
2.3.3. Intervensi Keperawatan
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi,
peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk.
Tujuan yang ingin dicapai jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak
ada keluhan sesak, batuk berkurang, suara nafas vesikuler, tidak ada tanda
kekurangan oksigen seperti sianosis, AGD dalam batas normal.
Intervensi yang ditetapkan meliputi kognator dan regulator: :managemen
respirasi : peningkatan kemampuan batuk, fisiotherapi dada, monitor
status respirasi, kolaborasi dalam management terapi oksigen.
2.
Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load.
Tujuan yang diinginkan adalah curah jantung adekuat ditandai dengan
peningkatan sirkulasi, nadi, tekanan darah dalam batas normal, tidak
didapatkan peningkatan vena jugularis, perfusi ke jaringan adekwat (akral
hangat, denyur perifer kuat).
Intervensi
keperawatan
yang ditetapkan (regulator
&kognator) :
Haemodinamik regulator, management energy, terapi oksigen, cardiac
care
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
52
3.
Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan
sirkulasi perifer.
Tujuan yang ingin dicapai adalah perfusi jaringan kearah perifer (kaki)
adekwat ditandai dengan akral hangat, pulsasi ke area kaki kuat dan
normal, ABI dalam batas normal, tidak terjadi proses penyembuhan luka
yang lambat. Intervensi yang ditetapkan : pemantauan sirkulasi, embolus
care : peripheral, peningkatan latihan fisik.
4.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi
sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan
kardiovaskuler, keterbatasan fisik.
Tujuan yang ingin dicapai : dapat menunjukan tingkat aktifitas yang
adekwat, ditunjukan dengan melakukan aktifitas sehari-hari secara
mandiri, menggunakan alat bantu dengan benar, melakukan mobilisasi
(berjalan, berpindah posisi dengan benar). Intervensi yang ditetapkan
meliputi : bedrest care, management energy, menegemen lingkungan, self
medication assisstent, self care assisstent, pain management.
5.
Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi,
peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi).
Tujuan yang ingin dicapai : Peningkatan energy yang ditandai dengan
kelelahan berkurang, melakukan aktifitas untuk perawatan diri tanpa
keluhan lelah. Intervensi yang ditetapkan : management energy,
progressive muscle relaksation.
6.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas.
Tujuan yang akan ditetapkan : status nutrisi adekwat, ditandai dengan
berat badan dipertahankan dalam batas ideal, gula darah terkontrol, kadar
lemak, protein dalam darah normal. Intervensi yang ditetapkan
managemen perubahan nutrisi, management nutrisi, terapi nutrisi,
konseling nutrisi, monitor nutrisi, management berat badan, menegement
hiperglikemia/hypoglikemik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
53
7.
Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic,
pengeluaran berlebih dari sistem pencernaan dan keterbatasan asupan.
Tujuan yang ingin ditetapkan : status cairan adekwat, ditandai dengan
intake dan output cairan seimbang, TTV dalam batas normal, turgor kulit
elastis, membrane mukosa lembab, elektrolit dalam batas normal.
Intervensi yang ditetapkan : managemen cairan dan elektrolit, monitoring
asam basa, monitoring cairan dan elektrolit, management asidosis
metabolic, management hyperglikemia.
8.
Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic,
proses infeksi.
Tujuan yang diinginkan pola eliminasi normal ditandai dengan tidak ada
keluhan nyeri saat berkemih, frekuensi berkemih berkurang, tidak ada
hematuri, hasil pemeriksaan urine tidak menunjukan ada tanda infeksi.
Intervensi yang ditetapkan : manajemen cairan, monitoring cairan,
management eliminasi urine, bladder training urine, pencegahan infeksi.
9.
Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah.
Tujuan yang ditetapkan infeksi tidak atau tidak meluas atau tidak terjadi
ditandai dengan status imun meningkat, nilai leukosit dalam batas normal,
tidak ada keluhan demam, area infeksi (ulkus, ISK, infeksi pernafasan)
mengalami proses penyembuhan. Intervensi yang ditetapkan meliputi :
management
pencegahan
infeksi,
management
control
infeksi,
management nutrisi, management luka, management medikasi.
10. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan
kimia endogen.
Tujuan yang diinginkan tidak terjadi injuri seperti tidak terjadi ulkus, atau
bahaya jatuh. Intervensi yang ditetapkan ; monitor fungsi neurologi,
management neuropati perifer, edukasi perawatan kaki dan penggunaan
alas kaki, edukasi berhenti merokok, pencegahan terhadap bahaya jatuh,
management lingkungan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
54
11. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan
management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status
kesehatan.
Tujuan yang ditetapkan gula darah stabil yang ditandai dengan gula darah
terkontrol dalam batas normal, tidak terjadi komplikasi DM akut :
KAD,HHNK atau hypoglikemi. Intervensi yang ditetapkan monitoring
gula darah, monitoring cairan, management hyperglikemia, management
pengobatan, management nutrisi, edukasi pada nutrisi, pengobatan,
management perilaku.
12. Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit,
kesalahan informasi.
Tujuan yang ditetapkan pasien dapat beradaptasi terhadap
kondisi
kecemasannya, yang ditunjukan dengan peningkatan terhadap kontrol
kecemasannya, mampu mengungkapkan penyebab cemas, mampu
merencanakan strategi koping yang akan digunakan. Intervensi yang
ditetapkan menurunkan kecemasan, konseling, management energy,
management lingkungan, management koping, management distraksi.
13. Tidak efektifnya management terapeutik berhubungan dengan kurang
pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi.
Tujauan yang diinginkan pasien mampu beradaptasi pada management
terapi yang ditetapkan, meliputi menunjukan perilaku mengikuti diit,
pengobatan yang ditetapkan. Intervensi yang ditetapkan : modifikasi
perilaku, tingkatkan koping, konseling penatalaksanaan DM, beri
dukungan sosial, edukasi group, management efikasi, follow up melalui
telepon.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
55
BAB 3
PENERAPAN MODEL ADAPTASI ROY PADA ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN KLIEN DIABETES MELLITUS KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG
Pada BAB 3 ini, akan diuraikan hasil asuhan keperawatan dan analisis pada klien dengan
diabetes mellitus (DM) dengan abses punggung dan resiko tinggi ulkus diabetik sebagai
kasus kelolaan utama dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Uraian
selanjutnya setelah pembahasan kasus kelolaan utama, praktikan juga menganalisa 32
kasus kelolaan lain yang praktikan lakukan selama praktikan menjalankan praktek
residensi 1 dan 2.
3.1.Deskripsi kasus kelolaan utama
Kasus dialami oleh seorang klien berinisial Ny.Sh usia 66 tahun, status perkawinan
menikah dengan 2 anak yang telah berumah tangga, pendidikan SLTP, aktifitas sehari
hari sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di Depok. Klien masuk rumah sakit
(RSUPF) pada tanggal 8 Oktober 2011 melalui UGD dan tiba di ruang teratai lantai 5
Selatan pada tanggal 9 Oktober 2012 pukul 17.15 WIB. Pengkajian dilakukan pada
tanggal 10 Oktober 2011. Alasan keluarga membawa klien ke rumah sakit, karena
klien mengalami bisul (abses) di area punggung sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Timbul bisul tersebut pada awalnya klien merasakan gatal di punggung, digaruk
dan timbul kemerahan dan bisul kecil yang makin lama makin membesar. Keluarga
sudah membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan, mendapatkan obat antibiotic
dan anti nyeri namun tidak ada proses penyembuhan, bahkan semakin besar, klien
merasakan nyeri, demam dan tidak bisa tidur selama 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Abses mengeluarkan nanah yang terus menerus, berbau sehingga klien
merasakan tidak nyaman.
Tindakan yang dilakukan di UGD diantaranya, dilakukan penggantian balutan,
dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu dengan hasil 466 mg/dL dan pemeriksaan
darah lengkap. Obat yang diberikan ke pada klien saat di UGD adalah anlgetik
suppositoria (propenid),
diberikan insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam
dengan dosis dimulai 5 unit dan naik 5 unit setiap kenaikan gula darah 50 mg/dL
dimulai dari nilai gula darah 201 mg/dL. Pengkajian terhadap riwayat kesehatan
sebelumnya, klien telah menderita DM sejak 10 tahun yang lalu, pernah mengalami
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
56
amputasi pada kaki kanannya 3 tahun yang lalu kerena ulkus. Penatalaksanaan DM
yang klien lakukan dengan minum obat metformin 500 mg dan glibenklamid yang
terkadang dibelinya sendiri, karena klien tidak control ke dokter teratur. Riwayat
kesehatan keluarga didapatkan kakak klien yang pertama juga menderita DM dan saat
ini mengalami stroke. Hasil pemeriksaan gula darah suami klien setahun yang lalu juga
mengalami peningkatan lebih dari 200 mg/dL, namun tidak ditindaklanjuti untuk
pengobatan.
3.2.Penerapan Model Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada semua klien kelolaan yang praktikan
lakukan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy, yang dilakukan secara holistic
dan komprehensif dimulai dari tahap pengkajian hingga evaluasi. Hasil akhir dari
asuhan keperawatan ini, diharapkan klien mampu beradaptasi dengan berbagai
gangguan pemenuhan kebutuhan, baik fisiologi, konsep diri, peran maupun
interdependensi.
3.2.1. Pengkajian Perilaku dan stimulus
3.2.1.1. Mode Adaptasi Fisiologi
1. Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem
kardiovaskuler, perfusi).
Pengkajian pada perilaku oksigenasi diperoleh data : tidak ada keluhan pada
sistem pernafasan seperti batuk, sesak kesulitan bernafas serta nyeri dada saat
istirahat, beraktifitas maupun bernafas. Namun klien merasakan badannya
lemas, sering pusing, terutama berubah posisi dari tiduran ke duduk. Sirkulasi
ke perifer didapatkan tidak ada keluhan nyeri pada area kaki, baik saat
beraktifitas maupun saat istirahat (nyeri claudikasio). Terkadang klien
merasakan dingin pada area telapak atau punggung kaki, terutama pada malam
hari. Untuk mengatasi dingin ini, klien selalu menggunakan kaos kaki jika
tidur.
Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva klien tampak pucat, tidak
ditemukan adanya sianosis pada kulit maupun area bibir, tidak menggunakan
otot bantu pernafasan, RR : 18 x/mnt irama teratur, suara nafas vesikuler di
semua area lapang paru, capilari refile < 3dtk, nadi radialis : 78x/mnt irama
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
57
teratur pulsasi kuat, TD : 140/90 mmHg, HR : 80x/mnt teratur. Suara jantung 1
& 2 terdengar normal dan tidak terdengar suara jantung tambahan dengan
denyut apikal 84 x/mnt, teratur. Hasil pemeriksaan EKG di dapatkan sinus
rhytem, Gelombang QRS normal diikuti gelombang P, tidak ditemukan adanya
T inverted, ST elevasi/depresi dan Q patologis. Perabaan pada kedua ekstemitas
bawah hangat, tidak ditemukan edema pada kedua tungkai. Hasil pemeriksaan
vaskularisasi kearah ekstremitas bawah dengan menggunakan Ankle Brachial
Index (ABI), didapatkan :
Table 3.1.
Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI)
Arteri
dorsalis
pedis
Arteri
tibialis
posterior
Kaki kanan
Kaki kiri
Palpasi
Nd : 84x/mnt ,
pulsasi kuat
Nd : 82/mnt
pulsasi kuat
TD Sistolik
(mmHg)
Palpasi
130mmHg
130 mmHg
Pulsasi kuat
Pulsasi kuat
130 mmHg
130 mmHg
130 mmHg
140 mmHg
0.93
0.93
TD Sistolik
(mmHg)
TD Sistolik Arteri
Brachialis (mmHg)
Ankle Brachial Index
(ABI)
Stimulus Fokal :
Luka abses diarea punggung mengeluarkan eksudat seropurulen, jumlah banyak
(balutan penuh dan harus diganti 2 kali sehari)
Hb :
10.3 g/dL. Hematokrit :30,4%. Eritrosit :
4.45 /µL. AGD (tidak
diperiksa), Foto thoraks menunjukan hasil CTR > 50 %, pulmonal normal,
tidak ada tanda infiltrat. ECHO (10 Oktober 2011) : EF : 72,4 %, LV
kontraktilitas normal, fungsi diastolik normal, katup morfologi normal.
Stimulus Kontekstual & Residual
Usia klien 66 th, riwayat DM 10 tahun, riwayat hipertensi 3 tahun namun tidak
terkontrol, mempunyai keturunan DM & hipertensi. Pengetahuan klien dan
keluarga terhadap penatalaksanaan DM dan hipertensi masih kurang (diit,
aktifitas, terapi, komplikasi, dll).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
58
Penatalaksanaan yang didapatkan saat ini rencana pemberian PRC500 cc
Captopil 2x12,5 mg
2. Nutrisi
Klien mengatakan sejak 2 minggu terakhir nafsu makannya menurun,
merasakan mual, makan hanya ½ porsi dari porsi biasanya, menurut klien, ia
tidak nafsu makan karena merasakan nyeri pada area punggungnya & bau amis
dari luka.
Sebelumnya klien makan tidak pernah banyak (nasi 1 centong). Jika klien
makan banyak, ia akan merasakan begah pada perutnya. Untuk memenuhi
kebutuhan nutrisinya (rasa lapar) klien sering
ngemil. Walaupun klien
didiagnosa DM sejak 10 tahun yang lalu, namun klien tidak pernah mengatur
makanan sesuai diit. Yang klien ketahui tentang diit DM hanya mengurangi
nasi saja, bahkan suami klien selalu membuatkan susu kedelai dengan
menggunakan gula setiap hari.
Sejak amputasi 3 th yang lalu, seharusnya klien dianjurkan untuk menggunakan
insulin, karena harga insulin mahal, klien tidak melanjutkan penggunaan
insulin, dan menggantinya dengan OHO (Metformin 500 mg & glibenclamid)
yang diminum tidak teratur.
BB klien : 56 kg TB : 155 cm, IMT 23 , mukosa mulut lembab, tidak ada
stomatitis, terdapat karies gigi, kemampuan mengunyah baik, abdomen flet,
lunak tidak teraba pembesaran hepar bising usus 12 x/mnt.
GDS (8/10/2011): 466 mg/dL, tanggal 10/10/2011: hasil scleding scale
menunjukan hasil GD yang tidak fluktuatif terendah 142 dan tertinggi 219
SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, Glukosa urine (+++), HbA1C: 12,7 %,
Trigliserida : 80mg/dL, kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47
mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL
Penatalaksanaan yang diberikan untuk kebutuhan nutrisi adalah
diit lunak
1500 kalori yang dibagi dalam 3 porsi besar (makan pagi, siang & sore) 3 porsi
kecil/snack (jam 09.00, 15.00 dan 21.00 WIB). Pemberian insulin (Actrapid)
ditetapkan dengan dosis 3x8 unit & monitoring GD dilakukan KGDH/hari.
Therapy lain yang diberikan OMZ : 1x20 mg dan Donperidon 3 x 1 amp
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
59
Stimulus fokal :
Ketidakseimbangan regulasi insulin yang ditandai dengan peningkatan
guladarah sewaktu (GDS saat masuk 466mg/dL) dan gula darah yang tidak
terkontrol dalam 3 bulan terakhir ditandai dengan HbA1C: 12,7%. Resiko
gangguan nutrisi dapat terjadi pada klien akibat asupan nutrisi yang kurang
akibat penurunan nafsu makan dan mual.
Stimulus kontekstual dan residual
Usia 66 th, mempunyai riwayat DM 10 th, 3 th yang lalu pernah dirawat
dengan ulkus kaki diabetic dan dilakukan amputasi, namun tidak mengetahui
diit yang sesuai, pengobatan DM tidak terkontrol, disebabkan pengetahuan &
motivasi terhadap diit & pengobatan belum difahami. Sebelum klien
mengalami DM, klien pernah mempunyai BB 80 kg (obesitas). Pengetahuan
keluarga tentang penatalaksanaan DM juga masih kurang, terbukti keluarga
menyediakan susu kedelai dengan gula setiap hari. Dukungan keluarga terhadap
pengobatan juga kurang optimal yang dilihat dari pengobatan insulin tidak
dilanjutkan dengan alasan keuangan.
3. Eliminasi
Klien mengatakan tidak ada perubahan pada pola BAB maupun BAK. Klien
biasa BAB 1 x sehari tanpa pencahar, faeses lunak warna khas. BAK 7-8 kali
sehari, BAK malam 2-3x, urine berwarna kuning jernih, tidak ada nyeri ketika
mulai maupun saat BAK. Tidak menggunakan kateter urine, tidak teraba blass
pada area simpisis, maupun masa dan nyeritekan pada abdomen bawah. Bising
usus 12 x/mnt. Hasil pemeriksaan urinalisa di dapatkan protein urine (++), tidak
ditemukan adanya leukosit dan eritrosit dalam urine, berat jenis 1.020 di
dapatkan adanya keton dalam urine yaitu (++). Hasil pemeriksaan fungsi ginjal
didapatkan nilai urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 0.5 mg/dl, CCT : 56.6 ml/menit
Stimulus fokal : Ketonuria yang terjadi disebabkan adanya pemecahan lemak
sebagai sumner energy (glukoneogenesis) yang menghasilkan asam lemak atau
ketone, selanjutnya keton ini diekskresikan melalui system ginjal dan keluar
bersama dengan urine. Dari hasil CCT di dapatkan adanya penurunan fungsi
ginjal yang kemungkinan terjadi nefropathy.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
60
Stimulus kontekstual & residual : Riwatay DM selama 10 tahun, tidak
terkontrol, hipertensi selama 3 tahun terakhir yang juga tidak terkontrol.
Pengetahuan klien terhadap komplikasi kronik DM kurang.
4. Cairan dan Elektrolit
Klien minum 2 blt air mineral (@ 600cc) dalam sehari, BAK 4-5 kali pagi
hingga sore dan malam 2-3 kali, jumlahnya diperkirakan 2/3 gelas air mineral.
Selama dirawat tidak merasakan perubahan dalam kebutuhan minum maupun
pengeluaran cairan. Tidak ada muntah, berkeringat berlebihan maupun diare,
namun klien merakan demam
Mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, tidak didapatkan odema pada
ekstremitas maupun odema anasarka, TD: 140/90mmHg, Nadi radialis :
78x/mnt pulsasi kuat, suhu 37,9° C. Urine tampung dalam 24 jam : 1500 cc,
minum 1200 cc, Produksi eksudat dari abses + 200-300 cc setiap ganti balutan.
Hasil pemeriksaan elektrolit : Na :137, Kalium : 4.79 mEq/L, Clorida :
mEq/L, Urium :
13 mg/dl, Kreatinin:
96
0.5 mg/dl. Penatalaksanaan yang
diberikan IVFD: NaCl 1000 cc/24 jam.
Stimulus fokal, kontekstual & residual : tidak ditemukan
5. Aktifitas Istirahat
Aktifitas klien untuk pemenuhan nutrisi, eliminasi, mampu dilakukan secara
mandiri (bantuan minimal karena menggunakan infuse). Mobilisasi terutama
saat tidur hanya bisa dengan miring ke kiri, karena pada punggung kanan
terdapat abses, sehingga untuk miring kanan & supine klien merasakan nyeri.
Sudah 1 minggu tidur malam klien terganggu karena nyeri yang dirasakan.
Klien tidur rata-rata 5-6 jam, namun, sering terbangun (tidak lelap) karena
nyeri. Setelah dirawat di rumah sakit,nyeri yang dirasakan berkurang, karena
mendapatkan obat anti nyeri dan ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan
tidurnya.
Aktifitas berjalan mampu dilakukan oleh klien namun dengan perlahan, karena
pada 1/3 distal telapak kaki (metatarsal) kanan klien telah diamputasi 3 tahun
yang lalu. Hasil observasi terlihat saat turun dari tempat tidur kaki kanan
digunakan sebagai tumpuan. Kaki kiri tidak ada kelainan bentuk. Kekuatan otot
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
61
pada ekstremitas atas dan bawah 5 (mampu melawan grafitasi dan mampu
melawan tahanan)
Gambar 3.1.
Photografi kaki Ny. S
Kaki kanan
Kaki kiri
Stimulus fokal, kontektual dan residual : tidak ditemukan
6. Proteksi (proses imunitas, integumen, rambut, kuku, perubahan suhu, trauma)
Rambut dan kulit klien kotor, lengket & berbau keringat ,karena selama di IGD
tidak dibersihkan. Tidak ada keluhan keputihan maupun gatal-gatal pada area
vagina & lipatan femur. Tampak abses yang terbalut pada regiodorsal thorakal
X- XII sejajar midklavikula dengan balutan yang basah (terdapat rembesan
pus), berbau khas pus. Suhu aksila 37.9ºC, leukosit 18.400/mm3. Hasil culture
luka didapatkan leukosit banyak/LPB, ditemukan bakteri gram positif Coccus.
Gambar 3.2.
Photografi Abses punggung Ny. S
Luka derajat III, dimana luka mengenai jaringan otot, mengeluarkan exudat
purulen kira-kira 300cc, bau exudat khas,tercium pada jarak 1 lengan. Dasar
luka berwarna putih, terdapat slough, luas luka 4x5x3cm dengan goa arah jam
12 hingga jam 09, panjang 3 cm, luas eritema luka : 12x 8 cm.
Kaki kanan terdapat kalus pada area plantar, terdapat ulkus pada area tengan
kalus, dengan kedalaman 7 mm berwarna merah dan basah. Saat turun dari
tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Saat berjalan di dalam
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
62
rumah klien tidak menggunakan alas kaki & jika berjalan diluar rumah, klien
menggunakan alas kaki (sandal) yang dimodifikasi menggunakan tali karet
sebagai pengikat.
Dari hasil pengkajian kaki didapatkan adanya penurunan sensasi pada kedua
kaki, kulit kaki kering dan berkilap.
Gambar 3.3.
Photografi Pengkajian kaki Ny. S
Table 3.2. Pengkajian kaki
Kaki Kanan
Ya
Kallus
Corns
Bunions
Hammer toes
Amputasi:
ï‚· Minor ( jari/ pedis )
ï‚· Mayor ( below knee/ above knee )
Kaki charchot
Kuku
ï‚· Penebalan
ï‚· Infeksi jamur
ï‚· Tumbuh ke dalam
Kulit
ï‚· Perabaan kaki dingin
ï‚· Kulit berkilap
ï‚· Kulit kering
ï‚· Atrofi lemak sub kutan
ï‚· Rubor
ï‚· Pucat pada elevasi
ï‚· Rambut kaki
Tidak
Kaki Kiri
Ya

Tidak













-

















Stimulus fokal :
Gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan system imun,
penurunan vaskuler ,sehingga jika terjadi luka akan lebih mudah terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
63
penyebaran infeksi. Hb dan albumin yang rendah akan mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
Adanya riwayat amputasi kaki karena ulkus & adanya kalus dengan menurut
Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 Ny. S masuk dalam
katagori 3 ( resiko sangat tinggi), yang harus memeriksakan kakinya setiap 1- 3
bulan, namun belum pernah dilakukan.
Stimulus kontekstual & residual
Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, perawatan luka, perawatan
kaki : mencegah terjadinya kalus, mengurangi kalus, penggunaan alas kaki
belum diketahui seluruhnya oleh klien. Nyeri yang dirasakan saat mengganti
balutan, membuat klien takut untuk ketika akan diganti balutannya.
7. Sensori (Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau, nyeri)
Tidak ada gangguan pendengaran. Mengatakan pandangan terasa lebih buram
terutama pada mata kiri, tidak dapat membaca tulisan dengan font 12 pada
jarak 10 cm, hanya tampak bayang-bayang saja. Pada mata kanan masih
mampu membaca dengan jarak 30 cm dengan besar huruf 16.
Merasakan nyeri pada area luka dengan intensitas sedang dan semakin nyeri
saat balutan dibanti. Baal atau kebas pada area telapak kaki kiri. Dilakukan
pemeriksaan sensitifitas dengan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan
salah dalam mempersepsikan sensasi tajam dan tumpul pada area telapak kaki
kanan dan kiri.
Stimulus fokal :
Penurunan sensasi terutama pada area perifer disebabkan karena adanya
komplikasi neuropathi sensori perifer. Penurunan tajam penglihatan merupakan
komplikasi DM pada mata yang disebut retinopathy. Komplikasi yang terjadi
pada DM akibat lamanya menderita DM (10 th) dan gula darah yang tidak
terkontrol (> 6.5%)
Stimulus kontekstual & residual :
Pengetahuan yang kurang mengenai DM & komplikasinya. Penatalaksanaan
DM yang belum adekuat.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
64
8. Fungsi Neurologi (Syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi)
Klien dapat berorientasi terhadap orang,waktu dan tempat dengan baik, tidak
ada gangguan pada XII saraf kranial, fungsi motorik menurun karena
keterbatasan energi, sensorik , memori dan bahasa tidak ada gangguan. Reflek
patela (+/+), reflek ackhiles (+/+), Monofilament 10 gr (-/-)
Stimulus fokal : neuropathy perifer
Stimulus kontekstual & residual
Riwayat DM yang tidak terkontrol, pengetahuan terhadap perawatan kaki yang
kurang
9. Fungsi Endokrin
Hiperglikemia , tidak didapatkan pembesaran kelenjar thyroid, sudah
menopause (menurut klien sudah lebih dari 10 th)
Stimulus fokal : resistensi insulin/ketidakcukupan insulin ditandai dengan
GDS : 466 mg%, HbA1C : 12,7%
Stimulus kontekstual & residual
Pengetahuan tentang penatalaksanaan DM yang belum semuanya diketahui,
adanya perasaan bosan untuk berobat & sumber dana yang semakin berkurang,
riwayat keluarga ada yang mengalami DM
3.2.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri : Physical self (memandang diri sendiri,
berhubungan dengan kehilangan) & Personal self (konsistensi; ideal diri, moral,
etik, spiritual, seksual, cemas, takut)
Menurut klien setelah telapak kakinya diamputasi, klien lebih banyak dirumah, hal
ini disebabkan karena pergerakan klien menjadi terbatas dan klien malas ditanya–
tanya oleh tetangganya tentang kakinya. Spiritual klien : menyatakan untuk ibadah
wajib & sunah selalu dilaksanakan, namun pengajian sudah tidak diikuti lagi. Saat
ini klien ingin menjalankan ibadah wajib, namun klien ragu karena lukanya selalu
mengeluarkan kotoran. Klien yakin bahwa sakit yang dialami merupakan teguran
dari Tuhan, agar lebih taat menjalankan perintahNya. Klien juga meyakini bahwa
kekuasaan Tuhan akan membantu kesembuhannya, oleh sebab itu, walaupun ia
ragu menjalankan sholat, namun ia tetap berdzikir.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
65
Aktifitas seksual (suami istri) hampir tidak pernah dilakukan, karena merasa sudah
tua. Menurut klien dan suaminya, kebutuhan tersebut sudah tidak penting lagi.
Mereka mengekspresikan kebutuhan seksual dengan saling menyayangi, saling
merawat, karena mereka hanya tinggal berdua saja. Saat ini yang diinginkan
kesembuhan terhadap kondisi absesnya, ada ketakutan akan bertambah luas karena
klien mempunyai DM dan pengalaman luka dikaki 3 tahun yang lalu merupakan
pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien. Pengalaman terhadap nyeri
yang dirasakan saat mengganti balutan juga mempengaruhi kecemasan klien saat
akan diganti balutan. Namun karena produksi cairan eksudat yang banyak serta
ingin sembuh, mampu menghilangkan rasa cemas akan nyeri yang dirasakan.
Produksi eksudat yang berbau membuat klien menginginkan pindah tempat ke
posisi diujung kamar dengan alasan agar klien lain dikamar tersebut tidak kebauan.
Harapan klien saat ini proses penyembuhan luka di punggungnya mengalami
kemajuan. Ia yakin dengan pelayanan kesehatan di RSUPF dan tenaga kesehatan
yang merawatnya
Stimulus Fokal : adanya abses di punggung, yang tidak sembuh–sembuh,
mengeluarkan eksudat dan berbau. Perubahan bentuk kaki paska amputasi
menyebabkan keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Stimulus kontekstual dan residual :
Pengalaman ulkus kaki sebelumnya,
pengalaman nyeri pada saat di lakukan ganti balutan sebelumnya. Aktifitas klien
sebelum dilakukan amputasi (aktif dikegiatan kemasyarakatan, mempunyai
aktifitas berdagang dan mempunyai pendapatan sendiri). Keyakinan diri klien
terhadap proses penyembuhan luka dan dengan tempat serta petugas kesehatan
yang menangani.
3.2.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran
Klien adalah seorang istri & ibu dari 2 anak dimana kedua anaknya sudah menikah
dan tidak tinggal dengan klien. Ia hanya tinggal berdua suaminya yang sudah
pensiun. Kegiatan sehari-hari melakukan aktivitas rumah tangga (memasak,
membersihkan rumah, dll) dibantu oleh suaminya. Saat ini klien selalu ditunggu
oleh suaminya, dan untuk peran sehari–hari digantikan oleh suami dan anak klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
66
Stimulus kontekstual dan residual : merasakan nyeri akibat abses dan harus
dirawat dirumah sakit.
3.2.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi (fokus: interaksi saling memberi/menerima,
cinta kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Keseimbangan antara
ketergantungan dan kemandirian)
Saat ini kebutuhan dan aktifitas klien dibantu oleh suami & anaknya . Secara
bergantian keluarga (anak) dan suami klien menjaga klien di rumah sakit. Klien
juga terlihat mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya yang ia bisa
lakukan, seperti makan dilakukan sendiri, menurutnya ia juga tidak mau
sepenuhnya tergantung dengan orang lain. Dalam menentukan pengobatan seperti
keputusan untuk menggunakan jenis balutan, apa saja kebutuhan yang harus ada
saat dirumah sakit hingga keuangan, klien berperan dalam membuat keputusan.
Stimulus kontektual dan residual : abses di punggung, nyeri yang dirasakan,
dirawat dirumah sakit.
3.2.2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian mode adaptif pada kasus diatas, dapat dianalisis terjadi
inefektif pada mode fisiologi meliputi mode nutrisi, proteksi, sensasi, neurologi,
endokrin dan pada mode konsep diri. Perubahan adaptasi atau inefektif pada mode
adaptif tersebut dapat ditegakkan diagnose keperawatan sebagai berikut :
Mode Fisiologis
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi
2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah,
penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan
sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan
yang tidak adekwat, ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak dan kesulitan
ekonomi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
67
Mode konsep diri dan mode Interdependensi
1.
Kesiapan meningkatnya koping individu
2.
Kesiapan meningkatnya religiositas.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
68
Tabel 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan
3.2.3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Nama Klien
Umur Klien
No
1
: Ny.S
: 66 tahun
Perilaku
Stimulus
Fungsi
Fisiologis
:
Proteksi
Data subyektif:
ï‚· Abses
pada
area thorakal
X-XII sejajar
midklavikula
derajat
3,
dengan
leukositosis
ï‚· Nyeri
pada
luka
skala
sedang
ï‚· Demam
Stimulus Fokal :
Terjadi abses yang
semakin
meluas,
mengeluarkan pus,
GD meningkat &
leukositosis
Data obyektif:
Stimulus
kontekstual
&
residual :
Riwayat DM 10
tahun, gula darah
tidak
terkontrol
HBA1C :12,7 %
Pengetahuan klien
terhadap
penatalaksanaan
DM,
komplikasi,
perawatan
luka,perawatan kaki
No. Rekam Medis
Diagnosa Medik
Diagnosa
Keperawatan
Resiko
perluasan
Infeksi
berhubungan
dengan
hiperglikemia,
rendahnya
resistensi
terhadap stres,
penyembuhan
luka
yang
memburuk
Tujuan
Tujuan:
Setelah dilakukan
asuhan
keperawatan
selama 10 x 24 jam
diharapkan
klien
akan
beradaptasi
dengan
perilaku
terhadap proteksi
Kriteria Hasil
ï‚· Tidak terdapat
jaringan
nekrotik
ï‚· Luka tidak ada
pus dan tidak
bau
ï‚· Leukosit dalam
batas
normal
(4.000
–
11.000/mm3)
ï‚· Suhu
tubuh
dalam
batas
Rencana Intervensi
: 1094672
: DM Tp2 & Abses
Evaluasi
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan dan dievaluasi
1. Hyperglicemia
setiap 3x24 jam dan
modifikasi
management (metabolic dilakukan
intervensi
keperawatan
(27
control)
Oktober
2011),
maka
diperoleh
:
2. Management
Luka
(wound and infection
Perilaku adaptif :
control)
Klien mengatakan luka
3. Vascular control
dipunggung sudah tidak
4. Education
nyeri lagi, dasar luka merah
muda & terjadi granulasi,
Aktivitas keperawatan
produksi
cairan
luka
Regulator :
minimal (cairan serous
ï‚· Monitor gula darah
bening), leukosit 5.600/ul,
ï‚· Monitor TTV, terutama suhu klien & keluarga aktif dalam
ï‚· Monitor GD/ hari sesuai kegiatan program edukasi
program
DM.
ï‚· Monitoring tanda perluasan
infeksi pada area luka: pus Perilaku inefektif
yang bertambah, adanya luka Klien & keluarga belum
NIC:
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
69
Luka
mengeluarkan
pus,berbau khas
gangren,nekroti
k pada digiti IV,
kedalaman luka
belum
dapat
dinilai bergaung
menembus dari
digiti III
normal (36 –
37oC)
ï‚· Penyembuhan
luka:
regenerasi sel
dan jaringan
diikuti
penyembuhan
luka
ï‚· Klien
menunjukan
perilaku
untukmenurun
kan
resiko
perluasan
infeksi
ï‚· Pengetahuan
terhadap
penatalaksanaa
n
DM,
pencegahan
penyebaran
luka
meningkat
yang meluas
ï‚· Lakukan perawatan luka
dengan
prinsip
streril,
lembab setiap hari atau jika
balutan jenuh
ï‚· Pantau hasil laboratorium
terhadap
peningkatan
leukosit, hasil kultur
Kolaborasi :
ï‚· Berikan
insulin
sesuai
program 3x8 ui
ï‚· Pemeriksaan kultur dari
jaringan luka
ï‚· Pemberian antibiotic :
ï‚· Ceftriaxon 2 x 2 gr
ï‚· Metronidazol : 3 x 500
mg
ï‚· Kolaborasi untuk persiapan
debridement: fisik, mental &
administratif
ï‚· Kaji respon klien terhadap
terapi: penurunan produksi
pus, penurunan leukosit
Kognator
ï‚· Motivasi
klien
untuk
menjaga
stabilitas
gula
darah: nutrisi, penurunan
kecemasan
ï‚· Informasikan kepada klien &
klg
untuk
menjaga
kebersihan area sekitar luka
ï‚· Informasikan kepada klien
berani melakukan perawatan
luka secara mandiri
Luka
bergranulasi,namun
belum pada tahap epitelisasi
Analisa :
Masalah penyebaran infeksi
tidak
terjadi,
perilaku
adaptif
belum
tercapai
seluruhnya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
70
untuk mengurangi tekanan
pada area luka
2
Perubahan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
defisiensi
glukosa
pada
Stimulus
tingkat
sel
Kontekstual
& skunder
Residual :
ketidakcukupan
Riwayat DM sejak insulin
10 th yang lalu tidak
terkontrol,
pengetahuan tentang
nutrisi untuk DM :
Data Obyektif:
hanya mengurangi
ï‚· Pemeriksaan
GDS tanggal nasi saja (jumlah,
&
1/10’11: 531 jenis
jadwal)belum
mg/dl
diketahui
dengan
ï‚· Pemeriksaan
baik
GD/6 jam :
fluktuatif
&
jam 16.00: 325
mg%
ï‚· Klien hanya
menghabiskan
porsi diet yang
diberikan dari
rumah sakit
Fungsi
Fisiologis
:
Nutrisi
Data Subyektif:
ï‚· Nafsu makan
menurun mual
ï‚· Makan ratarata habis 2/3
porsi selama 3
hari terakhir
karena
merasakan
nyeri
pada
abses
Stimulus Fokal
GDS 466 mg% dan
HbA1C :12.7 %,
KGDH : 204 mg%,
305mg% & 219
mg% BB: 56 kg TB
155 cm.
Tujuan Umum
Kebutuhan nutrisi
terpenuhi setelah
dilakukan tindakan
keperawatan
selama
7 hari,
yang
ditunjukan
dengan :
NIC
 Kontrol
metabolic
(hiperglikemia)
 Edukasi
Aktifitas keperawatan
Regulator
ï‚· Timbang berat badan klien
sesuai indikasi
ï‚· Tentukan program diet
kolaborasi dengan ahli gizi
:1500kal dibagi dalam 3
porsi besar & 3 porsi kecil
ï‚· Auskultasi bising usus,
catat
adanya
nyeri
abdomen, perut kembung,
mual, muntahan makanan
yang belum sempat dicerna
ï‚· Identifikasi makanan yang
disukai termasuk kebutuhan
etnik/cultural
dan
lingkungan
yang
menyenangkan saat makan
ï‚· Observasi
tanda-tanda
hipoglikemia
Kriteria hasil
ï‚· Asupan
makanan, cairan
dan zat gizi
terpenuhi
ï‚· Klien
dapat
menjelaskan
komponen
keadequatan
diet
ï‚· Menyatakan
keinginan untuk
mengikuti diet
ï‚· Bertoleransi
terhadap
diet
yang dianjurkan
ï‚· Membertahanka Kognator
n massa tubuh ï‚· Ajarkan
metoda
dan berat badan
perencanaan makan pada
normal
klien dan keluarga
ï‚· Nilai
ï‚· Jelaskan sumber makanan
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 21 hari
(hingga
tanggal
27
Oktober)
&
dievaluasi
setiap 3 x 24 jam serta
dilakukan modifikasi, maka
di dapatkan hasil :
Perilaku adaptif :
Klien mengatakan makan
habis sesuai porsi yang
disediakan, makan sesuai
jadwal
yaitu 15 menit
setelah diberikan insulin,
Regulasi gula darah tercapai
dengan control insulin 3 x 8
unit,
keluarga
(suami)
mampu
menggunakan
insulin sendiri & glukotes
sendiri.
KLien mampu menyebutkan
diit yang dianjurkan dari
jenis, jumlah & jadwalnya
Perilaku inefektif :
Klien masih tergantung
dengan keluarga dalam
pengaturan diit & motivasi
masih rendah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
71
ï‚· BB : 56, TB:
155
cm.
LILA: 22 cm
3
Fungsi
Fisiologis :
Aktifitas
ï‚· Mempunyai
riwayat
amputasi 3
tahun yang
lalu pada 1/3
distal
metatarsal
ï‚· Berjalan
menjadi
lebih pelan,
kaki kanan
sering
menjadi
laboratorium
bergizi yang terjangkau
albumin,
bagi klien dan sesuai diit
glukosa darah ï‚· Informasikan
tentang
dalam
batas
kebutuhan
nutrisi
dan
normal
bagaimana memenuhinya
ï‚· Melaporkan
ï‚· Libatkan keluarga klien
keadequatan
dalam perencanaan makan
energy.
Kolaborasi
ï‚· Lakukan pemeriksaan gula
darah sesuai program :
KGDH
ï‚· Berikan pengobatan insulin
sesuai program : 3 x 8 ui
ï‚· Berikan Donperidon 3 x 1
amp & OMZ 1 x 20 mg
Resiko Injuri : Tujuan umum :
NIC
trauma
jatuh, Injuri tidak terjadi,  Environmental
perubahan
ditunjukan dengan
managemen : Safety
anatomis kaki  Klien mampu  Mechanical control
(chatcot), kalus
mengurangi
& ulkus b.d.
tekanan
pada Aktifitas Keperawatan
penurunan
Regulator
kaki kanan
sensasi,
ï‚· Ciptakan lingkungan yang
ï‚· Keluarga
perubahan kimia
aman bagi klien
mampu
endogen
menyebutkan
ï‚· Identifikasi kebutuhan
ketidakseimbang
criteria
keamanan klien
an
glukosa
Stimulus
lingkungan
berdasarkan tingkat fisik
kontekstual
& insulin
yang aman &
dan fungsi kognitif dan
residual:
memberikan
perilaku
Riwayat DM 10
lingkungan
ï‚· Tempatkan alat-alat yang
tahun
tidak
yang
aman
sering digunakan dalam
Stimulus Fokal
Penggunaan
kaki
kanan
sebagai
penumpu
menyebabkan
timbulnya
kalus&
perawatan
yang
tidak
sesuai
menimbulkan ulkus
pada area kalus
Setelah dilakukan asuhan
selama 3 minggu,dapat
dievalauasi perilaku klien :
Adaptif :
ï‚· Klien
dan
keluarga
mampu
menyebutkan
dan
menyediakan
kondisi lingkungan yang
aman untuk klien :
meletakan barang dekat
klien,
memasang
pengaman,
mambantu
mobilisasi
ï‚· Klien
&
keluarga
mampu
menjelaskan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
72
penumpu
saat
turun
dari tempat
tidur
Fungsi
fisiologis
proteksi
&
saraf:
ï‚· Terdapat
kalus dengan
ulkus pada
bagian
tengahnya
ï‚· Sensasi pada
kaki kanan
menurun &
ABI 1 & 0,9
Fungsi fisiologi
sense (indra):
ï‚· Penurunan
tajam
penglihatan
pada
mata
kiri
terkontrol,
pengetahuan tentang
perawatan
kaki,
penggunaan
alas
kaki,
perawatan
kalus yang belum
optimal
selama di RS
untuk klien
jangkauan klien
tehnik perawatan kaki :
mencuci & menggosok
ï‚· Jaga kebersihan,
kalus, tehnik memeriksa
kenyamanan tempat tidur
kaki
dan lingkungan
ï‚·
Klien
mampu
ï‚· Buang bahan-bahan yang
menggunakan kakikiri
telah digunakan setelah
sebagai tumpuan saat
mengganti balutan dan
mulai berdiri
eliminasi
ï‚· Hindari paparan terhadap
panas dan dingin berlebihan Perilaku inefektif :
ï‚· Ulkus pada tengah
ï‚· Libatkan keluarga untuk
kalus belum kering,
menunggui klien
namun
sudah
ï‚· Lakukan perawatan kalus
didapatkan granulasi &
(pengikisan & perawatan
ukuran yang mengecil
ulkus)
ï‚· belum di dapatkan alas
ï‚· Latih klien untuk
kaki
yang
sesuai
menggunakan kaki kiri
sehingga
masih
sebagai tumpuan
menggunakan
kaus
kaki/sandal
yang
Kognator
dimodifikasi
ï‚· Jelaskan tentang perubahan
Analisa:
atau perlindungan
ï‚· Masalah resiko injuri
lingkungan pada klien dan
masih di dapatkan.
keluarga
Intervensi
untuk
ï‚· Diskusikan dengan klien &
menuju
perilaku
adaptif
keluarga untuk perawatan
tetap
dilaksanakan
kaki & penggunaan alas
hingga
klien
dirumah
kaki
dengan
melibatkan
ï‚· Demonstrasikan
keluarga
tehnikperawatan kaki &
pencegahan kalus
Kolaborasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
73
ï‚· Kolaborasikan dengan
dokter spesialis mata untuk
pemeriksaan &
penatalaksanaa mata
ï‚· Kolaborasi dengan
rehabilitasi untuk
mendiskusikan alas kaki
yang sesuai
mode konsep
diri :
ï‚· klien tidak
lagi
menjalankan
ibadah sholat
karena
tubuhnya
selalu kotor
oleh eksudat
luka
ï‚· Klien
menginginka
n untuk tetap
menjalankan
ibadah
Stimulus fokal : Kesiapan
pengetahuan klien meningkatnya
tentang ibadah untuk religiositas
orang sakit kurang
Kesiapan dalam
Mode konsep Stimulus
peningkatan
diri :
Kontekstual :
koping individu
ï‚· Mengungkap ï‚· Pengalaman
kan
mengalami ulkus
kekhawatiran
sebelumnya
Setelah dilakukan  Spiritual support,dengan
tindakan
aktifitas :
keperawatan
ï‚· Diskusikan tata cara bersuci
selama 2x24 jam
& sholat saat sakit
diharapkan
klien ï‚· Ajarkan cara tayamum &
akan menunjukan
sholat dengan kondisinya
peningkatan
ï‚· Libatkan keluarga dalam
kesejahteraan
penyediaan fasilitas ibadah :
spiritual
mukena, tasbih
Criteria hasil ;
ï‚· Pertahankan privacy saat
ï‚· Bersuci melalui
sholat/berdo’a
tayamum
ï‚· Sholat
dengan
cara duduk
ï‚· Melakukan
aktivitas doa
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 2 hri
didapatkan :
Perilaku efektif :
ï‚· Keluarga membawakan
perlengkapan ibadah
ï‚· Klien
terlihat
menjalankan
ibadah
sesuai dengaan waktunya
ï‚· Klien terlihat berzikir
menggunakan tasbih di
waktu istirahatnya.
ï‚· Klien mengungkapkan
lebih tenang jika dibantu
dengan berdo’a
Setelah dilakukan NIC
tindakan
 Peningkatan koping
keperawatan
individu
selama 7 x 24 jam  Peningkatan support
diharapkan
klien
system
Setelah dilakuakan asuhan
kepetawatan selama 7 hari
dan dilakukan evaluasi di
dapatkan perilaku yang
adaptif , dimana klien
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
74
nya terhadap ï‚· Support
dari
luka
yang
keluarga baik
saat
ini
dideritanya
ï‚· Mengungkap
kan
keyakinanny
a
terhadap
pelayanan
dan petugas
kesehatan
mampu
mengatasi
sakitnya
Mode
Interdependen
ï‚· Terlibat
pengambilan
keputusan
dalam
perawatan
dirinya
:
mementukan
tambahan
protein,
pemilihan
menggunakan
jenis balutan.
ï‚· Mengungkapk
an jika rasa
takut
akan
nyeri
dikesampingk
memperlihatkan
peningkatan
kesejahteraan
dalam koping
 Peningkatan body image
Aktivitas yang dilakukan :
Kognator
ï‚· Gali harapan yang
diinginkan
ï‚· Diskusikan hal – hal positif
yang klien miliki
ï‚· Lakukan reinsforment (+)
terhadap hal – hal positif
yang dimiliki oleh klien
ï‚· Diskusikan dengan klien
untuk menggunakan hal
positif yang dimiliki klien
untuk meningkatkan
ï‚· Fasilitasi komunikasi akan
perhatian/perasaanantara
pasien dan keluarga atau
anggota keluarga
ï‚· Libatkan keluarga dalam
setiap perawatan klien
menunjukan perilaku :
ï‚· Keaktifan klien dalam
program perawatan
ï‚· Ungkapan klien tentang
harapan kesembuhan
ï‚· Interaksi yang meningkat
dengan
pasien
disekitarnya
ï‚· Ungkapan keingitahuan
klien tentang perawatan
selanjutnya
dan
mengikuti
program
perawatan
yang
melibatkan
keaktifan
klien
:
latihan
menggunakan kaki kiri
sebagai
tumpuan,
bersholawat saat diganti
balutan,melakukan
exercise di tempat tidur.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
75
an jika akan
diganti
balutannya,krn
ingin
luka
cepat sembuh
Mode Fisiologi
ï‚· Terjadi
peningkatan
GD
ï‚· Abses yang
makin luas
ï‚· Kalus
&
ulkus pada
kaki kanan
Mode
Interdependensi
ï‚· Perawatan
dirumah
dilakukan
oleh suami
ï‚· Menghentika
n
program
pengobatan
karena
sumber dana
ï‚· Keluarga
memberikan
susu kedelai
dengan gula
setiappagi
ï‚· Menghentika
n pengobatan
Stimulus Fokal :
Belum
pernah
mengikuti program
edukasi
Informasi
saat
dirawat terbatas pada
diit : pengurangan
sumber karbohidrat
Menegement
diri
inefektif
berhubungan
dengan
pengetahuan
yang kurang
Setelah dialakukan NIC ;
tindakan
 Program edukasi
keperawatan
Aktifitas yang dilakukan :
selama
7
hari ï‚· Gali pengetahuan klien dan
diharapkan
keluarga tentang
kemempuan klien
DM,komplikasi dan
dalam management
perawatannya
diri
meningkat ï‚· Lakukan edukasi dengan
ditandai dengan
- Kelompok sebaya (group)
ï‚· Secara kognotif
ï‚· Lakukan konseling
klien mengetahui
sesuai kebutuhan klien
batasan
gula ï‚· Fasilitasi klien dalam
darah
normal,
membuat keputusan dalam
tanda
perawatan dirinya
peningkatan gula ï‚· Demonstrasikan perilaku
darah, komplikasi
perawatan yang dapat
dan
dilakukan oleh klien : cara
perawatannya
perawatan kaki, pemberian
ï‚· Secara
insulin, menyiapkan
psikomotor klien
makanan, latihan yang bs
menunjukan
dilakukan (peregangan).
perilaku terhadap
diit yang benar,
latihan
fisik,
melakukan
penyuntikan
insulin
sendiri,
Setelah dilakukan perawatan
pada hingga hari ke 7 di
dapatkan perilaku adaptif :
Klien dan keluarga
mampu menyebutkan
batasan gula darah
normal, tanda hiper &
hipoglikemia,komplika
si yang ada pada
dirinya dan komplikasi
lain yang dapat terjadi,
penatalaksanaan DM.
Klien
melakukan
exercise di tempat tidur
(senam
kaki,
peregangan otot) sesuai
kemampuan
Anak klien mampu
melakukan perawatan
kaki
Klien
mampu
menyuntik
insulin
sendiri
Keluarga
klien
membeli
glukometer
dan
mampu
menggunakannya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
76
sendiri
ï‚· Menggunaka
n OHO tanpa
monitoring
dari tenaga
kesehatan
aktif
dalam
program edukasi
-
Klien dan keluaarga
mampu menyebutkan
sumber
pelayanan
kesehatan yang bisa
dijangkau.
Perilaku inefektif :
Psikomotor
dalam
penyediaan
diit,karena
masih disediakan oleh RS
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
77
3.3. Pembahasan
Bagian ini merupakan pembahasan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan pada
Ny. S dengan DM komplikasi abses dan resiko tinggi ulkus diabetik dengan
menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy.
Pembahasan yang akan praktikan
uraikan bertolak dari masalah keperawatan yang ditemukan mengacu pada 4 mode
adaptasi menurut Roy. Keempat mode tersebut meliputi mode fisiologi, mode konsep diri,
mode peran dan mode ketergantungan. Dari masalah keperawatan yang terjadi, akan
dianalisis berbagai faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya masalah tersebut,
dilanjutkan dengan membahas berbagai intervensi yang telah dilakukan untuk
mengatasinya dan evaluasi hasil dari intervensi yang telah dilakukan. Pembahasan juga
akan diperkuat oleh teori/konsep yang mendasarinya fenomena yang terjadi dan hasil
studi para peneliti sebelumnya sebagai justifikasi ilmiah.
3.3.1. Mode Fisiologi
3.3.1.1. Resiko
ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan
proses infeksi
Masalah keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan
sebagai asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolise (NANDA, 2012-2014). Factor resiko yang berhubungan
dengan gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada klien diabetes
dikaitkan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mengabsorpsi
nutrient.
Perilaku klien di dapatkan berhubungan dengan masalah nutrisi ini adalah
klien mengalami mual, penurunan nafsu makan, makan habis hanya ½
porsi. Dari penghitungan IMT didapatkan nilai 23, masuk dalam katagori
normal. Pemeriksaan laboratorium sebagai pendukung perilaku pada mode
nutrisi di dapatkan data SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, HbA1C: 12,7
%, Trigliserida : 80mg/dL, Kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl &
LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL dengan protein urine kuantitatif
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
78
670 mg/24jam. Dari hasil laboratorium diatas dapat disimpulkan fungsi
hati dalam kondisi normal.
Hati merupakan organ penting yang berperan dalam metabolisme
komponen nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Komponen
nutrisi yang mengalami penurunan adalah albumin. Hipoalbumin yang
terjadi pada Ny. S disebabkan karena inflamasi kronik dari abses yang
terjadi. Kadar albumin rendah selain karena asupan nutrisi yang kurang
juga
karena
inflamasi
kronik
dan
kebocoran
pada
ginjal.
Ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan disertai dengan
penurunan fungsi ginjal menyebabkan penurunan albumin dalam darah.
Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat
respon inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, trauma) mengakibatkan
penurunan kadar albumin melalui mekanisme
:
1) peningkatan
permeabilitas vascular (menyebabkan albumin berdifusi ke ruang
ekstravaskular); 2) peningkatan degradasi albumin; 3) penurunan sintesis
albumin (TNF-α yang berperan dalam penurunan trankripsi gen albumin),
(Dunning, 2009).
Data lain yang menunjang masalah resiko keseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh adalah kadar gula darah yang tinggi saat masuk yaitu
466 mg/dL dan menurun dengan pemberian terapi insulin. Hasil HbA1C
menunjukan nilai 12,7 % yang dapat disimpulkan tidak terkontrolnya gula
darah dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan gula darah diduga adanya
resistensi insulin. Resistensi insulin relative akan mengakibatkan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Lewis & Heitkemper, 2011).
Insulin berfungsi dalam transportasi glukosa hingga masuk ke dalam sel.
Sekresi insulin dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Saat terjadi defisiensi insulin, glukosa darah hasil metabolisme karbohidrat
setelah seseorang makan tidak dapat masuk ke dalam sel, mengakibatkan
suatu kondisi yang disebut hiperglikemia Selain itu penurunan metabolism
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
79
di sel berakibat terjadinya penurunan energy dan penderita DM akan
mengalami keseimbangan kalori negative, perilaku klien yang ditunjukan
misalnya adanya keluhan mudah lelah, atau lemas dan letih.
Gangguan nutrisi pada sel, mengaktifkan system homeostatis tubuh untuk
memproduksi energy terus berlangsung dengan pembentukan glukosa
endogen glukoneogenesis & glikogenolisis dijaringan hepar. Kondisi ini
semakin meningkatkan glukosa darah. Stress fisik seperti adanya ulkus,
akan meningkatkan hormone kontraregulator (glucagon, katekolamin dan
kortisol) yang akan mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan
lemak. Akibat lipolisis meningkat akan terjadi peningkatan produksi benda
keton dan asam lemak bebas secara berlebihan.
Intervensi keperawatan yang dapat disusun pada masalah nutrisi ini adalah
pemberian diit yang sesuai, kontrol gula darah, dan pemberian terapi
insulin sebagai upaya membantu glukosa masuk ke dalam sel dan pada
akhirnya diharapkan nutrisi sel terpenuhi.
Menurut Yunir & Soebardi, 2010, salah satu terapi medis non farmakologi
yang direkomendasikan untuk mengatasi maslah nutrisi pada klien DM
adalah terapi gizi. Terapi gizi merupakan kegiatan pengaturan pola makan
yang didasarkan pada status gizi penderita DM yang disesuaikan dengan
kebutuhannya. Adapun manfaat yang diharapkan dari pengaturan diit ini
adalah : 1) menurunkan berat badan, 2) menurunkan tekanan darah. 3).
mengontrol gula darah pada batas normal. 4). memperbaiki profil lipid . 5).
memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki sistim koagulasi darah.
Adapun pengaturan diit yang dilakukan pada Ny. S adalah sebagai berikut:
Rumus penghitungan kebutuhan nutrisi dengan rumus Brocca :
Penentuan besarnya kalori yang diberikan digunakan perhitungan rumus
Brocca, yaitu: BBI x kebutuhankalori + aktifitas + kondisi stres
BBI
= (TB dalam Cm - 100) -10%
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
80
= (155 cm - 100) ± 5,5= 49,5 - 60,5 kg
BBI
Kalori basal wanita 25 Kkal/Kg = 49,5 x 25
= 1237,5 kkal
Aktifitas ringan + 10%
= 123,5 kal
Keadaan stres fisik + 20%
= 369,75 kal
Usia > 50 th - 5%
= 61,88
BB Gemuk - 20%
= 247,5
Total kebutuhan nutrisi : kkal
= 1423,125 pembulatan 1500 kal
Makanan dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan
malam (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makanan besar.
Untuk pengaturan makan ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan tim
gizi RS. Medical Nutrition Therapy (MNT) penting dalam manajemen
pencegahan diabetes, mencegah perkembangan komplikasi akibat diabetes,
dan mencegah kejadian morbiditas dan mortalitas akibat diabetes (ADA,
2012). MNT juga termasuk ke dalam edukasi manajemen diri pada klien
diabetes. MNT dilaporkan dapat menurunkan nilai HbA1C ( A1C) 0,25 –
2,9% pada klien DM tipe II (ADA, 2012) tergantung kepada lamanya klien
menderita DM. Hasil metaanalisis pada studi orang tanpa diabetes
menunjukkan MNT dapat menurunkan kolesterol LDL antara 15-25 mg/dl
yang dicapai setelah 3-6 bulan inisiasi.
Terjadinya penurunan albumin dalam darah akan menghambat proses
penyembuah luka. Peningkatan pemberian protein pada kondisi Ny. S
perlu dipertimbangkan dengan fungsi ginjal yang menurun dan adanya
pengeluaran protein melalui urine. Protein yang diberikan pada Ny. S
adalah 1,5 – 2 gr/Kg BB/hari dengan pertimbangan untuk meningkatkan
proses penyembuhan luka. Sumber protein yang diberikan 50 % berasal
dari sumber hewani dan 50 % berasal dari sumber nabati. Kandungan
protein pada putih telur mencapai 98%, sehingga pemberian ekstra putih
telur hingga 6 butir perhari merupakan upaya untuk memenuhi protein
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
81
dalam tubuhnya. Selain dari sumber hewani sumber protein nabati seperti
dari olahan kedelai (susu kedelai) mempunyai banyak keuntungan jika
dikonsumsi oleh psien DM seperti Ny.S, dimana sudah terjadi penurunan
pada fungsi tubuh. Kandungan protein yang ada pada kedelai
(phytoestrogen)
dapat
menurunkan
proteinuria,
hiperfiltrasi
dan
proinflamato cytokines diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi
ginjal (Kresnawan & Markun). Penelitian lain tentang susu kedelai
dilakukan oleh Anitha pada tahun 2006 di RS Saiful Anwar, pada 5 orang
kelompok perlakuan yang diberikan susu kedelai didapatkan penurunan
gula darah puasa dan 2 jam post prandial (p= 0,01). Dengan demikian
pemberian susu kedelai tanpa gula bisa menggantikan pemberian susu dari
sumber hewani.
Intervensi lain yang dilakukan pada Ny. S yang penting adalah mengatasi
hyperglikemia. Pada kasus Ny. S penatalaksanaan terhadap hiperglikemia
saat di UGD adalah dengan pemberian insulin berdasarkan hasil gula darah
setiap 6 jam (setiap kenaikan 50 mg%, diberikan 5 ui Humulin RR (insulin
kerja pendek) dimulai dengan nilai GD 200mg%). Setelah 2 hari dirawat
diberikan insulin dengan dosis 3 x 8 unit & kontrol gula darah setiap hari
30 menit sebelum makan. Pada hari ke 3 perawatan gula darah klien
terkontrol dengan nilai antara 180–250.
Pemberian insulin pada kondisi ini tidak hanya untuk menurunkan glukosa
darah hingga batas normal, namun juga untuk mengatasi ketonemia dimana
insulin akan menurunkan konsentrasi hormone glucagon, sehingga
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas di
jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan
utilisasi glukosa oleh jaringan. Efektifitas penatalaksanaan hiperglikemi
dapat dipantau melalui kadar glukosa dalam darah.
Pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan disertai penyakit
kritis insulin diberikan jika gula darah lebih dari 180 mg/dL dan pemberian
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
82
insulin lebih efektif dengan pemberian continuous IV insulin atau
intermiten SC basal bolus yang dikombinasi dengan correctional doses
insulin. Pemberian ini mengurangi terjadinya hipoglikemia dan dapat
menentukan dosis yang tepat (Hassan, 2007; LeMone, 2011; ADA,2012)
3.3.1.2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
Masalah keperawatan berikutnya yang praktikan tegakkan pada Ny. S pada
mode fisiologi adalah resiko infeksi kearah sepsis. NANDA 2012- 2014,
mendefinisikan resiko infeksi merupakan kondisi peningkatan resiko
terserang organism pathogen. Pada kasus Ny. S, infeksi sudah terjadi yang
ditandai dengan lekositosis dan pada hasil kultur didapatkan bakteri gram
(+). Resiko terjadinya sepsis pada Ny. S, berdasarkan pada beberapa faktor
resiko seperti usia, peningkatan gula darah, penurunan system imun dan
perubahan pada vaskularisasi.
Gangguan vaskuler dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein
yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang
bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product
(AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing–masing di membrane
sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane
basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang
melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen
dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan
penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan
penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan
sirkulasi. Selanjutnya penuruanan sirkulasi ini akan menghambat aliran
darah yang membawa oksigen, nutrisi, sel darah putih dan antibody untuk
proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak. Kondisi ini
mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat,
(Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009, Hawks & Black, 2010).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
83
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencapai perilaku adaptif
terhadap pencegahan perluasan infeksi menjadi sepsis dilakukan dengan
meningkatkan koping regulator dan kognator pada Ny. S dan keluarga.
Secara umum intervensi tersebut meliputi, management luka, managemen
infeksi, menegemen hiperglikemik, control vaskuler dan edukasi. Aktivitas
yang dilakukan pada klasifikasi intervensi tersebut khususnya untuk
menegemen luka, infeksi dan edukasi meliputi : melakukan perawatan luka
(mengganti balutan, menyiapkan dasar luka dengan debridement).
Aktifitas keperawatan yang ditujukan untuk control infeksi diataranya
dengan monitoring tanda perluasan infeksi (tanda infeksi sistemik, infeksi
pada area luka, eksudat yang diproduksi luka), mempertahankan tehnik
aseptic selama perawatan luka, mencegah kontaminasi luka dengan sumber
infeksi (lingkungan), kolaborasi dalam pemberian antibiotic (Ceftriaxon 2x
2 gr dan Metronidazol 3 x 500 mg) sesuai hasil kultur. Edukasi yang
diberikan kepada Ny. S sebagai upaya untuk meningkatkan koping
kognator diantaranya upaya peningkatan daya tahan tubuh : istirahat,
penurunan kecemasan, tehnik menurunkan nyeri dan pemenuhan nutrisi
sesuai diit. Edukasi untuk pencegahan infeksi dilakukan dengan
menginformasikan untuk menjaga kebersihan area sekitar luka dan
menginformasikan untuk melaporkan kepada perawat jika ada tanda
deman, nyeri yang bertambah pada luka dan pengeluaran produksi cairan
luka yang berlebihan (Bulechek, et al, 2008; Doenges, et al, 2010; Ackley
& Ladwig, 2011).
Pemberian antibiotik pada Ny. S di dasarkan pada hasil kultur. Ceftriaxon
dan Metronidazol merupakan salah satu antibiotic yang masih sensitive.
Peran perawat pada pemberian antibiotic ini dimulai dari metode
pengambilan bahan culture. Pengambilan specimen yang tidak sesuai akan
mempengaruhi hasil kultur dan pada akhirnya berdampak pada pemberian
antibiotic yang tidak sesuai dan menyebabkan resistensi. Tehnik
pengambilan swab kultur pada luka dilakukan dengan mencuci luka
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
84
terlebih dahulu menggunakan air steril atau NaCl 0.9 % (bukan cairan
antiseptic) kemudian dikeringkan dengan kasa steril. Swab atau apusan
luka dilakukan dengan menggunakan lidi kapas steril dengan metode
Levine. Metode ini terbukti pada 4 penelitian merupakan metode yang
paling efektif dibandingkan dengan metode Z maupun metode sederhana.
Tehnik swab dengan metode Levine dilakukan dengan mengusapkan lidi
kapas steril pada dasar luka yang telah dicuci dan area yang paling sedikit
terdapat jaringan nekrosis/slogh pada diameter 1-2 cm melingkar (Gardner,
2006; Angel et al, 2011; Drinka et al, 2012; Nata dkk, 2012).
Intervensi lain yang juga penting diperhatikan pada pencegahan meluasnya
infeksi pada luka adalah perawatan luka. Prinsip management luka
menurut Dealey.C, 2005 diantaranya adalah : perawatan luka lembab &
menyiapkan dasar luka (wound bed preparation).
Perawatan Luka Lembab
Pada perawatan luka yang diberikan kepada Ny.S untuk mempertahankan
kelembabannya awalnya menggunakan kasa yang dibasahi NaCl, namun
pada hari ke 4 perawatan, sudah menggunakan hydrogel, mengingat lebih
efektif dan efisien. Perawatan luka lembab pertamakali diperkenalkan oleh
George Winter pada tahun 1962 dan berkembang hingga sekarang.
Beberapa
studi
telah
menunjukkan
bahwa
lingkungan
lembab
mempercepat proses epitelisasi dan untuk menciptakan lingkungan lembab
dapat dilakukan dengan menggunanakan balutan semi occlusive, full
occulisive dan impermeable dressing. Ada beberapa keuntungan prinsip
moisture dalam perawatan luka, diantaranya: mencegah luka menjadi
kering dan keras, meningkatkan laju epitelisasi, menjagah pembentukan
jaringan eschar, meningkatkan pembentukan jaringan dermis, mengontrol
inflamasi dan memberikan tampilan yang lebih kosmetis, mempercepat
proses autolysis debridement, menurunkan kejadian infeksi, cost effective,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
85
mempertahankan aktifitas neutrofil, menurunkan nyeri, memberikan
keuntungan psikologis.
Penggunaan kasa yang dilembabkan dengan NaCl merupakan cara
konvensional dan sering digunakan. Cara ini bisa menciptakan suasana
lembab tapi tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama
sebaliknya cara ini bisa menimbulkan nyeri (pada beberapa klien) saat
pergantian balutan ketika kasa telah mengering. Sedangkan hydrogels
merupakan polymer dengan kandungan air 90-95 % dan memiliki sifat
semi transparan dan nonadherent (Hest, CT. 1995., Jeter, KF &Tintle, TE.
1991 dalam Dealey, 2005). Di pasaran hydrogel tersedia dalam bentuk
pasta dan lembaran (sheet). Bentuk lembaran sangat comformable sehingga
bisa mengikuti tekstur luka dan dapat mengabsorbsi eksudat dalam jumlah
sedikit atau sedang. Karena sifatnya yang tidak lengket maka tidak
menimbulkan nyeri saat pergantian balutan namun sifat ini pula yang
mengharuskan hydrogel didampingi oleh balutan sekunder. Balutan
sekunder yang diberikan pada Ny. S adalah jenis balutan yang mampu
mengabsorbsi eksudat.
Menyiapkan dasar luka (Wound bed preparation)
Persiapan dasar luka telah diusulkan sebagai sarana untuk memberikan
pendekatan terstruktur dan sistematik dalam manajemen penyembuhan
luka yang terganggu. Persiapan dasar luka menekankan pada pengangkatan
hambatan yang mengganggu penyembuhan luka dengan mengoptimalkan
kondisi penyembuhan luka. Tujuan persiapan dasar luka adalah untuk
menciptakan lingkungan penyembuhan luka yang optimal dengan
menghasilkan dasar luka yang bervaskular, stabil, dengan eksudat minimal.
Salah satu tehnik yang dapat dilakukan untuk menyiapkan dasar luka ini
adalah dengan debridemen. Debridemen merupakan proses pengangkatan
jaringan mati (nekrotik), eksudat, dan debris metabolik dari dasar luka dan
kulit sekitar untuk memfasilitasi proses penyembuhan. Jaringan nekrotik
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
86
dan sampah metabolik dalam luka mencegah penyembuhan dengan
memberi
nutrisi
pada
bakteri
serta
menghambat
fase
inflamasi
penyembuhan. Oleh karena itu, harus diangkat sehingga akan membantu
merangsang tepi luka yang tidak meluas. Berbagai macam tehnik
debridement dapat dilakukan diantaranya dengan autolitik, biologik,
kimiawi maupun mekanik (Dealey.C, 2005; Yunir, 2010). Pada kasus Ny.
S penyiapan dasar luka dilakukan pada awalnya menggunakan hydrogel
sebagai autolitik, namun karena area slough yang banyak dan nyeri saat
dibersihkan maka debridemen mekanik (pembedahan) akhirnya dilakukan.
Kondisi Ny. S yang dihadapi praktikan saat mengganti balutan adalah
masalah nyeri dengan skala sedang dan meningkat saat alat menyentuh
area luka atau saat nekrotomi. Nyeri merupakan masalah yang banyak
terjadi pada klien dengan luka kronik dan nyeri dirasakan saat mengganti
luka. Augustin & Maier, (2003 dalam Dealey, 2005) menyatakan nyeri
yang dirasakan oleh klien dengan luka akan mengakibatkan stress dan
stress juga akan meningkatkan nyeri. Survey yang dilakukan oleh Moffatt,
2002 di 11 negara mendapatkan nyeri yang paling dirasakan oleh penderita
luka konik adalah saat mengganti balutan dengan kondisi balutan yang
kering. Penelitian sebelumnya yaitu Szor dan Bourguignon (1999)
mengamati 32 klien dengan ulkus tekanan dengan menggunakan kuesioner
McGill mendapatkan 28 (87,5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan
12 (42%) mengalami nyeri terus menerus baik saat istirahat maupun saat
mengganti balutan. Faktor yang menimbulkan nyeri saat mengganti
balutan disebabkan oleh karena balutan yang lengket dengan luka, irigasi
luka, balutan yang kering dan kecemasan (Bell & McCarthy, 2010).
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri selain dengan analgetik
perawat melakukan tehnik relaksasi sebelum perawatan yang bertujuan
untuk mengurangi kecemasan dan dilanjutkan saat mengganti balutan.
Relaksasi didefinisikan sebagai teknik yang digunakan untuk mendukung
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
87
dan memperoleh relaksasi untuk tujuan mengurangi tanda-tanda dan gejala
yang tidak diinginkan seperti nyeri, ketegangan otot dan kecemasan
(Dochterman McCloskey, 2004). Teknik relaksasi yang mudah dilakukan
oleh klien adalah dengan teknik dalam. Selain teknik relaksasi penggunaan
balutan yang sesuai (lembab bersifat autolitik) seperti jenis balutan modern
mampu dapat meningkatkan kenyamanan. Penelitian Kristanto, 2010 di
RSUD Syaiful Anwar malang terhadap 20 orang kelompok kontrol dan
perlakukan di dapatkan balutan modern mampu meningkatkan ekspresi
TGF β1 dan menurunkan kadar kortisol yang berdampak pada penurunan
stress fisik maupun psikis (p = 0.028).
3.3.1.3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan
sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
Diagnosa resiko injuri atau bahaya fisik didefinisikan sebagai kondisi yang
beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang
berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu dengan
faktor resiko biologis (tingkat imunitas, mikroorganisme), dari kliennya
(kognitif, afektif dan psikomotor), disfungsi biokimia, usia, fisik dan
disfungsi sensorik (NANDA 2012-2014).
Diagnosa ini merupakan penggabungan dari beberapa masalah pada mode
fisiologi, yaitu masalah pada mode aktifitas, mode proteksi, mode sensasi,
mode neurologi dan mode endokrin. Perilaku yang di tampilkan pada 5
mode tersebut menjadi data untuk masalah resiko injuri sedangkan
stimulus menjadi data pada etiologi. Data yang didapatkan pada diagnose
ini diantaranya adanya perilaku yang mengarah kemungkinan terjadi
bahaya fisik/cedera, diantaranya adanya baal pada kedua telapak kaki,
telapak kaki telah diamputasi 3 th yang lalu (1/3 distal metatarsal), adanya
kalus pada kaki kanan yang ditengahnya terdapat ulkus. Pemeriksaan
menggunakan monofilament 10 gr didapatkan terjadi penurunan sensasi.
Stimulus yang didapatkan baik fokal, kontekstual maupun residual
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
88
diantaranya: klien lansia (66 th), mengalami DM selama 10 tahun namun
gula darah tidak terkontrol mengalami hipertensi dan riwayat amputasi 3
th yang lalu. Pengetahuan klien dan keluarga dalam perawatan kaki,
pencegahan berulangnya ulkus kaki dan modifikasi mobilisasi masih
kurang karena belum pernah mendapatkan informasi mengenai masalah
perawatan kaki.
Masalah kaki yang dialami oleh Ny. S adalah riwayat amputasi dengan
kalus dan ulkus kecil di kaki kanan. Ulkus kaki merupakan salah satu
infeksi kronis yang sering dialami pada diabetisi. Di USA angka kejadian
ulkus kaki sebagai komplikasi DM terjadi pada 15 % diabetisi (Frykberg,
et al, 2006) dan di Indonesia 15-23% dari seluruh penderita DM (Waspadji,
2011) dan 85% amputasi pada kaki diabetic di dahului oleh adanya ulkus
& ulkus pada kaki dapat diawali karena adanya kalus pada area plantar
kaki.
Pengkajian kaki yang dilakukan kepada Ny. S didapatkan data adanya
riwayat amputasi dengan ulkus & saat ini mengalami kalus, maka menurut
Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 masuk dalam katagori
3 (resiko sangat tinggi), dan seharusnya pemeriksaan kaki dilakukan setiap
1-3 bulan, namun pada Ny. S tidak pernah dilakukan.
Faktor resiko terjadinya ulkus pada kaki diantaranya adalah : neuropathi
perifer, gangguan vaskuler perifer, keterbatasan gerak sendi, deformitas
kaki, tekanan kaki yang abnormal, trauma minor, riwayat ulcer atau
amputasi dan penurunan tajam penglihatan (Frykberg, et al, 2006). Pada
Ny. S, ulkus yang dahulu dialami karena luka yang tidak disadari. Saat ini
jika tidak dilakukan intervensi yang tepat, ulkus pada kalus akan
berkembang menjadi ulkus yang terinfeksi. Menurut Frykberg, 2006 kalus
pada area plantar terjadi karena adanya gesekan dan tekanan yang tinggi
sehingga menyebabkan penebalan pada area kulit. Berikut ini akan
diuraikan proses terjadinya ulkus kaki pada pasien diabetes.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
89
Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati
perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang
berakibat terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas kaki
sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat
adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut
maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya)
merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada
penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris
dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan
otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus,
halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya
neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris
yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan
sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan
serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit
kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki.
Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya
atropati Charcot.
Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan
terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi penyebab
terjadinya ulkus juga mempersulit proses penyembuhan ulkus kaki.
Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 katagori,
yaitu kaki diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya
kaki diabetika disebabkan oleh faktor neuropati (82%) sisanya adalah
akibat neuroiskemia dan murni akibat iskemia.
Gangguan mode sense dan neurologi (neurophaty perifer) yang terjadi pada
Ny.S adalah penurunan sensasi (rasa) pada area telapak kaki kiri (diperiksa
dengan menggunakan monofilament 10 gr) pada area telapak : terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
90
penurunan sensasi rasa. Penurunan sensasi terjadi karena adanya
komplikasi neuropathi sensori perifer.
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom
dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung
pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan
dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada klien yang
sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam
diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat
dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler.
Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia.
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik
yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,
sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal
bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut
berakibat pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND
(Subekti I, 2010).
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya
saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan
ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal.
Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan
atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam
hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa).
Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta
gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan
dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan
ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
91
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita
neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki.
Pemeriksaan neuropathy pada klien diabetes merupakan pemeriksaan yang
direkomendasikan oleh ADA 2012 dan AACE, 2008 pada level A sebagai
screening terhadap adanya kaki diabetic. Penggunaan monofilament 10 gr
untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh
Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14
studi (1950–2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah
3142 dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan
adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan
pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada
diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai
alat diagnostic tunggal.
Gangguan sense (indra) yang lain pada Ny. S adalah penurunan tajam
penglihatan. Gangguan penglihatan yang terjadi disebabkan karena
komplikasi dari DM yaitu retinopathy yang dapat menyebabkan injury.
Retinophaty termasuk
dalam
golongan
komplikasi
mikrovaskuler,
penyebab retinopathy belum secara jelas diungkap tapi mungkin dapat
disebabkan oleh multifaktorial yaitu terkait dengan glikosilasi protein,
iskemi, dan mekanisme hemodinamik. Peningkatan viskositas darah
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan penurunan elastisitas kapiler.
Retina membutuhkan rata-rata konsumsi O2 terbesar dari seluruh organ
tubuh, bila terjadi gangguan suplai O2 pada retina maka akan terjadi
anoksia jaringan yang dapat menyebabkan kematian jaringan (Black &
Hawk 2010).
Intervensi yang dilakukan untuk memfasilitasi Ny. S mempunyai perilaku
yang adaptif, maka dilakukan upaya untuk menghilangkan stimulus dengan
meningkatkan koping Ny.S baik yang bersifat regulator maupun kognator.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
92
Pada koping regulator, intervensi yang dilakukan diantaranya , melakukan
perawatan kalus dan ulkus, bersama keluarga memberikan lingkungan
yang
aman
(memasang restrain
saat
keluarga
tidak
menunggu,
mendekatkan alat yang dibutuhkan klien untuk mudah dijangkau), melatih
klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, melatih klien menggunakan
pengaman/pegangan saat akan mulai berdiri. Meningkatkan koping
kognator dilakukan dengan melibatkan keluarga terutama yang selalu
bersama klien (suami klien). Mendiskusikan bahaya fisik yang mungkin
terjadi : jatuh, resiko terjadi ulkus berulang. Mendiskusikan dan
mendemonstrasikan tehnik perawatan kaki, tehnik mengurangi tekanan
pada area kaki kanan dan lingkungan yang aman untuk klien.
Kalus yang terjadi pada kaki kanan Ny. S, disebabkan karena adanya
penekanan dimana kaki kanan menjadi tumpuan ketika klien memulai
berdiri. Dengan kondisi telapak kaki yang telah diamputasi & adanya kalus
dengan ulkus ditengahnya sangat beresiko terjadinya perluasan ulkus,
maupun perubahan bentuk kaki. Oleh sebab itu, menghindari penekanan
dan menggunakan alas kaki yang sesuai merupakan pencegahan yang dapat
dilakukan. Salah satunya dengan mengistirahatkan kaki, menghindari
tekanan pada kaki (non weight bearing) dan off loading.
Istilah off-loading dalam konteks luka kaki diabetik merujuk pada upaya
untuk mengurangi beban tekanan terutama pada daerah luka. Hal ini
merupakan tujuan utama dalam perawatan luka kaki diabetes. Off-loading
mencegah
trauma
lanjutan
pada
luka
dan
memfasilitasi
proses
penyembuhan terutama pada klien dengan neuropati sensoris. Penelitian
retrospektif dan prospektif menunjukkan bahwa peningkatan beban
tekanan pada daerah plantar merupakan penyebab terjadinya luka diabetes
pada daerah tersebut yang berakibat pada abnormalitas struktural dari kaki
seperti; claw-toe deformity dan charcot neuroarthropathy. Kombinasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
93
deformitas kaki, penurunan fungsi protektif, dan tidak adekuatnya offloading berdampak pada kerusakan jaringan dan ulserasi
Saat ini telah tersedia berbagai jenis sepatu khusus bagi penderita diabetes
(Protective footwear), dimana salah satunya yang terkenal sebagai ‘gold
standard’ adalah Total Contact Casts (TCCs). TCC merupakan sepatu
khusus bagi penderita diabetes yang dapat mendistribusikan beban tekanan
pada daerah plantar serta membatasi pergerakan daerah tumit, dengan
demikian penggunaan TCC dapat mengurangi tekanan hingga 87%.
Sayangnya penggunaannya masih jarang di klinis. Dimana hanya 2 % dari
praktisi yang menggunakan TCC untuk merawat luka kaki diabetes dengan
alasan kurangnya ketersediaan dan tenaga ahli dalam penggunaannya,
selain faktor lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemasangannya
dibandingkan alat lain (Waspadji.S, 2011; Perkeni, 2009).
Bahaya fisik lain yang mungkin terjadi pada Ny. S berhubungan dengan
komplikasi yang ditimbulkan. Hasil CCT menunjukan nilai GFR 56 ml/24
jam. Hal ini menunjukan penurunan fungsi ginjal pada stadium 2. Jika ini
tidak menjadi perhatian akan jatuh pada gagal ginjal kronik. Penurunan
fungsi ginjal merupakan salah satu komplikasi kronik dari DM yang
disebut nefropathy. Diabetik nefropathy terjadi pada 20–40% klien DM
dan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik (ADA, 2012). Rekomendasi
ADA 2012 untuk pencegahan dan penanganan pada kondisi ini adalah :
kontrol gula darah dan tekanan darah pada batas normal. Screening pada
penurunan fungsi ginjal dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urium,
kreatinin dan dan penghitungan GFR minimal 1 tahun sekali. Pembatasan
protein 0,8–1 gr/Kg BB berguna untuk mencegah kerusakan fungsi ginjal
lebih lanjut (ADA, 2012).
Evaluasi yang didapatkan pada hari ke 14 rawatan, ditemukan perilaku
adaptif pada mode aktifitas, proteksi dan interdependensi yang dapat
dilihat : Klien dan keluarga mampu mengenali resiko bahaya yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
94
mungkin terjadi akibat kondisi kaki. Keluarga mampu menyebutkan
lingkungan yang aman untuk klien dan memberikan lingkungan yang aman
saat dirawat di rumah sakit. adanya kemampuan klien menggunakan kaki
kiri sebagai tumpuan meningkat, klien mampu menggunanakan pinggir
tempat tidur sebagai pengaman saat mulai berdiri, keluarga mampu
melakukan perawatan kalus dengan benar. Perilaku inefektif yang masih
ditemukan diantaranya penglihatan klien masih buram, ulkus pada area
kalus masih ada walupun dengan ukuran yang mengecil. Tindaklanjut dari
perilaku inefektif yang masih ditemukan adalah mengkonsulkan klien ke
dokter spesialis mata dan melakukan perawatan ulkus.
3.3.1.4. Ketidakefektifan
manajemen
kesehatan
diri
berhubungan
dengan
pengetahuan yang tidak adekwat
NANDA 2012, mengklasifikasikan diagnose ini pada domain promosi
kesehatan.
Ketidakefektifan
penatalaksanaan
program
terapeutik
didefinisikan sebagai pola pengaturan dan pengintegrasian ke dalam
kebiasaan terapeutik kehidupan sehari-hari untuk pengobatan penyakit dan
gejala yang ditimbulkan yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan
kesehatan spesifik. Batasan karakteristik pada diagnose keperawatan ini
diantaranya kegagalan menerapkan program pengobatan, kegagalan dalam
melakukan tindakan mengurangi resiko, mengungkapkan keinginan untuk
mengatasi penyakitnya dan mengungkapkan kesulitan dalam pengobatan.
Masalah keperawatan ini ditegakkan pada Ny. S, karena ditemukan
perilaku yang merupakan komplikasi dari DM pada semua mode fisiologis.
Perilaku ini disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan
yang
ditunjukan
dengan
tidak
melakukan
diit
dengan
benar,
mengkonsumsi OHO tanpa pengawasan dokter dan menghentikan
pengobatan insulin karena keterbatasan dana. Semua perilaku ini
bersumber kepada informasi yang kurang tentang penatalaksanaan DM
pada Ny. S maupun keluarga sebagai pendamping dalam pengobatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
95
Intervensi yang diberikan kepada Ny. S dan keluarga untuk meningkatkan
perilaku adaptif pada masalah keperawatan ini
diantaranya dengan
menggali sumber–sumber kekuatan yang dimiliki keluarga dan klien dalam
meningkatkan manajemen kesehatan diri, mengikutsertakan keluarga dan
pasien jika kondisi memungkinkan dalam program edukasi kelompok,
mendiskusikan dengan klien dan keluarga hal–hal yang berhubungan
dengan penatalaksanaan, pearawatan dan komplikasi yang akan ditimbul
pada pasien DM.
Hasil evaluasi yang didapatkan dari Ny. S dan keluarga pada masalah tidak
efektifnya manajemen diri pada hari ke 6 perawatan didapatkan secara
kognitif klien dapat menyebutkan batasan nilai gula darah normal,
perencanaan makan untuk dirinya (jumlah, jenis dan jadwal), komplikasi
yang sudah ada di dalam dirinya serta pencegahannya. Psikomotor yang
dapat yang dapat dinilai,keluarga mengikutiprogram edukasi kelompok,
aktif bertanya kepada narasumber, dan menginformasikan kembali kepada
klien edukasi yang telah didapat.
Edukasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan
seseorang dan diharapkan dapat merubah perilaku kearah yang lebih baik.
Perilaku yang didasarkan pengetahuan dapat dipertahankan lebih lama
dibandingkan dengan sebaliknya (Notoatmojo, 2007). Diabetes Self
Management Education (DSME) merupakan salah satu bentuk edukasi
yang berkelanjutan tidak hanya memberikan pengetahuan, namun juga
meningkatkan perubahan perilaku dan sikap yang benar terhadap
penatalksanaan DM. Model edukasi dengan DSME, menekankan kepada
peran aktif pada penyandang DM untuk menggali informasi dan berdiskusi
dengan sumber informasi, sangat berbeda dengan model edukasi searah,
imana narasumber hanya menekankan kepada memberikan informasi.
Setelah
mendapatkan
informasi
dengan
metode
ini,
diharapkan
penyandang DM dapat memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
96
meningkatkan
kesehatannya,
sesuai
dengan
sumber–sumber
yang
dimilikinya.
International Diabetes Federation (IDF, 2009 dan ADA, 2012
menekankan bahwa setiap individu dengan DM dimanapun dia tinggal
berhak mendapatkan pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan DM
secara berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek klinis, perilaku dan
psikososial. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan bahwa setiap
penyelenggara kesehatan tingkat propinsi harus menyediakan pelayanan
pendidikan kesehatan dan educator melibatkan multisiplin profesi (dokter,
perawat, ahli gizi, apoteker, maupun pandu diabetes). Rekomendasi untuk
negara, bahwa negara memberikan support baik dalam hal kebijakan
maupun pendanaan untuk penyelenggaraan DSME ini. (IDF, 2009; ADA
2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Gumbs, 2012 tentang hubungan DSME
dengan perilaku perawatan diri
kepada
wanita Afrika Amerika
mendapatkan 53.6% telah mengikuti program DSME dan terjadi perubahan
perilaku dalam pemeriksaan gula darah, kunjungan ke pelayanan kaki dan
menunjukan nilai HbA1C yang menurun.
Metode edukasi lain yang dapat meningkatkan efikasi diri dan perubahan
perilaku penyandang DM adalah dengan melibatkan sesame penyandang
DM. Penelitian dengan Randomized controlled trial oleh Ghorob et al
2011 di Sanfransisko terhadap 400 penyandang DM dari berbagai
pelayanan kesehatan dibagi 2 kelompok: 200 orang pada kelompok dengan
pembinaan oleh penyandang DM yang telah dilatih dan 200 orang dengan
edukasi seperti yang biasa dilakukan. Pada bulan ke 6 dilakukan evaluasi,
pada kelompok perlakuan didapatkan nilai HbA1C yang menurun. Hasil
sekunder lain yang didapatkan yaitu terjadi penurunan pada tekanan darah,
indek masa tubuh, LDL dan kolesterol. Pada perilaku di dapatkan
perubahan dalam aktifitas perawatan diri, kepatuhan pengobatan,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
97
penurunan depresi dan peningkatan kualitas hidup. Hal ini menunjukan
edukasi dengan melibatkan sesame penyandang DM dapat berpengaruh
positif terhadap efikasi diri penyandang DM.
Penerapan DSME ini sudah dilakukan di RSUP Fatmawati, dimana
kegiatan edukasi sesuai rekomendasi IDF dilakukan setiap hari Rabu
dengan melibatkan klien dan keluarga.
Evaluasi yang didapatkan pada klien adalah didapatkannya perilaku adaptif
yang ditunjukan dengan peningkatan pengetahuan klien dan keluarga
mengenai DM dan perawatannya, keikutsertaan keluarga dalam program
edukasi kelompok, keterlibatan klien dalam perawatan dirinya : menyuntik
insulin sendiri, memilih makanan yang sesuai diit dan melakukan latihan
peregangan serta senam kaki di tempat tidur.
3.3.2. Mode Konsep diri
3.3.2.1. Kesiapan meningkatnya koping individu
Diagnosa ini merupakan kelompok diagnose sejahtera merupakan suatu
keputusan klinik tentang keadaan individu dalam transisi dari tingkat
sejahtera ketingkat sejahtera yang lebih tinggi atau dikenal dengan wellness
diagnoses. Pada diagnose sejahtera ini, etiologi tidak diperlukan.
Meningkatnya kesiapan koping individu didefinisikan sebagai upaya
kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan yang memadai untuk
kesejahteraan dan dapat ditingkatkan (NANDA, 2012; Wilkinson & Ahern,
2012). Batasan karakteristik pada diagnose ini diantaranya mengetahui
kekuatan dan kelemahan dirinya, menganggap stressor sebagai sesuatu
yang dapat diatasi,dan menggunakan sumber – sumber spiritual. Batasan
karakteristik ini diantaranya.
Intervensi yang dapat ditegakkan pada masalah koping ini meliputi
peningkatan system koping dan peningkatan system pendukung. Aktivitas
yang diberikan meliputi : menggali koping yang telah dimiliki oleh klien,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
98
menggali kemampuan klien dalam pemecahan masalah, mendiskusikan
sumber keluatan yang dimiliki klien, mendiskusikan penggunaan koping
dan kekuatan yang ada dalam diri Ny. S untuk meningkatkan koping.
Selain itu meningkatkan support system yaitu dengan melibatkan keluarga
(suami dan anak) untuk mendukung dan menguatkan koping yang dimiliki
klien.
Hasil evaluasi yang didapatkan pada hari ke 6 untuk masalah kesiapan
peningkatan koping individu didapatkan perilaku yang adaptif yaitu, klien
mengungkapkan bahwa kondisinya saat ini merupakan dampak
dari
ketidakpatuhan klien dalam penatalaksanaan DM, klien mengungkapkan
keinginannya menjalani sisa kehidupannya dengan badan yang sehat, dan
klien selalu aktif terlibat dalam perawatan dirinya : menentukan makanan
yang akan dimakan, mengambil keputusan terhadap alternative pengobatan
yang ditawarkan oleh dokter maupun perawat.
3.3.2.2. Kesiapan meningkatnya religiositas/Spiritual
Diagnosa ini didefinisikan oleh NANDA, 2012 sebagai kemampuan untuk
meningkatkan
berpartisipasi
karakteristik
ketergantungan
dalam
dari
ritual
diagnose
pada
tradisi
ini
keyakinan
agama
kepercayaan
dan
tertentu.
mengungkapkan
keinginan
atau
Batasan
untuk
memperkuat pola keyakinan agama yang sebelumnya biasa dilakukan,
memberikan ketenangan dan kenyamanan.
Intervensi keperawatan yang dapat ditegakkan untuk meningkatkan koping
individu dan untuk meningkatkan kesejahteraan konsep diri klien dalam
hal spiritual, meliputi : peningkatan aktifitas ibadah, dukungan spiritual,
dimana aktifitasnya meliputi diskusikan kebutuhan spiritual, sediakan
media untuk menjalankan kegiatan spiritual, berikan privasi selama klien
menjalankan
ibadah,
consultasikan
dengan
pembimbing
rohani
(Dochterman & Bulechek, 2008).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
99
Pada Ny. S ditegakkan diagnosa meningkatnya kesiapan religi/spiritual
dengan didukung oleh perilaku klien yang mengatakan selalu menjalankan
ibadah sebelum sakit. Saat ini ingin menjalankan ibadah (sholat), namun
merasa jika tubuhnya kotor oleh cairan luka. Ungakapan lain yang
menunjukan perilaku spiritual yang adaptif diantaranya klien menyatakan
berserah diri kepada Tuhan atas sakit yang dideritanya, karena ia yakin
pengobatan merupakan usaha dari manusia dan semuanya akan ditentukan
olehNya.
Intervensi yang lakukan kepada Ny. S diantaranya mendiskusikan tata cara
bersuci dan shalat saat sakit, mengajarkan cara tayamum dan sholat dengan
duduk,melibatkan keluarga dalam menyediakan perlengkapan sholat dan
tashbih,
memotivasi
untuk
melakukan
sholat
dan
berdo’a
dan
mempertahankan privacy saat sholat/berdo’a. Pada hari kedua dilakukan
asuhan keperawatan, keluarga klien membawakan peralatan sholat, klien
sudah menjalankan ibadah sholat dengan duduk dan terlihat berdzikir saat
tidak ada tindakan keperawatan.
Spiritual merupakan salah satu kebutuhan manusia, kebutuhan ini
didasarkan pada hubungan antara manusia dengan TuhanNya. Pada orang
yang dirawat dirumah sakit, pemenuhan kebutuhan spiritual menjadi
bagian sama dengan kebutuhan fisik maupun psikis pasien. Pemenuhan
kebutuhan spiritual ini menjadi tanggung jawab parawat. Pengamatan
praktikan di tempat menjalankan praktek residensi, belum ada dokumentasi
keperawatan yang mengangkat masalah spiritual dan pengamatan praktikan
terhadap pemenuhan kebutuhan ini jarang dilakukan oleh perawat.
Penelitian di US menunjukan bahwa 94 % dari pasien yang berkunjung ke
pelayanan kesehatan meyakini bahwa kesehatan spiritual sama pentingnya
dengan kesehatan fisik, 77 % meyakini bahwa kesehatan spiritual harus
menjadi bagian dari pelayanan kesehatan dan 80 % melaporkan petugas
kesehatan tidak menyentuh aspek spiritual dalam melakukan pelayanan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
100
kesehatannya (Anadarajah, 2001). Pemenuhan kebutuhan spiritual pasien
akan dapat membantu mereka beradaptasi dan melakukan koping terhadap
sakit yang dideritanya yang akhirnya akan meningkatkan meningkatkan
kualitas hidup pasien, Oswald (2004 dalam Rohman, 2009).
Terapi pendukung atau CAM (complementary and alternative medicine)
banyak digunakan oleh penderita DM diberbagai negara. Di Amerika para
penyandang DM yang menggunakan CAM berkisar antara 17 – 73 %. Dari
18 studi yang dilakukan oleh Chang, 2007 mendapatkan 50 % (9 studi)
menggunakan terapi spiritual sebagai terapi pendukung dan menunjukan
peningkatan kesehatan pada pasien DM ini (Arye, 2010).
Berdasarkan beberapa studi terkait, dengan kebutuhan spiritual sangat
diharapkan
pada
praktek
pelayanan
kesehatan
karena
terbukti
meningkatkan kesehatan fisik dan psikis. Peran perawat dalam pemberi
asuhan yang holistik tidak mengesampingkan kebutuhan spiritual dalam
praktek pelayanan kesehatan.
3.4. Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 32 Kasus kelolaan
Pada bagian ini praktikan akan membahas kasus–kasus lain yang praktikan kelola selama
praktikan menjalankan praktek residensi. Kasus yang praktikan kelola terdiri dari 32
kasus diabetes mellitus dengan berbagai komplikasi yang ditimbulkan. Secara rinci 32
kasus yang praktikan kelola diantaranya 11 kasus DM dengan ulkus kaki, 2 diantaranya
dilakukan amputasi mayor, 8 kasus dirawat karena komplikasi hyperglikemi dan
hipertensi 5 kasus DM dengan komplikasi CKD, 2 kasus dengan komplikasi akut KAD, 2
kasus dengan komplikasi infeksi pernafasan dan 1 kasus dengan infeksi kulit. Semua
kasus kelolaan dilakukan asuhan dengan pendekatan Model Adaptasi Roy. Analisis
terhadap kasus dilakukan berdasarkan masalah keperawatan yang ditimbulkan kemudian
dilakukan analisis mulai dari pengkajian, intervensi hingga evaluasinya
dengan
menggunakan Model Adaptasi Roy. Adapun hasil analisis pada ke 32 kasus kelolaan ini
adalah :
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
101
3.4.1. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah,
penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
Masalah keperawatan resiko infeksi atau infeksi yang meluas,pada kasus kelolaan
yang praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi ulkus
maupun dengan komplikasi CAP dan TB paru. Resiko infeksi yang terjadi pada
pasien DM disebabkan karena menurunnya vaskularisasi dan penurunan
kemampuan sel immune melakukan fungsinya dampakdari hiperglikemia
(LeMone, 2011). Dari 32 kasus kelolaan 11 pasien mengalami ulkus dan 2 pasien
dengan infeksi pernafasan.
Ulkus kaki diabetic merupakan kompliasi DM yang banyak dijumpai setelah
retinopati, hipertensi dan nefropathi. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam
perjalanan penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di
kaki (Taylor,2008; Clair.D, 2011). Di RSUP Fatmawati dicatat selama 6 bulan,
dari 123 pasien DM yang dirawat di unit perawatan penyakit dalam khususnya di
lantai 5 selatan jumlah pasien DM dengan ulkus kaki selama 36 orang (29.1 %)
dengan ulkus kaki.
Kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien DM yang
menyebabkan kelainan neuropati, infeksi dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati,
baik
neuropati
sensorik,
matorik
maupun
autonom
akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus (Waspadji, 2009). Neuropathi
sensorik perifer menjadi penyebab utama terjadinya berbagai trauma pada DM. 40
– 65 % ulkus diabetic terjadi karena murni gangguan neuropathy sensori dan 45 %
terjadi karena gabungan anatara neuropati dan vaskulopathy (Frykberg et al, 2006).
Pada kasus 11 kasus kelolaan, 7 pasien mengalami ulkus karena neuropathy
sensori. Namun dari hasi pengkajian kaki pada 11 kasus kelolaan menunjukan
hasil (-) pada pemeriksaan monofilament 10 gr
yang menunjukan adanya
neuropathy sensori. Neuropathy perifer pada DM terjadi melalui mekanisme
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
102
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang
berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,sintesis
advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan
aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada
kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama
rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati
yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua
tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan
tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena.
Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia.
Pengkajian ulkus DM terutama pada kaki menggunakan panduan PEDIS,
(Perfussion, Extend, Depth, Infection, and Sensation). Untuk menentukan kedalam
dan luas luka, disarankan untuk mencuci luka terlenih dahulu, sehingga
mendapatkan ukuran luka yang sebenarnya. Seluruh pasien kelolaan yang dengan
ulkus, didapatkan sudah terjadi infeksi baik local maupun sistemik dan penurunan
sensasi. Infeksi yang terjadi dapat dilihat dengan adanya eksudat yang purulen,
peningkatan suhu, dan dari pemeriksaan leukosit maupun culture luka. Luas dan
kedalaman luka bervariasi, namun sebagian besar kedalaman luka mencapai otot.
Perfusi diukur dengan palpasi arteri terdekat dengan luka dan dibandingkan
dengan kaki yang sehat.
Intervensi keperawatan yang dilakukan pada kelolaan dengan masalah infeksi
berdasarkan nursing intervention classification (NIC) dan panduan kaki diabetic
dari PERKENI, 2011 yaitu wound control, metabolism control dan infection
control. Aktifitas keperawatan yang dapat dilakukan diantaranya perawatan luka
dengan memperhatikan prinsip memberikan lingkungan yang lembab dan
pemilihan jenis topical terapi yang tepat, membuang jaringan nekrotik dan slough
dengan nekrotomi atau kolaborasi tindahan surgical debridement. Metabolisme
kontrol dilakukan dengan pemantauan gula darah, kolaborasi dalam perencanaan
diit termasuk pemberian protein tambahan dan pemberian terapi insulin. Kontrol
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
103
Infeksi dilakukan dengan mencegah kontaminasi mikroorganisme ke area luka
(prinsip steril saat mengganti balutan, dan pencucian area sekitar luka dengan
antiseptic). Untuk mengurangi koloni bakteri dalam luka terutama pada area
slough dapat dilakukan irigasi luka dengan tekanan 13 Psi. Irigasi ini
menggunakan spuit 12 cc dengan jarum 22G terbukti menurunkan infeksi
(p=0,017) dan inflamasi (p=0,031) (EBP level B), Joanna Briggs Institue, 2006.
Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur merupakan tindakan
yang tepat. Pengambilan kultur menjadi kunci dalam menentukan antibiotik yang
sensitif. Penggunaan metode Levine dalam pengambilan spesimen kultur luka
terbukti lebih sensitive dibandingkan dengan metode Z-stroke maupun metode
sederhana (p=0,001), Nata, 2012.
Hasil evaluasi yang praktikan lakukan pada 11 kasus dengan ulkus kaki, dengan
berbagai ukuran luka masalah infeksi dapat teratasi dengan waktu yang tercepat
pada minggu ke 2 perawatan. Faktor lamanya masalah ini selain dipengaruhi oleh
factor luka dan status metabolic, juga dipengaruhi oleh faktor usia, keputusan
keluarga
dalam
menyetujuai
tindakan
(pemberian
antibiotik,
tindakan
debridement, dan lain sebagainya).
3.4.2. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan, proses infeksi
Masalah keperawatan lain yang ditemukan pada kasus kelolaan adalah masalah
nyeri. Masalah nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensori yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang, bisa terjadi secara
perlahan atau tiba–tiba dengan intensitas mulai dari ringan hingga berat
(Wilkinson & Ahern, 2012; NANDA, 2012). Nyeri merupakan bentuk perilaku
adaptif yang ditemukan pada mode sensasi. Masalah nyeri ditemukan pada semua
pasien dengan ulkus pada rentang yang berbeda–beda, mulai dari nyeri sedang
hingga nyeri berat.
Nyeri yang terjadi pada ulkus DM selain karena adanya kerusakan jaringan juga
terjadi karena proses infeksi atau inflamasi. Menurut Black dan Hawk (2010)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
104
nyeri pada kondisi inflamasi atau infeksi ini terjadi sebagai akibat distensi pada
jaringan yang peka terhadap peregangan (distention of stretch-sensitive tissue)
terutama periosteum. Dalam keadaan inflamasi akan dilepaskan mediator kimia
(chemical mediators) antara lain histamin, bradikinin, prostaglandin, dan substansi
P, yang menstimulasi reseptor nyeri (nociceptor).
Nyeri merupakan respon inefektif yang ditemukan pada mode sensasi. Perilaku
yang ditunjukan dari nyeri ini berbeda–beda setiap individu begitu juga dengan
rentang nyeri. Pengamatan praktikan melakukan asuhan pada kasus kelolaan, nyeri
bertambah saat perawatan luka, mulai dari membuka balutan, irigasi hingga
debridement mekanik. Hanya 1 pasien yang praktikan temukan mengalami nyeri
terus menerus walaupun tidak sedang dilakukan perawatan luka, kondisi ini
diduga adanya nyeri neuropathi. Szor and Bourguignon (1999 dalam Dealay,
2005) melakukan survey kepada 32 pasien luka tekan menggunakan McGill Pain
Questionnaire di dapatkan 28 orang (87.5%) mengalami nyeri saat diganti balutan
dan sisanya nyeri yang terus menerus. Faktor yang berperan dalam peningkatan
nyeri saat diganti balutan diantaranya, balutan yang merekat pada luka, irigasi
luka, atau cemas dan takut (Bell & McCarty, 2010). Intervensi yang dilakukan
untuk mengurangi nyeri dari sisi penggantian balutan adalah pemilihan jenis
balutan dan memberikan lingkungan yang lembab pada area luka. Penelitian yang
dilakukan Kristanto H, 2010 pada 20 responden di dapatkan hubungan yang
signifikan (p= 0,0005) antara respon nyeri dengan kadar TGF β1 pada penggunaan
modern dressing.
Intervensi untuk meningkatkan koping regulator kognator pada pasien nyeri dapat
dilakukan dengan mengkombinasikan terapi farmakologid dan non farmakologis.
Intervensi mandiri dari perawat dengan mengembangkan berbagai terapi nyeri non
farmakologis ini. Bentuk terapi nyeri non-farmakologi yang dapat dilakukan pada
pasien , meliputi distraksi (distraction), relaksasi (relaxation), dan imajinasi
terbimbing (guided imagery) (Perry & Poter, 2010). Untuk mengatasi nyeri yang
terjadi pada pasien kelolaan, praktikan mengajarkan tehnik relaksasi yang bisa
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
105
dilakukan oleh pasien sebelum dilakukan ganti balutan, maupun saat dilakukan
ganti balutan.
Progressisve muscle relaxation (PMR) merupakan salah satu teknik relaksasi yang
dapat dilakukan oleh setiap individu untuk mengurangi stress dan kecemasan
(Borkove, Russcio, (2001 dalam Ghazavi, Abdeyaz dan, Attari, 2008). PMR
merupakan teknik untuk mengurangi stress dan kecemasan yang dikembangkan
oleh Edmund Jacobson (1920) dengan melakukan peregangan dan penekanan pada
otot. PMR melibatkan penekanan dan peregangan pada kelompok otot daerah
wajah, lengan, dada, perut dan kaki. Respon tubuh terhadap adanya stress salah
satunya adalah terjadinya ketegangan pada otot yang dapat menimbulkan
ketidaknyaman dan rasa nyeri. dapat dilakukan sebelum pasien dilakukan
perawatan luka.
Tehnik relaksasi lain yang dapat dilakukan saat balutan diganti adalah dengan
penggabungan tehnik relaksasi dengan terapi spiritual yang dikembangkan oleh
Benson & Proctor, (2000), yaitu dengan memusatkan perhatian pada suatu fokus
dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan berbagai
pikiran yang menggangu. Praktikan memodifikasi dengan sholawat nabi jika
pasiennya muslim, atau disesuaikan dengan agamanya.
Evaluasi
yang
didapatkan
nyeri
berkurang
dari
hari–kehari
dan
dan
ketergantungan pasien terhadap terapi analgetik dapat dikurangi, selain terjadi
penurunan tingkat stress saat diganti balutan. Namun demikian karena nyeri pada
ulkus DM termasuk nyeri kronik seringkali nyeri masih dirasakan hingga proses
penyembuhan.
3.4.3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berlebih/ kurang dari kebutuhan
tubuh
Perilaku inefektif pada mode fisiologi cairan dan elektrolit pada pasien DM yang
praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi gagal ginjal
kronik yang disebabkan oleh stimulus fokal adanya nefropati. Perilaku yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
106
ditemukan pada masalah ini adalah adanya tanda odema, sesak nafas yang terjadi
akibat penumpukan cairan di paru–paru, disertai pengeluaran urine yang sedikit,
uremia dan peningkatan kadar creatinin darah. Gejala yang timbul disebabkan
karena penurunan filtrasi gromerulus.
Di Amerika gagal ginjal atau Nefropati DM (ND) jumlahnya mencapai 44 % dari
semua kasus baru CKD, 40 % dari pasien yang menjalani hemodialisa atau
transplantasi ginjal (Porrth & Maftin, 2009 dalam LeMone, 2011). ND terjadi 30 –
40 % pada DM tipe 1 dan akan terjadi setelah 15–20 tahun mengalami DM, dan
terjadi ND pada 15 – 20 % dari seluruh penderita DM tipe 2 (Mc Phee&
Paadakins).
Intervensi yang dapat dilakukan pada masalah ini untuk meningkatkan koping
regulator diantaranya pemantauan terhadap intake & output cairan, pemantauan
tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan), pembatasan cairan sesuai dengan
balance cairan, pemberian posisi semifowler dan kolaborasi dalam penatalksanaan
hemodialisa. Penatalaksanaan untuk meningkatkan koping kognator, dilakukan
edukasi untuk pencegahan semakin menurunnya fungsi ginjal. Edukasi difokuskan
untuk : 1). pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes; 2).
Pengendalian tekanan darah (diit rendahgaram dan kontro tekananan darah dengan
obat antihipertensi sesuai program pengobatan); 3). Pencegahan fungsi ginjal (diit
rendah protein ). Hasil evaluasi menunjukan pasien menunjukan perilaku adaptif
pada hari ke 6 sampai hari ke 12 tergantung pada stadium.
Masalah cairan pada pasien DM tidak hanya masalah kelebihan, namun masalah
kekurangan cairan juga dapat ditemukan pada kasus komplikasi akut ketoasidosis.
Ketoasidosis didefinisikan sebagai keadaan dekompensasi dari gangguan
metabolic ditandai dengan hiperglikemia, asidosis dan ketosis. Dua kasus yang
praktikan kelola disebabkan karena proses infeksi, namun keduanya tidak
mengetahui jika dirinya menderita DM. Masalah utama yang didapatkan pada
KAD adalah pada inefektif cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh dan
masalah keseimbangan asam basa.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
107
Pada kondisi KAD ini, inefektif kebutuhan cairan dan elektrolit terjadi karena
dieresis osmotic akibat hyperglikemia. Pengeluaran cairan yang berlebih dapat
mengakibatkan pasien jatuh ke kondisi dehidrasi hingga syok. Selain itu masalah
keseimbangan asam basa juga masalah yang mengancam kehidupan pasien.
Lipolisis terjadi karena penurunan insulin dan peningkatan hormone kontralateral
pada akhirnya meningkatkan benda keton yang akan menurunkan pH darah.
Mengatasi masalah inefektif cairan, elektrolit serta keseimbangan asam basa harus
dicapai tidak lebih dari 24 jam. Kolaborasi dalam pemberian cairan, pemberian
insulin dan pemantauan elektrolit merupakan intervensi yang harus dilakukan.
Intervensi lain adalah dengan mengatasi sumber hyperglikemia seperti infeksi dan
stress psikologi. Dari pengamatan praktikan, tindakan untuk mengatasi KAD
seperti pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap jam atau 2 jam sekali pada 6
jam pertama, kemudian pemeriksaan laboratorium lain untuk pemantauan
elektrolit, ketosis maupun asidosis merupakan sumber stress psikologis yang akan
berpengaruh kepada peningkatan hormone kontra regulator. Pemberian informasi
terhadap tindakan yang akan diterima pasien menjadi kewajiban perawat untuk
melakukannya. Selain itu pendampingan oleh keluarga terdekat selama tindakan
terbukti mengurangi stress yang dialami. Pada kedua pasien KAD yang praktikan
kelola, masalah inefektif cairan dapat teratasi pada 6 jam pertama.
3.4.4. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi,
perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
Resiko injuri atau bahaya fisik ini merupakan antisipasi terhadap berbagai
kemungkinan timbulnya gangguan pada fisik akibat perilaku adanya penurunan
pada mode sensasi. Bertolak dari banyaknya kejadian ulkus kaki pada pasien DM,
awal terjadinya ulkus rata–rata tidak mengetahui penyebabnya. Hal ini terjadi
karena penurunan sensasi baik pada kaki yang disebabkan oleh neuropathy perifer.
Selain itu pengetahuan yang kurang dan perilaku yang salah dalam perawatan kaki
menjadi stimulus kontekstual yang selalu pada pasien ulkus.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
108
Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus pada kaki, pengkajian kaki merupakan
tindakan yang efektif untuk menemukan resiko terjadinya ulkus dan dengan
intervensi yang tepat pada setiap resiko ulkus yang ditemukan akan mencegah
terjadinya ulkus 40 – 80 % (Taylor, 2008).
Selain pengkajian kaki, edukasi untuk perawatan kaki secara mandiri
(pemeriksaan kaki oleh pasien atau dibantu keluarga, pencucian, menggunting
kuku, menggosok kalus) menjadi bagian penting dalam pencegahan terjadinya
ulkus. Model edukasi yang dilakukan pada perawatan kaki akan lebih dipahami
oleh pasien jika dilakukan dengan mendemonstrasikan langsung atau memberikan
tayangan visual (video).
Kendala yang praktikan hadapi saat menerapkan pengkajian kaki di rawat jalan
sebagai bagian dari pelayanan primer adalah banyaknya kunjungan pasien yang
datang, waktu kunjungan yang singkat dan tempat yang terbatas. Poli kaki diabetic
sebagai bagian dari poli penyakit dalam belum melakukan perannya sebagai upaya
preventif, namun lebih kepada upaya kuratif dalam mengatasi pasien yang sudah
mengalami ulkus. Sementara itu, kendala yang awalnya ditemukan di rawat inap
saat melakukan pengkajian kaki adalah keterbatasan alat pemeriksaan. Namun
pada akhirnya kendala ini (rawat inap) dapat segera diatasi dengan adanya
kegiatan inovasi.
3.4.5. Mode Konsep Diri (Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan,
perubahan status peran dan ancaman status kesehatan
Dari 32 pasien yang praktikan kelola, 22 pasien (68,8%) mengalami masalah pada
konsep diri yaitu kecemasan. Kecemasan yang dialami tidak hanya bersumber dari
penyakitnya (adanya ulkus, penyakit kronis) namun juga akibat tindakan yang
dilakukan (perawatan luka, pemeriksaan gula darah yang sering). Masalah
perubahan peran terutama bagi wanita yang harus meninggalkan peran utamanya
sebagai ibu atau pasien pria yang harus menghidupi keluarganya juga ditemukan
pada kasus kelolaan yang praktikan lakukan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
109
Masalah keperawatan kecemasan di definisikan sebagai perasaan tidak nyaman
atau kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber seringkali tidak
spesifik atau tidak diketahui oleh individu) ; perasaan takut yang disebabkan oleh
antisipasi
terhadap
bahaya.
Merupakan
isyarat
kewaspadaan
yang
memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk
bertindak menghadapi ancaman (NANDA, 2012). Kecemasan yang dirasakan
pasien DM akan berdampak pada masalah fisik seperti nyeri yang bertambah,
gangguan tidur, perubahan pada tekanan darah hingga mempengaruhi stabilitas
gula darah dan system imun. Pengaruh kecemasan terhadap kondisi diatas dapat
dijelaskan melalui psikoneuroimunoendokrinologi.
Sistem endokrin : stres psikis dan psikososial berdampak terhadap peningkatan
aktivitas hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) melalui Corticotropin Releasing
Factor (CRF). CRF berperan sebagai koordinator respon antara sel saraf terhadap
stres tersebut. CRF menginstruksikan saluran-saluran pituitary pada otak untuk
mengeluarkan ACTH (Adrenoccorticotropic Hormon) yang mengaktifkan korteks
adrenal untuk mengeluarkan hormone corticoid. Corticoid berupa glucocorticoid
mengeluarkan kortisol dan mineralocorticoid yang mengeluarkan aldosteron.
Aldosteron dapat meningkatkan tekanan darah sedangkan kortisol mempunyai
beberapa fungsi. Fungsi pertama kortisol meningkatkan gula darah untuk energi
dan memobilisasi free fatty acids dari jaringan adiposa. Lapisan lemak ini dipecah
menjadi protein yang meningkatkan tekanan darah arteri, sehingga mempunyai
bahan bakar untuk mempersiapkan proses hadapi (munculnya stresor). Fungsi
kortisol yang kedua menyebabkan perubahan fisiologi yang sangat bermakna,
yaitu menurunkan pelepasan limphosit dari saluran timus dan lymphnodes.
Limphosit ini penting untuk sistem imun. Jika kortisol meningkat berdampak pada
penurunan efektifitas respon sistem imun. Padan sistem saraf otonom : pesan
dikirim melalui bagian posterior dari hipotalamus melalui saraf ke adrenal
medulla. Pada proses ini terjadi pengeluaran epinephrine dan nor-epinephrin. Ini
menunjukan kaitan yang erat antara stres, neuro dan imunitas. Selanjutnya aspek
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
110
psikologis seperti stres dapat mempengaruhi ekspresi sel Th1dan Th2 yang akan
menghambat imunitas seluler dan humoral
Intervensi keperawatan yang dilakukan pada masalah kecemasan ini diantaranya
dengan menggali sumber stress melalui pengkajian stimulus, mendiskusikan
dengan klien kekuatan yang dimiliki, mengguanakan berbagai tehnik relaksasi
seperti PMR, dan meningkatkan keyakinan spiritual pasien sebagai salah satu
sumber kekuatan dari dalam diri pasien.
Meningkatkan keyakinan spiritual sebagai upaya meningkatkan kesehatan fisik
dan mental belum sepenuhnya menjadi bagaian dari asuhan keperawatan
gangguan kecemasan khususnya tempat praktikan menjalani paraktik. Dari hasil
pengkajian kebutuhan spiritual beberapa pasien meninggalkan kegiatan spiritual
(sholat) yang sebelumnya selalu dilakukan. Stimulus yang ditemukan pada kondisi
ini diantaranya karena ketidaktahuan pasien dalam menjalankan kegiatan spiritual
saat sakit, karena motivasi yang kurang atau karena tidak tersedianya fasilitas
untuk menjalankan praktek spiritual (Mukena, sajadah, injil, dan lainnya).
Intervensi yang dapat dilakukan pada kondisi ini adalah meningkatkan keyakinan
pasien bahwa spiritual akan membantu proses penyembuhan, mendiskusikan cara
ibadah saat sakit dan melibatkan keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk
ibadah.
Evaluasi yang ditemukan pada pada masalah kecemasan, didapatkan perilaku
adaptif seperti : pasien mampu mengungkapkan sumber kecemasnnya, mampu
mengembangkan koping yang baik untuk mengatasi kecemasannya, ungkapan
menerima kondisi sakitnya dan motivasi dalam menjalankan perawatannya. Waktu
yang dapat dicapai untuk mengatasi berentang antara hari ke 3 hingga ke 7.
Pencapain ini dipengaruhi juga oleh support system dari keluarga,dan maslah
financial. Oleh sebab itu, melibatkan support dari keluarga menjadi hal yang
utama pada intervensi kecemasan.
Setelah praktikan melakukan asuhan keperawatan dengan menerapkan model adaptasi
Roy, pada pasien gangguan endokrin khususnya untuk kasus DM, praktikan dapat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
111
menggambarkan bahwa MAR merupakan salah satu model asuhan keperawatan yang
dapat dilakukan secara holistic. Pengkajian yang dilakukan pada empat mode telah
mencakup masalah bio, psiko, social dan kultural. Pengkajian tidak hanya pada perilaku
yang dapat dilihat, diukur dan diobsevasi, namun MAR menggali lebih lanjut penyebab
dari timbulnya setiap perilaku, yaitu melalui pengkajian tahap dua. Pengkajian yang
komprehensif akan menentukan intervensi yang tepat. MAR mengarahkan bahwa
penetapan intervensi keperawatan dengan menggurangi stimulus yang ada sebagai sumber
penyebab perilaku maladaptif /inefektif dan keberhasilan intervensi ditunjukan dengan
perubahan perilaku kearah adaptif.
Kelemahan lain dari MAR yang praktikan rasakan adalah pola pengkajian yang tidak
dapat dilakukan secara utuh pada kasus kegawatan terutama di unit gawat darurat dan pada
unit rawat jalan. Pada unit gawat darurat, pengkajian utama yang kita lakukan lebih
kepada mode fisiologi yang saat itu dirasakan oleh pasien, sehingga pengkajian untuk
mode yang lain sulit untuk dilakukan. Selain karena masalah fisiologi yang harus segera
diatasi, pasien akhirnya akan dipindahkan ke unit lain. Begitu juga dengan pasien di poli
rawat jalan. Singkatnya waktu yang digunakan untuk melakukan asuhan keperawatan
menyulitkan MAR ini digunakan. Masukan yang dapat praktikan usulkan berhubungan
dengan penerapan MAR di unit gawat darurat, format pengkajian hingga intervensi dibuat
dengan model Check list . Pada mode adaptasi yang belum terkaji dapat ditindaklanjuti di
tempat pasien tersebut menjalani perawatan.
Kesulitan lain yang praktikan dapatkan dalam menentukan diagnose sejahtera. Diagnosa
keperawatan sejahtera didefinisikan sebagai ketentuan klinis mengenai individu
dalamtransisi dari tingkat kesehatan khusus ke tingkat kesehatan yang lebih baik.
Diagnosa ini menggabungkan fungsi positif yang didapatkan. Pada MAR dalam
menentukan masalah keperawatan berorientasi pada perilaku inefektif. Ketika ditemukan
perilaku inefektif dan didukung dengan perilaku adaptif, ini merupakan kondisi khusus
untuk menuju terjadinya peningkatan fungsi kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini,
praktikan menggunakan panduan NANDA dalam menentukan diagnose keperawatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
112
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
113
BAB 4
PRAKTEK BERDASARKAN PEMBUKTIAN
PENGKAJIAN KAKI SEBAGAI DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI
PADA PASIEN DM TIPE II
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa
darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang
disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini
dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi
vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Komplikasi kronik
yang sering dijumpai diantaranya adalah kaki diabetik yang dapat bermanifestasi sebagai
ulkus, infeksi dan gangren. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam perjalanan
penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di kaki (Taylor, 2008;
Clair.D, 2011).
Prevalensi penderita ulkus Diabetes di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%,
angka mortalitas 32% dan ulkus diabetes merupakan sebab perawatan rumah sakit yang
terbanyak sebesar 80% untuk Diabetes mellitus (Hastuti, 2008). Dampak dari timbulnya
ulkus pada penderita Diabetes, tidak hanya dari tingginya biaya perawatan namun lebih
jauh akan menurunkan produktifitas penderita, gangguan konsep diri hingga
menurunnya kualitas hidup.
Pengelolaan kaki diabetes sudah dimulai saat seseorang dinyatakan menderita Diabetes
mellitus, meskipun belum timbul luka atau ulkus. Langkah awal untuk melakukan
pengelolaan dengan tepat adalah melakukan screening atau deteksi dini terhadap kaki
pendereita diabetes. Deteksi dini yang optimal dapat menurunkan resiko terjadinya ulkus
kaki dan amputasi sebesar 40 – 85% (Taylor, 2008; Yudovsky et al, 2011).
Deteksi dini pada gangguan kaki diabetik merupakan salah satu kegiatan dalam
pengkajian keperawatan yang harus dilakukan oleh seorang perawat. Pengkajian yang
akurat dan komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada
pasien dan selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat (Perry &
Poter, 2010). Screening atau deteksi terhadap resiko ulkus kaki diabetik yang dilakukan
oleh Malgrange et al, tahun 2003 di 16 pusat pelayanan diabetik di Perancis terhadap
555 pasien, ditemukan 72,8% beresiko rendah mengalami ulkus pedal dan 17,5 % berada
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
114
pada klasifikasi resiko tinggi. Dari deteksi tersebut disimpulkan bahwa hasil deteksi
menjadi dasar bagi penyelenggara pelayanan kesehatan untuk merencanakan strategi
pencegahan terhadap kejadian ulkus diabetik. Pada studi comparative yang dilakukan
oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada pasien diabetes di
Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania ditemukan masalah
resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di Swedia. Faktor yang
berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia dikarenakan Swedia
merupakan negara yang lebih maju dibandingkan Tanzania terutama dalam pelayanan
kaki diabetik. Disampaikan bahwa pengkajian kaki diabetik telah dilakukan pada pasien
diabetik sebagai langkah awal dalam pencegahan ulkus diabetik. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Rerkasem et al, 2007 dalam Taylor.M.C,2008 terhadap 171 penderita
ulkus kaki diabetik di Chiang Mai University Hospital, menggunakan metode cohort
membandingkan perawatan standar dengan diabetik foot protocol (DFP) terhadap
kejadian amputasi. Hasil penelitian menunjukan adanya penurunan kejadian amputasi
baik mayor maupun minor pada kelompok dengan perlakukan DFP yang meliputi
pengkajian, intervensi dan monitoring kaki diabetik.
Pengkajian kaki secara komprehensif sebagai upaya deteksi dini terhadap ulkus diabetik
seharusnya dilakukan pada semua penderita Diabetes. RNAO,2005;Farber &
Farber,2007 dalam Taylor,M.C, 2008 dan ADA, 2011, menguraikan komponen penting
dalam pengkajian kaki diabetik berdasarkan penyebab gangguan pada kaki diabetik yang
meliputi : riwayat hiperglikemia, faktor resiko seperti merokok dan riwayat penyakit
vaskuler , riwayat ulkus dan amputasi, neuropati, vaskularisasi, deformitas pada
musculoskeletal, kondisi kuku kulit, adanya infeksi,serta penggunaan alas kaki. Pada
akhirnya, dari hasil pengkajian dapat diklasifikasikan terhadap resiko terjadinya ulkus
kaki diabetik. Salah satu klasifikasi yang banyak digunakan adalah klasifikasi yang
dikembangkan oleh International Working Group on the Diabetik Foot tahun 1999.
Resiko kaki diabetik dibagi dalam 4 klasifikasi (IWGDF, 2001).
Selanjutnya pada bab ini akan dipaparkan hasil analisa dan sintesa secara kritis terhadap
berbagai hasil penelitian yang berhubungan dengan pengkajian kaki sebagai upaya deteksi
dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik. Praktikan juga akan memaparkan pengalaman
praktikan dalam melaksanakan praktek berdasarkan pembuktian (EBN) pada kasus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
115
kelolaan. Pada tahap akhir, praktikan akan melakukan penelaahan terhadap pengalaman
melakukan EBN pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki
diabetik.
4.1.Hasil Journal Reading (Critical Review)
Dalam penerapan praktek berdasarkan pembuktian, langkah awal yang dilakukan
adalah penelusuran literatur melalui EBSCO data bases; CINAHL, Proquest dan
MEDLINE. Kata kunci yang digunakan yaitu: diabetik foot, ulcer diabetik,
assessment diabetik foot, dan diabetik foot screening. Selanjutnya dilakukan review
kritis pada literature yang mendukung.
1. Judul artikel : Foot Assessment in type 2 Diabetes:an evidence-based practice
approach oleh Taylor M.C, 2008 .
Merupakan sebuah sistematik review yang menganalisis berbagai Evidence Based
Nursing Practice dengan berbagai tingkatan atau level mengenai pengkajian kaki
diabetik. Literatur dari artikel ini didapatkan dari tiga EBN pada level 1, tiga
EBN Level II, tidak ditemukan EBN dengan level III, empat EBN level IV, empat
EBN level VI dan lima EBN pada Level VII. Latar belakang dari ini sistematik
review adalah bahwa gangguan kaki merupakan penyebab
kesakitan pada
penderita Diabetes tipe 2. Ulkus kaki diabetik juga menjadi penyebab terbanyak
amputasi pada kaki bagian bawah. Salah satu upaya termudah dalam mendeteksi
adanya gangguan pada kaki dan akhirnya mengurangi kejadian amputasi adalah
dengan melakukan pemeriksaan atau pengkajian pada kaki secara menyeluruh,
cermat dan konsisten pada setiap kunjungan. Pada kaki penderita diabetes tanpa
gangguan vaskuler, neurophati, maupun deformitas pemeriksaan dapat dilakukan
minimal satu tahun sekali. Sayangnya ketika penderita Diabetes berkunjung ke
pelayanan primer untuk kontrol penyakitnya (kunjungan rutin) penderita Diabetes
ini jarang ditanyakan mengenai masalah kaki, perawatan kaki yang dilakukan,
penggunaan alas kaki apalagi diminta untuk membuka kaus kaki dan alas kakinya
untuk dilakukan pemeriksaan kaki.
Dalam sistematik review ini, Taylor M.C., 2008 mempunyai tujuan mereview dan
mensintesis literature yang berbasis bukti bagaimana pengkajian kaki pada pasien
diabetes pada pelayanan primer atau rawat inap untuk mendeteksi adanya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
116
neurophati, deformitas, penurunan vaskularisasi dan perkembangan ulkus. Pada
akhirnya berdasarkan klasifikasi hasil pengkajian kaki direkomendasikan
intervensi untuk menurunkan komplikasi ulkus pada Diabetes tipe 2. Berdasarkan
analisis didapatkan pertanyaan PICO pada literature ini adalah apakah pengkajian
kaki yang selalu dilakukan pada pasien Diabetes tipe 2 di pelayanan primer
maupun rawat inap dapat menurunkan resiko komplikasi pada ekskremitas bawah.
Taylor, M.C, 2008 menguraikan PICO pada artikel ini sebagai berikut : Population
(P) atau populasi pada EBN ini semua penyandang Diabetes tipe 2 tanpa ulkus.
Intervensi (I) atau tindakan yang dilakukan adalah pengkajian kaki. Comparation
(C) atau pembanding dari penerapan EBN ini, dinyatakan tidak ada pembanding.
Dijelaskan oleh Taylor, bahwa pengkajian kaki pada pasien diabetes tipe 2 telah
menjadi panduan standar Internasional dan sebagai EBN level 1. Outcome (O) atau
hasil akhir yang diharapkan adalah teridentifikasinya resiko kaki diabetes melalui
pengkajian kaki dan pada akhirnya dengan intervensi yang sesuai oleh
multidisiplin keilmuan/profesi akan menurunkan komplikasi ekskremitas bawah
seperti ulkus diabetik.
Validitas dan reliabilitas pada systematic review ini disampaikan bahwa pengkajian
kaki yang direkomendasikan ini merupakan pengkajian standar pada level 1 yang
telah menjadi panduan internasional. EBN level 1 didefinisikan sebagai evidence
yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai randomized
control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review pada RCT. Pada
systematic review ini, EBN level 1 yang digunakan adalah rekomendasi dan
panduan pengkajian kaki dari American Diabetik Association (ADA), 2008 dan
American Association of Clinical Endokrinologist (AACE), 2007, sebagai berikut :
a.
ADA dan AACE merekomendasikan untuk melakukan deteksi terhadap
neuropathi khususnya pada yang pertama kali terdiagnosis DM tipe 2 dan
dilakukan minimal satu tahun sekali (level A).
b.
AACE : melakukan pemeriksaan kaki pasien DM tipe 2 pada setiap
kunjungan dengan mengevaluasi kondisi kulit, kuku, nadi, temperature,
adanya tekanan dan kebersihan kaki (Level B)
c.
ADA : melalukan inspeksi kaki penderita DM tipe 2 pada setiap kunjungan
jika didapatkan neuropati (level B)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
117
d.
ADA dan AACE : melakukan uji monofilament, garpu tala, palpasi, dan
inspeksi untuk melakukan pengkajian kaki yang komprehensif (level B)
e.
Melakukan rujukan kepada spesialis perawatan kaki pada kondisi penurunan
sensasi, perubahan mekanik kaki, riwayat merokok atau adanya riwayat
komplikasi kaki sebelumnya ( level C)
f.
ADA : melakukan pengkajian adanya Peripheral Arterial Disease (PAD)
dengan melakukan palpasi pada arteri pedal dan melakukan pemeriksaan
Angkle Brachial Index (ABI) untuk mendiagnosis adanya penurunan sirkulasi
vaskuler (level C)
g.
ADA dan AACE : pentingnya melakukan edukasi mengenai perawatan kaki
dan modifikasi gaya hidup sesuai panduan (Level B).
Rekomendasi yang dibuat pada systematic review ini adalah :
a.
Pemeriksaan kaki sejak awal pada penderita Diabetes di pelayanan primer
akan mampu mendeteksi gangguan pada kaki seperti gangguan sensasi
(neurophati),gangguan vaskuler maupun deformitas, yang akan menghambat
perkembangan ulkus pada kaki
b.
Deteksi dini gangguan pada kaki diabetik akan menurunkan angka kematian
yang berhubungan dengan Diabetes tipe2
c.
Perawatan pasien Diabetes dengan berbagai komplikasi termasuk ulkus
diabetik akan meningkatkan pembiayaan, sehingga deteksi dini terhadap
masalah kaki diabetik akan menurunkan biaya perawatan
d.
Pelayanan kesehatan primer mempunyai peranan penting dalam mendeteksi
gangguan kaki dan melakukan pencegahan dengan memberikan edukasi dan
perawatan kaki, melakukan pemantauan pada setiap kunjungan atau
melakukan pemeriksaan kaki sesuai yang direkomendasikan
2.
Judul Artikel : Effectivenness of the diabetik foot risk classification system of the
International Working Group on the Diabetik Foot oleh
Edgar J.G. Peters &
Lawrence A. Lavery pada tahun 2001.
Tujuan dari penelitian ini adalah menilai efektifitas klasifikasi kaki berdasarkan
klasifikasi yang dikembangkan oleh IWGDF. Desain dan metode penelitian :
menggunakan sample 225 pasien diabetes yang pada awalnya menjadi bagian dari
studi case control di University of Texas Health Science Center di San Antonio.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
118
Pada akhirnya hanya 213 pasien yang diamati selama 29 bulan. Sample kemudian
dikelompokkan menjadi 4 kelompok sesuai consensus IWGDF, yaitu 0 untuk kaki
tanpa neuropati, 1 dengan neuropati tetapi tidak ada deformitas maupun PVD, 2
merupakan kelompok sengan neuropati dan deformitas atau PVD dan kelompok 3
pasien dengan riwayat ulkus maupun amputasi.
Hasil penelitian di dapatkan pada kelompok resiko tinggi mempunyai riwayat
diabetes lebih lama, glukosa yang tidak terkontrol, adanya gangguan pembuluh
darah dan neuropati serta adanya komplikasi sistemik. Diamati selama tiga tahun
ulkus kaki terjadi 5.1 % pada kelompok 0, 14,3% pada kelompok 1, 18,8% pada
kelompok 2 dan 55,8 % pada kelompok 3 (P<0,001). Kejadian amputasi
ditemukan pada kelompok 2 sebanyak 3,1% dan kelompok 3, 30,9% (P < 0.001).
Pada akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa klasifikasi menurut IWGDF
dapat digunakan sebagai alat untuk screening dan mencegah komplikasi kaki
diabetik.
3.
Judul Artikel : Do foot examinations reduce the risk of diabetik amputations oleh
Mayfield, reiber, Nelson & Greene, tahun 2000.
Penelitian ini dilatarbelakangi bahwa pemeriksaan kaki telah direkomendasikan
sebagai metoda untuk mengurangi resiko amputasi, tetapi karena belum ada
penelitian yang dilakukan untuk melihat efek independen dari pemeriksaan kaki
ini terhadap penurunan resiko amputasi.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan desain
retrospektif case control, diwilayah Arizona dengan melibatkan 244 sampel yang
terdiri dari 61 kasus amputasi ekskremitas bawah pada 1 januari 1985 dan 31
Desember 1992. Dan 183 kasus control yaitu pada pasien yang tidak diamputasi
pada tanggal 31 Desember 1992. Penelitian dilakukan dengan mencatat hasil
pemeriksaan kaki, komplikasi atau penyakit penyerta, faktor resiko ulkus selama
36 bulan dari medical record.
Hasil penelitian menunjukan total pemeriksaan yang dilakukan sebanyak 1857
kali pada 244 sampel. Rata – rata pemeriksaan dilakukan sebanyak 7 kali pada
kasus dan 3 kali pada control. Resiko amputasi pada orang yang dilakukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
119
pemeriksaan kaki 1 kali atau lebih menunjukan OR 0.55 (95% CI,02-1,7, P
=0,31). Resiko amputasi berhubungan dengan ketidakpatuhan terhadap perawatan
kaki yang direkomendasikan menunjukan hasil OR 1,9 (95% CI, 09-4,3, P =0,10).
Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini gagal membuktikan bahwa pengkajian
kaki dapat menurunkan resiko amputasi, namun pengkajian kaki mampu
mendeteksi kondisi resiko tinggi untuk amputasi sehingga intervensi yang tepat,
akan menurunkan kejadian amputasi.
Hasil critical review pada 3 jurnal yang saling mendukung, selanjutnya akan diterapkan
pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini kaki diabetic, berdasarkan jurnal yang
ditulis oleh Taylor, 2008 dengan judul “Foot Assessment in type 2 Diabetes:an
evidence-based practice approach”
4.2. Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian
Dalam
pelaksanaan
praktek
berdasarkan
pembuktian
(EBN)
ini
praktikan
menggunakan hasil systematik review dari Taylor M.C, 2008. Systematik review ini
masuk ke dalam katagori EBN level 1. Sesuai definisi EBN level 1 adalah sebuah
evidence yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai
randomized control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review dengan
RCT (Taylor M.C,2008).
Penerapan EBN ini dilakukan ditempat praktek (RS.Fatmawati), dengan terlebih
dahulu melalui pengamatan fenomena selama praktikan melaksanakan praktek
residensi 1 dan 2. Hasil penelusuran data, didapatkan
bahwa pasien Diabetes
menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak pada tahun 2010 di RSUP.
Jumlah pasien diabetes yang dirawat khususnya di ruang rawat inap penyakit dalam
di gedung Teratai lantai 5 Selatan pada bulan September 2011 hingga Februari 2012
sebanyak 123 pasien terdiri dari 36 (29.1 %) pasien mengalami ulkus diabetik dan
87 (69.9 %) pasien dengan tanpa ulkus. Prosentase data rawat inap pasien ulkus ini,
lebih tinggi dibandingkan dengan prosentase ulkus di Indonesia yang berjumlah 15%
dari seluruh kasus Diabetes di Indonesia. Berdasarkan angka tersebut dapat kita
cermati bahwa jumlah pasien diabetes melitus dengan tanpa ulkus cukup tinggi,
sehingga hal ini perlu menjadi perhatian untuk memberikan intervensi yang tepat
sehingga tidak berlanjut pada ulkus diabetik. Intervensi awal yang dapat dilakukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
120
adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya mengetahui resiko terjadinya ulkus
pada pasien diabetes tersebut.
Penerapan EBN ini mulai dilaksanakan pada minggu ke dua Maret hingga awal
minggu pertama bulan Mei 2012. Dalam pelaksanaannya praktikan melibatkan sesama
residen, mahasiswa program aplikasi dan juga perawat ruangan. Langkah pertama
pada penerapan EBN ini adalah menginformasikan rencana kegiatan kepada
management ruangan dan selanjutnya melakukan sosialisasi. Pemilihan pasien
disesuaikan dengan kriteria, yaitu pasien DM tipe 2 tanpa ulkus kaki, tidak mengalami
sakit berat maupun penurunan kesadaran. Format yang digunakan sebagai panduan
pengkajian adalah format status kaki diabetes yang telah dimiliki oleh rumah sakit
Fatmawati. Format ini khususnya untuk pengkajian kaki secara keseluruhan sudah
sesuai dengan rekomendasi dari EBN yang digunakan. Penerapan EBN ini dilakukan
pada 20 responden yang sesuai kriteria. Semua pasien merupakan penderita DM tipe 2
terdapat 3 pasien (15%) baru terdiagnosis diabetes. Pelaksanaan pengkajian kaki
pasien DM, dimulai dengan mengisi identitas pasien yang meliputi nama,usia, dan
nomer register. Selanjutnya dilakukan pengisian hasil laboratorium meliputi nilai gula
darah sewaktu dan nilai HbA1C yang dapat dilihat dari status pasien. Selanjutnya
dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik terutama pada area kaki. Berikut ini
kegiatan pada pengkajian kaki diabetik.
4.2.1. Anamnesa
Anamnesa atau wawancara yang dilakukan meliputi status kesehatan yang
mempengaruhi proses terjadinya kaki diabetik diantaranya adalah lamanya
menderita diabetes. Riwayat penyakit yang akan mempengaruhi kaki diabetik
seperti adanya penyakit kardiovaskuler, gangguan peripheral vaskuler, adanya
gangguan penglihatan, riwayat pembedahan pada pembuluh darah atau
amputasi dan riwayat ulkus kaki sebelumnya. Pola hidup yang ditanyakan
terkait dengan kaki diabetik meliputi, penggunaan alas kaki, merokok dan
konsumsi alcohol. Keluhan pada kaki seperti hilang rasa, kesemutan dan nyeri
pada area kaki termasuk klaudikasio merupakan hal yang harus ditanyakan
pada pasien.
4.2.2. Pemeriksaan fisik
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
121
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan olfaksi dan
pemeriksaan khusus. Observasi pertama yang dilakukan pada pasien diabetes
adalah gaya berjalan. Gaya berjalan dimana beban tubuh bertumpu pada satu
kaki, merupakan resiko tinggi untuk terjadinya kaki diabetik. Fokus
pemeriksaan fisik pada kaki diabetik adalah pada vaskuler, saraf dan kelainan
pada kulit, kuku dan musculoskeletal (deformitas)
a.
Kulit, kuku dan deformitas musculoskeletal
Melakukan observasi pada kebersihan dan bau dari area kulit kaki ,adanya
athropi otot, ulcer, eritema, kulit kering dan bersisik, kelainan pada kuku
dan adanya formasi kallus. Kelainan bentuk pada musculoskeletal
meliputi, penurunan pada gerak sendi kaki, adanya claw toes, hammer
toes, dan charcot.
b. Pemeriksaan Vaskularisasi
Pemeriksaan vaskularisasi ke area kaki dimulai dengan melakukan palpasi
temperatur kulit, pulsasi pada arteri posterior tibialis dan dorsalis pedis.
Pemeriksaan lanjut yang digunakan untuk mengetahui vaskularisasi kearah
kaki dan untuk mengidentifikasi adanya resiko gangguan arteri peripheral
(PAD), dapat dilakukan pemeriksaan Angkle Brachial Indexes (ABI). ABI
adalah test non invasive untuk mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki
(ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (brachial). Tekanan darah
sistolik diukur dengan menggunakan alat yang disebut simple hand held
vascular Doppler ultrasound probe dan tensimeter (manometer mercuri
atau aneroid). Pemeriksaan ABI dilakukan untuk mendeteksi adanya
insufisiensi arteri sehingga dapat diketahui adanya gangguan pada aliran
darah menuju ke kaki. Direkomendasikan menggunakan probe dengan
frekuensi 8 MHz untuk ukuran lingkar kaki normal dan 5 MHz untuk
lingkar kaki obesitas atau edema.
c.
Pemeriksaan Neuropathy
Neuropathy yang dapat terjadi pada kaki diabetik diantaranya neuropathy
otonom, neuropathy sensorik, maupun neuropathy motorik. Neuropathy
otonom dapat dilihat adanya penurunan produksi keringat pada area kulit
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
122
sehingga menyebabkan kulit kering,licin atau bersisik. Gangguan
neuropathy sensorik ditemukan adanya penurunan sensasi terhadap raba,
getar, suhu, maupun nyeri. Gangguan pada serabut saraf aferen dapat
dideteksi dengan adanya penurunan reflek tendon baik tendon patella
maupun achiles. Pemeriksaan neuropathy sensori getar digunakan
garputala dengan frekuensi 128 Hz, dan untuk pemeriksaan sensasi rasa
digunakan monofilament 10 gr, 5.07. Area-area untuk melakukan
pengujian monofilament
Gambar 4.1
Area melakukan uji monosilament
Sumber : Assessing Protective Sensation with a Monofilament”, pada Advances in Skin &
Wound Care, 17(7), p.346. Copyright 2004 by Lippincott Williams & Wilkins, dalam
Nowakowski, P.E, 2008
Data-data yang di dapatkan pada pengkajian, selanjutnya dilakukan analisis
untuk disimpulkan apakah ada gangguan atau resiko terjadinya ulkus pada
penderita diabetes tersebut. Klasifikasi yang praktikan gunakan berdasarkan
klasifikasi dari International Working Group on the Diabetik Foot
(IWGDF) tahun 1999. Dibawah ini ditampilkan klasifikasi resiko
komplikasi kaki menurut IWGDF.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
123
Tabel 4.1.
Klasifikasi Resiko Ulkus Diabetik Menurut
International Working Group on the Diabetik Foot
Kategori
Resiko
0
1
2
3
Definisi
Rekomendasi Intervensi
- Tidak ada penurunan
sensasi
- Tidak ada gangguan
vaskularisasi
- Tidak ada deformitas
- Neurophaty (sensasi
) +/- Ditemukan
deformitas
- Edukasi : perawatan kaki
dasar & penggunaan alas
kaki
- Gangguan vascular
+/- Ada
neuropathy
sensori
- Riwayat ulkus kaki
atau
riwayat
amputasi
Rekomendasi
Follow up
Setiap tahun (dokter
umum, spesialis kaki)
- Edukasi kaki diabetik
- Pemeriksaan kaki setiap hari
- Penggunaan
alas
kaki
khusus
- Dipertimbangkan
untukkonsultasi ke dokter
bedah
- Sama dengan katagori 1
- Consultasi dengan spesialis
vaskuler
Mengunjungi
poli
kaki setiap 3 – 6
bulan sekali
- Sama dengan katagori 1
- Consultasi dengan spesialis
vaskuler,terutama jika ada
penurunan vaskuler
Mengunjungi
poli
kaki setiap 2 – 3
bulan sekali
Mengunjungi
poli
kaki setiap 2 – 3
bulan sekali
Adapun hasil pengkajian kaki pada penerapan EBN ini adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.2
Distribusi responden berdasarkan usia
di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
n= 20
Variabel
Mean Median
Usia
54,65
56,50
SD
Min-Maks
95% CI
11,67
26 - 69
49,1 – 60,1
Pada table 4.2 menggambarkan hasil analisis rata–rata usia responden dalam
penerapan pengkajian kaki ini adalah 54,65 tahun (95 % CI : 49,1 – 60,1), dengan
usia termuda 26 tahun dan usia tertua 69 tahun. Hasil estimasi interval dapat
disimpulkan bahwa 95% diyakini rata–rata usia responden adalah diantara 49,1 –
60,1 tahun.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
124
Tabel 4.3
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lama menderita DM dan
kadar HbA1C, di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati
Jakarta 2012, N = 20
Jumlah
Presentase
Jenis kelamin
ï‚· Pria
ï‚· Wanita
17
3
85 %
15 %
Lama menderita DM
ï‚· < 5 tahun
ï‚· > 5 tahun
9
11
45%
55%
Kadar HbA1C
ï‚· < 6,5 %
ï‚· > 6.5 %
1
19
5%
95%
Resiko ulkus kaki diabetik
ï‚· Rendah (0)
ï‚· Sedang (1)
ï‚· Tinggi (2)
11
4
5
55%
20%
25%
Variabel
Tabel 4.3 menggambarkan jenis kelamin responden sebagian besar adalah pria
dengan jumlah 17 orang (85%), 11 orang (55%) telah menderita diabetes lebih dari
5 tahun dan 95 % (19 responden) menunjukan kadar HbA1C diatas 6,5 % atau pada
kondisi gula darah yang tidak terkontrol dalam 3 bulan terakhir. Dari hasil
pengkajian kaki dan pengklasifikasian resiko ulkus kaki diabetes menurut IWGDF
didapatkan 11 responden (55 %) beresiko rendah, 4 responden (20%) beresiko
sedang dan 5 responden (25 %) beresiko tinggi terjadi ulkus kaki.
Selanjutnya praktikan mencoba melihat hubungan statistik antara usia, kadar
HbA1C, dan lama menderita DM, didapatkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
125
Tabel 4.4.
Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan lama menderita DM dan
kadar HbA1C di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati
Jakarta 2012, N= 20
Variabel
Resiko Kaki diabetik
Ringan
Sedang
Tinggi
n
%
N
%
n
%
Lama menderita DM
ï‚· < 5 tahun
ï‚· > 5 tahun
8
3
72,7
27,3
1
3
25
75
0
5
0
100
Kadar HbA1C
ï‚· < 6,5 %
ï‚· > 6.5 %
0
11
0
100
1
3
25
75
0
5
0
100
11
100
4
00
5
100
TOTAL
Tabel 4.4 menunjukan bahwa responden yang mempunyai katagori beresiko
terjadi ulkus kaki diabetik sedang, sebagian besar (75 %) telah menderita diabetes
lebih dari 5 tahun dan menunjukan kadar HbA1C yang lebih dari 6,5 %. Seluruh
responden (100%) yang mempunyai resiko tinggi ulkus kaki diabetik telah
menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan kadar HbA1C menunjukan lebih dari
6,5 %.
Tabel 4.5
Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan usia
di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
N= 20
Variabel
Usia
Resiko Ulkus
n
Mean
SD
ï‚· Rendah
11
50,82
12,687
ï‚· Sedang & Tinggi
9
59,33
8,803
Pada table 4.5 dapat dijelaskan responden dengan resiko ulkus kaki sedang dan
tinggi mempunyai rata-rata usia lebih tua sekitar 9 tahun dibandingkan pada
responden dengan resiko rendah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
126
4.3. Pembahasan
Kaki diabetik adalah kaki pada pasien diabetes yang rentan terkena berbagai proses
patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi pada jaringan kulit dalam, yang
merupakan komplikasi jangka panjang dari diabetes. Kaki diabetik ini terjadi akibat
abnormalitas saraf (neuropathy), berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer
(angiopathi), dan komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,
2008; Waspadji, 2009;Turn, 2011). Kelainan kaki juga menjadi salah satu penyebab
utama morbiditas pada pasien DM tipe 2 (Taylor, 2008; Hastuti, 2008: Waspadji,
2009). Di Rumah sakit Fatmawati khususnya di lantai 5 Selatan Gedung teratai
sebagai salah satu unit rawat inap penyakit dalam, pasien ulkus diabetes yang dirawat
jumlahnya mencapai 29,1 % dari seluruh pasien DM yang dirawat pada bulan
September 2011 hingga Februari 2012. Hal ini membuktikan bahwa ulkus diabetik
akan menyebabkan penyandang diabetes mengalami masalah kesehatan yang harus
mendapatkan perawatan yang lebih serius.
Ulkus kaki diabetik merupakan komplikasi dari penyakit DM yang dapat dicegah
sejak dini. Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus dapat diawali dengan melakukan
pengkajian pada kaki. Pengkajian kaki sebagai upaya melakukan deteksi dini dapat
menurunkan resiko terjadinya ulkus kaki dan amputasi sebesar 40-85% (Taylor,
2008; Yudovsky et al, 2011). Pengkajian merupakan langkah awal untuk
menentukan tindakan yang tepat sesuai dengan kondisi kaki yang ditemukan.
Pengkajian kaki untuk mendeteksi adanya resiko ulkus diabetik dilakukan dengan
mengidentifikasi faktor resiko seperti lamanya menderita DM, kadar HbA1C,
riwayat penyakit vaskuler, retinopathy maupun riwayat nefropathy. Penelitian yang
dilakukan oleh Simmons & Clover, 2007 di pelayanan primer di Selandia baru
dengan melihat status metabolic meliputi HbA1C, lipid profil, creatinin serum
terhadap resiko ulkus kaki, didapatkan hubungan antara status metabolic yang tidak
terkontrol dengan peningkatan resiko ulkus yang ditandai dengan kondisi kuku, kulit
kaki kurang baik, ditunjang dengan peningkatan kejadian retinopathy.
Pemeriksaan kaki yang dilakukan untuk mendeteksi adanya resiko ulkus meliputi
pemeriksaan vaskuler, pemeriksaan neuropathy perifer dan deformitas. Pemeriksaan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
127
ini merupakan pemeriksaan yang standar yang direkomendasikan oleh RNAO, 2004,
ADA, 2008, dan AACE, 2007.
Gangguan vaskuler menjadi faktor resiko ulkus kaki diabetik dapat dijelaskan sebagai
berikut : bahwa gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya
iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein
yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat
ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan
dengan reseptornya masing –masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan
pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan
ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu
serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan
penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen
pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi kearah perifer,
(Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009).
Selain gangguan vaskuler, neuropathy perifer juga menjadi Faktor resiko penting
pencetus ulkus kaki diabetik. Diperkirakan 40-65% ulkus kaki diabetik disebabkan
karena neuropathy sensori (Frykberg et al, 2006). Screening kaki diabetik yang
dilakukan pada 555 responden di berbagai pusat kesehatan di Perancis,mendapatkan
27 % mengalami neuropathy sensori dan dari 27% tersebut, 7.7% mempunyai resiko
tinggi terjadi ulkus kaki diabetik (Malgrange et al, 2003). Adapun proses terjadinya
neuropathy pada pasien diabetes adalah sebagai berikut : neuropathi diabetik (ND)
disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya
peningkatan jalur poliol,sintesis advance glycosilation and products (AGEs),
pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai
jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I,
2010).
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang
semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan
tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
128
Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat
mencapai 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun.
Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan
metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan
kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia.
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf
ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang
simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya
adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa
terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki
terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap
postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan
dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat
menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung.
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko
untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan yang harus dilakukan
terkait dengan neuropati perifer ini adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori
vibrasi. Hasil pemeriksan fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang
menunjukkan terdapat perubahan neuropatik (Brunner & Suddarth, 2005).
Pemeriksaan neuropathy sensori yang direkomendasikan dan merupakan EBN pada
level 1 adalah pemeriksaan Semmes–Weistein monofilament 10 gr, 5.07. Pemeriksaan
ini menggunakan monofilament 10 gr ukuran 5.07. Penggunaan monofilament 10 gr
untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh Nowakowski, P.E,
2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14 studi (1950 – 2007) dengan
jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 3142 orang dan dilakukan diberbagai
negara. Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa pemeriksaan menggunakan
monofilament 10 gr merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya
neuropathi perifer pada diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat
digunakan sebagai alat diagnostic tunggal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
129
Dari hasil penerapan pengkajian kaki yang dilakukan pada 20 pasien diabetes di
lantai 5 selatan di dapatkan hasil rata-rata usia responden 54,56 tahun, rata-rata usia
responden dengan resiko ulkus kaki pada katagori sedang dan tinggi adalah 59,33
tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Malgrange et al, 2003 di Perancis mendapatkan
responden yang mempunyai resiko ulkus diabetik sedang dan tinggi mempunyai
rata-rata usia 65 th. Sementara penelitian Bibby, 2008 mendapatkan rata-rata usia
responden yang mengalami resiko
tinggi di Tazania adalah 59,2 tahun dan di
Swedia dengan resiko sedang 58,3 tahun. Onset baru terjadinya DM tipe 2 yaitu pada
usia di atas 40 tahun dan dengan meningkatnya usia resistensi terhadap insulin, serta
penurunan terhadap berbagai fungsi organ terjadi,sehingga berbagai komplikasi lebih
cepat terjadi pada penderita diabetes pada usia yang lebih lanjut (Brunner &
Sudddarth (2005); Kebbi, 2003, dalam Ignativicius & Workman, 2006). Selain usia,
factor lain yang mempengaruhi terjadinya ulkus kaki diabetik adalah lamanya
menderita diabetes dan kadar HbA1C yang menunjukan control gula darah dalam 3
bulan terakhir.
Hasil penerapan EBN di dapatkan 100 % pada responden yang beresiko tinggi
terjadinya ulkus telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan mempunyai kadar
HbA1C lebih dari 6,5% yang menunjukan gula darah yang tidak terkontrol selama 3
bulan terakhir. Penelitian Al Mahroos & Al Roomi, 2007 dalam Taylor, 2008,
mendapatkan rata-rata responden telah menderita diabetes selama 9,5 tahun dan
didapatkan hubungan antara resiko ulkus dengan gula darah yang tidak terkontrol,
dimana ditemukan 36 % mengalami neuropathy perifer, 11,8 % mengalami gangguan
vaskuler perifer dan 5.9 % mengalami ulkus kaki.
Hambatan yang dialami praktikan saat menerapkan EBN pengkajian kaki ini adalah
peralatan yang tidak tersedia khususnya untuk monofilament 10 gr, garputala 128
Hz, dan Doppler dengan prob 8 MHz. Selain itu format yang kurang sistematis,
klasifikasi yang tidak sesuai dengan referensi praktikan serta kolom intervensi yang
tidak tersedianya kolom rekomendasi intervensi juga menjadi hambatan awal
praktikan menerapkan EBN ini.
Pemecahan
terhadap
hambatan
yang
praktikan
(monofilament 10 gr dan garputala 128 Hz)
lakukan,
untuk
peralatan
praktikan menyediakan sendiri,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
130
sedangkan untuk doppler digunakan spigmomanometer. Untuk keberlangsungan
penerapan pengkajian kaki ini praktikan bersama tim mengkomunikasikan kepada
management ruangan. Klasifikasi resiko ulkus yang praktikan gunakan mengacu
kepada klasifikasi IWGDF, 2009 yang digunakan oleh berbagai Negara dan telah
diuji kembali keefektifannya oleh Petter.E.J.G & Lavery L.A. tahun 2001.
Perawatan dan penatalaksanaan lanjut terhadap masalah kaki pasien diabetes tidak
hanya dilakukan oleh perawat, namun dokter dan educator juga mempunyai peranan
penting. Dokumentasi terhadap hasil pengkajian dan intervensi lanjut menjadi media
komunikasi untuk menindaklanjuti dan melihat perkembangan kondisi pasien.
Sistem pendokumentasian yang belum terintegrasi antar tenaga kesehatan, rawat
jalan dan rawat inap menjadi kendala dalam penatalaksanaan kaki diabetik yang
berkelanjutan. Praktikan telah mengkomunikasikan masalah dokumentasi tersebut,
dan masalah ini akan dijadikan topik diskusi dengan management.
Pengkajian kaki pada pasien diabetes dapat mengidentisikasi sejak awal adanya
resiko terjadinya ulkus kaki diabetik. Penatalaksanaan yang sesuai dengan
klasifikasi resiko ulkus akan mampu menurunkan kejadian ulkus hingga 85 %
(Taylor, 2008). Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang juga berperan
dalam masalah kaki diabetik. Salah satu standar kompetensi perawat menurut PPNI
tahun 2005, pada ranah kompetensi asuhan keperawatan dan pengembangan kualitas
pelayanan, perawat S1 atau D3 dengan pendelegasian dan pelatihan mempunyai
kompetensi untuk melakukan pengkajian
dan menerapkan praktek berdasarkan
EBN. Pada berbagai pelatihan kaki diabetes dimana peserta pelatihan adalah
perawat, materi tentang pengkajian kaki diabetik juga dipaparkan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya rekomendasi yang dapat diberikan untuk
penerapan EBN ini sebagai bagian dari asuhan keperawatan pada pasien diabetes
diantaranya :
a. perawat juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengkajian status kaki
pada pasien diabetes.
b. pencegahan ulkus kaki diabetik tidak hanya di lakukan dengan pengkajian
namun harus dilakukan intervensi yang sesuai dengan resiko ulkus yang
ditemukan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
131
c. Pendokumentasian
terhadap
hasil
pengkajian
sebagai
dasar
intervensi
selanjutnya dan sebagai media komunikasi baik sesama perawat maupun dengan
profesi lain yang berkaitan menjadi hal yang wajib dilakukan.
d. Sebagai upaya pencegahan pengkajian kaki ini akan sangat efektif dilakukan di
unit perawatan primer seperti rawat jalan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
132
BAB 5
KEGIATAN INOVASI
PENINGKATAN KEMAMPUAN PERAWAT DALAM
PENGKAJIAN KAKI DIABETIK SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI
RESIKO ULKUS KAKI DIABETIK
Kegiatan inovasi merupakan salah satu bentuk pelaksanaan peran perawat spesialis sebagai
pembaharu untuk suatu perubahan pada pelaksana asuhan keperawatan yang berkualitas.
Membantu meningkatkan kemampuan perawat generalis dalam melakukan asuhan
keperawatan dapat dilakukan oleh perawat spesialis melalui perannya sebagai narasumber
(resources), fasilitator, koordinator dan role model. Berikut ini akan diuraikan kegiatan
inovasi yang telah praktikan laksanakan pada praktek residensi.
5.1.Analisa Situasi
Masalah kaki diabetik sebagai salah satu komplikasi kronik diabetes banyak dialami
oleh penyandang diabetes. Pengkajian kaki diabetik merupakan upaya pencegahan
terjadinya masalah kaki diabetik dilakukan sejak awal seseorang terdiagnosis diabetes.
Perry & Poter, (2010) menyampaikan bahwa pengkajian yang akurat dan
komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada pasien dan
selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat.
Pengkajian merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat
sesuai dengan levelnya (vokasional, ners atau ners spesialis). Pada ranah peningkatan
kualitas pelayanan keperawatan, ners (S1 keperawatan) mempunyai kompetensi
untuk melakukan praktek berdasarkan pembuktian (evidence based) dan perawat
vokasional (D III keperawatan) mempunyai kompetensi untuk melaksanakan tugas
sesuai arahan dan sesuai dengan pelatihan yang diikuti (PPNI, 2005). Pengkajian
kaki diabetik merupakan praktek keperawatan yang didasarkan pada pembuktian,
sehingga perewat pada level ners atau vokasional yang telah mendapatkan pelatihan
mempunyai kewajiban untuk melakukan praktek ini sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas pelayanan. Sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus,
pengkajian kaki juga merupakan upaya preventif yang dapat dilakukan oleh perawat
generalis.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
133
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) adalah rumah sakit tipe A dan
merupakan rumah sakit rujukan rumah sakit lain khususnya diwilayah Jakarta
Selatan, Depok, Bogor dan Tangerang Selatan. Pada tahun 2010, diabetes merupakan
penyakit terbanyak dari sepuluh penyakit terbanyak yang ada di RSUPF dengan ratarata kunjungan di poli penyakit dalam sebanyak 1500 kasus DM tipe 2 baik kasus
baru maupun kasus lama. Gedung Teratai lantai 5 selatan merupakan salah satu unit
rawat inap penyakit dalam dengan kasus terbanyak rawat inap juga dengan diabetes.
Jumlah kasus diabetes yang dirawat dalam 6 bulan terakhir (September 2011 Februari 2012) mencapai 123 kasus dan 29,1 % dirawat dengan komplikasi ulkus
diabetik. Pasien diabetes tanpa ulkus dengan prosentase 70.9% pada akhirnya akan
berkomplikasi ulkus jika tidak terdeteksi dan tidak dilakukan tindakan pencegahan
Lantai 5 selatan di RSUPF sebagai ruang rawat penyakit dalam mempunyai 6 kamar
dengan jumlah tempat tidur masing-masing 6 tempat tidur, dan 2 kamar isolasi
dengan jumlah tempat tidur masing-masing 2 tempat tidur. Pasien diabetes yang
dirawat dilantai 5 selatan ini, ditempatkan di ruang nomer 529 untuk pasien wanita
dan ruang nomer 521 untuk pasien laki-laki. Jika pasien diabetes melebihi
kapasitas,pasien tersebut ditempatkan diruangan lain yang kosong. Salah satu
ruangan yang ada dilantai 5 selatan, selain ruang rawat inap, terdapat satu ruang
edukasi yang digunakan untuk mengadakan edukasi diabetes setiap hari Rabu.
Edukasi ini diikuti oleh keluarga pasien diabetes dan juga pasien diabetes yang
kondisinya memungkinkan untuk mengikuti edukasi. Materi edukasi yang diberikan
salah satunya adalah perawatan kaki. Edukasi ini dilakukan oleh edukator yang
terdiri dari dokter, perawat dan ahli gizi dan materi perawatan kaki diberikan oleh
perawat. Secara keseluruhan jumlah perawat di ruangan ini berjumlah 33 orang, 12
orang (36,4%) S1 keperwatan dan 21 orang (36.6%) DIII keperawatan dan 3 diantara
perawat tersebut adalah edukator.
Hasil observasi praktikan selama menjalani praktek residensi 1, khususnya di gedung
teratai lantai 5 selatan, format pengkajian kaki diabetik telah dimiliki oleh RSUPF.
Format ini merupakan format pengkajian yang diisi dan ditandatangani oleh dokter.
Pengkajian kaki pada pasien diabetes yang dirawat dilakukan oleh dokter residensi
atau dokter koas yang sedang praktek di ruang tersebut, namun pengkajian lebih
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
134
banyak dilakukan pada pasien diabetes yang sudah mengalami ulkus. Selain itu
pengisian format juga tidak selalu lengkap, terutama untuk pemeriksaan neuropati.
Pengisian yang tidak lengkap disebabkan karena tidak tersedianya alat pemeriksaan
kaki diabetik yang lengkap khususnya diruang rawat inap. Hasil pemeriksaan yang
dilakukan tidak diklasifikasikan dalam resiko ulkus sehingga tidak ada tindak lanjut,
kecuali pada yang telah terjadi ulkus.
Hasil wawancara dengan kepala ruangan, wakil kepala ruangan dan perawat primer,
bahwa pengkajian kaki tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya di rawat inap.
Hal ini disebabkan mereka berpersepsi pengkajian kaki merupakan kewenangan
dokter dan hanya perawat yang pernah mengikuti pelatihan edukator diabetes pada
tingkat lanjut saja yang mempunyai kemampuan untuk pengkajian kaki diabetik.
Wawancara yang dilakukan kepada seorang perawat edukator tingkat lanjut,
mengungkapkan bahwa pengkajian kaki di rawat inap tidak dilakukan, karena
biasanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas. Perawat edukator melakukan
edukasi mengenai perawatan kaki secara berkelompok pada pertemuan ke 3.
Pengkajian kaki yang dilakukan perawat biasanya dilakukan di poli kaki saat pasien
datang berkunjung ke poli kaki dan format yang digunakan juga format yang
ditandatangi oleh dokter.
Hasil kuesioner yang praktikan sebarkan terhadap 23 perawat di lantai 5 selatan,
didapatkan 23.5% pernah mengikuti pelatihan kaki diabetik, 41% pernah
mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik, 76% pernah melakukan pengkajian
kaki diabetik namun hanya 29.5 % yang pernah mengisi format status kaki. Survei
pengetahuan, didapatkan sebanyak 89% perawat sudah memiliki pengetahuan yang
baik tentang pengkajian kaki diabetik (dikatakan baik jika mendapat nilai 7 atau
lebih dengan point tertinggi 10). Dari analisis praktikan, hasil kuesioner untuk poin
pernah melakukan pengkajian kaki dan tingkat pengetahuan dirasakan tidak sesuai
dengan observasi dan wawancara kepada kepala ruangan dan perawat primer,
sehingga
dilakukan
wawancara
pada
beberapa
perawat
pelaksana
untuk
mengklarifikasi point tersebut. Hasil wawancara menunjukan bahwa pengkajian kaki
yang dilakukan sebatas melihat ada ulkus atau tidak, dan jika sudah ada ulkus, maka
dikaji lebih mendalam untuk kondisi ulkusnya. Pengkajian kaki diabetic tanpa ulkus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
135
sebagian besar perawat pelaksana belum pernah melaksanakan. Pengetahuan yang
dimiliki perawat pelaksana tentang pengkajian kaki, dari hasil wawancara
menunjukan sebagian perawat tidak mengetahui jenis-jenis kelainan kaki,
tidakmengetahui cara mengukur ABI maupun menggunakan monofilament serta nilai
normalnya. Disampaikan oleh beberapa perawat pelaksana bahwa ketika mengisi
kuesioner tentang pengetahuan mereka mengisi tanpa mengetahui mana yang benar
(menebak saja). Pada akhir kuesioner yang disebarkan, seluruh perawat
menginginkan adanya pelatihan pengkajian kaki.
Dari uraian diatas, analisis SWOT yang di dapatkan di gedung Teratai lantai 5
selatan RSUP Fatmawati adalah sebagai berikut :
5.1.1. Strength (Kekuatan)
Kekuatan yang dimiliki oleh RSUPF dalam penerapan pengkajian kaki diabetik
sebagai deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik adalah :
a. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit rujukan diwilayah selatan Jakarta,
Bogor, Tangerang selatan dan Depok, termasuk rujukan untuk kasus
diabetes.
b. RSUP Fatmawati mempunyai pelayanan diabetes yang terdiri dari unit
edukasi dan unit perawatan kaki diabetic dan dalam perencanaan
pengembangan menjadi pelayanan diabetes terpadu.
c. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit pendidikan bagi berbagai tenaga
kesehatan, sehingga sering dijadikan tempat penelitian dan penerapan
evidence based practice terbaru
d. Telah memiliki perawat dengan pendidikan S1 keperawatan atau DIII
keperawatan yang telah mengikuti pelatihan management kaki diabetik dan
edukasi. Hal ini sesuai dengan standar kompetensi perawat Indonesia pada
ranah pengkajian keperawatan dan ranah peningkatan kualitas pelayanan
e. Memiliki program edukasi diabetes yang telah terprogram dengan baik dan
dapat digunakan sebagai intervensi lanjut setelah pengkajian dilakukan
f. Mempunyai kelompok edukator diabetes dari berbagai disiplin ilmu
g. Memiliki poli kaki yang melayani perawatan kaki khususnya kaki diabetik
h. Telah memiliki format pengkajian status kaki diabetik yang terstandar
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
136
i. Memiliki
konsultan
endokrin
yang
handal
dan
peduli
terhadap
pengembangan pelayanan endokrin khususnya masalah diabetes.
j. RSUPF mempunyai program-program pengembangan kualitas pelayanan
asuhan keperawatan
5.1.2. Weakness (Kelemahan)
a. Pengkajian kaki hanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas dengan
pengisian format yang belum seluruhnya lengkap
b. Format pengkajian kaki yang dimiliki RSUPF ditandatangani oleh dokter
yang merawat, sehingga perawat menganggap pengkajian kaki menjadi
kewenangan dokter.
c. Perawat di lantai 5 selatan hanya 23.5% yang pernah mengikuti pelatihan
kaki diabetik, 41% pernah mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik,
76% pernah melakukan pengkajian kaki diabetik dan hanya 29.5 % yang
pernah mengisi format status kaki. Namun pengkajian kaki yang dilakukan
hanya terbatas mengobservasi ada ulkus atau tidak.
d. Keterbatasan jumlah alat untuk pengkajian kaki (Doppler, monofilament,
terutama di ruang rawat inap penyakit dalam)
e. Edukasi perawatan kaki diruang rawat inap diberikan secara umum dan
klasikal.
f. Sebagian besar pasien yang dirawat belum pernah mengunjungi poli kaki di
RSUPF.
5.1.3. Opportunity (Peluang)
a. Tingginya angka kunjungan pasien diabetes di poli penyakit dalam dan
pasien yang dirawat tanpa ulkus berjumlah 70.1 % dan mengungkapkan
ketakutannya jika sampai mengalami ulkus kaki
b. Angka kejadian ulkus diabetik yang meningkat dari tahun ketahun
merupakan perhatian perawat untuk berperan dalam upaya preventif melalui
pengkajian kaki.
c. Meningkatnya kesadaran penderita diabetes untuk memeriksakan kakinya
dan mengikuti program edukasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
137
d. Seluruh perawat di lantai 5 selatan menginginkan adanya peningkatan
pengetahauan mengenai pengkajian kaki
e. Adanya dukungan baik dari ruangan dan penentu kebijakan untuk
melakukan perubahan, sebagai upaya peningkatan kualitas asuhan
keperawatan.
5.1.4. Threat (Ancaman)
a. Tidak tersedianya alat pemeriksaan kaki yang lengkap meningkatkan resiko
tidak terlaksananya pengkajian kaki di rawat inap secara komprehensif.
b. Perubahan wewenang pengisian format memerlukan tahapan yang harus
ditindaklanjuti.
Berdasarkan pengamatan dan analisis masalah diatas, praktikan melakukan kegiatan
inovasi dengan melaksanakan sosialisasi dan pelatihan pengkajian status kaki pasien
diabetes tanpa ulkus kepada perawat sehingga pengetahuan dan ketrampilan perawat
dalam pengkajian status kaki meningkat. Pada akhirnya pengkajian status kaki pada
pasien diabetes yang komprehensif dan dilakukan dengan benar akan mampu
mendeteksi lebih awal masalah resiko kaki diabetik dan dengan tindakan yang sesuai
akan menurunkan resiko terjadinya kaki diabetik.
5.2.Kegiatan Inovasi
5.2.1. Persiapan
Kegiatan inovasi ini memaparkan fenomena yang ditemukan, dan rencana
kegiatan kepada supervisor klinik dan supervisor akademik. Penyusunan
proposal kegiatan dilakukan setelah disetujui oleh supervisor. Kegiatan
dilanjutkan dengan memaparkan rencana inovasi kepada penentu kebijakan
(manager rawat inap gedung Teratai Irna A, kepala ruangan dan wakil kepala
ruangan) pada minggu pertama bulan Maret 2012. Rencana kegiatan inovasi
tidak hanya didukung oleh managemen gedung teratai irna A, namun juga
didukung oleh kepala bidang perawatan dan komite keperawatan RSUPF.
Kegiatan ini diharapkan tidak hanya ditujukan untuk perawat lantai 5 selatan
saja, namun juga melibatkan perwakilan perawat dari ruang rawat inap lain
yang memungkinkan pasien diabetes dirawat.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
138
Persiapan selanjutnya adalah persiapan pelatihan diantaranya organisasi acara,
perijinan, tempat kegiatan, waktu pelaksanaan, undangan, materi, pembicara
hingga sponsor untuk dapat mensupport kegiatan inovasi ini. Persiapan
kegiatan juga dibantu oleh manager ruangan lantai 5 selatan.
5.2.2. Pelaksanaan Inovasi
Tujuan dari kegiatan inovasi ini adalah adanya peningkatan pelayanan asuhan
keperawatan melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam
melakukan pengkajian kaki diabetik. Pengetahuan dan ketrampilan yang
dimilikioleh perawat diharapkan akan merubah perilaku dan sikap perawat
terhadap asuhan keperawatan pada pasien diabetes kearah yang lebih baik.
Upaya yang dilakukan praktikan untuk pencapaian tujuan ini dengan
melakukan pelatihan mengenai pengkajian kaki diabetik.
Pelatihan dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu tanggal 17 dan 18 April 2012.
Peserta pelatihan terdiri dari 20 orang untuk setiap tahap sehingga keseluruhan
peserta pelatihan berjumlah 40 orang perawat pelaksana. Perawat yang
mengikuti pelatihan berasal dari lantai 5 selatan 22 orang, lantai 5 utara 10
orang, lantai 6 dan lantai 4 masing masing 2 orang, dari gedung Irna C, 3 orang
dan dari paviliun Anggrek 1 orang.
Pelaksanaan pelatihan dibuka oleh kepada bidang perawatan RSUPF,
dilanjutkan dengan pre test. Inti pelatihan adalah dengan pemberian materi
tentang pengkajian kaki diabetic. Peningkatan ketrampilan peserta pelatihan
dilakukan dengan mendemonstrasikan tehnik pengkajian kaki diabetic yang
langsung dilakukan kepada pasien diabetes (hands on). Fasilitator hands on
selain dari praktikan juga dari perawat edukator diabetic. Keterlibatan edukator
dalam kegiatan ini adalah untuk pendampingan, motivator dan evaluator pada
keberlangsungan kegiatan inovasi ini. Kegiatan selanjutnya adalah presentasi
hasil hands on dari peserta dan pemberian masukan serta arahan dari salah satu
dokter bedah vaskuler (Dr. Witra Irvan, Sp. B-V) sebagai salah satu tim medis
dalam perawatan pasien diabetes dengan ulkus. Pada akhir pelatihan dilakukan
evaluasi dengan post tes dan pelatihan ditutup oleh perwakilan dari bidang
perawatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
139
5.2.3. Evaluasi
5.2.3.1. Evaluasi proses pelatihan
a. Proses persiapan berlangsung selama 2 minggu. Rencana kegiatan
didukung oleh semua pihak terutama penentu kebijakan dalam
keperawatan seperti bidang keperawatan, komite keperawatan,
meneger Irna A dan kepala ruangan
b. Proses pelatihan :
-
Jumlah peserta pelatihan sesuai dengan yang direncanakan
(100 % hadir)
-
Sambutan yang disampaikan kepala bidang keperawatan dan
komite keperawatan saat acara pembukaan mengungkapkan
dukungan terhadap inovasi yang dilakukan dan akan
berkomitmen dalam perubahan ini.
-
Peserta pelatihan aktif mengikuti proses pelatihan baik sesi
materi maupun sesi hands on.
-
Evaluasi dari peningkatan pengetahuan didapatkan :
Grafik 5.1.
Rata-rata Nilai pre dan post tes hari 1 dan hari ke 2
Pre Test
Post Test
74,75
76
57,62
56,5
Hari ke 1
Hari ke 2
Dari grafik diatas menggambarkan adanya peningkatan
pengetahuan tentang pengkajian kaki diabetic pada peserta
pelatihan baik pada hari pertam maupun hari ke dua.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
140
c. Evaluasi peserta terhadap seluruh proses pelaksanaan pelatihan
dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 5.2. Evaluasi pelaksanaan pelatihan
90%
Sgt Menarik
80%
Menarik
70%
krg Menarik
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Materi
Sarana & Tempat
Prasarana
konsumsi Hands on
Dari grafik diatas dapat dijelaskan bahwa materi
yang
disampaikan 80 % peserta menyatakan sangat menarik, hands on
yang dilaksanakan 70 % sangat menarik, sarana prasarana, tempat
dan konsumsi yang disediakan memuaskan.
5.2.3.2. Evaluasi pelaksanaan inovasi
Evaluasi pelaksanaan inovasi dilakukan selama 2 minggu setelah
pelaksanaan pelatihan. Metode evaluasi yang digunakan dengan
mengobservasi peserta pelatihan khususnya di gedung teratai lantai 5
selatan. Komponen evaluasi meliputi inisiatif dan keaktifan peserta
dalam menerapkan pengkajian kaki, kemampuan peserta dalam
melakukan pengkajian kaki, pelaksanaan program pendampingan oleh
edukator dan dukungan managemen
untuk keberlangsungan
pelaksanaan kegiatan inovasi ini. Hasil evaluasi yang di dapatkan
adalah sebagai berikut :
a. Managemen : komite perawatan meminta panduan pengkajian
kaki
dan
bentuk
revisi
format
pengkajian
untuk
dapat
ditindaklanjuti dalam perbaikan dan peningkatan sarana dalam
pengkajian kaki. Kepala ruangan lantai 5 selatan memperbanyak
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
141
format pengkajian kaki untuk menunjang pelaksanaan pengkajian
kaki ini.
b. Peserta pelatihan : dalam waktu 2 minggu setelah pelatihan di
dapatkan 6 pasien baru diabetes tanpa ulkus yang dirawat
khususnya di lantai 5 selatan bagian laki – laki. Dari 6 pasien
tersebut, 3 perawat (50%) yang melakukan pengkajian kaki atas
inisiatif sendiri dan 3 perawat (50%) harus diingatkan. Tehnik
melakukan pengkajian kaki rata – rata 80 % sesuai dengan
panduan. Pendampingan edukator belum terlaksana, karena saat
pengkajian dilaksanakan edukator dinas pada shift yang berbeda.
Hasil pengkajian terhadap 6 pasien di dapatkan 2 pasien beresiko
sedang (katagori 1) dan 4 pasien beresiko rendah (katagori 0).
Tindakan yang dilakukan untuk menindaklanjuti hasil pengkajian,
perawat
melakukan
mendokumentasikan ke
edukasi
dalam
sesuai
catatan
katagori
perawatan.
dan
Format
pengkajian yang diisi tetap ditandatangani oleh dokter yang
bertanggung jawab terhadap pasien tersebut, namun juga
dicantumkan nama perawat yang mengkaji.
5.3.Pembahasan
Pengkajian merupakan langkah pertama dalam melakukan asuhan keperawatan. Dalam
proses pengkajian seorang perawat melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber
yang dilakukan secara sistematis untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009; Craven & Hirnle, 2007). Proses pengkajian
dapat dilakukan pada berbagai situasi. Pada saat pertama kali pasien datang ke
pelayanan kesehatan maka pengkajian yang dilakukan merupakan pengkajian awal,
dimana pada pengkajian ini data dasar untuk semua status kesehatan dikumpulkan.
Selanjutnya akan dilakukan pengakajian yang lebih spesifik pada masalah yang
ditemukan, maka pengkajian ini disebut dengan pengkajian fokus. Pengkajian ulang,
merupakan pengumpulan data untuk mengetahui perubahan status kesehatan pasien
pada waktu tertentu setelah dilakukan pengkajian awal. Pengkajian ulang ini dapat
dikatakan sebagai evaluasi status kesehatan. Terakhir adalah pengkajian darurat,
dimana pengkajian ini dilakukan secara cepat untuk mengidentifikasi situasi yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
142
menyangkut keselamatan nyawa pasien dan ini menjadi prioritas pengkajian (Craven &
Hirnle, 2007).
Pengkajian kaki diabetic merupakan pengkajian yang dilakukan pada setiap kaki
penderita diabetes. Menurut jenis pengkajian, maka pengkajian kaki diabetik, dapat
merupakan pengkajian awal, pengkajian fokus, pengkajian ulang maupun pengkajian
darurat. Pengkajian awal dilakukan pada saat pertamakali pasien datang kepelayanan
kesehatan sebagai penderita diabetes atau ketika pertamakali terdiagnosis diabetes.
Pengkajian fokus dilakukan pada area kaki, baik dengan wawancara maupun
pemeriksaan fisik. Pengkajian ulang dilakukan pada setiap kunjungan atau sesuai
dengan criteria kaki diabetic untuk mengevaluasi kondisi kaki penderita. Dan
pengkajian darurat dilakukan pada kaki diabetik yang mengalami ulkus dengan gas
gangrene, dimana pada kondisi ini memerlukan tindakan segera untuk penyelamatan
jiwa pasien (Craven & Hirnle, 2007; Turns, 2011; Taylor, 2008)
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan dalam perawatan pasien
diabetes, sesuai dengan standard dan kompetensi perawat Indonesia harus memiliki
kemampuan untuk melakukan pengkajian. Pengkajian yang lengkap dan komprehensif
akan menentukan diagnose keparawatan atau masalah keperawatan yang tepat
sehingga pada akhirnya menentukan intervensi yang tepat. Pada studi comparative
yang dilakukan oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada
pasien diabetes di Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania
ditemukan masalah resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di
Swedia. Faktor yang berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia
dikarenakan selain fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih maju, juga kemampuan
perawat dalam pelayanan perawatan kaki termasuk pengkajian kaki dan edukasi lebih
dibandingkan dengan di Tanzania
Sesuai dengan hasil observasi, wawancara dan kuesioner, didapatkan data, bahwa
pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya untuk deteksi dini ulkus diabetik
hampir tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya dilantai 5 selatan. Penyebab
dari kondisi ini adalah karena pengetahuan dan kemampuan perawat dalam pengkajian
kaki diabetic masih kurang. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
ini salah satunya dengan pelatihan. Pelatihan didefinisikan sebagai suatu kegiatan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
143
pengajaran atau pemberian pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang bertujuan untuk mencapai kompetensi
tertentu, dan pada akhirnya terjadi perubahan kinerja, serta kualitas asuhan yang lebih
baik (Fakhrizal, 2010). Perubahan yang di dasarkan pengetahuan akan lebih langgeng
dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik (Notoatmodjo, 2007).
Untuk menjadikan pengkajian kaki sebagai bagian dari asuhan keperawatan pasien
diabetes, tidak hanya peningkatan pengetahuan yang harus diperhatikan. Adanya
komitmen dan kebijakan juga merupakan bagian penting yang harus diperhatikan.
Komitmen awal dari kegiatan inovasi ini diperoleh dari penentu kebijakan (manajer
rawat inap, bidang keperawatan, komite keperawatan dan kepala ruangan). Manajer
sebagai pemimpin diharapkan dapat memberikan kebijakan, motivasi dan monitoring
dalam keberlangsungan dan keberhasilan dari kegiatan inovasi ini (Nurusalam, 2007).
Langkah kelompok untuk memperoleh komitmen dan kebijakan tersebut, pada awal
kegiatan perencanaan inovasi, kelompok melakukan pemaparan rencana kegiatan
berdasarkan fenomena yang ditemukan, analisis situasi, rencana perubahan yang
diperkuat dengan evidence based nursing.
Tujuan akhir dari kegiatan inovasi ini adalah pengkajian kaki menjadi bagian dari
pengkajian yang selalu dilakukan pada pasien diabetes. Dalam mencapai tujuan ini,
keterlibatan semua pihak di ruangan tersebut, monitoring dan evaluasi harus terus
dilakukan. Kepala ruangan, wakil kepala ruangan, perawat primer dan educator telah
berkomitmen akan melakukan pendampingan dan monitoring pada kegiatan ini
Hambatan yang praktikan dapatkan pada penerapan kegiatan inovasi ini diantaranya
alat pengkajian kaki yang belum lengkap (monofilament 10 gr dan garputala 128)
hingga praktikan menyelesaikan kegiatan praktek residen. Solusi yang praktikan
lakukan, mengkomunikasikan dengan managemen. Disampaikan oleh kepala ruangan
bahwa pengadaan alat di rumah sakit memerlukan suatu mekanisme dan kepala
ruangan telah mengkomunikasikan pada managemen dan pengadaan alat saat rapat
pimpinan.
Upaya pencegahan ulkus diabetik tidak hanya pengkajian, namun tindak lanjut dari
hasil pengkajian sesuai katagori resiko ulkus merupakan hal penting yang harus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
144
dilakukan. Pada pelaksanaan inovasi oleh kelompok praktikan, tindak lanjut dari hasil
pengkajian hanya sebatas edukasi individu, konseling dan system rujukan belum
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Peran edukator untuk melaksanakan konseling
dan alur rujukan perlu ditingkatkan, sehingga pencegahan terhadap ulkus diabetik
dapat tercapai.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
145
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
A.
SIMPULAN
Pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system endokrin perlu
didasarkan pada pemahaman yang memadai terhadap konsep yang mendasari seperti
anatomi, fisiologi dan patofisiologi. Selain itu profesi keperawatan mempunyai
badan keilmuan, sehingga pemahaman dan penguasaan terhadap teori keperawatan
yang relevan serta berbagai modalitas keperawatan yang berbasis evidence menjadi
dasar dalam praktik keperawatan profesional.
Model Adaptasi Roy merupakan salah satu model keperawatan yang menekankan
pada peran perawat dalam meningkatkan status kesehatannya dengan meningkatkan
kemampuan individu baik sehat maupun sakit untuk beradaptasi terhadap stimulus
yang di dapatkan. Kemampuan adaptasi tersebut ditunjukan dalam perilaku yang
holistik yang dapat dilihat dari mode fisiologis, konsep diri, peran dan
interdependensi. Namun demikian penggunaan MAR pada kondisi kegawatan, dan
pada pasien rawat jalan khususnya pada system endokrin tidak dapat digunakan
secara holistik.
Melalui penerapan MAR berbagai peran perawat spesialis medical bedah baik
sebagai practitioner, educator, researcher maupun inovator dapat diaplikasikan
dalam memfasilitasi pasien untuk mencapai kondisi adaptasi secara holistik, yang
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Peran sebagai praktisi (practitioner). Dalam memberikan asuhan keperawatan
dengan menggunakan pendekatan MAR, praktikan dapat menyimpulkan bahwa
model teori ini relevan untuk diaplikasikan pada pasien dengan gangguan sistem
endokrin khususnya pada pasien DM. Pasien yang mengalami DM
dengan
berbagai komplikasi yang ditimbulkan akan mengalami perubahan perilaku pada
fisiologisnya, konsep dirinya, peran maupun pada ketergantungannya. Melalui
model ini, asuhan keperawatan diarahkan pada peningkatan kemampuan individu
beradaptasi dengan meningkatkan koping regulator dan cognator.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
146
2. Peran sebagai pendidik (educator). Peran perawat dalam mengurangi stimulus
yang ditimbulkan adalah dengan meningkatkan koping individu melalui kontrol
kognator yaitu meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga yang berkaitan
dengan perilaku dan stimulusnya. Selain itu tanggung jawab terhadap
peningkatan pelayanan asuhan keperawatan dilakukan dengan berbagi (sharing)
keilmuan kepada sejawat perawat, maupun mahasiswa keperawatan.
3. Peran sebagai peneliti (researcher). Peran ini dilakukan dengan mengaplikasikan
hasil riset yang ada ke dalam pelayanan keperawatan dengan tujuan peningkatan
mutu asuhan keperawatan di klinik. Salah satu penerapan hasil penelitian adalah
pengkajian kaki terhadap resiko ulkus pada pasien DM yang dapat digunakan
sebagai deteksi dini terhadap kejadian ulkus diabetic.
4. Peran sebagai pembaharu (innovator). Peran innovator mempunyai peranan yang
strategis dalam melakukan perubahan di pelayanan keperawatan. Kegiatan
inovasi yang dilakukan oleh praktikan bersama kelompok adalah meningkatkan
upaya preventiv terhadap komplikasi ulkus pada pasien DM melalui pengkajian
kaki diabetes pada setiap pasien DM yang dirawat tanpa ulkus.
B.
SARAN
1. Untuk menjadi seorang ners spesialis keperawatan medical bedah kekhususan
system endokrin diperlukan pengembangan diri berkelanjutan dan tidak sebatas
kasus DM agar dapat menjalankan perannya sebagai praktisi, pendidik, peneliti
dan pembaharu.
2. Diperlukan kajian lebih lanjut untuk penerapan MAR yang efektif dan efisien
pada unit gawat darurat maupun unit rawat jalan khususnya untuk pasien
gangguan endokrin
3. Melaksanakan
praktek
berdasarkan
evidence
diharapkan
akan
terus
dikembangkan dan dijadikan panduan praktek pada perawat klinik yang
disesuaikan dengan level kompetensi. Evaluasi dan monitoring menjadi bagian
penting yang harus dilakukan untuk kelanjutan penerapan evidence tersebut.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
147
4. Praktik keperawatan profesional yang melibatkan ners spesialis membutuhkan
dukungan dari system pelayanan kesehatan yang ada, dukungan organisasi
profesi dan pengakuan dari profesi lain yang saling berhubungan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Konsep Penyakit Diabetes Mellitus
2.1.1. Pengertian
Diabetes sering disingkat dengan DM merupakan kelompok penyakit metabolik
yang yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah sebagai akibat dari
penurunan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau keduanya (ADA, 2012).
Glukosa yang berasal dari makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan akan
bersirkulasi di dalam darah dalam jumlah tertentu. Selanjutnya proses regulasi atau
metabolisme glukosa di sel otot, lemak dan hepar akan diperankan oleh hormone
insulin.
Hormon insulin ini merupakan rangkaian asam amino yang diproduksi oleh sel beta
kelenjar pancreas. Pada keadaan terentu dapat terjadi penurunan produksi insulin
oleh sel beta pancreas atau insulin yang ada tidak sensitive terhadap kadar glukosa
dalam darah. Kondisi ini akan meningkatkan glukosa dalam sirkulasi darah atau
disebut hyperglikemia. Hyperglikemia yang terus terjadi dan dalam jangka waktu
yang lama dapat menimbulkan berbagai gangguan baik pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler), pembuluh darah besar (makrovaskuler), maupun gangguan pada
saraf (neuropathy) (Smeltzer & Bare, 2008; Manaf, 2009; Lewis et al, 2011;
LeMone, 2011).
2.1.2. Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu
ke waktu. Hasil penelitian baik klinis maupun laboratories menunjukan bahwa
diabetes merupakan suatu keadaan yang heterogen baik etiologi maupun
macamnya dan pada akhirnya kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian
lebih berdasarkan etiologi penyakitnya, sehingga PERKENI, 2011; ADA, 2012
mengklasifikasikan diabetes menjadi :
2.1.2.1. Diabetes Tipe I
Diabetes tipe 1 ini umumnya terjadi karena kerusakan sel beta pancreas
sehingga produksi insulin mengalami kegagalan dan mengakibatkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
7
defisiensi insulin absolute. Jumlah penyandang DM tipe 1 ini hanya 5 - 10
% dari jumlah seluruh penyandang DM. Pada klasifikasi awal DM tipe 1 ini
disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Ini
dikarenakan pada penyandang DM tipe 1 mutlak membutuhkan insulin dari
luar tubuhnya. Kerusakan sel beta pancreas terjadi karena reaksi autoimun
sebagai dampak dari berbagai pencetus salah satunya adalah proses
infeksi.virus seperti virus
Cocksakie, Rubella, CMV, Herpes, dan lain
sebagainya hingga timbul peradangan sel–sel beta (insulitis). Ada beberapa
tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA
(Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies),
dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). Defisiensi
insulin absolut terjadi jika kerusakan sel beta pancreas mencapai 80 - 90%
yang akan menyebabkan gangguan metabolisme ( Lewis et al, 2011).
Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel alpha kelenjar pankreas pada
penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1
ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel alpha kelenjar
pankreas. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon,
namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon
tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah
kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah
cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapat terapi insulin (Depkes, 2005; Smeltzer & Bare, 2008;
Lewis, 2011).
Faktor resiko pada DM tipe 1 diantaranya adalah genetic. Ditemukan pada1
dalam 400 hingga 1 dalam 1000 untuk semua populasi, Resiko berkembang
menjadi DM tipe 1 pada anak dengan orang tua yang menyandang DM 1
dalam 50 resiko,Maftin, 2009 (dalam LeMone, 2011). Faktor resiko lain
adalah lingkungan. Infeksi virus, zat kimia dan asap rokok dapat menjadi
factor pemicu terjadinya insulitis dari reaksi autoimun.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
8
2.1.2.2. DM Tipe II
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM
Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes,
umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM
Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes,
2005).
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor. Faktor genetik dan
pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM
tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta
kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu
faktor pradisposisi utama dimana 85 % penyandang DM tipe 2
mengalami obesitas sebelumnya (Black & Hawks, 2009)
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang
berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang
cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi.
Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas,
gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β
Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe
1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2
hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya
umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
9
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase
pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan
glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah,
sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya.
Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif,
yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. Namun pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insulin (Depkes, 2005; Suyono dalam Sugondo dkk, 2011;
LeMone, 2011).
Faktor resiko dari DM tipe 2
menurut Port & Matfin, 2009 dalam
(LeMone, 2011) diantaranya adalah :
a. Riwayat DM pada orang tua atau saudara kandung. Meskipun tidak
teridentifikasi adanya HLA, seorang anak dari penyandang DM tipe 2
beresiko 2 hingga 4 kali lipat dan 35 % mempunyai resiko berkembang
menjadi intoleransi glukosa.
b. Obesitas, dimana berat badan lebih dari 20% BB ideal atau BMI lebih
dari 27 kg/m2. Obesitas khususnya obesitas visceral berhubungan
dengan resistensi insulin
c. Pada wanita dengan riwayat DM gestational, atau melahirkan lebih dari
4 kg
d. Hypertensi , peningkatan lipid profile : kolesterol, HDL & trigliserida
e. Metabolik sindrom dengan manifestasi yang berhubungan dengan DM
tipe 2
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
10
2.1.2.3. DM Tipe Gestasional
ADA, 2012 mendefinisikan DM gestational adalah intoleransi glukosa yang
terjadi atau pertama kali diketahui saat proses kehamilan. Kondisi ini bisa
berlanjut hingga setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami DM
sejak sebelum kehamilannya tidak termasuk kelompok ini. Di Amerika DM
tipe ini terjadi pada 7 % dari seluruh kasus kehamilan.
Timbulnya intoleransi glukosa biasanya terjadi pada kehamilan trimester
dua atau tiga akibat dari sekresi hormone plasenta yang berdampak
menghambat kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2008). Bayi yang dilahirkan
oleh ibu dengan DM tipe ini akan beresiko mempunyai berat badan yang
besar (makrosomia).
Faktor resiko pada DM gestational ini berdasarkan adanya riwayat DM
pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat keluarga dengan DM tipe 2,
adanya glikosuria dan riwayat polycystic ovary symdrom
2.1.2.4. DM Tipe lain
Klasifikasi DM yang terakhir ,dimana DM ini tidak termasuk DM tipe
1,tipe 2 maupun tipe gestational. DM ini dikenal dengan DM tipe lain. Pada
DM ini, penyebabnya adalah (ADA, 2012) :
a. Kerusakan genetic pada fungsi sel beta
b. Kerusakan genetic pada aksi insulin
c. Penyakit eksokrin pancreas : Pancreatitis, trauma/pancreotomy,
neoplasia, Cystic fibrosis, hemocromatosis, dan lainnya
d. Endokrinopathy:
acromegaly,
cushing’s
syndrome,glukagonoma,
aldosteronoma, hypertiroidism, somatostatinoma
e. Obat-obatan atau zat kimia : vacor, pentamidine, asam nicotinic,
glukokortikaoid, diazoxide, thiazide, dilantin dan yang lainnya
f. Infeksi : Rubella, CMV, dan yang lainnya
g. Sindrom genetic lain yang berhubungan dengan diabetes : Down
sindrom, turner sindrom, myothonic dystrophy, wolfram sindrom dan
yang lainnya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
11
2.1.3. Tanda dan Gejala
Gejala klinis klasik pada semua tipe DM dikenal dengan trias poly. yaitu
polydhipsi, polypaghia dan polyuria. Gejala trias poly ini seringkali tidak pada
awalnya dirasakan oleh penyandang DM tipe 2, sehingga pada penyandang DM
tipe 2 datang kepelayanan kesehatan dengan gejala komplikasi yang ditimbulkan
(Lewis, et al 2011; LeMone, 2011). Berikut ini diuraikan tanda dan gejala yang
ditimbulkan dari peningkatan gula darah pada penyandang DM menurut LeMone et
al, 2011
2.1.3.1. Polyuria
Polyuria atau sering disebut sering buang air kecil, terjadi karena adanya
akumulasi
glukosa
di
dalam
sirkulasi
darah
menyebabkan
hyperosmolaritas pada serum. Selanjutnya terjadi perpindahan cairan dari
intra seluler ke dalam system sirkulasi. Peningkatan volume dalam
pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke ginjal dan hyperglikemia
menyebabkan dieresis osmotic yang pada akhirnya meningkatkan
pengeluaran urine.
Ambang batas ginjal terhadap kadar glukosa darah adalah 180 mg/dL.
Ketika kadar gula darah lebih dari nilai tersebut, maka glukosa akan
dikeluarkan bersama urine. Kondisi ini disebut dengan glukosuria.
2.1.3.2. Polydipsia
Penurunan volume cairan di intraseluler dan peningkatan pengeluaran
urine akan menyebabkan dehidrasi tingkat sel. Mukosa mulut menjadi
kering dan sensasi haus dirasakan, maka akan menyebabkan peningkatan
asupan cairan.
2.1.3.3. Polyphagia
Penurunan jumlah atau sensitifitas insulin untuk membantu memasukan
glukosa ke dalam sel, menyebabkan terjadinya penurunan metabolism dan
pembentukan energy. Penurunan energi ini akan menstimulasi pusat lapar
dan penyandang DM menjadi banyak makan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
12
2.1.3.4. Penurunan berat badan
Pemenuhan kebutuhan energy akibat kegagalan penggunaan glukosa
sebagai sumber energy didapatkan dari sumber energy lain yaitu protein
dan lemak. Pemecahan asam amino (Proteolisis) terjadi pada otot yang
disimpan sebagai cadangan protein. Berkurangnya cadangan protein otot
menyebabkan penurunan berat badan.
2.1.3.5. Penurunan Penglihatan
Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dapat menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik pada mata dan perubahan pada lensa
sehingga pasien akan mengalami gangguan dalam penglihatan.
2.1.4. Diagnosis
Penegakan diagnose DM tidak hanya dilakukan berdasarkan keluhan yang
disampaikan oleh pasien. Diagnosis DM harus didasarkan pada pemeriksaan
penunjang khususnya pemeriksaan gula darah. Keluhan klasik seperti polyuria,
polydipsi, polyphagia, badan yang lemah, penurunan berat badan tanpa diketahui
jelas penyebabnya menjadi dasar dugaan adanya DM.
Pada beberapa dekade, diagnosis DM ditegakkan dengan pemeriksaan gula darah
sewaktu, gula darah puasa dan gula darah 2 jam setelah beban (glukosa 75 gr).
Sejak tahu 2009, pada International Expert Committee termasuk di dalamnya
terdapat perwakilan dari American Diabetes Association (ADA), International
Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study of Diabetes
(EASD), merekomendasikan pemeriksaan HbA1C sebagai uji untuk diagnosis DM.
Didiagnosis sebagai penyandang DM jika di dapatkan hasil HbA1C > 6.5%.
Pemeriksaan HbA1C menggunakan metode yang telah terstandar oleh National
Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and
Complications Trial (DCCT) (ADA, 2012).
HbA1C atau haemoglobin glikosilate merupakan gugus heterogen yang terbentuk
dari ikatan hemoglobin dan gukosa dalam darah. Apabila hemoglobin bercampur
dengan larutan dengan kadar glukosa yang tinggi, rantai beta molekul hemoglobin
mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, proses ini dinamakan glikosilasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
13
Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini
meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal, sekitar
4-6% hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin glikosilat atau
hemoglobin A1c. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar hemoglobin A1c
dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan
hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar hemoglobin A1c yang tinggi
mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes selama 3-5 minggu sebelumnya.
Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar hemoglobin A1c kembali ke
normal dalam waktu sekitar 3 minggu.
Karena HbA1c terkandung dalam eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari, maka
HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan.
Pemeriksaan ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan informasi
yang lebih jelas tentang keadaan penderita dan seberapa efektif terapi diabetik yang
diberikan. Peningkatan kadar HbA1c > 6.5% mengindikasikan diabetes mellitus
yang tidak terkendali dalam 3 bulan terakhir. Keuntungan yang lain dari
pemeriksaan ini, tidak memerlukan persiapan seperti puasa dan pengambilan darah
hanya dilakukan sekali saja (ADA, 2012; Black & Hawk, 2009). Namun demikian
HbA1C hanya dapat dilakukan pada laboratorium yang telah terstandar.
Pemeriksaan yang lain dan masih direkomendasikan oleh ADA, 2012 maupun
PERKENI, 2011 adalah pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa, gula
darah 2 jam setelah beban. Berikut kriteria diagnosis DM menurut ADA, 2012
a.
Adanya gejala klasik DM dengan hasil HbA1C > 6.5 % , dan pemeriksaan
menggunakan metode yang terstandart (NGSP atau DCCT), atau
b.
Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL
(11,1 mmol/L). Gula darah plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau
c.
Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa puasa > 126 mg/dL (7,0
mmol/L). Puasa diartikan tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8
jam, atau
d.
Kadar gula plasma 2 jam pada Toleransi Tes Glukosa Oral (TTGO) > 200
mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, yaitu
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
14
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air.
Pada orang-orang yang beresiko DM namun tidak menunjukan adanya gejala DM,
perlu dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mendeteksi lebih awal adanya gangguan pada toleransi glukosa atau resiko DM
sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih awal. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan melalui pemeriksaan guladarah sewaktu, atau gula darah puasa. Berikut
ini kadar gula darah sebagai penyaring diagnosis DM (Pra diabetes)
a. Gula darah puasa 100mg/dL (5,6 mmol/L) – 125 mg/dL (6,9 mmol/L)
b. Gula darah 2 jam setelah beban dengan 75 gr glukosa oral 140 mg/dL (7.8
mmol/L) sampai 199 mg/dL (11.0 mmol/L)
c. HbA1C : 5,7% sampai 6,4 %
Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukan kelainan hasil, dilakukan
pemeriksaan ulang setiap tahun. Untuk yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko
lain, penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Pemeriksaan penunjang lain yang disarankan untuk mengetahui factor resiko
maupun gangguan metabolism lebih lanjut diantaranya adalah pemeriksaan lipid
profile. Gangguan metabolism glukosa dapat menimbulkan peningkatan pada kadar
trigliserida, penurunan HDL, perubahan pada struktul LDl, dimana dapat
ditemukan peningakatan small dense LDL. Penurunan kadar C-Peptida dalam
darah dapat digunakan untuk menggambarkan penurunan produksi insulin oleh sel
beta pancreas.
2.1.5. Penatalaksanaan
Tujuan jangka pendek dari penatalaksanaan pada penyandang DM
adalah
menghilangkan keluhan dan tanda dari DM, mempertahankan kenyamanan, dengan
gula darah yang terkontrol. Sedangkan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai
adalah mencegah dan menghambat progresivitas penyulit atau komplikasi seperti
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pada akhirnya keberhasilan
penataksanaan akan meningkatkan kualitas hidup penyandang DM, menurunnya
angka mortalitas dan morbiditas DM.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
15
Penatalaksanaan DM ini dilakukan secara holistic dan terpadu dengan melibatkan
multidisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, educator, dan lainnya)
dan
keluarga sebagai system pendukung utama.
Pilar penatalaksanaan utama untuk DM meliputi edukasi, perencanaan makan,
latihan jasmani, intervensi farmakologis dan monitoring gula darah. Berikut ini
penjelasan dari 5 pilar penatalaksanaan DM :
2.1.5.1. Edukasi
Edukasi merupakan proses perpindahan informasi dari suatu sumber untuk
menambah pengetahuan (internalisasi) satu individu dalam rangka
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dan diharapkan
menampilkan satu perubahan perilaku (Nasution, 2008). Penyandang DM
umumnya mempunyai resiko dari pola hidup yang tidak sehat. Selain itu
pengendalian gula darah dan pencegahannya memerlukan perawatan
sepanjang hidupnya, sehingga perubahan pola hidup dan kepatuhan
terhadap perawatan hendaknya didasarkan pada pengetahuan yang benar.
Tujuan dari edukasi pada penyandang DM adalah terjadinya perubahan
perilaku untuk jangka panjang. Perubahan perilaku ini dapat dicapai
dengan cara memberikan pengetahuan yang dibutuhkan sehingga
penyandang DM mampu membuat keputusan sendiri yang akan
memperbaiki kesehatan individu tersebut.
Prinsip edukasi yang harus disampaikan adalah sesuai kebutuhan,
diberikan secara bertahap sehingga proses internalisasi dapat tercapai.
Memperhatikan kondisi diabetisi seperti tingkat pendidikan, usia,
pengetahuan dan persepsi yang dimiliki, budaya hingga kondisi psikologis
merupakan hal penting untuk pencapaian informasi.
Edukasi yang diberikan untuk diabetisi diantaranya informasi tentang DM,
pengendalian gula darah melalui perencanaan makan, latihan jasmani dan
obat-obatan, pemantauan gula darah, tanda dan gejala komplikasi akut dan
pencegahan komplikasi kronikseperti perawatan kaki.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
16
2.1.5.2. Pengaturan makan
Pengaturan makan merupakan salah satu terapi non farmakologis yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang DM (diabetisi). Prinsip dari
perencanaan makan ini adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individu (Yunir .E & Soebardi, 2009; ADA, 2012).
Manfaat yang didapatkan dari perencanaan makan pada penyandang DM
antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah
sistolikdan diastolic, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil
lipid, dan pada akhirnya meningkatkan sensitifitas insulin dan mencegah
timbulnya kompliksi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM
hamper sama dengan anjuran makan pada umumnya, yaitu gizi seimbang
sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi dari masing-masing individu.
Penekanan perencanaan makan pada diabetisi adalah pentingnya
keteraturan pada jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama pada
diabetisi yang menggunakan obat penurun glukosa atau insulin (Sukardji
dalam Sugondo, Suwondo, Subekti, 2011; PERKENI, 2011).
Komposisi bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi dalam rangka
mencapai gizi seimbang terdiri dari makronutrien, yaitu karbohidrat,lemak
dan protein, dan mikronutrien yang terdiri dari vitamin dan mineral.
Jumlah karbohidrat yang dianjurkan 45 – 65 % dari total asupan energi,
protein 10- 20 % dan lemak 20 – 25%.
Selain komposisi bahan makanan, jumlah kalori juga merupakan hal yang
harus diperhatikan. Setiap individu akan berbeda jumlah kalori yang
dibutuhkan. Penghitungan kalori pada penyandang DM disesuaikan
dengan jenis kelamin, aktifitas fisik, berat badan, stress metabolic dan
kondisi kehamilan.
Makanan yang telah disesuaikan komposisi dan kalori, kemudian dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan
malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
17
2.1.5.3. Latihan jasmani
Latihan fisik atau olah raga pada penyandang diabetisi akan membantu
dalam pengendalian gula darah, menurunkan lemak dalam darah,
menurunkan berat badan, menjaga kebugaran dan akan meningkatkan
sensitifitas insulin. Aktivitas fisik melibatkan kelompok besar otot-otot
utamanya
yang mempengaruhi
peningkatan
pengambilan
oksigen
sehingga terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif.
Prinsip latihan jasmani pada pasien diabetes hampir sama dengan latihan
jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti: frekuensi,
intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan
pada pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali
dalam 1 minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (60-70% maximum
heart rate), dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun
jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani endurans
(aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan,
jogging dan bersepeda. Latihan jasmani yang dipilih adalah latihan yang
disenangi oleh pasien (Yunir & Soebardi, 2009).
Proses terjadinya pengendalian kadar glukosa darah (penurunan kadar
glukosa darah) pada penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani
karena meningkatnya ambilan glukosa oleh otot yang bekerja selama
latihan jasmani berlangsung dan pada masa pemulihan atau pasca latihan
jasmani. Penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani
memperoleh sumber energinya berasal dari glukosa dan glikogen otot.
Pada saat latihan jasmani berlangsung (kontraksi otot rangka), aliran darah
akan meningkat ke daerah otot yang bekerja tersebut untuk membawa
bahan sumber energi (glukosa). Kontraksi sel otot merupakan peristiwa
berinteraksinya aktin dan miosin yang didahului oleh pelepasan ion
kalsium intrasel karena rangsangan persarafan. Kalsium
intrasel
mengaktifkan sejumlah enzim PKC serine kinase yang diduga
menstimulasi molekul transpor glukosa, GLUT4. Peristiwa kontraktil juga
mengubah rasio AMP/ATP sehinggga mengaktivasi AMP kinase. AMP
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
18
kinase memfosforilasi dan mengaktivasi enzim NO sintase sehingga
meningkatkan produksi NO (Nitrat Oxide) dan menstimulasi peningkatan
transport glukosa ke dalam sel otot rangka yang aktif. AMP kinase juga
memfosforilasi molekul p38 MAPK yang akan meningkatkan translokasi
GLUT4. Peningkatan GLUT4 pada sel otot yang aktif pada penderita DM
tipe 2 akan meningkatkan ambilan glukosa dari plasma darah sehingga
akan menurunkan kadar glukosa darah.
Latihan jasmani menjadi kontraindikasi pada kondisi guladarah >
250mg/dL, terdapat keton yang positif dan gangguan kardiovaskuler. Pada
kondisi ini meningkatkan metabolism sehingga meningkatkan kadar gula
darah dan benda keton.
Tahapan dalam latihan jasmani pada penyandang DM dimulai dengan
pemanasan, latihan inti, pendinginan dan peregangan. Untuk menghindari
hal yang tidak diinginkan seperti hipoglikemia, maka latihan fisik yang
akan dilakukan harus direncanakan & dalam pengawasan.
2.1.5.4. Obat-obatan
Terapi farmakologis atau obat, digunakan jika penatalaksanaan melalui
pengaturan makan dan latihan fisik, serta perubahan gaya hidup tidak
mampu mengendalikan gula darah. DM tipe 2 yang merupakan populasi
terbanyak terjadi karena resistensi insulin, penggunaan obat hiperglikemi
oral seringkali menjadi pilihan utama. Namun pada kondisi kerusakan sel
beta atau untuk mencegah kerusakan lebih lanjut insulin eksogen juga
menjadi pertimbangan untuk digunakan (Sugondo, Suwondo, Subekti
2011).
a. Obat hiperglikemia oral (OHO)
Ada 2 jenis obat hipoglikemik oral diantaranya adalah pemicu sekresi
insulin (seperti sulfonylurea dan glinid) dan obat penambah
sensitivitas terhadap insulin (biguanid, tiazolidindion, penghambat
glukosidase alfa dan incretin mimetic)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
19
ï‚·
Sulfonyluera
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta
pangkeras
untuk
melepaskan
insulin
yang
tersimpan.
Sulfonylurea pada umunya diberikan dengan dosis rendah untuk
mencegah
hipoglikemi.
Jenis
obat
sulfonylurea
adalah
klorpropamid, glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimepirid.
ï‚·
Glinid
Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 jenis obat seperti repaglinid, dan nateglinid.
ï‚·
Biguanid
Jenis obat ini seperti: metformin dam metformin XR. Metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja
insulin pada tingkat selular. Metformin tidak dapat menyebabkan
penurunan glukosa darah sampai normal sehingga obat ini
dikenal juga dengan obat anti hiperglikemik. Kombinasi
supfoniluera dengan metformin tanpak memberikan kombinasi
yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling aditif.
ï‚·
Tiazolidindion
Golongan
obat
yang
mempunyai
efek
farmakologis
meningkatkan sensitivitas insulin/ dapat diberikan secara oral.
- Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan
penyerapan
glukosa
dan
menurunkan
hiperglikemia postprandial.
- Golongan incretin memetic
Pada pemberian glukosa secara oral, akan didapatkan kenaikan
kadar insulin yang lebih besar dari pada pemberian glukosa
secara intravena.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
20
b. Insulin
Insulin eksogen atau berasal dari luar tubuh diberikan pada semua DM
tipe 1. Indikasi pemberian pada DM tipe 2 adalah pada kondisi dimana
terapi lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa
darah, terjadi peningkatan metabolism : stress berat, infeksi,
pembedahan, MCI dan stroke. Komplikasi akut seperti ketoasidosis,
sindrom hiperosmolar non ketotik juga menjadi indikasi penggunaan
insulin eksogen (Sugondo, 2011)
Berdasarkan cara kerjanya insulin eksogen (puncak kerja dan jangka
waktu efeknya), insulin dibagi menjadi empat tipe, yaitu : Insulin kerja
singkat(short acting insulin), insulin kerja cepat (rapid acting insulin),
insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja
panjang (long acting insulin).
Tabel 2.1.
Tipe insulin dan cara kerja
Cara Kerja
Sediaan
Onset
Puncak
Durasi
Rapid acting
Humalog (insulin
lispro)
Novolog ( Insulin
Aspart)
5 – 10
menit
1 jam
2–4
jam
Short acting
Humulin R
Novolin R
0,5 – 2
jam
2- 4 jam
4–6
jam
Intermediate
acting
Long acting
Humulin N (NPH)
Humulin 70/30
2–4
jam
4 – 10
jam
10- 16
jam
Humulin U (Ultralente)
Lantus ( Insulin
glargine)
Tidak ada onset dan tidak ada
masa puncak kerjanya
2.1.5.5. Monitoring gula darah
Monitoring gula darah sangat penting dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemi atau hiperglikemi, terutama
pada orang yang mendapatkan terapi insulin atau OHO yang berdampak
pada peningkatan sekresi insulin. Saat ini telah banyak dipasarkan alat
monitoring gula darah yang dapat digunakan oleh para penyandang DM.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
21
Monitoring gula darah oleh diabetisi sendiri hasilnya sangat dipengaruhi
oleh kemampuan diabetisi mengenali dan menggunakan alat tersebut.
Perawat berperan dalam memberikan edukasi untuk tehnik pemeriksaan
hingga pembacaan hasil.
Monitoring glukosa oleh diabetisi dapat dilakukan 2–4 kali sehari pada
penyandang DM yang mendapat terapi insulin yaitu pagi sebelum makan
dan sebelum tidur, atau setiap sebelum makan dan 2 jamsetelah makan.
Jika gula darah sudah stabil dapat dilakukan 2–3 kali dalam seminggu.
Untuk penyandang DM yang tidak mendapatkan insulin, monitoring dapat
dilakukan 2–3 kali seminggu termasuk pemeriksaan 2 jam setelah beban
glukosa atau setelah makan (Smeltzer & Bare, 2008).
Monitoring gula darah sendiri dianjurkan pada penyandang DM yang
guladarahnya tidak terkontro, kejadian hypoglikemia berulang dan wanita
hamil dengan hyperglikemia (PERKENI, 2011)
2.1.6. Komplikasi
Penatalaksanaan DM yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai komplikasi,
baik yang disebabkan karena penurunan gula darah yang terlalu drastis maupun
peningkatan gula darah. Komplikasi yang terjadi bisa bersifat akut maupun kronik.
2.1.6.1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia
Hypoglikemia adalah terjadinya penuruanan glukosa dalam darah
hingga dibawah 60 mg/dL. Pada penyandang DM, hypoglikemia
biasanya terjadi peningkatan kadar insulin yang tidak tepat, baik akibat
penyuntikan insulin eksogen maupun konsumsi OHO dengan aksi
peningkatan sekresi insulin seperti sulfonylurea.
Hipoglikemi merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kegawatan
hingga kematian. Hal ini terjadi karena glukosa merupakan komponen
penting yang dibutuhkan untuk metabolism sistim saraf pusat (otak).
Pada gangguan asupan glukosa yang berlangsung dalam beberapa
menit, akan menyebabkan gangguan pada fungsi saraf pusat dengan
gejala mulai dari gangguan koknisi, penurunan kesadaran hingga koma.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
22
Mekanisme
tubuh
dalam
kondisi
hipoglikemia
yaitu
dengan
melepaskan neuroendokrine dan mengaktifkan sistim saraf otonom.
Penekanan produksi insulin, produksi glucagon dan epinephrine
merupakan pencegahan terhadap hipoglikemia lanjut. Peniningkatan
epinephrine
akan
menimbulkan
manifestasi
palpitasi,
cemas,
diaphoresis, lapar dan pucat (Lewis, 2011).
Tanda dan gejala hipoglikemia, menurut Sugondo, dkk, 2011 dapat
dibagi dalam 4 stadium, yaitu
- Stadium parasimpatik : lapar, mual dan tekanan darah menurun
- Stadium gangguan otak ringan : lemah,lesu, sulit bicara, gangguan
koknitif seperti kesulitan menghitung
- Stadium Simpatik : keringat dingin pada area wajah dan ekstremitas
yang disertai dengan berdebar-debar
- Stadium gangguan otak berat : koma dengan atau tanpa kejang.
Pencegahan hipoglikemia dapat dilakukan dengan member edukasi
kepada diabetisi mengenai OHO atau insulin yang digunakan: kapan
harus dikonsumsi,bagaimana penyuntikan insulin yang benar seperti
lokasinya, waktunya, dosis dan tehnik penyuntikan. Pengaturan makan
sesuai jumlah, jenis dan jadwal penjadi pokok utama pencegahan.
Pengenalan terhadap gejala hipoglikemia dan penanganan awal juga
merupakan hal penting yang harus diketahui penyandang DM, sehingga
tidak jatuh kepada hipoglikemia tahap lanjut.
Jika hipoglikemia sudah terjadi maka, pengobatan harus segera
dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan otak lebih lanjut
(Soegondo 2011), yaitu :
- Stadium awal : masih komposmentis, dapat diberikan gula murni
30 gr (2 sendok makan) atau sirup, permen dan makanan yang
mengandung karbohidrat mudah cerna dan insulin atau OHO tidak
diberikan.
- Stadium koma hipoglikemia : segera dibawa ke pelayanan
kesehatan. Pemberian glukosa 40 % sebanyak 2 flakon intravena
setiap 10- 20 menit hingga pasien sadar, disertai pemberian cairan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
23
dextrose 10% perinfuse 6 jam/kolf dengan pemantauan gula darah
setiap 30 menit.
b. Ketoasidosis
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) juga merupakan komplikasi akut yang
menyebabkan kondisi kegawatan sehingga membutuhkan pengelolaan
yang cepat. KAD suatu keadaan dekompensasi dan kekacauan
metabolic yang ditandai dengan hyperglikemia, asidosis dan ketosis
dan gejala dehidrasi (Suwondo P, 2009; Lewis, 2011, LeMone, 2011).
Walaupun KAD lebih mudah terjadi pada DM tipe 1, namun tidak
sedikit penyandang DM tipe 2 juga mengalami komplikasi KAD dan
20 % dari pasien KAD, baru diketahui menderita DM.
Faktor pencetus terjadinya KAD adalah infeksi, MCI, pancreatitis akut,
penggunaan obat steroid dan menghentikan atau mengurangi dosis
insulin.
Proses terjadinya KAD dapat diawali dengan defisiensi insulin absolute
maupun relative mengakibatkan sel tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa. Sistem homeostasis tubuh teraktivasi sehingga cadangan
glukosa dihati dan otot dikeluarkan. Kondisi ini menyebabkan
hiperglikemia yang berat. Selanjutnya terjadi hormone kontraregulator
meningkat terutama epinephrine yang akan merangsang aktivasi
hormone lipase sensitive, lipolisis meningkat, benda keton dan asam
lemak bebat juga akan meningkat dalam darah. Akumulasi benda keton
ini akan menyebabkan asidosis metabolic.
Gejala dehidrasi terjadi diawali dengan glycosuria yang akan
menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan
elektrolite-seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan
klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia
pra renal dan dapat menimbulkan shock hypovolemik. Asidosis
metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan
derajat ventilasi (peranafasan Kussmaul). Muntah-muntah juga
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
24
biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan
elektrolite.
Diagnosis KAD dapat ditegakkan berdasarkan pada nilai gula darah
lebih dari 250 mg/dL, pH darah kurang dari 7,35, HCO3 rendah dengan
anion gap yang tinggi dan keton serum positif. Pemeriksaan lain
sebagai
penunjang
dari
manifestasi
yang
ditimbulkan
yaitu
pemeriksaan elektrolit, urium creatinin, dan penghitungan osmolaritas.
Penatalaksanaan KAD dilakukan berdasarkan patofisiologi dan
pathogenesis penyakit. Diperlukan pengelolaan yang intensive dengan
prinsip pengelolaan KAD, yaitu : penggantian cairan dan elektrolit
yang hilang, menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis
sel hati dengan pemberian insulin, mengatasi pencetus KAD,
mengembalikan kekondisi fisiologis dengan pemantauan glukosa.
-
Penggantian cairan (rehidrasi) : Cairan yang digunakan adalah
NaCl 0,9%. Diberikan 1- 2 liter pada jam pertama, kemudian jam
kedua diberikan 1 liter, setelah itu cairan diberikan sesuai dengan
tingkat dehidrasi. Rehidrasi pada KAD selain memperbaiki perfusi
jaringan, juga akan menurunkan hormone kontraregulator insulin.
-
Insulin : insulin mulai diberikan dalam bentuk bolus pada jam ke 2,
dengan dosis 180 mU/KgBB, dilanjutkan dengan drip 90
mU/KgBB dalam NaCl 0,9%. Bila gula darah stabil dalam 12 jam
(200 – 300 mg/dL), dilanjutkan dengan drip insulin 1 – 2 ui/jam
dan dilakukan penyesuaian insulin setiap jam. Pemberian insulin
pada KAD ini bertujuan menurunkan konsentrasi hormone
glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,
pelepasan asam lemak bebas, pelepasan asam amino dan
meningkatkan penggunaan insulin oleh sel.
-
Kalium : hipokalemia bisa terjadi pada KAD karena perpindahan
ion K,dari dalam sel keluar sel yang pada akhirnya keluar melalui
urine karena proses dehidrasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
25
c. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
HHNK merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis
utama didapatkan adanya dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan dapat
disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.
Faktor pencetus timbulnya HHNK diantaranya infeksi, pengobatan,
DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta
seperti
tumor
yang
menghasilkan
hormone
adeokortikotropin,
pancreatitis dan lainnya. Pada usia lanjut dengan DM HHNK lebih
mudah terjadi khususnya lansia dengan penyakit penyerta dan asupan
nutrisi yang kurang.
Proses
perjalanan
HHNK
sama
dengan
KAD
dimana
tidak
tercukupinya insulin akan mengakibatkan hiperglikemia yang pada
akhirnya terjadi dieresis osmotik. Kehilangan cairan intravascular akan
menyebabkan keadaan hiperosmolar yang akan memicu sekresi
hormone anti diuretic, rasa haus yang berkepanjangan akan dirasakan
oleh pasien. Kehilangan cairan yang tidak terkompensasi akan
menimbulkan penurunan perfusi jaringan hingga koma.
Pemeriksaan
penunjang
untuk
mendiagnosis
adanya
HHNK
diantaranya adalah kadar glukosa darah yang > dari 600mg/dL,
osmolaritas serum yang tinggi >320 mOsm perkg air, pH > 7.30, dapat
ditemukan adanya ketonemia ringan atau tidak ditemukan. Sebagian
pasien menunjukan asidosis metabolic dengan anion gap ringan hingga
berat. Konsentrasi BUN dan kreatininsering kalimeningkat yang
menggambarkan adanya penurunan fungsi ginjal akibat dehidrasi dan
akan terjadi penurunan elektrolit.
Penatalaksanaan HHNK yang pertamaadalah rehidrasi dengan agresif
menggunakan cairan NaCL 0,9 % dimulai dari 1 liter setiap jam.
Pemberian
elektrolit
khususnya
kalium
yang
hilang
bersama
pengeluaran cairan. Pemantauan terhadap kondisi aritmia sebagai
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
26
akibat hypokalemi harus dilakukan. HHNK diawali dengan ketidak
cukupan kebutuhan insulin, sehingga pemberian insulin sangat penting.
Pemberian insulin ini dilakukan setelah kondisi kekurangan cairan
tubuh teratasi.
2.1.6.2. Komplikasi Kronik
Kelainan metabolik pada DM tipe 2 dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan perubahan berbagai organ pada tubuh dan bersifat
irreversible. Hiperglikemia menyebabkan glukosa direduksi menjadi
sorbitol dalam sel yang mengandung enzim aldoreduktase. Sorbitol bersifat
hidrofilik
sehingga
tidak dapat
melewati
membran sel
sehingga
meningkatkan akumulasi poliol intrasel sehingga sel menjadi bengkak dan
mengalami kerusakan akibat proses osmotik (Waspadi dalam Sudoyo, 2009;
Sibernagl & Lang, 2007).
Hiperglikemia menyebabkan kerusakan jaringan melalui terbentuknya
glikosilasi
antara
glukosa dengan
protein
non-enzimatik
Advance
Glycocilation End Products (AGES) yang berikatan dengan reseptor
membran sel serta adanya pembentukan radikal bebas reactive oxygen
species (ROS) yang dapat mengakibatkan pengendapan kolagen pada
membran basalis pembuluh darah, kerusakan endothelium, penyempitan
lumen dan penurunan permiabilitas pembuluh darah (Scott, Gronowski,
Eby, 2007; Waspadji dalam Sudoyo, 2009).
Kerusakan dinding pembuluh darah kecil dapat menyebabkan neuropati,
nefropati dan retinopati. Neuropati disebabkan akibat penumpukan sorbitol
pada sel schwan dan neuron sehingga mengganggu konduksi sel-sel saraf
yang mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom, sensori dan refleks.
Neuropati ditandai dengan adanya penurunan fungsi serabut saraf secara
progresif. Neuropati merupakan komplikasi yang banyak terjadi pada DM
dan diperkirakan terjadi pada 50% pasien DM baik tipe 1 maupun tipe 2
(Lin, 2011).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
27
Nefropati
berhubungan
dengan
adanya
glomerulosklerosis
yang
mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus, proteinuria, hipertensi
dan gagal ginjal. Terjadinya gagal ginjal pada pasien DM tipe 2 dapat
berhubungan dengan adanya penurunan Angiotensin Concerting Enzyme
(ACE 2) yang berperan dalam melindungi ginjal (Reich, Oudit, Penninger,
Scholey, & Herzenberg, 2008). Menurut Batuman resiko terjadinya
nefropati diabetik dapat dialami pasien yang mengalami DM lebih dari 30
tahun.
Retinopati disebabkan adanya penumpukan sorbitol pada lensa mata yang
mengakibatkan penarikan cairan dan perubahan kejernihan lensa mata (Bate
& Jerums, 2003). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan pada
kelompok usia 25-74 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar
700.000 orang mengalami retinopati diabetik proliferasi dengan setiap
tahunnya terdapat 65.000 kasus. Prevalensi retinopati diabetik di Amerika
Serikat menunjukkan angka cukup tinggi yaitu sekitar 28.5% yang terutama
terjadi pada pasien DM dengan usia diatas 40 tahun (Bhavsar, 2011).
Hiperglikemia juga menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah
yang besar yang berhubungan dengan terjadinya infark miokard, stroke dan
penyakit pembuluh darah tepi. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan
pembentukan protein plasma yang mengandung glukosa seperti fibrinogen,
haptoglobin, macroglobulin alpha 2 dan faktor pembekuan V-VIII yang
cenderung mengakibatkan peningkatan pembekuan dan viskositas darah
yang mempermudah terjadinya trombosis.
Trombosis yang disertai dengan peningkatan kadar kolesterol Very Low
Density Lipoprotein (VLDL) akan menyebabkan makroangiopati yang
memicu terjadinya penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan penyakit
pembuluh darah perifer (Ignatavicius & Workman, 2010). Pasien DM tipe 2
memiliki resiko tinggi untuk mengalami gagal jantung. Kemungkinan
mekanisme yang menjelaskan tentang hubungan DM tipe 2 dengan penyakit
jantung adalah adanya peningkatan tekanan darah dan efek dari
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
28
metabolisme seperti hiperinsulinemia dan hiperglikemia (Gholap, Davies,
Patel, Sattar, & Kunthi, 2011).
Komplikasi kronik yang banyak terjadi akibat adanya komplikasi pada
makrovaskuler, mikrovaskuler maupun neuropati adalah komplikasi pada
kaki atau kaki diabetic.
Kaki diabetic didefinisikan sebagai kaki pada pasien diabetes yang rentan
terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi
pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari
diabetes. Kaki diabetic ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy),
berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan
komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,2008;
Waspadji, 2009; Turn, 2011).
Seperti dijelaskan pada definisi bahwa terjadinya kaki diabetik disebabkan
selain oleh adanya gangguan vaskuler, gangguan saraf perifer, juga dapat
disebabkan adanya deformitas musculoskeletal maupun infeksi. Proses
terjadinya kaki diabetic dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Neuropathy
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik
yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,
sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan
radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai
jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran
darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel,
dan terjadilah ND (Subekti I, 2010).
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor),
otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan
bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
29
bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50%
pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun.
Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme
vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis
kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi
saraf karena hiperglikemia.
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya
saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan
ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah
proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk,
kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya
pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa
baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran
terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda
yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas
terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyunghuyung.
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita
neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki.
Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini
adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan
fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat
perubahan neuropatik (Smeltzer & Bare, 2008).
b. Mikrovaskuler (mikroangiopathy)
Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan
terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan
glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan
terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk
advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
30
reseptornya
masing-masing
di
membrane
sel
sehingga
dapat
meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh
darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui
transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat
diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan
membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan
lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi
kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009).
c. Deformitas
Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi
sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama
adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam,
dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus.
Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada
serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat
menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw
toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles)
dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus.
Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik
menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan
edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom
memudahkan terjadinya artropati Charcot.
d. Infeksi
Penyandang Diabetes
pada jangka waktu lama akan mengalami
penurunan pada system imunitas. Penurunan system imun dapat
disebabkan oleh 3 faktor yaitu : kerusakan fungsi polimorphonuclear
leukosit, neuropathi diabetic dan penurunan vaskuler. Gangguan vaskuler
akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi sel darah
putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang
rusak dan ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang
dengan cepat. Pada kondisi ini penyandang diabetes akan mudah
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
31
mengalami infeksi terutama pada kaki yang mengalami luka (Hawks &
Black, 2010)
2.2. Asuhan Keperawatan Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy
2.2.1.Dasar Teori adaptasi Roy
Sister Calissta Roy lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, seorang
profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai mengembangkan
teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964. Roy mengembangkan suatu model
yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Model adaptasi Roy berasal
dari pemikiran Roy yang sangat terkesan dengan ketahanan anak-anak terhadap
perubahan mayor fisik dan psikososial saat dirawat di bangsal pediatric. Dimulai
dari seminar dengan Dorothy E. Jhonson untuk mempresentasikan suatu model
keperawatan dan kemudian dilanjutkan dengan berdasar pada teori adaptasi
Helson (1964), maka Roy kemudian menghasilkan suatu teori yang disebut
model adaptasi.
Ada beberapa ahli yang memberikan pengaruh atau berkontribusi terhadap
perkembangan teoritis model adaptasi Roy, para ahli tersebut antara lain Helson
(Helson’s Adaptation Theory), Rapoport (Rapoport’s Definition), Dohrenwend,
Lazarus, Mechanic, Selye, Marie Direver (Self Integrity), Martinez and sato
(common and primary stimuli affecting the modes), Poush Tedrow and Van
Landingham (Interdependence mode), Randel (Role Function Mode) (Tomey &
Alligood, 2006).
Pada awalnya, Roy mendiskusikan tentang konsep diri dan identitas kelompok
dengan menggunakan teori interaksi social sebagai dasar teori, salah satu contoh
penggunaan teori tersebut adalah persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh
respon dari orang lain. Selain itu Sullivan juga mempengaruhi Roy untuk
membuktikan bahwa seseorang itu muncul dari interaksi social yanga ada.
Gardner dan Erickson, 1984 dalam Tomey & Alligood, 2006 juga berpengaruh
pada mode yang lain, yaitu fisik-psikologis, fungsi peran dan interdependensi
untuk memahami bahwa manusia juga berasal dari komponen biologis dan
behavioral.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
32
2.2.2.Asumsi-Asumsi Utama
Roy (1988 dalam Roy & Andrews, 1999) mengidentifikasi asumsi spesifik pada
dua prinsip filosofi yaitu asumsi humanism dan veritivity. Asumsi humanism
mengatakan bahwa manusia dan pengalamannya merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk mengetahui dan menilai sesuatu untuk membentuk suatu kekuatan
kreatif, sedangkan asumsi veritivity mengatakan tentang keyakinan pada tujuan,
nilai dan arti dalam kehidupan manusia Roy (1988 dalam Roy & Andrew,
1999). Selain itu terdapat asumsi keilmuan yang berasal dari gabungan teori
system dan teori level adaptasi. Teory system mengatakan bahwa system
adaptasi manusia terlihat dari interaksi dan tindakan untuk mencapai suatu
tujuan di dunia ini. Sedangkan system adaptasi manusia sangatlah kompleks,
dengan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan stimulus dari
lingkungan, manusia mempunyai kemampuan untuk merubah lingkungan
sekitarnya.
Dalam memahami konsep adaptasi, Roy (Roy & Andrew,1999 dalam Tomey &
Alligood, 2006) mengembangkan 5 asumsi dasar dalam model adaptasi ini, yaitu
adaptasi, keperawatan, manusia/individu, kesehatan dan lingkungan.
2.2.2.1. Adaptasi
Adaptasi adalah suatu proses dan hasil, dimana manusia adalah sebagai
individu dalam satu kelompok yang menggunakan kesadaran penuh dan
pilihan untuk membentuk suatu integrasi antara manusia dan
lingkungan. Untuk mempertahankan integritas, individu berespon
terhadap stimulus dari lingkungan.
2.2.2.2. Keperawatan
Keperawatan sebagai suatu profesi pelayanan kesehatan yang berfokus
pada proses dan pola hidup manusia serta menekankan terhadap
promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
sebagai suatu kesatuan. Roy mengidentifikasikan aktifitas keperawatan
sebagai suatu pengkajian terhadap perilaku dan stimulus yang
mempengaruhi adaptasi. Keputusan dalam perawatan berdasarkan pada
pengkajian dan perencanaan yang disusun untuk mengatur stimulus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
33
yang masuk. Pada akhirnya, tujuan Roy dalam keperawatan adalah
promosi
adaptasi
individu
dan
kelompok
pada
setiap
mode
(physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role
function mode and interdependence mode) yang berkontribusi terhadap
kondisi sehat, kualitas hidup dan meninggal dengan tenang.
Keperawatan mempunyai peran yang unik yaitu sebagai fasilitator
untuk beradaptasi dengan mengkaji perilaku pada tiap mode dan faktorfaktor yang mempengaruhi adaptasi dengan cara ikut andil untuk
mengembangkan kemampuan beradaptasi dan meningkatkan interaksi
lingkungan.
2.2.2.3. Manusia.
Menurut Roy manusia adalah individu yang holistic, sebagai mahluk
adaptif terhadap lingkungan yang ada. Sebagai system adaptif, manusia
didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari beberapa bagian yang
berfungsi secara menyeluruh untuk mencapai suatu tujuan. Individu
sebagai suatu system meliputi manusia sebagai individu atau kelompok
baik itu keluarga, organisasi, komunitas atau masyarakat dalam suatu
kesatuan secara menyeluruh. Manusia mempunyai kemampuan untuk
berfikir, merasakan, menyadari dan mengartikan sesuatu untuk
merubah lingkungan dan pada akhirnya mempengaruhi lingkungan.
Dengan kata lain manusia dipandang sebagai mahluk bio-psiko-sosialspiritual yang holistik dalam segenap aspek individu dengan bagianbagiannya yang berperan bersama membentuk kesatuan, ditambah
manusia sebagai sistem yang hidup berada dalam interaksi yang
konstan dengan lingkungannya.
Dalam keperawatan, Roy mendefinisikan manusia sebagai focus utama,
penerima asuhan keperawatan, sebagai system adaptif yang hidup dan
sangat kompleks dengan aktifitas proses internal (kognator dan
regulator) untuk mempertahankan adaptasi pada 4 lini mode
(physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role
function mode and interdependence mode).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
34
2.2.2.4. Sehat
Sehat adalah suatu kondisi dan suatu proses untuk menjadi manusia
yang utuh dan berintegrasi (satu). Sehat merupakan suatu refleksi dari
adaptasi, yaitu interaksi antara individu dan lingkungan. Definisi ini
muncul dengan pemikiran bahwa adaptasi adalah suatu proses
dukungan fisik, psikologis dan integritas social menuju suatu kesatuan
dan keutuhan. Pada awalnya, Roy menampilkan kondisi sehat sebagai
suatu kondisi yang berkelanjutan dari kondisi mati dan rendahnya
status kesehatan menuju kondisi yang lebih baik dan sejahtera, untuk
selanjutnya Roy memfokuskan pada asumsi bahwa sehat adalah suatu
proses dimana kesehatan dan kematian selalu beriringan. Roy
menyatakan bahwa sehat bukanlah bebas dari menghindari kematian,
penyakit, kesedihan dan stress, tetapi lebih pada kemampuan untuk
mengatasi semua hal tersebut dengan cara yang kompeten.
Sehat dan sakit adalah kondisi yang tidak terelakkan karena merupakan
dimensi hidup dan pengalaman hidup manusia. Ketika mekanisme
koping seseorang tidak efektif, maka jatuhlah individu pada kondisi
sakit, tetapi ketika seseorang dapat beradaptasi secara terus menerus
maka orang tersebut sehat. Sebagai individu yang beradaptasi terhadap
stimulus yang ada, individu mempunyai kebebasan untuk merespon
terhadap stimulus lainnya.
2.2.2.5. Lingkungan.
Lingkungan
adalah
semua
kondisi,
keadaan,
situasi
yang
mempengaruhi pembentukan perilaku individu atau kelompok dengan
fakta yang mempertimbangkan kualitas sumber daya alam dan manusia
yang terdiri dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Perubahan
lingkungan akan menstimulasi seseorang untuk berespon secara adaptif.
Antara sistem dan lingkungan terjadi pertukaran informasi, materi dan
energi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
35
Sebagai suatu system terbuka, manusia menerima input atau stimulus dari dirinya
sendiri dan lingkungan. Tingkatan adaptasi ditentukan oleh efek yang tergabung
dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi terjadi ketika seseorang
berespon positif terhadap perubahan lingkungan, dimana respon adaptif ini
meningkatkan integritas seseorang untuk mencapai suatu kondisi sehat. Sebaliknya,
jika responnya tidak efektif maka akan terjadi gangguan integritas seseorang.
Di bawah ini bentuk diagram yang digunakan Roy untuk menggambarkan sistem
adaptasi manusia dalam bentuk sistem yang terdiri dari proses input, output,
kontrol dan umpan balik:
Input
Tingkat
adaptasi
(stimulus
fokal,
konstektual
dan
residual
Proses kontrol
Efektor
Mekanisme
koping
(Regulator
Kognator)
Fungsi fisiologis
Konsep diri
Fungsi peran
interdependensi
Output
Respons
adaptif dan
inefektif
Feeback
Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy
Dari gambar di atas terdapat 2 subsistem di model adaptasi Roy, pertama yaitu
fungsional atau subsistem proses kontrol yang terdiri dari regulator dan kognator.
Yang kedua adalah subsistem effector yang terdiri dari 4 mode adaptif, yaitu 1)
kebutuhan fisik, 2) konsep diri, 3) fungsi peran, dan 4) interdependence.
Berikut keterangan gambar 2.1 tentang manusia sebagai suatu system adaptif:
a.
Input
Roy mengidentifikasikan bahwa input merupakan stimulus yang terdiri dari
informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan
respon dimana dibagi dua dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal,
kontekstual dan stimulus residual.
ï‚·
Stimulus fokal
Stimulus yang dihadapi saat ini yang memerlukan waktu cepat untuk
respons adaptasi atau stimulus yang langsung berhadapan dengan
seseorang dan efeknya segera dirasakan, misalnya infeksi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
36
ï‚·
Stimulus kontekstual
Semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun
eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diamati, diukur serta dapat
dilaporkan secara subyektif. Rangsangan ini muncul secara bersamaan
dimana dapat menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal seperti
isolasi sosial.
ï‚·
Stimulus residual
Faktor internal yang dimiliki individu yang memungkinkan mempengaruhi
perilaku, misalnya: keyakinan, sikap, pengalaman masa lalu yang disebut
koping.
b.
Kontrol (proses)
Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk dari mekanisme yang
Roy gunakan. Mekanisme kontrol ini terdiri dari regulator dan kognator yang
merupakan bagian dari subsistem koping.
ï‚·
Sub sistem regulator
Sub sistem regulator berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis,
dimana terdapat respon otomatis terhadap perubahan lingkungan melalui
proses neuro chemical endocrine coping proses. Banyak proses fisiologis
yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator sub sistem.
ï‚·
Sub sistem kognator
Kognator
berhubungan
dengan
mode
adaptive
konsep
diri;
interdependensi dan fungsi peran dimana respon yang muncul melalui 4
canel kognitif-emosi, yaitu proses persepsi terhadap suatu informasi,
belajar, penilaian dan emosi, proses ini terjadi dalam otak.
c.
Output
Output atau keluaran dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diukur,
diamati atau secara subyektif dapat dilaporkan baik dari dalam maupun luar.
Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy membagi output sistem
sebagai respon yang adaptif atau respon yang mal adaptif. Respon yang adaptif
dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat
bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
37
kelangsungan hidup, perkembangan dan reproduksi. Sedangkan respon yang
mal adaptif adalah perlaku yang tidak mendukung dalam tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses
kontrol seseorang sebagai sisten adaptif. Beberapa mekanisme koping ditentukan
secara genetik (misalnya leukosit) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang
dapat menyerang tubuh. Mekanisme lain yang dapat dipelajari seperti pengunaan
antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu
keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan
kognator dimana mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi.
Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator sub sistem sering
bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh
individu itu sendiri serta mekanisme koping yang digunakan. Penggunaan
mekanisme koping yang maksimal megembangkan tingkat adaptasi seseorang dan
meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespons secara positif. Untuk sub
sistem regulator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol sehingga sangat
terbuka untuk melakukan penelitian tentang respons kontrol dari sub sistem
kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya konsep ini
mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan
menetapkan sistem efektor yaitu 4 (empat) model adaptasi yang terdiri dari:
a.
Kebutuhan Fisiological
Kebutuhan fisiologi meliputi interaksi manusia dengan lingkungan dan
kesepakatan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain cairan dan
elektrolit, latihan dan istirahat, eliminasi, nutrisi, sirkulasi dan oksigen serta
regulasi yang berhubungan dengan perasaan, suhu dan regulasi endokrin.
b.
Konsep Diri
Konsep diri merupakan satu dari tiga mode psikososial yang berfokus pada
psikologis dan spiritual sebagai aspek dari system manusia. Terbentuk dari
persepsi internal dan persepsi dari orang lain. Terdiri dari body sensation yaitu
bagaimana seseorang merasakan keadaan fisiknya, body image, bagaimana
seseorang memandang fisik dirinya, self consistency, bagaimana upaya
seseorang untuk memelihara dirinya dan menghindari dari ketidakseimbangan,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
38
dan moral etic spiritual self yang merupakan keyakinan seseorang dan evaluasi
dirinya.
c.
Fungsi Peran
Fungsi peran ini bagaimana mengenal pola interaksi social seseorang. Peran
ini direfleksikan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer
merupakan peran utama yang ditentukan oleh jenis kelamin, usia, dan tahap
perkembangan. Peran sekunder merupakan tugas yang harus diselesaikan
berdasarkan tugas perkembangan dan peran primernya. Peran tersier
merupakan peran yang bersifat sementara, bebas untuk dilakukan, aktivitas
dapat berupa hobi. Tujuan dari adaptasi fungsi peran ini adalah integritas social
(Tomey & Alligood, 2006)
d.
Saling Ketergantungan (interdependency)
Mode ini menunjukan mekanisme koping pada individu yang saling
berhubungan dan menghasilkan rasa saling mencintai, menghargai dan saling
membutuhkan. Hubungan ini biasanya terjadi antara individu dengan support
sistemnya.
Hasil dari mekanisme koping dari ke 4 mode ini adalah adaptif atau inefektif. Respon
adaptif ditunjukan dengan meningkatnya integritas seseorang yang meliputi intergritas
fisik, psikologi dan sosial. Sebaliknya, jika integritas ini tidak tercapai, maka respon
inefektif yang akan didapatkan.
2.2.3. Asuhan keperawatan menurut Model Adaptasi Roy
2.2.3.1. Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu :
a.
Pengkajian perilaku (behavior)
Pengkajian perilaku (behavior) merupakan langkah pertama proses
keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku
bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku
pasien adaptif atau inefektif. Perilaku yang diamati terdiri dari dua hal
yaitu perilaku yang dapat diobservasi dan perilaku yang tidak dapat
diobservasi, seperti keluhan pasien. Pengkajian tipe perilaku yang dapat
diobservasi diperoleh dengan cara dilihat, didengar, dan/atau diukur.
Apabila ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi normal
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
39
maka hal ini mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu
dapat disebabkan oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator
(Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).
Data perilaku yang diamati meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1)
fisiologis, yang terdiri dari pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi,
eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensori/ pengindraan, cairan
dan elektrolit, fungsi neurologis, fungsi endokrin; 2) konsep diri,
meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi peran, meliputi proses transisi
peran, perilaku peran, integrasi peran, pola penguasaan peran, dan
proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola memberi dan menerima,
dan strategi koping perpisahan dan kesendirian.
b.
Pengkajian stimulus merupakan tahap dua untuk mengetahui factor
yang mempengaruhi perilaku yang ditunjukan oleh individu. Faktor
yang mempengaruhi ini disebut juga dengan stimulus dan stimulus
dapat internal dan eksternal yang mencakup semua kondisi, keadaan
dan mempengaruhi sekeliling dan/atau mempengaruhi perkembangan
dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi
antara lain kultur (status sosial ekonomi, etnis, dan sistem keyakinan);
keluarga (struktur dan tugas-tugas); tahap perkembangan (faktor usia,
jenis, tugas, keturunan, dan genetik); integritas mode adaptif (fisiologis
yang mencakup patologi penyakit, konsep diri, fungsi peran, dan
interdependensi);
efektivitas
kognator
(persepsi,
pengetahuan,
ketrampilan); pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan internal
atau eksternal, pengelolaan medis, menggunakan obat-obat, alkohol,
tembakau). Pengkajian stimulus diarahkan pada stimulus fokal,
kontekstual, dan residual.
2.2.3.2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Roy & Andrews, 1999 diagnosa keperawatan merupakan proses
penilaian yang menghasilkan pernyataan status adaptasi seseorang. Sebelum
dilakukan penetapan diagnosa keperawatan semua data sudah terkumpul.
Data perilaku merupakan hasil dari pengamatan, pengukuran, dan laporan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
40
subjektif. Data lain adalah penyataan tentang stimulus fokal, kontekstual,
dan residual yang mempengaruhi data perilaku tersebut.
Selanjutnya Roy menggambarkan tiga metode dalam menegakkan diagnose
keperawatan. Metode pertama menggunakan tipologi diagnose berhubungan
dengan empat mode adaptasi. Metode kedua dalam menegakkan diagnose,
dengan mengobservasi tingkah laku yang berhubungan dengan stimulus,
baik fokal, konstektual maupun residual. Metode yang ketiga merupakan
kesimpulan satu atau lebih model adaptasi yang berhubungan dengan
stimulus.
2.2.3.3. Penetapan tujuan keperawatan.
Keperawatan terdiri dari dua yaitu : tujuan keperawatan dan aktivitas
keperawatan. Tujuan keperawatan adalah mempertinggi interaksi manusia
dengan lingkungan. Jadi peningkatan adaptasi dalam tiap empat cara
adaptasi yaitu : (1) fungsi fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran dan
(4) interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan integritas adaptasi dan
berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup dan kematian
dengan damai. Tujuan keperawatan tercapai ketika stimulus fokal berada
dalam suatu area adaptasi yang adaptif. Ketika stimulus fokal berada pada
area tersebut, manusia dapat membuat suatu penyesuaian diri atau
berespons adaptif. Hal tersebut membebaskan individu dari koping yang
tidak efektif dan memungkinkan individu untuk merespon stimulus yang
lain. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat mencapai peningkatan
penyembuhan dan kesehatan. Jadi peranan penting adaptasi sangat
ditekankan pada konsep ini.
Tujuan dari adaptasi adalah membantu perkembangan aktivitas keperawatan
yang digunakan pada proses keperawatan meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, tujuan, intervensi dan evaluasi. Adaptasi model keperawatan
menetapkan “data apa yang dikumpulkan, bagaimana mengidentifikasi
masalah dan tujuan utama, pendekatan apa yang dipakai dan bagaiman
mengevaluasi efektifitas proses keperawatan”. Setelah dilakukan pengkajian
terhadap perilaku, stimulus, dan diformulasikan ke dalam diagnosa
keperawatan
maka
langkah
selanjutnya
adalah
penentuan
tujuan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
41
keperawatan. Penetapan tujuan keperawatan diartikan sebagai pembuatan
pernyataan yang jelas dari keluaran perilaku (behavior outcomes) dari
pelayanan keperawatan. Ada tiga hal yang dimuat dalam pernyatan tujuan
keperawatan yaitu perilaku (behavior), perubahan yang diharapkan (change
expected), dan kerangka atau rentang waktu (time frame). Setelah itu tujuan
keperawatan jangka pendek dan jangka panjang ditentukan.
2.2.3.4. Intervensi dan implementasi
Menurut Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006 tujuan dari
intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan mempertinggi perilaku
adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi perilaku adaptif.
Intervensi direncanakan untuk mengelola stimulus. Sebagai stimulus,
intervensi berfokus bagaimana tujuan dapat dicapai. Fokus intervensi adalah
mengarah pada suatu stimulus yang mempengaruhi suatu perilaku.
Pengelolaan stimulus meliputi merubah, meningkatkan, menurunkan,
memindahkan, menghilangkan, dan/atau mempertahankannya. Merubah
stimulus memperkuat kemampuan mekanisme koping seseorang untuk
berespon secara positif dan hasilnya adalah perilaku adaptif. Langkah dalam
menyusun intervensi keperawatan meliputi penetapan atas empat hal yaitu
1) apa pendekatan alternatif yang akan dilakukan; 2) apa konsekuensi yang
akan terjadi; 3) apakah mungkin tujuan tercapai oleh alternatif tersebut; dan
4) nilai alternatif itu diterima atau tidak. Intervensi keperawatan ini
dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain (pasien, keluarga, dan tim
kesehatan).
Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari
intervensi keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan
memulai langkah-langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat.
Implementasi keperawatan dilaksanakan terus menerus sesuai dengan
perkembangan pasien. Implementasi dapat berubah-ubah dalam cara,
teknik, dan pendekatan yang tergantung pada perubahan tingkat adaptasi
pasien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
42
2.2.3.5. Evaluasi
Evaluasi merupakan penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan.
Oleh karena itu, evaluasi tersebut menjadi refleksi dari tujuan keperawatan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan suatu
intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan
pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi
keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Tomey & Alligood,
2006)
2.3. Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan
Diabetes Mellitus
Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya Diabetes
Mellitus menggunakan model adaptasi Roy dirasakan tepat. Roy menekankan pada
kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap stimulus yang didapatkan. Diabetes
mellitus merupakan gangguan endokrin yang akan terus ada dalam tubuh penyandang
DM, namun gangguan yang ditimbulkan dapat dikontrol. Model adaptasi yang
dikembangkan oleh Roy, merupakan salah satu proses yang dapat digunakan oleh
individu untuk berada pada kondisi terkontrol.
Sebagai system terbuka, penyandang DM akan selalu mendapatkan stimulus baik
fokal, kontekstual maupun residual. Untuk dapat beradaptasi terhadap stimulus
tersebut, maka perawat berupaya meningkatkan koping yang dimiliki penyandang DM
tersebut dengan berbagai intervensi untuk berupaya meningkatkan regulator dan
kognator. Pada akhirnya diharapkan penyandang DM dapat beradaptasi secara penuh
(integrity), compensatory, maupun adaptasi pada tingkat compromised. Berikut ini
akan diuraikan asuhan keperawatan pada pasien DM dengan pendekatan model
adaptasi Roy.
2.3.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama di dalam proses keperawatan. Model
adaptasi Roy mengembangkan pengkajian dengan dua tahap. Tahap pertama
dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perilaku pada empat mode
yaitu : fisiologis, konsep diri, peran dan interdependen. Tahap kedua
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
43
menganalisis stimulus yang mempengaruhi. Stimulasi ini terdiri dari stimulasi
fokal, kontekstual dan residual. Berikut ini diuraikan pengkajian pada pasien
DM dengan pendekatan model adaptasi Roy meliputi pengkajian perilaku dan
stimulus
2.3.1.1. Pengkajian Perilaku
a. Mode Fisiologi
-
Oksigenasi ( Roy & Andrew, 1999; Smeltzer & Bare, 2008;
Doenges, 2010; Lewis, 2011; LeMone, 2011)
Perilaku yang ditunjukan pada kebutuhan oksigenasi pada
pasien DM meliputi perilaku pada fungsi pernafasan
dan
fungsi sirkulasi. Fungsi pernafasan meliputi dikelompokkan
dalam mekanisme ventilasi, difusi dan perfusi. Fungsi sirkulasi
meliputi fungsi jantung dan transportasi oksigen.
-
Fungsi pernafasan pada pasien DM kemungkinan akan
didapatkan perubahan perilaku seperti : adanya keluhan batuk
dengan atau tanpa sputum yang purulent, sesak nafas. Dari
hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya tachipnea,
pernafasan khussmaul, adanya ronchi atau wheezing, sputum
yang berwarna jernih, kuning atau kehijauan.
-
Fungsi sirkulasi kemungkinan akan di dapatkan keluhan
claudicatio, kesemutan pada ekstemitas, luka yang lama
sembuh pada area kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tachycardia, tekanan darah kemungkinan normal,
hipertensi, atau perubahan tekanan darah pada posisi. Adanya
irama jantung yang tidak teratur (dysritmia), penurunan nadi
yang menurun atau tidak teraba terutama pada area kaki
(dorsalis pedis dan posterior tibialis), nilai ABI normal, rendah
atau tinggi. Pada pengukuran tekanan vena jugularis
didapatkan hasil yang meningkat (pada komplikasi gagal
jantung), kulit kering, hangat, kemerahan, bola mata cekung
yang merupakan tanda adanya dehidrasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
44
Perubahan dari hasil pemeriksaan diagnostic merupakan
perubahan perilaku yang dapat diamati. Hasil laboratorium
yang dapat terjadi pada pasien dengan DM diantaranya ;
perubahan pada nilai Hb kemungkinan didapatkan adanya
penurunan nilai Hb. Nilai analisa gas darah, pada kasus KAD
menunjukan adanya asidosis metabolic. Gangguan pada
sirkulasi maupun pernafasan dapat dilihat dari pemeriksaan
radiologi, seperti foto thorak. Adanya gambaran infeksi pada
paru dansaluran pernafasan, adanya pembesaran jantung
sebagai
manifestasi
komplikasi
DM
pada
system
kardiovaskuler dan pernafasan. Selain dari foto thoraks, EKG
dapat digunakan untuk melihat adanya gambaran iskemik pada
otot jantung dan penurunan kontraktilitas otot jantung.
Pemeriksaan USG Doppler arteri dapat digunakan untuk
menilai vaskularisasi kearah perifer (kaki).
-
Aktifitas dan Istirahat
Keluhan yang dirasakan pada pasien DM terkait dengan
kebutuhan aktifitas dan istirahat diantaranya adanya gangguan
tidur
dan
istirahat
salah
satu
penyebabnya
adalah
ketidaknyamanan (nyeri, sesak) dan poliuria. Keluhan lain
seperti mudah lelah, kelemahan umum, kesulitan berjalan atau
berubah posisi (dampak adanya ulkus atau perubahan struktur
kaki). Pada otot pasien DM biasanya mempunyai keluhan
penurunan kekuatan otot, maupun kram otot.
Pemeriksaan fisik untuk menilai perubahan perilaku pada
kebutuhan aktifitas istirahat ini akan didapatkan diantaranya :
perubahan denyut nadi dan pernafasan (lebih cepat) saat
istirahat atau setelah aktifitas, adanya kelemahan umum dan
penurunan kesadaran. Pada otot terjadi penurunan kekuatan
dan tonus otot.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
45
Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai
perilaku ini diantaranya radiologi (foto) untuk area kaki.
-
Nutrisi
Perubahan perilaku dari kebutuhan nutrisi yang dikeluhkan
pasien DM diantaranya peningkatan nafsu makan (poliphagia),
namun berat badan cenderung menurun. Pada komplikasi
KAD atau gastrospathy didapatkan keluhan yang berlawanan
yaitu kehilangan nafsu makan, mual dan muntah. Pemeriksaan
fisik didapatkan IMT yang kurang atau lebih dari normal,
tercium halitosis atau bau manis pada komplikasi KAD.
Pemeriksaan
diagnostik
terutama
untuk
laboratorium
didapatkan peningkatan gula darah, peningkatan HbA1C,
kadar lemak yang meningkat, penurunan protein (albumin),
maupun perubahan pada C peptide. Serum amilase akan
meningkat jika ditemukan adanya pancreatitis akut yang
disebabkan oleh KAD
-
Cairan, Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa
Cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, pada pasien
DM biasanya mengalami perubahan. Keluhan sering BAK
(poliuria) dan diikuti dengan polidipsi merupakan keluhan
yang sering dirasakan oleh pasien DM. Kehilangan cairan
melalui urin dalam jumlah yang banyak dan muntah menjadi
keluhan yang disakan pada komplikasi DM seperti KAD dan
HHNK.
Pemeriksaan fisik untuk melihat perubahan pada kebutuhan
cairan pada DM dengan komplikasi KAD atau HHNK
diantaranya membrane mukaso mulut yang kering, turgor kulit
tidak elastis, diaphoresis, kulit kering dan bersisik. Pada DM
dengan komplikasi gagal jantung atau nefropati akan
ditemukan edema.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
46
Pemeriksaan
laboratorium
yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi perubahan perilaku pada cairan dan elektrolit
ini diantaranya, pemeriksaan gula darah, ditemukan hasil yang
meningkat, pemeriksaan natrium : hasilnya bisa normal, atau
menurun. Pemeriksaan Kalium akan didapatkan kadar yang
norma, meningkat pada fase awal dan akan menurun seiring
dengan kondisi dehidrasi lanjut. Pemeriksaan osmolaritas
sangat penting dilakukan, akan terjadi peningkatan pada
HHNK. Pemeriksaan analisa gas darah penting dilakukan
untuk pasien DM yang dicurigai KAD, dan akan didapatkan
asidosis metabolic disertai peningkatan benda keton dalam
darah.
-
Eliminasi
Adanya keluhan sering BAK (poliuria), perubahan pola
berkemih, nocturia merupakan keluhan yang sering dirasakan
oleh pasien DM. Nyeri, panas dan kesulitan BAK merupakan
tanda adanya neurogenik bledder dan kemungkinan infeksi
saluran kemih. Pola BAB dapat dirasakan adanya keluhan
konstipasi, maupun diare. Pemeriksaan fisikyang didapatkan
pada pasien DM bisa ditemukan adanya penurunan atau
peningkatan bising usus, distensi abdomen, tahanan pada
bledder. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan
melihat fungsi ginjal (urium, kreatinin yang meningkat)
menunjukan adanya penurunan fungsi ginjal, pemeriksaan
makroskopik urine dapat ditemukan warna urine yang keruh
dan berbau sebagai tanda infeksi dan untuk memastikan
infeksi pada saluran kemih dapat dilakukan pemeriksaan kultur
urine.
-
Proteksi
Pengkajian perilaku berhubungan dengan proteksi meliputi
keluhan daya tahan tubuh yang menurun seperti sering demam,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
47
kelemahan, luka yang lama yang makin meluas. Kondisi kulit
yang kering,pecah,pecah dan bersisik serta adanya keluhan
gatal, menjadi resiko terhadap penurunan proteksi. Parastesia
akibat diabetic neuropati juga merupakan keluhan yang sering
dirasakan. Peningkatan resiko infeksi pada area genetalia dapat
ditemukan pada pasien DM wanita, ditemukan adanya
peningkatan sekresi vagina
-
Sensasi
Perubahan sensasi pada pasien DM terjadi akibat komplikasi
kronik. Adanya penurunan penglihatan dapat terjadi akibat
retinopati. Gangguan sensasi lain yang dapat ditemukan pada
pasien DM diantaranya penurunan terhadap sensasi nyeri,
perubahan suhu dan perubahan tekstur.
Pemeriksaan fisik terhadap penurunan sensasi
dilakukan
dengan menguji sensasi terhadap nyeri, suhu, serta perbedaan
kasar dan halus. Pemeriksaan menggunakan monofilament
10gr merupakan pemeriksaan level A yang direkomendasikan
pada pasien DM.
-
Fungsi Neurologi
Perubahan perilaku pada fungsi neurologi dapat dilihat
darimulai tingkat kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran
dapat
terjadi
pada
komplikasi
akut
hypoglikemia,maupun
coma akibat KAD
Gangguan
lain
neurologi
sebagai
dan HHNK.
komplikasi
didapatkan adanya neuropati motorik
seperti
kronik
(kaki charcot),
neuropathi sensorik (penurunan sensasi), neuropati otonom
(kulit kering, tidak ada rambut pada area kulit, gastropaty dan
neuropati
bleder).
Pemeriksaan
reflek
tendon
dalam
didapatkan penurunan reflek tendon dalam.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
48
-
Fungsi Endokrin
Perubahan fungsi endokrin pada pasien DM adalah adanya
penurunan
produksi
atau
sensitifitas
insulin
yang
mengakibatkan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan
protein. Perubahan perilaku yang dapat dilihat dan diukur
dapat terjadi pada semua fungsi seperti yang telah dijelaskan
pada fungsi-fungsi diatas.
b.
Mode Konsep Diri
Mode konsep diri merupakan bagian dari psikologis dan spiritual.
Kebutuhan psikologis yang merupakan respon psikologis
terhadap apa yang dirasakan dari perubahan fisik. Gangguan
psikologis tersebut dapat berupa, kecemasan, stress, ketakutan,
malu terhadap bentuk tubuhnya, beban financial, hingga
menyalahkan Tuhan, atau mempunyai persepsi yang salah yang
berkaitan dengan kepercayaannya. Perilaku yang dapat diamati
diantaranya, selalu menanyakan keadaannya, menolak untuk
bertemu dengan orang lain, hingga ditemukan adanya tanda
depresi.
c.
Mode Peran
Perubahan peran yang terjadi pada pasien DM dapat berupa peran
primer, sekunder maupun tersier. DM sebagai penyakit menahun
yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi kronis pada
akhirnya akan mengganggu peran dari pasien tersebut pada
kehidupan sehari-hari, terutama pada pasien DM yang dirawat di
rumah sakit dengan berbagai komplikasi.
d.
Mode Interdependensi
Pengkajian perilaku terhadap model interdependensi meliputi
hasil pengamatan dan ungkapan dari pasien DM tentang orang
lain yang bermakna, perilaku saling menghargai, mencintai dan
saling memperhatikan dari sistem pendukung yang dimiliki
(orang terdekat, keluarga). Pasien DM dengan berbagai
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
49
komplikasi kronik, mengalami perubahan peran cenderung
tergantung dengan orang terdekat. Dukungan yang tidak
didapatkan dengan baik, misalnya keluarga jenuh atau harus
menggantikan perannya, akan menimbulkan gangguan konsep
diri untuk pasien DM.
2.3.1.2. Pengkajian Stimulus
Pengkajian stimulus merupakan pengkajian tahap dua, untuk
mengetahui penyebab perubahan perilaku maladaptive yang di
dapatkan pada pengkajian tahap satu. Pada pesien DM stimulus fokal
yang merupakan stimulus langsung yang mempengaruhi adanya
perubahan perubahan perilaku pada ke 4 mode. Stimulus fokal
meliputi : usia, dimana usia diatas 30 tahun merupakan usia beresiko
untuk mengalami DM. Stimulus lain diantaranya, adanya riwayat
melahirkan dengan berat badan bayi yang dilahirkan lebih dari 4 kg,
obesitas dan hiperlipidemia. Pada pasien DM yang mengalami
komplikasi, stimulus fokal meliputi gula darah yang tidak terkontrol,
peningkatan metabolism yang disebabkan oleh infeksi, stress
psikologi, atau proses pembedahan. Pada mode konsep diri, peran dan
interdependensi fokal stimulus terjadi karena dirawat di rumah sakit,
berbagai komplikasi yang dialami proses kehilangan seperti amputasi.
Stimulus kontektual dan stimulus residual yang mempengaruhi
diantaranya adanya riwayat DM dalam keluaraga, riwayat perawatan
kesehatan sebelumnya, seperti diitnya, monitoring gula darah, olah
raga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Tingkat pendidikan dan
tingkat pengetahuan merupakan stimulus kontektual penting yang
mempengaruhi perubahan perilaku baik adaptif maupun maladaptive.
(Roy & Andrew, 1999; Doengoes, 2010).
2.3.2. Diagnosa keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien DM, maka
diagnose keperawatan yang dapat ditegakan adalah sebagai berikut (NANDA
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
50
2012-2014; Smeltzer & Bare, 2008; Doengoes, 2010; LeMone, 2011; Lewis,
2011).
2.3.2.1. Diagnosa Keperawatan pada Mode Fisiologi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi,
peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk.
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load.
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan
hambatan sirkulasi perifer.
d. Perubahan aktifitas fisik berhubungan dengan nyeri, perubahan
persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan
kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik.
e. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi,
peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses
infeksi).
f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas.
g. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic,
pengeluaran berlebi dari sistim pencernaan dan keterbatasan asupan.
h. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis
osmotic, proses infeksi.
i. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah.
j. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori,
perubahan kimia endogen.
k. Ketidakstabilan
kadar
gula
darah
berhubungan
dengan
ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses
infeksi dan perubahan status kesehatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
51
2.3.2.2. Diagnosa keperawatan pada Mode Konsep Diri
Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi
penyakit, kesalahan informasi.
2.3.2.3. Diagnosa Keperawatan pada Mode Peran
Perubahan fungsi peran berhubungan dengan krisissituasi, perawatan
yang lama dan keterbatasan fisik.
2.3.2.4. Diagnosa keperawatan pada Mode Interdependensi
a. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan dukungan sosial yang
tidak adekwat.
b. Tidak efektifnya managemen terapeutik berhubungan dengan kurang
pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi.
2.3.3. Intervensi Keperawatan
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi,
peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk.
Tujuan yang ingin dicapai jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak
ada keluhan sesak, batuk berkurang, suara nafas vesikuler, tidak ada tanda
kekurangan oksigen seperti sianosis, AGD dalam batas normal.
Intervensi yang ditetapkan meliputi kognator dan regulator: :managemen
respirasi : peningkatan kemampuan batuk, fisiotherapi dada, monitor
status respirasi, kolaborasi dalam management terapi oksigen.
2.
Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load.
Tujuan yang diinginkan adalah curah jantung adekuat ditandai dengan
peningkatan sirkulasi, nadi, tekanan darah dalam batas normal, tidak
didapatkan peningkatan vena jugularis, perfusi ke jaringan adekwat (akral
hangat, denyur perifer kuat).
Intervensi
keperawatan
yang ditetapkan (regulator
&kognator) :
Haemodinamik regulator, management energy, terapi oksigen, cardiac
care
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
52
3.
Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan
sirkulasi perifer.
Tujuan yang ingin dicapai adalah perfusi jaringan kearah perifer (kaki)
adekwat ditandai dengan akral hangat, pulsasi ke area kaki kuat dan
normal, ABI dalam batas normal, tidak terjadi proses penyembuhan luka
yang lambat. Intervensi yang ditetapkan : pemantauan sirkulasi, embolus
care : peripheral, peningkatan latihan fisik.
4.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi
sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan
kardiovaskuler, keterbatasan fisik.
Tujuan yang ingin dicapai : dapat menunjukan tingkat aktifitas yang
adekwat, ditunjukan dengan melakukan aktifitas sehari-hari secara
mandiri, menggunakan alat bantu dengan benar, melakukan mobilisasi
(berjalan, berpindah posisi dengan benar). Intervensi yang ditetapkan
meliputi : bedrest care, management energy, menegemen lingkungan, self
medication assisstent, self care assisstent, pain management.
5.
Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi,
peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi).
Tujuan yang ingin dicapai : Peningkatan energy yang ditandai dengan
kelelahan berkurang, melakukan aktifitas untuk perawatan diri tanpa
keluhan lelah. Intervensi yang ditetapkan : management energy,
progressive muscle relaksation.
6.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas.
Tujuan yang akan ditetapkan : status nutrisi adekwat, ditandai dengan
berat badan dipertahankan dalam batas ideal, gula darah terkontrol, kadar
lemak, protein dalam darah normal. Intervensi yang ditetapkan
managemen perubahan nutrisi, management nutrisi, terapi nutrisi,
konseling nutrisi, monitor nutrisi, management berat badan, menegement
hiperglikemia/hypoglikemik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
53
7.
Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic,
pengeluaran berlebih dari sistem pencernaan dan keterbatasan asupan.
Tujuan yang ingin ditetapkan : status cairan adekwat, ditandai dengan
intake dan output cairan seimbang, TTV dalam batas normal, turgor kulit
elastis, membrane mukosa lembab, elektrolit dalam batas normal.
Intervensi yang ditetapkan : managemen cairan dan elektrolit, monitoring
asam basa, monitoring cairan dan elektrolit, management asidosis
metabolic, management hyperglikemia.
8.
Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic,
proses infeksi.
Tujuan yang diinginkan pola eliminasi normal ditandai dengan tidak ada
keluhan nyeri saat berkemih, frekuensi berkemih berkurang, tidak ada
hematuri, hasil pemeriksaan urine tidak menunjukan ada tanda infeksi.
Intervensi yang ditetapkan : manajemen cairan, monitoring cairan,
management eliminasi urine, bladder training urine, pencegahan infeksi.
9.
Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah.
Tujuan yang ditetapkan infeksi tidak atau tidak meluas atau tidak terjadi
ditandai dengan status imun meningkat, nilai leukosit dalam batas normal,
tidak ada keluhan demam, area infeksi (ulkus, ISK, infeksi pernafasan)
mengalami proses penyembuhan. Intervensi yang ditetapkan meliputi :
management
pencegahan
infeksi,
management
control
infeksi,
management nutrisi, management luka, management medikasi.
10. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan
kimia endogen.
Tujuan yang diinginkan tidak terjadi injuri seperti tidak terjadi ulkus, atau
bahaya jatuh. Intervensi yang ditetapkan ; monitor fungsi neurologi,
management neuropati perifer, edukasi perawatan kaki dan penggunaan
alas kaki, edukasi berhenti merokok, pencegahan terhadap bahaya jatuh,
management lingkungan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
54
11. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan
management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status
kesehatan.
Tujuan yang ditetapkan gula darah stabil yang ditandai dengan gula darah
terkontrol dalam batas normal, tidak terjadi komplikasi DM akut :
KAD,HHNK atau hypoglikemi. Intervensi yang ditetapkan monitoring
gula darah, monitoring cairan, management hyperglikemia, management
pengobatan, management nutrisi, edukasi pada nutrisi, pengobatan,
management perilaku.
12. Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit,
kesalahan informasi.
Tujuan yang ditetapkan pasien dapat beradaptasi terhadap
kondisi
kecemasannya, yang ditunjukan dengan peningkatan terhadap kontrol
kecemasannya, mampu mengungkapkan penyebab cemas, mampu
merencanakan strategi koping yang akan digunakan. Intervensi yang
ditetapkan menurunkan kecemasan, konseling, management energy,
management lingkungan, management koping, management distraksi.
13. Tidak efektifnya management terapeutik berhubungan dengan kurang
pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi.
Tujauan yang diinginkan pasien mampu beradaptasi pada management
terapi yang ditetapkan, meliputi menunjukan perilaku mengikuti diit,
pengobatan yang ditetapkan. Intervensi yang ditetapkan : modifikasi
perilaku, tingkatkan koping, konseling penatalaksanaan DM, beri
dukungan sosial, edukasi group, management efikasi, follow up melalui
telepon.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
55
BAB 3
PENERAPAN MODEL ADAPTASI ROY PADA ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN KLIEN DIABETES MELLITUS KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG
Pada BAB 3 ini, akan diuraikan hasil asuhan keperawatan dan analisis pada klien dengan
diabetes mellitus (DM) dengan abses punggung dan resiko tinggi ulkus diabetik sebagai
kasus kelolaan utama dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Uraian
selanjutnya setelah pembahasan kasus kelolaan utama, praktikan juga menganalisa 32
kasus kelolaan lain yang praktikan lakukan selama praktikan menjalankan praktek
residensi 1 dan 2.
3.1.Deskripsi kasus kelolaan utama
Kasus dialami oleh seorang klien berinisial Ny.Sh usia 66 tahun, status perkawinan
menikah dengan 2 anak yang telah berumah tangga, pendidikan SLTP, aktifitas sehari
hari sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di Depok. Klien masuk rumah sakit
(RSUPF) pada tanggal 8 Oktober 2011 melalui UGD dan tiba di ruang teratai lantai 5
Selatan pada tanggal 9 Oktober 2012 pukul 17.15 WIB. Pengkajian dilakukan pada
tanggal 10 Oktober 2011. Alasan keluarga membawa klien ke rumah sakit, karena
klien mengalami bisul (abses) di area punggung sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Timbul bisul tersebut pada awalnya klien merasakan gatal di punggung, digaruk
dan timbul kemerahan dan bisul kecil yang makin lama makin membesar. Keluarga
sudah membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan, mendapatkan obat antibiotic
dan anti nyeri namun tidak ada proses penyembuhan, bahkan semakin besar, klien
merasakan nyeri, demam dan tidak bisa tidur selama 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Abses mengeluarkan nanah yang terus menerus, berbau sehingga klien
merasakan tidak nyaman.
Tindakan yang dilakukan di UGD diantaranya, dilakukan penggantian balutan,
dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu dengan hasil 466 mg/dL dan pemeriksaan
darah lengkap. Obat yang diberikan ke pada klien saat di UGD adalah anlgetik
suppositoria (propenid),
diberikan insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam
dengan dosis dimulai 5 unit dan naik 5 unit setiap kenaikan gula darah 50 mg/dL
dimulai dari nilai gula darah 201 mg/dL. Pengkajian terhadap riwayat kesehatan
sebelumnya, klien telah menderita DM sejak 10 tahun yang lalu, pernah mengalami
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
56
amputasi pada kaki kanannya 3 tahun yang lalu kerena ulkus. Penatalaksanaan DM
yang klien lakukan dengan minum obat metformin 500 mg dan glibenklamid yang
terkadang dibelinya sendiri, karena klien tidak control ke dokter teratur. Riwayat
kesehatan keluarga didapatkan kakak klien yang pertama juga menderita DM dan saat
ini mengalami stroke. Hasil pemeriksaan gula darah suami klien setahun yang lalu juga
mengalami peningkatan lebih dari 200 mg/dL, namun tidak ditindaklanjuti untuk
pengobatan.
3.2.Penerapan Model Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada semua klien kelolaan yang praktikan
lakukan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy, yang dilakukan secara holistic
dan komprehensif dimulai dari tahap pengkajian hingga evaluasi. Hasil akhir dari
asuhan keperawatan ini, diharapkan klien mampu beradaptasi dengan berbagai
gangguan pemenuhan kebutuhan, baik fisiologi, konsep diri, peran maupun
interdependensi.
3.2.1. Pengkajian Perilaku dan stimulus
3.2.1.1. Mode Adaptasi Fisiologi
1. Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem
kardiovaskuler, perfusi).
Pengkajian pada perilaku oksigenasi diperoleh data : tidak ada keluhan pada
sistem pernafasan seperti batuk, sesak kesulitan bernafas serta nyeri dada saat
istirahat, beraktifitas maupun bernafas. Namun klien merasakan badannya
lemas, sering pusing, terutama berubah posisi dari tiduran ke duduk. Sirkulasi
ke perifer didapatkan tidak ada keluhan nyeri pada area kaki, baik saat
beraktifitas maupun saat istirahat (nyeri claudikasio). Terkadang klien
merasakan dingin pada area telapak atau punggung kaki, terutama pada malam
hari. Untuk mengatasi dingin ini, klien selalu menggunakan kaos kaki jika
tidur.
Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva klien tampak pucat, tidak
ditemukan adanya sianosis pada kulit maupun area bibir, tidak menggunakan
otot bantu pernafasan, RR : 18 x/mnt irama teratur, suara nafas vesikuler di
semua area lapang paru, capilari refile < 3dtk, nadi radialis : 78x/mnt irama
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
57
teratur pulsasi kuat, TD : 140/90 mmHg, HR : 80x/mnt teratur. Suara jantung 1
& 2 terdengar normal dan tidak terdengar suara jantung tambahan dengan
denyut apikal 84 x/mnt, teratur. Hasil pemeriksaan EKG di dapatkan sinus
rhytem, Gelombang QRS normal diikuti gelombang P, tidak ditemukan adanya
T inverted, ST elevasi/depresi dan Q patologis. Perabaan pada kedua ekstemitas
bawah hangat, tidak ditemukan edema pada kedua tungkai. Hasil pemeriksaan
vaskularisasi kearah ekstremitas bawah dengan menggunakan Ankle Brachial
Index (ABI), didapatkan :
Table 3.1.
Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI)
Arteri
dorsalis
pedis
Arteri
tibialis
posterior
Kaki kanan
Kaki kiri
Palpasi
Nd : 84x/mnt ,
pulsasi kuat
Nd : 82/mnt
pulsasi kuat
TD Sistolik
(mmHg)
Palpasi
130mmHg
130 mmHg
Pulsasi kuat
Pulsasi kuat
130 mmHg
130 mmHg
130 mmHg
140 mmHg
0.93
0.93
TD Sistolik
(mmHg)
TD Sistolik Arteri
Brachialis (mmHg)
Ankle Brachial Index
(ABI)
Stimulus Fokal :
Luka abses diarea punggung mengeluarkan eksudat seropurulen, jumlah banyak
(balutan penuh dan harus diganti 2 kali sehari)
Hb :
10.3 g/dL. Hematokrit :30,4%. Eritrosit :
4.45 /µL. AGD (tidak
diperiksa), Foto thoraks menunjukan hasil CTR > 50 %, pulmonal normal,
tidak ada tanda infiltrat. ECHO (10 Oktober 2011) : EF : 72,4 %, LV
kontraktilitas normal, fungsi diastolik normal, katup morfologi normal.
Stimulus Kontekstual & Residual
Usia klien 66 th, riwayat DM 10 tahun, riwayat hipertensi 3 tahun namun tidak
terkontrol, mempunyai keturunan DM & hipertensi. Pengetahuan klien dan
keluarga terhadap penatalaksanaan DM dan hipertensi masih kurang (diit,
aktifitas, terapi, komplikasi, dll).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
58
Penatalaksanaan yang didapatkan saat ini rencana pemberian PRC500 cc
Captopil 2x12,5 mg
2. Nutrisi
Klien mengatakan sejak 2 minggu terakhir nafsu makannya menurun,
merasakan mual, makan hanya ½ porsi dari porsi biasanya, menurut klien, ia
tidak nafsu makan karena merasakan nyeri pada area punggungnya & bau amis
dari luka.
Sebelumnya klien makan tidak pernah banyak (nasi 1 centong). Jika klien
makan banyak, ia akan merasakan begah pada perutnya. Untuk memenuhi
kebutuhan nutrisinya (rasa lapar) klien sering
ngemil. Walaupun klien
didiagnosa DM sejak 10 tahun yang lalu, namun klien tidak pernah mengatur
makanan sesuai diit. Yang klien ketahui tentang diit DM hanya mengurangi
nasi saja, bahkan suami klien selalu membuatkan susu kedelai dengan
menggunakan gula setiap hari.
Sejak amputasi 3 th yang lalu, seharusnya klien dianjurkan untuk menggunakan
insulin, karena harga insulin mahal, klien tidak melanjutkan penggunaan
insulin, dan menggantinya dengan OHO (Metformin 500 mg & glibenclamid)
yang diminum tidak teratur.
BB klien : 56 kg TB : 155 cm, IMT 23 , mukosa mulut lembab, tidak ada
stomatitis, terdapat karies gigi, kemampuan mengunyah baik, abdomen flet,
lunak tidak teraba pembesaran hepar bising usus 12 x/mnt.
GDS (8/10/2011): 466 mg/dL, tanggal 10/10/2011: hasil scleding scale
menunjukan hasil GD yang tidak fluktuatif terendah 142 dan tertinggi 219
SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, Glukosa urine (+++), HbA1C: 12,7 %,
Trigliserida : 80mg/dL, kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47
mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL
Penatalaksanaan yang diberikan untuk kebutuhan nutrisi adalah
diit lunak
1500 kalori yang dibagi dalam 3 porsi besar (makan pagi, siang & sore) 3 porsi
kecil/snack (jam 09.00, 15.00 dan 21.00 WIB). Pemberian insulin (Actrapid)
ditetapkan dengan dosis 3x8 unit & monitoring GD dilakukan KGDH/hari.
Therapy lain yang diberikan OMZ : 1x20 mg dan Donperidon 3 x 1 amp
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
59
Stimulus fokal :
Ketidakseimbangan regulasi insulin yang ditandai dengan peningkatan
guladarah sewaktu (GDS saat masuk 466mg/dL) dan gula darah yang tidak
terkontrol dalam 3 bulan terakhir ditandai dengan HbA1C: 12,7%. Resiko
gangguan nutrisi dapat terjadi pada klien akibat asupan nutrisi yang kurang
akibat penurunan nafsu makan dan mual.
Stimulus kontekstual dan residual
Usia 66 th, mempunyai riwayat DM 10 th, 3 th yang lalu pernah dirawat
dengan ulkus kaki diabetic dan dilakukan amputasi, namun tidak mengetahui
diit yang sesuai, pengobatan DM tidak terkontrol, disebabkan pengetahuan &
motivasi terhadap diit & pengobatan belum difahami. Sebelum klien
mengalami DM, klien pernah mempunyai BB 80 kg (obesitas). Pengetahuan
keluarga tentang penatalaksanaan DM juga masih kurang, terbukti keluarga
menyediakan susu kedelai dengan gula setiap hari. Dukungan keluarga terhadap
pengobatan juga kurang optimal yang dilihat dari pengobatan insulin tidak
dilanjutkan dengan alasan keuangan.
3. Eliminasi
Klien mengatakan tidak ada perubahan pada pola BAB maupun BAK. Klien
biasa BAB 1 x sehari tanpa pencahar, faeses lunak warna khas. BAK 7-8 kali
sehari, BAK malam 2-3x, urine berwarna kuning jernih, tidak ada nyeri ketika
mulai maupun saat BAK. Tidak menggunakan kateter urine, tidak teraba blass
pada area simpisis, maupun masa dan nyeritekan pada abdomen bawah. Bising
usus 12 x/mnt. Hasil pemeriksaan urinalisa di dapatkan protein urine (++), tidak
ditemukan adanya leukosit dan eritrosit dalam urine, berat jenis 1.020 di
dapatkan adanya keton dalam urine yaitu (++). Hasil pemeriksaan fungsi ginjal
didapatkan nilai urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 0.5 mg/dl, CCT : 56.6 ml/menit
Stimulus fokal : Ketonuria yang terjadi disebabkan adanya pemecahan lemak
sebagai sumner energy (glukoneogenesis) yang menghasilkan asam lemak atau
ketone, selanjutnya keton ini diekskresikan melalui system ginjal dan keluar
bersama dengan urine. Dari hasil CCT di dapatkan adanya penurunan fungsi
ginjal yang kemungkinan terjadi nefropathy.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
60
Stimulus kontekstual & residual : Riwatay DM selama 10 tahun, tidak
terkontrol, hipertensi selama 3 tahun terakhir yang juga tidak terkontrol.
Pengetahuan klien terhadap komplikasi kronik DM kurang.
4. Cairan dan Elektrolit
Klien minum 2 blt air mineral (@ 600cc) dalam sehari, BAK 4-5 kali pagi
hingga sore dan malam 2-3 kali, jumlahnya diperkirakan 2/3 gelas air mineral.
Selama dirawat tidak merasakan perubahan dalam kebutuhan minum maupun
pengeluaran cairan. Tidak ada muntah, berkeringat berlebihan maupun diare,
namun klien merakan demam
Mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, tidak didapatkan odema pada
ekstremitas maupun odema anasarka, TD: 140/90mmHg, Nadi radialis :
78x/mnt pulsasi kuat, suhu 37,9° C. Urine tampung dalam 24 jam : 1500 cc,
minum 1200 cc, Produksi eksudat dari abses + 200-300 cc setiap ganti balutan.
Hasil pemeriksaan elektrolit : Na :137, Kalium : 4.79 mEq/L, Clorida :
mEq/L, Urium :
13 mg/dl, Kreatinin:
96
0.5 mg/dl. Penatalaksanaan yang
diberikan IVFD: NaCl 1000 cc/24 jam.
Stimulus fokal, kontekstual & residual : tidak ditemukan
5. Aktifitas Istirahat
Aktifitas klien untuk pemenuhan nutrisi, eliminasi, mampu dilakukan secara
mandiri (bantuan minimal karena menggunakan infuse). Mobilisasi terutama
saat tidur hanya bisa dengan miring ke kiri, karena pada punggung kanan
terdapat abses, sehingga untuk miring kanan & supine klien merasakan nyeri.
Sudah 1 minggu tidur malam klien terganggu karena nyeri yang dirasakan.
Klien tidur rata-rata 5-6 jam, namun, sering terbangun (tidak lelap) karena
nyeri. Setelah dirawat di rumah sakit,nyeri yang dirasakan berkurang, karena
mendapatkan obat anti nyeri dan ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan
tidurnya.
Aktifitas berjalan mampu dilakukan oleh klien namun dengan perlahan, karena
pada 1/3 distal telapak kaki (metatarsal) kanan klien telah diamputasi 3 tahun
yang lalu. Hasil observasi terlihat saat turun dari tempat tidur kaki kanan
digunakan sebagai tumpuan. Kaki kiri tidak ada kelainan bentuk. Kekuatan otot
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
61
pada ekstremitas atas dan bawah 5 (mampu melawan grafitasi dan mampu
melawan tahanan)
Gambar 3.1.
Photografi kaki Ny. S
Kaki kanan
Kaki kiri
Stimulus fokal, kontektual dan residual : tidak ditemukan
6. Proteksi (proses imunitas, integumen, rambut, kuku, perubahan suhu, trauma)
Rambut dan kulit klien kotor, lengket & berbau keringat ,karena selama di IGD
tidak dibersihkan. Tidak ada keluhan keputihan maupun gatal-gatal pada area
vagina & lipatan femur. Tampak abses yang terbalut pada regiodorsal thorakal
X- XII sejajar midklavikula dengan balutan yang basah (terdapat rembesan
pus), berbau khas pus. Suhu aksila 37.9ºC, leukosit 18.400/mm3. Hasil culture
luka didapatkan leukosit banyak/LPB, ditemukan bakteri gram positif Coccus.
Gambar 3.2.
Photografi Abses punggung Ny. S
Luka derajat III, dimana luka mengenai jaringan otot, mengeluarkan exudat
purulen kira-kira 300cc, bau exudat khas,tercium pada jarak 1 lengan. Dasar
luka berwarna putih, terdapat slough, luas luka 4x5x3cm dengan goa arah jam
12 hingga jam 09, panjang 3 cm, luas eritema luka : 12x 8 cm.
Kaki kanan terdapat kalus pada area plantar, terdapat ulkus pada area tengan
kalus, dengan kedalaman 7 mm berwarna merah dan basah. Saat turun dari
tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Saat berjalan di dalam
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
62
rumah klien tidak menggunakan alas kaki & jika berjalan diluar rumah, klien
menggunakan alas kaki (sandal) yang dimodifikasi menggunakan tali karet
sebagai pengikat.
Dari hasil pengkajian kaki didapatkan adanya penurunan sensasi pada kedua
kaki, kulit kaki kering dan berkilap.
Gambar 3.3.
Photografi Pengkajian kaki Ny. S
Table 3.2. Pengkajian kaki
Kaki Kanan
Ya
Kallus
Corns
Bunions
Hammer toes
Amputasi:
ï‚· Minor ( jari/ pedis )
ï‚· Mayor ( below knee/ above knee )
Kaki charchot
Kuku
ï‚· Penebalan
ï‚· Infeksi jamur
ï‚· Tumbuh ke dalam
Kulit
ï‚· Perabaan kaki dingin
ï‚· Kulit berkilap
ï‚· Kulit kering
ï‚· Atrofi lemak sub kutan
ï‚· Rubor
ï‚· Pucat pada elevasi
ï‚· Rambut kaki
Tidak
Kaki Kiri
Ya

Tidak













-

















Stimulus fokal :
Gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan system imun,
penurunan vaskuler ,sehingga jika terjadi luka akan lebih mudah terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
63
penyebaran infeksi. Hb dan albumin yang rendah akan mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
Adanya riwayat amputasi kaki karena ulkus & adanya kalus dengan menurut
Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 Ny. S masuk dalam
katagori 3 ( resiko sangat tinggi), yang harus memeriksakan kakinya setiap 1- 3
bulan, namun belum pernah dilakukan.
Stimulus kontekstual & residual
Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, perawatan luka, perawatan
kaki : mencegah terjadinya kalus, mengurangi kalus, penggunaan alas kaki
belum diketahui seluruhnya oleh klien. Nyeri yang dirasakan saat mengganti
balutan, membuat klien takut untuk ketika akan diganti balutannya.
7. Sensori (Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau, nyeri)
Tidak ada gangguan pendengaran. Mengatakan pandangan terasa lebih buram
terutama pada mata kiri, tidak dapat membaca tulisan dengan font 12 pada
jarak 10 cm, hanya tampak bayang-bayang saja. Pada mata kanan masih
mampu membaca dengan jarak 30 cm dengan besar huruf 16.
Merasakan nyeri pada area luka dengan intensitas sedang dan semakin nyeri
saat balutan dibanti. Baal atau kebas pada area telapak kaki kiri. Dilakukan
pemeriksaan sensitifitas dengan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan
salah dalam mempersepsikan sensasi tajam dan tumpul pada area telapak kaki
kanan dan kiri.
Stimulus fokal :
Penurunan sensasi terutama pada area perifer disebabkan karena adanya
komplikasi neuropathi sensori perifer. Penurunan tajam penglihatan merupakan
komplikasi DM pada mata yang disebut retinopathy. Komplikasi yang terjadi
pada DM akibat lamanya menderita DM (10 th) dan gula darah yang tidak
terkontrol (> 6.5%)
Stimulus kontekstual & residual :
Pengetahuan yang kurang mengenai DM & komplikasinya. Penatalaksanaan
DM yang belum adekuat.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
64
8. Fungsi Neurologi (Syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi)
Klien dapat berorientasi terhadap orang,waktu dan tempat dengan baik, tidak
ada gangguan pada XII saraf kranial, fungsi motorik menurun karena
keterbatasan energi, sensorik , memori dan bahasa tidak ada gangguan. Reflek
patela (+/+), reflek ackhiles (+/+), Monofilament 10 gr (-/-)
Stimulus fokal : neuropathy perifer
Stimulus kontekstual & residual
Riwayat DM yang tidak terkontrol, pengetahuan terhadap perawatan kaki yang
kurang
9. Fungsi Endokrin
Hiperglikemia , tidak didapatkan pembesaran kelenjar thyroid, sudah
menopause (menurut klien sudah lebih dari 10 th)
Stimulus fokal : resistensi insulin/ketidakcukupan insulin ditandai dengan
GDS : 466 mg%, HbA1C : 12,7%
Stimulus kontekstual & residual
Pengetahuan tentang penatalaksanaan DM yang belum semuanya diketahui,
adanya perasaan bosan untuk berobat & sumber dana yang semakin berkurang,
riwayat keluarga ada yang mengalami DM
3.2.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri : Physical self (memandang diri sendiri,
berhubungan dengan kehilangan) & Personal self (konsistensi; ideal diri, moral,
etik, spiritual, seksual, cemas, takut)
Menurut klien setelah telapak kakinya diamputasi, klien lebih banyak dirumah, hal
ini disebabkan karena pergerakan klien menjadi terbatas dan klien malas ditanya–
tanya oleh tetangganya tentang kakinya. Spiritual klien : menyatakan untuk ibadah
wajib & sunah selalu dilaksanakan, namun pengajian sudah tidak diikuti lagi. Saat
ini klien ingin menjalankan ibadah wajib, namun klien ragu karena lukanya selalu
mengeluarkan kotoran. Klien yakin bahwa sakit yang dialami merupakan teguran
dari Tuhan, agar lebih taat menjalankan perintahNya. Klien juga meyakini bahwa
kekuasaan Tuhan akan membantu kesembuhannya, oleh sebab itu, walaupun ia
ragu menjalankan sholat, namun ia tetap berdzikir.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
65
Aktifitas seksual (suami istri) hampir tidak pernah dilakukan, karena merasa sudah
tua. Menurut klien dan suaminya, kebutuhan tersebut sudah tidak penting lagi.
Mereka mengekspresikan kebutuhan seksual dengan saling menyayangi, saling
merawat, karena mereka hanya tinggal berdua saja. Saat ini yang diinginkan
kesembuhan terhadap kondisi absesnya, ada ketakutan akan bertambah luas karena
klien mempunyai DM dan pengalaman luka dikaki 3 tahun yang lalu merupakan
pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien. Pengalaman terhadap nyeri
yang dirasakan saat mengganti balutan juga mempengaruhi kecemasan klien saat
akan diganti balutan. Namun karena produksi cairan eksudat yang banyak serta
ingin sembuh, mampu menghilangkan rasa cemas akan nyeri yang dirasakan.
Produksi eksudat yang berbau membuat klien menginginkan pindah tempat ke
posisi diujung kamar dengan alasan agar klien lain dikamar tersebut tidak kebauan.
Harapan klien saat ini proses penyembuhan luka di punggungnya mengalami
kemajuan. Ia yakin dengan pelayanan kesehatan di RSUPF dan tenaga kesehatan
yang merawatnya
Stimulus Fokal : adanya abses di punggung, yang tidak sembuh–sembuh,
mengeluarkan eksudat dan berbau. Perubahan bentuk kaki paska amputasi
menyebabkan keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Stimulus kontekstual dan residual :
Pengalaman ulkus kaki sebelumnya,
pengalaman nyeri pada saat di lakukan ganti balutan sebelumnya. Aktifitas klien
sebelum dilakukan amputasi (aktif dikegiatan kemasyarakatan, mempunyai
aktifitas berdagang dan mempunyai pendapatan sendiri). Keyakinan diri klien
terhadap proses penyembuhan luka dan dengan tempat serta petugas kesehatan
yang menangani.
3.2.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran
Klien adalah seorang istri & ibu dari 2 anak dimana kedua anaknya sudah menikah
dan tidak tinggal dengan klien. Ia hanya tinggal berdua suaminya yang sudah
pensiun. Kegiatan sehari-hari melakukan aktivitas rumah tangga (memasak,
membersihkan rumah, dll) dibantu oleh suaminya. Saat ini klien selalu ditunggu
oleh suaminya, dan untuk peran sehari–hari digantikan oleh suami dan anak klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
66
Stimulus kontekstual dan residual : merasakan nyeri akibat abses dan harus
dirawat dirumah sakit.
3.2.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi (fokus: interaksi saling memberi/menerima,
cinta kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Keseimbangan antara
ketergantungan dan kemandirian)
Saat ini kebutuhan dan aktifitas klien dibantu oleh suami & anaknya . Secara
bergantian keluarga (anak) dan suami klien menjaga klien di rumah sakit. Klien
juga terlihat mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya yang ia bisa
lakukan, seperti makan dilakukan sendiri, menurutnya ia juga tidak mau
sepenuhnya tergantung dengan orang lain. Dalam menentukan pengobatan seperti
keputusan untuk menggunakan jenis balutan, apa saja kebutuhan yang harus ada
saat dirumah sakit hingga keuangan, klien berperan dalam membuat keputusan.
Stimulus kontektual dan residual : abses di punggung, nyeri yang dirasakan,
dirawat dirumah sakit.
3.2.2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian mode adaptif pada kasus diatas, dapat dianalisis terjadi
inefektif pada mode fisiologi meliputi mode nutrisi, proteksi, sensasi, neurologi,
endokrin dan pada mode konsep diri. Perubahan adaptasi atau inefektif pada mode
adaptif tersebut dapat ditegakkan diagnose keperawatan sebagai berikut :
Mode Fisiologis
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi
2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah,
penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan
sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan
yang tidak adekwat, ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak dan kesulitan
ekonomi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
67
Mode konsep diri dan mode Interdependensi
1.
Kesiapan meningkatnya koping individu
2.
Kesiapan meningkatnya religiositas.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
68
Tabel 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan
3.2.3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Nama Klien
Umur Klien
No
1
: Ny.S
: 66 tahun
Perilaku
Stimulus
Fungsi
Fisiologis
:
Proteksi
Data subyektif:
ï‚· Abses
pada
area thorakal
X-XII sejajar
midklavikula
derajat
3,
dengan
leukositosis
ï‚· Nyeri
pada
luka
skala
sedang
ï‚· Demam
Stimulus Fokal :
Terjadi abses yang
semakin
meluas,
mengeluarkan pus,
GD meningkat &
leukositosis
Data obyektif:
Stimulus
kontekstual
&
residual :
Riwayat DM 10
tahun, gula darah
tidak
terkontrol
HBA1C :12,7 %
Pengetahuan klien
terhadap
penatalaksanaan
DM,
komplikasi,
perawatan
luka,perawatan kaki
No. Rekam Medis
Diagnosa Medik
Diagnosa
Keperawatan
Resiko
perluasan
Infeksi
berhubungan
dengan
hiperglikemia,
rendahnya
resistensi
terhadap stres,
penyembuhan
luka
yang
memburuk
Tujuan
Tujuan:
Setelah dilakukan
asuhan
keperawatan
selama 10 x 24 jam
diharapkan
klien
akan
beradaptasi
dengan
perilaku
terhadap proteksi
Kriteria Hasil
ï‚· Tidak terdapat
jaringan
nekrotik
ï‚· Luka tidak ada
pus dan tidak
bau
ï‚· Leukosit dalam
batas
normal
(4.000
–
11.000/mm3)
ï‚· Suhu
tubuh
dalam
batas
Rencana Intervensi
: 1094672
: DM Tp2 & Abses
Evaluasi
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan dan dievaluasi
1. Hyperglicemia
setiap 3x24 jam dan
modifikasi
management (metabolic dilakukan
intervensi
keperawatan
(27
control)
Oktober
2011),
maka
diperoleh
:
2. Management
Luka
(wound and infection
Perilaku adaptif :
control)
Klien mengatakan luka
3. Vascular control
dipunggung sudah tidak
4. Education
nyeri lagi, dasar luka merah
muda & terjadi granulasi,
Aktivitas keperawatan
produksi
cairan
luka
Regulator :
minimal (cairan serous
ï‚· Monitor gula darah
bening), leukosit 5.600/ul,
ï‚· Monitor TTV, terutama suhu klien & keluarga aktif dalam
ï‚· Monitor GD/ hari sesuai kegiatan program edukasi
program
DM.
ï‚· Monitoring tanda perluasan
infeksi pada area luka: pus Perilaku inefektif
yang bertambah, adanya luka Klien & keluarga belum
NIC:
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
69
Luka
mengeluarkan
pus,berbau khas
gangren,nekroti
k pada digiti IV,
kedalaman luka
belum
dapat
dinilai bergaung
menembus dari
digiti III
normal (36 –
37oC)
ï‚· Penyembuhan
luka:
regenerasi sel
dan jaringan
diikuti
penyembuhan
luka
ï‚· Klien
menunjukan
perilaku
untukmenurun
kan
resiko
perluasan
infeksi
ï‚· Pengetahuan
terhadap
penatalaksanaa
n
DM,
pencegahan
penyebaran
luka
meningkat
yang meluas
ï‚· Lakukan perawatan luka
dengan
prinsip
streril,
lembab setiap hari atau jika
balutan jenuh
ï‚· Pantau hasil laboratorium
terhadap
peningkatan
leukosit, hasil kultur
Kolaborasi :
ï‚· Berikan
insulin
sesuai
program 3x8 ui
ï‚· Pemeriksaan kultur dari
jaringan luka
ï‚· Pemberian antibiotic :
ï‚· Ceftriaxon 2 x 2 gr
ï‚· Metronidazol : 3 x 500
mg
ï‚· Kolaborasi untuk persiapan
debridement: fisik, mental &
administratif
ï‚· Kaji respon klien terhadap
terapi: penurunan produksi
pus, penurunan leukosit
Kognator
ï‚· Motivasi
klien
untuk
menjaga
stabilitas
gula
darah: nutrisi, penurunan
kecemasan
ï‚· Informasikan kepada klien &
klg
untuk
menjaga
kebersihan area sekitar luka
ï‚· Informasikan kepada klien
berani melakukan perawatan
luka secara mandiri
Luka
bergranulasi,namun
belum pada tahap epitelisasi
Analisa :
Masalah penyebaran infeksi
tidak
terjadi,
perilaku
adaptif
belum
tercapai
seluruhnya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
70
untuk mengurangi tekanan
pada area luka
2
Perubahan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
defisiensi
glukosa
pada
Stimulus
tingkat
sel
Kontekstual
& skunder
Residual :
ketidakcukupan
Riwayat DM sejak insulin
10 th yang lalu tidak
terkontrol,
pengetahuan tentang
nutrisi untuk DM :
Data Obyektif:
hanya mengurangi
ï‚· Pemeriksaan
GDS tanggal nasi saja (jumlah,
&
1/10’11: 531 jenis
jadwal)belum
mg/dl
diketahui
dengan
ï‚· Pemeriksaan
baik
GD/6 jam :
fluktuatif
&
jam 16.00: 325
mg%
ï‚· Klien hanya
menghabiskan
porsi diet yang
diberikan dari
rumah sakit
Fungsi
Fisiologis
:
Nutrisi
Data Subyektif:
ï‚· Nafsu makan
menurun mual
ï‚· Makan ratarata habis 2/3
porsi selama 3
hari terakhir
karena
merasakan
nyeri
pada
abses
Stimulus Fokal
GDS 466 mg% dan
HbA1C :12.7 %,
KGDH : 204 mg%,
305mg% & 219
mg% BB: 56 kg TB
155 cm.
Tujuan Umum
Kebutuhan nutrisi
terpenuhi setelah
dilakukan tindakan
keperawatan
selama
7 hari,
yang
ditunjukan
dengan :
NIC
 Kontrol
metabolic
(hiperglikemia)
 Edukasi
Aktifitas keperawatan
Regulator
ï‚· Timbang berat badan klien
sesuai indikasi
ï‚· Tentukan program diet
kolaborasi dengan ahli gizi
:1500kal dibagi dalam 3
porsi besar & 3 porsi kecil
ï‚· Auskultasi bising usus,
catat
adanya
nyeri
abdomen, perut kembung,
mual, muntahan makanan
yang belum sempat dicerna
ï‚· Identifikasi makanan yang
disukai termasuk kebutuhan
etnik/cultural
dan
lingkungan
yang
menyenangkan saat makan
ï‚· Observasi
tanda-tanda
hipoglikemia
Kriteria hasil
ï‚· Asupan
makanan, cairan
dan zat gizi
terpenuhi
ï‚· Klien
dapat
menjelaskan
komponen
keadequatan
diet
ï‚· Menyatakan
keinginan untuk
mengikuti diet
ï‚· Bertoleransi
terhadap
diet
yang dianjurkan
ï‚· Membertahanka Kognator
n massa tubuh ï‚· Ajarkan
metoda
dan berat badan
perencanaan makan pada
normal
klien dan keluarga
ï‚· Nilai
ï‚· Jelaskan sumber makanan
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 21 hari
(hingga
tanggal
27
Oktober)
&
dievaluasi
setiap 3 x 24 jam serta
dilakukan modifikasi, maka
di dapatkan hasil :
Perilaku adaptif :
Klien mengatakan makan
habis sesuai porsi yang
disediakan, makan sesuai
jadwal
yaitu 15 menit
setelah diberikan insulin,
Regulasi gula darah tercapai
dengan control insulin 3 x 8
unit,
keluarga
(suami)
mampu
menggunakan
insulin sendiri & glukotes
sendiri.
KLien mampu menyebutkan
diit yang dianjurkan dari
jenis, jumlah & jadwalnya
Perilaku inefektif :
Klien masih tergantung
dengan keluarga dalam
pengaturan diit & motivasi
masih rendah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
71
ï‚· BB : 56, TB:
155
cm.
LILA: 22 cm
3
Fungsi
Fisiologis :
Aktifitas
ï‚· Mempunyai
riwayat
amputasi 3
tahun yang
lalu pada 1/3
distal
metatarsal
ï‚· Berjalan
menjadi
lebih pelan,
kaki kanan
sering
menjadi
laboratorium
bergizi yang terjangkau
albumin,
bagi klien dan sesuai diit
glukosa darah ï‚· Informasikan
tentang
dalam
batas
kebutuhan
nutrisi
dan
normal
bagaimana memenuhinya
ï‚· Melaporkan
ï‚· Libatkan keluarga klien
keadequatan
dalam perencanaan makan
energy.
Kolaborasi
ï‚· Lakukan pemeriksaan gula
darah sesuai program :
KGDH
ï‚· Berikan pengobatan insulin
sesuai program : 3 x 8 ui
ï‚· Berikan Donperidon 3 x 1
amp & OMZ 1 x 20 mg
Resiko Injuri : Tujuan umum :
NIC
trauma
jatuh, Injuri tidak terjadi,  Environmental
perubahan
ditunjukan dengan
managemen : Safety
anatomis kaki  Klien mampu  Mechanical control
(chatcot), kalus
mengurangi
& ulkus b.d.
tekanan
pada Aktifitas Keperawatan
penurunan
Regulator
kaki kanan
sensasi,
ï‚· Ciptakan lingkungan yang
ï‚· Keluarga
perubahan kimia
aman bagi klien
mampu
endogen
menyebutkan
ï‚· Identifikasi kebutuhan
ketidakseimbang
criteria
keamanan klien
an
glukosa
Stimulus
lingkungan
berdasarkan tingkat fisik
kontekstual
& insulin
yang aman &
dan fungsi kognitif dan
residual:
memberikan
perilaku
Riwayat DM 10
lingkungan
ï‚· Tempatkan alat-alat yang
tahun
tidak
yang
aman
sering digunakan dalam
Stimulus Fokal
Penggunaan
kaki
kanan
sebagai
penumpu
menyebabkan
timbulnya
kalus&
perawatan
yang
tidak
sesuai
menimbulkan ulkus
pada area kalus
Setelah dilakukan asuhan
selama 3 minggu,dapat
dievalauasi perilaku klien :
Adaptif :
ï‚· Klien
dan
keluarga
mampu
menyebutkan
dan
menyediakan
kondisi lingkungan yang
aman untuk klien :
meletakan barang dekat
klien,
memasang
pengaman,
mambantu
mobilisasi
ï‚· Klien
&
keluarga
mampu
menjelaskan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
72
penumpu
saat
turun
dari tempat
tidur
Fungsi
fisiologis
proteksi
&
saraf:
ï‚· Terdapat
kalus dengan
ulkus pada
bagian
tengahnya
ï‚· Sensasi pada
kaki kanan
menurun &
ABI 1 & 0,9
Fungsi fisiologi
sense (indra):
ï‚· Penurunan
tajam
penglihatan
pada
mata
kiri
terkontrol,
pengetahuan tentang
perawatan
kaki,
penggunaan
alas
kaki,
perawatan
kalus yang belum
optimal
selama di RS
untuk klien
jangkauan klien
tehnik perawatan kaki :
mencuci & menggosok
ï‚· Jaga kebersihan,
kalus, tehnik memeriksa
kenyamanan tempat tidur
kaki
dan lingkungan
ï‚·
Klien
mampu
ï‚· Buang bahan-bahan yang
menggunakan kakikiri
telah digunakan setelah
sebagai tumpuan saat
mengganti balutan dan
mulai berdiri
eliminasi
ï‚· Hindari paparan terhadap
panas dan dingin berlebihan Perilaku inefektif :
ï‚· Ulkus pada tengah
ï‚· Libatkan keluarga untuk
kalus belum kering,
menunggui klien
namun
sudah
ï‚· Lakukan perawatan kalus
didapatkan granulasi &
(pengikisan & perawatan
ukuran yang mengecil
ulkus)
ï‚· belum di dapatkan alas
ï‚· Latih klien untuk
kaki
yang
sesuai
menggunakan kaki kiri
sehingga
masih
sebagai tumpuan
menggunakan
kaus
kaki/sandal
yang
Kognator
dimodifikasi
ï‚· Jelaskan tentang perubahan
Analisa:
atau perlindungan
ï‚· Masalah resiko injuri
lingkungan pada klien dan
masih di dapatkan.
keluarga
Intervensi
untuk
ï‚· Diskusikan dengan klien &
menuju
perilaku
adaptif
keluarga untuk perawatan
tetap
dilaksanakan
kaki & penggunaan alas
hingga
klien
dirumah
kaki
dengan
melibatkan
ï‚· Demonstrasikan
keluarga
tehnikperawatan kaki &
pencegahan kalus
Kolaborasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
73
ï‚· Kolaborasikan dengan
dokter spesialis mata untuk
pemeriksaan &
penatalaksanaa mata
ï‚· Kolaborasi dengan
rehabilitasi untuk
mendiskusikan alas kaki
yang sesuai
mode konsep
diri :
ï‚· klien tidak
lagi
menjalankan
ibadah sholat
karena
tubuhnya
selalu kotor
oleh eksudat
luka
ï‚· Klien
menginginka
n untuk tetap
menjalankan
ibadah
Stimulus fokal : Kesiapan
pengetahuan klien meningkatnya
tentang ibadah untuk religiositas
orang sakit kurang
Kesiapan dalam
Mode konsep Stimulus
peningkatan
diri :
Kontekstual :
koping individu
ï‚· Mengungkap ï‚· Pengalaman
kan
mengalami ulkus
kekhawatiran
sebelumnya
Setelah dilakukan  Spiritual support,dengan
tindakan
aktifitas :
keperawatan
ï‚· Diskusikan tata cara bersuci
selama 2x24 jam
& sholat saat sakit
diharapkan
klien ï‚· Ajarkan cara tayamum &
akan menunjukan
sholat dengan kondisinya
peningkatan
ï‚· Libatkan keluarga dalam
kesejahteraan
penyediaan fasilitas ibadah :
spiritual
mukena, tasbih
Criteria hasil ;
ï‚· Pertahankan privacy saat
ï‚· Bersuci melalui
sholat/berdo’a
tayamum
ï‚· Sholat
dengan
cara duduk
ï‚· Melakukan
aktivitas doa
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 2 hri
didapatkan :
Perilaku efektif :
ï‚· Keluarga membawakan
perlengkapan ibadah
ï‚· Klien
terlihat
menjalankan
ibadah
sesuai dengaan waktunya
ï‚· Klien terlihat berzikir
menggunakan tasbih di
waktu istirahatnya.
ï‚· Klien mengungkapkan
lebih tenang jika dibantu
dengan berdo’a
Setelah dilakukan NIC
tindakan
 Peningkatan koping
keperawatan
individu
selama 7 x 24 jam  Peningkatan support
diharapkan
klien
system
Setelah dilakuakan asuhan
kepetawatan selama 7 hari
dan dilakukan evaluasi di
dapatkan perilaku yang
adaptif , dimana klien
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
74
nya terhadap ï‚· Support
dari
luka
yang
keluarga baik
saat
ini
dideritanya
ï‚· Mengungkap
kan
keyakinanny
a
terhadap
pelayanan
dan petugas
kesehatan
mampu
mengatasi
sakitnya
Mode
Interdependen
ï‚· Terlibat
pengambilan
keputusan
dalam
perawatan
dirinya
:
mementukan
tambahan
protein,
pemilihan
menggunakan
jenis balutan.
ï‚· Mengungkapk
an jika rasa
takut
akan
nyeri
dikesampingk
memperlihatkan
peningkatan
kesejahteraan
dalam koping
 Peningkatan body image
Aktivitas yang dilakukan :
Kognator
ï‚· Gali harapan yang
diinginkan
ï‚· Diskusikan hal – hal positif
yang klien miliki
ï‚· Lakukan reinsforment (+)
terhadap hal – hal positif
yang dimiliki oleh klien
ï‚· Diskusikan dengan klien
untuk menggunakan hal
positif yang dimiliki klien
untuk meningkatkan
ï‚· Fasilitasi komunikasi akan
perhatian/perasaanantara
pasien dan keluarga atau
anggota keluarga
ï‚· Libatkan keluarga dalam
setiap perawatan klien
menunjukan perilaku :
ï‚· Keaktifan klien dalam
program perawatan
ï‚· Ungkapan klien tentang
harapan kesembuhan
ï‚· Interaksi yang meningkat
dengan
pasien
disekitarnya
ï‚· Ungkapan keingitahuan
klien tentang perawatan
selanjutnya
dan
mengikuti
program
perawatan
yang
melibatkan
keaktifan
klien
:
latihan
menggunakan kaki kiri
sebagai
tumpuan,
bersholawat saat diganti
balutan,melakukan
exercise di tempat tidur.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
75
an jika akan
diganti
balutannya,krn
ingin
luka
cepat sembuh
Mode Fisiologi
ï‚· Terjadi
peningkatan
GD
ï‚· Abses yang
makin luas
ï‚· Kalus
&
ulkus pada
kaki kanan
Mode
Interdependensi
ï‚· Perawatan
dirumah
dilakukan
oleh suami
ï‚· Menghentika
n
program
pengobatan
karena
sumber dana
ï‚· Keluarga
memberikan
susu kedelai
dengan gula
setiappagi
ï‚· Menghentika
n pengobatan
Stimulus Fokal :
Belum
pernah
mengikuti program
edukasi
Informasi
saat
dirawat terbatas pada
diit : pengurangan
sumber karbohidrat
Menegement
diri
inefektif
berhubungan
dengan
pengetahuan
yang kurang
Setelah dialakukan NIC ;
tindakan
 Program edukasi
keperawatan
Aktifitas yang dilakukan :
selama
7
hari ï‚· Gali pengetahuan klien dan
diharapkan
keluarga tentang
kemempuan klien
DM,komplikasi dan
dalam management
perawatannya
diri
meningkat ï‚· Lakukan edukasi dengan
ditandai dengan
- Kelompok sebaya (group)
ï‚· Secara kognotif
ï‚· Lakukan konseling
klien mengetahui
sesuai kebutuhan klien
batasan
gula ï‚· Fasilitasi klien dalam
darah
normal,
membuat keputusan dalam
tanda
perawatan dirinya
peningkatan gula ï‚· Demonstrasikan perilaku
darah, komplikasi
perawatan yang dapat
dan
dilakukan oleh klien : cara
perawatannya
perawatan kaki, pemberian
ï‚· Secara
insulin, menyiapkan
psikomotor klien
makanan, latihan yang bs
menunjukan
dilakukan (peregangan).
perilaku terhadap
diit yang benar,
latihan
fisik,
melakukan
penyuntikan
insulin
sendiri,
Setelah dilakukan perawatan
pada hingga hari ke 7 di
dapatkan perilaku adaptif :
Klien dan keluarga
mampu menyebutkan
batasan gula darah
normal, tanda hiper &
hipoglikemia,komplika
si yang ada pada
dirinya dan komplikasi
lain yang dapat terjadi,
penatalaksanaan DM.
Klien
melakukan
exercise di tempat tidur
(senam
kaki,
peregangan otot) sesuai
kemampuan
Anak klien mampu
melakukan perawatan
kaki
Klien
mampu
menyuntik
insulin
sendiri
Keluarga
klien
membeli
glukometer
dan
mampu
menggunakannya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
76
sendiri
ï‚· Menggunaka
n OHO tanpa
monitoring
dari tenaga
kesehatan
aktif
dalam
program edukasi
-
Klien dan keluaarga
mampu menyebutkan
sumber
pelayanan
kesehatan yang bisa
dijangkau.
Perilaku inefektif :
Psikomotor
dalam
penyediaan
diit,karena
masih disediakan oleh RS
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
77
3.3. Pembahasan
Bagian ini merupakan pembahasan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan pada
Ny. S dengan DM komplikasi abses dan resiko tinggi ulkus diabetik dengan
menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy.
Pembahasan yang akan praktikan
uraikan bertolak dari masalah keperawatan yang ditemukan mengacu pada 4 mode
adaptasi menurut Roy. Keempat mode tersebut meliputi mode fisiologi, mode konsep diri,
mode peran dan mode ketergantungan. Dari masalah keperawatan yang terjadi, akan
dianalisis berbagai faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya masalah tersebut,
dilanjutkan dengan membahas berbagai intervensi yang telah dilakukan untuk
mengatasinya dan evaluasi hasil dari intervensi yang telah dilakukan. Pembahasan juga
akan diperkuat oleh teori/konsep yang mendasarinya fenomena yang terjadi dan hasil
studi para peneliti sebelumnya sebagai justifikasi ilmiah.
3.3.1. Mode Fisiologi
3.3.1.1. Resiko
ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan
proses infeksi
Masalah keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan
sebagai asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolise (NANDA, 2012-2014). Factor resiko yang berhubungan
dengan gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada klien diabetes
dikaitkan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mengabsorpsi
nutrient.
Perilaku klien di dapatkan berhubungan dengan masalah nutrisi ini adalah
klien mengalami mual, penurunan nafsu makan, makan habis hanya ½
porsi. Dari penghitungan IMT didapatkan nilai 23, masuk dalam katagori
normal. Pemeriksaan laboratorium sebagai pendukung perilaku pada mode
nutrisi di dapatkan data SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, HbA1C: 12,7
%, Trigliserida : 80mg/dL, Kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl &
LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL dengan protein urine kuantitatif
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
78
670 mg/24jam. Dari hasil laboratorium diatas dapat disimpulkan fungsi
hati dalam kondisi normal.
Hati merupakan organ penting yang berperan dalam metabolisme
komponen nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Komponen
nutrisi yang mengalami penurunan adalah albumin. Hipoalbumin yang
terjadi pada Ny. S disebabkan karena inflamasi kronik dari abses yang
terjadi. Kadar albumin rendah selain karena asupan nutrisi yang kurang
juga
karena
inflamasi
kronik
dan
kebocoran
pada
ginjal.
Ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan disertai dengan
penurunan fungsi ginjal menyebabkan penurunan albumin dalam darah.
Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat
respon inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, trauma) mengakibatkan
penurunan kadar albumin melalui mekanisme
:
1) peningkatan
permeabilitas vascular (menyebabkan albumin berdifusi ke ruang
ekstravaskular); 2) peningkatan degradasi albumin; 3) penurunan sintesis
albumin (TNF-α yang berperan dalam penurunan trankripsi gen albumin),
(Dunning, 2009).
Data lain yang menunjang masalah resiko keseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh adalah kadar gula darah yang tinggi saat masuk yaitu
466 mg/dL dan menurun dengan pemberian terapi insulin. Hasil HbA1C
menunjukan nilai 12,7 % yang dapat disimpulkan tidak terkontrolnya gula
darah dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan gula darah diduga adanya
resistensi insulin. Resistensi insulin relative akan mengakibatkan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Lewis & Heitkemper, 2011).
Insulin berfungsi dalam transportasi glukosa hingga masuk ke dalam sel.
Sekresi insulin dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Saat terjadi defisiensi insulin, glukosa darah hasil metabolisme karbohidrat
setelah seseorang makan tidak dapat masuk ke dalam sel, mengakibatkan
suatu kondisi yang disebut hiperglikemia Selain itu penurunan metabolism
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
79
di sel berakibat terjadinya penurunan energy dan penderita DM akan
mengalami keseimbangan kalori negative, perilaku klien yang ditunjukan
misalnya adanya keluhan mudah lelah, atau lemas dan letih.
Gangguan nutrisi pada sel, mengaktifkan system homeostatis tubuh untuk
memproduksi energy terus berlangsung dengan pembentukan glukosa
endogen glukoneogenesis & glikogenolisis dijaringan hepar. Kondisi ini
semakin meningkatkan glukosa darah. Stress fisik seperti adanya ulkus,
akan meningkatkan hormone kontraregulator (glucagon, katekolamin dan
kortisol) yang akan mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan
lemak. Akibat lipolisis meningkat akan terjadi peningkatan produksi benda
keton dan asam lemak bebas secara berlebihan.
Intervensi keperawatan yang dapat disusun pada masalah nutrisi ini adalah
pemberian diit yang sesuai, kontrol gula darah, dan pemberian terapi
insulin sebagai upaya membantu glukosa masuk ke dalam sel dan pada
akhirnya diharapkan nutrisi sel terpenuhi.
Menurut Yunir & Soebardi, 2010, salah satu terapi medis non farmakologi
yang direkomendasikan untuk mengatasi maslah nutrisi pada klien DM
adalah terapi gizi. Terapi gizi merupakan kegiatan pengaturan pola makan
yang didasarkan pada status gizi penderita DM yang disesuaikan dengan
kebutuhannya. Adapun manfaat yang diharapkan dari pengaturan diit ini
adalah : 1) menurunkan berat badan, 2) menurunkan tekanan darah. 3).
mengontrol gula darah pada batas normal. 4). memperbaiki profil lipid . 5).
memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki sistim koagulasi darah.
Adapun pengaturan diit yang dilakukan pada Ny. S adalah sebagai berikut:
Rumus penghitungan kebutuhan nutrisi dengan rumus Brocca :
Penentuan besarnya kalori yang diberikan digunakan perhitungan rumus
Brocca, yaitu: BBI x kebutuhankalori + aktifitas + kondisi stres
BBI
= (TB dalam Cm - 100) -10%
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
80
= (155 cm - 100) ± 5,5= 49,5 - 60,5 kg
BBI
Kalori basal wanita 25 Kkal/Kg = 49,5 x 25
= 1237,5 kkal
Aktifitas ringan + 10%
= 123,5 kal
Keadaan stres fisik + 20%
= 369,75 kal
Usia > 50 th - 5%
= 61,88
BB Gemuk - 20%
= 247,5
Total kebutuhan nutrisi : kkal
= 1423,125 pembulatan 1500 kal
Makanan dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan
malam (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makanan besar.
Untuk pengaturan makan ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan tim
gizi RS. Medical Nutrition Therapy (MNT) penting dalam manajemen
pencegahan diabetes, mencegah perkembangan komplikasi akibat diabetes,
dan mencegah kejadian morbiditas dan mortalitas akibat diabetes (ADA,
2012). MNT juga termasuk ke dalam edukasi manajemen diri pada klien
diabetes. MNT dilaporkan dapat menurunkan nilai HbA1C ( A1C) 0,25 –
2,9% pada klien DM tipe II (ADA, 2012) tergantung kepada lamanya klien
menderita DM. Hasil metaanalisis pada studi orang tanpa diabetes
menunjukkan MNT dapat menurunkan kolesterol LDL antara 15-25 mg/dl
yang dicapai setelah 3-6 bulan inisiasi.
Terjadinya penurunan albumin dalam darah akan menghambat proses
penyembuah luka. Peningkatan pemberian protein pada kondisi Ny. S
perlu dipertimbangkan dengan fungsi ginjal yang menurun dan adanya
pengeluaran protein melalui urine. Protein yang diberikan pada Ny. S
adalah 1,5 – 2 gr/Kg BB/hari dengan pertimbangan untuk meningkatkan
proses penyembuhan luka. Sumber protein yang diberikan 50 % berasal
dari sumber hewani dan 50 % berasal dari sumber nabati. Kandungan
protein pada putih telur mencapai 98%, sehingga pemberian ekstra putih
telur hingga 6 butir perhari merupakan upaya untuk memenuhi protein
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
81
dalam tubuhnya. Selain dari sumber hewani sumber protein nabati seperti
dari olahan kedelai (susu kedelai) mempunyai banyak keuntungan jika
dikonsumsi oleh psien DM seperti Ny.S, dimana sudah terjadi penurunan
pada fungsi tubuh. Kandungan protein yang ada pada kedelai
(phytoestrogen)
dapat
menurunkan
proteinuria,
hiperfiltrasi
dan
proinflamato cytokines diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi
ginjal (Kresnawan & Markun). Penelitian lain tentang susu kedelai
dilakukan oleh Anitha pada tahun 2006 di RS Saiful Anwar, pada 5 orang
kelompok perlakuan yang diberikan susu kedelai didapatkan penurunan
gula darah puasa dan 2 jam post prandial (p= 0,01). Dengan demikian
pemberian susu kedelai tanpa gula bisa menggantikan pemberian susu dari
sumber hewani.
Intervensi lain yang dilakukan pada Ny. S yang penting adalah mengatasi
hyperglikemia. Pada kasus Ny. S penatalaksanaan terhadap hiperglikemia
saat di UGD adalah dengan pemberian insulin berdasarkan hasil gula darah
setiap 6 jam (setiap kenaikan 50 mg%, diberikan 5 ui Humulin RR (insulin
kerja pendek) dimulai dengan nilai GD 200mg%). Setelah 2 hari dirawat
diberikan insulin dengan dosis 3 x 8 unit & kontrol gula darah setiap hari
30 menit sebelum makan. Pada hari ke 3 perawatan gula darah klien
terkontrol dengan nilai antara 180–250.
Pemberian insulin pada kondisi ini tidak hanya untuk menurunkan glukosa
darah hingga batas normal, namun juga untuk mengatasi ketonemia dimana
insulin akan menurunkan konsentrasi hormone glucagon, sehingga
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas di
jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan
utilisasi glukosa oleh jaringan. Efektifitas penatalaksanaan hiperglikemi
dapat dipantau melalui kadar glukosa dalam darah.
Pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan disertai penyakit
kritis insulin diberikan jika gula darah lebih dari 180 mg/dL dan pemberian
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
82
insulin lebih efektif dengan pemberian continuous IV insulin atau
intermiten SC basal bolus yang dikombinasi dengan correctional doses
insulin. Pemberian ini mengurangi terjadinya hipoglikemia dan dapat
menentukan dosis yang tepat (Hassan, 2007; LeMone, 2011; ADA,2012)
3.3.1.2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
Masalah keperawatan berikutnya yang praktikan tegakkan pada Ny. S pada
mode fisiologi adalah resiko infeksi kearah sepsis. NANDA 2012- 2014,
mendefinisikan resiko infeksi merupakan kondisi peningkatan resiko
terserang organism pathogen. Pada kasus Ny. S, infeksi sudah terjadi yang
ditandai dengan lekositosis dan pada hasil kultur didapatkan bakteri gram
(+). Resiko terjadinya sepsis pada Ny. S, berdasarkan pada beberapa faktor
resiko seperti usia, peningkatan gula darah, penurunan system imun dan
perubahan pada vaskularisasi.
Gangguan vaskuler dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein
yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang
bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product
(AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing–masing di membrane
sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane
basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang
melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen
dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan
penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan
penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan
sirkulasi. Selanjutnya penuruanan sirkulasi ini akan menghambat aliran
darah yang membawa oksigen, nutrisi, sel darah putih dan antibody untuk
proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak. Kondisi ini
mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat,
(Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009, Hawks & Black, 2010).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
83
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencapai perilaku adaptif
terhadap pencegahan perluasan infeksi menjadi sepsis dilakukan dengan
meningkatkan koping regulator dan kognator pada Ny. S dan keluarga.
Secara umum intervensi tersebut meliputi, management luka, managemen
infeksi, menegemen hiperglikemik, control vaskuler dan edukasi. Aktivitas
yang dilakukan pada klasifikasi intervensi tersebut khususnya untuk
menegemen luka, infeksi dan edukasi meliputi : melakukan perawatan luka
(mengganti balutan, menyiapkan dasar luka dengan debridement).
Aktifitas keperawatan yang ditujukan untuk control infeksi diataranya
dengan monitoring tanda perluasan infeksi (tanda infeksi sistemik, infeksi
pada area luka, eksudat yang diproduksi luka), mempertahankan tehnik
aseptic selama perawatan luka, mencegah kontaminasi luka dengan sumber
infeksi (lingkungan), kolaborasi dalam pemberian antibiotic (Ceftriaxon 2x
2 gr dan Metronidazol 3 x 500 mg) sesuai hasil kultur. Edukasi yang
diberikan kepada Ny. S sebagai upaya untuk meningkatkan koping
kognator diantaranya upaya peningkatan daya tahan tubuh : istirahat,
penurunan kecemasan, tehnik menurunkan nyeri dan pemenuhan nutrisi
sesuai diit. Edukasi untuk pencegahan infeksi dilakukan dengan
menginformasikan untuk menjaga kebersihan area sekitar luka dan
menginformasikan untuk melaporkan kepada perawat jika ada tanda
deman, nyeri yang bertambah pada luka dan pengeluaran produksi cairan
luka yang berlebihan (Bulechek, et al, 2008; Doenges, et al, 2010; Ackley
& Ladwig, 2011).
Pemberian antibiotik pada Ny. S di dasarkan pada hasil kultur. Ceftriaxon
dan Metronidazol merupakan salah satu antibiotic yang masih sensitive.
Peran perawat pada pemberian antibiotic ini dimulai dari metode
pengambilan bahan culture. Pengambilan specimen yang tidak sesuai akan
mempengaruhi hasil kultur dan pada akhirnya berdampak pada pemberian
antibiotic yang tidak sesuai dan menyebabkan resistensi. Tehnik
pengambilan swab kultur pada luka dilakukan dengan mencuci luka
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
84
terlebih dahulu menggunakan air steril atau NaCl 0.9 % (bukan cairan
antiseptic) kemudian dikeringkan dengan kasa steril. Swab atau apusan
luka dilakukan dengan menggunakan lidi kapas steril dengan metode
Levine. Metode ini terbukti pada 4 penelitian merupakan metode yang
paling efektif dibandingkan dengan metode Z maupun metode sederhana.
Tehnik swab dengan metode Levine dilakukan dengan mengusapkan lidi
kapas steril pada dasar luka yang telah dicuci dan area yang paling sedikit
terdapat jaringan nekrosis/slogh pada diameter 1-2 cm melingkar (Gardner,
2006; Angel et al, 2011; Drinka et al, 2012; Nata dkk, 2012).
Intervensi lain yang juga penting diperhatikan pada pencegahan meluasnya
infeksi pada luka adalah perawatan luka. Prinsip management luka
menurut Dealey.C, 2005 diantaranya adalah : perawatan luka lembab &
menyiapkan dasar luka (wound bed preparation).
Perawatan Luka Lembab
Pada perawatan luka yang diberikan kepada Ny.S untuk mempertahankan
kelembabannya awalnya menggunakan kasa yang dibasahi NaCl, namun
pada hari ke 4 perawatan, sudah menggunakan hydrogel, mengingat lebih
efektif dan efisien. Perawatan luka lembab pertamakali diperkenalkan oleh
George Winter pada tahun 1962 dan berkembang hingga sekarang.
Beberapa
studi
telah
menunjukkan
bahwa
lingkungan
lembab
mempercepat proses epitelisasi dan untuk menciptakan lingkungan lembab
dapat dilakukan dengan menggunanakan balutan semi occlusive, full
occulisive dan impermeable dressing. Ada beberapa keuntungan prinsip
moisture dalam perawatan luka, diantaranya: mencegah luka menjadi
kering dan keras, meningkatkan laju epitelisasi, menjagah pembentukan
jaringan eschar, meningkatkan pembentukan jaringan dermis, mengontrol
inflamasi dan memberikan tampilan yang lebih kosmetis, mempercepat
proses autolysis debridement, menurunkan kejadian infeksi, cost effective,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
85
mempertahankan aktifitas neutrofil, menurunkan nyeri, memberikan
keuntungan psikologis.
Penggunaan kasa yang dilembabkan dengan NaCl merupakan cara
konvensional dan sering digunakan. Cara ini bisa menciptakan suasana
lembab tapi tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama
sebaliknya cara ini bisa menimbulkan nyeri (pada beberapa klien) saat
pergantian balutan ketika kasa telah mengering. Sedangkan hydrogels
merupakan polymer dengan kandungan air 90-95 % dan memiliki sifat
semi transparan dan nonadherent (Hest, CT. 1995., Jeter, KF &Tintle, TE.
1991 dalam Dealey, 2005). Di pasaran hydrogel tersedia dalam bentuk
pasta dan lembaran (sheet). Bentuk lembaran sangat comformable sehingga
bisa mengikuti tekstur luka dan dapat mengabsorbsi eksudat dalam jumlah
sedikit atau sedang. Karena sifatnya yang tidak lengket maka tidak
menimbulkan nyeri saat pergantian balutan namun sifat ini pula yang
mengharuskan hydrogel didampingi oleh balutan sekunder. Balutan
sekunder yang diberikan pada Ny. S adalah jenis balutan yang mampu
mengabsorbsi eksudat.
Menyiapkan dasar luka (Wound bed preparation)
Persiapan dasar luka telah diusulkan sebagai sarana untuk memberikan
pendekatan terstruktur dan sistematik dalam manajemen penyembuhan
luka yang terganggu. Persiapan dasar luka menekankan pada pengangkatan
hambatan yang mengganggu penyembuhan luka dengan mengoptimalkan
kondisi penyembuhan luka. Tujuan persiapan dasar luka adalah untuk
menciptakan lingkungan penyembuhan luka yang optimal dengan
menghasilkan dasar luka yang bervaskular, stabil, dengan eksudat minimal.
Salah satu tehnik yang dapat dilakukan untuk menyiapkan dasar luka ini
adalah dengan debridemen. Debridemen merupakan proses pengangkatan
jaringan mati (nekrotik), eksudat, dan debris metabolik dari dasar luka dan
kulit sekitar untuk memfasilitasi proses penyembuhan. Jaringan nekrotik
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
86
dan sampah metabolik dalam luka mencegah penyembuhan dengan
memberi
nutrisi
pada
bakteri
serta
menghambat
fase
inflamasi
penyembuhan. Oleh karena itu, harus diangkat sehingga akan membantu
merangsang tepi luka yang tidak meluas. Berbagai macam tehnik
debridement dapat dilakukan diantaranya dengan autolitik, biologik,
kimiawi maupun mekanik (Dealey.C, 2005; Yunir, 2010). Pada kasus Ny.
S penyiapan dasar luka dilakukan pada awalnya menggunakan hydrogel
sebagai autolitik, namun karena area slough yang banyak dan nyeri saat
dibersihkan maka debridemen mekanik (pembedahan) akhirnya dilakukan.
Kondisi Ny. S yang dihadapi praktikan saat mengganti balutan adalah
masalah nyeri dengan skala sedang dan meningkat saat alat menyentuh
area luka atau saat nekrotomi. Nyeri merupakan masalah yang banyak
terjadi pada klien dengan luka kronik dan nyeri dirasakan saat mengganti
luka. Augustin & Maier, (2003 dalam Dealey, 2005) menyatakan nyeri
yang dirasakan oleh klien dengan luka akan mengakibatkan stress dan
stress juga akan meningkatkan nyeri. Survey yang dilakukan oleh Moffatt,
2002 di 11 negara mendapatkan nyeri yang paling dirasakan oleh penderita
luka konik adalah saat mengganti balutan dengan kondisi balutan yang
kering. Penelitian sebelumnya yaitu Szor dan Bourguignon (1999)
mengamati 32 klien dengan ulkus tekanan dengan menggunakan kuesioner
McGill mendapatkan 28 (87,5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan
12 (42%) mengalami nyeri terus menerus baik saat istirahat maupun saat
mengganti balutan. Faktor yang menimbulkan nyeri saat mengganti
balutan disebabkan oleh karena balutan yang lengket dengan luka, irigasi
luka, balutan yang kering dan kecemasan (Bell & McCarthy, 2010).
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri selain dengan analgetik
perawat melakukan tehnik relaksasi sebelum perawatan yang bertujuan
untuk mengurangi kecemasan dan dilanjutkan saat mengganti balutan.
Relaksasi didefinisikan sebagai teknik yang digunakan untuk mendukung
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
87
dan memperoleh relaksasi untuk tujuan mengurangi tanda-tanda dan gejala
yang tidak diinginkan seperti nyeri, ketegangan otot dan kecemasan
(Dochterman McCloskey, 2004). Teknik relaksasi yang mudah dilakukan
oleh klien adalah dengan teknik dalam. Selain teknik relaksasi penggunaan
balutan yang sesuai (lembab bersifat autolitik) seperti jenis balutan modern
mampu dapat meningkatkan kenyamanan. Penelitian Kristanto, 2010 di
RSUD Syaiful Anwar malang terhadap 20 orang kelompok kontrol dan
perlakukan di dapatkan balutan modern mampu meningkatkan ekspresi
TGF β1 dan menurunkan kadar kortisol yang berdampak pada penurunan
stress fisik maupun psikis (p = 0.028).
3.3.1.3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan
sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
Diagnosa resiko injuri atau bahaya fisik didefinisikan sebagai kondisi yang
beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang
berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu dengan
faktor resiko biologis (tingkat imunitas, mikroorganisme), dari kliennya
(kognitif, afektif dan psikomotor), disfungsi biokimia, usia, fisik dan
disfungsi sensorik (NANDA 2012-2014).
Diagnosa ini merupakan penggabungan dari beberapa masalah pada mode
fisiologi, yaitu masalah pada mode aktifitas, mode proteksi, mode sensasi,
mode neurologi dan mode endokrin. Perilaku yang di tampilkan pada 5
mode tersebut menjadi data untuk masalah resiko injuri sedangkan
stimulus menjadi data pada etiologi. Data yang didapatkan pada diagnose
ini diantaranya adanya perilaku yang mengarah kemungkinan terjadi
bahaya fisik/cedera, diantaranya adanya baal pada kedua telapak kaki,
telapak kaki telah diamputasi 3 th yang lalu (1/3 distal metatarsal), adanya
kalus pada kaki kanan yang ditengahnya terdapat ulkus. Pemeriksaan
menggunakan monofilament 10 gr didapatkan terjadi penurunan sensasi.
Stimulus yang didapatkan baik fokal, kontekstual maupun residual
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
88
diantaranya: klien lansia (66 th), mengalami DM selama 10 tahun namun
gula darah tidak terkontrol mengalami hipertensi dan riwayat amputasi 3
th yang lalu. Pengetahuan klien dan keluarga dalam perawatan kaki,
pencegahan berulangnya ulkus kaki dan modifikasi mobilisasi masih
kurang karena belum pernah mendapatkan informasi mengenai masalah
perawatan kaki.
Masalah kaki yang dialami oleh Ny. S adalah riwayat amputasi dengan
kalus dan ulkus kecil di kaki kanan. Ulkus kaki merupakan salah satu
infeksi kronis yang sering dialami pada diabetisi. Di USA angka kejadian
ulkus kaki sebagai komplikasi DM terjadi pada 15 % diabetisi (Frykberg,
et al, 2006) dan di Indonesia 15-23% dari seluruh penderita DM (Waspadji,
2011) dan 85% amputasi pada kaki diabetic di dahului oleh adanya ulkus
& ulkus pada kaki dapat diawali karena adanya kalus pada area plantar
kaki.
Pengkajian kaki yang dilakukan kepada Ny. S didapatkan data adanya
riwayat amputasi dengan ulkus & saat ini mengalami kalus, maka menurut
Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 masuk dalam katagori
3 (resiko sangat tinggi), dan seharusnya pemeriksaan kaki dilakukan setiap
1-3 bulan, namun pada Ny. S tidak pernah dilakukan.
Faktor resiko terjadinya ulkus pada kaki diantaranya adalah : neuropathi
perifer, gangguan vaskuler perifer, keterbatasan gerak sendi, deformitas
kaki, tekanan kaki yang abnormal, trauma minor, riwayat ulcer atau
amputasi dan penurunan tajam penglihatan (Frykberg, et al, 2006). Pada
Ny. S, ulkus yang dahulu dialami karena luka yang tidak disadari. Saat ini
jika tidak dilakukan intervensi yang tepat, ulkus pada kalus akan
berkembang menjadi ulkus yang terinfeksi. Menurut Frykberg, 2006 kalus
pada area plantar terjadi karena adanya gesekan dan tekanan yang tinggi
sehingga menyebabkan penebalan pada area kulit. Berikut ini akan
diuraikan proses terjadinya ulkus kaki pada pasien diabetes.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
89
Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati
perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang
berakibat terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas kaki
sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat
adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut
maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya)
merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada
penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris
dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan
otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus,
halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya
neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris
yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan
sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan
serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit
kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki.
Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya
atropati Charcot.
Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan
terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi penyebab
terjadinya ulkus juga mempersulit proses penyembuhan ulkus kaki.
Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 katagori,
yaitu kaki diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya
kaki diabetika disebabkan oleh faktor neuropati (82%) sisanya adalah
akibat neuroiskemia dan murni akibat iskemia.
Gangguan mode sense dan neurologi (neurophaty perifer) yang terjadi pada
Ny.S adalah penurunan sensasi (rasa) pada area telapak kaki kiri (diperiksa
dengan menggunakan monofilament 10 gr) pada area telapak : terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
90
penurunan sensasi rasa. Penurunan sensasi terjadi karena adanya
komplikasi neuropathi sensori perifer.
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom
dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung
pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan
dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada klien yang
sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam
diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat
dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler.
Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia.
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik
yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,
sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal
bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut
berakibat pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND
(Subekti I, 2010).
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya
saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan
ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal.
Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan
atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam
hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa).
Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta
gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan
dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan
ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
91
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita
neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki.
Pemeriksaan neuropathy pada klien diabetes merupakan pemeriksaan yang
direkomendasikan oleh ADA 2012 dan AACE, 2008 pada level A sebagai
screening terhadap adanya kaki diabetic. Penggunaan monofilament 10 gr
untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh
Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14
studi (1950–2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah
3142 dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan
adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan
pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada
diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai
alat diagnostic tunggal.
Gangguan sense (indra) yang lain pada Ny. S adalah penurunan tajam
penglihatan. Gangguan penglihatan yang terjadi disebabkan karena
komplikasi dari DM yaitu retinopathy yang dapat menyebabkan injury.
Retinophaty termasuk
dalam
golongan
komplikasi
mikrovaskuler,
penyebab retinopathy belum secara jelas diungkap tapi mungkin dapat
disebabkan oleh multifaktorial yaitu terkait dengan glikosilasi protein,
iskemi, dan mekanisme hemodinamik. Peningkatan viskositas darah
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan penurunan elastisitas kapiler.
Retina membutuhkan rata-rata konsumsi O2 terbesar dari seluruh organ
tubuh, bila terjadi gangguan suplai O2 pada retina maka akan terjadi
anoksia jaringan yang dapat menyebabkan kematian jaringan (Black &
Hawk 2010).
Intervensi yang dilakukan untuk memfasilitasi Ny. S mempunyai perilaku
yang adaptif, maka dilakukan upaya untuk menghilangkan stimulus dengan
meningkatkan koping Ny.S baik yang bersifat regulator maupun kognator.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
92
Pada koping regulator, intervensi yang dilakukan diantaranya , melakukan
perawatan kalus dan ulkus, bersama keluarga memberikan lingkungan
yang
aman
(memasang restrain
saat
keluarga
tidak
menunggu,
mendekatkan alat yang dibutuhkan klien untuk mudah dijangkau), melatih
klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, melatih klien menggunakan
pengaman/pegangan saat akan mulai berdiri. Meningkatkan koping
kognator dilakukan dengan melibatkan keluarga terutama yang selalu
bersama klien (suami klien). Mendiskusikan bahaya fisik yang mungkin
terjadi : jatuh, resiko terjadi ulkus berulang. Mendiskusikan dan
mendemonstrasikan tehnik perawatan kaki, tehnik mengurangi tekanan
pada area kaki kanan dan lingkungan yang aman untuk klien.
Kalus yang terjadi pada kaki kanan Ny. S, disebabkan karena adanya
penekanan dimana kaki kanan menjadi tumpuan ketika klien memulai
berdiri. Dengan kondisi telapak kaki yang telah diamputasi & adanya kalus
dengan ulkus ditengahnya sangat beresiko terjadinya perluasan ulkus,
maupun perubahan bentuk kaki. Oleh sebab itu, menghindari penekanan
dan menggunakan alas kaki yang sesuai merupakan pencegahan yang dapat
dilakukan. Salah satunya dengan mengistirahatkan kaki, menghindari
tekanan pada kaki (non weight bearing) dan off loading.
Istilah off-loading dalam konteks luka kaki diabetik merujuk pada upaya
untuk mengurangi beban tekanan terutama pada daerah luka. Hal ini
merupakan tujuan utama dalam perawatan luka kaki diabetes. Off-loading
mencegah
trauma
lanjutan
pada
luka
dan
memfasilitasi
proses
penyembuhan terutama pada klien dengan neuropati sensoris. Penelitian
retrospektif dan prospektif menunjukkan bahwa peningkatan beban
tekanan pada daerah plantar merupakan penyebab terjadinya luka diabetes
pada daerah tersebut yang berakibat pada abnormalitas struktural dari kaki
seperti; claw-toe deformity dan charcot neuroarthropathy. Kombinasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
93
deformitas kaki, penurunan fungsi protektif, dan tidak adekuatnya offloading berdampak pada kerusakan jaringan dan ulserasi
Saat ini telah tersedia berbagai jenis sepatu khusus bagi penderita diabetes
(Protective footwear), dimana salah satunya yang terkenal sebagai ‘gold
standard’ adalah Total Contact Casts (TCCs). TCC merupakan sepatu
khusus bagi penderita diabetes yang dapat mendistribusikan beban tekanan
pada daerah plantar serta membatasi pergerakan daerah tumit, dengan
demikian penggunaan TCC dapat mengurangi tekanan hingga 87%.
Sayangnya penggunaannya masih jarang di klinis. Dimana hanya 2 % dari
praktisi yang menggunakan TCC untuk merawat luka kaki diabetes dengan
alasan kurangnya ketersediaan dan tenaga ahli dalam penggunaannya,
selain faktor lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemasangannya
dibandingkan alat lain (Waspadji.S, 2011; Perkeni, 2009).
Bahaya fisik lain yang mungkin terjadi pada Ny. S berhubungan dengan
komplikasi yang ditimbulkan. Hasil CCT menunjukan nilai GFR 56 ml/24
jam. Hal ini menunjukan penurunan fungsi ginjal pada stadium 2. Jika ini
tidak menjadi perhatian akan jatuh pada gagal ginjal kronik. Penurunan
fungsi ginjal merupakan salah satu komplikasi kronik dari DM yang
disebut nefropathy. Diabetik nefropathy terjadi pada 20–40% klien DM
dan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik (ADA, 2012). Rekomendasi
ADA 2012 untuk pencegahan dan penanganan pada kondisi ini adalah :
kontrol gula darah dan tekanan darah pada batas normal. Screening pada
penurunan fungsi ginjal dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urium,
kreatinin dan dan penghitungan GFR minimal 1 tahun sekali. Pembatasan
protein 0,8–1 gr/Kg BB berguna untuk mencegah kerusakan fungsi ginjal
lebih lanjut (ADA, 2012).
Evaluasi yang didapatkan pada hari ke 14 rawatan, ditemukan perilaku
adaptif pada mode aktifitas, proteksi dan interdependensi yang dapat
dilihat : Klien dan keluarga mampu mengenali resiko bahaya yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
94
mungkin terjadi akibat kondisi kaki. Keluarga mampu menyebutkan
lingkungan yang aman untuk klien dan memberikan lingkungan yang aman
saat dirawat di rumah sakit. adanya kemampuan klien menggunakan kaki
kiri sebagai tumpuan meningkat, klien mampu menggunanakan pinggir
tempat tidur sebagai pengaman saat mulai berdiri, keluarga mampu
melakukan perawatan kalus dengan benar. Perilaku inefektif yang masih
ditemukan diantaranya penglihatan klien masih buram, ulkus pada area
kalus masih ada walupun dengan ukuran yang mengecil. Tindaklanjut dari
perilaku inefektif yang masih ditemukan adalah mengkonsulkan klien ke
dokter spesialis mata dan melakukan perawatan ulkus.
3.3.1.4. Ketidakefektifan
manajemen
kesehatan
diri
berhubungan
dengan
pengetahuan yang tidak adekwat
NANDA 2012, mengklasifikasikan diagnose ini pada domain promosi
kesehatan.
Ketidakefektifan
penatalaksanaan
program
terapeutik
didefinisikan sebagai pola pengaturan dan pengintegrasian ke dalam
kebiasaan terapeutik kehidupan sehari-hari untuk pengobatan penyakit dan
gejala yang ditimbulkan yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan
kesehatan spesifik. Batasan karakteristik pada diagnose keperawatan ini
diantaranya kegagalan menerapkan program pengobatan, kegagalan dalam
melakukan tindakan mengurangi resiko, mengungkapkan keinginan untuk
mengatasi penyakitnya dan mengungkapkan kesulitan dalam pengobatan.
Masalah keperawatan ini ditegakkan pada Ny. S, karena ditemukan
perilaku yang merupakan komplikasi dari DM pada semua mode fisiologis.
Perilaku ini disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan
yang
ditunjukan
dengan
tidak
melakukan
diit
dengan
benar,
mengkonsumsi OHO tanpa pengawasan dokter dan menghentikan
pengobatan insulin karena keterbatasan dana. Semua perilaku ini
bersumber kepada informasi yang kurang tentang penatalaksanaan DM
pada Ny. S maupun keluarga sebagai pendamping dalam pengobatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
95
Intervensi yang diberikan kepada Ny. S dan keluarga untuk meningkatkan
perilaku adaptif pada masalah keperawatan ini
diantaranya dengan
menggali sumber–sumber kekuatan yang dimiliki keluarga dan klien dalam
meningkatkan manajemen kesehatan diri, mengikutsertakan keluarga dan
pasien jika kondisi memungkinkan dalam program edukasi kelompok,
mendiskusikan dengan klien dan keluarga hal–hal yang berhubungan
dengan penatalaksanaan, pearawatan dan komplikasi yang akan ditimbul
pada pasien DM.
Hasil evaluasi yang didapatkan dari Ny. S dan keluarga pada masalah tidak
efektifnya manajemen diri pada hari ke 6 perawatan didapatkan secara
kognitif klien dapat menyebutkan batasan nilai gula darah normal,
perencanaan makan untuk dirinya (jumlah, jenis dan jadwal), komplikasi
yang sudah ada di dalam dirinya serta pencegahannya. Psikomotor yang
dapat yang dapat dinilai,keluarga mengikutiprogram edukasi kelompok,
aktif bertanya kepada narasumber, dan menginformasikan kembali kepada
klien edukasi yang telah didapat.
Edukasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan
seseorang dan diharapkan dapat merubah perilaku kearah yang lebih baik.
Perilaku yang didasarkan pengetahuan dapat dipertahankan lebih lama
dibandingkan dengan sebaliknya (Notoatmojo, 2007). Diabetes Self
Management Education (DSME) merupakan salah satu bentuk edukasi
yang berkelanjutan tidak hanya memberikan pengetahuan, namun juga
meningkatkan perubahan perilaku dan sikap yang benar terhadap
penatalksanaan DM. Model edukasi dengan DSME, menekankan kepada
peran aktif pada penyandang DM untuk menggali informasi dan berdiskusi
dengan sumber informasi, sangat berbeda dengan model edukasi searah,
imana narasumber hanya menekankan kepada memberikan informasi.
Setelah
mendapatkan
informasi
dengan
metode
ini,
diharapkan
penyandang DM dapat memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
96
meningkatkan
kesehatannya,
sesuai
dengan
sumber–sumber
yang
dimilikinya.
International Diabetes Federation (IDF, 2009 dan ADA, 2012
menekankan bahwa setiap individu dengan DM dimanapun dia tinggal
berhak mendapatkan pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan DM
secara berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek klinis, perilaku dan
psikososial. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan bahwa setiap
penyelenggara kesehatan tingkat propinsi harus menyediakan pelayanan
pendidikan kesehatan dan educator melibatkan multisiplin profesi (dokter,
perawat, ahli gizi, apoteker, maupun pandu diabetes). Rekomendasi untuk
negara, bahwa negara memberikan support baik dalam hal kebijakan
maupun pendanaan untuk penyelenggaraan DSME ini. (IDF, 2009; ADA
2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Gumbs, 2012 tentang hubungan DSME
dengan perilaku perawatan diri
kepada
wanita Afrika Amerika
mendapatkan 53.6% telah mengikuti program DSME dan terjadi perubahan
perilaku dalam pemeriksaan gula darah, kunjungan ke pelayanan kaki dan
menunjukan nilai HbA1C yang menurun.
Metode edukasi lain yang dapat meningkatkan efikasi diri dan perubahan
perilaku penyandang DM adalah dengan melibatkan sesame penyandang
DM. Penelitian dengan Randomized controlled trial oleh Ghorob et al
2011 di Sanfransisko terhadap 400 penyandang DM dari berbagai
pelayanan kesehatan dibagi 2 kelompok: 200 orang pada kelompok dengan
pembinaan oleh penyandang DM yang telah dilatih dan 200 orang dengan
edukasi seperti yang biasa dilakukan. Pada bulan ke 6 dilakukan evaluasi,
pada kelompok perlakuan didapatkan nilai HbA1C yang menurun. Hasil
sekunder lain yang didapatkan yaitu terjadi penurunan pada tekanan darah,
indek masa tubuh, LDL dan kolesterol. Pada perilaku di dapatkan
perubahan dalam aktifitas perawatan diri, kepatuhan pengobatan,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
97
penurunan depresi dan peningkatan kualitas hidup. Hal ini menunjukan
edukasi dengan melibatkan sesame penyandang DM dapat berpengaruh
positif terhadap efikasi diri penyandang DM.
Penerapan DSME ini sudah dilakukan di RSUP Fatmawati, dimana
kegiatan edukasi sesuai rekomendasi IDF dilakukan setiap hari Rabu
dengan melibatkan klien dan keluarga.
Evaluasi yang didapatkan pada klien adalah didapatkannya perilaku adaptif
yang ditunjukan dengan peningkatan pengetahuan klien dan keluarga
mengenai DM dan perawatannya, keikutsertaan keluarga dalam program
edukasi kelompok, keterlibatan klien dalam perawatan dirinya : menyuntik
insulin sendiri, memilih makanan yang sesuai diit dan melakukan latihan
peregangan serta senam kaki di tempat tidur.
3.3.2. Mode Konsep diri
3.3.2.1. Kesiapan meningkatnya koping individu
Diagnosa ini merupakan kelompok diagnose sejahtera merupakan suatu
keputusan klinik tentang keadaan individu dalam transisi dari tingkat
sejahtera ketingkat sejahtera yang lebih tinggi atau dikenal dengan wellness
diagnoses. Pada diagnose sejahtera ini, etiologi tidak diperlukan.
Meningkatnya kesiapan koping individu didefinisikan sebagai upaya
kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan yang memadai untuk
kesejahteraan dan dapat ditingkatkan (NANDA, 2012; Wilkinson & Ahern,
2012). Batasan karakteristik pada diagnose ini diantaranya mengetahui
kekuatan dan kelemahan dirinya, menganggap stressor sebagai sesuatu
yang dapat diatasi,dan menggunakan sumber – sumber spiritual. Batasan
karakteristik ini diantaranya.
Intervensi yang dapat ditegakkan pada masalah koping ini meliputi
peningkatan system koping dan peningkatan system pendukung. Aktivitas
yang diberikan meliputi : menggali koping yang telah dimiliki oleh klien,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
98
menggali kemampuan klien dalam pemecahan masalah, mendiskusikan
sumber keluatan yang dimiliki klien, mendiskusikan penggunaan koping
dan kekuatan yang ada dalam diri Ny. S untuk meningkatkan koping.
Selain itu meningkatkan support system yaitu dengan melibatkan keluarga
(suami dan anak) untuk mendukung dan menguatkan koping yang dimiliki
klien.
Hasil evaluasi yang didapatkan pada hari ke 6 untuk masalah kesiapan
peningkatan koping individu didapatkan perilaku yang adaptif yaitu, klien
mengungkapkan bahwa kondisinya saat ini merupakan dampak
dari
ketidakpatuhan klien dalam penatalaksanaan DM, klien mengungkapkan
keinginannya menjalani sisa kehidupannya dengan badan yang sehat, dan
klien selalu aktif terlibat dalam perawatan dirinya : menentukan makanan
yang akan dimakan, mengambil keputusan terhadap alternative pengobatan
yang ditawarkan oleh dokter maupun perawat.
3.3.2.2. Kesiapan meningkatnya religiositas/Spiritual
Diagnosa ini didefinisikan oleh NANDA, 2012 sebagai kemampuan untuk
meningkatkan
berpartisipasi
karakteristik
ketergantungan
dalam
dari
ritual
diagnose
pada
tradisi
ini
keyakinan
agama
kepercayaan
dan
tertentu.
mengungkapkan
keinginan
atau
Batasan
untuk
memperkuat pola keyakinan agama yang sebelumnya biasa dilakukan,
memberikan ketenangan dan kenyamanan.
Intervensi keperawatan yang dapat ditegakkan untuk meningkatkan koping
individu dan untuk meningkatkan kesejahteraan konsep diri klien dalam
hal spiritual, meliputi : peningkatan aktifitas ibadah, dukungan spiritual,
dimana aktifitasnya meliputi diskusikan kebutuhan spiritual, sediakan
media untuk menjalankan kegiatan spiritual, berikan privasi selama klien
menjalankan
ibadah,
consultasikan
dengan
pembimbing
rohani
(Dochterman & Bulechek, 2008).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
99
Pada Ny. S ditegakkan diagnosa meningkatnya kesiapan religi/spiritual
dengan didukung oleh perilaku klien yang mengatakan selalu menjalankan
ibadah sebelum sakit. Saat ini ingin menjalankan ibadah (sholat), namun
merasa jika tubuhnya kotor oleh cairan luka. Ungakapan lain yang
menunjukan perilaku spiritual yang adaptif diantaranya klien menyatakan
berserah diri kepada Tuhan atas sakit yang dideritanya, karena ia yakin
pengobatan merupakan usaha dari manusia dan semuanya akan ditentukan
olehNya.
Intervensi yang lakukan kepada Ny. S diantaranya mendiskusikan tata cara
bersuci dan shalat saat sakit, mengajarkan cara tayamum dan sholat dengan
duduk,melibatkan keluarga dalam menyediakan perlengkapan sholat dan
tashbih,
memotivasi
untuk
melakukan
sholat
dan
berdo’a
dan
mempertahankan privacy saat sholat/berdo’a. Pada hari kedua dilakukan
asuhan keperawatan, keluarga klien membawakan peralatan sholat, klien
sudah menjalankan ibadah sholat dengan duduk dan terlihat berdzikir saat
tidak ada tindakan keperawatan.
Spiritual merupakan salah satu kebutuhan manusia, kebutuhan ini
didasarkan pada hubungan antara manusia dengan TuhanNya. Pada orang
yang dirawat dirumah sakit, pemenuhan kebutuhan spiritual menjadi
bagian sama dengan kebutuhan fisik maupun psikis pasien. Pemenuhan
kebutuhan spiritual ini menjadi tanggung jawab parawat. Pengamatan
praktikan di tempat menjalankan praktek residensi, belum ada dokumentasi
keperawatan yang mengangkat masalah spiritual dan pengamatan praktikan
terhadap pemenuhan kebutuhan ini jarang dilakukan oleh perawat.
Penelitian di US menunjukan bahwa 94 % dari pasien yang berkunjung ke
pelayanan kesehatan meyakini bahwa kesehatan spiritual sama pentingnya
dengan kesehatan fisik, 77 % meyakini bahwa kesehatan spiritual harus
menjadi bagian dari pelayanan kesehatan dan 80 % melaporkan petugas
kesehatan tidak menyentuh aspek spiritual dalam melakukan pelayanan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
100
kesehatannya (Anadarajah, 2001). Pemenuhan kebutuhan spiritual pasien
akan dapat membantu mereka beradaptasi dan melakukan koping terhadap
sakit yang dideritanya yang akhirnya akan meningkatkan meningkatkan
kualitas hidup pasien, Oswald (2004 dalam Rohman, 2009).
Terapi pendukung atau CAM (complementary and alternative medicine)
banyak digunakan oleh penderita DM diberbagai negara. Di Amerika para
penyandang DM yang menggunakan CAM berkisar antara 17 – 73 %. Dari
18 studi yang dilakukan oleh Chang, 2007 mendapatkan 50 % (9 studi)
menggunakan terapi spiritual sebagai terapi pendukung dan menunjukan
peningkatan kesehatan pada pasien DM ini (Arye, 2010).
Berdasarkan beberapa studi terkait, dengan kebutuhan spiritual sangat
diharapkan
pada
praktek
pelayanan
kesehatan
karena
terbukti
meningkatkan kesehatan fisik dan psikis. Peran perawat dalam pemberi
asuhan yang holistik tidak mengesampingkan kebutuhan spiritual dalam
praktek pelayanan kesehatan.
3.4. Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 32 Kasus kelolaan
Pada bagian ini praktikan akan membahas kasus–kasus lain yang praktikan kelola selama
praktikan menjalankan praktek residensi. Kasus yang praktikan kelola terdiri dari 32
kasus diabetes mellitus dengan berbagai komplikasi yang ditimbulkan. Secara rinci 32
kasus yang praktikan kelola diantaranya 11 kasus DM dengan ulkus kaki, 2 diantaranya
dilakukan amputasi mayor, 8 kasus dirawat karena komplikasi hyperglikemi dan
hipertensi 5 kasus DM dengan komplikasi CKD, 2 kasus dengan komplikasi akut KAD, 2
kasus dengan komplikasi infeksi pernafasan dan 1 kasus dengan infeksi kulit. Semua
kasus kelolaan dilakukan asuhan dengan pendekatan Model Adaptasi Roy. Analisis
terhadap kasus dilakukan berdasarkan masalah keperawatan yang ditimbulkan kemudian
dilakukan analisis mulai dari pengkajian, intervensi hingga evaluasinya
dengan
menggunakan Model Adaptasi Roy. Adapun hasil analisis pada ke 32 kasus kelolaan ini
adalah :
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
101
3.4.1. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah,
penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
Masalah keperawatan resiko infeksi atau infeksi yang meluas,pada kasus kelolaan
yang praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi ulkus
maupun dengan komplikasi CAP dan TB paru. Resiko infeksi yang terjadi pada
pasien DM disebabkan karena menurunnya vaskularisasi dan penurunan
kemampuan sel immune melakukan fungsinya dampakdari hiperglikemia
(LeMone, 2011). Dari 32 kasus kelolaan 11 pasien mengalami ulkus dan 2 pasien
dengan infeksi pernafasan.
Ulkus kaki diabetic merupakan kompliasi DM yang banyak dijumpai setelah
retinopati, hipertensi dan nefropathi. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam
perjalanan penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di
kaki (Taylor,2008; Clair.D, 2011). Di RSUP Fatmawati dicatat selama 6 bulan,
dari 123 pasien DM yang dirawat di unit perawatan penyakit dalam khususnya di
lantai 5 selatan jumlah pasien DM dengan ulkus kaki selama 36 orang (29.1 %)
dengan ulkus kaki.
Kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien DM yang
menyebabkan kelainan neuropati, infeksi dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati,
baik
neuropati
sensorik,
matorik
maupun
autonom
akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus (Waspadji, 2009). Neuropathi
sensorik perifer menjadi penyebab utama terjadinya berbagai trauma pada DM. 40
– 65 % ulkus diabetic terjadi karena murni gangguan neuropathy sensori dan 45 %
terjadi karena gabungan anatara neuropati dan vaskulopathy (Frykberg et al, 2006).
Pada kasus 11 kasus kelolaan, 7 pasien mengalami ulkus karena neuropathy
sensori. Namun dari hasi pengkajian kaki pada 11 kasus kelolaan menunjukan
hasil (-) pada pemeriksaan monofilament 10 gr
yang menunjukan adanya
neuropathy sensori. Neuropathy perifer pada DM terjadi melalui mekanisme
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
102
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang
berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,sintesis
advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan
aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada
kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama
rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati
yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua
tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan
tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena.
Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia.
Pengkajian ulkus DM terutama pada kaki menggunakan panduan PEDIS,
(Perfussion, Extend, Depth, Infection, and Sensation). Untuk menentukan kedalam
dan luas luka, disarankan untuk mencuci luka terlenih dahulu, sehingga
mendapatkan ukuran luka yang sebenarnya. Seluruh pasien kelolaan yang dengan
ulkus, didapatkan sudah terjadi infeksi baik local maupun sistemik dan penurunan
sensasi. Infeksi yang terjadi dapat dilihat dengan adanya eksudat yang purulen,
peningkatan suhu, dan dari pemeriksaan leukosit maupun culture luka. Luas dan
kedalaman luka bervariasi, namun sebagian besar kedalaman luka mencapai otot.
Perfusi diukur dengan palpasi arteri terdekat dengan luka dan dibandingkan
dengan kaki yang sehat.
Intervensi keperawatan yang dilakukan pada kelolaan dengan masalah infeksi
berdasarkan nursing intervention classification (NIC) dan panduan kaki diabetic
dari PERKENI, 2011 yaitu wound control, metabolism control dan infection
control. Aktifitas keperawatan yang dapat dilakukan diantaranya perawatan luka
dengan memperhatikan prinsip memberikan lingkungan yang lembab dan
pemilihan jenis topical terapi yang tepat, membuang jaringan nekrotik dan slough
dengan nekrotomi atau kolaborasi tindahan surgical debridement. Metabolisme
kontrol dilakukan dengan pemantauan gula darah, kolaborasi dalam perencanaan
diit termasuk pemberian protein tambahan dan pemberian terapi insulin. Kontrol
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
103
Infeksi dilakukan dengan mencegah kontaminasi mikroorganisme ke area luka
(prinsip steril saat mengganti balutan, dan pencucian area sekitar luka dengan
antiseptic). Untuk mengurangi koloni bakteri dalam luka terutama pada area
slough dapat dilakukan irigasi luka dengan tekanan 13 Psi. Irigasi ini
menggunakan spuit 12 cc dengan jarum 22G terbukti menurunkan infeksi
(p=0,017) dan inflamasi (p=0,031) (EBP level B), Joanna Briggs Institue, 2006.
Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur merupakan tindakan
yang tepat. Pengambilan kultur menjadi kunci dalam menentukan antibiotik yang
sensitif. Penggunaan metode Levine dalam pengambilan spesimen kultur luka
terbukti lebih sensitive dibandingkan dengan metode Z-stroke maupun metode
sederhana (p=0,001), Nata, 2012.
Hasil evaluasi yang praktikan lakukan pada 11 kasus dengan ulkus kaki, dengan
berbagai ukuran luka masalah infeksi dapat teratasi dengan waktu yang tercepat
pada minggu ke 2 perawatan. Faktor lamanya masalah ini selain dipengaruhi oleh
factor luka dan status metabolic, juga dipengaruhi oleh faktor usia, keputusan
keluarga
dalam
menyetujuai
tindakan
(pemberian
antibiotik,
tindakan
debridement, dan lain sebagainya).
3.4.2. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan, proses infeksi
Masalah keperawatan lain yang ditemukan pada kasus kelolaan adalah masalah
nyeri. Masalah nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensori yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang, bisa terjadi secara
perlahan atau tiba–tiba dengan intensitas mulai dari ringan hingga berat
(Wilkinson & Ahern, 2012; NANDA, 2012). Nyeri merupakan bentuk perilaku
adaptif yang ditemukan pada mode sensasi. Masalah nyeri ditemukan pada semua
pasien dengan ulkus pada rentang yang berbeda–beda, mulai dari nyeri sedang
hingga nyeri berat.
Nyeri yang terjadi pada ulkus DM selain karena adanya kerusakan jaringan juga
terjadi karena proses infeksi atau inflamasi. Menurut Black dan Hawk (2010)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
104
nyeri pada kondisi inflamasi atau infeksi ini terjadi sebagai akibat distensi pada
jaringan yang peka terhadap peregangan (distention of stretch-sensitive tissue)
terutama periosteum. Dalam keadaan inflamasi akan dilepaskan mediator kimia
(chemical mediators) antara lain histamin, bradikinin, prostaglandin, dan substansi
P, yang menstimulasi reseptor nyeri (nociceptor).
Nyeri merupakan respon inefektif yang ditemukan pada mode sensasi. Perilaku
yang ditunjukan dari nyeri ini berbeda–beda setiap individu begitu juga dengan
rentang nyeri. Pengamatan praktikan melakukan asuhan pada kasus kelolaan, nyeri
bertambah saat perawatan luka, mulai dari membuka balutan, irigasi hingga
debridement mekanik. Hanya 1 pasien yang praktikan temukan mengalami nyeri
terus menerus walaupun tidak sedang dilakukan perawatan luka, kondisi ini
diduga adanya nyeri neuropathi. Szor and Bourguignon (1999 dalam Dealay,
2005) melakukan survey kepada 32 pasien luka tekan menggunakan McGill Pain
Questionnaire di dapatkan 28 orang (87.5%) mengalami nyeri saat diganti balutan
dan sisanya nyeri yang terus menerus. Faktor yang berperan dalam peningkatan
nyeri saat diganti balutan diantaranya, balutan yang merekat pada luka, irigasi
luka, atau cemas dan takut (Bell & McCarty, 2010). Intervensi yang dilakukan
untuk mengurangi nyeri dari sisi penggantian balutan adalah pemilihan jenis
balutan dan memberikan lingkungan yang lembab pada area luka. Penelitian yang
dilakukan Kristanto H, 2010 pada 20 responden di dapatkan hubungan yang
signifikan (p= 0,0005) antara respon nyeri dengan kadar TGF β1 pada penggunaan
modern dressing.
Intervensi untuk meningkatkan koping regulator kognator pada pasien nyeri dapat
dilakukan dengan mengkombinasikan terapi farmakologid dan non farmakologis.
Intervensi mandiri dari perawat dengan mengembangkan berbagai terapi nyeri non
farmakologis ini. Bentuk terapi nyeri non-farmakologi yang dapat dilakukan pada
pasien , meliputi distraksi (distraction), relaksasi (relaxation), dan imajinasi
terbimbing (guided imagery) (Perry & Poter, 2010). Untuk mengatasi nyeri yang
terjadi pada pasien kelolaan, praktikan mengajarkan tehnik relaksasi yang bisa
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
105
dilakukan oleh pasien sebelum dilakukan ganti balutan, maupun saat dilakukan
ganti balutan.
Progressisve muscle relaxation (PMR) merupakan salah satu teknik relaksasi yang
dapat dilakukan oleh setiap individu untuk mengurangi stress dan kecemasan
(Borkove, Russcio, (2001 dalam Ghazavi, Abdeyaz dan, Attari, 2008). PMR
merupakan teknik untuk mengurangi stress dan kecemasan yang dikembangkan
oleh Edmund Jacobson (1920) dengan melakukan peregangan dan penekanan pada
otot. PMR melibatkan penekanan dan peregangan pada kelompok otot daerah
wajah, lengan, dada, perut dan kaki. Respon tubuh terhadap adanya stress salah
satunya adalah terjadinya ketegangan pada otot yang dapat menimbulkan
ketidaknyaman dan rasa nyeri. dapat dilakukan sebelum pasien dilakukan
perawatan luka.
Tehnik relaksasi lain yang dapat dilakukan saat balutan diganti adalah dengan
penggabungan tehnik relaksasi dengan terapi spiritual yang dikembangkan oleh
Benson & Proctor, (2000), yaitu dengan memusatkan perhatian pada suatu fokus
dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan berbagai
pikiran yang menggangu. Praktikan memodifikasi dengan sholawat nabi jika
pasiennya muslim, atau disesuaikan dengan agamanya.
Evaluasi
yang
didapatkan
nyeri
berkurang
dari
hari–kehari
dan
dan
ketergantungan pasien terhadap terapi analgetik dapat dikurangi, selain terjadi
penurunan tingkat stress saat diganti balutan. Namun demikian karena nyeri pada
ulkus DM termasuk nyeri kronik seringkali nyeri masih dirasakan hingga proses
penyembuhan.
3.4.3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berlebih/ kurang dari kebutuhan
tubuh
Perilaku inefektif pada mode fisiologi cairan dan elektrolit pada pasien DM yang
praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi gagal ginjal
kronik yang disebabkan oleh stimulus fokal adanya nefropati. Perilaku yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
106
ditemukan pada masalah ini adalah adanya tanda odema, sesak nafas yang terjadi
akibat penumpukan cairan di paru–paru, disertai pengeluaran urine yang sedikit,
uremia dan peningkatan kadar creatinin darah. Gejala yang timbul disebabkan
karena penurunan filtrasi gromerulus.
Di Amerika gagal ginjal atau Nefropati DM (ND) jumlahnya mencapai 44 % dari
semua kasus baru CKD, 40 % dari pasien yang menjalani hemodialisa atau
transplantasi ginjal (Porrth & Maftin, 2009 dalam LeMone, 2011). ND terjadi 30 –
40 % pada DM tipe 1 dan akan terjadi setelah 15–20 tahun mengalami DM, dan
terjadi ND pada 15 – 20 % dari seluruh penderita DM tipe 2 (Mc Phee&
Paadakins).
Intervensi yang dapat dilakukan pada masalah ini untuk meningkatkan koping
regulator diantaranya pemantauan terhadap intake & output cairan, pemantauan
tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan), pembatasan cairan sesuai dengan
balance cairan, pemberian posisi semifowler dan kolaborasi dalam penatalksanaan
hemodialisa. Penatalaksanaan untuk meningkatkan koping kognator, dilakukan
edukasi untuk pencegahan semakin menurunnya fungsi ginjal. Edukasi difokuskan
untuk : 1). pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes; 2).
Pengendalian tekanan darah (diit rendahgaram dan kontro tekananan darah dengan
obat antihipertensi sesuai program pengobatan); 3). Pencegahan fungsi ginjal (diit
rendah protein ). Hasil evaluasi menunjukan pasien menunjukan perilaku adaptif
pada hari ke 6 sampai hari ke 12 tergantung pada stadium.
Masalah cairan pada pasien DM tidak hanya masalah kelebihan, namun masalah
kekurangan cairan juga dapat ditemukan pada kasus komplikasi akut ketoasidosis.
Ketoasidosis didefinisikan sebagai keadaan dekompensasi dari gangguan
metabolic ditandai dengan hiperglikemia, asidosis dan ketosis. Dua kasus yang
praktikan kelola disebabkan karena proses infeksi, namun keduanya tidak
mengetahui jika dirinya menderita DM. Masalah utama yang didapatkan pada
KAD adalah pada inefektif cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh dan
masalah keseimbangan asam basa.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
107
Pada kondisi KAD ini, inefektif kebutuhan cairan dan elektrolit terjadi karena
dieresis osmotic akibat hyperglikemia. Pengeluaran cairan yang berlebih dapat
mengakibatkan pasien jatuh ke kondisi dehidrasi hingga syok. Selain itu masalah
keseimbangan asam basa juga masalah yang mengancam kehidupan pasien.
Lipolisis terjadi karena penurunan insulin dan peningkatan hormone kontralateral
pada akhirnya meningkatkan benda keton yang akan menurunkan pH darah.
Mengatasi masalah inefektif cairan, elektrolit serta keseimbangan asam basa harus
dicapai tidak lebih dari 24 jam. Kolaborasi dalam pemberian cairan, pemberian
insulin dan pemantauan elektrolit merupakan intervensi yang harus dilakukan.
Intervensi lain adalah dengan mengatasi sumber hyperglikemia seperti infeksi dan
stress psikologi. Dari pengamatan praktikan, tindakan untuk mengatasi KAD
seperti pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap jam atau 2 jam sekali pada 6
jam pertama, kemudian pemeriksaan laboratorium lain untuk pemantauan
elektrolit, ketosis maupun asidosis merupakan sumber stress psikologis yang akan
berpengaruh kepada peningkatan hormone kontra regulator. Pemberian informasi
terhadap tindakan yang akan diterima pasien menjadi kewajiban perawat untuk
melakukannya. Selain itu pendampingan oleh keluarga terdekat selama tindakan
terbukti mengurangi stress yang dialami. Pada kedua pasien KAD yang praktikan
kelola, masalah inefektif cairan dapat teratasi pada 6 jam pertama.
3.4.4. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi,
perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
Resiko injuri atau bahaya fisik ini merupakan antisipasi terhadap berbagai
kemungkinan timbulnya gangguan pada fisik akibat perilaku adanya penurunan
pada mode sensasi. Bertolak dari banyaknya kejadian ulkus kaki pada pasien DM,
awal terjadinya ulkus rata–rata tidak mengetahui penyebabnya. Hal ini terjadi
karena penurunan sensasi baik pada kaki yang disebabkan oleh neuropathy perifer.
Selain itu pengetahuan yang kurang dan perilaku yang salah dalam perawatan kaki
menjadi stimulus kontekstual yang selalu pada pasien ulkus.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
108
Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus pada kaki, pengkajian kaki merupakan
tindakan yang efektif untuk menemukan resiko terjadinya ulkus dan dengan
intervensi yang tepat pada setiap resiko ulkus yang ditemukan akan mencegah
terjadinya ulkus 40 – 80 % (Taylor, 2008).
Selain pengkajian kaki, edukasi untuk perawatan kaki secara mandiri
(pemeriksaan kaki oleh pasien atau dibantu keluarga, pencucian, menggunting
kuku, menggosok kalus) menjadi bagian penting dalam pencegahan terjadinya
ulkus. Model edukasi yang dilakukan pada perawatan kaki akan lebih dipahami
oleh pasien jika dilakukan dengan mendemonstrasikan langsung atau memberikan
tayangan visual (video).
Kendala yang praktikan hadapi saat menerapkan pengkajian kaki di rawat jalan
sebagai bagian dari pelayanan primer adalah banyaknya kunjungan pasien yang
datang, waktu kunjungan yang singkat dan tempat yang terbatas. Poli kaki diabetic
sebagai bagian dari poli penyakit dalam belum melakukan perannya sebagai upaya
preventif, namun lebih kepada upaya kuratif dalam mengatasi pasien yang sudah
mengalami ulkus. Sementara itu, kendala yang awalnya ditemukan di rawat inap
saat melakukan pengkajian kaki adalah keterbatasan alat pemeriksaan. Namun
pada akhirnya kendala ini (rawat inap) dapat segera diatasi dengan adanya
kegiatan inovasi.
3.4.5. Mode Konsep Diri (Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan,
perubahan status peran dan ancaman status kesehatan
Dari 32 pasien yang praktikan kelola, 22 pasien (68,8%) mengalami masalah pada
konsep diri yaitu kecemasan. Kecemasan yang dialami tidak hanya bersumber dari
penyakitnya (adanya ulkus, penyakit kronis) namun juga akibat tindakan yang
dilakukan (perawatan luka, pemeriksaan gula darah yang sering). Masalah
perubahan peran terutama bagi wanita yang harus meninggalkan peran utamanya
sebagai ibu atau pasien pria yang harus menghidupi keluarganya juga ditemukan
pada kasus kelolaan yang praktikan lakukan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
109
Masalah keperawatan kecemasan di definisikan sebagai perasaan tidak nyaman
atau kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber seringkali tidak
spesifik atau tidak diketahui oleh individu) ; perasaan takut yang disebabkan oleh
antisipasi
terhadap
bahaya.
Merupakan
isyarat
kewaspadaan
yang
memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk
bertindak menghadapi ancaman (NANDA, 2012). Kecemasan yang dirasakan
pasien DM akan berdampak pada masalah fisik seperti nyeri yang bertambah,
gangguan tidur, perubahan pada tekanan darah hingga mempengaruhi stabilitas
gula darah dan system imun. Pengaruh kecemasan terhadap kondisi diatas dapat
dijelaskan melalui psikoneuroimunoendokrinologi.
Sistem endokrin : stres psikis dan psikososial berdampak terhadap peningkatan
aktivitas hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) melalui Corticotropin Releasing
Factor (CRF). CRF berperan sebagai koordinator respon antara sel saraf terhadap
stres tersebut. CRF menginstruksikan saluran-saluran pituitary pada otak untuk
mengeluarkan ACTH (Adrenoccorticotropic Hormon) yang mengaktifkan korteks
adrenal untuk mengeluarkan hormone corticoid. Corticoid berupa glucocorticoid
mengeluarkan kortisol dan mineralocorticoid yang mengeluarkan aldosteron.
Aldosteron dapat meningkatkan tekanan darah sedangkan kortisol mempunyai
beberapa fungsi. Fungsi pertama kortisol meningkatkan gula darah untuk energi
dan memobilisasi free fatty acids dari jaringan adiposa. Lapisan lemak ini dipecah
menjadi protein yang meningkatkan tekanan darah arteri, sehingga mempunyai
bahan bakar untuk mempersiapkan proses hadapi (munculnya stresor). Fungsi
kortisol yang kedua menyebabkan perubahan fisiologi yang sangat bermakna,
yaitu menurunkan pelepasan limphosit dari saluran timus dan lymphnodes.
Limphosit ini penting untuk sistem imun. Jika kortisol meningkat berdampak pada
penurunan efektifitas respon sistem imun. Padan sistem saraf otonom : pesan
dikirim melalui bagian posterior dari hipotalamus melalui saraf ke adrenal
medulla. Pada proses ini terjadi pengeluaran epinephrine dan nor-epinephrin. Ini
menunjukan kaitan yang erat antara stres, neuro dan imunitas. Selanjutnya aspek
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
110
psikologis seperti stres dapat mempengaruhi ekspresi sel Th1dan Th2 yang akan
menghambat imunitas seluler dan humoral
Intervensi keperawatan yang dilakukan pada masalah kecemasan ini diantaranya
dengan menggali sumber stress melalui pengkajian stimulus, mendiskusikan
dengan klien kekuatan yang dimiliki, mengguanakan berbagai tehnik relaksasi
seperti PMR, dan meningkatkan keyakinan spiritual pasien sebagai salah satu
sumber kekuatan dari dalam diri pasien.
Meningkatkan keyakinan spiritual sebagai upaya meningkatkan kesehatan fisik
dan mental belum sepenuhnya menjadi bagaian dari asuhan keperawatan
gangguan kecemasan khususnya tempat praktikan menjalani paraktik. Dari hasil
pengkajian kebutuhan spiritual beberapa pasien meninggalkan kegiatan spiritual
(sholat) yang sebelumnya selalu dilakukan. Stimulus yang ditemukan pada kondisi
ini diantaranya karena ketidaktahuan pasien dalam menjalankan kegiatan spiritual
saat sakit, karena motivasi yang kurang atau karena tidak tersedianya fasilitas
untuk menjalankan praktek spiritual (Mukena, sajadah, injil, dan lainnya).
Intervensi yang dapat dilakukan pada kondisi ini adalah meningkatkan keyakinan
pasien bahwa spiritual akan membantu proses penyembuhan, mendiskusikan cara
ibadah saat sakit dan melibatkan keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk
ibadah.
Evaluasi yang ditemukan pada pada masalah kecemasan, didapatkan perilaku
adaptif seperti : pasien mampu mengungkapkan sumber kecemasnnya, mampu
mengembangkan koping yang baik untuk mengatasi kecemasannya, ungkapan
menerima kondisi sakitnya dan motivasi dalam menjalankan perawatannya. Waktu
yang dapat dicapai untuk mengatasi berentang antara hari ke 3 hingga ke 7.
Pencapain ini dipengaruhi juga oleh support system dari keluarga,dan maslah
financial. Oleh sebab itu, melibatkan support dari keluarga menjadi hal yang
utama pada intervensi kecemasan.
Setelah praktikan melakukan asuhan keperawatan dengan menerapkan model adaptasi
Roy, pada pasien gangguan endokrin khususnya untuk kasus DM, praktikan dapat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
111
menggambarkan bahwa MAR merupakan salah satu model asuhan keperawatan yang
dapat dilakukan secara holistic. Pengkajian yang dilakukan pada empat mode telah
mencakup masalah bio, psiko, social dan kultural. Pengkajian tidak hanya pada perilaku
yang dapat dilihat, diukur dan diobsevasi, namun MAR menggali lebih lanjut penyebab
dari timbulnya setiap perilaku, yaitu melalui pengkajian tahap dua. Pengkajian yang
komprehensif akan menentukan intervensi yang tepat. MAR mengarahkan bahwa
penetapan intervensi keperawatan dengan menggurangi stimulus yang ada sebagai sumber
penyebab perilaku maladaptif /inefektif dan keberhasilan intervensi ditunjukan dengan
perubahan perilaku kearah adaptif.
Kelemahan lain dari MAR yang praktikan rasakan adalah pola pengkajian yang tidak
dapat dilakukan secara utuh pada kasus kegawatan terutama di unit gawat darurat dan pada
unit rawat jalan. Pada unit gawat darurat, pengkajian utama yang kita lakukan lebih
kepada mode fisiologi yang saat itu dirasakan oleh pasien, sehingga pengkajian untuk
mode yang lain sulit untuk dilakukan. Selain karena masalah fisiologi yang harus segera
diatasi, pasien akhirnya akan dipindahkan ke unit lain. Begitu juga dengan pasien di poli
rawat jalan. Singkatnya waktu yang digunakan untuk melakukan asuhan keperawatan
menyulitkan MAR ini digunakan. Masukan yang dapat praktikan usulkan berhubungan
dengan penerapan MAR di unit gawat darurat, format pengkajian hingga intervensi dibuat
dengan model Check list . Pada mode adaptasi yang belum terkaji dapat ditindaklanjuti di
tempat pasien tersebut menjalani perawatan.
Kesulitan lain yang praktikan dapatkan dalam menentukan diagnose sejahtera. Diagnosa
keperawatan sejahtera didefinisikan sebagai ketentuan klinis mengenai individu
dalamtransisi dari tingkat kesehatan khusus ke tingkat kesehatan yang lebih baik.
Diagnosa ini menggabungkan fungsi positif yang didapatkan. Pada MAR dalam
menentukan masalah keperawatan berorientasi pada perilaku inefektif. Ketika ditemukan
perilaku inefektif dan didukung dengan perilaku adaptif, ini merupakan kondisi khusus
untuk menuju terjadinya peningkatan fungsi kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini,
praktikan menggunakan panduan NANDA dalam menentukan diagnose keperawatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
112
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
113
BAB 4
PRAKTEK BERDASARKAN PEMBUKTIAN
PENGKAJIAN KAKI SEBAGAI DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI
PADA PASIEN DM TIPE II
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa
darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang
disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini
dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi
vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Komplikasi kronik
yang sering dijumpai diantaranya adalah kaki diabetik yang dapat bermanifestasi sebagai
ulkus, infeksi dan gangren. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam perjalanan
penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di kaki (Taylor, 2008;
Clair.D, 2011).
Prevalensi penderita ulkus Diabetes di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%,
angka mortalitas 32% dan ulkus diabetes merupakan sebab perawatan rumah sakit yang
terbanyak sebesar 80% untuk Diabetes mellitus (Hastuti, 2008). Dampak dari timbulnya
ulkus pada penderita Diabetes, tidak hanya dari tingginya biaya perawatan namun lebih
jauh akan menurunkan produktifitas penderita, gangguan konsep diri hingga
menurunnya kualitas hidup.
Pengelolaan kaki diabetes sudah dimulai saat seseorang dinyatakan menderita Diabetes
mellitus, meskipun belum timbul luka atau ulkus. Langkah awal untuk melakukan
pengelolaan dengan tepat adalah melakukan screening atau deteksi dini terhadap kaki
pendereita diabetes. Deteksi dini yang optimal dapat menurunkan resiko terjadinya ulkus
kaki dan amputasi sebesar 40 – 85% (Taylor, 2008; Yudovsky et al, 2011).
Deteksi dini pada gangguan kaki diabetik merupakan salah satu kegiatan dalam
pengkajian keperawatan yang harus dilakukan oleh seorang perawat. Pengkajian yang
akurat dan komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada
pasien dan selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat (Perry &
Poter, 2010). Screening atau deteksi terhadap resiko ulkus kaki diabetik yang dilakukan
oleh Malgrange et al, tahun 2003 di 16 pusat pelayanan diabetik di Perancis terhadap
555 pasien, ditemukan 72,8% beresiko rendah mengalami ulkus pedal dan 17,5 % berada
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
114
pada klasifikasi resiko tinggi. Dari deteksi tersebut disimpulkan bahwa hasil deteksi
menjadi dasar bagi penyelenggara pelayanan kesehatan untuk merencanakan strategi
pencegahan terhadap kejadian ulkus diabetik. Pada studi comparative yang dilakukan
oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada pasien diabetes di
Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania ditemukan masalah
resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di Swedia. Faktor yang
berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia dikarenakan Swedia
merupakan negara yang lebih maju dibandingkan Tanzania terutama dalam pelayanan
kaki diabetik. Disampaikan bahwa pengkajian kaki diabetik telah dilakukan pada pasien
diabetik sebagai langkah awal dalam pencegahan ulkus diabetik. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Rerkasem et al, 2007 dalam Taylor.M.C,2008 terhadap 171 penderita
ulkus kaki diabetik di Chiang Mai University Hospital, menggunakan metode cohort
membandingkan perawatan standar dengan diabetik foot protocol (DFP) terhadap
kejadian amputasi. Hasil penelitian menunjukan adanya penurunan kejadian amputasi
baik mayor maupun minor pada kelompok dengan perlakukan DFP yang meliputi
pengkajian, intervensi dan monitoring kaki diabetik.
Pengkajian kaki secara komprehensif sebagai upaya deteksi dini terhadap ulkus diabetik
seharusnya dilakukan pada semua penderita Diabetes. RNAO,2005;Farber &
Farber,2007 dalam Taylor,M.C, 2008 dan ADA, 2011, menguraikan komponen penting
dalam pengkajian kaki diabetik berdasarkan penyebab gangguan pada kaki diabetik yang
meliputi : riwayat hiperglikemia, faktor resiko seperti merokok dan riwayat penyakit
vaskuler , riwayat ulkus dan amputasi, neuropati, vaskularisasi, deformitas pada
musculoskeletal, kondisi kuku kulit, adanya infeksi,serta penggunaan alas kaki. Pada
akhirnya, dari hasil pengkajian dapat diklasifikasikan terhadap resiko terjadinya ulkus
kaki diabetik. Salah satu klasifikasi yang banyak digunakan adalah klasifikasi yang
dikembangkan oleh International Working Group on the Diabetik Foot tahun 1999.
Resiko kaki diabetik dibagi dalam 4 klasifikasi (IWGDF, 2001).
Selanjutnya pada bab ini akan dipaparkan hasil analisa dan sintesa secara kritis terhadap
berbagai hasil penelitian yang berhubungan dengan pengkajian kaki sebagai upaya deteksi
dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik. Praktikan juga akan memaparkan pengalaman
praktikan dalam melaksanakan praktek berdasarkan pembuktian (EBN) pada kasus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
115
kelolaan. Pada tahap akhir, praktikan akan melakukan penelaahan terhadap pengalaman
melakukan EBN pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki
diabetik.
4.1.Hasil Journal Reading (Critical Review)
Dalam penerapan praktek berdasarkan pembuktian, langkah awal yang dilakukan
adalah penelusuran literatur melalui EBSCO data bases; CINAHL, Proquest dan
MEDLINE. Kata kunci yang digunakan yaitu: diabetik foot, ulcer diabetik,
assessment diabetik foot, dan diabetik foot screening. Selanjutnya dilakukan review
kritis pada literature yang mendukung.
1. Judul artikel : Foot Assessment in type 2 Diabetes:an evidence-based practice
approach oleh Taylor M.C, 2008 .
Merupakan sebuah sistematik review yang menganalisis berbagai Evidence Based
Nursing Practice dengan berbagai tingkatan atau level mengenai pengkajian kaki
diabetik. Literatur dari artikel ini didapatkan dari tiga EBN pada level 1, tiga
EBN Level II, tidak ditemukan EBN dengan level III, empat EBN level IV, empat
EBN level VI dan lima EBN pada Level VII. Latar belakang dari ini sistematik
review adalah bahwa gangguan kaki merupakan penyebab
kesakitan pada
penderita Diabetes tipe 2. Ulkus kaki diabetik juga menjadi penyebab terbanyak
amputasi pada kaki bagian bawah. Salah satu upaya termudah dalam mendeteksi
adanya gangguan pada kaki dan akhirnya mengurangi kejadian amputasi adalah
dengan melakukan pemeriksaan atau pengkajian pada kaki secara menyeluruh,
cermat dan konsisten pada setiap kunjungan. Pada kaki penderita diabetes tanpa
gangguan vaskuler, neurophati, maupun deformitas pemeriksaan dapat dilakukan
minimal satu tahun sekali. Sayangnya ketika penderita Diabetes berkunjung ke
pelayanan primer untuk kontrol penyakitnya (kunjungan rutin) penderita Diabetes
ini jarang ditanyakan mengenai masalah kaki, perawatan kaki yang dilakukan,
penggunaan alas kaki apalagi diminta untuk membuka kaus kaki dan alas kakinya
untuk dilakukan pemeriksaan kaki.
Dalam sistematik review ini, Taylor M.C., 2008 mempunyai tujuan mereview dan
mensintesis literature yang berbasis bukti bagaimana pengkajian kaki pada pasien
diabetes pada pelayanan primer atau rawat inap untuk mendeteksi adanya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
116
neurophati, deformitas, penurunan vaskularisasi dan perkembangan ulkus. Pada
akhirnya berdasarkan klasifikasi hasil pengkajian kaki direkomendasikan
intervensi untuk menurunkan komplikasi ulkus pada Diabetes tipe 2. Berdasarkan
analisis didapatkan pertanyaan PICO pada literature ini adalah apakah pengkajian
kaki yang selalu dilakukan pada pasien Diabetes tipe 2 di pelayanan primer
maupun rawat inap dapat menurunkan resiko komplikasi pada ekskremitas bawah.
Taylor, M.C, 2008 menguraikan PICO pada artikel ini sebagai berikut : Population
(P) atau populasi pada EBN ini semua penyandang Diabetes tipe 2 tanpa ulkus.
Intervensi (I) atau tindakan yang dilakukan adalah pengkajian kaki. Comparation
(C) atau pembanding dari penerapan EBN ini, dinyatakan tidak ada pembanding.
Dijelaskan oleh Taylor, bahwa pengkajian kaki pada pasien diabetes tipe 2 telah
menjadi panduan standar Internasional dan sebagai EBN level 1. Outcome (O) atau
hasil akhir yang diharapkan adalah teridentifikasinya resiko kaki diabetes melalui
pengkajian kaki dan pada akhirnya dengan intervensi yang sesuai oleh
multidisiplin keilmuan/profesi akan menurunkan komplikasi ekskremitas bawah
seperti ulkus diabetik.
Validitas dan reliabilitas pada systematic review ini disampaikan bahwa pengkajian
kaki yang direkomendasikan ini merupakan pengkajian standar pada level 1 yang
telah menjadi panduan internasional. EBN level 1 didefinisikan sebagai evidence
yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai randomized
control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review pada RCT. Pada
systematic review ini, EBN level 1 yang digunakan adalah rekomendasi dan
panduan pengkajian kaki dari American Diabetik Association (ADA), 2008 dan
American Association of Clinical Endokrinologist (AACE), 2007, sebagai berikut :
a.
ADA dan AACE merekomendasikan untuk melakukan deteksi terhadap
neuropathi khususnya pada yang pertama kali terdiagnosis DM tipe 2 dan
dilakukan minimal satu tahun sekali (level A).
b.
AACE : melakukan pemeriksaan kaki pasien DM tipe 2 pada setiap
kunjungan dengan mengevaluasi kondisi kulit, kuku, nadi, temperature,
adanya tekanan dan kebersihan kaki (Level B)
c.
ADA : melalukan inspeksi kaki penderita DM tipe 2 pada setiap kunjungan
jika didapatkan neuropati (level B)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
117
d.
ADA dan AACE : melakukan uji monofilament, garpu tala, palpasi, dan
inspeksi untuk melakukan pengkajian kaki yang komprehensif (level B)
e.
Melakukan rujukan kepada spesialis perawatan kaki pada kondisi penurunan
sensasi, perubahan mekanik kaki, riwayat merokok atau adanya riwayat
komplikasi kaki sebelumnya ( level C)
f.
ADA : melakukan pengkajian adanya Peripheral Arterial Disease (PAD)
dengan melakukan palpasi pada arteri pedal dan melakukan pemeriksaan
Angkle Brachial Index (ABI) untuk mendiagnosis adanya penurunan sirkulasi
vaskuler (level C)
g.
ADA dan AACE : pentingnya melakukan edukasi mengenai perawatan kaki
dan modifikasi gaya hidup sesuai panduan (Level B).
Rekomendasi yang dibuat pada systematic review ini adalah :
a.
Pemeriksaan kaki sejak awal pada penderita Diabetes di pelayanan primer
akan mampu mendeteksi gangguan pada kaki seperti gangguan sensasi
(neurophati),gangguan vaskuler maupun deformitas, yang akan menghambat
perkembangan ulkus pada kaki
b.
Deteksi dini gangguan pada kaki diabetik akan menurunkan angka kematian
yang berhubungan dengan Diabetes tipe2
c.
Perawatan pasien Diabetes dengan berbagai komplikasi termasuk ulkus
diabetik akan meningkatkan pembiayaan, sehingga deteksi dini terhadap
masalah kaki diabetik akan menurunkan biaya perawatan
d.
Pelayanan kesehatan primer mempunyai peranan penting dalam mendeteksi
gangguan kaki dan melakukan pencegahan dengan memberikan edukasi dan
perawatan kaki, melakukan pemantauan pada setiap kunjungan atau
melakukan pemeriksaan kaki sesuai yang direkomendasikan
2.
Judul Artikel : Effectivenness of the diabetik foot risk classification system of the
International Working Group on the Diabetik Foot oleh
Edgar J.G. Peters &
Lawrence A. Lavery pada tahun 2001.
Tujuan dari penelitian ini adalah menilai efektifitas klasifikasi kaki berdasarkan
klasifikasi yang dikembangkan oleh IWGDF. Desain dan metode penelitian :
menggunakan sample 225 pasien diabetes yang pada awalnya menjadi bagian dari
studi case control di University of Texas Health Science Center di San Antonio.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
118
Pada akhirnya hanya 213 pasien yang diamati selama 29 bulan. Sample kemudian
dikelompokkan menjadi 4 kelompok sesuai consensus IWGDF, yaitu 0 untuk kaki
tanpa neuropati, 1 dengan neuropati tetapi tidak ada deformitas maupun PVD, 2
merupakan kelompok sengan neuropati dan deformitas atau PVD dan kelompok 3
pasien dengan riwayat ulkus maupun amputasi.
Hasil penelitian di dapatkan pada kelompok resiko tinggi mempunyai riwayat
diabetes lebih lama, glukosa yang tidak terkontrol, adanya gangguan pembuluh
darah dan neuropati serta adanya komplikasi sistemik. Diamati selama tiga tahun
ulkus kaki terjadi 5.1 % pada kelompok 0, 14,3% pada kelompok 1, 18,8% pada
kelompok 2 dan 55,8 % pada kelompok 3 (P<0,001). Kejadian amputasi
ditemukan pada kelompok 2 sebanyak 3,1% dan kelompok 3, 30,9% (P < 0.001).
Pada akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa klasifikasi menurut IWGDF
dapat digunakan sebagai alat untuk screening dan mencegah komplikasi kaki
diabetik.
3.
Judul Artikel : Do foot examinations reduce the risk of diabetik amputations oleh
Mayfield, reiber, Nelson & Greene, tahun 2000.
Penelitian ini dilatarbelakangi bahwa pemeriksaan kaki telah direkomendasikan
sebagai metoda untuk mengurangi resiko amputasi, tetapi karena belum ada
penelitian yang dilakukan untuk melihat efek independen dari pemeriksaan kaki
ini terhadap penurunan resiko amputasi.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan desain
retrospektif case control, diwilayah Arizona dengan melibatkan 244 sampel yang
terdiri dari 61 kasus amputasi ekskremitas bawah pada 1 januari 1985 dan 31
Desember 1992. Dan 183 kasus control yaitu pada pasien yang tidak diamputasi
pada tanggal 31 Desember 1992. Penelitian dilakukan dengan mencatat hasil
pemeriksaan kaki, komplikasi atau penyakit penyerta, faktor resiko ulkus selama
36 bulan dari medical record.
Hasil penelitian menunjukan total pemeriksaan yang dilakukan sebanyak 1857
kali pada 244 sampel. Rata – rata pemeriksaan dilakukan sebanyak 7 kali pada
kasus dan 3 kali pada control. Resiko amputasi pada orang yang dilakukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
119
pemeriksaan kaki 1 kali atau lebih menunjukan OR 0.55 (95% CI,02-1,7, P
=0,31). Resiko amputasi berhubungan dengan ketidakpatuhan terhadap perawatan
kaki yang direkomendasikan menunjukan hasil OR 1,9 (95% CI, 09-4,3, P =0,10).
Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini gagal membuktikan bahwa pengkajian
kaki dapat menurunkan resiko amputasi, namun pengkajian kaki mampu
mendeteksi kondisi resiko tinggi untuk amputasi sehingga intervensi yang tepat,
akan menurunkan kejadian amputasi.
Hasil critical review pada 3 jurnal yang saling mendukung, selanjutnya akan diterapkan
pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini kaki diabetic, berdasarkan jurnal yang
ditulis oleh Taylor, 2008 dengan judul “Foot Assessment in type 2 Diabetes:an
evidence-based practice approach”
4.2. Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian
Dalam
pelaksanaan
praktek
berdasarkan
pembuktian
(EBN)
ini
praktikan
menggunakan hasil systematik review dari Taylor M.C, 2008. Systematik review ini
masuk ke dalam katagori EBN level 1. Sesuai definisi EBN level 1 adalah sebuah
evidence yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai
randomized control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review dengan
RCT (Taylor M.C,2008).
Penerapan EBN ini dilakukan ditempat praktek (RS.Fatmawati), dengan terlebih
dahulu melalui pengamatan fenomena selama praktikan melaksanakan praktek
residensi 1 dan 2. Hasil penelusuran data, didapatkan
bahwa pasien Diabetes
menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak pada tahun 2010 di RSUP.
Jumlah pasien diabetes yang dirawat khususnya di ruang rawat inap penyakit dalam
di gedung Teratai lantai 5 Selatan pada bulan September 2011 hingga Februari 2012
sebanyak 123 pasien terdiri dari 36 (29.1 %) pasien mengalami ulkus diabetik dan
87 (69.9 %) pasien dengan tanpa ulkus. Prosentase data rawat inap pasien ulkus ini,
lebih tinggi dibandingkan dengan prosentase ulkus di Indonesia yang berjumlah 15%
dari seluruh kasus Diabetes di Indonesia. Berdasarkan angka tersebut dapat kita
cermati bahwa jumlah pasien diabetes melitus dengan tanpa ulkus cukup tinggi,
sehingga hal ini perlu menjadi perhatian untuk memberikan intervensi yang tepat
sehingga tidak berlanjut pada ulkus diabetik. Intervensi awal yang dapat dilakukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
120
adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya mengetahui resiko terjadinya ulkus
pada pasien diabetes tersebut.
Penerapan EBN ini mulai dilaksanakan pada minggu ke dua Maret hingga awal
minggu pertama bulan Mei 2012. Dalam pelaksanaannya praktikan melibatkan sesama
residen, mahasiswa program aplikasi dan juga perawat ruangan. Langkah pertama
pada penerapan EBN ini adalah menginformasikan rencana kegiatan kepada
management ruangan dan selanjutnya melakukan sosialisasi. Pemilihan pasien
disesuaikan dengan kriteria, yaitu pasien DM tipe 2 tanpa ulkus kaki, tidak mengalami
sakit berat maupun penurunan kesadaran. Format yang digunakan sebagai panduan
pengkajian adalah format status kaki diabetes yang telah dimiliki oleh rumah sakit
Fatmawati. Format ini khususnya untuk pengkajian kaki secara keseluruhan sudah
sesuai dengan rekomendasi dari EBN yang digunakan. Penerapan EBN ini dilakukan
pada 20 responden yang sesuai kriteria. Semua pasien merupakan penderita DM tipe 2
terdapat 3 pasien (15%) baru terdiagnosis diabetes. Pelaksanaan pengkajian kaki
pasien DM, dimulai dengan mengisi identitas pasien yang meliputi nama,usia, dan
nomer register. Selanjutnya dilakukan pengisian hasil laboratorium meliputi nilai gula
darah sewaktu dan nilai HbA1C yang dapat dilihat dari status pasien. Selanjutnya
dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik terutama pada area kaki. Berikut ini
kegiatan pada pengkajian kaki diabetik.
4.2.1. Anamnesa
Anamnesa atau wawancara yang dilakukan meliputi status kesehatan yang
mempengaruhi proses terjadinya kaki diabetik diantaranya adalah lamanya
menderita diabetes. Riwayat penyakit yang akan mempengaruhi kaki diabetik
seperti adanya penyakit kardiovaskuler, gangguan peripheral vaskuler, adanya
gangguan penglihatan, riwayat pembedahan pada pembuluh darah atau
amputasi dan riwayat ulkus kaki sebelumnya. Pola hidup yang ditanyakan
terkait dengan kaki diabetik meliputi, penggunaan alas kaki, merokok dan
konsumsi alcohol. Keluhan pada kaki seperti hilang rasa, kesemutan dan nyeri
pada area kaki termasuk klaudikasio merupakan hal yang harus ditanyakan
pada pasien.
4.2.2. Pemeriksaan fisik
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
121
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan olfaksi dan
pemeriksaan khusus. Observasi pertama yang dilakukan pada pasien diabetes
adalah gaya berjalan. Gaya berjalan dimana beban tubuh bertumpu pada satu
kaki, merupakan resiko tinggi untuk terjadinya kaki diabetik. Fokus
pemeriksaan fisik pada kaki diabetik adalah pada vaskuler, saraf dan kelainan
pada kulit, kuku dan musculoskeletal (deformitas)
a.
Kulit, kuku dan deformitas musculoskeletal
Melakukan observasi pada kebersihan dan bau dari area kulit kaki ,adanya
athropi otot, ulcer, eritema, kulit kering dan bersisik, kelainan pada kuku
dan adanya formasi kallus. Kelainan bentuk pada musculoskeletal
meliputi, penurunan pada gerak sendi kaki, adanya claw toes, hammer
toes, dan charcot.
b. Pemeriksaan Vaskularisasi
Pemeriksaan vaskularisasi ke area kaki dimulai dengan melakukan palpasi
temperatur kulit, pulsasi pada arteri posterior tibialis dan dorsalis pedis.
Pemeriksaan lanjut yang digunakan untuk mengetahui vaskularisasi kearah
kaki dan untuk mengidentifikasi adanya resiko gangguan arteri peripheral
(PAD), dapat dilakukan pemeriksaan Angkle Brachial Indexes (ABI). ABI
adalah test non invasive untuk mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki
(ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (brachial). Tekanan darah
sistolik diukur dengan menggunakan alat yang disebut simple hand held
vascular Doppler ultrasound probe dan tensimeter (manometer mercuri
atau aneroid). Pemeriksaan ABI dilakukan untuk mendeteksi adanya
insufisiensi arteri sehingga dapat diketahui adanya gangguan pada aliran
darah menuju ke kaki. Direkomendasikan menggunakan probe dengan
frekuensi 8 MHz untuk ukuran lingkar kaki normal dan 5 MHz untuk
lingkar kaki obesitas atau edema.
c.
Pemeriksaan Neuropathy
Neuropathy yang dapat terjadi pada kaki diabetik diantaranya neuropathy
otonom, neuropathy sensorik, maupun neuropathy motorik. Neuropathy
otonom dapat dilihat adanya penurunan produksi keringat pada area kulit
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
122
sehingga menyebabkan kulit kering,licin atau bersisik. Gangguan
neuropathy sensorik ditemukan adanya penurunan sensasi terhadap raba,
getar, suhu, maupun nyeri. Gangguan pada serabut saraf aferen dapat
dideteksi dengan adanya penurunan reflek tendon baik tendon patella
maupun achiles. Pemeriksaan neuropathy sensori getar digunakan
garputala dengan frekuensi 128 Hz, dan untuk pemeriksaan sensasi rasa
digunakan monofilament 10 gr, 5.07. Area-area untuk melakukan
pengujian monofilament
Gambar 4.1
Area melakukan uji monosilament
Sumber : Assessing Protective Sensation with a Monofilament”, pada Advances in Skin &
Wound Care, 17(7), p.346. Copyright 2004 by Lippincott Williams & Wilkins, dalam
Nowakowski, P.E, 2008
Data-data yang di dapatkan pada pengkajian, selanjutnya dilakukan analisis
untuk disimpulkan apakah ada gangguan atau resiko terjadinya ulkus pada
penderita diabetes tersebut. Klasifikasi yang praktikan gunakan berdasarkan
klasifikasi dari International Working Group on the Diabetik Foot
(IWGDF) tahun 1999. Dibawah ini ditampilkan klasifikasi resiko
komplikasi kaki menurut IWGDF.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
123
Tabel 4.1.
Klasifikasi Resiko Ulkus Diabetik Menurut
International Working Group on the Diabetik Foot
Kategori
Resiko
0
1
2
3
Definisi
Rekomendasi Intervensi
- Tidak ada penurunan
sensasi
- Tidak ada gangguan
vaskularisasi
- Tidak ada deformitas
- Neurophaty (sensasi
) +/- Ditemukan
deformitas
- Edukasi : perawatan kaki
dasar & penggunaan alas
kaki
- Gangguan vascular
+/- Ada
neuropathy
sensori
- Riwayat ulkus kaki
atau
riwayat
amputasi
Rekomendasi
Follow up
Setiap tahun (dokter
umum, spesialis kaki)
- Edukasi kaki diabetik
- Pemeriksaan kaki setiap hari
- Penggunaan
alas
kaki
khusus
- Dipertimbangkan
untukkonsultasi ke dokter
bedah
- Sama dengan katagori 1
- Consultasi dengan spesialis
vaskuler
Mengunjungi
poli
kaki setiap 3 – 6
bulan sekali
- Sama dengan katagori 1
- Consultasi dengan spesialis
vaskuler,terutama jika ada
penurunan vaskuler
Mengunjungi
poli
kaki setiap 2 – 3
bulan sekali
Mengunjungi
poli
kaki setiap 2 – 3
bulan sekali
Adapun hasil pengkajian kaki pada penerapan EBN ini adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.2
Distribusi responden berdasarkan usia
di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
n= 20
Variabel
Mean Median
Usia
54,65
56,50
SD
Min-Maks
95% CI
11,67
26 - 69
49,1 – 60,1
Pada table 4.2 menggambarkan hasil analisis rata–rata usia responden dalam
penerapan pengkajian kaki ini adalah 54,65 tahun (95 % CI : 49,1 – 60,1), dengan
usia termuda 26 tahun dan usia tertua 69 tahun. Hasil estimasi interval dapat
disimpulkan bahwa 95% diyakini rata–rata usia responden adalah diantara 49,1 –
60,1 tahun.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
124
Tabel 4.3
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lama menderita DM dan
kadar HbA1C, di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati
Jakarta 2012, N = 20
Jumlah
Presentase
Jenis kelamin
ï‚· Pria
ï‚· Wanita
17
3
85 %
15 %
Lama menderita DM
ï‚· < 5 tahun
ï‚· > 5 tahun
9
11
45%
55%
Kadar HbA1C
ï‚· < 6,5 %
ï‚· > 6.5 %
1
19
5%
95%
Resiko ulkus kaki diabetik
ï‚· Rendah (0)
ï‚· Sedang (1)
ï‚· Tinggi (2)
11
4
5
55%
20%
25%
Variabel
Tabel 4.3 menggambarkan jenis kelamin responden sebagian besar adalah pria
dengan jumlah 17 orang (85%), 11 orang (55%) telah menderita diabetes lebih dari
5 tahun dan 95 % (19 responden) menunjukan kadar HbA1C diatas 6,5 % atau pada
kondisi gula darah yang tidak terkontrol dalam 3 bulan terakhir. Dari hasil
pengkajian kaki dan pengklasifikasian resiko ulkus kaki diabetes menurut IWGDF
didapatkan 11 responden (55 %) beresiko rendah, 4 responden (20%) beresiko
sedang dan 5 responden (25 %) beresiko tinggi terjadi ulkus kaki.
Selanjutnya praktikan mencoba melihat hubungan statistik antara usia, kadar
HbA1C, dan lama menderita DM, didapatkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
125
Tabel 4.4.
Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan lama menderita DM dan
kadar HbA1C di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati
Jakarta 2012, N= 20
Variabel
Resiko Kaki diabetik
Ringan
Sedang
Tinggi
n
%
N
%
n
%
Lama menderita DM
ï‚· < 5 tahun
ï‚· > 5 tahun
8
3
72,7
27,3
1
3
25
75
0
5
0
100
Kadar HbA1C
ï‚· < 6,5 %
ï‚· > 6.5 %
0
11
0
100
1
3
25
75
0
5
0
100
11
100
4
00
5
100
TOTAL
Tabel 4.4 menunjukan bahwa responden yang mempunyai katagori beresiko
terjadi ulkus kaki diabetik sedang, sebagian besar (75 %) telah menderita diabetes
lebih dari 5 tahun dan menunjukan kadar HbA1C yang lebih dari 6,5 %. Seluruh
responden (100%) yang mempunyai resiko tinggi ulkus kaki diabetik telah
menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan kadar HbA1C menunjukan lebih dari
6,5 %.
Tabel 4.5
Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan usia
di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
N= 20
Variabel
Usia
Resiko Ulkus
n
Mean
SD
ï‚· Rendah
11
50,82
12,687
ï‚· Sedang & Tinggi
9
59,33
8,803
Pada table 4.5 dapat dijelaskan responden dengan resiko ulkus kaki sedang dan
tinggi mempunyai rata-rata usia lebih tua sekitar 9 tahun dibandingkan pada
responden dengan resiko rendah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
126
4.3. Pembahasan
Kaki diabetik adalah kaki pada pasien diabetes yang rentan terkena berbagai proses
patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi pada jaringan kulit dalam, yang
merupakan komplikasi jangka panjang dari diabetes. Kaki diabetik ini terjadi akibat
abnormalitas saraf (neuropathy), berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer
(angiopathi), dan komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,
2008; Waspadji, 2009;Turn, 2011). Kelainan kaki juga menjadi salah satu penyebab
utama morbiditas pada pasien DM tipe 2 (Taylor, 2008; Hastuti, 2008: Waspadji,
2009). Di Rumah sakit Fatmawati khususnya di lantai 5 Selatan Gedung teratai
sebagai salah satu unit rawat inap penyakit dalam, pasien ulkus diabetes yang dirawat
jumlahnya mencapai 29,1 % dari seluruh pasien DM yang dirawat pada bulan
September 2011 hingga Februari 2012. Hal ini membuktikan bahwa ulkus diabetik
akan menyebabkan penyandang diabetes mengalami masalah kesehatan yang harus
mendapatkan perawatan yang lebih serius.
Ulkus kaki diabetik merupakan komplikasi dari penyakit DM yang dapat dicegah
sejak dini. Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus dapat diawali dengan melakukan
pengkajian pada kaki. Pengkajian kaki sebagai upaya melakukan deteksi dini dapat
menurunkan resiko terjadinya ulkus kaki dan amputasi sebesar 40-85% (Taylor,
2008; Yudovsky et al, 2011). Pengkajian merupakan langkah awal untuk
menentukan tindakan yang tepat sesuai dengan kondisi kaki yang ditemukan.
Pengkajian kaki untuk mendeteksi adanya resiko ulkus diabetik dilakukan dengan
mengidentifikasi faktor resiko seperti lamanya menderita DM, kadar HbA1C,
riwayat penyakit vaskuler, retinopathy maupun riwayat nefropathy. Penelitian yang
dilakukan oleh Simmons & Clover, 2007 di pelayanan primer di Selandia baru
dengan melihat status metabolic meliputi HbA1C, lipid profil, creatinin serum
terhadap resiko ulkus kaki, didapatkan hubungan antara status metabolic yang tidak
terkontrol dengan peningkatan resiko ulkus yang ditandai dengan kondisi kuku, kulit
kaki kurang baik, ditunjang dengan peningkatan kejadian retinopathy.
Pemeriksaan kaki yang dilakukan untuk mendeteksi adanya resiko ulkus meliputi
pemeriksaan vaskuler, pemeriksaan neuropathy perifer dan deformitas. Pemeriksaan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
127
ini merupakan pemeriksaan yang standar yang direkomendasikan oleh RNAO, 2004,
ADA, 2008, dan AACE, 2007.
Gangguan vaskuler menjadi faktor resiko ulkus kaki diabetik dapat dijelaskan sebagai
berikut : bahwa gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya
iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein
yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat
ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan
dengan reseptornya masing –masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan
pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan
ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu
serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan
penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen
pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi kearah perifer,
(Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009).
Selain gangguan vaskuler, neuropathy perifer juga menjadi Faktor resiko penting
pencetus ulkus kaki diabetik. Diperkirakan 40-65% ulkus kaki diabetik disebabkan
karena neuropathy sensori (Frykberg et al, 2006). Screening kaki diabetik yang
dilakukan pada 555 responden di berbagai pusat kesehatan di Perancis,mendapatkan
27 % mengalami neuropathy sensori dan dari 27% tersebut, 7.7% mempunyai resiko
tinggi terjadi ulkus kaki diabetik (Malgrange et al, 2003). Adapun proses terjadinya
neuropathy pada pasien diabetes adalah sebagai berikut : neuropathi diabetik (ND)
disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya
peningkatan jalur poliol,sintesis advance glycosilation and products (AGEs),
pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai
jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I,
2010).
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang
semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan
tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
128
Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat
mencapai 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun.
Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan
metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan
kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia.
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf
ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang
simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya
adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa
terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki
terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap
postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan
dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat
menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung.
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko
untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan yang harus dilakukan
terkait dengan neuropati perifer ini adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori
vibrasi. Hasil pemeriksan fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang
menunjukkan terdapat perubahan neuropatik (Brunner & Suddarth, 2005).
Pemeriksaan neuropathy sensori yang direkomendasikan dan merupakan EBN pada
level 1 adalah pemeriksaan Semmes–Weistein monofilament 10 gr, 5.07. Pemeriksaan
ini menggunakan monofilament 10 gr ukuran 5.07. Penggunaan monofilament 10 gr
untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh Nowakowski, P.E,
2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14 studi (1950 – 2007) dengan
jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 3142 orang dan dilakukan diberbagai
negara. Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa pemeriksaan menggunakan
monofilament 10 gr merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya
neuropathi perifer pada diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat
digunakan sebagai alat diagnostic tunggal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
129
Dari hasil penerapan pengkajian kaki yang dilakukan pada 20 pasien diabetes di
lantai 5 selatan di dapatkan hasil rata-rata usia responden 54,56 tahun, rata-rata usia
responden dengan resiko ulkus kaki pada katagori sedang dan tinggi adalah 59,33
tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Malgrange et al, 2003 di Perancis mendapatkan
responden yang mempunyai resiko ulkus diabetik sedang dan tinggi mempunyai
rata-rata usia 65 th. Sementara penelitian Bibby, 2008 mendapatkan rata-rata usia
responden yang mengalami resiko
tinggi di Tazania adalah 59,2 tahun dan di
Swedia dengan resiko sedang 58,3 tahun. Onset baru terjadinya DM tipe 2 yaitu pada
usia di atas 40 tahun dan dengan meningkatnya usia resistensi terhadap insulin, serta
penurunan terhadap berbagai fungsi organ terjadi,sehingga berbagai komplikasi lebih
cepat terjadi pada penderita diabetes pada usia yang lebih lanjut (Brunner &
Sudddarth (2005); Kebbi, 2003, dalam Ignativicius & Workman, 2006). Selain usia,
factor lain yang mempengaruhi terjadinya ulkus kaki diabetik adalah lamanya
menderita diabetes dan kadar HbA1C yang menunjukan control gula darah dalam 3
bulan terakhir.
Hasil penerapan EBN di dapatkan 100 % pada responden yang beresiko tinggi
terjadinya ulkus telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan mempunyai kadar
HbA1C lebih dari 6,5% yang menunjukan gula darah yang tidak terkontrol selama 3
bulan terakhir. Penelitian Al Mahroos & Al Roomi, 2007 dalam Taylor, 2008,
mendapatkan rata-rata responden telah menderita diabetes selama 9,5 tahun dan
didapatkan hubungan antara resiko ulkus dengan gula darah yang tidak terkontrol,
dimana ditemukan 36 % mengalami neuropathy perifer, 11,8 % mengalami gangguan
vaskuler perifer dan 5.9 % mengalami ulkus kaki.
Hambatan yang dialami praktikan saat menerapkan EBN pengkajian kaki ini adalah
peralatan yang tidak tersedia khususnya untuk monofilament 10 gr, garputala 128
Hz, dan Doppler dengan prob 8 MHz. Selain itu format yang kurang sistematis,
klasifikasi yang tidak sesuai dengan referensi praktikan serta kolom intervensi yang
tidak tersedianya kolom rekomendasi intervensi juga menjadi hambatan awal
praktikan menerapkan EBN ini.
Pemecahan
terhadap
hambatan
yang
praktikan
(monofilament 10 gr dan garputala 128 Hz)
lakukan,
untuk
peralatan
praktikan menyediakan sendiri,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
130
sedangkan untuk doppler digunakan spigmomanometer. Untuk keberlangsungan
penerapan pengkajian kaki ini praktikan bersama tim mengkomunikasikan kepada
management ruangan. Klasifikasi resiko ulkus yang praktikan gunakan mengacu
kepada klasifikasi IWGDF, 2009 yang digunakan oleh berbagai Negara dan telah
diuji kembali keefektifannya oleh Petter.E.J.G & Lavery L.A. tahun 2001.
Perawatan dan penatalaksanaan lanjut terhadap masalah kaki pasien diabetes tidak
hanya dilakukan oleh perawat, namun dokter dan educator juga mempunyai peranan
penting. Dokumentasi terhadap hasil pengkajian dan intervensi lanjut menjadi media
komunikasi untuk menindaklanjuti dan melihat perkembangan kondisi pasien.
Sistem pendokumentasian yang belum terintegrasi antar tenaga kesehatan, rawat
jalan dan rawat inap menjadi kendala dalam penatalaksanaan kaki diabetik yang
berkelanjutan. Praktikan telah mengkomunikasikan masalah dokumentasi tersebut,
dan masalah ini akan dijadikan topik diskusi dengan management.
Pengkajian kaki pada pasien diabetes dapat mengidentisikasi sejak awal adanya
resiko terjadinya ulkus kaki diabetik. Penatalaksanaan yang sesuai dengan
klasifikasi resiko ulkus akan mampu menurunkan kejadian ulkus hingga 85 %
(Taylor, 2008). Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang juga berperan
dalam masalah kaki diabetik. Salah satu standar kompetensi perawat menurut PPNI
tahun 2005, pada ranah kompetensi asuhan keperawatan dan pengembangan kualitas
pelayanan, perawat S1 atau D3 dengan pendelegasian dan pelatihan mempunyai
kompetensi untuk melakukan pengkajian
dan menerapkan praktek berdasarkan
EBN. Pada berbagai pelatihan kaki diabetes dimana peserta pelatihan adalah
perawat, materi tentang pengkajian kaki diabetik juga dipaparkan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya rekomendasi yang dapat diberikan untuk
penerapan EBN ini sebagai bagian dari asuhan keperawatan pada pasien diabetes
diantaranya :
a. perawat juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengkajian status kaki
pada pasien diabetes.
b. pencegahan ulkus kaki diabetik tidak hanya di lakukan dengan pengkajian
namun harus dilakukan intervensi yang sesuai dengan resiko ulkus yang
ditemukan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
131
c. Pendokumentasian
terhadap
hasil
pengkajian
sebagai
dasar
intervensi
selanjutnya dan sebagai media komunikasi baik sesama perawat maupun dengan
profesi lain yang berkaitan menjadi hal yang wajib dilakukan.
d. Sebagai upaya pencegahan pengkajian kaki ini akan sangat efektif dilakukan di
unit perawatan primer seperti rawat jalan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
132
BAB 5
KEGIATAN INOVASI
PENINGKATAN KEMAMPUAN PERAWAT DALAM
PENGKAJIAN KAKI DIABETIK SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI
RESIKO ULKUS KAKI DIABETIK
Kegiatan inovasi merupakan salah satu bentuk pelaksanaan peran perawat spesialis sebagai
pembaharu untuk suatu perubahan pada pelaksana asuhan keperawatan yang berkualitas.
Membantu meningkatkan kemampuan perawat generalis dalam melakukan asuhan
keperawatan dapat dilakukan oleh perawat spesialis melalui perannya sebagai narasumber
(resources), fasilitator, koordinator dan role model. Berikut ini akan diuraikan kegiatan
inovasi yang telah praktikan laksanakan pada praktek residensi.
5.1.Analisa Situasi
Masalah kaki diabetik sebagai salah satu komplikasi kronik diabetes banyak dialami
oleh penyandang diabetes. Pengkajian kaki diabetik merupakan upaya pencegahan
terjadinya masalah kaki diabetik dilakukan sejak awal seseorang terdiagnosis diabetes.
Perry & Poter, (2010) menyampaikan bahwa pengkajian yang akurat dan
komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada pasien dan
selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat.
Pengkajian merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat
sesuai dengan levelnya (vokasional, ners atau ners spesialis). Pada ranah peningkatan
kualitas pelayanan keperawatan, ners (S1 keperawatan) mempunyai kompetensi
untuk melakukan praktek berdasarkan pembuktian (evidence based) dan perawat
vokasional (D III keperawatan) mempunyai kompetensi untuk melaksanakan tugas
sesuai arahan dan sesuai dengan pelatihan yang diikuti (PPNI, 2005). Pengkajian
kaki diabetik merupakan praktek keperawatan yang didasarkan pada pembuktian,
sehingga perewat pada level ners atau vokasional yang telah mendapatkan pelatihan
mempunyai kewajiban untuk melakukan praktek ini sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas pelayanan. Sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus,
pengkajian kaki juga merupakan upaya preventif yang dapat dilakukan oleh perawat
generalis.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
133
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) adalah rumah sakit tipe A dan
merupakan rumah sakit rujukan rumah sakit lain khususnya diwilayah Jakarta
Selatan, Depok, Bogor dan Tangerang Selatan. Pada tahun 2010, diabetes merupakan
penyakit terbanyak dari sepuluh penyakit terbanyak yang ada di RSUPF dengan ratarata kunjungan di poli penyakit dalam sebanyak 1500 kasus DM tipe 2 baik kasus
baru maupun kasus lama. Gedung Teratai lantai 5 selatan merupakan salah satu unit
rawat inap penyakit dalam dengan kasus terbanyak rawat inap juga dengan diabetes.
Jumlah kasus diabetes yang dirawat dalam 6 bulan terakhir (September 2011 Februari 2012) mencapai 123 kasus dan 29,1 % dirawat dengan komplikasi ulkus
diabetik. Pasien diabetes tanpa ulkus dengan prosentase 70.9% pada akhirnya akan
berkomplikasi ulkus jika tidak terdeteksi dan tidak dilakukan tindakan pencegahan
Lantai 5 selatan di RSUPF sebagai ruang rawat penyakit dalam mempunyai 6 kamar
dengan jumlah tempat tidur masing-masing 6 tempat tidur, dan 2 kamar isolasi
dengan jumlah tempat tidur masing-masing 2 tempat tidur. Pasien diabetes yang
dirawat dilantai 5 selatan ini, ditempatkan di ruang nomer 529 untuk pasien wanita
dan ruang nomer 521 untuk pasien laki-laki. Jika pasien diabetes melebihi
kapasitas,pasien tersebut ditempatkan diruangan lain yang kosong. Salah satu
ruangan yang ada dilantai 5 selatan, selain ruang rawat inap, terdapat satu ruang
edukasi yang digunakan untuk mengadakan edukasi diabetes setiap hari Rabu.
Edukasi ini diikuti oleh keluarga pasien diabetes dan juga pasien diabetes yang
kondisinya memungkinkan untuk mengikuti edukasi. Materi edukasi yang diberikan
salah satunya adalah perawatan kaki. Edukasi ini dilakukan oleh edukator yang
terdiri dari dokter, perawat dan ahli gizi dan materi perawatan kaki diberikan oleh
perawat. Secara keseluruhan jumlah perawat di ruangan ini berjumlah 33 orang, 12
orang (36,4%) S1 keperwatan dan 21 orang (36.6%) DIII keperawatan dan 3 diantara
perawat tersebut adalah edukator.
Hasil observasi praktikan selama menjalani praktek residensi 1, khususnya di gedung
teratai lantai 5 selatan, format pengkajian kaki diabetik telah dimiliki oleh RSUPF.
Format ini merupakan format pengkajian yang diisi dan ditandatangani oleh dokter.
Pengkajian kaki pada pasien diabetes yang dirawat dilakukan oleh dokter residensi
atau dokter koas yang sedang praktek di ruang tersebut, namun pengkajian lebih
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
134
banyak dilakukan pada pasien diabetes yang sudah mengalami ulkus. Selain itu
pengisian format juga tidak selalu lengkap, terutama untuk pemeriksaan neuropati.
Pengisian yang tidak lengkap disebabkan karena tidak tersedianya alat pemeriksaan
kaki diabetik yang lengkap khususnya diruang rawat inap. Hasil pemeriksaan yang
dilakukan tidak diklasifikasikan dalam resiko ulkus sehingga tidak ada tindak lanjut,
kecuali pada yang telah terjadi ulkus.
Hasil wawancara dengan kepala ruangan, wakil kepala ruangan dan perawat primer,
bahwa pengkajian kaki tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya di rawat inap.
Hal ini disebabkan mereka berpersepsi pengkajian kaki merupakan kewenangan
dokter dan hanya perawat yang pernah mengikuti pelatihan edukator diabetes pada
tingkat lanjut saja yang mempunyai kemampuan untuk pengkajian kaki diabetik.
Wawancara yang dilakukan kepada seorang perawat edukator tingkat lanjut,
mengungkapkan bahwa pengkajian kaki di rawat inap tidak dilakukan, karena
biasanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas. Perawat edukator melakukan
edukasi mengenai perawatan kaki secara berkelompok pada pertemuan ke 3.
Pengkajian kaki yang dilakukan perawat biasanya dilakukan di poli kaki saat pasien
datang berkunjung ke poli kaki dan format yang digunakan juga format yang
ditandatangi oleh dokter.
Hasil kuesioner yang praktikan sebarkan terhadap 23 perawat di lantai 5 selatan,
didapatkan 23.5% pernah mengikuti pelatihan kaki diabetik, 41% pernah
mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik, 76% pernah melakukan pengkajian
kaki diabetik namun hanya 29.5 % yang pernah mengisi format status kaki. Survei
pengetahuan, didapatkan sebanyak 89% perawat sudah memiliki pengetahuan yang
baik tentang pengkajian kaki diabetik (dikatakan baik jika mendapat nilai 7 atau
lebih dengan point tertinggi 10). Dari analisis praktikan, hasil kuesioner untuk poin
pernah melakukan pengkajian kaki dan tingkat pengetahuan dirasakan tidak sesuai
dengan observasi dan wawancara kepada kepala ruangan dan perawat primer,
sehingga
dilakukan
wawancara
pada
beberapa
perawat
pelaksana
untuk
mengklarifikasi point tersebut. Hasil wawancara menunjukan bahwa pengkajian kaki
yang dilakukan sebatas melihat ada ulkus atau tidak, dan jika sudah ada ulkus, maka
dikaji lebih mendalam untuk kondisi ulkusnya. Pengkajian kaki diabetic tanpa ulkus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
135
sebagian besar perawat pelaksana belum pernah melaksanakan. Pengetahuan yang
dimiliki perawat pelaksana tentang pengkajian kaki, dari hasil wawancara
menunjukan sebagian perawat tidak mengetahui jenis-jenis kelainan kaki,
tidakmengetahui cara mengukur ABI maupun menggunakan monofilament serta nilai
normalnya. Disampaikan oleh beberapa perawat pelaksana bahwa ketika mengisi
kuesioner tentang pengetahuan mereka mengisi tanpa mengetahui mana yang benar
(menebak saja). Pada akhir kuesioner yang disebarkan, seluruh perawat
menginginkan adanya pelatihan pengkajian kaki.
Dari uraian diatas, analisis SWOT yang di dapatkan di gedung Teratai lantai 5
selatan RSUP Fatmawati adalah sebagai berikut :
5.1.1. Strength (Kekuatan)
Kekuatan yang dimiliki oleh RSUPF dalam penerapan pengkajian kaki diabetik
sebagai deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik adalah :
a. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit rujukan diwilayah selatan Jakarta,
Bogor, Tangerang selatan dan Depok, termasuk rujukan untuk kasus
diabetes.
b. RSUP Fatmawati mempunyai pelayanan diabetes yang terdiri dari unit
edukasi dan unit perawatan kaki diabetic dan dalam perencanaan
pengembangan menjadi pelayanan diabetes terpadu.
c. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit pendidikan bagi berbagai tenaga
kesehatan, sehingga sering dijadikan tempat penelitian dan penerapan
evidence based practice terbaru
d. Telah memiliki perawat dengan pendidikan S1 keperawatan atau DIII
keperawatan yang telah mengikuti pelatihan management kaki diabetik dan
edukasi. Hal ini sesuai dengan standar kompetensi perawat Indonesia pada
ranah pengkajian keperawatan dan ranah peningkatan kualitas pelayanan
e. Memiliki program edukasi diabetes yang telah terprogram dengan baik dan
dapat digunakan sebagai intervensi lanjut setelah pengkajian dilakukan
f. Mempunyai kelompok edukator diabetes dari berbagai disiplin ilmu
g. Memiliki poli kaki yang melayani perawatan kaki khususnya kaki diabetik
h. Telah memiliki format pengkajian status kaki diabetik yang terstandar
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
136
i. Memiliki
konsultan
endokrin
yang
handal
dan
peduli
terhadap
pengembangan pelayanan endokrin khususnya masalah diabetes.
j. RSUPF mempunyai program-program pengembangan kualitas pelayanan
asuhan keperawatan
5.1.2. Weakness (Kelemahan)
a. Pengkajian kaki hanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas dengan
pengisian format yang belum seluruhnya lengkap
b. Format pengkajian kaki yang dimiliki RSUPF ditandatangani oleh dokter
yang merawat, sehingga perawat menganggap pengkajian kaki menjadi
kewenangan dokter.
c. Perawat di lantai 5 selatan hanya 23.5% yang pernah mengikuti pelatihan
kaki diabetik, 41% pernah mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik,
76% pernah melakukan pengkajian kaki diabetik dan hanya 29.5 % yang
pernah mengisi format status kaki. Namun pengkajian kaki yang dilakukan
hanya terbatas mengobservasi ada ulkus atau tidak.
d. Keterbatasan jumlah alat untuk pengkajian kaki (Doppler, monofilament,
terutama di ruang rawat inap penyakit dalam)
e. Edukasi perawatan kaki diruang rawat inap diberikan secara umum dan
klasikal.
f. Sebagian besar pasien yang dirawat belum pernah mengunjungi poli kaki di
RSUPF.
5.1.3. Opportunity (Peluang)
a. Tingginya angka kunjungan pasien diabetes di poli penyakit dalam dan
pasien yang dirawat tanpa ulkus berjumlah 70.1 % dan mengungkapkan
ketakutannya jika sampai mengalami ulkus kaki
b. Angka kejadian ulkus diabetik yang meningkat dari tahun ketahun
merupakan perhatian perawat untuk berperan dalam upaya preventif melalui
pengkajian kaki.
c. Meningkatnya kesadaran penderita diabetes untuk memeriksakan kakinya
dan mengikuti program edukasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
137
d. Seluruh perawat di lantai 5 selatan menginginkan adanya peningkatan
pengetahauan mengenai pengkajian kaki
e. Adanya dukungan baik dari ruangan dan penentu kebijakan untuk
melakukan perubahan, sebagai upaya peningkatan kualitas asuhan
keperawatan.
5.1.4. Threat (Ancaman)
a. Tidak tersedianya alat pemeriksaan kaki yang lengkap meningkatkan resiko
tidak terlaksananya pengkajian kaki di rawat inap secara komprehensif.
b. Perubahan wewenang pengisian format memerlukan tahapan yang harus
ditindaklanjuti.
Berdasarkan pengamatan dan analisis masalah diatas, praktikan melakukan kegiatan
inovasi dengan melaksanakan sosialisasi dan pelatihan pengkajian status kaki pasien
diabetes tanpa ulkus kepada perawat sehingga pengetahuan dan ketrampilan perawat
dalam pengkajian status kaki meningkat. Pada akhirnya pengkajian status kaki pada
pasien diabetes yang komprehensif dan dilakukan dengan benar akan mampu
mendeteksi lebih awal masalah resiko kaki diabetik dan dengan tindakan yang sesuai
akan menurunkan resiko terjadinya kaki diabetik.
5.2.Kegiatan Inovasi
5.2.1. Persiapan
Kegiatan inovasi ini memaparkan fenomena yang ditemukan, dan rencana
kegiatan kepada supervisor klinik dan supervisor akademik. Penyusunan
proposal kegiatan dilakukan setelah disetujui oleh supervisor. Kegiatan
dilanjutkan dengan memaparkan rencana inovasi kepada penentu kebijakan
(manager rawat inap gedung Teratai Irna A, kepala ruangan dan wakil kepala
ruangan) pada minggu pertama bulan Maret 2012. Rencana kegiatan inovasi
tidak hanya didukung oleh managemen gedung teratai irna A, namun juga
didukung oleh kepala bidang perawatan dan komite keperawatan RSUPF.
Kegiatan ini diharapkan tidak hanya ditujukan untuk perawat lantai 5 selatan
saja, namun juga melibatkan perwakilan perawat dari ruang rawat inap lain
yang memungkinkan pasien diabetes dirawat.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
138
Persiapan selanjutnya adalah persiapan pelatihan diantaranya organisasi acara,
perijinan, tempat kegiatan, waktu pelaksanaan, undangan, materi, pembicara
hingga sponsor untuk dapat mensupport kegiatan inovasi ini. Persiapan
kegiatan juga dibantu oleh manager ruangan lantai 5 selatan.
5.2.2. Pelaksanaan Inovasi
Tujuan dari kegiatan inovasi ini adalah adanya peningkatan pelayanan asuhan
keperawatan melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam
melakukan pengkajian kaki diabetik. Pengetahuan dan ketrampilan yang
dimilikioleh perawat diharapkan akan merubah perilaku dan sikap perawat
terhadap asuhan keperawatan pada pasien diabetes kearah yang lebih baik.
Upaya yang dilakukan praktikan untuk pencapaian tujuan ini dengan
melakukan pelatihan mengenai pengkajian kaki diabetik.
Pelatihan dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu tanggal 17 dan 18 April 2012.
Peserta pelatihan terdiri dari 20 orang untuk setiap tahap sehingga keseluruhan
peserta pelatihan berjumlah 40 orang perawat pelaksana. Perawat yang
mengikuti pelatihan berasal dari lantai 5 selatan 22 orang, lantai 5 utara 10
orang, lantai 6 dan lantai 4 masing masing 2 orang, dari gedung Irna C, 3 orang
dan dari paviliun Anggrek 1 orang.
Pelaksanaan pelatihan dibuka oleh kepada bidang perawatan RSUPF,
dilanjutkan dengan pre test. Inti pelatihan adalah dengan pemberian materi
tentang pengkajian kaki diabetic. Peningkatan ketrampilan peserta pelatihan
dilakukan dengan mendemonstrasikan tehnik pengkajian kaki diabetic yang
langsung dilakukan kepada pasien diabetes (hands on). Fasilitator hands on
selain dari praktikan juga dari perawat edukator diabetic. Keterlibatan edukator
dalam kegiatan ini adalah untuk pendampingan, motivator dan evaluator pada
keberlangsungan kegiatan inovasi ini. Kegiatan selanjutnya adalah presentasi
hasil hands on dari peserta dan pemberian masukan serta arahan dari salah satu
dokter bedah vaskuler (Dr. Witra Irvan, Sp. B-V) sebagai salah satu tim medis
dalam perawatan pasien diabetes dengan ulkus. Pada akhir pelatihan dilakukan
evaluasi dengan post tes dan pelatihan ditutup oleh perwakilan dari bidang
perawatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
139
5.2.3. Evaluasi
5.2.3.1. Evaluasi proses pelatihan
a. Proses persiapan berlangsung selama 2 minggu. Rencana kegiatan
didukung oleh semua pihak terutama penentu kebijakan dalam
keperawatan seperti bidang keperawatan, komite keperawatan,
meneger Irna A dan kepala ruangan
b. Proses pelatihan :
-
Jumlah peserta pelatihan sesuai dengan yang direncanakan
(100 % hadir)
-
Sambutan yang disampaikan kepala bidang keperawatan dan
komite keperawatan saat acara pembukaan mengungkapkan
dukungan terhadap inovasi yang dilakukan dan akan
berkomitmen dalam perubahan ini.
-
Peserta pelatihan aktif mengikuti proses pelatihan baik sesi
materi maupun sesi hands on.
-
Evaluasi dari peningkatan pengetahuan didapatkan :
Grafik 5.1.
Rata-rata Nilai pre dan post tes hari 1 dan hari ke 2
Pre Test
Post Test
74,75
76
57,62
56,5
Hari ke 1
Hari ke 2
Dari grafik diatas menggambarkan adanya peningkatan
pengetahuan tentang pengkajian kaki diabetic pada peserta
pelatihan baik pada hari pertam maupun hari ke dua.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
140
c. Evaluasi peserta terhadap seluruh proses pelaksanaan pelatihan
dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 5.2. Evaluasi pelaksanaan pelatihan
90%
Sgt Menarik
80%
Menarik
70%
krg Menarik
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Materi
Sarana & Tempat
Prasarana
konsumsi Hands on
Dari grafik diatas dapat dijelaskan bahwa materi
yang
disampaikan 80 % peserta menyatakan sangat menarik, hands on
yang dilaksanakan 70 % sangat menarik, sarana prasarana, tempat
dan konsumsi yang disediakan memuaskan.
5.2.3.2. Evaluasi pelaksanaan inovasi
Evaluasi pelaksanaan inovasi dilakukan selama 2 minggu setelah
pelaksanaan pelatihan. Metode evaluasi yang digunakan dengan
mengobservasi peserta pelatihan khususnya di gedung teratai lantai 5
selatan. Komponen evaluasi meliputi inisiatif dan keaktifan peserta
dalam menerapkan pengkajian kaki, kemampuan peserta dalam
melakukan pengkajian kaki, pelaksanaan program pendampingan oleh
edukator dan dukungan managemen
untuk keberlangsungan
pelaksanaan kegiatan inovasi ini. Hasil evaluasi yang di dapatkan
adalah sebagai berikut :
a. Managemen : komite perawatan meminta panduan pengkajian
kaki
dan
bentuk
revisi
format
pengkajian
untuk
dapat
ditindaklanjuti dalam perbaikan dan peningkatan sarana dalam
pengkajian kaki. Kepala ruangan lantai 5 selatan memperbanyak
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
141
format pengkajian kaki untuk menunjang pelaksanaan pengkajian
kaki ini.
b. Peserta pelatihan : dalam waktu 2 minggu setelah pelatihan di
dapatkan 6 pasien baru diabetes tanpa ulkus yang dirawat
khususnya di lantai 5 selatan bagian laki – laki. Dari 6 pasien
tersebut, 3 perawat (50%) yang melakukan pengkajian kaki atas
inisiatif sendiri dan 3 perawat (50%) harus diingatkan. Tehnik
melakukan pengkajian kaki rata – rata 80 % sesuai dengan
panduan. Pendampingan edukator belum terlaksana, karena saat
pengkajian dilaksanakan edukator dinas pada shift yang berbeda.
Hasil pengkajian terhadap 6 pasien di dapatkan 2 pasien beresiko
sedang (katagori 1) dan 4 pasien beresiko rendah (katagori 0).
Tindakan yang dilakukan untuk menindaklanjuti hasil pengkajian,
perawat
melakukan
mendokumentasikan ke
edukasi
dalam
sesuai
catatan
katagori
perawatan.
dan
Format
pengkajian yang diisi tetap ditandatangani oleh dokter yang
bertanggung jawab terhadap pasien tersebut, namun juga
dicantumkan nama perawat yang mengkaji.
5.3.Pembahasan
Pengkajian merupakan langkah pertama dalam melakukan asuhan keperawatan. Dalam
proses pengkajian seorang perawat melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber
yang dilakukan secara sistematis untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009; Craven & Hirnle, 2007). Proses pengkajian
dapat dilakukan pada berbagai situasi. Pada saat pertama kali pasien datang ke
pelayanan kesehatan maka pengkajian yang dilakukan merupakan pengkajian awal,
dimana pada pengkajian ini data dasar untuk semua status kesehatan dikumpulkan.
Selanjutnya akan dilakukan pengakajian yang lebih spesifik pada masalah yang
ditemukan, maka pengkajian ini disebut dengan pengkajian fokus. Pengkajian ulang,
merupakan pengumpulan data untuk mengetahui perubahan status kesehatan pasien
pada waktu tertentu setelah dilakukan pengkajian awal. Pengkajian ulang ini dapat
dikatakan sebagai evaluasi status kesehatan. Terakhir adalah pengkajian darurat,
dimana pengkajian ini dilakukan secara cepat untuk mengidentifikasi situasi yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
142
menyangkut keselamatan nyawa pasien dan ini menjadi prioritas pengkajian (Craven &
Hirnle, 2007).
Pengkajian kaki diabetic merupakan pengkajian yang dilakukan pada setiap kaki
penderita diabetes. Menurut jenis pengkajian, maka pengkajian kaki diabetik, dapat
merupakan pengkajian awal, pengkajian fokus, pengkajian ulang maupun pengkajian
darurat. Pengkajian awal dilakukan pada saat pertamakali pasien datang kepelayanan
kesehatan sebagai penderita diabetes atau ketika pertamakali terdiagnosis diabetes.
Pengkajian fokus dilakukan pada area kaki, baik dengan wawancara maupun
pemeriksaan fisik. Pengkajian ulang dilakukan pada setiap kunjungan atau sesuai
dengan criteria kaki diabetic untuk mengevaluasi kondisi kaki penderita. Dan
pengkajian darurat dilakukan pada kaki diabetik yang mengalami ulkus dengan gas
gangrene, dimana pada kondisi ini memerlukan tindakan segera untuk penyelamatan
jiwa pasien (Craven & Hirnle, 2007; Turns, 2011; Taylor, 2008)
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan dalam perawatan pasien
diabetes, sesuai dengan standard dan kompetensi perawat Indonesia harus memiliki
kemampuan untuk melakukan pengkajian. Pengkajian yang lengkap dan komprehensif
akan menentukan diagnose keparawatan atau masalah keperawatan yang tepat
sehingga pada akhirnya menentukan intervensi yang tepat. Pada studi comparative
yang dilakukan oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada
pasien diabetes di Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania
ditemukan masalah resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di
Swedia. Faktor yang berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia
dikarenakan selain fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih maju, juga kemampuan
perawat dalam pelayanan perawatan kaki termasuk pengkajian kaki dan edukasi lebih
dibandingkan dengan di Tanzania
Sesuai dengan hasil observasi, wawancara dan kuesioner, didapatkan data, bahwa
pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya untuk deteksi dini ulkus diabetik
hampir tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya dilantai 5 selatan. Penyebab
dari kondisi ini adalah karena pengetahuan dan kemampuan perawat dalam pengkajian
kaki diabetic masih kurang. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
ini salah satunya dengan pelatihan. Pelatihan didefinisikan sebagai suatu kegiatan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
143
pengajaran atau pemberian pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang bertujuan untuk mencapai kompetensi
tertentu, dan pada akhirnya terjadi perubahan kinerja, serta kualitas asuhan yang lebih
baik (Fakhrizal, 2010). Perubahan yang di dasarkan pengetahuan akan lebih langgeng
dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik (Notoatmodjo, 2007).
Untuk menjadikan pengkajian kaki sebagai bagian dari asuhan keperawatan pasien
diabetes, tidak hanya peningkatan pengetahuan yang harus diperhatikan. Adanya
komitmen dan kebijakan juga merupakan bagian penting yang harus diperhatikan.
Komitmen awal dari kegiatan inovasi ini diperoleh dari penentu kebijakan (manajer
rawat inap, bidang keperawatan, komite keperawatan dan kepala ruangan). Manajer
sebagai pemimpin diharapkan dapat memberikan kebijakan, motivasi dan monitoring
dalam keberlangsungan dan keberhasilan dari kegiatan inovasi ini (Nurusalam, 2007).
Langkah kelompok untuk memperoleh komitmen dan kebijakan tersebut, pada awal
kegiatan perencanaan inovasi, kelompok melakukan pemaparan rencana kegiatan
berdasarkan fenomena yang ditemukan, analisis situasi, rencana perubahan yang
diperkuat dengan evidence based nursing.
Tujuan akhir dari kegiatan inovasi ini adalah pengkajian kaki menjadi bagian dari
pengkajian yang selalu dilakukan pada pasien diabetes. Dalam mencapai tujuan ini,
keterlibatan semua pihak di ruangan tersebut, monitoring dan evaluasi harus terus
dilakukan. Kepala ruangan, wakil kepala ruangan, perawat primer dan educator telah
berkomitmen akan melakukan pendampingan dan monitoring pada kegiatan ini
Hambatan yang praktikan dapatkan pada penerapan kegiatan inovasi ini diantaranya
alat pengkajian kaki yang belum lengkap (monofilament 10 gr dan garputala 128)
hingga praktikan menyelesaikan kegiatan praktek residen. Solusi yang praktikan
lakukan, mengkomunikasikan dengan managemen. Disampaikan oleh kepala ruangan
bahwa pengadaan alat di rumah sakit memerlukan suatu mekanisme dan kepala
ruangan telah mengkomunikasikan pada managemen dan pengadaan alat saat rapat
pimpinan.
Upaya pencegahan ulkus diabetik tidak hanya pengkajian, namun tindak lanjut dari
hasil pengkajian sesuai katagori resiko ulkus merupakan hal penting yang harus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
144
dilakukan. Pada pelaksanaan inovasi oleh kelompok praktikan, tindak lanjut dari hasil
pengkajian hanya sebatas edukasi individu, konseling dan system rujukan belum
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Peran edukator untuk melaksanakan konseling
dan alur rujukan perlu ditingkatkan, sehingga pencegahan terhadap ulkus diabetik
dapat tercapai.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
145
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
A.
SIMPULAN
Pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system endokrin perlu
didasarkan pada pemahaman yang memadai terhadap konsep yang mendasari seperti
anatomi, fisiologi dan patofisiologi. Selain itu profesi keperawatan mempunyai
badan keilmuan, sehingga pemahaman dan penguasaan terhadap teori keperawatan
yang relevan serta berbagai modalitas keperawatan yang berbasis evidence menjadi
dasar dalam praktik keperawatan profesional.
Model Adaptasi Roy merupakan salah satu model keperawatan yang menekankan
pada peran perawat dalam meningkatkan status kesehatannya dengan meningkatkan
kemampuan individu baik sehat maupun sakit untuk beradaptasi terhadap stimulus
yang di dapatkan. Kemampuan adaptasi tersebut ditunjukan dalam perilaku yang
holistik yang dapat dilihat dari mode fisiologis, konsep diri, peran dan
interdependensi. Namun demikian penggunaan MAR pada kondisi kegawatan, dan
pada pasien rawat jalan khususnya pada system endokrin tidak dapat digunakan
secara holistik.
Melalui penerapan MAR berbagai peran perawat spesialis medical bedah baik
sebagai practitioner, educator, researcher maupun inovator dapat diaplikasikan
dalam memfasilitasi pasien untuk mencapai kondisi adaptasi secara holistik, yang
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Peran sebagai praktisi (practitioner). Dalam memberikan asuhan keperawatan
dengan menggunakan pendekatan MAR, praktikan dapat menyimpulkan bahwa
model teori ini relevan untuk diaplikasikan pada pasien dengan gangguan sistem
endokrin khususnya pada pasien DM. Pasien yang mengalami DM
dengan
berbagai komplikasi yang ditimbulkan akan mengalami perubahan perilaku pada
fisiologisnya, konsep dirinya, peran maupun pada ketergantungannya. Melalui
model ini, asuhan keperawatan diarahkan pada peningkatan kemampuan individu
beradaptasi dengan meningkatkan koping regulator dan cognator.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
146
2. Peran sebagai pendidik (educator). Peran perawat dalam mengurangi stimulus
yang ditimbulkan adalah dengan meningkatkan koping individu melalui kontrol
kognator yaitu meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga yang berkaitan
dengan perilaku dan stimulusnya. Selain itu tanggung jawab terhadap
peningkatan pelayanan asuhan keperawatan dilakukan dengan berbagi (sharing)
keilmuan kepada sejawat perawat, maupun mahasiswa keperawatan.
3. Peran sebagai peneliti (researcher). Peran ini dilakukan dengan mengaplikasikan
hasil riset yang ada ke dalam pelayanan keperawatan dengan tujuan peningkatan
mutu asuhan keperawatan di klinik. Salah satu penerapan hasil penelitian adalah
pengkajian kaki terhadap resiko ulkus pada pasien DM yang dapat digunakan
sebagai deteksi dini terhadap kejadian ulkus diabetic.
4. Peran sebagai pembaharu (innovator). Peran innovator mempunyai peranan yang
strategis dalam melakukan perubahan di pelayanan keperawatan. Kegiatan
inovasi yang dilakukan oleh praktikan bersama kelompok adalah meningkatkan
upaya preventiv terhadap komplikasi ulkus pada pasien DM melalui pengkajian
kaki diabetes pada setiap pasien DM yang dirawat tanpa ulkus.
B.
SARAN
1. Untuk menjadi seorang ners spesialis keperawatan medical bedah kekhususan
system endokrin diperlukan pengembangan diri berkelanjutan dan tidak sebatas
kasus DM agar dapat menjalankan perannya sebagai praktisi, pendidik, peneliti
dan pembaharu.
2. Diperlukan kajian lebih lanjut untuk penerapan MAR yang efektif dan efisien
pada unit gawat darurat maupun unit rawat jalan khususnya untuk pasien
gangguan endokrin
3. Melaksanakan
praktek
berdasarkan
evidence
diharapkan
akan
terus
dikembangkan dan dijadikan panduan praktek pada perawat klinik yang
disesuaikan dengan level kompetensi. Evaluasi dan monitoring menjadi bagian
penting yang harus dilakukan untuk kelanjutan penerapan evidence tersebut.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
147
4. Praktik keperawatan profesional yang melibatkan ners spesialis membutuhkan
dukungan dari system pelayanan kesehatan yang ada, dukungan organisasi
profesi dan pengakuan dari profesi lain yang saling berhubungan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH :
PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELITUS
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
KARYA ILMIAH AKHIR
FITRIAN RAYASARI
NIM 0906504764
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2012
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH :
PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN DENGAN
GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELITUS
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
KARYA ILMIAH AKHIR
Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh
Gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
FITRIAN RAYASARI
NIM 0906504764
PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2012
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
PERNYATAAN KEASLIAN
Tulisan yang terdapat dalam Karya Ilmiah Akhir ini belum pernah disampaikan
atau diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Ners Spesialis
Keperawatan Medikal Bedah di institusi pendidikan manapun. Berdasarkan
pengetahuan dan keyakinan penulis, Karya Ilmiah Akhir ini tidak memuat tulisantulisan yang pernah dipublikasikan orang lain secara keseluruhan kecuali tulisan
tersebut digunakan sebagai bahan rujukan.
Nama
: FITRIAN RAYASARI
NPM
: 0906504764
Tanda Tangan
:
Tanggal
: Juli 2012
iii
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
LEMBAR PENYATAAN PLAGIARISME
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama: Fitrian Rayasari
NPM : 0906504764
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Ilmiah Akhir ini saya buat
tanpa adanya tindakan plagiarisme sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
Universitas Indonesia. Jika dikemudian hari ternyata saya terbukti melakukan
tindakan tersebut, maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan siap
menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia.
Yang Menyatakan
Fitrian Rayasari
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah
ini :
Nama
: Fitrian Rayasari
NPM
: 0906504764
Program Studi : Magister dan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas
: Ilmu Keperawatan
Jenis karya
: Karya Ilmiah Akhir
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujuai untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclisive Royalty Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah: Penerapan Teori
Adaptasi Roy Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Endokrin
di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta
Beserta perangkat yang ada ( jika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan,mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di
Pada Tanggal
: Depok
: Juli 2010
Yang Menyatakan
Fitrian Rayasari
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Karya Ilmiah Akhir ini telah diperiksa, dipertahankan dan disetujuai di hadapan
Tim Penguji Program Spesialis Keperawatan Kekhusussan Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Depok, Juli 2012
Pembimbing I
DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc
Pembimbing II
Lestari Sukmarini, SKp., MN
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Karya ilmiah ini diajukan oleh :
Nama
: Fitrian Rayasari
NPM
: 0906504674
Program Studi
: Magister dan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Judul Karya Ilmiah
:
Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah: Penerapan Teori
Adaptasi Roy Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Endokrin di Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners Spesialis
Keperawatan Medikal Bedah pada Program Studi Magister dan Spesialis
Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing 1 : DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc.
Pembimbing 2 : Lestari Sukmarini, SKp., MN
Penguji 1
: dr. Suharko Soebardi, Sp.PD., KEMD
Penguji 2
: Ernawati, SKp.,MKep.,Sp.KMB
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal
: 10 Juli 2012
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur praktikan panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
akhirnya praktikan dapat menyelesaikan penyusunan laporan analisis praktek residensi
spesialis keperawatan medikal bedah di RSUP Fatmawati Jakarta. Selanjutnya dalam
penysunan Karya Ilmiah Akhir ini, praktikan banyak mendapat bimbingan dan dukungan
serta arahan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini ingin menyampaikan rasa
terima dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1.
DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc, selaku Supervisor Utama dengan sabar dan
penuh perhatian memberikan bimbingan pada praktikan dalam penyusunan laporan
ini.
2.
Lestari Sukmarini, S.Kp., M.N., selaku Supervisor yang telah banyak membimbing
dan mengarahkan praktikan dalam penyusunan laporan ini.
3.
Rita Herawati, S.Kp.,M.Kep,.selaku Supervisor klinik yang telah membimbing
dengan praktikan selama menjalani praktik residensi di RSUP. Fatmawati
4.
Dewi Irawati, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
5.
Direktur RSUP Fatmawati Jakarta beserta staf struktural maupun fungsional yang
telah memberikan ijin dan kesempatan pada praktikan untuk melakukan kegiatan
residensi.
6.
Penanggung jawab, Kepala ruangan dan perawat ruangan lantai 5 selatan,
Poliklinik dan IGD RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan kesempatan
dan bantuan kepada praktikan selama melakukan kegiatan residensi.
7.
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengembangkan ilmu di Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
8.
Miciko Umeda, SKp., M. Biomed., selaku Ketua Program Studi D III Keperawatan
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah
v
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu di Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
9.
Suami dan anakku serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dengan
penuh cinta, kasih sayang, kesabaran, perhatian dan senantiasa mendo’akan selama
penulis menjalani pendidikan.
10.
Rekan-rekan dosen Program studi D III Keperawatan FKK UMJ, teman-teman
seangkatan pada peminatan endokrin dan pihak lain yang telah membantu
penyusunan karya tulis ilmiah ini.
11.
Semua pihak yang ikut membantu, sehingga kegiatan residensi dan laporan ini
dapat diselesaikan.
Praktikan sangat menyadari bahwa laporan ini tidak terlepas dari kekurangan dan
kesalahan, sehingga praktikan berharap saran dan masukkan yang membangun demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan ilmu dan rahmat-Nya
kepada hamba-hamba yang selalu berbagi ilmu bermanfaat pada sesama, Amien.
Depok, Juli 2012
Praktikan
vi
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
ABSTRAK
Nama
Program Studi
: Fitrian Rayasari
: Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Judul
:
Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia
Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah penerapan Teori
Adaptasi Roy pada Asuhan Keperawatan Kasus Gangguan Sistem
Endokrin di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Gangguan sistem endokrin yang terbanyak dipelayanan kesehatan adalah pada kasus
Diabetes Mellitus (DM) dan DM tipe 2 presentasenya mencapai 95%. Pada
perkembangnnya gula darah yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi,
baik pada mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Pencegahan dan penanganan komplikasi
DM, dilakukan oleh multidisiplin keilmuan yang dilakukan secara terpadu. Peran perawat
spesialis medikal bedah pada kekhususan endokrin diharapkan mampu melakukan asuhan
keperawatan secara holistik hingga pasien DM mampu beradaptasi dengan penyakitnya
dan mampu mengontrol gula darahnya. Model Adaptasi Roy,dapat digunakan sebagai
landasan perawat melakukan asuhan yang komprehensif dengan mengurangi stimulus yang
ada dan meningkatkan koping individu sehingga tercapai perilaku yang adaptif. Melalui
penerapan praktek keperawatan berbasis pembuktian (evidence based practice),
pengkajian kaki diabetik dilakukan untuk pencegahan terjadinya komplikasi ulkus kaki
diabetik. Pada peran perawat sebagai innovator pengkajian kaki dapat digunakan sebagai
salah satu standar pengkajian keperawatan pada pasien DM, sehingga tercapai peningkatan
asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan DM.
Kata kunci: Perawat spesialis, Gangguan sistem endokrin, Teori Adaptasi Roy,
Pengkajian kaki diabetik.
vii
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
ABSTRACT
Name
Study Program
: Fitrian Rayasari
: Medical Surgical Nursing, Faculty of Nursing Science, Universitas
Thesis Title
: Practice Analysis on Residency Medical Surgery Nursing by Applying Roy
Indonesia
Adaptation Theory to Endocrine System Disorder Nursing in Fatmawati
Central Public Hospital, Jakarta.
Endocrine System Disorder mostly occurs in health service on Diabetes Mellitus,
especially the DM Type-2, in which the percentage reach 95%. Furthermore, uncontrolled
blood sugar causes several micro vascular or macro vascular complications. The DM
prevention and treatment should be done by means of integrated multi-discipline efforts. It
is expected that medical surgical nurses who are majoring in endocrine will be able to
conduct a holistic nursing so that the DM patients are able to adapt to his illness and
control his blood sugar. Roy Adaptation Model is applied as the basis for the nurses to
conduct comprehensive care by reducing existing stimulus and increasing individual
coping in order to generate adaptive behaviors. Through the application of evidence-based
practice, diabetic foot research is conducted to prevent diabetic foot ulcers complication.
In the nurse's role as an innovator, foot assessment can be utilized as a standard for nursing
assessment on DM patient and, therefore, increasing nursing treatment for them.
Keywords: specialized nurse, endocrine system disorder, Roy Adaptation Theory, diabetic
foot assessment.
viii
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................................. vii
ABSTRACT ............................................................................................................. viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii
DAFTAR BAGAN ................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1 Latar Belakang .................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan ...............................................................................
1.3 Manfaat Penulisan .............................................................................
1
1
4
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. ......................................................................... 6
2.1 Konsep Penyakit Diabetes Mellitus .................................................. 6
2.1.1 Pengertian .......................................................................... 6
2.1.2 Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi .............................. 6
2.1.3 Tanda dan Gejala................................................................ 11
2.1.4 Diagnosis ............................................................................ 12
2.1.5 Penatalaksanaan ................................................................. 14
2.1.6 Komplikasi ......................................................................... 21
2.2 Asuhan Keperawatan Menggunakan Model Adaptasi Roy .............. 31
2.2.1 Dasar Teori Adaptasi Roy .................................................. 31
2.2.2 Asumsi-Asumsi Utama ...................................................... 32
2.2.3 Asuhan Keperawatan ......................................................... 38
2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien
Dengan Diabetes Melitus ................................................................. 42
2.3.1 Pengkajian ......................................................................... 42
2.3.2 Diagnosa Keperawatan....................................................... 49
2.3.3 Intervensi Keperawatan ...................................................... 51
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DISBETES
MELITUS DENGAN KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG DAN
SELULITIS ............................................................................................. 55
3.1 Deskripsi Kasus Kelolaan Utama ..................................................... 55
3.2 Penerapan Model Adaptasi Roy Pada Kasus Kelolaan Utama ......... 56
3.3 Pembahasan ....................................................................................... 77
3.4 Analisis penerapan Teori Adaptasi Roy pada 32 (tiga puluh dua)
kasus kelolaan .................................................................................. 101
ix
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
BAB 4. PRAKTEK BERDASARKAN PEMBUKTIAN PENGKAJIAN KAKI
SEBAGAI DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI PADA PASIEN
DM TIPE II ............................................................................................ 113
4.1 Critical Review................................................................................. 115
4.2 Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian ................ 119
4.3 Pembahasan ...................................................................................... 126
BAB
5. KEGIATAN INOVASI PENINGKATAN KEMAMPUAN
PERAWAT DALAM PENGKAJIAN KAKI DIABETIK SEBAGAI
UPAYA DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI DIABETIK … 132
5.1 Analisa Situasi.................................................................................. 132
5.2 Kegiatan Inovasi............................................................................... 137
5.3 Pembahasan ...................................................................................... 141
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN...................................................................145
6.1 Simpulan .......................................................................................... 145
6.2 Saran ................................................................................................. 146
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
x
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1
Tipe insulin dan cara kerja
20
Tabel 3.1
Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI).
57
Tabel 3.2
Pengkajian Kaki
62
Tabel 3.3
Rencana Asuhan Keperawatan
68
Tabel 4.1
Klasifikasi Resiko Ulkus Diabetik
International Group on the Diabetik Foot
Menurut
123
Tabel 4.2
Distribusi responden berdasarkan usia di ruang lantai 5
Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
N=20
123
Tabel 4.3
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lama
menderita DM dan Kadar HBA1C, di ruang lantai 5
Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
N=20
124
Tabel 4.4
Distribusi resiko ulkus kaki diabetic berdasarkan lama
menderita DM dan kadar HBA1C, di ruang lantai 5
Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
N=20
125
Tabel 4.5
Distribusi resiko ulkus kaki diabetic berdasarkan lama
di ruang lantai 5 Selatan Gedung Teratai RSUP
Fatmawati Jakarta 2012 N=20
125
xi
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1
Photografi kaki Ny. S
61
Gambar 3.2
Photografi Abses punggung Ny. S
61
Gambar 3.3
Photografi Pengkajian kaki Ny. S
62
Gambar 4.1
Area melakukan uji monosilament
122
xii
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 2.1
Model Adaptasi Roy
35
xiii
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Gambaran 32 kasus kelolaan lainnya dengan menggunakan
pendekatan Teori Adaptasi Roy
Lampiran 2
Format pengkajian kaki
Lampiran 3
Kuesioner kegiatan inovasi
Lampiran 4
Rencana kegiatan inovasi
Lampiran 5
Soal pre dan postest pelaksanaan pelatihan pengkajian kaki
Lampiran 6
Pedoman Pengkajian Kaki Diabetik
Lampiran 7
Leafleat Edukasi Perawatan Kaki Diabetik
xiv
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar
glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun
absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut
maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati.
Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life
expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola
hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes
mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah
penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan
Data yang didapatkan dari International Diabetes Federation, 2011 menyatakan jumlah
penderita diabetes diseluruh dunia hingga tahu 2011 mencapai 366 juta orang dan
diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2030 diperkirakan jumlahnya mencapai 552
juta orang. Penyandang
diabetes yang ada di dunia 80 % tinggal di negara dengan
pendapatan rendah hingga menengah atau negara berkembang termasuk Indonesia.
Dari sepuluh negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak pada usia 20 – 79 tahun ,
Indonesia menempati urutan ke 10 ,dengan jumlah penderita mencapai 7,3 juta orang.
Jumlah ini akan meningkat hingga 11,8 juta orang pada tahun 2030 dan diprediksi
Indonesia menempati urutan ke 9 dari 10 negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak.
Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi diabetes
mellitus sebesar 1,5 - 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di
daerah urban prevalensi Diabetes mellitus sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju,
sehingga diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
2
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia
yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003
diperkirakan terdapat penderita diabetes di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di
daerah rural
sejumlah 5,5 juta.
Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan
penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang
berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita diabetes mellitus
sejumlah 12 juta di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2011).
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang akan terus ada di dalam tubuh
seseorang, namun dapat dikontrol dengan melakukan pengelolaan yang benar. Jika
tidak dilakukan dengan pengelolaan yang benar, penyakit diabetes ini akan
menimbulkan berbagai komplikasi. Dampak dari komplikasi ini tidak hanya masalah
fisik saja yang dirasakan oleh pasien, juga masalah psikis, dan social. Asuhan
keperawatan yang diberikan hendaknya membuat penyandang diabetes dapat
beradaptasi dengan kondisi yang dialami. Adaptasi yang terjadi pada penyandang
diabetes diharapkan akan mampu merubah perilaku untuk meningkatkan pencegahan
dan pengelolaan.
Seorang pakar keperawatan yaitu Callista Roy, telah mengembangkan teori
keperawatan yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Roy melihat bahwa
manusia merupakan sistem terbuka yang akan mendapatkan stimulus dari luar
tubuhnya dan masusia akan berespon dengan beradaptasi. Perawat mempunyai
peranan penting dalam membantu individu yang sakit maupun yang sehat dalam
berespon terhadap stressor, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas
hidupnya melalui suatu proses adaptasi.
Penyandang diabetes yang dirawat di rumah sakit mendapatkan berbagai stimulus
dari dalam dirinya maupun dari lingkungan. Perawat merupakan salah satu profesi
dibidang kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara holistik. Dalam
melakukan asuhan keperawatan pada penyandang diabetes untuk membantu berespon
secara adaptif, perawat spesialis dapat berperan sebagai pemberi asuhan
(practitioner/care provider), pendidik (educator), konselor (counselor), agen
perubahan atau agen inovasi (change egent/innovator), penasihat klien (client
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
3
advocate), manajer (manager), dan peneliti (researcher), dan pelindung (protector)
(NACNS, 2008 dalam Perry & Potter, 2009)
Dalam laporan ini praktikan menguraikan peran perawat dalam membantu
penyandang diabetes dan keluarganya untuk berespon terhadap stimulus yang
didapatkan secara adaptif. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
(practitioner/care provider) dengan menerapkan Model Adaptasi Roy. Penyandang
diabetes masuk ke rumah sakit dengan berbagai komplikasi terjadi karena
ketidaktahuan
dan
ketidakpatuhan
dalam
pengelolaan
diabetes di
rumah.
Memberikan edukasi dan meningkatkan motivasi serta keyakinan diri dalam
merawat dirinya sendiri merupakan upaya perawat untuk membuat penyandang
diabetes ini beradaptasi. Peran yang dilakukan praktikan merupakan peran sebagai
pendidik (educator), konselor (counselor), dan penasihat klien (client advocate).
Peran perawat spesialis yang lain yang praktikan lakukan adalah peran sebagai
peneliti (researcher) Pada peran ini, praktikan mengaplikasikan Evidence Base
Nursing (EBN) sebagai upaya meningkatkan kualitas intervensi keperawatan. EBN
yang praktikan aplikasikan adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya deteksi
dini ulkus diabetik, merupakan hasil critical reviw yang dilakukan oleh Taylor M.C,
pada tahun 2008 dengan judul Foot Assessment in type 2 Diabetes : an evidencebased practice approce. Penerapan EBN ini didasarkan pada tingginya angka
kejadian ulkus diabetes di tempat praktikan melakukan praktek yaitu 29,1 %, dari
seluruh pasien diabetes yang dirawat. Tidak menutup kemungkinan, penyandang
diabetes tanpa ulkus pada akhirnya akan mengalami ulkus jika tidak diketahui faktor
resikonya dan ditindak lanjuti dengan edukasi, maupun perawatan kaki. Peran
sebagai agen inovasi (change egent/innovator) dilakukan praktikan bersama tim
dengan mengembangkan metode pencegahan ulkus kaki melalui pengkajian faktor
resiko dan edukasi
Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan analisis kegiatan praktek residen ini
praktikan akan memaparkan analisis kegiatan praktek residensi dalam menjalankan
berbagai peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan menggunakan
pendekatan model adaptasi Roy
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
4
1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1.
Tujuan Umum
Melakukan analisis terhadap kegiatan praktek resiidensi
medikal
bedah
pada
peminatan
keperawatan
keperawatan
endokrin
dengan
mengaplikasikan teori model adaptasi Roy di RSUP Fatmawati
1.2.2.
Tujuan Khusus
Melakukan analisis beberapa peran yang dijalani praktikan dalam praktek
residensi yang meliputi :
a.
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien endokrin
khususnya pasien diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model
Adaptasi Roy.
b.
Peran perawat sebagai peneliti melalui penerapan evidence based
practice khususnya pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya
deteksi dini ulkus diabetik.
c.
peran
sebagai
innovator,
fasilitator,
narasumber
(resources),
koordinator dan role model melalui proyek inovasi yang dilakukan di
ruang penyakit dalam.
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi pelayanan keperawatan
a. Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pelayanan keperawatan
sebagai acuan dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan
yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem endokrin
khususnya diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi
Roy
b. Meningkatkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan penelitian
sebagai dasar pengambilan keputusan klinik berdasarkan evidence based
nursing practice pada kasus gangguan sistem endokrin khususnya
diabetes melitus
1.3.2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Melalui hasil analisis ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan
medikal bedah tentang aktualisasi peran perawat baik sebagai pemberi
layanan, pendidik, konselor, agen perubahan atau agen inovasi, penasihat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
5
klien, peneliti, pelindung, dan manajer kasus
khususnya dalam bidang
keperawatan endokrin
1.3.3. Bagi pendidikan keperawatan
Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan kurikulum pembelajaran khususnya dalam mengembangkan
intervensi – intervensi keperawatan mandiri untuk meningkatkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin berdasarkan evidence
based practice
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar
glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak
serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun
absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut
maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati.
Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life
expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola
hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes
mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah
penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan
Data yang didapatkan dari International Diabetes Federation, 2011 menyatakan jumlah
penderita diabetes diseluruh dunia hingga tahu 2011 mencapai 366 juta orang dan
diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2030 diperkirakan jumlahnya mencapai 552
juta orang. Penyandang
diabetes yang ada di dunia 80 % tinggal di negara dengan
pendapatan rendah hingga menengah atau negara berkembang termasuk Indonesia.
Dari sepuluh negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak pada usia 20 – 79 tahun ,
Indonesia menempati urutan ke 10 ,dengan jumlah penderita mencapai 7,3 juta orang.
Jumlah ini akan meningkat hingga 11,8 juta orang pada tahun 2030 dan diprediksi
Indonesia menempati urutan ke 9 dari 10 negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak.
Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi diabetes
mellitus sebesar 1,5 - 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di
daerah urban prevalensi Diabetes mellitus sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju,
sehingga diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
2
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia
yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003
diperkirakan terdapat penderita diabetes di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di
daerah rural
sejumlah 5,5 juta.
Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan
penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang
berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita diabetes mellitus
sejumlah 12 juta di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2011).
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang akan terus ada di dalam tubuh
seseorang, namun dapat dikontrol dengan melakukan pengelolaan yang benar. Jika
tidak dilakukan dengan pengelolaan yang benar, penyakit diabetes ini akan
menimbulkan berbagai komplikasi. Dampak dari komplikasi ini tidak hanya masalah
fisik saja yang dirasakan oleh pasien, juga masalah psikis, dan social. Asuhan
keperawatan yang diberikan hendaknya membuat penyandang diabetes dapat
beradaptasi dengan kondisi yang dialami. Adaptasi yang terjadi pada penyandang
diabetes diharapkan akan mampu merubah perilaku untuk meningkatkan pencegahan
dan pengelolaan.
Seorang pakar keperawatan yaitu Callista Roy, telah mengembangkan teori
keperawatan yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Roy melihat bahwa
manusia merupakan sistem terbuka yang akan mendapatkan stimulus dari luar
tubuhnya dan masusia akan berespon dengan beradaptasi. Perawat mempunyai
peranan penting dalam membantu individu yang sakit maupun yang sehat dalam
berespon terhadap stressor, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas
hidupnya melalui suatu proses adaptasi.
Penyandang diabetes yang dirawat di rumah sakit mendapatkan berbagai stimulus
dari dalam dirinya maupun dari lingkungan. Perawat merupakan salah satu profesi
dibidang kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara holistik. Dalam
melakukan asuhan keperawatan pada penyandang diabetes untuk membantu berespon
secara adaptif, perawat spesialis dapat berperan sebagai pemberi asuhan
(practitioner/care provider), pendidik (educator), konselor (counselor), agen
perubahan atau agen inovasi (change egent/innovator), penasihat klien (client
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
3
advocate), manajer (manager), dan peneliti (researcher), dan pelindung (protector)
(NACNS, 2008 dalam Perry & Potter, 2009)
Dalam laporan ini praktikan menguraikan peran perawat dalam membantu
penyandang diabetes dan keluarganya untuk berespon terhadap stimulus yang
didapatkan secara adaptif. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan
(practitioner/care provider) dengan menerapkan Model Adaptasi Roy. Penyandang
diabetes masuk ke rumah sakit dengan berbagai komplikasi terjadi karena
ketidaktahuan
dan
ketidakpatuhan
dalam
pengelolaan
diabetes di
rumah.
Memberikan edukasi dan meningkatkan motivasi serta keyakinan diri dalam
merawat dirinya sendiri merupakan upaya perawat untuk membuat penyandang
diabetes ini beradaptasi. Peran yang dilakukan praktikan merupakan peran sebagai
pendidik (educator), konselor (counselor), dan penasihat klien (client advocate).
Peran perawat spesialis yang lain yang praktikan lakukan adalah peran sebagai
peneliti (researcher) Pada peran ini, praktikan mengaplikasikan Evidence Base
Nursing (EBN) sebagai upaya meningkatkan kualitas intervensi keperawatan. EBN
yang praktikan aplikasikan adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya deteksi
dini ulkus diabetik, merupakan hasil critical reviw yang dilakukan oleh Taylor M.C,
pada tahun 2008 dengan judul Foot Assessment in type 2 Diabetes : an evidencebased practice approce. Penerapan EBN ini didasarkan pada tingginya angka
kejadian ulkus diabetes di tempat praktikan melakukan praktek yaitu 29,1 %, dari
seluruh pasien diabetes yang dirawat. Tidak menutup kemungkinan, penyandang
diabetes tanpa ulkus pada akhirnya akan mengalami ulkus jika tidak diketahui faktor
resikonya dan ditindak lanjuti dengan edukasi, maupun perawatan kaki. Peran
sebagai agen inovasi (change egent/innovator) dilakukan praktikan bersama tim
dengan mengembangkan metode pencegahan ulkus kaki melalui pengkajian faktor
resiko dan edukasi
Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan analisis kegiatan praktek residen ini
praktikan akan memaparkan analisis kegiatan praktek residensi dalam menjalankan
berbagai peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan menggunakan
pendekatan model adaptasi Roy
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
4
1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1.
Tujuan Umum
Melakukan analisis terhadap kegiatan praktek resiidensi
medikal
bedah
pada
peminatan
keperawatan
keperawatan
endokrin
dengan
mengaplikasikan teori model adaptasi Roy di RSUP Fatmawati
1.2.2.
Tujuan Khusus
Melakukan analisis beberapa peran yang dijalani praktikan dalam praktek
residensi yang meliputi :
a.
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien endokrin
khususnya pasien diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model
Adaptasi Roy.
b.
Peran perawat sebagai peneliti melalui penerapan evidence based
practice khususnya pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya
deteksi dini ulkus diabetik.
c.
peran
sebagai
innovator,
fasilitator,
narasumber
(resources),
koordinator dan role model melalui proyek inovasi yang dilakukan di
ruang penyakit dalam.
1.3. Manfaat
1.3.1. Bagi pelayanan keperawatan
a. Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pelayanan keperawatan
sebagai acuan dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan
yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem endokrin
khususnya diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi
Roy
b. Meningkatkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan penelitian
sebagai dasar pengambilan keputusan klinik berdasarkan evidence based
nursing practice pada kasus gangguan sistem endokrin khususnya
diabetes melitus
1.3.2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan
Melalui hasil analisis ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan
medikal bedah tentang aktualisasi peran perawat baik sebagai pemberi
layanan, pendidik, konselor, agen perubahan atau agen inovasi, penasihat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
5
klien, peneliti, pelindung, dan manajer kasus
khususnya dalam bidang
keperawatan endokrin
1.3.3. Bagi pendidikan keperawatan
Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan kurikulum pembelajaran khususnya dalam mengembangkan
intervensi – intervensi keperawatan mandiri untuk meningkatkan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin berdasarkan evidence
based practice
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Konsep Penyakit Diabetes Mellitus
2.1.1. Pengertian
Diabetes sering disingkat dengan DM merupakan kelompok penyakit metabolik
yang yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah sebagai akibat dari
penurunan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau keduanya (ADA, 2012).
Glukosa yang berasal dari makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan akan
bersirkulasi di dalam darah dalam jumlah tertentu. Selanjutnya proses regulasi atau
metabolisme glukosa di sel otot, lemak dan hepar akan diperankan oleh hormone
insulin.
Hormon insulin ini merupakan rangkaian asam amino yang diproduksi oleh sel beta
kelenjar pancreas. Pada keadaan terentu dapat terjadi penurunan produksi insulin
oleh sel beta pancreas atau insulin yang ada tidak sensitive terhadap kadar glukosa
dalam darah. Kondisi ini akan meningkatkan glukosa dalam sirkulasi darah atau
disebut hyperglikemia. Hyperglikemia yang terus terjadi dan dalam jangka waktu
yang lama dapat menimbulkan berbagai gangguan baik pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler), pembuluh darah besar (makrovaskuler), maupun gangguan pada
saraf (neuropathy) (Smeltzer & Bare, 2008; Manaf, 2009; Lewis et al, 2011;
LeMone, 2011).
2.1.2. Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu
ke waktu. Hasil penelitian baik klinis maupun laboratories menunjukan bahwa
diabetes merupakan suatu keadaan yang heterogen baik etiologi maupun
macamnya dan pada akhirnya kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian
lebih berdasarkan etiologi penyakitnya, sehingga PERKENI, 2011; ADA, 2012
mengklasifikasikan diabetes menjadi :
2.1.2.1. Diabetes Tipe I
Diabetes tipe 1 ini umumnya terjadi karena kerusakan sel beta pancreas
sehingga produksi insulin mengalami kegagalan dan mengakibatkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
7
defisiensi insulin absolute. Jumlah penyandang DM tipe 1 ini hanya 5 - 10
% dari jumlah seluruh penyandang DM. Pada klasifikasi awal DM tipe 1 ini
disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Ini
dikarenakan pada penyandang DM tipe 1 mutlak membutuhkan insulin dari
luar tubuhnya. Kerusakan sel beta pancreas terjadi karena reaksi autoimun
sebagai dampak dari berbagai pencetus salah satunya adalah proses
infeksi.virus seperti virus
Cocksakie, Rubella, CMV, Herpes, dan lain
sebagainya hingga timbul peradangan sel–sel beta (insulitis). Ada beberapa
tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA
(Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies),
dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). Defisiensi
insulin absolut terjadi jika kerusakan sel beta pancreas mencapai 80 - 90%
yang akan menyebabkan gangguan metabolisme ( Lewis et al, 2011).
Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel alpha kelenjar pankreas pada
penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1
ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel alpha kelenjar
pankreas. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon,
namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon
tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah
kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah
cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapat terapi insulin (Depkes, 2005; Smeltzer & Bare, 2008;
Lewis, 2011).
Faktor resiko pada DM tipe 1 diantaranya adalah genetic. Ditemukan pada1
dalam 400 hingga 1 dalam 1000 untuk semua populasi, Resiko berkembang
menjadi DM tipe 1 pada anak dengan orang tua yang menyandang DM 1
dalam 50 resiko,Maftin, 2009 (dalam LeMone, 2011). Faktor resiko lain
adalah lingkungan. Infeksi virus, zat kimia dan asap rokok dapat menjadi
factor pemicu terjadinya insulitis dari reaksi autoimun.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
8
2.1.2.2. DM Tipe II
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM
Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes,
umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM
Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes,
2005).
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor. Faktor genetik dan
pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM
tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta
kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu
faktor pradisposisi utama dimana 85 % penyandang DM tipe 2
mengalami obesitas sebelumnya (Black & Hawks, 2009)
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang
berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang
cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi.
Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas,
gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β
Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe
1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2
hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya
umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
9
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase
pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan
glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah,
sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya.
Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif,
yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. Namun pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insulin (Depkes, 2005; Suyono dalam Sugondo dkk, 2011;
LeMone, 2011).
Faktor resiko dari DM tipe 2
menurut Port & Matfin, 2009 dalam
(LeMone, 2011) diantaranya adalah :
a. Riwayat DM pada orang tua atau saudara kandung. Meskipun tidak
teridentifikasi adanya HLA, seorang anak dari penyandang DM tipe 2
beresiko 2 hingga 4 kali lipat dan 35 % mempunyai resiko berkembang
menjadi intoleransi glukosa.
b. Obesitas, dimana berat badan lebih dari 20% BB ideal atau BMI lebih
dari 27 kg/m2. Obesitas khususnya obesitas visceral berhubungan
dengan resistensi insulin
c. Pada wanita dengan riwayat DM gestational, atau melahirkan lebih dari
4 kg
d. Hypertensi , peningkatan lipid profile : kolesterol, HDL & trigliserida
e. Metabolik sindrom dengan manifestasi yang berhubungan dengan DM
tipe 2
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
10
2.1.2.3. DM Tipe Gestasional
ADA, 2012 mendefinisikan DM gestational adalah intoleransi glukosa yang
terjadi atau pertama kali diketahui saat proses kehamilan. Kondisi ini bisa
berlanjut hingga setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami DM
sejak sebelum kehamilannya tidak termasuk kelompok ini. Di Amerika DM
tipe ini terjadi pada 7 % dari seluruh kasus kehamilan.
Timbulnya intoleransi glukosa biasanya terjadi pada kehamilan trimester
dua atau tiga akibat dari sekresi hormone plasenta yang berdampak
menghambat kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2008). Bayi yang dilahirkan
oleh ibu dengan DM tipe ini akan beresiko mempunyai berat badan yang
besar (makrosomia).
Faktor resiko pada DM gestational ini berdasarkan adanya riwayat DM
pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat keluarga dengan DM tipe 2,
adanya glikosuria dan riwayat polycystic ovary symdrom
2.1.2.4. DM Tipe lain
Klasifikasi DM yang terakhir ,dimana DM ini tidak termasuk DM tipe
1,tipe 2 maupun tipe gestational. DM ini dikenal dengan DM tipe lain. Pada
DM ini, penyebabnya adalah (ADA, 2012) :
a. Kerusakan genetic pada fungsi sel beta
b. Kerusakan genetic pada aksi insulin
c. Penyakit eksokrin pancreas : Pancreatitis, trauma/pancreotomy,
neoplasia, Cystic fibrosis, hemocromatosis, dan lainnya
d. Endokrinopathy:
acromegaly,
cushing’s
syndrome,glukagonoma,
aldosteronoma, hypertiroidism, somatostatinoma
e. Obat-obatan atau zat kimia : vacor, pentamidine, asam nicotinic,
glukokortikaoid, diazoxide, thiazide, dilantin dan yang lainnya
f. Infeksi : Rubella, CMV, dan yang lainnya
g. Sindrom genetic lain yang berhubungan dengan diabetes : Down
sindrom, turner sindrom, myothonic dystrophy, wolfram sindrom dan
yang lainnya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
11
2.1.3. Tanda dan Gejala
Gejala klinis klasik pada semua tipe DM dikenal dengan trias poly. yaitu
polydhipsi, polypaghia dan polyuria. Gejala trias poly ini seringkali tidak pada
awalnya dirasakan oleh penyandang DM tipe 2, sehingga pada penyandang DM
tipe 2 datang kepelayanan kesehatan dengan gejala komplikasi yang ditimbulkan
(Lewis, et al 2011; LeMone, 2011). Berikut ini diuraikan tanda dan gejala yang
ditimbulkan dari peningkatan gula darah pada penyandang DM menurut LeMone et
al, 2011
2.1.3.1. Polyuria
Polyuria atau sering disebut sering buang air kecil, terjadi karena adanya
akumulasi
glukosa
di
dalam
sirkulasi
darah
menyebabkan
hyperosmolaritas pada serum. Selanjutnya terjadi perpindahan cairan dari
intra seluler ke dalam system sirkulasi. Peningkatan volume dalam
pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke ginjal dan hyperglikemia
menyebabkan dieresis osmotic yang pada akhirnya meningkatkan
pengeluaran urine.
Ambang batas ginjal terhadap kadar glukosa darah adalah 180 mg/dL.
Ketika kadar gula darah lebih dari nilai tersebut, maka glukosa akan
dikeluarkan bersama urine. Kondisi ini disebut dengan glukosuria.
2.1.3.2. Polydipsia
Penurunan volume cairan di intraseluler dan peningkatan pengeluaran
urine akan menyebabkan dehidrasi tingkat sel. Mukosa mulut menjadi
kering dan sensasi haus dirasakan, maka akan menyebabkan peningkatan
asupan cairan.
2.1.3.3. Polyphagia
Penurunan jumlah atau sensitifitas insulin untuk membantu memasukan
glukosa ke dalam sel, menyebabkan terjadinya penurunan metabolism dan
pembentukan energy. Penurunan energi ini akan menstimulasi pusat lapar
dan penyandang DM menjadi banyak makan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
12
2.1.3.4. Penurunan berat badan
Pemenuhan kebutuhan energy akibat kegagalan penggunaan glukosa
sebagai sumber energy didapatkan dari sumber energy lain yaitu protein
dan lemak. Pemecahan asam amino (Proteolisis) terjadi pada otot yang
disimpan sebagai cadangan protein. Berkurangnya cadangan protein otot
menyebabkan penurunan berat badan.
2.1.3.5. Penurunan Penglihatan
Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dapat menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik pada mata dan perubahan pada lensa
sehingga pasien akan mengalami gangguan dalam penglihatan.
2.1.4. Diagnosis
Penegakan diagnose DM tidak hanya dilakukan berdasarkan keluhan yang
disampaikan oleh pasien. Diagnosis DM harus didasarkan pada pemeriksaan
penunjang khususnya pemeriksaan gula darah. Keluhan klasik seperti polyuria,
polydipsi, polyphagia, badan yang lemah, penurunan berat badan tanpa diketahui
jelas penyebabnya menjadi dasar dugaan adanya DM.
Pada beberapa dekade, diagnosis DM ditegakkan dengan pemeriksaan gula darah
sewaktu, gula darah puasa dan gula darah 2 jam setelah beban (glukosa 75 gr).
Sejak tahu 2009, pada International Expert Committee termasuk di dalamnya
terdapat perwakilan dari American Diabetes Association (ADA), International
Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study of Diabetes
(EASD), merekomendasikan pemeriksaan HbA1C sebagai uji untuk diagnosis DM.
Didiagnosis sebagai penyandang DM jika di dapatkan hasil HbA1C > 6.5%.
Pemeriksaan HbA1C menggunakan metode yang telah terstandar oleh National
Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and
Complications Trial (DCCT) (ADA, 2012).
HbA1C atau haemoglobin glikosilate merupakan gugus heterogen yang terbentuk
dari ikatan hemoglobin dan gukosa dalam darah. Apabila hemoglobin bercampur
dengan larutan dengan kadar glukosa yang tinggi, rantai beta molekul hemoglobin
mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, proses ini dinamakan glikosilasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
13
Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini
meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal, sekitar
4-6% hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin glikosilat atau
hemoglobin A1c. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar hemoglobin A1c
dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan
hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar hemoglobin A1c yang tinggi
mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes selama 3-5 minggu sebelumnya.
Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar hemoglobin A1c kembali ke
normal dalam waktu sekitar 3 minggu.
Karena HbA1c terkandung dalam eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari, maka
HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan.
Pemeriksaan ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan informasi
yang lebih jelas tentang keadaan penderita dan seberapa efektif terapi diabetik yang
diberikan. Peningkatan kadar HbA1c > 6.5% mengindikasikan diabetes mellitus
yang tidak terkendali dalam 3 bulan terakhir. Keuntungan yang lain dari
pemeriksaan ini, tidak memerlukan persiapan seperti puasa dan pengambilan darah
hanya dilakukan sekali saja (ADA, 2012; Black & Hawk, 2009). Namun demikian
HbA1C hanya dapat dilakukan pada laboratorium yang telah terstandar.
Pemeriksaan yang lain dan masih direkomendasikan oleh ADA, 2012 maupun
PERKENI, 2011 adalah pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa, gula
darah 2 jam setelah beban. Berikut kriteria diagnosis DM menurut ADA, 2012
a.
Adanya gejala klasik DM dengan hasil HbA1C > 6.5 % , dan pemeriksaan
menggunakan metode yang terstandart (NGSP atau DCCT), atau
b.
Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL
(11,1 mmol/L). Gula darah plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau
c.
Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa puasa > 126 mg/dL (7,0
mmol/L). Puasa diartikan tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8
jam, atau
d.
Kadar gula plasma 2 jam pada Toleransi Tes Glukosa Oral (TTGO) > 200
mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, yaitu
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
14
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air.
Pada orang-orang yang beresiko DM namun tidak menunjukan adanya gejala DM,
perlu dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mendeteksi lebih awal adanya gangguan pada toleransi glukosa atau resiko DM
sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih awal. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan melalui pemeriksaan guladarah sewaktu, atau gula darah puasa. Berikut
ini kadar gula darah sebagai penyaring diagnosis DM (Pra diabetes)
a. Gula darah puasa 100mg/dL (5,6 mmol/L) – 125 mg/dL (6,9 mmol/L)
b. Gula darah 2 jam setelah beban dengan 75 gr glukosa oral 140 mg/dL (7.8
mmol/L) sampai 199 mg/dL (11.0 mmol/L)
c. HbA1C : 5,7% sampai 6,4 %
Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukan kelainan hasil, dilakukan
pemeriksaan ulang setiap tahun. Untuk yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko
lain, penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Pemeriksaan penunjang lain yang disarankan untuk mengetahui factor resiko
maupun gangguan metabolism lebih lanjut diantaranya adalah pemeriksaan lipid
profile. Gangguan metabolism glukosa dapat menimbulkan peningkatan pada kadar
trigliserida, penurunan HDL, perubahan pada struktul LDl, dimana dapat
ditemukan peningakatan small dense LDL. Penurunan kadar C-Peptida dalam
darah dapat digunakan untuk menggambarkan penurunan produksi insulin oleh sel
beta pancreas.
2.1.5. Penatalaksanaan
Tujuan jangka pendek dari penatalaksanaan pada penyandang DM
adalah
menghilangkan keluhan dan tanda dari DM, mempertahankan kenyamanan, dengan
gula darah yang terkontrol. Sedangkan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai
adalah mencegah dan menghambat progresivitas penyulit atau komplikasi seperti
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pada akhirnya keberhasilan
penataksanaan akan meningkatkan kualitas hidup penyandang DM, menurunnya
angka mortalitas dan morbiditas DM.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
15
Penatalaksanaan DM ini dilakukan secara holistic dan terpadu dengan melibatkan
multidisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, educator, dan lainnya)
dan
keluarga sebagai system pendukung utama.
Pilar penatalaksanaan utama untuk DM meliputi edukasi, perencanaan makan,
latihan jasmani, intervensi farmakologis dan monitoring gula darah. Berikut ini
penjelasan dari 5 pilar penatalaksanaan DM :
2.1.5.1. Edukasi
Edukasi merupakan proses perpindahan informasi dari suatu sumber untuk
menambah pengetahuan (internalisasi) satu individu dalam rangka
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dan diharapkan
menampilkan satu perubahan perilaku (Nasution, 2008). Penyandang DM
umumnya mempunyai resiko dari pola hidup yang tidak sehat. Selain itu
pengendalian gula darah dan pencegahannya memerlukan perawatan
sepanjang hidupnya, sehingga perubahan pola hidup dan kepatuhan
terhadap perawatan hendaknya didasarkan pada pengetahuan yang benar.
Tujuan dari edukasi pada penyandang DM adalah terjadinya perubahan
perilaku untuk jangka panjang. Perubahan perilaku ini dapat dicapai
dengan cara memberikan pengetahuan yang dibutuhkan sehingga
penyandang DM mampu membuat keputusan sendiri yang akan
memperbaiki kesehatan individu tersebut.
Prinsip edukasi yang harus disampaikan adalah sesuai kebutuhan,
diberikan secara bertahap sehingga proses internalisasi dapat tercapai.
Memperhatikan kondisi diabetisi seperti tingkat pendidikan, usia,
pengetahuan dan persepsi yang dimiliki, budaya hingga kondisi psikologis
merupakan hal penting untuk pencapaian informasi.
Edukasi yang diberikan untuk diabetisi diantaranya informasi tentang DM,
pengendalian gula darah melalui perencanaan makan, latihan jasmani dan
obat-obatan, pemantauan gula darah, tanda dan gejala komplikasi akut dan
pencegahan komplikasi kronikseperti perawatan kaki.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
16
2.1.5.2. Pengaturan makan
Pengaturan makan merupakan salah satu terapi non farmakologis yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang DM (diabetisi). Prinsip dari
perencanaan makan ini adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individu (Yunir .E & Soebardi, 2009; ADA, 2012).
Manfaat yang didapatkan dari perencanaan makan pada penyandang DM
antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah
sistolikdan diastolic, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil
lipid, dan pada akhirnya meningkatkan sensitifitas insulin dan mencegah
timbulnya kompliksi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM
hamper sama dengan anjuran makan pada umumnya, yaitu gizi seimbang
sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi dari masing-masing individu.
Penekanan perencanaan makan pada diabetisi adalah pentingnya
keteraturan pada jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama pada
diabetisi yang menggunakan obat penurun glukosa atau insulin (Sukardji
dalam Sugondo, Suwondo, Subekti, 2011; PERKENI, 2011).
Komposisi bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi dalam rangka
mencapai gizi seimbang terdiri dari makronutrien, yaitu karbohidrat,lemak
dan protein, dan mikronutrien yang terdiri dari vitamin dan mineral.
Jumlah karbohidrat yang dianjurkan 45 – 65 % dari total asupan energi,
protein 10- 20 % dan lemak 20 – 25%.
Selain komposisi bahan makanan, jumlah kalori juga merupakan hal yang
harus diperhatikan. Setiap individu akan berbeda jumlah kalori yang
dibutuhkan. Penghitungan kalori pada penyandang DM disesuaikan
dengan jenis kelamin, aktifitas fisik, berat badan, stress metabolic dan
kondisi kehamilan.
Makanan yang telah disesuaikan komposisi dan kalori, kemudian dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan
malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
17
2.1.5.3. Latihan jasmani
Latihan fisik atau olah raga pada penyandang diabetisi akan membantu
dalam pengendalian gula darah, menurunkan lemak dalam darah,
menurunkan berat badan, menjaga kebugaran dan akan meningkatkan
sensitifitas insulin. Aktivitas fisik melibatkan kelompok besar otot-otot
utamanya
yang mempengaruhi
peningkatan
pengambilan
oksigen
sehingga terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif.
Prinsip latihan jasmani pada pasien diabetes hampir sama dengan latihan
jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti: frekuensi,
intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan
pada pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali
dalam 1 minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (60-70% maximum
heart rate), dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun
jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani endurans
(aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan,
jogging dan bersepeda. Latihan jasmani yang dipilih adalah latihan yang
disenangi oleh pasien (Yunir & Soebardi, 2009).
Proses terjadinya pengendalian kadar glukosa darah (penurunan kadar
glukosa darah) pada penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani
karena meningkatnya ambilan glukosa oleh otot yang bekerja selama
latihan jasmani berlangsung dan pada masa pemulihan atau pasca latihan
jasmani. Penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani
memperoleh sumber energinya berasal dari glukosa dan glikogen otot.
Pada saat latihan jasmani berlangsung (kontraksi otot rangka), aliran darah
akan meningkat ke daerah otot yang bekerja tersebut untuk membawa
bahan sumber energi (glukosa). Kontraksi sel otot merupakan peristiwa
berinteraksinya aktin dan miosin yang didahului oleh pelepasan ion
kalsium intrasel karena rangsangan persarafan. Kalsium
intrasel
mengaktifkan sejumlah enzim PKC serine kinase yang diduga
menstimulasi molekul transpor glukosa, GLUT4. Peristiwa kontraktil juga
mengubah rasio AMP/ATP sehinggga mengaktivasi AMP kinase. AMP
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
18
kinase memfosforilasi dan mengaktivasi enzim NO sintase sehingga
meningkatkan produksi NO (Nitrat Oxide) dan menstimulasi peningkatan
transport glukosa ke dalam sel otot rangka yang aktif. AMP kinase juga
memfosforilasi molekul p38 MAPK yang akan meningkatkan translokasi
GLUT4. Peningkatan GLUT4 pada sel otot yang aktif pada penderita DM
tipe 2 akan meningkatkan ambilan glukosa dari plasma darah sehingga
akan menurunkan kadar glukosa darah.
Latihan jasmani menjadi kontraindikasi pada kondisi guladarah >
250mg/dL, terdapat keton yang positif dan gangguan kardiovaskuler. Pada
kondisi ini meningkatkan metabolism sehingga meningkatkan kadar gula
darah dan benda keton.
Tahapan dalam latihan jasmani pada penyandang DM dimulai dengan
pemanasan, latihan inti, pendinginan dan peregangan. Untuk menghindari
hal yang tidak diinginkan seperti hipoglikemia, maka latihan fisik yang
akan dilakukan harus direncanakan & dalam pengawasan.
2.1.5.4. Obat-obatan
Terapi farmakologis atau obat, digunakan jika penatalaksanaan melalui
pengaturan makan dan latihan fisik, serta perubahan gaya hidup tidak
mampu mengendalikan gula darah. DM tipe 2 yang merupakan populasi
terbanyak terjadi karena resistensi insulin, penggunaan obat hiperglikemi
oral seringkali menjadi pilihan utama. Namun pada kondisi kerusakan sel
beta atau untuk mencegah kerusakan lebih lanjut insulin eksogen juga
menjadi pertimbangan untuk digunakan (Sugondo, Suwondo, Subekti
2011).
a. Obat hiperglikemia oral (OHO)
Ada 2 jenis obat hipoglikemik oral diantaranya adalah pemicu sekresi
insulin (seperti sulfonylurea dan glinid) dan obat penambah
sensitivitas terhadap insulin (biguanid, tiazolidindion, penghambat
glukosidase alfa dan incretin mimetic)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
19
ï‚·
Sulfonyluera
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta
pangkeras
untuk
melepaskan
insulin
yang
tersimpan.
Sulfonylurea pada umunya diberikan dengan dosis rendah untuk
mencegah
hipoglikemi.
Jenis
obat
sulfonylurea
adalah
klorpropamid, glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimepirid.
ï‚·
Glinid
Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 jenis obat seperti repaglinid, dan nateglinid.
ï‚·
Biguanid
Jenis obat ini seperti: metformin dam metformin XR. Metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja
insulin pada tingkat selular. Metformin tidak dapat menyebabkan
penurunan glukosa darah sampai normal sehingga obat ini
dikenal juga dengan obat anti hiperglikemik. Kombinasi
supfoniluera dengan metformin tanpak memberikan kombinasi
yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling aditif.
ï‚·
Tiazolidindion
Golongan
obat
yang
mempunyai
efek
farmakologis
meningkatkan sensitivitas insulin/ dapat diberikan secara oral.
- Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan
penyerapan
glukosa
dan
menurunkan
hiperglikemia postprandial.
- Golongan incretin memetic
Pada pemberian glukosa secara oral, akan didapatkan kenaikan
kadar insulin yang lebih besar dari pada pemberian glukosa
secara intravena.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
20
b. Insulin
Insulin eksogen atau berasal dari luar tubuh diberikan pada semua DM
tipe 1. Indikasi pemberian pada DM tipe 2 adalah pada kondisi dimana
terapi lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa
darah, terjadi peningkatan metabolism : stress berat, infeksi,
pembedahan, MCI dan stroke. Komplikasi akut seperti ketoasidosis,
sindrom hiperosmolar non ketotik juga menjadi indikasi penggunaan
insulin eksogen (Sugondo, 2011)
Berdasarkan cara kerjanya insulin eksogen (puncak kerja dan jangka
waktu efeknya), insulin dibagi menjadi empat tipe, yaitu : Insulin kerja
singkat(short acting insulin), insulin kerja cepat (rapid acting insulin),
insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja
panjang (long acting insulin).
Tabel 2.1.
Tipe insulin dan cara kerja
Cara Kerja
Sediaan
Onset
Puncak
Durasi
Rapid acting
Humalog (insulin
lispro)
Novolog ( Insulin
Aspart)
5 – 10
menit
1 jam
2–4
jam
Short acting
Humulin R
Novolin R
0,5 – 2
jam
2- 4 jam
4–6
jam
Intermediate
acting
Long acting
Humulin N (NPH)
Humulin 70/30
2–4
jam
4 – 10
jam
10- 16
jam
Humulin U (Ultralente)
Lantus ( Insulin
glargine)
Tidak ada onset dan tidak ada
masa puncak kerjanya
2.1.5.5. Monitoring gula darah
Monitoring gula darah sangat penting dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemi atau hiperglikemi, terutama
pada orang yang mendapatkan terapi insulin atau OHO yang berdampak
pada peningkatan sekresi insulin. Saat ini telah banyak dipasarkan alat
monitoring gula darah yang dapat digunakan oleh para penyandang DM.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
21
Monitoring gula darah oleh diabetisi sendiri hasilnya sangat dipengaruhi
oleh kemampuan diabetisi mengenali dan menggunakan alat tersebut.
Perawat berperan dalam memberikan edukasi untuk tehnik pemeriksaan
hingga pembacaan hasil.
Monitoring glukosa oleh diabetisi dapat dilakukan 2–4 kali sehari pada
penyandang DM yang mendapat terapi insulin yaitu pagi sebelum makan
dan sebelum tidur, atau setiap sebelum makan dan 2 jamsetelah makan.
Jika gula darah sudah stabil dapat dilakukan 2–3 kali dalam seminggu.
Untuk penyandang DM yang tidak mendapatkan insulin, monitoring dapat
dilakukan 2–3 kali seminggu termasuk pemeriksaan 2 jam setelah beban
glukosa atau setelah makan (Smeltzer & Bare, 2008).
Monitoring gula darah sendiri dianjurkan pada penyandang DM yang
guladarahnya tidak terkontro, kejadian hypoglikemia berulang dan wanita
hamil dengan hyperglikemia (PERKENI, 2011)
2.1.6. Komplikasi
Penatalaksanaan DM yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai komplikasi,
baik yang disebabkan karena penurunan gula darah yang terlalu drastis maupun
peningkatan gula darah. Komplikasi yang terjadi bisa bersifat akut maupun kronik.
2.1.6.1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia
Hypoglikemia adalah terjadinya penuruanan glukosa dalam darah
hingga dibawah 60 mg/dL. Pada penyandang DM, hypoglikemia
biasanya terjadi peningkatan kadar insulin yang tidak tepat, baik akibat
penyuntikan insulin eksogen maupun konsumsi OHO dengan aksi
peningkatan sekresi insulin seperti sulfonylurea.
Hipoglikemi merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kegawatan
hingga kematian. Hal ini terjadi karena glukosa merupakan komponen
penting yang dibutuhkan untuk metabolism sistim saraf pusat (otak).
Pada gangguan asupan glukosa yang berlangsung dalam beberapa
menit, akan menyebabkan gangguan pada fungsi saraf pusat dengan
gejala mulai dari gangguan koknisi, penurunan kesadaran hingga koma.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
22
Mekanisme
tubuh
dalam
kondisi
hipoglikemia
yaitu
dengan
melepaskan neuroendokrine dan mengaktifkan sistim saraf otonom.
Penekanan produksi insulin, produksi glucagon dan epinephrine
merupakan pencegahan terhadap hipoglikemia lanjut. Peniningkatan
epinephrine
akan
menimbulkan
manifestasi
palpitasi,
cemas,
diaphoresis, lapar dan pucat (Lewis, 2011).
Tanda dan gejala hipoglikemia, menurut Sugondo, dkk, 2011 dapat
dibagi dalam 4 stadium, yaitu
- Stadium parasimpatik : lapar, mual dan tekanan darah menurun
- Stadium gangguan otak ringan : lemah,lesu, sulit bicara, gangguan
koknitif seperti kesulitan menghitung
- Stadium Simpatik : keringat dingin pada area wajah dan ekstremitas
yang disertai dengan berdebar-debar
- Stadium gangguan otak berat : koma dengan atau tanpa kejang.
Pencegahan hipoglikemia dapat dilakukan dengan member edukasi
kepada diabetisi mengenai OHO atau insulin yang digunakan: kapan
harus dikonsumsi,bagaimana penyuntikan insulin yang benar seperti
lokasinya, waktunya, dosis dan tehnik penyuntikan. Pengaturan makan
sesuai jumlah, jenis dan jadwal penjadi pokok utama pencegahan.
Pengenalan terhadap gejala hipoglikemia dan penanganan awal juga
merupakan hal penting yang harus diketahui penyandang DM, sehingga
tidak jatuh kepada hipoglikemia tahap lanjut.
Jika hipoglikemia sudah terjadi maka, pengobatan harus segera
dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan otak lebih lanjut
(Soegondo 2011), yaitu :
- Stadium awal : masih komposmentis, dapat diberikan gula murni
30 gr (2 sendok makan) atau sirup, permen dan makanan yang
mengandung karbohidrat mudah cerna dan insulin atau OHO tidak
diberikan.
- Stadium koma hipoglikemia : segera dibawa ke pelayanan
kesehatan. Pemberian glukosa 40 % sebanyak 2 flakon intravena
setiap 10- 20 menit hingga pasien sadar, disertai pemberian cairan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
23
dextrose 10% perinfuse 6 jam/kolf dengan pemantauan gula darah
setiap 30 menit.
b. Ketoasidosis
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) juga merupakan komplikasi akut yang
menyebabkan kondisi kegawatan sehingga membutuhkan pengelolaan
yang cepat. KAD suatu keadaan dekompensasi dan kekacauan
metabolic yang ditandai dengan hyperglikemia, asidosis dan ketosis
dan gejala dehidrasi (Suwondo P, 2009; Lewis, 2011, LeMone, 2011).
Walaupun KAD lebih mudah terjadi pada DM tipe 1, namun tidak
sedikit penyandang DM tipe 2 juga mengalami komplikasi KAD dan
20 % dari pasien KAD, baru diketahui menderita DM.
Faktor pencetus terjadinya KAD adalah infeksi, MCI, pancreatitis akut,
penggunaan obat steroid dan menghentikan atau mengurangi dosis
insulin.
Proses terjadinya KAD dapat diawali dengan defisiensi insulin absolute
maupun relative mengakibatkan sel tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa. Sistem homeostasis tubuh teraktivasi sehingga cadangan
glukosa dihati dan otot dikeluarkan. Kondisi ini menyebabkan
hiperglikemia yang berat. Selanjutnya terjadi hormone kontraregulator
meningkat terutama epinephrine yang akan merangsang aktivasi
hormone lipase sensitive, lipolisis meningkat, benda keton dan asam
lemak bebat juga akan meningkat dalam darah. Akumulasi benda keton
ini akan menyebabkan asidosis metabolic.
Gejala dehidrasi terjadi diawali dengan glycosuria yang akan
menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan
elektrolite-seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan
klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia
pra renal dan dapat menimbulkan shock hypovolemik. Asidosis
metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan
derajat ventilasi (peranafasan Kussmaul). Muntah-muntah juga
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
24
biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan
elektrolite.
Diagnosis KAD dapat ditegakkan berdasarkan pada nilai gula darah
lebih dari 250 mg/dL, pH darah kurang dari 7,35, HCO3 rendah dengan
anion gap yang tinggi dan keton serum positif. Pemeriksaan lain
sebagai
penunjang
dari
manifestasi
yang
ditimbulkan
yaitu
pemeriksaan elektrolit, urium creatinin, dan penghitungan osmolaritas.
Penatalaksanaan KAD dilakukan berdasarkan patofisiologi dan
pathogenesis penyakit. Diperlukan pengelolaan yang intensive dengan
prinsip pengelolaan KAD, yaitu : penggantian cairan dan elektrolit
yang hilang, menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis
sel hati dengan pemberian insulin, mengatasi pencetus KAD,
mengembalikan kekondisi fisiologis dengan pemantauan glukosa.
-
Penggantian cairan (rehidrasi) : Cairan yang digunakan adalah
NaCl 0,9%. Diberikan 1- 2 liter pada jam pertama, kemudian jam
kedua diberikan 1 liter, setelah itu cairan diberikan sesuai dengan
tingkat dehidrasi. Rehidrasi pada KAD selain memperbaiki perfusi
jaringan, juga akan menurunkan hormone kontraregulator insulin.
-
Insulin : insulin mulai diberikan dalam bentuk bolus pada jam ke 2,
dengan dosis 180 mU/KgBB, dilanjutkan dengan drip 90
mU/KgBB dalam NaCl 0,9%. Bila gula darah stabil dalam 12 jam
(200 – 300 mg/dL), dilanjutkan dengan drip insulin 1 – 2 ui/jam
dan dilakukan penyesuaian insulin setiap jam. Pemberian insulin
pada KAD ini bertujuan menurunkan konsentrasi hormone
glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,
pelepasan asam lemak bebas, pelepasan asam amino dan
meningkatkan penggunaan insulin oleh sel.
-
Kalium : hipokalemia bisa terjadi pada KAD karena perpindahan
ion K,dari dalam sel keluar sel yang pada akhirnya keluar melalui
urine karena proses dehidrasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
25
c. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
HHNK merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis
utama didapatkan adanya dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan dapat
disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.
Faktor pencetus timbulnya HHNK diantaranya infeksi, pengobatan,
DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta
seperti
tumor
yang
menghasilkan
hormone
adeokortikotropin,
pancreatitis dan lainnya. Pada usia lanjut dengan DM HHNK lebih
mudah terjadi khususnya lansia dengan penyakit penyerta dan asupan
nutrisi yang kurang.
Proses
perjalanan
HHNK
sama
dengan
KAD
dimana
tidak
tercukupinya insulin akan mengakibatkan hiperglikemia yang pada
akhirnya terjadi dieresis osmotik. Kehilangan cairan intravascular akan
menyebabkan keadaan hiperosmolar yang akan memicu sekresi
hormone anti diuretic, rasa haus yang berkepanjangan akan dirasakan
oleh pasien. Kehilangan cairan yang tidak terkompensasi akan
menimbulkan penurunan perfusi jaringan hingga koma.
Pemeriksaan
penunjang
untuk
mendiagnosis
adanya
HHNK
diantaranya adalah kadar glukosa darah yang > dari 600mg/dL,
osmolaritas serum yang tinggi >320 mOsm perkg air, pH > 7.30, dapat
ditemukan adanya ketonemia ringan atau tidak ditemukan. Sebagian
pasien menunjukan asidosis metabolic dengan anion gap ringan hingga
berat. Konsentrasi BUN dan kreatininsering kalimeningkat yang
menggambarkan adanya penurunan fungsi ginjal akibat dehidrasi dan
akan terjadi penurunan elektrolit.
Penatalaksanaan HHNK yang pertamaadalah rehidrasi dengan agresif
menggunakan cairan NaCL 0,9 % dimulai dari 1 liter setiap jam.
Pemberian
elektrolit
khususnya
kalium
yang
hilang
bersama
pengeluaran cairan. Pemantauan terhadap kondisi aritmia sebagai
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
26
akibat hypokalemi harus dilakukan. HHNK diawali dengan ketidak
cukupan kebutuhan insulin, sehingga pemberian insulin sangat penting.
Pemberian insulin ini dilakukan setelah kondisi kekurangan cairan
tubuh teratasi.
2.1.6.2. Komplikasi Kronik
Kelainan metabolik pada DM tipe 2 dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan perubahan berbagai organ pada tubuh dan bersifat
irreversible. Hiperglikemia menyebabkan glukosa direduksi menjadi
sorbitol dalam sel yang mengandung enzim aldoreduktase. Sorbitol bersifat
hidrofilik
sehingga
tidak dapat
melewati
membran sel
sehingga
meningkatkan akumulasi poliol intrasel sehingga sel menjadi bengkak dan
mengalami kerusakan akibat proses osmotik (Waspadi dalam Sudoyo, 2009;
Sibernagl & Lang, 2007).
Hiperglikemia menyebabkan kerusakan jaringan melalui terbentuknya
glikosilasi
antara
glukosa dengan
protein
non-enzimatik
Advance
Glycocilation End Products (AGES) yang berikatan dengan reseptor
membran sel serta adanya pembentukan radikal bebas reactive oxygen
species (ROS) yang dapat mengakibatkan pengendapan kolagen pada
membran basalis pembuluh darah, kerusakan endothelium, penyempitan
lumen dan penurunan permiabilitas pembuluh darah (Scott, Gronowski,
Eby, 2007; Waspadji dalam Sudoyo, 2009).
Kerusakan dinding pembuluh darah kecil dapat menyebabkan neuropati,
nefropati dan retinopati. Neuropati disebabkan akibat penumpukan sorbitol
pada sel schwan dan neuron sehingga mengganggu konduksi sel-sel saraf
yang mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom, sensori dan refleks.
Neuropati ditandai dengan adanya penurunan fungsi serabut saraf secara
progresif. Neuropati merupakan komplikasi yang banyak terjadi pada DM
dan diperkirakan terjadi pada 50% pasien DM baik tipe 1 maupun tipe 2
(Lin, 2011).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
27
Nefropati
berhubungan
dengan
adanya
glomerulosklerosis
yang
mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus, proteinuria, hipertensi
dan gagal ginjal. Terjadinya gagal ginjal pada pasien DM tipe 2 dapat
berhubungan dengan adanya penurunan Angiotensin Concerting Enzyme
(ACE 2) yang berperan dalam melindungi ginjal (Reich, Oudit, Penninger,
Scholey, & Herzenberg, 2008). Menurut Batuman resiko terjadinya
nefropati diabetik dapat dialami pasien yang mengalami DM lebih dari 30
tahun.
Retinopati disebabkan adanya penumpukan sorbitol pada lensa mata yang
mengakibatkan penarikan cairan dan perubahan kejernihan lensa mata (Bate
& Jerums, 2003). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan pada
kelompok usia 25-74 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar
700.000 orang mengalami retinopati diabetik proliferasi dengan setiap
tahunnya terdapat 65.000 kasus. Prevalensi retinopati diabetik di Amerika
Serikat menunjukkan angka cukup tinggi yaitu sekitar 28.5% yang terutama
terjadi pada pasien DM dengan usia diatas 40 tahun (Bhavsar, 2011).
Hiperglikemia juga menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah
yang besar yang berhubungan dengan terjadinya infark miokard, stroke dan
penyakit pembuluh darah tepi. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan
pembentukan protein plasma yang mengandung glukosa seperti fibrinogen,
haptoglobin, macroglobulin alpha 2 dan faktor pembekuan V-VIII yang
cenderung mengakibatkan peningkatan pembekuan dan viskositas darah
yang mempermudah terjadinya trombosis.
Trombosis yang disertai dengan peningkatan kadar kolesterol Very Low
Density Lipoprotein (VLDL) akan menyebabkan makroangiopati yang
memicu terjadinya penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan penyakit
pembuluh darah perifer (Ignatavicius & Workman, 2010). Pasien DM tipe 2
memiliki resiko tinggi untuk mengalami gagal jantung. Kemungkinan
mekanisme yang menjelaskan tentang hubungan DM tipe 2 dengan penyakit
jantung adalah adanya peningkatan tekanan darah dan efek dari
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
28
metabolisme seperti hiperinsulinemia dan hiperglikemia (Gholap, Davies,
Patel, Sattar, & Kunthi, 2011).
Komplikasi kronik yang banyak terjadi akibat adanya komplikasi pada
makrovaskuler, mikrovaskuler maupun neuropati adalah komplikasi pada
kaki atau kaki diabetic.
Kaki diabetic didefinisikan sebagai kaki pada pasien diabetes yang rentan
terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi
pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari
diabetes. Kaki diabetic ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy),
berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan
komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,2008;
Waspadji, 2009; Turn, 2011).
Seperti dijelaskan pada definisi bahwa terjadinya kaki diabetik disebabkan
selain oleh adanya gangguan vaskuler, gangguan saraf perifer, juga dapat
disebabkan adanya deformitas musculoskeletal maupun infeksi. Proses
terjadinya kaki diabetic dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Neuropathy
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik
yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,
sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan
radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai
jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran
darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel,
dan terjadilah ND (Subekti I, 2010).
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor),
otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan
bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
29
bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50%
pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun.
Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme
vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis
kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi
saraf karena hiperglikemia.
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya
saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan
ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah
proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk,
kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya
pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa
baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran
terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda
yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas
terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyunghuyung.
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita
neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki.
Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini
adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan
fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat
perubahan neuropatik (Smeltzer & Bare, 2008).
b. Mikrovaskuler (mikroangiopathy)
Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan
terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan
glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan
terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk
advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
30
reseptornya
masing-masing
di
membrane
sel
sehingga
dapat
meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh
darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui
transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat
diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan
membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan
lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi
kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009).
c. Deformitas
Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi
sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama
adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam,
dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus.
Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada
serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat
menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw
toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles)
dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus.
Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik
menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan
edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom
memudahkan terjadinya artropati Charcot.
d. Infeksi
Penyandang Diabetes
pada jangka waktu lama akan mengalami
penurunan pada system imunitas. Penurunan system imun dapat
disebabkan oleh 3 faktor yaitu : kerusakan fungsi polimorphonuclear
leukosit, neuropathi diabetic dan penurunan vaskuler. Gangguan vaskuler
akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi sel darah
putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang
rusak dan ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang
dengan cepat. Pada kondisi ini penyandang diabetes akan mudah
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
31
mengalami infeksi terutama pada kaki yang mengalami luka (Hawks &
Black, 2010)
2.2. Asuhan Keperawatan Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy
2.2.1.Dasar Teori adaptasi Roy
Sister Calissta Roy lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, seorang
profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai mengembangkan
teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964. Roy mengembangkan suatu model
yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Model adaptasi Roy berasal
dari pemikiran Roy yang sangat terkesan dengan ketahanan anak-anak terhadap
perubahan mayor fisik dan psikososial saat dirawat di bangsal pediatric. Dimulai
dari seminar dengan Dorothy E. Jhonson untuk mempresentasikan suatu model
keperawatan dan kemudian dilanjutkan dengan berdasar pada teori adaptasi
Helson (1964), maka Roy kemudian menghasilkan suatu teori yang disebut
model adaptasi.
Ada beberapa ahli yang memberikan pengaruh atau berkontribusi terhadap
perkembangan teoritis model adaptasi Roy, para ahli tersebut antara lain Helson
(Helson’s Adaptation Theory), Rapoport (Rapoport’s Definition), Dohrenwend,
Lazarus, Mechanic, Selye, Marie Direver (Self Integrity), Martinez and sato
(common and primary stimuli affecting the modes), Poush Tedrow and Van
Landingham (Interdependence mode), Randel (Role Function Mode) (Tomey &
Alligood, 2006).
Pada awalnya, Roy mendiskusikan tentang konsep diri dan identitas kelompok
dengan menggunakan teori interaksi social sebagai dasar teori, salah satu contoh
penggunaan teori tersebut adalah persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh
respon dari orang lain. Selain itu Sullivan juga mempengaruhi Roy untuk
membuktikan bahwa seseorang itu muncul dari interaksi social yanga ada.
Gardner dan Erickson, 1984 dalam Tomey & Alligood, 2006 juga berpengaruh
pada mode yang lain, yaitu fisik-psikologis, fungsi peran dan interdependensi
untuk memahami bahwa manusia juga berasal dari komponen biologis dan
behavioral.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
32
2.2.2.Asumsi-Asumsi Utama
Roy (1988 dalam Roy & Andrews, 1999) mengidentifikasi asumsi spesifik pada
dua prinsip filosofi yaitu asumsi humanism dan veritivity. Asumsi humanism
mengatakan bahwa manusia dan pengalamannya merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk mengetahui dan menilai sesuatu untuk membentuk suatu kekuatan
kreatif, sedangkan asumsi veritivity mengatakan tentang keyakinan pada tujuan,
nilai dan arti dalam kehidupan manusia Roy (1988 dalam Roy & Andrew,
1999). Selain itu terdapat asumsi keilmuan yang berasal dari gabungan teori
system dan teori level adaptasi. Teory system mengatakan bahwa system
adaptasi manusia terlihat dari interaksi dan tindakan untuk mencapai suatu
tujuan di dunia ini. Sedangkan system adaptasi manusia sangatlah kompleks,
dengan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan stimulus dari
lingkungan, manusia mempunyai kemampuan untuk merubah lingkungan
sekitarnya.
Dalam memahami konsep adaptasi, Roy (Roy & Andrew,1999 dalam Tomey &
Alligood, 2006) mengembangkan 5 asumsi dasar dalam model adaptasi ini, yaitu
adaptasi, keperawatan, manusia/individu, kesehatan dan lingkungan.
2.2.2.1. Adaptasi
Adaptasi adalah suatu proses dan hasil, dimana manusia adalah sebagai
individu dalam satu kelompok yang menggunakan kesadaran penuh dan
pilihan untuk membentuk suatu integrasi antara manusia dan
lingkungan. Untuk mempertahankan integritas, individu berespon
terhadap stimulus dari lingkungan.
2.2.2.2. Keperawatan
Keperawatan sebagai suatu profesi pelayanan kesehatan yang berfokus
pada proses dan pola hidup manusia serta menekankan terhadap
promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
sebagai suatu kesatuan. Roy mengidentifikasikan aktifitas keperawatan
sebagai suatu pengkajian terhadap perilaku dan stimulus yang
mempengaruhi adaptasi. Keputusan dalam perawatan berdasarkan pada
pengkajian dan perencanaan yang disusun untuk mengatur stimulus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
33
yang masuk. Pada akhirnya, tujuan Roy dalam keperawatan adalah
promosi
adaptasi
individu
dan
kelompok
pada
setiap
mode
(physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role
function mode and interdependence mode) yang berkontribusi terhadap
kondisi sehat, kualitas hidup dan meninggal dengan tenang.
Keperawatan mempunyai peran yang unik yaitu sebagai fasilitator
untuk beradaptasi dengan mengkaji perilaku pada tiap mode dan faktorfaktor yang mempengaruhi adaptasi dengan cara ikut andil untuk
mengembangkan kemampuan beradaptasi dan meningkatkan interaksi
lingkungan.
2.2.2.3. Manusia.
Menurut Roy manusia adalah individu yang holistic, sebagai mahluk
adaptif terhadap lingkungan yang ada. Sebagai system adaptif, manusia
didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari beberapa bagian yang
berfungsi secara menyeluruh untuk mencapai suatu tujuan. Individu
sebagai suatu system meliputi manusia sebagai individu atau kelompok
baik itu keluarga, organisasi, komunitas atau masyarakat dalam suatu
kesatuan secara menyeluruh. Manusia mempunyai kemampuan untuk
berfikir, merasakan, menyadari dan mengartikan sesuatu untuk
merubah lingkungan dan pada akhirnya mempengaruhi lingkungan.
Dengan kata lain manusia dipandang sebagai mahluk bio-psiko-sosialspiritual yang holistik dalam segenap aspek individu dengan bagianbagiannya yang berperan bersama membentuk kesatuan, ditambah
manusia sebagai sistem yang hidup berada dalam interaksi yang
konstan dengan lingkungannya.
Dalam keperawatan, Roy mendefinisikan manusia sebagai focus utama,
penerima asuhan keperawatan, sebagai system adaptif yang hidup dan
sangat kompleks dengan aktifitas proses internal (kognator dan
regulator) untuk mempertahankan adaptasi pada 4 lini mode
(physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role
function mode and interdependence mode).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
34
2.2.2.4. Sehat
Sehat adalah suatu kondisi dan suatu proses untuk menjadi manusia
yang utuh dan berintegrasi (satu). Sehat merupakan suatu refleksi dari
adaptasi, yaitu interaksi antara individu dan lingkungan. Definisi ini
muncul dengan pemikiran bahwa adaptasi adalah suatu proses
dukungan fisik, psikologis dan integritas social menuju suatu kesatuan
dan keutuhan. Pada awalnya, Roy menampilkan kondisi sehat sebagai
suatu kondisi yang berkelanjutan dari kondisi mati dan rendahnya
status kesehatan menuju kondisi yang lebih baik dan sejahtera, untuk
selanjutnya Roy memfokuskan pada asumsi bahwa sehat adalah suatu
proses dimana kesehatan dan kematian selalu beriringan. Roy
menyatakan bahwa sehat bukanlah bebas dari menghindari kematian,
penyakit, kesedihan dan stress, tetapi lebih pada kemampuan untuk
mengatasi semua hal tersebut dengan cara yang kompeten.
Sehat dan sakit adalah kondisi yang tidak terelakkan karena merupakan
dimensi hidup dan pengalaman hidup manusia. Ketika mekanisme
koping seseorang tidak efektif, maka jatuhlah individu pada kondisi
sakit, tetapi ketika seseorang dapat beradaptasi secara terus menerus
maka orang tersebut sehat. Sebagai individu yang beradaptasi terhadap
stimulus yang ada, individu mempunyai kebebasan untuk merespon
terhadap stimulus lainnya.
2.2.2.5. Lingkungan.
Lingkungan
adalah
semua
kondisi,
keadaan,
situasi
yang
mempengaruhi pembentukan perilaku individu atau kelompok dengan
fakta yang mempertimbangkan kualitas sumber daya alam dan manusia
yang terdiri dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Perubahan
lingkungan akan menstimulasi seseorang untuk berespon secara adaptif.
Antara sistem dan lingkungan terjadi pertukaran informasi, materi dan
energi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
35
Sebagai suatu system terbuka, manusia menerima input atau stimulus dari dirinya
sendiri dan lingkungan. Tingkatan adaptasi ditentukan oleh efek yang tergabung
dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi terjadi ketika seseorang
berespon positif terhadap perubahan lingkungan, dimana respon adaptif ini
meningkatkan integritas seseorang untuk mencapai suatu kondisi sehat. Sebaliknya,
jika responnya tidak efektif maka akan terjadi gangguan integritas seseorang.
Di bawah ini bentuk diagram yang digunakan Roy untuk menggambarkan sistem
adaptasi manusia dalam bentuk sistem yang terdiri dari proses input, output,
kontrol dan umpan balik:
Input
Tingkat
adaptasi
(stimulus
fokal,
konstektual
dan
residual
Proses kontrol
Efektor
Mekanisme
koping
(Regulator
Kognator)
Fungsi fisiologis
Konsep diri
Fungsi peran
interdependensi
Output
Respons
adaptif dan
inefektif
Feeback
Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy
Dari gambar di atas terdapat 2 subsistem di model adaptasi Roy, pertama yaitu
fungsional atau subsistem proses kontrol yang terdiri dari regulator dan kognator.
Yang kedua adalah subsistem effector yang terdiri dari 4 mode adaptif, yaitu 1)
kebutuhan fisik, 2) konsep diri, 3) fungsi peran, dan 4) interdependence.
Berikut keterangan gambar 2.1 tentang manusia sebagai suatu system adaptif:
a.
Input
Roy mengidentifikasikan bahwa input merupakan stimulus yang terdiri dari
informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan
respon dimana dibagi dua dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal,
kontekstual dan stimulus residual.
ï‚·
Stimulus fokal
Stimulus yang dihadapi saat ini yang memerlukan waktu cepat untuk
respons adaptasi atau stimulus yang langsung berhadapan dengan
seseorang dan efeknya segera dirasakan, misalnya infeksi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
36
ï‚·
Stimulus kontekstual
Semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun
eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diamati, diukur serta dapat
dilaporkan secara subyektif. Rangsangan ini muncul secara bersamaan
dimana dapat menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal seperti
isolasi sosial.
ï‚·
Stimulus residual
Faktor internal yang dimiliki individu yang memungkinkan mempengaruhi
perilaku, misalnya: keyakinan, sikap, pengalaman masa lalu yang disebut
koping.
b.
Kontrol (proses)
Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk dari mekanisme yang
Roy gunakan. Mekanisme kontrol ini terdiri dari regulator dan kognator yang
merupakan bagian dari subsistem koping.
ï‚·
Sub sistem regulator
Sub sistem regulator berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis,
dimana terdapat respon otomatis terhadap perubahan lingkungan melalui
proses neuro chemical endocrine coping proses. Banyak proses fisiologis
yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator sub sistem.
ï‚·
Sub sistem kognator
Kognator
berhubungan
dengan
mode
adaptive
konsep
diri;
interdependensi dan fungsi peran dimana respon yang muncul melalui 4
canel kognitif-emosi, yaitu proses persepsi terhadap suatu informasi,
belajar, penilaian dan emosi, proses ini terjadi dalam otak.
c.
Output
Output atau keluaran dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diukur,
diamati atau secara subyektif dapat dilaporkan baik dari dalam maupun luar.
Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy membagi output sistem
sebagai respon yang adaptif atau respon yang mal adaptif. Respon yang adaptif
dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat
bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
37
kelangsungan hidup, perkembangan dan reproduksi. Sedangkan respon yang
mal adaptif adalah perlaku yang tidak mendukung dalam tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses
kontrol seseorang sebagai sisten adaptif. Beberapa mekanisme koping ditentukan
secara genetik (misalnya leukosit) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang
dapat menyerang tubuh. Mekanisme lain yang dapat dipelajari seperti pengunaan
antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu
keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan
kognator dimana mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi.
Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator sub sistem sering
bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh
individu itu sendiri serta mekanisme koping yang digunakan. Penggunaan
mekanisme koping yang maksimal megembangkan tingkat adaptasi seseorang dan
meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespons secara positif. Untuk sub
sistem regulator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol sehingga sangat
terbuka untuk melakukan penelitian tentang respons kontrol dari sub sistem
kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya konsep ini
mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan
menetapkan sistem efektor yaitu 4 (empat) model adaptasi yang terdiri dari:
a.
Kebutuhan Fisiological
Kebutuhan fisiologi meliputi interaksi manusia dengan lingkungan dan
kesepakatan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain cairan dan
elektrolit, latihan dan istirahat, eliminasi, nutrisi, sirkulasi dan oksigen serta
regulasi yang berhubungan dengan perasaan, suhu dan regulasi endokrin.
b.
Konsep Diri
Konsep diri merupakan satu dari tiga mode psikososial yang berfokus pada
psikologis dan spiritual sebagai aspek dari system manusia. Terbentuk dari
persepsi internal dan persepsi dari orang lain. Terdiri dari body sensation yaitu
bagaimana seseorang merasakan keadaan fisiknya, body image, bagaimana
seseorang memandang fisik dirinya, self consistency, bagaimana upaya
seseorang untuk memelihara dirinya dan menghindari dari ketidakseimbangan,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
38
dan moral etic spiritual self yang merupakan keyakinan seseorang dan evaluasi
dirinya.
c.
Fungsi Peran
Fungsi peran ini bagaimana mengenal pola interaksi social seseorang. Peran
ini direfleksikan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer
merupakan peran utama yang ditentukan oleh jenis kelamin, usia, dan tahap
perkembangan. Peran sekunder merupakan tugas yang harus diselesaikan
berdasarkan tugas perkembangan dan peran primernya. Peran tersier
merupakan peran yang bersifat sementara, bebas untuk dilakukan, aktivitas
dapat berupa hobi. Tujuan dari adaptasi fungsi peran ini adalah integritas social
(Tomey & Alligood, 2006)
d.
Saling Ketergantungan (interdependency)
Mode ini menunjukan mekanisme koping pada individu yang saling
berhubungan dan menghasilkan rasa saling mencintai, menghargai dan saling
membutuhkan. Hubungan ini biasanya terjadi antara individu dengan support
sistemnya.
Hasil dari mekanisme koping dari ke 4 mode ini adalah adaptif atau inefektif. Respon
adaptif ditunjukan dengan meningkatnya integritas seseorang yang meliputi intergritas
fisik, psikologi dan sosial. Sebaliknya, jika integritas ini tidak tercapai, maka respon
inefektif yang akan didapatkan.
2.2.3. Asuhan keperawatan menurut Model Adaptasi Roy
2.2.3.1. Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu :
a.
Pengkajian perilaku (behavior)
Pengkajian perilaku (behavior) merupakan langkah pertama proses
keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku
bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku
pasien adaptif atau inefektif. Perilaku yang diamati terdiri dari dua hal
yaitu perilaku yang dapat diobservasi dan perilaku yang tidak dapat
diobservasi, seperti keluhan pasien. Pengkajian tipe perilaku yang dapat
diobservasi diperoleh dengan cara dilihat, didengar, dan/atau diukur.
Apabila ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi normal
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
39
maka hal ini mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu
dapat disebabkan oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator
(Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).
Data perilaku yang diamati meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1)
fisiologis, yang terdiri dari pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi,
eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensori/ pengindraan, cairan
dan elektrolit, fungsi neurologis, fungsi endokrin; 2) konsep diri,
meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi peran, meliputi proses transisi
peran, perilaku peran, integrasi peran, pola penguasaan peran, dan
proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola memberi dan menerima,
dan strategi koping perpisahan dan kesendirian.
b.
Pengkajian stimulus merupakan tahap dua untuk mengetahui factor
yang mempengaruhi perilaku yang ditunjukan oleh individu. Faktor
yang mempengaruhi ini disebut juga dengan stimulus dan stimulus
dapat internal dan eksternal yang mencakup semua kondisi, keadaan
dan mempengaruhi sekeliling dan/atau mempengaruhi perkembangan
dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi
antara lain kultur (status sosial ekonomi, etnis, dan sistem keyakinan);
keluarga (struktur dan tugas-tugas); tahap perkembangan (faktor usia,
jenis, tugas, keturunan, dan genetik); integritas mode adaptif (fisiologis
yang mencakup patologi penyakit, konsep diri, fungsi peran, dan
interdependensi);
efektivitas
kognator
(persepsi,
pengetahuan,
ketrampilan); pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan internal
atau eksternal, pengelolaan medis, menggunakan obat-obat, alkohol,
tembakau). Pengkajian stimulus diarahkan pada stimulus fokal,
kontekstual, dan residual.
2.2.3.2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Roy & Andrews, 1999 diagnosa keperawatan merupakan proses
penilaian yang menghasilkan pernyataan status adaptasi seseorang. Sebelum
dilakukan penetapan diagnosa keperawatan semua data sudah terkumpul.
Data perilaku merupakan hasil dari pengamatan, pengukuran, dan laporan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
40
subjektif. Data lain adalah penyataan tentang stimulus fokal, kontekstual,
dan residual yang mempengaruhi data perilaku tersebut.
Selanjutnya Roy menggambarkan tiga metode dalam menegakkan diagnose
keperawatan. Metode pertama menggunakan tipologi diagnose berhubungan
dengan empat mode adaptasi. Metode kedua dalam menegakkan diagnose,
dengan mengobservasi tingkah laku yang berhubungan dengan stimulus,
baik fokal, konstektual maupun residual. Metode yang ketiga merupakan
kesimpulan satu atau lebih model adaptasi yang berhubungan dengan
stimulus.
2.2.3.3. Penetapan tujuan keperawatan.
Keperawatan terdiri dari dua yaitu : tujuan keperawatan dan aktivitas
keperawatan. Tujuan keperawatan adalah mempertinggi interaksi manusia
dengan lingkungan. Jadi peningkatan adaptasi dalam tiap empat cara
adaptasi yaitu : (1) fungsi fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran dan
(4) interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan integritas adaptasi dan
berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup dan kematian
dengan damai. Tujuan keperawatan tercapai ketika stimulus fokal berada
dalam suatu area adaptasi yang adaptif. Ketika stimulus fokal berada pada
area tersebut, manusia dapat membuat suatu penyesuaian diri atau
berespons adaptif. Hal tersebut membebaskan individu dari koping yang
tidak efektif dan memungkinkan individu untuk merespon stimulus yang
lain. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat mencapai peningkatan
penyembuhan dan kesehatan. Jadi peranan penting adaptasi sangat
ditekankan pada konsep ini.
Tujuan dari adaptasi adalah membantu perkembangan aktivitas keperawatan
yang digunakan pada proses keperawatan meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, tujuan, intervensi dan evaluasi. Adaptasi model keperawatan
menetapkan “data apa yang dikumpulkan, bagaimana mengidentifikasi
masalah dan tujuan utama, pendekatan apa yang dipakai dan bagaiman
mengevaluasi efektifitas proses keperawatan”. Setelah dilakukan pengkajian
terhadap perilaku, stimulus, dan diformulasikan ke dalam diagnosa
keperawatan
maka
langkah
selanjutnya
adalah
penentuan
tujuan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
41
keperawatan. Penetapan tujuan keperawatan diartikan sebagai pembuatan
pernyataan yang jelas dari keluaran perilaku (behavior outcomes) dari
pelayanan keperawatan. Ada tiga hal yang dimuat dalam pernyatan tujuan
keperawatan yaitu perilaku (behavior), perubahan yang diharapkan (change
expected), dan kerangka atau rentang waktu (time frame). Setelah itu tujuan
keperawatan jangka pendek dan jangka panjang ditentukan.
2.2.3.4. Intervensi dan implementasi
Menurut Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006 tujuan dari
intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan mempertinggi perilaku
adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi perilaku adaptif.
Intervensi direncanakan untuk mengelola stimulus. Sebagai stimulus,
intervensi berfokus bagaimana tujuan dapat dicapai. Fokus intervensi adalah
mengarah pada suatu stimulus yang mempengaruhi suatu perilaku.
Pengelolaan stimulus meliputi merubah, meningkatkan, menurunkan,
memindahkan, menghilangkan, dan/atau mempertahankannya. Merubah
stimulus memperkuat kemampuan mekanisme koping seseorang untuk
berespon secara positif dan hasilnya adalah perilaku adaptif. Langkah dalam
menyusun intervensi keperawatan meliputi penetapan atas empat hal yaitu
1) apa pendekatan alternatif yang akan dilakukan; 2) apa konsekuensi yang
akan terjadi; 3) apakah mungkin tujuan tercapai oleh alternatif tersebut; dan
4) nilai alternatif itu diterima atau tidak. Intervensi keperawatan ini
dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain (pasien, keluarga, dan tim
kesehatan).
Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari
intervensi keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan
memulai langkah-langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat.
Implementasi keperawatan dilaksanakan terus menerus sesuai dengan
perkembangan pasien. Implementasi dapat berubah-ubah dalam cara,
teknik, dan pendekatan yang tergantung pada perubahan tingkat adaptasi
pasien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
42
2.2.3.5. Evaluasi
Evaluasi merupakan penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan.
Oleh karena itu, evaluasi tersebut menjadi refleksi dari tujuan keperawatan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan suatu
intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan
pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi
keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Tomey & Alligood,
2006)
2.3. Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan
Diabetes Mellitus
Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya Diabetes
Mellitus menggunakan model adaptasi Roy dirasakan tepat. Roy menekankan pada
kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap stimulus yang didapatkan. Diabetes
mellitus merupakan gangguan endokrin yang akan terus ada dalam tubuh penyandang
DM, namun gangguan yang ditimbulkan dapat dikontrol. Model adaptasi yang
dikembangkan oleh Roy, merupakan salah satu proses yang dapat digunakan oleh
individu untuk berada pada kondisi terkontrol.
Sebagai system terbuka, penyandang DM akan selalu mendapatkan stimulus baik
fokal, kontekstual maupun residual. Untuk dapat beradaptasi terhadap stimulus
tersebut, maka perawat berupaya meningkatkan koping yang dimiliki penyandang DM
tersebut dengan berbagai intervensi untuk berupaya meningkatkan regulator dan
kognator. Pada akhirnya diharapkan penyandang DM dapat beradaptasi secara penuh
(integrity), compensatory, maupun adaptasi pada tingkat compromised. Berikut ini
akan diuraikan asuhan keperawatan pada pasien DM dengan pendekatan model
adaptasi Roy.
2.3.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama di dalam proses keperawatan. Model
adaptasi Roy mengembangkan pengkajian dengan dua tahap. Tahap pertama
dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perilaku pada empat mode
yaitu : fisiologis, konsep diri, peran dan interdependen. Tahap kedua
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
43
menganalisis stimulus yang mempengaruhi. Stimulasi ini terdiri dari stimulasi
fokal, kontekstual dan residual. Berikut ini diuraikan pengkajian pada pasien
DM dengan pendekatan model adaptasi Roy meliputi pengkajian perilaku dan
stimulus
2.3.1.1. Pengkajian Perilaku
a. Mode Fisiologi
-
Oksigenasi ( Roy & Andrew, 1999; Smeltzer & Bare, 2008;
Doenges, 2010; Lewis, 2011; LeMone, 2011)
Perilaku yang ditunjukan pada kebutuhan oksigenasi pada
pasien DM meliputi perilaku pada fungsi pernafasan
dan
fungsi sirkulasi. Fungsi pernafasan meliputi dikelompokkan
dalam mekanisme ventilasi, difusi dan perfusi. Fungsi sirkulasi
meliputi fungsi jantung dan transportasi oksigen.
-
Fungsi pernafasan pada pasien DM kemungkinan akan
didapatkan perubahan perilaku seperti : adanya keluhan batuk
dengan atau tanpa sputum yang purulent, sesak nafas. Dari
hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya tachipnea,
pernafasan khussmaul, adanya ronchi atau wheezing, sputum
yang berwarna jernih, kuning atau kehijauan.
-
Fungsi sirkulasi kemungkinan akan di dapatkan keluhan
claudicatio, kesemutan pada ekstemitas, luka yang lama
sembuh pada area kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tachycardia, tekanan darah kemungkinan normal,
hipertensi, atau perubahan tekanan darah pada posisi. Adanya
irama jantung yang tidak teratur (dysritmia), penurunan nadi
yang menurun atau tidak teraba terutama pada area kaki
(dorsalis pedis dan posterior tibialis), nilai ABI normal, rendah
atau tinggi. Pada pengukuran tekanan vena jugularis
didapatkan hasil yang meningkat (pada komplikasi gagal
jantung), kulit kering, hangat, kemerahan, bola mata cekung
yang merupakan tanda adanya dehidrasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
44
Perubahan dari hasil pemeriksaan diagnostic merupakan
perubahan perilaku yang dapat diamati. Hasil laboratorium
yang dapat terjadi pada pasien dengan DM diantaranya ;
perubahan pada nilai Hb kemungkinan didapatkan adanya
penurunan nilai Hb. Nilai analisa gas darah, pada kasus KAD
menunjukan adanya asidosis metabolic. Gangguan pada
sirkulasi maupun pernafasan dapat dilihat dari pemeriksaan
radiologi, seperti foto thorak. Adanya gambaran infeksi pada
paru dansaluran pernafasan, adanya pembesaran jantung
sebagai
manifestasi
komplikasi
DM
pada
system
kardiovaskuler dan pernafasan. Selain dari foto thoraks, EKG
dapat digunakan untuk melihat adanya gambaran iskemik pada
otot jantung dan penurunan kontraktilitas otot jantung.
Pemeriksaan USG Doppler arteri dapat digunakan untuk
menilai vaskularisasi kearah perifer (kaki).
-
Aktifitas dan Istirahat
Keluhan yang dirasakan pada pasien DM terkait dengan
kebutuhan aktifitas dan istirahat diantaranya adanya gangguan
tidur
dan
istirahat
salah
satu
penyebabnya
adalah
ketidaknyamanan (nyeri, sesak) dan poliuria. Keluhan lain
seperti mudah lelah, kelemahan umum, kesulitan berjalan atau
berubah posisi (dampak adanya ulkus atau perubahan struktur
kaki). Pada otot pasien DM biasanya mempunyai keluhan
penurunan kekuatan otot, maupun kram otot.
Pemeriksaan fisik untuk menilai perubahan perilaku pada
kebutuhan aktifitas istirahat ini akan didapatkan diantaranya :
perubahan denyut nadi dan pernafasan (lebih cepat) saat
istirahat atau setelah aktifitas, adanya kelemahan umum dan
penurunan kesadaran. Pada otot terjadi penurunan kekuatan
dan tonus otot.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
45
Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai
perilaku ini diantaranya radiologi (foto) untuk area kaki.
-
Nutrisi
Perubahan perilaku dari kebutuhan nutrisi yang dikeluhkan
pasien DM diantaranya peningkatan nafsu makan (poliphagia),
namun berat badan cenderung menurun. Pada komplikasi
KAD atau gastrospathy didapatkan keluhan yang berlawanan
yaitu kehilangan nafsu makan, mual dan muntah. Pemeriksaan
fisik didapatkan IMT yang kurang atau lebih dari normal,
tercium halitosis atau bau manis pada komplikasi KAD.
Pemeriksaan
diagnostik
terutama
untuk
laboratorium
didapatkan peningkatan gula darah, peningkatan HbA1C,
kadar lemak yang meningkat, penurunan protein (albumin),
maupun perubahan pada C peptide. Serum amilase akan
meningkat jika ditemukan adanya pancreatitis akut yang
disebabkan oleh KAD
-
Cairan, Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa
Cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, pada pasien
DM biasanya mengalami perubahan. Keluhan sering BAK
(poliuria) dan diikuti dengan polidipsi merupakan keluhan
yang sering dirasakan oleh pasien DM. Kehilangan cairan
melalui urin dalam jumlah yang banyak dan muntah menjadi
keluhan yang disakan pada komplikasi DM seperti KAD dan
HHNK.
Pemeriksaan fisik untuk melihat perubahan pada kebutuhan
cairan pada DM dengan komplikasi KAD atau HHNK
diantaranya membrane mukaso mulut yang kering, turgor kulit
tidak elastis, diaphoresis, kulit kering dan bersisik. Pada DM
dengan komplikasi gagal jantung atau nefropati akan
ditemukan edema.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
46
Pemeriksaan
laboratorium
yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi perubahan perilaku pada cairan dan elektrolit
ini diantaranya, pemeriksaan gula darah, ditemukan hasil yang
meningkat, pemeriksaan natrium : hasilnya bisa normal, atau
menurun. Pemeriksaan Kalium akan didapatkan kadar yang
norma, meningkat pada fase awal dan akan menurun seiring
dengan kondisi dehidrasi lanjut. Pemeriksaan osmolaritas
sangat penting dilakukan, akan terjadi peningkatan pada
HHNK. Pemeriksaan analisa gas darah penting dilakukan
untuk pasien DM yang dicurigai KAD, dan akan didapatkan
asidosis metabolic disertai peningkatan benda keton dalam
darah.
-
Eliminasi
Adanya keluhan sering BAK (poliuria), perubahan pola
berkemih, nocturia merupakan keluhan yang sering dirasakan
oleh pasien DM. Nyeri, panas dan kesulitan BAK merupakan
tanda adanya neurogenik bledder dan kemungkinan infeksi
saluran kemih. Pola BAB dapat dirasakan adanya keluhan
konstipasi, maupun diare. Pemeriksaan fisikyang didapatkan
pada pasien DM bisa ditemukan adanya penurunan atau
peningkatan bising usus, distensi abdomen, tahanan pada
bledder. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan
melihat fungsi ginjal (urium, kreatinin yang meningkat)
menunjukan adanya penurunan fungsi ginjal, pemeriksaan
makroskopik urine dapat ditemukan warna urine yang keruh
dan berbau sebagai tanda infeksi dan untuk memastikan
infeksi pada saluran kemih dapat dilakukan pemeriksaan kultur
urine.
-
Proteksi
Pengkajian perilaku berhubungan dengan proteksi meliputi
keluhan daya tahan tubuh yang menurun seperti sering demam,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
47
kelemahan, luka yang lama yang makin meluas. Kondisi kulit
yang kering,pecah,pecah dan bersisik serta adanya keluhan
gatal, menjadi resiko terhadap penurunan proteksi. Parastesia
akibat diabetic neuropati juga merupakan keluhan yang sering
dirasakan. Peningkatan resiko infeksi pada area genetalia dapat
ditemukan pada pasien DM wanita, ditemukan adanya
peningkatan sekresi vagina
-
Sensasi
Perubahan sensasi pada pasien DM terjadi akibat komplikasi
kronik. Adanya penurunan penglihatan dapat terjadi akibat
retinopati. Gangguan sensasi lain yang dapat ditemukan pada
pasien DM diantaranya penurunan terhadap sensasi nyeri,
perubahan suhu dan perubahan tekstur.
Pemeriksaan fisik terhadap penurunan sensasi
dilakukan
dengan menguji sensasi terhadap nyeri, suhu, serta perbedaan
kasar dan halus. Pemeriksaan menggunakan monofilament
10gr merupakan pemeriksaan level A yang direkomendasikan
pada pasien DM.
-
Fungsi Neurologi
Perubahan perilaku pada fungsi neurologi dapat dilihat
darimulai tingkat kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran
dapat
terjadi
pada
komplikasi
akut
hypoglikemia,maupun
coma akibat KAD
Gangguan
lain
neurologi
sebagai
dan HHNK.
komplikasi
didapatkan adanya neuropati motorik
seperti
kronik
(kaki charcot),
neuropathi sensorik (penurunan sensasi), neuropati otonom
(kulit kering, tidak ada rambut pada area kulit, gastropaty dan
neuropati
bleder).
Pemeriksaan
reflek
tendon
dalam
didapatkan penurunan reflek tendon dalam.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
48
-
Fungsi Endokrin
Perubahan fungsi endokrin pada pasien DM adalah adanya
penurunan
produksi
atau
sensitifitas
insulin
yang
mengakibatkan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan
protein. Perubahan perilaku yang dapat dilihat dan diukur
dapat terjadi pada semua fungsi seperti yang telah dijelaskan
pada fungsi-fungsi diatas.
b.
Mode Konsep Diri
Mode konsep diri merupakan bagian dari psikologis dan spiritual.
Kebutuhan psikologis yang merupakan respon psikologis
terhadap apa yang dirasakan dari perubahan fisik. Gangguan
psikologis tersebut dapat berupa, kecemasan, stress, ketakutan,
malu terhadap bentuk tubuhnya, beban financial, hingga
menyalahkan Tuhan, atau mempunyai persepsi yang salah yang
berkaitan dengan kepercayaannya. Perilaku yang dapat diamati
diantaranya, selalu menanyakan keadaannya, menolak untuk
bertemu dengan orang lain, hingga ditemukan adanya tanda
depresi.
c.
Mode Peran
Perubahan peran yang terjadi pada pasien DM dapat berupa peran
primer, sekunder maupun tersier. DM sebagai penyakit menahun
yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi kronis pada
akhirnya akan mengganggu peran dari pasien tersebut pada
kehidupan sehari-hari, terutama pada pasien DM yang dirawat di
rumah sakit dengan berbagai komplikasi.
d.
Mode Interdependensi
Pengkajian perilaku terhadap model interdependensi meliputi
hasil pengamatan dan ungkapan dari pasien DM tentang orang
lain yang bermakna, perilaku saling menghargai, mencintai dan
saling memperhatikan dari sistem pendukung yang dimiliki
(orang terdekat, keluarga). Pasien DM dengan berbagai
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
49
komplikasi kronik, mengalami perubahan peran cenderung
tergantung dengan orang terdekat. Dukungan yang tidak
didapatkan dengan baik, misalnya keluarga jenuh atau harus
menggantikan perannya, akan menimbulkan gangguan konsep
diri untuk pasien DM.
2.3.1.2. Pengkajian Stimulus
Pengkajian stimulus merupakan pengkajian tahap dua, untuk
mengetahui penyebab perubahan perilaku maladaptive yang di
dapatkan pada pengkajian tahap satu. Pada pesien DM stimulus fokal
yang merupakan stimulus langsung yang mempengaruhi adanya
perubahan perubahan perilaku pada ke 4 mode. Stimulus fokal
meliputi : usia, dimana usia diatas 30 tahun merupakan usia beresiko
untuk mengalami DM. Stimulus lain diantaranya, adanya riwayat
melahirkan dengan berat badan bayi yang dilahirkan lebih dari 4 kg,
obesitas dan hiperlipidemia. Pada pasien DM yang mengalami
komplikasi, stimulus fokal meliputi gula darah yang tidak terkontrol,
peningkatan metabolism yang disebabkan oleh infeksi, stress
psikologi, atau proses pembedahan. Pada mode konsep diri, peran dan
interdependensi fokal stimulus terjadi karena dirawat di rumah sakit,
berbagai komplikasi yang dialami proses kehilangan seperti amputasi.
Stimulus kontektual dan stimulus residual yang mempengaruhi
diantaranya adanya riwayat DM dalam keluaraga, riwayat perawatan
kesehatan sebelumnya, seperti diitnya, monitoring gula darah, olah
raga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Tingkat pendidikan dan
tingkat pengetahuan merupakan stimulus kontektual penting yang
mempengaruhi perubahan perilaku baik adaptif maupun maladaptive.
(Roy & Andrew, 1999; Doengoes, 2010).
2.3.2. Diagnosa keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien DM, maka
diagnose keperawatan yang dapat ditegakan adalah sebagai berikut (NANDA
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
50
2012-2014; Smeltzer & Bare, 2008; Doengoes, 2010; LeMone, 2011; Lewis,
2011).
2.3.2.1. Diagnosa Keperawatan pada Mode Fisiologi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi,
peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk.
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load.
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan
hambatan sirkulasi perifer.
d. Perubahan aktifitas fisik berhubungan dengan nyeri, perubahan
persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan
kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik.
e. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi,
peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses
infeksi).
f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas.
g. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic,
pengeluaran berlebi dari sistim pencernaan dan keterbatasan asupan.
h. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis
osmotic, proses infeksi.
i. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah.
j. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori,
perubahan kimia endogen.
k. Ketidakstabilan
kadar
gula
darah
berhubungan
dengan
ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses
infeksi dan perubahan status kesehatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
51
2.3.2.2. Diagnosa keperawatan pada Mode Konsep Diri
Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi
penyakit, kesalahan informasi.
2.3.2.3. Diagnosa Keperawatan pada Mode Peran
Perubahan fungsi peran berhubungan dengan krisissituasi, perawatan
yang lama dan keterbatasan fisik.
2.3.2.4. Diagnosa keperawatan pada Mode Interdependensi
a. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan dukungan sosial yang
tidak adekwat.
b. Tidak efektifnya managemen terapeutik berhubungan dengan kurang
pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi.
2.3.3. Intervensi Keperawatan
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi,
peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk.
Tujuan yang ingin dicapai jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak
ada keluhan sesak, batuk berkurang, suara nafas vesikuler, tidak ada tanda
kekurangan oksigen seperti sianosis, AGD dalam batas normal.
Intervensi yang ditetapkan meliputi kognator dan regulator: :managemen
respirasi : peningkatan kemampuan batuk, fisiotherapi dada, monitor
status respirasi, kolaborasi dalam management terapi oksigen.
2.
Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load.
Tujuan yang diinginkan adalah curah jantung adekuat ditandai dengan
peningkatan sirkulasi, nadi, tekanan darah dalam batas normal, tidak
didapatkan peningkatan vena jugularis, perfusi ke jaringan adekwat (akral
hangat, denyur perifer kuat).
Intervensi
keperawatan
yang ditetapkan (regulator
&kognator) :
Haemodinamik regulator, management energy, terapi oksigen, cardiac
care
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
52
3.
Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan
sirkulasi perifer.
Tujuan yang ingin dicapai adalah perfusi jaringan kearah perifer (kaki)
adekwat ditandai dengan akral hangat, pulsasi ke area kaki kuat dan
normal, ABI dalam batas normal, tidak terjadi proses penyembuhan luka
yang lambat. Intervensi yang ditetapkan : pemantauan sirkulasi, embolus
care : peripheral, peningkatan latihan fisik.
4.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi
sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan
kardiovaskuler, keterbatasan fisik.
Tujuan yang ingin dicapai : dapat menunjukan tingkat aktifitas yang
adekwat, ditunjukan dengan melakukan aktifitas sehari-hari secara
mandiri, menggunakan alat bantu dengan benar, melakukan mobilisasi
(berjalan, berpindah posisi dengan benar). Intervensi yang ditetapkan
meliputi : bedrest care, management energy, menegemen lingkungan, self
medication assisstent, self care assisstent, pain management.
5.
Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi,
peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi).
Tujuan yang ingin dicapai : Peningkatan energy yang ditandai dengan
kelelahan berkurang, melakukan aktifitas untuk perawatan diri tanpa
keluhan lelah. Intervensi yang ditetapkan : management energy,
progressive muscle relaksation.
6.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas.
Tujuan yang akan ditetapkan : status nutrisi adekwat, ditandai dengan
berat badan dipertahankan dalam batas ideal, gula darah terkontrol, kadar
lemak, protein dalam darah normal. Intervensi yang ditetapkan
managemen perubahan nutrisi, management nutrisi, terapi nutrisi,
konseling nutrisi, monitor nutrisi, management berat badan, menegement
hiperglikemia/hypoglikemik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
53
7.
Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic,
pengeluaran berlebih dari sistem pencernaan dan keterbatasan asupan.
Tujuan yang ingin ditetapkan : status cairan adekwat, ditandai dengan
intake dan output cairan seimbang, TTV dalam batas normal, turgor kulit
elastis, membrane mukosa lembab, elektrolit dalam batas normal.
Intervensi yang ditetapkan : managemen cairan dan elektrolit, monitoring
asam basa, monitoring cairan dan elektrolit, management asidosis
metabolic, management hyperglikemia.
8.
Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic,
proses infeksi.
Tujuan yang diinginkan pola eliminasi normal ditandai dengan tidak ada
keluhan nyeri saat berkemih, frekuensi berkemih berkurang, tidak ada
hematuri, hasil pemeriksaan urine tidak menunjukan ada tanda infeksi.
Intervensi yang ditetapkan : manajemen cairan, monitoring cairan,
management eliminasi urine, bladder training urine, pencegahan infeksi.
9.
Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah.
Tujuan yang ditetapkan infeksi tidak atau tidak meluas atau tidak terjadi
ditandai dengan status imun meningkat, nilai leukosit dalam batas normal,
tidak ada keluhan demam, area infeksi (ulkus, ISK, infeksi pernafasan)
mengalami proses penyembuhan. Intervensi yang ditetapkan meliputi :
management
pencegahan
infeksi,
management
control
infeksi,
management nutrisi, management luka, management medikasi.
10. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan
kimia endogen.
Tujuan yang diinginkan tidak terjadi injuri seperti tidak terjadi ulkus, atau
bahaya jatuh. Intervensi yang ditetapkan ; monitor fungsi neurologi,
management neuropati perifer, edukasi perawatan kaki dan penggunaan
alas kaki, edukasi berhenti merokok, pencegahan terhadap bahaya jatuh,
management lingkungan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
54
11. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan
management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status
kesehatan.
Tujuan yang ditetapkan gula darah stabil yang ditandai dengan gula darah
terkontrol dalam batas normal, tidak terjadi komplikasi DM akut :
KAD,HHNK atau hypoglikemi. Intervensi yang ditetapkan monitoring
gula darah, monitoring cairan, management hyperglikemia, management
pengobatan, management nutrisi, edukasi pada nutrisi, pengobatan,
management perilaku.
12. Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit,
kesalahan informasi.
Tujuan yang ditetapkan pasien dapat beradaptasi terhadap
kondisi
kecemasannya, yang ditunjukan dengan peningkatan terhadap kontrol
kecemasannya, mampu mengungkapkan penyebab cemas, mampu
merencanakan strategi koping yang akan digunakan. Intervensi yang
ditetapkan menurunkan kecemasan, konseling, management energy,
management lingkungan, management koping, management distraksi.
13. Tidak efektifnya management terapeutik berhubungan dengan kurang
pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi.
Tujauan yang diinginkan pasien mampu beradaptasi pada management
terapi yang ditetapkan, meliputi menunjukan perilaku mengikuti diit,
pengobatan yang ditetapkan. Intervensi yang ditetapkan : modifikasi
perilaku, tingkatkan koping, konseling penatalaksanaan DM, beri
dukungan sosial, edukasi group, management efikasi, follow up melalui
telepon.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
55
BAB 3
PENERAPAN MODEL ADAPTASI ROY PADA ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN KLIEN DIABETES MELLITUS KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG
Pada BAB 3 ini, akan diuraikan hasil asuhan keperawatan dan analisis pada klien dengan
diabetes mellitus (DM) dengan abses punggung dan resiko tinggi ulkus diabetik sebagai
kasus kelolaan utama dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Uraian
selanjutnya setelah pembahasan kasus kelolaan utama, praktikan juga menganalisa 32
kasus kelolaan lain yang praktikan lakukan selama praktikan menjalankan praktek
residensi 1 dan 2.
3.1.Deskripsi kasus kelolaan utama
Kasus dialami oleh seorang klien berinisial Ny.Sh usia 66 tahun, status perkawinan
menikah dengan 2 anak yang telah berumah tangga, pendidikan SLTP, aktifitas sehari
hari sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di Depok. Klien masuk rumah sakit
(RSUPF) pada tanggal 8 Oktober 2011 melalui UGD dan tiba di ruang teratai lantai 5
Selatan pada tanggal 9 Oktober 2012 pukul 17.15 WIB. Pengkajian dilakukan pada
tanggal 10 Oktober 2011. Alasan keluarga membawa klien ke rumah sakit, karena
klien mengalami bisul (abses) di area punggung sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Timbul bisul tersebut pada awalnya klien merasakan gatal di punggung, digaruk
dan timbul kemerahan dan bisul kecil yang makin lama makin membesar. Keluarga
sudah membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan, mendapatkan obat antibiotic
dan anti nyeri namun tidak ada proses penyembuhan, bahkan semakin besar, klien
merasakan nyeri, demam dan tidak bisa tidur selama 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Abses mengeluarkan nanah yang terus menerus, berbau sehingga klien
merasakan tidak nyaman.
Tindakan yang dilakukan di UGD diantaranya, dilakukan penggantian balutan,
dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu dengan hasil 466 mg/dL dan pemeriksaan
darah lengkap. Obat yang diberikan ke pada klien saat di UGD adalah anlgetik
suppositoria (propenid),
diberikan insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam
dengan dosis dimulai 5 unit dan naik 5 unit setiap kenaikan gula darah 50 mg/dL
dimulai dari nilai gula darah 201 mg/dL. Pengkajian terhadap riwayat kesehatan
sebelumnya, klien telah menderita DM sejak 10 tahun yang lalu, pernah mengalami
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
56
amputasi pada kaki kanannya 3 tahun yang lalu kerena ulkus. Penatalaksanaan DM
yang klien lakukan dengan minum obat metformin 500 mg dan glibenklamid yang
terkadang dibelinya sendiri, karena klien tidak control ke dokter teratur. Riwayat
kesehatan keluarga didapatkan kakak klien yang pertama juga menderita DM dan saat
ini mengalami stroke. Hasil pemeriksaan gula darah suami klien setahun yang lalu juga
mengalami peningkatan lebih dari 200 mg/dL, namun tidak ditindaklanjuti untuk
pengobatan.
3.2.Penerapan Model Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada semua klien kelolaan yang praktikan
lakukan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy, yang dilakukan secara holistic
dan komprehensif dimulai dari tahap pengkajian hingga evaluasi. Hasil akhir dari
asuhan keperawatan ini, diharapkan klien mampu beradaptasi dengan berbagai
gangguan pemenuhan kebutuhan, baik fisiologi, konsep diri, peran maupun
interdependensi.
3.2.1. Pengkajian Perilaku dan stimulus
3.2.1.1. Mode Adaptasi Fisiologi
1. Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem
kardiovaskuler, perfusi).
Pengkajian pada perilaku oksigenasi diperoleh data : tidak ada keluhan pada
sistem pernafasan seperti batuk, sesak kesulitan bernafas serta nyeri dada saat
istirahat, beraktifitas maupun bernafas. Namun klien merasakan badannya
lemas, sering pusing, terutama berubah posisi dari tiduran ke duduk. Sirkulasi
ke perifer didapatkan tidak ada keluhan nyeri pada area kaki, baik saat
beraktifitas maupun saat istirahat (nyeri claudikasio). Terkadang klien
merasakan dingin pada area telapak atau punggung kaki, terutama pada malam
hari. Untuk mengatasi dingin ini, klien selalu menggunakan kaos kaki jika
tidur.
Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva klien tampak pucat, tidak
ditemukan adanya sianosis pada kulit maupun area bibir, tidak menggunakan
otot bantu pernafasan, RR : 18 x/mnt irama teratur, suara nafas vesikuler di
semua area lapang paru, capilari refile < 3dtk, nadi radialis : 78x/mnt irama
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
57
teratur pulsasi kuat, TD : 140/90 mmHg, HR : 80x/mnt teratur. Suara jantung 1
& 2 terdengar normal dan tidak terdengar suara jantung tambahan dengan
denyut apikal 84 x/mnt, teratur. Hasil pemeriksaan EKG di dapatkan sinus
rhytem, Gelombang QRS normal diikuti gelombang P, tidak ditemukan adanya
T inverted, ST elevasi/depresi dan Q patologis. Perabaan pada kedua ekstemitas
bawah hangat, tidak ditemukan edema pada kedua tungkai. Hasil pemeriksaan
vaskularisasi kearah ekstremitas bawah dengan menggunakan Ankle Brachial
Index (ABI), didapatkan :
Table 3.1.
Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI)
Arteri
dorsalis
pedis
Arteri
tibialis
posterior
Kaki kanan
Kaki kiri
Palpasi
Nd : 84x/mnt ,
pulsasi kuat
Nd : 82/mnt
pulsasi kuat
TD Sistolik
(mmHg)
Palpasi
130mmHg
130 mmHg
Pulsasi kuat
Pulsasi kuat
130 mmHg
130 mmHg
130 mmHg
140 mmHg
0.93
0.93
TD Sistolik
(mmHg)
TD Sistolik Arteri
Brachialis (mmHg)
Ankle Brachial Index
(ABI)
Stimulus Fokal :
Luka abses diarea punggung mengeluarkan eksudat seropurulen, jumlah banyak
(balutan penuh dan harus diganti 2 kali sehari)
Hb :
10.3 g/dL. Hematokrit :30,4%. Eritrosit :
4.45 /µL. AGD (tidak
diperiksa), Foto thoraks menunjukan hasil CTR > 50 %, pulmonal normal,
tidak ada tanda infiltrat. ECHO (10 Oktober 2011) : EF : 72,4 %, LV
kontraktilitas normal, fungsi diastolik normal, katup morfologi normal.
Stimulus Kontekstual & Residual
Usia klien 66 th, riwayat DM 10 tahun, riwayat hipertensi 3 tahun namun tidak
terkontrol, mempunyai keturunan DM & hipertensi. Pengetahuan klien dan
keluarga terhadap penatalaksanaan DM dan hipertensi masih kurang (diit,
aktifitas, terapi, komplikasi, dll).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
58
Penatalaksanaan yang didapatkan saat ini rencana pemberian PRC500 cc
Captopil 2x12,5 mg
2. Nutrisi
Klien mengatakan sejak 2 minggu terakhir nafsu makannya menurun,
merasakan mual, makan hanya ½ porsi dari porsi biasanya, menurut klien, ia
tidak nafsu makan karena merasakan nyeri pada area punggungnya & bau amis
dari luka.
Sebelumnya klien makan tidak pernah banyak (nasi 1 centong). Jika klien
makan banyak, ia akan merasakan begah pada perutnya. Untuk memenuhi
kebutuhan nutrisinya (rasa lapar) klien sering
ngemil. Walaupun klien
didiagnosa DM sejak 10 tahun yang lalu, namun klien tidak pernah mengatur
makanan sesuai diit. Yang klien ketahui tentang diit DM hanya mengurangi
nasi saja, bahkan suami klien selalu membuatkan susu kedelai dengan
menggunakan gula setiap hari.
Sejak amputasi 3 th yang lalu, seharusnya klien dianjurkan untuk menggunakan
insulin, karena harga insulin mahal, klien tidak melanjutkan penggunaan
insulin, dan menggantinya dengan OHO (Metformin 500 mg & glibenclamid)
yang diminum tidak teratur.
BB klien : 56 kg TB : 155 cm, IMT 23 , mukosa mulut lembab, tidak ada
stomatitis, terdapat karies gigi, kemampuan mengunyah baik, abdomen flet,
lunak tidak teraba pembesaran hepar bising usus 12 x/mnt.
GDS (8/10/2011): 466 mg/dL, tanggal 10/10/2011: hasil scleding scale
menunjukan hasil GD yang tidak fluktuatif terendah 142 dan tertinggi 219
SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, Glukosa urine (+++), HbA1C: 12,7 %,
Trigliserida : 80mg/dL, kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47
mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL
Penatalaksanaan yang diberikan untuk kebutuhan nutrisi adalah
diit lunak
1500 kalori yang dibagi dalam 3 porsi besar (makan pagi, siang & sore) 3 porsi
kecil/snack (jam 09.00, 15.00 dan 21.00 WIB). Pemberian insulin (Actrapid)
ditetapkan dengan dosis 3x8 unit & monitoring GD dilakukan KGDH/hari.
Therapy lain yang diberikan OMZ : 1x20 mg dan Donperidon 3 x 1 amp
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
59
Stimulus fokal :
Ketidakseimbangan regulasi insulin yang ditandai dengan peningkatan
guladarah sewaktu (GDS saat masuk 466mg/dL) dan gula darah yang tidak
terkontrol dalam 3 bulan terakhir ditandai dengan HbA1C: 12,7%. Resiko
gangguan nutrisi dapat terjadi pada klien akibat asupan nutrisi yang kurang
akibat penurunan nafsu makan dan mual.
Stimulus kontekstual dan residual
Usia 66 th, mempunyai riwayat DM 10 th, 3 th yang lalu pernah dirawat
dengan ulkus kaki diabetic dan dilakukan amputasi, namun tidak mengetahui
diit yang sesuai, pengobatan DM tidak terkontrol, disebabkan pengetahuan &
motivasi terhadap diit & pengobatan belum difahami. Sebelum klien
mengalami DM, klien pernah mempunyai BB 80 kg (obesitas). Pengetahuan
keluarga tentang penatalaksanaan DM juga masih kurang, terbukti keluarga
menyediakan susu kedelai dengan gula setiap hari. Dukungan keluarga terhadap
pengobatan juga kurang optimal yang dilihat dari pengobatan insulin tidak
dilanjutkan dengan alasan keuangan.
3. Eliminasi
Klien mengatakan tidak ada perubahan pada pola BAB maupun BAK. Klien
biasa BAB 1 x sehari tanpa pencahar, faeses lunak warna khas. BAK 7-8 kali
sehari, BAK malam 2-3x, urine berwarna kuning jernih, tidak ada nyeri ketika
mulai maupun saat BAK. Tidak menggunakan kateter urine, tidak teraba blass
pada area simpisis, maupun masa dan nyeritekan pada abdomen bawah. Bising
usus 12 x/mnt. Hasil pemeriksaan urinalisa di dapatkan protein urine (++), tidak
ditemukan adanya leukosit dan eritrosit dalam urine, berat jenis 1.020 di
dapatkan adanya keton dalam urine yaitu (++). Hasil pemeriksaan fungsi ginjal
didapatkan nilai urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 0.5 mg/dl, CCT : 56.6 ml/menit
Stimulus fokal : Ketonuria yang terjadi disebabkan adanya pemecahan lemak
sebagai sumner energy (glukoneogenesis) yang menghasilkan asam lemak atau
ketone, selanjutnya keton ini diekskresikan melalui system ginjal dan keluar
bersama dengan urine. Dari hasil CCT di dapatkan adanya penurunan fungsi
ginjal yang kemungkinan terjadi nefropathy.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
60
Stimulus kontekstual & residual : Riwatay DM selama 10 tahun, tidak
terkontrol, hipertensi selama 3 tahun terakhir yang juga tidak terkontrol.
Pengetahuan klien terhadap komplikasi kronik DM kurang.
4. Cairan dan Elektrolit
Klien minum 2 blt air mineral (@ 600cc) dalam sehari, BAK 4-5 kali pagi
hingga sore dan malam 2-3 kali, jumlahnya diperkirakan 2/3 gelas air mineral.
Selama dirawat tidak merasakan perubahan dalam kebutuhan minum maupun
pengeluaran cairan. Tidak ada muntah, berkeringat berlebihan maupun diare,
namun klien merakan demam
Mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, tidak didapatkan odema pada
ekstremitas maupun odema anasarka, TD: 140/90mmHg, Nadi radialis :
78x/mnt pulsasi kuat, suhu 37,9° C. Urine tampung dalam 24 jam : 1500 cc,
minum 1200 cc, Produksi eksudat dari abses + 200-300 cc setiap ganti balutan.
Hasil pemeriksaan elektrolit : Na :137, Kalium : 4.79 mEq/L, Clorida :
mEq/L, Urium :
13 mg/dl, Kreatinin:
96
0.5 mg/dl. Penatalaksanaan yang
diberikan IVFD: NaCl 1000 cc/24 jam.
Stimulus fokal, kontekstual & residual : tidak ditemukan
5. Aktifitas Istirahat
Aktifitas klien untuk pemenuhan nutrisi, eliminasi, mampu dilakukan secara
mandiri (bantuan minimal karena menggunakan infuse). Mobilisasi terutama
saat tidur hanya bisa dengan miring ke kiri, karena pada punggung kanan
terdapat abses, sehingga untuk miring kanan & supine klien merasakan nyeri.
Sudah 1 minggu tidur malam klien terganggu karena nyeri yang dirasakan.
Klien tidur rata-rata 5-6 jam, namun, sering terbangun (tidak lelap) karena
nyeri. Setelah dirawat di rumah sakit,nyeri yang dirasakan berkurang, karena
mendapatkan obat anti nyeri dan ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan
tidurnya.
Aktifitas berjalan mampu dilakukan oleh klien namun dengan perlahan, karena
pada 1/3 distal telapak kaki (metatarsal) kanan klien telah diamputasi 3 tahun
yang lalu. Hasil observasi terlihat saat turun dari tempat tidur kaki kanan
digunakan sebagai tumpuan. Kaki kiri tidak ada kelainan bentuk. Kekuatan otot
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
61
pada ekstremitas atas dan bawah 5 (mampu melawan grafitasi dan mampu
melawan tahanan)
Gambar 3.1.
Photografi kaki Ny. S
Kaki kanan
Kaki kiri
Stimulus fokal, kontektual dan residual : tidak ditemukan
6. Proteksi (proses imunitas, integumen, rambut, kuku, perubahan suhu, trauma)
Rambut dan kulit klien kotor, lengket & berbau keringat ,karena selama di IGD
tidak dibersihkan. Tidak ada keluhan keputihan maupun gatal-gatal pada area
vagina & lipatan femur. Tampak abses yang terbalut pada regiodorsal thorakal
X- XII sejajar midklavikula dengan balutan yang basah (terdapat rembesan
pus), berbau khas pus. Suhu aksila 37.9ºC, leukosit 18.400/mm3. Hasil culture
luka didapatkan leukosit banyak/LPB, ditemukan bakteri gram positif Coccus.
Gambar 3.2.
Photografi Abses punggung Ny. S
Luka derajat III, dimana luka mengenai jaringan otot, mengeluarkan exudat
purulen kira-kira 300cc, bau exudat khas,tercium pada jarak 1 lengan. Dasar
luka berwarna putih, terdapat slough, luas luka 4x5x3cm dengan goa arah jam
12 hingga jam 09, panjang 3 cm, luas eritema luka : 12x 8 cm.
Kaki kanan terdapat kalus pada area plantar, terdapat ulkus pada area tengan
kalus, dengan kedalaman 7 mm berwarna merah dan basah. Saat turun dari
tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Saat berjalan di dalam
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
62
rumah klien tidak menggunakan alas kaki & jika berjalan diluar rumah, klien
menggunakan alas kaki (sandal) yang dimodifikasi menggunakan tali karet
sebagai pengikat.
Dari hasil pengkajian kaki didapatkan adanya penurunan sensasi pada kedua
kaki, kulit kaki kering dan berkilap.
Gambar 3.3.
Photografi Pengkajian kaki Ny. S
Table 3.2. Pengkajian kaki
Kaki Kanan
Ya
Kallus
Corns
Bunions
Hammer toes
Amputasi:
ï‚· Minor ( jari/ pedis )
ï‚· Mayor ( below knee/ above knee )
Kaki charchot
Kuku
ï‚· Penebalan
ï‚· Infeksi jamur
ï‚· Tumbuh ke dalam
Kulit
ï‚· Perabaan kaki dingin
ï‚· Kulit berkilap
ï‚· Kulit kering
ï‚· Atrofi lemak sub kutan
ï‚· Rubor
ï‚· Pucat pada elevasi
ï‚· Rambut kaki
Tidak
Kaki Kiri
Ya

Tidak













-

















Stimulus fokal :
Gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan system imun,
penurunan vaskuler ,sehingga jika terjadi luka akan lebih mudah terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
63
penyebaran infeksi. Hb dan albumin yang rendah akan mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
Adanya riwayat amputasi kaki karena ulkus & adanya kalus dengan menurut
Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 Ny. S masuk dalam
katagori 3 ( resiko sangat tinggi), yang harus memeriksakan kakinya setiap 1- 3
bulan, namun belum pernah dilakukan.
Stimulus kontekstual & residual
Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, perawatan luka, perawatan
kaki : mencegah terjadinya kalus, mengurangi kalus, penggunaan alas kaki
belum diketahui seluruhnya oleh klien. Nyeri yang dirasakan saat mengganti
balutan, membuat klien takut untuk ketika akan diganti balutannya.
7. Sensori (Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau, nyeri)
Tidak ada gangguan pendengaran. Mengatakan pandangan terasa lebih buram
terutama pada mata kiri, tidak dapat membaca tulisan dengan font 12 pada
jarak 10 cm, hanya tampak bayang-bayang saja. Pada mata kanan masih
mampu membaca dengan jarak 30 cm dengan besar huruf 16.
Merasakan nyeri pada area luka dengan intensitas sedang dan semakin nyeri
saat balutan dibanti. Baal atau kebas pada area telapak kaki kiri. Dilakukan
pemeriksaan sensitifitas dengan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan
salah dalam mempersepsikan sensasi tajam dan tumpul pada area telapak kaki
kanan dan kiri.
Stimulus fokal :
Penurunan sensasi terutama pada area perifer disebabkan karena adanya
komplikasi neuropathi sensori perifer. Penurunan tajam penglihatan merupakan
komplikasi DM pada mata yang disebut retinopathy. Komplikasi yang terjadi
pada DM akibat lamanya menderita DM (10 th) dan gula darah yang tidak
terkontrol (> 6.5%)
Stimulus kontekstual & residual :
Pengetahuan yang kurang mengenai DM & komplikasinya. Penatalaksanaan
DM yang belum adekuat.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
64
8. Fungsi Neurologi (Syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi)
Klien dapat berorientasi terhadap orang,waktu dan tempat dengan baik, tidak
ada gangguan pada XII saraf kranial, fungsi motorik menurun karena
keterbatasan energi, sensorik , memori dan bahasa tidak ada gangguan. Reflek
patela (+/+), reflek ackhiles (+/+), Monofilament 10 gr (-/-)
Stimulus fokal : neuropathy perifer
Stimulus kontekstual & residual
Riwayat DM yang tidak terkontrol, pengetahuan terhadap perawatan kaki yang
kurang
9. Fungsi Endokrin
Hiperglikemia , tidak didapatkan pembesaran kelenjar thyroid, sudah
menopause (menurut klien sudah lebih dari 10 th)
Stimulus fokal : resistensi insulin/ketidakcukupan insulin ditandai dengan
GDS : 466 mg%, HbA1C : 12,7%
Stimulus kontekstual & residual
Pengetahuan tentang penatalaksanaan DM yang belum semuanya diketahui,
adanya perasaan bosan untuk berobat & sumber dana yang semakin berkurang,
riwayat keluarga ada yang mengalami DM
3.2.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri : Physical self (memandang diri sendiri,
berhubungan dengan kehilangan) & Personal self (konsistensi; ideal diri, moral,
etik, spiritual, seksual, cemas, takut)
Menurut klien setelah telapak kakinya diamputasi, klien lebih banyak dirumah, hal
ini disebabkan karena pergerakan klien menjadi terbatas dan klien malas ditanya–
tanya oleh tetangganya tentang kakinya. Spiritual klien : menyatakan untuk ibadah
wajib & sunah selalu dilaksanakan, namun pengajian sudah tidak diikuti lagi. Saat
ini klien ingin menjalankan ibadah wajib, namun klien ragu karena lukanya selalu
mengeluarkan kotoran. Klien yakin bahwa sakit yang dialami merupakan teguran
dari Tuhan, agar lebih taat menjalankan perintahNya. Klien juga meyakini bahwa
kekuasaan Tuhan akan membantu kesembuhannya, oleh sebab itu, walaupun ia
ragu menjalankan sholat, namun ia tetap berdzikir.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
65
Aktifitas seksual (suami istri) hampir tidak pernah dilakukan, karena merasa sudah
tua. Menurut klien dan suaminya, kebutuhan tersebut sudah tidak penting lagi.
Mereka mengekspresikan kebutuhan seksual dengan saling menyayangi, saling
merawat, karena mereka hanya tinggal berdua saja. Saat ini yang diinginkan
kesembuhan terhadap kondisi absesnya, ada ketakutan akan bertambah luas karena
klien mempunyai DM dan pengalaman luka dikaki 3 tahun yang lalu merupakan
pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien. Pengalaman terhadap nyeri
yang dirasakan saat mengganti balutan juga mempengaruhi kecemasan klien saat
akan diganti balutan. Namun karena produksi cairan eksudat yang banyak serta
ingin sembuh, mampu menghilangkan rasa cemas akan nyeri yang dirasakan.
Produksi eksudat yang berbau membuat klien menginginkan pindah tempat ke
posisi diujung kamar dengan alasan agar klien lain dikamar tersebut tidak kebauan.
Harapan klien saat ini proses penyembuhan luka di punggungnya mengalami
kemajuan. Ia yakin dengan pelayanan kesehatan di RSUPF dan tenaga kesehatan
yang merawatnya
Stimulus Fokal : adanya abses di punggung, yang tidak sembuh–sembuh,
mengeluarkan eksudat dan berbau. Perubahan bentuk kaki paska amputasi
menyebabkan keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Stimulus kontekstual dan residual :
Pengalaman ulkus kaki sebelumnya,
pengalaman nyeri pada saat di lakukan ganti balutan sebelumnya. Aktifitas klien
sebelum dilakukan amputasi (aktif dikegiatan kemasyarakatan, mempunyai
aktifitas berdagang dan mempunyai pendapatan sendiri). Keyakinan diri klien
terhadap proses penyembuhan luka dan dengan tempat serta petugas kesehatan
yang menangani.
3.2.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran
Klien adalah seorang istri & ibu dari 2 anak dimana kedua anaknya sudah menikah
dan tidak tinggal dengan klien. Ia hanya tinggal berdua suaminya yang sudah
pensiun. Kegiatan sehari-hari melakukan aktivitas rumah tangga (memasak,
membersihkan rumah, dll) dibantu oleh suaminya. Saat ini klien selalu ditunggu
oleh suaminya, dan untuk peran sehari–hari digantikan oleh suami dan anak klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
66
Stimulus kontekstual dan residual : merasakan nyeri akibat abses dan harus
dirawat dirumah sakit.
3.2.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi (fokus: interaksi saling memberi/menerima,
cinta kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Keseimbangan antara
ketergantungan dan kemandirian)
Saat ini kebutuhan dan aktifitas klien dibantu oleh suami & anaknya . Secara
bergantian keluarga (anak) dan suami klien menjaga klien di rumah sakit. Klien
juga terlihat mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya yang ia bisa
lakukan, seperti makan dilakukan sendiri, menurutnya ia juga tidak mau
sepenuhnya tergantung dengan orang lain. Dalam menentukan pengobatan seperti
keputusan untuk menggunakan jenis balutan, apa saja kebutuhan yang harus ada
saat dirumah sakit hingga keuangan, klien berperan dalam membuat keputusan.
Stimulus kontektual dan residual : abses di punggung, nyeri yang dirasakan,
dirawat dirumah sakit.
3.2.2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian mode adaptif pada kasus diatas, dapat dianalisis terjadi
inefektif pada mode fisiologi meliputi mode nutrisi, proteksi, sensasi, neurologi,
endokrin dan pada mode konsep diri. Perubahan adaptasi atau inefektif pada mode
adaptif tersebut dapat ditegakkan diagnose keperawatan sebagai berikut :
Mode Fisiologis
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi
2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah,
penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan
sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan
yang tidak adekwat, ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak dan kesulitan
ekonomi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
67
Mode konsep diri dan mode Interdependensi
1.
Kesiapan meningkatnya koping individu
2.
Kesiapan meningkatnya religiositas.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
68
Tabel 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan
3.2.3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Nama Klien
Umur Klien
No
1
: Ny.S
: 66 tahun
Perilaku
Stimulus
Fungsi
Fisiologis
:
Proteksi
Data subyektif:
ï‚· Abses
pada
area thorakal
X-XII sejajar
midklavikula
derajat
3,
dengan
leukositosis
ï‚· Nyeri
pada
luka
skala
sedang
ï‚· Demam
Stimulus Fokal :
Terjadi abses yang
semakin
meluas,
mengeluarkan pus,
GD meningkat &
leukositosis
Data obyektif:
Stimulus
kontekstual
&
residual :
Riwayat DM 10
tahun, gula darah
tidak
terkontrol
HBA1C :12,7 %
Pengetahuan klien
terhadap
penatalaksanaan
DM,
komplikasi,
perawatan
luka,perawatan kaki
No. Rekam Medis
Diagnosa Medik
Diagnosa
Keperawatan
Resiko
perluasan
Infeksi
berhubungan
dengan
hiperglikemia,
rendahnya
resistensi
terhadap stres,
penyembuhan
luka
yang
memburuk
Tujuan
Tujuan:
Setelah dilakukan
asuhan
keperawatan
selama 10 x 24 jam
diharapkan
klien
akan
beradaptasi
dengan
perilaku
terhadap proteksi
Kriteria Hasil
ï‚· Tidak terdapat
jaringan
nekrotik
ï‚· Luka tidak ada
pus dan tidak
bau
ï‚· Leukosit dalam
batas
normal
(4.000
–
11.000/mm3)
ï‚· Suhu
tubuh
dalam
batas
Rencana Intervensi
: 1094672
: DM Tp2 & Abses
Evaluasi
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan dan dievaluasi
1. Hyperglicemia
setiap 3x24 jam dan
modifikasi
management (metabolic dilakukan
intervensi
keperawatan
(27
control)
Oktober
2011),
maka
diperoleh
:
2. Management
Luka
(wound and infection
Perilaku adaptif :
control)
Klien mengatakan luka
3. Vascular control
dipunggung sudah tidak
4. Education
nyeri lagi, dasar luka merah
muda & terjadi granulasi,
Aktivitas keperawatan
produksi
cairan
luka
Regulator :
minimal (cairan serous
ï‚· Monitor gula darah
bening), leukosit 5.600/ul,
ï‚· Monitor TTV, terutama suhu klien & keluarga aktif dalam
ï‚· Monitor GD/ hari sesuai kegiatan program edukasi
program
DM.
ï‚· Monitoring tanda perluasan
infeksi pada area luka: pus Perilaku inefektif
yang bertambah, adanya luka Klien & keluarga belum
NIC:
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
69
Luka
mengeluarkan
pus,berbau khas
gangren,nekroti
k pada digiti IV,
kedalaman luka
belum
dapat
dinilai bergaung
menembus dari
digiti III
normal (36 –
37oC)
ï‚· Penyembuhan
luka:
regenerasi sel
dan jaringan
diikuti
penyembuhan
luka
ï‚· Klien
menunjukan
perilaku
untukmenurun
kan
resiko
perluasan
infeksi
ï‚· Pengetahuan
terhadap
penatalaksanaa
n
DM,
pencegahan
penyebaran
luka
meningkat
yang meluas
ï‚· Lakukan perawatan luka
dengan
prinsip
streril,
lembab setiap hari atau jika
balutan jenuh
ï‚· Pantau hasil laboratorium
terhadap
peningkatan
leukosit, hasil kultur
Kolaborasi :
ï‚· Berikan
insulin
sesuai
program 3x8 ui
ï‚· Pemeriksaan kultur dari
jaringan luka
ï‚· Pemberian antibiotic :
ï‚· Ceftriaxon 2 x 2 gr
ï‚· Metronidazol : 3 x 500
mg
ï‚· Kolaborasi untuk persiapan
debridement: fisik, mental &
administratif
ï‚· Kaji respon klien terhadap
terapi: penurunan produksi
pus, penurunan leukosit
Kognator
ï‚· Motivasi
klien
untuk
menjaga
stabilitas
gula
darah: nutrisi, penurunan
kecemasan
ï‚· Informasikan kepada klien &
klg
untuk
menjaga
kebersihan area sekitar luka
ï‚· Informasikan kepada klien
berani melakukan perawatan
luka secara mandiri
Luka
bergranulasi,namun
belum pada tahap epitelisasi
Analisa :
Masalah penyebaran infeksi
tidak
terjadi,
perilaku
adaptif
belum
tercapai
seluruhnya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
70
untuk mengurangi tekanan
pada area luka
2
Perubahan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
defisiensi
glukosa
pada
Stimulus
tingkat
sel
Kontekstual
& skunder
Residual :
ketidakcukupan
Riwayat DM sejak insulin
10 th yang lalu tidak
terkontrol,
pengetahuan tentang
nutrisi untuk DM :
Data Obyektif:
hanya mengurangi
ï‚· Pemeriksaan
GDS tanggal nasi saja (jumlah,
&
1/10’11: 531 jenis
jadwal)belum
mg/dl
diketahui
dengan
ï‚· Pemeriksaan
baik
GD/6 jam :
fluktuatif
&
jam 16.00: 325
mg%
ï‚· Klien hanya
menghabiskan
porsi diet yang
diberikan dari
rumah sakit
Fungsi
Fisiologis
:
Nutrisi
Data Subyektif:
ï‚· Nafsu makan
menurun mual
ï‚· Makan ratarata habis 2/3
porsi selama 3
hari terakhir
karena
merasakan
nyeri
pada
abses
Stimulus Fokal
GDS 466 mg% dan
HbA1C :12.7 %,
KGDH : 204 mg%,
305mg% & 219
mg% BB: 56 kg TB
155 cm.
Tujuan Umum
Kebutuhan nutrisi
terpenuhi setelah
dilakukan tindakan
keperawatan
selama
7 hari,
yang
ditunjukan
dengan :
NIC
 Kontrol
metabolic
(hiperglikemia)
 Edukasi
Aktifitas keperawatan
Regulator
ï‚· Timbang berat badan klien
sesuai indikasi
ï‚· Tentukan program diet
kolaborasi dengan ahli gizi
:1500kal dibagi dalam 3
porsi besar & 3 porsi kecil
ï‚· Auskultasi bising usus,
catat
adanya
nyeri
abdomen, perut kembung,
mual, muntahan makanan
yang belum sempat dicerna
ï‚· Identifikasi makanan yang
disukai termasuk kebutuhan
etnik/cultural
dan
lingkungan
yang
menyenangkan saat makan
ï‚· Observasi
tanda-tanda
hipoglikemia
Kriteria hasil
ï‚· Asupan
makanan, cairan
dan zat gizi
terpenuhi
ï‚· Klien
dapat
menjelaskan
komponen
keadequatan
diet
ï‚· Menyatakan
keinginan untuk
mengikuti diet
ï‚· Bertoleransi
terhadap
diet
yang dianjurkan
ï‚· Membertahanka Kognator
n massa tubuh ï‚· Ajarkan
metoda
dan berat badan
perencanaan makan pada
normal
klien dan keluarga
ï‚· Nilai
ï‚· Jelaskan sumber makanan
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 21 hari
(hingga
tanggal
27
Oktober)
&
dievaluasi
setiap 3 x 24 jam serta
dilakukan modifikasi, maka
di dapatkan hasil :
Perilaku adaptif :
Klien mengatakan makan
habis sesuai porsi yang
disediakan, makan sesuai
jadwal
yaitu 15 menit
setelah diberikan insulin,
Regulasi gula darah tercapai
dengan control insulin 3 x 8
unit,
keluarga
(suami)
mampu
menggunakan
insulin sendiri & glukotes
sendiri.
KLien mampu menyebutkan
diit yang dianjurkan dari
jenis, jumlah & jadwalnya
Perilaku inefektif :
Klien masih tergantung
dengan keluarga dalam
pengaturan diit & motivasi
masih rendah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
71
ï‚· BB : 56, TB:
155
cm.
LILA: 22 cm
3
Fungsi
Fisiologis :
Aktifitas
ï‚· Mempunyai
riwayat
amputasi 3
tahun yang
lalu pada 1/3
distal
metatarsal
ï‚· Berjalan
menjadi
lebih pelan,
kaki kanan
sering
menjadi
laboratorium
bergizi yang terjangkau
albumin,
bagi klien dan sesuai diit
glukosa darah ï‚· Informasikan
tentang
dalam
batas
kebutuhan
nutrisi
dan
normal
bagaimana memenuhinya
ï‚· Melaporkan
ï‚· Libatkan keluarga klien
keadequatan
dalam perencanaan makan
energy.
Kolaborasi
ï‚· Lakukan pemeriksaan gula
darah sesuai program :
KGDH
ï‚· Berikan pengobatan insulin
sesuai program : 3 x 8 ui
ï‚· Berikan Donperidon 3 x 1
amp & OMZ 1 x 20 mg
Resiko Injuri : Tujuan umum :
NIC
trauma
jatuh, Injuri tidak terjadi,  Environmental
perubahan
ditunjukan dengan
managemen : Safety
anatomis kaki  Klien mampu  Mechanical control
(chatcot), kalus
mengurangi
& ulkus b.d.
tekanan
pada Aktifitas Keperawatan
penurunan
Regulator
kaki kanan
sensasi,
ï‚· Ciptakan lingkungan yang
ï‚· Keluarga
perubahan kimia
aman bagi klien
mampu
endogen
menyebutkan
ï‚· Identifikasi kebutuhan
ketidakseimbang
criteria
keamanan klien
an
glukosa
Stimulus
lingkungan
berdasarkan tingkat fisik
kontekstual
& insulin
yang aman &
dan fungsi kognitif dan
residual:
memberikan
perilaku
Riwayat DM 10
lingkungan
ï‚· Tempatkan alat-alat yang
tahun
tidak
yang
aman
sering digunakan dalam
Stimulus Fokal
Penggunaan
kaki
kanan
sebagai
penumpu
menyebabkan
timbulnya
kalus&
perawatan
yang
tidak
sesuai
menimbulkan ulkus
pada area kalus
Setelah dilakukan asuhan
selama 3 minggu,dapat
dievalauasi perilaku klien :
Adaptif :
ï‚· Klien
dan
keluarga
mampu
menyebutkan
dan
menyediakan
kondisi lingkungan yang
aman untuk klien :
meletakan barang dekat
klien,
memasang
pengaman,
mambantu
mobilisasi
ï‚· Klien
&
keluarga
mampu
menjelaskan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
72
penumpu
saat
turun
dari tempat
tidur
Fungsi
fisiologis
proteksi
&
saraf:
ï‚· Terdapat
kalus dengan
ulkus pada
bagian
tengahnya
ï‚· Sensasi pada
kaki kanan
menurun &
ABI 1 & 0,9
Fungsi fisiologi
sense (indra):
ï‚· Penurunan
tajam
penglihatan
pada
mata
kiri
terkontrol,
pengetahuan tentang
perawatan
kaki,
penggunaan
alas
kaki,
perawatan
kalus yang belum
optimal
selama di RS
untuk klien
jangkauan klien
tehnik perawatan kaki :
mencuci & menggosok
ï‚· Jaga kebersihan,
kalus, tehnik memeriksa
kenyamanan tempat tidur
kaki
dan lingkungan
ï‚·
Klien
mampu
ï‚· Buang bahan-bahan yang
menggunakan kakikiri
telah digunakan setelah
sebagai tumpuan saat
mengganti balutan dan
mulai berdiri
eliminasi
ï‚· Hindari paparan terhadap
panas dan dingin berlebihan Perilaku inefektif :
ï‚· Ulkus pada tengah
ï‚· Libatkan keluarga untuk
kalus belum kering,
menunggui klien
namun
sudah
ï‚· Lakukan perawatan kalus
didapatkan granulasi &
(pengikisan & perawatan
ukuran yang mengecil
ulkus)
ï‚· belum di dapatkan alas
ï‚· Latih klien untuk
kaki
yang
sesuai
menggunakan kaki kiri
sehingga
masih
sebagai tumpuan
menggunakan
kaus
kaki/sandal
yang
Kognator
dimodifikasi
ï‚· Jelaskan tentang perubahan
Analisa:
atau perlindungan
ï‚· Masalah resiko injuri
lingkungan pada klien dan
masih di dapatkan.
keluarga
Intervensi
untuk
ï‚· Diskusikan dengan klien &
menuju
perilaku
adaptif
keluarga untuk perawatan
tetap
dilaksanakan
kaki & penggunaan alas
hingga
klien
dirumah
kaki
dengan
melibatkan
ï‚· Demonstrasikan
keluarga
tehnikperawatan kaki &
pencegahan kalus
Kolaborasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
73
ï‚· Kolaborasikan dengan
dokter spesialis mata untuk
pemeriksaan &
penatalaksanaa mata
ï‚· Kolaborasi dengan
rehabilitasi untuk
mendiskusikan alas kaki
yang sesuai
mode konsep
diri :
ï‚· klien tidak
lagi
menjalankan
ibadah sholat
karena
tubuhnya
selalu kotor
oleh eksudat
luka
ï‚· Klien
menginginka
n untuk tetap
menjalankan
ibadah
Stimulus fokal : Kesiapan
pengetahuan klien meningkatnya
tentang ibadah untuk religiositas
orang sakit kurang
Kesiapan dalam
Mode konsep Stimulus
peningkatan
diri :
Kontekstual :
koping individu
ï‚· Mengungkap ï‚· Pengalaman
kan
mengalami ulkus
kekhawatiran
sebelumnya
Setelah dilakukan  Spiritual support,dengan
tindakan
aktifitas :
keperawatan
ï‚· Diskusikan tata cara bersuci
selama 2x24 jam
& sholat saat sakit
diharapkan
klien ï‚· Ajarkan cara tayamum &
akan menunjukan
sholat dengan kondisinya
peningkatan
ï‚· Libatkan keluarga dalam
kesejahteraan
penyediaan fasilitas ibadah :
spiritual
mukena, tasbih
Criteria hasil ;
ï‚· Pertahankan privacy saat
ï‚· Bersuci melalui
sholat/berdo’a
tayamum
ï‚· Sholat
dengan
cara duduk
ï‚· Melakukan
aktivitas doa
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 2 hri
didapatkan :
Perilaku efektif :
ï‚· Keluarga membawakan
perlengkapan ibadah
ï‚· Klien
terlihat
menjalankan
ibadah
sesuai dengaan waktunya
ï‚· Klien terlihat berzikir
menggunakan tasbih di
waktu istirahatnya.
ï‚· Klien mengungkapkan
lebih tenang jika dibantu
dengan berdo’a
Setelah dilakukan NIC
tindakan
 Peningkatan koping
keperawatan
individu
selama 7 x 24 jam  Peningkatan support
diharapkan
klien
system
Setelah dilakuakan asuhan
kepetawatan selama 7 hari
dan dilakukan evaluasi di
dapatkan perilaku yang
adaptif , dimana klien
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
74
nya terhadap ï‚· Support
dari
luka
yang
keluarga baik
saat
ini
dideritanya
ï‚· Mengungkap
kan
keyakinanny
a
terhadap
pelayanan
dan petugas
kesehatan
mampu
mengatasi
sakitnya
Mode
Interdependen
ï‚· Terlibat
pengambilan
keputusan
dalam
perawatan
dirinya
:
mementukan
tambahan
protein,
pemilihan
menggunakan
jenis balutan.
ï‚· Mengungkapk
an jika rasa
takut
akan
nyeri
dikesampingk
memperlihatkan
peningkatan
kesejahteraan
dalam koping
 Peningkatan body image
Aktivitas yang dilakukan :
Kognator
ï‚· Gali harapan yang
diinginkan
ï‚· Diskusikan hal – hal positif
yang klien miliki
ï‚· Lakukan reinsforment (+)
terhadap hal – hal positif
yang dimiliki oleh klien
ï‚· Diskusikan dengan klien
untuk menggunakan hal
positif yang dimiliki klien
untuk meningkatkan
ï‚· Fasilitasi komunikasi akan
perhatian/perasaanantara
pasien dan keluarga atau
anggota keluarga
ï‚· Libatkan keluarga dalam
setiap perawatan klien
menunjukan perilaku :
ï‚· Keaktifan klien dalam
program perawatan
ï‚· Ungkapan klien tentang
harapan kesembuhan
ï‚· Interaksi yang meningkat
dengan
pasien
disekitarnya
ï‚· Ungkapan keingitahuan
klien tentang perawatan
selanjutnya
dan
mengikuti
program
perawatan
yang
melibatkan
keaktifan
klien
:
latihan
menggunakan kaki kiri
sebagai
tumpuan,
bersholawat saat diganti
balutan,melakukan
exercise di tempat tidur.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
75
an jika akan
diganti
balutannya,krn
ingin
luka
cepat sembuh
Mode Fisiologi
ï‚· Terjadi
peningkatan
GD
ï‚· Abses yang
makin luas
ï‚· Kalus
&
ulkus pada
kaki kanan
Mode
Interdependensi
ï‚· Perawatan
dirumah
dilakukan
oleh suami
ï‚· Menghentika
n
program
pengobatan
karena
sumber dana
ï‚· Keluarga
memberikan
susu kedelai
dengan gula
setiappagi
ï‚· Menghentika
n pengobatan
Stimulus Fokal :
Belum
pernah
mengikuti program
edukasi
Informasi
saat
dirawat terbatas pada
diit : pengurangan
sumber karbohidrat
Menegement
diri
inefektif
berhubungan
dengan
pengetahuan
yang kurang
Setelah dialakukan NIC ;
tindakan
 Program edukasi
keperawatan
Aktifitas yang dilakukan :
selama
7
hari ï‚· Gali pengetahuan klien dan
diharapkan
keluarga tentang
kemempuan klien
DM,komplikasi dan
dalam management
perawatannya
diri
meningkat ï‚· Lakukan edukasi dengan
ditandai dengan
- Kelompok sebaya (group)
ï‚· Secara kognotif
ï‚· Lakukan konseling
klien mengetahui
sesuai kebutuhan klien
batasan
gula ï‚· Fasilitasi klien dalam
darah
normal,
membuat keputusan dalam
tanda
perawatan dirinya
peningkatan gula ï‚· Demonstrasikan perilaku
darah, komplikasi
perawatan yang dapat
dan
dilakukan oleh klien : cara
perawatannya
perawatan kaki, pemberian
ï‚· Secara
insulin, menyiapkan
psikomotor klien
makanan, latihan yang bs
menunjukan
dilakukan (peregangan).
perilaku terhadap
diit yang benar,
latihan
fisik,
melakukan
penyuntikan
insulin
sendiri,
Setelah dilakukan perawatan
pada hingga hari ke 7 di
dapatkan perilaku adaptif :
Klien dan keluarga
mampu menyebutkan
batasan gula darah
normal, tanda hiper &
hipoglikemia,komplika
si yang ada pada
dirinya dan komplikasi
lain yang dapat terjadi,
penatalaksanaan DM.
Klien
melakukan
exercise di tempat tidur
(senam
kaki,
peregangan otot) sesuai
kemampuan
Anak klien mampu
melakukan perawatan
kaki
Klien
mampu
menyuntik
insulin
sendiri
Keluarga
klien
membeli
glukometer
dan
mampu
menggunakannya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
76
sendiri
ï‚· Menggunaka
n OHO tanpa
monitoring
dari tenaga
kesehatan
aktif
dalam
program edukasi
-
Klien dan keluaarga
mampu menyebutkan
sumber
pelayanan
kesehatan yang bisa
dijangkau.
Perilaku inefektif :
Psikomotor
dalam
penyediaan
diit,karena
masih disediakan oleh RS
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
77
3.3. Pembahasan
Bagian ini merupakan pembahasan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan pada
Ny. S dengan DM komplikasi abses dan resiko tinggi ulkus diabetik dengan
menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy.
Pembahasan yang akan praktikan
uraikan bertolak dari masalah keperawatan yang ditemukan mengacu pada 4 mode
adaptasi menurut Roy. Keempat mode tersebut meliputi mode fisiologi, mode konsep diri,
mode peran dan mode ketergantungan. Dari masalah keperawatan yang terjadi, akan
dianalisis berbagai faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya masalah tersebut,
dilanjutkan dengan membahas berbagai intervensi yang telah dilakukan untuk
mengatasinya dan evaluasi hasil dari intervensi yang telah dilakukan. Pembahasan juga
akan diperkuat oleh teori/konsep yang mendasarinya fenomena yang terjadi dan hasil
studi para peneliti sebelumnya sebagai justifikasi ilmiah.
3.3.1. Mode Fisiologi
3.3.1.1. Resiko
ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan
proses infeksi
Masalah keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan
sebagai asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolise (NANDA, 2012-2014). Factor resiko yang berhubungan
dengan gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada klien diabetes
dikaitkan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mengabsorpsi
nutrient.
Perilaku klien di dapatkan berhubungan dengan masalah nutrisi ini adalah
klien mengalami mual, penurunan nafsu makan, makan habis hanya ½
porsi. Dari penghitungan IMT didapatkan nilai 23, masuk dalam katagori
normal. Pemeriksaan laboratorium sebagai pendukung perilaku pada mode
nutrisi di dapatkan data SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, HbA1C: 12,7
%, Trigliserida : 80mg/dL, Kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl &
LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL dengan protein urine kuantitatif
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
78
670 mg/24jam. Dari hasil laboratorium diatas dapat disimpulkan fungsi
hati dalam kondisi normal.
Hati merupakan organ penting yang berperan dalam metabolisme
komponen nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Komponen
nutrisi yang mengalami penurunan adalah albumin. Hipoalbumin yang
terjadi pada Ny. S disebabkan karena inflamasi kronik dari abses yang
terjadi. Kadar albumin rendah selain karena asupan nutrisi yang kurang
juga
karena
inflamasi
kronik
dan
kebocoran
pada
ginjal.
Ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan disertai dengan
penurunan fungsi ginjal menyebabkan penurunan albumin dalam darah.
Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat
respon inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, trauma) mengakibatkan
penurunan kadar albumin melalui mekanisme
:
1) peningkatan
permeabilitas vascular (menyebabkan albumin berdifusi ke ruang
ekstravaskular); 2) peningkatan degradasi albumin; 3) penurunan sintesis
albumin (TNF-α yang berperan dalam penurunan trankripsi gen albumin),
(Dunning, 2009).
Data lain yang menunjang masalah resiko keseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh adalah kadar gula darah yang tinggi saat masuk yaitu
466 mg/dL dan menurun dengan pemberian terapi insulin. Hasil HbA1C
menunjukan nilai 12,7 % yang dapat disimpulkan tidak terkontrolnya gula
darah dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan gula darah diduga adanya
resistensi insulin. Resistensi insulin relative akan mengakibatkan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Lewis & Heitkemper, 2011).
Insulin berfungsi dalam transportasi glukosa hingga masuk ke dalam sel.
Sekresi insulin dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Saat terjadi defisiensi insulin, glukosa darah hasil metabolisme karbohidrat
setelah seseorang makan tidak dapat masuk ke dalam sel, mengakibatkan
suatu kondisi yang disebut hiperglikemia Selain itu penurunan metabolism
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
79
di sel berakibat terjadinya penurunan energy dan penderita DM akan
mengalami keseimbangan kalori negative, perilaku klien yang ditunjukan
misalnya adanya keluhan mudah lelah, atau lemas dan letih.
Gangguan nutrisi pada sel, mengaktifkan system homeostatis tubuh untuk
memproduksi energy terus berlangsung dengan pembentukan glukosa
endogen glukoneogenesis & glikogenolisis dijaringan hepar. Kondisi ini
semakin meningkatkan glukosa darah. Stress fisik seperti adanya ulkus,
akan meningkatkan hormone kontraregulator (glucagon, katekolamin dan
kortisol) yang akan mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan
lemak. Akibat lipolisis meningkat akan terjadi peningkatan produksi benda
keton dan asam lemak bebas secara berlebihan.
Intervensi keperawatan yang dapat disusun pada masalah nutrisi ini adalah
pemberian diit yang sesuai, kontrol gula darah, dan pemberian terapi
insulin sebagai upaya membantu glukosa masuk ke dalam sel dan pada
akhirnya diharapkan nutrisi sel terpenuhi.
Menurut Yunir & Soebardi, 2010, salah satu terapi medis non farmakologi
yang direkomendasikan untuk mengatasi maslah nutrisi pada klien DM
adalah terapi gizi. Terapi gizi merupakan kegiatan pengaturan pola makan
yang didasarkan pada status gizi penderita DM yang disesuaikan dengan
kebutuhannya. Adapun manfaat yang diharapkan dari pengaturan diit ini
adalah : 1) menurunkan berat badan, 2) menurunkan tekanan darah. 3).
mengontrol gula darah pada batas normal. 4). memperbaiki profil lipid . 5).
memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki sistim koagulasi darah.
Adapun pengaturan diit yang dilakukan pada Ny. S adalah sebagai berikut:
Rumus penghitungan kebutuhan nutrisi dengan rumus Brocca :
Penentuan besarnya kalori yang diberikan digunakan perhitungan rumus
Brocca, yaitu: BBI x kebutuhankalori + aktifitas + kondisi stres
BBI
= (TB dalam Cm - 100) -10%
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
80
= (155 cm - 100) ± 5,5= 49,5 - 60,5 kg
BBI
Kalori basal wanita 25 Kkal/Kg = 49,5 x 25
= 1237,5 kkal
Aktifitas ringan + 10%
= 123,5 kal
Keadaan stres fisik + 20%
= 369,75 kal
Usia > 50 th - 5%
= 61,88
BB Gemuk - 20%
= 247,5
Total kebutuhan nutrisi : kkal
= 1423,125 pembulatan 1500 kal
Makanan dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan
malam (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makanan besar.
Untuk pengaturan makan ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan tim
gizi RS. Medical Nutrition Therapy (MNT) penting dalam manajemen
pencegahan diabetes, mencegah perkembangan komplikasi akibat diabetes,
dan mencegah kejadian morbiditas dan mortalitas akibat diabetes (ADA,
2012). MNT juga termasuk ke dalam edukasi manajemen diri pada klien
diabetes. MNT dilaporkan dapat menurunkan nilai HbA1C ( A1C) 0,25 –
2,9% pada klien DM tipe II (ADA, 2012) tergantung kepada lamanya klien
menderita DM. Hasil metaanalisis pada studi orang tanpa diabetes
menunjukkan MNT dapat menurunkan kolesterol LDL antara 15-25 mg/dl
yang dicapai setelah 3-6 bulan inisiasi.
Terjadinya penurunan albumin dalam darah akan menghambat proses
penyembuah luka. Peningkatan pemberian protein pada kondisi Ny. S
perlu dipertimbangkan dengan fungsi ginjal yang menurun dan adanya
pengeluaran protein melalui urine. Protein yang diberikan pada Ny. S
adalah 1,5 – 2 gr/Kg BB/hari dengan pertimbangan untuk meningkatkan
proses penyembuhan luka. Sumber protein yang diberikan 50 % berasal
dari sumber hewani dan 50 % berasal dari sumber nabati. Kandungan
protein pada putih telur mencapai 98%, sehingga pemberian ekstra putih
telur hingga 6 butir perhari merupakan upaya untuk memenuhi protein
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
81
dalam tubuhnya. Selain dari sumber hewani sumber protein nabati seperti
dari olahan kedelai (susu kedelai) mempunyai banyak keuntungan jika
dikonsumsi oleh psien DM seperti Ny.S, dimana sudah terjadi penurunan
pada fungsi tubuh. Kandungan protein yang ada pada kedelai
(phytoestrogen)
dapat
menurunkan
proteinuria,
hiperfiltrasi
dan
proinflamato cytokines diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi
ginjal (Kresnawan & Markun). Penelitian lain tentang susu kedelai
dilakukan oleh Anitha pada tahun 2006 di RS Saiful Anwar, pada 5 orang
kelompok perlakuan yang diberikan susu kedelai didapatkan penurunan
gula darah puasa dan 2 jam post prandial (p= 0,01). Dengan demikian
pemberian susu kedelai tanpa gula bisa menggantikan pemberian susu dari
sumber hewani.
Intervensi lain yang dilakukan pada Ny. S yang penting adalah mengatasi
hyperglikemia. Pada kasus Ny. S penatalaksanaan terhadap hiperglikemia
saat di UGD adalah dengan pemberian insulin berdasarkan hasil gula darah
setiap 6 jam (setiap kenaikan 50 mg%, diberikan 5 ui Humulin RR (insulin
kerja pendek) dimulai dengan nilai GD 200mg%). Setelah 2 hari dirawat
diberikan insulin dengan dosis 3 x 8 unit & kontrol gula darah setiap hari
30 menit sebelum makan. Pada hari ke 3 perawatan gula darah klien
terkontrol dengan nilai antara 180–250.
Pemberian insulin pada kondisi ini tidak hanya untuk menurunkan glukosa
darah hingga batas normal, namun juga untuk mengatasi ketonemia dimana
insulin akan menurunkan konsentrasi hormone glucagon, sehingga
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas di
jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan
utilisasi glukosa oleh jaringan. Efektifitas penatalaksanaan hiperglikemi
dapat dipantau melalui kadar glukosa dalam darah.
Pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan disertai penyakit
kritis insulin diberikan jika gula darah lebih dari 180 mg/dL dan pemberian
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
82
insulin lebih efektif dengan pemberian continuous IV insulin atau
intermiten SC basal bolus yang dikombinasi dengan correctional doses
insulin. Pemberian ini mengurangi terjadinya hipoglikemia dan dapat
menentukan dosis yang tepat (Hassan, 2007; LeMone, 2011; ADA,2012)
3.3.1.2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
Masalah keperawatan berikutnya yang praktikan tegakkan pada Ny. S pada
mode fisiologi adalah resiko infeksi kearah sepsis. NANDA 2012- 2014,
mendefinisikan resiko infeksi merupakan kondisi peningkatan resiko
terserang organism pathogen. Pada kasus Ny. S, infeksi sudah terjadi yang
ditandai dengan lekositosis dan pada hasil kultur didapatkan bakteri gram
(+). Resiko terjadinya sepsis pada Ny. S, berdasarkan pada beberapa faktor
resiko seperti usia, peningkatan gula darah, penurunan system imun dan
perubahan pada vaskularisasi.
Gangguan vaskuler dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein
yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang
bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product
(AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing–masing di membrane
sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane
basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang
melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen
dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan
penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan
penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan
sirkulasi. Selanjutnya penuruanan sirkulasi ini akan menghambat aliran
darah yang membawa oksigen, nutrisi, sel darah putih dan antibody untuk
proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak. Kondisi ini
mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat,
(Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009, Hawks & Black, 2010).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
83
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencapai perilaku adaptif
terhadap pencegahan perluasan infeksi menjadi sepsis dilakukan dengan
meningkatkan koping regulator dan kognator pada Ny. S dan keluarga.
Secara umum intervensi tersebut meliputi, management luka, managemen
infeksi, menegemen hiperglikemik, control vaskuler dan edukasi. Aktivitas
yang dilakukan pada klasifikasi intervensi tersebut khususnya untuk
menegemen luka, infeksi dan edukasi meliputi : melakukan perawatan luka
(mengganti balutan, menyiapkan dasar luka dengan debridement).
Aktifitas keperawatan yang ditujukan untuk control infeksi diataranya
dengan monitoring tanda perluasan infeksi (tanda infeksi sistemik, infeksi
pada area luka, eksudat yang diproduksi luka), mempertahankan tehnik
aseptic selama perawatan luka, mencegah kontaminasi luka dengan sumber
infeksi (lingkungan), kolaborasi dalam pemberian antibiotic (Ceftriaxon 2x
2 gr dan Metronidazol 3 x 500 mg) sesuai hasil kultur. Edukasi yang
diberikan kepada Ny. S sebagai upaya untuk meningkatkan koping
kognator diantaranya upaya peningkatan daya tahan tubuh : istirahat,
penurunan kecemasan, tehnik menurunkan nyeri dan pemenuhan nutrisi
sesuai diit. Edukasi untuk pencegahan infeksi dilakukan dengan
menginformasikan untuk menjaga kebersihan area sekitar luka dan
menginformasikan untuk melaporkan kepada perawat jika ada tanda
deman, nyeri yang bertambah pada luka dan pengeluaran produksi cairan
luka yang berlebihan (Bulechek, et al, 2008; Doenges, et al, 2010; Ackley
& Ladwig, 2011).
Pemberian antibiotik pada Ny. S di dasarkan pada hasil kultur. Ceftriaxon
dan Metronidazol merupakan salah satu antibiotic yang masih sensitive.
Peran perawat pada pemberian antibiotic ini dimulai dari metode
pengambilan bahan culture. Pengambilan specimen yang tidak sesuai akan
mempengaruhi hasil kultur dan pada akhirnya berdampak pada pemberian
antibiotic yang tidak sesuai dan menyebabkan resistensi. Tehnik
pengambilan swab kultur pada luka dilakukan dengan mencuci luka
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
84
terlebih dahulu menggunakan air steril atau NaCl 0.9 % (bukan cairan
antiseptic) kemudian dikeringkan dengan kasa steril. Swab atau apusan
luka dilakukan dengan menggunakan lidi kapas steril dengan metode
Levine. Metode ini terbukti pada 4 penelitian merupakan metode yang
paling efektif dibandingkan dengan metode Z maupun metode sederhana.
Tehnik swab dengan metode Levine dilakukan dengan mengusapkan lidi
kapas steril pada dasar luka yang telah dicuci dan area yang paling sedikit
terdapat jaringan nekrosis/slogh pada diameter 1-2 cm melingkar (Gardner,
2006; Angel et al, 2011; Drinka et al, 2012; Nata dkk, 2012).
Intervensi lain yang juga penting diperhatikan pada pencegahan meluasnya
infeksi pada luka adalah perawatan luka. Prinsip management luka
menurut Dealey.C, 2005 diantaranya adalah : perawatan luka lembab &
menyiapkan dasar luka (wound bed preparation).
Perawatan Luka Lembab
Pada perawatan luka yang diberikan kepada Ny.S untuk mempertahankan
kelembabannya awalnya menggunakan kasa yang dibasahi NaCl, namun
pada hari ke 4 perawatan, sudah menggunakan hydrogel, mengingat lebih
efektif dan efisien. Perawatan luka lembab pertamakali diperkenalkan oleh
George Winter pada tahun 1962 dan berkembang hingga sekarang.
Beberapa
studi
telah
menunjukkan
bahwa
lingkungan
lembab
mempercepat proses epitelisasi dan untuk menciptakan lingkungan lembab
dapat dilakukan dengan menggunanakan balutan semi occlusive, full
occulisive dan impermeable dressing. Ada beberapa keuntungan prinsip
moisture dalam perawatan luka, diantaranya: mencegah luka menjadi
kering dan keras, meningkatkan laju epitelisasi, menjagah pembentukan
jaringan eschar, meningkatkan pembentukan jaringan dermis, mengontrol
inflamasi dan memberikan tampilan yang lebih kosmetis, mempercepat
proses autolysis debridement, menurunkan kejadian infeksi, cost effective,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
85
mempertahankan aktifitas neutrofil, menurunkan nyeri, memberikan
keuntungan psikologis.
Penggunaan kasa yang dilembabkan dengan NaCl merupakan cara
konvensional dan sering digunakan. Cara ini bisa menciptakan suasana
lembab tapi tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama
sebaliknya cara ini bisa menimbulkan nyeri (pada beberapa klien) saat
pergantian balutan ketika kasa telah mengering. Sedangkan hydrogels
merupakan polymer dengan kandungan air 90-95 % dan memiliki sifat
semi transparan dan nonadherent (Hest, CT. 1995., Jeter, KF &Tintle, TE.
1991 dalam Dealey, 2005). Di pasaran hydrogel tersedia dalam bentuk
pasta dan lembaran (sheet). Bentuk lembaran sangat comformable sehingga
bisa mengikuti tekstur luka dan dapat mengabsorbsi eksudat dalam jumlah
sedikit atau sedang. Karena sifatnya yang tidak lengket maka tidak
menimbulkan nyeri saat pergantian balutan namun sifat ini pula yang
mengharuskan hydrogel didampingi oleh balutan sekunder. Balutan
sekunder yang diberikan pada Ny. S adalah jenis balutan yang mampu
mengabsorbsi eksudat.
Menyiapkan dasar luka (Wound bed preparation)
Persiapan dasar luka telah diusulkan sebagai sarana untuk memberikan
pendekatan terstruktur dan sistematik dalam manajemen penyembuhan
luka yang terganggu. Persiapan dasar luka menekankan pada pengangkatan
hambatan yang mengganggu penyembuhan luka dengan mengoptimalkan
kondisi penyembuhan luka. Tujuan persiapan dasar luka adalah untuk
menciptakan lingkungan penyembuhan luka yang optimal dengan
menghasilkan dasar luka yang bervaskular, stabil, dengan eksudat minimal.
Salah satu tehnik yang dapat dilakukan untuk menyiapkan dasar luka ini
adalah dengan debridemen. Debridemen merupakan proses pengangkatan
jaringan mati (nekrotik), eksudat, dan debris metabolik dari dasar luka dan
kulit sekitar untuk memfasilitasi proses penyembuhan. Jaringan nekrotik
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
86
dan sampah metabolik dalam luka mencegah penyembuhan dengan
memberi
nutrisi
pada
bakteri
serta
menghambat
fase
inflamasi
penyembuhan. Oleh karena itu, harus diangkat sehingga akan membantu
merangsang tepi luka yang tidak meluas. Berbagai macam tehnik
debridement dapat dilakukan diantaranya dengan autolitik, biologik,
kimiawi maupun mekanik (Dealey.C, 2005; Yunir, 2010). Pada kasus Ny.
S penyiapan dasar luka dilakukan pada awalnya menggunakan hydrogel
sebagai autolitik, namun karena area slough yang banyak dan nyeri saat
dibersihkan maka debridemen mekanik (pembedahan) akhirnya dilakukan.
Kondisi Ny. S yang dihadapi praktikan saat mengganti balutan adalah
masalah nyeri dengan skala sedang dan meningkat saat alat menyentuh
area luka atau saat nekrotomi. Nyeri merupakan masalah yang banyak
terjadi pada klien dengan luka kronik dan nyeri dirasakan saat mengganti
luka. Augustin & Maier, (2003 dalam Dealey, 2005) menyatakan nyeri
yang dirasakan oleh klien dengan luka akan mengakibatkan stress dan
stress juga akan meningkatkan nyeri. Survey yang dilakukan oleh Moffatt,
2002 di 11 negara mendapatkan nyeri yang paling dirasakan oleh penderita
luka konik adalah saat mengganti balutan dengan kondisi balutan yang
kering. Penelitian sebelumnya yaitu Szor dan Bourguignon (1999)
mengamati 32 klien dengan ulkus tekanan dengan menggunakan kuesioner
McGill mendapatkan 28 (87,5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan
12 (42%) mengalami nyeri terus menerus baik saat istirahat maupun saat
mengganti balutan. Faktor yang menimbulkan nyeri saat mengganti
balutan disebabkan oleh karena balutan yang lengket dengan luka, irigasi
luka, balutan yang kering dan kecemasan (Bell & McCarthy, 2010).
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri selain dengan analgetik
perawat melakukan tehnik relaksasi sebelum perawatan yang bertujuan
untuk mengurangi kecemasan dan dilanjutkan saat mengganti balutan.
Relaksasi didefinisikan sebagai teknik yang digunakan untuk mendukung
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
87
dan memperoleh relaksasi untuk tujuan mengurangi tanda-tanda dan gejala
yang tidak diinginkan seperti nyeri, ketegangan otot dan kecemasan
(Dochterman McCloskey, 2004). Teknik relaksasi yang mudah dilakukan
oleh klien adalah dengan teknik dalam. Selain teknik relaksasi penggunaan
balutan yang sesuai (lembab bersifat autolitik) seperti jenis balutan modern
mampu dapat meningkatkan kenyamanan. Penelitian Kristanto, 2010 di
RSUD Syaiful Anwar malang terhadap 20 orang kelompok kontrol dan
perlakukan di dapatkan balutan modern mampu meningkatkan ekspresi
TGF β1 dan menurunkan kadar kortisol yang berdampak pada penurunan
stress fisik maupun psikis (p = 0.028).
3.3.1.3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan
sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
Diagnosa resiko injuri atau bahaya fisik didefinisikan sebagai kondisi yang
beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang
berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu dengan
faktor resiko biologis (tingkat imunitas, mikroorganisme), dari kliennya
(kognitif, afektif dan psikomotor), disfungsi biokimia, usia, fisik dan
disfungsi sensorik (NANDA 2012-2014).
Diagnosa ini merupakan penggabungan dari beberapa masalah pada mode
fisiologi, yaitu masalah pada mode aktifitas, mode proteksi, mode sensasi,
mode neurologi dan mode endokrin. Perilaku yang di tampilkan pada 5
mode tersebut menjadi data untuk masalah resiko injuri sedangkan
stimulus menjadi data pada etiologi. Data yang didapatkan pada diagnose
ini diantaranya adanya perilaku yang mengarah kemungkinan terjadi
bahaya fisik/cedera, diantaranya adanya baal pada kedua telapak kaki,
telapak kaki telah diamputasi 3 th yang lalu (1/3 distal metatarsal), adanya
kalus pada kaki kanan yang ditengahnya terdapat ulkus. Pemeriksaan
menggunakan monofilament 10 gr didapatkan terjadi penurunan sensasi.
Stimulus yang didapatkan baik fokal, kontekstual maupun residual
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
88
diantaranya: klien lansia (66 th), mengalami DM selama 10 tahun namun
gula darah tidak terkontrol mengalami hipertensi dan riwayat amputasi 3
th yang lalu. Pengetahuan klien dan keluarga dalam perawatan kaki,
pencegahan berulangnya ulkus kaki dan modifikasi mobilisasi masih
kurang karena belum pernah mendapatkan informasi mengenai masalah
perawatan kaki.
Masalah kaki yang dialami oleh Ny. S adalah riwayat amputasi dengan
kalus dan ulkus kecil di kaki kanan. Ulkus kaki merupakan salah satu
infeksi kronis yang sering dialami pada diabetisi. Di USA angka kejadian
ulkus kaki sebagai komplikasi DM terjadi pada 15 % diabetisi (Frykberg,
et al, 2006) dan di Indonesia 15-23% dari seluruh penderita DM (Waspadji,
2011) dan 85% amputasi pada kaki diabetic di dahului oleh adanya ulkus
& ulkus pada kaki dapat diawali karena adanya kalus pada area plantar
kaki.
Pengkajian kaki yang dilakukan kepada Ny. S didapatkan data adanya
riwayat amputasi dengan ulkus & saat ini mengalami kalus, maka menurut
Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 masuk dalam katagori
3 (resiko sangat tinggi), dan seharusnya pemeriksaan kaki dilakukan setiap
1-3 bulan, namun pada Ny. S tidak pernah dilakukan.
Faktor resiko terjadinya ulkus pada kaki diantaranya adalah : neuropathi
perifer, gangguan vaskuler perifer, keterbatasan gerak sendi, deformitas
kaki, tekanan kaki yang abnormal, trauma minor, riwayat ulcer atau
amputasi dan penurunan tajam penglihatan (Frykberg, et al, 2006). Pada
Ny. S, ulkus yang dahulu dialami karena luka yang tidak disadari. Saat ini
jika tidak dilakukan intervensi yang tepat, ulkus pada kalus akan
berkembang menjadi ulkus yang terinfeksi. Menurut Frykberg, 2006 kalus
pada area plantar terjadi karena adanya gesekan dan tekanan yang tinggi
sehingga menyebabkan penebalan pada area kulit. Berikut ini akan
diuraikan proses terjadinya ulkus kaki pada pasien diabetes.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
89
Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati
perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang
berakibat terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas kaki
sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat
adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut
maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya)
merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada
penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris
dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan
otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus,
halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya
neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris
yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan
sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan
serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit
kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki.
Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya
atropati Charcot.
Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan
terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi penyebab
terjadinya ulkus juga mempersulit proses penyembuhan ulkus kaki.
Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 katagori,
yaitu kaki diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya
kaki diabetika disebabkan oleh faktor neuropati (82%) sisanya adalah
akibat neuroiskemia dan murni akibat iskemia.
Gangguan mode sense dan neurologi (neurophaty perifer) yang terjadi pada
Ny.S adalah penurunan sensasi (rasa) pada area telapak kaki kiri (diperiksa
dengan menggunakan monofilament 10 gr) pada area telapak : terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
90
penurunan sensasi rasa. Penurunan sensasi terjadi karena adanya
komplikasi neuropathi sensori perifer.
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom
dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung
pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan
dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada klien yang
sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam
diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat
dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler.
Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia.
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik
yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,
sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal
bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut
berakibat pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND
(Subekti I, 2010).
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya
saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan
ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal.
Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan
atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam
hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa).
Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta
gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan
dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan
ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
91
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita
neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki.
Pemeriksaan neuropathy pada klien diabetes merupakan pemeriksaan yang
direkomendasikan oleh ADA 2012 dan AACE, 2008 pada level A sebagai
screening terhadap adanya kaki diabetic. Penggunaan monofilament 10 gr
untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh
Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14
studi (1950–2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah
3142 dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan
adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan
pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada
diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai
alat diagnostic tunggal.
Gangguan sense (indra) yang lain pada Ny. S adalah penurunan tajam
penglihatan. Gangguan penglihatan yang terjadi disebabkan karena
komplikasi dari DM yaitu retinopathy yang dapat menyebabkan injury.
Retinophaty termasuk
dalam
golongan
komplikasi
mikrovaskuler,
penyebab retinopathy belum secara jelas diungkap tapi mungkin dapat
disebabkan oleh multifaktorial yaitu terkait dengan glikosilasi protein,
iskemi, dan mekanisme hemodinamik. Peningkatan viskositas darah
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan penurunan elastisitas kapiler.
Retina membutuhkan rata-rata konsumsi O2 terbesar dari seluruh organ
tubuh, bila terjadi gangguan suplai O2 pada retina maka akan terjadi
anoksia jaringan yang dapat menyebabkan kematian jaringan (Black &
Hawk 2010).
Intervensi yang dilakukan untuk memfasilitasi Ny. S mempunyai perilaku
yang adaptif, maka dilakukan upaya untuk menghilangkan stimulus dengan
meningkatkan koping Ny.S baik yang bersifat regulator maupun kognator.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
92
Pada koping regulator, intervensi yang dilakukan diantaranya , melakukan
perawatan kalus dan ulkus, bersama keluarga memberikan lingkungan
yang
aman
(memasang restrain
saat
keluarga
tidak
menunggu,
mendekatkan alat yang dibutuhkan klien untuk mudah dijangkau), melatih
klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, melatih klien menggunakan
pengaman/pegangan saat akan mulai berdiri. Meningkatkan koping
kognator dilakukan dengan melibatkan keluarga terutama yang selalu
bersama klien (suami klien). Mendiskusikan bahaya fisik yang mungkin
terjadi : jatuh, resiko terjadi ulkus berulang. Mendiskusikan dan
mendemonstrasikan tehnik perawatan kaki, tehnik mengurangi tekanan
pada area kaki kanan dan lingkungan yang aman untuk klien.
Kalus yang terjadi pada kaki kanan Ny. S, disebabkan karena adanya
penekanan dimana kaki kanan menjadi tumpuan ketika klien memulai
berdiri. Dengan kondisi telapak kaki yang telah diamputasi & adanya kalus
dengan ulkus ditengahnya sangat beresiko terjadinya perluasan ulkus,
maupun perubahan bentuk kaki. Oleh sebab itu, menghindari penekanan
dan menggunakan alas kaki yang sesuai merupakan pencegahan yang dapat
dilakukan. Salah satunya dengan mengistirahatkan kaki, menghindari
tekanan pada kaki (non weight bearing) dan off loading.
Istilah off-loading dalam konteks luka kaki diabetik merujuk pada upaya
untuk mengurangi beban tekanan terutama pada daerah luka. Hal ini
merupakan tujuan utama dalam perawatan luka kaki diabetes. Off-loading
mencegah
trauma
lanjutan
pada
luka
dan
memfasilitasi
proses
penyembuhan terutama pada klien dengan neuropati sensoris. Penelitian
retrospektif dan prospektif menunjukkan bahwa peningkatan beban
tekanan pada daerah plantar merupakan penyebab terjadinya luka diabetes
pada daerah tersebut yang berakibat pada abnormalitas struktural dari kaki
seperti; claw-toe deformity dan charcot neuroarthropathy. Kombinasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
93
deformitas kaki, penurunan fungsi protektif, dan tidak adekuatnya offloading berdampak pada kerusakan jaringan dan ulserasi
Saat ini telah tersedia berbagai jenis sepatu khusus bagi penderita diabetes
(Protective footwear), dimana salah satunya yang terkenal sebagai ‘gold
standard’ adalah Total Contact Casts (TCCs). TCC merupakan sepatu
khusus bagi penderita diabetes yang dapat mendistribusikan beban tekanan
pada daerah plantar serta membatasi pergerakan daerah tumit, dengan
demikian penggunaan TCC dapat mengurangi tekanan hingga 87%.
Sayangnya penggunaannya masih jarang di klinis. Dimana hanya 2 % dari
praktisi yang menggunakan TCC untuk merawat luka kaki diabetes dengan
alasan kurangnya ketersediaan dan tenaga ahli dalam penggunaannya,
selain faktor lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemasangannya
dibandingkan alat lain (Waspadji.S, 2011; Perkeni, 2009).
Bahaya fisik lain yang mungkin terjadi pada Ny. S berhubungan dengan
komplikasi yang ditimbulkan. Hasil CCT menunjukan nilai GFR 56 ml/24
jam. Hal ini menunjukan penurunan fungsi ginjal pada stadium 2. Jika ini
tidak menjadi perhatian akan jatuh pada gagal ginjal kronik. Penurunan
fungsi ginjal merupakan salah satu komplikasi kronik dari DM yang
disebut nefropathy. Diabetik nefropathy terjadi pada 20–40% klien DM
dan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik (ADA, 2012). Rekomendasi
ADA 2012 untuk pencegahan dan penanganan pada kondisi ini adalah :
kontrol gula darah dan tekanan darah pada batas normal. Screening pada
penurunan fungsi ginjal dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urium,
kreatinin dan dan penghitungan GFR minimal 1 tahun sekali. Pembatasan
protein 0,8–1 gr/Kg BB berguna untuk mencegah kerusakan fungsi ginjal
lebih lanjut (ADA, 2012).
Evaluasi yang didapatkan pada hari ke 14 rawatan, ditemukan perilaku
adaptif pada mode aktifitas, proteksi dan interdependensi yang dapat
dilihat : Klien dan keluarga mampu mengenali resiko bahaya yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
94
mungkin terjadi akibat kondisi kaki. Keluarga mampu menyebutkan
lingkungan yang aman untuk klien dan memberikan lingkungan yang aman
saat dirawat di rumah sakit. adanya kemampuan klien menggunakan kaki
kiri sebagai tumpuan meningkat, klien mampu menggunanakan pinggir
tempat tidur sebagai pengaman saat mulai berdiri, keluarga mampu
melakukan perawatan kalus dengan benar. Perilaku inefektif yang masih
ditemukan diantaranya penglihatan klien masih buram, ulkus pada area
kalus masih ada walupun dengan ukuran yang mengecil. Tindaklanjut dari
perilaku inefektif yang masih ditemukan adalah mengkonsulkan klien ke
dokter spesialis mata dan melakukan perawatan ulkus.
3.3.1.4. Ketidakefektifan
manajemen
kesehatan
diri
berhubungan
dengan
pengetahuan yang tidak adekwat
NANDA 2012, mengklasifikasikan diagnose ini pada domain promosi
kesehatan.
Ketidakefektifan
penatalaksanaan
program
terapeutik
didefinisikan sebagai pola pengaturan dan pengintegrasian ke dalam
kebiasaan terapeutik kehidupan sehari-hari untuk pengobatan penyakit dan
gejala yang ditimbulkan yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan
kesehatan spesifik. Batasan karakteristik pada diagnose keperawatan ini
diantaranya kegagalan menerapkan program pengobatan, kegagalan dalam
melakukan tindakan mengurangi resiko, mengungkapkan keinginan untuk
mengatasi penyakitnya dan mengungkapkan kesulitan dalam pengobatan.
Masalah keperawatan ini ditegakkan pada Ny. S, karena ditemukan
perilaku yang merupakan komplikasi dari DM pada semua mode fisiologis.
Perilaku ini disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan
yang
ditunjukan
dengan
tidak
melakukan
diit
dengan
benar,
mengkonsumsi OHO tanpa pengawasan dokter dan menghentikan
pengobatan insulin karena keterbatasan dana. Semua perilaku ini
bersumber kepada informasi yang kurang tentang penatalaksanaan DM
pada Ny. S maupun keluarga sebagai pendamping dalam pengobatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
95
Intervensi yang diberikan kepada Ny. S dan keluarga untuk meningkatkan
perilaku adaptif pada masalah keperawatan ini
diantaranya dengan
menggali sumber–sumber kekuatan yang dimiliki keluarga dan klien dalam
meningkatkan manajemen kesehatan diri, mengikutsertakan keluarga dan
pasien jika kondisi memungkinkan dalam program edukasi kelompok,
mendiskusikan dengan klien dan keluarga hal–hal yang berhubungan
dengan penatalaksanaan, pearawatan dan komplikasi yang akan ditimbul
pada pasien DM.
Hasil evaluasi yang didapatkan dari Ny. S dan keluarga pada masalah tidak
efektifnya manajemen diri pada hari ke 6 perawatan didapatkan secara
kognitif klien dapat menyebutkan batasan nilai gula darah normal,
perencanaan makan untuk dirinya (jumlah, jenis dan jadwal), komplikasi
yang sudah ada di dalam dirinya serta pencegahannya. Psikomotor yang
dapat yang dapat dinilai,keluarga mengikutiprogram edukasi kelompok,
aktif bertanya kepada narasumber, dan menginformasikan kembali kepada
klien edukasi yang telah didapat.
Edukasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan
seseorang dan diharapkan dapat merubah perilaku kearah yang lebih baik.
Perilaku yang didasarkan pengetahuan dapat dipertahankan lebih lama
dibandingkan dengan sebaliknya (Notoatmojo, 2007). Diabetes Self
Management Education (DSME) merupakan salah satu bentuk edukasi
yang berkelanjutan tidak hanya memberikan pengetahuan, namun juga
meningkatkan perubahan perilaku dan sikap yang benar terhadap
penatalksanaan DM. Model edukasi dengan DSME, menekankan kepada
peran aktif pada penyandang DM untuk menggali informasi dan berdiskusi
dengan sumber informasi, sangat berbeda dengan model edukasi searah,
imana narasumber hanya menekankan kepada memberikan informasi.
Setelah
mendapatkan
informasi
dengan
metode
ini,
diharapkan
penyandang DM dapat memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
96
meningkatkan
kesehatannya,
sesuai
dengan
sumber–sumber
yang
dimilikinya.
International Diabetes Federation (IDF, 2009 dan ADA, 2012
menekankan bahwa setiap individu dengan DM dimanapun dia tinggal
berhak mendapatkan pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan DM
secara berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek klinis, perilaku dan
psikososial. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan bahwa setiap
penyelenggara kesehatan tingkat propinsi harus menyediakan pelayanan
pendidikan kesehatan dan educator melibatkan multisiplin profesi (dokter,
perawat, ahli gizi, apoteker, maupun pandu diabetes). Rekomendasi untuk
negara, bahwa negara memberikan support baik dalam hal kebijakan
maupun pendanaan untuk penyelenggaraan DSME ini. (IDF, 2009; ADA
2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Gumbs, 2012 tentang hubungan DSME
dengan perilaku perawatan diri
kepada
wanita Afrika Amerika
mendapatkan 53.6% telah mengikuti program DSME dan terjadi perubahan
perilaku dalam pemeriksaan gula darah, kunjungan ke pelayanan kaki dan
menunjukan nilai HbA1C yang menurun.
Metode edukasi lain yang dapat meningkatkan efikasi diri dan perubahan
perilaku penyandang DM adalah dengan melibatkan sesame penyandang
DM. Penelitian dengan Randomized controlled trial oleh Ghorob et al
2011 di Sanfransisko terhadap 400 penyandang DM dari berbagai
pelayanan kesehatan dibagi 2 kelompok: 200 orang pada kelompok dengan
pembinaan oleh penyandang DM yang telah dilatih dan 200 orang dengan
edukasi seperti yang biasa dilakukan. Pada bulan ke 6 dilakukan evaluasi,
pada kelompok perlakuan didapatkan nilai HbA1C yang menurun. Hasil
sekunder lain yang didapatkan yaitu terjadi penurunan pada tekanan darah,
indek masa tubuh, LDL dan kolesterol. Pada perilaku di dapatkan
perubahan dalam aktifitas perawatan diri, kepatuhan pengobatan,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
97
penurunan depresi dan peningkatan kualitas hidup. Hal ini menunjukan
edukasi dengan melibatkan sesame penyandang DM dapat berpengaruh
positif terhadap efikasi diri penyandang DM.
Penerapan DSME ini sudah dilakukan di RSUP Fatmawati, dimana
kegiatan edukasi sesuai rekomendasi IDF dilakukan setiap hari Rabu
dengan melibatkan klien dan keluarga.
Evaluasi yang didapatkan pada klien adalah didapatkannya perilaku adaptif
yang ditunjukan dengan peningkatan pengetahuan klien dan keluarga
mengenai DM dan perawatannya, keikutsertaan keluarga dalam program
edukasi kelompok, keterlibatan klien dalam perawatan dirinya : menyuntik
insulin sendiri, memilih makanan yang sesuai diit dan melakukan latihan
peregangan serta senam kaki di tempat tidur.
3.3.2. Mode Konsep diri
3.3.2.1. Kesiapan meningkatnya koping individu
Diagnosa ini merupakan kelompok diagnose sejahtera merupakan suatu
keputusan klinik tentang keadaan individu dalam transisi dari tingkat
sejahtera ketingkat sejahtera yang lebih tinggi atau dikenal dengan wellness
diagnoses. Pada diagnose sejahtera ini, etiologi tidak diperlukan.
Meningkatnya kesiapan koping individu didefinisikan sebagai upaya
kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan yang memadai untuk
kesejahteraan dan dapat ditingkatkan (NANDA, 2012; Wilkinson & Ahern,
2012). Batasan karakteristik pada diagnose ini diantaranya mengetahui
kekuatan dan kelemahan dirinya, menganggap stressor sebagai sesuatu
yang dapat diatasi,dan menggunakan sumber – sumber spiritual. Batasan
karakteristik ini diantaranya.
Intervensi yang dapat ditegakkan pada masalah koping ini meliputi
peningkatan system koping dan peningkatan system pendukung. Aktivitas
yang diberikan meliputi : menggali koping yang telah dimiliki oleh klien,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
98
menggali kemampuan klien dalam pemecahan masalah, mendiskusikan
sumber keluatan yang dimiliki klien, mendiskusikan penggunaan koping
dan kekuatan yang ada dalam diri Ny. S untuk meningkatkan koping.
Selain itu meningkatkan support system yaitu dengan melibatkan keluarga
(suami dan anak) untuk mendukung dan menguatkan koping yang dimiliki
klien.
Hasil evaluasi yang didapatkan pada hari ke 6 untuk masalah kesiapan
peningkatan koping individu didapatkan perilaku yang adaptif yaitu, klien
mengungkapkan bahwa kondisinya saat ini merupakan dampak
dari
ketidakpatuhan klien dalam penatalaksanaan DM, klien mengungkapkan
keinginannya menjalani sisa kehidupannya dengan badan yang sehat, dan
klien selalu aktif terlibat dalam perawatan dirinya : menentukan makanan
yang akan dimakan, mengambil keputusan terhadap alternative pengobatan
yang ditawarkan oleh dokter maupun perawat.
3.3.2.2. Kesiapan meningkatnya religiositas/Spiritual
Diagnosa ini didefinisikan oleh NANDA, 2012 sebagai kemampuan untuk
meningkatkan
berpartisipasi
karakteristik
ketergantungan
dalam
dari
ritual
diagnose
pada
tradisi
ini
keyakinan
agama
kepercayaan
dan
tertentu.
mengungkapkan
keinginan
atau
Batasan
untuk
memperkuat pola keyakinan agama yang sebelumnya biasa dilakukan,
memberikan ketenangan dan kenyamanan.
Intervensi keperawatan yang dapat ditegakkan untuk meningkatkan koping
individu dan untuk meningkatkan kesejahteraan konsep diri klien dalam
hal spiritual, meliputi : peningkatan aktifitas ibadah, dukungan spiritual,
dimana aktifitasnya meliputi diskusikan kebutuhan spiritual, sediakan
media untuk menjalankan kegiatan spiritual, berikan privasi selama klien
menjalankan
ibadah,
consultasikan
dengan
pembimbing
rohani
(Dochterman & Bulechek, 2008).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
99
Pada Ny. S ditegakkan diagnosa meningkatnya kesiapan religi/spiritual
dengan didukung oleh perilaku klien yang mengatakan selalu menjalankan
ibadah sebelum sakit. Saat ini ingin menjalankan ibadah (sholat), namun
merasa jika tubuhnya kotor oleh cairan luka. Ungakapan lain yang
menunjukan perilaku spiritual yang adaptif diantaranya klien menyatakan
berserah diri kepada Tuhan atas sakit yang dideritanya, karena ia yakin
pengobatan merupakan usaha dari manusia dan semuanya akan ditentukan
olehNya.
Intervensi yang lakukan kepada Ny. S diantaranya mendiskusikan tata cara
bersuci dan shalat saat sakit, mengajarkan cara tayamum dan sholat dengan
duduk,melibatkan keluarga dalam menyediakan perlengkapan sholat dan
tashbih,
memotivasi
untuk
melakukan
sholat
dan
berdo’a
dan
mempertahankan privacy saat sholat/berdo’a. Pada hari kedua dilakukan
asuhan keperawatan, keluarga klien membawakan peralatan sholat, klien
sudah menjalankan ibadah sholat dengan duduk dan terlihat berdzikir saat
tidak ada tindakan keperawatan.
Spiritual merupakan salah satu kebutuhan manusia, kebutuhan ini
didasarkan pada hubungan antara manusia dengan TuhanNya. Pada orang
yang dirawat dirumah sakit, pemenuhan kebutuhan spiritual menjadi
bagian sama dengan kebutuhan fisik maupun psikis pasien. Pemenuhan
kebutuhan spiritual ini menjadi tanggung jawab parawat. Pengamatan
praktikan di tempat menjalankan praktek residensi, belum ada dokumentasi
keperawatan yang mengangkat masalah spiritual dan pengamatan praktikan
terhadap pemenuhan kebutuhan ini jarang dilakukan oleh perawat.
Penelitian di US menunjukan bahwa 94 % dari pasien yang berkunjung ke
pelayanan kesehatan meyakini bahwa kesehatan spiritual sama pentingnya
dengan kesehatan fisik, 77 % meyakini bahwa kesehatan spiritual harus
menjadi bagian dari pelayanan kesehatan dan 80 % melaporkan petugas
kesehatan tidak menyentuh aspek spiritual dalam melakukan pelayanan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
100
kesehatannya (Anadarajah, 2001). Pemenuhan kebutuhan spiritual pasien
akan dapat membantu mereka beradaptasi dan melakukan koping terhadap
sakit yang dideritanya yang akhirnya akan meningkatkan meningkatkan
kualitas hidup pasien, Oswald (2004 dalam Rohman, 2009).
Terapi pendukung atau CAM (complementary and alternative medicine)
banyak digunakan oleh penderita DM diberbagai negara. Di Amerika para
penyandang DM yang menggunakan CAM berkisar antara 17 – 73 %. Dari
18 studi yang dilakukan oleh Chang, 2007 mendapatkan 50 % (9 studi)
menggunakan terapi spiritual sebagai terapi pendukung dan menunjukan
peningkatan kesehatan pada pasien DM ini (Arye, 2010).
Berdasarkan beberapa studi terkait, dengan kebutuhan spiritual sangat
diharapkan
pada
praktek
pelayanan
kesehatan
karena
terbukti
meningkatkan kesehatan fisik dan psikis. Peran perawat dalam pemberi
asuhan yang holistik tidak mengesampingkan kebutuhan spiritual dalam
praktek pelayanan kesehatan.
3.4. Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 32 Kasus kelolaan
Pada bagian ini praktikan akan membahas kasus–kasus lain yang praktikan kelola selama
praktikan menjalankan praktek residensi. Kasus yang praktikan kelola terdiri dari 32
kasus diabetes mellitus dengan berbagai komplikasi yang ditimbulkan. Secara rinci 32
kasus yang praktikan kelola diantaranya 11 kasus DM dengan ulkus kaki, 2 diantaranya
dilakukan amputasi mayor, 8 kasus dirawat karena komplikasi hyperglikemi dan
hipertensi 5 kasus DM dengan komplikasi CKD, 2 kasus dengan komplikasi akut KAD, 2
kasus dengan komplikasi infeksi pernafasan dan 1 kasus dengan infeksi kulit. Semua
kasus kelolaan dilakukan asuhan dengan pendekatan Model Adaptasi Roy. Analisis
terhadap kasus dilakukan berdasarkan masalah keperawatan yang ditimbulkan kemudian
dilakukan analisis mulai dari pengkajian, intervensi hingga evaluasinya
dengan
menggunakan Model Adaptasi Roy. Adapun hasil analisis pada ke 32 kasus kelolaan ini
adalah :
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
101
3.4.1. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah,
penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
Masalah keperawatan resiko infeksi atau infeksi yang meluas,pada kasus kelolaan
yang praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi ulkus
maupun dengan komplikasi CAP dan TB paru. Resiko infeksi yang terjadi pada
pasien DM disebabkan karena menurunnya vaskularisasi dan penurunan
kemampuan sel immune melakukan fungsinya dampakdari hiperglikemia
(LeMone, 2011). Dari 32 kasus kelolaan 11 pasien mengalami ulkus dan 2 pasien
dengan infeksi pernafasan.
Ulkus kaki diabetic merupakan kompliasi DM yang banyak dijumpai setelah
retinopati, hipertensi dan nefropathi. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam
perjalanan penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di
kaki (Taylor,2008; Clair.D, 2011). Di RSUP Fatmawati dicatat selama 6 bulan,
dari 123 pasien DM yang dirawat di unit perawatan penyakit dalam khususnya di
lantai 5 selatan jumlah pasien DM dengan ulkus kaki selama 36 orang (29.1 %)
dengan ulkus kaki.
Kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien DM yang
menyebabkan kelainan neuropati, infeksi dan kelainan pada pembuluh darah.
Neuropati,
baik
neuropati
sensorik,
matorik
maupun
autonom
akan
mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian
menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus (Waspadji, 2009). Neuropathi
sensorik perifer menjadi penyebab utama terjadinya berbagai trauma pada DM. 40
– 65 % ulkus diabetic terjadi karena murni gangguan neuropathy sensori dan 45 %
terjadi karena gabungan anatara neuropati dan vaskulopathy (Frykberg et al, 2006).
Pada kasus 11 kasus kelolaan, 7 pasien mengalami ulkus karena neuropathy
sensori. Namun dari hasi pengkajian kaki pada 11 kasus kelolaan menunjukan
hasil (-) pada pemeriksaan monofilament 10 gr
yang menunjukan adanya
neuropathy sensori. Neuropathy perifer pada DM terjadi melalui mekanisme
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
102
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang
berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,sintesis
advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan
aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada
kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama
rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati
yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua
tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan
tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena.
Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia.
Pengkajian ulkus DM terutama pada kaki menggunakan panduan PEDIS,
(Perfussion, Extend, Depth, Infection, and Sensation). Untuk menentukan kedalam
dan luas luka, disarankan untuk mencuci luka terlenih dahulu, sehingga
mendapatkan ukuran luka yang sebenarnya. Seluruh pasien kelolaan yang dengan
ulkus, didapatkan sudah terjadi infeksi baik local maupun sistemik dan penurunan
sensasi. Infeksi yang terjadi dapat dilihat dengan adanya eksudat yang purulen,
peningkatan suhu, dan dari pemeriksaan leukosit maupun culture luka. Luas dan
kedalaman luka bervariasi, namun sebagian besar kedalaman luka mencapai otot.
Perfusi diukur dengan palpasi arteri terdekat dengan luka dan dibandingkan
dengan kaki yang sehat.
Intervensi keperawatan yang dilakukan pada kelolaan dengan masalah infeksi
berdasarkan nursing intervention classification (NIC) dan panduan kaki diabetic
dari PERKENI, 2011 yaitu wound control, metabolism control dan infection
control. Aktifitas keperawatan yang dapat dilakukan diantaranya perawatan luka
dengan memperhatikan prinsip memberikan lingkungan yang lembab dan
pemilihan jenis topical terapi yang tepat, membuang jaringan nekrotik dan slough
dengan nekrotomi atau kolaborasi tindahan surgical debridement. Metabolisme
kontrol dilakukan dengan pemantauan gula darah, kolaborasi dalam perencanaan
diit termasuk pemberian protein tambahan dan pemberian terapi insulin. Kontrol
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
103
Infeksi dilakukan dengan mencegah kontaminasi mikroorganisme ke area luka
(prinsip steril saat mengganti balutan, dan pencucian area sekitar luka dengan
antiseptic). Untuk mengurangi koloni bakteri dalam luka terutama pada area
slough dapat dilakukan irigasi luka dengan tekanan 13 Psi. Irigasi ini
menggunakan spuit 12 cc dengan jarum 22G terbukti menurunkan infeksi
(p=0,017) dan inflamasi (p=0,031) (EBP level B), Joanna Briggs Institue, 2006.
Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur merupakan tindakan
yang tepat. Pengambilan kultur menjadi kunci dalam menentukan antibiotik yang
sensitif. Penggunaan metode Levine dalam pengambilan spesimen kultur luka
terbukti lebih sensitive dibandingkan dengan metode Z-stroke maupun metode
sederhana (p=0,001), Nata, 2012.
Hasil evaluasi yang praktikan lakukan pada 11 kasus dengan ulkus kaki, dengan
berbagai ukuran luka masalah infeksi dapat teratasi dengan waktu yang tercepat
pada minggu ke 2 perawatan. Faktor lamanya masalah ini selain dipengaruhi oleh
factor luka dan status metabolic, juga dipengaruhi oleh faktor usia, keputusan
keluarga
dalam
menyetujuai
tindakan
(pemberian
antibiotik,
tindakan
debridement, dan lain sebagainya).
3.4.2. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan, proses infeksi
Masalah keperawatan lain yang ditemukan pada kasus kelolaan adalah masalah
nyeri. Masalah nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensori yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang, bisa terjadi secara
perlahan atau tiba–tiba dengan intensitas mulai dari ringan hingga berat
(Wilkinson & Ahern, 2012; NANDA, 2012). Nyeri merupakan bentuk perilaku
adaptif yang ditemukan pada mode sensasi. Masalah nyeri ditemukan pada semua
pasien dengan ulkus pada rentang yang berbeda–beda, mulai dari nyeri sedang
hingga nyeri berat.
Nyeri yang terjadi pada ulkus DM selain karena adanya kerusakan jaringan juga
terjadi karena proses infeksi atau inflamasi. Menurut Black dan Hawk (2010)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
104
nyeri pada kondisi inflamasi atau infeksi ini terjadi sebagai akibat distensi pada
jaringan yang peka terhadap peregangan (distention of stretch-sensitive tissue)
terutama periosteum. Dalam keadaan inflamasi akan dilepaskan mediator kimia
(chemical mediators) antara lain histamin, bradikinin, prostaglandin, dan substansi
P, yang menstimulasi reseptor nyeri (nociceptor).
Nyeri merupakan respon inefektif yang ditemukan pada mode sensasi. Perilaku
yang ditunjukan dari nyeri ini berbeda–beda setiap individu begitu juga dengan
rentang nyeri. Pengamatan praktikan melakukan asuhan pada kasus kelolaan, nyeri
bertambah saat perawatan luka, mulai dari membuka balutan, irigasi hingga
debridement mekanik. Hanya 1 pasien yang praktikan temukan mengalami nyeri
terus menerus walaupun tidak sedang dilakukan perawatan luka, kondisi ini
diduga adanya nyeri neuropathi. Szor and Bourguignon (1999 dalam Dealay,
2005) melakukan survey kepada 32 pasien luka tekan menggunakan McGill Pain
Questionnaire di dapatkan 28 orang (87.5%) mengalami nyeri saat diganti balutan
dan sisanya nyeri yang terus menerus. Faktor yang berperan dalam peningkatan
nyeri saat diganti balutan diantaranya, balutan yang merekat pada luka, irigasi
luka, atau cemas dan takut (Bell & McCarty, 2010). Intervensi yang dilakukan
untuk mengurangi nyeri dari sisi penggantian balutan adalah pemilihan jenis
balutan dan memberikan lingkungan yang lembab pada area luka. Penelitian yang
dilakukan Kristanto H, 2010 pada 20 responden di dapatkan hubungan yang
signifikan (p= 0,0005) antara respon nyeri dengan kadar TGF β1 pada penggunaan
modern dressing.
Intervensi untuk meningkatkan koping regulator kognator pada pasien nyeri dapat
dilakukan dengan mengkombinasikan terapi farmakologid dan non farmakologis.
Intervensi mandiri dari perawat dengan mengembangkan berbagai terapi nyeri non
farmakologis ini. Bentuk terapi nyeri non-farmakologi yang dapat dilakukan pada
pasien , meliputi distraksi (distraction), relaksasi (relaxation), dan imajinasi
terbimbing (guided imagery) (Perry & Poter, 2010). Untuk mengatasi nyeri yang
terjadi pada pasien kelolaan, praktikan mengajarkan tehnik relaksasi yang bisa
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
105
dilakukan oleh pasien sebelum dilakukan ganti balutan, maupun saat dilakukan
ganti balutan.
Progressisve muscle relaxation (PMR) merupakan salah satu teknik relaksasi yang
dapat dilakukan oleh setiap individu untuk mengurangi stress dan kecemasan
(Borkove, Russcio, (2001 dalam Ghazavi, Abdeyaz dan, Attari, 2008). PMR
merupakan teknik untuk mengurangi stress dan kecemasan yang dikembangkan
oleh Edmund Jacobson (1920) dengan melakukan peregangan dan penekanan pada
otot. PMR melibatkan penekanan dan peregangan pada kelompok otot daerah
wajah, lengan, dada, perut dan kaki. Respon tubuh terhadap adanya stress salah
satunya adalah terjadinya ketegangan pada otot yang dapat menimbulkan
ketidaknyaman dan rasa nyeri. dapat dilakukan sebelum pasien dilakukan
perawatan luka.
Tehnik relaksasi lain yang dapat dilakukan saat balutan diganti adalah dengan
penggabungan tehnik relaksasi dengan terapi spiritual yang dikembangkan oleh
Benson & Proctor, (2000), yaitu dengan memusatkan perhatian pada suatu fokus
dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan berbagai
pikiran yang menggangu. Praktikan memodifikasi dengan sholawat nabi jika
pasiennya muslim, atau disesuaikan dengan agamanya.
Evaluasi
yang
didapatkan
nyeri
berkurang
dari
hari–kehari
dan
dan
ketergantungan pasien terhadap terapi analgetik dapat dikurangi, selain terjadi
penurunan tingkat stress saat diganti balutan. Namun demikian karena nyeri pada
ulkus DM termasuk nyeri kronik seringkali nyeri masih dirasakan hingga proses
penyembuhan.
3.4.3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berlebih/ kurang dari kebutuhan
tubuh
Perilaku inefektif pada mode fisiologi cairan dan elektrolit pada pasien DM yang
praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi gagal ginjal
kronik yang disebabkan oleh stimulus fokal adanya nefropati. Perilaku yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
106
ditemukan pada masalah ini adalah adanya tanda odema, sesak nafas yang terjadi
akibat penumpukan cairan di paru–paru, disertai pengeluaran urine yang sedikit,
uremia dan peningkatan kadar creatinin darah. Gejala yang timbul disebabkan
karena penurunan filtrasi gromerulus.
Di Amerika gagal ginjal atau Nefropati DM (ND) jumlahnya mencapai 44 % dari
semua kasus baru CKD, 40 % dari pasien yang menjalani hemodialisa atau
transplantasi ginjal (Porrth & Maftin, 2009 dalam LeMone, 2011). ND terjadi 30 –
40 % pada DM tipe 1 dan akan terjadi setelah 15–20 tahun mengalami DM, dan
terjadi ND pada 15 – 20 % dari seluruh penderita DM tipe 2 (Mc Phee&
Paadakins).
Intervensi yang dapat dilakukan pada masalah ini untuk meningkatkan koping
regulator diantaranya pemantauan terhadap intake & output cairan, pemantauan
tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan), pembatasan cairan sesuai dengan
balance cairan, pemberian posisi semifowler dan kolaborasi dalam penatalksanaan
hemodialisa. Penatalaksanaan untuk meningkatkan koping kognator, dilakukan
edukasi untuk pencegahan semakin menurunnya fungsi ginjal. Edukasi difokuskan
untuk : 1). pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes; 2).
Pengendalian tekanan darah (diit rendahgaram dan kontro tekananan darah dengan
obat antihipertensi sesuai program pengobatan); 3). Pencegahan fungsi ginjal (diit
rendah protein ). Hasil evaluasi menunjukan pasien menunjukan perilaku adaptif
pada hari ke 6 sampai hari ke 12 tergantung pada stadium.
Masalah cairan pada pasien DM tidak hanya masalah kelebihan, namun masalah
kekurangan cairan juga dapat ditemukan pada kasus komplikasi akut ketoasidosis.
Ketoasidosis didefinisikan sebagai keadaan dekompensasi dari gangguan
metabolic ditandai dengan hiperglikemia, asidosis dan ketosis. Dua kasus yang
praktikan kelola disebabkan karena proses infeksi, namun keduanya tidak
mengetahui jika dirinya menderita DM. Masalah utama yang didapatkan pada
KAD adalah pada inefektif cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh dan
masalah keseimbangan asam basa.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
107
Pada kondisi KAD ini, inefektif kebutuhan cairan dan elektrolit terjadi karena
dieresis osmotic akibat hyperglikemia. Pengeluaran cairan yang berlebih dapat
mengakibatkan pasien jatuh ke kondisi dehidrasi hingga syok. Selain itu masalah
keseimbangan asam basa juga masalah yang mengancam kehidupan pasien.
Lipolisis terjadi karena penurunan insulin dan peningkatan hormone kontralateral
pada akhirnya meningkatkan benda keton yang akan menurunkan pH darah.
Mengatasi masalah inefektif cairan, elektrolit serta keseimbangan asam basa harus
dicapai tidak lebih dari 24 jam. Kolaborasi dalam pemberian cairan, pemberian
insulin dan pemantauan elektrolit merupakan intervensi yang harus dilakukan.
Intervensi lain adalah dengan mengatasi sumber hyperglikemia seperti infeksi dan
stress psikologi. Dari pengamatan praktikan, tindakan untuk mengatasi KAD
seperti pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap jam atau 2 jam sekali pada 6
jam pertama, kemudian pemeriksaan laboratorium lain untuk pemantauan
elektrolit, ketosis maupun asidosis merupakan sumber stress psikologis yang akan
berpengaruh kepada peningkatan hormone kontra regulator. Pemberian informasi
terhadap tindakan yang akan diterima pasien menjadi kewajiban perawat untuk
melakukannya. Selain itu pendampingan oleh keluarga terdekat selama tindakan
terbukti mengurangi stress yang dialami. Pada kedua pasien KAD yang praktikan
kelola, masalah inefektif cairan dapat teratasi pada 6 jam pertama.
3.4.4. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi,
perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
Resiko injuri atau bahaya fisik ini merupakan antisipasi terhadap berbagai
kemungkinan timbulnya gangguan pada fisik akibat perilaku adanya penurunan
pada mode sensasi. Bertolak dari banyaknya kejadian ulkus kaki pada pasien DM,
awal terjadinya ulkus rata–rata tidak mengetahui penyebabnya. Hal ini terjadi
karena penurunan sensasi baik pada kaki yang disebabkan oleh neuropathy perifer.
Selain itu pengetahuan yang kurang dan perilaku yang salah dalam perawatan kaki
menjadi stimulus kontekstual yang selalu pada pasien ulkus.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
108
Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus pada kaki, pengkajian kaki merupakan
tindakan yang efektif untuk menemukan resiko terjadinya ulkus dan dengan
intervensi yang tepat pada setiap resiko ulkus yang ditemukan akan mencegah
terjadinya ulkus 40 – 80 % (Taylor, 2008).
Selain pengkajian kaki, edukasi untuk perawatan kaki secara mandiri
(pemeriksaan kaki oleh pasien atau dibantu keluarga, pencucian, menggunting
kuku, menggosok kalus) menjadi bagian penting dalam pencegahan terjadinya
ulkus. Model edukasi yang dilakukan pada perawatan kaki akan lebih dipahami
oleh pasien jika dilakukan dengan mendemonstrasikan langsung atau memberikan
tayangan visual (video).
Kendala yang praktikan hadapi saat menerapkan pengkajian kaki di rawat jalan
sebagai bagian dari pelayanan primer adalah banyaknya kunjungan pasien yang
datang, waktu kunjungan yang singkat dan tempat yang terbatas. Poli kaki diabetic
sebagai bagian dari poli penyakit dalam belum melakukan perannya sebagai upaya
preventif, namun lebih kepada upaya kuratif dalam mengatasi pasien yang sudah
mengalami ulkus. Sementara itu, kendala yang awalnya ditemukan di rawat inap
saat melakukan pengkajian kaki adalah keterbatasan alat pemeriksaan. Namun
pada akhirnya kendala ini (rawat inap) dapat segera diatasi dengan adanya
kegiatan inovasi.
3.4.5. Mode Konsep Diri (Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan,
perubahan status peran dan ancaman status kesehatan
Dari 32 pasien yang praktikan kelola, 22 pasien (68,8%) mengalami masalah pada
konsep diri yaitu kecemasan. Kecemasan yang dialami tidak hanya bersumber dari
penyakitnya (adanya ulkus, penyakit kronis) namun juga akibat tindakan yang
dilakukan (perawatan luka, pemeriksaan gula darah yang sering). Masalah
perubahan peran terutama bagi wanita yang harus meninggalkan peran utamanya
sebagai ibu atau pasien pria yang harus menghidupi keluarganya juga ditemukan
pada kasus kelolaan yang praktikan lakukan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
109
Masalah keperawatan kecemasan di definisikan sebagai perasaan tidak nyaman
atau kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber seringkali tidak
spesifik atau tidak diketahui oleh individu) ; perasaan takut yang disebabkan oleh
antisipasi
terhadap
bahaya.
Merupakan
isyarat
kewaspadaan
yang
memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk
bertindak menghadapi ancaman (NANDA, 2012). Kecemasan yang dirasakan
pasien DM akan berdampak pada masalah fisik seperti nyeri yang bertambah,
gangguan tidur, perubahan pada tekanan darah hingga mempengaruhi stabilitas
gula darah dan system imun. Pengaruh kecemasan terhadap kondisi diatas dapat
dijelaskan melalui psikoneuroimunoendokrinologi.
Sistem endokrin : stres psikis dan psikososial berdampak terhadap peningkatan
aktivitas hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) melalui Corticotropin Releasing
Factor (CRF). CRF berperan sebagai koordinator respon antara sel saraf terhadap
stres tersebut. CRF menginstruksikan saluran-saluran pituitary pada otak untuk
mengeluarkan ACTH (Adrenoccorticotropic Hormon) yang mengaktifkan korteks
adrenal untuk mengeluarkan hormone corticoid. Corticoid berupa glucocorticoid
mengeluarkan kortisol dan mineralocorticoid yang mengeluarkan aldosteron.
Aldosteron dapat meningkatkan tekanan darah sedangkan kortisol mempunyai
beberapa fungsi. Fungsi pertama kortisol meningkatkan gula darah untuk energi
dan memobilisasi free fatty acids dari jaringan adiposa. Lapisan lemak ini dipecah
menjadi protein yang meningkatkan tekanan darah arteri, sehingga mempunyai
bahan bakar untuk mempersiapkan proses hadapi (munculnya stresor). Fungsi
kortisol yang kedua menyebabkan perubahan fisiologi yang sangat bermakna,
yaitu menurunkan pelepasan limphosit dari saluran timus dan lymphnodes.
Limphosit ini penting untuk sistem imun. Jika kortisol meningkat berdampak pada
penurunan efektifitas respon sistem imun. Padan sistem saraf otonom : pesan
dikirim melalui bagian posterior dari hipotalamus melalui saraf ke adrenal
medulla. Pada proses ini terjadi pengeluaran epinephrine dan nor-epinephrin. Ini
menunjukan kaitan yang erat antara stres, neuro dan imunitas. Selanjutnya aspek
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
110
psikologis seperti stres dapat mempengaruhi ekspresi sel Th1dan Th2 yang akan
menghambat imunitas seluler dan humoral
Intervensi keperawatan yang dilakukan pada masalah kecemasan ini diantaranya
dengan menggali sumber stress melalui pengkajian stimulus, mendiskusikan
dengan klien kekuatan yang dimiliki, mengguanakan berbagai tehnik relaksasi
seperti PMR, dan meningkatkan keyakinan spiritual pasien sebagai salah satu
sumber kekuatan dari dalam diri pasien.
Meningkatkan keyakinan spiritual sebagai upaya meningkatkan kesehatan fisik
dan mental belum sepenuhnya menjadi bagaian dari asuhan keperawatan
gangguan kecemasan khususnya tempat praktikan menjalani paraktik. Dari hasil
pengkajian kebutuhan spiritual beberapa pasien meninggalkan kegiatan spiritual
(sholat) yang sebelumnya selalu dilakukan. Stimulus yang ditemukan pada kondisi
ini diantaranya karena ketidaktahuan pasien dalam menjalankan kegiatan spiritual
saat sakit, karena motivasi yang kurang atau karena tidak tersedianya fasilitas
untuk menjalankan praktek spiritual (Mukena, sajadah, injil, dan lainnya).
Intervensi yang dapat dilakukan pada kondisi ini adalah meningkatkan keyakinan
pasien bahwa spiritual akan membantu proses penyembuhan, mendiskusikan cara
ibadah saat sakit dan melibatkan keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk
ibadah.
Evaluasi yang ditemukan pada pada masalah kecemasan, didapatkan perilaku
adaptif seperti : pasien mampu mengungkapkan sumber kecemasnnya, mampu
mengembangkan koping yang baik untuk mengatasi kecemasannya, ungkapan
menerima kondisi sakitnya dan motivasi dalam menjalankan perawatannya. Waktu
yang dapat dicapai untuk mengatasi berentang antara hari ke 3 hingga ke 7.
Pencapain ini dipengaruhi juga oleh support system dari keluarga,dan maslah
financial. Oleh sebab itu, melibatkan support dari keluarga menjadi hal yang
utama pada intervensi kecemasan.
Setelah praktikan melakukan asuhan keperawatan dengan menerapkan model adaptasi
Roy, pada pasien gangguan endokrin khususnya untuk kasus DM, praktikan dapat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
111
menggambarkan bahwa MAR merupakan salah satu model asuhan keperawatan yang
dapat dilakukan secara holistic. Pengkajian yang dilakukan pada empat mode telah
mencakup masalah bio, psiko, social dan kultural. Pengkajian tidak hanya pada perilaku
yang dapat dilihat, diukur dan diobsevasi, namun MAR menggali lebih lanjut penyebab
dari timbulnya setiap perilaku, yaitu melalui pengkajian tahap dua. Pengkajian yang
komprehensif akan menentukan intervensi yang tepat. MAR mengarahkan bahwa
penetapan intervensi keperawatan dengan menggurangi stimulus yang ada sebagai sumber
penyebab perilaku maladaptif /inefektif dan keberhasilan intervensi ditunjukan dengan
perubahan perilaku kearah adaptif.
Kelemahan lain dari MAR yang praktikan rasakan adalah pola pengkajian yang tidak
dapat dilakukan secara utuh pada kasus kegawatan terutama di unit gawat darurat dan pada
unit rawat jalan. Pada unit gawat darurat, pengkajian utama yang kita lakukan lebih
kepada mode fisiologi yang saat itu dirasakan oleh pasien, sehingga pengkajian untuk
mode yang lain sulit untuk dilakukan. Selain karena masalah fisiologi yang harus segera
diatasi, pasien akhirnya akan dipindahkan ke unit lain. Begitu juga dengan pasien di poli
rawat jalan. Singkatnya waktu yang digunakan untuk melakukan asuhan keperawatan
menyulitkan MAR ini digunakan. Masukan yang dapat praktikan usulkan berhubungan
dengan penerapan MAR di unit gawat darurat, format pengkajian hingga intervensi dibuat
dengan model Check list . Pada mode adaptasi yang belum terkaji dapat ditindaklanjuti di
tempat pasien tersebut menjalani perawatan.
Kesulitan lain yang praktikan dapatkan dalam menentukan diagnose sejahtera. Diagnosa
keperawatan sejahtera didefinisikan sebagai ketentuan klinis mengenai individu
dalamtransisi dari tingkat kesehatan khusus ke tingkat kesehatan yang lebih baik.
Diagnosa ini menggabungkan fungsi positif yang didapatkan. Pada MAR dalam
menentukan masalah keperawatan berorientasi pada perilaku inefektif. Ketika ditemukan
perilaku inefektif dan didukung dengan perilaku adaptif, ini merupakan kondisi khusus
untuk menuju terjadinya peningkatan fungsi kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini,
praktikan menggunakan panduan NANDA dalam menentukan diagnose keperawatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
112
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
113
BAB 4
PRAKTEK BERDASARKAN PEMBUKTIAN
PENGKAJIAN KAKI SEBAGAI DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI
PADA PASIEN DM TIPE II
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa
darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang
disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini
dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi
vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Komplikasi kronik
yang sering dijumpai diantaranya adalah kaki diabetik yang dapat bermanifestasi sebagai
ulkus, infeksi dan gangren. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam perjalanan
penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di kaki (Taylor, 2008;
Clair.D, 2011).
Prevalensi penderita ulkus Diabetes di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%,
angka mortalitas 32% dan ulkus diabetes merupakan sebab perawatan rumah sakit yang
terbanyak sebesar 80% untuk Diabetes mellitus (Hastuti, 2008). Dampak dari timbulnya
ulkus pada penderita Diabetes, tidak hanya dari tingginya biaya perawatan namun lebih
jauh akan menurunkan produktifitas penderita, gangguan konsep diri hingga
menurunnya kualitas hidup.
Pengelolaan kaki diabetes sudah dimulai saat seseorang dinyatakan menderita Diabetes
mellitus, meskipun belum timbul luka atau ulkus. Langkah awal untuk melakukan
pengelolaan dengan tepat adalah melakukan screening atau deteksi dini terhadap kaki
pendereita diabetes. Deteksi dini yang optimal dapat menurunkan resiko terjadinya ulkus
kaki dan amputasi sebesar 40 – 85% (Taylor, 2008; Yudovsky et al, 2011).
Deteksi dini pada gangguan kaki diabetik merupakan salah satu kegiatan dalam
pengkajian keperawatan yang harus dilakukan oleh seorang perawat. Pengkajian yang
akurat dan komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada
pasien dan selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat (Perry &
Poter, 2010). Screening atau deteksi terhadap resiko ulkus kaki diabetik yang dilakukan
oleh Malgrange et al, tahun 2003 di 16 pusat pelayanan diabetik di Perancis terhadap
555 pasien, ditemukan 72,8% beresiko rendah mengalami ulkus pedal dan 17,5 % berada
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
114
pada klasifikasi resiko tinggi. Dari deteksi tersebut disimpulkan bahwa hasil deteksi
menjadi dasar bagi penyelenggara pelayanan kesehatan untuk merencanakan strategi
pencegahan terhadap kejadian ulkus diabetik. Pada studi comparative yang dilakukan
oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada pasien diabetes di
Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania ditemukan masalah
resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di Swedia. Faktor yang
berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia dikarenakan Swedia
merupakan negara yang lebih maju dibandingkan Tanzania terutama dalam pelayanan
kaki diabetik. Disampaikan bahwa pengkajian kaki diabetik telah dilakukan pada pasien
diabetik sebagai langkah awal dalam pencegahan ulkus diabetik. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Rerkasem et al, 2007 dalam Taylor.M.C,2008 terhadap 171 penderita
ulkus kaki diabetik di Chiang Mai University Hospital, menggunakan metode cohort
membandingkan perawatan standar dengan diabetik foot protocol (DFP) terhadap
kejadian amputasi. Hasil penelitian menunjukan adanya penurunan kejadian amputasi
baik mayor maupun minor pada kelompok dengan perlakukan DFP yang meliputi
pengkajian, intervensi dan monitoring kaki diabetik.
Pengkajian kaki secara komprehensif sebagai upaya deteksi dini terhadap ulkus diabetik
seharusnya dilakukan pada semua penderita Diabetes. RNAO,2005;Farber &
Farber,2007 dalam Taylor,M.C, 2008 dan ADA, 2011, menguraikan komponen penting
dalam pengkajian kaki diabetik berdasarkan penyebab gangguan pada kaki diabetik yang
meliputi : riwayat hiperglikemia, faktor resiko seperti merokok dan riwayat penyakit
vaskuler , riwayat ulkus dan amputasi, neuropati, vaskularisasi, deformitas pada
musculoskeletal, kondisi kuku kulit, adanya infeksi,serta penggunaan alas kaki. Pada
akhirnya, dari hasil pengkajian dapat diklasifikasikan terhadap resiko terjadinya ulkus
kaki diabetik. Salah satu klasifikasi yang banyak digunakan adalah klasifikasi yang
dikembangkan oleh International Working Group on the Diabetik Foot tahun 1999.
Resiko kaki diabetik dibagi dalam 4 klasifikasi (IWGDF, 2001).
Selanjutnya pada bab ini akan dipaparkan hasil analisa dan sintesa secara kritis terhadap
berbagai hasil penelitian yang berhubungan dengan pengkajian kaki sebagai upaya deteksi
dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik. Praktikan juga akan memaparkan pengalaman
praktikan dalam melaksanakan praktek berdasarkan pembuktian (EBN) pada kasus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
115
kelolaan. Pada tahap akhir, praktikan akan melakukan penelaahan terhadap pengalaman
melakukan EBN pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki
diabetik.
4.1.Hasil Journal Reading (Critical Review)
Dalam penerapan praktek berdasarkan pembuktian, langkah awal yang dilakukan
adalah penelusuran literatur melalui EBSCO data bases; CINAHL, Proquest dan
MEDLINE. Kata kunci yang digunakan yaitu: diabetik foot, ulcer diabetik,
assessment diabetik foot, dan diabetik foot screening. Selanjutnya dilakukan review
kritis pada literature yang mendukung.
1. Judul artikel : Foot Assessment in type 2 Diabetes:an evidence-based practice
approach oleh Taylor M.C, 2008 .
Merupakan sebuah sistematik review yang menganalisis berbagai Evidence Based
Nursing Practice dengan berbagai tingkatan atau level mengenai pengkajian kaki
diabetik. Literatur dari artikel ini didapatkan dari tiga EBN pada level 1, tiga
EBN Level II, tidak ditemukan EBN dengan level III, empat EBN level IV, empat
EBN level VI dan lima EBN pada Level VII. Latar belakang dari ini sistematik
review adalah bahwa gangguan kaki merupakan penyebab
kesakitan pada
penderita Diabetes tipe 2. Ulkus kaki diabetik juga menjadi penyebab terbanyak
amputasi pada kaki bagian bawah. Salah satu upaya termudah dalam mendeteksi
adanya gangguan pada kaki dan akhirnya mengurangi kejadian amputasi adalah
dengan melakukan pemeriksaan atau pengkajian pada kaki secara menyeluruh,
cermat dan konsisten pada setiap kunjungan. Pada kaki penderita diabetes tanpa
gangguan vaskuler, neurophati, maupun deformitas pemeriksaan dapat dilakukan
minimal satu tahun sekali. Sayangnya ketika penderita Diabetes berkunjung ke
pelayanan primer untuk kontrol penyakitnya (kunjungan rutin) penderita Diabetes
ini jarang ditanyakan mengenai masalah kaki, perawatan kaki yang dilakukan,
penggunaan alas kaki apalagi diminta untuk membuka kaus kaki dan alas kakinya
untuk dilakukan pemeriksaan kaki.
Dalam sistematik review ini, Taylor M.C., 2008 mempunyai tujuan mereview dan
mensintesis literature yang berbasis bukti bagaimana pengkajian kaki pada pasien
diabetes pada pelayanan primer atau rawat inap untuk mendeteksi adanya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
116
neurophati, deformitas, penurunan vaskularisasi dan perkembangan ulkus. Pada
akhirnya berdasarkan klasifikasi hasil pengkajian kaki direkomendasikan
intervensi untuk menurunkan komplikasi ulkus pada Diabetes tipe 2. Berdasarkan
analisis didapatkan pertanyaan PICO pada literature ini adalah apakah pengkajian
kaki yang selalu dilakukan pada pasien Diabetes tipe 2 di pelayanan primer
maupun rawat inap dapat menurunkan resiko komplikasi pada ekskremitas bawah.
Taylor, M.C, 2008 menguraikan PICO pada artikel ini sebagai berikut : Population
(P) atau populasi pada EBN ini semua penyandang Diabetes tipe 2 tanpa ulkus.
Intervensi (I) atau tindakan yang dilakukan adalah pengkajian kaki. Comparation
(C) atau pembanding dari penerapan EBN ini, dinyatakan tidak ada pembanding.
Dijelaskan oleh Taylor, bahwa pengkajian kaki pada pasien diabetes tipe 2 telah
menjadi panduan standar Internasional dan sebagai EBN level 1. Outcome (O) atau
hasil akhir yang diharapkan adalah teridentifikasinya resiko kaki diabetes melalui
pengkajian kaki dan pada akhirnya dengan intervensi yang sesuai oleh
multidisiplin keilmuan/profesi akan menurunkan komplikasi ekskremitas bawah
seperti ulkus diabetik.
Validitas dan reliabilitas pada systematic review ini disampaikan bahwa pengkajian
kaki yang direkomendasikan ini merupakan pengkajian standar pada level 1 yang
telah menjadi panduan internasional. EBN level 1 didefinisikan sebagai evidence
yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai randomized
control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review pada RCT. Pada
systematic review ini, EBN level 1 yang digunakan adalah rekomendasi dan
panduan pengkajian kaki dari American Diabetik Association (ADA), 2008 dan
American Association of Clinical Endokrinologist (AACE), 2007, sebagai berikut :
a.
ADA dan AACE merekomendasikan untuk melakukan deteksi terhadap
neuropathi khususnya pada yang pertama kali terdiagnosis DM tipe 2 dan
dilakukan minimal satu tahun sekali (level A).
b.
AACE : melakukan pemeriksaan kaki pasien DM tipe 2 pada setiap
kunjungan dengan mengevaluasi kondisi kulit, kuku, nadi, temperature,
adanya tekanan dan kebersihan kaki (Level B)
c.
ADA : melalukan inspeksi kaki penderita DM tipe 2 pada setiap kunjungan
jika didapatkan neuropati (level B)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
117
d.
ADA dan AACE : melakukan uji monofilament, garpu tala, palpasi, dan
inspeksi untuk melakukan pengkajian kaki yang komprehensif (level B)
e.
Melakukan rujukan kepada spesialis perawatan kaki pada kondisi penurunan
sensasi, perubahan mekanik kaki, riwayat merokok atau adanya riwayat
komplikasi kaki sebelumnya ( level C)
f.
ADA : melakukan pengkajian adanya Peripheral Arterial Disease (PAD)
dengan melakukan palpasi pada arteri pedal dan melakukan pemeriksaan
Angkle Brachial Index (ABI) untuk mendiagnosis adanya penurunan sirkulasi
vaskuler (level C)
g.
ADA dan AACE : pentingnya melakukan edukasi mengenai perawatan kaki
dan modifikasi gaya hidup sesuai panduan (Level B).
Rekomendasi yang dibuat pada systematic review ini adalah :
a.
Pemeriksaan kaki sejak awal pada penderita Diabetes di pelayanan primer
akan mampu mendeteksi gangguan pada kaki seperti gangguan sensasi
(neurophati),gangguan vaskuler maupun deformitas, yang akan menghambat
perkembangan ulkus pada kaki
b.
Deteksi dini gangguan pada kaki diabetik akan menurunkan angka kematian
yang berhubungan dengan Diabetes tipe2
c.
Perawatan pasien Diabetes dengan berbagai komplikasi termasuk ulkus
diabetik akan meningkatkan pembiayaan, sehingga deteksi dini terhadap
masalah kaki diabetik akan menurunkan biaya perawatan
d.
Pelayanan kesehatan primer mempunyai peranan penting dalam mendeteksi
gangguan kaki dan melakukan pencegahan dengan memberikan edukasi dan
perawatan kaki, melakukan pemantauan pada setiap kunjungan atau
melakukan pemeriksaan kaki sesuai yang direkomendasikan
2.
Judul Artikel : Effectivenness of the diabetik foot risk classification system of the
International Working Group on the Diabetik Foot oleh
Edgar J.G. Peters &
Lawrence A. Lavery pada tahun 2001.
Tujuan dari penelitian ini adalah menilai efektifitas klasifikasi kaki berdasarkan
klasifikasi yang dikembangkan oleh IWGDF. Desain dan metode penelitian :
menggunakan sample 225 pasien diabetes yang pada awalnya menjadi bagian dari
studi case control di University of Texas Health Science Center di San Antonio.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
118
Pada akhirnya hanya 213 pasien yang diamati selama 29 bulan. Sample kemudian
dikelompokkan menjadi 4 kelompok sesuai consensus IWGDF, yaitu 0 untuk kaki
tanpa neuropati, 1 dengan neuropati tetapi tidak ada deformitas maupun PVD, 2
merupakan kelompok sengan neuropati dan deformitas atau PVD dan kelompok 3
pasien dengan riwayat ulkus maupun amputasi.
Hasil penelitian di dapatkan pada kelompok resiko tinggi mempunyai riwayat
diabetes lebih lama, glukosa yang tidak terkontrol, adanya gangguan pembuluh
darah dan neuropati serta adanya komplikasi sistemik. Diamati selama tiga tahun
ulkus kaki terjadi 5.1 % pada kelompok 0, 14,3% pada kelompok 1, 18,8% pada
kelompok 2 dan 55,8 % pada kelompok 3 (P<0,001). Kejadian amputasi
ditemukan pada kelompok 2 sebanyak 3,1% dan kelompok 3, 30,9% (P < 0.001).
Pada akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa klasifikasi menurut IWGDF
dapat digunakan sebagai alat untuk screening dan mencegah komplikasi kaki
diabetik.
3.
Judul Artikel : Do foot examinations reduce the risk of diabetik amputations oleh
Mayfield, reiber, Nelson & Greene, tahun 2000.
Penelitian ini dilatarbelakangi bahwa pemeriksaan kaki telah direkomendasikan
sebagai metoda untuk mengurangi resiko amputasi, tetapi karena belum ada
penelitian yang dilakukan untuk melihat efek independen dari pemeriksaan kaki
ini terhadap penurunan resiko amputasi.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan desain
retrospektif case control, diwilayah Arizona dengan melibatkan 244 sampel yang
terdiri dari 61 kasus amputasi ekskremitas bawah pada 1 januari 1985 dan 31
Desember 1992. Dan 183 kasus control yaitu pada pasien yang tidak diamputasi
pada tanggal 31 Desember 1992. Penelitian dilakukan dengan mencatat hasil
pemeriksaan kaki, komplikasi atau penyakit penyerta, faktor resiko ulkus selama
36 bulan dari medical record.
Hasil penelitian menunjukan total pemeriksaan yang dilakukan sebanyak 1857
kali pada 244 sampel. Rata – rata pemeriksaan dilakukan sebanyak 7 kali pada
kasus dan 3 kali pada control. Resiko amputasi pada orang yang dilakukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
119
pemeriksaan kaki 1 kali atau lebih menunjukan OR 0.55 (95% CI,02-1,7, P
=0,31). Resiko amputasi berhubungan dengan ketidakpatuhan terhadap perawatan
kaki yang direkomendasikan menunjukan hasil OR 1,9 (95% CI, 09-4,3, P =0,10).
Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini gagal membuktikan bahwa pengkajian
kaki dapat menurunkan resiko amputasi, namun pengkajian kaki mampu
mendeteksi kondisi resiko tinggi untuk amputasi sehingga intervensi yang tepat,
akan menurunkan kejadian amputasi.
Hasil critical review pada 3 jurnal yang saling mendukung, selanjutnya akan diterapkan
pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini kaki diabetic, berdasarkan jurnal yang
ditulis oleh Taylor, 2008 dengan judul “Foot Assessment in type 2 Diabetes:an
evidence-based practice approach”
4.2. Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian
Dalam
pelaksanaan
praktek
berdasarkan
pembuktian
(EBN)
ini
praktikan
menggunakan hasil systematik review dari Taylor M.C, 2008. Systematik review ini
masuk ke dalam katagori EBN level 1. Sesuai definisi EBN level 1 adalah sebuah
evidence yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai
randomized control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review dengan
RCT (Taylor M.C,2008).
Penerapan EBN ini dilakukan ditempat praktek (RS.Fatmawati), dengan terlebih
dahulu melalui pengamatan fenomena selama praktikan melaksanakan praktek
residensi 1 dan 2. Hasil penelusuran data, didapatkan
bahwa pasien Diabetes
menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak pada tahun 2010 di RSUP.
Jumlah pasien diabetes yang dirawat khususnya di ruang rawat inap penyakit dalam
di gedung Teratai lantai 5 Selatan pada bulan September 2011 hingga Februari 2012
sebanyak 123 pasien terdiri dari 36 (29.1 %) pasien mengalami ulkus diabetik dan
87 (69.9 %) pasien dengan tanpa ulkus. Prosentase data rawat inap pasien ulkus ini,
lebih tinggi dibandingkan dengan prosentase ulkus di Indonesia yang berjumlah 15%
dari seluruh kasus Diabetes di Indonesia. Berdasarkan angka tersebut dapat kita
cermati bahwa jumlah pasien diabetes melitus dengan tanpa ulkus cukup tinggi,
sehingga hal ini perlu menjadi perhatian untuk memberikan intervensi yang tepat
sehingga tidak berlanjut pada ulkus diabetik. Intervensi awal yang dapat dilakukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
120
adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya mengetahui resiko terjadinya ulkus
pada pasien diabetes tersebut.
Penerapan EBN ini mulai dilaksanakan pada minggu ke dua Maret hingga awal
minggu pertama bulan Mei 2012. Dalam pelaksanaannya praktikan melibatkan sesama
residen, mahasiswa program aplikasi dan juga perawat ruangan. Langkah pertama
pada penerapan EBN ini adalah menginformasikan rencana kegiatan kepada
management ruangan dan selanjutnya melakukan sosialisasi. Pemilihan pasien
disesuaikan dengan kriteria, yaitu pasien DM tipe 2 tanpa ulkus kaki, tidak mengalami
sakit berat maupun penurunan kesadaran. Format yang digunakan sebagai panduan
pengkajian adalah format status kaki diabetes yang telah dimiliki oleh rumah sakit
Fatmawati. Format ini khususnya untuk pengkajian kaki secara keseluruhan sudah
sesuai dengan rekomendasi dari EBN yang digunakan. Penerapan EBN ini dilakukan
pada 20 responden yang sesuai kriteria. Semua pasien merupakan penderita DM tipe 2
terdapat 3 pasien (15%) baru terdiagnosis diabetes. Pelaksanaan pengkajian kaki
pasien DM, dimulai dengan mengisi identitas pasien yang meliputi nama,usia, dan
nomer register. Selanjutnya dilakukan pengisian hasil laboratorium meliputi nilai gula
darah sewaktu dan nilai HbA1C yang dapat dilihat dari status pasien. Selanjutnya
dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik terutama pada area kaki. Berikut ini
kegiatan pada pengkajian kaki diabetik.
4.2.1. Anamnesa
Anamnesa atau wawancara yang dilakukan meliputi status kesehatan yang
mempengaruhi proses terjadinya kaki diabetik diantaranya adalah lamanya
menderita diabetes. Riwayat penyakit yang akan mempengaruhi kaki diabetik
seperti adanya penyakit kardiovaskuler, gangguan peripheral vaskuler, adanya
gangguan penglihatan, riwayat pembedahan pada pembuluh darah atau
amputasi dan riwayat ulkus kaki sebelumnya. Pola hidup yang ditanyakan
terkait dengan kaki diabetik meliputi, penggunaan alas kaki, merokok dan
konsumsi alcohol. Keluhan pada kaki seperti hilang rasa, kesemutan dan nyeri
pada area kaki termasuk klaudikasio merupakan hal yang harus ditanyakan
pada pasien.
4.2.2. Pemeriksaan fisik
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
121
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan olfaksi dan
pemeriksaan khusus. Observasi pertama yang dilakukan pada pasien diabetes
adalah gaya berjalan. Gaya berjalan dimana beban tubuh bertumpu pada satu
kaki, merupakan resiko tinggi untuk terjadinya kaki diabetik. Fokus
pemeriksaan fisik pada kaki diabetik adalah pada vaskuler, saraf dan kelainan
pada kulit, kuku dan musculoskeletal (deformitas)
a.
Kulit, kuku dan deformitas musculoskeletal
Melakukan observasi pada kebersihan dan bau dari area kulit kaki ,adanya
athropi otot, ulcer, eritema, kulit kering dan bersisik, kelainan pada kuku
dan adanya formasi kallus. Kelainan bentuk pada musculoskeletal
meliputi, penurunan pada gerak sendi kaki, adanya claw toes, hammer
toes, dan charcot.
b. Pemeriksaan Vaskularisasi
Pemeriksaan vaskularisasi ke area kaki dimulai dengan melakukan palpasi
temperatur kulit, pulsasi pada arteri posterior tibialis dan dorsalis pedis.
Pemeriksaan lanjut yang digunakan untuk mengetahui vaskularisasi kearah
kaki dan untuk mengidentifikasi adanya resiko gangguan arteri peripheral
(PAD), dapat dilakukan pemeriksaan Angkle Brachial Indexes (ABI). ABI
adalah test non invasive untuk mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki
(ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (brachial). Tekanan darah
sistolik diukur dengan menggunakan alat yang disebut simple hand held
vascular Doppler ultrasound probe dan tensimeter (manometer mercuri
atau aneroid). Pemeriksaan ABI dilakukan untuk mendeteksi adanya
insufisiensi arteri sehingga dapat diketahui adanya gangguan pada aliran
darah menuju ke kaki. Direkomendasikan menggunakan probe dengan
frekuensi 8 MHz untuk ukuran lingkar kaki normal dan 5 MHz untuk
lingkar kaki obesitas atau edema.
c.
Pemeriksaan Neuropathy
Neuropathy yang dapat terjadi pada kaki diabetik diantaranya neuropathy
otonom, neuropathy sensorik, maupun neuropathy motorik. Neuropathy
otonom dapat dilihat adanya penurunan produksi keringat pada area kulit
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
122
sehingga menyebabkan kulit kering,licin atau bersisik. Gangguan
neuropathy sensorik ditemukan adanya penurunan sensasi terhadap raba,
getar, suhu, maupun nyeri. Gangguan pada serabut saraf aferen dapat
dideteksi dengan adanya penurunan reflek tendon baik tendon patella
maupun achiles. Pemeriksaan neuropathy sensori getar digunakan
garputala dengan frekuensi 128 Hz, dan untuk pemeriksaan sensasi rasa
digunakan monofilament 10 gr, 5.07. Area-area untuk melakukan
pengujian monofilament
Gambar 4.1
Area melakukan uji monosilament
Sumber : Assessing Protective Sensation with a Monofilament”, pada Advances in Skin &
Wound Care, 17(7), p.346. Copyright 2004 by Lippincott Williams & Wilkins, dalam
Nowakowski, P.E, 2008
Data-data yang di dapatkan pada pengkajian, selanjutnya dilakukan analisis
untuk disimpulkan apakah ada gangguan atau resiko terjadinya ulkus pada
penderita diabetes tersebut. Klasifikasi yang praktikan gunakan berdasarkan
klasifikasi dari International Working Group on the Diabetik Foot
(IWGDF) tahun 1999. Dibawah ini ditampilkan klasifikasi resiko
komplikasi kaki menurut IWGDF.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
123
Tabel 4.1.
Klasifikasi Resiko Ulkus Diabetik Menurut
International Working Group on the Diabetik Foot
Kategori
Resiko
0
1
2
3
Definisi
Rekomendasi Intervensi
- Tidak ada penurunan
sensasi
- Tidak ada gangguan
vaskularisasi
- Tidak ada deformitas
- Neurophaty (sensasi
) +/- Ditemukan
deformitas
- Edukasi : perawatan kaki
dasar & penggunaan alas
kaki
- Gangguan vascular
+/- Ada
neuropathy
sensori
- Riwayat ulkus kaki
atau
riwayat
amputasi
Rekomendasi
Follow up
Setiap tahun (dokter
umum, spesialis kaki)
- Edukasi kaki diabetik
- Pemeriksaan kaki setiap hari
- Penggunaan
alas
kaki
khusus
- Dipertimbangkan
untukkonsultasi ke dokter
bedah
- Sama dengan katagori 1
- Consultasi dengan spesialis
vaskuler
Mengunjungi
poli
kaki setiap 3 – 6
bulan sekali
- Sama dengan katagori 1
- Consultasi dengan spesialis
vaskuler,terutama jika ada
penurunan vaskuler
Mengunjungi
poli
kaki setiap 2 – 3
bulan sekali
Mengunjungi
poli
kaki setiap 2 – 3
bulan sekali
Adapun hasil pengkajian kaki pada penerapan EBN ini adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.2
Distribusi responden berdasarkan usia
di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
n= 20
Variabel
Mean Median
Usia
54,65
56,50
SD
Min-Maks
95% CI
11,67
26 - 69
49,1 – 60,1
Pada table 4.2 menggambarkan hasil analisis rata–rata usia responden dalam
penerapan pengkajian kaki ini adalah 54,65 tahun (95 % CI : 49,1 – 60,1), dengan
usia termuda 26 tahun dan usia tertua 69 tahun. Hasil estimasi interval dapat
disimpulkan bahwa 95% diyakini rata–rata usia responden adalah diantara 49,1 –
60,1 tahun.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
124
Tabel 4.3
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lama menderita DM dan
kadar HbA1C, di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati
Jakarta 2012, N = 20
Jumlah
Presentase
Jenis kelamin
ï‚· Pria
ï‚· Wanita
17
3
85 %
15 %
Lama menderita DM
ï‚· < 5 tahun
ï‚· > 5 tahun
9
11
45%
55%
Kadar HbA1C
ï‚· < 6,5 %
ï‚· > 6.5 %
1
19
5%
95%
Resiko ulkus kaki diabetik
ï‚· Rendah (0)
ï‚· Sedang (1)
ï‚· Tinggi (2)
11
4
5
55%
20%
25%
Variabel
Tabel 4.3 menggambarkan jenis kelamin responden sebagian besar adalah pria
dengan jumlah 17 orang (85%), 11 orang (55%) telah menderita diabetes lebih dari
5 tahun dan 95 % (19 responden) menunjukan kadar HbA1C diatas 6,5 % atau pada
kondisi gula darah yang tidak terkontrol dalam 3 bulan terakhir. Dari hasil
pengkajian kaki dan pengklasifikasian resiko ulkus kaki diabetes menurut IWGDF
didapatkan 11 responden (55 %) beresiko rendah, 4 responden (20%) beresiko
sedang dan 5 responden (25 %) beresiko tinggi terjadi ulkus kaki.
Selanjutnya praktikan mencoba melihat hubungan statistik antara usia, kadar
HbA1C, dan lama menderita DM, didapatkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
125
Tabel 4.4.
Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan lama menderita DM dan
kadar HbA1C di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati
Jakarta 2012, N= 20
Variabel
Resiko Kaki diabetik
Ringan
Sedang
Tinggi
n
%
N
%
n
%
Lama menderita DM
ï‚· < 5 tahun
ï‚· > 5 tahun
8
3
72,7
27,3
1
3
25
75
0
5
0
100
Kadar HbA1C
ï‚· < 6,5 %
ï‚· > 6.5 %
0
11
0
100
1
3
25
75
0
5
0
100
11
100
4
00
5
100
TOTAL
Tabel 4.4 menunjukan bahwa responden yang mempunyai katagori beresiko
terjadi ulkus kaki diabetik sedang, sebagian besar (75 %) telah menderita diabetes
lebih dari 5 tahun dan menunjukan kadar HbA1C yang lebih dari 6,5 %. Seluruh
responden (100%) yang mempunyai resiko tinggi ulkus kaki diabetik telah
menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan kadar HbA1C menunjukan lebih dari
6,5 %.
Tabel 4.5
Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan usia
di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012
N= 20
Variabel
Usia
Resiko Ulkus
n
Mean
SD
ï‚· Rendah
11
50,82
12,687
ï‚· Sedang & Tinggi
9
59,33
8,803
Pada table 4.5 dapat dijelaskan responden dengan resiko ulkus kaki sedang dan
tinggi mempunyai rata-rata usia lebih tua sekitar 9 tahun dibandingkan pada
responden dengan resiko rendah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
126
4.3. Pembahasan
Kaki diabetik adalah kaki pada pasien diabetes yang rentan terkena berbagai proses
patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi pada jaringan kulit dalam, yang
merupakan komplikasi jangka panjang dari diabetes. Kaki diabetik ini terjadi akibat
abnormalitas saraf (neuropathy), berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer
(angiopathi), dan komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,
2008; Waspadji, 2009;Turn, 2011). Kelainan kaki juga menjadi salah satu penyebab
utama morbiditas pada pasien DM tipe 2 (Taylor, 2008; Hastuti, 2008: Waspadji,
2009). Di Rumah sakit Fatmawati khususnya di lantai 5 Selatan Gedung teratai
sebagai salah satu unit rawat inap penyakit dalam, pasien ulkus diabetes yang dirawat
jumlahnya mencapai 29,1 % dari seluruh pasien DM yang dirawat pada bulan
September 2011 hingga Februari 2012. Hal ini membuktikan bahwa ulkus diabetik
akan menyebabkan penyandang diabetes mengalami masalah kesehatan yang harus
mendapatkan perawatan yang lebih serius.
Ulkus kaki diabetik merupakan komplikasi dari penyakit DM yang dapat dicegah
sejak dini. Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus dapat diawali dengan melakukan
pengkajian pada kaki. Pengkajian kaki sebagai upaya melakukan deteksi dini dapat
menurunkan resiko terjadinya ulkus kaki dan amputasi sebesar 40-85% (Taylor,
2008; Yudovsky et al, 2011). Pengkajian merupakan langkah awal untuk
menentukan tindakan yang tepat sesuai dengan kondisi kaki yang ditemukan.
Pengkajian kaki untuk mendeteksi adanya resiko ulkus diabetik dilakukan dengan
mengidentifikasi faktor resiko seperti lamanya menderita DM, kadar HbA1C,
riwayat penyakit vaskuler, retinopathy maupun riwayat nefropathy. Penelitian yang
dilakukan oleh Simmons & Clover, 2007 di pelayanan primer di Selandia baru
dengan melihat status metabolic meliputi HbA1C, lipid profil, creatinin serum
terhadap resiko ulkus kaki, didapatkan hubungan antara status metabolic yang tidak
terkontrol dengan peningkatan resiko ulkus yang ditandai dengan kondisi kuku, kulit
kaki kurang baik, ditunjang dengan peningkatan kejadian retinopathy.
Pemeriksaan kaki yang dilakukan untuk mendeteksi adanya resiko ulkus meliputi
pemeriksaan vaskuler, pemeriksaan neuropathy perifer dan deformitas. Pemeriksaan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
127
ini merupakan pemeriksaan yang standar yang direkomendasikan oleh RNAO, 2004,
ADA, 2008, dan AACE, 2007.
Gangguan vaskuler menjadi faktor resiko ulkus kaki diabetik dapat dijelaskan sebagai
berikut : bahwa gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya
iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein
yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat
ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan
dengan reseptornya masing –masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan
pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan
ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu
serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan
penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen
pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi kearah perifer,
(Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009).
Selain gangguan vaskuler, neuropathy perifer juga menjadi Faktor resiko penting
pencetus ulkus kaki diabetik. Diperkirakan 40-65% ulkus kaki diabetik disebabkan
karena neuropathy sensori (Frykberg et al, 2006). Screening kaki diabetik yang
dilakukan pada 555 responden di berbagai pusat kesehatan di Perancis,mendapatkan
27 % mengalami neuropathy sensori dan dari 27% tersebut, 7.7% mempunyai resiko
tinggi terjadi ulkus kaki diabetik (Malgrange et al, 2003). Adapun proses terjadinya
neuropathy pada pasien diabetes adalah sebagai berikut : neuropathi diabetik (ND)
disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya
peningkatan jalur poliol,sintesis advance glycosilation and products (AGEs),
pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai
jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I,
2010).
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang
semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan
tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
128
Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat
mencapai 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun.
Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan
metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan
kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia.
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf
ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang
simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya
adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa
terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki
terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap
postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan
dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat
menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung.
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko
untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan yang harus dilakukan
terkait dengan neuropati perifer ini adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori
vibrasi. Hasil pemeriksan fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang
menunjukkan terdapat perubahan neuropatik (Brunner & Suddarth, 2005).
Pemeriksaan neuropathy sensori yang direkomendasikan dan merupakan EBN pada
level 1 adalah pemeriksaan Semmes–Weistein monofilament 10 gr, 5.07. Pemeriksaan
ini menggunakan monofilament 10 gr ukuran 5.07. Penggunaan monofilament 10 gr
untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh Nowakowski, P.E,
2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14 studi (1950 – 2007) dengan
jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 3142 orang dan dilakukan diberbagai
negara. Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa pemeriksaan menggunakan
monofilament 10 gr merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya
neuropathi perifer pada diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat
digunakan sebagai alat diagnostic tunggal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
129
Dari hasil penerapan pengkajian kaki yang dilakukan pada 20 pasien diabetes di
lantai 5 selatan di dapatkan hasil rata-rata usia responden 54,56 tahun, rata-rata usia
responden dengan resiko ulkus kaki pada katagori sedang dan tinggi adalah 59,33
tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Malgrange et al, 2003 di Perancis mendapatkan
responden yang mempunyai resiko ulkus diabetik sedang dan tinggi mempunyai
rata-rata usia 65 th. Sementara penelitian Bibby, 2008 mendapatkan rata-rata usia
responden yang mengalami resiko
tinggi di Tazania adalah 59,2 tahun dan di
Swedia dengan resiko sedang 58,3 tahun. Onset baru terjadinya DM tipe 2 yaitu pada
usia di atas 40 tahun dan dengan meningkatnya usia resistensi terhadap insulin, serta
penurunan terhadap berbagai fungsi organ terjadi,sehingga berbagai komplikasi lebih
cepat terjadi pada penderita diabetes pada usia yang lebih lanjut (Brunner &
Sudddarth (2005); Kebbi, 2003, dalam Ignativicius & Workman, 2006). Selain usia,
factor lain yang mempengaruhi terjadinya ulkus kaki diabetik adalah lamanya
menderita diabetes dan kadar HbA1C yang menunjukan control gula darah dalam 3
bulan terakhir.
Hasil penerapan EBN di dapatkan 100 % pada responden yang beresiko tinggi
terjadinya ulkus telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan mempunyai kadar
HbA1C lebih dari 6,5% yang menunjukan gula darah yang tidak terkontrol selama 3
bulan terakhir. Penelitian Al Mahroos & Al Roomi, 2007 dalam Taylor, 2008,
mendapatkan rata-rata responden telah menderita diabetes selama 9,5 tahun dan
didapatkan hubungan antara resiko ulkus dengan gula darah yang tidak terkontrol,
dimana ditemukan 36 % mengalami neuropathy perifer, 11,8 % mengalami gangguan
vaskuler perifer dan 5.9 % mengalami ulkus kaki.
Hambatan yang dialami praktikan saat menerapkan EBN pengkajian kaki ini adalah
peralatan yang tidak tersedia khususnya untuk monofilament 10 gr, garputala 128
Hz, dan Doppler dengan prob 8 MHz. Selain itu format yang kurang sistematis,
klasifikasi yang tidak sesuai dengan referensi praktikan serta kolom intervensi yang
tidak tersedianya kolom rekomendasi intervensi juga menjadi hambatan awal
praktikan menerapkan EBN ini.
Pemecahan
terhadap
hambatan
yang
praktikan
(monofilament 10 gr dan garputala 128 Hz)
lakukan,
untuk
peralatan
praktikan menyediakan sendiri,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
130
sedangkan untuk doppler digunakan spigmomanometer. Untuk keberlangsungan
penerapan pengkajian kaki ini praktikan bersama tim mengkomunikasikan kepada
management ruangan. Klasifikasi resiko ulkus yang praktikan gunakan mengacu
kepada klasifikasi IWGDF, 2009 yang digunakan oleh berbagai Negara dan telah
diuji kembali keefektifannya oleh Petter.E.J.G & Lavery L.A. tahun 2001.
Perawatan dan penatalaksanaan lanjut terhadap masalah kaki pasien diabetes tidak
hanya dilakukan oleh perawat, namun dokter dan educator juga mempunyai peranan
penting. Dokumentasi terhadap hasil pengkajian dan intervensi lanjut menjadi media
komunikasi untuk menindaklanjuti dan melihat perkembangan kondisi pasien.
Sistem pendokumentasian yang belum terintegrasi antar tenaga kesehatan, rawat
jalan dan rawat inap menjadi kendala dalam penatalaksanaan kaki diabetik yang
berkelanjutan. Praktikan telah mengkomunikasikan masalah dokumentasi tersebut,
dan masalah ini akan dijadikan topik diskusi dengan management.
Pengkajian kaki pada pasien diabetes dapat mengidentisikasi sejak awal adanya
resiko terjadinya ulkus kaki diabetik. Penatalaksanaan yang sesuai dengan
klasifikasi resiko ulkus akan mampu menurunkan kejadian ulkus hingga 85 %
(Taylor, 2008). Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang juga berperan
dalam masalah kaki diabetik. Salah satu standar kompetensi perawat menurut PPNI
tahun 2005, pada ranah kompetensi asuhan keperawatan dan pengembangan kualitas
pelayanan, perawat S1 atau D3 dengan pendelegasian dan pelatihan mempunyai
kompetensi untuk melakukan pengkajian
dan menerapkan praktek berdasarkan
EBN. Pada berbagai pelatihan kaki diabetes dimana peserta pelatihan adalah
perawat, materi tentang pengkajian kaki diabetik juga dipaparkan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya rekomendasi yang dapat diberikan untuk
penerapan EBN ini sebagai bagian dari asuhan keperawatan pada pasien diabetes
diantaranya :
a. perawat juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengkajian status kaki
pada pasien diabetes.
b. pencegahan ulkus kaki diabetik tidak hanya di lakukan dengan pengkajian
namun harus dilakukan intervensi yang sesuai dengan resiko ulkus yang
ditemukan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
131
c. Pendokumentasian
terhadap
hasil
pengkajian
sebagai
dasar
intervensi
selanjutnya dan sebagai media komunikasi baik sesama perawat maupun dengan
profesi lain yang berkaitan menjadi hal yang wajib dilakukan.
d. Sebagai upaya pencegahan pengkajian kaki ini akan sangat efektif dilakukan di
unit perawatan primer seperti rawat jalan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
132
BAB 5
KEGIATAN INOVASI
PENINGKATAN KEMAMPUAN PERAWAT DALAM
PENGKAJIAN KAKI DIABETIK SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI
RESIKO ULKUS KAKI DIABETIK
Kegiatan inovasi merupakan salah satu bentuk pelaksanaan peran perawat spesialis sebagai
pembaharu untuk suatu perubahan pada pelaksana asuhan keperawatan yang berkualitas.
Membantu meningkatkan kemampuan perawat generalis dalam melakukan asuhan
keperawatan dapat dilakukan oleh perawat spesialis melalui perannya sebagai narasumber
(resources), fasilitator, koordinator dan role model. Berikut ini akan diuraikan kegiatan
inovasi yang telah praktikan laksanakan pada praktek residensi.
5.1.Analisa Situasi
Masalah kaki diabetik sebagai salah satu komplikasi kronik diabetes banyak dialami
oleh penyandang diabetes. Pengkajian kaki diabetik merupakan upaya pencegahan
terjadinya masalah kaki diabetik dilakukan sejak awal seseorang terdiagnosis diabetes.
Perry & Poter, (2010) menyampaikan bahwa pengkajian yang akurat dan
komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada pasien dan
selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat.
Pengkajian merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat
sesuai dengan levelnya (vokasional, ners atau ners spesialis). Pada ranah peningkatan
kualitas pelayanan keperawatan, ners (S1 keperawatan) mempunyai kompetensi
untuk melakukan praktek berdasarkan pembuktian (evidence based) dan perawat
vokasional (D III keperawatan) mempunyai kompetensi untuk melaksanakan tugas
sesuai arahan dan sesuai dengan pelatihan yang diikuti (PPNI, 2005). Pengkajian
kaki diabetik merupakan praktek keperawatan yang didasarkan pada pembuktian,
sehingga perewat pada level ners atau vokasional yang telah mendapatkan pelatihan
mempunyai kewajiban untuk melakukan praktek ini sebagai upaya untuk
meningkatkan kualitas pelayanan. Sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus,
pengkajian kaki juga merupakan upaya preventif yang dapat dilakukan oleh perawat
generalis.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
133
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) adalah rumah sakit tipe A dan
merupakan rumah sakit rujukan rumah sakit lain khususnya diwilayah Jakarta
Selatan, Depok, Bogor dan Tangerang Selatan. Pada tahun 2010, diabetes merupakan
penyakit terbanyak dari sepuluh penyakit terbanyak yang ada di RSUPF dengan ratarata kunjungan di poli penyakit dalam sebanyak 1500 kasus DM tipe 2 baik kasus
baru maupun kasus lama. Gedung Teratai lantai 5 selatan merupakan salah satu unit
rawat inap penyakit dalam dengan kasus terbanyak rawat inap juga dengan diabetes.
Jumlah kasus diabetes yang dirawat dalam 6 bulan terakhir (September 2011 Februari 2012) mencapai 123 kasus dan 29,1 % dirawat dengan komplikasi ulkus
diabetik. Pasien diabetes tanpa ulkus dengan prosentase 70.9% pada akhirnya akan
berkomplikasi ulkus jika tidak terdeteksi dan tidak dilakukan tindakan pencegahan
Lantai 5 selatan di RSUPF sebagai ruang rawat penyakit dalam mempunyai 6 kamar
dengan jumlah tempat tidur masing-masing 6 tempat tidur, dan 2 kamar isolasi
dengan jumlah tempat tidur masing-masing 2 tempat tidur. Pasien diabetes yang
dirawat dilantai 5 selatan ini, ditempatkan di ruang nomer 529 untuk pasien wanita
dan ruang nomer 521 untuk pasien laki-laki. Jika pasien diabetes melebihi
kapasitas,pasien tersebut ditempatkan diruangan lain yang kosong. Salah satu
ruangan yang ada dilantai 5 selatan, selain ruang rawat inap, terdapat satu ruang
edukasi yang digunakan untuk mengadakan edukasi diabetes setiap hari Rabu.
Edukasi ini diikuti oleh keluarga pasien diabetes dan juga pasien diabetes yang
kondisinya memungkinkan untuk mengikuti edukasi. Materi edukasi yang diberikan
salah satunya adalah perawatan kaki. Edukasi ini dilakukan oleh edukator yang
terdiri dari dokter, perawat dan ahli gizi dan materi perawatan kaki diberikan oleh
perawat. Secara keseluruhan jumlah perawat di ruangan ini berjumlah 33 orang, 12
orang (36,4%) S1 keperwatan dan 21 orang (36.6%) DIII keperawatan dan 3 diantara
perawat tersebut adalah edukator.
Hasil observasi praktikan selama menjalani praktek residensi 1, khususnya di gedung
teratai lantai 5 selatan, format pengkajian kaki diabetik telah dimiliki oleh RSUPF.
Format ini merupakan format pengkajian yang diisi dan ditandatangani oleh dokter.
Pengkajian kaki pada pasien diabetes yang dirawat dilakukan oleh dokter residensi
atau dokter koas yang sedang praktek di ruang tersebut, namun pengkajian lebih
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
134
banyak dilakukan pada pasien diabetes yang sudah mengalami ulkus. Selain itu
pengisian format juga tidak selalu lengkap, terutama untuk pemeriksaan neuropati.
Pengisian yang tidak lengkap disebabkan karena tidak tersedianya alat pemeriksaan
kaki diabetik yang lengkap khususnya diruang rawat inap. Hasil pemeriksaan yang
dilakukan tidak diklasifikasikan dalam resiko ulkus sehingga tidak ada tindak lanjut,
kecuali pada yang telah terjadi ulkus.
Hasil wawancara dengan kepala ruangan, wakil kepala ruangan dan perawat primer,
bahwa pengkajian kaki tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya di rawat inap.
Hal ini disebabkan mereka berpersepsi pengkajian kaki merupakan kewenangan
dokter dan hanya perawat yang pernah mengikuti pelatihan edukator diabetes pada
tingkat lanjut saja yang mempunyai kemampuan untuk pengkajian kaki diabetik.
Wawancara yang dilakukan kepada seorang perawat edukator tingkat lanjut,
mengungkapkan bahwa pengkajian kaki di rawat inap tidak dilakukan, karena
biasanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas. Perawat edukator melakukan
edukasi mengenai perawatan kaki secara berkelompok pada pertemuan ke 3.
Pengkajian kaki yang dilakukan perawat biasanya dilakukan di poli kaki saat pasien
datang berkunjung ke poli kaki dan format yang digunakan juga format yang
ditandatangi oleh dokter.
Hasil kuesioner yang praktikan sebarkan terhadap 23 perawat di lantai 5 selatan,
didapatkan 23.5% pernah mengikuti pelatihan kaki diabetik, 41% pernah
mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik, 76% pernah melakukan pengkajian
kaki diabetik namun hanya 29.5 % yang pernah mengisi format status kaki. Survei
pengetahuan, didapatkan sebanyak 89% perawat sudah memiliki pengetahuan yang
baik tentang pengkajian kaki diabetik (dikatakan baik jika mendapat nilai 7 atau
lebih dengan point tertinggi 10). Dari analisis praktikan, hasil kuesioner untuk poin
pernah melakukan pengkajian kaki dan tingkat pengetahuan dirasakan tidak sesuai
dengan observasi dan wawancara kepada kepala ruangan dan perawat primer,
sehingga
dilakukan
wawancara
pada
beberapa
perawat
pelaksana
untuk
mengklarifikasi point tersebut. Hasil wawancara menunjukan bahwa pengkajian kaki
yang dilakukan sebatas melihat ada ulkus atau tidak, dan jika sudah ada ulkus, maka
dikaji lebih mendalam untuk kondisi ulkusnya. Pengkajian kaki diabetic tanpa ulkus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
135
sebagian besar perawat pelaksana belum pernah melaksanakan. Pengetahuan yang
dimiliki perawat pelaksana tentang pengkajian kaki, dari hasil wawancara
menunjukan sebagian perawat tidak mengetahui jenis-jenis kelainan kaki,
tidakmengetahui cara mengukur ABI maupun menggunakan monofilament serta nilai
normalnya. Disampaikan oleh beberapa perawat pelaksana bahwa ketika mengisi
kuesioner tentang pengetahuan mereka mengisi tanpa mengetahui mana yang benar
(menebak saja). Pada akhir kuesioner yang disebarkan, seluruh perawat
menginginkan adanya pelatihan pengkajian kaki.
Dari uraian diatas, analisis SWOT yang di dapatkan di gedung Teratai lantai 5
selatan RSUP Fatmawati adalah sebagai berikut :
5.1.1. Strength (Kekuatan)
Kekuatan yang dimiliki oleh RSUPF dalam penerapan pengkajian kaki diabetik
sebagai deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik adalah :
a. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit rujukan diwilayah selatan Jakarta,
Bogor, Tangerang selatan dan Depok, termasuk rujukan untuk kasus
diabetes.
b. RSUP Fatmawati mempunyai pelayanan diabetes yang terdiri dari unit
edukasi dan unit perawatan kaki diabetic dan dalam perencanaan
pengembangan menjadi pelayanan diabetes terpadu.
c. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit pendidikan bagi berbagai tenaga
kesehatan, sehingga sering dijadikan tempat penelitian dan penerapan
evidence based practice terbaru
d. Telah memiliki perawat dengan pendidikan S1 keperawatan atau DIII
keperawatan yang telah mengikuti pelatihan management kaki diabetik dan
edukasi. Hal ini sesuai dengan standar kompetensi perawat Indonesia pada
ranah pengkajian keperawatan dan ranah peningkatan kualitas pelayanan
e. Memiliki program edukasi diabetes yang telah terprogram dengan baik dan
dapat digunakan sebagai intervensi lanjut setelah pengkajian dilakukan
f. Mempunyai kelompok edukator diabetes dari berbagai disiplin ilmu
g. Memiliki poli kaki yang melayani perawatan kaki khususnya kaki diabetik
h. Telah memiliki format pengkajian status kaki diabetik yang terstandar
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
136
i. Memiliki
konsultan
endokrin
yang
handal
dan
peduli
terhadap
pengembangan pelayanan endokrin khususnya masalah diabetes.
j. RSUPF mempunyai program-program pengembangan kualitas pelayanan
asuhan keperawatan
5.1.2. Weakness (Kelemahan)
a. Pengkajian kaki hanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas dengan
pengisian format yang belum seluruhnya lengkap
b. Format pengkajian kaki yang dimiliki RSUPF ditandatangani oleh dokter
yang merawat, sehingga perawat menganggap pengkajian kaki menjadi
kewenangan dokter.
c. Perawat di lantai 5 selatan hanya 23.5% yang pernah mengikuti pelatihan
kaki diabetik, 41% pernah mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik,
76% pernah melakukan pengkajian kaki diabetik dan hanya 29.5 % yang
pernah mengisi format status kaki. Namun pengkajian kaki yang dilakukan
hanya terbatas mengobservasi ada ulkus atau tidak.
d. Keterbatasan jumlah alat untuk pengkajian kaki (Doppler, monofilament,
terutama di ruang rawat inap penyakit dalam)
e. Edukasi perawatan kaki diruang rawat inap diberikan secara umum dan
klasikal.
f. Sebagian besar pasien yang dirawat belum pernah mengunjungi poli kaki di
RSUPF.
5.1.3. Opportunity (Peluang)
a. Tingginya angka kunjungan pasien diabetes di poli penyakit dalam dan
pasien yang dirawat tanpa ulkus berjumlah 70.1 % dan mengungkapkan
ketakutannya jika sampai mengalami ulkus kaki
b. Angka kejadian ulkus diabetik yang meningkat dari tahun ketahun
merupakan perhatian perawat untuk berperan dalam upaya preventif melalui
pengkajian kaki.
c. Meningkatnya kesadaran penderita diabetes untuk memeriksakan kakinya
dan mengikuti program edukasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
137
d. Seluruh perawat di lantai 5 selatan menginginkan adanya peningkatan
pengetahauan mengenai pengkajian kaki
e. Adanya dukungan baik dari ruangan dan penentu kebijakan untuk
melakukan perubahan, sebagai upaya peningkatan kualitas asuhan
keperawatan.
5.1.4. Threat (Ancaman)
a. Tidak tersedianya alat pemeriksaan kaki yang lengkap meningkatkan resiko
tidak terlaksananya pengkajian kaki di rawat inap secara komprehensif.
b. Perubahan wewenang pengisian format memerlukan tahapan yang harus
ditindaklanjuti.
Berdasarkan pengamatan dan analisis masalah diatas, praktikan melakukan kegiatan
inovasi dengan melaksanakan sosialisasi dan pelatihan pengkajian status kaki pasien
diabetes tanpa ulkus kepada perawat sehingga pengetahuan dan ketrampilan perawat
dalam pengkajian status kaki meningkat. Pada akhirnya pengkajian status kaki pada
pasien diabetes yang komprehensif dan dilakukan dengan benar akan mampu
mendeteksi lebih awal masalah resiko kaki diabetik dan dengan tindakan yang sesuai
akan menurunkan resiko terjadinya kaki diabetik.
5.2.Kegiatan Inovasi
5.2.1. Persiapan
Kegiatan inovasi ini memaparkan fenomena yang ditemukan, dan rencana
kegiatan kepada supervisor klinik dan supervisor akademik. Penyusunan
proposal kegiatan dilakukan setelah disetujui oleh supervisor. Kegiatan
dilanjutkan dengan memaparkan rencana inovasi kepada penentu kebijakan
(manager rawat inap gedung Teratai Irna A, kepala ruangan dan wakil kepala
ruangan) pada minggu pertama bulan Maret 2012. Rencana kegiatan inovasi
tidak hanya didukung oleh managemen gedung teratai irna A, namun juga
didukung oleh kepala bidang perawatan dan komite keperawatan RSUPF.
Kegiatan ini diharapkan tidak hanya ditujukan untuk perawat lantai 5 selatan
saja, namun juga melibatkan perwakilan perawat dari ruang rawat inap lain
yang memungkinkan pasien diabetes dirawat.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
138
Persiapan selanjutnya adalah persiapan pelatihan diantaranya organisasi acara,
perijinan, tempat kegiatan, waktu pelaksanaan, undangan, materi, pembicara
hingga sponsor untuk dapat mensupport kegiatan inovasi ini. Persiapan
kegiatan juga dibantu oleh manager ruangan lantai 5 selatan.
5.2.2. Pelaksanaan Inovasi
Tujuan dari kegiatan inovasi ini adalah adanya peningkatan pelayanan asuhan
keperawatan melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam
melakukan pengkajian kaki diabetik. Pengetahuan dan ketrampilan yang
dimilikioleh perawat diharapkan akan merubah perilaku dan sikap perawat
terhadap asuhan keperawatan pada pasien diabetes kearah yang lebih baik.
Upaya yang dilakukan praktikan untuk pencapaian tujuan ini dengan
melakukan pelatihan mengenai pengkajian kaki diabetik.
Pelatihan dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu tanggal 17 dan 18 April 2012.
Peserta pelatihan terdiri dari 20 orang untuk setiap tahap sehingga keseluruhan
peserta pelatihan berjumlah 40 orang perawat pelaksana. Perawat yang
mengikuti pelatihan berasal dari lantai 5 selatan 22 orang, lantai 5 utara 10
orang, lantai 6 dan lantai 4 masing masing 2 orang, dari gedung Irna C, 3 orang
dan dari paviliun Anggrek 1 orang.
Pelaksanaan pelatihan dibuka oleh kepada bidang perawatan RSUPF,
dilanjutkan dengan pre test. Inti pelatihan adalah dengan pemberian materi
tentang pengkajian kaki diabetic. Peningkatan ketrampilan peserta pelatihan
dilakukan dengan mendemonstrasikan tehnik pengkajian kaki diabetic yang
langsung dilakukan kepada pasien diabetes (hands on). Fasilitator hands on
selain dari praktikan juga dari perawat edukator diabetic. Keterlibatan edukator
dalam kegiatan ini adalah untuk pendampingan, motivator dan evaluator pada
keberlangsungan kegiatan inovasi ini. Kegiatan selanjutnya adalah presentasi
hasil hands on dari peserta dan pemberian masukan serta arahan dari salah satu
dokter bedah vaskuler (Dr. Witra Irvan, Sp. B-V) sebagai salah satu tim medis
dalam perawatan pasien diabetes dengan ulkus. Pada akhir pelatihan dilakukan
evaluasi dengan post tes dan pelatihan ditutup oleh perwakilan dari bidang
perawatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
139
5.2.3. Evaluasi
5.2.3.1. Evaluasi proses pelatihan
a. Proses persiapan berlangsung selama 2 minggu. Rencana kegiatan
didukung oleh semua pihak terutama penentu kebijakan dalam
keperawatan seperti bidang keperawatan, komite keperawatan,
meneger Irna A dan kepala ruangan
b. Proses pelatihan :
-
Jumlah peserta pelatihan sesuai dengan yang direncanakan
(100 % hadir)
-
Sambutan yang disampaikan kepala bidang keperawatan dan
komite keperawatan saat acara pembukaan mengungkapkan
dukungan terhadap inovasi yang dilakukan dan akan
berkomitmen dalam perubahan ini.
-
Peserta pelatihan aktif mengikuti proses pelatihan baik sesi
materi maupun sesi hands on.
-
Evaluasi dari peningkatan pengetahuan didapatkan :
Grafik 5.1.
Rata-rata Nilai pre dan post tes hari 1 dan hari ke 2
Pre Test
Post Test
74,75
76
57,62
56,5
Hari ke 1
Hari ke 2
Dari grafik diatas menggambarkan adanya peningkatan
pengetahuan tentang pengkajian kaki diabetic pada peserta
pelatihan baik pada hari pertam maupun hari ke dua.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
140
c. Evaluasi peserta terhadap seluruh proses pelaksanaan pelatihan
dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 5.2. Evaluasi pelaksanaan pelatihan
90%
Sgt Menarik
80%
Menarik
70%
krg Menarik
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Materi
Sarana & Tempat
Prasarana
konsumsi Hands on
Dari grafik diatas dapat dijelaskan bahwa materi
yang
disampaikan 80 % peserta menyatakan sangat menarik, hands on
yang dilaksanakan 70 % sangat menarik, sarana prasarana, tempat
dan konsumsi yang disediakan memuaskan.
5.2.3.2. Evaluasi pelaksanaan inovasi
Evaluasi pelaksanaan inovasi dilakukan selama 2 minggu setelah
pelaksanaan pelatihan. Metode evaluasi yang digunakan dengan
mengobservasi peserta pelatihan khususnya di gedung teratai lantai 5
selatan. Komponen evaluasi meliputi inisiatif dan keaktifan peserta
dalam menerapkan pengkajian kaki, kemampuan peserta dalam
melakukan pengkajian kaki, pelaksanaan program pendampingan oleh
edukator dan dukungan managemen
untuk keberlangsungan
pelaksanaan kegiatan inovasi ini. Hasil evaluasi yang di dapatkan
adalah sebagai berikut :
a. Managemen : komite perawatan meminta panduan pengkajian
kaki
dan
bentuk
revisi
format
pengkajian
untuk
dapat
ditindaklanjuti dalam perbaikan dan peningkatan sarana dalam
pengkajian kaki. Kepala ruangan lantai 5 selatan memperbanyak
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
141
format pengkajian kaki untuk menunjang pelaksanaan pengkajian
kaki ini.
b. Peserta pelatihan : dalam waktu 2 minggu setelah pelatihan di
dapatkan 6 pasien baru diabetes tanpa ulkus yang dirawat
khususnya di lantai 5 selatan bagian laki – laki. Dari 6 pasien
tersebut, 3 perawat (50%) yang melakukan pengkajian kaki atas
inisiatif sendiri dan 3 perawat (50%) harus diingatkan. Tehnik
melakukan pengkajian kaki rata – rata 80 % sesuai dengan
panduan. Pendampingan edukator belum terlaksana, karena saat
pengkajian dilaksanakan edukator dinas pada shift yang berbeda.
Hasil pengkajian terhadap 6 pasien di dapatkan 2 pasien beresiko
sedang (katagori 1) dan 4 pasien beresiko rendah (katagori 0).
Tindakan yang dilakukan untuk menindaklanjuti hasil pengkajian,
perawat
melakukan
mendokumentasikan ke
edukasi
dalam
sesuai
catatan
katagori
perawatan.
dan
Format
pengkajian yang diisi tetap ditandatangani oleh dokter yang
bertanggung jawab terhadap pasien tersebut, namun juga
dicantumkan nama perawat yang mengkaji.
5.3.Pembahasan
Pengkajian merupakan langkah pertama dalam melakukan asuhan keperawatan. Dalam
proses pengkajian seorang perawat melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber
yang dilakukan secara sistematis untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status
kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009; Craven & Hirnle, 2007). Proses pengkajian
dapat dilakukan pada berbagai situasi. Pada saat pertama kali pasien datang ke
pelayanan kesehatan maka pengkajian yang dilakukan merupakan pengkajian awal,
dimana pada pengkajian ini data dasar untuk semua status kesehatan dikumpulkan.
Selanjutnya akan dilakukan pengakajian yang lebih spesifik pada masalah yang
ditemukan, maka pengkajian ini disebut dengan pengkajian fokus. Pengkajian ulang,
merupakan pengumpulan data untuk mengetahui perubahan status kesehatan pasien
pada waktu tertentu setelah dilakukan pengkajian awal. Pengkajian ulang ini dapat
dikatakan sebagai evaluasi status kesehatan. Terakhir adalah pengkajian darurat,
dimana pengkajian ini dilakukan secara cepat untuk mengidentifikasi situasi yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
142
menyangkut keselamatan nyawa pasien dan ini menjadi prioritas pengkajian (Craven &
Hirnle, 2007).
Pengkajian kaki diabetic merupakan pengkajian yang dilakukan pada setiap kaki
penderita diabetes. Menurut jenis pengkajian, maka pengkajian kaki diabetik, dapat
merupakan pengkajian awal, pengkajian fokus, pengkajian ulang maupun pengkajian
darurat. Pengkajian awal dilakukan pada saat pertamakali pasien datang kepelayanan
kesehatan sebagai penderita diabetes atau ketika pertamakali terdiagnosis diabetes.
Pengkajian fokus dilakukan pada area kaki, baik dengan wawancara maupun
pemeriksaan fisik. Pengkajian ulang dilakukan pada setiap kunjungan atau sesuai
dengan criteria kaki diabetic untuk mengevaluasi kondisi kaki penderita. Dan
pengkajian darurat dilakukan pada kaki diabetik yang mengalami ulkus dengan gas
gangrene, dimana pada kondisi ini memerlukan tindakan segera untuk penyelamatan
jiwa pasien (Craven & Hirnle, 2007; Turns, 2011; Taylor, 2008)
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan dalam perawatan pasien
diabetes, sesuai dengan standard dan kompetensi perawat Indonesia harus memiliki
kemampuan untuk melakukan pengkajian. Pengkajian yang lengkap dan komprehensif
akan menentukan diagnose keparawatan atau masalah keperawatan yang tepat
sehingga pada akhirnya menentukan intervensi yang tepat. Pada studi comparative
yang dilakukan oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada
pasien diabetes di Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania
ditemukan masalah resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di
Swedia. Faktor yang berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia
dikarenakan selain fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih maju, juga kemampuan
perawat dalam pelayanan perawatan kaki termasuk pengkajian kaki dan edukasi lebih
dibandingkan dengan di Tanzania
Sesuai dengan hasil observasi, wawancara dan kuesioner, didapatkan data, bahwa
pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya untuk deteksi dini ulkus diabetik
hampir tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya dilantai 5 selatan. Penyebab
dari kondisi ini adalah karena pengetahuan dan kemampuan perawat dalam pengkajian
kaki diabetic masih kurang. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan
ini salah satunya dengan pelatihan. Pelatihan didefinisikan sebagai suatu kegiatan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
143
pengajaran atau pemberian pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang bertujuan untuk mencapai kompetensi
tertentu, dan pada akhirnya terjadi perubahan kinerja, serta kualitas asuhan yang lebih
baik (Fakhrizal, 2010). Perubahan yang di dasarkan pengetahuan akan lebih langgeng
dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik (Notoatmodjo, 2007).
Untuk menjadikan pengkajian kaki sebagai bagian dari asuhan keperawatan pasien
diabetes, tidak hanya peningkatan pengetahuan yang harus diperhatikan. Adanya
komitmen dan kebijakan juga merupakan bagian penting yang harus diperhatikan.
Komitmen awal dari kegiatan inovasi ini diperoleh dari penentu kebijakan (manajer
rawat inap, bidang keperawatan, komite keperawatan dan kepala ruangan). Manajer
sebagai pemimpin diharapkan dapat memberikan kebijakan, motivasi dan monitoring
dalam keberlangsungan dan keberhasilan dari kegiatan inovasi ini (Nurusalam, 2007).
Langkah kelompok untuk memperoleh komitmen dan kebijakan tersebut, pada awal
kegiatan perencanaan inovasi, kelompok melakukan pemaparan rencana kegiatan
berdasarkan fenomena yang ditemukan, analisis situasi, rencana perubahan yang
diperkuat dengan evidence based nursing.
Tujuan akhir dari kegiatan inovasi ini adalah pengkajian kaki menjadi bagian dari
pengkajian yang selalu dilakukan pada pasien diabetes. Dalam mencapai tujuan ini,
keterlibatan semua pihak di ruangan tersebut, monitoring dan evaluasi harus terus
dilakukan. Kepala ruangan, wakil kepala ruangan, perawat primer dan educator telah
berkomitmen akan melakukan pendampingan dan monitoring pada kegiatan ini
Hambatan yang praktikan dapatkan pada penerapan kegiatan inovasi ini diantaranya
alat pengkajian kaki yang belum lengkap (monofilament 10 gr dan garputala 128)
hingga praktikan menyelesaikan kegiatan praktek residen. Solusi yang praktikan
lakukan, mengkomunikasikan dengan managemen. Disampaikan oleh kepala ruangan
bahwa pengadaan alat di rumah sakit memerlukan suatu mekanisme dan kepala
ruangan telah mengkomunikasikan pada managemen dan pengadaan alat saat rapat
pimpinan.
Upaya pencegahan ulkus diabetik tidak hanya pengkajian, namun tindak lanjut dari
hasil pengkajian sesuai katagori resiko ulkus merupakan hal penting yang harus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
144
dilakukan. Pada pelaksanaan inovasi oleh kelompok praktikan, tindak lanjut dari hasil
pengkajian hanya sebatas edukasi individu, konseling dan system rujukan belum
berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Peran edukator untuk melaksanakan konseling
dan alur rujukan perlu ditingkatkan, sehingga pencegahan terhadap ulkus diabetik
dapat tercapai.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
145
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
A.
SIMPULAN
Pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system endokrin perlu
didasarkan pada pemahaman yang memadai terhadap konsep yang mendasari seperti
anatomi, fisiologi dan patofisiologi. Selain itu profesi keperawatan mempunyai
badan keilmuan, sehingga pemahaman dan penguasaan terhadap teori keperawatan
yang relevan serta berbagai modalitas keperawatan yang berbasis evidence menjadi
dasar dalam praktik keperawatan profesional.
Model Adaptasi Roy merupakan salah satu model keperawatan yang menekankan
pada peran perawat dalam meningkatkan status kesehatannya dengan meningkatkan
kemampuan individu baik sehat maupun sakit untuk beradaptasi terhadap stimulus
yang di dapatkan. Kemampuan adaptasi tersebut ditunjukan dalam perilaku yang
holistik yang dapat dilihat dari mode fisiologis, konsep diri, peran dan
interdependensi. Namun demikian penggunaan MAR pada kondisi kegawatan, dan
pada pasien rawat jalan khususnya pada system endokrin tidak dapat digunakan
secara holistik.
Melalui penerapan MAR berbagai peran perawat spesialis medical bedah baik
sebagai practitioner, educator, researcher maupun inovator dapat diaplikasikan
dalam memfasilitasi pasien untuk mencapai kondisi adaptasi secara holistik, yang
dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Peran sebagai praktisi (practitioner). Dalam memberikan asuhan keperawatan
dengan menggunakan pendekatan MAR, praktikan dapat menyimpulkan bahwa
model teori ini relevan untuk diaplikasikan pada pasien dengan gangguan sistem
endokrin khususnya pada pasien DM. Pasien yang mengalami DM
dengan
berbagai komplikasi yang ditimbulkan akan mengalami perubahan perilaku pada
fisiologisnya, konsep dirinya, peran maupun pada ketergantungannya. Melalui
model ini, asuhan keperawatan diarahkan pada peningkatan kemampuan individu
beradaptasi dengan meningkatkan koping regulator dan cognator.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
146
2. Peran sebagai pendidik (educator). Peran perawat dalam mengurangi stimulus
yang ditimbulkan adalah dengan meningkatkan koping individu melalui kontrol
kognator yaitu meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga yang berkaitan
dengan perilaku dan stimulusnya. Selain itu tanggung jawab terhadap
peningkatan pelayanan asuhan keperawatan dilakukan dengan berbagi (sharing)
keilmuan kepada sejawat perawat, maupun mahasiswa keperawatan.
3. Peran sebagai peneliti (researcher). Peran ini dilakukan dengan mengaplikasikan
hasil riset yang ada ke dalam pelayanan keperawatan dengan tujuan peningkatan
mutu asuhan keperawatan di klinik. Salah satu penerapan hasil penelitian adalah
pengkajian kaki terhadap resiko ulkus pada pasien DM yang dapat digunakan
sebagai deteksi dini terhadap kejadian ulkus diabetic.
4. Peran sebagai pembaharu (innovator). Peran innovator mempunyai peranan yang
strategis dalam melakukan perubahan di pelayanan keperawatan. Kegiatan
inovasi yang dilakukan oleh praktikan bersama kelompok adalah meningkatkan
upaya preventiv terhadap komplikasi ulkus pada pasien DM melalui pengkajian
kaki diabetes pada setiap pasien DM yang dirawat tanpa ulkus.
B.
SARAN
1. Untuk menjadi seorang ners spesialis keperawatan medical bedah kekhususan
system endokrin diperlukan pengembangan diri berkelanjutan dan tidak sebatas
kasus DM agar dapat menjalankan perannya sebagai praktisi, pendidik, peneliti
dan pembaharu.
2. Diperlukan kajian lebih lanjut untuk penerapan MAR yang efektif dan efisien
pada unit gawat darurat maupun unit rawat jalan khususnya untuk pasien
gangguan endokrin
3. Melaksanakan
praktek
berdasarkan
evidence
diharapkan
akan
terus
dikembangkan dan dijadikan panduan praktek pada perawat klinik yang
disesuaikan dengan level kompetensi. Evaluasi dan monitoring menjadi bagian
penting yang harus dilakukan untuk kelanjutan penerapan evidence tersebut.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
147
4. Praktik keperawatan profesional yang melibatkan ners spesialis membutuhkan
dukungan dari system pelayanan kesehatan yang ada, dukungan organisasi
profesi dan pengakuan dari profesi lain yang saling berhubungan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Konsep Penyakit Diabetes Mellitus
2.1.1. Pengertian
Diabetes sering disingkat dengan DM merupakan kelompok penyakit metabolik
yang yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah sebagai akibat dari
penurunan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau keduanya (ADA, 2012).
Glukosa yang berasal dari makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan akan
bersirkulasi di dalam darah dalam jumlah tertentu. Selanjutnya proses regulasi atau
metabolisme glukosa di sel otot, lemak dan hepar akan diperankan oleh hormone
insulin.
Hormon insulin ini merupakan rangkaian asam amino yang diproduksi oleh sel beta
kelenjar pancreas. Pada keadaan terentu dapat terjadi penurunan produksi insulin
oleh sel beta pancreas atau insulin yang ada tidak sensitive terhadap kadar glukosa
dalam darah. Kondisi ini akan meningkatkan glukosa dalam sirkulasi darah atau
disebut hyperglikemia. Hyperglikemia yang terus terjadi dan dalam jangka waktu
yang lama dapat menimbulkan berbagai gangguan baik pada pembuluh darah kecil
(mikrovaskuler), pembuluh darah besar (makrovaskuler), maupun gangguan pada
saraf (neuropathy) (Smeltzer & Bare, 2008; Manaf, 2009; Lewis et al, 2011;
LeMone, 2011).
2.1.2. Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu
ke waktu. Hasil penelitian baik klinis maupun laboratories menunjukan bahwa
diabetes merupakan suatu keadaan yang heterogen baik etiologi maupun
macamnya dan pada akhirnya kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian
lebih berdasarkan etiologi penyakitnya, sehingga PERKENI, 2011; ADA, 2012
mengklasifikasikan diabetes menjadi :
2.1.2.1. Diabetes Tipe I
Diabetes tipe 1 ini umumnya terjadi karena kerusakan sel beta pancreas
sehingga produksi insulin mengalami kegagalan dan mengakibatkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
7
defisiensi insulin absolute. Jumlah penyandang DM tipe 1 ini hanya 5 - 10
% dari jumlah seluruh penyandang DM. Pada klasifikasi awal DM tipe 1 ini
disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Ini
dikarenakan pada penyandang DM tipe 1 mutlak membutuhkan insulin dari
luar tubuhnya. Kerusakan sel beta pancreas terjadi karena reaksi autoimun
sebagai dampak dari berbagai pencetus salah satunya adalah proses
infeksi.virus seperti virus
Cocksakie, Rubella, CMV, Herpes, dan lain
sebagainya hingga timbul peradangan sel–sel beta (insulitis). Ada beberapa
tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA
(Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies),
dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). Defisiensi
insulin absolut terjadi jika kerusakan sel beta pancreas mencapai 80 - 90%
yang akan menyebabkan gangguan metabolisme ( Lewis et al, 2011).
Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel alpha kelenjar pankreas pada
penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1
ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel alpha kelenjar
pankreas. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon,
namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon
tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah
kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah
cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila
tidak mendapat terapi insulin (Depkes, 2005; Smeltzer & Bare, 2008;
Lewis, 2011).
Faktor resiko pada DM tipe 1 diantaranya adalah genetic. Ditemukan pada1
dalam 400 hingga 1 dalam 1000 untuk semua populasi, Resiko berkembang
menjadi DM tipe 1 pada anak dengan orang tua yang menyandang DM 1
dalam 50 resiko,Maftin, 2009 (dalam LeMone, 2011). Faktor resiko lain
adalah lingkungan. Infeksi virus, zat kimia dan asap rokok dapat menjadi
factor pemicu terjadinya insulitis dari reaksi autoimun.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
8
2.1.2.2. DM Tipe II
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM
Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes,
umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM
Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes,
2005).
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor. Faktor genetik dan
pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM
tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta
kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu
faktor pradisposisi utama dimana 85 % penyandang DM tipe 2
mengalami obesitas sebelumnya (Black & Hawks, 2009)
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang
berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang
cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi.
Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu
merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai
resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas,
gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang
berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β
Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe
1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2
hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya
umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
9
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase
pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan
glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah,
sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya.
Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik,
pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan
mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif,
yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya
penderita memerlukan insulin eksogen. Namun pada penderita DM Tipe 2
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan
defisiensi insulin (Depkes, 2005; Suyono dalam Sugondo dkk, 2011;
LeMone, 2011).
Faktor resiko dari DM tipe 2
menurut Port & Matfin, 2009 dalam
(LeMone, 2011) diantaranya adalah :
a. Riwayat DM pada orang tua atau saudara kandung. Meskipun tidak
teridentifikasi adanya HLA, seorang anak dari penyandang DM tipe 2
beresiko 2 hingga 4 kali lipat dan 35 % mempunyai resiko berkembang
menjadi intoleransi glukosa.
b. Obesitas, dimana berat badan lebih dari 20% BB ideal atau BMI lebih
dari 27 kg/m2. Obesitas khususnya obesitas visceral berhubungan
dengan resistensi insulin
c. Pada wanita dengan riwayat DM gestational, atau melahirkan lebih dari
4 kg
d. Hypertensi , peningkatan lipid profile : kolesterol, HDL & trigliserida
e. Metabolik sindrom dengan manifestasi yang berhubungan dengan DM
tipe 2
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
10
2.1.2.3. DM Tipe Gestasional
ADA, 2012 mendefinisikan DM gestational adalah intoleransi glukosa yang
terjadi atau pertama kali diketahui saat proses kehamilan. Kondisi ini bisa
berlanjut hingga setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami DM
sejak sebelum kehamilannya tidak termasuk kelompok ini. Di Amerika DM
tipe ini terjadi pada 7 % dari seluruh kasus kehamilan.
Timbulnya intoleransi glukosa biasanya terjadi pada kehamilan trimester
dua atau tiga akibat dari sekresi hormone plasenta yang berdampak
menghambat kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2008). Bayi yang dilahirkan
oleh ibu dengan DM tipe ini akan beresiko mempunyai berat badan yang
besar (makrosomia).
Faktor resiko pada DM gestational ini berdasarkan adanya riwayat DM
pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat keluarga dengan DM tipe 2,
adanya glikosuria dan riwayat polycystic ovary symdrom
2.1.2.4. DM Tipe lain
Klasifikasi DM yang terakhir ,dimana DM ini tidak termasuk DM tipe
1,tipe 2 maupun tipe gestational. DM ini dikenal dengan DM tipe lain. Pada
DM ini, penyebabnya adalah (ADA, 2012) :
a. Kerusakan genetic pada fungsi sel beta
b. Kerusakan genetic pada aksi insulin
c. Penyakit eksokrin pancreas : Pancreatitis, trauma/pancreotomy,
neoplasia, Cystic fibrosis, hemocromatosis, dan lainnya
d. Endokrinopathy:
acromegaly,
cushing’s
syndrome,glukagonoma,
aldosteronoma, hypertiroidism, somatostatinoma
e. Obat-obatan atau zat kimia : vacor, pentamidine, asam nicotinic,
glukokortikaoid, diazoxide, thiazide, dilantin dan yang lainnya
f. Infeksi : Rubella, CMV, dan yang lainnya
g. Sindrom genetic lain yang berhubungan dengan diabetes : Down
sindrom, turner sindrom, myothonic dystrophy, wolfram sindrom dan
yang lainnya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
11
2.1.3. Tanda dan Gejala
Gejala klinis klasik pada semua tipe DM dikenal dengan trias poly. yaitu
polydhipsi, polypaghia dan polyuria. Gejala trias poly ini seringkali tidak pada
awalnya dirasakan oleh penyandang DM tipe 2, sehingga pada penyandang DM
tipe 2 datang kepelayanan kesehatan dengan gejala komplikasi yang ditimbulkan
(Lewis, et al 2011; LeMone, 2011). Berikut ini diuraikan tanda dan gejala yang
ditimbulkan dari peningkatan gula darah pada penyandang DM menurut LeMone et
al, 2011
2.1.3.1. Polyuria
Polyuria atau sering disebut sering buang air kecil, terjadi karena adanya
akumulasi
glukosa
di
dalam
sirkulasi
darah
menyebabkan
hyperosmolaritas pada serum. Selanjutnya terjadi perpindahan cairan dari
intra seluler ke dalam system sirkulasi. Peningkatan volume dalam
pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke ginjal dan hyperglikemia
menyebabkan dieresis osmotic yang pada akhirnya meningkatkan
pengeluaran urine.
Ambang batas ginjal terhadap kadar glukosa darah adalah 180 mg/dL.
Ketika kadar gula darah lebih dari nilai tersebut, maka glukosa akan
dikeluarkan bersama urine. Kondisi ini disebut dengan glukosuria.
2.1.3.2. Polydipsia
Penurunan volume cairan di intraseluler dan peningkatan pengeluaran
urine akan menyebabkan dehidrasi tingkat sel. Mukosa mulut menjadi
kering dan sensasi haus dirasakan, maka akan menyebabkan peningkatan
asupan cairan.
2.1.3.3. Polyphagia
Penurunan jumlah atau sensitifitas insulin untuk membantu memasukan
glukosa ke dalam sel, menyebabkan terjadinya penurunan metabolism dan
pembentukan energy. Penurunan energi ini akan menstimulasi pusat lapar
dan penyandang DM menjadi banyak makan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
12
2.1.3.4. Penurunan berat badan
Pemenuhan kebutuhan energy akibat kegagalan penggunaan glukosa
sebagai sumber energy didapatkan dari sumber energy lain yaitu protein
dan lemak. Pemecahan asam amino (Proteolisis) terjadi pada otot yang
disimpan sebagai cadangan protein. Berkurangnya cadangan protein otot
menyebabkan penurunan berat badan.
2.1.3.5. Penurunan Penglihatan
Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dapat menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik pada mata dan perubahan pada lensa
sehingga pasien akan mengalami gangguan dalam penglihatan.
2.1.4. Diagnosis
Penegakan diagnose DM tidak hanya dilakukan berdasarkan keluhan yang
disampaikan oleh pasien. Diagnosis DM harus didasarkan pada pemeriksaan
penunjang khususnya pemeriksaan gula darah. Keluhan klasik seperti polyuria,
polydipsi, polyphagia, badan yang lemah, penurunan berat badan tanpa diketahui
jelas penyebabnya menjadi dasar dugaan adanya DM.
Pada beberapa dekade, diagnosis DM ditegakkan dengan pemeriksaan gula darah
sewaktu, gula darah puasa dan gula darah 2 jam setelah beban (glukosa 75 gr).
Sejak tahu 2009, pada International Expert Committee termasuk di dalamnya
terdapat perwakilan dari American Diabetes Association (ADA), International
Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study of Diabetes
(EASD), merekomendasikan pemeriksaan HbA1C sebagai uji untuk diagnosis DM.
Didiagnosis sebagai penyandang DM jika di dapatkan hasil HbA1C > 6.5%.
Pemeriksaan HbA1C menggunakan metode yang telah terstandar oleh National
Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and
Complications Trial (DCCT) (ADA, 2012).
HbA1C atau haemoglobin glikosilate merupakan gugus heterogen yang terbentuk
dari ikatan hemoglobin dan gukosa dalam darah. Apabila hemoglobin bercampur
dengan larutan dengan kadar glukosa yang tinggi, rantai beta molekul hemoglobin
mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, proses ini dinamakan glikosilasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
13
Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini
meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal, sekitar
4-6% hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin glikosilat atau
hemoglobin A1c. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar hemoglobin A1c
dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan
hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar hemoglobin A1c yang tinggi
mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes selama 3-5 minggu sebelumnya.
Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar hemoglobin A1c kembali ke
normal dalam waktu sekitar 3 minggu.
Karena HbA1c terkandung dalam eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari, maka
HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan.
Pemeriksaan ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan informasi
yang lebih jelas tentang keadaan penderita dan seberapa efektif terapi diabetik yang
diberikan. Peningkatan kadar HbA1c > 6.5% mengindikasikan diabetes mellitus
yang tidak terkendali dalam 3 bulan terakhir. Keuntungan yang lain dari
pemeriksaan ini, tidak memerlukan persiapan seperti puasa dan pengambilan darah
hanya dilakukan sekali saja (ADA, 2012; Black & Hawk, 2009). Namun demikian
HbA1C hanya dapat dilakukan pada laboratorium yang telah terstandar.
Pemeriksaan yang lain dan masih direkomendasikan oleh ADA, 2012 maupun
PERKENI, 2011 adalah pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa, gula
darah 2 jam setelah beban. Berikut kriteria diagnosis DM menurut ADA, 2012
a.
Adanya gejala klasik DM dengan hasil HbA1C > 6.5 % , dan pemeriksaan
menggunakan metode yang terstandart (NGSP atau DCCT), atau
b.
Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL
(11,1 mmol/L). Gula darah plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau
c.
Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa puasa > 126 mg/dL (7,0
mmol/L). Puasa diartikan tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8
jam, atau
d.
Kadar gula plasma 2 jam pada Toleransi Tes Glukosa Oral (TTGO) > 200
mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, yaitu
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
14
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air.
Pada orang-orang yang beresiko DM namun tidak menunjukan adanya gejala DM,
perlu dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mendeteksi lebih awal adanya gangguan pada toleransi glukosa atau resiko DM
sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih awal. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan melalui pemeriksaan guladarah sewaktu, atau gula darah puasa. Berikut
ini kadar gula darah sebagai penyaring diagnosis DM (Pra diabetes)
a. Gula darah puasa 100mg/dL (5,6 mmol/L) – 125 mg/dL (6,9 mmol/L)
b. Gula darah 2 jam setelah beban dengan 75 gr glukosa oral 140 mg/dL (7.8
mmol/L) sampai 199 mg/dL (11.0 mmol/L)
c. HbA1C : 5,7% sampai 6,4 %
Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukan kelainan hasil, dilakukan
pemeriksaan ulang setiap tahun. Untuk yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko
lain, penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Pemeriksaan penunjang lain yang disarankan untuk mengetahui factor resiko
maupun gangguan metabolism lebih lanjut diantaranya adalah pemeriksaan lipid
profile. Gangguan metabolism glukosa dapat menimbulkan peningkatan pada kadar
trigliserida, penurunan HDL, perubahan pada struktul LDl, dimana dapat
ditemukan peningakatan small dense LDL. Penurunan kadar C-Peptida dalam
darah dapat digunakan untuk menggambarkan penurunan produksi insulin oleh sel
beta pancreas.
2.1.5. Penatalaksanaan
Tujuan jangka pendek dari penatalaksanaan pada penyandang DM
adalah
menghilangkan keluhan dan tanda dari DM, mempertahankan kenyamanan, dengan
gula darah yang terkontrol. Sedangkan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai
adalah mencegah dan menghambat progresivitas penyulit atau komplikasi seperti
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pada akhirnya keberhasilan
penataksanaan akan meningkatkan kualitas hidup penyandang DM, menurunnya
angka mortalitas dan morbiditas DM.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
15
Penatalaksanaan DM ini dilakukan secara holistic dan terpadu dengan melibatkan
multidisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, educator, dan lainnya)
dan
keluarga sebagai system pendukung utama.
Pilar penatalaksanaan utama untuk DM meliputi edukasi, perencanaan makan,
latihan jasmani, intervensi farmakologis dan monitoring gula darah. Berikut ini
penjelasan dari 5 pilar penatalaksanaan DM :
2.1.5.1. Edukasi
Edukasi merupakan proses perpindahan informasi dari suatu sumber untuk
menambah pengetahuan (internalisasi) satu individu dalam rangka
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dan diharapkan
menampilkan satu perubahan perilaku (Nasution, 2008). Penyandang DM
umumnya mempunyai resiko dari pola hidup yang tidak sehat. Selain itu
pengendalian gula darah dan pencegahannya memerlukan perawatan
sepanjang hidupnya, sehingga perubahan pola hidup dan kepatuhan
terhadap perawatan hendaknya didasarkan pada pengetahuan yang benar.
Tujuan dari edukasi pada penyandang DM adalah terjadinya perubahan
perilaku untuk jangka panjang. Perubahan perilaku ini dapat dicapai
dengan cara memberikan pengetahuan yang dibutuhkan sehingga
penyandang DM mampu membuat keputusan sendiri yang akan
memperbaiki kesehatan individu tersebut.
Prinsip edukasi yang harus disampaikan adalah sesuai kebutuhan,
diberikan secara bertahap sehingga proses internalisasi dapat tercapai.
Memperhatikan kondisi diabetisi seperti tingkat pendidikan, usia,
pengetahuan dan persepsi yang dimiliki, budaya hingga kondisi psikologis
merupakan hal penting untuk pencapaian informasi.
Edukasi yang diberikan untuk diabetisi diantaranya informasi tentang DM,
pengendalian gula darah melalui perencanaan makan, latihan jasmani dan
obat-obatan, pemantauan gula darah, tanda dan gejala komplikasi akut dan
pencegahan komplikasi kronikseperti perawatan kaki.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
16
2.1.5.2. Pengaturan makan
Pengaturan makan merupakan salah satu terapi non farmakologis yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang DM (diabetisi). Prinsip dari
perencanaan makan ini adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individu (Yunir .E & Soebardi, 2009; ADA, 2012).
Manfaat yang didapatkan dari perencanaan makan pada penyandang DM
antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah
sistolikdan diastolic, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil
lipid, dan pada akhirnya meningkatkan sensitifitas insulin dan mencegah
timbulnya kompliksi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM
hamper sama dengan anjuran makan pada umumnya, yaitu gizi seimbang
sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi dari masing-masing individu.
Penekanan perencanaan makan pada diabetisi adalah pentingnya
keteraturan pada jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama pada
diabetisi yang menggunakan obat penurun glukosa atau insulin (Sukardji
dalam Sugondo, Suwondo, Subekti, 2011; PERKENI, 2011).
Komposisi bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi dalam rangka
mencapai gizi seimbang terdiri dari makronutrien, yaitu karbohidrat,lemak
dan protein, dan mikronutrien yang terdiri dari vitamin dan mineral.
Jumlah karbohidrat yang dianjurkan 45 – 65 % dari total asupan energi,
protein 10- 20 % dan lemak 20 – 25%.
Selain komposisi bahan makanan, jumlah kalori juga merupakan hal yang
harus diperhatikan. Setiap individu akan berbeda jumlah kalori yang
dibutuhkan. Penghitungan kalori pada penyandang DM disesuaikan
dengan jenis kelamin, aktifitas fisik, berat badan, stress metabolic dan
kondisi kehamilan.
Makanan yang telah disesuaikan komposisi dan kalori, kemudian dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan
malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
17
2.1.5.3. Latihan jasmani
Latihan fisik atau olah raga pada penyandang diabetisi akan membantu
dalam pengendalian gula darah, menurunkan lemak dalam darah,
menurunkan berat badan, menjaga kebugaran dan akan meningkatkan
sensitifitas insulin. Aktivitas fisik melibatkan kelompok besar otot-otot
utamanya
yang mempengaruhi
peningkatan
pengambilan
oksigen
sehingga terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif.
Prinsip latihan jasmani pada pasien diabetes hampir sama dengan latihan
jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti: frekuensi,
intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan
pada pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali
dalam 1 minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (60-70% maximum
heart rate), dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun
jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani endurans
(aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan,
jogging dan bersepeda. Latihan jasmani yang dipilih adalah latihan yang
disenangi oleh pasien (Yunir & Soebardi, 2009).
Proses terjadinya pengendalian kadar glukosa darah (penurunan kadar
glukosa darah) pada penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani
karena meningkatnya ambilan glukosa oleh otot yang bekerja selama
latihan jasmani berlangsung dan pada masa pemulihan atau pasca latihan
jasmani. Penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani
memperoleh sumber energinya berasal dari glukosa dan glikogen otot.
Pada saat latihan jasmani berlangsung (kontraksi otot rangka), aliran darah
akan meningkat ke daerah otot yang bekerja tersebut untuk membawa
bahan sumber energi (glukosa). Kontraksi sel otot merupakan peristiwa
berinteraksinya aktin dan miosin yang didahului oleh pelepasan ion
kalsium intrasel karena rangsangan persarafan. Kalsium
intrasel
mengaktifkan sejumlah enzim PKC serine kinase yang diduga
menstimulasi molekul transpor glukosa, GLUT4. Peristiwa kontraktil juga
mengubah rasio AMP/ATP sehinggga mengaktivasi AMP kinase. AMP
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
18
kinase memfosforilasi dan mengaktivasi enzim NO sintase sehingga
meningkatkan produksi NO (Nitrat Oxide) dan menstimulasi peningkatan
transport glukosa ke dalam sel otot rangka yang aktif. AMP kinase juga
memfosforilasi molekul p38 MAPK yang akan meningkatkan translokasi
GLUT4. Peningkatan GLUT4 pada sel otot yang aktif pada penderita DM
tipe 2 akan meningkatkan ambilan glukosa dari plasma darah sehingga
akan menurunkan kadar glukosa darah.
Latihan jasmani menjadi kontraindikasi pada kondisi guladarah >
250mg/dL, terdapat keton yang positif dan gangguan kardiovaskuler. Pada
kondisi ini meningkatkan metabolism sehingga meningkatkan kadar gula
darah dan benda keton.
Tahapan dalam latihan jasmani pada penyandang DM dimulai dengan
pemanasan, latihan inti, pendinginan dan peregangan. Untuk menghindari
hal yang tidak diinginkan seperti hipoglikemia, maka latihan fisik yang
akan dilakukan harus direncanakan & dalam pengawasan.
2.1.5.4. Obat-obatan
Terapi farmakologis atau obat, digunakan jika penatalaksanaan melalui
pengaturan makan dan latihan fisik, serta perubahan gaya hidup tidak
mampu mengendalikan gula darah. DM tipe 2 yang merupakan populasi
terbanyak terjadi karena resistensi insulin, penggunaan obat hiperglikemi
oral seringkali menjadi pilihan utama. Namun pada kondisi kerusakan sel
beta atau untuk mencegah kerusakan lebih lanjut insulin eksogen juga
menjadi pertimbangan untuk digunakan (Sugondo, Suwondo, Subekti
2011).
a. Obat hiperglikemia oral (OHO)
Ada 2 jenis obat hipoglikemik oral diantaranya adalah pemicu sekresi
insulin (seperti sulfonylurea dan glinid) dan obat penambah
sensitivitas terhadap insulin (biguanid, tiazolidindion, penghambat
glukosidase alfa dan incretin mimetic)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
19
ï‚·
Sulfonyluera
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta
pangkeras
untuk
melepaskan
insulin
yang
tersimpan.
Sulfonylurea pada umunya diberikan dengan dosis rendah untuk
mencegah
hipoglikemi.
Jenis
obat
sulfonylurea
adalah
klorpropamid, glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimepirid.
ï‚·
Glinid
Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari 2 jenis obat seperti repaglinid, dan nateglinid.
ï‚·
Biguanid
Jenis obat ini seperti: metformin dam metformin XR. Metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja
insulin pada tingkat selular. Metformin tidak dapat menyebabkan
penurunan glukosa darah sampai normal sehingga obat ini
dikenal juga dengan obat anti hiperglikemik. Kombinasi
supfoniluera dengan metformin tanpak memberikan kombinasi
yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling aditif.
ï‚·
Tiazolidindion
Golongan
obat
yang
mempunyai
efek
farmakologis
meningkatkan sensitivitas insulin/ dapat diberikan secara oral.
- Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan
penyerapan
glukosa
dan
menurunkan
hiperglikemia postprandial.
- Golongan incretin memetic
Pada pemberian glukosa secara oral, akan didapatkan kenaikan
kadar insulin yang lebih besar dari pada pemberian glukosa
secara intravena.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
20
b. Insulin
Insulin eksogen atau berasal dari luar tubuh diberikan pada semua DM
tipe 1. Indikasi pemberian pada DM tipe 2 adalah pada kondisi dimana
terapi lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa
darah, terjadi peningkatan metabolism : stress berat, infeksi,
pembedahan, MCI dan stroke. Komplikasi akut seperti ketoasidosis,
sindrom hiperosmolar non ketotik juga menjadi indikasi penggunaan
insulin eksogen (Sugondo, 2011)
Berdasarkan cara kerjanya insulin eksogen (puncak kerja dan jangka
waktu efeknya), insulin dibagi menjadi empat tipe, yaitu : Insulin kerja
singkat(short acting insulin), insulin kerja cepat (rapid acting insulin),
insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja
panjang (long acting insulin).
Tabel 2.1.
Tipe insulin dan cara kerja
Cara Kerja
Sediaan
Onset
Puncak
Durasi
Rapid acting
Humalog (insulin
lispro)
Novolog ( Insulin
Aspart)
5 – 10
menit
1 jam
2–4
jam
Short acting
Humulin R
Novolin R
0,5 – 2
jam
2- 4 jam
4–6
jam
Intermediate
acting
Long acting
Humulin N (NPH)
Humulin 70/30
2–4
jam
4 – 10
jam
10- 16
jam
Humulin U (Ultralente)
Lantus ( Insulin
glargine)
Tidak ada onset dan tidak ada
masa puncak kerjanya
2.1.5.5. Monitoring gula darah
Monitoring gula darah sangat penting dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemi atau hiperglikemi, terutama
pada orang yang mendapatkan terapi insulin atau OHO yang berdampak
pada peningkatan sekresi insulin. Saat ini telah banyak dipasarkan alat
monitoring gula darah yang dapat digunakan oleh para penyandang DM.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
21
Monitoring gula darah oleh diabetisi sendiri hasilnya sangat dipengaruhi
oleh kemampuan diabetisi mengenali dan menggunakan alat tersebut.
Perawat berperan dalam memberikan edukasi untuk tehnik pemeriksaan
hingga pembacaan hasil.
Monitoring glukosa oleh diabetisi dapat dilakukan 2–4 kali sehari pada
penyandang DM yang mendapat terapi insulin yaitu pagi sebelum makan
dan sebelum tidur, atau setiap sebelum makan dan 2 jamsetelah makan.
Jika gula darah sudah stabil dapat dilakukan 2–3 kali dalam seminggu.
Untuk penyandang DM yang tidak mendapatkan insulin, monitoring dapat
dilakukan 2–3 kali seminggu termasuk pemeriksaan 2 jam setelah beban
glukosa atau setelah makan (Smeltzer & Bare, 2008).
Monitoring gula darah sendiri dianjurkan pada penyandang DM yang
guladarahnya tidak terkontro, kejadian hypoglikemia berulang dan wanita
hamil dengan hyperglikemia (PERKENI, 2011)
2.1.6. Komplikasi
Penatalaksanaan DM yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai komplikasi,
baik yang disebabkan karena penurunan gula darah yang terlalu drastis maupun
peningkatan gula darah. Komplikasi yang terjadi bisa bersifat akut maupun kronik.
2.1.6.1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia
Hypoglikemia adalah terjadinya penuruanan glukosa dalam darah
hingga dibawah 60 mg/dL. Pada penyandang DM, hypoglikemia
biasanya terjadi peningkatan kadar insulin yang tidak tepat, baik akibat
penyuntikan insulin eksogen maupun konsumsi OHO dengan aksi
peningkatan sekresi insulin seperti sulfonylurea.
Hipoglikemi merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kegawatan
hingga kematian. Hal ini terjadi karena glukosa merupakan komponen
penting yang dibutuhkan untuk metabolism sistim saraf pusat (otak).
Pada gangguan asupan glukosa yang berlangsung dalam beberapa
menit, akan menyebabkan gangguan pada fungsi saraf pusat dengan
gejala mulai dari gangguan koknisi, penurunan kesadaran hingga koma.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
22
Mekanisme
tubuh
dalam
kondisi
hipoglikemia
yaitu
dengan
melepaskan neuroendokrine dan mengaktifkan sistim saraf otonom.
Penekanan produksi insulin, produksi glucagon dan epinephrine
merupakan pencegahan terhadap hipoglikemia lanjut. Peniningkatan
epinephrine
akan
menimbulkan
manifestasi
palpitasi,
cemas,
diaphoresis, lapar dan pucat (Lewis, 2011).
Tanda dan gejala hipoglikemia, menurut Sugondo, dkk, 2011 dapat
dibagi dalam 4 stadium, yaitu
- Stadium parasimpatik : lapar, mual dan tekanan darah menurun
- Stadium gangguan otak ringan : lemah,lesu, sulit bicara, gangguan
koknitif seperti kesulitan menghitung
- Stadium Simpatik : keringat dingin pada area wajah dan ekstremitas
yang disertai dengan berdebar-debar
- Stadium gangguan otak berat : koma dengan atau tanpa kejang.
Pencegahan hipoglikemia dapat dilakukan dengan member edukasi
kepada diabetisi mengenai OHO atau insulin yang digunakan: kapan
harus dikonsumsi,bagaimana penyuntikan insulin yang benar seperti
lokasinya, waktunya, dosis dan tehnik penyuntikan. Pengaturan makan
sesuai jumlah, jenis dan jadwal penjadi pokok utama pencegahan.
Pengenalan terhadap gejala hipoglikemia dan penanganan awal juga
merupakan hal penting yang harus diketahui penyandang DM, sehingga
tidak jatuh kepada hipoglikemia tahap lanjut.
Jika hipoglikemia sudah terjadi maka, pengobatan harus segera
dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan otak lebih lanjut
(Soegondo 2011), yaitu :
- Stadium awal : masih komposmentis, dapat diberikan gula murni
30 gr (2 sendok makan) atau sirup, permen dan makanan yang
mengandung karbohidrat mudah cerna dan insulin atau OHO tidak
diberikan.
- Stadium koma hipoglikemia : segera dibawa ke pelayanan
kesehatan. Pemberian glukosa 40 % sebanyak 2 flakon intravena
setiap 10- 20 menit hingga pasien sadar, disertai pemberian cairan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
23
dextrose 10% perinfuse 6 jam/kolf dengan pemantauan gula darah
setiap 30 menit.
b. Ketoasidosis
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) juga merupakan komplikasi akut yang
menyebabkan kondisi kegawatan sehingga membutuhkan pengelolaan
yang cepat. KAD suatu keadaan dekompensasi dan kekacauan
metabolic yang ditandai dengan hyperglikemia, asidosis dan ketosis
dan gejala dehidrasi (Suwondo P, 2009; Lewis, 2011, LeMone, 2011).
Walaupun KAD lebih mudah terjadi pada DM tipe 1, namun tidak
sedikit penyandang DM tipe 2 juga mengalami komplikasi KAD dan
20 % dari pasien KAD, baru diketahui menderita DM.
Faktor pencetus terjadinya KAD adalah infeksi, MCI, pancreatitis akut,
penggunaan obat steroid dan menghentikan atau mengurangi dosis
insulin.
Proses terjadinya KAD dapat diawali dengan defisiensi insulin absolute
maupun relative mengakibatkan sel tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa. Sistem homeostasis tubuh teraktivasi sehingga cadangan
glukosa dihati dan otot dikeluarkan. Kondisi ini menyebabkan
hiperglikemia yang berat. Selanjutnya terjadi hormone kontraregulator
meningkat terutama epinephrine yang akan merangsang aktivasi
hormone lipase sensitive, lipolisis meningkat, benda keton dan asam
lemak bebat juga akan meningkat dalam darah. Akumulasi benda keton
ini akan menyebabkan asidosis metabolic.
Gejala dehidrasi terjadi diawali dengan glycosuria yang akan
menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan
elektrolite-seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan
klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia
pra renal dan dapat menimbulkan shock hypovolemik. Asidosis
metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan
derajat ventilasi (peranafasan Kussmaul). Muntah-muntah juga
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
24
biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan
elektrolite.
Diagnosis KAD dapat ditegakkan berdasarkan pada nilai gula darah
lebih dari 250 mg/dL, pH darah kurang dari 7,35, HCO3 rendah dengan
anion gap yang tinggi dan keton serum positif. Pemeriksaan lain
sebagai
penunjang
dari
manifestasi
yang
ditimbulkan
yaitu
pemeriksaan elektrolit, urium creatinin, dan penghitungan osmolaritas.
Penatalaksanaan KAD dilakukan berdasarkan patofisiologi dan
pathogenesis penyakit. Diperlukan pengelolaan yang intensive dengan
prinsip pengelolaan KAD, yaitu : penggantian cairan dan elektrolit
yang hilang, menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis
sel hati dengan pemberian insulin, mengatasi pencetus KAD,
mengembalikan kekondisi fisiologis dengan pemantauan glukosa.
-
Penggantian cairan (rehidrasi) : Cairan yang digunakan adalah
NaCl 0,9%. Diberikan 1- 2 liter pada jam pertama, kemudian jam
kedua diberikan 1 liter, setelah itu cairan diberikan sesuai dengan
tingkat dehidrasi. Rehidrasi pada KAD selain memperbaiki perfusi
jaringan, juga akan menurunkan hormone kontraregulator insulin.
-
Insulin : insulin mulai diberikan dalam bentuk bolus pada jam ke 2,
dengan dosis 180 mU/KgBB, dilanjutkan dengan drip 90
mU/KgBB dalam NaCl 0,9%. Bila gula darah stabil dalam 12 jam
(200 – 300 mg/dL), dilanjutkan dengan drip insulin 1 – 2 ui/jam
dan dilakukan penyesuaian insulin setiap jam. Pemberian insulin
pada KAD ini bertujuan menurunkan konsentrasi hormone
glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati,
pelepasan asam lemak bebas, pelepasan asam amino dan
meningkatkan penggunaan insulin oleh sel.
-
Kalium : hipokalemia bisa terjadi pada KAD karena perpindahan
ion K,dari dalam sel keluar sel yang pada akhirnya keluar melalui
urine karena proses dehidrasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
25
c. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
HHNK merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis
utama didapatkan adanya dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan dapat
disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.
Faktor pencetus timbulnya HHNK diantaranya infeksi, pengobatan,
DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta
seperti
tumor
yang
menghasilkan
hormone
adeokortikotropin,
pancreatitis dan lainnya. Pada usia lanjut dengan DM HHNK lebih
mudah terjadi khususnya lansia dengan penyakit penyerta dan asupan
nutrisi yang kurang.
Proses
perjalanan
HHNK
sama
dengan
KAD
dimana
tidak
tercukupinya insulin akan mengakibatkan hiperglikemia yang pada
akhirnya terjadi dieresis osmotik. Kehilangan cairan intravascular akan
menyebabkan keadaan hiperosmolar yang akan memicu sekresi
hormone anti diuretic, rasa haus yang berkepanjangan akan dirasakan
oleh pasien. Kehilangan cairan yang tidak terkompensasi akan
menimbulkan penurunan perfusi jaringan hingga koma.
Pemeriksaan
penunjang
untuk
mendiagnosis
adanya
HHNK
diantaranya adalah kadar glukosa darah yang > dari 600mg/dL,
osmolaritas serum yang tinggi >320 mOsm perkg air, pH > 7.30, dapat
ditemukan adanya ketonemia ringan atau tidak ditemukan. Sebagian
pasien menunjukan asidosis metabolic dengan anion gap ringan hingga
berat. Konsentrasi BUN dan kreatininsering kalimeningkat yang
menggambarkan adanya penurunan fungsi ginjal akibat dehidrasi dan
akan terjadi penurunan elektrolit.
Penatalaksanaan HHNK yang pertamaadalah rehidrasi dengan agresif
menggunakan cairan NaCL 0,9 % dimulai dari 1 liter setiap jam.
Pemberian
elektrolit
khususnya
kalium
yang
hilang
bersama
pengeluaran cairan. Pemantauan terhadap kondisi aritmia sebagai
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
26
akibat hypokalemi harus dilakukan. HHNK diawali dengan ketidak
cukupan kebutuhan insulin, sehingga pemberian insulin sangat penting.
Pemberian insulin ini dilakukan setelah kondisi kekurangan cairan
tubuh teratasi.
2.1.6.2. Komplikasi Kronik
Kelainan metabolik pada DM tipe 2 dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan perubahan berbagai organ pada tubuh dan bersifat
irreversible. Hiperglikemia menyebabkan glukosa direduksi menjadi
sorbitol dalam sel yang mengandung enzim aldoreduktase. Sorbitol bersifat
hidrofilik
sehingga
tidak dapat
melewati
membran sel
sehingga
meningkatkan akumulasi poliol intrasel sehingga sel menjadi bengkak dan
mengalami kerusakan akibat proses osmotik (Waspadi dalam Sudoyo, 2009;
Sibernagl & Lang, 2007).
Hiperglikemia menyebabkan kerusakan jaringan melalui terbentuknya
glikosilasi
antara
glukosa dengan
protein
non-enzimatik
Advance
Glycocilation End Products (AGES) yang berikatan dengan reseptor
membran sel serta adanya pembentukan radikal bebas reactive oxygen
species (ROS) yang dapat mengakibatkan pengendapan kolagen pada
membran basalis pembuluh darah, kerusakan endothelium, penyempitan
lumen dan penurunan permiabilitas pembuluh darah (Scott, Gronowski,
Eby, 2007; Waspadji dalam Sudoyo, 2009).
Kerusakan dinding pembuluh darah kecil dapat menyebabkan neuropati,
nefropati dan retinopati. Neuropati disebabkan akibat penumpukan sorbitol
pada sel schwan dan neuron sehingga mengganggu konduksi sel-sel saraf
yang mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom, sensori dan refleks.
Neuropati ditandai dengan adanya penurunan fungsi serabut saraf secara
progresif. Neuropati merupakan komplikasi yang banyak terjadi pada DM
dan diperkirakan terjadi pada 50% pasien DM baik tipe 1 maupun tipe 2
(Lin, 2011).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
27
Nefropati
berhubungan
dengan
adanya
glomerulosklerosis
yang
mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus, proteinuria, hipertensi
dan gagal ginjal. Terjadinya gagal ginjal pada pasien DM tipe 2 dapat
berhubungan dengan adanya penurunan Angiotensin Concerting Enzyme
(ACE 2) yang berperan dalam melindungi ginjal (Reich, Oudit, Penninger,
Scholey, & Herzenberg, 2008). Menurut Batuman resiko terjadinya
nefropati diabetik dapat dialami pasien yang mengalami DM lebih dari 30
tahun.
Retinopati disebabkan adanya penumpukan sorbitol pada lensa mata yang
mengakibatkan penarikan cairan dan perubahan kejernihan lensa mata (Bate
& Jerums, 2003). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan pada
kelompok usia 25-74 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar
700.000 orang mengalami retinopati diabetik proliferasi dengan setiap
tahunnya terdapat 65.000 kasus. Prevalensi retinopati diabetik di Amerika
Serikat menunjukkan angka cukup tinggi yaitu sekitar 28.5% yang terutama
terjadi pada pasien DM dengan usia diatas 40 tahun (Bhavsar, 2011).
Hiperglikemia juga menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah
yang besar yang berhubungan dengan terjadinya infark miokard, stroke dan
penyakit pembuluh darah tepi. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan
pembentukan protein plasma yang mengandung glukosa seperti fibrinogen,
haptoglobin, macroglobulin alpha 2 dan faktor pembekuan V-VIII yang
cenderung mengakibatkan peningkatan pembekuan dan viskositas darah
yang mempermudah terjadinya trombosis.
Trombosis yang disertai dengan peningkatan kadar kolesterol Very Low
Density Lipoprotein (VLDL) akan menyebabkan makroangiopati yang
memicu terjadinya penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan penyakit
pembuluh darah perifer (Ignatavicius & Workman, 2010). Pasien DM tipe 2
memiliki resiko tinggi untuk mengalami gagal jantung. Kemungkinan
mekanisme yang menjelaskan tentang hubungan DM tipe 2 dengan penyakit
jantung adalah adanya peningkatan tekanan darah dan efek dari
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
28
metabolisme seperti hiperinsulinemia dan hiperglikemia (Gholap, Davies,
Patel, Sattar, & Kunthi, 2011).
Komplikasi kronik yang banyak terjadi akibat adanya komplikasi pada
makrovaskuler, mikrovaskuler maupun neuropati adalah komplikasi pada
kaki atau kaki diabetic.
Kaki diabetic didefinisikan sebagai kaki pada pasien diabetes yang rentan
terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi
pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari
diabetes. Kaki diabetic ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy),
berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan
komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,2008;
Waspadji, 2009; Turn, 2011).
Seperti dijelaskan pada definisi bahwa terjadinya kaki diabetik disebabkan
selain oleh adanya gangguan vaskuler, gangguan saraf perifer, juga dapat
disebabkan adanya deformitas musculoskeletal maupun infeksi. Proses
terjadinya kaki diabetic dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Neuropathy
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik
yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,
sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan
radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai
jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran
darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel,
dan terjadilah ND (Subekti I, 2010).
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor),
otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan
bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
29
bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50%
pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun.
Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme
vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis
kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi
saraf karena hiperglikemia.
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya
saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan
ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah
proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk,
kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya
pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa
baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran
terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda
yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas
terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyunghuyung.
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita
neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki.
Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini
adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan
fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat
perubahan neuropatik (Smeltzer & Bare, 2008).
b. Mikrovaskuler (mikroangiopathy)
Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan
terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan
glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan
terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk
advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
30
reseptornya
masing-masing
di
membrane
sel
sehingga
dapat
meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh
darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui
transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat
diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan
membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan
lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi
kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009).
c. Deformitas
Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi
sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama
adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam,
dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus.
Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada
serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat
menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw
toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles)
dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus.
Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik
menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan
edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom
memudahkan terjadinya artropati Charcot.
d. Infeksi
Penyandang Diabetes
pada jangka waktu lama akan mengalami
penurunan pada system imunitas. Penurunan system imun dapat
disebabkan oleh 3 faktor yaitu : kerusakan fungsi polimorphonuclear
leukosit, neuropathi diabetic dan penurunan vaskuler. Gangguan vaskuler
akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi sel darah
putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang
rusak dan ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang
dengan cepat. Pada kondisi ini penyandang diabetes akan mudah
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
31
mengalami infeksi terutama pada kaki yang mengalami luka (Hawks &
Black, 2010)
2.2. Asuhan Keperawatan Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy
2.2.1.Dasar Teori adaptasi Roy
Sister Calissta Roy lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, seorang
profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai mengembangkan
teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964. Roy mengembangkan suatu model
yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Model adaptasi Roy berasal
dari pemikiran Roy yang sangat terkesan dengan ketahanan anak-anak terhadap
perubahan mayor fisik dan psikososial saat dirawat di bangsal pediatric. Dimulai
dari seminar dengan Dorothy E. Jhonson untuk mempresentasikan suatu model
keperawatan dan kemudian dilanjutkan dengan berdasar pada teori adaptasi
Helson (1964), maka Roy kemudian menghasilkan suatu teori yang disebut
model adaptasi.
Ada beberapa ahli yang memberikan pengaruh atau berkontribusi terhadap
perkembangan teoritis model adaptasi Roy, para ahli tersebut antara lain Helson
(Helson’s Adaptation Theory), Rapoport (Rapoport’s Definition), Dohrenwend,
Lazarus, Mechanic, Selye, Marie Direver (Self Integrity), Martinez and sato
(common and primary stimuli affecting the modes), Poush Tedrow and Van
Landingham (Interdependence mode), Randel (Role Function Mode) (Tomey &
Alligood, 2006).
Pada awalnya, Roy mendiskusikan tentang konsep diri dan identitas kelompok
dengan menggunakan teori interaksi social sebagai dasar teori, salah satu contoh
penggunaan teori tersebut adalah persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh
respon dari orang lain. Selain itu Sullivan juga mempengaruhi Roy untuk
membuktikan bahwa seseorang itu muncul dari interaksi social yanga ada.
Gardner dan Erickson, 1984 dalam Tomey & Alligood, 2006 juga berpengaruh
pada mode yang lain, yaitu fisik-psikologis, fungsi peran dan interdependensi
untuk memahami bahwa manusia juga berasal dari komponen biologis dan
behavioral.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
32
2.2.2.Asumsi-Asumsi Utama
Roy (1988 dalam Roy & Andrews, 1999) mengidentifikasi asumsi spesifik pada
dua prinsip filosofi yaitu asumsi humanism dan veritivity. Asumsi humanism
mengatakan bahwa manusia dan pengalamannya merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk mengetahui dan menilai sesuatu untuk membentuk suatu kekuatan
kreatif, sedangkan asumsi veritivity mengatakan tentang keyakinan pada tujuan,
nilai dan arti dalam kehidupan manusia Roy (1988 dalam Roy & Andrew,
1999). Selain itu terdapat asumsi keilmuan yang berasal dari gabungan teori
system dan teori level adaptasi. Teory system mengatakan bahwa system
adaptasi manusia terlihat dari interaksi dan tindakan untuk mencapai suatu
tujuan di dunia ini. Sedangkan system adaptasi manusia sangatlah kompleks,
dengan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan stimulus dari
lingkungan, manusia mempunyai kemampuan untuk merubah lingkungan
sekitarnya.
Dalam memahami konsep adaptasi, Roy (Roy & Andrew,1999 dalam Tomey &
Alligood, 2006) mengembangkan 5 asumsi dasar dalam model adaptasi ini, yaitu
adaptasi, keperawatan, manusia/individu, kesehatan dan lingkungan.
2.2.2.1. Adaptasi
Adaptasi adalah suatu proses dan hasil, dimana manusia adalah sebagai
individu dalam satu kelompok yang menggunakan kesadaran penuh dan
pilihan untuk membentuk suatu integrasi antara manusia dan
lingkungan. Untuk mempertahankan integritas, individu berespon
terhadap stimulus dari lingkungan.
2.2.2.2. Keperawatan
Keperawatan sebagai suatu profesi pelayanan kesehatan yang berfokus
pada proses dan pola hidup manusia serta menekankan terhadap
promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat
sebagai suatu kesatuan. Roy mengidentifikasikan aktifitas keperawatan
sebagai suatu pengkajian terhadap perilaku dan stimulus yang
mempengaruhi adaptasi. Keputusan dalam perawatan berdasarkan pada
pengkajian dan perencanaan yang disusun untuk mengatur stimulus
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
33
yang masuk. Pada akhirnya, tujuan Roy dalam keperawatan adalah
promosi
adaptasi
individu
dan
kelompok
pada
setiap
mode
(physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role
function mode and interdependence mode) yang berkontribusi terhadap
kondisi sehat, kualitas hidup dan meninggal dengan tenang.
Keperawatan mempunyai peran yang unik yaitu sebagai fasilitator
untuk beradaptasi dengan mengkaji perilaku pada tiap mode dan faktorfaktor yang mempengaruhi adaptasi dengan cara ikut andil untuk
mengembangkan kemampuan beradaptasi dan meningkatkan interaksi
lingkungan.
2.2.2.3. Manusia.
Menurut Roy manusia adalah individu yang holistic, sebagai mahluk
adaptif terhadap lingkungan yang ada. Sebagai system adaptif, manusia
didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari beberapa bagian yang
berfungsi secara menyeluruh untuk mencapai suatu tujuan. Individu
sebagai suatu system meliputi manusia sebagai individu atau kelompok
baik itu keluarga, organisasi, komunitas atau masyarakat dalam suatu
kesatuan secara menyeluruh. Manusia mempunyai kemampuan untuk
berfikir, merasakan, menyadari dan mengartikan sesuatu untuk
merubah lingkungan dan pada akhirnya mempengaruhi lingkungan.
Dengan kata lain manusia dipandang sebagai mahluk bio-psiko-sosialspiritual yang holistik dalam segenap aspek individu dengan bagianbagiannya yang berperan bersama membentuk kesatuan, ditambah
manusia sebagai sistem yang hidup berada dalam interaksi yang
konstan dengan lingkungannya.
Dalam keperawatan, Roy mendefinisikan manusia sebagai focus utama,
penerima asuhan keperawatan, sebagai system adaptif yang hidup dan
sangat kompleks dengan aktifitas proses internal (kognator dan
regulator) untuk mempertahankan adaptasi pada 4 lini mode
(physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role
function mode and interdependence mode).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
34
2.2.2.4. Sehat
Sehat adalah suatu kondisi dan suatu proses untuk menjadi manusia
yang utuh dan berintegrasi (satu). Sehat merupakan suatu refleksi dari
adaptasi, yaitu interaksi antara individu dan lingkungan. Definisi ini
muncul dengan pemikiran bahwa adaptasi adalah suatu proses
dukungan fisik, psikologis dan integritas social menuju suatu kesatuan
dan keutuhan. Pada awalnya, Roy menampilkan kondisi sehat sebagai
suatu kondisi yang berkelanjutan dari kondisi mati dan rendahnya
status kesehatan menuju kondisi yang lebih baik dan sejahtera, untuk
selanjutnya Roy memfokuskan pada asumsi bahwa sehat adalah suatu
proses dimana kesehatan dan kematian selalu beriringan. Roy
menyatakan bahwa sehat bukanlah bebas dari menghindari kematian,
penyakit, kesedihan dan stress, tetapi lebih pada kemampuan untuk
mengatasi semua hal tersebut dengan cara yang kompeten.
Sehat dan sakit adalah kondisi yang tidak terelakkan karena merupakan
dimensi hidup dan pengalaman hidup manusia. Ketika mekanisme
koping seseorang tidak efektif, maka jatuhlah individu pada kondisi
sakit, tetapi ketika seseorang dapat beradaptasi secara terus menerus
maka orang tersebut sehat. Sebagai individu yang beradaptasi terhadap
stimulus yang ada, individu mempunyai kebebasan untuk merespon
terhadap stimulus lainnya.
2.2.2.5. Lingkungan.
Lingkungan
adalah
semua
kondisi,
keadaan,
situasi
yang
mempengaruhi pembentukan perilaku individu atau kelompok dengan
fakta yang mempertimbangkan kualitas sumber daya alam dan manusia
yang terdiri dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Perubahan
lingkungan akan menstimulasi seseorang untuk berespon secara adaptif.
Antara sistem dan lingkungan terjadi pertukaran informasi, materi dan
energi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
35
Sebagai suatu system terbuka, manusia menerima input atau stimulus dari dirinya
sendiri dan lingkungan. Tingkatan adaptasi ditentukan oleh efek yang tergabung
dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi terjadi ketika seseorang
berespon positif terhadap perubahan lingkungan, dimana respon adaptif ini
meningkatkan integritas seseorang untuk mencapai suatu kondisi sehat. Sebaliknya,
jika responnya tidak efektif maka akan terjadi gangguan integritas seseorang.
Di bawah ini bentuk diagram yang digunakan Roy untuk menggambarkan sistem
adaptasi manusia dalam bentuk sistem yang terdiri dari proses input, output,
kontrol dan umpan balik:
Input
Tingkat
adaptasi
(stimulus
fokal,
konstektual
dan
residual
Proses kontrol
Efektor
Mekanisme
koping
(Regulator
Kognator)
Fungsi fisiologis
Konsep diri
Fungsi peran
interdependensi
Output
Respons
adaptif dan
inefektif
Feeback
Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy
Dari gambar di atas terdapat 2 subsistem di model adaptasi Roy, pertama yaitu
fungsional atau subsistem proses kontrol yang terdiri dari regulator dan kognator.
Yang kedua adalah subsistem effector yang terdiri dari 4 mode adaptif, yaitu 1)
kebutuhan fisik, 2) konsep diri, 3) fungsi peran, dan 4) interdependence.
Berikut keterangan gambar 2.1 tentang manusia sebagai suatu system adaptif:
a.
Input
Roy mengidentifikasikan bahwa input merupakan stimulus yang terdiri dari
informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan
respon dimana dibagi dua dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal,
kontekstual dan stimulus residual.
ï‚·
Stimulus fokal
Stimulus yang dihadapi saat ini yang memerlukan waktu cepat untuk
respons adaptasi atau stimulus yang langsung berhadapan dengan
seseorang dan efeknya segera dirasakan, misalnya infeksi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
36
ï‚·
Stimulus kontekstual
Semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun
eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diamati, diukur serta dapat
dilaporkan secara subyektif. Rangsangan ini muncul secara bersamaan
dimana dapat menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal seperti
isolasi sosial.
ï‚·
Stimulus residual
Faktor internal yang dimiliki individu yang memungkinkan mempengaruhi
perilaku, misalnya: keyakinan, sikap, pengalaman masa lalu yang disebut
koping.
b.
Kontrol (proses)
Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk dari mekanisme yang
Roy gunakan. Mekanisme kontrol ini terdiri dari regulator dan kognator yang
merupakan bagian dari subsistem koping.
ï‚·
Sub sistem regulator
Sub sistem regulator berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis,
dimana terdapat respon otomatis terhadap perubahan lingkungan melalui
proses neuro chemical endocrine coping proses. Banyak proses fisiologis
yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator sub sistem.
ï‚·
Sub sistem kognator
Kognator
berhubungan
dengan
mode
adaptive
konsep
diri;
interdependensi dan fungsi peran dimana respon yang muncul melalui 4
canel kognitif-emosi, yaitu proses persepsi terhadap suatu informasi,
belajar, penilaian dan emosi, proses ini terjadi dalam otak.
c.
Output
Output atau keluaran dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diukur,
diamati atau secara subyektif dapat dilaporkan baik dari dalam maupun luar.
Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy membagi output sistem
sebagai respon yang adaptif atau respon yang mal adaptif. Respon yang adaptif
dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat
bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
37
kelangsungan hidup, perkembangan dan reproduksi. Sedangkan respon yang
mal adaptif adalah perlaku yang tidak mendukung dalam tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses
kontrol seseorang sebagai sisten adaptif. Beberapa mekanisme koping ditentukan
secara genetik (misalnya leukosit) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang
dapat menyerang tubuh. Mekanisme lain yang dapat dipelajari seperti pengunaan
antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu
keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan
kognator dimana mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi.
Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator sub sistem sering
bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh
individu itu sendiri serta mekanisme koping yang digunakan. Penggunaan
mekanisme koping yang maksimal megembangkan tingkat adaptasi seseorang dan
meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespons secara positif. Untuk sub
sistem regulator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol sehingga sangat
terbuka untuk melakukan penelitian tentang respons kontrol dari sub sistem
kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya konsep ini
mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan
menetapkan sistem efektor yaitu 4 (empat) model adaptasi yang terdiri dari:
a.
Kebutuhan Fisiological
Kebutuhan fisiologi meliputi interaksi manusia dengan lingkungan dan
kesepakatan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain cairan dan
elektrolit, latihan dan istirahat, eliminasi, nutrisi, sirkulasi dan oksigen serta
regulasi yang berhubungan dengan perasaan, suhu dan regulasi endokrin.
b.
Konsep Diri
Konsep diri merupakan satu dari tiga mode psikososial yang berfokus pada
psikologis dan spiritual sebagai aspek dari system manusia. Terbentuk dari
persepsi internal dan persepsi dari orang lain. Terdiri dari body sensation yaitu
bagaimana seseorang merasakan keadaan fisiknya, body image, bagaimana
seseorang memandang fisik dirinya, self consistency, bagaimana upaya
seseorang untuk memelihara dirinya dan menghindari dari ketidakseimbangan,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
38
dan moral etic spiritual self yang merupakan keyakinan seseorang dan evaluasi
dirinya.
c.
Fungsi Peran
Fungsi peran ini bagaimana mengenal pola interaksi social seseorang. Peran
ini direfleksikan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer
merupakan peran utama yang ditentukan oleh jenis kelamin, usia, dan tahap
perkembangan. Peran sekunder merupakan tugas yang harus diselesaikan
berdasarkan tugas perkembangan dan peran primernya. Peran tersier
merupakan peran yang bersifat sementara, bebas untuk dilakukan, aktivitas
dapat berupa hobi. Tujuan dari adaptasi fungsi peran ini adalah integritas social
(Tomey & Alligood, 2006)
d.
Saling Ketergantungan (interdependency)
Mode ini menunjukan mekanisme koping pada individu yang saling
berhubungan dan menghasilkan rasa saling mencintai, menghargai dan saling
membutuhkan. Hubungan ini biasanya terjadi antara individu dengan support
sistemnya.
Hasil dari mekanisme koping dari ke 4 mode ini adalah adaptif atau inefektif. Respon
adaptif ditunjukan dengan meningkatnya integritas seseorang yang meliputi intergritas
fisik, psikologi dan sosial. Sebaliknya, jika integritas ini tidak tercapai, maka respon
inefektif yang akan didapatkan.
2.2.3. Asuhan keperawatan menurut Model Adaptasi Roy
2.2.3.1. Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu :
a.
Pengkajian perilaku (behavior)
Pengkajian perilaku (behavior) merupakan langkah pertama proses
keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku
bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku
pasien adaptif atau inefektif. Perilaku yang diamati terdiri dari dua hal
yaitu perilaku yang dapat diobservasi dan perilaku yang tidak dapat
diobservasi, seperti keluhan pasien. Pengkajian tipe perilaku yang dapat
diobservasi diperoleh dengan cara dilihat, didengar, dan/atau diukur.
Apabila ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi normal
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
39
maka hal ini mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu
dapat disebabkan oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator
(Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006).
Data perilaku yang diamati meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1)
fisiologis, yang terdiri dari pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi,
eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensori/ pengindraan, cairan
dan elektrolit, fungsi neurologis, fungsi endokrin; 2) konsep diri,
meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi peran, meliputi proses transisi
peran, perilaku peran, integrasi peran, pola penguasaan peran, dan
proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola memberi dan menerima,
dan strategi koping perpisahan dan kesendirian.
b.
Pengkajian stimulus merupakan tahap dua untuk mengetahui factor
yang mempengaruhi perilaku yang ditunjukan oleh individu. Faktor
yang mempengaruhi ini disebut juga dengan stimulus dan stimulus
dapat internal dan eksternal yang mencakup semua kondisi, keadaan
dan mempengaruhi sekeliling dan/atau mempengaruhi perkembangan
dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi
antara lain kultur (status sosial ekonomi, etnis, dan sistem keyakinan);
keluarga (struktur dan tugas-tugas); tahap perkembangan (faktor usia,
jenis, tugas, keturunan, dan genetik); integritas mode adaptif (fisiologis
yang mencakup patologi penyakit, konsep diri, fungsi peran, dan
interdependensi);
efektivitas
kognator
(persepsi,
pengetahuan,
ketrampilan); pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan internal
atau eksternal, pengelolaan medis, menggunakan obat-obat, alkohol,
tembakau). Pengkajian stimulus diarahkan pada stimulus fokal,
kontekstual, dan residual.
2.2.3.2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Roy & Andrews, 1999 diagnosa keperawatan merupakan proses
penilaian yang menghasilkan pernyataan status adaptasi seseorang. Sebelum
dilakukan penetapan diagnosa keperawatan semua data sudah terkumpul.
Data perilaku merupakan hasil dari pengamatan, pengukuran, dan laporan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
40
subjektif. Data lain adalah penyataan tentang stimulus fokal, kontekstual,
dan residual yang mempengaruhi data perilaku tersebut.
Selanjutnya Roy menggambarkan tiga metode dalam menegakkan diagnose
keperawatan. Metode pertama menggunakan tipologi diagnose berhubungan
dengan empat mode adaptasi. Metode kedua dalam menegakkan diagnose,
dengan mengobservasi tingkah laku yang berhubungan dengan stimulus,
baik fokal, konstektual maupun residual. Metode yang ketiga merupakan
kesimpulan satu atau lebih model adaptasi yang berhubungan dengan
stimulus.
2.2.3.3. Penetapan tujuan keperawatan.
Keperawatan terdiri dari dua yaitu : tujuan keperawatan dan aktivitas
keperawatan. Tujuan keperawatan adalah mempertinggi interaksi manusia
dengan lingkungan. Jadi peningkatan adaptasi dalam tiap empat cara
adaptasi yaitu : (1) fungsi fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran dan
(4) interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan integritas adaptasi dan
berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup dan kematian
dengan damai. Tujuan keperawatan tercapai ketika stimulus fokal berada
dalam suatu area adaptasi yang adaptif. Ketika stimulus fokal berada pada
area tersebut, manusia dapat membuat suatu penyesuaian diri atau
berespons adaptif. Hal tersebut membebaskan individu dari koping yang
tidak efektif dan memungkinkan individu untuk merespon stimulus yang
lain. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat mencapai peningkatan
penyembuhan dan kesehatan. Jadi peranan penting adaptasi sangat
ditekankan pada konsep ini.
Tujuan dari adaptasi adalah membantu perkembangan aktivitas keperawatan
yang digunakan pada proses keperawatan meliputi : pengkajian, diagnosa
keperawatan, tujuan, intervensi dan evaluasi. Adaptasi model keperawatan
menetapkan “data apa yang dikumpulkan, bagaimana mengidentifikasi
masalah dan tujuan utama, pendekatan apa yang dipakai dan bagaiman
mengevaluasi efektifitas proses keperawatan”. Setelah dilakukan pengkajian
terhadap perilaku, stimulus, dan diformulasikan ke dalam diagnosa
keperawatan
maka
langkah
selanjutnya
adalah
penentuan
tujuan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
41
keperawatan. Penetapan tujuan keperawatan diartikan sebagai pembuatan
pernyataan yang jelas dari keluaran perilaku (behavior outcomes) dari
pelayanan keperawatan. Ada tiga hal yang dimuat dalam pernyatan tujuan
keperawatan yaitu perilaku (behavior), perubahan yang diharapkan (change
expected), dan kerangka atau rentang waktu (time frame). Setelah itu tujuan
keperawatan jangka pendek dan jangka panjang ditentukan.
2.2.3.4. Intervensi dan implementasi
Menurut Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006 tujuan dari
intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan mempertinggi perilaku
adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi perilaku adaptif.
Intervensi direncanakan untuk mengelola stimulus. Sebagai stimulus,
intervensi berfokus bagaimana tujuan dapat dicapai. Fokus intervensi adalah
mengarah pada suatu stimulus yang mempengaruhi suatu perilaku.
Pengelolaan stimulus meliputi merubah, meningkatkan, menurunkan,
memindahkan, menghilangkan, dan/atau mempertahankannya. Merubah
stimulus memperkuat kemampuan mekanisme koping seseorang untuk
berespon secara positif dan hasilnya adalah perilaku adaptif. Langkah dalam
menyusun intervensi keperawatan meliputi penetapan atas empat hal yaitu
1) apa pendekatan alternatif yang akan dilakukan; 2) apa konsekuensi yang
akan terjadi; 3) apakah mungkin tujuan tercapai oleh alternatif tersebut; dan
4) nilai alternatif itu diterima atau tidak. Intervensi keperawatan ini
dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain (pasien, keluarga, dan tim
kesehatan).
Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari
intervensi keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan
memulai langkah-langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat.
Implementasi keperawatan dilaksanakan terus menerus sesuai dengan
perkembangan pasien. Implementasi dapat berubah-ubah dalam cara,
teknik, dan pendekatan yang tergantung pada perubahan tingkat adaptasi
pasien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
42
2.2.3.5. Evaluasi
Evaluasi merupakan penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan.
Oleh karena itu, evaluasi tersebut menjadi refleksi dari tujuan keperawatan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan suatu
intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan
pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi
keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Tomey & Alligood,
2006)
2.3. Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan
Diabetes Mellitus
Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya Diabetes
Mellitus menggunakan model adaptasi Roy dirasakan tepat. Roy menekankan pada
kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap stimulus yang didapatkan. Diabetes
mellitus merupakan gangguan endokrin yang akan terus ada dalam tubuh penyandang
DM, namun gangguan yang ditimbulkan dapat dikontrol. Model adaptasi yang
dikembangkan oleh Roy, merupakan salah satu proses yang dapat digunakan oleh
individu untuk berada pada kondisi terkontrol.
Sebagai system terbuka, penyandang DM akan selalu mendapatkan stimulus baik
fokal, kontekstual maupun residual. Untuk dapat beradaptasi terhadap stimulus
tersebut, maka perawat berupaya meningkatkan koping yang dimiliki penyandang DM
tersebut dengan berbagai intervensi untuk berupaya meningkatkan regulator dan
kognator. Pada akhirnya diharapkan penyandang DM dapat beradaptasi secara penuh
(integrity), compensatory, maupun adaptasi pada tingkat compromised. Berikut ini
akan diuraikan asuhan keperawatan pada pasien DM dengan pendekatan model
adaptasi Roy.
2.3.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama di dalam proses keperawatan. Model
adaptasi Roy mengembangkan pengkajian dengan dua tahap. Tahap pertama
dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perilaku pada empat mode
yaitu : fisiologis, konsep diri, peran dan interdependen. Tahap kedua
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
43
menganalisis stimulus yang mempengaruhi. Stimulasi ini terdiri dari stimulasi
fokal, kontekstual dan residual. Berikut ini diuraikan pengkajian pada pasien
DM dengan pendekatan model adaptasi Roy meliputi pengkajian perilaku dan
stimulus
2.3.1.1. Pengkajian Perilaku
a. Mode Fisiologi
-
Oksigenasi ( Roy & Andrew, 1999; Smeltzer & Bare, 2008;
Doenges, 2010; Lewis, 2011; LeMone, 2011)
Perilaku yang ditunjukan pada kebutuhan oksigenasi pada
pasien DM meliputi perilaku pada fungsi pernafasan
dan
fungsi sirkulasi. Fungsi pernafasan meliputi dikelompokkan
dalam mekanisme ventilasi, difusi dan perfusi. Fungsi sirkulasi
meliputi fungsi jantung dan transportasi oksigen.
-
Fungsi pernafasan pada pasien DM kemungkinan akan
didapatkan perubahan perilaku seperti : adanya keluhan batuk
dengan atau tanpa sputum yang purulent, sesak nafas. Dari
hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya tachipnea,
pernafasan khussmaul, adanya ronchi atau wheezing, sputum
yang berwarna jernih, kuning atau kehijauan.
-
Fungsi sirkulasi kemungkinan akan di dapatkan keluhan
claudicatio, kesemutan pada ekstemitas, luka yang lama
sembuh pada area kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tachycardia, tekanan darah kemungkinan normal,
hipertensi, atau perubahan tekanan darah pada posisi. Adanya
irama jantung yang tidak teratur (dysritmia), penurunan nadi
yang menurun atau tidak teraba terutama pada area kaki
(dorsalis pedis dan posterior tibialis), nilai ABI normal, rendah
atau tinggi. Pada pengukuran tekanan vena jugularis
didapatkan hasil yang meningkat (pada komplikasi gagal
jantung), kulit kering, hangat, kemerahan, bola mata cekung
yang merupakan tanda adanya dehidrasi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
44
Perubahan dari hasil pemeriksaan diagnostic merupakan
perubahan perilaku yang dapat diamati. Hasil laboratorium
yang dapat terjadi pada pasien dengan DM diantaranya ;
perubahan pada nilai Hb kemungkinan didapatkan adanya
penurunan nilai Hb. Nilai analisa gas darah, pada kasus KAD
menunjukan adanya asidosis metabolic. Gangguan pada
sirkulasi maupun pernafasan dapat dilihat dari pemeriksaan
radiologi, seperti foto thorak. Adanya gambaran infeksi pada
paru dansaluran pernafasan, adanya pembesaran jantung
sebagai
manifestasi
komplikasi
DM
pada
system
kardiovaskuler dan pernafasan. Selain dari foto thoraks, EKG
dapat digunakan untuk melihat adanya gambaran iskemik pada
otot jantung dan penurunan kontraktilitas otot jantung.
Pemeriksaan USG Doppler arteri dapat digunakan untuk
menilai vaskularisasi kearah perifer (kaki).
-
Aktifitas dan Istirahat
Keluhan yang dirasakan pada pasien DM terkait dengan
kebutuhan aktifitas dan istirahat diantaranya adanya gangguan
tidur
dan
istirahat
salah
satu
penyebabnya
adalah
ketidaknyamanan (nyeri, sesak) dan poliuria. Keluhan lain
seperti mudah lelah, kelemahan umum, kesulitan berjalan atau
berubah posisi (dampak adanya ulkus atau perubahan struktur
kaki). Pada otot pasien DM biasanya mempunyai keluhan
penurunan kekuatan otot, maupun kram otot.
Pemeriksaan fisik untuk menilai perubahan perilaku pada
kebutuhan aktifitas istirahat ini akan didapatkan diantaranya :
perubahan denyut nadi dan pernafasan (lebih cepat) saat
istirahat atau setelah aktifitas, adanya kelemahan umum dan
penurunan kesadaran. Pada otot terjadi penurunan kekuatan
dan tonus otot.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
45
Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai
perilaku ini diantaranya radiologi (foto) untuk area kaki.
-
Nutrisi
Perubahan perilaku dari kebutuhan nutrisi yang dikeluhkan
pasien DM diantaranya peningkatan nafsu makan (poliphagia),
namun berat badan cenderung menurun. Pada komplikasi
KAD atau gastrospathy didapatkan keluhan yang berlawanan
yaitu kehilangan nafsu makan, mual dan muntah. Pemeriksaan
fisik didapatkan IMT yang kurang atau lebih dari normal,
tercium halitosis atau bau manis pada komplikasi KAD.
Pemeriksaan
diagnostik
terutama
untuk
laboratorium
didapatkan peningkatan gula darah, peningkatan HbA1C,
kadar lemak yang meningkat, penurunan protein (albumin),
maupun perubahan pada C peptide. Serum amilase akan
meningkat jika ditemukan adanya pancreatitis akut yang
disebabkan oleh KAD
-
Cairan, Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa
Cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, pada pasien
DM biasanya mengalami perubahan. Keluhan sering BAK
(poliuria) dan diikuti dengan polidipsi merupakan keluhan
yang sering dirasakan oleh pasien DM. Kehilangan cairan
melalui urin dalam jumlah yang banyak dan muntah menjadi
keluhan yang disakan pada komplikasi DM seperti KAD dan
HHNK.
Pemeriksaan fisik untuk melihat perubahan pada kebutuhan
cairan pada DM dengan komplikasi KAD atau HHNK
diantaranya membrane mukaso mulut yang kering, turgor kulit
tidak elastis, diaphoresis, kulit kering dan bersisik. Pada DM
dengan komplikasi gagal jantung atau nefropati akan
ditemukan edema.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
46
Pemeriksaan
laboratorium
yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi perubahan perilaku pada cairan dan elektrolit
ini diantaranya, pemeriksaan gula darah, ditemukan hasil yang
meningkat, pemeriksaan natrium : hasilnya bisa normal, atau
menurun. Pemeriksaan Kalium akan didapatkan kadar yang
norma, meningkat pada fase awal dan akan menurun seiring
dengan kondisi dehidrasi lanjut. Pemeriksaan osmolaritas
sangat penting dilakukan, akan terjadi peningkatan pada
HHNK. Pemeriksaan analisa gas darah penting dilakukan
untuk pasien DM yang dicurigai KAD, dan akan didapatkan
asidosis metabolic disertai peningkatan benda keton dalam
darah.
-
Eliminasi
Adanya keluhan sering BAK (poliuria), perubahan pola
berkemih, nocturia merupakan keluhan yang sering dirasakan
oleh pasien DM. Nyeri, panas dan kesulitan BAK merupakan
tanda adanya neurogenik bledder dan kemungkinan infeksi
saluran kemih. Pola BAB dapat dirasakan adanya keluhan
konstipasi, maupun diare. Pemeriksaan fisikyang didapatkan
pada pasien DM bisa ditemukan adanya penurunan atau
peningkatan bising usus, distensi abdomen, tahanan pada
bledder. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan
melihat fungsi ginjal (urium, kreatinin yang meningkat)
menunjukan adanya penurunan fungsi ginjal, pemeriksaan
makroskopik urine dapat ditemukan warna urine yang keruh
dan berbau sebagai tanda infeksi dan untuk memastikan
infeksi pada saluran kemih dapat dilakukan pemeriksaan kultur
urine.
-
Proteksi
Pengkajian perilaku berhubungan dengan proteksi meliputi
keluhan daya tahan tubuh yang menurun seperti sering demam,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
47
kelemahan, luka yang lama yang makin meluas. Kondisi kulit
yang kering,pecah,pecah dan bersisik serta adanya keluhan
gatal, menjadi resiko terhadap penurunan proteksi. Parastesia
akibat diabetic neuropati juga merupakan keluhan yang sering
dirasakan. Peningkatan resiko infeksi pada area genetalia dapat
ditemukan pada pasien DM wanita, ditemukan adanya
peningkatan sekresi vagina
-
Sensasi
Perubahan sensasi pada pasien DM terjadi akibat komplikasi
kronik. Adanya penurunan penglihatan dapat terjadi akibat
retinopati. Gangguan sensasi lain yang dapat ditemukan pada
pasien DM diantaranya penurunan terhadap sensasi nyeri,
perubahan suhu dan perubahan tekstur.
Pemeriksaan fisik terhadap penurunan sensasi
dilakukan
dengan menguji sensasi terhadap nyeri, suhu, serta perbedaan
kasar dan halus. Pemeriksaan menggunakan monofilament
10gr merupakan pemeriksaan level A yang direkomendasikan
pada pasien DM.
-
Fungsi Neurologi
Perubahan perilaku pada fungsi neurologi dapat dilihat
darimulai tingkat kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran
dapat
terjadi
pada
komplikasi
akut
hypoglikemia,maupun
coma akibat KAD
Gangguan
lain
neurologi
sebagai
dan HHNK.
komplikasi
didapatkan adanya neuropati motorik
seperti
kronik
(kaki charcot),
neuropathi sensorik (penurunan sensasi), neuropati otonom
(kulit kering, tidak ada rambut pada area kulit, gastropaty dan
neuropati
bleder).
Pemeriksaan
reflek
tendon
dalam
didapatkan penurunan reflek tendon dalam.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
48
-
Fungsi Endokrin
Perubahan fungsi endokrin pada pasien DM adalah adanya
penurunan
produksi
atau
sensitifitas
insulin
yang
mengakibatkan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan
protein. Perubahan perilaku yang dapat dilihat dan diukur
dapat terjadi pada semua fungsi seperti yang telah dijelaskan
pada fungsi-fungsi diatas.
b.
Mode Konsep Diri
Mode konsep diri merupakan bagian dari psikologis dan spiritual.
Kebutuhan psikologis yang merupakan respon psikologis
terhadap apa yang dirasakan dari perubahan fisik. Gangguan
psikologis tersebut dapat berupa, kecemasan, stress, ketakutan,
malu terhadap bentuk tubuhnya, beban financial, hingga
menyalahkan Tuhan, atau mempunyai persepsi yang salah yang
berkaitan dengan kepercayaannya. Perilaku yang dapat diamati
diantaranya, selalu menanyakan keadaannya, menolak untuk
bertemu dengan orang lain, hingga ditemukan adanya tanda
depresi.
c.
Mode Peran
Perubahan peran yang terjadi pada pasien DM dapat berupa peran
primer, sekunder maupun tersier. DM sebagai penyakit menahun
yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi kronis pada
akhirnya akan mengganggu peran dari pasien tersebut pada
kehidupan sehari-hari, terutama pada pasien DM yang dirawat di
rumah sakit dengan berbagai komplikasi.
d.
Mode Interdependensi
Pengkajian perilaku terhadap model interdependensi meliputi
hasil pengamatan dan ungkapan dari pasien DM tentang orang
lain yang bermakna, perilaku saling menghargai, mencintai dan
saling memperhatikan dari sistem pendukung yang dimiliki
(orang terdekat, keluarga). Pasien DM dengan berbagai
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
49
komplikasi kronik, mengalami perubahan peran cenderung
tergantung dengan orang terdekat. Dukungan yang tidak
didapatkan dengan baik, misalnya keluarga jenuh atau harus
menggantikan perannya, akan menimbulkan gangguan konsep
diri untuk pasien DM.
2.3.1.2. Pengkajian Stimulus
Pengkajian stimulus merupakan pengkajian tahap dua, untuk
mengetahui penyebab perubahan perilaku maladaptive yang di
dapatkan pada pengkajian tahap satu. Pada pesien DM stimulus fokal
yang merupakan stimulus langsung yang mempengaruhi adanya
perubahan perubahan perilaku pada ke 4 mode. Stimulus fokal
meliputi : usia, dimana usia diatas 30 tahun merupakan usia beresiko
untuk mengalami DM. Stimulus lain diantaranya, adanya riwayat
melahirkan dengan berat badan bayi yang dilahirkan lebih dari 4 kg,
obesitas dan hiperlipidemia. Pada pasien DM yang mengalami
komplikasi, stimulus fokal meliputi gula darah yang tidak terkontrol,
peningkatan metabolism yang disebabkan oleh infeksi, stress
psikologi, atau proses pembedahan. Pada mode konsep diri, peran dan
interdependensi fokal stimulus terjadi karena dirawat di rumah sakit,
berbagai komplikasi yang dialami proses kehilangan seperti amputasi.
Stimulus kontektual dan stimulus residual yang mempengaruhi
diantaranya adanya riwayat DM dalam keluaraga, riwayat perawatan
kesehatan sebelumnya, seperti diitnya, monitoring gula darah, olah
raga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Tingkat pendidikan dan
tingkat pengetahuan merupakan stimulus kontektual penting yang
mempengaruhi perubahan perilaku baik adaptif maupun maladaptive.
(Roy & Andrew, 1999; Doengoes, 2010).
2.3.2. Diagnosa keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien DM, maka
diagnose keperawatan yang dapat ditegakan adalah sebagai berikut (NANDA
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
50
2012-2014; Smeltzer & Bare, 2008; Doengoes, 2010; LeMone, 2011; Lewis,
2011).
2.3.2.1. Diagnosa Keperawatan pada Mode Fisiologi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi,
peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk.
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load.
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan
hambatan sirkulasi perifer.
d. Perubahan aktifitas fisik berhubungan dengan nyeri, perubahan
persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan
kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik.
e. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi,
peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses
infeksi).
f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas.
g. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic,
pengeluaran berlebi dari sistim pencernaan dan keterbatasan asupan.
h. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis
osmotic, proses infeksi.
i. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah.
j. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori,
perubahan kimia endogen.
k. Ketidakstabilan
kadar
gula
darah
berhubungan
dengan
ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses
infeksi dan perubahan status kesehatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
51
2.3.2.2. Diagnosa keperawatan pada Mode Konsep Diri
Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi
penyakit, kesalahan informasi.
2.3.2.3. Diagnosa Keperawatan pada Mode Peran
Perubahan fungsi peran berhubungan dengan krisissituasi, perawatan
yang lama dan keterbatasan fisik.
2.3.2.4. Diagnosa keperawatan pada Mode Interdependensi
a. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan dukungan sosial yang
tidak adekwat.
b. Tidak efektifnya managemen terapeutik berhubungan dengan kurang
pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi.
2.3.3. Intervensi Keperawatan
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi,
peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk.
Tujuan yang ingin dicapai jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak
ada keluhan sesak, batuk berkurang, suara nafas vesikuler, tidak ada tanda
kekurangan oksigen seperti sianosis, AGD dalam batas normal.
Intervensi yang ditetapkan meliputi kognator dan regulator: :managemen
respirasi : peningkatan kemampuan batuk, fisiotherapi dada, monitor
status respirasi, kolaborasi dalam management terapi oksigen.
2.
Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load.
Tujuan yang diinginkan adalah curah jantung adekuat ditandai dengan
peningkatan sirkulasi, nadi, tekanan darah dalam batas normal, tidak
didapatkan peningkatan vena jugularis, perfusi ke jaringan adekwat (akral
hangat, denyur perifer kuat).
Intervensi
keperawatan
yang ditetapkan (regulator
&kognator) :
Haemodinamik regulator, management energy, terapi oksigen, cardiac
care
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
52
3.
Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan
sirkulasi perifer.
Tujuan yang ingin dicapai adalah perfusi jaringan kearah perifer (kaki)
adekwat ditandai dengan akral hangat, pulsasi ke area kaki kuat dan
normal, ABI dalam batas normal, tidak terjadi proses penyembuhan luka
yang lambat. Intervensi yang ditetapkan : pemantauan sirkulasi, embolus
care : peripheral, peningkatan latihan fisik.
4.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi
sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan
kardiovaskuler, keterbatasan fisik.
Tujuan yang ingin dicapai : dapat menunjukan tingkat aktifitas yang
adekwat, ditunjukan dengan melakukan aktifitas sehari-hari secara
mandiri, menggunakan alat bantu dengan benar, melakukan mobilisasi
(berjalan, berpindah posisi dengan benar). Intervensi yang ditetapkan
meliputi : bedrest care, management energy, menegemen lingkungan, self
medication assisstent, self care assisstent, pain management.
5.
Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi,
peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi).
Tujuan yang ingin dicapai : Peningkatan energy yang ditandai dengan
kelelahan berkurang, melakukan aktifitas untuk perawatan diri tanpa
keluhan lelah. Intervensi yang ditetapkan : management energy,
progressive muscle relaksation.
6.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas.
Tujuan yang akan ditetapkan : status nutrisi adekwat, ditandai dengan
berat badan dipertahankan dalam batas ideal, gula darah terkontrol, kadar
lemak, protein dalam darah normal. Intervensi yang ditetapkan
managemen perubahan nutrisi, management nutrisi, terapi nutrisi,
konseling nutrisi, monitor nutrisi, management berat badan, menegement
hiperglikemia/hypoglikemik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
53
7.
Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic,
pengeluaran berlebih dari sistem pencernaan dan keterbatasan asupan.
Tujuan yang ingin ditetapkan : status cairan adekwat, ditandai dengan
intake dan output cairan seimbang, TTV dalam batas normal, turgor kulit
elastis, membrane mukosa lembab, elektrolit dalam batas normal.
Intervensi yang ditetapkan : managemen cairan dan elektrolit, monitoring
asam basa, monitoring cairan dan elektrolit, management asidosis
metabolic, management hyperglikemia.
8.
Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic,
proses infeksi.
Tujuan yang diinginkan pola eliminasi normal ditandai dengan tidak ada
keluhan nyeri saat berkemih, frekuensi berkemih berkurang, tidak ada
hematuri, hasil pemeriksaan urine tidak menunjukan ada tanda infeksi.
Intervensi yang ditetapkan : manajemen cairan, monitoring cairan,
management eliminasi urine, bladder training urine, pencegahan infeksi.
9.
Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi,
penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah.
Tujuan yang ditetapkan infeksi tidak atau tidak meluas atau tidak terjadi
ditandai dengan status imun meningkat, nilai leukosit dalam batas normal,
tidak ada keluhan demam, area infeksi (ulkus, ISK, infeksi pernafasan)
mengalami proses penyembuhan. Intervensi yang ditetapkan meliputi :
management
pencegahan
infeksi,
management
control
infeksi,
management nutrisi, management luka, management medikasi.
10. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan
kimia endogen.
Tujuan yang diinginkan tidak terjadi injuri seperti tidak terjadi ulkus, atau
bahaya jatuh. Intervensi yang ditetapkan ; monitor fungsi neurologi,
management neuropati perifer, edukasi perawatan kaki dan penggunaan
alas kaki, edukasi berhenti merokok, pencegahan terhadap bahaya jatuh,
management lingkungan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
54
11. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan
management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status
kesehatan.
Tujuan yang ditetapkan gula darah stabil yang ditandai dengan gula darah
terkontrol dalam batas normal, tidak terjadi komplikasi DM akut :
KAD,HHNK atau hypoglikemi. Intervensi yang ditetapkan monitoring
gula darah, monitoring cairan, management hyperglikemia, management
pengobatan, management nutrisi, edukasi pada nutrisi, pengobatan,
management perilaku.
12. Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit,
kesalahan informasi.
Tujuan yang ditetapkan pasien dapat beradaptasi terhadap
kondisi
kecemasannya, yang ditunjukan dengan peningkatan terhadap kontrol
kecemasannya, mampu mengungkapkan penyebab cemas, mampu
merencanakan strategi koping yang akan digunakan. Intervensi yang
ditetapkan menurunkan kecemasan, konseling, management energy,
management lingkungan, management koping, management distraksi.
13. Tidak efektifnya management terapeutik berhubungan dengan kurang
pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi.
Tujauan yang diinginkan pasien mampu beradaptasi pada management
terapi yang ditetapkan, meliputi menunjukan perilaku mengikuti diit,
pengobatan yang ditetapkan. Intervensi yang ditetapkan : modifikasi
perilaku, tingkatkan koping, konseling penatalaksanaan DM, beri
dukungan sosial, edukasi group, management efikasi, follow up melalui
telepon.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
55
BAB 3
PENERAPAN MODEL ADAPTASI ROY PADA ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN KLIEN DIABETES MELLITUS KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG
Pada BAB 3 ini, akan diuraikan hasil asuhan keperawatan dan analisis pada klien dengan
diabetes mellitus (DM) dengan abses punggung dan resiko tinggi ulkus diabetik sebagai
kasus kelolaan utama dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Uraian
selanjutnya setelah pembahasan kasus kelolaan utama, praktikan juga menganalisa 32
kasus kelolaan lain yang praktikan lakukan selama praktikan menjalankan praktek
residensi 1 dan 2.
3.1.Deskripsi kasus kelolaan utama
Kasus dialami oleh seorang klien berinisial Ny.Sh usia 66 tahun, status perkawinan
menikah dengan 2 anak yang telah berumah tangga, pendidikan SLTP, aktifitas sehari
hari sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di Depok. Klien masuk rumah sakit
(RSUPF) pada tanggal 8 Oktober 2011 melalui UGD dan tiba di ruang teratai lantai 5
Selatan pada tanggal 9 Oktober 2012 pukul 17.15 WIB. Pengkajian dilakukan pada
tanggal 10 Oktober 2011. Alasan keluarga membawa klien ke rumah sakit, karena
klien mengalami bisul (abses) di area punggung sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Timbul bisul tersebut pada awalnya klien merasakan gatal di punggung, digaruk
dan timbul kemerahan dan bisul kecil yang makin lama makin membesar. Keluarga
sudah membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan, mendapatkan obat antibiotic
dan anti nyeri namun tidak ada proses penyembuhan, bahkan semakin besar, klien
merasakan nyeri, demam dan tidak bisa tidur selama 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Abses mengeluarkan nanah yang terus menerus, berbau sehingga klien
merasakan tidak nyaman.
Tindakan yang dilakukan di UGD diantaranya, dilakukan penggantian balutan,
dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu dengan hasil 466 mg/dL dan pemeriksaan
darah lengkap. Obat yang diberikan ke pada klien saat di UGD adalah anlgetik
suppositoria (propenid),
diberikan insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam
dengan dosis dimulai 5 unit dan naik 5 unit setiap kenaikan gula darah 50 mg/dL
dimulai dari nilai gula darah 201 mg/dL. Pengkajian terhadap riwayat kesehatan
sebelumnya, klien telah menderita DM sejak 10 tahun yang lalu, pernah mengalami
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
56
amputasi pada kaki kanannya 3 tahun yang lalu kerena ulkus. Penatalaksanaan DM
yang klien lakukan dengan minum obat metformin 500 mg dan glibenklamid yang
terkadang dibelinya sendiri, karena klien tidak control ke dokter teratur. Riwayat
kesehatan keluarga didapatkan kakak klien yang pertama juga menderita DM dan saat
ini mengalami stroke. Hasil pemeriksaan gula darah suami klien setahun yang lalu juga
mengalami peningkatan lebih dari 200 mg/dL, namun tidak ditindaklanjuti untuk
pengobatan.
3.2.Penerapan Model Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada semua klien kelolaan yang praktikan
lakukan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy, yang dilakukan secara holistic
dan komprehensif dimulai dari tahap pengkajian hingga evaluasi. Hasil akhir dari
asuhan keperawatan ini, diharapkan klien mampu beradaptasi dengan berbagai
gangguan pemenuhan kebutuhan, baik fisiologi, konsep diri, peran maupun
interdependensi.
3.2.1. Pengkajian Perilaku dan stimulus
3.2.1.1. Mode Adaptasi Fisiologi
1. Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem
kardiovaskuler, perfusi).
Pengkajian pada perilaku oksigenasi diperoleh data : tidak ada keluhan pada
sistem pernafasan seperti batuk, sesak kesulitan bernafas serta nyeri dada saat
istirahat, beraktifitas maupun bernafas. Namun klien merasakan badannya
lemas, sering pusing, terutama berubah posisi dari tiduran ke duduk. Sirkulasi
ke perifer didapatkan tidak ada keluhan nyeri pada area kaki, baik saat
beraktifitas maupun saat istirahat (nyeri claudikasio). Terkadang klien
merasakan dingin pada area telapak atau punggung kaki, terutama pada malam
hari. Untuk mengatasi dingin ini, klien selalu menggunakan kaos kaki jika
tidur.
Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva klien tampak pucat, tidak
ditemukan adanya sianosis pada kulit maupun area bibir, tidak menggunakan
otot bantu pernafasan, RR : 18 x/mnt irama teratur, suara nafas vesikuler di
semua area lapang paru, capilari refile < 3dtk, nadi radialis : 78x/mnt irama
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
57
teratur pulsasi kuat, TD : 140/90 mmHg, HR : 80x/mnt teratur. Suara jantung 1
& 2 terdengar normal dan tidak terdengar suara jantung tambahan dengan
denyut apikal 84 x/mnt, teratur. Hasil pemeriksaan EKG di dapatkan sinus
rhytem, Gelombang QRS normal diikuti gelombang P, tidak ditemukan adanya
T inverted, ST elevasi/depresi dan Q patologis. Perabaan pada kedua ekstemitas
bawah hangat, tidak ditemukan edema pada kedua tungkai. Hasil pemeriksaan
vaskularisasi kearah ekstremitas bawah dengan menggunakan Ankle Brachial
Index (ABI), didapatkan :
Table 3.1.
Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI)
Arteri
dorsalis
pedis
Arteri
tibialis
posterior
Kaki kanan
Kaki kiri
Palpasi
Nd : 84x/mnt ,
pulsasi kuat
Nd : 82/mnt
pulsasi kuat
TD Sistolik
(mmHg)
Palpasi
130mmHg
130 mmHg
Pulsasi kuat
Pulsasi kuat
130 mmHg
130 mmHg
130 mmHg
140 mmHg
0.93
0.93
TD Sistolik
(mmHg)
TD Sistolik Arteri
Brachialis (mmHg)
Ankle Brachial Index
(ABI)
Stimulus Fokal :
Luka abses diarea punggung mengeluarkan eksudat seropurulen, jumlah banyak
(balutan penuh dan harus diganti 2 kali sehari)
Hb :
10.3 g/dL. Hematokrit :30,4%. Eritrosit :
4.45 /µL. AGD (tidak
diperiksa), Foto thoraks menunjukan hasil CTR > 50 %, pulmonal normal,
tidak ada tanda infiltrat. ECHO (10 Oktober 2011) : EF : 72,4 %, LV
kontraktilitas normal, fungsi diastolik normal, katup morfologi normal.
Stimulus Kontekstual & Residual
Usia klien 66 th, riwayat DM 10 tahun, riwayat hipertensi 3 tahun namun tidak
terkontrol, mempunyai keturunan DM & hipertensi. Pengetahuan klien dan
keluarga terhadap penatalaksanaan DM dan hipertensi masih kurang (diit,
aktifitas, terapi, komplikasi, dll).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
58
Penatalaksanaan yang didapatkan saat ini rencana pemberian PRC500 cc
Captopil 2x12,5 mg
2. Nutrisi
Klien mengatakan sejak 2 minggu terakhir nafsu makannya menurun,
merasakan mual, makan hanya ½ porsi dari porsi biasanya, menurut klien, ia
tidak nafsu makan karena merasakan nyeri pada area punggungnya & bau amis
dari luka.
Sebelumnya klien makan tidak pernah banyak (nasi 1 centong). Jika klien
makan banyak, ia akan merasakan begah pada perutnya. Untuk memenuhi
kebutuhan nutrisinya (rasa lapar) klien sering
ngemil. Walaupun klien
didiagnosa DM sejak 10 tahun yang lalu, namun klien tidak pernah mengatur
makanan sesuai diit. Yang klien ketahui tentang diit DM hanya mengurangi
nasi saja, bahkan suami klien selalu membuatkan susu kedelai dengan
menggunakan gula setiap hari.
Sejak amputasi 3 th yang lalu, seharusnya klien dianjurkan untuk menggunakan
insulin, karena harga insulin mahal, klien tidak melanjutkan penggunaan
insulin, dan menggantinya dengan OHO (Metformin 500 mg & glibenclamid)
yang diminum tidak teratur.
BB klien : 56 kg TB : 155 cm, IMT 23 , mukosa mulut lembab, tidak ada
stomatitis, terdapat karies gigi, kemampuan mengunyah baik, abdomen flet,
lunak tidak teraba pembesaran hepar bising usus 12 x/mnt.
GDS (8/10/2011): 466 mg/dL, tanggal 10/10/2011: hasil scleding scale
menunjukan hasil GD yang tidak fluktuatif terendah 142 dan tertinggi 219
SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, Glukosa urine (+++), HbA1C: 12,7 %,
Trigliserida : 80mg/dL, kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47
mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL
Penatalaksanaan yang diberikan untuk kebutuhan nutrisi adalah
diit lunak
1500 kalori yang dibagi dalam 3 porsi besar (makan pagi, siang & sore) 3 porsi
kecil/snack (jam 09.00, 15.00 dan 21.00 WIB). Pemberian insulin (Actrapid)
ditetapkan dengan dosis 3x8 unit & monitoring GD dilakukan KGDH/hari.
Therapy lain yang diberikan OMZ : 1x20 mg dan Donperidon 3 x 1 amp
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
59
Stimulus fokal :
Ketidakseimbangan regulasi insulin yang ditandai dengan peningkatan
guladarah sewaktu (GDS saat masuk 466mg/dL) dan gula darah yang tidak
terkontrol dalam 3 bulan terakhir ditandai dengan HbA1C: 12,7%. Resiko
gangguan nutrisi dapat terjadi pada klien akibat asupan nutrisi yang kurang
akibat penurunan nafsu makan dan mual.
Stimulus kontekstual dan residual
Usia 66 th, mempunyai riwayat DM 10 th, 3 th yang lalu pernah dirawat
dengan ulkus kaki diabetic dan dilakukan amputasi, namun tidak mengetahui
diit yang sesuai, pengobatan DM tidak terkontrol, disebabkan pengetahuan &
motivasi terhadap diit & pengobatan belum difahami. Sebelum klien
mengalami DM, klien pernah mempunyai BB 80 kg (obesitas). Pengetahuan
keluarga tentang penatalaksanaan DM juga masih kurang, terbukti keluarga
menyediakan susu kedelai dengan gula setiap hari. Dukungan keluarga terhadap
pengobatan juga kurang optimal yang dilihat dari pengobatan insulin tidak
dilanjutkan dengan alasan keuangan.
3. Eliminasi
Klien mengatakan tidak ada perubahan pada pola BAB maupun BAK. Klien
biasa BAB 1 x sehari tanpa pencahar, faeses lunak warna khas. BAK 7-8 kali
sehari, BAK malam 2-3x, urine berwarna kuning jernih, tidak ada nyeri ketika
mulai maupun saat BAK. Tidak menggunakan kateter urine, tidak teraba blass
pada area simpisis, maupun masa dan nyeritekan pada abdomen bawah. Bising
usus 12 x/mnt. Hasil pemeriksaan urinalisa di dapatkan protein urine (++), tidak
ditemukan adanya leukosit dan eritrosit dalam urine, berat jenis 1.020 di
dapatkan adanya keton dalam urine yaitu (++). Hasil pemeriksaan fungsi ginjal
didapatkan nilai urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 0.5 mg/dl, CCT : 56.6 ml/menit
Stimulus fokal : Ketonuria yang terjadi disebabkan adanya pemecahan lemak
sebagai sumner energy (glukoneogenesis) yang menghasilkan asam lemak atau
ketone, selanjutnya keton ini diekskresikan melalui system ginjal dan keluar
bersama dengan urine. Dari hasil CCT di dapatkan adanya penurunan fungsi
ginjal yang kemungkinan terjadi nefropathy.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
60
Stimulus kontekstual & residual : Riwatay DM selama 10 tahun, tidak
terkontrol, hipertensi selama 3 tahun terakhir yang juga tidak terkontrol.
Pengetahuan klien terhadap komplikasi kronik DM kurang.
4. Cairan dan Elektrolit
Klien minum 2 blt air mineral (@ 600cc) dalam sehari, BAK 4-5 kali pagi
hingga sore dan malam 2-3 kali, jumlahnya diperkirakan 2/3 gelas air mineral.
Selama dirawat tidak merasakan perubahan dalam kebutuhan minum maupun
pengeluaran cairan. Tidak ada muntah, berkeringat berlebihan maupun diare,
namun klien merakan demam
Mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, tidak didapatkan odema pada
ekstremitas maupun odema anasarka, TD: 140/90mmHg, Nadi radialis :
78x/mnt pulsasi kuat, suhu 37,9° C. Urine tampung dalam 24 jam : 1500 cc,
minum 1200 cc, Produksi eksudat dari abses + 200-300 cc setiap ganti balutan.
Hasil pemeriksaan elektrolit : Na :137, Kalium : 4.79 mEq/L, Clorida :
mEq/L, Urium :
13 mg/dl, Kreatinin:
96
0.5 mg/dl. Penatalaksanaan yang
diberikan IVFD: NaCl 1000 cc/24 jam.
Stimulus fokal, kontekstual & residual : tidak ditemukan
5. Aktifitas Istirahat
Aktifitas klien untuk pemenuhan nutrisi, eliminasi, mampu dilakukan secara
mandiri (bantuan minimal karena menggunakan infuse). Mobilisasi terutama
saat tidur hanya bisa dengan miring ke kiri, karena pada punggung kanan
terdapat abses, sehingga untuk miring kanan & supine klien merasakan nyeri.
Sudah 1 minggu tidur malam klien terganggu karena nyeri yang dirasakan.
Klien tidur rata-rata 5-6 jam, namun, sering terbangun (tidak lelap) karena
nyeri. Setelah dirawat di rumah sakit,nyeri yang dirasakan berkurang, karena
mendapatkan obat anti nyeri dan ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan
tidurnya.
Aktifitas berjalan mampu dilakukan oleh klien namun dengan perlahan, karena
pada 1/3 distal telapak kaki (metatarsal) kanan klien telah diamputasi 3 tahun
yang lalu. Hasil observasi terlihat saat turun dari tempat tidur kaki kanan
digunakan sebagai tumpuan. Kaki kiri tidak ada kelainan bentuk. Kekuatan otot
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
61
pada ekstremitas atas dan bawah 5 (mampu melawan grafitasi dan mampu
melawan tahanan)
Gambar 3.1.
Photografi kaki Ny. S
Kaki kanan
Kaki kiri
Stimulus fokal, kontektual dan residual : tidak ditemukan
6. Proteksi (proses imunitas, integumen, rambut, kuku, perubahan suhu, trauma)
Rambut dan kulit klien kotor, lengket & berbau keringat ,karena selama di IGD
tidak dibersihkan. Tidak ada keluhan keputihan maupun gatal-gatal pada area
vagina & lipatan femur. Tampak abses yang terbalut pada regiodorsal thorakal
X- XII sejajar midklavikula dengan balutan yang basah (terdapat rembesan
pus), berbau khas pus. Suhu aksila 37.9ºC, leukosit 18.400/mm3. Hasil culture
luka didapatkan leukosit banyak/LPB, ditemukan bakteri gram positif Coccus.
Gambar 3.2.
Photografi Abses punggung Ny. S
Luka derajat III, dimana luka mengenai jaringan otot, mengeluarkan exudat
purulen kira-kira 300cc, bau exudat khas,tercium pada jarak 1 lengan. Dasar
luka berwarna putih, terdapat slough, luas luka 4x5x3cm dengan goa arah jam
12 hingga jam 09, panjang 3 cm, luas eritema luka : 12x 8 cm.
Kaki kanan terdapat kalus pada area plantar, terdapat ulkus pada area tengan
kalus, dengan kedalaman 7 mm berwarna merah dan basah. Saat turun dari
tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Saat berjalan di dalam
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
62
rumah klien tidak menggunakan alas kaki & jika berjalan diluar rumah, klien
menggunakan alas kaki (sandal) yang dimodifikasi menggunakan tali karet
sebagai pengikat.
Dari hasil pengkajian kaki didapatkan adanya penurunan sensasi pada kedua
kaki, kulit kaki kering dan berkilap.
Gambar 3.3.
Photografi Pengkajian kaki Ny. S
Table 3.2. Pengkajian kaki
Kaki Kanan
Ya
Kallus
Corns
Bunions
Hammer toes
Amputasi:
ï‚· Minor ( jari/ pedis )
ï‚· Mayor ( below knee/ above knee )
Kaki charchot
Kuku
ï‚· Penebalan
ï‚· Infeksi jamur
ï‚· Tumbuh ke dalam
Kulit
ï‚· Perabaan kaki dingin
ï‚· Kulit berkilap
ï‚· Kulit kering
ï‚· Atrofi lemak sub kutan
ï‚· Rubor
ï‚· Pucat pada elevasi
ï‚· Rambut kaki
Tidak
Kaki Kiri
Ya

Tidak













-

















Stimulus fokal :
Gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan system imun,
penurunan vaskuler ,sehingga jika terjadi luka akan lebih mudah terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
63
penyebaran infeksi. Hb dan albumin yang rendah akan mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
Adanya riwayat amputasi kaki karena ulkus & adanya kalus dengan menurut
Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 Ny. S masuk dalam
katagori 3 ( resiko sangat tinggi), yang harus memeriksakan kakinya setiap 1- 3
bulan, namun belum pernah dilakukan.
Stimulus kontekstual & residual
Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, perawatan luka, perawatan
kaki : mencegah terjadinya kalus, mengurangi kalus, penggunaan alas kaki
belum diketahui seluruhnya oleh klien. Nyeri yang dirasakan saat mengganti
balutan, membuat klien takut untuk ketika akan diganti balutannya.
7. Sensori (Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau, nyeri)
Tidak ada gangguan pendengaran. Mengatakan pandangan terasa lebih buram
terutama pada mata kiri, tidak dapat membaca tulisan dengan font 12 pada
jarak 10 cm, hanya tampak bayang-bayang saja. Pada mata kanan masih
mampu membaca dengan jarak 30 cm dengan besar huruf 16.
Merasakan nyeri pada area luka dengan intensitas sedang dan semakin nyeri
saat balutan dibanti. Baal atau kebas pada area telapak kaki kiri. Dilakukan
pemeriksaan sensitifitas dengan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan
salah dalam mempersepsikan sensasi tajam dan tumpul pada area telapak kaki
kanan dan kiri.
Stimulus fokal :
Penurunan sensasi terutama pada area perifer disebabkan karena adanya
komplikasi neuropathi sensori perifer. Penurunan tajam penglihatan merupakan
komplikasi DM pada mata yang disebut retinopathy. Komplikasi yang terjadi
pada DM akibat lamanya menderita DM (10 th) dan gula darah yang tidak
terkontrol (> 6.5%)
Stimulus kontekstual & residual :
Pengetahuan yang kurang mengenai DM & komplikasinya. Penatalaksanaan
DM yang belum adekuat.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
64
8. Fungsi Neurologi (Syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi)
Klien dapat berorientasi terhadap orang,waktu dan tempat dengan baik, tidak
ada gangguan pada XII saraf kranial, fungsi motorik menurun karena
keterbatasan energi, sensorik , memori dan bahasa tidak ada gangguan. Reflek
patela (+/+), reflek ackhiles (+/+), Monofilament 10 gr (-/-)
Stimulus fokal : neuropathy perifer
Stimulus kontekstual & residual
Riwayat DM yang tidak terkontrol, pengetahuan terhadap perawatan kaki yang
kurang
9. Fungsi Endokrin
Hiperglikemia , tidak didapatkan pembesaran kelenjar thyroid, sudah
menopause (menurut klien sudah lebih dari 10 th)
Stimulus fokal : resistensi insulin/ketidakcukupan insulin ditandai dengan
GDS : 466 mg%, HbA1C : 12,7%
Stimulus kontekstual & residual
Pengetahuan tentang penatalaksanaan DM yang belum semuanya diketahui,
adanya perasaan bosan untuk berobat & sumber dana yang semakin berkurang,
riwayat keluarga ada yang mengalami DM
3.2.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri : Physical self (memandang diri sendiri,
berhubungan dengan kehilangan) & Personal self (konsistensi; ideal diri, moral,
etik, spiritual, seksual, cemas, takut)
Menurut klien setelah telapak kakinya diamputasi, klien lebih banyak dirumah, hal
ini disebabkan karena pergerakan klien menjadi terbatas dan klien malas ditanya–
tanya oleh tetangganya tentang kakinya. Spiritual klien : menyatakan untuk ibadah
wajib & sunah selalu dilaksanakan, namun pengajian sudah tidak diikuti lagi. Saat
ini klien ingin menjalankan ibadah wajib, namun klien ragu karena lukanya selalu
mengeluarkan kotoran. Klien yakin bahwa sakit yang dialami merupakan teguran
dari Tuhan, agar lebih taat menjalankan perintahNya. Klien juga meyakini bahwa
kekuasaan Tuhan akan membantu kesembuhannya, oleh sebab itu, walaupun ia
ragu menjalankan sholat, namun ia tetap berdzikir.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
65
Aktifitas seksual (suami istri) hampir tidak pernah dilakukan, karena merasa sudah
tua. Menurut klien dan suaminya, kebutuhan tersebut sudah tidak penting lagi.
Mereka mengekspresikan kebutuhan seksual dengan saling menyayangi, saling
merawat, karena mereka hanya tinggal berdua saja. Saat ini yang diinginkan
kesembuhan terhadap kondisi absesnya, ada ketakutan akan bertambah luas karena
klien mempunyai DM dan pengalaman luka dikaki 3 tahun yang lalu merupakan
pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien. Pengalaman terhadap nyeri
yang dirasakan saat mengganti balutan juga mempengaruhi kecemasan klien saat
akan diganti balutan. Namun karena produksi cairan eksudat yang banyak serta
ingin sembuh, mampu menghilangkan rasa cemas akan nyeri yang dirasakan.
Produksi eksudat yang berbau membuat klien menginginkan pindah tempat ke
posisi diujung kamar dengan alasan agar klien lain dikamar tersebut tidak kebauan.
Harapan klien saat ini proses penyembuhan luka di punggungnya mengalami
kemajuan. Ia yakin dengan pelayanan kesehatan di RSUPF dan tenaga kesehatan
yang merawatnya
Stimulus Fokal : adanya abses di punggung, yang tidak sembuh–sembuh,
mengeluarkan eksudat dan berbau. Perubahan bentuk kaki paska amputasi
menyebabkan keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain.
Stimulus kontekstual dan residual :
Pengalaman ulkus kaki sebelumnya,
pengalaman nyeri pada saat di lakukan ganti balutan sebelumnya. Aktifitas klien
sebelum dilakukan amputasi (aktif dikegiatan kemasyarakatan, mempunyai
aktifitas berdagang dan mempunyai pendapatan sendiri). Keyakinan diri klien
terhadap proses penyembuhan luka dan dengan tempat serta petugas kesehatan
yang menangani.
3.2.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran
Klien adalah seorang istri & ibu dari 2 anak dimana kedua anaknya sudah menikah
dan tidak tinggal dengan klien. Ia hanya tinggal berdua suaminya yang sudah
pensiun. Kegiatan sehari-hari melakukan aktivitas rumah tangga (memasak,
membersihkan rumah, dll) dibantu oleh suaminya. Saat ini klien selalu ditunggu
oleh suaminya, dan untuk peran sehari–hari digantikan oleh suami dan anak klien.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
66
Stimulus kontekstual dan residual : merasakan nyeri akibat abses dan harus
dirawat dirumah sakit.
3.2.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi (fokus: interaksi saling memberi/menerima,
cinta kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Keseimbangan antara
ketergantungan dan kemandirian)
Saat ini kebutuhan dan aktifitas klien dibantu oleh suami & anaknya . Secara
bergantian keluarga (anak) dan suami klien menjaga klien di rumah sakit. Klien
juga terlihat mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya yang ia bisa
lakukan, seperti makan dilakukan sendiri, menurutnya ia juga tidak mau
sepenuhnya tergantung dengan orang lain. Dalam menentukan pengobatan seperti
keputusan untuk menggunakan jenis balutan, apa saja kebutuhan yang harus ada
saat dirumah sakit hingga keuangan, klien berperan dalam membuat keputusan.
Stimulus kontektual dan residual : abses di punggung, nyeri yang dirasakan,
dirawat dirumah sakit.
3.2.2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian mode adaptif pada kasus diatas, dapat dianalisis terjadi
inefektif pada mode fisiologi meliputi mode nutrisi, proteksi, sensasi, neurologi,
endokrin dan pada mode konsep diri. Perubahan adaptasi atau inefektif pada mode
adaptif tersebut dapat ditegakkan diagnose keperawatan sebagai berikut :
Mode Fisiologis
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi
2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah,
penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan
sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan
yang tidak adekwat, ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak dan kesulitan
ekonomi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
67
Mode konsep diri dan mode Interdependensi
1.
Kesiapan meningkatnya koping individu
2.
Kesiapan meningkatnya religiositas.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
68
Tabel 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan
3.2.3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Nama Klien
Umur Klien
No
1
: Ny.S
: 66 tahun
Perilaku
Stimulus
Fungsi
Fisiologis
:
Proteksi
Data subyektif:
ï‚· Abses
pada
area thorakal
X-XII sejajar
midklavikula
derajat
3,
dengan
leukositosis
ï‚· Nyeri
pada
luka
skala
sedang
ï‚· Demam
Stimulus Fokal :
Terjadi abses yang
semakin
meluas,
mengeluarkan pus,
GD meningkat &
leukositosis
Data obyektif:
Stimulus
kontekstual
&
residual :
Riwayat DM 10
tahun, gula darah
tidak
terkontrol
HBA1C :12,7 %
Pengetahuan klien
terhadap
penatalaksanaan
DM,
komplikasi,
perawatan
luka,perawatan kaki
No. Rekam Medis
Diagnosa Medik
Diagnosa
Keperawatan
Resiko
perluasan
Infeksi
berhubungan
dengan
hiperglikemia,
rendahnya
resistensi
terhadap stres,
penyembuhan
luka
yang
memburuk
Tujuan
Tujuan:
Setelah dilakukan
asuhan
keperawatan
selama 10 x 24 jam
diharapkan
klien
akan
beradaptasi
dengan
perilaku
terhadap proteksi
Kriteria Hasil
ï‚· Tidak terdapat
jaringan
nekrotik
ï‚· Luka tidak ada
pus dan tidak
bau
ï‚· Leukosit dalam
batas
normal
(4.000
–
11.000/mm3)
ï‚· Suhu
tubuh
dalam
batas
Rencana Intervensi
: 1094672
: DM Tp2 & Abses
Evaluasi
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan dan dievaluasi
1. Hyperglicemia
setiap 3x24 jam dan
modifikasi
management (metabolic dilakukan
intervensi
keperawatan
(27
control)
Oktober
2011),
maka
diperoleh
:
2. Management
Luka
(wound and infection
Perilaku adaptif :
control)
Klien mengatakan luka
3. Vascular control
dipunggung sudah tidak
4. Education
nyeri lagi, dasar luka merah
muda & terjadi granulasi,
Aktivitas keperawatan
produksi
cairan
luka
Regulator :
minimal (cairan serous
ï‚· Monitor gula darah
bening), leukosit 5.600/ul,
ï‚· Monitor TTV, terutama suhu klien & keluarga aktif dalam
ï‚· Monitor GD/ hari sesuai kegiatan program edukasi
program
DM.
ï‚· Monitoring tanda perluasan
infeksi pada area luka: pus Perilaku inefektif
yang bertambah, adanya luka Klien & keluarga belum
NIC:
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
69
Luka
mengeluarkan
pus,berbau khas
gangren,nekroti
k pada digiti IV,
kedalaman luka
belum
dapat
dinilai bergaung
menembus dari
digiti III
normal (36 –
37oC)
ï‚· Penyembuhan
luka:
regenerasi sel
dan jaringan
diikuti
penyembuhan
luka
ï‚· Klien
menunjukan
perilaku
untukmenurun
kan
resiko
perluasan
infeksi
ï‚· Pengetahuan
terhadap
penatalaksanaa
n
DM,
pencegahan
penyebaran
luka
meningkat
yang meluas
ï‚· Lakukan perawatan luka
dengan
prinsip
streril,
lembab setiap hari atau jika
balutan jenuh
ï‚· Pantau hasil laboratorium
terhadap
peningkatan
leukosit, hasil kultur
Kolaborasi :
ï‚· Berikan
insulin
sesuai
program 3x8 ui
ï‚· Pemeriksaan kultur dari
jaringan luka
ï‚· Pemberian antibiotic :
ï‚· Ceftriaxon 2 x 2 gr
ï‚· Metronidazol : 3 x 500
mg
ï‚· Kolaborasi untuk persiapan
debridement: fisik, mental &
administratif
ï‚· Kaji respon klien terhadap
terapi: penurunan produksi
pus, penurunan leukosit
Kognator
ï‚· Motivasi
klien
untuk
menjaga
stabilitas
gula
darah: nutrisi, penurunan
kecemasan
ï‚· Informasikan kepada klien &
klg
untuk
menjaga
kebersihan area sekitar luka
ï‚· Informasikan kepada klien
berani melakukan perawatan
luka secara mandiri
Luka
bergranulasi,namun
belum pada tahap epitelisasi
Analisa :
Masalah penyebaran infeksi
tidak
terjadi,
perilaku
adaptif
belum
tercapai
seluruhnya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
70
untuk mengurangi tekanan
pada area luka
2
Perubahan
nutrisi kurang
dari kebutuhan
tubuh
berhubungan
dengan
defisiensi
glukosa
pada
Stimulus
tingkat
sel
Kontekstual
& skunder
Residual :
ketidakcukupan
Riwayat DM sejak insulin
10 th yang lalu tidak
terkontrol,
pengetahuan tentang
nutrisi untuk DM :
Data Obyektif:
hanya mengurangi
ï‚· Pemeriksaan
GDS tanggal nasi saja (jumlah,
&
1/10’11: 531 jenis
jadwal)belum
mg/dl
diketahui
dengan
ï‚· Pemeriksaan
baik
GD/6 jam :
fluktuatif
&
jam 16.00: 325
mg%
ï‚· Klien hanya
menghabiskan
porsi diet yang
diberikan dari
rumah sakit
Fungsi
Fisiologis
:
Nutrisi
Data Subyektif:
ï‚· Nafsu makan
menurun mual
ï‚· Makan ratarata habis 2/3
porsi selama 3
hari terakhir
karena
merasakan
nyeri
pada
abses
Stimulus Fokal
GDS 466 mg% dan
HbA1C :12.7 %,
KGDH : 204 mg%,
305mg% & 219
mg% BB: 56 kg TB
155 cm.
Tujuan Umum
Kebutuhan nutrisi
terpenuhi setelah
dilakukan tindakan
keperawatan
selama
7 hari,
yang
ditunjukan
dengan :
NIC
 Kontrol
metabolic
(hiperglikemia)
 Edukasi
Aktifitas keperawatan
Regulator
ï‚· Timbang berat badan klien
sesuai indikasi
ï‚· Tentukan program diet
kolaborasi dengan ahli gizi
:1500kal dibagi dalam 3
porsi besar & 3 porsi kecil
ï‚· Auskultasi bising usus,
catat
adanya
nyeri
abdomen, perut kembung,
mual, muntahan makanan
yang belum sempat dicerna
ï‚· Identifikasi makanan yang
disukai termasuk kebutuhan
etnik/cultural
dan
lingkungan
yang
menyenangkan saat makan
ï‚· Observasi
tanda-tanda
hipoglikemia
Kriteria hasil
ï‚· Asupan
makanan, cairan
dan zat gizi
terpenuhi
ï‚· Klien
dapat
menjelaskan
komponen
keadequatan
diet
ï‚· Menyatakan
keinginan untuk
mengikuti diet
ï‚· Bertoleransi
terhadap
diet
yang dianjurkan
ï‚· Membertahanka Kognator
n massa tubuh ï‚· Ajarkan
metoda
dan berat badan
perencanaan makan pada
normal
klien dan keluarga
ï‚· Nilai
ï‚· Jelaskan sumber makanan
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 21 hari
(hingga
tanggal
27
Oktober)
&
dievaluasi
setiap 3 x 24 jam serta
dilakukan modifikasi, maka
di dapatkan hasil :
Perilaku adaptif :
Klien mengatakan makan
habis sesuai porsi yang
disediakan, makan sesuai
jadwal
yaitu 15 menit
setelah diberikan insulin,
Regulasi gula darah tercapai
dengan control insulin 3 x 8
unit,
keluarga
(suami)
mampu
menggunakan
insulin sendiri & glukotes
sendiri.
KLien mampu menyebutkan
diit yang dianjurkan dari
jenis, jumlah & jadwalnya
Perilaku inefektif :
Klien masih tergantung
dengan keluarga dalam
pengaturan diit & motivasi
masih rendah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
71
ï‚· BB : 56, TB:
155
cm.
LILA: 22 cm
3
Fungsi
Fisiologis :
Aktifitas
ï‚· Mempunyai
riwayat
amputasi 3
tahun yang
lalu pada 1/3
distal
metatarsal
ï‚· Berjalan
menjadi
lebih pelan,
kaki kanan
sering
menjadi
laboratorium
bergizi yang terjangkau
albumin,
bagi klien dan sesuai diit
glukosa darah ï‚· Informasikan
tentang
dalam
batas
kebutuhan
nutrisi
dan
normal
bagaimana memenuhinya
ï‚· Melaporkan
ï‚· Libatkan keluarga klien
keadequatan
dalam perencanaan makan
energy.
Kolaborasi
ï‚· Lakukan pemeriksaan gula
darah sesuai program :
KGDH
ï‚· Berikan pengobatan insulin
sesuai program : 3 x 8 ui
ï‚· Berikan Donperidon 3 x 1
amp & OMZ 1 x 20 mg
Resiko Injuri : Tujuan umum :
NIC
trauma
jatuh, Injuri tidak terjadi,  Environmental
perubahan
ditunjukan dengan
managemen : Safety
anatomis kaki  Klien mampu  Mechanical control
(chatcot), kalus
mengurangi
& ulkus b.d.
tekanan
pada Aktifitas Keperawatan
penurunan
Regulator
kaki kanan
sensasi,
ï‚· Ciptakan lingkungan yang
ï‚· Keluarga
perubahan kimia
aman bagi klien
mampu
endogen
menyebutkan
ï‚· Identifikasi kebutuhan
ketidakseimbang
criteria
keamanan klien
an
glukosa
Stimulus
lingkungan
berdasarkan tingkat fisik
kontekstual
& insulin
yang aman &
dan fungsi kognitif dan
residual:
memberikan
perilaku
Riwayat DM 10
lingkungan
ï‚· Tempatkan alat-alat yang
tahun
tidak
yang
aman
sering digunakan dalam
Stimulus Fokal
Penggunaan
kaki
kanan
sebagai
penumpu
menyebabkan
timbulnya
kalus&
perawatan
yang
tidak
sesuai
menimbulkan ulkus
pada area kalus
Setelah dilakukan asuhan
selama 3 minggu,dapat
dievalauasi perilaku klien :
Adaptif :
ï‚· Klien
dan
keluarga
mampu
menyebutkan
dan
menyediakan
kondisi lingkungan yang
aman untuk klien :
meletakan barang dekat
klien,
memasang
pengaman,
mambantu
mobilisasi
ï‚· Klien
&
keluarga
mampu
menjelaskan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
72
penumpu
saat
turun
dari tempat
tidur
Fungsi
fisiologis
proteksi
&
saraf:
ï‚· Terdapat
kalus dengan
ulkus pada
bagian
tengahnya
ï‚· Sensasi pada
kaki kanan
menurun &
ABI 1 & 0,9
Fungsi fisiologi
sense (indra):
ï‚· Penurunan
tajam
penglihatan
pada
mata
kiri
terkontrol,
pengetahuan tentang
perawatan
kaki,
penggunaan
alas
kaki,
perawatan
kalus yang belum
optimal
selama di RS
untuk klien
jangkauan klien
tehnik perawatan kaki :
mencuci & menggosok
ï‚· Jaga kebersihan,
kalus, tehnik memeriksa
kenyamanan tempat tidur
kaki
dan lingkungan
ï‚·
Klien
mampu
ï‚· Buang bahan-bahan yang
menggunakan kakikiri
telah digunakan setelah
sebagai tumpuan saat
mengganti balutan dan
mulai berdiri
eliminasi
ï‚· Hindari paparan terhadap
panas dan dingin berlebihan Perilaku inefektif :
ï‚· Ulkus pada tengah
ï‚· Libatkan keluarga untuk
kalus belum kering,
menunggui klien
namun
sudah
ï‚· Lakukan perawatan kalus
didapatkan granulasi &
(pengikisan & perawatan
ukuran yang mengecil
ulkus)
ï‚· belum di dapatkan alas
ï‚· Latih klien untuk
kaki
yang
sesuai
menggunakan kaki kiri
sehingga
masih
sebagai tumpuan
menggunakan
kaus
kaki/sandal
yang
Kognator
dimodifikasi
ï‚· Jelaskan tentang perubahan
Analisa:
atau perlindungan
ï‚· Masalah resiko injuri
lingkungan pada klien dan
masih di dapatkan.
keluarga
Intervensi
untuk
ï‚· Diskusikan dengan klien &
menuju
perilaku
adaptif
keluarga untuk perawatan
tetap
dilaksanakan
kaki & penggunaan alas
hingga
klien
dirumah
kaki
dengan
melibatkan
ï‚· Demonstrasikan
keluarga
tehnikperawatan kaki &
pencegahan kalus
Kolaborasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
73
ï‚· Kolaborasikan dengan
dokter spesialis mata untuk
pemeriksaan &
penatalaksanaa mata
ï‚· Kolaborasi dengan
rehabilitasi untuk
mendiskusikan alas kaki
yang sesuai
mode konsep
diri :
ï‚· klien tidak
lagi
menjalankan
ibadah sholat
karena
tubuhnya
selalu kotor
oleh eksudat
luka
ï‚· Klien
menginginka
n untuk tetap
menjalankan
ibadah
Stimulus fokal : Kesiapan
pengetahuan klien meningkatnya
tentang ibadah untuk religiositas
orang sakit kurang
Kesiapan dalam
Mode konsep Stimulus
peningkatan
diri :
Kontekstual :
koping individu
ï‚· Mengungkap ï‚· Pengalaman
kan
mengalami ulkus
kekhawatiran
sebelumnya
Setelah dilakukan  Spiritual support,dengan
tindakan
aktifitas :
keperawatan
ï‚· Diskusikan tata cara bersuci
selama 2x24 jam
& sholat saat sakit
diharapkan
klien ï‚· Ajarkan cara tayamum &
akan menunjukan
sholat dengan kondisinya
peningkatan
ï‚· Libatkan keluarga dalam
kesejahteraan
penyediaan fasilitas ibadah :
spiritual
mukena, tasbih
Criteria hasil ;
ï‚· Pertahankan privacy saat
ï‚· Bersuci melalui
sholat/berdo’a
tayamum
ï‚· Sholat
dengan
cara duduk
ï‚· Melakukan
aktivitas doa
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 2 hri
didapatkan :
Perilaku efektif :
ï‚· Keluarga membawakan
perlengkapan ibadah
ï‚· Klien
terlihat
menjalankan
ibadah
sesuai dengaan waktunya
ï‚· Klien terlihat berzikir
menggunakan tasbih di
waktu istirahatnya.
ï‚· Klien mengungkapkan
lebih tenang jika dibantu
dengan berdo’a
Setelah dilakukan NIC
tindakan
 Peningkatan koping
keperawatan
individu
selama 7 x 24 jam  Peningkatan support
diharapkan
klien
system
Setelah dilakuakan asuhan
kepetawatan selama 7 hari
dan dilakukan evaluasi di
dapatkan perilaku yang
adaptif , dimana klien
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
74
nya terhadap ï‚· Support
dari
luka
yang
keluarga baik
saat
ini
dideritanya
ï‚· Mengungkap
kan
keyakinanny
a
terhadap
pelayanan
dan petugas
kesehatan
mampu
mengatasi
sakitnya
Mode
Interdependen
ï‚· Terlibat
pengambilan
keputusan
dalam
perawatan
dirinya
:
mementukan
tambahan
protein,
pemilihan
menggunakan
jenis balutan.
ï‚· Mengungkapk
an jika rasa
takut
akan
nyeri
dikesampingk
memperlihatkan
peningkatan
kesejahteraan
dalam koping
 Peningkatan body image
Aktivitas yang dilakukan :
Kognator
ï‚· Gali harapan yang
diinginkan
ï‚· Diskusikan hal – hal positif
yang klien miliki
ï‚· Lakukan reinsforment (+)
terhadap hal – hal positif
yang dimiliki oleh klien
ï‚· Diskusikan dengan klien
untuk menggunakan hal
positif yang dimiliki klien
untuk meningkatkan
ï‚· Fasilitasi komunikasi akan
perhatian/perasaanantara
pasien dan keluarga atau
anggota keluarga
ï‚· Libatkan keluarga dalam
setiap perawatan klien
menunjukan perilaku :
ï‚· Keaktifan klien dalam
program perawatan
ï‚· Ungkapan klien tentang
harapan kesembuhan
ï‚· Interaksi yang meningkat
dengan
pasien
disekitarnya
ï‚· Ungkapan keingitahuan
klien tentang perawatan
selanjutnya
dan
mengikuti
program
perawatan
yang
melibatkan
keaktifan
klien
:
latihan
menggunakan kaki kiri
sebagai
tumpuan,
bersholawat saat diganti
balutan,melakukan
exercise di tempat tidur.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
75
an jika akan
diganti
balutannya,krn
ingin
luka
cepat sembuh
Mode Fisiologi
ï‚· Terjadi
peningkatan
GD
ï‚· Abses yang
makin luas
ï‚· Kalus
&
ulkus pada
kaki kanan
Mode
Interdependensi
ï‚· Perawatan
dirumah
dilakukan
oleh suami
ï‚· Menghentika
n
program
pengobatan
karena
sumber dana
ï‚· Keluarga
memberikan
susu kedelai
dengan gula
setiappagi
ï‚· Menghentika
n pengobatan
Stimulus Fokal :
Belum
pernah
mengikuti program
edukasi
Informasi
saat
dirawat terbatas pada
diit : pengurangan
sumber karbohidrat
Menegement
diri
inefektif
berhubungan
dengan
pengetahuan
yang kurang
Setelah dialakukan NIC ;
tindakan
 Program edukasi
keperawatan
Aktifitas yang dilakukan :
selama
7
hari ï‚· Gali pengetahuan klien dan
diharapkan
keluarga tentang
kemempuan klien
DM,komplikasi dan
dalam management
perawatannya
diri
meningkat ï‚· Lakukan edukasi dengan
ditandai dengan
- Kelompok sebaya (group)
ï‚· Secara kognotif
ï‚· Lakukan konseling
klien mengetahui
sesuai kebutuhan klien
batasan
gula ï‚· Fasilitasi klien dalam
darah
normal,
membuat keputusan dalam
tanda
perawatan dirinya
peningkatan gula ï‚· Demonstrasikan perilaku
darah, komplikasi
perawatan yang dapat
dan
dilakukan oleh klien : cara
perawatannya
perawatan kaki, pemberian
ï‚· Secara
insulin, menyiapkan
psikomotor klien
makanan, latihan yang bs
menunjukan
dilakukan (peregangan).
perilaku terhadap
diit yang benar,
latihan
fisik,
melakukan
penyuntikan
insulin
sendiri,
Setelah dilakukan perawatan
pada hingga hari ke 7 di
dapatkan perilaku adaptif :
Klien dan keluarga
mampu menyebutkan
batasan gula darah
normal, tanda hiper &
hipoglikemia,komplika
si yang ada pada
dirinya dan komplikasi
lain yang dapat terjadi,
penatalaksanaan DM.
Klien
melakukan
exercise di tempat tidur
(senam
kaki,
peregangan otot) sesuai
kemampuan
Anak klien mampu
melakukan perawatan
kaki
Klien
mampu
menyuntik
insulin
sendiri
Keluarga
klien
membeli
glukometer
dan
mampu
menggunakannya
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
76
sendiri
ï‚· Menggunaka
n OHO tanpa
monitoring
dari tenaga
kesehatan
aktif
dalam
program edukasi
-
Klien dan keluaarga
mampu menyebutkan
sumber
pelayanan
kesehatan yang bisa
dijangkau.
Perilaku inefektif :
Psikomotor
dalam
penyediaan
diit,karena
masih disediakan oleh RS
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
77
3.3. Pembahasan
Bagian ini merupakan pembahasan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan pada
Ny. S dengan DM komplikasi abses dan resiko tinggi ulkus diabetik dengan
menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy.
Pembahasan yang akan praktikan
uraikan bertolak dari masalah keperawatan yang ditemukan mengacu pada 4 mode
adaptasi menurut Roy. Keempat mode tersebut meliputi mode fisiologi, mode konsep diri,
mode peran dan mode ketergantungan. Dari masalah keperawatan yang terjadi, akan
dianalisis berbagai faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya masalah tersebut,
dilanjutkan dengan membahas berbagai intervensi yang telah dilakukan untuk
mengatasinya dan evaluasi hasil dari intervensi yang telah dilakukan. Pembahasan juga
akan diperkuat oleh teori/konsep yang mendasarinya fenomena yang terjadi dan hasil
studi para peneliti sebelumnya sebagai justifikasi ilmiah.
3.3.1. Mode Fisiologi
3.3.1.1. Resiko
ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuh
berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan
proses infeksi
Masalah keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan
sebagai asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolise (NANDA, 2012-2014). Factor resiko yang berhubungan
dengan gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada klien diabetes
dikaitkan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mengabsorpsi
nutrient.
Perilaku klien di dapatkan berhubungan dengan masalah nutrisi ini adalah
klien mengalami mual, penurunan nafsu makan, makan habis hanya ½
porsi. Dari penghitungan IMT didapatkan nilai 23, masuk dalam katagori
normal. Pemeriksaan laboratorium sebagai pendukung perilaku pada mode
nutrisi di dapatkan data SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, HbA1C: 12,7
%, Trigliserida : 80mg/dL, Kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl &
LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL dengan protein urine kuantitatif
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
78
670 mg/24jam. Dari hasil laboratorium diatas dapat disimpulkan fungsi
hati dalam kondisi normal.
Hati merupakan organ penting yang berperan dalam metabolisme
komponen nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Komponen
nutrisi yang mengalami penurunan adalah albumin. Hipoalbumin yang
terjadi pada Ny. S disebabkan karena inflamasi kronik dari abses yang
terjadi. Kadar albumin rendah selain karena asupan nutrisi yang kurang
juga
karena
inflamasi
kronik
dan
kebocoran
pada
ginjal.
Ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan disertai dengan
penurunan fungsi ginjal menyebabkan penurunan albumin dalam darah.
Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat
respon inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, trauma) mengakibatkan
penurunan kadar albumin melalui mekanisme
:
1) peningkatan
permeabilitas vascular (menyebabkan albumin berdifusi ke ruang
ekstravaskular); 2) peningkatan degradasi albumin; 3) penurunan sintesis
albumin (TNF-α yang berperan dalam penurunan trankripsi gen albumin),
(Dunning, 2009).
Data lain yang menunjang masalah resiko keseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh adalah kadar gula darah yang tinggi saat masuk yaitu
466 mg/dL dan menurun dengan pemberian terapi insulin. Hasil HbA1C
menunjukan nilai 12,7 % yang dapat disimpulkan tidak terkontrolnya gula
darah dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan gula darah diduga adanya
resistensi insulin. Resistensi insulin relative akan mengakibatkan gangguan
metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Lewis & Heitkemper, 2011).
Insulin berfungsi dalam transportasi glukosa hingga masuk ke dalam sel.
Sekresi insulin dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah.
Saat terjadi defisiensi insulin, glukosa darah hasil metabolisme karbohidrat
setelah seseorang makan tidak dapat masuk ke dalam sel, mengakibatkan
suatu kondisi yang disebut hiperglikemia Selain itu penurunan metabolism
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
79
di sel berakibat terjadinya penurunan energy dan penderita DM akan
mengalami keseimbangan kalori negative, perilaku klien yang ditunjukan
misalnya adanya keluhan mudah lelah, atau lemas dan letih.
Gangguan nutrisi pada sel, mengaktifkan system homeostatis tubuh untuk
memproduksi energy terus berlangsung dengan pembentukan glukosa
endogen glukoneogenesis & glikogenolisis dijaringan hepar. Kondisi ini
semakin meningkatkan glukosa darah. Stress fisik seperti adanya ulkus,
akan meningkatkan hormone kontraregulator (glucagon, katekolamin dan
kortisol) yang akan mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan
lemak. Akibat lipolisis meningkat akan terjadi peningkatan produksi benda
keton dan asam lemak bebas secara berlebihan.
Intervensi keperawatan yang dapat disusun pada masalah nutrisi ini adalah
pemberian diit yang sesuai, kontrol gula darah, dan pemberian terapi
insulin sebagai upaya membantu glukosa masuk ke dalam sel dan pada
akhirnya diharapkan nutrisi sel terpenuhi.
Menurut Yunir & Soebardi, 2010, salah satu terapi medis non farmakologi
yang direkomendasikan untuk mengatasi maslah nutrisi pada klien DM
adalah terapi gizi. Terapi gizi merupakan kegiatan pengaturan pola makan
yang didasarkan pada status gizi penderita DM yang disesuaikan dengan
kebutuhannya. Adapun manfaat yang diharapkan dari pengaturan diit ini
adalah : 1) menurunkan berat badan, 2) menurunkan tekanan darah. 3).
mengontrol gula darah pada batas normal. 4). memperbaiki profil lipid . 5).
memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki sistim koagulasi darah.
Adapun pengaturan diit yang dilakukan pada Ny. S adalah sebagai berikut:
Rumus penghitungan kebutuhan nutrisi dengan rumus Brocca :
Penentuan besarnya kalori yang diberikan digunakan perhitungan rumus
Brocca, yaitu: BBI x kebutuhankalori + aktifitas + kondisi stres
BBI
= (TB dalam Cm - 100) -10%
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
80
= (155 cm - 100) ± 5,5= 49,5 - 60,5 kg
BBI
Kalori basal wanita 25 Kkal/Kg = 49,5 x 25
= 1237,5 kkal
Aktifitas ringan + 10%
= 123,5 kal
Keadaan stres fisik + 20%
= 369,75 kal
Usia > 50 th - 5%
= 61,88
BB Gemuk - 20%
= 247,5
Total kebutuhan nutrisi : kkal
= 1423,125 pembulatan 1500 kal
Makanan dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan
malam (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makanan besar.
Untuk pengaturan makan ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan tim
gizi RS. Medical Nutrition Therapy (MNT) penting dalam manajemen
pencegahan diabetes, mencegah perkembangan komplikasi akibat diabetes,
dan mencegah kejadian morbiditas dan mortalitas akibat diabetes (ADA,
2012). MNT juga termasuk ke dalam edukasi manajemen diri pada klien
diabetes. MNT dilaporkan dapat menurunkan nilai HbA1C ( A1C) 0,25 –
2,9% pada klien DM tipe II (ADA, 2012) tergantung kepada lamanya klien
menderita DM. Hasil metaanalisis pada studi orang tanpa diabetes
menunjukkan MNT dapat menurunkan kolesterol LDL antara 15-25 mg/dl
yang dicapai setelah 3-6 bulan inisiasi.
Terjadinya penurunan albumin dalam darah akan menghambat proses
penyembuah luka. Peningkatan pemberian protein pada kondisi Ny. S
perlu dipertimbangkan dengan fungsi ginjal yang menurun dan adanya
pengeluaran protein melalui urine. Protein yang diberikan pada Ny. S
adalah 1,5 – 2 gr/Kg BB/hari dengan pertimbangan untuk meningkatkan
proses penyembuhan luka. Sumber protein yang diberikan 50 % berasal
dari sumber hewani dan 50 % berasal dari sumber nabati. Kandungan
protein pada putih telur mencapai 98%, sehingga pemberian ekstra putih
telur hingga 6 butir perhari merupakan upaya untuk memenuhi protein
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
81
dalam tubuhnya. Selain dari sumber hewani sumber protein nabati seperti
dari olahan kedelai (susu kedelai) mempunyai banyak keuntungan jika
dikonsumsi oleh psien DM seperti Ny.S, dimana sudah terjadi penurunan
pada fungsi tubuh. Kandungan protein yang ada pada kedelai
(phytoestrogen)
dapat
menurunkan
proteinuria,
hiperfiltrasi
dan
proinflamato cytokines diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi
ginjal (Kresnawan & Markun). Penelitian lain tentang susu kedelai
dilakukan oleh Anitha pada tahun 2006 di RS Saiful Anwar, pada 5 orang
kelompok perlakuan yang diberikan susu kedelai didapatkan penurunan
gula darah puasa dan 2 jam post prandial (p= 0,01). Dengan demikian
pemberian susu kedelai tanpa gula bisa menggantikan pemberian susu dari
sumber hewani.
Intervensi lain yang dilakukan pada Ny. S yang penting adalah mengatasi
hyperglikemia. Pada kasus Ny. S penatalaksanaan terhadap hiperglikemia
saat di UGD adalah dengan pemberian insulin berdasarkan hasil gula darah
setiap 6 jam (setiap kenaikan 50 mg%, diberikan 5 ui Humulin RR (insulin
kerja pendek) dimulai dengan nilai GD 200mg%). Setelah 2 hari dirawat
diberikan insulin dengan dosis 3 x 8 unit & kontrol gula darah setiap hari
30 menit sebelum makan. Pada hari ke 3 perawatan gula darah klien
terkontrol dengan nilai antara 180–250.
Pemberian insulin pada kondisi ini tidak hanya untuk menurunkan glukosa
darah hingga batas normal, namun juga untuk mengatasi ketonemia dimana
insulin akan menurunkan konsentrasi hormone glucagon, sehingga
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas di
jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan
utilisasi glukosa oleh jaringan. Efektifitas penatalaksanaan hiperglikemi
dapat dipantau melalui kadar glukosa dalam darah.
Pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan disertai penyakit
kritis insulin diberikan jika gula darah lebih dari 180 mg/dL dan pemberian
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
82
insulin lebih efektif dengan pemberian continuous IV insulin atau
intermiten SC basal bolus yang dikombinasi dengan correctional doses
insulin. Pemberian ini mengurangi terjadinya hipoglikemia dan dapat
menentukan dosis yang tepat (Hassan, 2007; LeMone, 2011; ADA,2012)
3.3.1.2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa
darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi
Masalah keperawatan berikutnya yang praktikan tegakkan pada Ny. S pada
mode fisiologi adalah resiko infeksi kearah sepsis. NANDA 2012- 2014,
mendefinisikan resiko infeksi merupakan kondisi peningkatan resiko
terserang organism pathogen. Pada kasus Ny. S, infeksi sudah terjadi yang
ditandai dengan lekositosis dan pada hasil kultur didapatkan bakteri gram
(+). Resiko terjadinya sepsis pada Ny. S, berdasarkan pada beberapa faktor
resiko seperti usia, peningkatan gula darah, penurunan system imun dan
perubahan pada vaskularisasi.
Gangguan vaskuler dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein
yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang
bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product
(AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing–masing di membrane
sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane
basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang
melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen
dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan
penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan
penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan
sirkulasi. Selanjutnya penuruanan sirkulasi ini akan menghambat aliran
darah yang membawa oksigen, nutrisi, sel darah putih dan antibody untuk
proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak. Kondisi ini
mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat,
(Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009, Hawks & Black, 2010).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
83
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencapai perilaku adaptif
terhadap pencegahan perluasan infeksi menjadi sepsis dilakukan dengan
meningkatkan koping regulator dan kognator pada Ny. S dan keluarga.
Secara umum intervensi tersebut meliputi, management luka, managemen
infeksi, menegemen hiperglikemik, control vaskuler dan edukasi. Aktivitas
yang dilakukan pada klasifikasi intervensi tersebut khususnya untuk
menegemen luka, infeksi dan edukasi meliputi : melakukan perawatan luka
(mengganti balutan, menyiapkan dasar luka dengan debridement).
Aktifitas keperawatan yang ditujukan untuk control infeksi diataranya
dengan monitoring tanda perluasan infeksi (tanda infeksi sistemik, infeksi
pada area luka, eksudat yang diproduksi luka), mempertahankan tehnik
aseptic selama perawatan luka, mencegah kontaminasi luka dengan sumber
infeksi (lingkungan), kolaborasi dalam pemberian antibiotic (Ceftriaxon 2x
2 gr dan Metronidazol 3 x 500 mg) sesuai hasil kultur. Edukasi yang
diberikan kepada Ny. S sebagai upaya untuk meningkatkan koping
kognator diantaranya upaya peningkatan daya tahan tubuh : istirahat,
penurunan kecemasan, tehnik menurunkan nyeri dan pemenuhan nutrisi
sesuai diit. Edukasi untuk pencegahan infeksi dilakukan dengan
menginformasikan untuk menjaga kebersihan area sekitar luka dan
menginformasikan untuk melaporkan kepada perawat jika ada tanda
deman, nyeri yang bertambah pada luka dan pengeluaran produksi cairan
luka yang berlebihan (Bulechek, et al, 2008; Doenges, et al, 2010; Ackley
& Ladwig, 2011).
Pemberian antibiotik pada Ny. S di dasarkan pada hasil kultur. Ceftriaxon
dan Metronidazol merupakan salah satu antibiotic yang masih sensitive.
Peran perawat pada pemberian antibiotic ini dimulai dari metode
pengambilan bahan culture. Pengambilan specimen yang tidak sesuai akan
mempengaruhi hasil kultur dan pada akhirnya berdampak pada pemberian
antibiotic yang tidak sesuai dan menyebabkan resistensi. Tehnik
pengambilan swab kultur pada luka dilakukan dengan mencuci luka
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
84
terlebih dahulu menggunakan air steril atau NaCl 0.9 % (bukan cairan
antiseptic) kemudian dikeringkan dengan kasa steril. Swab atau apusan
luka dilakukan dengan menggunakan lidi kapas steril dengan metode
Levine. Metode ini terbukti pada 4 penelitian merupakan metode yang
paling efektif dibandingkan dengan metode Z maupun metode sederhana.
Tehnik swab dengan metode Levine dilakukan dengan mengusapkan lidi
kapas steril pada dasar luka yang telah dicuci dan area yang paling sedikit
terdapat jaringan nekrosis/slogh pada diameter 1-2 cm melingkar (Gardner,
2006; Angel et al, 2011; Drinka et al, 2012; Nata dkk, 2012).
Intervensi lain yang juga penting diperhatikan pada pencegahan meluasnya
infeksi pada luka adalah perawatan luka. Prinsip management luka
menurut Dealey.C, 2005 diantaranya adalah : perawatan luka lembab &
menyiapkan dasar luka (wound bed preparation).
Perawatan Luka Lembab
Pada perawatan luka yang diberikan kepada Ny.S untuk mempertahankan
kelembabannya awalnya menggunakan kasa yang dibasahi NaCl, namun
pada hari ke 4 perawatan, sudah menggunakan hydrogel, mengingat lebih
efektif dan efisien. Perawatan luka lembab pertamakali diperkenalkan oleh
George Winter pada tahun 1962 dan berkembang hingga sekarang.
Beberapa
studi
telah
menunjukkan
bahwa
lingkungan
lembab
mempercepat proses epitelisasi dan untuk menciptakan lingkungan lembab
dapat dilakukan dengan menggunanakan balutan semi occlusive, full
occulisive dan impermeable dressing. Ada beberapa keuntungan prinsip
moisture dalam perawatan luka, diantaranya: mencegah luka menjadi
kering dan keras, meningkatkan laju epitelisasi, menjagah pembentukan
jaringan eschar, meningkatkan pembentukan jaringan dermis, mengontrol
inflamasi dan memberikan tampilan yang lebih kosmetis, mempercepat
proses autolysis debridement, menurunkan kejadian infeksi, cost effective,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
85
mempertahankan aktifitas neutrofil, menurunkan nyeri, memberikan
keuntungan psikologis.
Penggunaan kasa yang dilembabkan dengan NaCl merupakan cara
konvensional dan sering digunakan. Cara ini bisa menciptakan suasana
lembab tapi tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama
sebaliknya cara ini bisa menimbulkan nyeri (pada beberapa klien) saat
pergantian balutan ketika kasa telah mengering. Sedangkan hydrogels
merupakan polymer dengan kandungan air 90-95 % dan memiliki sifat
semi transparan dan nonadherent (Hest, CT. 1995., Jeter, KF &Tintle, TE.
1991 dalam Dealey, 2005). Di pasaran hydrogel tersedia dalam bentuk
pasta dan lembaran (sheet). Bentuk lembaran sangat comformable sehingga
bisa mengikuti tekstur luka dan dapat mengabsorbsi eksudat dalam jumlah
sedikit atau sedang. Karena sifatnya yang tidak lengket maka tidak
menimbulkan nyeri saat pergantian balutan namun sifat ini pula yang
mengharuskan hydrogel didampingi oleh balutan sekunder. Balutan
sekunder yang diberikan pada Ny. S adalah jenis balutan yang mampu
mengabsorbsi eksudat.
Menyiapkan dasar luka (Wound bed preparation)
Persiapan dasar luka telah diusulkan sebagai sarana untuk memberikan
pendekatan terstruktur dan sistematik dalam manajemen penyembuhan
luka yang terganggu. Persiapan dasar luka menekankan pada pengangkatan
hambatan yang mengganggu penyembuhan luka dengan mengoptimalkan
kondisi penyembuhan luka. Tujuan persiapan dasar luka adalah untuk
menciptakan lingkungan penyembuhan luka yang optimal dengan
menghasilkan dasar luka yang bervaskular, stabil, dengan eksudat minimal.
Salah satu tehnik yang dapat dilakukan untuk menyiapkan dasar luka ini
adalah dengan debridemen. Debridemen merupakan proses pengangkatan
jaringan mati (nekrotik), eksudat, dan debris metabolik dari dasar luka dan
kulit sekitar untuk memfasilitasi proses penyembuhan. Jaringan nekrotik
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
86
dan sampah metabolik dalam luka mencegah penyembuhan dengan
memberi
nutrisi
pada
bakteri
serta
menghambat
fase
inflamasi
penyembuhan. Oleh karena itu, harus diangkat sehingga akan membantu
merangsang tepi luka yang tidak meluas. Berbagai macam tehnik
debridement dapat dilakukan diantaranya dengan autolitik, biologik,
kimiawi maupun mekanik (Dealey.C, 2005; Yunir, 2010). Pada kasus Ny.
S penyiapan dasar luka dilakukan pada awalnya menggunakan hydrogel
sebagai autolitik, namun karena area slough yang banyak dan nyeri saat
dibersihkan maka debridemen mekanik (pembedahan) akhirnya dilakukan.
Kondisi Ny. S yang dihadapi praktikan saat mengganti balutan adalah
masalah nyeri dengan skala sedang dan meningkat saat alat menyentuh
area luka atau saat nekrotomi. Nyeri merupakan masalah yang banyak
terjadi pada klien dengan luka kronik dan nyeri dirasakan saat mengganti
luka. Augustin & Maier, (2003 dalam Dealey, 2005) menyatakan nyeri
yang dirasakan oleh klien dengan luka akan mengakibatkan stress dan
stress juga akan meningkatkan nyeri. Survey yang dilakukan oleh Moffatt,
2002 di 11 negara mendapatkan nyeri yang paling dirasakan oleh penderita
luka konik adalah saat mengganti balutan dengan kondisi balutan yang
kering. Penelitian sebelumnya yaitu Szor dan Bourguignon (1999)
mengamati 32 klien dengan ulkus tekanan dengan menggunakan kuesioner
McGill mendapatkan 28 (87,5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan
12 (42%) mengalami nyeri terus menerus baik saat istirahat maupun saat
mengganti balutan. Faktor yang menimbulkan nyeri saat mengganti
balutan disebabkan oleh karena balutan yang lengket dengan luka, irigasi
luka, balutan yang kering dan kecemasan (Bell & McCarthy, 2010).
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri selain dengan analgetik
perawat melakukan tehnik relaksasi sebelum perawatan yang bertujuan
untuk mengurangi kecemasan dan dilanjutkan saat mengganti balutan.
Relaksasi didefinisikan sebagai teknik yang digunakan untuk mendukung
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
87
dan memperoleh relaksasi untuk tujuan mengurangi tanda-tanda dan gejala
yang tidak diinginkan seperti nyeri, ketegangan otot dan kecemasan
(Dochterman McCloskey, 2004). Teknik relaksasi yang mudah dilakukan
oleh klien adalah dengan teknik dalam. Selain teknik relaksasi penggunaan
balutan yang sesuai (lembab bersifat autolitik) seperti jenis balutan modern
mampu dapat meningkatkan kenyamanan. Penelitian Kristanto, 2010 di
RSUD Syaiful Anwar malang terhadap 20 orang kelompok kontrol dan
perlakukan di dapatkan balutan modern mampu meningkatkan ekspresi
TGF β1 dan menurunkan kadar kortisol yang berdampak pada penurunan
stress fisik maupun psikis (p = 0.028).
3.3.1.3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan
sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan
Diagnosa resiko injuri atau bahaya fisik didefinisikan sebagai kondisi yang
beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang
berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu dengan
faktor resiko biologis (tingkat imunitas, mikroorganisme), dari kliennya
(kognitif, afektif dan psikomotor), disfungsi biokimia, usia, fisik dan
disfungsi sensorik (NANDA 2012-2014).
Diagnosa ini merupakan penggabungan dari beberapa masalah pada mode
fisiologi, yaitu masalah pada mode aktifitas, mode proteksi, mode sensasi,
mode neurologi dan mode endokrin. Perilaku yang di tampilkan pada 5
mode tersebut menjadi data untuk masalah resiko injuri sedangkan
stimulus menjadi data pada etiologi. Data yang didapatkan pada diagnose
ini diantaranya adanya perilaku yang mengarah kemungkinan terjadi
bahaya fisik/cedera, diantaranya adanya baal pada kedua telapak kaki,
telapak kaki telah diamputasi 3 th yang lalu (1/3 distal metatarsal), adanya
kalus pada kaki kanan yang ditengahnya terdapat ulkus. Pemeriksaan
menggunakan monofilament 10 gr didapatkan terjadi penurunan sensasi.
Stimulus yang didapatkan baik fokal, kontekstual maupun residual
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
88
diantaranya: klien lansia (66 th), mengalami DM selama 10 tahun namun
gula darah tidak terkontrol mengalami hipertensi dan riwayat amputasi 3
th yang lalu. Pengetahuan klien dan keluarga dalam perawatan kaki,
pencegahan berulangnya ulkus kaki dan modifikasi mobilisasi masih
kurang karena belum pernah mendapatkan informasi mengenai masalah
perawatan kaki.
Masalah kaki yang dialami oleh Ny. S adalah riwayat amputasi dengan
kalus dan ulkus kecil di kaki kanan. Ulkus kaki merupakan salah satu
infeksi kronis yang sering dialami pada diabetisi. Di USA angka kejadian
ulkus kaki sebagai komplikasi DM terjadi pada 15 % diabetisi (Frykberg,
et al, 2006) dan di Indonesia 15-23% dari seluruh penderita DM (Waspadji,
2011) dan 85% amputasi pada kaki diabetic di dahului oleh adanya ulkus
& ulkus pada kaki dapat diawali karena adanya kalus pada area plantar
kaki.
Pengkajian kaki yang dilakukan kepada Ny. S didapatkan data adanya
riwayat amputasi dengan ulkus & saat ini mengalami kalus, maka menurut
Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 masuk dalam katagori
3 (resiko sangat tinggi), dan seharusnya pemeriksaan kaki dilakukan setiap
1-3 bulan, namun pada Ny. S tidak pernah dilakukan.
Faktor resiko terjadinya ulkus pada kaki diantaranya adalah : neuropathi
perifer, gangguan vaskuler perifer, keterbatasan gerak sendi, deformitas
kaki, tekanan kaki yang abnormal, trauma minor, riwayat ulcer atau
amputasi dan penurunan tajam penglihatan (Frykberg, et al, 2006). Pada
Ny. S, ulkus yang dahulu dialami karena luka yang tidak disadari. Saat ini
jika tidak dilakukan intervensi yang tepat, ulkus pada kalus akan
berkembang menjadi ulkus yang terinfeksi. Menurut Frykberg, 2006 kalus
pada area plantar terjadi karena adanya gesekan dan tekanan yang tinggi
sehingga menyebabkan penebalan pada area kulit. Berikut ini akan
diuraikan proses terjadinya ulkus kaki pada pasien diabetes.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
89
Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati
perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang
berakibat terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas kaki
sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat
adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut
maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya)
merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada
penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris
dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan
otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus,
halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya
neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris
yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan
sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan
serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit
kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki.
Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya
atropati Charcot.
Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis)
maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan
terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi penyebab
terjadinya ulkus juga mempersulit proses penyembuhan ulkus kaki.
Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 katagori,
yaitu kaki diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya
kaki diabetika disebabkan oleh faktor neuropati (82%) sisanya adalah
akibat neuroiskemia dan murni akibat iskemia.
Gangguan mode sense dan neurologi (neurophaty perifer) yang terjadi pada
Ny.S adalah penurunan sensasi (rasa) pada area telapak kaki kiri (diperiksa
dengan menggunakan monofilament 10 gr) pada area telapak : terjadi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
90
penurunan sensasi rasa. Penurunan sensasi terjadi karena adanya
komplikasi neuropathi sensori perifer.
Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat
menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom
dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung
pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan
dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada klien yang
sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam
diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat
dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler.
Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia.
Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik
yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,
sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal
bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut
berakibat pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf
menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND
(Subekti I, 2010).
Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya
saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan
ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal.
Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan
atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam
hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa).
Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta
gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan
dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan
ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
91
Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita
neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki.
Pemeriksaan neuropathy pada klien diabetes merupakan pemeriksaan yang
direkomendasikan oleh ADA 2012 dan AACE, 2008 pada level A sebagai
screening terhadap adanya kaki diabetic. Penggunaan monofilament 10 gr
untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh
Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14
studi (1950–2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah
3142 dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan
adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan
pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada
diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai
alat diagnostic tunggal.
Gangguan sense (indra) yang lain pada Ny. S adalah penurunan tajam
penglihatan. Gangguan penglihatan yang terjadi disebabkan karena
komplikasi dari DM yaitu retinopathy yang dapat menyebabkan injury.
Retinophaty termasuk
dalam
golongan
komplikasi
mikrovaskuler,
penyebab retinopathy belum secara jelas diungkap tapi mungkin dapat
disebabkan oleh multifaktorial yaitu terkait dengan glikosilasi protein,
iskemi, dan mekanisme hemodinamik. Peningkatan viskositas darah
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan penurunan elastisitas kapiler.
Retina membutuhkan rata-rata konsumsi O2 terbesar dari seluruh organ
tubuh, bila terjadi gangguan suplai O2 pada retina maka akan terjadi
anoksia jaringan yang dapat menyebabkan kematian jaringan (Black &
Hawk 2010).
Intervensi yang dilakukan untuk memfasilitasi Ny. S mempunyai perilaku
yang adaptif, maka dilakukan upaya untuk menghilangkan stimulus dengan
meningkatkan koping Ny.S baik yang bersifat regulator maupun kognator.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
92
Pada koping regulator, intervensi yang dilakukan diantaranya , melakukan
perawatan kalus dan ulkus, bersama keluarga memberikan lingkungan
yang
aman
(memasang restrain
saat
keluarga
tidak
menunggu,
mendekatkan alat yang dibutuhkan klien untuk mudah dijangkau), melatih
klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, melatih klien menggunakan
pengaman/pegangan saat akan mulai berdiri. Meningkatkan koping
kognator dilakukan dengan melibatkan keluarga terutama yang selalu
bersama klien (suami klien). Mendiskusikan bahaya fisik yang mungkin
terjadi : jatuh, resiko terjadi ulkus berulang. Mendiskusikan dan
mendemonstrasikan tehnik perawatan kaki, tehnik mengurangi tekanan
pada area kaki kanan dan lingkungan yang aman untuk klien.
Kalus yang terjadi pada kaki kanan Ny. S, disebabkan karena adanya
penekanan dimana kaki kanan menjadi tumpuan ketika klien memulai
berdiri. Dengan kondisi telapak kaki yang telah diamputasi & adanya kalus
dengan ulkus ditengahnya sangat beresiko terjadinya perluasan ulkus,
maupun perubahan bentuk kaki. Oleh sebab itu, menghindari penekanan
dan menggunakan alas kaki yang sesuai merupakan pencegahan yang dapat
dilakukan. Salah satunya dengan mengistirahatkan kaki, menghindari
tekanan pada kaki (non weight bearing) dan off loading.
Istilah off-loading dalam konteks luka kaki diabetik merujuk pada upaya
untuk mengurangi beban tekanan terutama pada daerah luka. Hal ini
merupakan tujuan utama dalam perawatan luka kaki diabetes. Off-loading
mencegah
trauma
lanjutan
pada
luka
dan
memfasilitasi
proses
penyembuhan terutama pada klien dengan neuropati sensoris. Penelitian
retrospektif dan prospektif menunjukkan bahwa peningkatan beban
tekanan pada daerah plantar merupakan penyebab terjadinya luka diabetes
pada daerah tersebut yang berakibat pada abnormalitas struktural dari kaki
seperti; claw-toe deformity dan charcot neuroarthropathy. Kombinasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
93
deformitas kaki, penurunan fungsi protektif, dan tidak adekuatnya offloading berdampak pada kerusakan jaringan dan ulserasi
Saat ini telah tersedia berbagai jenis sepatu khusus bagi penderita diabetes
(Protective footwear), dimana salah satunya yang terkenal sebagai ‘gold
standard’ adalah Total Contact Casts (TCCs). TCC merupakan sepatu
khusus bagi penderita diabetes yang dapat mendistribusikan beban tekanan
pada daerah plantar serta membatasi pergerakan daerah tumit, dengan
demikian penggunaan TCC dapat mengurangi tekanan hingga 87%.
Sayangnya penggunaannya masih jarang di klinis. Dimana hanya 2 % dari
praktisi yang menggunakan TCC untuk merawat luka kaki diabetes dengan
alasan kurangnya ketersediaan dan tenaga ahli dalam penggunaannya,
selain faktor lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemasangannya
dibandingkan alat lain (Waspadji.S, 2011; Perkeni, 2009).
Bahaya fisik lain yang mungkin terjadi pada Ny. S berhubungan dengan
komplikasi yang ditimbulkan. Hasil CCT menunjukan nilai GFR 56 ml/24
jam. Hal ini menunjukan penurunan fungsi ginjal pada stadium 2. Jika ini
tidak menjadi perhatian akan jatuh pada gagal ginjal kronik. Penurunan
fungsi ginjal merupakan salah satu komplikasi kronik dari DM yang
disebut nefropathy. Diabetik nefropathy terjadi pada 20–40% klien DM
dan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik (ADA, 2012). Rekomendasi
ADA 2012 untuk pencegahan dan penanganan pada kondisi ini adalah :
kontrol gula darah dan tekanan darah pada batas normal. Screening pada
penurunan fungsi ginjal dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urium,
kreatinin dan dan penghitungan GFR minimal 1 tahun sekali. Pembatasan
protein 0,8–1 gr/Kg BB berguna untuk mencegah kerusakan fungsi ginjal
lebih lanjut (ADA, 2012).
Evaluasi yang didapatkan pada hari ke 14 rawatan, ditemukan perilaku
adaptif pada mode aktifitas, proteksi dan interdependensi yang dapat
dilihat : Klien dan keluarga mampu mengenali resiko bahaya yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
94
mungkin terjadi akibat kondisi kaki. Keluarga mampu menyebutkan
lingkungan yang aman untuk klien dan memberikan lingkungan yang aman
saat dirawat di rumah sakit. adanya kemampuan klien menggunakan kaki
kiri sebagai tumpuan meningkat, klien mampu menggunanakan pinggir
tempat tidur sebagai pengaman saat mulai berdiri, keluarga mampu
melakukan perawatan kalus dengan benar. Perilaku inefektif yang masih
ditemukan diantaranya penglihatan klien masih buram, ulkus pada area
kalus masih ada walupun dengan ukuran yang mengecil. Tindaklanjut dari
perilaku inefektif yang masih ditemukan adalah mengkonsulkan klien ke
dokter spesialis mata dan melakukan perawatan ulkus.
3.3.1.4. Ketidakefektifan
manajemen
kesehatan
diri
berhubungan
dengan
pengetahuan yang tidak adekwat
NANDA 2012, mengklasifikasikan diagnose ini pada domain promosi
kesehatan.
Ketidakefektifan
penatalaksanaan
program
terapeutik
didefinisikan sebagai pola pengaturan dan pengintegrasian ke dalam
kebiasaan terapeutik kehidupan sehari-hari untuk pengobatan penyakit dan
gejala yang ditimbulkan yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan
kesehatan spesifik. Batasan karakteristik pada diagnose keperawatan ini
diantaranya kegagalan menerapkan program pengobatan, kegagalan dalam
melakukan tindakan mengurangi resiko, mengungkapkan keinginan untuk
mengatasi penyakitnya dan mengungkapkan kesulitan dalam pengobatan.
Masalah keperawatan ini ditegakkan pada Ny. S, karena ditemukan
perilaku yang merupakan komplikasi dari DM pada semua mode fisiologis.
Perilaku ini disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan
yang
ditunjukan
dengan
tidak
melakukan
diit
dengan
benar,
mengkonsumsi OHO tanpa pengawasan dokter dan menghentikan
pengobatan insulin karena keterbatasan dana. Semua perilaku ini
bersumber kepada informasi yang kurang tentang penatalaksanaan DM
pada Ny. S maupun keluarga sebagai pendamping dalam pengobatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
95
Intervensi yang diberikan kepada Ny. S dan keluarga untuk meningkatkan
perilaku adaptif pada masalah keperawatan ini
diantaranya dengan
menggali sumber–sumber kekuatan yang dimiliki keluarga dan klien dalam
meningkatkan manajemen kesehatan diri, mengikutsertakan keluarga dan
pasien jika kondisi memungkinkan dalam program edukasi kelompok,
mendiskusikan dengan klien dan keluarga hal–hal yang berhubungan
dengan penatalaksanaan, pearawatan dan komplikasi yang akan ditimbul
pada pasien DM.
Hasil evaluasi yang didapatkan dari Ny. S dan keluarga pada masalah tidak
efektifnya manajemen diri pada hari ke 6 perawatan didapatkan secara
kognitif klien dapat menyebutkan batasan nilai gula darah normal,
perencanaan makan untuk dirinya (jumlah, jenis dan jadwal), komplikasi
yang sudah ada di dalam dirinya serta pencegahannya. Psikomotor yang
dapat yang dapat dinilai,keluarga mengikutiprogram edukasi kelompok,
aktif bertanya kepada narasumber, dan menginformasikan kembali kepada
klien edukasi yang telah didapat.
Edukasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan
seseorang dan diharapkan dapat merubah perilaku kearah yang lebih baik.
Perilaku yang didasarkan pengetahuan dapat dipertahankan lebih lama
dibandingkan dengan sebaliknya (Notoatmojo, 2007). Diabetes Self
Management Education (DSME) merupakan salah satu bentuk edukasi
yang berkelanjutan tidak hanya memberikan pengetahuan, namun juga
meningkatkan perubahan perilaku dan sikap yang benar terhadap
penatalksanaan DM. Model edukasi dengan DSME, menekankan kepada
peran aktif pada penyandang DM untuk menggali informasi dan berdiskusi
dengan sumber informasi, sangat berbeda dengan model edukasi searah,
imana narasumber hanya menekankan kepada memberikan informasi.
Setelah
mendapatkan
informasi
dengan
metode
ini,
diharapkan
penyandang DM dapat memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
96
meningkatkan
kesehatannya,
sesuai
dengan
sumber–sumber
yang
dimilikinya.
International Diabetes Federation (IDF, 2009 dan ADA, 2012
menekankan bahwa setiap individu dengan DM dimanapun dia tinggal
berhak mendapatkan pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan DM
secara berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek klinis, perilaku dan
psikososial. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan bahwa setiap
penyelenggara kesehatan tingkat propinsi harus menyediakan pelayanan
pendidikan kesehatan dan educator melibatkan multisiplin profesi (dokter,
perawat, ahli gizi, apoteker, maupun pandu diabetes). Rekomendasi untuk
negara, bahwa negara memberikan support baik dalam hal kebijakan
maupun pendanaan untuk penyelenggaraan DSME ini. (IDF, 2009; ADA
2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Gumbs, 2012 tentang hubungan DSME
dengan perilaku perawatan diri
kepada
wanita Afrika Amerika
mendapatkan 53.6% telah mengikuti program DSME dan terjadi perubahan
perilaku dalam pemeriksaan gula darah, kunjungan ke pelayanan kaki dan
menunjukan nilai HbA1C yang menurun.
Metode edukasi lain yang dapat meningkatkan efikasi diri dan perubahan
perilaku penyandang DM adalah dengan melibatkan sesame penyandang
DM. Penelitian dengan Randomized controlled trial oleh Ghorob et al
2011 di Sanfransisko terhadap 400 penyandang DM dari berbagai
pelayanan kesehatan dibagi 2 kelompok: 200 orang pada kelompok dengan
pembinaan oleh penyandang DM yang telah dilatih dan 200 orang dengan
edukasi seperti yang biasa dilakukan. Pada bulan ke 6 dilakukan evaluasi,
pada kelompok perlakuan didapatkan nilai HbA1C yang menurun. Hasil
sekunder lain yang didapatkan yaitu terjadi penurunan pada tekanan darah,
indek masa tubuh, LDL dan kolesterol. Pada perilaku di dapatkan
perubahan dalam aktifitas perawatan diri, kepatuhan pengobatan,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
97
penurunan depresi dan peningkatan kualitas hidup. Hal ini menunjukan
edukasi dengan melibatkan sesame penyandang DM dapat berpengaruh
positif terhadap efikasi diri penyandang DM.
Penerapan DSME ini sudah dilakukan di RSUP Fatmawati, dimana
kegiatan edukasi sesuai rekomendasi IDF dilakukan setiap hari Rabu
dengan melibatkan klien dan keluarga.
Evaluasi yang didapatkan pada klien adalah didapatkannya perilaku adaptif
yang ditunjukan dengan peningkatan pengetahuan klien dan keluarga
mengenai DM dan perawatannya, keikutsertaan keluarga dalam program
edukasi kelompok, keterlibatan klien dalam perawatan dirinya : menyuntik
insulin sendiri, memilih makanan yang sesuai diit dan melakukan latihan
peregangan serta senam kaki di tempat tidur.
3.3.2. Mode Konsep diri
3.3.2.1. Kesiapan meningkatnya koping individu
Diagnosa ini merupakan kelompok diagnose sejahtera merupakan suatu
keputusan klinik tentang keadaan individu dalam transisi dari tingkat
sejahtera ketingkat sejahtera yang lebih tinggi atau dikenal dengan wellness
diagnoses. Pada diagnose sejahtera ini, etiologi tidak diperlukan.
Meningkatnya kesiapan koping individu didefinisikan sebagai upaya
kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan yang memadai untuk
kesejahteraan dan dapat ditingkatkan (NANDA, 2012; Wilkinson & Ahern,
2012). Batasan karakteristik pada diagnose ini diantaranya mengetahui
kekuatan dan kelemahan dirinya, menganggap stressor sebagai sesuatu
yang dapat diatasi,dan menggunakan sumber – sumber spiritual. Batasan
karakteristik ini diantaranya.
Intervensi yang dapat ditegakkan pada masalah koping ini meliputi
peningkatan system koping dan peningkatan system pendukung. Aktivitas
yang diberikan meliputi : menggali koping yang telah dimiliki oleh klien,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
98
menggali kemampuan klien dalam pemecahan masalah, mendiskusikan
sumber keluatan yang dimiliki klien, mendiskusikan penggunaan koping
dan kekuatan yang ada dalam diri Ny. S untuk meningkatkan koping.
Selain itu meningkatkan support system yaitu dengan melibatkan keluarga
(suami dan anak) untuk mendukung dan menguatkan koping yang dimiliki
klien.
Hasil evaluasi yang didapatkan pada hari ke 6 untuk masalah kesiapan
peningkatan koping individu didapatkan perilaku yang adaptif yaitu, klien
mengungkapkan bahwa kondisinya saat ini merupakan dampak
dari
ketidakpatuhan klien dalam penatalaksanaan DM, klien mengungkapkan
keinginannya menjalani sisa kehidupannya dengan badan yang sehat, dan
klien selalu aktif terlibat dalam perawatan dirinya : menentukan makanan
yang akan dimakan, mengambil keputusan terhadap alternative pengobatan
yang ditawarkan oleh dokter maupun perawat.
3.3.2.2. Kesiapan meningkatnya religiositas/Spiritual
Diagnosa ini didefinisikan oleh NANDA, 2012 sebagai kemampuan untuk
meningkatkan
berpartisipasi
karakteristik
ketergantungan
dalam
dari
ritual
diagnose
pada
tradisi
ini
keyakinan
agama
kepercayaan
dan
tertentu.
mengungkapkan
keinginan
atau
Batasan
untuk
memperkuat pola keyakinan agama yang sebelumnya biasa dilakukan,
memberikan ketenangan dan kenyamanan.
Intervensi keperawatan yang dapat ditegakkan untuk meningkatkan koping
individu dan untuk meningkatkan kesejahteraan konsep diri klien dalam
hal spiritual, meliputi : peningkatan aktifitas ibadah, dukungan spiritual,
dimana aktifitasnya meliputi diskusikan kebutuhan spiritual, sediakan
media untuk menjalankan kegiatan spiritual, berikan privasi selama klien
menjalankan
ibadah,
consultasikan
dengan
pembimbing
rohani
(Dochterman & Bulechek, 2008).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
99
Pada Ny. S ditegakkan diagnosa meningkatnya kesiapan religi/spiritual
dengan didukung oleh perilaku klien yang mengatakan selalu menjalankan
ibadah sebelum sakit. Saat ini ingin menjalankan ibadah (sholat), namun
merasa jika tubuhnya kotor oleh cairan luka. Ungakapan lain yang
menunjukan perilaku spiritual yang adaptif diantaranya klien menyatakan
berserah diri kepada Tuhan atas sakit yang dideritanya, karena ia yakin
pengobatan merupakan usaha dari manusia dan semuanya akan ditentukan
olehNya.
Intervensi yang lakukan kepada Ny. S diantaranya mendiskusikan tata cara
bersuci dan shalat saat sakit, mengajarkan cara tayamum dan sholat dengan
duduk,melibatkan keluarga dalam menyediakan perlengkapan sholat dan
tashbih,
memotivasi
untuk
melakukan
sholat
dan
berdo’a
dan
mempertahankan privacy saat sholat/berdo’a. Pada hari kedua dilakukan
asuhan keperawatan, keluarga klien membawakan peralatan sholat, klien
sudah menjalankan ibadah sholat dengan duduk dan terlihat berdzikir saat
tidak ada tindakan keperawatan.
Spiritual merupakan salah satu kebutuhan manusia, kebutuhan ini
didasarkan pada hubungan antara manusia dengan TuhanNya. Pada orang
yang dirawat dirumah sakit, pemenuhan kebutuhan spiritual menjadi
bagian sama dengan kebutuhan fisik maupun psikis pasien. Pemenuhan
kebutuhan spiritual ini menjadi tanggung jawab parawat. Pengamatan
praktikan di tempat menjalankan praktek residensi, belum ada dokumentasi
keperawatan yang mengangkat masalah spiritual dan pengamatan praktikan
terhadap pemenuhan kebutuhan ini jarang dilakukan oleh perawat.
Penelitian di US menunjukan bahwa 94 % dari pasien yang berkunjung ke
pelayanan kesehatan meyakini bahwa kesehatan spiritual sama pentingnya
dengan kesehatan fisik, 77 % meyakini bahwa kesehatan spiritual harus
menjadi bagian dari pelayanan kesehatan dan 80 % melaporkan petugas
kesehatan tidak menyentuh aspek spiritual dalam melakukan pelayanan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012
100
kesehatannya (Anadar
Download