UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH : PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI KARYA ILMIAH AKHIR FITRIAN RAYASARI NIM 0906504764 PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012 Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH : PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh Gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah FITRIAN RAYASARI NIM 0906504764 PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012 Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 PERNYATAAN KEASLIAN Tulisan yang terdapat dalam Karya Ilmiah Akhir ini belum pernah disampaikan atau diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah di institusi pendidikan manapun. Berdasarkan pengetahuan dan keyakinan penulis, Karya Ilmiah Akhir ini tidak memuat tulisantulisan yang pernah dipublikasikan orang lain secara keseluruhan kecuali tulisan tersebut digunakan sebagai bahan rujukan. Nama : FITRIAN RAYASARI NPM : 0906504764 Tanda Tangan : Tanggal : Juli 2012 iii Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 LEMBAR PENYATAAN PLAGIARISME Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama: Fitrian Rayasari NPM : 0906504764 Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Ilmiah Akhir ini saya buat tanpa adanya tindakan plagiarisme sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika dikemudian hari ternyata saya terbukti melakukan tindakan tersebut, maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan siap menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia. Yang Menyatakan Fitrian Rayasari Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Fitrian Rayasari NPM : 0906504764 Program Studi : Magister dan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas : Ilmu Keperawatan Jenis karya : Karya Ilmiah Akhir Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujuai untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclisive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah: Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Endokrin di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Beserta perangkat yang ada ( jika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan,mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Pada Tanggal : Depok : Juli 2010 Yang Menyatakan Fitrian Rayasari Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING Karya Ilmiah Akhir ini telah diperiksa, dipertahankan dan disetujuai di hadapan Tim Penguji Program Spesialis Keperawatan Kekhusussan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Depok, Juli 2012 Pembimbing I DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc Pembimbing II Lestari Sukmarini, SKp., MN Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 HALAMAN PENGESAHAN Karya ilmiah ini diajukan oleh : Nama : Fitrian Rayasari NPM : 0906504674 Program Studi : Magister dan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Judul Karya Ilmiah : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah: Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Endokrin di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah pada Program Studi Magister dan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI Pembimbing 1 : DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc. Pembimbing 2 : Lestari Sukmarini, SKp., MN Penguji 1 : dr. Suharko Soebardi, Sp.PD., KEMD Penguji 2 : Ernawati, SKp.,MKep.,Sp.KMB Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 10 Juli 2012 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur praktikan panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya akhirnya praktikan dapat menyelesaikan penyusunan laporan analisis praktek residensi spesialis keperawatan medikal bedah di RSUP Fatmawati Jakarta. Selanjutnya dalam penysunan Karya Ilmiah Akhir ini, praktikan banyak mendapat bimbingan dan dukungan serta arahan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini ingin menyampaikan rasa terima dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc, selaku Supervisor Utama dengan sabar dan penuh perhatian memberikan bimbingan pada praktikan dalam penyusunan laporan ini. 2. Lestari Sukmarini, S.Kp., M.N., selaku Supervisor yang telah banyak membimbing dan mengarahkan praktikan dalam penyusunan laporan ini. 3. Rita Herawati, S.Kp.,M.Kep,.selaku Supervisor klinik yang telah membimbing dengan praktikan selama menjalani praktik residensi di RSUP. Fatmawati 4. Dewi Irawati, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 5. Direktur RSUP Fatmawati Jakarta beserta staf struktural maupun fungsional yang telah memberikan ijin dan kesempatan pada praktikan untuk melakukan kegiatan residensi. 6. Penanggung jawab, Kepala ruangan dan perawat ruangan lantai 5 selatan, Poliklinik dan IGD RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada praktikan selama melakukan kegiatan residensi. 7. Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 8. Miciko Umeda, SKp., M. Biomed., selaku Ketua Program Studi D III Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah v Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 9. Suami dan anakku serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dengan penuh cinta, kasih sayang, kesabaran, perhatian dan senantiasa mendo’akan selama penulis menjalani pendidikan. 10. Rekan-rekan dosen Program studi D III Keperawatan FKK UMJ, teman-teman seangkatan pada peminatan endokrin dan pihak lain yang telah membantu penyusunan karya tulis ilmiah ini. 11. Semua pihak yang ikut membantu, sehingga kegiatan residensi dan laporan ini dapat diselesaikan. Praktikan sangat menyadari bahwa laporan ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan, sehingga praktikan berharap saran dan masukkan yang membangun demi kesempurnaan laporan ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan ilmu dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba yang selalu berbagi ilmu bermanfaat pada sesama, Amien. Depok, Juli 2012 Praktikan vi Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 ABSTRAK Nama Program Studi : Fitrian Rayasari : Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Judul : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah penerapan Teori Adaptasi Roy pada Asuhan Keperawatan Kasus Gangguan Sistem Endokrin di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Gangguan sistem endokrin yang terbanyak dipelayanan kesehatan adalah pada kasus Diabetes Mellitus (DM) dan DM tipe 2 presentasenya mencapai 95%. Pada perkembangnnya gula darah yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik pada mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Pencegahan dan penanganan komplikasi DM, dilakukan oleh multidisiplin keilmuan yang dilakukan secara terpadu. Peran perawat spesialis medikal bedah pada kekhususan endokrin diharapkan mampu melakukan asuhan keperawatan secara holistik hingga pasien DM mampu beradaptasi dengan penyakitnya dan mampu mengontrol gula darahnya. Model Adaptasi Roy,dapat digunakan sebagai landasan perawat melakukan asuhan yang komprehensif dengan mengurangi stimulus yang ada dan meningkatkan koping individu sehingga tercapai perilaku yang adaptif. Melalui penerapan praktek keperawatan berbasis pembuktian (evidence based practice), pengkajian kaki diabetik dilakukan untuk pencegahan terjadinya komplikasi ulkus kaki diabetik. Pada peran perawat sebagai innovator pengkajian kaki dapat digunakan sebagai salah satu standar pengkajian keperawatan pada pasien DM, sehingga tercapai peningkatan asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan DM. Kata kunci: Perawat spesialis, Gangguan sistem endokrin, Teori Adaptasi Roy, Pengkajian kaki diabetik. vii Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 ABSTRACT Name Study Program : Fitrian Rayasari : Medical Surgical Nursing, Faculty of Nursing Science, Universitas Thesis Title : Practice Analysis on Residency Medical Surgery Nursing by Applying Roy Indonesia Adaptation Theory to Endocrine System Disorder Nursing in Fatmawati Central Public Hospital, Jakarta. Endocrine System Disorder mostly occurs in health service on Diabetes Mellitus, especially the DM Type-2, in which the percentage reach 95%. Furthermore, uncontrolled blood sugar causes several micro vascular or macro vascular complications. The DM prevention and treatment should be done by means of integrated multi-discipline efforts. It is expected that medical surgical nurses who are majoring in endocrine will be able to conduct a holistic nursing so that the DM patients are able to adapt to his illness and control his blood sugar. Roy Adaptation Model is applied as the basis for the nurses to conduct comprehensive care by reducing existing stimulus and increasing individual coping in order to generate adaptive behaviors. Through the application of evidence-based practice, diabetic foot research is conducted to prevent diabetic foot ulcers complication. In the nurse's role as an innovator, foot assessment can be utilized as a standard for nursing assessment on DM patient and, therefore, increasing nursing treatment for them. Keywords: specialized nurse, endocrine system disorder, Roy Adaptation Theory, diabetic foot assessment. viii Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v ABSTRAK ............................................................................................................. vii ABSTRACT ............................................................................................................. viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii DAFTAR BAGAN ................................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xiv BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................... 1.3 Manfaat Penulisan ............................................................................. 1 1 4 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. ......................................................................... 6 2.1 Konsep Penyakit Diabetes Mellitus .................................................. 6 2.1.1 Pengertian .......................................................................... 6 2.1.2 Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi .............................. 6 2.1.3 Tanda dan Gejala................................................................ 11 2.1.4 Diagnosis ............................................................................ 12 2.1.5 Penatalaksanaan ................................................................. 14 2.1.6 Komplikasi ......................................................................... 21 2.2 Asuhan Keperawatan Menggunakan Model Adaptasi Roy .............. 31 2.2.1 Dasar Teori Adaptasi Roy .................................................. 31 2.2.2 Asumsi-Asumsi Utama ...................................................... 32 2.2.3 Asuhan Keperawatan ......................................................... 38 2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Diabetes Melitus ................................................................. 42 2.3.1 Pengkajian ......................................................................... 42 2.3.2 Diagnosa Keperawatan....................................................... 49 2.3.3 Intervensi Keperawatan ...................................................... 51 BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DISBETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG DAN SELULITIS ............................................................................................. 55 3.1 Deskripsi Kasus Kelolaan Utama ..................................................... 55 3.2 Penerapan Model Adaptasi Roy Pada Kasus Kelolaan Utama ......... 56 3.3 Pembahasan ....................................................................................... 77 3.4 Analisis penerapan Teori Adaptasi Roy pada 32 (tiga puluh dua) kasus kelolaan .................................................................................. 101 ix Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 BAB 4. PRAKTEK BERDASARKAN PEMBUKTIAN PENGKAJIAN KAKI SEBAGAI DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI PADA PASIEN DM TIPE II ............................................................................................ 113 4.1 Critical Review................................................................................. 115 4.2 Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian ................ 119 4.3 Pembahasan ...................................................................................... 126 BAB 5. KEGIATAN INOVASI PENINGKATAN KEMAMPUAN PERAWAT DALAM PENGKAJIAN KAKI DIABETIK SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI DIABETIK … 132 5.1 Analisa Situasi.................................................................................. 132 5.2 Kegiatan Inovasi............................................................................... 137 5.3 Pembahasan ...................................................................................... 141 BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN...................................................................145 6.1 Simpulan .......................................................................................... 145 6.2 Saran ................................................................................................. 146 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP x Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Tipe insulin dan cara kerja 20 Tabel 3.1 Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI). 57 Tabel 3.2 Pengkajian Kaki 62 Tabel 3.3 Rencana Asuhan Keperawatan 68 Tabel 4.1 Klasifikasi Resiko Ulkus Diabetik International Group on the Diabetik Foot Menurut 123 Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan usia di ruang lantai 5 Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N=20 123 Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lama menderita DM dan Kadar HBA1C, di ruang lantai 5 Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N=20 124 Tabel 4.4 Distribusi resiko ulkus kaki diabetic berdasarkan lama menderita DM dan kadar HBA1C, di ruang lantai 5 Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N=20 125 Tabel 4.5 Distribusi resiko ulkus kaki diabetic berdasarkan lama di ruang lantai 5 Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N=20 125 xi Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1 Photografi kaki Ny. S 61 Gambar 3.2 Photografi Abses punggung Ny. S 61 Gambar 3.3 Photografi Pengkajian kaki Ny. S 62 Gambar 4.1 Area melakukan uji monosilament 122 xii Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 DAFTAR BAGAN Halaman Bagan 2.1 Model Adaptasi Roy 35 xiii Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Gambaran 32 kasus kelolaan lainnya dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy Lampiran 2 Format pengkajian kaki Lampiran 3 Kuesioner kegiatan inovasi Lampiran 4 Rencana kegiatan inovasi Lampiran 5 Soal pre dan postest pelaksanaan pelatihan pengkajian kaki Lampiran 6 Pedoman Pengkajian Kaki Diabetik Lampiran 7 Leafleat Edukasi Perawatan Kaki Diabetik xiv Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan Data yang didapatkan dari International Diabetes Federation, 2011 menyatakan jumlah penderita diabetes diseluruh dunia hingga tahu 2011 mencapai 366 juta orang dan diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2030 diperkirakan jumlahnya mencapai 552 juta orang. Penyandang diabetes yang ada di dunia 80 % tinggal di negara dengan pendapatan rendah hingga menengah atau negara berkembang termasuk Indonesia. Dari sepuluh negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak pada usia 20 – 79 tahun , Indonesia menempati urutan ke 10 ,dengan jumlah penderita mencapai 7,3 juta orang. Jumlah ini akan meningkat hingga 11,8 juta orang pada tahun 2030 dan diprediksi Indonesia menempati urutan ke 9 dari 10 negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak. Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi diabetes mellitus sebesar 1,5 - 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di daerah urban prevalensi Diabetes mellitus sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju, sehingga diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 2 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003 diperkirakan terdapat penderita diabetes di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di daerah rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita diabetes mellitus sejumlah 12 juta di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2011). Diabetes mellitus merupakan penyakit yang akan terus ada di dalam tubuh seseorang, namun dapat dikontrol dengan melakukan pengelolaan yang benar. Jika tidak dilakukan dengan pengelolaan yang benar, penyakit diabetes ini akan menimbulkan berbagai komplikasi. Dampak dari komplikasi ini tidak hanya masalah fisik saja yang dirasakan oleh pasien, juga masalah psikis, dan social. Asuhan keperawatan yang diberikan hendaknya membuat penyandang diabetes dapat beradaptasi dengan kondisi yang dialami. Adaptasi yang terjadi pada penyandang diabetes diharapkan akan mampu merubah perilaku untuk meningkatkan pencegahan dan pengelolaan. Seorang pakar keperawatan yaitu Callista Roy, telah mengembangkan teori keperawatan yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Roy melihat bahwa manusia merupakan sistem terbuka yang akan mendapatkan stimulus dari luar tubuhnya dan masusia akan berespon dengan beradaptasi. Perawat mempunyai peranan penting dalam membantu individu yang sakit maupun yang sehat dalam berespon terhadap stressor, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas hidupnya melalui suatu proses adaptasi. Penyandang diabetes yang dirawat di rumah sakit mendapatkan berbagai stimulus dari dalam dirinya maupun dari lingkungan. Perawat merupakan salah satu profesi dibidang kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara holistik. Dalam melakukan asuhan keperawatan pada penyandang diabetes untuk membantu berespon secara adaptif, perawat spesialis dapat berperan sebagai pemberi asuhan (practitioner/care provider), pendidik (educator), konselor (counselor), agen perubahan atau agen inovasi (change egent/innovator), penasihat klien (client Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 3 advocate), manajer (manager), dan peneliti (researcher), dan pelindung (protector) (NACNS, 2008 dalam Perry & Potter, 2009) Dalam laporan ini praktikan menguraikan peran perawat dalam membantu penyandang diabetes dan keluarganya untuk berespon terhadap stimulus yang didapatkan secara adaptif. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan (practitioner/care provider) dengan menerapkan Model Adaptasi Roy. Penyandang diabetes masuk ke rumah sakit dengan berbagai komplikasi terjadi karena ketidaktahuan dan ketidakpatuhan dalam pengelolaan diabetes di rumah. Memberikan edukasi dan meningkatkan motivasi serta keyakinan diri dalam merawat dirinya sendiri merupakan upaya perawat untuk membuat penyandang diabetes ini beradaptasi. Peran yang dilakukan praktikan merupakan peran sebagai pendidik (educator), konselor (counselor), dan penasihat klien (client advocate). Peran perawat spesialis yang lain yang praktikan lakukan adalah peran sebagai peneliti (researcher) Pada peran ini, praktikan mengaplikasikan Evidence Base Nursing (EBN) sebagai upaya meningkatkan kualitas intervensi keperawatan. EBN yang praktikan aplikasikan adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya deteksi dini ulkus diabetik, merupakan hasil critical reviw yang dilakukan oleh Taylor M.C, pada tahun 2008 dengan judul Foot Assessment in type 2 Diabetes : an evidencebased practice approce. Penerapan EBN ini didasarkan pada tingginya angka kejadian ulkus diabetes di tempat praktikan melakukan praktek yaitu 29,1 %, dari seluruh pasien diabetes yang dirawat. Tidak menutup kemungkinan, penyandang diabetes tanpa ulkus pada akhirnya akan mengalami ulkus jika tidak diketahui faktor resikonya dan ditindak lanjuti dengan edukasi, maupun perawatan kaki. Peran sebagai agen inovasi (change egent/innovator) dilakukan praktikan bersama tim dengan mengembangkan metode pencegahan ulkus kaki melalui pengkajian faktor resiko dan edukasi Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan analisis kegiatan praktek residen ini praktikan akan memaparkan analisis kegiatan praktek residensi dalam menjalankan berbagai peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan menggunakan pendekatan model adaptasi Roy Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 4 1.2. Tujuan Penulisan 1.2.1. Tujuan Umum Melakukan analisis terhadap kegiatan praktek resiidensi medikal bedah pada peminatan keperawatan keperawatan endokrin dengan mengaplikasikan teori model adaptasi Roy di RSUP Fatmawati 1.2.2. Tujuan Khusus Melakukan analisis beberapa peran yang dijalani praktikan dalam praktek residensi yang meliputi : a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi Roy. b. Peran perawat sebagai peneliti melalui penerapan evidence based practice khususnya pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya deteksi dini ulkus diabetik. c. peran sebagai innovator, fasilitator, narasumber (resources), koordinator dan role model melalui proyek inovasi yang dilakukan di ruang penyakit dalam. 1.3. Manfaat 1.3.1. Bagi pelayanan keperawatan a. Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pelayanan keperawatan sebagai acuan dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem endokrin khususnya diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi Roy b. Meningkatkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan penelitian sebagai dasar pengambilan keputusan klinik berdasarkan evidence based nursing practice pada kasus gangguan sistem endokrin khususnya diabetes melitus 1.3.2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan Melalui hasil analisis ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan medikal bedah tentang aktualisasi peran perawat baik sebagai pemberi layanan, pendidik, konselor, agen perubahan atau agen inovasi, penasihat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 5 klien, peneliti, pelindung, dan manajer kasus khususnya dalam bidang keperawatan endokrin 1.3.3. Bagi pendidikan keperawatan Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan kurikulum pembelajaran khususnya dalam mengembangkan intervensi – intervensi keperawatan mandiri untuk meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin berdasarkan evidence based practice Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan Data yang didapatkan dari International Diabetes Federation, 2011 menyatakan jumlah penderita diabetes diseluruh dunia hingga tahu 2011 mencapai 366 juta orang dan diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2030 diperkirakan jumlahnya mencapai 552 juta orang. Penyandang diabetes yang ada di dunia 80 % tinggal di negara dengan pendapatan rendah hingga menengah atau negara berkembang termasuk Indonesia. Dari sepuluh negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak pada usia 20 – 79 tahun , Indonesia menempati urutan ke 10 ,dengan jumlah penderita mencapai 7,3 juta orang. Jumlah ini akan meningkat hingga 11,8 juta orang pada tahun 2030 dan diprediksi Indonesia menempati urutan ke 9 dari 10 negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak. Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi diabetes mellitus sebesar 1,5 - 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di daerah urban prevalensi Diabetes mellitus sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju, sehingga diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 2 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003 diperkirakan terdapat penderita diabetes di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di daerah rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita diabetes mellitus sejumlah 12 juta di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2011). Diabetes mellitus merupakan penyakit yang akan terus ada di dalam tubuh seseorang, namun dapat dikontrol dengan melakukan pengelolaan yang benar. Jika tidak dilakukan dengan pengelolaan yang benar, penyakit diabetes ini akan menimbulkan berbagai komplikasi. Dampak dari komplikasi ini tidak hanya masalah fisik saja yang dirasakan oleh pasien, juga masalah psikis, dan social. Asuhan keperawatan yang diberikan hendaknya membuat penyandang diabetes dapat beradaptasi dengan kondisi yang dialami. Adaptasi yang terjadi pada penyandang diabetes diharapkan akan mampu merubah perilaku untuk meningkatkan pencegahan dan pengelolaan. Seorang pakar keperawatan yaitu Callista Roy, telah mengembangkan teori keperawatan yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Roy melihat bahwa manusia merupakan sistem terbuka yang akan mendapatkan stimulus dari luar tubuhnya dan masusia akan berespon dengan beradaptasi. Perawat mempunyai peranan penting dalam membantu individu yang sakit maupun yang sehat dalam berespon terhadap stressor, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas hidupnya melalui suatu proses adaptasi. Penyandang diabetes yang dirawat di rumah sakit mendapatkan berbagai stimulus dari dalam dirinya maupun dari lingkungan. Perawat merupakan salah satu profesi dibidang kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara holistik. Dalam melakukan asuhan keperawatan pada penyandang diabetes untuk membantu berespon secara adaptif, perawat spesialis dapat berperan sebagai pemberi asuhan (practitioner/care provider), pendidik (educator), konselor (counselor), agen perubahan atau agen inovasi (change egent/innovator), penasihat klien (client Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 3 advocate), manajer (manager), dan peneliti (researcher), dan pelindung (protector) (NACNS, 2008 dalam Perry & Potter, 2009) Dalam laporan ini praktikan menguraikan peran perawat dalam membantu penyandang diabetes dan keluarganya untuk berespon terhadap stimulus yang didapatkan secara adaptif. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan (practitioner/care provider) dengan menerapkan Model Adaptasi Roy. Penyandang diabetes masuk ke rumah sakit dengan berbagai komplikasi terjadi karena ketidaktahuan dan ketidakpatuhan dalam pengelolaan diabetes di rumah. Memberikan edukasi dan meningkatkan motivasi serta keyakinan diri dalam merawat dirinya sendiri merupakan upaya perawat untuk membuat penyandang diabetes ini beradaptasi. Peran yang dilakukan praktikan merupakan peran sebagai pendidik (educator), konselor (counselor), dan penasihat klien (client advocate). Peran perawat spesialis yang lain yang praktikan lakukan adalah peran sebagai peneliti (researcher) Pada peran ini, praktikan mengaplikasikan Evidence Base Nursing (EBN) sebagai upaya meningkatkan kualitas intervensi keperawatan. EBN yang praktikan aplikasikan adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya deteksi dini ulkus diabetik, merupakan hasil critical reviw yang dilakukan oleh Taylor M.C, pada tahun 2008 dengan judul Foot Assessment in type 2 Diabetes : an evidencebased practice approce. Penerapan EBN ini didasarkan pada tingginya angka kejadian ulkus diabetes di tempat praktikan melakukan praktek yaitu 29,1 %, dari seluruh pasien diabetes yang dirawat. Tidak menutup kemungkinan, penyandang diabetes tanpa ulkus pada akhirnya akan mengalami ulkus jika tidak diketahui faktor resikonya dan ditindak lanjuti dengan edukasi, maupun perawatan kaki. Peran sebagai agen inovasi (change egent/innovator) dilakukan praktikan bersama tim dengan mengembangkan metode pencegahan ulkus kaki melalui pengkajian faktor resiko dan edukasi Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan analisis kegiatan praktek residen ini praktikan akan memaparkan analisis kegiatan praktek residensi dalam menjalankan berbagai peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan menggunakan pendekatan model adaptasi Roy Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 4 1.2. Tujuan Penulisan 1.2.1. Tujuan Umum Melakukan analisis terhadap kegiatan praktek resiidensi medikal bedah pada peminatan keperawatan keperawatan endokrin dengan mengaplikasikan teori model adaptasi Roy di RSUP Fatmawati 1.2.2. Tujuan Khusus Melakukan analisis beberapa peran yang dijalani praktikan dalam praktek residensi yang meliputi : a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi Roy. b. Peran perawat sebagai peneliti melalui penerapan evidence based practice khususnya pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya deteksi dini ulkus diabetik. c. peran sebagai innovator, fasilitator, narasumber (resources), koordinator dan role model melalui proyek inovasi yang dilakukan di ruang penyakit dalam. 1.3. Manfaat 1.3.1. Bagi pelayanan keperawatan a. Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pelayanan keperawatan sebagai acuan dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem endokrin khususnya diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi Roy b. Meningkatkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan penelitian sebagai dasar pengambilan keputusan klinik berdasarkan evidence based nursing practice pada kasus gangguan sistem endokrin khususnya diabetes melitus 1.3.2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan Melalui hasil analisis ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan medikal bedah tentang aktualisasi peran perawat baik sebagai pemberi layanan, pendidik, konselor, agen perubahan atau agen inovasi, penasihat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 5 klien, peneliti, pelindung, dan manajer kasus khususnya dalam bidang keperawatan endokrin 1.3.3. Bagi pendidikan keperawatan Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan kurikulum pembelajaran khususnya dalam mengembangkan intervensi – intervensi keperawatan mandiri untuk meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin berdasarkan evidence based practice Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Konsep Penyakit Diabetes Mellitus 2.1.1. Pengertian Diabetes sering disingkat dengan DM merupakan kelompok penyakit metabolik yang yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah sebagai akibat dari penurunan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau keduanya (ADA, 2012). Glukosa yang berasal dari makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan akan bersirkulasi di dalam darah dalam jumlah tertentu. Selanjutnya proses regulasi atau metabolisme glukosa di sel otot, lemak dan hepar akan diperankan oleh hormone insulin. Hormon insulin ini merupakan rangkaian asam amino yang diproduksi oleh sel beta kelenjar pancreas. Pada keadaan terentu dapat terjadi penurunan produksi insulin oleh sel beta pancreas atau insulin yang ada tidak sensitive terhadap kadar glukosa dalam darah. Kondisi ini akan meningkatkan glukosa dalam sirkulasi darah atau disebut hyperglikemia. Hyperglikemia yang terus terjadi dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan berbagai gangguan baik pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler), pembuluh darah besar (makrovaskuler), maupun gangguan pada saraf (neuropathy) (Smeltzer & Bare, 2008; Manaf, 2009; Lewis et al, 2011; LeMone, 2011). 2.1.2. Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Hasil penelitian baik klinis maupun laboratories menunjukan bahwa diabetes merupakan suatu keadaan yang heterogen baik etiologi maupun macamnya dan pada akhirnya kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya, sehingga PERKENI, 2011; ADA, 2012 mengklasifikasikan diabetes menjadi : 2.1.2.1. Diabetes Tipe I Diabetes tipe 1 ini umumnya terjadi karena kerusakan sel beta pancreas sehingga produksi insulin mengalami kegagalan dan mengakibatkan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 7 defisiensi insulin absolute. Jumlah penyandang DM tipe 1 ini hanya 5 - 10 % dari jumlah seluruh penyandang DM. Pada klasifikasi awal DM tipe 1 ini disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Ini dikarenakan pada penyandang DM tipe 1 mutlak membutuhkan insulin dari luar tubuhnya. Kerusakan sel beta pancreas terjadi karena reaksi autoimun sebagai dampak dari berbagai pencetus salah satunya adalah proses infeksi.virus seperti virus Cocksakie, Rubella, CMV, Herpes, dan lain sebagainya hingga timbul peradangan sel–sel beta (insulitis). Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). Defisiensi insulin absolut terjadi jika kerusakan sel beta pancreas mencapai 80 - 90% yang akan menyebabkan gangguan metabolisme ( Lewis et al, 2011). Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel alpha kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel alpha ï€ kelenjar pankreas. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin (Depkes, 2005; Smeltzer & Bare, 2008; Lewis, 2011). Faktor resiko pada DM tipe 1 diantaranya adalah genetic. Ditemukan pada1 dalam 400 hingga 1 dalam 1000 untuk semua populasi, Resiko berkembang menjadi DM tipe 1 pada anak dengan orang tua yang menyandang DM 1 dalam 50 resiko,Maftin, 2009 (dalam LeMone, 2011). Faktor resiko lain adalah lingkungan. Infeksi virus, zat kimia dan asap rokok dapat menjadi factor pemicu terjadinya insulitis dari reaksi autoimun. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 8 2.1.2.2. DM Tipe II Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes, 2005). Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama dimana 85 % penyandang DM tipe 2 mengalami obesitas sebelumnya (Black & Hawks, 2009) Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 9 Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Namun pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Depkes, 2005; Suyono dalam Sugondo dkk, 2011; LeMone, 2011). Faktor resiko dari DM tipe 2 menurut Port & Matfin, 2009 dalam (LeMone, 2011) diantaranya adalah : a. Riwayat DM pada orang tua atau saudara kandung. Meskipun tidak teridentifikasi adanya HLA, seorang anak dari penyandang DM tipe 2 beresiko 2 hingga 4 kali lipat dan 35 % mempunyai resiko berkembang menjadi intoleransi glukosa. b. Obesitas, dimana berat badan lebih dari 20% BB ideal atau BMI lebih dari 27 kg/m2. Obesitas khususnya obesitas visceral berhubungan dengan resistensi insulin c. Pada wanita dengan riwayat DM gestational, atau melahirkan lebih dari 4 kg d. Hypertensi , peningkatan lipid profile : kolesterol, HDL & trigliserida e. Metabolik sindrom dengan manifestasi yang berhubungan dengan DM tipe 2 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 10 2.1.2.3. DM Tipe Gestasional ADA, 2012 mendefinisikan DM gestational adalah intoleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali diketahui saat proses kehamilan. Kondisi ini bisa berlanjut hingga setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami DM sejak sebelum kehamilannya tidak termasuk kelompok ini. Di Amerika DM tipe ini terjadi pada 7 % dari seluruh kasus kehamilan. Timbulnya intoleransi glukosa biasanya terjadi pada kehamilan trimester dua atau tiga akibat dari sekresi hormone plasenta yang berdampak menghambat kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2008). Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan DM tipe ini akan beresiko mempunyai berat badan yang besar (makrosomia). Faktor resiko pada DM gestational ini berdasarkan adanya riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat keluarga dengan DM tipe 2, adanya glikosuria dan riwayat polycystic ovary symdrom 2.1.2.4. DM Tipe lain Klasifikasi DM yang terakhir ,dimana DM ini tidak termasuk DM tipe 1,tipe 2 maupun tipe gestational. DM ini dikenal dengan DM tipe lain. Pada DM ini, penyebabnya adalah (ADA, 2012) : a. Kerusakan genetic pada fungsi sel beta b. Kerusakan genetic pada aksi insulin c. Penyakit eksokrin pancreas : Pancreatitis, trauma/pancreotomy, neoplasia, Cystic fibrosis, hemocromatosis, dan lainnya d. Endokrinopathy: acromegaly, cushing’s syndrome,glukagonoma, aldosteronoma, hypertiroidism, somatostatinoma e. Obat-obatan atau zat kimia : vacor, pentamidine, asam nicotinic, glukokortikaoid, diazoxide, thiazide, dilantin dan yang lainnya f. Infeksi : Rubella, CMV, dan yang lainnya g. Sindrom genetic lain yang berhubungan dengan diabetes : Down sindrom, turner sindrom, myothonic dystrophy, wolfram sindrom dan yang lainnya. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 11 2.1.3. Tanda dan Gejala Gejala klinis klasik pada semua tipe DM dikenal dengan trias poly. yaitu polydhipsi, polypaghia dan polyuria. Gejala trias poly ini seringkali tidak pada awalnya dirasakan oleh penyandang DM tipe 2, sehingga pada penyandang DM tipe 2 datang kepelayanan kesehatan dengan gejala komplikasi yang ditimbulkan (Lewis, et al 2011; LeMone, 2011). Berikut ini diuraikan tanda dan gejala yang ditimbulkan dari peningkatan gula darah pada penyandang DM menurut LeMone et al, 2011 2.1.3.1. Polyuria Polyuria atau sering disebut sering buang air kecil, terjadi karena adanya akumulasi glukosa di dalam sirkulasi darah menyebabkan hyperosmolaritas pada serum. Selanjutnya terjadi perpindahan cairan dari intra seluler ke dalam system sirkulasi. Peningkatan volume dalam pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke ginjal dan hyperglikemia menyebabkan dieresis osmotic yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran urine. Ambang batas ginjal terhadap kadar glukosa darah adalah 180 mg/dL. Ketika kadar gula darah lebih dari nilai tersebut, maka glukosa akan dikeluarkan bersama urine. Kondisi ini disebut dengan glukosuria. 2.1.3.2. Polydipsia Penurunan volume cairan di intraseluler dan peningkatan pengeluaran urine akan menyebabkan dehidrasi tingkat sel. Mukosa mulut menjadi kering dan sensasi haus dirasakan, maka akan menyebabkan peningkatan asupan cairan. 2.1.3.3. Polyphagia Penurunan jumlah atau sensitifitas insulin untuk membantu memasukan glukosa ke dalam sel, menyebabkan terjadinya penurunan metabolism dan pembentukan energy. Penurunan energi ini akan menstimulasi pusat lapar dan penyandang DM menjadi banyak makan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 12 2.1.3.4. Penurunan berat badan Pemenuhan kebutuhan energy akibat kegagalan penggunaan glukosa sebagai sumber energy didapatkan dari sumber energy lain yaitu protein dan lemak. Pemecahan asam amino (Proteolisis) terjadi pada otot yang disimpan sebagai cadangan protein. Berkurangnya cadangan protein otot menyebabkan penurunan berat badan. 2.1.3.5. Penurunan Penglihatan Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dapat menyebabkan peningkatan tekanan osmotik pada mata dan perubahan pada lensa sehingga pasien akan mengalami gangguan dalam penglihatan. 2.1.4. Diagnosis Penegakan diagnose DM tidak hanya dilakukan berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh pasien. Diagnosis DM harus didasarkan pada pemeriksaan penunjang khususnya pemeriksaan gula darah. Keluhan klasik seperti polyuria, polydipsi, polyphagia, badan yang lemah, penurunan berat badan tanpa diketahui jelas penyebabnya menjadi dasar dugaan adanya DM. Pada beberapa dekade, diagnosis DM ditegakkan dengan pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa dan gula darah 2 jam setelah beban (glukosa 75 gr). Sejak tahu 2009, pada International Expert Committee termasuk di dalamnya terdapat perwakilan dari American Diabetes Association (ADA), International Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study of Diabetes (EASD), merekomendasikan pemeriksaan HbA1C sebagai uji untuk diagnosis DM. Didiagnosis sebagai penyandang DM jika di dapatkan hasil HbA1C > 6.5%. Pemeriksaan HbA1C menggunakan metode yang telah terstandar oleh National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) (ADA, 2012). HbA1C atau haemoglobin glikosilate merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari ikatan hemoglobin dan gukosa dalam darah. Apabila hemoglobin bercampur dengan larutan dengan kadar glukosa yang tinggi, rantai beta molekul hemoglobin mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, proses ini dinamakan glikosilasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 13 Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal, sekitar 4-6% hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin glikosilat atau hemoglobin A1c. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar hemoglobin A1c dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar hemoglobin A1c yang tinggi mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes selama 3-5 minggu sebelumnya. Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar hemoglobin A1c kembali ke normal dalam waktu sekitar 3 minggu. Karena HbA1c terkandung dalam eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari, maka HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan. Pemeriksaan ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan informasi yang lebih jelas tentang keadaan penderita dan seberapa efektif terapi diabetik yang diberikan. Peningkatan kadar HbA1c > 6.5% mengindikasikan diabetes mellitus yang tidak terkendali dalam 3 bulan terakhir. Keuntungan yang lain dari pemeriksaan ini, tidak memerlukan persiapan seperti puasa dan pengambilan darah hanya dilakukan sekali saja (ADA, 2012; Black & Hawk, 2009). Namun demikian HbA1C hanya dapat dilakukan pada laboratorium yang telah terstandar. Pemeriksaan yang lain dan masih direkomendasikan oleh ADA, 2012 maupun PERKENI, 2011 adalah pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah beban. Berikut kriteria diagnosis DM menurut ADA, 2012 a. Adanya gejala klasik DM dengan hasil HbA1C > 6.5 % , dan pemeriksaan menggunakan metode yang terstandart (NGSP atau DCCT), atau b. Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Gula darah plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau c. Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa diartikan tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau d. Kadar gula plasma 2 jam pada Toleransi Tes Glukosa Oral (TTGO) > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, yaitu Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 14 menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Pada orang-orang yang beresiko DM namun tidak menunjukan adanya gejala DM, perlu dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi lebih awal adanya gangguan pada toleransi glukosa atau resiko DM sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih awal. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan guladarah sewaktu, atau gula darah puasa. Berikut ini kadar gula darah sebagai penyaring diagnosis DM (Pra diabetes) a. Gula darah puasa 100mg/dL (5,6 mmol/L) – 125 mg/dL (6,9 mmol/L) b. Gula darah 2 jam setelah beban dengan 75 gr glukosa oral 140 mg/dL (7.8 mmol/L) sampai 199 mg/dL (11.0 mmol/L) c. HbA1C : 5,7% sampai 6,4 % Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulang setiap tahun. Untuk yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko lain, penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun. Pemeriksaan penunjang lain yang disarankan untuk mengetahui factor resiko maupun gangguan metabolism lebih lanjut diantaranya adalah pemeriksaan lipid profile. Gangguan metabolism glukosa dapat menimbulkan peningkatan pada kadar trigliserida, penurunan HDL, perubahan pada struktul LDl, dimana dapat ditemukan peningakatan small dense LDL. Penurunan kadar C-Peptida dalam darah dapat digunakan untuk menggambarkan penurunan produksi insulin oleh sel beta pancreas. 2.1.5. Penatalaksanaan Tujuan jangka pendek dari penatalaksanaan pada penyandang DM adalah menghilangkan keluhan dan tanda dari DM, mempertahankan kenyamanan, dengan gula darah yang terkontrol. Sedangkan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai adalah mencegah dan menghambat progresivitas penyulit atau komplikasi seperti mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pada akhirnya keberhasilan penataksanaan akan meningkatkan kualitas hidup penyandang DM, menurunnya angka mortalitas dan morbiditas DM. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 15 Penatalaksanaan DM ini dilakukan secara holistic dan terpadu dengan melibatkan multidisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, educator, dan lainnya) dan keluarga sebagai system pendukung utama. Pilar penatalaksanaan utama untuk DM meliputi edukasi, perencanaan makan, latihan jasmani, intervensi farmakologis dan monitoring gula darah. Berikut ini penjelasan dari 5 pilar penatalaksanaan DM : 2.1.5.1. Edukasi Edukasi merupakan proses perpindahan informasi dari suatu sumber untuk menambah pengetahuan (internalisasi) satu individu dalam rangka meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dan diharapkan menampilkan satu perubahan perilaku (Nasution, 2008). Penyandang DM umumnya mempunyai resiko dari pola hidup yang tidak sehat. Selain itu pengendalian gula darah dan pencegahannya memerlukan perawatan sepanjang hidupnya, sehingga perubahan pola hidup dan kepatuhan terhadap perawatan hendaknya didasarkan pada pengetahuan yang benar. Tujuan dari edukasi pada penyandang DM adalah terjadinya perubahan perilaku untuk jangka panjang. Perubahan perilaku ini dapat dicapai dengan cara memberikan pengetahuan yang dibutuhkan sehingga penyandang DM mampu membuat keputusan sendiri yang akan memperbaiki kesehatan individu tersebut. Prinsip edukasi yang harus disampaikan adalah sesuai kebutuhan, diberikan secara bertahap sehingga proses internalisasi dapat tercapai. Memperhatikan kondisi diabetisi seperti tingkat pendidikan, usia, pengetahuan dan persepsi yang dimiliki, budaya hingga kondisi psikologis merupakan hal penting untuk pencapaian informasi. Edukasi yang diberikan untuk diabetisi diantaranya informasi tentang DM, pengendalian gula darah melalui perencanaan makan, latihan jasmani dan obat-obatan, pemantauan gula darah, tanda dan gejala komplikasi akut dan pencegahan komplikasi kronikseperti perawatan kaki. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 16 2.1.5.2. Pengaturan makan Pengaturan makan merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi penyandang DM (diabetisi). Prinsip dari perencanaan makan ini adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individu (Yunir .E & Soebardi, 2009; ADA, 2012). Manfaat yang didapatkan dari perencanaan makan pada penyandang DM antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolikdan diastolic, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, dan pada akhirnya meningkatkan sensitifitas insulin dan mencegah timbulnya kompliksi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hamper sama dengan anjuran makan pada umumnya, yaitu gizi seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi dari masing-masing individu. Penekanan perencanaan makan pada diabetisi adalah pentingnya keteraturan pada jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama pada diabetisi yang menggunakan obat penurun glukosa atau insulin (Sukardji dalam Sugondo, Suwondo, Subekti, 2011; PERKENI, 2011). Komposisi bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi dalam rangka mencapai gizi seimbang terdiri dari makronutrien, yaitu karbohidrat,lemak dan protein, dan mikronutrien yang terdiri dari vitamin dan mineral. Jumlah karbohidrat yang dianjurkan 45 – 65 % dari total asupan energi, protein 10- 20 % dan lemak 20 – 25%. Selain komposisi bahan makanan, jumlah kalori juga merupakan hal yang harus diperhatikan. Setiap individu akan berbeda jumlah kalori yang dibutuhkan. Penghitungan kalori pada penyandang DM disesuaikan dengan jenis kelamin, aktifitas fisik, berat badan, stress metabolic dan kondisi kehamilan. Makanan yang telah disesuaikan komposisi dan kalori, kemudian dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 17 2.1.5.3. Latihan jasmani Latihan fisik atau olah raga pada penyandang diabetisi akan membantu dalam pengendalian gula darah, menurunkan lemak dalam darah, menurunkan berat badan, menjaga kebugaran dan akan meningkatkan sensitifitas insulin. Aktivitas fisik melibatkan kelompok besar otot-otot utamanya yang mempengaruhi peningkatan pengambilan oksigen sehingga terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Prinsip latihan jasmani pada pasien diabetes hampir sama dengan latihan jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti: frekuensi, intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan pada pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam 1 minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (60-70% maximum heart rate), dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani endurans (aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging dan bersepeda. Latihan jasmani yang dipilih adalah latihan yang disenangi oleh pasien (Yunir & Soebardi, 2009). Proses terjadinya pengendalian kadar glukosa darah (penurunan kadar glukosa darah) pada penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani karena meningkatnya ambilan glukosa oleh otot yang bekerja selama latihan jasmani berlangsung dan pada masa pemulihan atau pasca latihan jasmani. Penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani memperoleh sumber energinya berasal dari glukosa dan glikogen otot. Pada saat latihan jasmani berlangsung (kontraksi otot rangka), aliran darah akan meningkat ke daerah otot yang bekerja tersebut untuk membawa bahan sumber energi (glukosa). Kontraksi sel otot merupakan peristiwa berinteraksinya aktin dan miosin yang didahului oleh pelepasan ion kalsium intrasel karena rangsangan persarafan. Kalsium intrasel mengaktifkan sejumlah enzim PKC serine kinase yang diduga menstimulasi molekul transpor glukosa, GLUT4. Peristiwa kontraktil juga mengubah rasio AMP/ATP sehinggga mengaktivasi AMP kinase. AMP Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 18 kinase memfosforilasi dan mengaktivasi enzim NO sintase sehingga meningkatkan produksi NO (Nitrat Oxide) dan menstimulasi peningkatan transport glukosa ke dalam sel otot rangka yang aktif. AMP kinase juga memfosforilasi molekul p38 MAPK yang akan meningkatkan translokasi GLUT4. Peningkatan GLUT4 pada sel otot yang aktif pada penderita DM tipe 2 akan meningkatkan ambilan glukosa dari plasma darah sehingga akan menurunkan kadar glukosa darah. Latihan jasmani menjadi kontraindikasi pada kondisi guladarah > 250mg/dL, terdapat keton yang positif dan gangguan kardiovaskuler. Pada kondisi ini meningkatkan metabolism sehingga meningkatkan kadar gula darah dan benda keton. Tahapan dalam latihan jasmani pada penyandang DM dimulai dengan pemanasan, latihan inti, pendinginan dan peregangan. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti hipoglikemia, maka latihan fisik yang akan dilakukan harus direncanakan & dalam pengawasan. 2.1.5.4. Obat-obatan Terapi farmakologis atau obat, digunakan jika penatalaksanaan melalui pengaturan makan dan latihan fisik, serta perubahan gaya hidup tidak mampu mengendalikan gula darah. DM tipe 2 yang merupakan populasi terbanyak terjadi karena resistensi insulin, penggunaan obat hiperglikemi oral seringkali menjadi pilihan utama. Namun pada kondisi kerusakan sel beta atau untuk mencegah kerusakan lebih lanjut insulin eksogen juga menjadi pertimbangan untuk digunakan (Sugondo, Suwondo, Subekti 2011). a. Obat hiperglikemia oral (OHO) Ada 2 jenis obat hipoglikemik oral diantaranya adalah pemicu sekresi insulin (seperti sulfonylurea dan glinid) dan obat penambah sensitivitas terhadap insulin (biguanid, tiazolidindion, penghambat glukosidase alfa dan incretin mimetic) Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 19 ï‚· Sulfonyluera Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pangkeras untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Sulfonylurea pada umunya diberikan dengan dosis rendah untuk mencegah hipoglikemi. Jenis obat sulfonylurea adalah klorpropamid, glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimepirid. ï‚· Glinid Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 jenis obat seperti repaglinid, dan nateglinid. ï‚· Biguanid Jenis obat ini seperti: metformin dam metformin XR. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular. Metformin tidak dapat menyebabkan penurunan glukosa darah sampai normal sehingga obat ini dikenal juga dengan obat anti hiperglikemik. Kombinasi supfoniluera dengan metformin tanpak memberikan kombinasi yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling aditif. ï‚· Tiazolidindion Golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin/ dapat diberikan secara oral. - Penghambat glukosidase alfa Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. - Golongan incretin memetic Pada pemberian glukosa secara oral, akan didapatkan kenaikan kadar insulin yang lebih besar dari pada pemberian glukosa secara intravena. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 20 b. Insulin Insulin eksogen atau berasal dari luar tubuh diberikan pada semua DM tipe 1. Indikasi pemberian pada DM tipe 2 adalah pada kondisi dimana terapi lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah, terjadi peningkatan metabolism : stress berat, infeksi, pembedahan, MCI dan stroke. Komplikasi akut seperti ketoasidosis, sindrom hiperosmolar non ketotik juga menjadi indikasi penggunaan insulin eksogen (Sugondo, 2011) Berdasarkan cara kerjanya insulin eksogen (puncak kerja dan jangka waktu efeknya), insulin dibagi menjadi empat tipe, yaitu : Insulin kerja singkat(short acting insulin), insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja panjang (long acting insulin). Tabel 2.1. Tipe insulin dan cara kerja Cara Kerja Sediaan Onset Puncak Durasi Rapid acting Humalog (insulin lispro) Novolog ( Insulin Aspart) 5 – 10 menit 1 jam 2–4 jam Short acting Humulin R Novolin R 0,5 – 2 jam 2- 4 jam 4–6 jam Intermediate acting Long acting Humulin N (NPH) Humulin 70/30 2–4 jam 4 – 10 jam 10- 16 jam Humulin U (Ultralente) Lantus ( Insulin glargine) Tidak ada onset dan tidak ada masa puncak kerjanya 2.1.5.5. Monitoring gula darah Monitoring gula darah sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemi atau hiperglikemi, terutama pada orang yang mendapatkan terapi insulin atau OHO yang berdampak pada peningkatan sekresi insulin. Saat ini telah banyak dipasarkan alat monitoring gula darah yang dapat digunakan oleh para penyandang DM. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 21 Monitoring gula darah oleh diabetisi sendiri hasilnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan diabetisi mengenali dan menggunakan alat tersebut. Perawat berperan dalam memberikan edukasi untuk tehnik pemeriksaan hingga pembacaan hasil. Monitoring glukosa oleh diabetisi dapat dilakukan 2–4 kali sehari pada penyandang DM yang mendapat terapi insulin yaitu pagi sebelum makan dan sebelum tidur, atau setiap sebelum makan dan 2 jamsetelah makan. Jika gula darah sudah stabil dapat dilakukan 2–3 kali dalam seminggu. Untuk penyandang DM yang tidak mendapatkan insulin, monitoring dapat dilakukan 2–3 kali seminggu termasuk pemeriksaan 2 jam setelah beban glukosa atau setelah makan (Smeltzer & Bare, 2008). Monitoring gula darah sendiri dianjurkan pada penyandang DM yang guladarahnya tidak terkontro, kejadian hypoglikemia berulang dan wanita hamil dengan hyperglikemia (PERKENI, 2011) 2.1.6. Komplikasi Penatalaksanaan DM yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik yang disebabkan karena penurunan gula darah yang terlalu drastis maupun peningkatan gula darah. Komplikasi yang terjadi bisa bersifat akut maupun kronik. 2.1.6.1. Komplikasi akut a. Hipoglikemia Hypoglikemia adalah terjadinya penuruanan glukosa dalam darah hingga dibawah 60 mg/dL. Pada penyandang DM, hypoglikemia biasanya terjadi peningkatan kadar insulin yang tidak tepat, baik akibat penyuntikan insulin eksogen maupun konsumsi OHO dengan aksi peningkatan sekresi insulin seperti sulfonylurea. Hipoglikemi merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kegawatan hingga kematian. Hal ini terjadi karena glukosa merupakan komponen penting yang dibutuhkan untuk metabolism sistim saraf pusat (otak). Pada gangguan asupan glukosa yang berlangsung dalam beberapa menit, akan menyebabkan gangguan pada fungsi saraf pusat dengan gejala mulai dari gangguan koknisi, penurunan kesadaran hingga koma. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 22 Mekanisme tubuh dalam kondisi hipoglikemia yaitu dengan melepaskan neuroendokrine dan mengaktifkan sistim saraf otonom. Penekanan produksi insulin, produksi glucagon dan epinephrine merupakan pencegahan terhadap hipoglikemia lanjut. Peniningkatan epinephrine akan menimbulkan manifestasi palpitasi, cemas, diaphoresis, lapar dan pucat (Lewis, 2011). Tanda dan gejala hipoglikemia, menurut Sugondo, dkk, 2011 dapat dibagi dalam 4 stadium, yaitu - Stadium parasimpatik : lapar, mual dan tekanan darah menurun - Stadium gangguan otak ringan : lemah,lesu, sulit bicara, gangguan koknitif seperti kesulitan menghitung - Stadium Simpatik : keringat dingin pada area wajah dan ekstremitas yang disertai dengan berdebar-debar - Stadium gangguan otak berat : koma dengan atau tanpa kejang. Pencegahan hipoglikemia dapat dilakukan dengan member edukasi kepada diabetisi mengenai OHO atau insulin yang digunakan: kapan harus dikonsumsi,bagaimana penyuntikan insulin yang benar seperti lokasinya, waktunya, dosis dan tehnik penyuntikan. Pengaturan makan sesuai jumlah, jenis dan jadwal penjadi pokok utama pencegahan. Pengenalan terhadap gejala hipoglikemia dan penanganan awal juga merupakan hal penting yang harus diketahui penyandang DM, sehingga tidak jatuh kepada hipoglikemia tahap lanjut. Jika hipoglikemia sudah terjadi maka, pengobatan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan otak lebih lanjut (Soegondo 2011), yaitu : - Stadium awal : masih komposmentis, dapat diberikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau sirup, permen dan makanan yang mengandung karbohidrat mudah cerna dan insulin atau OHO tidak diberikan. - Stadium koma hipoglikemia : segera dibawa ke pelayanan kesehatan. Pemberian glukosa 40 % sebanyak 2 flakon intravena setiap 10- 20 menit hingga pasien sadar, disertai pemberian cairan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 23 dextrose 10% perinfuse 6 jam/kolf dengan pemantauan gula darah setiap 30 menit. b. Ketoasidosis Ketoasidosis Diabetikum (KAD) juga merupakan komplikasi akut yang menyebabkan kondisi kegawatan sehingga membutuhkan pengelolaan yang cepat. KAD suatu keadaan dekompensasi dan kekacauan metabolic yang ditandai dengan hyperglikemia, asidosis dan ketosis dan gejala dehidrasi (Suwondo P, 2009; Lewis, 2011, LeMone, 2011). Walaupun KAD lebih mudah terjadi pada DM tipe 1, namun tidak sedikit penyandang DM tipe 2 juga mengalami komplikasi KAD dan 20 % dari pasien KAD, baru diketahui menderita DM. Faktor pencetus terjadinya KAD adalah infeksi, MCI, pancreatitis akut, penggunaan obat steroid dan menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Proses terjadinya KAD dapat diawali dengan defisiensi insulin absolute maupun relative mengakibatkan sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa. Sistem homeostasis tubuh teraktivasi sehingga cadangan glukosa dihati dan otot dikeluarkan. Kondisi ini menyebabkan hiperglikemia yang berat. Selanjutnya terjadi hormone kontraregulator meningkat terutama epinephrine yang akan merangsang aktivasi hormone lipase sensitive, lipolisis meningkat, benda keton dan asam lemak bebat juga akan meningkat dalam darah. Akumulasi benda keton ini akan menyebabkan asidosis metabolic. Gejala dehidrasi terjadi diawali dengan glycosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolite-seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan shock hypovolemik. Asidosis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (peranafasan Kussmaul). Muntah-muntah juga Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 24 biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolite. Diagnosis KAD dapat ditegakkan berdasarkan pada nilai gula darah lebih dari 250 mg/dL, pH darah kurang dari 7,35, HCO3 rendah dengan anion gap yang tinggi dan keton serum positif. Pemeriksaan lain sebagai penunjang dari manifestasi yang ditimbulkan yaitu pemeriksaan elektrolit, urium creatinin, dan penghitungan osmolaritas. Penatalaksanaan KAD dilakukan berdasarkan patofisiologi dan pathogenesis penyakit. Diperlukan pengelolaan yang intensive dengan prinsip pengelolaan KAD, yaitu : penggantian cairan dan elektrolit yang hilang, menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin, mengatasi pencetus KAD, mengembalikan kekondisi fisiologis dengan pemantauan glukosa. - Penggantian cairan (rehidrasi) : Cairan yang digunakan adalah NaCl 0,9%. Diberikan 1- 2 liter pada jam pertama, kemudian jam kedua diberikan 1 liter, setelah itu cairan diberikan sesuai dengan tingkat dehidrasi. Rehidrasi pada KAD selain memperbaiki perfusi jaringan, juga akan menurunkan hormone kontraregulator insulin. - Insulin : insulin mulai diberikan dalam bentuk bolus pada jam ke 2, dengan dosis 180 mU/KgBB, dilanjutkan dengan drip 90 mU/KgBB dalam NaCl 0,9%. Bila gula darah stabil dalam 12 jam (200 – 300 mg/dL), dilanjutkan dengan drip insulin 1 – 2 ui/jam dan dilakukan penyesuaian insulin setiap jam. Pemberian insulin pada KAD ini bertujuan menurunkan konsentrasi hormone glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas, pelepasan asam amino dan meningkatkan penggunaan insulin oleh sel. - Kalium : hipokalemia bisa terjadi pada KAD karena perpindahan ion K,dari dalam sel keluar sel yang pada akhirnya keluar melalui urine karena proses dehidrasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 25 c. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) HHNK merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama didapatkan adanya dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan dapat disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Faktor pencetus timbulnya HHNK diantaranya infeksi, pengobatan, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta seperti tumor yang menghasilkan hormone adeokortikotropin, pancreatitis dan lainnya. Pada usia lanjut dengan DM HHNK lebih mudah terjadi khususnya lansia dengan penyakit penyerta dan asupan nutrisi yang kurang. Proses perjalanan HHNK sama dengan KAD dimana tidak tercukupinya insulin akan mengakibatkan hiperglikemia yang pada akhirnya terjadi dieresis osmotik. Kehilangan cairan intravascular akan menyebabkan keadaan hiperosmolar yang akan memicu sekresi hormone anti diuretic, rasa haus yang berkepanjangan akan dirasakan oleh pasien. Kehilangan cairan yang tidak terkompensasi akan menimbulkan penurunan perfusi jaringan hingga koma. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis adanya HHNK diantaranya adalah kadar glukosa darah yang > dari 600mg/dL, osmolaritas serum yang tinggi >320 mOsm perkg air, pH > 7.30, dapat ditemukan adanya ketonemia ringan atau tidak ditemukan. Sebagian pasien menunjukan asidosis metabolic dengan anion gap ringan hingga berat. Konsentrasi BUN dan kreatininsering kalimeningkat yang menggambarkan adanya penurunan fungsi ginjal akibat dehidrasi dan akan terjadi penurunan elektrolit. Penatalaksanaan HHNK yang pertamaadalah rehidrasi dengan agresif menggunakan cairan NaCL 0,9 % dimulai dari 1 liter setiap jam. Pemberian elektrolit khususnya kalium yang hilang bersama pengeluaran cairan. Pemantauan terhadap kondisi aritmia sebagai Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 26 akibat hypokalemi harus dilakukan. HHNK diawali dengan ketidak cukupan kebutuhan insulin, sehingga pemberian insulin sangat penting. Pemberian insulin ini dilakukan setelah kondisi kekurangan cairan tubuh teratasi. 2.1.6.2. Komplikasi Kronik Kelainan metabolik pada DM tipe 2 dalam waktu yang lama dapat menyebabkan perubahan berbagai organ pada tubuh dan bersifat irreversible. Hiperglikemia menyebabkan glukosa direduksi menjadi sorbitol dalam sel yang mengandung enzim aldoreduktase. Sorbitol bersifat hidrofilik sehingga tidak dapat melewati membran sel sehingga meningkatkan akumulasi poliol intrasel sehingga sel menjadi bengkak dan mengalami kerusakan akibat proses osmotik (Waspadi dalam Sudoyo, 2009; Sibernagl & Lang, 2007). Hiperglikemia menyebabkan kerusakan jaringan melalui terbentuknya glikosilasi antara glukosa dengan protein non-enzimatik Advance Glycocilation End Products (AGES) yang berikatan dengan reseptor membran sel serta adanya pembentukan radikal bebas reactive oxygen species (ROS) yang dapat mengakibatkan pengendapan kolagen pada membran basalis pembuluh darah, kerusakan endothelium, penyempitan lumen dan penurunan permiabilitas pembuluh darah (Scott, Gronowski, Eby, 2007; Waspadji dalam Sudoyo, 2009). Kerusakan dinding pembuluh darah kecil dapat menyebabkan neuropati, nefropati dan retinopati. Neuropati disebabkan akibat penumpukan sorbitol pada sel schwan dan neuron sehingga mengganggu konduksi sel-sel saraf yang mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom, sensori dan refleks. Neuropati ditandai dengan adanya penurunan fungsi serabut saraf secara progresif. Neuropati merupakan komplikasi yang banyak terjadi pada DM dan diperkirakan terjadi pada 50% pasien DM baik tipe 1 maupun tipe 2 (Lin, 2011). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 27 Nefropati berhubungan dengan adanya glomerulosklerosis yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus, proteinuria, hipertensi dan gagal ginjal. Terjadinya gagal ginjal pada pasien DM tipe 2 dapat berhubungan dengan adanya penurunan Angiotensin Concerting Enzyme (ACE 2) yang berperan dalam melindungi ginjal (Reich, Oudit, Penninger, Scholey, & Herzenberg, 2008). Menurut Batuman resiko terjadinya nefropati diabetik dapat dialami pasien yang mengalami DM lebih dari 30 tahun. Retinopati disebabkan adanya penumpukan sorbitol pada lensa mata yang mengakibatkan penarikan cairan dan perubahan kejernihan lensa mata (Bate & Jerums, 2003). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan pada kelompok usia 25-74 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar 700.000 orang mengalami retinopati diabetik proliferasi dengan setiap tahunnya terdapat 65.000 kasus. Prevalensi retinopati diabetik di Amerika Serikat menunjukkan angka cukup tinggi yaitu sekitar 28.5% yang terutama terjadi pada pasien DM dengan usia diatas 40 tahun (Bhavsar, 2011). Hiperglikemia juga menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah yang besar yang berhubungan dengan terjadinya infark miokard, stroke dan penyakit pembuluh darah tepi. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan pembentukan protein plasma yang mengandung glukosa seperti fibrinogen, haptoglobin, macroglobulin alpha 2 dan faktor pembekuan V-VIII yang cenderung mengakibatkan peningkatan pembekuan dan viskositas darah yang mempermudah terjadinya trombosis. Trombosis yang disertai dengan peningkatan kadar kolesterol Very Low Density Lipoprotein (VLDL) akan menyebabkan makroangiopati yang memicu terjadinya penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer (Ignatavicius & Workman, 2010). Pasien DM tipe 2 memiliki resiko tinggi untuk mengalami gagal jantung. Kemungkinan mekanisme yang menjelaskan tentang hubungan DM tipe 2 dengan penyakit jantung adalah adanya peningkatan tekanan darah dan efek dari Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 28 metabolisme seperti hiperinsulinemia dan hiperglikemia (Gholap, Davies, Patel, Sattar, & Kunthi, 2011). Komplikasi kronik yang banyak terjadi akibat adanya komplikasi pada makrovaskuler, mikrovaskuler maupun neuropati adalah komplikasi pada kaki atau kaki diabetic. Kaki diabetic didefinisikan sebagai kaki pada pasien diabetes yang rentan terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari diabetes. Kaki diabetic ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy), berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,2008; Waspadji, 2009; Turn, 2011). Seperti dijelaskan pada definisi bahwa terjadinya kaki diabetik disebabkan selain oleh adanya gangguan vaskuler, gangguan saraf perifer, juga dapat disebabkan adanya deformitas musculoskeletal maupun infeksi. Proses terjadinya kaki diabetic dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Neuropathy Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol, sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 29 bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyunghuyung. Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat perubahan neuropatik (Smeltzer & Bare, 2008). b. Mikrovaskuler (mikroangiopathy) Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 30 reseptornya masing-masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009). c. Deformitas Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya artropati Charcot. d. Infeksi Penyandang Diabetes pada jangka waktu lama akan mengalami penurunan pada system imunitas. Penurunan system imun dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu : kerusakan fungsi polimorphonuclear leukosit, neuropathi diabetic dan penurunan vaskuler. Gangguan vaskuler akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi sel darah putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak dan ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat. Pada kondisi ini penyandang diabetes akan mudah Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 31 mengalami infeksi terutama pada kaki yang mengalami luka (Hawks & Black, 2010) 2.2. Asuhan Keperawatan Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy 2.2.1.Dasar Teori adaptasi Roy Sister Calissta Roy lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, seorang profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai mengembangkan teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964. Roy mengembangkan suatu model yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Model adaptasi Roy berasal dari pemikiran Roy yang sangat terkesan dengan ketahanan anak-anak terhadap perubahan mayor fisik dan psikososial saat dirawat di bangsal pediatric. Dimulai dari seminar dengan Dorothy E. Jhonson untuk mempresentasikan suatu model keperawatan dan kemudian dilanjutkan dengan berdasar pada teori adaptasi Helson (1964), maka Roy kemudian menghasilkan suatu teori yang disebut model adaptasi. Ada beberapa ahli yang memberikan pengaruh atau berkontribusi terhadap perkembangan teoritis model adaptasi Roy, para ahli tersebut antara lain Helson (Helson’s Adaptation Theory), Rapoport (Rapoport’s Definition), Dohrenwend, Lazarus, Mechanic, Selye, Marie Direver (Self Integrity), Martinez and sato (common and primary stimuli affecting the modes), Poush Tedrow and Van Landingham (Interdependence mode), Randel (Role Function Mode) (Tomey & Alligood, 2006). Pada awalnya, Roy mendiskusikan tentang konsep diri dan identitas kelompok dengan menggunakan teori interaksi social sebagai dasar teori, salah satu contoh penggunaan teori tersebut adalah persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh respon dari orang lain. Selain itu Sullivan juga mempengaruhi Roy untuk membuktikan bahwa seseorang itu muncul dari interaksi social yanga ada. Gardner dan Erickson, 1984 dalam Tomey & Alligood, 2006 juga berpengaruh pada mode yang lain, yaitu fisik-psikologis, fungsi peran dan interdependensi untuk memahami bahwa manusia juga berasal dari komponen biologis dan behavioral. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 32 2.2.2.Asumsi-Asumsi Utama Roy (1988 dalam Roy & Andrews, 1999) mengidentifikasi asumsi spesifik pada dua prinsip filosofi yaitu asumsi humanism dan veritivity. Asumsi humanism mengatakan bahwa manusia dan pengalamannya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengetahui dan menilai sesuatu untuk membentuk suatu kekuatan kreatif, sedangkan asumsi veritivity mengatakan tentang keyakinan pada tujuan, nilai dan arti dalam kehidupan manusia Roy (1988 dalam Roy & Andrew, 1999). Selain itu terdapat asumsi keilmuan yang berasal dari gabungan teori system dan teori level adaptasi. Teory system mengatakan bahwa system adaptasi manusia terlihat dari interaksi dan tindakan untuk mencapai suatu tujuan di dunia ini. Sedangkan system adaptasi manusia sangatlah kompleks, dengan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan stimulus dari lingkungan, manusia mempunyai kemampuan untuk merubah lingkungan sekitarnya. Dalam memahami konsep adaptasi, Roy (Roy & Andrew,1999 dalam Tomey & Alligood, 2006) mengembangkan 5 asumsi dasar dalam model adaptasi ini, yaitu adaptasi, keperawatan, manusia/individu, kesehatan dan lingkungan. 2.2.2.1. Adaptasi Adaptasi adalah suatu proses dan hasil, dimana manusia adalah sebagai individu dalam satu kelompok yang menggunakan kesadaran penuh dan pilihan untuk membentuk suatu integrasi antara manusia dan lingkungan. Untuk mempertahankan integritas, individu berespon terhadap stimulus dari lingkungan. 2.2.2.2. Keperawatan Keperawatan sebagai suatu profesi pelayanan kesehatan yang berfokus pada proses dan pola hidup manusia serta menekankan terhadap promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sebagai suatu kesatuan. Roy mengidentifikasikan aktifitas keperawatan sebagai suatu pengkajian terhadap perilaku dan stimulus yang mempengaruhi adaptasi. Keputusan dalam perawatan berdasarkan pada pengkajian dan perencanaan yang disusun untuk mengatur stimulus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 33 yang masuk. Pada akhirnya, tujuan Roy dalam keperawatan adalah promosi adaptasi individu dan kelompok pada setiap mode (physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode) yang berkontribusi terhadap kondisi sehat, kualitas hidup dan meninggal dengan tenang. Keperawatan mempunyai peran yang unik yaitu sebagai fasilitator untuk beradaptasi dengan mengkaji perilaku pada tiap mode dan faktorfaktor yang mempengaruhi adaptasi dengan cara ikut andil untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi dan meningkatkan interaksi lingkungan. 2.2.2.3. Manusia. Menurut Roy manusia adalah individu yang holistic, sebagai mahluk adaptif terhadap lingkungan yang ada. Sebagai system adaptif, manusia didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari beberapa bagian yang berfungsi secara menyeluruh untuk mencapai suatu tujuan. Individu sebagai suatu system meliputi manusia sebagai individu atau kelompok baik itu keluarga, organisasi, komunitas atau masyarakat dalam suatu kesatuan secara menyeluruh. Manusia mempunyai kemampuan untuk berfikir, merasakan, menyadari dan mengartikan sesuatu untuk merubah lingkungan dan pada akhirnya mempengaruhi lingkungan. Dengan kata lain manusia dipandang sebagai mahluk bio-psiko-sosialspiritual yang holistik dalam segenap aspek individu dengan bagianbagiannya yang berperan bersama membentuk kesatuan, ditambah manusia sebagai sistem yang hidup berada dalam interaksi yang konstan dengan lingkungannya. Dalam keperawatan, Roy mendefinisikan manusia sebagai focus utama, penerima asuhan keperawatan, sebagai system adaptif yang hidup dan sangat kompleks dengan aktifitas proses internal (kognator dan regulator) untuk mempertahankan adaptasi pada 4 lini mode (physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 34 2.2.2.4. Sehat Sehat adalah suatu kondisi dan suatu proses untuk menjadi manusia yang utuh dan berintegrasi (satu). Sehat merupakan suatu refleksi dari adaptasi, yaitu interaksi antara individu dan lingkungan. Definisi ini muncul dengan pemikiran bahwa adaptasi adalah suatu proses dukungan fisik, psikologis dan integritas social menuju suatu kesatuan dan keutuhan. Pada awalnya, Roy menampilkan kondisi sehat sebagai suatu kondisi yang berkelanjutan dari kondisi mati dan rendahnya status kesehatan menuju kondisi yang lebih baik dan sejahtera, untuk selanjutnya Roy memfokuskan pada asumsi bahwa sehat adalah suatu proses dimana kesehatan dan kematian selalu beriringan. Roy menyatakan bahwa sehat bukanlah bebas dari menghindari kematian, penyakit, kesedihan dan stress, tetapi lebih pada kemampuan untuk mengatasi semua hal tersebut dengan cara yang kompeten. Sehat dan sakit adalah kondisi yang tidak terelakkan karena merupakan dimensi hidup dan pengalaman hidup manusia. Ketika mekanisme koping seseorang tidak efektif, maka jatuhlah individu pada kondisi sakit, tetapi ketika seseorang dapat beradaptasi secara terus menerus maka orang tersebut sehat. Sebagai individu yang beradaptasi terhadap stimulus yang ada, individu mempunyai kebebasan untuk merespon terhadap stimulus lainnya. 2.2.2.5. Lingkungan. Lingkungan adalah semua kondisi, keadaan, situasi yang mempengaruhi pembentukan perilaku individu atau kelompok dengan fakta yang mempertimbangkan kualitas sumber daya alam dan manusia yang terdiri dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Perubahan lingkungan akan menstimulasi seseorang untuk berespon secara adaptif. Antara sistem dan lingkungan terjadi pertukaran informasi, materi dan energi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 35 Sebagai suatu system terbuka, manusia menerima input atau stimulus dari dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan adaptasi ditentukan oleh efek yang tergabung dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi terjadi ketika seseorang berespon positif terhadap perubahan lingkungan, dimana respon adaptif ini meningkatkan integritas seseorang untuk mencapai suatu kondisi sehat. Sebaliknya, jika responnya tidak efektif maka akan terjadi gangguan integritas seseorang. Di bawah ini bentuk diagram yang digunakan Roy untuk menggambarkan sistem adaptasi manusia dalam bentuk sistem yang terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan balik: Input Tingkat adaptasi (stimulus fokal, konstektual dan residual Proses kontrol Efektor Mekanisme koping (Regulator Kognator) Fungsi fisiologis Konsep diri Fungsi peran interdependensi Output Respons adaptif dan inefektif Feeback Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy Dari gambar di atas terdapat 2 subsistem di model adaptasi Roy, pertama yaitu fungsional atau subsistem proses kontrol yang terdiri dari regulator dan kognator. Yang kedua adalah subsistem effector yang terdiri dari 4 mode adaptif, yaitu 1) kebutuhan fisik, 2) konsep diri, 3) fungsi peran, dan 4) interdependence. Berikut keterangan gambar 2.1 tentang manusia sebagai suatu system adaptif: a. Input Roy mengidentifikasikan bahwa input merupakan stimulus yang terdiri dari informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon dimana dibagi dua dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual. ï‚· Stimulus fokal Stimulus yang dihadapi saat ini yang memerlukan waktu cepat untuk respons adaptasi atau stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang dan efeknya segera dirasakan, misalnya infeksi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 36 ï‚· Stimulus kontekstual Semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diamati, diukur serta dapat dilaporkan secara subyektif. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal seperti isolasi sosial. ï‚· Stimulus residual Faktor internal yang dimiliki individu yang memungkinkan mempengaruhi perilaku, misalnya: keyakinan, sikap, pengalaman masa lalu yang disebut koping. b. Kontrol (proses) Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk dari mekanisme yang Roy gunakan. Mekanisme kontrol ini terdiri dari regulator dan kognator yang merupakan bagian dari subsistem koping. ï‚· Sub sistem regulator Sub sistem regulator berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis, dimana terdapat respon otomatis terhadap perubahan lingkungan melalui proses neuro chemical endocrine coping proses. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator sub sistem. ï‚· Sub sistem kognator Kognator berhubungan dengan mode adaptive konsep diri; interdependensi dan fungsi peran dimana respon yang muncul melalui 4 canel kognitif-emosi, yaitu proses persepsi terhadap suatu informasi, belajar, penilaian dan emosi, proses ini terjadi dalam otak. c. Output Output atau keluaran dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diukur, diamati atau secara subyektif dapat dilaporkan baik dari dalam maupun luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy membagi output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang mal adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 37 kelangsungan hidup, perkembangan dan reproduksi. Sedangkan respon yang mal adaptif adalah perlaku yang tidak mendukung dalam tujuan ini. Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai sisten adaptif. Beberapa mekanisme koping ditentukan secara genetik (misalnya leukosit) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang dapat menyerang tubuh. Mekanisme lain yang dapat dipelajari seperti pengunaan antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan kognator dimana mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi. Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator sub sistem sering bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh individu itu sendiri serta mekanisme koping yang digunakan. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal megembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespons secara positif. Untuk sub sistem regulator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol sehingga sangat terbuka untuk melakukan penelitian tentang respons kontrol dari sub sistem kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya konsep ini mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor yaitu 4 (empat) model adaptasi yang terdiri dari: a. Kebutuhan Fisiological Kebutuhan fisiologi meliputi interaksi manusia dengan lingkungan dan kesepakatan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain cairan dan elektrolit, latihan dan istirahat, eliminasi, nutrisi, sirkulasi dan oksigen serta regulasi yang berhubungan dengan perasaan, suhu dan regulasi endokrin. b. Konsep Diri Konsep diri merupakan satu dari tiga mode psikososial yang berfokus pada psikologis dan spiritual sebagai aspek dari system manusia. Terbentuk dari persepsi internal dan persepsi dari orang lain. Terdiri dari body sensation yaitu bagaimana seseorang merasakan keadaan fisiknya, body image, bagaimana seseorang memandang fisik dirinya, self consistency, bagaimana upaya seseorang untuk memelihara dirinya dan menghindari dari ketidakseimbangan, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 38 dan moral etic spiritual self yang merupakan keyakinan seseorang dan evaluasi dirinya. c. Fungsi Peran Fungsi peran ini bagaimana mengenal pola interaksi social seseorang. Peran ini direfleksikan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer merupakan peran utama yang ditentukan oleh jenis kelamin, usia, dan tahap perkembangan. Peran sekunder merupakan tugas yang harus diselesaikan berdasarkan tugas perkembangan dan peran primernya. Peran tersier merupakan peran yang bersifat sementara, bebas untuk dilakukan, aktivitas dapat berupa hobi. Tujuan dari adaptasi fungsi peran ini adalah integritas social (Tomey & Alligood, 2006) d. Saling Ketergantungan (interdependency) Mode ini menunjukan mekanisme koping pada individu yang saling berhubungan dan menghasilkan rasa saling mencintai, menghargai dan saling membutuhkan. Hubungan ini biasanya terjadi antara individu dengan support sistemnya. Hasil dari mekanisme koping dari ke 4 mode ini adalah adaptif atau inefektif. Respon adaptif ditunjukan dengan meningkatnya integritas seseorang yang meliputi intergritas fisik, psikologi dan sosial. Sebaliknya, jika integritas ini tidak tercapai, maka respon inefektif yang akan didapatkan. 2.2.3. Asuhan keperawatan menurut Model Adaptasi Roy 2.2.3.1. Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu : a. Pengkajian perilaku (behavior) Pengkajian perilaku (behavior) merupakan langkah pertama proses keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku pasien adaptif atau inefektif. Perilaku yang diamati terdiri dari dua hal yaitu perilaku yang dapat diobservasi dan perilaku yang tidak dapat diobservasi, seperti keluhan pasien. Pengkajian tipe perilaku yang dapat diobservasi diperoleh dengan cara dilihat, didengar, dan/atau diukur. Apabila ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi normal Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 39 maka hal ini mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu dapat disebabkan oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006). Data perilaku yang diamati meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1) fisiologis, yang terdiri dari pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensori/ pengindraan, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis, fungsi endokrin; 2) konsep diri, meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi peran, meliputi proses transisi peran, perilaku peran, integrasi peran, pola penguasaan peran, dan proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola memberi dan menerima, dan strategi koping perpisahan dan kesendirian. b. Pengkajian stimulus merupakan tahap dua untuk mengetahui factor yang mempengaruhi perilaku yang ditunjukan oleh individu. Faktor yang mempengaruhi ini disebut juga dengan stimulus dan stimulus dapat internal dan eksternal yang mencakup semua kondisi, keadaan dan mempengaruhi sekeliling dan/atau mempengaruhi perkembangan dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi antara lain kultur (status sosial ekonomi, etnis, dan sistem keyakinan); keluarga (struktur dan tugas-tugas); tahap perkembangan (faktor usia, jenis, tugas, keturunan, dan genetik); integritas mode adaptif (fisiologis yang mencakup patologi penyakit, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi); efektivitas kognator (persepsi, pengetahuan, ketrampilan); pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan internal atau eksternal, pengelolaan medis, menggunakan obat-obat, alkohol, tembakau). Pengkajian stimulus diarahkan pada stimulus fokal, kontekstual, dan residual. 2.2.3.2. Diagnosa Keperawatan Menurut Roy & Andrews, 1999 diagnosa keperawatan merupakan proses penilaian yang menghasilkan pernyataan status adaptasi seseorang. Sebelum dilakukan penetapan diagnosa keperawatan semua data sudah terkumpul. Data perilaku merupakan hasil dari pengamatan, pengukuran, dan laporan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 40 subjektif. Data lain adalah penyataan tentang stimulus fokal, kontekstual, dan residual yang mempengaruhi data perilaku tersebut. Selanjutnya Roy menggambarkan tiga metode dalam menegakkan diagnose keperawatan. Metode pertama menggunakan tipologi diagnose berhubungan dengan empat mode adaptasi. Metode kedua dalam menegakkan diagnose, dengan mengobservasi tingkah laku yang berhubungan dengan stimulus, baik fokal, konstektual maupun residual. Metode yang ketiga merupakan kesimpulan satu atau lebih model adaptasi yang berhubungan dengan stimulus. 2.2.3.3. Penetapan tujuan keperawatan. Keperawatan terdiri dari dua yaitu : tujuan keperawatan dan aktivitas keperawatan. Tujuan keperawatan adalah mempertinggi interaksi manusia dengan lingkungan. Jadi peningkatan adaptasi dalam tiap empat cara adaptasi yaitu : (1) fungsi fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran dan (4) interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan integritas adaptasi dan berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup dan kematian dengan damai. Tujuan keperawatan tercapai ketika stimulus fokal berada dalam suatu area adaptasi yang adaptif. Ketika stimulus fokal berada pada area tersebut, manusia dapat membuat suatu penyesuaian diri atau berespons adaptif. Hal tersebut membebaskan individu dari koping yang tidak efektif dan memungkinkan individu untuk merespon stimulus yang lain. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat mencapai peningkatan penyembuhan dan kesehatan. Jadi peranan penting adaptasi sangat ditekankan pada konsep ini. Tujuan dari adaptasi adalah membantu perkembangan aktivitas keperawatan yang digunakan pada proses keperawatan meliputi : pengkajian, diagnosa keperawatan, tujuan, intervensi dan evaluasi. Adaptasi model keperawatan menetapkan “data apa yang dikumpulkan, bagaimana mengidentifikasi masalah dan tujuan utama, pendekatan apa yang dipakai dan bagaiman mengevaluasi efektifitas proses keperawatan”. Setelah dilakukan pengkajian terhadap perilaku, stimulus, dan diformulasikan ke dalam diagnosa keperawatan maka langkah selanjutnya adalah penentuan tujuan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 41 keperawatan. Penetapan tujuan keperawatan diartikan sebagai pembuatan pernyataan yang jelas dari keluaran perilaku (behavior outcomes) dari pelayanan keperawatan. Ada tiga hal yang dimuat dalam pernyatan tujuan keperawatan yaitu perilaku (behavior), perubahan yang diharapkan (change expected), dan kerangka atau rentang waktu (time frame). Setelah itu tujuan keperawatan jangka pendek dan jangka panjang ditentukan. 2.2.3.4. Intervensi dan implementasi Menurut Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006 tujuan dari intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi perilaku adaptif. Intervensi direncanakan untuk mengelola stimulus. Sebagai stimulus, intervensi berfokus bagaimana tujuan dapat dicapai. Fokus intervensi adalah mengarah pada suatu stimulus yang mempengaruhi suatu perilaku. Pengelolaan stimulus meliputi merubah, meningkatkan, menurunkan, memindahkan, menghilangkan, dan/atau mempertahankannya. Merubah stimulus memperkuat kemampuan mekanisme koping seseorang untuk berespon secara positif dan hasilnya adalah perilaku adaptif. Langkah dalam menyusun intervensi keperawatan meliputi penetapan atas empat hal yaitu 1) apa pendekatan alternatif yang akan dilakukan; 2) apa konsekuensi yang akan terjadi; 3) apakah mungkin tujuan tercapai oleh alternatif tersebut; dan 4) nilai alternatif itu diterima atau tidak. Intervensi keperawatan ini dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain (pasien, keluarga, dan tim kesehatan). Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari intervensi keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan memulai langkah-langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat. Implementasi keperawatan dilaksanakan terus menerus sesuai dengan perkembangan pasien. Implementasi dapat berubah-ubah dalam cara, teknik, dan pendekatan yang tergantung pada perubahan tingkat adaptasi pasien. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 42 2.2.3.5. Evaluasi Evaluasi merupakan penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan. Oleh karena itu, evaluasi tersebut menjadi refleksi dari tujuan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan suatu intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Tomey & Alligood, 2006) 2.3. Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Diabetes Mellitus Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya Diabetes Mellitus menggunakan model adaptasi Roy dirasakan tepat. Roy menekankan pada kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap stimulus yang didapatkan. Diabetes mellitus merupakan gangguan endokrin yang akan terus ada dalam tubuh penyandang DM, namun gangguan yang ditimbulkan dapat dikontrol. Model adaptasi yang dikembangkan oleh Roy, merupakan salah satu proses yang dapat digunakan oleh individu untuk berada pada kondisi terkontrol. Sebagai system terbuka, penyandang DM akan selalu mendapatkan stimulus baik fokal, kontekstual maupun residual. Untuk dapat beradaptasi terhadap stimulus tersebut, maka perawat berupaya meningkatkan koping yang dimiliki penyandang DM tersebut dengan berbagai intervensi untuk berupaya meningkatkan regulator dan kognator. Pada akhirnya diharapkan penyandang DM dapat beradaptasi secara penuh (integrity), compensatory, maupun adaptasi pada tingkat compromised. Berikut ini akan diuraikan asuhan keperawatan pada pasien DM dengan pendekatan model adaptasi Roy. 2.3.1. Pengkajian Pengkajian merupakan langkah pertama di dalam proses keperawatan. Model adaptasi Roy mengembangkan pengkajian dengan dua tahap. Tahap pertama dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perilaku pada empat mode yaitu : fisiologis, konsep diri, peran dan interdependen. Tahap kedua Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 43 menganalisis stimulus yang mempengaruhi. Stimulasi ini terdiri dari stimulasi fokal, kontekstual dan residual. Berikut ini diuraikan pengkajian pada pasien DM dengan pendekatan model adaptasi Roy meliputi pengkajian perilaku dan stimulus 2.3.1.1. Pengkajian Perilaku a. Mode Fisiologi - Oksigenasi ( Roy & Andrew, 1999; Smeltzer & Bare, 2008; Doenges, 2010; Lewis, 2011; LeMone, 2011) Perilaku yang ditunjukan pada kebutuhan oksigenasi pada pasien DM meliputi perilaku pada fungsi pernafasan dan fungsi sirkulasi. Fungsi pernafasan meliputi dikelompokkan dalam mekanisme ventilasi, difusi dan perfusi. Fungsi sirkulasi meliputi fungsi jantung dan transportasi oksigen. - Fungsi pernafasan pada pasien DM kemungkinan akan didapatkan perubahan perilaku seperti : adanya keluhan batuk dengan atau tanpa sputum yang purulent, sesak nafas. Dari hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya tachipnea, pernafasan khussmaul, adanya ronchi atau wheezing, sputum yang berwarna jernih, kuning atau kehijauan. - Fungsi sirkulasi kemungkinan akan di dapatkan keluhan claudicatio, kesemutan pada ekstemitas, luka yang lama sembuh pada area kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tachycardia, tekanan darah kemungkinan normal, hipertensi, atau perubahan tekanan darah pada posisi. Adanya irama jantung yang tidak teratur (dysritmia), penurunan nadi yang menurun atau tidak teraba terutama pada area kaki (dorsalis pedis dan posterior tibialis), nilai ABI normal, rendah atau tinggi. Pada pengukuran tekanan vena jugularis didapatkan hasil yang meningkat (pada komplikasi gagal jantung), kulit kering, hangat, kemerahan, bola mata cekung yang merupakan tanda adanya dehidrasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 44 Perubahan dari hasil pemeriksaan diagnostic merupakan perubahan perilaku yang dapat diamati. Hasil laboratorium yang dapat terjadi pada pasien dengan DM diantaranya ; perubahan pada nilai Hb kemungkinan didapatkan adanya penurunan nilai Hb. Nilai analisa gas darah, pada kasus KAD menunjukan adanya asidosis metabolic. Gangguan pada sirkulasi maupun pernafasan dapat dilihat dari pemeriksaan radiologi, seperti foto thorak. Adanya gambaran infeksi pada paru dansaluran pernafasan, adanya pembesaran jantung sebagai manifestasi komplikasi DM pada system kardiovaskuler dan pernafasan. Selain dari foto thoraks, EKG dapat digunakan untuk melihat adanya gambaran iskemik pada otot jantung dan penurunan kontraktilitas otot jantung. Pemeriksaan USG Doppler arteri dapat digunakan untuk menilai vaskularisasi kearah perifer (kaki). - Aktifitas dan Istirahat Keluhan yang dirasakan pada pasien DM terkait dengan kebutuhan aktifitas dan istirahat diantaranya adanya gangguan tidur dan istirahat salah satu penyebabnya adalah ketidaknyamanan (nyeri, sesak) dan poliuria. Keluhan lain seperti mudah lelah, kelemahan umum, kesulitan berjalan atau berubah posisi (dampak adanya ulkus atau perubahan struktur kaki). Pada otot pasien DM biasanya mempunyai keluhan penurunan kekuatan otot, maupun kram otot. Pemeriksaan fisik untuk menilai perubahan perilaku pada kebutuhan aktifitas istirahat ini akan didapatkan diantaranya : perubahan denyut nadi dan pernafasan (lebih cepat) saat istirahat atau setelah aktifitas, adanya kelemahan umum dan penurunan kesadaran. Pada otot terjadi penurunan kekuatan dan tonus otot. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 45 Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai perilaku ini diantaranya radiologi (foto) untuk area kaki. - Nutrisi Perubahan perilaku dari kebutuhan nutrisi yang dikeluhkan pasien DM diantaranya peningkatan nafsu makan (poliphagia), namun berat badan cenderung menurun. Pada komplikasi KAD atau gastrospathy didapatkan keluhan yang berlawanan yaitu kehilangan nafsu makan, mual dan muntah. Pemeriksaan fisik didapatkan IMT yang kurang atau lebih dari normal, tercium halitosis atau bau manis pada komplikasi KAD. Pemeriksaan diagnostik terutama untuk laboratorium didapatkan peningkatan gula darah, peningkatan HbA1C, kadar lemak yang meningkat, penurunan protein (albumin), maupun perubahan pada C peptide. Serum amilase akan meningkat jika ditemukan adanya pancreatitis akut yang disebabkan oleh KAD - Cairan, Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa Cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, pada pasien DM biasanya mengalami perubahan. Keluhan sering BAK (poliuria) dan diikuti dengan polidipsi merupakan keluhan yang sering dirasakan oleh pasien DM. Kehilangan cairan melalui urin dalam jumlah yang banyak dan muntah menjadi keluhan yang disakan pada komplikasi DM seperti KAD dan HHNK. Pemeriksaan fisik untuk melihat perubahan pada kebutuhan cairan pada DM dengan komplikasi KAD atau HHNK diantaranya membrane mukaso mulut yang kering, turgor kulit tidak elastis, diaphoresis, kulit kering dan bersisik. Pada DM dengan komplikasi gagal jantung atau nefropati akan ditemukan edema. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 46 Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mengidentifikasi perubahan perilaku pada cairan dan elektrolit ini diantaranya, pemeriksaan gula darah, ditemukan hasil yang meningkat, pemeriksaan natrium : hasilnya bisa normal, atau menurun. Pemeriksaan Kalium akan didapatkan kadar yang norma, meningkat pada fase awal dan akan menurun seiring dengan kondisi dehidrasi lanjut. Pemeriksaan osmolaritas sangat penting dilakukan, akan terjadi peningkatan pada HHNK. Pemeriksaan analisa gas darah penting dilakukan untuk pasien DM yang dicurigai KAD, dan akan didapatkan asidosis metabolic disertai peningkatan benda keton dalam darah. - Eliminasi Adanya keluhan sering BAK (poliuria), perubahan pola berkemih, nocturia merupakan keluhan yang sering dirasakan oleh pasien DM. Nyeri, panas dan kesulitan BAK merupakan tanda adanya neurogenik bledder dan kemungkinan infeksi saluran kemih. Pola BAB dapat dirasakan adanya keluhan konstipasi, maupun diare. Pemeriksaan fisikyang didapatkan pada pasien DM bisa ditemukan adanya penurunan atau peningkatan bising usus, distensi abdomen, tahanan pada bledder. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan melihat fungsi ginjal (urium, kreatinin yang meningkat) menunjukan adanya penurunan fungsi ginjal, pemeriksaan makroskopik urine dapat ditemukan warna urine yang keruh dan berbau sebagai tanda infeksi dan untuk memastikan infeksi pada saluran kemih dapat dilakukan pemeriksaan kultur urine. - Proteksi Pengkajian perilaku berhubungan dengan proteksi meliputi keluhan daya tahan tubuh yang menurun seperti sering demam, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 47 kelemahan, luka yang lama yang makin meluas. Kondisi kulit yang kering,pecah,pecah dan bersisik serta adanya keluhan gatal, menjadi resiko terhadap penurunan proteksi. Parastesia akibat diabetic neuropati juga merupakan keluhan yang sering dirasakan. Peningkatan resiko infeksi pada area genetalia dapat ditemukan pada pasien DM wanita, ditemukan adanya peningkatan sekresi vagina - Sensasi Perubahan sensasi pada pasien DM terjadi akibat komplikasi kronik. Adanya penurunan penglihatan dapat terjadi akibat retinopati. Gangguan sensasi lain yang dapat ditemukan pada pasien DM diantaranya penurunan terhadap sensasi nyeri, perubahan suhu dan perubahan tekstur. Pemeriksaan fisik terhadap penurunan sensasi dilakukan dengan menguji sensasi terhadap nyeri, suhu, serta perbedaan kasar dan halus. Pemeriksaan menggunakan monofilament 10gr merupakan pemeriksaan level A yang direkomendasikan pada pasien DM. - Fungsi Neurologi Perubahan perilaku pada fungsi neurologi dapat dilihat darimulai tingkat kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran dapat terjadi pada komplikasi akut hypoglikemia,maupun coma akibat KAD Gangguan lain neurologi sebagai dan HHNK. komplikasi didapatkan adanya neuropati motorik seperti kronik (kaki charcot), neuropathi sensorik (penurunan sensasi), neuropati otonom (kulit kering, tidak ada rambut pada area kulit, gastropaty dan neuropati bleder). Pemeriksaan reflek tendon dalam didapatkan penurunan reflek tendon dalam. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 48 - Fungsi Endokrin Perubahan fungsi endokrin pada pasien DM adalah adanya penurunan produksi atau sensitifitas insulin yang mengakibatkan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein. Perubahan perilaku yang dapat dilihat dan diukur dapat terjadi pada semua fungsi seperti yang telah dijelaskan pada fungsi-fungsi diatas. b. Mode Konsep Diri Mode konsep diri merupakan bagian dari psikologis dan spiritual. Kebutuhan psikologis yang merupakan respon psikologis terhadap apa yang dirasakan dari perubahan fisik. Gangguan psikologis tersebut dapat berupa, kecemasan, stress, ketakutan, malu terhadap bentuk tubuhnya, beban financial, hingga menyalahkan Tuhan, atau mempunyai persepsi yang salah yang berkaitan dengan kepercayaannya. Perilaku yang dapat diamati diantaranya, selalu menanyakan keadaannya, menolak untuk bertemu dengan orang lain, hingga ditemukan adanya tanda depresi. c. Mode Peran Perubahan peran yang terjadi pada pasien DM dapat berupa peran primer, sekunder maupun tersier. DM sebagai penyakit menahun yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi kronis pada akhirnya akan mengganggu peran dari pasien tersebut pada kehidupan sehari-hari, terutama pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan berbagai komplikasi. d. Mode Interdependensi Pengkajian perilaku terhadap model interdependensi meliputi hasil pengamatan dan ungkapan dari pasien DM tentang orang lain yang bermakna, perilaku saling menghargai, mencintai dan saling memperhatikan dari sistem pendukung yang dimiliki (orang terdekat, keluarga). Pasien DM dengan berbagai Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 49 komplikasi kronik, mengalami perubahan peran cenderung tergantung dengan orang terdekat. Dukungan yang tidak didapatkan dengan baik, misalnya keluarga jenuh atau harus menggantikan perannya, akan menimbulkan gangguan konsep diri untuk pasien DM. 2.3.1.2. Pengkajian Stimulus Pengkajian stimulus merupakan pengkajian tahap dua, untuk mengetahui penyebab perubahan perilaku maladaptive yang di dapatkan pada pengkajian tahap satu. Pada pesien DM stimulus fokal yang merupakan stimulus langsung yang mempengaruhi adanya perubahan perubahan perilaku pada ke 4 mode. Stimulus fokal meliputi : usia, dimana usia diatas 30 tahun merupakan usia beresiko untuk mengalami DM. Stimulus lain diantaranya, adanya riwayat melahirkan dengan berat badan bayi yang dilahirkan lebih dari 4 kg, obesitas dan hiperlipidemia. Pada pasien DM yang mengalami komplikasi, stimulus fokal meliputi gula darah yang tidak terkontrol, peningkatan metabolism yang disebabkan oleh infeksi, stress psikologi, atau proses pembedahan. Pada mode konsep diri, peran dan interdependensi fokal stimulus terjadi karena dirawat di rumah sakit, berbagai komplikasi yang dialami proses kehilangan seperti amputasi. Stimulus kontektual dan stimulus residual yang mempengaruhi diantaranya adanya riwayat DM dalam keluaraga, riwayat perawatan kesehatan sebelumnya, seperti diitnya, monitoring gula darah, olah raga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan merupakan stimulus kontektual penting yang mempengaruhi perubahan perilaku baik adaptif maupun maladaptive. (Roy & Andrew, 1999; Doengoes, 2010). 2.3.2. Diagnosa keperawatan Berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien DM, maka diagnose keperawatan yang dapat ditegakan adalah sebagai berikut (NANDA Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 50 2012-2014; Smeltzer & Bare, 2008; Doengoes, 2010; LeMone, 2011; Lewis, 2011). 2.3.2.1. Diagnosa Keperawatan pada Mode Fisiologi a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi, peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk. b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load. c. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan sirkulasi perifer. d. Perubahan aktifitas fisik berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik. e. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi, peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi). f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas. g. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic, pengeluaran berlebi dari sistim pencernaan dan keterbatasan asupan. h. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic, proses infeksi. i. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi, penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah. j. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan kimia endogen. k. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status kesehatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 51 2.3.2.2. Diagnosa keperawatan pada Mode Konsep Diri Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit, kesalahan informasi. 2.3.2.3. Diagnosa Keperawatan pada Mode Peran Perubahan fungsi peran berhubungan dengan krisissituasi, perawatan yang lama dan keterbatasan fisik. 2.3.2.4. Diagnosa keperawatan pada Mode Interdependensi a. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan dukungan sosial yang tidak adekwat. b. Tidak efektifnya managemen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi. 2.3.3. Intervensi Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi, peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk. Tujuan yang ingin dicapai jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada keluhan sesak, batuk berkurang, suara nafas vesikuler, tidak ada tanda kekurangan oksigen seperti sianosis, AGD dalam batas normal. Intervensi yang ditetapkan meliputi kognator dan regulator: :managemen respirasi : peningkatan kemampuan batuk, fisiotherapi dada, monitor status respirasi, kolaborasi dalam management terapi oksigen. 2. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load. Tujuan yang diinginkan adalah curah jantung adekuat ditandai dengan peningkatan sirkulasi, nadi, tekanan darah dalam batas normal, tidak didapatkan peningkatan vena jugularis, perfusi ke jaringan adekwat (akral hangat, denyur perifer kuat). Intervensi keperawatan yang ditetapkan (regulator &kognator) : Haemodinamik regulator, management energy, terapi oksigen, cardiac care Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 52 3. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan sirkulasi perifer. Tujuan yang ingin dicapai adalah perfusi jaringan kearah perifer (kaki) adekwat ditandai dengan akral hangat, pulsasi ke area kaki kuat dan normal, ABI dalam batas normal, tidak terjadi proses penyembuhan luka yang lambat. Intervensi yang ditetapkan : pemantauan sirkulasi, embolus care : peripheral, peningkatan latihan fisik. 4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik. Tujuan yang ingin dicapai : dapat menunjukan tingkat aktifitas yang adekwat, ditunjukan dengan melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri, menggunakan alat bantu dengan benar, melakukan mobilisasi (berjalan, berpindah posisi dengan benar). Intervensi yang ditetapkan meliputi : bedrest care, management energy, menegemen lingkungan, self medication assisstent, self care assisstent, pain management. 5. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi, peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi). Tujuan yang ingin dicapai : Peningkatan energy yang ditandai dengan kelelahan berkurang, melakukan aktifitas untuk perawatan diri tanpa keluhan lelah. Intervensi yang ditetapkan : management energy, progressive muscle relaksation. 6. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas. Tujuan yang akan ditetapkan : status nutrisi adekwat, ditandai dengan berat badan dipertahankan dalam batas ideal, gula darah terkontrol, kadar lemak, protein dalam darah normal. Intervensi yang ditetapkan managemen perubahan nutrisi, management nutrisi, terapi nutrisi, konseling nutrisi, monitor nutrisi, management berat badan, menegement hiperglikemia/hypoglikemik. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 53 7. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic, pengeluaran berlebih dari sistem pencernaan dan keterbatasan asupan. Tujuan yang ingin ditetapkan : status cairan adekwat, ditandai dengan intake dan output cairan seimbang, TTV dalam batas normal, turgor kulit elastis, membrane mukosa lembab, elektrolit dalam batas normal. Intervensi yang ditetapkan : managemen cairan dan elektrolit, monitoring asam basa, monitoring cairan dan elektrolit, management asidosis metabolic, management hyperglikemia. 8. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic, proses infeksi. Tujuan yang diinginkan pola eliminasi normal ditandai dengan tidak ada keluhan nyeri saat berkemih, frekuensi berkemih berkurang, tidak ada hematuri, hasil pemeriksaan urine tidak menunjukan ada tanda infeksi. Intervensi yang ditetapkan : manajemen cairan, monitoring cairan, management eliminasi urine, bladder training urine, pencegahan infeksi. 9. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi, penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah. Tujuan yang ditetapkan infeksi tidak atau tidak meluas atau tidak terjadi ditandai dengan status imun meningkat, nilai leukosit dalam batas normal, tidak ada keluhan demam, area infeksi (ulkus, ISK, infeksi pernafasan) mengalami proses penyembuhan. Intervensi yang ditetapkan meliputi : management pencegahan infeksi, management control infeksi, management nutrisi, management luka, management medikasi. 10. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan kimia endogen. Tujuan yang diinginkan tidak terjadi injuri seperti tidak terjadi ulkus, atau bahaya jatuh. Intervensi yang ditetapkan ; monitor fungsi neurologi, management neuropati perifer, edukasi perawatan kaki dan penggunaan alas kaki, edukasi berhenti merokok, pencegahan terhadap bahaya jatuh, management lingkungan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 54 11. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status kesehatan. Tujuan yang ditetapkan gula darah stabil yang ditandai dengan gula darah terkontrol dalam batas normal, tidak terjadi komplikasi DM akut : KAD,HHNK atau hypoglikemi. Intervensi yang ditetapkan monitoring gula darah, monitoring cairan, management hyperglikemia, management pengobatan, management nutrisi, edukasi pada nutrisi, pengobatan, management perilaku. 12. Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit, kesalahan informasi. Tujuan yang ditetapkan pasien dapat beradaptasi terhadap kondisi kecemasannya, yang ditunjukan dengan peningkatan terhadap kontrol kecemasannya, mampu mengungkapkan penyebab cemas, mampu merencanakan strategi koping yang akan digunakan. Intervensi yang ditetapkan menurunkan kecemasan, konseling, management energy, management lingkungan, management koping, management distraksi. 13. Tidak efektifnya management terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi. Tujauan yang diinginkan pasien mampu beradaptasi pada management terapi yang ditetapkan, meliputi menunjukan perilaku mengikuti diit, pengobatan yang ditetapkan. Intervensi yang ditetapkan : modifikasi perilaku, tingkatkan koping, konseling penatalaksanaan DM, beri dukungan sosial, edukasi group, management efikasi, follow up melalui telepon. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 55 BAB 3 PENERAPAN MODEL ADAPTASI ROY PADA ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KLIEN DIABETES MELLITUS KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG Pada BAB 3 ini, akan diuraikan hasil asuhan keperawatan dan analisis pada klien dengan diabetes mellitus (DM) dengan abses punggung dan resiko tinggi ulkus diabetik sebagai kasus kelolaan utama dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Uraian selanjutnya setelah pembahasan kasus kelolaan utama, praktikan juga menganalisa 32 kasus kelolaan lain yang praktikan lakukan selama praktikan menjalankan praktek residensi 1 dan 2. 3.1.Deskripsi kasus kelolaan utama Kasus dialami oleh seorang klien berinisial Ny.Sh usia 66 tahun, status perkawinan menikah dengan 2 anak yang telah berumah tangga, pendidikan SLTP, aktifitas sehari hari sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di Depok. Klien masuk rumah sakit (RSUPF) pada tanggal 8 Oktober 2011 melalui UGD dan tiba di ruang teratai lantai 5 Selatan pada tanggal 9 Oktober 2012 pukul 17.15 WIB. Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2011. Alasan keluarga membawa klien ke rumah sakit, karena klien mengalami bisul (abses) di area punggung sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Timbul bisul tersebut pada awalnya klien merasakan gatal di punggung, digaruk dan timbul kemerahan dan bisul kecil yang makin lama makin membesar. Keluarga sudah membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan, mendapatkan obat antibiotic dan anti nyeri namun tidak ada proses penyembuhan, bahkan semakin besar, klien merasakan nyeri, demam dan tidak bisa tidur selama 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Abses mengeluarkan nanah yang terus menerus, berbau sehingga klien merasakan tidak nyaman. Tindakan yang dilakukan di UGD diantaranya, dilakukan penggantian balutan, dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu dengan hasil 466 mg/dL dan pemeriksaan darah lengkap. Obat yang diberikan ke pada klien saat di UGD adalah anlgetik suppositoria (propenid), diberikan insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam dengan dosis dimulai 5 unit dan naik 5 unit setiap kenaikan gula darah 50 mg/dL dimulai dari nilai gula darah 201 mg/dL. Pengkajian terhadap riwayat kesehatan sebelumnya, klien telah menderita DM sejak 10 tahun yang lalu, pernah mengalami Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 56 amputasi pada kaki kanannya 3 tahun yang lalu kerena ulkus. Penatalaksanaan DM yang klien lakukan dengan minum obat metformin 500 mg dan glibenklamid yang terkadang dibelinya sendiri, karena klien tidak control ke dokter teratur. Riwayat kesehatan keluarga didapatkan kakak klien yang pertama juga menderita DM dan saat ini mengalami stroke. Hasil pemeriksaan gula darah suami klien setahun yang lalu juga mengalami peningkatan lebih dari 200 mg/dL, namun tidak ditindaklanjuti untuk pengobatan. 3.2.Penerapan Model Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama Asuhan keperawatan yang dilakukan pada semua klien kelolaan yang praktikan lakukan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy, yang dilakukan secara holistic dan komprehensif dimulai dari tahap pengkajian hingga evaluasi. Hasil akhir dari asuhan keperawatan ini, diharapkan klien mampu beradaptasi dengan berbagai gangguan pemenuhan kebutuhan, baik fisiologi, konsep diri, peran maupun interdependensi. 3.2.1. Pengkajian Perilaku dan stimulus 3.2.1.1. Mode Adaptasi Fisiologi 1. Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem kardiovaskuler, perfusi). Pengkajian pada perilaku oksigenasi diperoleh data : tidak ada keluhan pada sistem pernafasan seperti batuk, sesak kesulitan bernafas serta nyeri dada saat istirahat, beraktifitas maupun bernafas. Namun klien merasakan badannya lemas, sering pusing, terutama berubah posisi dari tiduran ke duduk. Sirkulasi ke perifer didapatkan tidak ada keluhan nyeri pada area kaki, baik saat beraktifitas maupun saat istirahat (nyeri claudikasio). Terkadang klien merasakan dingin pada area telapak atau punggung kaki, terutama pada malam hari. Untuk mengatasi dingin ini, klien selalu menggunakan kaos kaki jika tidur. Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva klien tampak pucat, tidak ditemukan adanya sianosis pada kulit maupun area bibir, tidak menggunakan otot bantu pernafasan, RR : 18 x/mnt irama teratur, suara nafas vesikuler di semua area lapang paru, capilari refile < 3dtk, nadi radialis : 78x/mnt irama Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 57 teratur pulsasi kuat, TD : 140/90 mmHg, HR : 80x/mnt teratur. Suara jantung 1 & 2 terdengar normal dan tidak terdengar suara jantung tambahan dengan denyut apikal 84 x/mnt, teratur. Hasil pemeriksaan EKG di dapatkan sinus rhytem, Gelombang QRS normal diikuti gelombang P, tidak ditemukan adanya T inverted, ST elevasi/depresi dan Q patologis. Perabaan pada kedua ekstemitas bawah hangat, tidak ditemukan edema pada kedua tungkai. Hasil pemeriksaan vaskularisasi kearah ekstremitas bawah dengan menggunakan Ankle Brachial Index (ABI), didapatkan : Table 3.1. Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) Arteri dorsalis pedis Arteri tibialis posterior Kaki kanan Kaki kiri Palpasi Nd : 84x/mnt , pulsasi kuat Nd : 82/mnt pulsasi kuat TD Sistolik (mmHg) Palpasi 130mmHg 130 mmHg Pulsasi kuat Pulsasi kuat 130 mmHg 130 mmHg 130 mmHg 140 mmHg 0.93 0.93 TD Sistolik (mmHg) TD Sistolik Arteri Brachialis (mmHg) Ankle Brachial Index (ABI) Stimulus Fokal : Luka abses diarea punggung mengeluarkan eksudat seropurulen, jumlah banyak (balutan penuh dan harus diganti 2 kali sehari) Hb : 10.3 g/dL. Hematokrit :30,4%. Eritrosit : 4.45 /µL. AGD (tidak diperiksa), Foto thoraks menunjukan hasil CTR > 50 %, pulmonal normal, tidak ada tanda infiltrat. ECHO (10 Oktober 2011) : EF : 72,4 %, LV kontraktilitas normal, fungsi diastolik normal, katup morfologi normal. Stimulus Kontekstual & Residual Usia klien 66 th, riwayat DM 10 tahun, riwayat hipertensi 3 tahun namun tidak terkontrol, mempunyai keturunan DM & hipertensi. Pengetahuan klien dan keluarga terhadap penatalaksanaan DM dan hipertensi masih kurang (diit, aktifitas, terapi, komplikasi, dll). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 58 Penatalaksanaan yang didapatkan saat ini rencana pemberian PRC500 cc Captopil 2x12,5 mg 2. Nutrisi Klien mengatakan sejak 2 minggu terakhir nafsu makannya menurun, merasakan mual, makan hanya ½ porsi dari porsi biasanya, menurut klien, ia tidak nafsu makan karena merasakan nyeri pada area punggungnya & bau amis dari luka. Sebelumnya klien makan tidak pernah banyak (nasi 1 centong). Jika klien makan banyak, ia akan merasakan begah pada perutnya. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya (rasa lapar) klien sering ngemil. Walaupun klien didiagnosa DM sejak 10 tahun yang lalu, namun klien tidak pernah mengatur makanan sesuai diit. Yang klien ketahui tentang diit DM hanya mengurangi nasi saja, bahkan suami klien selalu membuatkan susu kedelai dengan menggunakan gula setiap hari. Sejak amputasi 3 th yang lalu, seharusnya klien dianjurkan untuk menggunakan insulin, karena harga insulin mahal, klien tidak melanjutkan penggunaan insulin, dan menggantinya dengan OHO (Metformin 500 mg & glibenclamid) yang diminum tidak teratur. BB klien : 56 kg TB : 155 cm, IMT 23 , mukosa mulut lembab, tidak ada stomatitis, terdapat karies gigi, kemampuan mengunyah baik, abdomen flet, lunak tidak teraba pembesaran hepar bising usus 12 x/mnt. GDS (8/10/2011): 466 mg/dL, tanggal 10/10/2011: hasil scleding scale menunjukan hasil GD yang tidak fluktuatif terendah 142 dan tertinggi 219 SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, Glukosa urine (+++), HbA1C: 12,7 %, Trigliserida : 80mg/dL, kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL Penatalaksanaan yang diberikan untuk kebutuhan nutrisi adalah diit lunak 1500 kalori yang dibagi dalam 3 porsi besar (makan pagi, siang & sore) 3 porsi kecil/snack (jam 09.00, 15.00 dan 21.00 WIB). Pemberian insulin (Actrapid) ditetapkan dengan dosis 3x8 unit & monitoring GD dilakukan KGDH/hari. Therapy lain yang diberikan OMZ : 1x20 mg dan Donperidon 3 x 1 amp Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 59 Stimulus fokal : Ketidakseimbangan regulasi insulin yang ditandai dengan peningkatan guladarah sewaktu (GDS saat masuk 466mg/dL) dan gula darah yang tidak terkontrol dalam 3 bulan terakhir ditandai dengan HbA1C: 12,7%. Resiko gangguan nutrisi dapat terjadi pada klien akibat asupan nutrisi yang kurang akibat penurunan nafsu makan dan mual. Stimulus kontekstual dan residual Usia 66 th, mempunyai riwayat DM 10 th, 3 th yang lalu pernah dirawat dengan ulkus kaki diabetic dan dilakukan amputasi, namun tidak mengetahui diit yang sesuai, pengobatan DM tidak terkontrol, disebabkan pengetahuan & motivasi terhadap diit & pengobatan belum difahami. Sebelum klien mengalami DM, klien pernah mempunyai BB 80 kg (obesitas). Pengetahuan keluarga tentang penatalaksanaan DM juga masih kurang, terbukti keluarga menyediakan susu kedelai dengan gula setiap hari. Dukungan keluarga terhadap pengobatan juga kurang optimal yang dilihat dari pengobatan insulin tidak dilanjutkan dengan alasan keuangan. 3. Eliminasi Klien mengatakan tidak ada perubahan pada pola BAB maupun BAK. Klien biasa BAB 1 x sehari tanpa pencahar, faeses lunak warna khas. BAK 7-8 kali sehari, BAK malam 2-3x, urine berwarna kuning jernih, tidak ada nyeri ketika mulai maupun saat BAK. Tidak menggunakan kateter urine, tidak teraba blass pada area simpisis, maupun masa dan nyeritekan pada abdomen bawah. Bising usus 12 x/mnt. Hasil pemeriksaan urinalisa di dapatkan protein urine (++), tidak ditemukan adanya leukosit dan eritrosit dalam urine, berat jenis 1.020 di dapatkan adanya keton dalam urine yaitu (++). Hasil pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan nilai urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 0.5 mg/dl, CCT : 56.6 ml/menit Stimulus fokal : Ketonuria yang terjadi disebabkan adanya pemecahan lemak sebagai sumner energy (glukoneogenesis) yang menghasilkan asam lemak atau ketone, selanjutnya keton ini diekskresikan melalui system ginjal dan keluar bersama dengan urine. Dari hasil CCT di dapatkan adanya penurunan fungsi ginjal yang kemungkinan terjadi nefropathy. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 60 Stimulus kontekstual & residual : Riwatay DM selama 10 tahun, tidak terkontrol, hipertensi selama 3 tahun terakhir yang juga tidak terkontrol. Pengetahuan klien terhadap komplikasi kronik DM kurang. 4. Cairan dan Elektrolit Klien minum 2 blt air mineral (@ 600cc) dalam sehari, BAK 4-5 kali pagi hingga sore dan malam 2-3 kali, jumlahnya diperkirakan 2/3 gelas air mineral. Selama dirawat tidak merasakan perubahan dalam kebutuhan minum maupun pengeluaran cairan. Tidak ada muntah, berkeringat berlebihan maupun diare, namun klien merakan demam Mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, tidak didapatkan odema pada ekstremitas maupun odema anasarka, TD: 140/90mmHg, Nadi radialis : 78x/mnt pulsasi kuat, suhu 37,9° C. Urine tampung dalam 24 jam : 1500 cc, minum 1200 cc, Produksi eksudat dari abses + 200-300 cc setiap ganti balutan. Hasil pemeriksaan elektrolit : Na :137, Kalium : 4.79 mEq/L, Clorida : mEq/L, Urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 96 0.5 mg/dl. Penatalaksanaan yang diberikan IVFD: NaCl 1000 cc/24 jam. Stimulus fokal, kontekstual & residual : tidak ditemukan 5. Aktifitas Istirahat Aktifitas klien untuk pemenuhan nutrisi, eliminasi, mampu dilakukan secara mandiri (bantuan minimal karena menggunakan infuse). Mobilisasi terutama saat tidur hanya bisa dengan miring ke kiri, karena pada punggung kanan terdapat abses, sehingga untuk miring kanan & supine klien merasakan nyeri. Sudah 1 minggu tidur malam klien terganggu karena nyeri yang dirasakan. Klien tidur rata-rata 5-6 jam, namun, sering terbangun (tidak lelap) karena nyeri. Setelah dirawat di rumah sakit,nyeri yang dirasakan berkurang, karena mendapatkan obat anti nyeri dan ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan tidurnya. Aktifitas berjalan mampu dilakukan oleh klien namun dengan perlahan, karena pada 1/3 distal telapak kaki (metatarsal) kanan klien telah diamputasi 3 tahun yang lalu. Hasil observasi terlihat saat turun dari tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Kaki kiri tidak ada kelainan bentuk. Kekuatan otot Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 61 pada ekstremitas atas dan bawah 5 (mampu melawan grafitasi dan mampu melawan tahanan) Gambar 3.1. Photografi kaki Ny. S Kaki kanan Kaki kiri Stimulus fokal, kontektual dan residual : tidak ditemukan 6. Proteksi (proses imunitas, integumen, rambut, kuku, perubahan suhu, trauma) Rambut dan kulit klien kotor, lengket & berbau keringat ,karena selama di IGD tidak dibersihkan. Tidak ada keluhan keputihan maupun gatal-gatal pada area vagina & lipatan femur. Tampak abses yang terbalut pada regiodorsal thorakal X- XII sejajar midklavikula dengan balutan yang basah (terdapat rembesan pus), berbau khas pus. Suhu aksila 37.9ºC, leukosit 18.400/mm3. Hasil culture luka didapatkan leukosit banyak/LPB, ditemukan bakteri gram positif Coccus. Gambar 3.2. Photografi Abses punggung Ny. S Luka derajat III, dimana luka mengenai jaringan otot, mengeluarkan exudat purulen kira-kira 300cc, bau exudat khas,tercium pada jarak 1 lengan. Dasar luka berwarna putih, terdapat slough, luas luka 4x5x3cm dengan goa arah jam 12 hingga jam 09, panjang 3 cm, luas eritema luka : 12x 8 cm. Kaki kanan terdapat kalus pada area plantar, terdapat ulkus pada area tengan kalus, dengan kedalaman 7 mm berwarna merah dan basah. Saat turun dari tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Saat berjalan di dalam Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 62 rumah klien tidak menggunakan alas kaki & jika berjalan diluar rumah, klien menggunakan alas kaki (sandal) yang dimodifikasi menggunakan tali karet sebagai pengikat. Dari hasil pengkajian kaki didapatkan adanya penurunan sensasi pada kedua kaki, kulit kaki kering dan berkilap. Gambar 3.3. Photografi Pengkajian kaki Ny. S Table 3.2. Pengkajian kaki Kaki Kanan Ya Kallus Corns Bunions Hammer toes Amputasi: ï‚· Minor ( jari/ pedis ) ï‚· Mayor ( below knee/ above knee ) Kaki charchot Kuku ï‚· Penebalan ï‚· Infeksi jamur ï‚· Tumbuh ke dalam Kulit ï‚· Perabaan kaki dingin ï‚· Kulit berkilap ï‚· Kulit kering ï‚· Atrofi lemak sub kutan ï‚· Rubor ï‚· Pucat pada elevasi ï‚· Rambut kaki Tidak Kaki Kiri Ya  Tidak              -                  Stimulus fokal : Gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan system imun, penurunan vaskuler ,sehingga jika terjadi luka akan lebih mudah terjadi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 63 penyebaran infeksi. Hb dan albumin yang rendah akan mempengaruhi proses penyembuhan luka. Adanya riwayat amputasi kaki karena ulkus & adanya kalus dengan menurut Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 Ny. S masuk dalam katagori 3 ( resiko sangat tinggi), yang harus memeriksakan kakinya setiap 1- 3 bulan, namun belum pernah dilakukan. Stimulus kontekstual & residual Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, perawatan luka, perawatan kaki : mencegah terjadinya kalus, mengurangi kalus, penggunaan alas kaki belum diketahui seluruhnya oleh klien. Nyeri yang dirasakan saat mengganti balutan, membuat klien takut untuk ketika akan diganti balutannya. 7. Sensori (Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau, nyeri) Tidak ada gangguan pendengaran. Mengatakan pandangan terasa lebih buram terutama pada mata kiri, tidak dapat membaca tulisan dengan font 12 pada jarak 10 cm, hanya tampak bayang-bayang saja. Pada mata kanan masih mampu membaca dengan jarak 30 cm dengan besar huruf 16. Merasakan nyeri pada area luka dengan intensitas sedang dan semakin nyeri saat balutan dibanti. Baal atau kebas pada area telapak kaki kiri. Dilakukan pemeriksaan sensitifitas dengan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan salah dalam mempersepsikan sensasi tajam dan tumpul pada area telapak kaki kanan dan kiri. Stimulus fokal : Penurunan sensasi terutama pada area perifer disebabkan karena adanya komplikasi neuropathi sensori perifer. Penurunan tajam penglihatan merupakan komplikasi DM pada mata yang disebut retinopathy. Komplikasi yang terjadi pada DM akibat lamanya menderita DM (10 th) dan gula darah yang tidak terkontrol (> 6.5%) Stimulus kontekstual & residual : Pengetahuan yang kurang mengenai DM & komplikasinya. Penatalaksanaan DM yang belum adekuat. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 64 8. Fungsi Neurologi (Syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi) Klien dapat berorientasi terhadap orang,waktu dan tempat dengan baik, tidak ada gangguan pada XII saraf kranial, fungsi motorik menurun karena keterbatasan energi, sensorik , memori dan bahasa tidak ada gangguan. Reflek patela (+/+), reflek ackhiles (+/+), Monofilament 10 gr (-/-) Stimulus fokal : neuropathy perifer Stimulus kontekstual & residual Riwayat DM yang tidak terkontrol, pengetahuan terhadap perawatan kaki yang kurang 9. Fungsi Endokrin Hiperglikemia , tidak didapatkan pembesaran kelenjar thyroid, sudah menopause (menurut klien sudah lebih dari 10 th) Stimulus fokal : resistensi insulin/ketidakcukupan insulin ditandai dengan GDS : 466 mg%, HbA1C : 12,7% Stimulus kontekstual & residual Pengetahuan tentang penatalaksanaan DM yang belum semuanya diketahui, adanya perasaan bosan untuk berobat & sumber dana yang semakin berkurang, riwayat keluarga ada yang mengalami DM 3.2.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri : Physical self (memandang diri sendiri, berhubungan dengan kehilangan) & Personal self (konsistensi; ideal diri, moral, etik, spiritual, seksual, cemas, takut) Menurut klien setelah telapak kakinya diamputasi, klien lebih banyak dirumah, hal ini disebabkan karena pergerakan klien menjadi terbatas dan klien malas ditanya– tanya oleh tetangganya tentang kakinya. Spiritual klien : menyatakan untuk ibadah wajib & sunah selalu dilaksanakan, namun pengajian sudah tidak diikuti lagi. Saat ini klien ingin menjalankan ibadah wajib, namun klien ragu karena lukanya selalu mengeluarkan kotoran. Klien yakin bahwa sakit yang dialami merupakan teguran dari Tuhan, agar lebih taat menjalankan perintahNya. Klien juga meyakini bahwa kekuasaan Tuhan akan membantu kesembuhannya, oleh sebab itu, walaupun ia ragu menjalankan sholat, namun ia tetap berdzikir. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 65 Aktifitas seksual (suami istri) hampir tidak pernah dilakukan, karena merasa sudah tua. Menurut klien dan suaminya, kebutuhan tersebut sudah tidak penting lagi. Mereka mengekspresikan kebutuhan seksual dengan saling menyayangi, saling merawat, karena mereka hanya tinggal berdua saja. Saat ini yang diinginkan kesembuhan terhadap kondisi absesnya, ada ketakutan akan bertambah luas karena klien mempunyai DM dan pengalaman luka dikaki 3 tahun yang lalu merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien. Pengalaman terhadap nyeri yang dirasakan saat mengganti balutan juga mempengaruhi kecemasan klien saat akan diganti balutan. Namun karena produksi cairan eksudat yang banyak serta ingin sembuh, mampu menghilangkan rasa cemas akan nyeri yang dirasakan. Produksi eksudat yang berbau membuat klien menginginkan pindah tempat ke posisi diujung kamar dengan alasan agar klien lain dikamar tersebut tidak kebauan. Harapan klien saat ini proses penyembuhan luka di punggungnya mengalami kemajuan. Ia yakin dengan pelayanan kesehatan di RSUPF dan tenaga kesehatan yang merawatnya Stimulus Fokal : adanya abses di punggung, yang tidak sembuh–sembuh, mengeluarkan eksudat dan berbau. Perubahan bentuk kaki paska amputasi menyebabkan keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain. Stimulus kontekstual dan residual : Pengalaman ulkus kaki sebelumnya, pengalaman nyeri pada saat di lakukan ganti balutan sebelumnya. Aktifitas klien sebelum dilakukan amputasi (aktif dikegiatan kemasyarakatan, mempunyai aktifitas berdagang dan mempunyai pendapatan sendiri). Keyakinan diri klien terhadap proses penyembuhan luka dan dengan tempat serta petugas kesehatan yang menangani. 3.2.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran Klien adalah seorang istri & ibu dari 2 anak dimana kedua anaknya sudah menikah dan tidak tinggal dengan klien. Ia hanya tinggal berdua suaminya yang sudah pensiun. Kegiatan sehari-hari melakukan aktivitas rumah tangga (memasak, membersihkan rumah, dll) dibantu oleh suaminya. Saat ini klien selalu ditunggu oleh suaminya, dan untuk peran sehari–hari digantikan oleh suami dan anak klien. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 66 Stimulus kontekstual dan residual : merasakan nyeri akibat abses dan harus dirawat dirumah sakit. 3.2.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi (fokus: interaksi saling memberi/menerima, cinta kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian) Saat ini kebutuhan dan aktifitas klien dibantu oleh suami & anaknya . Secara bergantian keluarga (anak) dan suami klien menjaga klien di rumah sakit. Klien juga terlihat mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya yang ia bisa lakukan, seperti makan dilakukan sendiri, menurutnya ia juga tidak mau sepenuhnya tergantung dengan orang lain. Dalam menentukan pengobatan seperti keputusan untuk menggunakan jenis balutan, apa saja kebutuhan yang harus ada saat dirumah sakit hingga keuangan, klien berperan dalam membuat keputusan. Stimulus kontektual dan residual : abses di punggung, nyeri yang dirasakan, dirawat dirumah sakit. 3.2.2. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan pengkajian mode adaptif pada kasus diatas, dapat dianalisis terjadi inefektif pada mode fisiologi meliputi mode nutrisi, proteksi, sensasi, neurologi, endokrin dan pada mode konsep diri. Perubahan adaptasi atau inefektif pada mode adaptif tersebut dapat ditegakkan diagnose keperawatan sebagai berikut : Mode Fisiologis 1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi 2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi 3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan 4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan yang tidak adekwat, ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak dan kesulitan ekonomi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 67 Mode konsep diri dan mode Interdependensi 1. Kesiapan meningkatnya koping individu 2. Kesiapan meningkatnya religiositas. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 68 Tabel 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan 3.2.3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN Nama Klien Umur Klien No 1 : Ny.S : 66 tahun Perilaku Stimulus Fungsi Fisiologis : Proteksi Data subyektif: ï‚· Abses pada area thorakal X-XII sejajar midklavikula derajat 3, dengan leukositosis ï‚· Nyeri pada luka skala sedang ï‚· Demam Stimulus Fokal : Terjadi abses yang semakin meluas, mengeluarkan pus, GD meningkat & leukositosis Data obyektif: Stimulus kontekstual & residual : Riwayat DM 10 tahun, gula darah tidak terkontrol HBA1C :12,7 % Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, komplikasi, perawatan luka,perawatan kaki No. Rekam Medis Diagnosa Medik Diagnosa Keperawatan Resiko perluasan Infeksi berhubungan dengan hiperglikemia, rendahnya resistensi terhadap stres, penyembuhan luka yang memburuk Tujuan Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10 x 24 jam diharapkan klien akan beradaptasi dengan perilaku terhadap proteksi Kriteria Hasil ï‚· Tidak terdapat jaringan nekrotik ï‚· Luka tidak ada pus dan tidak bau ï‚· Leukosit dalam batas normal (4.000 – 11.000/mm3) ï‚· Suhu tubuh dalam batas Rencana Intervensi : 1094672 : DM Tp2 & Abses Evaluasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan dan dievaluasi 1. Hyperglicemia setiap 3x24 jam dan modifikasi management (metabolic dilakukan intervensi keperawatan (27 control) Oktober 2011), maka diperoleh : 2. Management Luka (wound and infection Perilaku adaptif : control) Klien mengatakan luka 3. Vascular control dipunggung sudah tidak 4. Education nyeri lagi, dasar luka merah muda & terjadi granulasi, Aktivitas keperawatan produksi cairan luka Regulator : minimal (cairan serous ï‚· Monitor gula darah bening), leukosit 5.600/ul, ï‚· Monitor TTV, terutama suhu klien & keluarga aktif dalam ï‚· Monitor GD/ hari sesuai kegiatan program edukasi program DM. ï‚· Monitoring tanda perluasan infeksi pada area luka: pus Perilaku inefektif yang bertambah, adanya luka Klien & keluarga belum NIC: Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 69 Luka mengeluarkan pus,berbau khas gangren,nekroti k pada digiti IV, kedalaman luka belum dapat dinilai bergaung menembus dari digiti III normal (36 – 37oC) ï‚· Penyembuhan luka: regenerasi sel dan jaringan diikuti penyembuhan luka ï‚· Klien menunjukan perilaku untukmenurun kan resiko perluasan infeksi ï‚· Pengetahuan terhadap penatalaksanaa n DM, pencegahan penyebaran luka meningkat yang meluas ï‚· Lakukan perawatan luka dengan prinsip streril, lembab setiap hari atau jika balutan jenuh ï‚· Pantau hasil laboratorium terhadap peningkatan leukosit, hasil kultur Kolaborasi : ï‚· Berikan insulin sesuai program 3x8 ui ï‚· Pemeriksaan kultur dari jaringan luka ï‚· Pemberian antibiotic : ï‚· Ceftriaxon 2 x 2 gr ï‚· Metronidazol : 3 x 500 mg ï‚· Kolaborasi untuk persiapan debridement: fisik, mental & administratif ï‚· Kaji respon klien terhadap terapi: penurunan produksi pus, penurunan leukosit Kognator ï‚· Motivasi klien untuk menjaga stabilitas gula darah: nutrisi, penurunan kecemasan ï‚· Informasikan kepada klien & klg untuk menjaga kebersihan area sekitar luka ï‚· Informasikan kepada klien berani melakukan perawatan luka secara mandiri Luka bergranulasi,namun belum pada tahap epitelisasi Analisa : Masalah penyebaran infeksi tidak terjadi, perilaku adaptif belum tercapai seluruhnya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 70 untuk mengurangi tekanan pada area luka 2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi glukosa pada Stimulus tingkat sel Kontekstual & skunder Residual : ketidakcukupan Riwayat DM sejak insulin 10 th yang lalu tidak terkontrol, pengetahuan tentang nutrisi untuk DM : Data Obyektif: hanya mengurangi ï‚· Pemeriksaan GDS tanggal nasi saja (jumlah, & 1/10’11: 531 jenis jadwal)belum mg/dl diketahui dengan ï‚· Pemeriksaan baik GD/6 jam : fluktuatif & jam 16.00: 325 mg% ï‚· Klien hanya menghabiskan porsi diet yang diberikan dari rumah sakit Fungsi Fisiologis : Nutrisi Data Subyektif: ï‚· Nafsu makan menurun mual ï‚· Makan ratarata habis 2/3 porsi selama 3 hari terakhir karena merasakan nyeri pada abses Stimulus Fokal GDS 466 mg% dan HbA1C :12.7 %, KGDH : 204 mg%, 305mg% & 219 mg% BB: 56 kg TB 155 cm. Tujuan Umum Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 hari, yang ditunjukan dengan : NIC  Kontrol metabolic (hiperglikemia)  Edukasi Aktifitas keperawatan Regulator ï‚· Timbang berat badan klien sesuai indikasi ï‚· Tentukan program diet kolaborasi dengan ahli gizi :1500kal dibagi dalam 3 porsi besar & 3 porsi kecil ï‚· Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen, perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna ï‚· Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan etnik/cultural dan lingkungan yang menyenangkan saat makan ï‚· Observasi tanda-tanda hipoglikemia Kriteria hasil ï‚· Asupan makanan, cairan dan zat gizi terpenuhi ï‚· Klien dapat menjelaskan komponen keadequatan diet ï‚· Menyatakan keinginan untuk mengikuti diet ï‚· Bertoleransi terhadap diet yang dianjurkan ï‚· Membertahanka Kognator n massa tubuh ï‚· Ajarkan metoda dan berat badan perencanaan makan pada normal klien dan keluarga ï‚· Nilai ï‚· Jelaskan sumber makanan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 21 hari (hingga tanggal 27 Oktober) & dievaluasi setiap 3 x 24 jam serta dilakukan modifikasi, maka di dapatkan hasil : Perilaku adaptif : Klien mengatakan makan habis sesuai porsi yang disediakan, makan sesuai jadwal yaitu 15 menit setelah diberikan insulin, Regulasi gula darah tercapai dengan control insulin 3 x 8 unit, keluarga (suami) mampu menggunakan insulin sendiri & glukotes sendiri. KLien mampu menyebutkan diit yang dianjurkan dari jenis, jumlah & jadwalnya Perilaku inefektif : Klien masih tergantung dengan keluarga dalam pengaturan diit & motivasi masih rendah. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 71 ï‚· BB : 56, TB: 155 cm. LILA: 22 cm 3 Fungsi Fisiologis : Aktifitas ï‚· Mempunyai riwayat amputasi 3 tahun yang lalu pada 1/3 distal metatarsal ï‚· Berjalan menjadi lebih pelan, kaki kanan sering menjadi laboratorium bergizi yang terjangkau albumin, bagi klien dan sesuai diit glukosa darah ï‚· Informasikan tentang dalam batas kebutuhan nutrisi dan normal bagaimana memenuhinya ï‚· Melaporkan ï‚· Libatkan keluarga klien keadequatan dalam perencanaan makan energy. Kolaborasi ï‚· Lakukan pemeriksaan gula darah sesuai program : KGDH ï‚· Berikan pengobatan insulin sesuai program : 3 x 8 ui ï‚· Berikan Donperidon 3 x 1 amp & OMZ 1 x 20 mg Resiko Injuri : Tujuan umum : NIC trauma jatuh, Injuri tidak terjadi,  Environmental perubahan ditunjukan dengan managemen : Safety anatomis kaki ï‚· Klien mampu  Mechanical control (chatcot), kalus mengurangi & ulkus b.d. tekanan pada Aktifitas Keperawatan penurunan Regulator kaki kanan sensasi, ï‚· Ciptakan lingkungan yang ï‚· Keluarga perubahan kimia aman bagi klien mampu endogen menyebutkan ï‚· Identifikasi kebutuhan ketidakseimbang criteria keamanan klien an glukosa Stimulus lingkungan berdasarkan tingkat fisik kontekstual & insulin yang aman & dan fungsi kognitif dan residual: memberikan perilaku Riwayat DM 10 lingkungan ï‚· Tempatkan alat-alat yang tahun tidak yang aman sering digunakan dalam Stimulus Fokal Penggunaan kaki kanan sebagai penumpu menyebabkan timbulnya kalus& perawatan yang tidak sesuai menimbulkan ulkus pada area kalus Setelah dilakukan asuhan selama 3 minggu,dapat dievalauasi perilaku klien : Adaptif : ï‚· Klien dan keluarga mampu menyebutkan dan menyediakan kondisi lingkungan yang aman untuk klien : meletakan barang dekat klien, memasang pengaman, mambantu mobilisasi ï‚· Klien & keluarga mampu menjelaskan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 72 penumpu saat turun dari tempat tidur Fungsi fisiologis proteksi & saraf: ï‚· Terdapat kalus dengan ulkus pada bagian tengahnya ï‚· Sensasi pada kaki kanan menurun & ABI 1 & 0,9 Fungsi fisiologi sense (indra): ï‚· Penurunan tajam penglihatan pada mata kiri terkontrol, pengetahuan tentang perawatan kaki, penggunaan alas kaki, perawatan kalus yang belum optimal selama di RS untuk klien jangkauan klien tehnik perawatan kaki : mencuci & menggosok ï‚· Jaga kebersihan, kalus, tehnik memeriksa kenyamanan tempat tidur kaki dan lingkungan ï‚· Klien mampu ï‚· Buang bahan-bahan yang menggunakan kakikiri telah digunakan setelah sebagai tumpuan saat mengganti balutan dan mulai berdiri eliminasi ï‚· Hindari paparan terhadap panas dan dingin berlebihan Perilaku inefektif : ï‚· Ulkus pada tengah ï‚· Libatkan keluarga untuk kalus belum kering, menunggui klien namun sudah ï‚· Lakukan perawatan kalus didapatkan granulasi & (pengikisan & perawatan ukuran yang mengecil ulkus) ï‚· belum di dapatkan alas ï‚· Latih klien untuk kaki yang sesuai menggunakan kaki kiri sehingga masih sebagai tumpuan menggunakan kaus kaki/sandal yang Kognator dimodifikasi ï‚· Jelaskan tentang perubahan Analisa: atau perlindungan ï‚· Masalah resiko injuri lingkungan pada klien dan masih di dapatkan. keluarga Intervensi untuk ï‚· Diskusikan dengan klien & menuju perilaku adaptif keluarga untuk perawatan tetap dilaksanakan kaki & penggunaan alas hingga klien dirumah kaki dengan melibatkan ï‚· Demonstrasikan keluarga tehnikperawatan kaki & pencegahan kalus Kolaborasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 73 ï‚· Kolaborasikan dengan dokter spesialis mata untuk pemeriksaan & penatalaksanaa mata ï‚· Kolaborasi dengan rehabilitasi untuk mendiskusikan alas kaki yang sesuai mode konsep diri : ï‚· klien tidak lagi menjalankan ibadah sholat karena tubuhnya selalu kotor oleh eksudat luka ï‚· Klien menginginka n untuk tetap menjalankan ibadah Stimulus fokal : Kesiapan pengetahuan klien meningkatnya tentang ibadah untuk religiositas orang sakit kurang Kesiapan dalam Mode konsep Stimulus peningkatan diri : Kontekstual : koping individu ï‚· Mengungkap ï‚· Pengalaman kan mengalami ulkus kekhawatiran sebelumnya Setelah dilakukan  Spiritual support,dengan tindakan aktifitas : keperawatan ï‚· Diskusikan tata cara bersuci selama 2x24 jam & sholat saat sakit diharapkan klien ï‚· Ajarkan cara tayamum & akan menunjukan sholat dengan kondisinya peningkatan ï‚· Libatkan keluarga dalam kesejahteraan penyediaan fasilitas ibadah : spiritual mukena, tasbih Criteria hasil ; ï‚· Pertahankan privacy saat ï‚· Bersuci melalui sholat/berdo’a tayamum ï‚· Sholat dengan cara duduk ï‚· Melakukan aktivitas doa Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 hri didapatkan : Perilaku efektif : ï‚· Keluarga membawakan perlengkapan ibadah ï‚· Klien terlihat menjalankan ibadah sesuai dengaan waktunya ï‚· Klien terlihat berzikir menggunakan tasbih di waktu istirahatnya. ï‚· Klien mengungkapkan lebih tenang jika dibantu dengan berdo’a Setelah dilakukan NIC tindakan  Peningkatan koping keperawatan individu selama 7 x 24 jam  Peningkatan support diharapkan klien system Setelah dilakuakan asuhan kepetawatan selama 7 hari dan dilakukan evaluasi di dapatkan perilaku yang adaptif , dimana klien Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 74 nya terhadap ï‚· Support dari luka yang keluarga baik saat ini dideritanya ï‚· Mengungkap kan keyakinanny a terhadap pelayanan dan petugas kesehatan mampu mengatasi sakitnya Mode Interdependen ï‚· Terlibat pengambilan keputusan dalam perawatan dirinya : mementukan tambahan protein, pemilihan menggunakan jenis balutan. ï‚· Mengungkapk an jika rasa takut akan nyeri dikesampingk memperlihatkan peningkatan kesejahteraan dalam koping  Peningkatan body image Aktivitas yang dilakukan : Kognator ï‚· Gali harapan yang diinginkan ï‚· Diskusikan hal – hal positif yang klien miliki ï‚· Lakukan reinsforment (+) terhadap hal – hal positif yang dimiliki oleh klien ï‚· Diskusikan dengan klien untuk menggunakan hal positif yang dimiliki klien untuk meningkatkan ï‚· Fasilitasi komunikasi akan perhatian/perasaanantara pasien dan keluarga atau anggota keluarga ï‚· Libatkan keluarga dalam setiap perawatan klien menunjukan perilaku : ï‚· Keaktifan klien dalam program perawatan ï‚· Ungkapan klien tentang harapan kesembuhan ï‚· Interaksi yang meningkat dengan pasien disekitarnya ï‚· Ungkapan keingitahuan klien tentang perawatan selanjutnya dan mengikuti program perawatan yang melibatkan keaktifan klien : latihan menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, bersholawat saat diganti balutan,melakukan exercise di tempat tidur. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 75 an jika akan diganti balutannya,krn ingin luka cepat sembuh Mode Fisiologi ï‚· Terjadi peningkatan GD ï‚· Abses yang makin luas ï‚· Kalus & ulkus pada kaki kanan Mode Interdependensi ï‚· Perawatan dirumah dilakukan oleh suami ï‚· Menghentika n program pengobatan karena sumber dana ï‚· Keluarga memberikan susu kedelai dengan gula setiappagi ï‚· Menghentika n pengobatan Stimulus Fokal : Belum pernah mengikuti program edukasi Informasi saat dirawat terbatas pada diit : pengurangan sumber karbohidrat Menegement diri inefektif berhubungan dengan pengetahuan yang kurang Setelah dialakukan NIC ; tindakan  Program edukasi keperawatan Aktifitas yang dilakukan : selama 7 hari ï‚· Gali pengetahuan klien dan diharapkan keluarga tentang kemempuan klien DM,komplikasi dan dalam management perawatannya diri meningkat ï‚· Lakukan edukasi dengan ditandai dengan - Kelompok sebaya (group) ï‚· Secara kognotif ï‚· Lakukan konseling klien mengetahui sesuai kebutuhan klien batasan gula ï‚· Fasilitasi klien dalam darah normal, membuat keputusan dalam tanda perawatan dirinya peningkatan gula ï‚· Demonstrasikan perilaku darah, komplikasi perawatan yang dapat dan dilakukan oleh klien : cara perawatannya perawatan kaki, pemberian ï‚· Secara insulin, menyiapkan psikomotor klien makanan, latihan yang bs menunjukan dilakukan (peregangan). perilaku terhadap diit yang benar, latihan fisik, melakukan penyuntikan insulin sendiri, Setelah dilakukan perawatan pada hingga hari ke 7 di dapatkan perilaku adaptif : Klien dan keluarga mampu menyebutkan batasan gula darah normal, tanda hiper & hipoglikemia,komplika si yang ada pada dirinya dan komplikasi lain yang dapat terjadi, penatalaksanaan DM. Klien melakukan exercise di tempat tidur (senam kaki, peregangan otot) sesuai kemampuan Anak klien mampu melakukan perawatan kaki Klien mampu menyuntik insulin sendiri Keluarga klien membeli glukometer dan mampu menggunakannya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 76 sendiri ï‚· Menggunaka n OHO tanpa monitoring dari tenaga kesehatan aktif dalam program edukasi - Klien dan keluaarga mampu menyebutkan sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau. Perilaku inefektif : Psikomotor dalam penyediaan diit,karena masih disediakan oleh RS Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 77 3.3. Pembahasan Bagian ini merupakan pembahasan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan pada Ny. S dengan DM komplikasi abses dan resiko tinggi ulkus diabetik dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Pembahasan yang akan praktikan uraikan bertolak dari masalah keperawatan yang ditemukan mengacu pada 4 mode adaptasi menurut Roy. Keempat mode tersebut meliputi mode fisiologi, mode konsep diri, mode peran dan mode ketergantungan. Dari masalah keperawatan yang terjadi, akan dianalisis berbagai faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya masalah tersebut, dilanjutkan dengan membahas berbagai intervensi yang telah dilakukan untuk mengatasinya dan evaluasi hasil dari intervensi yang telah dilakukan. Pembahasan juga akan diperkuat oleh teori/konsep yang mendasarinya fenomena yang terjadi dan hasil studi para peneliti sebelumnya sebagai justifikasi ilmiah. 3.3.1. Mode Fisiologi 3.3.1.1. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi Masalah keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan sebagai asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolise (NANDA, 2012-2014). Factor resiko yang berhubungan dengan gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada klien diabetes dikaitkan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrient. Perilaku klien di dapatkan berhubungan dengan masalah nutrisi ini adalah klien mengalami mual, penurunan nafsu makan, makan habis hanya ½ porsi. Dari penghitungan IMT didapatkan nilai 23, masuk dalam katagori normal. Pemeriksaan laboratorium sebagai pendukung perilaku pada mode nutrisi di dapatkan data SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, HbA1C: 12,7 %, Trigliserida : 80mg/dL, Kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL dengan protein urine kuantitatif Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 78 670 mg/24jam. Dari hasil laboratorium diatas dapat disimpulkan fungsi hati dalam kondisi normal. Hati merupakan organ penting yang berperan dalam metabolisme komponen nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Komponen nutrisi yang mengalami penurunan adalah albumin. Hipoalbumin yang terjadi pada Ny. S disebabkan karena inflamasi kronik dari abses yang terjadi. Kadar albumin rendah selain karena asupan nutrisi yang kurang juga karena inflamasi kronik dan kebocoran pada ginjal. Ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan disertai dengan penurunan fungsi ginjal menyebabkan penurunan albumin dalam darah. Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat respon inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin melalui mekanisme : 1) peningkatan permeabilitas vascular (menyebabkan albumin berdifusi ke ruang ekstravaskular); 2) peningkatan degradasi albumin; 3) penurunan sintesis albumin (TNF-α yang berperan dalam penurunan trankripsi gen albumin), (Dunning, 2009). Data lain yang menunjang masalah resiko keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah kadar gula darah yang tinggi saat masuk yaitu 466 mg/dL dan menurun dengan pemberian terapi insulin. Hasil HbA1C menunjukan nilai 12,7 % yang dapat disimpulkan tidak terkontrolnya gula darah dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan gula darah diduga adanya resistensi insulin. Resistensi insulin relative akan mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Lewis & Heitkemper, 2011). Insulin berfungsi dalam transportasi glukosa hingga masuk ke dalam sel. Sekresi insulin dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah. Saat terjadi defisiensi insulin, glukosa darah hasil metabolisme karbohidrat setelah seseorang makan tidak dapat masuk ke dalam sel, mengakibatkan suatu kondisi yang disebut hiperglikemia Selain itu penurunan metabolism Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 79 di sel berakibat terjadinya penurunan energy dan penderita DM akan mengalami keseimbangan kalori negative, perilaku klien yang ditunjukan misalnya adanya keluhan mudah lelah, atau lemas dan letih. Gangguan nutrisi pada sel, mengaktifkan system homeostatis tubuh untuk memproduksi energy terus berlangsung dengan pembentukan glukosa endogen glukoneogenesis & glikogenolisis dijaringan hepar. Kondisi ini semakin meningkatkan glukosa darah. Stress fisik seperti adanya ulkus, akan meningkatkan hormone kontraregulator (glucagon, katekolamin dan kortisol) yang akan mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan lemak. Akibat lipolisis meningkat akan terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Intervensi keperawatan yang dapat disusun pada masalah nutrisi ini adalah pemberian diit yang sesuai, kontrol gula darah, dan pemberian terapi insulin sebagai upaya membantu glukosa masuk ke dalam sel dan pada akhirnya diharapkan nutrisi sel terpenuhi. Menurut Yunir & Soebardi, 2010, salah satu terapi medis non farmakologi yang direkomendasikan untuk mengatasi maslah nutrisi pada klien DM adalah terapi gizi. Terapi gizi merupakan kegiatan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi penderita DM yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Adapun manfaat yang diharapkan dari pengaturan diit ini adalah : 1) menurunkan berat badan, 2) menurunkan tekanan darah. 3). mengontrol gula darah pada batas normal. 4). memperbaiki profil lipid . 5). memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki sistim koagulasi darah. Adapun pengaturan diit yang dilakukan pada Ny. S adalah sebagai berikut: Rumus penghitungan kebutuhan nutrisi dengan rumus Brocca : Penentuan besarnya kalori yang diberikan digunakan perhitungan rumus Brocca, yaitu: BBI x kebutuhankalori + aktifitas + kondisi stres BBI = (TB dalam Cm - 100) -10% Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 80 = (155 cm - 100) ± 5,5= 49,5 - 60,5 kg BBI Kalori basal wanita 25 Kkal/Kg = 49,5 x 25 = 1237,5 kkal Aktifitas ringan + 10% = 123,5 kal Keadaan stres fisik + 20% = 369,75 kal Usia > 50 th - 5% = 61,88 BB Gemuk - 20% = 247,5 Total kebutuhan nutrisi : kkal = 1423,125 pembulatan 1500 kal Makanan dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan malam (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makanan besar. Untuk pengaturan makan ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan tim gizi RS. Medical Nutrition Therapy (MNT) penting dalam manajemen pencegahan diabetes, mencegah perkembangan komplikasi akibat diabetes, dan mencegah kejadian morbiditas dan mortalitas akibat diabetes (ADA, 2012). MNT juga termasuk ke dalam edukasi manajemen diri pada klien diabetes. MNT dilaporkan dapat menurunkan nilai HbA1C ( A1C) 0,25 – 2,9% pada klien DM tipe II (ADA, 2012) tergantung kepada lamanya klien menderita DM. Hasil metaanalisis pada studi orang tanpa diabetes menunjukkan MNT dapat menurunkan kolesterol LDL antara 15-25 mg/dl yang dicapai setelah 3-6 bulan inisiasi. Terjadinya penurunan albumin dalam darah akan menghambat proses penyembuah luka. Peningkatan pemberian protein pada kondisi Ny. S perlu dipertimbangkan dengan fungsi ginjal yang menurun dan adanya pengeluaran protein melalui urine. Protein yang diberikan pada Ny. S adalah 1,5 – 2 gr/Kg BB/hari dengan pertimbangan untuk meningkatkan proses penyembuhan luka. Sumber protein yang diberikan 50 % berasal dari sumber hewani dan 50 % berasal dari sumber nabati. Kandungan protein pada putih telur mencapai 98%, sehingga pemberian ekstra putih telur hingga 6 butir perhari merupakan upaya untuk memenuhi protein Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 81 dalam tubuhnya. Selain dari sumber hewani sumber protein nabati seperti dari olahan kedelai (susu kedelai) mempunyai banyak keuntungan jika dikonsumsi oleh psien DM seperti Ny.S, dimana sudah terjadi penurunan pada fungsi tubuh. Kandungan protein yang ada pada kedelai (phytoestrogen) dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi dan proinflamato cytokines diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal (Kresnawan & Markun). Penelitian lain tentang susu kedelai dilakukan oleh Anitha pada tahun 2006 di RS Saiful Anwar, pada 5 orang kelompok perlakuan yang diberikan susu kedelai didapatkan penurunan gula darah puasa dan 2 jam post prandial (p= 0,01). Dengan demikian pemberian susu kedelai tanpa gula bisa menggantikan pemberian susu dari sumber hewani. Intervensi lain yang dilakukan pada Ny. S yang penting adalah mengatasi hyperglikemia. Pada kasus Ny. S penatalaksanaan terhadap hiperglikemia saat di UGD adalah dengan pemberian insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam (setiap kenaikan 50 mg%, diberikan 5 ui Humulin RR (insulin kerja pendek) dimulai dengan nilai GD 200mg%). Setelah 2 hari dirawat diberikan insulin dengan dosis 3 x 8 unit & kontrol gula darah setiap hari 30 menit sebelum makan. Pada hari ke 3 perawatan gula darah klien terkontrol dengan nilai antara 180–250. Pemberian insulin pada kondisi ini tidak hanya untuk menurunkan glukosa darah hingga batas normal, namun juga untuk mengatasi ketonemia dimana insulin akan menurunkan konsentrasi hormone glucagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas di jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Efektifitas penatalaksanaan hiperglikemi dapat dipantau melalui kadar glukosa dalam darah. Pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan disertai penyakit kritis insulin diberikan jika gula darah lebih dari 180 mg/dL dan pemberian Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 82 insulin lebih efektif dengan pemberian continuous IV insulin atau intermiten SC basal bolus yang dikombinasi dengan correctional doses insulin. Pemberian ini mengurangi terjadinya hipoglikemia dan dapat menentukan dosis yang tepat (Hassan, 2007; LeMone, 2011; ADA,2012) 3.3.1.2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi Masalah keperawatan berikutnya yang praktikan tegakkan pada Ny. S pada mode fisiologi adalah resiko infeksi kearah sepsis. NANDA 2012- 2014, mendefinisikan resiko infeksi merupakan kondisi peningkatan resiko terserang organism pathogen. Pada kasus Ny. S, infeksi sudah terjadi yang ditandai dengan lekositosis dan pada hasil kultur didapatkan bakteri gram (+). Resiko terjadinya sepsis pada Ny. S, berdasarkan pada beberapa faktor resiko seperti usia, peningkatan gula darah, penurunan system imun dan perubahan pada vaskularisasi. Gangguan vaskuler dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing–masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi. Selanjutnya penuruanan sirkulasi ini akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi, sel darah putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak. Kondisi ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009, Hawks & Black, 2010). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 83 Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencapai perilaku adaptif terhadap pencegahan perluasan infeksi menjadi sepsis dilakukan dengan meningkatkan koping regulator dan kognator pada Ny. S dan keluarga. Secara umum intervensi tersebut meliputi, management luka, managemen infeksi, menegemen hiperglikemik, control vaskuler dan edukasi. Aktivitas yang dilakukan pada klasifikasi intervensi tersebut khususnya untuk menegemen luka, infeksi dan edukasi meliputi : melakukan perawatan luka (mengganti balutan, menyiapkan dasar luka dengan debridement). Aktifitas keperawatan yang ditujukan untuk control infeksi diataranya dengan monitoring tanda perluasan infeksi (tanda infeksi sistemik, infeksi pada area luka, eksudat yang diproduksi luka), mempertahankan tehnik aseptic selama perawatan luka, mencegah kontaminasi luka dengan sumber infeksi (lingkungan), kolaborasi dalam pemberian antibiotic (Ceftriaxon 2x 2 gr dan Metronidazol 3 x 500 mg) sesuai hasil kultur. Edukasi yang diberikan kepada Ny. S sebagai upaya untuk meningkatkan koping kognator diantaranya upaya peningkatan daya tahan tubuh : istirahat, penurunan kecemasan, tehnik menurunkan nyeri dan pemenuhan nutrisi sesuai diit. Edukasi untuk pencegahan infeksi dilakukan dengan menginformasikan untuk menjaga kebersihan area sekitar luka dan menginformasikan untuk melaporkan kepada perawat jika ada tanda deman, nyeri yang bertambah pada luka dan pengeluaran produksi cairan luka yang berlebihan (Bulechek, et al, 2008; Doenges, et al, 2010; Ackley & Ladwig, 2011). Pemberian antibiotik pada Ny. S di dasarkan pada hasil kultur. Ceftriaxon dan Metronidazol merupakan salah satu antibiotic yang masih sensitive. Peran perawat pada pemberian antibiotic ini dimulai dari metode pengambilan bahan culture. Pengambilan specimen yang tidak sesuai akan mempengaruhi hasil kultur dan pada akhirnya berdampak pada pemberian antibiotic yang tidak sesuai dan menyebabkan resistensi. Tehnik pengambilan swab kultur pada luka dilakukan dengan mencuci luka Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 84 terlebih dahulu menggunakan air steril atau NaCl 0.9 % (bukan cairan antiseptic) kemudian dikeringkan dengan kasa steril. Swab atau apusan luka dilakukan dengan menggunakan lidi kapas steril dengan metode Levine. Metode ini terbukti pada 4 penelitian merupakan metode yang paling efektif dibandingkan dengan metode Z maupun metode sederhana. Tehnik swab dengan metode Levine dilakukan dengan mengusapkan lidi kapas steril pada dasar luka yang telah dicuci dan area yang paling sedikit terdapat jaringan nekrosis/slogh pada diameter 1-2 cm melingkar (Gardner, 2006; Angel et al, 2011; Drinka et al, 2012; Nata dkk, 2012). Intervensi lain yang juga penting diperhatikan pada pencegahan meluasnya infeksi pada luka adalah perawatan luka. Prinsip management luka menurut Dealey.C, 2005 diantaranya adalah : perawatan luka lembab & menyiapkan dasar luka (wound bed preparation). Perawatan Luka Lembab Pada perawatan luka yang diberikan kepada Ny.S untuk mempertahankan kelembabannya awalnya menggunakan kasa yang dibasahi NaCl, namun pada hari ke 4 perawatan, sudah menggunakan hydrogel, mengingat lebih efektif dan efisien. Perawatan luka lembab pertamakali diperkenalkan oleh George Winter pada tahun 1962 dan berkembang hingga sekarang. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa lingkungan lembab mempercepat proses epitelisasi dan untuk menciptakan lingkungan lembab dapat dilakukan dengan menggunanakan balutan semi occlusive, full occulisive dan impermeable dressing. Ada beberapa keuntungan prinsip moisture dalam perawatan luka, diantaranya: mencegah luka menjadi kering dan keras, meningkatkan laju epitelisasi, menjagah pembentukan jaringan eschar, meningkatkan pembentukan jaringan dermis, mengontrol inflamasi dan memberikan tampilan yang lebih kosmetis, mempercepat proses autolysis debridement, menurunkan kejadian infeksi, cost effective, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 85 mempertahankan aktifitas neutrofil, menurunkan nyeri, memberikan keuntungan psikologis. Penggunaan kasa yang dilembabkan dengan NaCl merupakan cara konvensional dan sering digunakan. Cara ini bisa menciptakan suasana lembab tapi tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama sebaliknya cara ini bisa menimbulkan nyeri (pada beberapa klien) saat pergantian balutan ketika kasa telah mengering. Sedangkan hydrogels merupakan polymer dengan kandungan air 90-95 % dan memiliki sifat semi transparan dan nonadherent (Hest, CT. 1995., Jeter, KF &Tintle, TE. 1991 dalam Dealey, 2005). Di pasaran hydrogel tersedia dalam bentuk pasta dan lembaran (sheet). Bentuk lembaran sangat comformable sehingga bisa mengikuti tekstur luka dan dapat mengabsorbsi eksudat dalam jumlah sedikit atau sedang. Karena sifatnya yang tidak lengket maka tidak menimbulkan nyeri saat pergantian balutan namun sifat ini pula yang mengharuskan hydrogel didampingi oleh balutan sekunder. Balutan sekunder yang diberikan pada Ny. S adalah jenis balutan yang mampu mengabsorbsi eksudat. Menyiapkan dasar luka (Wound bed preparation) Persiapan dasar luka telah diusulkan sebagai sarana untuk memberikan pendekatan terstruktur dan sistematik dalam manajemen penyembuhan luka yang terganggu. Persiapan dasar luka menekankan pada pengangkatan hambatan yang mengganggu penyembuhan luka dengan mengoptimalkan kondisi penyembuhan luka. Tujuan persiapan dasar luka adalah untuk menciptakan lingkungan penyembuhan luka yang optimal dengan menghasilkan dasar luka yang bervaskular, stabil, dengan eksudat minimal. Salah satu tehnik yang dapat dilakukan untuk menyiapkan dasar luka ini adalah dengan debridemen. Debridemen merupakan proses pengangkatan jaringan mati (nekrotik), eksudat, dan debris metabolik dari dasar luka dan kulit sekitar untuk memfasilitasi proses penyembuhan. Jaringan nekrotik Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 86 dan sampah metabolik dalam luka mencegah penyembuhan dengan memberi nutrisi pada bakteri serta menghambat fase inflamasi penyembuhan. Oleh karena itu, harus diangkat sehingga akan membantu merangsang tepi luka yang tidak meluas. Berbagai macam tehnik debridement dapat dilakukan diantaranya dengan autolitik, biologik, kimiawi maupun mekanik (Dealey.C, 2005; Yunir, 2010). Pada kasus Ny. S penyiapan dasar luka dilakukan pada awalnya menggunakan hydrogel sebagai autolitik, namun karena area slough yang banyak dan nyeri saat dibersihkan maka debridemen mekanik (pembedahan) akhirnya dilakukan. Kondisi Ny. S yang dihadapi praktikan saat mengganti balutan adalah masalah nyeri dengan skala sedang dan meningkat saat alat menyentuh area luka atau saat nekrotomi. Nyeri merupakan masalah yang banyak terjadi pada klien dengan luka kronik dan nyeri dirasakan saat mengganti luka. Augustin & Maier, (2003 dalam Dealey, 2005) menyatakan nyeri yang dirasakan oleh klien dengan luka akan mengakibatkan stress dan stress juga akan meningkatkan nyeri. Survey yang dilakukan oleh Moffatt, 2002 di 11 negara mendapatkan nyeri yang paling dirasakan oleh penderita luka konik adalah saat mengganti balutan dengan kondisi balutan yang kering. Penelitian sebelumnya yaitu Szor dan Bourguignon (1999) mengamati 32 klien dengan ulkus tekanan dengan menggunakan kuesioner McGill mendapatkan 28 (87,5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan 12 (42%) mengalami nyeri terus menerus baik saat istirahat maupun saat mengganti balutan. Faktor yang menimbulkan nyeri saat mengganti balutan disebabkan oleh karena balutan yang lengket dengan luka, irigasi luka, balutan yang kering dan kecemasan (Bell & McCarthy, 2010). Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri selain dengan analgetik perawat melakukan tehnik relaksasi sebelum perawatan yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan dilanjutkan saat mengganti balutan. Relaksasi didefinisikan sebagai teknik yang digunakan untuk mendukung Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 87 dan memperoleh relaksasi untuk tujuan mengurangi tanda-tanda dan gejala yang tidak diinginkan seperti nyeri, ketegangan otot dan kecemasan (Dochterman McCloskey, 2004). Teknik relaksasi yang mudah dilakukan oleh klien adalah dengan teknik dalam. Selain teknik relaksasi penggunaan balutan yang sesuai (lembab bersifat autolitik) seperti jenis balutan modern mampu dapat meningkatkan kenyamanan. Penelitian Kristanto, 2010 di RSUD Syaiful Anwar malang terhadap 20 orang kelompok kontrol dan perlakukan di dapatkan balutan modern mampu meningkatkan ekspresi TGF β1 dan menurunkan kadar kortisol yang berdampak pada penurunan stress fisik maupun psikis (p = 0.028). 3.3.1.3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan Diagnosa resiko injuri atau bahaya fisik didefinisikan sebagai kondisi yang beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu dengan faktor resiko biologis (tingkat imunitas, mikroorganisme), dari kliennya (kognitif, afektif dan psikomotor), disfungsi biokimia, usia, fisik dan disfungsi sensorik (NANDA 2012-2014). Diagnosa ini merupakan penggabungan dari beberapa masalah pada mode fisiologi, yaitu masalah pada mode aktifitas, mode proteksi, mode sensasi, mode neurologi dan mode endokrin. Perilaku yang di tampilkan pada 5 mode tersebut menjadi data untuk masalah resiko injuri sedangkan stimulus menjadi data pada etiologi. Data yang didapatkan pada diagnose ini diantaranya adanya perilaku yang mengarah kemungkinan terjadi bahaya fisik/cedera, diantaranya adanya baal pada kedua telapak kaki, telapak kaki telah diamputasi 3 th yang lalu (1/3 distal metatarsal), adanya kalus pada kaki kanan yang ditengahnya terdapat ulkus. Pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan terjadi penurunan sensasi. Stimulus yang didapatkan baik fokal, kontekstual maupun residual Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 88 diantaranya: klien lansia (66 th), mengalami DM selama 10 tahun namun gula darah tidak terkontrol mengalami hipertensi dan riwayat amputasi 3 th yang lalu. Pengetahuan klien dan keluarga dalam perawatan kaki, pencegahan berulangnya ulkus kaki dan modifikasi mobilisasi masih kurang karena belum pernah mendapatkan informasi mengenai masalah perawatan kaki. Masalah kaki yang dialami oleh Ny. S adalah riwayat amputasi dengan kalus dan ulkus kecil di kaki kanan. Ulkus kaki merupakan salah satu infeksi kronis yang sering dialami pada diabetisi. Di USA angka kejadian ulkus kaki sebagai komplikasi DM terjadi pada 15 % diabetisi (Frykberg, et al, 2006) dan di Indonesia 15-23% dari seluruh penderita DM (Waspadji, 2011) dan 85% amputasi pada kaki diabetic di dahului oleh adanya ulkus & ulkus pada kaki dapat diawali karena adanya kalus pada area plantar kaki. Pengkajian kaki yang dilakukan kepada Ny. S didapatkan data adanya riwayat amputasi dengan ulkus & saat ini mengalami kalus, maka menurut Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 masuk dalam katagori 3 (resiko sangat tinggi), dan seharusnya pemeriksaan kaki dilakukan setiap 1-3 bulan, namun pada Ny. S tidak pernah dilakukan. Faktor resiko terjadinya ulkus pada kaki diantaranya adalah : neuropathi perifer, gangguan vaskuler perifer, keterbatasan gerak sendi, deformitas kaki, tekanan kaki yang abnormal, trauma minor, riwayat ulcer atau amputasi dan penurunan tajam penglihatan (Frykberg, et al, 2006). Pada Ny. S, ulkus yang dahulu dialami karena luka yang tidak disadari. Saat ini jika tidak dilakukan intervensi yang tepat, ulkus pada kalus akan berkembang menjadi ulkus yang terinfeksi. Menurut Frykberg, 2006 kalus pada area plantar terjadi karena adanya gesekan dan tekanan yang tinggi sehingga menyebabkan penebalan pada area kulit. Berikut ini akan diuraikan proses terjadinya ulkus kaki pada pasien diabetes. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 89 Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang berakibat terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya atropati Charcot. Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi penyebab terjadinya ulkus juga mempersulit proses penyembuhan ulkus kaki. Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 katagori, yaitu kaki diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki diabetika disebabkan oleh faktor neuropati (82%) sisanya adalah akibat neuroiskemia dan murni akibat iskemia. Gangguan mode sense dan neurologi (neurophaty perifer) yang terjadi pada Ny.S adalah penurunan sensasi (rasa) pada area telapak kaki kiri (diperiksa dengan menggunakan monofilament 10 gr) pada area telapak : terjadi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 90 penurunan sensasi rasa. Penurunan sensasi terjadi karena adanya komplikasi neuropathi sensori perifer. Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada klien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol, sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 91 Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan neuropathy pada klien diabetes merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan oleh ADA 2012 dan AACE, 2008 pada level A sebagai screening terhadap adanya kaki diabetic. Penggunaan monofilament 10 gr untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14 studi (1950–2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 3142 dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostic tunggal. Gangguan sense (indra) yang lain pada Ny. S adalah penurunan tajam penglihatan. Gangguan penglihatan yang terjadi disebabkan karena komplikasi dari DM yaitu retinopathy yang dapat menyebabkan injury. Retinophaty termasuk dalam golongan komplikasi mikrovaskuler, penyebab retinopathy belum secara jelas diungkap tapi mungkin dapat disebabkan oleh multifaktorial yaitu terkait dengan glikosilasi protein, iskemi, dan mekanisme hemodinamik. Peningkatan viskositas darah menyebabkan peningkatan permeabilitas dan penurunan elastisitas kapiler. Retina membutuhkan rata-rata konsumsi O2 terbesar dari seluruh organ tubuh, bila terjadi gangguan suplai O2 pada retina maka akan terjadi anoksia jaringan yang dapat menyebabkan kematian jaringan (Black & Hawk 2010). Intervensi yang dilakukan untuk memfasilitasi Ny. S mempunyai perilaku yang adaptif, maka dilakukan upaya untuk menghilangkan stimulus dengan meningkatkan koping Ny.S baik yang bersifat regulator maupun kognator. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 92 Pada koping regulator, intervensi yang dilakukan diantaranya , melakukan perawatan kalus dan ulkus, bersama keluarga memberikan lingkungan yang aman (memasang restrain saat keluarga tidak menunggu, mendekatkan alat yang dibutuhkan klien untuk mudah dijangkau), melatih klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, melatih klien menggunakan pengaman/pegangan saat akan mulai berdiri. Meningkatkan koping kognator dilakukan dengan melibatkan keluarga terutama yang selalu bersama klien (suami klien). Mendiskusikan bahaya fisik yang mungkin terjadi : jatuh, resiko terjadi ulkus berulang. Mendiskusikan dan mendemonstrasikan tehnik perawatan kaki, tehnik mengurangi tekanan pada area kaki kanan dan lingkungan yang aman untuk klien. Kalus yang terjadi pada kaki kanan Ny. S, disebabkan karena adanya penekanan dimana kaki kanan menjadi tumpuan ketika klien memulai berdiri. Dengan kondisi telapak kaki yang telah diamputasi & adanya kalus dengan ulkus ditengahnya sangat beresiko terjadinya perluasan ulkus, maupun perubahan bentuk kaki. Oleh sebab itu, menghindari penekanan dan menggunakan alas kaki yang sesuai merupakan pencegahan yang dapat dilakukan. Salah satunya dengan mengistirahatkan kaki, menghindari tekanan pada kaki (non weight bearing) dan off loading. Istilah off-loading dalam konteks luka kaki diabetik merujuk pada upaya untuk mengurangi beban tekanan terutama pada daerah luka. Hal ini merupakan tujuan utama dalam perawatan luka kaki diabetes. Off-loading mencegah trauma lanjutan pada luka dan memfasilitasi proses penyembuhan terutama pada klien dengan neuropati sensoris. Penelitian retrospektif dan prospektif menunjukkan bahwa peningkatan beban tekanan pada daerah plantar merupakan penyebab terjadinya luka diabetes pada daerah tersebut yang berakibat pada abnormalitas struktural dari kaki seperti; claw-toe deformity dan charcot neuroarthropathy. Kombinasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 93 deformitas kaki, penurunan fungsi protektif, dan tidak adekuatnya offloading berdampak pada kerusakan jaringan dan ulserasi Saat ini telah tersedia berbagai jenis sepatu khusus bagi penderita diabetes (Protective footwear), dimana salah satunya yang terkenal sebagai ‘gold standard’ adalah Total Contact Casts (TCCs). TCC merupakan sepatu khusus bagi penderita diabetes yang dapat mendistribusikan beban tekanan pada daerah plantar serta membatasi pergerakan daerah tumit, dengan demikian penggunaan TCC dapat mengurangi tekanan hingga 87%. Sayangnya penggunaannya masih jarang di klinis. Dimana hanya 2 % dari praktisi yang menggunakan TCC untuk merawat luka kaki diabetes dengan alasan kurangnya ketersediaan dan tenaga ahli dalam penggunaannya, selain faktor lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemasangannya dibandingkan alat lain (Waspadji.S, 2011; Perkeni, 2009). Bahaya fisik lain yang mungkin terjadi pada Ny. S berhubungan dengan komplikasi yang ditimbulkan. Hasil CCT menunjukan nilai GFR 56 ml/24 jam. Hal ini menunjukan penurunan fungsi ginjal pada stadium 2. Jika ini tidak menjadi perhatian akan jatuh pada gagal ginjal kronik. Penurunan fungsi ginjal merupakan salah satu komplikasi kronik dari DM yang disebut nefropathy. Diabetik nefropathy terjadi pada 20–40% klien DM dan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik (ADA, 2012). Rekomendasi ADA 2012 untuk pencegahan dan penanganan pada kondisi ini adalah : kontrol gula darah dan tekanan darah pada batas normal. Screening pada penurunan fungsi ginjal dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urium, kreatinin dan dan penghitungan GFR minimal 1 tahun sekali. Pembatasan protein 0,8–1 gr/Kg BB berguna untuk mencegah kerusakan fungsi ginjal lebih lanjut (ADA, 2012). Evaluasi yang didapatkan pada hari ke 14 rawatan, ditemukan perilaku adaptif pada mode aktifitas, proteksi dan interdependensi yang dapat dilihat : Klien dan keluarga mampu mengenali resiko bahaya yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 94 mungkin terjadi akibat kondisi kaki. Keluarga mampu menyebutkan lingkungan yang aman untuk klien dan memberikan lingkungan yang aman saat dirawat di rumah sakit. adanya kemampuan klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan meningkat, klien mampu menggunanakan pinggir tempat tidur sebagai pengaman saat mulai berdiri, keluarga mampu melakukan perawatan kalus dengan benar. Perilaku inefektif yang masih ditemukan diantaranya penglihatan klien masih buram, ulkus pada area kalus masih ada walupun dengan ukuran yang mengecil. Tindaklanjut dari perilaku inefektif yang masih ditemukan adalah mengkonsulkan klien ke dokter spesialis mata dan melakukan perawatan ulkus. 3.3.1.4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan yang tidak adekwat NANDA 2012, mengklasifikasikan diagnose ini pada domain promosi kesehatan. Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik didefinisikan sebagai pola pengaturan dan pengintegrasian ke dalam kebiasaan terapeutik kehidupan sehari-hari untuk pengobatan penyakit dan gejala yang ditimbulkan yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan spesifik. Batasan karakteristik pada diagnose keperawatan ini diantaranya kegagalan menerapkan program pengobatan, kegagalan dalam melakukan tindakan mengurangi resiko, mengungkapkan keinginan untuk mengatasi penyakitnya dan mengungkapkan kesulitan dalam pengobatan. Masalah keperawatan ini ditegakkan pada Ny. S, karena ditemukan perilaku yang merupakan komplikasi dari DM pada semua mode fisiologis. Perilaku ini disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan yang ditunjukan dengan tidak melakukan diit dengan benar, mengkonsumsi OHO tanpa pengawasan dokter dan menghentikan pengobatan insulin karena keterbatasan dana. Semua perilaku ini bersumber kepada informasi yang kurang tentang penatalaksanaan DM pada Ny. S maupun keluarga sebagai pendamping dalam pengobatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 95 Intervensi yang diberikan kepada Ny. S dan keluarga untuk meningkatkan perilaku adaptif pada masalah keperawatan ini diantaranya dengan menggali sumber–sumber kekuatan yang dimiliki keluarga dan klien dalam meningkatkan manajemen kesehatan diri, mengikutsertakan keluarga dan pasien jika kondisi memungkinkan dalam program edukasi kelompok, mendiskusikan dengan klien dan keluarga hal–hal yang berhubungan dengan penatalaksanaan, pearawatan dan komplikasi yang akan ditimbul pada pasien DM. Hasil evaluasi yang didapatkan dari Ny. S dan keluarga pada masalah tidak efektifnya manajemen diri pada hari ke 6 perawatan didapatkan secara kognitif klien dapat menyebutkan batasan nilai gula darah normal, perencanaan makan untuk dirinya (jumlah, jenis dan jadwal), komplikasi yang sudah ada di dalam dirinya serta pencegahannya. Psikomotor yang dapat yang dapat dinilai,keluarga mengikutiprogram edukasi kelompok, aktif bertanya kepada narasumber, dan menginformasikan kembali kepada klien edukasi yang telah didapat. Edukasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan seseorang dan diharapkan dapat merubah perilaku kearah yang lebih baik. Perilaku yang didasarkan pengetahuan dapat dipertahankan lebih lama dibandingkan dengan sebaliknya (Notoatmojo, 2007). Diabetes Self Management Education (DSME) merupakan salah satu bentuk edukasi yang berkelanjutan tidak hanya memberikan pengetahuan, namun juga meningkatkan perubahan perilaku dan sikap yang benar terhadap penatalksanaan DM. Model edukasi dengan DSME, menekankan kepada peran aktif pada penyandang DM untuk menggali informasi dan berdiskusi dengan sumber informasi, sangat berbeda dengan model edukasi searah, imana narasumber hanya menekankan kepada memberikan informasi. Setelah mendapatkan informasi dengan metode ini, diharapkan penyandang DM dapat memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 96 meningkatkan kesehatannya, sesuai dengan sumber–sumber yang dimilikinya. International Diabetes Federation (IDF, 2009 dan ADA, 2012 menekankan bahwa setiap individu dengan DM dimanapun dia tinggal berhak mendapatkan pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan DM secara berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek klinis, perilaku dan psikososial. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan bahwa setiap penyelenggara kesehatan tingkat propinsi harus menyediakan pelayanan pendidikan kesehatan dan educator melibatkan multisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, apoteker, maupun pandu diabetes). Rekomendasi untuk negara, bahwa negara memberikan support baik dalam hal kebijakan maupun pendanaan untuk penyelenggaraan DSME ini. (IDF, 2009; ADA 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Gumbs, 2012 tentang hubungan DSME dengan perilaku perawatan diri kepada wanita Afrika Amerika mendapatkan 53.6% telah mengikuti program DSME dan terjadi perubahan perilaku dalam pemeriksaan gula darah, kunjungan ke pelayanan kaki dan menunjukan nilai HbA1C yang menurun. Metode edukasi lain yang dapat meningkatkan efikasi diri dan perubahan perilaku penyandang DM adalah dengan melibatkan sesame penyandang DM. Penelitian dengan Randomized controlled trial oleh Ghorob et al 2011 di Sanfransisko terhadap 400 penyandang DM dari berbagai pelayanan kesehatan dibagi 2 kelompok: 200 orang pada kelompok dengan pembinaan oleh penyandang DM yang telah dilatih dan 200 orang dengan edukasi seperti yang biasa dilakukan. Pada bulan ke 6 dilakukan evaluasi, pada kelompok perlakuan didapatkan nilai HbA1C yang menurun. Hasil sekunder lain yang didapatkan yaitu terjadi penurunan pada tekanan darah, indek masa tubuh, LDL dan kolesterol. Pada perilaku di dapatkan perubahan dalam aktifitas perawatan diri, kepatuhan pengobatan, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 97 penurunan depresi dan peningkatan kualitas hidup. Hal ini menunjukan edukasi dengan melibatkan sesame penyandang DM dapat berpengaruh positif terhadap efikasi diri penyandang DM. Penerapan DSME ini sudah dilakukan di RSUP Fatmawati, dimana kegiatan edukasi sesuai rekomendasi IDF dilakukan setiap hari Rabu dengan melibatkan klien dan keluarga. Evaluasi yang didapatkan pada klien adalah didapatkannya perilaku adaptif yang ditunjukan dengan peningkatan pengetahuan klien dan keluarga mengenai DM dan perawatannya, keikutsertaan keluarga dalam program edukasi kelompok, keterlibatan klien dalam perawatan dirinya : menyuntik insulin sendiri, memilih makanan yang sesuai diit dan melakukan latihan peregangan serta senam kaki di tempat tidur. 3.3.2. Mode Konsep diri 3.3.2.1. Kesiapan meningkatnya koping individu Diagnosa ini merupakan kelompok diagnose sejahtera merupakan suatu keputusan klinik tentang keadaan individu dalam transisi dari tingkat sejahtera ketingkat sejahtera yang lebih tinggi atau dikenal dengan wellness diagnoses. Pada diagnose sejahtera ini, etiologi tidak diperlukan. Meningkatnya kesiapan koping individu didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan yang memadai untuk kesejahteraan dan dapat ditingkatkan (NANDA, 2012; Wilkinson & Ahern, 2012). Batasan karakteristik pada diagnose ini diantaranya mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya, menganggap stressor sebagai sesuatu yang dapat diatasi,dan menggunakan sumber – sumber spiritual. Batasan karakteristik ini diantaranya. Intervensi yang dapat ditegakkan pada masalah koping ini meliputi peningkatan system koping dan peningkatan system pendukung. Aktivitas yang diberikan meliputi : menggali koping yang telah dimiliki oleh klien, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 98 menggali kemampuan klien dalam pemecahan masalah, mendiskusikan sumber keluatan yang dimiliki klien, mendiskusikan penggunaan koping dan kekuatan yang ada dalam diri Ny. S untuk meningkatkan koping. Selain itu meningkatkan support system yaitu dengan melibatkan keluarga (suami dan anak) untuk mendukung dan menguatkan koping yang dimiliki klien. Hasil evaluasi yang didapatkan pada hari ke 6 untuk masalah kesiapan peningkatan koping individu didapatkan perilaku yang adaptif yaitu, klien mengungkapkan bahwa kondisinya saat ini merupakan dampak dari ketidakpatuhan klien dalam penatalaksanaan DM, klien mengungkapkan keinginannya menjalani sisa kehidupannya dengan badan yang sehat, dan klien selalu aktif terlibat dalam perawatan dirinya : menentukan makanan yang akan dimakan, mengambil keputusan terhadap alternative pengobatan yang ditawarkan oleh dokter maupun perawat. 3.3.2.2. Kesiapan meningkatnya religiositas/Spiritual Diagnosa ini didefinisikan oleh NANDA, 2012 sebagai kemampuan untuk meningkatkan berpartisipasi karakteristik ketergantungan dalam dari ritual diagnose pada tradisi ini keyakinan agama kepercayaan dan tertentu. mengungkapkan keinginan atau Batasan untuk memperkuat pola keyakinan agama yang sebelumnya biasa dilakukan, memberikan ketenangan dan kenyamanan. Intervensi keperawatan yang dapat ditegakkan untuk meningkatkan koping individu dan untuk meningkatkan kesejahteraan konsep diri klien dalam hal spiritual, meliputi : peningkatan aktifitas ibadah, dukungan spiritual, dimana aktifitasnya meliputi diskusikan kebutuhan spiritual, sediakan media untuk menjalankan kegiatan spiritual, berikan privasi selama klien menjalankan ibadah, consultasikan dengan pembimbing rohani (Dochterman & Bulechek, 2008). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 99 Pada Ny. S ditegakkan diagnosa meningkatnya kesiapan religi/spiritual dengan didukung oleh perilaku klien yang mengatakan selalu menjalankan ibadah sebelum sakit. Saat ini ingin menjalankan ibadah (sholat), namun merasa jika tubuhnya kotor oleh cairan luka. Ungakapan lain yang menunjukan perilaku spiritual yang adaptif diantaranya klien menyatakan berserah diri kepada Tuhan atas sakit yang dideritanya, karena ia yakin pengobatan merupakan usaha dari manusia dan semuanya akan ditentukan olehNya. Intervensi yang lakukan kepada Ny. S diantaranya mendiskusikan tata cara bersuci dan shalat saat sakit, mengajarkan cara tayamum dan sholat dengan duduk,melibatkan keluarga dalam menyediakan perlengkapan sholat dan tashbih, memotivasi untuk melakukan sholat dan berdo’a dan mempertahankan privacy saat sholat/berdo’a. Pada hari kedua dilakukan asuhan keperawatan, keluarga klien membawakan peralatan sholat, klien sudah menjalankan ibadah sholat dengan duduk dan terlihat berdzikir saat tidak ada tindakan keperawatan. Spiritual merupakan salah satu kebutuhan manusia, kebutuhan ini didasarkan pada hubungan antara manusia dengan TuhanNya. Pada orang yang dirawat dirumah sakit, pemenuhan kebutuhan spiritual menjadi bagian sama dengan kebutuhan fisik maupun psikis pasien. Pemenuhan kebutuhan spiritual ini menjadi tanggung jawab parawat. Pengamatan praktikan di tempat menjalankan praktek residensi, belum ada dokumentasi keperawatan yang mengangkat masalah spiritual dan pengamatan praktikan terhadap pemenuhan kebutuhan ini jarang dilakukan oleh perawat. Penelitian di US menunjukan bahwa 94 % dari pasien yang berkunjung ke pelayanan kesehatan meyakini bahwa kesehatan spiritual sama pentingnya dengan kesehatan fisik, 77 % meyakini bahwa kesehatan spiritual harus menjadi bagian dari pelayanan kesehatan dan 80 % melaporkan petugas kesehatan tidak menyentuh aspek spiritual dalam melakukan pelayanan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 100 kesehatannya (Anadarajah, 2001). Pemenuhan kebutuhan spiritual pasien akan dapat membantu mereka beradaptasi dan melakukan koping terhadap sakit yang dideritanya yang akhirnya akan meningkatkan meningkatkan kualitas hidup pasien, Oswald (2004 dalam Rohman, 2009). Terapi pendukung atau CAM (complementary and alternative medicine) banyak digunakan oleh penderita DM diberbagai negara. Di Amerika para penyandang DM yang menggunakan CAM berkisar antara 17 – 73 %. Dari 18 studi yang dilakukan oleh Chang, 2007 mendapatkan 50 % (9 studi) menggunakan terapi spiritual sebagai terapi pendukung dan menunjukan peningkatan kesehatan pada pasien DM ini (Arye, 2010). Berdasarkan beberapa studi terkait, dengan kebutuhan spiritual sangat diharapkan pada praktek pelayanan kesehatan karena terbukti meningkatkan kesehatan fisik dan psikis. Peran perawat dalam pemberi asuhan yang holistik tidak mengesampingkan kebutuhan spiritual dalam praktek pelayanan kesehatan. 3.4. Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 32 Kasus kelolaan Pada bagian ini praktikan akan membahas kasus–kasus lain yang praktikan kelola selama praktikan menjalankan praktek residensi. Kasus yang praktikan kelola terdiri dari 32 kasus diabetes mellitus dengan berbagai komplikasi yang ditimbulkan. Secara rinci 32 kasus yang praktikan kelola diantaranya 11 kasus DM dengan ulkus kaki, 2 diantaranya dilakukan amputasi mayor, 8 kasus dirawat karena komplikasi hyperglikemi dan hipertensi 5 kasus DM dengan komplikasi CKD, 2 kasus dengan komplikasi akut KAD, 2 kasus dengan komplikasi infeksi pernafasan dan 1 kasus dengan infeksi kulit. Semua kasus kelolaan dilakukan asuhan dengan pendekatan Model Adaptasi Roy. Analisis terhadap kasus dilakukan berdasarkan masalah keperawatan yang ditimbulkan kemudian dilakukan analisis mulai dari pengkajian, intervensi hingga evaluasinya dengan menggunakan Model Adaptasi Roy. Adapun hasil analisis pada ke 32 kasus kelolaan ini adalah : Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 101 3.4.1. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi Masalah keperawatan resiko infeksi atau infeksi yang meluas,pada kasus kelolaan yang praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi ulkus maupun dengan komplikasi CAP dan TB paru. Resiko infeksi yang terjadi pada pasien DM disebabkan karena menurunnya vaskularisasi dan penurunan kemampuan sel immune melakukan fungsinya dampakdari hiperglikemia (LeMone, 2011). Dari 32 kasus kelolaan 11 pasien mengalami ulkus dan 2 pasien dengan infeksi pernafasan. Ulkus kaki diabetic merupakan kompliasi DM yang banyak dijumpai setelah retinopati, hipertensi dan nefropathi. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam perjalanan penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di kaki (Taylor,2008; Clair.D, 2011). Di RSUP Fatmawati dicatat selama 6 bulan, dari 123 pasien DM yang dirawat di unit perawatan penyakit dalam khususnya di lantai 5 selatan jumlah pasien DM dengan ulkus kaki selama 36 orang (29.1 %) dengan ulkus kaki. Kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien DM yang menyebabkan kelainan neuropati, infeksi dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik, matorik maupun autonom akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus (Waspadji, 2009). Neuropathi sensorik perifer menjadi penyebab utama terjadinya berbagai trauma pada DM. 40 – 65 % ulkus diabetic terjadi karena murni gangguan neuropathy sensori dan 45 % terjadi karena gabungan anatara neuropati dan vaskulopathy (Frykberg et al, 2006). Pada kasus 11 kasus kelolaan, 7 pasien mengalami ulkus karena neuropathy sensori. Namun dari hasi pengkajian kaki pada 11 kasus kelolaan menunjukan hasil (-) pada pemeriksaan monofilament 10 gr yang menunjukan adanya neuropathy sensori. Neuropathy perifer pada DM terjadi melalui mekanisme Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 102 Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Pengkajian ulkus DM terutama pada kaki menggunakan panduan PEDIS, (Perfussion, Extend, Depth, Infection, and Sensation). Untuk menentukan kedalam dan luas luka, disarankan untuk mencuci luka terlenih dahulu, sehingga mendapatkan ukuran luka yang sebenarnya. Seluruh pasien kelolaan yang dengan ulkus, didapatkan sudah terjadi infeksi baik local maupun sistemik dan penurunan sensasi. Infeksi yang terjadi dapat dilihat dengan adanya eksudat yang purulen, peningkatan suhu, dan dari pemeriksaan leukosit maupun culture luka. Luas dan kedalaman luka bervariasi, namun sebagian besar kedalaman luka mencapai otot. Perfusi diukur dengan palpasi arteri terdekat dengan luka dan dibandingkan dengan kaki yang sehat. Intervensi keperawatan yang dilakukan pada kelolaan dengan masalah infeksi berdasarkan nursing intervention classification (NIC) dan panduan kaki diabetic dari PERKENI, 2011 yaitu wound control, metabolism control dan infection control. Aktifitas keperawatan yang dapat dilakukan diantaranya perawatan luka dengan memperhatikan prinsip memberikan lingkungan yang lembab dan pemilihan jenis topical terapi yang tepat, membuang jaringan nekrotik dan slough dengan nekrotomi atau kolaborasi tindahan surgical debridement. Metabolisme kontrol dilakukan dengan pemantauan gula darah, kolaborasi dalam perencanaan diit termasuk pemberian protein tambahan dan pemberian terapi insulin. Kontrol Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 103 Infeksi dilakukan dengan mencegah kontaminasi mikroorganisme ke area luka (prinsip steril saat mengganti balutan, dan pencucian area sekitar luka dengan antiseptic). Untuk mengurangi koloni bakteri dalam luka terutama pada area slough dapat dilakukan irigasi luka dengan tekanan 13 Psi. Irigasi ini menggunakan spuit 12 cc dengan jarum 22G terbukti menurunkan infeksi (p=0,017) dan inflamasi (p=0,031) (EBP level B), Joanna Briggs Institue, 2006. Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur merupakan tindakan yang tepat. Pengambilan kultur menjadi kunci dalam menentukan antibiotik yang sensitif. Penggunaan metode Levine dalam pengambilan spesimen kultur luka terbukti lebih sensitive dibandingkan dengan metode Z-stroke maupun metode sederhana (p=0,001), Nata, 2012. Hasil evaluasi yang praktikan lakukan pada 11 kasus dengan ulkus kaki, dengan berbagai ukuran luka masalah infeksi dapat teratasi dengan waktu yang tercepat pada minggu ke 2 perawatan. Faktor lamanya masalah ini selain dipengaruhi oleh factor luka dan status metabolic, juga dipengaruhi oleh faktor usia, keputusan keluarga dalam menyetujuai tindakan (pemberian antibiotik, tindakan debridement, dan lain sebagainya). 3.4.2. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan, proses infeksi Masalah keperawatan lain yang ditemukan pada kasus kelolaan adalah masalah nyeri. Masalah nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensori yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang, bisa terjadi secara perlahan atau tiba–tiba dengan intensitas mulai dari ringan hingga berat (Wilkinson & Ahern, 2012; NANDA, 2012). Nyeri merupakan bentuk perilaku adaptif yang ditemukan pada mode sensasi. Masalah nyeri ditemukan pada semua pasien dengan ulkus pada rentang yang berbeda–beda, mulai dari nyeri sedang hingga nyeri berat. Nyeri yang terjadi pada ulkus DM selain karena adanya kerusakan jaringan juga terjadi karena proses infeksi atau inflamasi. Menurut Black dan Hawk (2010) Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 104 nyeri pada kondisi inflamasi atau infeksi ini terjadi sebagai akibat distensi pada jaringan yang peka terhadap peregangan (distention of stretch-sensitive tissue) terutama periosteum. Dalam keadaan inflamasi akan dilepaskan mediator kimia (chemical mediators) antara lain histamin, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P, yang menstimulasi reseptor nyeri (nociceptor). Nyeri merupakan respon inefektif yang ditemukan pada mode sensasi. Perilaku yang ditunjukan dari nyeri ini berbeda–beda setiap individu begitu juga dengan rentang nyeri. Pengamatan praktikan melakukan asuhan pada kasus kelolaan, nyeri bertambah saat perawatan luka, mulai dari membuka balutan, irigasi hingga debridement mekanik. Hanya 1 pasien yang praktikan temukan mengalami nyeri terus menerus walaupun tidak sedang dilakukan perawatan luka, kondisi ini diduga adanya nyeri neuropathi. Szor and Bourguignon (1999 dalam Dealay, 2005) melakukan survey kepada 32 pasien luka tekan menggunakan McGill Pain Questionnaire di dapatkan 28 orang (87.5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan sisanya nyeri yang terus menerus. Faktor yang berperan dalam peningkatan nyeri saat diganti balutan diantaranya, balutan yang merekat pada luka, irigasi luka, atau cemas dan takut (Bell & McCarty, 2010). Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri dari sisi penggantian balutan adalah pemilihan jenis balutan dan memberikan lingkungan yang lembab pada area luka. Penelitian yang dilakukan Kristanto H, 2010 pada 20 responden di dapatkan hubungan yang signifikan (p= 0,0005) antara respon nyeri dengan kadar TGF β1 pada penggunaan modern dressing. Intervensi untuk meningkatkan koping regulator kognator pada pasien nyeri dapat dilakukan dengan mengkombinasikan terapi farmakologid dan non farmakologis. Intervensi mandiri dari perawat dengan mengembangkan berbagai terapi nyeri non farmakologis ini. Bentuk terapi nyeri non-farmakologi yang dapat dilakukan pada pasien , meliputi distraksi (distraction), relaksasi (relaxation), dan imajinasi terbimbing (guided imagery) (Perry & Poter, 2010). Untuk mengatasi nyeri yang terjadi pada pasien kelolaan, praktikan mengajarkan tehnik relaksasi yang bisa Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 105 dilakukan oleh pasien sebelum dilakukan ganti balutan, maupun saat dilakukan ganti balutan. Progressisve muscle relaxation (PMR) merupakan salah satu teknik relaksasi yang dapat dilakukan oleh setiap individu untuk mengurangi stress dan kecemasan (Borkove, Russcio, (2001 dalam Ghazavi, Abdeyaz dan, Attari, 2008). PMR merupakan teknik untuk mengurangi stress dan kecemasan yang dikembangkan oleh Edmund Jacobson (1920) dengan melakukan peregangan dan penekanan pada otot. PMR melibatkan penekanan dan peregangan pada kelompok otot daerah wajah, lengan, dada, perut dan kaki. Respon tubuh terhadap adanya stress salah satunya adalah terjadinya ketegangan pada otot yang dapat menimbulkan ketidaknyaman dan rasa nyeri. dapat dilakukan sebelum pasien dilakukan perawatan luka. Tehnik relaksasi lain yang dapat dilakukan saat balutan diganti adalah dengan penggabungan tehnik relaksasi dengan terapi spiritual yang dikembangkan oleh Benson & Proctor, (2000), yaitu dengan memusatkan perhatian pada suatu fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan berbagai pikiran yang menggangu. Praktikan memodifikasi dengan sholawat nabi jika pasiennya muslim, atau disesuaikan dengan agamanya. Evaluasi yang didapatkan nyeri berkurang dari hari–kehari dan dan ketergantungan pasien terhadap terapi analgetik dapat dikurangi, selain terjadi penurunan tingkat stress saat diganti balutan. Namun demikian karena nyeri pada ulkus DM termasuk nyeri kronik seringkali nyeri masih dirasakan hingga proses penyembuhan. 3.4.3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berlebih/ kurang dari kebutuhan tubuh Perilaku inefektif pada mode fisiologi cairan dan elektrolit pada pasien DM yang praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh stimulus fokal adanya nefropati. Perilaku yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 106 ditemukan pada masalah ini adalah adanya tanda odema, sesak nafas yang terjadi akibat penumpukan cairan di paru–paru, disertai pengeluaran urine yang sedikit, uremia dan peningkatan kadar creatinin darah. Gejala yang timbul disebabkan karena penurunan filtrasi gromerulus. Di Amerika gagal ginjal atau Nefropati DM (ND) jumlahnya mencapai 44 % dari semua kasus baru CKD, 40 % dari pasien yang menjalani hemodialisa atau transplantasi ginjal (Porrth & Maftin, 2009 dalam LeMone, 2011). ND terjadi 30 – 40 % pada DM tipe 1 dan akan terjadi setelah 15–20 tahun mengalami DM, dan terjadi ND pada 15 – 20 % dari seluruh penderita DM tipe 2 (Mc Phee& Paadakins). Intervensi yang dapat dilakukan pada masalah ini untuk meningkatkan koping regulator diantaranya pemantauan terhadap intake & output cairan, pemantauan tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan), pembatasan cairan sesuai dengan balance cairan, pemberian posisi semifowler dan kolaborasi dalam penatalksanaan hemodialisa. Penatalaksanaan untuk meningkatkan koping kognator, dilakukan edukasi untuk pencegahan semakin menurunnya fungsi ginjal. Edukasi difokuskan untuk : 1). pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes; 2). Pengendalian tekanan darah (diit rendahgaram dan kontro tekananan darah dengan obat antihipertensi sesuai program pengobatan); 3). Pencegahan fungsi ginjal (diit rendah protein ). Hasil evaluasi menunjukan pasien menunjukan perilaku adaptif pada hari ke 6 sampai hari ke 12 tergantung pada stadium. Masalah cairan pada pasien DM tidak hanya masalah kelebihan, namun masalah kekurangan cairan juga dapat ditemukan pada kasus komplikasi akut ketoasidosis. Ketoasidosis didefinisikan sebagai keadaan dekompensasi dari gangguan metabolic ditandai dengan hiperglikemia, asidosis dan ketosis. Dua kasus yang praktikan kelola disebabkan karena proses infeksi, namun keduanya tidak mengetahui jika dirinya menderita DM. Masalah utama yang didapatkan pada KAD adalah pada inefektif cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh dan masalah keseimbangan asam basa. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 107 Pada kondisi KAD ini, inefektif kebutuhan cairan dan elektrolit terjadi karena dieresis osmotic akibat hyperglikemia. Pengeluaran cairan yang berlebih dapat mengakibatkan pasien jatuh ke kondisi dehidrasi hingga syok. Selain itu masalah keseimbangan asam basa juga masalah yang mengancam kehidupan pasien. Lipolisis terjadi karena penurunan insulin dan peningkatan hormone kontralateral pada akhirnya meningkatkan benda keton yang akan menurunkan pH darah. Mengatasi masalah inefektif cairan, elektrolit serta keseimbangan asam basa harus dicapai tidak lebih dari 24 jam. Kolaborasi dalam pemberian cairan, pemberian insulin dan pemantauan elektrolit merupakan intervensi yang harus dilakukan. Intervensi lain adalah dengan mengatasi sumber hyperglikemia seperti infeksi dan stress psikologi. Dari pengamatan praktikan, tindakan untuk mengatasi KAD seperti pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap jam atau 2 jam sekali pada 6 jam pertama, kemudian pemeriksaan laboratorium lain untuk pemantauan elektrolit, ketosis maupun asidosis merupakan sumber stress psikologis yang akan berpengaruh kepada peningkatan hormone kontra regulator. Pemberian informasi terhadap tindakan yang akan diterima pasien menjadi kewajiban perawat untuk melakukannya. Selain itu pendampingan oleh keluarga terdekat selama tindakan terbukti mengurangi stress yang dialami. Pada kedua pasien KAD yang praktikan kelola, masalah inefektif cairan dapat teratasi pada 6 jam pertama. 3.4.4. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan Resiko injuri atau bahaya fisik ini merupakan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan timbulnya gangguan pada fisik akibat perilaku adanya penurunan pada mode sensasi. Bertolak dari banyaknya kejadian ulkus kaki pada pasien DM, awal terjadinya ulkus rata–rata tidak mengetahui penyebabnya. Hal ini terjadi karena penurunan sensasi baik pada kaki yang disebabkan oleh neuropathy perifer. Selain itu pengetahuan yang kurang dan perilaku yang salah dalam perawatan kaki menjadi stimulus kontekstual yang selalu pada pasien ulkus. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 108 Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus pada kaki, pengkajian kaki merupakan tindakan yang efektif untuk menemukan resiko terjadinya ulkus dan dengan intervensi yang tepat pada setiap resiko ulkus yang ditemukan akan mencegah terjadinya ulkus 40 – 80 % (Taylor, 2008). Selain pengkajian kaki, edukasi untuk perawatan kaki secara mandiri (pemeriksaan kaki oleh pasien atau dibantu keluarga, pencucian, menggunting kuku, menggosok kalus) menjadi bagian penting dalam pencegahan terjadinya ulkus. Model edukasi yang dilakukan pada perawatan kaki akan lebih dipahami oleh pasien jika dilakukan dengan mendemonstrasikan langsung atau memberikan tayangan visual (video). Kendala yang praktikan hadapi saat menerapkan pengkajian kaki di rawat jalan sebagai bagian dari pelayanan primer adalah banyaknya kunjungan pasien yang datang, waktu kunjungan yang singkat dan tempat yang terbatas. Poli kaki diabetic sebagai bagian dari poli penyakit dalam belum melakukan perannya sebagai upaya preventif, namun lebih kepada upaya kuratif dalam mengatasi pasien yang sudah mengalami ulkus. Sementara itu, kendala yang awalnya ditemukan di rawat inap saat melakukan pengkajian kaki adalah keterbatasan alat pemeriksaan. Namun pada akhirnya kendala ini (rawat inap) dapat segera diatasi dengan adanya kegiatan inovasi. 3.4.5. Mode Konsep Diri (Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan, perubahan status peran dan ancaman status kesehatan Dari 32 pasien yang praktikan kelola, 22 pasien (68,8%) mengalami masalah pada konsep diri yaitu kecemasan. Kecemasan yang dialami tidak hanya bersumber dari penyakitnya (adanya ulkus, penyakit kronis) namun juga akibat tindakan yang dilakukan (perawatan luka, pemeriksaan gula darah yang sering). Masalah perubahan peran terutama bagi wanita yang harus meninggalkan peran utamanya sebagai ibu atau pasien pria yang harus menghidupi keluarganya juga ditemukan pada kasus kelolaan yang praktikan lakukan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 109 Masalah keperawatan kecemasan di definisikan sebagai perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu) ; perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman (NANDA, 2012). Kecemasan yang dirasakan pasien DM akan berdampak pada masalah fisik seperti nyeri yang bertambah, gangguan tidur, perubahan pada tekanan darah hingga mempengaruhi stabilitas gula darah dan system imun. Pengaruh kecemasan terhadap kondisi diatas dapat dijelaskan melalui psikoneuroimunoendokrinologi. Sistem endokrin : stres psikis dan psikososial berdampak terhadap peningkatan aktivitas hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) melalui Corticotropin Releasing Factor (CRF). CRF berperan sebagai koordinator respon antara sel saraf terhadap stres tersebut. CRF menginstruksikan saluran-saluran pituitary pada otak untuk mengeluarkan ACTH (Adrenoccorticotropic Hormon) yang mengaktifkan korteks adrenal untuk mengeluarkan hormone corticoid. Corticoid berupa glucocorticoid mengeluarkan kortisol dan mineralocorticoid yang mengeluarkan aldosteron. Aldosteron dapat meningkatkan tekanan darah sedangkan kortisol mempunyai beberapa fungsi. Fungsi pertama kortisol meningkatkan gula darah untuk energi dan memobilisasi free fatty acids dari jaringan adiposa. Lapisan lemak ini dipecah menjadi protein yang meningkatkan tekanan darah arteri, sehingga mempunyai bahan bakar untuk mempersiapkan proses hadapi (munculnya stresor). Fungsi kortisol yang kedua menyebabkan perubahan fisiologi yang sangat bermakna, yaitu menurunkan pelepasan limphosit dari saluran timus dan lymphnodes. Limphosit ini penting untuk sistem imun. Jika kortisol meningkat berdampak pada penurunan efektifitas respon sistem imun. Padan sistem saraf otonom : pesan dikirim melalui bagian posterior dari hipotalamus melalui saraf ke adrenal medulla. Pada proses ini terjadi pengeluaran epinephrine dan nor-epinephrin. Ini menunjukan kaitan yang erat antara stres, neuro dan imunitas. Selanjutnya aspek Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 110 psikologis seperti stres dapat mempengaruhi ekspresi sel Th1dan Th2 yang akan menghambat imunitas seluler dan humoral Intervensi keperawatan yang dilakukan pada masalah kecemasan ini diantaranya dengan menggali sumber stress melalui pengkajian stimulus, mendiskusikan dengan klien kekuatan yang dimiliki, mengguanakan berbagai tehnik relaksasi seperti PMR, dan meningkatkan keyakinan spiritual pasien sebagai salah satu sumber kekuatan dari dalam diri pasien. Meningkatkan keyakinan spiritual sebagai upaya meningkatkan kesehatan fisik dan mental belum sepenuhnya menjadi bagaian dari asuhan keperawatan gangguan kecemasan khususnya tempat praktikan menjalani paraktik. Dari hasil pengkajian kebutuhan spiritual beberapa pasien meninggalkan kegiatan spiritual (sholat) yang sebelumnya selalu dilakukan. Stimulus yang ditemukan pada kondisi ini diantaranya karena ketidaktahuan pasien dalam menjalankan kegiatan spiritual saat sakit, karena motivasi yang kurang atau karena tidak tersedianya fasilitas untuk menjalankan praktek spiritual (Mukena, sajadah, injil, dan lainnya). Intervensi yang dapat dilakukan pada kondisi ini adalah meningkatkan keyakinan pasien bahwa spiritual akan membantu proses penyembuhan, mendiskusikan cara ibadah saat sakit dan melibatkan keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk ibadah. Evaluasi yang ditemukan pada pada masalah kecemasan, didapatkan perilaku adaptif seperti : pasien mampu mengungkapkan sumber kecemasnnya, mampu mengembangkan koping yang baik untuk mengatasi kecemasannya, ungkapan menerima kondisi sakitnya dan motivasi dalam menjalankan perawatannya. Waktu yang dapat dicapai untuk mengatasi berentang antara hari ke 3 hingga ke 7. Pencapain ini dipengaruhi juga oleh support system dari keluarga,dan maslah financial. Oleh sebab itu, melibatkan support dari keluarga menjadi hal yang utama pada intervensi kecemasan. Setelah praktikan melakukan asuhan keperawatan dengan menerapkan model adaptasi Roy, pada pasien gangguan endokrin khususnya untuk kasus DM, praktikan dapat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 111 menggambarkan bahwa MAR merupakan salah satu model asuhan keperawatan yang dapat dilakukan secara holistic. Pengkajian yang dilakukan pada empat mode telah mencakup masalah bio, psiko, social dan kultural. Pengkajian tidak hanya pada perilaku yang dapat dilihat, diukur dan diobsevasi, namun MAR menggali lebih lanjut penyebab dari timbulnya setiap perilaku, yaitu melalui pengkajian tahap dua. Pengkajian yang komprehensif akan menentukan intervensi yang tepat. MAR mengarahkan bahwa penetapan intervensi keperawatan dengan menggurangi stimulus yang ada sebagai sumber penyebab perilaku maladaptif /inefektif dan keberhasilan intervensi ditunjukan dengan perubahan perilaku kearah adaptif. Kelemahan lain dari MAR yang praktikan rasakan adalah pola pengkajian yang tidak dapat dilakukan secara utuh pada kasus kegawatan terutama di unit gawat darurat dan pada unit rawat jalan. Pada unit gawat darurat, pengkajian utama yang kita lakukan lebih kepada mode fisiologi yang saat itu dirasakan oleh pasien, sehingga pengkajian untuk mode yang lain sulit untuk dilakukan. Selain karena masalah fisiologi yang harus segera diatasi, pasien akhirnya akan dipindahkan ke unit lain. Begitu juga dengan pasien di poli rawat jalan. Singkatnya waktu yang digunakan untuk melakukan asuhan keperawatan menyulitkan MAR ini digunakan. Masukan yang dapat praktikan usulkan berhubungan dengan penerapan MAR di unit gawat darurat, format pengkajian hingga intervensi dibuat dengan model Check list . Pada mode adaptasi yang belum terkaji dapat ditindaklanjuti di tempat pasien tersebut menjalani perawatan. Kesulitan lain yang praktikan dapatkan dalam menentukan diagnose sejahtera. Diagnosa keperawatan sejahtera didefinisikan sebagai ketentuan klinis mengenai individu dalamtransisi dari tingkat kesehatan khusus ke tingkat kesehatan yang lebih baik. Diagnosa ini menggabungkan fungsi positif yang didapatkan. Pada MAR dalam menentukan masalah keperawatan berorientasi pada perilaku inefektif. Ketika ditemukan perilaku inefektif dan didukung dengan perilaku adaptif, ini merupakan kondisi khusus untuk menuju terjadinya peningkatan fungsi kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini, praktikan menggunakan panduan NANDA dalam menentukan diagnose keperawatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 112 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 113 BAB 4 PRAKTEK BERDASARKAN PEMBUKTIAN PENGKAJIAN KAKI SEBAGAI DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI PADA PASIEN DM TIPE II Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Komplikasi kronik yang sering dijumpai diantaranya adalah kaki diabetik yang dapat bermanifestasi sebagai ulkus, infeksi dan gangren. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam perjalanan penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di kaki (Taylor, 2008; Clair.D, 2011). Prevalensi penderita ulkus Diabetes di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetes merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk Diabetes mellitus (Hastuti, 2008). Dampak dari timbulnya ulkus pada penderita Diabetes, tidak hanya dari tingginya biaya perawatan namun lebih jauh akan menurunkan produktifitas penderita, gangguan konsep diri hingga menurunnya kualitas hidup. Pengelolaan kaki diabetes sudah dimulai saat seseorang dinyatakan menderita Diabetes mellitus, meskipun belum timbul luka atau ulkus. Langkah awal untuk melakukan pengelolaan dengan tepat adalah melakukan screening atau deteksi dini terhadap kaki pendereita diabetes. Deteksi dini yang optimal dapat menurunkan resiko terjadinya ulkus kaki dan amputasi sebesar 40 – 85% (Taylor, 2008; Yudovsky et al, 2011). Deteksi dini pada gangguan kaki diabetik merupakan salah satu kegiatan dalam pengkajian keperawatan yang harus dilakukan oleh seorang perawat. Pengkajian yang akurat dan komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada pasien dan selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat (Perry & Poter, 2010). Screening atau deteksi terhadap resiko ulkus kaki diabetik yang dilakukan oleh Malgrange et al, tahun 2003 di 16 pusat pelayanan diabetik di Perancis terhadap 555 pasien, ditemukan 72,8% beresiko rendah mengalami ulkus pedal dan 17,5 % berada Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 114 pada klasifikasi resiko tinggi. Dari deteksi tersebut disimpulkan bahwa hasil deteksi menjadi dasar bagi penyelenggara pelayanan kesehatan untuk merencanakan strategi pencegahan terhadap kejadian ulkus diabetik. Pada studi comparative yang dilakukan oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada pasien diabetes di Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania ditemukan masalah resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di Swedia. Faktor yang berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia dikarenakan Swedia merupakan negara yang lebih maju dibandingkan Tanzania terutama dalam pelayanan kaki diabetik. Disampaikan bahwa pengkajian kaki diabetik telah dilakukan pada pasien diabetik sebagai langkah awal dalam pencegahan ulkus diabetik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rerkasem et al, 2007 dalam Taylor.M.C,2008 terhadap 171 penderita ulkus kaki diabetik di Chiang Mai University Hospital, menggunakan metode cohort membandingkan perawatan standar dengan diabetik foot protocol (DFP) terhadap kejadian amputasi. Hasil penelitian menunjukan adanya penurunan kejadian amputasi baik mayor maupun minor pada kelompok dengan perlakukan DFP yang meliputi pengkajian, intervensi dan monitoring kaki diabetik. Pengkajian kaki secara komprehensif sebagai upaya deteksi dini terhadap ulkus diabetik seharusnya dilakukan pada semua penderita Diabetes. RNAO,2005;Farber & Farber,2007 dalam Taylor,M.C, 2008 dan ADA, 2011, menguraikan komponen penting dalam pengkajian kaki diabetik berdasarkan penyebab gangguan pada kaki diabetik yang meliputi : riwayat hiperglikemia, faktor resiko seperti merokok dan riwayat penyakit vaskuler , riwayat ulkus dan amputasi, neuropati, vaskularisasi, deformitas pada musculoskeletal, kondisi kuku kulit, adanya infeksi,serta penggunaan alas kaki. Pada akhirnya, dari hasil pengkajian dapat diklasifikasikan terhadap resiko terjadinya ulkus kaki diabetik. Salah satu klasifikasi yang banyak digunakan adalah klasifikasi yang dikembangkan oleh International Working Group on the Diabetik Foot tahun 1999. Resiko kaki diabetik dibagi dalam 4 klasifikasi (IWGDF, 2001). Selanjutnya pada bab ini akan dipaparkan hasil analisa dan sintesa secara kritis terhadap berbagai hasil penelitian yang berhubungan dengan pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik. Praktikan juga akan memaparkan pengalaman praktikan dalam melaksanakan praktek berdasarkan pembuktian (EBN) pada kasus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 115 kelolaan. Pada tahap akhir, praktikan akan melakukan penelaahan terhadap pengalaman melakukan EBN pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik. 4.1.Hasil Journal Reading (Critical Review) Dalam penerapan praktek berdasarkan pembuktian, langkah awal yang dilakukan adalah penelusuran literatur melalui EBSCO data bases; CINAHL, Proquest dan MEDLINE. Kata kunci yang digunakan yaitu: diabetik foot, ulcer diabetik, assessment diabetik foot, dan diabetik foot screening. Selanjutnya dilakukan review kritis pada literature yang mendukung. 1. Judul artikel : Foot Assessment in type 2 Diabetes:an evidence-based practice approach oleh Taylor M.C, 2008 . Merupakan sebuah sistematik review yang menganalisis berbagai Evidence Based Nursing Practice dengan berbagai tingkatan atau level mengenai pengkajian kaki diabetik. Literatur dari artikel ini didapatkan dari tiga EBN pada level 1, tiga EBN Level II, tidak ditemukan EBN dengan level III, empat EBN level IV, empat EBN level VI dan lima EBN pada Level VII. Latar belakang dari ini sistematik review adalah bahwa gangguan kaki merupakan penyebab kesakitan pada penderita Diabetes tipe 2. Ulkus kaki diabetik juga menjadi penyebab terbanyak amputasi pada kaki bagian bawah. Salah satu upaya termudah dalam mendeteksi adanya gangguan pada kaki dan akhirnya mengurangi kejadian amputasi adalah dengan melakukan pemeriksaan atau pengkajian pada kaki secara menyeluruh, cermat dan konsisten pada setiap kunjungan. Pada kaki penderita diabetes tanpa gangguan vaskuler, neurophati, maupun deformitas pemeriksaan dapat dilakukan minimal satu tahun sekali. Sayangnya ketika penderita Diabetes berkunjung ke pelayanan primer untuk kontrol penyakitnya (kunjungan rutin) penderita Diabetes ini jarang ditanyakan mengenai masalah kaki, perawatan kaki yang dilakukan, penggunaan alas kaki apalagi diminta untuk membuka kaus kaki dan alas kakinya untuk dilakukan pemeriksaan kaki. Dalam sistematik review ini, Taylor M.C., 2008 mempunyai tujuan mereview dan mensintesis literature yang berbasis bukti bagaimana pengkajian kaki pada pasien diabetes pada pelayanan primer atau rawat inap untuk mendeteksi adanya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 116 neurophati, deformitas, penurunan vaskularisasi dan perkembangan ulkus. Pada akhirnya berdasarkan klasifikasi hasil pengkajian kaki direkomendasikan intervensi untuk menurunkan komplikasi ulkus pada Diabetes tipe 2. Berdasarkan analisis didapatkan pertanyaan PICO pada literature ini adalah apakah pengkajian kaki yang selalu dilakukan pada pasien Diabetes tipe 2 di pelayanan primer maupun rawat inap dapat menurunkan resiko komplikasi pada ekskremitas bawah. Taylor, M.C, 2008 menguraikan PICO pada artikel ini sebagai berikut : Population (P) atau populasi pada EBN ini semua penyandang Diabetes tipe 2 tanpa ulkus. Intervensi (I) atau tindakan yang dilakukan adalah pengkajian kaki. Comparation (C) atau pembanding dari penerapan EBN ini, dinyatakan tidak ada pembanding. Dijelaskan oleh Taylor, bahwa pengkajian kaki pada pasien diabetes tipe 2 telah menjadi panduan standar Internasional dan sebagai EBN level 1. Outcome (O) atau hasil akhir yang diharapkan adalah teridentifikasinya resiko kaki diabetes melalui pengkajian kaki dan pada akhirnya dengan intervensi yang sesuai oleh multidisiplin keilmuan/profesi akan menurunkan komplikasi ekskremitas bawah seperti ulkus diabetik. Validitas dan reliabilitas pada systematic review ini disampaikan bahwa pengkajian kaki yang direkomendasikan ini merupakan pengkajian standar pada level 1 yang telah menjadi panduan internasional. EBN level 1 didefinisikan sebagai evidence yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai randomized control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review pada RCT. Pada systematic review ini, EBN level 1 yang digunakan adalah rekomendasi dan panduan pengkajian kaki dari American Diabetik Association (ADA), 2008 dan American Association of Clinical Endokrinologist (AACE), 2007, sebagai berikut : a. ADA dan AACE merekomendasikan untuk melakukan deteksi terhadap neuropathi khususnya pada yang pertama kali terdiagnosis DM tipe 2 dan dilakukan minimal satu tahun sekali (level A). b. AACE : melakukan pemeriksaan kaki pasien DM tipe 2 pada setiap kunjungan dengan mengevaluasi kondisi kulit, kuku, nadi, temperature, adanya tekanan dan kebersihan kaki (Level B) c. ADA : melalukan inspeksi kaki penderita DM tipe 2 pada setiap kunjungan jika didapatkan neuropati (level B) Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 117 d. ADA dan AACE : melakukan uji monofilament, garpu tala, palpasi, dan inspeksi untuk melakukan pengkajian kaki yang komprehensif (level B) e. Melakukan rujukan kepada spesialis perawatan kaki pada kondisi penurunan sensasi, perubahan mekanik kaki, riwayat merokok atau adanya riwayat komplikasi kaki sebelumnya ( level C) f. ADA : melakukan pengkajian adanya Peripheral Arterial Disease (PAD) dengan melakukan palpasi pada arteri pedal dan melakukan pemeriksaan Angkle Brachial Index (ABI) untuk mendiagnosis adanya penurunan sirkulasi vaskuler (level C) g. ADA dan AACE : pentingnya melakukan edukasi mengenai perawatan kaki dan modifikasi gaya hidup sesuai panduan (Level B). Rekomendasi yang dibuat pada systematic review ini adalah : a. Pemeriksaan kaki sejak awal pada penderita Diabetes di pelayanan primer akan mampu mendeteksi gangguan pada kaki seperti gangguan sensasi (neurophati),gangguan vaskuler maupun deformitas, yang akan menghambat perkembangan ulkus pada kaki b. Deteksi dini gangguan pada kaki diabetik akan menurunkan angka kematian yang berhubungan dengan Diabetes tipe2 c. Perawatan pasien Diabetes dengan berbagai komplikasi termasuk ulkus diabetik akan meningkatkan pembiayaan, sehingga deteksi dini terhadap masalah kaki diabetik akan menurunkan biaya perawatan d. Pelayanan kesehatan primer mempunyai peranan penting dalam mendeteksi gangguan kaki dan melakukan pencegahan dengan memberikan edukasi dan perawatan kaki, melakukan pemantauan pada setiap kunjungan atau melakukan pemeriksaan kaki sesuai yang direkomendasikan 2. Judul Artikel : Effectivenness of the diabetik foot risk classification system of the International Working Group on the Diabetik Foot oleh Edgar J.G. Peters & Lawrence A. Lavery pada tahun 2001. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai efektifitas klasifikasi kaki berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan oleh IWGDF. Desain dan metode penelitian : menggunakan sample 225 pasien diabetes yang pada awalnya menjadi bagian dari studi case control di University of Texas Health Science Center di San Antonio. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 118 Pada akhirnya hanya 213 pasien yang diamati selama 29 bulan. Sample kemudian dikelompokkan menjadi 4 kelompok sesuai consensus IWGDF, yaitu 0 untuk kaki tanpa neuropati, 1 dengan neuropati tetapi tidak ada deformitas maupun PVD, 2 merupakan kelompok sengan neuropati dan deformitas atau PVD dan kelompok 3 pasien dengan riwayat ulkus maupun amputasi. Hasil penelitian di dapatkan pada kelompok resiko tinggi mempunyai riwayat diabetes lebih lama, glukosa yang tidak terkontrol, adanya gangguan pembuluh darah dan neuropati serta adanya komplikasi sistemik. Diamati selama tiga tahun ulkus kaki terjadi 5.1 % pada kelompok 0, 14,3% pada kelompok 1, 18,8% pada kelompok 2 dan 55,8 % pada kelompok 3 (P<0,001). Kejadian amputasi ditemukan pada kelompok 2 sebanyak 3,1% dan kelompok 3, 30,9% (P < 0.001). Pada akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa klasifikasi menurut IWGDF dapat digunakan sebagai alat untuk screening dan mencegah komplikasi kaki diabetik. 3. Judul Artikel : Do foot examinations reduce the risk of diabetik amputations oleh Mayfield, reiber, Nelson & Greene, tahun 2000. Penelitian ini dilatarbelakangi bahwa pemeriksaan kaki telah direkomendasikan sebagai metoda untuk mengurangi resiko amputasi, tetapi karena belum ada penelitian yang dilakukan untuk melihat efek independen dari pemeriksaan kaki ini terhadap penurunan resiko amputasi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan desain retrospektif case control, diwilayah Arizona dengan melibatkan 244 sampel yang terdiri dari 61 kasus amputasi ekskremitas bawah pada 1 januari 1985 dan 31 Desember 1992. Dan 183 kasus control yaitu pada pasien yang tidak diamputasi pada tanggal 31 Desember 1992. Penelitian dilakukan dengan mencatat hasil pemeriksaan kaki, komplikasi atau penyakit penyerta, faktor resiko ulkus selama 36 bulan dari medical record. Hasil penelitian menunjukan total pemeriksaan yang dilakukan sebanyak 1857 kali pada 244 sampel. Rata – rata pemeriksaan dilakukan sebanyak 7 kali pada kasus dan 3 kali pada control. Resiko amputasi pada orang yang dilakukan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 119 pemeriksaan kaki 1 kali atau lebih menunjukan OR 0.55 (95% CI,02-1,7, P =0,31). Resiko amputasi berhubungan dengan ketidakpatuhan terhadap perawatan kaki yang direkomendasikan menunjukan hasil OR 1,9 (95% CI, 09-4,3, P =0,10). Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini gagal membuktikan bahwa pengkajian kaki dapat menurunkan resiko amputasi, namun pengkajian kaki mampu mendeteksi kondisi resiko tinggi untuk amputasi sehingga intervensi yang tepat, akan menurunkan kejadian amputasi. Hasil critical review pada 3 jurnal yang saling mendukung, selanjutnya akan diterapkan pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini kaki diabetic, berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Taylor, 2008 dengan judul “Foot Assessment in type 2 Diabetes:an evidence-based practice approach” 4.2. Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian Dalam pelaksanaan praktek berdasarkan pembuktian (EBN) ini praktikan menggunakan hasil systematik review dari Taylor M.C, 2008. Systematik review ini masuk ke dalam katagori EBN level 1. Sesuai definisi EBN level 1 adalah sebuah evidence yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai randomized control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review dengan RCT (Taylor M.C,2008). Penerapan EBN ini dilakukan ditempat praktek (RS.Fatmawati), dengan terlebih dahulu melalui pengamatan fenomena selama praktikan melaksanakan praktek residensi 1 dan 2. Hasil penelusuran data, didapatkan bahwa pasien Diabetes menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak pada tahun 2010 di RSUP. Jumlah pasien diabetes yang dirawat khususnya di ruang rawat inap penyakit dalam di gedung Teratai lantai 5 Selatan pada bulan September 2011 hingga Februari 2012 sebanyak 123 pasien terdiri dari 36 (29.1 %) pasien mengalami ulkus diabetik dan 87 (69.9 %) pasien dengan tanpa ulkus. Prosentase data rawat inap pasien ulkus ini, lebih tinggi dibandingkan dengan prosentase ulkus di Indonesia yang berjumlah 15% dari seluruh kasus Diabetes di Indonesia. Berdasarkan angka tersebut dapat kita cermati bahwa jumlah pasien diabetes melitus dengan tanpa ulkus cukup tinggi, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian untuk memberikan intervensi yang tepat sehingga tidak berlanjut pada ulkus diabetik. Intervensi awal yang dapat dilakukan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 120 adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya mengetahui resiko terjadinya ulkus pada pasien diabetes tersebut. Penerapan EBN ini mulai dilaksanakan pada minggu ke dua Maret hingga awal minggu pertama bulan Mei 2012. Dalam pelaksanaannya praktikan melibatkan sesama residen, mahasiswa program aplikasi dan juga perawat ruangan. Langkah pertama pada penerapan EBN ini adalah menginformasikan rencana kegiatan kepada management ruangan dan selanjutnya melakukan sosialisasi. Pemilihan pasien disesuaikan dengan kriteria, yaitu pasien DM tipe 2 tanpa ulkus kaki, tidak mengalami sakit berat maupun penurunan kesadaran. Format yang digunakan sebagai panduan pengkajian adalah format status kaki diabetes yang telah dimiliki oleh rumah sakit Fatmawati. Format ini khususnya untuk pengkajian kaki secara keseluruhan sudah sesuai dengan rekomendasi dari EBN yang digunakan. Penerapan EBN ini dilakukan pada 20 responden yang sesuai kriteria. Semua pasien merupakan penderita DM tipe 2 terdapat 3 pasien (15%) baru terdiagnosis diabetes. Pelaksanaan pengkajian kaki pasien DM, dimulai dengan mengisi identitas pasien yang meliputi nama,usia, dan nomer register. Selanjutnya dilakukan pengisian hasil laboratorium meliputi nilai gula darah sewaktu dan nilai HbA1C yang dapat dilihat dari status pasien. Selanjutnya dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik terutama pada area kaki. Berikut ini kegiatan pada pengkajian kaki diabetik. 4.2.1. Anamnesa Anamnesa atau wawancara yang dilakukan meliputi status kesehatan yang mempengaruhi proses terjadinya kaki diabetik diantaranya adalah lamanya menderita diabetes. Riwayat penyakit yang akan mempengaruhi kaki diabetik seperti adanya penyakit kardiovaskuler, gangguan peripheral vaskuler, adanya gangguan penglihatan, riwayat pembedahan pada pembuluh darah atau amputasi dan riwayat ulkus kaki sebelumnya. Pola hidup yang ditanyakan terkait dengan kaki diabetik meliputi, penggunaan alas kaki, merokok dan konsumsi alcohol. Keluhan pada kaki seperti hilang rasa, kesemutan dan nyeri pada area kaki termasuk klaudikasio merupakan hal yang harus ditanyakan pada pasien. 4.2.2. Pemeriksaan fisik Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 121 Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan olfaksi dan pemeriksaan khusus. Observasi pertama yang dilakukan pada pasien diabetes adalah gaya berjalan. Gaya berjalan dimana beban tubuh bertumpu pada satu kaki, merupakan resiko tinggi untuk terjadinya kaki diabetik. Fokus pemeriksaan fisik pada kaki diabetik adalah pada vaskuler, saraf dan kelainan pada kulit, kuku dan musculoskeletal (deformitas) a. Kulit, kuku dan deformitas musculoskeletal Melakukan observasi pada kebersihan dan bau dari area kulit kaki ,adanya athropi otot, ulcer, eritema, kulit kering dan bersisik, kelainan pada kuku dan adanya formasi kallus. Kelainan bentuk pada musculoskeletal meliputi, penurunan pada gerak sendi kaki, adanya claw toes, hammer toes, dan charcot. b. Pemeriksaan Vaskularisasi Pemeriksaan vaskularisasi ke area kaki dimulai dengan melakukan palpasi temperatur kulit, pulsasi pada arteri posterior tibialis dan dorsalis pedis. Pemeriksaan lanjut yang digunakan untuk mengetahui vaskularisasi kearah kaki dan untuk mengidentifikasi adanya resiko gangguan arteri peripheral (PAD), dapat dilakukan pemeriksaan Angkle Brachial Indexes (ABI). ABI adalah test non invasive untuk mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (brachial). Tekanan darah sistolik diukur dengan menggunakan alat yang disebut simple hand held vascular Doppler ultrasound probe dan tensimeter (manometer mercuri atau aneroid). Pemeriksaan ABI dilakukan untuk mendeteksi adanya insufisiensi arteri sehingga dapat diketahui adanya gangguan pada aliran darah menuju ke kaki. Direkomendasikan menggunakan probe dengan frekuensi 8 MHz untuk ukuran lingkar kaki normal dan 5 MHz untuk lingkar kaki obesitas atau edema. c. Pemeriksaan Neuropathy Neuropathy yang dapat terjadi pada kaki diabetik diantaranya neuropathy otonom, neuropathy sensorik, maupun neuropathy motorik. Neuropathy otonom dapat dilihat adanya penurunan produksi keringat pada area kulit Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 122 sehingga menyebabkan kulit kering,licin atau bersisik. Gangguan neuropathy sensorik ditemukan adanya penurunan sensasi terhadap raba, getar, suhu, maupun nyeri. Gangguan pada serabut saraf aferen dapat dideteksi dengan adanya penurunan reflek tendon baik tendon patella maupun achiles. Pemeriksaan neuropathy sensori getar digunakan garputala dengan frekuensi 128 Hz, dan untuk pemeriksaan sensasi rasa digunakan monofilament 10 gr, 5.07. Area-area untuk melakukan pengujian monofilament Gambar 4.1 Area melakukan uji monosilament Sumber : Assessing Protective Sensation with a Monofilament”, pada Advances in Skin & Wound Care, 17(7), p.346. Copyright 2004 by Lippincott Williams & Wilkins, dalam Nowakowski, P.E, 2008 Data-data yang di dapatkan pada pengkajian, selanjutnya dilakukan analisis untuk disimpulkan apakah ada gangguan atau resiko terjadinya ulkus pada penderita diabetes tersebut. Klasifikasi yang praktikan gunakan berdasarkan klasifikasi dari International Working Group on the Diabetik Foot (IWGDF) tahun 1999. Dibawah ini ditampilkan klasifikasi resiko komplikasi kaki menurut IWGDF. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 123 Tabel 4.1. Klasifikasi Resiko Ulkus Diabetik Menurut International Working Group on the Diabetik Foot Kategori Resiko 0 1 2 3 Definisi Rekomendasi Intervensi - Tidak ada penurunan sensasi - Tidak ada gangguan vaskularisasi - Tidak ada deformitas - Neurophaty (sensasi ) +/- Ditemukan deformitas - Edukasi : perawatan kaki dasar & penggunaan alas kaki - Gangguan vascular +/- Ada neuropathy sensori - Riwayat ulkus kaki atau riwayat amputasi Rekomendasi Follow up Setiap tahun (dokter umum, spesialis kaki) - Edukasi kaki diabetik - Pemeriksaan kaki setiap hari - Penggunaan alas kaki khusus - Dipertimbangkan untukkonsultasi ke dokter bedah - Sama dengan katagori 1 - Consultasi dengan spesialis vaskuler Mengunjungi poli kaki setiap 3 – 6 bulan sekali - Sama dengan katagori 1 - Consultasi dengan spesialis vaskuler,terutama jika ada penurunan vaskuler Mengunjungi poli kaki setiap 2 – 3 bulan sekali Mengunjungi poli kaki setiap 2 – 3 bulan sekali Adapun hasil pengkajian kaki pada penerapan EBN ini adalah sebagai berikut: Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan usia di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 n= 20 Variabel Mean Median Usia 54,65 56,50 SD Min-Maks 95% CI 11,67 26 - 69 49,1 – 60,1 Pada table 4.2 menggambarkan hasil analisis rata–rata usia responden dalam penerapan pengkajian kaki ini adalah 54,65 tahun (95 % CI : 49,1 – 60,1), dengan usia termuda 26 tahun dan usia tertua 69 tahun. Hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata–rata usia responden adalah diantara 49,1 – 60,1 tahun. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 124 Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lama menderita DM dan kadar HbA1C, di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012, N = 20 Jumlah Presentase Jenis kelamin ï‚· Pria ï‚· Wanita 17 3 85 % 15 % Lama menderita DM ï‚· < 5 tahun ï‚· > 5 tahun 9 11 45% 55% Kadar HbA1C ï‚· < 6,5 % ï‚· > 6.5 % 1 19 5% 95% Resiko ulkus kaki diabetik ï‚· Rendah (0) ï‚· Sedang (1) ï‚· Tinggi (2) 11 4 5 55% 20% 25% Variabel Tabel 4.3 menggambarkan jenis kelamin responden sebagian besar adalah pria dengan jumlah 17 orang (85%), 11 orang (55%) telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan 95 % (19 responden) menunjukan kadar HbA1C diatas 6,5 % atau pada kondisi gula darah yang tidak terkontrol dalam 3 bulan terakhir. Dari hasil pengkajian kaki dan pengklasifikasian resiko ulkus kaki diabetes menurut IWGDF didapatkan 11 responden (55 %) beresiko rendah, 4 responden (20%) beresiko sedang dan 5 responden (25 %) beresiko tinggi terjadi ulkus kaki. Selanjutnya praktikan mencoba melihat hubungan statistik antara usia, kadar HbA1C, dan lama menderita DM, didapatkan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 125 Tabel 4.4. Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan lama menderita DM dan kadar HbA1C di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012, N= 20 Variabel Resiko Kaki diabetik Ringan Sedang Tinggi n % N % n % Lama menderita DM ï‚· < 5 tahun ï‚· > 5 tahun 8 3 72,7 27,3 1 3 25 75 0 5 0 100 Kadar HbA1C ï‚· < 6,5 % ï‚· > 6.5 % 0 11 0 100 1 3 25 75 0 5 0 100 11 100 4 00 5 100 TOTAL Tabel 4.4 menunjukan bahwa responden yang mempunyai katagori beresiko terjadi ulkus kaki diabetik sedang, sebagian besar (75 %) telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan menunjukan kadar HbA1C yang lebih dari 6,5 %. Seluruh responden (100%) yang mempunyai resiko tinggi ulkus kaki diabetik telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan kadar HbA1C menunjukan lebih dari 6,5 %. Tabel 4.5 Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan usia di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N= 20 Variabel Usia Resiko Ulkus n Mean SD ï‚· Rendah 11 50,82 12,687 ï‚· Sedang & Tinggi 9 59,33 8,803 Pada table 4.5 dapat dijelaskan responden dengan resiko ulkus kaki sedang dan tinggi mempunyai rata-rata usia lebih tua sekitar 9 tahun dibandingkan pada responden dengan resiko rendah. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 126 4.3. Pembahasan Kaki diabetik adalah kaki pada pasien diabetes yang rentan terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari diabetes. Kaki diabetik ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy), berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor, 2008; Waspadji, 2009;Turn, 2011). Kelainan kaki juga menjadi salah satu penyebab utama morbiditas pada pasien DM tipe 2 (Taylor, 2008; Hastuti, 2008: Waspadji, 2009). Di Rumah sakit Fatmawati khususnya di lantai 5 Selatan Gedung teratai sebagai salah satu unit rawat inap penyakit dalam, pasien ulkus diabetes yang dirawat jumlahnya mencapai 29,1 % dari seluruh pasien DM yang dirawat pada bulan September 2011 hingga Februari 2012. Hal ini membuktikan bahwa ulkus diabetik akan menyebabkan penyandang diabetes mengalami masalah kesehatan yang harus mendapatkan perawatan yang lebih serius. Ulkus kaki diabetik merupakan komplikasi dari penyakit DM yang dapat dicegah sejak dini. Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus dapat diawali dengan melakukan pengkajian pada kaki. Pengkajian kaki sebagai upaya melakukan deteksi dini dapat menurunkan resiko terjadinya ulkus kaki dan amputasi sebesar 40-85% (Taylor, 2008; Yudovsky et al, 2011). Pengkajian merupakan langkah awal untuk menentukan tindakan yang tepat sesuai dengan kondisi kaki yang ditemukan. Pengkajian kaki untuk mendeteksi adanya resiko ulkus diabetik dilakukan dengan mengidentifikasi faktor resiko seperti lamanya menderita DM, kadar HbA1C, riwayat penyakit vaskuler, retinopathy maupun riwayat nefropathy. Penelitian yang dilakukan oleh Simmons & Clover, 2007 di pelayanan primer di Selandia baru dengan melihat status metabolic meliputi HbA1C, lipid profil, creatinin serum terhadap resiko ulkus kaki, didapatkan hubungan antara status metabolic yang tidak terkontrol dengan peningkatan resiko ulkus yang ditandai dengan kondisi kuku, kulit kaki kurang baik, ditunjang dengan peningkatan kejadian retinopathy. Pemeriksaan kaki yang dilakukan untuk mendeteksi adanya resiko ulkus meliputi pemeriksaan vaskuler, pemeriksaan neuropathy perifer dan deformitas. Pemeriksaan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 127 ini merupakan pemeriksaan yang standar yang direkomendasikan oleh RNAO, 2004, ADA, 2008, dan AACE, 2007. Gangguan vaskuler menjadi faktor resiko ulkus kaki diabetik dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing –masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009). Selain gangguan vaskuler, neuropathy perifer juga menjadi Faktor resiko penting pencetus ulkus kaki diabetik. Diperkirakan 40-65% ulkus kaki diabetik disebabkan karena neuropathy sensori (Frykberg et al, 2006). Screening kaki diabetik yang dilakukan pada 555 responden di berbagai pusat kesehatan di Perancis,mendapatkan 27 % mengalami neuropathy sensori dan dari 27% tersebut, 7.7% mempunyai resiko tinggi terjadi ulkus kaki diabetik (Malgrange et al, 2003). Adapun proses terjadinya neuropathy pada pasien diabetes adalah sebagai berikut : neuropathi diabetik (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 128 Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung. Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat perubahan neuropatik (Brunner & Suddarth, 2005). Pemeriksaan neuropathy sensori yang direkomendasikan dan merupakan EBN pada level 1 adalah pemeriksaan Semmes–Weistein monofilament 10 gr, 5.07. Pemeriksaan ini menggunakan monofilament 10 gr ukuran 5.07. Penggunaan monofilament 10 gr untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14 studi (1950 – 2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 3142 orang dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostic tunggal. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 129 Dari hasil penerapan pengkajian kaki yang dilakukan pada 20 pasien diabetes di lantai 5 selatan di dapatkan hasil rata-rata usia responden 54,56 tahun, rata-rata usia responden dengan resiko ulkus kaki pada katagori sedang dan tinggi adalah 59,33 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Malgrange et al, 2003 di Perancis mendapatkan responden yang mempunyai resiko ulkus diabetik sedang dan tinggi mempunyai rata-rata usia 65 th. Sementara penelitian Bibby, 2008 mendapatkan rata-rata usia responden yang mengalami resiko tinggi di Tazania adalah 59,2 tahun dan di Swedia dengan resiko sedang 58,3 tahun. Onset baru terjadinya DM tipe 2 yaitu pada usia di atas 40 tahun dan dengan meningkatnya usia resistensi terhadap insulin, serta penurunan terhadap berbagai fungsi organ terjadi,sehingga berbagai komplikasi lebih cepat terjadi pada penderita diabetes pada usia yang lebih lanjut (Brunner & Sudddarth (2005); Kebbi, 2003, dalam Ignativicius & Workman, 2006). Selain usia, factor lain yang mempengaruhi terjadinya ulkus kaki diabetik adalah lamanya menderita diabetes dan kadar HbA1C yang menunjukan control gula darah dalam 3 bulan terakhir. Hasil penerapan EBN di dapatkan 100 % pada responden yang beresiko tinggi terjadinya ulkus telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan mempunyai kadar HbA1C lebih dari 6,5% yang menunjukan gula darah yang tidak terkontrol selama 3 bulan terakhir. Penelitian Al Mahroos & Al Roomi, 2007 dalam Taylor, 2008, mendapatkan rata-rata responden telah menderita diabetes selama 9,5 tahun dan didapatkan hubungan antara resiko ulkus dengan gula darah yang tidak terkontrol, dimana ditemukan 36 % mengalami neuropathy perifer, 11,8 % mengalami gangguan vaskuler perifer dan 5.9 % mengalami ulkus kaki. Hambatan yang dialami praktikan saat menerapkan EBN pengkajian kaki ini adalah peralatan yang tidak tersedia khususnya untuk monofilament 10 gr, garputala 128 Hz, dan Doppler dengan prob 8 MHz. Selain itu format yang kurang sistematis, klasifikasi yang tidak sesuai dengan referensi praktikan serta kolom intervensi yang tidak tersedianya kolom rekomendasi intervensi juga menjadi hambatan awal praktikan menerapkan EBN ini. Pemecahan terhadap hambatan yang praktikan (monofilament 10 gr dan garputala 128 Hz) lakukan, untuk peralatan praktikan menyediakan sendiri, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 130 sedangkan untuk doppler digunakan spigmomanometer. Untuk keberlangsungan penerapan pengkajian kaki ini praktikan bersama tim mengkomunikasikan kepada management ruangan. Klasifikasi resiko ulkus yang praktikan gunakan mengacu kepada klasifikasi IWGDF, 2009 yang digunakan oleh berbagai Negara dan telah diuji kembali keefektifannya oleh Petter.E.J.G & Lavery L.A. tahun 2001. Perawatan dan penatalaksanaan lanjut terhadap masalah kaki pasien diabetes tidak hanya dilakukan oleh perawat, namun dokter dan educator juga mempunyai peranan penting. Dokumentasi terhadap hasil pengkajian dan intervensi lanjut menjadi media komunikasi untuk menindaklanjuti dan melihat perkembangan kondisi pasien. Sistem pendokumentasian yang belum terintegrasi antar tenaga kesehatan, rawat jalan dan rawat inap menjadi kendala dalam penatalaksanaan kaki diabetik yang berkelanjutan. Praktikan telah mengkomunikasikan masalah dokumentasi tersebut, dan masalah ini akan dijadikan topik diskusi dengan management. Pengkajian kaki pada pasien diabetes dapat mengidentisikasi sejak awal adanya resiko terjadinya ulkus kaki diabetik. Penatalaksanaan yang sesuai dengan klasifikasi resiko ulkus akan mampu menurunkan kejadian ulkus hingga 85 % (Taylor, 2008). Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang juga berperan dalam masalah kaki diabetik. Salah satu standar kompetensi perawat menurut PPNI tahun 2005, pada ranah kompetensi asuhan keperawatan dan pengembangan kualitas pelayanan, perawat S1 atau D3 dengan pendelegasian dan pelatihan mempunyai kompetensi untuk melakukan pengkajian dan menerapkan praktek berdasarkan EBN. Pada berbagai pelatihan kaki diabetes dimana peserta pelatihan adalah perawat, materi tentang pengkajian kaki diabetik juga dipaparkan. Seperti telah diuraikan sebelumnya rekomendasi yang dapat diberikan untuk penerapan EBN ini sebagai bagian dari asuhan keperawatan pada pasien diabetes diantaranya : a. perawat juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengkajian status kaki pada pasien diabetes. b. pencegahan ulkus kaki diabetik tidak hanya di lakukan dengan pengkajian namun harus dilakukan intervensi yang sesuai dengan resiko ulkus yang ditemukan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 131 c. Pendokumentasian terhadap hasil pengkajian sebagai dasar intervensi selanjutnya dan sebagai media komunikasi baik sesama perawat maupun dengan profesi lain yang berkaitan menjadi hal yang wajib dilakukan. d. Sebagai upaya pencegahan pengkajian kaki ini akan sangat efektif dilakukan di unit perawatan primer seperti rawat jalan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 132 BAB 5 KEGIATAN INOVASI PENINGKATAN KEMAMPUAN PERAWAT DALAM PENGKAJIAN KAKI DIABETIK SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI DIABETIK Kegiatan inovasi merupakan salah satu bentuk pelaksanaan peran perawat spesialis sebagai pembaharu untuk suatu perubahan pada pelaksana asuhan keperawatan yang berkualitas. Membantu meningkatkan kemampuan perawat generalis dalam melakukan asuhan keperawatan dapat dilakukan oleh perawat spesialis melalui perannya sebagai narasumber (resources), fasilitator, koordinator dan role model. Berikut ini akan diuraikan kegiatan inovasi yang telah praktikan laksanakan pada praktek residensi. 5.1.Analisa Situasi Masalah kaki diabetik sebagai salah satu komplikasi kronik diabetes banyak dialami oleh penyandang diabetes. Pengkajian kaki diabetik merupakan upaya pencegahan terjadinya masalah kaki diabetik dilakukan sejak awal seseorang terdiagnosis diabetes. Perry & Poter, (2010) menyampaikan bahwa pengkajian yang akurat dan komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada pasien dan selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat. Pengkajian merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat sesuai dengan levelnya (vokasional, ners atau ners spesialis). Pada ranah peningkatan kualitas pelayanan keperawatan, ners (S1 keperawatan) mempunyai kompetensi untuk melakukan praktek berdasarkan pembuktian (evidence based) dan perawat vokasional (D III keperawatan) mempunyai kompetensi untuk melaksanakan tugas sesuai arahan dan sesuai dengan pelatihan yang diikuti (PPNI, 2005). Pengkajian kaki diabetik merupakan praktek keperawatan yang didasarkan pada pembuktian, sehingga perewat pada level ners atau vokasional yang telah mendapatkan pelatihan mempunyai kewajiban untuk melakukan praktek ini sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus, pengkajian kaki juga merupakan upaya preventif yang dapat dilakukan oleh perawat generalis. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 133 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) adalah rumah sakit tipe A dan merupakan rumah sakit rujukan rumah sakit lain khususnya diwilayah Jakarta Selatan, Depok, Bogor dan Tangerang Selatan. Pada tahun 2010, diabetes merupakan penyakit terbanyak dari sepuluh penyakit terbanyak yang ada di RSUPF dengan ratarata kunjungan di poli penyakit dalam sebanyak 1500 kasus DM tipe 2 baik kasus baru maupun kasus lama. Gedung Teratai lantai 5 selatan merupakan salah satu unit rawat inap penyakit dalam dengan kasus terbanyak rawat inap juga dengan diabetes. Jumlah kasus diabetes yang dirawat dalam 6 bulan terakhir (September 2011 Februari 2012) mencapai 123 kasus dan 29,1 % dirawat dengan komplikasi ulkus diabetik. Pasien diabetes tanpa ulkus dengan prosentase 70.9% pada akhirnya akan berkomplikasi ulkus jika tidak terdeteksi dan tidak dilakukan tindakan pencegahan Lantai 5 selatan di RSUPF sebagai ruang rawat penyakit dalam mempunyai 6 kamar dengan jumlah tempat tidur masing-masing 6 tempat tidur, dan 2 kamar isolasi dengan jumlah tempat tidur masing-masing 2 tempat tidur. Pasien diabetes yang dirawat dilantai 5 selatan ini, ditempatkan di ruang nomer 529 untuk pasien wanita dan ruang nomer 521 untuk pasien laki-laki. Jika pasien diabetes melebihi kapasitas,pasien tersebut ditempatkan diruangan lain yang kosong. Salah satu ruangan yang ada dilantai 5 selatan, selain ruang rawat inap, terdapat satu ruang edukasi yang digunakan untuk mengadakan edukasi diabetes setiap hari Rabu. Edukasi ini diikuti oleh keluarga pasien diabetes dan juga pasien diabetes yang kondisinya memungkinkan untuk mengikuti edukasi. Materi edukasi yang diberikan salah satunya adalah perawatan kaki. Edukasi ini dilakukan oleh edukator yang terdiri dari dokter, perawat dan ahli gizi dan materi perawatan kaki diberikan oleh perawat. Secara keseluruhan jumlah perawat di ruangan ini berjumlah 33 orang, 12 orang (36,4%) S1 keperwatan dan 21 orang (36.6%) DIII keperawatan dan 3 diantara perawat tersebut adalah edukator. Hasil observasi praktikan selama menjalani praktek residensi 1, khususnya di gedung teratai lantai 5 selatan, format pengkajian kaki diabetik telah dimiliki oleh RSUPF. Format ini merupakan format pengkajian yang diisi dan ditandatangani oleh dokter. Pengkajian kaki pada pasien diabetes yang dirawat dilakukan oleh dokter residensi atau dokter koas yang sedang praktek di ruang tersebut, namun pengkajian lebih Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 134 banyak dilakukan pada pasien diabetes yang sudah mengalami ulkus. Selain itu pengisian format juga tidak selalu lengkap, terutama untuk pemeriksaan neuropati. Pengisian yang tidak lengkap disebabkan karena tidak tersedianya alat pemeriksaan kaki diabetik yang lengkap khususnya diruang rawat inap. Hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak diklasifikasikan dalam resiko ulkus sehingga tidak ada tindak lanjut, kecuali pada yang telah terjadi ulkus. Hasil wawancara dengan kepala ruangan, wakil kepala ruangan dan perawat primer, bahwa pengkajian kaki tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya di rawat inap. Hal ini disebabkan mereka berpersepsi pengkajian kaki merupakan kewenangan dokter dan hanya perawat yang pernah mengikuti pelatihan edukator diabetes pada tingkat lanjut saja yang mempunyai kemampuan untuk pengkajian kaki diabetik. Wawancara yang dilakukan kepada seorang perawat edukator tingkat lanjut, mengungkapkan bahwa pengkajian kaki di rawat inap tidak dilakukan, karena biasanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas. Perawat edukator melakukan edukasi mengenai perawatan kaki secara berkelompok pada pertemuan ke 3. Pengkajian kaki yang dilakukan perawat biasanya dilakukan di poli kaki saat pasien datang berkunjung ke poli kaki dan format yang digunakan juga format yang ditandatangi oleh dokter. Hasil kuesioner yang praktikan sebarkan terhadap 23 perawat di lantai 5 selatan, didapatkan 23.5% pernah mengikuti pelatihan kaki diabetik, 41% pernah mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik, 76% pernah melakukan pengkajian kaki diabetik namun hanya 29.5 % yang pernah mengisi format status kaki. Survei pengetahuan, didapatkan sebanyak 89% perawat sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang pengkajian kaki diabetik (dikatakan baik jika mendapat nilai 7 atau lebih dengan point tertinggi 10). Dari analisis praktikan, hasil kuesioner untuk poin pernah melakukan pengkajian kaki dan tingkat pengetahuan dirasakan tidak sesuai dengan observasi dan wawancara kepada kepala ruangan dan perawat primer, sehingga dilakukan wawancara pada beberapa perawat pelaksana untuk mengklarifikasi point tersebut. Hasil wawancara menunjukan bahwa pengkajian kaki yang dilakukan sebatas melihat ada ulkus atau tidak, dan jika sudah ada ulkus, maka dikaji lebih mendalam untuk kondisi ulkusnya. Pengkajian kaki diabetic tanpa ulkus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 135 sebagian besar perawat pelaksana belum pernah melaksanakan. Pengetahuan yang dimiliki perawat pelaksana tentang pengkajian kaki, dari hasil wawancara menunjukan sebagian perawat tidak mengetahui jenis-jenis kelainan kaki, tidakmengetahui cara mengukur ABI maupun menggunakan monofilament serta nilai normalnya. Disampaikan oleh beberapa perawat pelaksana bahwa ketika mengisi kuesioner tentang pengetahuan mereka mengisi tanpa mengetahui mana yang benar (menebak saja). Pada akhir kuesioner yang disebarkan, seluruh perawat menginginkan adanya pelatihan pengkajian kaki. Dari uraian diatas, analisis SWOT yang di dapatkan di gedung Teratai lantai 5 selatan RSUP Fatmawati adalah sebagai berikut : 5.1.1. Strength (Kekuatan) Kekuatan yang dimiliki oleh RSUPF dalam penerapan pengkajian kaki diabetik sebagai deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik adalah : a. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit rujukan diwilayah selatan Jakarta, Bogor, Tangerang selatan dan Depok, termasuk rujukan untuk kasus diabetes. b. RSUP Fatmawati mempunyai pelayanan diabetes yang terdiri dari unit edukasi dan unit perawatan kaki diabetic dan dalam perencanaan pengembangan menjadi pelayanan diabetes terpadu. c. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit pendidikan bagi berbagai tenaga kesehatan, sehingga sering dijadikan tempat penelitian dan penerapan evidence based practice terbaru d. Telah memiliki perawat dengan pendidikan S1 keperawatan atau DIII keperawatan yang telah mengikuti pelatihan management kaki diabetik dan edukasi. Hal ini sesuai dengan standar kompetensi perawat Indonesia pada ranah pengkajian keperawatan dan ranah peningkatan kualitas pelayanan e. Memiliki program edukasi diabetes yang telah terprogram dengan baik dan dapat digunakan sebagai intervensi lanjut setelah pengkajian dilakukan f. Mempunyai kelompok edukator diabetes dari berbagai disiplin ilmu g. Memiliki poli kaki yang melayani perawatan kaki khususnya kaki diabetik h. Telah memiliki format pengkajian status kaki diabetik yang terstandar Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 136 i. Memiliki konsultan endokrin yang handal dan peduli terhadap pengembangan pelayanan endokrin khususnya masalah diabetes. j. RSUPF mempunyai program-program pengembangan kualitas pelayanan asuhan keperawatan 5.1.2. Weakness (Kelemahan) a. Pengkajian kaki hanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas dengan pengisian format yang belum seluruhnya lengkap b. Format pengkajian kaki yang dimiliki RSUPF ditandatangani oleh dokter yang merawat, sehingga perawat menganggap pengkajian kaki menjadi kewenangan dokter. c. Perawat di lantai 5 selatan hanya 23.5% yang pernah mengikuti pelatihan kaki diabetik, 41% pernah mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik, 76% pernah melakukan pengkajian kaki diabetik dan hanya 29.5 % yang pernah mengisi format status kaki. Namun pengkajian kaki yang dilakukan hanya terbatas mengobservasi ada ulkus atau tidak. d. Keterbatasan jumlah alat untuk pengkajian kaki (Doppler, monofilament, terutama di ruang rawat inap penyakit dalam) e. Edukasi perawatan kaki diruang rawat inap diberikan secara umum dan klasikal. f. Sebagian besar pasien yang dirawat belum pernah mengunjungi poli kaki di RSUPF. 5.1.3. Opportunity (Peluang) a. Tingginya angka kunjungan pasien diabetes di poli penyakit dalam dan pasien yang dirawat tanpa ulkus berjumlah 70.1 % dan mengungkapkan ketakutannya jika sampai mengalami ulkus kaki b. Angka kejadian ulkus diabetik yang meningkat dari tahun ketahun merupakan perhatian perawat untuk berperan dalam upaya preventif melalui pengkajian kaki. c. Meningkatnya kesadaran penderita diabetes untuk memeriksakan kakinya dan mengikuti program edukasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 137 d. Seluruh perawat di lantai 5 selatan menginginkan adanya peningkatan pengetahauan mengenai pengkajian kaki e. Adanya dukungan baik dari ruangan dan penentu kebijakan untuk melakukan perubahan, sebagai upaya peningkatan kualitas asuhan keperawatan. 5.1.4. Threat (Ancaman) a. Tidak tersedianya alat pemeriksaan kaki yang lengkap meningkatkan resiko tidak terlaksananya pengkajian kaki di rawat inap secara komprehensif. b. Perubahan wewenang pengisian format memerlukan tahapan yang harus ditindaklanjuti. Berdasarkan pengamatan dan analisis masalah diatas, praktikan melakukan kegiatan inovasi dengan melaksanakan sosialisasi dan pelatihan pengkajian status kaki pasien diabetes tanpa ulkus kepada perawat sehingga pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam pengkajian status kaki meningkat. Pada akhirnya pengkajian status kaki pada pasien diabetes yang komprehensif dan dilakukan dengan benar akan mampu mendeteksi lebih awal masalah resiko kaki diabetik dan dengan tindakan yang sesuai akan menurunkan resiko terjadinya kaki diabetik. 5.2.Kegiatan Inovasi 5.2.1. Persiapan Kegiatan inovasi ini memaparkan fenomena yang ditemukan, dan rencana kegiatan kepada supervisor klinik dan supervisor akademik. Penyusunan proposal kegiatan dilakukan setelah disetujui oleh supervisor. Kegiatan dilanjutkan dengan memaparkan rencana inovasi kepada penentu kebijakan (manager rawat inap gedung Teratai Irna A, kepala ruangan dan wakil kepala ruangan) pada minggu pertama bulan Maret 2012. Rencana kegiatan inovasi tidak hanya didukung oleh managemen gedung teratai irna A, namun juga didukung oleh kepala bidang perawatan dan komite keperawatan RSUPF. Kegiatan ini diharapkan tidak hanya ditujukan untuk perawat lantai 5 selatan saja, namun juga melibatkan perwakilan perawat dari ruang rawat inap lain yang memungkinkan pasien diabetes dirawat. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 138 Persiapan selanjutnya adalah persiapan pelatihan diantaranya organisasi acara, perijinan, tempat kegiatan, waktu pelaksanaan, undangan, materi, pembicara hingga sponsor untuk dapat mensupport kegiatan inovasi ini. Persiapan kegiatan juga dibantu oleh manager ruangan lantai 5 selatan. 5.2.2. Pelaksanaan Inovasi Tujuan dari kegiatan inovasi ini adalah adanya peningkatan pelayanan asuhan keperawatan melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam melakukan pengkajian kaki diabetik. Pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikioleh perawat diharapkan akan merubah perilaku dan sikap perawat terhadap asuhan keperawatan pada pasien diabetes kearah yang lebih baik. Upaya yang dilakukan praktikan untuk pencapaian tujuan ini dengan melakukan pelatihan mengenai pengkajian kaki diabetik. Pelatihan dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu tanggal 17 dan 18 April 2012. Peserta pelatihan terdiri dari 20 orang untuk setiap tahap sehingga keseluruhan peserta pelatihan berjumlah 40 orang perawat pelaksana. Perawat yang mengikuti pelatihan berasal dari lantai 5 selatan 22 orang, lantai 5 utara 10 orang, lantai 6 dan lantai 4 masing masing 2 orang, dari gedung Irna C, 3 orang dan dari paviliun Anggrek 1 orang. Pelaksanaan pelatihan dibuka oleh kepada bidang perawatan RSUPF, dilanjutkan dengan pre test. Inti pelatihan adalah dengan pemberian materi tentang pengkajian kaki diabetic. Peningkatan ketrampilan peserta pelatihan dilakukan dengan mendemonstrasikan tehnik pengkajian kaki diabetic yang langsung dilakukan kepada pasien diabetes (hands on). Fasilitator hands on selain dari praktikan juga dari perawat edukator diabetic. Keterlibatan edukator dalam kegiatan ini adalah untuk pendampingan, motivator dan evaluator pada keberlangsungan kegiatan inovasi ini. Kegiatan selanjutnya adalah presentasi hasil hands on dari peserta dan pemberian masukan serta arahan dari salah satu dokter bedah vaskuler (Dr. Witra Irvan, Sp. B-V) sebagai salah satu tim medis dalam perawatan pasien diabetes dengan ulkus. Pada akhir pelatihan dilakukan evaluasi dengan post tes dan pelatihan ditutup oleh perwakilan dari bidang perawatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 139 5.2.3. Evaluasi 5.2.3.1. Evaluasi proses pelatihan a. Proses persiapan berlangsung selama 2 minggu. Rencana kegiatan didukung oleh semua pihak terutama penentu kebijakan dalam keperawatan seperti bidang keperawatan, komite keperawatan, meneger Irna A dan kepala ruangan b. Proses pelatihan : - Jumlah peserta pelatihan sesuai dengan yang direncanakan (100 % hadir) - Sambutan yang disampaikan kepala bidang keperawatan dan komite keperawatan saat acara pembukaan mengungkapkan dukungan terhadap inovasi yang dilakukan dan akan berkomitmen dalam perubahan ini. - Peserta pelatihan aktif mengikuti proses pelatihan baik sesi materi maupun sesi hands on. - Evaluasi dari peningkatan pengetahuan didapatkan : Grafik 5.1. Rata-rata Nilai pre dan post tes hari 1 dan hari ke 2 Pre Test Post Test 74,75 76 57,62 56,5 Hari ke 1 Hari ke 2 Dari grafik diatas menggambarkan adanya peningkatan pengetahuan tentang pengkajian kaki diabetic pada peserta pelatihan baik pada hari pertam maupun hari ke dua. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 140 c. Evaluasi peserta terhadap seluruh proses pelaksanaan pelatihan dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 5.2. Evaluasi pelaksanaan pelatihan 90% Sgt Menarik 80% Menarik 70% krg Menarik 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Materi Sarana & Tempat Prasarana konsumsi Hands on Dari grafik diatas dapat dijelaskan bahwa materi yang disampaikan 80 % peserta menyatakan sangat menarik, hands on yang dilaksanakan 70 % sangat menarik, sarana prasarana, tempat dan konsumsi yang disediakan memuaskan. 5.2.3.2. Evaluasi pelaksanaan inovasi Evaluasi pelaksanaan inovasi dilakukan selama 2 minggu setelah pelaksanaan pelatihan. Metode evaluasi yang digunakan dengan mengobservasi peserta pelatihan khususnya di gedung teratai lantai 5 selatan. Komponen evaluasi meliputi inisiatif dan keaktifan peserta dalam menerapkan pengkajian kaki, kemampuan peserta dalam melakukan pengkajian kaki, pelaksanaan program pendampingan oleh edukator dan dukungan managemen untuk keberlangsungan pelaksanaan kegiatan inovasi ini. Hasil evaluasi yang di dapatkan adalah sebagai berikut : a. Managemen : komite perawatan meminta panduan pengkajian kaki dan bentuk revisi format pengkajian untuk dapat ditindaklanjuti dalam perbaikan dan peningkatan sarana dalam pengkajian kaki. Kepala ruangan lantai 5 selatan memperbanyak Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 141 format pengkajian kaki untuk menunjang pelaksanaan pengkajian kaki ini. b. Peserta pelatihan : dalam waktu 2 minggu setelah pelatihan di dapatkan 6 pasien baru diabetes tanpa ulkus yang dirawat khususnya di lantai 5 selatan bagian laki – laki. Dari 6 pasien tersebut, 3 perawat (50%) yang melakukan pengkajian kaki atas inisiatif sendiri dan 3 perawat (50%) harus diingatkan. Tehnik melakukan pengkajian kaki rata – rata 80 % sesuai dengan panduan. Pendampingan edukator belum terlaksana, karena saat pengkajian dilaksanakan edukator dinas pada shift yang berbeda. Hasil pengkajian terhadap 6 pasien di dapatkan 2 pasien beresiko sedang (katagori 1) dan 4 pasien beresiko rendah (katagori 0). Tindakan yang dilakukan untuk menindaklanjuti hasil pengkajian, perawat melakukan mendokumentasikan ke edukasi dalam sesuai catatan katagori perawatan. dan Format pengkajian yang diisi tetap ditandatangani oleh dokter yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut, namun juga dicantumkan nama perawat yang mengkaji. 5.3.Pembahasan Pengkajian merupakan langkah pertama dalam melakukan asuhan keperawatan. Dalam proses pengkajian seorang perawat melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber yang dilakukan secara sistematis untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009; Craven & Hirnle, 2007). Proses pengkajian dapat dilakukan pada berbagai situasi. Pada saat pertama kali pasien datang ke pelayanan kesehatan maka pengkajian yang dilakukan merupakan pengkajian awal, dimana pada pengkajian ini data dasar untuk semua status kesehatan dikumpulkan. Selanjutnya akan dilakukan pengakajian yang lebih spesifik pada masalah yang ditemukan, maka pengkajian ini disebut dengan pengkajian fokus. Pengkajian ulang, merupakan pengumpulan data untuk mengetahui perubahan status kesehatan pasien pada waktu tertentu setelah dilakukan pengkajian awal. Pengkajian ulang ini dapat dikatakan sebagai evaluasi status kesehatan. Terakhir adalah pengkajian darurat, dimana pengkajian ini dilakukan secara cepat untuk mengidentifikasi situasi yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 142 menyangkut keselamatan nyawa pasien dan ini menjadi prioritas pengkajian (Craven & Hirnle, 2007). Pengkajian kaki diabetic merupakan pengkajian yang dilakukan pada setiap kaki penderita diabetes. Menurut jenis pengkajian, maka pengkajian kaki diabetik, dapat merupakan pengkajian awal, pengkajian fokus, pengkajian ulang maupun pengkajian darurat. Pengkajian awal dilakukan pada saat pertamakali pasien datang kepelayanan kesehatan sebagai penderita diabetes atau ketika pertamakali terdiagnosis diabetes. Pengkajian fokus dilakukan pada area kaki, baik dengan wawancara maupun pemeriksaan fisik. Pengkajian ulang dilakukan pada setiap kunjungan atau sesuai dengan criteria kaki diabetic untuk mengevaluasi kondisi kaki penderita. Dan pengkajian darurat dilakukan pada kaki diabetik yang mengalami ulkus dengan gas gangrene, dimana pada kondisi ini memerlukan tindakan segera untuk penyelamatan jiwa pasien (Craven & Hirnle, 2007; Turns, 2011; Taylor, 2008) Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan dalam perawatan pasien diabetes, sesuai dengan standard dan kompetensi perawat Indonesia harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian. Pengkajian yang lengkap dan komprehensif akan menentukan diagnose keparawatan atau masalah keperawatan yang tepat sehingga pada akhirnya menentukan intervensi yang tepat. Pada studi comparative yang dilakukan oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada pasien diabetes di Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania ditemukan masalah resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di Swedia. Faktor yang berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia dikarenakan selain fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih maju, juga kemampuan perawat dalam pelayanan perawatan kaki termasuk pengkajian kaki dan edukasi lebih dibandingkan dengan di Tanzania Sesuai dengan hasil observasi, wawancara dan kuesioner, didapatkan data, bahwa pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya untuk deteksi dini ulkus diabetik hampir tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya dilantai 5 selatan. Penyebab dari kondisi ini adalah karena pengetahuan dan kemampuan perawat dalam pengkajian kaki diabetic masih kurang. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ini salah satunya dengan pelatihan. Pelatihan didefinisikan sebagai suatu kegiatan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 143 pengajaran atau pemberian pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang bertujuan untuk mencapai kompetensi tertentu, dan pada akhirnya terjadi perubahan kinerja, serta kualitas asuhan yang lebih baik (Fakhrizal, 2010). Perubahan yang di dasarkan pengetahuan akan lebih langgeng dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik (Notoatmodjo, 2007). Untuk menjadikan pengkajian kaki sebagai bagian dari asuhan keperawatan pasien diabetes, tidak hanya peningkatan pengetahuan yang harus diperhatikan. Adanya komitmen dan kebijakan juga merupakan bagian penting yang harus diperhatikan. Komitmen awal dari kegiatan inovasi ini diperoleh dari penentu kebijakan (manajer rawat inap, bidang keperawatan, komite keperawatan dan kepala ruangan). Manajer sebagai pemimpin diharapkan dapat memberikan kebijakan, motivasi dan monitoring dalam keberlangsungan dan keberhasilan dari kegiatan inovasi ini (Nurusalam, 2007). Langkah kelompok untuk memperoleh komitmen dan kebijakan tersebut, pada awal kegiatan perencanaan inovasi, kelompok melakukan pemaparan rencana kegiatan berdasarkan fenomena yang ditemukan, analisis situasi, rencana perubahan yang diperkuat dengan evidence based nursing. Tujuan akhir dari kegiatan inovasi ini adalah pengkajian kaki menjadi bagian dari pengkajian yang selalu dilakukan pada pasien diabetes. Dalam mencapai tujuan ini, keterlibatan semua pihak di ruangan tersebut, monitoring dan evaluasi harus terus dilakukan. Kepala ruangan, wakil kepala ruangan, perawat primer dan educator telah berkomitmen akan melakukan pendampingan dan monitoring pada kegiatan ini Hambatan yang praktikan dapatkan pada penerapan kegiatan inovasi ini diantaranya alat pengkajian kaki yang belum lengkap (monofilament 10 gr dan garputala 128) hingga praktikan menyelesaikan kegiatan praktek residen. Solusi yang praktikan lakukan, mengkomunikasikan dengan managemen. Disampaikan oleh kepala ruangan bahwa pengadaan alat di rumah sakit memerlukan suatu mekanisme dan kepala ruangan telah mengkomunikasikan pada managemen dan pengadaan alat saat rapat pimpinan. Upaya pencegahan ulkus diabetik tidak hanya pengkajian, namun tindak lanjut dari hasil pengkajian sesuai katagori resiko ulkus merupakan hal penting yang harus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 144 dilakukan. Pada pelaksanaan inovasi oleh kelompok praktikan, tindak lanjut dari hasil pengkajian hanya sebatas edukasi individu, konseling dan system rujukan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Peran edukator untuk melaksanakan konseling dan alur rujukan perlu ditingkatkan, sehingga pencegahan terhadap ulkus diabetik dapat tercapai. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 145 BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system endokrin perlu didasarkan pada pemahaman yang memadai terhadap konsep yang mendasari seperti anatomi, fisiologi dan patofisiologi. Selain itu profesi keperawatan mempunyai badan keilmuan, sehingga pemahaman dan penguasaan terhadap teori keperawatan yang relevan serta berbagai modalitas keperawatan yang berbasis evidence menjadi dasar dalam praktik keperawatan profesional. Model Adaptasi Roy merupakan salah satu model keperawatan yang menekankan pada peran perawat dalam meningkatkan status kesehatannya dengan meningkatkan kemampuan individu baik sehat maupun sakit untuk beradaptasi terhadap stimulus yang di dapatkan. Kemampuan adaptasi tersebut ditunjukan dalam perilaku yang holistik yang dapat dilihat dari mode fisiologis, konsep diri, peran dan interdependensi. Namun demikian penggunaan MAR pada kondisi kegawatan, dan pada pasien rawat jalan khususnya pada system endokrin tidak dapat digunakan secara holistik. Melalui penerapan MAR berbagai peran perawat spesialis medical bedah baik sebagai practitioner, educator, researcher maupun inovator dapat diaplikasikan dalam memfasilitasi pasien untuk mencapai kondisi adaptasi secara holistik, yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Peran sebagai praktisi (practitioner). Dalam memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan MAR, praktikan dapat menyimpulkan bahwa model teori ini relevan untuk diaplikasikan pada pasien dengan gangguan sistem endokrin khususnya pada pasien DM. Pasien yang mengalami DM dengan berbagai komplikasi yang ditimbulkan akan mengalami perubahan perilaku pada fisiologisnya, konsep dirinya, peran maupun pada ketergantungannya. Melalui model ini, asuhan keperawatan diarahkan pada peningkatan kemampuan individu beradaptasi dengan meningkatkan koping regulator dan cognator. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 146 2. Peran sebagai pendidik (educator). Peran perawat dalam mengurangi stimulus yang ditimbulkan adalah dengan meningkatkan koping individu melalui kontrol kognator yaitu meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga yang berkaitan dengan perilaku dan stimulusnya. Selain itu tanggung jawab terhadap peningkatan pelayanan asuhan keperawatan dilakukan dengan berbagi (sharing) keilmuan kepada sejawat perawat, maupun mahasiswa keperawatan. 3. Peran sebagai peneliti (researcher). Peran ini dilakukan dengan mengaplikasikan hasil riset yang ada ke dalam pelayanan keperawatan dengan tujuan peningkatan mutu asuhan keperawatan di klinik. Salah satu penerapan hasil penelitian adalah pengkajian kaki terhadap resiko ulkus pada pasien DM yang dapat digunakan sebagai deteksi dini terhadap kejadian ulkus diabetic. 4. Peran sebagai pembaharu (innovator). Peran innovator mempunyai peranan yang strategis dalam melakukan perubahan di pelayanan keperawatan. Kegiatan inovasi yang dilakukan oleh praktikan bersama kelompok adalah meningkatkan upaya preventiv terhadap komplikasi ulkus pada pasien DM melalui pengkajian kaki diabetes pada setiap pasien DM yang dirawat tanpa ulkus. B. SARAN 1. Untuk menjadi seorang ners spesialis keperawatan medical bedah kekhususan system endokrin diperlukan pengembangan diri berkelanjutan dan tidak sebatas kasus DM agar dapat menjalankan perannya sebagai praktisi, pendidik, peneliti dan pembaharu. 2. Diperlukan kajian lebih lanjut untuk penerapan MAR yang efektif dan efisien pada unit gawat darurat maupun unit rawat jalan khususnya untuk pasien gangguan endokrin 3. Melaksanakan praktek berdasarkan evidence diharapkan akan terus dikembangkan dan dijadikan panduan praktek pada perawat klinik yang disesuaikan dengan level kompetensi. Evaluasi dan monitoring menjadi bagian penting yang harus dilakukan untuk kelanjutan penerapan evidence tersebut. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 147 4. Praktik keperawatan profesional yang melibatkan ners spesialis membutuhkan dukungan dari system pelayanan kesehatan yang ada, dukungan organisasi profesi dan pengakuan dari profesi lain yang saling berhubungan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Konsep Penyakit Diabetes Mellitus 2.1.1. Pengertian Diabetes sering disingkat dengan DM merupakan kelompok penyakit metabolik yang yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah sebagai akibat dari penurunan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau keduanya (ADA, 2012). Glukosa yang berasal dari makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan akan bersirkulasi di dalam darah dalam jumlah tertentu. Selanjutnya proses regulasi atau metabolisme glukosa di sel otot, lemak dan hepar akan diperankan oleh hormone insulin. Hormon insulin ini merupakan rangkaian asam amino yang diproduksi oleh sel beta kelenjar pancreas. Pada keadaan terentu dapat terjadi penurunan produksi insulin oleh sel beta pancreas atau insulin yang ada tidak sensitive terhadap kadar glukosa dalam darah. Kondisi ini akan meningkatkan glukosa dalam sirkulasi darah atau disebut hyperglikemia. Hyperglikemia yang terus terjadi dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan berbagai gangguan baik pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler), pembuluh darah besar (makrovaskuler), maupun gangguan pada saraf (neuropathy) (Smeltzer & Bare, 2008; Manaf, 2009; Lewis et al, 2011; LeMone, 2011). 2.1.2. Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Hasil penelitian baik klinis maupun laboratories menunjukan bahwa diabetes merupakan suatu keadaan yang heterogen baik etiologi maupun macamnya dan pada akhirnya kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya, sehingga PERKENI, 2011; ADA, 2012 mengklasifikasikan diabetes menjadi : 2.1.2.1. Diabetes Tipe I Diabetes tipe 1 ini umumnya terjadi karena kerusakan sel beta pancreas sehingga produksi insulin mengalami kegagalan dan mengakibatkan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 7 defisiensi insulin absolute. Jumlah penyandang DM tipe 1 ini hanya 5 - 10 % dari jumlah seluruh penyandang DM. Pada klasifikasi awal DM tipe 1 ini disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Ini dikarenakan pada penyandang DM tipe 1 mutlak membutuhkan insulin dari luar tubuhnya. Kerusakan sel beta pancreas terjadi karena reaksi autoimun sebagai dampak dari berbagai pencetus salah satunya adalah proses infeksi.virus seperti virus Cocksakie, Rubella, CMV, Herpes, dan lain sebagainya hingga timbul peradangan sel–sel beta (insulitis). Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). Defisiensi insulin absolut terjadi jika kerusakan sel beta pancreas mencapai 80 - 90% yang akan menyebabkan gangguan metabolisme ( Lewis et al, 2011). Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel alpha kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel alpha ï€ kelenjar pankreas. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin (Depkes, 2005; Smeltzer & Bare, 2008; Lewis, 2011). Faktor resiko pada DM tipe 1 diantaranya adalah genetic. Ditemukan pada1 dalam 400 hingga 1 dalam 1000 untuk semua populasi, Resiko berkembang menjadi DM tipe 1 pada anak dengan orang tua yang menyandang DM 1 dalam 50 resiko,Maftin, 2009 (dalam LeMone, 2011). Faktor resiko lain adalah lingkungan. Infeksi virus, zat kimia dan asap rokok dapat menjadi factor pemicu terjadinya insulitis dari reaksi autoimun. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 8 2.1.2.2. DM Tipe II Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes, 2005). Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama dimana 85 % penyandang DM tipe 2 mengalami obesitas sebelumnya (Black & Hawks, 2009) Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 9 Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Namun pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Depkes, 2005; Suyono dalam Sugondo dkk, 2011; LeMone, 2011). Faktor resiko dari DM tipe 2 menurut Port & Matfin, 2009 dalam (LeMone, 2011) diantaranya adalah : a. Riwayat DM pada orang tua atau saudara kandung. Meskipun tidak teridentifikasi adanya HLA, seorang anak dari penyandang DM tipe 2 beresiko 2 hingga 4 kali lipat dan 35 % mempunyai resiko berkembang menjadi intoleransi glukosa. b. Obesitas, dimana berat badan lebih dari 20% BB ideal atau BMI lebih dari 27 kg/m2. Obesitas khususnya obesitas visceral berhubungan dengan resistensi insulin c. Pada wanita dengan riwayat DM gestational, atau melahirkan lebih dari 4 kg d. Hypertensi , peningkatan lipid profile : kolesterol, HDL & trigliserida e. Metabolik sindrom dengan manifestasi yang berhubungan dengan DM tipe 2 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 10 2.1.2.3. DM Tipe Gestasional ADA, 2012 mendefinisikan DM gestational adalah intoleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali diketahui saat proses kehamilan. Kondisi ini bisa berlanjut hingga setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami DM sejak sebelum kehamilannya tidak termasuk kelompok ini. Di Amerika DM tipe ini terjadi pada 7 % dari seluruh kasus kehamilan. Timbulnya intoleransi glukosa biasanya terjadi pada kehamilan trimester dua atau tiga akibat dari sekresi hormone plasenta yang berdampak menghambat kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2008). Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan DM tipe ini akan beresiko mempunyai berat badan yang besar (makrosomia). Faktor resiko pada DM gestational ini berdasarkan adanya riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat keluarga dengan DM tipe 2, adanya glikosuria dan riwayat polycystic ovary symdrom 2.1.2.4. DM Tipe lain Klasifikasi DM yang terakhir ,dimana DM ini tidak termasuk DM tipe 1,tipe 2 maupun tipe gestational. DM ini dikenal dengan DM tipe lain. Pada DM ini, penyebabnya adalah (ADA, 2012) : a. Kerusakan genetic pada fungsi sel beta b. Kerusakan genetic pada aksi insulin c. Penyakit eksokrin pancreas : Pancreatitis, trauma/pancreotomy, neoplasia, Cystic fibrosis, hemocromatosis, dan lainnya d. Endokrinopathy: acromegaly, cushing’s syndrome,glukagonoma, aldosteronoma, hypertiroidism, somatostatinoma e. Obat-obatan atau zat kimia : vacor, pentamidine, asam nicotinic, glukokortikaoid, diazoxide, thiazide, dilantin dan yang lainnya f. Infeksi : Rubella, CMV, dan yang lainnya g. Sindrom genetic lain yang berhubungan dengan diabetes : Down sindrom, turner sindrom, myothonic dystrophy, wolfram sindrom dan yang lainnya. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 11 2.1.3. Tanda dan Gejala Gejala klinis klasik pada semua tipe DM dikenal dengan trias poly. yaitu polydhipsi, polypaghia dan polyuria. Gejala trias poly ini seringkali tidak pada awalnya dirasakan oleh penyandang DM tipe 2, sehingga pada penyandang DM tipe 2 datang kepelayanan kesehatan dengan gejala komplikasi yang ditimbulkan (Lewis, et al 2011; LeMone, 2011). Berikut ini diuraikan tanda dan gejala yang ditimbulkan dari peningkatan gula darah pada penyandang DM menurut LeMone et al, 2011 2.1.3.1. Polyuria Polyuria atau sering disebut sering buang air kecil, terjadi karena adanya akumulasi glukosa di dalam sirkulasi darah menyebabkan hyperosmolaritas pada serum. Selanjutnya terjadi perpindahan cairan dari intra seluler ke dalam system sirkulasi. Peningkatan volume dalam pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke ginjal dan hyperglikemia menyebabkan dieresis osmotic yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran urine. Ambang batas ginjal terhadap kadar glukosa darah adalah 180 mg/dL. Ketika kadar gula darah lebih dari nilai tersebut, maka glukosa akan dikeluarkan bersama urine. Kondisi ini disebut dengan glukosuria. 2.1.3.2. Polydipsia Penurunan volume cairan di intraseluler dan peningkatan pengeluaran urine akan menyebabkan dehidrasi tingkat sel. Mukosa mulut menjadi kering dan sensasi haus dirasakan, maka akan menyebabkan peningkatan asupan cairan. 2.1.3.3. Polyphagia Penurunan jumlah atau sensitifitas insulin untuk membantu memasukan glukosa ke dalam sel, menyebabkan terjadinya penurunan metabolism dan pembentukan energy. Penurunan energi ini akan menstimulasi pusat lapar dan penyandang DM menjadi banyak makan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 12 2.1.3.4. Penurunan berat badan Pemenuhan kebutuhan energy akibat kegagalan penggunaan glukosa sebagai sumber energy didapatkan dari sumber energy lain yaitu protein dan lemak. Pemecahan asam amino (Proteolisis) terjadi pada otot yang disimpan sebagai cadangan protein. Berkurangnya cadangan protein otot menyebabkan penurunan berat badan. 2.1.3.5. Penurunan Penglihatan Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dapat menyebabkan peningkatan tekanan osmotik pada mata dan perubahan pada lensa sehingga pasien akan mengalami gangguan dalam penglihatan. 2.1.4. Diagnosis Penegakan diagnose DM tidak hanya dilakukan berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh pasien. Diagnosis DM harus didasarkan pada pemeriksaan penunjang khususnya pemeriksaan gula darah. Keluhan klasik seperti polyuria, polydipsi, polyphagia, badan yang lemah, penurunan berat badan tanpa diketahui jelas penyebabnya menjadi dasar dugaan adanya DM. Pada beberapa dekade, diagnosis DM ditegakkan dengan pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa dan gula darah 2 jam setelah beban (glukosa 75 gr). Sejak tahu 2009, pada International Expert Committee termasuk di dalamnya terdapat perwakilan dari American Diabetes Association (ADA), International Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study of Diabetes (EASD), merekomendasikan pemeriksaan HbA1C sebagai uji untuk diagnosis DM. Didiagnosis sebagai penyandang DM jika di dapatkan hasil HbA1C > 6.5%. Pemeriksaan HbA1C menggunakan metode yang telah terstandar oleh National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) (ADA, 2012). HbA1C atau haemoglobin glikosilate merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari ikatan hemoglobin dan gukosa dalam darah. Apabila hemoglobin bercampur dengan larutan dengan kadar glukosa yang tinggi, rantai beta molekul hemoglobin mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, proses ini dinamakan glikosilasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 13 Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal, sekitar 4-6% hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin glikosilat atau hemoglobin A1c. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar hemoglobin A1c dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar hemoglobin A1c yang tinggi mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes selama 3-5 minggu sebelumnya. Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar hemoglobin A1c kembali ke normal dalam waktu sekitar 3 minggu. Karena HbA1c terkandung dalam eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari, maka HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan. Pemeriksaan ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan informasi yang lebih jelas tentang keadaan penderita dan seberapa efektif terapi diabetik yang diberikan. Peningkatan kadar HbA1c > 6.5% mengindikasikan diabetes mellitus yang tidak terkendali dalam 3 bulan terakhir. Keuntungan yang lain dari pemeriksaan ini, tidak memerlukan persiapan seperti puasa dan pengambilan darah hanya dilakukan sekali saja (ADA, 2012; Black & Hawk, 2009). Namun demikian HbA1C hanya dapat dilakukan pada laboratorium yang telah terstandar. Pemeriksaan yang lain dan masih direkomendasikan oleh ADA, 2012 maupun PERKENI, 2011 adalah pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah beban. Berikut kriteria diagnosis DM menurut ADA, 2012 a. Adanya gejala klasik DM dengan hasil HbA1C > 6.5 % , dan pemeriksaan menggunakan metode yang terstandart (NGSP atau DCCT), atau b. Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Gula darah plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau c. Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa diartikan tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau d. Kadar gula plasma 2 jam pada Toleransi Tes Glukosa Oral (TTGO) > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, yaitu Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 14 menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Pada orang-orang yang beresiko DM namun tidak menunjukan adanya gejala DM, perlu dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi lebih awal adanya gangguan pada toleransi glukosa atau resiko DM sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih awal. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan guladarah sewaktu, atau gula darah puasa. Berikut ini kadar gula darah sebagai penyaring diagnosis DM (Pra diabetes) a. Gula darah puasa 100mg/dL (5,6 mmol/L) – 125 mg/dL (6,9 mmol/L) b. Gula darah 2 jam setelah beban dengan 75 gr glukosa oral 140 mg/dL (7.8 mmol/L) sampai 199 mg/dL (11.0 mmol/L) c. HbA1C : 5,7% sampai 6,4 % Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulang setiap tahun. Untuk yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko lain, penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun. Pemeriksaan penunjang lain yang disarankan untuk mengetahui factor resiko maupun gangguan metabolism lebih lanjut diantaranya adalah pemeriksaan lipid profile. Gangguan metabolism glukosa dapat menimbulkan peningkatan pada kadar trigliserida, penurunan HDL, perubahan pada struktul LDl, dimana dapat ditemukan peningakatan small dense LDL. Penurunan kadar C-Peptida dalam darah dapat digunakan untuk menggambarkan penurunan produksi insulin oleh sel beta pancreas. 2.1.5. Penatalaksanaan Tujuan jangka pendek dari penatalaksanaan pada penyandang DM adalah menghilangkan keluhan dan tanda dari DM, mempertahankan kenyamanan, dengan gula darah yang terkontrol. Sedangkan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai adalah mencegah dan menghambat progresivitas penyulit atau komplikasi seperti mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pada akhirnya keberhasilan penataksanaan akan meningkatkan kualitas hidup penyandang DM, menurunnya angka mortalitas dan morbiditas DM. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 15 Penatalaksanaan DM ini dilakukan secara holistic dan terpadu dengan melibatkan multidisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, educator, dan lainnya) dan keluarga sebagai system pendukung utama. Pilar penatalaksanaan utama untuk DM meliputi edukasi, perencanaan makan, latihan jasmani, intervensi farmakologis dan monitoring gula darah. Berikut ini penjelasan dari 5 pilar penatalaksanaan DM : 2.1.5.1. Edukasi Edukasi merupakan proses perpindahan informasi dari suatu sumber untuk menambah pengetahuan (internalisasi) satu individu dalam rangka meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dan diharapkan menampilkan satu perubahan perilaku (Nasution, 2008). Penyandang DM umumnya mempunyai resiko dari pola hidup yang tidak sehat. Selain itu pengendalian gula darah dan pencegahannya memerlukan perawatan sepanjang hidupnya, sehingga perubahan pola hidup dan kepatuhan terhadap perawatan hendaknya didasarkan pada pengetahuan yang benar. Tujuan dari edukasi pada penyandang DM adalah terjadinya perubahan perilaku untuk jangka panjang. Perubahan perilaku ini dapat dicapai dengan cara memberikan pengetahuan yang dibutuhkan sehingga penyandang DM mampu membuat keputusan sendiri yang akan memperbaiki kesehatan individu tersebut. Prinsip edukasi yang harus disampaikan adalah sesuai kebutuhan, diberikan secara bertahap sehingga proses internalisasi dapat tercapai. Memperhatikan kondisi diabetisi seperti tingkat pendidikan, usia, pengetahuan dan persepsi yang dimiliki, budaya hingga kondisi psikologis merupakan hal penting untuk pencapaian informasi. Edukasi yang diberikan untuk diabetisi diantaranya informasi tentang DM, pengendalian gula darah melalui perencanaan makan, latihan jasmani dan obat-obatan, pemantauan gula darah, tanda dan gejala komplikasi akut dan pencegahan komplikasi kronikseperti perawatan kaki. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 16 2.1.5.2. Pengaturan makan Pengaturan makan merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi penyandang DM (diabetisi). Prinsip dari perencanaan makan ini adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individu (Yunir .E & Soebardi, 2009; ADA, 2012). Manfaat yang didapatkan dari perencanaan makan pada penyandang DM antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolikdan diastolic, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, dan pada akhirnya meningkatkan sensitifitas insulin dan mencegah timbulnya kompliksi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hamper sama dengan anjuran makan pada umumnya, yaitu gizi seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi dari masing-masing individu. Penekanan perencanaan makan pada diabetisi adalah pentingnya keteraturan pada jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama pada diabetisi yang menggunakan obat penurun glukosa atau insulin (Sukardji dalam Sugondo, Suwondo, Subekti, 2011; PERKENI, 2011). Komposisi bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi dalam rangka mencapai gizi seimbang terdiri dari makronutrien, yaitu karbohidrat,lemak dan protein, dan mikronutrien yang terdiri dari vitamin dan mineral. Jumlah karbohidrat yang dianjurkan 45 – 65 % dari total asupan energi, protein 10- 20 % dan lemak 20 – 25%. Selain komposisi bahan makanan, jumlah kalori juga merupakan hal yang harus diperhatikan. Setiap individu akan berbeda jumlah kalori yang dibutuhkan. Penghitungan kalori pada penyandang DM disesuaikan dengan jenis kelamin, aktifitas fisik, berat badan, stress metabolic dan kondisi kehamilan. Makanan yang telah disesuaikan komposisi dan kalori, kemudian dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 17 2.1.5.3. Latihan jasmani Latihan fisik atau olah raga pada penyandang diabetisi akan membantu dalam pengendalian gula darah, menurunkan lemak dalam darah, menurunkan berat badan, menjaga kebugaran dan akan meningkatkan sensitifitas insulin. Aktivitas fisik melibatkan kelompok besar otot-otot utamanya yang mempengaruhi peningkatan pengambilan oksigen sehingga terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Prinsip latihan jasmani pada pasien diabetes hampir sama dengan latihan jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti: frekuensi, intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan pada pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam 1 minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (60-70% maximum heart rate), dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani endurans (aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging dan bersepeda. Latihan jasmani yang dipilih adalah latihan yang disenangi oleh pasien (Yunir & Soebardi, 2009). Proses terjadinya pengendalian kadar glukosa darah (penurunan kadar glukosa darah) pada penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani karena meningkatnya ambilan glukosa oleh otot yang bekerja selama latihan jasmani berlangsung dan pada masa pemulihan atau pasca latihan jasmani. Penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani memperoleh sumber energinya berasal dari glukosa dan glikogen otot. Pada saat latihan jasmani berlangsung (kontraksi otot rangka), aliran darah akan meningkat ke daerah otot yang bekerja tersebut untuk membawa bahan sumber energi (glukosa). Kontraksi sel otot merupakan peristiwa berinteraksinya aktin dan miosin yang didahului oleh pelepasan ion kalsium intrasel karena rangsangan persarafan. Kalsium intrasel mengaktifkan sejumlah enzim PKC serine kinase yang diduga menstimulasi molekul transpor glukosa, GLUT4. Peristiwa kontraktil juga mengubah rasio AMP/ATP sehinggga mengaktivasi AMP kinase. AMP Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 18 kinase memfosforilasi dan mengaktivasi enzim NO sintase sehingga meningkatkan produksi NO (Nitrat Oxide) dan menstimulasi peningkatan transport glukosa ke dalam sel otot rangka yang aktif. AMP kinase juga memfosforilasi molekul p38 MAPK yang akan meningkatkan translokasi GLUT4. Peningkatan GLUT4 pada sel otot yang aktif pada penderita DM tipe 2 akan meningkatkan ambilan glukosa dari plasma darah sehingga akan menurunkan kadar glukosa darah. Latihan jasmani menjadi kontraindikasi pada kondisi guladarah > 250mg/dL, terdapat keton yang positif dan gangguan kardiovaskuler. Pada kondisi ini meningkatkan metabolism sehingga meningkatkan kadar gula darah dan benda keton. Tahapan dalam latihan jasmani pada penyandang DM dimulai dengan pemanasan, latihan inti, pendinginan dan peregangan. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti hipoglikemia, maka latihan fisik yang akan dilakukan harus direncanakan & dalam pengawasan. 2.1.5.4. Obat-obatan Terapi farmakologis atau obat, digunakan jika penatalaksanaan melalui pengaturan makan dan latihan fisik, serta perubahan gaya hidup tidak mampu mengendalikan gula darah. DM tipe 2 yang merupakan populasi terbanyak terjadi karena resistensi insulin, penggunaan obat hiperglikemi oral seringkali menjadi pilihan utama. Namun pada kondisi kerusakan sel beta atau untuk mencegah kerusakan lebih lanjut insulin eksogen juga menjadi pertimbangan untuk digunakan (Sugondo, Suwondo, Subekti 2011). a. Obat hiperglikemia oral (OHO) Ada 2 jenis obat hipoglikemik oral diantaranya adalah pemicu sekresi insulin (seperti sulfonylurea dan glinid) dan obat penambah sensitivitas terhadap insulin (biguanid, tiazolidindion, penghambat glukosidase alfa dan incretin mimetic) Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 19 ï‚· Sulfonyluera Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pangkeras untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Sulfonylurea pada umunya diberikan dengan dosis rendah untuk mencegah hipoglikemi. Jenis obat sulfonylurea adalah klorpropamid, glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimepirid. ï‚· Glinid Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 jenis obat seperti repaglinid, dan nateglinid. ï‚· Biguanid Jenis obat ini seperti: metformin dam metformin XR. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular. Metformin tidak dapat menyebabkan penurunan glukosa darah sampai normal sehingga obat ini dikenal juga dengan obat anti hiperglikemik. Kombinasi supfoniluera dengan metformin tanpak memberikan kombinasi yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling aditif. ï‚· Tiazolidindion Golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin/ dapat diberikan secara oral. - Penghambat glukosidase alfa Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. - Golongan incretin memetic Pada pemberian glukosa secara oral, akan didapatkan kenaikan kadar insulin yang lebih besar dari pada pemberian glukosa secara intravena. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 20 b. Insulin Insulin eksogen atau berasal dari luar tubuh diberikan pada semua DM tipe 1. Indikasi pemberian pada DM tipe 2 adalah pada kondisi dimana terapi lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah, terjadi peningkatan metabolism : stress berat, infeksi, pembedahan, MCI dan stroke. Komplikasi akut seperti ketoasidosis, sindrom hiperosmolar non ketotik juga menjadi indikasi penggunaan insulin eksogen (Sugondo, 2011) Berdasarkan cara kerjanya insulin eksogen (puncak kerja dan jangka waktu efeknya), insulin dibagi menjadi empat tipe, yaitu : Insulin kerja singkat(short acting insulin), insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja panjang (long acting insulin). Tabel 2.1. Tipe insulin dan cara kerja Cara Kerja Sediaan Onset Puncak Durasi Rapid acting Humalog (insulin lispro) Novolog ( Insulin Aspart) 5 – 10 menit 1 jam 2–4 jam Short acting Humulin R Novolin R 0,5 – 2 jam 2- 4 jam 4–6 jam Intermediate acting Long acting Humulin N (NPH) Humulin 70/30 2–4 jam 4 – 10 jam 10- 16 jam Humulin U (Ultralente) Lantus ( Insulin glargine) Tidak ada onset dan tidak ada masa puncak kerjanya 2.1.5.5. Monitoring gula darah Monitoring gula darah sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemi atau hiperglikemi, terutama pada orang yang mendapatkan terapi insulin atau OHO yang berdampak pada peningkatan sekresi insulin. Saat ini telah banyak dipasarkan alat monitoring gula darah yang dapat digunakan oleh para penyandang DM. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 21 Monitoring gula darah oleh diabetisi sendiri hasilnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan diabetisi mengenali dan menggunakan alat tersebut. Perawat berperan dalam memberikan edukasi untuk tehnik pemeriksaan hingga pembacaan hasil. Monitoring glukosa oleh diabetisi dapat dilakukan 2–4 kali sehari pada penyandang DM yang mendapat terapi insulin yaitu pagi sebelum makan dan sebelum tidur, atau setiap sebelum makan dan 2 jamsetelah makan. Jika gula darah sudah stabil dapat dilakukan 2–3 kali dalam seminggu. Untuk penyandang DM yang tidak mendapatkan insulin, monitoring dapat dilakukan 2–3 kali seminggu termasuk pemeriksaan 2 jam setelah beban glukosa atau setelah makan (Smeltzer & Bare, 2008). Monitoring gula darah sendiri dianjurkan pada penyandang DM yang guladarahnya tidak terkontro, kejadian hypoglikemia berulang dan wanita hamil dengan hyperglikemia (PERKENI, 2011) 2.1.6. Komplikasi Penatalaksanaan DM yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik yang disebabkan karena penurunan gula darah yang terlalu drastis maupun peningkatan gula darah. Komplikasi yang terjadi bisa bersifat akut maupun kronik. 2.1.6.1. Komplikasi akut a. Hipoglikemia Hypoglikemia adalah terjadinya penuruanan glukosa dalam darah hingga dibawah 60 mg/dL. Pada penyandang DM, hypoglikemia biasanya terjadi peningkatan kadar insulin yang tidak tepat, baik akibat penyuntikan insulin eksogen maupun konsumsi OHO dengan aksi peningkatan sekresi insulin seperti sulfonylurea. Hipoglikemi merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kegawatan hingga kematian. Hal ini terjadi karena glukosa merupakan komponen penting yang dibutuhkan untuk metabolism sistim saraf pusat (otak). Pada gangguan asupan glukosa yang berlangsung dalam beberapa menit, akan menyebabkan gangguan pada fungsi saraf pusat dengan gejala mulai dari gangguan koknisi, penurunan kesadaran hingga koma. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 22 Mekanisme tubuh dalam kondisi hipoglikemia yaitu dengan melepaskan neuroendokrine dan mengaktifkan sistim saraf otonom. Penekanan produksi insulin, produksi glucagon dan epinephrine merupakan pencegahan terhadap hipoglikemia lanjut. Peniningkatan epinephrine akan menimbulkan manifestasi palpitasi, cemas, diaphoresis, lapar dan pucat (Lewis, 2011). Tanda dan gejala hipoglikemia, menurut Sugondo, dkk, 2011 dapat dibagi dalam 4 stadium, yaitu - Stadium parasimpatik : lapar, mual dan tekanan darah menurun - Stadium gangguan otak ringan : lemah,lesu, sulit bicara, gangguan koknitif seperti kesulitan menghitung - Stadium Simpatik : keringat dingin pada area wajah dan ekstremitas yang disertai dengan berdebar-debar - Stadium gangguan otak berat : koma dengan atau tanpa kejang. Pencegahan hipoglikemia dapat dilakukan dengan member edukasi kepada diabetisi mengenai OHO atau insulin yang digunakan: kapan harus dikonsumsi,bagaimana penyuntikan insulin yang benar seperti lokasinya, waktunya, dosis dan tehnik penyuntikan. Pengaturan makan sesuai jumlah, jenis dan jadwal penjadi pokok utama pencegahan. Pengenalan terhadap gejala hipoglikemia dan penanganan awal juga merupakan hal penting yang harus diketahui penyandang DM, sehingga tidak jatuh kepada hipoglikemia tahap lanjut. Jika hipoglikemia sudah terjadi maka, pengobatan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan otak lebih lanjut (Soegondo 2011), yaitu : - Stadium awal : masih komposmentis, dapat diberikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau sirup, permen dan makanan yang mengandung karbohidrat mudah cerna dan insulin atau OHO tidak diberikan. - Stadium koma hipoglikemia : segera dibawa ke pelayanan kesehatan. Pemberian glukosa 40 % sebanyak 2 flakon intravena setiap 10- 20 menit hingga pasien sadar, disertai pemberian cairan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 23 dextrose 10% perinfuse 6 jam/kolf dengan pemantauan gula darah setiap 30 menit. b. Ketoasidosis Ketoasidosis Diabetikum (KAD) juga merupakan komplikasi akut yang menyebabkan kondisi kegawatan sehingga membutuhkan pengelolaan yang cepat. KAD suatu keadaan dekompensasi dan kekacauan metabolic yang ditandai dengan hyperglikemia, asidosis dan ketosis dan gejala dehidrasi (Suwondo P, 2009; Lewis, 2011, LeMone, 2011). Walaupun KAD lebih mudah terjadi pada DM tipe 1, namun tidak sedikit penyandang DM tipe 2 juga mengalami komplikasi KAD dan 20 % dari pasien KAD, baru diketahui menderita DM. Faktor pencetus terjadinya KAD adalah infeksi, MCI, pancreatitis akut, penggunaan obat steroid dan menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Proses terjadinya KAD dapat diawali dengan defisiensi insulin absolute maupun relative mengakibatkan sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa. Sistem homeostasis tubuh teraktivasi sehingga cadangan glukosa dihati dan otot dikeluarkan. Kondisi ini menyebabkan hiperglikemia yang berat. Selanjutnya terjadi hormone kontraregulator meningkat terutama epinephrine yang akan merangsang aktivasi hormone lipase sensitive, lipolisis meningkat, benda keton dan asam lemak bebat juga akan meningkat dalam darah. Akumulasi benda keton ini akan menyebabkan asidosis metabolic. Gejala dehidrasi terjadi diawali dengan glycosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolite-seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan shock hypovolemik. Asidosis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (peranafasan Kussmaul). Muntah-muntah juga Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 24 biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolite. Diagnosis KAD dapat ditegakkan berdasarkan pada nilai gula darah lebih dari 250 mg/dL, pH darah kurang dari 7,35, HCO3 rendah dengan anion gap yang tinggi dan keton serum positif. Pemeriksaan lain sebagai penunjang dari manifestasi yang ditimbulkan yaitu pemeriksaan elektrolit, urium creatinin, dan penghitungan osmolaritas. Penatalaksanaan KAD dilakukan berdasarkan patofisiologi dan pathogenesis penyakit. Diperlukan pengelolaan yang intensive dengan prinsip pengelolaan KAD, yaitu : penggantian cairan dan elektrolit yang hilang, menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin, mengatasi pencetus KAD, mengembalikan kekondisi fisiologis dengan pemantauan glukosa. - Penggantian cairan (rehidrasi) : Cairan yang digunakan adalah NaCl 0,9%. Diberikan 1- 2 liter pada jam pertama, kemudian jam kedua diberikan 1 liter, setelah itu cairan diberikan sesuai dengan tingkat dehidrasi. Rehidrasi pada KAD selain memperbaiki perfusi jaringan, juga akan menurunkan hormone kontraregulator insulin. - Insulin : insulin mulai diberikan dalam bentuk bolus pada jam ke 2, dengan dosis 180 mU/KgBB, dilanjutkan dengan drip 90 mU/KgBB dalam NaCl 0,9%. Bila gula darah stabil dalam 12 jam (200 – 300 mg/dL), dilanjutkan dengan drip insulin 1 – 2 ui/jam dan dilakukan penyesuaian insulin setiap jam. Pemberian insulin pada KAD ini bertujuan menurunkan konsentrasi hormone glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas, pelepasan asam amino dan meningkatkan penggunaan insulin oleh sel. - Kalium : hipokalemia bisa terjadi pada KAD karena perpindahan ion K,dari dalam sel keluar sel yang pada akhirnya keluar melalui urine karena proses dehidrasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 25 c. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) HHNK merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama didapatkan adanya dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan dapat disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Faktor pencetus timbulnya HHNK diantaranya infeksi, pengobatan, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta seperti tumor yang menghasilkan hormone adeokortikotropin, pancreatitis dan lainnya. Pada usia lanjut dengan DM HHNK lebih mudah terjadi khususnya lansia dengan penyakit penyerta dan asupan nutrisi yang kurang. Proses perjalanan HHNK sama dengan KAD dimana tidak tercukupinya insulin akan mengakibatkan hiperglikemia yang pada akhirnya terjadi dieresis osmotik. Kehilangan cairan intravascular akan menyebabkan keadaan hiperosmolar yang akan memicu sekresi hormone anti diuretic, rasa haus yang berkepanjangan akan dirasakan oleh pasien. Kehilangan cairan yang tidak terkompensasi akan menimbulkan penurunan perfusi jaringan hingga koma. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis adanya HHNK diantaranya adalah kadar glukosa darah yang > dari 600mg/dL, osmolaritas serum yang tinggi >320 mOsm perkg air, pH > 7.30, dapat ditemukan adanya ketonemia ringan atau tidak ditemukan. Sebagian pasien menunjukan asidosis metabolic dengan anion gap ringan hingga berat. Konsentrasi BUN dan kreatininsering kalimeningkat yang menggambarkan adanya penurunan fungsi ginjal akibat dehidrasi dan akan terjadi penurunan elektrolit. Penatalaksanaan HHNK yang pertamaadalah rehidrasi dengan agresif menggunakan cairan NaCL 0,9 % dimulai dari 1 liter setiap jam. Pemberian elektrolit khususnya kalium yang hilang bersama pengeluaran cairan. Pemantauan terhadap kondisi aritmia sebagai Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 26 akibat hypokalemi harus dilakukan. HHNK diawali dengan ketidak cukupan kebutuhan insulin, sehingga pemberian insulin sangat penting. Pemberian insulin ini dilakukan setelah kondisi kekurangan cairan tubuh teratasi. 2.1.6.2. Komplikasi Kronik Kelainan metabolik pada DM tipe 2 dalam waktu yang lama dapat menyebabkan perubahan berbagai organ pada tubuh dan bersifat irreversible. Hiperglikemia menyebabkan glukosa direduksi menjadi sorbitol dalam sel yang mengandung enzim aldoreduktase. Sorbitol bersifat hidrofilik sehingga tidak dapat melewati membran sel sehingga meningkatkan akumulasi poliol intrasel sehingga sel menjadi bengkak dan mengalami kerusakan akibat proses osmotik (Waspadi dalam Sudoyo, 2009; Sibernagl & Lang, 2007). Hiperglikemia menyebabkan kerusakan jaringan melalui terbentuknya glikosilasi antara glukosa dengan protein non-enzimatik Advance Glycocilation End Products (AGES) yang berikatan dengan reseptor membran sel serta adanya pembentukan radikal bebas reactive oxygen species (ROS) yang dapat mengakibatkan pengendapan kolagen pada membran basalis pembuluh darah, kerusakan endothelium, penyempitan lumen dan penurunan permiabilitas pembuluh darah (Scott, Gronowski, Eby, 2007; Waspadji dalam Sudoyo, 2009). Kerusakan dinding pembuluh darah kecil dapat menyebabkan neuropati, nefropati dan retinopati. Neuropati disebabkan akibat penumpukan sorbitol pada sel schwan dan neuron sehingga mengganggu konduksi sel-sel saraf yang mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom, sensori dan refleks. Neuropati ditandai dengan adanya penurunan fungsi serabut saraf secara progresif. Neuropati merupakan komplikasi yang banyak terjadi pada DM dan diperkirakan terjadi pada 50% pasien DM baik tipe 1 maupun tipe 2 (Lin, 2011). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 27 Nefropati berhubungan dengan adanya glomerulosklerosis yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus, proteinuria, hipertensi dan gagal ginjal. Terjadinya gagal ginjal pada pasien DM tipe 2 dapat berhubungan dengan adanya penurunan Angiotensin Concerting Enzyme (ACE 2) yang berperan dalam melindungi ginjal (Reich, Oudit, Penninger, Scholey, & Herzenberg, 2008). Menurut Batuman resiko terjadinya nefropati diabetik dapat dialami pasien yang mengalami DM lebih dari 30 tahun. Retinopati disebabkan adanya penumpukan sorbitol pada lensa mata yang mengakibatkan penarikan cairan dan perubahan kejernihan lensa mata (Bate & Jerums, 2003). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan pada kelompok usia 25-74 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar 700.000 orang mengalami retinopati diabetik proliferasi dengan setiap tahunnya terdapat 65.000 kasus. Prevalensi retinopati diabetik di Amerika Serikat menunjukkan angka cukup tinggi yaitu sekitar 28.5% yang terutama terjadi pada pasien DM dengan usia diatas 40 tahun (Bhavsar, 2011). Hiperglikemia juga menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah yang besar yang berhubungan dengan terjadinya infark miokard, stroke dan penyakit pembuluh darah tepi. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan pembentukan protein plasma yang mengandung glukosa seperti fibrinogen, haptoglobin, macroglobulin alpha 2 dan faktor pembekuan V-VIII yang cenderung mengakibatkan peningkatan pembekuan dan viskositas darah yang mempermudah terjadinya trombosis. Trombosis yang disertai dengan peningkatan kadar kolesterol Very Low Density Lipoprotein (VLDL) akan menyebabkan makroangiopati yang memicu terjadinya penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer (Ignatavicius & Workman, 2010). Pasien DM tipe 2 memiliki resiko tinggi untuk mengalami gagal jantung. Kemungkinan mekanisme yang menjelaskan tentang hubungan DM tipe 2 dengan penyakit jantung adalah adanya peningkatan tekanan darah dan efek dari Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 28 metabolisme seperti hiperinsulinemia dan hiperglikemia (Gholap, Davies, Patel, Sattar, & Kunthi, 2011). Komplikasi kronik yang banyak terjadi akibat adanya komplikasi pada makrovaskuler, mikrovaskuler maupun neuropati adalah komplikasi pada kaki atau kaki diabetic. Kaki diabetic didefinisikan sebagai kaki pada pasien diabetes yang rentan terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari diabetes. Kaki diabetic ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy), berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,2008; Waspadji, 2009; Turn, 2011). Seperti dijelaskan pada definisi bahwa terjadinya kaki diabetik disebabkan selain oleh adanya gangguan vaskuler, gangguan saraf perifer, juga dapat disebabkan adanya deformitas musculoskeletal maupun infeksi. Proses terjadinya kaki diabetic dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Neuropathy Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol, sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 29 bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyunghuyung. Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat perubahan neuropatik (Smeltzer & Bare, 2008). b. Mikrovaskuler (mikroangiopathy) Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 30 reseptornya masing-masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009). c. Deformitas Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya artropati Charcot. d. Infeksi Penyandang Diabetes pada jangka waktu lama akan mengalami penurunan pada system imunitas. Penurunan system imun dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu : kerusakan fungsi polimorphonuclear leukosit, neuropathi diabetic dan penurunan vaskuler. Gangguan vaskuler akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi sel darah putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak dan ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat. Pada kondisi ini penyandang diabetes akan mudah Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 31 mengalami infeksi terutama pada kaki yang mengalami luka (Hawks & Black, 2010) 2.2. Asuhan Keperawatan Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy 2.2.1.Dasar Teori adaptasi Roy Sister Calissta Roy lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, seorang profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai mengembangkan teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964. Roy mengembangkan suatu model yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Model adaptasi Roy berasal dari pemikiran Roy yang sangat terkesan dengan ketahanan anak-anak terhadap perubahan mayor fisik dan psikososial saat dirawat di bangsal pediatric. Dimulai dari seminar dengan Dorothy E. Jhonson untuk mempresentasikan suatu model keperawatan dan kemudian dilanjutkan dengan berdasar pada teori adaptasi Helson (1964), maka Roy kemudian menghasilkan suatu teori yang disebut model adaptasi. Ada beberapa ahli yang memberikan pengaruh atau berkontribusi terhadap perkembangan teoritis model adaptasi Roy, para ahli tersebut antara lain Helson (Helson’s Adaptation Theory), Rapoport (Rapoport’s Definition), Dohrenwend, Lazarus, Mechanic, Selye, Marie Direver (Self Integrity), Martinez and sato (common and primary stimuli affecting the modes), Poush Tedrow and Van Landingham (Interdependence mode), Randel (Role Function Mode) (Tomey & Alligood, 2006). Pada awalnya, Roy mendiskusikan tentang konsep diri dan identitas kelompok dengan menggunakan teori interaksi social sebagai dasar teori, salah satu contoh penggunaan teori tersebut adalah persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh respon dari orang lain. Selain itu Sullivan juga mempengaruhi Roy untuk membuktikan bahwa seseorang itu muncul dari interaksi social yanga ada. Gardner dan Erickson, 1984 dalam Tomey & Alligood, 2006 juga berpengaruh pada mode yang lain, yaitu fisik-psikologis, fungsi peran dan interdependensi untuk memahami bahwa manusia juga berasal dari komponen biologis dan behavioral. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 32 2.2.2.Asumsi-Asumsi Utama Roy (1988 dalam Roy & Andrews, 1999) mengidentifikasi asumsi spesifik pada dua prinsip filosofi yaitu asumsi humanism dan veritivity. Asumsi humanism mengatakan bahwa manusia dan pengalamannya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengetahui dan menilai sesuatu untuk membentuk suatu kekuatan kreatif, sedangkan asumsi veritivity mengatakan tentang keyakinan pada tujuan, nilai dan arti dalam kehidupan manusia Roy (1988 dalam Roy & Andrew, 1999). Selain itu terdapat asumsi keilmuan yang berasal dari gabungan teori system dan teori level adaptasi. Teory system mengatakan bahwa system adaptasi manusia terlihat dari interaksi dan tindakan untuk mencapai suatu tujuan di dunia ini. Sedangkan system adaptasi manusia sangatlah kompleks, dengan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan stimulus dari lingkungan, manusia mempunyai kemampuan untuk merubah lingkungan sekitarnya. Dalam memahami konsep adaptasi, Roy (Roy & Andrew,1999 dalam Tomey & Alligood, 2006) mengembangkan 5 asumsi dasar dalam model adaptasi ini, yaitu adaptasi, keperawatan, manusia/individu, kesehatan dan lingkungan. 2.2.2.1. Adaptasi Adaptasi adalah suatu proses dan hasil, dimana manusia adalah sebagai individu dalam satu kelompok yang menggunakan kesadaran penuh dan pilihan untuk membentuk suatu integrasi antara manusia dan lingkungan. Untuk mempertahankan integritas, individu berespon terhadap stimulus dari lingkungan. 2.2.2.2. Keperawatan Keperawatan sebagai suatu profesi pelayanan kesehatan yang berfokus pada proses dan pola hidup manusia serta menekankan terhadap promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sebagai suatu kesatuan. Roy mengidentifikasikan aktifitas keperawatan sebagai suatu pengkajian terhadap perilaku dan stimulus yang mempengaruhi adaptasi. Keputusan dalam perawatan berdasarkan pada pengkajian dan perencanaan yang disusun untuk mengatur stimulus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 33 yang masuk. Pada akhirnya, tujuan Roy dalam keperawatan adalah promosi adaptasi individu dan kelompok pada setiap mode (physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode) yang berkontribusi terhadap kondisi sehat, kualitas hidup dan meninggal dengan tenang. Keperawatan mempunyai peran yang unik yaitu sebagai fasilitator untuk beradaptasi dengan mengkaji perilaku pada tiap mode dan faktorfaktor yang mempengaruhi adaptasi dengan cara ikut andil untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi dan meningkatkan interaksi lingkungan. 2.2.2.3. Manusia. Menurut Roy manusia adalah individu yang holistic, sebagai mahluk adaptif terhadap lingkungan yang ada. Sebagai system adaptif, manusia didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari beberapa bagian yang berfungsi secara menyeluruh untuk mencapai suatu tujuan. Individu sebagai suatu system meliputi manusia sebagai individu atau kelompok baik itu keluarga, organisasi, komunitas atau masyarakat dalam suatu kesatuan secara menyeluruh. Manusia mempunyai kemampuan untuk berfikir, merasakan, menyadari dan mengartikan sesuatu untuk merubah lingkungan dan pada akhirnya mempengaruhi lingkungan. Dengan kata lain manusia dipandang sebagai mahluk bio-psiko-sosialspiritual yang holistik dalam segenap aspek individu dengan bagianbagiannya yang berperan bersama membentuk kesatuan, ditambah manusia sebagai sistem yang hidup berada dalam interaksi yang konstan dengan lingkungannya. Dalam keperawatan, Roy mendefinisikan manusia sebagai focus utama, penerima asuhan keperawatan, sebagai system adaptif yang hidup dan sangat kompleks dengan aktifitas proses internal (kognator dan regulator) untuk mempertahankan adaptasi pada 4 lini mode (physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 34 2.2.2.4. Sehat Sehat adalah suatu kondisi dan suatu proses untuk menjadi manusia yang utuh dan berintegrasi (satu). Sehat merupakan suatu refleksi dari adaptasi, yaitu interaksi antara individu dan lingkungan. Definisi ini muncul dengan pemikiran bahwa adaptasi adalah suatu proses dukungan fisik, psikologis dan integritas social menuju suatu kesatuan dan keutuhan. Pada awalnya, Roy menampilkan kondisi sehat sebagai suatu kondisi yang berkelanjutan dari kondisi mati dan rendahnya status kesehatan menuju kondisi yang lebih baik dan sejahtera, untuk selanjutnya Roy memfokuskan pada asumsi bahwa sehat adalah suatu proses dimana kesehatan dan kematian selalu beriringan. Roy menyatakan bahwa sehat bukanlah bebas dari menghindari kematian, penyakit, kesedihan dan stress, tetapi lebih pada kemampuan untuk mengatasi semua hal tersebut dengan cara yang kompeten. Sehat dan sakit adalah kondisi yang tidak terelakkan karena merupakan dimensi hidup dan pengalaman hidup manusia. Ketika mekanisme koping seseorang tidak efektif, maka jatuhlah individu pada kondisi sakit, tetapi ketika seseorang dapat beradaptasi secara terus menerus maka orang tersebut sehat. Sebagai individu yang beradaptasi terhadap stimulus yang ada, individu mempunyai kebebasan untuk merespon terhadap stimulus lainnya. 2.2.2.5. Lingkungan. Lingkungan adalah semua kondisi, keadaan, situasi yang mempengaruhi pembentukan perilaku individu atau kelompok dengan fakta yang mempertimbangkan kualitas sumber daya alam dan manusia yang terdiri dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Perubahan lingkungan akan menstimulasi seseorang untuk berespon secara adaptif. Antara sistem dan lingkungan terjadi pertukaran informasi, materi dan energi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 35 Sebagai suatu system terbuka, manusia menerima input atau stimulus dari dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan adaptasi ditentukan oleh efek yang tergabung dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi terjadi ketika seseorang berespon positif terhadap perubahan lingkungan, dimana respon adaptif ini meningkatkan integritas seseorang untuk mencapai suatu kondisi sehat. Sebaliknya, jika responnya tidak efektif maka akan terjadi gangguan integritas seseorang. Di bawah ini bentuk diagram yang digunakan Roy untuk menggambarkan sistem adaptasi manusia dalam bentuk sistem yang terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan balik: Input Tingkat adaptasi (stimulus fokal, konstektual dan residual Proses kontrol Efektor Mekanisme koping (Regulator Kognator) Fungsi fisiologis Konsep diri Fungsi peran interdependensi Output Respons adaptif dan inefektif Feeback Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy Dari gambar di atas terdapat 2 subsistem di model adaptasi Roy, pertama yaitu fungsional atau subsistem proses kontrol yang terdiri dari regulator dan kognator. Yang kedua adalah subsistem effector yang terdiri dari 4 mode adaptif, yaitu 1) kebutuhan fisik, 2) konsep diri, 3) fungsi peran, dan 4) interdependence. Berikut keterangan gambar 2.1 tentang manusia sebagai suatu system adaptif: a. Input Roy mengidentifikasikan bahwa input merupakan stimulus yang terdiri dari informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon dimana dibagi dua dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual. ï‚· Stimulus fokal Stimulus yang dihadapi saat ini yang memerlukan waktu cepat untuk respons adaptasi atau stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang dan efeknya segera dirasakan, misalnya infeksi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 36 ï‚· Stimulus kontekstual Semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diamati, diukur serta dapat dilaporkan secara subyektif. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal seperti isolasi sosial. ï‚· Stimulus residual Faktor internal yang dimiliki individu yang memungkinkan mempengaruhi perilaku, misalnya: keyakinan, sikap, pengalaman masa lalu yang disebut koping. b. Kontrol (proses) Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk dari mekanisme yang Roy gunakan. Mekanisme kontrol ini terdiri dari regulator dan kognator yang merupakan bagian dari subsistem koping. ï‚· Sub sistem regulator Sub sistem regulator berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis, dimana terdapat respon otomatis terhadap perubahan lingkungan melalui proses neuro chemical endocrine coping proses. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator sub sistem. ï‚· Sub sistem kognator Kognator berhubungan dengan mode adaptive konsep diri; interdependensi dan fungsi peran dimana respon yang muncul melalui 4 canel kognitif-emosi, yaitu proses persepsi terhadap suatu informasi, belajar, penilaian dan emosi, proses ini terjadi dalam otak. c. Output Output atau keluaran dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diukur, diamati atau secara subyektif dapat dilaporkan baik dari dalam maupun luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy membagi output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang mal adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 37 kelangsungan hidup, perkembangan dan reproduksi. Sedangkan respon yang mal adaptif adalah perlaku yang tidak mendukung dalam tujuan ini. Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai sisten adaptif. Beberapa mekanisme koping ditentukan secara genetik (misalnya leukosit) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang dapat menyerang tubuh. Mekanisme lain yang dapat dipelajari seperti pengunaan antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan kognator dimana mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi. Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator sub sistem sering bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh individu itu sendiri serta mekanisme koping yang digunakan. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal megembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespons secara positif. Untuk sub sistem regulator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol sehingga sangat terbuka untuk melakukan penelitian tentang respons kontrol dari sub sistem kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya konsep ini mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor yaitu 4 (empat) model adaptasi yang terdiri dari: a. Kebutuhan Fisiological Kebutuhan fisiologi meliputi interaksi manusia dengan lingkungan dan kesepakatan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain cairan dan elektrolit, latihan dan istirahat, eliminasi, nutrisi, sirkulasi dan oksigen serta regulasi yang berhubungan dengan perasaan, suhu dan regulasi endokrin. b. Konsep Diri Konsep diri merupakan satu dari tiga mode psikososial yang berfokus pada psikologis dan spiritual sebagai aspek dari system manusia. Terbentuk dari persepsi internal dan persepsi dari orang lain. Terdiri dari body sensation yaitu bagaimana seseorang merasakan keadaan fisiknya, body image, bagaimana seseorang memandang fisik dirinya, self consistency, bagaimana upaya seseorang untuk memelihara dirinya dan menghindari dari ketidakseimbangan, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 38 dan moral etic spiritual self yang merupakan keyakinan seseorang dan evaluasi dirinya. c. Fungsi Peran Fungsi peran ini bagaimana mengenal pola interaksi social seseorang. Peran ini direfleksikan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer merupakan peran utama yang ditentukan oleh jenis kelamin, usia, dan tahap perkembangan. Peran sekunder merupakan tugas yang harus diselesaikan berdasarkan tugas perkembangan dan peran primernya. Peran tersier merupakan peran yang bersifat sementara, bebas untuk dilakukan, aktivitas dapat berupa hobi. Tujuan dari adaptasi fungsi peran ini adalah integritas social (Tomey & Alligood, 2006) d. Saling Ketergantungan (interdependency) Mode ini menunjukan mekanisme koping pada individu yang saling berhubungan dan menghasilkan rasa saling mencintai, menghargai dan saling membutuhkan. Hubungan ini biasanya terjadi antara individu dengan support sistemnya. Hasil dari mekanisme koping dari ke 4 mode ini adalah adaptif atau inefektif. Respon adaptif ditunjukan dengan meningkatnya integritas seseorang yang meliputi intergritas fisik, psikologi dan sosial. Sebaliknya, jika integritas ini tidak tercapai, maka respon inefektif yang akan didapatkan. 2.2.3. Asuhan keperawatan menurut Model Adaptasi Roy 2.2.3.1. Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu : a. Pengkajian perilaku (behavior) Pengkajian perilaku (behavior) merupakan langkah pertama proses keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku pasien adaptif atau inefektif. Perilaku yang diamati terdiri dari dua hal yaitu perilaku yang dapat diobservasi dan perilaku yang tidak dapat diobservasi, seperti keluhan pasien. Pengkajian tipe perilaku yang dapat diobservasi diperoleh dengan cara dilihat, didengar, dan/atau diukur. Apabila ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi normal Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 39 maka hal ini mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu dapat disebabkan oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006). Data perilaku yang diamati meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1) fisiologis, yang terdiri dari pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensori/ pengindraan, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis, fungsi endokrin; 2) konsep diri, meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi peran, meliputi proses transisi peran, perilaku peran, integrasi peran, pola penguasaan peran, dan proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola memberi dan menerima, dan strategi koping perpisahan dan kesendirian. b. Pengkajian stimulus merupakan tahap dua untuk mengetahui factor yang mempengaruhi perilaku yang ditunjukan oleh individu. Faktor yang mempengaruhi ini disebut juga dengan stimulus dan stimulus dapat internal dan eksternal yang mencakup semua kondisi, keadaan dan mempengaruhi sekeliling dan/atau mempengaruhi perkembangan dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi antara lain kultur (status sosial ekonomi, etnis, dan sistem keyakinan); keluarga (struktur dan tugas-tugas); tahap perkembangan (faktor usia, jenis, tugas, keturunan, dan genetik); integritas mode adaptif (fisiologis yang mencakup patologi penyakit, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi); efektivitas kognator (persepsi, pengetahuan, ketrampilan); pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan internal atau eksternal, pengelolaan medis, menggunakan obat-obat, alkohol, tembakau). Pengkajian stimulus diarahkan pada stimulus fokal, kontekstual, dan residual. 2.2.3.2. Diagnosa Keperawatan Menurut Roy & Andrews, 1999 diagnosa keperawatan merupakan proses penilaian yang menghasilkan pernyataan status adaptasi seseorang. Sebelum dilakukan penetapan diagnosa keperawatan semua data sudah terkumpul. Data perilaku merupakan hasil dari pengamatan, pengukuran, dan laporan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 40 subjektif. Data lain adalah penyataan tentang stimulus fokal, kontekstual, dan residual yang mempengaruhi data perilaku tersebut. Selanjutnya Roy menggambarkan tiga metode dalam menegakkan diagnose keperawatan. Metode pertama menggunakan tipologi diagnose berhubungan dengan empat mode adaptasi. Metode kedua dalam menegakkan diagnose, dengan mengobservasi tingkah laku yang berhubungan dengan stimulus, baik fokal, konstektual maupun residual. Metode yang ketiga merupakan kesimpulan satu atau lebih model adaptasi yang berhubungan dengan stimulus. 2.2.3.3. Penetapan tujuan keperawatan. Keperawatan terdiri dari dua yaitu : tujuan keperawatan dan aktivitas keperawatan. Tujuan keperawatan adalah mempertinggi interaksi manusia dengan lingkungan. Jadi peningkatan adaptasi dalam tiap empat cara adaptasi yaitu : (1) fungsi fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran dan (4) interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan integritas adaptasi dan berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup dan kematian dengan damai. Tujuan keperawatan tercapai ketika stimulus fokal berada dalam suatu area adaptasi yang adaptif. Ketika stimulus fokal berada pada area tersebut, manusia dapat membuat suatu penyesuaian diri atau berespons adaptif. Hal tersebut membebaskan individu dari koping yang tidak efektif dan memungkinkan individu untuk merespon stimulus yang lain. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat mencapai peningkatan penyembuhan dan kesehatan. Jadi peranan penting adaptasi sangat ditekankan pada konsep ini. Tujuan dari adaptasi adalah membantu perkembangan aktivitas keperawatan yang digunakan pada proses keperawatan meliputi : pengkajian, diagnosa keperawatan, tujuan, intervensi dan evaluasi. Adaptasi model keperawatan menetapkan “data apa yang dikumpulkan, bagaimana mengidentifikasi masalah dan tujuan utama, pendekatan apa yang dipakai dan bagaiman mengevaluasi efektifitas proses keperawatan”. Setelah dilakukan pengkajian terhadap perilaku, stimulus, dan diformulasikan ke dalam diagnosa keperawatan maka langkah selanjutnya adalah penentuan tujuan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 41 keperawatan. Penetapan tujuan keperawatan diartikan sebagai pembuatan pernyataan yang jelas dari keluaran perilaku (behavior outcomes) dari pelayanan keperawatan. Ada tiga hal yang dimuat dalam pernyatan tujuan keperawatan yaitu perilaku (behavior), perubahan yang diharapkan (change expected), dan kerangka atau rentang waktu (time frame). Setelah itu tujuan keperawatan jangka pendek dan jangka panjang ditentukan. 2.2.3.4. Intervensi dan implementasi Menurut Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006 tujuan dari intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi perilaku adaptif. Intervensi direncanakan untuk mengelola stimulus. Sebagai stimulus, intervensi berfokus bagaimana tujuan dapat dicapai. Fokus intervensi adalah mengarah pada suatu stimulus yang mempengaruhi suatu perilaku. Pengelolaan stimulus meliputi merubah, meningkatkan, menurunkan, memindahkan, menghilangkan, dan/atau mempertahankannya. Merubah stimulus memperkuat kemampuan mekanisme koping seseorang untuk berespon secara positif dan hasilnya adalah perilaku adaptif. Langkah dalam menyusun intervensi keperawatan meliputi penetapan atas empat hal yaitu 1) apa pendekatan alternatif yang akan dilakukan; 2) apa konsekuensi yang akan terjadi; 3) apakah mungkin tujuan tercapai oleh alternatif tersebut; dan 4) nilai alternatif itu diterima atau tidak. Intervensi keperawatan ini dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain (pasien, keluarga, dan tim kesehatan). Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari intervensi keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan memulai langkah-langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat. Implementasi keperawatan dilaksanakan terus menerus sesuai dengan perkembangan pasien. Implementasi dapat berubah-ubah dalam cara, teknik, dan pendekatan yang tergantung pada perubahan tingkat adaptasi pasien. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 42 2.2.3.5. Evaluasi Evaluasi merupakan penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan. Oleh karena itu, evaluasi tersebut menjadi refleksi dari tujuan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan suatu intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Tomey & Alligood, 2006) 2.3. Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Diabetes Mellitus Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya Diabetes Mellitus menggunakan model adaptasi Roy dirasakan tepat. Roy menekankan pada kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap stimulus yang didapatkan. Diabetes mellitus merupakan gangguan endokrin yang akan terus ada dalam tubuh penyandang DM, namun gangguan yang ditimbulkan dapat dikontrol. Model adaptasi yang dikembangkan oleh Roy, merupakan salah satu proses yang dapat digunakan oleh individu untuk berada pada kondisi terkontrol. Sebagai system terbuka, penyandang DM akan selalu mendapatkan stimulus baik fokal, kontekstual maupun residual. Untuk dapat beradaptasi terhadap stimulus tersebut, maka perawat berupaya meningkatkan koping yang dimiliki penyandang DM tersebut dengan berbagai intervensi untuk berupaya meningkatkan regulator dan kognator. Pada akhirnya diharapkan penyandang DM dapat beradaptasi secara penuh (integrity), compensatory, maupun adaptasi pada tingkat compromised. Berikut ini akan diuraikan asuhan keperawatan pada pasien DM dengan pendekatan model adaptasi Roy. 2.3.1. Pengkajian Pengkajian merupakan langkah pertama di dalam proses keperawatan. Model adaptasi Roy mengembangkan pengkajian dengan dua tahap. Tahap pertama dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perilaku pada empat mode yaitu : fisiologis, konsep diri, peran dan interdependen. Tahap kedua Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 43 menganalisis stimulus yang mempengaruhi. Stimulasi ini terdiri dari stimulasi fokal, kontekstual dan residual. Berikut ini diuraikan pengkajian pada pasien DM dengan pendekatan model adaptasi Roy meliputi pengkajian perilaku dan stimulus 2.3.1.1. Pengkajian Perilaku a. Mode Fisiologi - Oksigenasi ( Roy & Andrew, 1999; Smeltzer & Bare, 2008; Doenges, 2010; Lewis, 2011; LeMone, 2011) Perilaku yang ditunjukan pada kebutuhan oksigenasi pada pasien DM meliputi perilaku pada fungsi pernafasan dan fungsi sirkulasi. Fungsi pernafasan meliputi dikelompokkan dalam mekanisme ventilasi, difusi dan perfusi. Fungsi sirkulasi meliputi fungsi jantung dan transportasi oksigen. - Fungsi pernafasan pada pasien DM kemungkinan akan didapatkan perubahan perilaku seperti : adanya keluhan batuk dengan atau tanpa sputum yang purulent, sesak nafas. Dari hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya tachipnea, pernafasan khussmaul, adanya ronchi atau wheezing, sputum yang berwarna jernih, kuning atau kehijauan. - Fungsi sirkulasi kemungkinan akan di dapatkan keluhan claudicatio, kesemutan pada ekstemitas, luka yang lama sembuh pada area kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tachycardia, tekanan darah kemungkinan normal, hipertensi, atau perubahan tekanan darah pada posisi. Adanya irama jantung yang tidak teratur (dysritmia), penurunan nadi yang menurun atau tidak teraba terutama pada area kaki (dorsalis pedis dan posterior tibialis), nilai ABI normal, rendah atau tinggi. Pada pengukuran tekanan vena jugularis didapatkan hasil yang meningkat (pada komplikasi gagal jantung), kulit kering, hangat, kemerahan, bola mata cekung yang merupakan tanda adanya dehidrasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 44 Perubahan dari hasil pemeriksaan diagnostic merupakan perubahan perilaku yang dapat diamati. Hasil laboratorium yang dapat terjadi pada pasien dengan DM diantaranya ; perubahan pada nilai Hb kemungkinan didapatkan adanya penurunan nilai Hb. Nilai analisa gas darah, pada kasus KAD menunjukan adanya asidosis metabolic. Gangguan pada sirkulasi maupun pernafasan dapat dilihat dari pemeriksaan radiologi, seperti foto thorak. Adanya gambaran infeksi pada paru dansaluran pernafasan, adanya pembesaran jantung sebagai manifestasi komplikasi DM pada system kardiovaskuler dan pernafasan. Selain dari foto thoraks, EKG dapat digunakan untuk melihat adanya gambaran iskemik pada otot jantung dan penurunan kontraktilitas otot jantung. Pemeriksaan USG Doppler arteri dapat digunakan untuk menilai vaskularisasi kearah perifer (kaki). - Aktifitas dan Istirahat Keluhan yang dirasakan pada pasien DM terkait dengan kebutuhan aktifitas dan istirahat diantaranya adanya gangguan tidur dan istirahat salah satu penyebabnya adalah ketidaknyamanan (nyeri, sesak) dan poliuria. Keluhan lain seperti mudah lelah, kelemahan umum, kesulitan berjalan atau berubah posisi (dampak adanya ulkus atau perubahan struktur kaki). Pada otot pasien DM biasanya mempunyai keluhan penurunan kekuatan otot, maupun kram otot. Pemeriksaan fisik untuk menilai perubahan perilaku pada kebutuhan aktifitas istirahat ini akan didapatkan diantaranya : perubahan denyut nadi dan pernafasan (lebih cepat) saat istirahat atau setelah aktifitas, adanya kelemahan umum dan penurunan kesadaran. Pada otot terjadi penurunan kekuatan dan tonus otot. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 45 Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai perilaku ini diantaranya radiologi (foto) untuk area kaki. - Nutrisi Perubahan perilaku dari kebutuhan nutrisi yang dikeluhkan pasien DM diantaranya peningkatan nafsu makan (poliphagia), namun berat badan cenderung menurun. Pada komplikasi KAD atau gastrospathy didapatkan keluhan yang berlawanan yaitu kehilangan nafsu makan, mual dan muntah. Pemeriksaan fisik didapatkan IMT yang kurang atau lebih dari normal, tercium halitosis atau bau manis pada komplikasi KAD. Pemeriksaan diagnostik terutama untuk laboratorium didapatkan peningkatan gula darah, peningkatan HbA1C, kadar lemak yang meningkat, penurunan protein (albumin), maupun perubahan pada C peptide. Serum amilase akan meningkat jika ditemukan adanya pancreatitis akut yang disebabkan oleh KAD - Cairan, Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa Cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, pada pasien DM biasanya mengalami perubahan. Keluhan sering BAK (poliuria) dan diikuti dengan polidipsi merupakan keluhan yang sering dirasakan oleh pasien DM. Kehilangan cairan melalui urin dalam jumlah yang banyak dan muntah menjadi keluhan yang disakan pada komplikasi DM seperti KAD dan HHNK. Pemeriksaan fisik untuk melihat perubahan pada kebutuhan cairan pada DM dengan komplikasi KAD atau HHNK diantaranya membrane mukaso mulut yang kering, turgor kulit tidak elastis, diaphoresis, kulit kering dan bersisik. Pada DM dengan komplikasi gagal jantung atau nefropati akan ditemukan edema. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 46 Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mengidentifikasi perubahan perilaku pada cairan dan elektrolit ini diantaranya, pemeriksaan gula darah, ditemukan hasil yang meningkat, pemeriksaan natrium : hasilnya bisa normal, atau menurun. Pemeriksaan Kalium akan didapatkan kadar yang norma, meningkat pada fase awal dan akan menurun seiring dengan kondisi dehidrasi lanjut. Pemeriksaan osmolaritas sangat penting dilakukan, akan terjadi peningkatan pada HHNK. Pemeriksaan analisa gas darah penting dilakukan untuk pasien DM yang dicurigai KAD, dan akan didapatkan asidosis metabolic disertai peningkatan benda keton dalam darah. - Eliminasi Adanya keluhan sering BAK (poliuria), perubahan pola berkemih, nocturia merupakan keluhan yang sering dirasakan oleh pasien DM. Nyeri, panas dan kesulitan BAK merupakan tanda adanya neurogenik bledder dan kemungkinan infeksi saluran kemih. Pola BAB dapat dirasakan adanya keluhan konstipasi, maupun diare. Pemeriksaan fisikyang didapatkan pada pasien DM bisa ditemukan adanya penurunan atau peningkatan bising usus, distensi abdomen, tahanan pada bledder. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan melihat fungsi ginjal (urium, kreatinin yang meningkat) menunjukan adanya penurunan fungsi ginjal, pemeriksaan makroskopik urine dapat ditemukan warna urine yang keruh dan berbau sebagai tanda infeksi dan untuk memastikan infeksi pada saluran kemih dapat dilakukan pemeriksaan kultur urine. - Proteksi Pengkajian perilaku berhubungan dengan proteksi meliputi keluhan daya tahan tubuh yang menurun seperti sering demam, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 47 kelemahan, luka yang lama yang makin meluas. Kondisi kulit yang kering,pecah,pecah dan bersisik serta adanya keluhan gatal, menjadi resiko terhadap penurunan proteksi. Parastesia akibat diabetic neuropati juga merupakan keluhan yang sering dirasakan. Peningkatan resiko infeksi pada area genetalia dapat ditemukan pada pasien DM wanita, ditemukan adanya peningkatan sekresi vagina - Sensasi Perubahan sensasi pada pasien DM terjadi akibat komplikasi kronik. Adanya penurunan penglihatan dapat terjadi akibat retinopati. Gangguan sensasi lain yang dapat ditemukan pada pasien DM diantaranya penurunan terhadap sensasi nyeri, perubahan suhu dan perubahan tekstur. Pemeriksaan fisik terhadap penurunan sensasi dilakukan dengan menguji sensasi terhadap nyeri, suhu, serta perbedaan kasar dan halus. Pemeriksaan menggunakan monofilament 10gr merupakan pemeriksaan level A yang direkomendasikan pada pasien DM. - Fungsi Neurologi Perubahan perilaku pada fungsi neurologi dapat dilihat darimulai tingkat kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran dapat terjadi pada komplikasi akut hypoglikemia,maupun coma akibat KAD Gangguan lain neurologi sebagai dan HHNK. komplikasi didapatkan adanya neuropati motorik seperti kronik (kaki charcot), neuropathi sensorik (penurunan sensasi), neuropati otonom (kulit kering, tidak ada rambut pada area kulit, gastropaty dan neuropati bleder). Pemeriksaan reflek tendon dalam didapatkan penurunan reflek tendon dalam. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 48 - Fungsi Endokrin Perubahan fungsi endokrin pada pasien DM adalah adanya penurunan produksi atau sensitifitas insulin yang mengakibatkan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein. Perubahan perilaku yang dapat dilihat dan diukur dapat terjadi pada semua fungsi seperti yang telah dijelaskan pada fungsi-fungsi diatas. b. Mode Konsep Diri Mode konsep diri merupakan bagian dari psikologis dan spiritual. Kebutuhan psikologis yang merupakan respon psikologis terhadap apa yang dirasakan dari perubahan fisik. Gangguan psikologis tersebut dapat berupa, kecemasan, stress, ketakutan, malu terhadap bentuk tubuhnya, beban financial, hingga menyalahkan Tuhan, atau mempunyai persepsi yang salah yang berkaitan dengan kepercayaannya. Perilaku yang dapat diamati diantaranya, selalu menanyakan keadaannya, menolak untuk bertemu dengan orang lain, hingga ditemukan adanya tanda depresi. c. Mode Peran Perubahan peran yang terjadi pada pasien DM dapat berupa peran primer, sekunder maupun tersier. DM sebagai penyakit menahun yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi kronis pada akhirnya akan mengganggu peran dari pasien tersebut pada kehidupan sehari-hari, terutama pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan berbagai komplikasi. d. Mode Interdependensi Pengkajian perilaku terhadap model interdependensi meliputi hasil pengamatan dan ungkapan dari pasien DM tentang orang lain yang bermakna, perilaku saling menghargai, mencintai dan saling memperhatikan dari sistem pendukung yang dimiliki (orang terdekat, keluarga). Pasien DM dengan berbagai Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 49 komplikasi kronik, mengalami perubahan peran cenderung tergantung dengan orang terdekat. Dukungan yang tidak didapatkan dengan baik, misalnya keluarga jenuh atau harus menggantikan perannya, akan menimbulkan gangguan konsep diri untuk pasien DM. 2.3.1.2. Pengkajian Stimulus Pengkajian stimulus merupakan pengkajian tahap dua, untuk mengetahui penyebab perubahan perilaku maladaptive yang di dapatkan pada pengkajian tahap satu. Pada pesien DM stimulus fokal yang merupakan stimulus langsung yang mempengaruhi adanya perubahan perubahan perilaku pada ke 4 mode. Stimulus fokal meliputi : usia, dimana usia diatas 30 tahun merupakan usia beresiko untuk mengalami DM. Stimulus lain diantaranya, adanya riwayat melahirkan dengan berat badan bayi yang dilahirkan lebih dari 4 kg, obesitas dan hiperlipidemia. Pada pasien DM yang mengalami komplikasi, stimulus fokal meliputi gula darah yang tidak terkontrol, peningkatan metabolism yang disebabkan oleh infeksi, stress psikologi, atau proses pembedahan. Pada mode konsep diri, peran dan interdependensi fokal stimulus terjadi karena dirawat di rumah sakit, berbagai komplikasi yang dialami proses kehilangan seperti amputasi. Stimulus kontektual dan stimulus residual yang mempengaruhi diantaranya adanya riwayat DM dalam keluaraga, riwayat perawatan kesehatan sebelumnya, seperti diitnya, monitoring gula darah, olah raga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan merupakan stimulus kontektual penting yang mempengaruhi perubahan perilaku baik adaptif maupun maladaptive. (Roy & Andrew, 1999; Doengoes, 2010). 2.3.2. Diagnosa keperawatan Berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien DM, maka diagnose keperawatan yang dapat ditegakan adalah sebagai berikut (NANDA Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 50 2012-2014; Smeltzer & Bare, 2008; Doengoes, 2010; LeMone, 2011; Lewis, 2011). 2.3.2.1. Diagnosa Keperawatan pada Mode Fisiologi a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi, peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk. b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load. c. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan sirkulasi perifer. d. Perubahan aktifitas fisik berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik. e. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi, peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi). f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas. g. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic, pengeluaran berlebi dari sistim pencernaan dan keterbatasan asupan. h. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic, proses infeksi. i. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi, penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah. j. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan kimia endogen. k. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status kesehatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 51 2.3.2.2. Diagnosa keperawatan pada Mode Konsep Diri Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit, kesalahan informasi. 2.3.2.3. Diagnosa Keperawatan pada Mode Peran Perubahan fungsi peran berhubungan dengan krisissituasi, perawatan yang lama dan keterbatasan fisik. 2.3.2.4. Diagnosa keperawatan pada Mode Interdependensi a. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan dukungan sosial yang tidak adekwat. b. Tidak efektifnya managemen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi. 2.3.3. Intervensi Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi, peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk. Tujuan yang ingin dicapai jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada keluhan sesak, batuk berkurang, suara nafas vesikuler, tidak ada tanda kekurangan oksigen seperti sianosis, AGD dalam batas normal. Intervensi yang ditetapkan meliputi kognator dan regulator: :managemen respirasi : peningkatan kemampuan batuk, fisiotherapi dada, monitor status respirasi, kolaborasi dalam management terapi oksigen. 2. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load. Tujuan yang diinginkan adalah curah jantung adekuat ditandai dengan peningkatan sirkulasi, nadi, tekanan darah dalam batas normal, tidak didapatkan peningkatan vena jugularis, perfusi ke jaringan adekwat (akral hangat, denyur perifer kuat). Intervensi keperawatan yang ditetapkan (regulator &kognator) : Haemodinamik regulator, management energy, terapi oksigen, cardiac care Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 52 3. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan sirkulasi perifer. Tujuan yang ingin dicapai adalah perfusi jaringan kearah perifer (kaki) adekwat ditandai dengan akral hangat, pulsasi ke area kaki kuat dan normal, ABI dalam batas normal, tidak terjadi proses penyembuhan luka yang lambat. Intervensi yang ditetapkan : pemantauan sirkulasi, embolus care : peripheral, peningkatan latihan fisik. 4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik. Tujuan yang ingin dicapai : dapat menunjukan tingkat aktifitas yang adekwat, ditunjukan dengan melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri, menggunakan alat bantu dengan benar, melakukan mobilisasi (berjalan, berpindah posisi dengan benar). Intervensi yang ditetapkan meliputi : bedrest care, management energy, menegemen lingkungan, self medication assisstent, self care assisstent, pain management. 5. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi, peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi). Tujuan yang ingin dicapai : Peningkatan energy yang ditandai dengan kelelahan berkurang, melakukan aktifitas untuk perawatan diri tanpa keluhan lelah. Intervensi yang ditetapkan : management energy, progressive muscle relaksation. 6. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas. Tujuan yang akan ditetapkan : status nutrisi adekwat, ditandai dengan berat badan dipertahankan dalam batas ideal, gula darah terkontrol, kadar lemak, protein dalam darah normal. Intervensi yang ditetapkan managemen perubahan nutrisi, management nutrisi, terapi nutrisi, konseling nutrisi, monitor nutrisi, management berat badan, menegement hiperglikemia/hypoglikemik. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 53 7. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic, pengeluaran berlebih dari sistem pencernaan dan keterbatasan asupan. Tujuan yang ingin ditetapkan : status cairan adekwat, ditandai dengan intake dan output cairan seimbang, TTV dalam batas normal, turgor kulit elastis, membrane mukosa lembab, elektrolit dalam batas normal. Intervensi yang ditetapkan : managemen cairan dan elektrolit, monitoring asam basa, monitoring cairan dan elektrolit, management asidosis metabolic, management hyperglikemia. 8. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic, proses infeksi. Tujuan yang diinginkan pola eliminasi normal ditandai dengan tidak ada keluhan nyeri saat berkemih, frekuensi berkemih berkurang, tidak ada hematuri, hasil pemeriksaan urine tidak menunjukan ada tanda infeksi. Intervensi yang ditetapkan : manajemen cairan, monitoring cairan, management eliminasi urine, bladder training urine, pencegahan infeksi. 9. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi, penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah. Tujuan yang ditetapkan infeksi tidak atau tidak meluas atau tidak terjadi ditandai dengan status imun meningkat, nilai leukosit dalam batas normal, tidak ada keluhan demam, area infeksi (ulkus, ISK, infeksi pernafasan) mengalami proses penyembuhan. Intervensi yang ditetapkan meliputi : management pencegahan infeksi, management control infeksi, management nutrisi, management luka, management medikasi. 10. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan kimia endogen. Tujuan yang diinginkan tidak terjadi injuri seperti tidak terjadi ulkus, atau bahaya jatuh. Intervensi yang ditetapkan ; monitor fungsi neurologi, management neuropati perifer, edukasi perawatan kaki dan penggunaan alas kaki, edukasi berhenti merokok, pencegahan terhadap bahaya jatuh, management lingkungan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 54 11. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status kesehatan. Tujuan yang ditetapkan gula darah stabil yang ditandai dengan gula darah terkontrol dalam batas normal, tidak terjadi komplikasi DM akut : KAD,HHNK atau hypoglikemi. Intervensi yang ditetapkan monitoring gula darah, monitoring cairan, management hyperglikemia, management pengobatan, management nutrisi, edukasi pada nutrisi, pengobatan, management perilaku. 12. Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit, kesalahan informasi. Tujuan yang ditetapkan pasien dapat beradaptasi terhadap kondisi kecemasannya, yang ditunjukan dengan peningkatan terhadap kontrol kecemasannya, mampu mengungkapkan penyebab cemas, mampu merencanakan strategi koping yang akan digunakan. Intervensi yang ditetapkan menurunkan kecemasan, konseling, management energy, management lingkungan, management koping, management distraksi. 13. Tidak efektifnya management terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi. Tujauan yang diinginkan pasien mampu beradaptasi pada management terapi yang ditetapkan, meliputi menunjukan perilaku mengikuti diit, pengobatan yang ditetapkan. Intervensi yang ditetapkan : modifikasi perilaku, tingkatkan koping, konseling penatalaksanaan DM, beri dukungan sosial, edukasi group, management efikasi, follow up melalui telepon. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 55 BAB 3 PENERAPAN MODEL ADAPTASI ROY PADA ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KLIEN DIABETES MELLITUS KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG Pada BAB 3 ini, akan diuraikan hasil asuhan keperawatan dan analisis pada klien dengan diabetes mellitus (DM) dengan abses punggung dan resiko tinggi ulkus diabetik sebagai kasus kelolaan utama dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Uraian selanjutnya setelah pembahasan kasus kelolaan utama, praktikan juga menganalisa 32 kasus kelolaan lain yang praktikan lakukan selama praktikan menjalankan praktek residensi 1 dan 2. 3.1.Deskripsi kasus kelolaan utama Kasus dialami oleh seorang klien berinisial Ny.Sh usia 66 tahun, status perkawinan menikah dengan 2 anak yang telah berumah tangga, pendidikan SLTP, aktifitas sehari hari sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di Depok. Klien masuk rumah sakit (RSUPF) pada tanggal 8 Oktober 2011 melalui UGD dan tiba di ruang teratai lantai 5 Selatan pada tanggal 9 Oktober 2012 pukul 17.15 WIB. Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2011. Alasan keluarga membawa klien ke rumah sakit, karena klien mengalami bisul (abses) di area punggung sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Timbul bisul tersebut pada awalnya klien merasakan gatal di punggung, digaruk dan timbul kemerahan dan bisul kecil yang makin lama makin membesar. Keluarga sudah membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan, mendapatkan obat antibiotic dan anti nyeri namun tidak ada proses penyembuhan, bahkan semakin besar, klien merasakan nyeri, demam dan tidak bisa tidur selama 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Abses mengeluarkan nanah yang terus menerus, berbau sehingga klien merasakan tidak nyaman. Tindakan yang dilakukan di UGD diantaranya, dilakukan penggantian balutan, dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu dengan hasil 466 mg/dL dan pemeriksaan darah lengkap. Obat yang diberikan ke pada klien saat di UGD adalah anlgetik suppositoria (propenid), diberikan insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam dengan dosis dimulai 5 unit dan naik 5 unit setiap kenaikan gula darah 50 mg/dL dimulai dari nilai gula darah 201 mg/dL. Pengkajian terhadap riwayat kesehatan sebelumnya, klien telah menderita DM sejak 10 tahun yang lalu, pernah mengalami Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 56 amputasi pada kaki kanannya 3 tahun yang lalu kerena ulkus. Penatalaksanaan DM yang klien lakukan dengan minum obat metformin 500 mg dan glibenklamid yang terkadang dibelinya sendiri, karena klien tidak control ke dokter teratur. Riwayat kesehatan keluarga didapatkan kakak klien yang pertama juga menderita DM dan saat ini mengalami stroke. Hasil pemeriksaan gula darah suami klien setahun yang lalu juga mengalami peningkatan lebih dari 200 mg/dL, namun tidak ditindaklanjuti untuk pengobatan. 3.2.Penerapan Model Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama Asuhan keperawatan yang dilakukan pada semua klien kelolaan yang praktikan lakukan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy, yang dilakukan secara holistic dan komprehensif dimulai dari tahap pengkajian hingga evaluasi. Hasil akhir dari asuhan keperawatan ini, diharapkan klien mampu beradaptasi dengan berbagai gangguan pemenuhan kebutuhan, baik fisiologi, konsep diri, peran maupun interdependensi. 3.2.1. Pengkajian Perilaku dan stimulus 3.2.1.1. Mode Adaptasi Fisiologi 1. Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem kardiovaskuler, perfusi). Pengkajian pada perilaku oksigenasi diperoleh data : tidak ada keluhan pada sistem pernafasan seperti batuk, sesak kesulitan bernafas serta nyeri dada saat istirahat, beraktifitas maupun bernafas. Namun klien merasakan badannya lemas, sering pusing, terutama berubah posisi dari tiduran ke duduk. Sirkulasi ke perifer didapatkan tidak ada keluhan nyeri pada area kaki, baik saat beraktifitas maupun saat istirahat (nyeri claudikasio). Terkadang klien merasakan dingin pada area telapak atau punggung kaki, terutama pada malam hari. Untuk mengatasi dingin ini, klien selalu menggunakan kaos kaki jika tidur. Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva klien tampak pucat, tidak ditemukan adanya sianosis pada kulit maupun area bibir, tidak menggunakan otot bantu pernafasan, RR : 18 x/mnt irama teratur, suara nafas vesikuler di semua area lapang paru, capilari refile < 3dtk, nadi radialis : 78x/mnt irama Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 57 teratur pulsasi kuat, TD : 140/90 mmHg, HR : 80x/mnt teratur. Suara jantung 1 & 2 terdengar normal dan tidak terdengar suara jantung tambahan dengan denyut apikal 84 x/mnt, teratur. Hasil pemeriksaan EKG di dapatkan sinus rhytem, Gelombang QRS normal diikuti gelombang P, tidak ditemukan adanya T inverted, ST elevasi/depresi dan Q patologis. Perabaan pada kedua ekstemitas bawah hangat, tidak ditemukan edema pada kedua tungkai. Hasil pemeriksaan vaskularisasi kearah ekstremitas bawah dengan menggunakan Ankle Brachial Index (ABI), didapatkan : Table 3.1. Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) Arteri dorsalis pedis Arteri tibialis posterior Kaki kanan Kaki kiri Palpasi Nd : 84x/mnt , pulsasi kuat Nd : 82/mnt pulsasi kuat TD Sistolik (mmHg) Palpasi 130mmHg 130 mmHg Pulsasi kuat Pulsasi kuat 130 mmHg 130 mmHg 130 mmHg 140 mmHg 0.93 0.93 TD Sistolik (mmHg) TD Sistolik Arteri Brachialis (mmHg) Ankle Brachial Index (ABI) Stimulus Fokal : Luka abses diarea punggung mengeluarkan eksudat seropurulen, jumlah banyak (balutan penuh dan harus diganti 2 kali sehari) Hb : 10.3 g/dL. Hematokrit :30,4%. Eritrosit : 4.45 /µL. AGD (tidak diperiksa), Foto thoraks menunjukan hasil CTR > 50 %, pulmonal normal, tidak ada tanda infiltrat. ECHO (10 Oktober 2011) : EF : 72,4 %, LV kontraktilitas normal, fungsi diastolik normal, katup morfologi normal. Stimulus Kontekstual & Residual Usia klien 66 th, riwayat DM 10 tahun, riwayat hipertensi 3 tahun namun tidak terkontrol, mempunyai keturunan DM & hipertensi. Pengetahuan klien dan keluarga terhadap penatalaksanaan DM dan hipertensi masih kurang (diit, aktifitas, terapi, komplikasi, dll). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 58 Penatalaksanaan yang didapatkan saat ini rencana pemberian PRC500 cc Captopil 2x12,5 mg 2. Nutrisi Klien mengatakan sejak 2 minggu terakhir nafsu makannya menurun, merasakan mual, makan hanya ½ porsi dari porsi biasanya, menurut klien, ia tidak nafsu makan karena merasakan nyeri pada area punggungnya & bau amis dari luka. Sebelumnya klien makan tidak pernah banyak (nasi 1 centong). Jika klien makan banyak, ia akan merasakan begah pada perutnya. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya (rasa lapar) klien sering ngemil. Walaupun klien didiagnosa DM sejak 10 tahun yang lalu, namun klien tidak pernah mengatur makanan sesuai diit. Yang klien ketahui tentang diit DM hanya mengurangi nasi saja, bahkan suami klien selalu membuatkan susu kedelai dengan menggunakan gula setiap hari. Sejak amputasi 3 th yang lalu, seharusnya klien dianjurkan untuk menggunakan insulin, karena harga insulin mahal, klien tidak melanjutkan penggunaan insulin, dan menggantinya dengan OHO (Metformin 500 mg & glibenclamid) yang diminum tidak teratur. BB klien : 56 kg TB : 155 cm, IMT 23 , mukosa mulut lembab, tidak ada stomatitis, terdapat karies gigi, kemampuan mengunyah baik, abdomen flet, lunak tidak teraba pembesaran hepar bising usus 12 x/mnt. GDS (8/10/2011): 466 mg/dL, tanggal 10/10/2011: hasil scleding scale menunjukan hasil GD yang tidak fluktuatif terendah 142 dan tertinggi 219 SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, Glukosa urine (+++), HbA1C: 12,7 %, Trigliserida : 80mg/dL, kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL Penatalaksanaan yang diberikan untuk kebutuhan nutrisi adalah diit lunak 1500 kalori yang dibagi dalam 3 porsi besar (makan pagi, siang & sore) 3 porsi kecil/snack (jam 09.00, 15.00 dan 21.00 WIB). Pemberian insulin (Actrapid) ditetapkan dengan dosis 3x8 unit & monitoring GD dilakukan KGDH/hari. Therapy lain yang diberikan OMZ : 1x20 mg dan Donperidon 3 x 1 amp Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 59 Stimulus fokal : Ketidakseimbangan regulasi insulin yang ditandai dengan peningkatan guladarah sewaktu (GDS saat masuk 466mg/dL) dan gula darah yang tidak terkontrol dalam 3 bulan terakhir ditandai dengan HbA1C: 12,7%. Resiko gangguan nutrisi dapat terjadi pada klien akibat asupan nutrisi yang kurang akibat penurunan nafsu makan dan mual. Stimulus kontekstual dan residual Usia 66 th, mempunyai riwayat DM 10 th, 3 th yang lalu pernah dirawat dengan ulkus kaki diabetic dan dilakukan amputasi, namun tidak mengetahui diit yang sesuai, pengobatan DM tidak terkontrol, disebabkan pengetahuan & motivasi terhadap diit & pengobatan belum difahami. Sebelum klien mengalami DM, klien pernah mempunyai BB 80 kg (obesitas). Pengetahuan keluarga tentang penatalaksanaan DM juga masih kurang, terbukti keluarga menyediakan susu kedelai dengan gula setiap hari. Dukungan keluarga terhadap pengobatan juga kurang optimal yang dilihat dari pengobatan insulin tidak dilanjutkan dengan alasan keuangan. 3. Eliminasi Klien mengatakan tidak ada perubahan pada pola BAB maupun BAK. Klien biasa BAB 1 x sehari tanpa pencahar, faeses lunak warna khas. BAK 7-8 kali sehari, BAK malam 2-3x, urine berwarna kuning jernih, tidak ada nyeri ketika mulai maupun saat BAK. Tidak menggunakan kateter urine, tidak teraba blass pada area simpisis, maupun masa dan nyeritekan pada abdomen bawah. Bising usus 12 x/mnt. Hasil pemeriksaan urinalisa di dapatkan protein urine (++), tidak ditemukan adanya leukosit dan eritrosit dalam urine, berat jenis 1.020 di dapatkan adanya keton dalam urine yaitu (++). Hasil pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan nilai urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 0.5 mg/dl, CCT : 56.6 ml/menit Stimulus fokal : Ketonuria yang terjadi disebabkan adanya pemecahan lemak sebagai sumner energy (glukoneogenesis) yang menghasilkan asam lemak atau ketone, selanjutnya keton ini diekskresikan melalui system ginjal dan keluar bersama dengan urine. Dari hasil CCT di dapatkan adanya penurunan fungsi ginjal yang kemungkinan terjadi nefropathy. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 60 Stimulus kontekstual & residual : Riwatay DM selama 10 tahun, tidak terkontrol, hipertensi selama 3 tahun terakhir yang juga tidak terkontrol. Pengetahuan klien terhadap komplikasi kronik DM kurang. 4. Cairan dan Elektrolit Klien minum 2 blt air mineral (@ 600cc) dalam sehari, BAK 4-5 kali pagi hingga sore dan malam 2-3 kali, jumlahnya diperkirakan 2/3 gelas air mineral. Selama dirawat tidak merasakan perubahan dalam kebutuhan minum maupun pengeluaran cairan. Tidak ada muntah, berkeringat berlebihan maupun diare, namun klien merakan demam Mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, tidak didapatkan odema pada ekstremitas maupun odema anasarka, TD: 140/90mmHg, Nadi radialis : 78x/mnt pulsasi kuat, suhu 37,9° C. Urine tampung dalam 24 jam : 1500 cc, minum 1200 cc, Produksi eksudat dari abses + 200-300 cc setiap ganti balutan. Hasil pemeriksaan elektrolit : Na :137, Kalium : 4.79 mEq/L, Clorida : mEq/L, Urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 96 0.5 mg/dl. Penatalaksanaan yang diberikan IVFD: NaCl 1000 cc/24 jam. Stimulus fokal, kontekstual & residual : tidak ditemukan 5. Aktifitas Istirahat Aktifitas klien untuk pemenuhan nutrisi, eliminasi, mampu dilakukan secara mandiri (bantuan minimal karena menggunakan infuse). Mobilisasi terutama saat tidur hanya bisa dengan miring ke kiri, karena pada punggung kanan terdapat abses, sehingga untuk miring kanan & supine klien merasakan nyeri. Sudah 1 minggu tidur malam klien terganggu karena nyeri yang dirasakan. Klien tidur rata-rata 5-6 jam, namun, sering terbangun (tidak lelap) karena nyeri. Setelah dirawat di rumah sakit,nyeri yang dirasakan berkurang, karena mendapatkan obat anti nyeri dan ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan tidurnya. Aktifitas berjalan mampu dilakukan oleh klien namun dengan perlahan, karena pada 1/3 distal telapak kaki (metatarsal) kanan klien telah diamputasi 3 tahun yang lalu. Hasil observasi terlihat saat turun dari tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Kaki kiri tidak ada kelainan bentuk. Kekuatan otot Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 61 pada ekstremitas atas dan bawah 5 (mampu melawan grafitasi dan mampu melawan tahanan) Gambar 3.1. Photografi kaki Ny. S Kaki kanan Kaki kiri Stimulus fokal, kontektual dan residual : tidak ditemukan 6. Proteksi (proses imunitas, integumen, rambut, kuku, perubahan suhu, trauma) Rambut dan kulit klien kotor, lengket & berbau keringat ,karena selama di IGD tidak dibersihkan. Tidak ada keluhan keputihan maupun gatal-gatal pada area vagina & lipatan femur. Tampak abses yang terbalut pada regiodorsal thorakal X- XII sejajar midklavikula dengan balutan yang basah (terdapat rembesan pus), berbau khas pus. Suhu aksila 37.9ºC, leukosit 18.400/mm3. Hasil culture luka didapatkan leukosit banyak/LPB, ditemukan bakteri gram positif Coccus. Gambar 3.2. Photografi Abses punggung Ny. S Luka derajat III, dimana luka mengenai jaringan otot, mengeluarkan exudat purulen kira-kira 300cc, bau exudat khas,tercium pada jarak 1 lengan. Dasar luka berwarna putih, terdapat slough, luas luka 4x5x3cm dengan goa arah jam 12 hingga jam 09, panjang 3 cm, luas eritema luka : 12x 8 cm. Kaki kanan terdapat kalus pada area plantar, terdapat ulkus pada area tengan kalus, dengan kedalaman 7 mm berwarna merah dan basah. Saat turun dari tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Saat berjalan di dalam Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 62 rumah klien tidak menggunakan alas kaki & jika berjalan diluar rumah, klien menggunakan alas kaki (sandal) yang dimodifikasi menggunakan tali karet sebagai pengikat. Dari hasil pengkajian kaki didapatkan adanya penurunan sensasi pada kedua kaki, kulit kaki kering dan berkilap. Gambar 3.3. Photografi Pengkajian kaki Ny. S Table 3.2. Pengkajian kaki Kaki Kanan Ya Kallus Corns Bunions Hammer toes Amputasi: ï‚· Minor ( jari/ pedis ) ï‚· Mayor ( below knee/ above knee ) Kaki charchot Kuku ï‚· Penebalan ï‚· Infeksi jamur ï‚· Tumbuh ke dalam Kulit ï‚· Perabaan kaki dingin ï‚· Kulit berkilap ï‚· Kulit kering ï‚· Atrofi lemak sub kutan ï‚· Rubor ï‚· Pucat pada elevasi ï‚· Rambut kaki Tidak Kaki Kiri Ya  Tidak              -                  Stimulus fokal : Gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan system imun, penurunan vaskuler ,sehingga jika terjadi luka akan lebih mudah terjadi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 63 penyebaran infeksi. Hb dan albumin yang rendah akan mempengaruhi proses penyembuhan luka. Adanya riwayat amputasi kaki karena ulkus & adanya kalus dengan menurut Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 Ny. S masuk dalam katagori 3 ( resiko sangat tinggi), yang harus memeriksakan kakinya setiap 1- 3 bulan, namun belum pernah dilakukan. Stimulus kontekstual & residual Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, perawatan luka, perawatan kaki : mencegah terjadinya kalus, mengurangi kalus, penggunaan alas kaki belum diketahui seluruhnya oleh klien. Nyeri yang dirasakan saat mengganti balutan, membuat klien takut untuk ketika akan diganti balutannya. 7. Sensori (Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau, nyeri) Tidak ada gangguan pendengaran. Mengatakan pandangan terasa lebih buram terutama pada mata kiri, tidak dapat membaca tulisan dengan font 12 pada jarak 10 cm, hanya tampak bayang-bayang saja. Pada mata kanan masih mampu membaca dengan jarak 30 cm dengan besar huruf 16. Merasakan nyeri pada area luka dengan intensitas sedang dan semakin nyeri saat balutan dibanti. Baal atau kebas pada area telapak kaki kiri. Dilakukan pemeriksaan sensitifitas dengan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan salah dalam mempersepsikan sensasi tajam dan tumpul pada area telapak kaki kanan dan kiri. Stimulus fokal : Penurunan sensasi terutama pada area perifer disebabkan karena adanya komplikasi neuropathi sensori perifer. Penurunan tajam penglihatan merupakan komplikasi DM pada mata yang disebut retinopathy. Komplikasi yang terjadi pada DM akibat lamanya menderita DM (10 th) dan gula darah yang tidak terkontrol (> 6.5%) Stimulus kontekstual & residual : Pengetahuan yang kurang mengenai DM & komplikasinya. Penatalaksanaan DM yang belum adekuat. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 64 8. Fungsi Neurologi (Syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi) Klien dapat berorientasi terhadap orang,waktu dan tempat dengan baik, tidak ada gangguan pada XII saraf kranial, fungsi motorik menurun karena keterbatasan energi, sensorik , memori dan bahasa tidak ada gangguan. Reflek patela (+/+), reflek ackhiles (+/+), Monofilament 10 gr (-/-) Stimulus fokal : neuropathy perifer Stimulus kontekstual & residual Riwayat DM yang tidak terkontrol, pengetahuan terhadap perawatan kaki yang kurang 9. Fungsi Endokrin Hiperglikemia , tidak didapatkan pembesaran kelenjar thyroid, sudah menopause (menurut klien sudah lebih dari 10 th) Stimulus fokal : resistensi insulin/ketidakcukupan insulin ditandai dengan GDS : 466 mg%, HbA1C : 12,7% Stimulus kontekstual & residual Pengetahuan tentang penatalaksanaan DM yang belum semuanya diketahui, adanya perasaan bosan untuk berobat & sumber dana yang semakin berkurang, riwayat keluarga ada yang mengalami DM 3.2.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri : Physical self (memandang diri sendiri, berhubungan dengan kehilangan) & Personal self (konsistensi; ideal diri, moral, etik, spiritual, seksual, cemas, takut) Menurut klien setelah telapak kakinya diamputasi, klien lebih banyak dirumah, hal ini disebabkan karena pergerakan klien menjadi terbatas dan klien malas ditanya– tanya oleh tetangganya tentang kakinya. Spiritual klien : menyatakan untuk ibadah wajib & sunah selalu dilaksanakan, namun pengajian sudah tidak diikuti lagi. Saat ini klien ingin menjalankan ibadah wajib, namun klien ragu karena lukanya selalu mengeluarkan kotoran. Klien yakin bahwa sakit yang dialami merupakan teguran dari Tuhan, agar lebih taat menjalankan perintahNya. Klien juga meyakini bahwa kekuasaan Tuhan akan membantu kesembuhannya, oleh sebab itu, walaupun ia ragu menjalankan sholat, namun ia tetap berdzikir. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 65 Aktifitas seksual (suami istri) hampir tidak pernah dilakukan, karena merasa sudah tua. Menurut klien dan suaminya, kebutuhan tersebut sudah tidak penting lagi. Mereka mengekspresikan kebutuhan seksual dengan saling menyayangi, saling merawat, karena mereka hanya tinggal berdua saja. Saat ini yang diinginkan kesembuhan terhadap kondisi absesnya, ada ketakutan akan bertambah luas karena klien mempunyai DM dan pengalaman luka dikaki 3 tahun yang lalu merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien. Pengalaman terhadap nyeri yang dirasakan saat mengganti balutan juga mempengaruhi kecemasan klien saat akan diganti balutan. Namun karena produksi cairan eksudat yang banyak serta ingin sembuh, mampu menghilangkan rasa cemas akan nyeri yang dirasakan. Produksi eksudat yang berbau membuat klien menginginkan pindah tempat ke posisi diujung kamar dengan alasan agar klien lain dikamar tersebut tidak kebauan. Harapan klien saat ini proses penyembuhan luka di punggungnya mengalami kemajuan. Ia yakin dengan pelayanan kesehatan di RSUPF dan tenaga kesehatan yang merawatnya Stimulus Fokal : adanya abses di punggung, yang tidak sembuh–sembuh, mengeluarkan eksudat dan berbau. Perubahan bentuk kaki paska amputasi menyebabkan keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain. Stimulus kontekstual dan residual : Pengalaman ulkus kaki sebelumnya, pengalaman nyeri pada saat di lakukan ganti balutan sebelumnya. Aktifitas klien sebelum dilakukan amputasi (aktif dikegiatan kemasyarakatan, mempunyai aktifitas berdagang dan mempunyai pendapatan sendiri). Keyakinan diri klien terhadap proses penyembuhan luka dan dengan tempat serta petugas kesehatan yang menangani. 3.2.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran Klien adalah seorang istri & ibu dari 2 anak dimana kedua anaknya sudah menikah dan tidak tinggal dengan klien. Ia hanya tinggal berdua suaminya yang sudah pensiun. Kegiatan sehari-hari melakukan aktivitas rumah tangga (memasak, membersihkan rumah, dll) dibantu oleh suaminya. Saat ini klien selalu ditunggu oleh suaminya, dan untuk peran sehari–hari digantikan oleh suami dan anak klien. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 66 Stimulus kontekstual dan residual : merasakan nyeri akibat abses dan harus dirawat dirumah sakit. 3.2.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi (fokus: interaksi saling memberi/menerima, cinta kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian) Saat ini kebutuhan dan aktifitas klien dibantu oleh suami & anaknya . Secara bergantian keluarga (anak) dan suami klien menjaga klien di rumah sakit. Klien juga terlihat mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya yang ia bisa lakukan, seperti makan dilakukan sendiri, menurutnya ia juga tidak mau sepenuhnya tergantung dengan orang lain. Dalam menentukan pengobatan seperti keputusan untuk menggunakan jenis balutan, apa saja kebutuhan yang harus ada saat dirumah sakit hingga keuangan, klien berperan dalam membuat keputusan. Stimulus kontektual dan residual : abses di punggung, nyeri yang dirasakan, dirawat dirumah sakit. 3.2.2. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan pengkajian mode adaptif pada kasus diatas, dapat dianalisis terjadi inefektif pada mode fisiologi meliputi mode nutrisi, proteksi, sensasi, neurologi, endokrin dan pada mode konsep diri. Perubahan adaptasi atau inefektif pada mode adaptif tersebut dapat ditegakkan diagnose keperawatan sebagai berikut : Mode Fisiologis 1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi 2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi 3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan 4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan yang tidak adekwat, ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak dan kesulitan ekonomi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 67 Mode konsep diri dan mode Interdependensi 1. Kesiapan meningkatnya koping individu 2. Kesiapan meningkatnya religiositas. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 68 Tabel 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan 3.2.3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN Nama Klien Umur Klien No 1 : Ny.S : 66 tahun Perilaku Stimulus Fungsi Fisiologis : Proteksi Data subyektif: ï‚· Abses pada area thorakal X-XII sejajar midklavikula derajat 3, dengan leukositosis ï‚· Nyeri pada luka skala sedang ï‚· Demam Stimulus Fokal : Terjadi abses yang semakin meluas, mengeluarkan pus, GD meningkat & leukositosis Data obyektif: Stimulus kontekstual & residual : Riwayat DM 10 tahun, gula darah tidak terkontrol HBA1C :12,7 % Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, komplikasi, perawatan luka,perawatan kaki No. Rekam Medis Diagnosa Medik Diagnosa Keperawatan Resiko perluasan Infeksi berhubungan dengan hiperglikemia, rendahnya resistensi terhadap stres, penyembuhan luka yang memburuk Tujuan Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10 x 24 jam diharapkan klien akan beradaptasi dengan perilaku terhadap proteksi Kriteria Hasil ï‚· Tidak terdapat jaringan nekrotik ï‚· Luka tidak ada pus dan tidak bau ï‚· Leukosit dalam batas normal (4.000 – 11.000/mm3) ï‚· Suhu tubuh dalam batas Rencana Intervensi : 1094672 : DM Tp2 & Abses Evaluasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan dan dievaluasi 1. Hyperglicemia setiap 3x24 jam dan modifikasi management (metabolic dilakukan intervensi keperawatan (27 control) Oktober 2011), maka diperoleh : 2. Management Luka (wound and infection Perilaku adaptif : control) Klien mengatakan luka 3. Vascular control dipunggung sudah tidak 4. Education nyeri lagi, dasar luka merah muda & terjadi granulasi, Aktivitas keperawatan produksi cairan luka Regulator : minimal (cairan serous ï‚· Monitor gula darah bening), leukosit 5.600/ul, ï‚· Monitor TTV, terutama suhu klien & keluarga aktif dalam ï‚· Monitor GD/ hari sesuai kegiatan program edukasi program DM. ï‚· Monitoring tanda perluasan infeksi pada area luka: pus Perilaku inefektif yang bertambah, adanya luka Klien & keluarga belum NIC: Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 69 Luka mengeluarkan pus,berbau khas gangren,nekroti k pada digiti IV, kedalaman luka belum dapat dinilai bergaung menembus dari digiti III normal (36 – 37oC) ï‚· Penyembuhan luka: regenerasi sel dan jaringan diikuti penyembuhan luka ï‚· Klien menunjukan perilaku untukmenurun kan resiko perluasan infeksi ï‚· Pengetahuan terhadap penatalaksanaa n DM, pencegahan penyebaran luka meningkat yang meluas ï‚· Lakukan perawatan luka dengan prinsip streril, lembab setiap hari atau jika balutan jenuh ï‚· Pantau hasil laboratorium terhadap peningkatan leukosit, hasil kultur Kolaborasi : ï‚· Berikan insulin sesuai program 3x8 ui ï‚· Pemeriksaan kultur dari jaringan luka ï‚· Pemberian antibiotic : ï‚· Ceftriaxon 2 x 2 gr ï‚· Metronidazol : 3 x 500 mg ï‚· Kolaborasi untuk persiapan debridement: fisik, mental & administratif ï‚· Kaji respon klien terhadap terapi: penurunan produksi pus, penurunan leukosit Kognator ï‚· Motivasi klien untuk menjaga stabilitas gula darah: nutrisi, penurunan kecemasan ï‚· Informasikan kepada klien & klg untuk menjaga kebersihan area sekitar luka ï‚· Informasikan kepada klien berani melakukan perawatan luka secara mandiri Luka bergranulasi,namun belum pada tahap epitelisasi Analisa : Masalah penyebaran infeksi tidak terjadi, perilaku adaptif belum tercapai seluruhnya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 70 untuk mengurangi tekanan pada area luka 2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi glukosa pada Stimulus tingkat sel Kontekstual & skunder Residual : ketidakcukupan Riwayat DM sejak insulin 10 th yang lalu tidak terkontrol, pengetahuan tentang nutrisi untuk DM : Data Obyektif: hanya mengurangi ï‚· Pemeriksaan GDS tanggal nasi saja (jumlah, & 1/10’11: 531 jenis jadwal)belum mg/dl diketahui dengan ï‚· Pemeriksaan baik GD/6 jam : fluktuatif & jam 16.00: 325 mg% ï‚· Klien hanya menghabiskan porsi diet yang diberikan dari rumah sakit Fungsi Fisiologis : Nutrisi Data Subyektif: ï‚· Nafsu makan menurun mual ï‚· Makan ratarata habis 2/3 porsi selama 3 hari terakhir karena merasakan nyeri pada abses Stimulus Fokal GDS 466 mg% dan HbA1C :12.7 %, KGDH : 204 mg%, 305mg% & 219 mg% BB: 56 kg TB 155 cm. Tujuan Umum Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 hari, yang ditunjukan dengan : NIC  Kontrol metabolic (hiperglikemia)  Edukasi Aktifitas keperawatan Regulator ï‚· Timbang berat badan klien sesuai indikasi ï‚· Tentukan program diet kolaborasi dengan ahli gizi :1500kal dibagi dalam 3 porsi besar & 3 porsi kecil ï‚· Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen, perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna ï‚· Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan etnik/cultural dan lingkungan yang menyenangkan saat makan ï‚· Observasi tanda-tanda hipoglikemia Kriteria hasil ï‚· Asupan makanan, cairan dan zat gizi terpenuhi ï‚· Klien dapat menjelaskan komponen keadequatan diet ï‚· Menyatakan keinginan untuk mengikuti diet ï‚· Bertoleransi terhadap diet yang dianjurkan ï‚· Membertahanka Kognator n massa tubuh ï‚· Ajarkan metoda dan berat badan perencanaan makan pada normal klien dan keluarga ï‚· Nilai ï‚· Jelaskan sumber makanan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 21 hari (hingga tanggal 27 Oktober) & dievaluasi setiap 3 x 24 jam serta dilakukan modifikasi, maka di dapatkan hasil : Perilaku adaptif : Klien mengatakan makan habis sesuai porsi yang disediakan, makan sesuai jadwal yaitu 15 menit setelah diberikan insulin, Regulasi gula darah tercapai dengan control insulin 3 x 8 unit, keluarga (suami) mampu menggunakan insulin sendiri & glukotes sendiri. KLien mampu menyebutkan diit yang dianjurkan dari jenis, jumlah & jadwalnya Perilaku inefektif : Klien masih tergantung dengan keluarga dalam pengaturan diit & motivasi masih rendah. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 71 ï‚· BB : 56, TB: 155 cm. LILA: 22 cm 3 Fungsi Fisiologis : Aktifitas ï‚· Mempunyai riwayat amputasi 3 tahun yang lalu pada 1/3 distal metatarsal ï‚· Berjalan menjadi lebih pelan, kaki kanan sering menjadi laboratorium bergizi yang terjangkau albumin, bagi klien dan sesuai diit glukosa darah ï‚· Informasikan tentang dalam batas kebutuhan nutrisi dan normal bagaimana memenuhinya ï‚· Melaporkan ï‚· Libatkan keluarga klien keadequatan dalam perencanaan makan energy. Kolaborasi ï‚· Lakukan pemeriksaan gula darah sesuai program : KGDH ï‚· Berikan pengobatan insulin sesuai program : 3 x 8 ui ï‚· Berikan Donperidon 3 x 1 amp & OMZ 1 x 20 mg Resiko Injuri : Tujuan umum : NIC trauma jatuh, Injuri tidak terjadi,  Environmental perubahan ditunjukan dengan managemen : Safety anatomis kaki ï‚· Klien mampu  Mechanical control (chatcot), kalus mengurangi & ulkus b.d. tekanan pada Aktifitas Keperawatan penurunan Regulator kaki kanan sensasi, ï‚· Ciptakan lingkungan yang ï‚· Keluarga perubahan kimia aman bagi klien mampu endogen menyebutkan ï‚· Identifikasi kebutuhan ketidakseimbang criteria keamanan klien an glukosa Stimulus lingkungan berdasarkan tingkat fisik kontekstual & insulin yang aman & dan fungsi kognitif dan residual: memberikan perilaku Riwayat DM 10 lingkungan ï‚· Tempatkan alat-alat yang tahun tidak yang aman sering digunakan dalam Stimulus Fokal Penggunaan kaki kanan sebagai penumpu menyebabkan timbulnya kalus& perawatan yang tidak sesuai menimbulkan ulkus pada area kalus Setelah dilakukan asuhan selama 3 minggu,dapat dievalauasi perilaku klien : Adaptif : ï‚· Klien dan keluarga mampu menyebutkan dan menyediakan kondisi lingkungan yang aman untuk klien : meletakan barang dekat klien, memasang pengaman, mambantu mobilisasi ï‚· Klien & keluarga mampu menjelaskan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 72 penumpu saat turun dari tempat tidur Fungsi fisiologis proteksi & saraf: ï‚· Terdapat kalus dengan ulkus pada bagian tengahnya ï‚· Sensasi pada kaki kanan menurun & ABI 1 & 0,9 Fungsi fisiologi sense (indra): ï‚· Penurunan tajam penglihatan pada mata kiri terkontrol, pengetahuan tentang perawatan kaki, penggunaan alas kaki, perawatan kalus yang belum optimal selama di RS untuk klien jangkauan klien tehnik perawatan kaki : mencuci & menggosok ï‚· Jaga kebersihan, kalus, tehnik memeriksa kenyamanan tempat tidur kaki dan lingkungan ï‚· Klien mampu ï‚· Buang bahan-bahan yang menggunakan kakikiri telah digunakan setelah sebagai tumpuan saat mengganti balutan dan mulai berdiri eliminasi ï‚· Hindari paparan terhadap panas dan dingin berlebihan Perilaku inefektif : ï‚· Ulkus pada tengah ï‚· Libatkan keluarga untuk kalus belum kering, menunggui klien namun sudah ï‚· Lakukan perawatan kalus didapatkan granulasi & (pengikisan & perawatan ukuran yang mengecil ulkus) ï‚· belum di dapatkan alas ï‚· Latih klien untuk kaki yang sesuai menggunakan kaki kiri sehingga masih sebagai tumpuan menggunakan kaus kaki/sandal yang Kognator dimodifikasi ï‚· Jelaskan tentang perubahan Analisa: atau perlindungan ï‚· Masalah resiko injuri lingkungan pada klien dan masih di dapatkan. keluarga Intervensi untuk ï‚· Diskusikan dengan klien & menuju perilaku adaptif keluarga untuk perawatan tetap dilaksanakan kaki & penggunaan alas hingga klien dirumah kaki dengan melibatkan ï‚· Demonstrasikan keluarga tehnikperawatan kaki & pencegahan kalus Kolaborasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 73 ï‚· Kolaborasikan dengan dokter spesialis mata untuk pemeriksaan & penatalaksanaa mata ï‚· Kolaborasi dengan rehabilitasi untuk mendiskusikan alas kaki yang sesuai mode konsep diri : ï‚· klien tidak lagi menjalankan ibadah sholat karena tubuhnya selalu kotor oleh eksudat luka ï‚· Klien menginginka n untuk tetap menjalankan ibadah Stimulus fokal : Kesiapan pengetahuan klien meningkatnya tentang ibadah untuk religiositas orang sakit kurang Kesiapan dalam Mode konsep Stimulus peningkatan diri : Kontekstual : koping individu ï‚· Mengungkap ï‚· Pengalaman kan mengalami ulkus kekhawatiran sebelumnya Setelah dilakukan  Spiritual support,dengan tindakan aktifitas : keperawatan ï‚· Diskusikan tata cara bersuci selama 2x24 jam & sholat saat sakit diharapkan klien ï‚· Ajarkan cara tayamum & akan menunjukan sholat dengan kondisinya peningkatan ï‚· Libatkan keluarga dalam kesejahteraan penyediaan fasilitas ibadah : spiritual mukena, tasbih Criteria hasil ; ï‚· Pertahankan privacy saat ï‚· Bersuci melalui sholat/berdo’a tayamum ï‚· Sholat dengan cara duduk ï‚· Melakukan aktivitas doa Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 hri didapatkan : Perilaku efektif : ï‚· Keluarga membawakan perlengkapan ibadah ï‚· Klien terlihat menjalankan ibadah sesuai dengaan waktunya ï‚· Klien terlihat berzikir menggunakan tasbih di waktu istirahatnya. ï‚· Klien mengungkapkan lebih tenang jika dibantu dengan berdo’a Setelah dilakukan NIC tindakan  Peningkatan koping keperawatan individu selama 7 x 24 jam  Peningkatan support diharapkan klien system Setelah dilakuakan asuhan kepetawatan selama 7 hari dan dilakukan evaluasi di dapatkan perilaku yang adaptif , dimana klien Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 74 nya terhadap ï‚· Support dari luka yang keluarga baik saat ini dideritanya ï‚· Mengungkap kan keyakinanny a terhadap pelayanan dan petugas kesehatan mampu mengatasi sakitnya Mode Interdependen ï‚· Terlibat pengambilan keputusan dalam perawatan dirinya : mementukan tambahan protein, pemilihan menggunakan jenis balutan. ï‚· Mengungkapk an jika rasa takut akan nyeri dikesampingk memperlihatkan peningkatan kesejahteraan dalam koping  Peningkatan body image Aktivitas yang dilakukan : Kognator ï‚· Gali harapan yang diinginkan ï‚· Diskusikan hal – hal positif yang klien miliki ï‚· Lakukan reinsforment (+) terhadap hal – hal positif yang dimiliki oleh klien ï‚· Diskusikan dengan klien untuk menggunakan hal positif yang dimiliki klien untuk meningkatkan ï‚· Fasilitasi komunikasi akan perhatian/perasaanantara pasien dan keluarga atau anggota keluarga ï‚· Libatkan keluarga dalam setiap perawatan klien menunjukan perilaku : ï‚· Keaktifan klien dalam program perawatan ï‚· Ungkapan klien tentang harapan kesembuhan ï‚· Interaksi yang meningkat dengan pasien disekitarnya ï‚· Ungkapan keingitahuan klien tentang perawatan selanjutnya dan mengikuti program perawatan yang melibatkan keaktifan klien : latihan menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, bersholawat saat diganti balutan,melakukan exercise di tempat tidur. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 75 an jika akan diganti balutannya,krn ingin luka cepat sembuh Mode Fisiologi ï‚· Terjadi peningkatan GD ï‚· Abses yang makin luas ï‚· Kalus & ulkus pada kaki kanan Mode Interdependensi ï‚· Perawatan dirumah dilakukan oleh suami ï‚· Menghentika n program pengobatan karena sumber dana ï‚· Keluarga memberikan susu kedelai dengan gula setiappagi ï‚· Menghentika n pengobatan Stimulus Fokal : Belum pernah mengikuti program edukasi Informasi saat dirawat terbatas pada diit : pengurangan sumber karbohidrat Menegement diri inefektif berhubungan dengan pengetahuan yang kurang Setelah dialakukan NIC ; tindakan  Program edukasi keperawatan Aktifitas yang dilakukan : selama 7 hari ï‚· Gali pengetahuan klien dan diharapkan keluarga tentang kemempuan klien DM,komplikasi dan dalam management perawatannya diri meningkat ï‚· Lakukan edukasi dengan ditandai dengan - Kelompok sebaya (group) ï‚· Secara kognotif ï‚· Lakukan konseling klien mengetahui sesuai kebutuhan klien batasan gula ï‚· Fasilitasi klien dalam darah normal, membuat keputusan dalam tanda perawatan dirinya peningkatan gula ï‚· Demonstrasikan perilaku darah, komplikasi perawatan yang dapat dan dilakukan oleh klien : cara perawatannya perawatan kaki, pemberian ï‚· Secara insulin, menyiapkan psikomotor klien makanan, latihan yang bs menunjukan dilakukan (peregangan). perilaku terhadap diit yang benar, latihan fisik, melakukan penyuntikan insulin sendiri, Setelah dilakukan perawatan pada hingga hari ke 7 di dapatkan perilaku adaptif : Klien dan keluarga mampu menyebutkan batasan gula darah normal, tanda hiper & hipoglikemia,komplika si yang ada pada dirinya dan komplikasi lain yang dapat terjadi, penatalaksanaan DM. Klien melakukan exercise di tempat tidur (senam kaki, peregangan otot) sesuai kemampuan Anak klien mampu melakukan perawatan kaki Klien mampu menyuntik insulin sendiri Keluarga klien membeli glukometer dan mampu menggunakannya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 76 sendiri ï‚· Menggunaka n OHO tanpa monitoring dari tenaga kesehatan aktif dalam program edukasi - Klien dan keluaarga mampu menyebutkan sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau. Perilaku inefektif : Psikomotor dalam penyediaan diit,karena masih disediakan oleh RS Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 77 3.3. Pembahasan Bagian ini merupakan pembahasan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan pada Ny. S dengan DM komplikasi abses dan resiko tinggi ulkus diabetik dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Pembahasan yang akan praktikan uraikan bertolak dari masalah keperawatan yang ditemukan mengacu pada 4 mode adaptasi menurut Roy. Keempat mode tersebut meliputi mode fisiologi, mode konsep diri, mode peran dan mode ketergantungan. Dari masalah keperawatan yang terjadi, akan dianalisis berbagai faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya masalah tersebut, dilanjutkan dengan membahas berbagai intervensi yang telah dilakukan untuk mengatasinya dan evaluasi hasil dari intervensi yang telah dilakukan. Pembahasan juga akan diperkuat oleh teori/konsep yang mendasarinya fenomena yang terjadi dan hasil studi para peneliti sebelumnya sebagai justifikasi ilmiah. 3.3.1. Mode Fisiologi 3.3.1.1. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi Masalah keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan sebagai asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolise (NANDA, 2012-2014). Factor resiko yang berhubungan dengan gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada klien diabetes dikaitkan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrient. Perilaku klien di dapatkan berhubungan dengan masalah nutrisi ini adalah klien mengalami mual, penurunan nafsu makan, makan habis hanya ½ porsi. Dari penghitungan IMT didapatkan nilai 23, masuk dalam katagori normal. Pemeriksaan laboratorium sebagai pendukung perilaku pada mode nutrisi di dapatkan data SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, HbA1C: 12,7 %, Trigliserida : 80mg/dL, Kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL dengan protein urine kuantitatif Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 78 670 mg/24jam. Dari hasil laboratorium diatas dapat disimpulkan fungsi hati dalam kondisi normal. Hati merupakan organ penting yang berperan dalam metabolisme komponen nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Komponen nutrisi yang mengalami penurunan adalah albumin. Hipoalbumin yang terjadi pada Ny. S disebabkan karena inflamasi kronik dari abses yang terjadi. Kadar albumin rendah selain karena asupan nutrisi yang kurang juga karena inflamasi kronik dan kebocoran pada ginjal. Ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan disertai dengan penurunan fungsi ginjal menyebabkan penurunan albumin dalam darah. Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat respon inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin melalui mekanisme : 1) peningkatan permeabilitas vascular (menyebabkan albumin berdifusi ke ruang ekstravaskular); 2) peningkatan degradasi albumin; 3) penurunan sintesis albumin (TNF-α yang berperan dalam penurunan trankripsi gen albumin), (Dunning, 2009). Data lain yang menunjang masalah resiko keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah kadar gula darah yang tinggi saat masuk yaitu 466 mg/dL dan menurun dengan pemberian terapi insulin. Hasil HbA1C menunjukan nilai 12,7 % yang dapat disimpulkan tidak terkontrolnya gula darah dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan gula darah diduga adanya resistensi insulin. Resistensi insulin relative akan mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Lewis & Heitkemper, 2011). Insulin berfungsi dalam transportasi glukosa hingga masuk ke dalam sel. Sekresi insulin dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah. Saat terjadi defisiensi insulin, glukosa darah hasil metabolisme karbohidrat setelah seseorang makan tidak dapat masuk ke dalam sel, mengakibatkan suatu kondisi yang disebut hiperglikemia Selain itu penurunan metabolism Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 79 di sel berakibat terjadinya penurunan energy dan penderita DM akan mengalami keseimbangan kalori negative, perilaku klien yang ditunjukan misalnya adanya keluhan mudah lelah, atau lemas dan letih. Gangguan nutrisi pada sel, mengaktifkan system homeostatis tubuh untuk memproduksi energy terus berlangsung dengan pembentukan glukosa endogen glukoneogenesis & glikogenolisis dijaringan hepar. Kondisi ini semakin meningkatkan glukosa darah. Stress fisik seperti adanya ulkus, akan meningkatkan hormone kontraregulator (glucagon, katekolamin dan kortisol) yang akan mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan lemak. Akibat lipolisis meningkat akan terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Intervensi keperawatan yang dapat disusun pada masalah nutrisi ini adalah pemberian diit yang sesuai, kontrol gula darah, dan pemberian terapi insulin sebagai upaya membantu glukosa masuk ke dalam sel dan pada akhirnya diharapkan nutrisi sel terpenuhi. Menurut Yunir & Soebardi, 2010, salah satu terapi medis non farmakologi yang direkomendasikan untuk mengatasi maslah nutrisi pada klien DM adalah terapi gizi. Terapi gizi merupakan kegiatan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi penderita DM yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Adapun manfaat yang diharapkan dari pengaturan diit ini adalah : 1) menurunkan berat badan, 2) menurunkan tekanan darah. 3). mengontrol gula darah pada batas normal. 4). memperbaiki profil lipid . 5). memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki sistim koagulasi darah. Adapun pengaturan diit yang dilakukan pada Ny. S adalah sebagai berikut: Rumus penghitungan kebutuhan nutrisi dengan rumus Brocca : Penentuan besarnya kalori yang diberikan digunakan perhitungan rumus Brocca, yaitu: BBI x kebutuhankalori + aktifitas + kondisi stres BBI = (TB dalam Cm - 100) -10% Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 80 = (155 cm - 100) ± 5,5= 49,5 - 60,5 kg BBI Kalori basal wanita 25 Kkal/Kg = 49,5 x 25 = 1237,5 kkal Aktifitas ringan + 10% = 123,5 kal Keadaan stres fisik + 20% = 369,75 kal Usia > 50 th - 5% = 61,88 BB Gemuk - 20% = 247,5 Total kebutuhan nutrisi : kkal = 1423,125 pembulatan 1500 kal Makanan dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan malam (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makanan besar. Untuk pengaturan makan ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan tim gizi RS. Medical Nutrition Therapy (MNT) penting dalam manajemen pencegahan diabetes, mencegah perkembangan komplikasi akibat diabetes, dan mencegah kejadian morbiditas dan mortalitas akibat diabetes (ADA, 2012). MNT juga termasuk ke dalam edukasi manajemen diri pada klien diabetes. MNT dilaporkan dapat menurunkan nilai HbA1C ( A1C) 0,25 – 2,9% pada klien DM tipe II (ADA, 2012) tergantung kepada lamanya klien menderita DM. Hasil metaanalisis pada studi orang tanpa diabetes menunjukkan MNT dapat menurunkan kolesterol LDL antara 15-25 mg/dl yang dicapai setelah 3-6 bulan inisiasi. Terjadinya penurunan albumin dalam darah akan menghambat proses penyembuah luka. Peningkatan pemberian protein pada kondisi Ny. S perlu dipertimbangkan dengan fungsi ginjal yang menurun dan adanya pengeluaran protein melalui urine. Protein yang diberikan pada Ny. S adalah 1,5 – 2 gr/Kg BB/hari dengan pertimbangan untuk meningkatkan proses penyembuhan luka. Sumber protein yang diberikan 50 % berasal dari sumber hewani dan 50 % berasal dari sumber nabati. Kandungan protein pada putih telur mencapai 98%, sehingga pemberian ekstra putih telur hingga 6 butir perhari merupakan upaya untuk memenuhi protein Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 81 dalam tubuhnya. Selain dari sumber hewani sumber protein nabati seperti dari olahan kedelai (susu kedelai) mempunyai banyak keuntungan jika dikonsumsi oleh psien DM seperti Ny.S, dimana sudah terjadi penurunan pada fungsi tubuh. Kandungan protein yang ada pada kedelai (phytoestrogen) dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi dan proinflamato cytokines diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal (Kresnawan & Markun). Penelitian lain tentang susu kedelai dilakukan oleh Anitha pada tahun 2006 di RS Saiful Anwar, pada 5 orang kelompok perlakuan yang diberikan susu kedelai didapatkan penurunan gula darah puasa dan 2 jam post prandial (p= 0,01). Dengan demikian pemberian susu kedelai tanpa gula bisa menggantikan pemberian susu dari sumber hewani. Intervensi lain yang dilakukan pada Ny. S yang penting adalah mengatasi hyperglikemia. Pada kasus Ny. S penatalaksanaan terhadap hiperglikemia saat di UGD adalah dengan pemberian insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam (setiap kenaikan 50 mg%, diberikan 5 ui Humulin RR (insulin kerja pendek) dimulai dengan nilai GD 200mg%). Setelah 2 hari dirawat diberikan insulin dengan dosis 3 x 8 unit & kontrol gula darah setiap hari 30 menit sebelum makan. Pada hari ke 3 perawatan gula darah klien terkontrol dengan nilai antara 180–250. Pemberian insulin pada kondisi ini tidak hanya untuk menurunkan glukosa darah hingga batas normal, namun juga untuk mengatasi ketonemia dimana insulin akan menurunkan konsentrasi hormone glucagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas di jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Efektifitas penatalaksanaan hiperglikemi dapat dipantau melalui kadar glukosa dalam darah. Pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan disertai penyakit kritis insulin diberikan jika gula darah lebih dari 180 mg/dL dan pemberian Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 82 insulin lebih efektif dengan pemberian continuous IV insulin atau intermiten SC basal bolus yang dikombinasi dengan correctional doses insulin. Pemberian ini mengurangi terjadinya hipoglikemia dan dapat menentukan dosis yang tepat (Hassan, 2007; LeMone, 2011; ADA,2012) 3.3.1.2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi Masalah keperawatan berikutnya yang praktikan tegakkan pada Ny. S pada mode fisiologi adalah resiko infeksi kearah sepsis. NANDA 2012- 2014, mendefinisikan resiko infeksi merupakan kondisi peningkatan resiko terserang organism pathogen. Pada kasus Ny. S, infeksi sudah terjadi yang ditandai dengan lekositosis dan pada hasil kultur didapatkan bakteri gram (+). Resiko terjadinya sepsis pada Ny. S, berdasarkan pada beberapa faktor resiko seperti usia, peningkatan gula darah, penurunan system imun dan perubahan pada vaskularisasi. Gangguan vaskuler dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing–masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi. Selanjutnya penuruanan sirkulasi ini akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi, sel darah putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak. Kondisi ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009, Hawks & Black, 2010). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 83 Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencapai perilaku adaptif terhadap pencegahan perluasan infeksi menjadi sepsis dilakukan dengan meningkatkan koping regulator dan kognator pada Ny. S dan keluarga. Secara umum intervensi tersebut meliputi, management luka, managemen infeksi, menegemen hiperglikemik, control vaskuler dan edukasi. Aktivitas yang dilakukan pada klasifikasi intervensi tersebut khususnya untuk menegemen luka, infeksi dan edukasi meliputi : melakukan perawatan luka (mengganti balutan, menyiapkan dasar luka dengan debridement). Aktifitas keperawatan yang ditujukan untuk control infeksi diataranya dengan monitoring tanda perluasan infeksi (tanda infeksi sistemik, infeksi pada area luka, eksudat yang diproduksi luka), mempertahankan tehnik aseptic selama perawatan luka, mencegah kontaminasi luka dengan sumber infeksi (lingkungan), kolaborasi dalam pemberian antibiotic (Ceftriaxon 2x 2 gr dan Metronidazol 3 x 500 mg) sesuai hasil kultur. Edukasi yang diberikan kepada Ny. S sebagai upaya untuk meningkatkan koping kognator diantaranya upaya peningkatan daya tahan tubuh : istirahat, penurunan kecemasan, tehnik menurunkan nyeri dan pemenuhan nutrisi sesuai diit. Edukasi untuk pencegahan infeksi dilakukan dengan menginformasikan untuk menjaga kebersihan area sekitar luka dan menginformasikan untuk melaporkan kepada perawat jika ada tanda deman, nyeri yang bertambah pada luka dan pengeluaran produksi cairan luka yang berlebihan (Bulechek, et al, 2008; Doenges, et al, 2010; Ackley & Ladwig, 2011). Pemberian antibiotik pada Ny. S di dasarkan pada hasil kultur. Ceftriaxon dan Metronidazol merupakan salah satu antibiotic yang masih sensitive. Peran perawat pada pemberian antibiotic ini dimulai dari metode pengambilan bahan culture. Pengambilan specimen yang tidak sesuai akan mempengaruhi hasil kultur dan pada akhirnya berdampak pada pemberian antibiotic yang tidak sesuai dan menyebabkan resistensi. Tehnik pengambilan swab kultur pada luka dilakukan dengan mencuci luka Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 84 terlebih dahulu menggunakan air steril atau NaCl 0.9 % (bukan cairan antiseptic) kemudian dikeringkan dengan kasa steril. Swab atau apusan luka dilakukan dengan menggunakan lidi kapas steril dengan metode Levine. Metode ini terbukti pada 4 penelitian merupakan metode yang paling efektif dibandingkan dengan metode Z maupun metode sederhana. Tehnik swab dengan metode Levine dilakukan dengan mengusapkan lidi kapas steril pada dasar luka yang telah dicuci dan area yang paling sedikit terdapat jaringan nekrosis/slogh pada diameter 1-2 cm melingkar (Gardner, 2006; Angel et al, 2011; Drinka et al, 2012; Nata dkk, 2012). Intervensi lain yang juga penting diperhatikan pada pencegahan meluasnya infeksi pada luka adalah perawatan luka. Prinsip management luka menurut Dealey.C, 2005 diantaranya adalah : perawatan luka lembab & menyiapkan dasar luka (wound bed preparation). Perawatan Luka Lembab Pada perawatan luka yang diberikan kepada Ny.S untuk mempertahankan kelembabannya awalnya menggunakan kasa yang dibasahi NaCl, namun pada hari ke 4 perawatan, sudah menggunakan hydrogel, mengingat lebih efektif dan efisien. Perawatan luka lembab pertamakali diperkenalkan oleh George Winter pada tahun 1962 dan berkembang hingga sekarang. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa lingkungan lembab mempercepat proses epitelisasi dan untuk menciptakan lingkungan lembab dapat dilakukan dengan menggunanakan balutan semi occlusive, full occulisive dan impermeable dressing. Ada beberapa keuntungan prinsip moisture dalam perawatan luka, diantaranya: mencegah luka menjadi kering dan keras, meningkatkan laju epitelisasi, menjagah pembentukan jaringan eschar, meningkatkan pembentukan jaringan dermis, mengontrol inflamasi dan memberikan tampilan yang lebih kosmetis, mempercepat proses autolysis debridement, menurunkan kejadian infeksi, cost effective, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 85 mempertahankan aktifitas neutrofil, menurunkan nyeri, memberikan keuntungan psikologis. Penggunaan kasa yang dilembabkan dengan NaCl merupakan cara konvensional dan sering digunakan. Cara ini bisa menciptakan suasana lembab tapi tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama sebaliknya cara ini bisa menimbulkan nyeri (pada beberapa klien) saat pergantian balutan ketika kasa telah mengering. Sedangkan hydrogels merupakan polymer dengan kandungan air 90-95 % dan memiliki sifat semi transparan dan nonadherent (Hest, CT. 1995., Jeter, KF &Tintle, TE. 1991 dalam Dealey, 2005). Di pasaran hydrogel tersedia dalam bentuk pasta dan lembaran (sheet). Bentuk lembaran sangat comformable sehingga bisa mengikuti tekstur luka dan dapat mengabsorbsi eksudat dalam jumlah sedikit atau sedang. Karena sifatnya yang tidak lengket maka tidak menimbulkan nyeri saat pergantian balutan namun sifat ini pula yang mengharuskan hydrogel didampingi oleh balutan sekunder. Balutan sekunder yang diberikan pada Ny. S adalah jenis balutan yang mampu mengabsorbsi eksudat. Menyiapkan dasar luka (Wound bed preparation) Persiapan dasar luka telah diusulkan sebagai sarana untuk memberikan pendekatan terstruktur dan sistematik dalam manajemen penyembuhan luka yang terganggu. Persiapan dasar luka menekankan pada pengangkatan hambatan yang mengganggu penyembuhan luka dengan mengoptimalkan kondisi penyembuhan luka. Tujuan persiapan dasar luka adalah untuk menciptakan lingkungan penyembuhan luka yang optimal dengan menghasilkan dasar luka yang bervaskular, stabil, dengan eksudat minimal. Salah satu tehnik yang dapat dilakukan untuk menyiapkan dasar luka ini adalah dengan debridemen. Debridemen merupakan proses pengangkatan jaringan mati (nekrotik), eksudat, dan debris metabolik dari dasar luka dan kulit sekitar untuk memfasilitasi proses penyembuhan. Jaringan nekrotik Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 86 dan sampah metabolik dalam luka mencegah penyembuhan dengan memberi nutrisi pada bakteri serta menghambat fase inflamasi penyembuhan. Oleh karena itu, harus diangkat sehingga akan membantu merangsang tepi luka yang tidak meluas. Berbagai macam tehnik debridement dapat dilakukan diantaranya dengan autolitik, biologik, kimiawi maupun mekanik (Dealey.C, 2005; Yunir, 2010). Pada kasus Ny. S penyiapan dasar luka dilakukan pada awalnya menggunakan hydrogel sebagai autolitik, namun karena area slough yang banyak dan nyeri saat dibersihkan maka debridemen mekanik (pembedahan) akhirnya dilakukan. Kondisi Ny. S yang dihadapi praktikan saat mengganti balutan adalah masalah nyeri dengan skala sedang dan meningkat saat alat menyentuh area luka atau saat nekrotomi. Nyeri merupakan masalah yang banyak terjadi pada klien dengan luka kronik dan nyeri dirasakan saat mengganti luka. Augustin & Maier, (2003 dalam Dealey, 2005) menyatakan nyeri yang dirasakan oleh klien dengan luka akan mengakibatkan stress dan stress juga akan meningkatkan nyeri. Survey yang dilakukan oleh Moffatt, 2002 di 11 negara mendapatkan nyeri yang paling dirasakan oleh penderita luka konik adalah saat mengganti balutan dengan kondisi balutan yang kering. Penelitian sebelumnya yaitu Szor dan Bourguignon (1999) mengamati 32 klien dengan ulkus tekanan dengan menggunakan kuesioner McGill mendapatkan 28 (87,5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan 12 (42%) mengalami nyeri terus menerus baik saat istirahat maupun saat mengganti balutan. Faktor yang menimbulkan nyeri saat mengganti balutan disebabkan oleh karena balutan yang lengket dengan luka, irigasi luka, balutan yang kering dan kecemasan (Bell & McCarthy, 2010). Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri selain dengan analgetik perawat melakukan tehnik relaksasi sebelum perawatan yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan dilanjutkan saat mengganti balutan. Relaksasi didefinisikan sebagai teknik yang digunakan untuk mendukung Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 87 dan memperoleh relaksasi untuk tujuan mengurangi tanda-tanda dan gejala yang tidak diinginkan seperti nyeri, ketegangan otot dan kecemasan (Dochterman McCloskey, 2004). Teknik relaksasi yang mudah dilakukan oleh klien adalah dengan teknik dalam. Selain teknik relaksasi penggunaan balutan yang sesuai (lembab bersifat autolitik) seperti jenis balutan modern mampu dapat meningkatkan kenyamanan. Penelitian Kristanto, 2010 di RSUD Syaiful Anwar malang terhadap 20 orang kelompok kontrol dan perlakukan di dapatkan balutan modern mampu meningkatkan ekspresi TGF β1 dan menurunkan kadar kortisol yang berdampak pada penurunan stress fisik maupun psikis (p = 0.028). 3.3.1.3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan Diagnosa resiko injuri atau bahaya fisik didefinisikan sebagai kondisi yang beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu dengan faktor resiko biologis (tingkat imunitas, mikroorganisme), dari kliennya (kognitif, afektif dan psikomotor), disfungsi biokimia, usia, fisik dan disfungsi sensorik (NANDA 2012-2014). Diagnosa ini merupakan penggabungan dari beberapa masalah pada mode fisiologi, yaitu masalah pada mode aktifitas, mode proteksi, mode sensasi, mode neurologi dan mode endokrin. Perilaku yang di tampilkan pada 5 mode tersebut menjadi data untuk masalah resiko injuri sedangkan stimulus menjadi data pada etiologi. Data yang didapatkan pada diagnose ini diantaranya adanya perilaku yang mengarah kemungkinan terjadi bahaya fisik/cedera, diantaranya adanya baal pada kedua telapak kaki, telapak kaki telah diamputasi 3 th yang lalu (1/3 distal metatarsal), adanya kalus pada kaki kanan yang ditengahnya terdapat ulkus. Pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan terjadi penurunan sensasi. Stimulus yang didapatkan baik fokal, kontekstual maupun residual Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 88 diantaranya: klien lansia (66 th), mengalami DM selama 10 tahun namun gula darah tidak terkontrol mengalami hipertensi dan riwayat amputasi 3 th yang lalu. Pengetahuan klien dan keluarga dalam perawatan kaki, pencegahan berulangnya ulkus kaki dan modifikasi mobilisasi masih kurang karena belum pernah mendapatkan informasi mengenai masalah perawatan kaki. Masalah kaki yang dialami oleh Ny. S adalah riwayat amputasi dengan kalus dan ulkus kecil di kaki kanan. Ulkus kaki merupakan salah satu infeksi kronis yang sering dialami pada diabetisi. Di USA angka kejadian ulkus kaki sebagai komplikasi DM terjadi pada 15 % diabetisi (Frykberg, et al, 2006) dan di Indonesia 15-23% dari seluruh penderita DM (Waspadji, 2011) dan 85% amputasi pada kaki diabetic di dahului oleh adanya ulkus & ulkus pada kaki dapat diawali karena adanya kalus pada area plantar kaki. Pengkajian kaki yang dilakukan kepada Ny. S didapatkan data adanya riwayat amputasi dengan ulkus & saat ini mengalami kalus, maka menurut Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 masuk dalam katagori 3 (resiko sangat tinggi), dan seharusnya pemeriksaan kaki dilakukan setiap 1-3 bulan, namun pada Ny. S tidak pernah dilakukan. Faktor resiko terjadinya ulkus pada kaki diantaranya adalah : neuropathi perifer, gangguan vaskuler perifer, keterbatasan gerak sendi, deformitas kaki, tekanan kaki yang abnormal, trauma minor, riwayat ulcer atau amputasi dan penurunan tajam penglihatan (Frykberg, et al, 2006). Pada Ny. S, ulkus yang dahulu dialami karena luka yang tidak disadari. Saat ini jika tidak dilakukan intervensi yang tepat, ulkus pada kalus akan berkembang menjadi ulkus yang terinfeksi. Menurut Frykberg, 2006 kalus pada area plantar terjadi karena adanya gesekan dan tekanan yang tinggi sehingga menyebabkan penebalan pada area kulit. Berikut ini akan diuraikan proses terjadinya ulkus kaki pada pasien diabetes. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 89 Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang berakibat terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya atropati Charcot. Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi penyebab terjadinya ulkus juga mempersulit proses penyembuhan ulkus kaki. Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 katagori, yaitu kaki diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki diabetika disebabkan oleh faktor neuropati (82%) sisanya adalah akibat neuroiskemia dan murni akibat iskemia. Gangguan mode sense dan neurologi (neurophaty perifer) yang terjadi pada Ny.S adalah penurunan sensasi (rasa) pada area telapak kaki kiri (diperiksa dengan menggunakan monofilament 10 gr) pada area telapak : terjadi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 90 penurunan sensasi rasa. Penurunan sensasi terjadi karena adanya komplikasi neuropathi sensori perifer. Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada klien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol, sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 91 Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan neuropathy pada klien diabetes merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan oleh ADA 2012 dan AACE, 2008 pada level A sebagai screening terhadap adanya kaki diabetic. Penggunaan monofilament 10 gr untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14 studi (1950–2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 3142 dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostic tunggal. Gangguan sense (indra) yang lain pada Ny. S adalah penurunan tajam penglihatan. Gangguan penglihatan yang terjadi disebabkan karena komplikasi dari DM yaitu retinopathy yang dapat menyebabkan injury. Retinophaty termasuk dalam golongan komplikasi mikrovaskuler, penyebab retinopathy belum secara jelas diungkap tapi mungkin dapat disebabkan oleh multifaktorial yaitu terkait dengan glikosilasi protein, iskemi, dan mekanisme hemodinamik. Peningkatan viskositas darah menyebabkan peningkatan permeabilitas dan penurunan elastisitas kapiler. Retina membutuhkan rata-rata konsumsi O2 terbesar dari seluruh organ tubuh, bila terjadi gangguan suplai O2 pada retina maka akan terjadi anoksia jaringan yang dapat menyebabkan kematian jaringan (Black & Hawk 2010). Intervensi yang dilakukan untuk memfasilitasi Ny. S mempunyai perilaku yang adaptif, maka dilakukan upaya untuk menghilangkan stimulus dengan meningkatkan koping Ny.S baik yang bersifat regulator maupun kognator. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 92 Pada koping regulator, intervensi yang dilakukan diantaranya , melakukan perawatan kalus dan ulkus, bersama keluarga memberikan lingkungan yang aman (memasang restrain saat keluarga tidak menunggu, mendekatkan alat yang dibutuhkan klien untuk mudah dijangkau), melatih klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, melatih klien menggunakan pengaman/pegangan saat akan mulai berdiri. Meningkatkan koping kognator dilakukan dengan melibatkan keluarga terutama yang selalu bersama klien (suami klien). Mendiskusikan bahaya fisik yang mungkin terjadi : jatuh, resiko terjadi ulkus berulang. Mendiskusikan dan mendemonstrasikan tehnik perawatan kaki, tehnik mengurangi tekanan pada area kaki kanan dan lingkungan yang aman untuk klien. Kalus yang terjadi pada kaki kanan Ny. S, disebabkan karena adanya penekanan dimana kaki kanan menjadi tumpuan ketika klien memulai berdiri. Dengan kondisi telapak kaki yang telah diamputasi & adanya kalus dengan ulkus ditengahnya sangat beresiko terjadinya perluasan ulkus, maupun perubahan bentuk kaki. Oleh sebab itu, menghindari penekanan dan menggunakan alas kaki yang sesuai merupakan pencegahan yang dapat dilakukan. Salah satunya dengan mengistirahatkan kaki, menghindari tekanan pada kaki (non weight bearing) dan off loading. Istilah off-loading dalam konteks luka kaki diabetik merujuk pada upaya untuk mengurangi beban tekanan terutama pada daerah luka. Hal ini merupakan tujuan utama dalam perawatan luka kaki diabetes. Off-loading mencegah trauma lanjutan pada luka dan memfasilitasi proses penyembuhan terutama pada klien dengan neuropati sensoris. Penelitian retrospektif dan prospektif menunjukkan bahwa peningkatan beban tekanan pada daerah plantar merupakan penyebab terjadinya luka diabetes pada daerah tersebut yang berakibat pada abnormalitas struktural dari kaki seperti; claw-toe deformity dan charcot neuroarthropathy. Kombinasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 93 deformitas kaki, penurunan fungsi protektif, dan tidak adekuatnya offloading berdampak pada kerusakan jaringan dan ulserasi Saat ini telah tersedia berbagai jenis sepatu khusus bagi penderita diabetes (Protective footwear), dimana salah satunya yang terkenal sebagai ‘gold standard’ adalah Total Contact Casts (TCCs). TCC merupakan sepatu khusus bagi penderita diabetes yang dapat mendistribusikan beban tekanan pada daerah plantar serta membatasi pergerakan daerah tumit, dengan demikian penggunaan TCC dapat mengurangi tekanan hingga 87%. Sayangnya penggunaannya masih jarang di klinis. Dimana hanya 2 % dari praktisi yang menggunakan TCC untuk merawat luka kaki diabetes dengan alasan kurangnya ketersediaan dan tenaga ahli dalam penggunaannya, selain faktor lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemasangannya dibandingkan alat lain (Waspadji.S, 2011; Perkeni, 2009). Bahaya fisik lain yang mungkin terjadi pada Ny. S berhubungan dengan komplikasi yang ditimbulkan. Hasil CCT menunjukan nilai GFR 56 ml/24 jam. Hal ini menunjukan penurunan fungsi ginjal pada stadium 2. Jika ini tidak menjadi perhatian akan jatuh pada gagal ginjal kronik. Penurunan fungsi ginjal merupakan salah satu komplikasi kronik dari DM yang disebut nefropathy. Diabetik nefropathy terjadi pada 20–40% klien DM dan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik (ADA, 2012). Rekomendasi ADA 2012 untuk pencegahan dan penanganan pada kondisi ini adalah : kontrol gula darah dan tekanan darah pada batas normal. Screening pada penurunan fungsi ginjal dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urium, kreatinin dan dan penghitungan GFR minimal 1 tahun sekali. Pembatasan protein 0,8–1 gr/Kg BB berguna untuk mencegah kerusakan fungsi ginjal lebih lanjut (ADA, 2012). Evaluasi yang didapatkan pada hari ke 14 rawatan, ditemukan perilaku adaptif pada mode aktifitas, proteksi dan interdependensi yang dapat dilihat : Klien dan keluarga mampu mengenali resiko bahaya yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 94 mungkin terjadi akibat kondisi kaki. Keluarga mampu menyebutkan lingkungan yang aman untuk klien dan memberikan lingkungan yang aman saat dirawat di rumah sakit. adanya kemampuan klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan meningkat, klien mampu menggunanakan pinggir tempat tidur sebagai pengaman saat mulai berdiri, keluarga mampu melakukan perawatan kalus dengan benar. Perilaku inefektif yang masih ditemukan diantaranya penglihatan klien masih buram, ulkus pada area kalus masih ada walupun dengan ukuran yang mengecil. Tindaklanjut dari perilaku inefektif yang masih ditemukan adalah mengkonsulkan klien ke dokter spesialis mata dan melakukan perawatan ulkus. 3.3.1.4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan yang tidak adekwat NANDA 2012, mengklasifikasikan diagnose ini pada domain promosi kesehatan. Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik didefinisikan sebagai pola pengaturan dan pengintegrasian ke dalam kebiasaan terapeutik kehidupan sehari-hari untuk pengobatan penyakit dan gejala yang ditimbulkan yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan spesifik. Batasan karakteristik pada diagnose keperawatan ini diantaranya kegagalan menerapkan program pengobatan, kegagalan dalam melakukan tindakan mengurangi resiko, mengungkapkan keinginan untuk mengatasi penyakitnya dan mengungkapkan kesulitan dalam pengobatan. Masalah keperawatan ini ditegakkan pada Ny. S, karena ditemukan perilaku yang merupakan komplikasi dari DM pada semua mode fisiologis. Perilaku ini disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan yang ditunjukan dengan tidak melakukan diit dengan benar, mengkonsumsi OHO tanpa pengawasan dokter dan menghentikan pengobatan insulin karena keterbatasan dana. Semua perilaku ini bersumber kepada informasi yang kurang tentang penatalaksanaan DM pada Ny. S maupun keluarga sebagai pendamping dalam pengobatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 95 Intervensi yang diberikan kepada Ny. S dan keluarga untuk meningkatkan perilaku adaptif pada masalah keperawatan ini diantaranya dengan menggali sumber–sumber kekuatan yang dimiliki keluarga dan klien dalam meningkatkan manajemen kesehatan diri, mengikutsertakan keluarga dan pasien jika kondisi memungkinkan dalam program edukasi kelompok, mendiskusikan dengan klien dan keluarga hal–hal yang berhubungan dengan penatalaksanaan, pearawatan dan komplikasi yang akan ditimbul pada pasien DM. Hasil evaluasi yang didapatkan dari Ny. S dan keluarga pada masalah tidak efektifnya manajemen diri pada hari ke 6 perawatan didapatkan secara kognitif klien dapat menyebutkan batasan nilai gula darah normal, perencanaan makan untuk dirinya (jumlah, jenis dan jadwal), komplikasi yang sudah ada di dalam dirinya serta pencegahannya. Psikomotor yang dapat yang dapat dinilai,keluarga mengikutiprogram edukasi kelompok, aktif bertanya kepada narasumber, dan menginformasikan kembali kepada klien edukasi yang telah didapat. Edukasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan seseorang dan diharapkan dapat merubah perilaku kearah yang lebih baik. Perilaku yang didasarkan pengetahuan dapat dipertahankan lebih lama dibandingkan dengan sebaliknya (Notoatmojo, 2007). Diabetes Self Management Education (DSME) merupakan salah satu bentuk edukasi yang berkelanjutan tidak hanya memberikan pengetahuan, namun juga meningkatkan perubahan perilaku dan sikap yang benar terhadap penatalksanaan DM. Model edukasi dengan DSME, menekankan kepada peran aktif pada penyandang DM untuk menggali informasi dan berdiskusi dengan sumber informasi, sangat berbeda dengan model edukasi searah, imana narasumber hanya menekankan kepada memberikan informasi. Setelah mendapatkan informasi dengan metode ini, diharapkan penyandang DM dapat memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 96 meningkatkan kesehatannya, sesuai dengan sumber–sumber yang dimilikinya. International Diabetes Federation (IDF, 2009 dan ADA, 2012 menekankan bahwa setiap individu dengan DM dimanapun dia tinggal berhak mendapatkan pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan DM secara berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek klinis, perilaku dan psikososial. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan bahwa setiap penyelenggara kesehatan tingkat propinsi harus menyediakan pelayanan pendidikan kesehatan dan educator melibatkan multisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, apoteker, maupun pandu diabetes). Rekomendasi untuk negara, bahwa negara memberikan support baik dalam hal kebijakan maupun pendanaan untuk penyelenggaraan DSME ini. (IDF, 2009; ADA 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Gumbs, 2012 tentang hubungan DSME dengan perilaku perawatan diri kepada wanita Afrika Amerika mendapatkan 53.6% telah mengikuti program DSME dan terjadi perubahan perilaku dalam pemeriksaan gula darah, kunjungan ke pelayanan kaki dan menunjukan nilai HbA1C yang menurun. Metode edukasi lain yang dapat meningkatkan efikasi diri dan perubahan perilaku penyandang DM adalah dengan melibatkan sesame penyandang DM. Penelitian dengan Randomized controlled trial oleh Ghorob et al 2011 di Sanfransisko terhadap 400 penyandang DM dari berbagai pelayanan kesehatan dibagi 2 kelompok: 200 orang pada kelompok dengan pembinaan oleh penyandang DM yang telah dilatih dan 200 orang dengan edukasi seperti yang biasa dilakukan. Pada bulan ke 6 dilakukan evaluasi, pada kelompok perlakuan didapatkan nilai HbA1C yang menurun. Hasil sekunder lain yang didapatkan yaitu terjadi penurunan pada tekanan darah, indek masa tubuh, LDL dan kolesterol. Pada perilaku di dapatkan perubahan dalam aktifitas perawatan diri, kepatuhan pengobatan, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 97 penurunan depresi dan peningkatan kualitas hidup. Hal ini menunjukan edukasi dengan melibatkan sesame penyandang DM dapat berpengaruh positif terhadap efikasi diri penyandang DM. Penerapan DSME ini sudah dilakukan di RSUP Fatmawati, dimana kegiatan edukasi sesuai rekomendasi IDF dilakukan setiap hari Rabu dengan melibatkan klien dan keluarga. Evaluasi yang didapatkan pada klien adalah didapatkannya perilaku adaptif yang ditunjukan dengan peningkatan pengetahuan klien dan keluarga mengenai DM dan perawatannya, keikutsertaan keluarga dalam program edukasi kelompok, keterlibatan klien dalam perawatan dirinya : menyuntik insulin sendiri, memilih makanan yang sesuai diit dan melakukan latihan peregangan serta senam kaki di tempat tidur. 3.3.2. Mode Konsep diri 3.3.2.1. Kesiapan meningkatnya koping individu Diagnosa ini merupakan kelompok diagnose sejahtera merupakan suatu keputusan klinik tentang keadaan individu dalam transisi dari tingkat sejahtera ketingkat sejahtera yang lebih tinggi atau dikenal dengan wellness diagnoses. Pada diagnose sejahtera ini, etiologi tidak diperlukan. Meningkatnya kesiapan koping individu didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan yang memadai untuk kesejahteraan dan dapat ditingkatkan (NANDA, 2012; Wilkinson & Ahern, 2012). Batasan karakteristik pada diagnose ini diantaranya mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya, menganggap stressor sebagai sesuatu yang dapat diatasi,dan menggunakan sumber – sumber spiritual. Batasan karakteristik ini diantaranya. Intervensi yang dapat ditegakkan pada masalah koping ini meliputi peningkatan system koping dan peningkatan system pendukung. Aktivitas yang diberikan meliputi : menggali koping yang telah dimiliki oleh klien, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 98 menggali kemampuan klien dalam pemecahan masalah, mendiskusikan sumber keluatan yang dimiliki klien, mendiskusikan penggunaan koping dan kekuatan yang ada dalam diri Ny. S untuk meningkatkan koping. Selain itu meningkatkan support system yaitu dengan melibatkan keluarga (suami dan anak) untuk mendukung dan menguatkan koping yang dimiliki klien. Hasil evaluasi yang didapatkan pada hari ke 6 untuk masalah kesiapan peningkatan koping individu didapatkan perilaku yang adaptif yaitu, klien mengungkapkan bahwa kondisinya saat ini merupakan dampak dari ketidakpatuhan klien dalam penatalaksanaan DM, klien mengungkapkan keinginannya menjalani sisa kehidupannya dengan badan yang sehat, dan klien selalu aktif terlibat dalam perawatan dirinya : menentukan makanan yang akan dimakan, mengambil keputusan terhadap alternative pengobatan yang ditawarkan oleh dokter maupun perawat. 3.3.2.2. Kesiapan meningkatnya religiositas/Spiritual Diagnosa ini didefinisikan oleh NANDA, 2012 sebagai kemampuan untuk meningkatkan berpartisipasi karakteristik ketergantungan dalam dari ritual diagnose pada tradisi ini keyakinan agama kepercayaan dan tertentu. mengungkapkan keinginan atau Batasan untuk memperkuat pola keyakinan agama yang sebelumnya biasa dilakukan, memberikan ketenangan dan kenyamanan. Intervensi keperawatan yang dapat ditegakkan untuk meningkatkan koping individu dan untuk meningkatkan kesejahteraan konsep diri klien dalam hal spiritual, meliputi : peningkatan aktifitas ibadah, dukungan spiritual, dimana aktifitasnya meliputi diskusikan kebutuhan spiritual, sediakan media untuk menjalankan kegiatan spiritual, berikan privasi selama klien menjalankan ibadah, consultasikan dengan pembimbing rohani (Dochterman & Bulechek, 2008). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 99 Pada Ny. S ditegakkan diagnosa meningkatnya kesiapan religi/spiritual dengan didukung oleh perilaku klien yang mengatakan selalu menjalankan ibadah sebelum sakit. Saat ini ingin menjalankan ibadah (sholat), namun merasa jika tubuhnya kotor oleh cairan luka. Ungakapan lain yang menunjukan perilaku spiritual yang adaptif diantaranya klien menyatakan berserah diri kepada Tuhan atas sakit yang dideritanya, karena ia yakin pengobatan merupakan usaha dari manusia dan semuanya akan ditentukan olehNya. Intervensi yang lakukan kepada Ny. S diantaranya mendiskusikan tata cara bersuci dan shalat saat sakit, mengajarkan cara tayamum dan sholat dengan duduk,melibatkan keluarga dalam menyediakan perlengkapan sholat dan tashbih, memotivasi untuk melakukan sholat dan berdo’a dan mempertahankan privacy saat sholat/berdo’a. Pada hari kedua dilakukan asuhan keperawatan, keluarga klien membawakan peralatan sholat, klien sudah menjalankan ibadah sholat dengan duduk dan terlihat berdzikir saat tidak ada tindakan keperawatan. Spiritual merupakan salah satu kebutuhan manusia, kebutuhan ini didasarkan pada hubungan antara manusia dengan TuhanNya. Pada orang yang dirawat dirumah sakit, pemenuhan kebutuhan spiritual menjadi bagian sama dengan kebutuhan fisik maupun psikis pasien. Pemenuhan kebutuhan spiritual ini menjadi tanggung jawab parawat. Pengamatan praktikan di tempat menjalankan praktek residensi, belum ada dokumentasi keperawatan yang mengangkat masalah spiritual dan pengamatan praktikan terhadap pemenuhan kebutuhan ini jarang dilakukan oleh perawat. Penelitian di US menunjukan bahwa 94 % dari pasien yang berkunjung ke pelayanan kesehatan meyakini bahwa kesehatan spiritual sama pentingnya dengan kesehatan fisik, 77 % meyakini bahwa kesehatan spiritual harus menjadi bagian dari pelayanan kesehatan dan 80 % melaporkan petugas kesehatan tidak menyentuh aspek spiritual dalam melakukan pelayanan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 100 kesehatannya (Anadarajah, 2001). Pemenuhan kebutuhan spiritual pasien akan dapat membantu mereka beradaptasi dan melakukan koping terhadap sakit yang dideritanya yang akhirnya akan meningkatkan meningkatkan kualitas hidup pasien, Oswald (2004 dalam Rohman, 2009). Terapi pendukung atau CAM (complementary and alternative medicine) banyak digunakan oleh penderita DM diberbagai negara. Di Amerika para penyandang DM yang menggunakan CAM berkisar antara 17 – 73 %. Dari 18 studi yang dilakukan oleh Chang, 2007 mendapatkan 50 % (9 studi) menggunakan terapi spiritual sebagai terapi pendukung dan menunjukan peningkatan kesehatan pada pasien DM ini (Arye, 2010). Berdasarkan beberapa studi terkait, dengan kebutuhan spiritual sangat diharapkan pada praktek pelayanan kesehatan karena terbukti meningkatkan kesehatan fisik dan psikis. Peran perawat dalam pemberi asuhan yang holistik tidak mengesampingkan kebutuhan spiritual dalam praktek pelayanan kesehatan. 3.4. Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 32 Kasus kelolaan Pada bagian ini praktikan akan membahas kasus–kasus lain yang praktikan kelola selama praktikan menjalankan praktek residensi. Kasus yang praktikan kelola terdiri dari 32 kasus diabetes mellitus dengan berbagai komplikasi yang ditimbulkan. Secara rinci 32 kasus yang praktikan kelola diantaranya 11 kasus DM dengan ulkus kaki, 2 diantaranya dilakukan amputasi mayor, 8 kasus dirawat karena komplikasi hyperglikemi dan hipertensi 5 kasus DM dengan komplikasi CKD, 2 kasus dengan komplikasi akut KAD, 2 kasus dengan komplikasi infeksi pernafasan dan 1 kasus dengan infeksi kulit. Semua kasus kelolaan dilakukan asuhan dengan pendekatan Model Adaptasi Roy. Analisis terhadap kasus dilakukan berdasarkan masalah keperawatan yang ditimbulkan kemudian dilakukan analisis mulai dari pengkajian, intervensi hingga evaluasinya dengan menggunakan Model Adaptasi Roy. Adapun hasil analisis pada ke 32 kasus kelolaan ini adalah : Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 101 3.4.1. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi Masalah keperawatan resiko infeksi atau infeksi yang meluas,pada kasus kelolaan yang praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi ulkus maupun dengan komplikasi CAP dan TB paru. Resiko infeksi yang terjadi pada pasien DM disebabkan karena menurunnya vaskularisasi dan penurunan kemampuan sel immune melakukan fungsinya dampakdari hiperglikemia (LeMone, 2011). Dari 32 kasus kelolaan 11 pasien mengalami ulkus dan 2 pasien dengan infeksi pernafasan. Ulkus kaki diabetic merupakan kompliasi DM yang banyak dijumpai setelah retinopati, hipertensi dan nefropathi. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam perjalanan penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di kaki (Taylor,2008; Clair.D, 2011). Di RSUP Fatmawati dicatat selama 6 bulan, dari 123 pasien DM yang dirawat di unit perawatan penyakit dalam khususnya di lantai 5 selatan jumlah pasien DM dengan ulkus kaki selama 36 orang (29.1 %) dengan ulkus kaki. Kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien DM yang menyebabkan kelainan neuropati, infeksi dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik, matorik maupun autonom akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus (Waspadji, 2009). Neuropathi sensorik perifer menjadi penyebab utama terjadinya berbagai trauma pada DM. 40 – 65 % ulkus diabetic terjadi karena murni gangguan neuropathy sensori dan 45 % terjadi karena gabungan anatara neuropati dan vaskulopathy (Frykberg et al, 2006). Pada kasus 11 kasus kelolaan, 7 pasien mengalami ulkus karena neuropathy sensori. Namun dari hasi pengkajian kaki pada 11 kasus kelolaan menunjukan hasil (-) pada pemeriksaan monofilament 10 gr yang menunjukan adanya neuropathy sensori. Neuropathy perifer pada DM terjadi melalui mekanisme Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 102 Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Pengkajian ulkus DM terutama pada kaki menggunakan panduan PEDIS, (Perfussion, Extend, Depth, Infection, and Sensation). Untuk menentukan kedalam dan luas luka, disarankan untuk mencuci luka terlenih dahulu, sehingga mendapatkan ukuran luka yang sebenarnya. Seluruh pasien kelolaan yang dengan ulkus, didapatkan sudah terjadi infeksi baik local maupun sistemik dan penurunan sensasi. Infeksi yang terjadi dapat dilihat dengan adanya eksudat yang purulen, peningkatan suhu, dan dari pemeriksaan leukosit maupun culture luka. Luas dan kedalaman luka bervariasi, namun sebagian besar kedalaman luka mencapai otot. Perfusi diukur dengan palpasi arteri terdekat dengan luka dan dibandingkan dengan kaki yang sehat. Intervensi keperawatan yang dilakukan pada kelolaan dengan masalah infeksi berdasarkan nursing intervention classification (NIC) dan panduan kaki diabetic dari PERKENI, 2011 yaitu wound control, metabolism control dan infection control. Aktifitas keperawatan yang dapat dilakukan diantaranya perawatan luka dengan memperhatikan prinsip memberikan lingkungan yang lembab dan pemilihan jenis topical terapi yang tepat, membuang jaringan nekrotik dan slough dengan nekrotomi atau kolaborasi tindahan surgical debridement. Metabolisme kontrol dilakukan dengan pemantauan gula darah, kolaborasi dalam perencanaan diit termasuk pemberian protein tambahan dan pemberian terapi insulin. Kontrol Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 103 Infeksi dilakukan dengan mencegah kontaminasi mikroorganisme ke area luka (prinsip steril saat mengganti balutan, dan pencucian area sekitar luka dengan antiseptic). Untuk mengurangi koloni bakteri dalam luka terutama pada area slough dapat dilakukan irigasi luka dengan tekanan 13 Psi. Irigasi ini menggunakan spuit 12 cc dengan jarum 22G terbukti menurunkan infeksi (p=0,017) dan inflamasi (p=0,031) (EBP level B), Joanna Briggs Institue, 2006. Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur merupakan tindakan yang tepat. Pengambilan kultur menjadi kunci dalam menentukan antibiotik yang sensitif. Penggunaan metode Levine dalam pengambilan spesimen kultur luka terbukti lebih sensitive dibandingkan dengan metode Z-stroke maupun metode sederhana (p=0,001), Nata, 2012. Hasil evaluasi yang praktikan lakukan pada 11 kasus dengan ulkus kaki, dengan berbagai ukuran luka masalah infeksi dapat teratasi dengan waktu yang tercepat pada minggu ke 2 perawatan. Faktor lamanya masalah ini selain dipengaruhi oleh factor luka dan status metabolic, juga dipengaruhi oleh faktor usia, keputusan keluarga dalam menyetujuai tindakan (pemberian antibiotik, tindakan debridement, dan lain sebagainya). 3.4.2. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan, proses infeksi Masalah keperawatan lain yang ditemukan pada kasus kelolaan adalah masalah nyeri. Masalah nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensori yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang, bisa terjadi secara perlahan atau tiba–tiba dengan intensitas mulai dari ringan hingga berat (Wilkinson & Ahern, 2012; NANDA, 2012). Nyeri merupakan bentuk perilaku adaptif yang ditemukan pada mode sensasi. Masalah nyeri ditemukan pada semua pasien dengan ulkus pada rentang yang berbeda–beda, mulai dari nyeri sedang hingga nyeri berat. Nyeri yang terjadi pada ulkus DM selain karena adanya kerusakan jaringan juga terjadi karena proses infeksi atau inflamasi. Menurut Black dan Hawk (2010) Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 104 nyeri pada kondisi inflamasi atau infeksi ini terjadi sebagai akibat distensi pada jaringan yang peka terhadap peregangan (distention of stretch-sensitive tissue) terutama periosteum. Dalam keadaan inflamasi akan dilepaskan mediator kimia (chemical mediators) antara lain histamin, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P, yang menstimulasi reseptor nyeri (nociceptor). Nyeri merupakan respon inefektif yang ditemukan pada mode sensasi. Perilaku yang ditunjukan dari nyeri ini berbeda–beda setiap individu begitu juga dengan rentang nyeri. Pengamatan praktikan melakukan asuhan pada kasus kelolaan, nyeri bertambah saat perawatan luka, mulai dari membuka balutan, irigasi hingga debridement mekanik. Hanya 1 pasien yang praktikan temukan mengalami nyeri terus menerus walaupun tidak sedang dilakukan perawatan luka, kondisi ini diduga adanya nyeri neuropathi. Szor and Bourguignon (1999 dalam Dealay, 2005) melakukan survey kepada 32 pasien luka tekan menggunakan McGill Pain Questionnaire di dapatkan 28 orang (87.5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan sisanya nyeri yang terus menerus. Faktor yang berperan dalam peningkatan nyeri saat diganti balutan diantaranya, balutan yang merekat pada luka, irigasi luka, atau cemas dan takut (Bell & McCarty, 2010). Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri dari sisi penggantian balutan adalah pemilihan jenis balutan dan memberikan lingkungan yang lembab pada area luka. Penelitian yang dilakukan Kristanto H, 2010 pada 20 responden di dapatkan hubungan yang signifikan (p= 0,0005) antara respon nyeri dengan kadar TGF β1 pada penggunaan modern dressing. Intervensi untuk meningkatkan koping regulator kognator pada pasien nyeri dapat dilakukan dengan mengkombinasikan terapi farmakologid dan non farmakologis. Intervensi mandiri dari perawat dengan mengembangkan berbagai terapi nyeri non farmakologis ini. Bentuk terapi nyeri non-farmakologi yang dapat dilakukan pada pasien , meliputi distraksi (distraction), relaksasi (relaxation), dan imajinasi terbimbing (guided imagery) (Perry & Poter, 2010). Untuk mengatasi nyeri yang terjadi pada pasien kelolaan, praktikan mengajarkan tehnik relaksasi yang bisa Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 105 dilakukan oleh pasien sebelum dilakukan ganti balutan, maupun saat dilakukan ganti balutan. Progressisve muscle relaxation (PMR) merupakan salah satu teknik relaksasi yang dapat dilakukan oleh setiap individu untuk mengurangi stress dan kecemasan (Borkove, Russcio, (2001 dalam Ghazavi, Abdeyaz dan, Attari, 2008). PMR merupakan teknik untuk mengurangi stress dan kecemasan yang dikembangkan oleh Edmund Jacobson (1920) dengan melakukan peregangan dan penekanan pada otot. PMR melibatkan penekanan dan peregangan pada kelompok otot daerah wajah, lengan, dada, perut dan kaki. Respon tubuh terhadap adanya stress salah satunya adalah terjadinya ketegangan pada otot yang dapat menimbulkan ketidaknyaman dan rasa nyeri. dapat dilakukan sebelum pasien dilakukan perawatan luka. Tehnik relaksasi lain yang dapat dilakukan saat balutan diganti adalah dengan penggabungan tehnik relaksasi dengan terapi spiritual yang dikembangkan oleh Benson & Proctor, (2000), yaitu dengan memusatkan perhatian pada suatu fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan berbagai pikiran yang menggangu. Praktikan memodifikasi dengan sholawat nabi jika pasiennya muslim, atau disesuaikan dengan agamanya. Evaluasi yang didapatkan nyeri berkurang dari hari–kehari dan dan ketergantungan pasien terhadap terapi analgetik dapat dikurangi, selain terjadi penurunan tingkat stress saat diganti balutan. Namun demikian karena nyeri pada ulkus DM termasuk nyeri kronik seringkali nyeri masih dirasakan hingga proses penyembuhan. 3.4.3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berlebih/ kurang dari kebutuhan tubuh Perilaku inefektif pada mode fisiologi cairan dan elektrolit pada pasien DM yang praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh stimulus fokal adanya nefropati. Perilaku yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 106 ditemukan pada masalah ini adalah adanya tanda odema, sesak nafas yang terjadi akibat penumpukan cairan di paru–paru, disertai pengeluaran urine yang sedikit, uremia dan peningkatan kadar creatinin darah. Gejala yang timbul disebabkan karena penurunan filtrasi gromerulus. Di Amerika gagal ginjal atau Nefropati DM (ND) jumlahnya mencapai 44 % dari semua kasus baru CKD, 40 % dari pasien yang menjalani hemodialisa atau transplantasi ginjal (Porrth & Maftin, 2009 dalam LeMone, 2011). ND terjadi 30 – 40 % pada DM tipe 1 dan akan terjadi setelah 15–20 tahun mengalami DM, dan terjadi ND pada 15 – 20 % dari seluruh penderita DM tipe 2 (Mc Phee& Paadakins). Intervensi yang dapat dilakukan pada masalah ini untuk meningkatkan koping regulator diantaranya pemantauan terhadap intake & output cairan, pemantauan tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan), pembatasan cairan sesuai dengan balance cairan, pemberian posisi semifowler dan kolaborasi dalam penatalksanaan hemodialisa. Penatalaksanaan untuk meningkatkan koping kognator, dilakukan edukasi untuk pencegahan semakin menurunnya fungsi ginjal. Edukasi difokuskan untuk : 1). pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes; 2). Pengendalian tekanan darah (diit rendahgaram dan kontro tekananan darah dengan obat antihipertensi sesuai program pengobatan); 3). Pencegahan fungsi ginjal (diit rendah protein ). Hasil evaluasi menunjukan pasien menunjukan perilaku adaptif pada hari ke 6 sampai hari ke 12 tergantung pada stadium. Masalah cairan pada pasien DM tidak hanya masalah kelebihan, namun masalah kekurangan cairan juga dapat ditemukan pada kasus komplikasi akut ketoasidosis. Ketoasidosis didefinisikan sebagai keadaan dekompensasi dari gangguan metabolic ditandai dengan hiperglikemia, asidosis dan ketosis. Dua kasus yang praktikan kelola disebabkan karena proses infeksi, namun keduanya tidak mengetahui jika dirinya menderita DM. Masalah utama yang didapatkan pada KAD adalah pada inefektif cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh dan masalah keseimbangan asam basa. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 107 Pada kondisi KAD ini, inefektif kebutuhan cairan dan elektrolit terjadi karena dieresis osmotic akibat hyperglikemia. Pengeluaran cairan yang berlebih dapat mengakibatkan pasien jatuh ke kondisi dehidrasi hingga syok. Selain itu masalah keseimbangan asam basa juga masalah yang mengancam kehidupan pasien. Lipolisis terjadi karena penurunan insulin dan peningkatan hormone kontralateral pada akhirnya meningkatkan benda keton yang akan menurunkan pH darah. Mengatasi masalah inefektif cairan, elektrolit serta keseimbangan asam basa harus dicapai tidak lebih dari 24 jam. Kolaborasi dalam pemberian cairan, pemberian insulin dan pemantauan elektrolit merupakan intervensi yang harus dilakukan. Intervensi lain adalah dengan mengatasi sumber hyperglikemia seperti infeksi dan stress psikologi. Dari pengamatan praktikan, tindakan untuk mengatasi KAD seperti pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap jam atau 2 jam sekali pada 6 jam pertama, kemudian pemeriksaan laboratorium lain untuk pemantauan elektrolit, ketosis maupun asidosis merupakan sumber stress psikologis yang akan berpengaruh kepada peningkatan hormone kontra regulator. Pemberian informasi terhadap tindakan yang akan diterima pasien menjadi kewajiban perawat untuk melakukannya. Selain itu pendampingan oleh keluarga terdekat selama tindakan terbukti mengurangi stress yang dialami. Pada kedua pasien KAD yang praktikan kelola, masalah inefektif cairan dapat teratasi pada 6 jam pertama. 3.4.4. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan Resiko injuri atau bahaya fisik ini merupakan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan timbulnya gangguan pada fisik akibat perilaku adanya penurunan pada mode sensasi. Bertolak dari banyaknya kejadian ulkus kaki pada pasien DM, awal terjadinya ulkus rata–rata tidak mengetahui penyebabnya. Hal ini terjadi karena penurunan sensasi baik pada kaki yang disebabkan oleh neuropathy perifer. Selain itu pengetahuan yang kurang dan perilaku yang salah dalam perawatan kaki menjadi stimulus kontekstual yang selalu pada pasien ulkus. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 108 Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus pada kaki, pengkajian kaki merupakan tindakan yang efektif untuk menemukan resiko terjadinya ulkus dan dengan intervensi yang tepat pada setiap resiko ulkus yang ditemukan akan mencegah terjadinya ulkus 40 – 80 % (Taylor, 2008). Selain pengkajian kaki, edukasi untuk perawatan kaki secara mandiri (pemeriksaan kaki oleh pasien atau dibantu keluarga, pencucian, menggunting kuku, menggosok kalus) menjadi bagian penting dalam pencegahan terjadinya ulkus. Model edukasi yang dilakukan pada perawatan kaki akan lebih dipahami oleh pasien jika dilakukan dengan mendemonstrasikan langsung atau memberikan tayangan visual (video). Kendala yang praktikan hadapi saat menerapkan pengkajian kaki di rawat jalan sebagai bagian dari pelayanan primer adalah banyaknya kunjungan pasien yang datang, waktu kunjungan yang singkat dan tempat yang terbatas. Poli kaki diabetic sebagai bagian dari poli penyakit dalam belum melakukan perannya sebagai upaya preventif, namun lebih kepada upaya kuratif dalam mengatasi pasien yang sudah mengalami ulkus. Sementara itu, kendala yang awalnya ditemukan di rawat inap saat melakukan pengkajian kaki adalah keterbatasan alat pemeriksaan. Namun pada akhirnya kendala ini (rawat inap) dapat segera diatasi dengan adanya kegiatan inovasi. 3.4.5. Mode Konsep Diri (Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan, perubahan status peran dan ancaman status kesehatan Dari 32 pasien yang praktikan kelola, 22 pasien (68,8%) mengalami masalah pada konsep diri yaitu kecemasan. Kecemasan yang dialami tidak hanya bersumber dari penyakitnya (adanya ulkus, penyakit kronis) namun juga akibat tindakan yang dilakukan (perawatan luka, pemeriksaan gula darah yang sering). Masalah perubahan peran terutama bagi wanita yang harus meninggalkan peran utamanya sebagai ibu atau pasien pria yang harus menghidupi keluarganya juga ditemukan pada kasus kelolaan yang praktikan lakukan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 109 Masalah keperawatan kecemasan di definisikan sebagai perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu) ; perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman (NANDA, 2012). Kecemasan yang dirasakan pasien DM akan berdampak pada masalah fisik seperti nyeri yang bertambah, gangguan tidur, perubahan pada tekanan darah hingga mempengaruhi stabilitas gula darah dan system imun. Pengaruh kecemasan terhadap kondisi diatas dapat dijelaskan melalui psikoneuroimunoendokrinologi. Sistem endokrin : stres psikis dan psikososial berdampak terhadap peningkatan aktivitas hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) melalui Corticotropin Releasing Factor (CRF). CRF berperan sebagai koordinator respon antara sel saraf terhadap stres tersebut. CRF menginstruksikan saluran-saluran pituitary pada otak untuk mengeluarkan ACTH (Adrenoccorticotropic Hormon) yang mengaktifkan korteks adrenal untuk mengeluarkan hormone corticoid. Corticoid berupa glucocorticoid mengeluarkan kortisol dan mineralocorticoid yang mengeluarkan aldosteron. Aldosteron dapat meningkatkan tekanan darah sedangkan kortisol mempunyai beberapa fungsi. Fungsi pertama kortisol meningkatkan gula darah untuk energi dan memobilisasi free fatty acids dari jaringan adiposa. Lapisan lemak ini dipecah menjadi protein yang meningkatkan tekanan darah arteri, sehingga mempunyai bahan bakar untuk mempersiapkan proses hadapi (munculnya stresor). Fungsi kortisol yang kedua menyebabkan perubahan fisiologi yang sangat bermakna, yaitu menurunkan pelepasan limphosit dari saluran timus dan lymphnodes. Limphosit ini penting untuk sistem imun. Jika kortisol meningkat berdampak pada penurunan efektifitas respon sistem imun. Padan sistem saraf otonom : pesan dikirim melalui bagian posterior dari hipotalamus melalui saraf ke adrenal medulla. Pada proses ini terjadi pengeluaran epinephrine dan nor-epinephrin. Ini menunjukan kaitan yang erat antara stres, neuro dan imunitas. Selanjutnya aspek Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 110 psikologis seperti stres dapat mempengaruhi ekspresi sel Th1dan Th2 yang akan menghambat imunitas seluler dan humoral Intervensi keperawatan yang dilakukan pada masalah kecemasan ini diantaranya dengan menggali sumber stress melalui pengkajian stimulus, mendiskusikan dengan klien kekuatan yang dimiliki, mengguanakan berbagai tehnik relaksasi seperti PMR, dan meningkatkan keyakinan spiritual pasien sebagai salah satu sumber kekuatan dari dalam diri pasien. Meningkatkan keyakinan spiritual sebagai upaya meningkatkan kesehatan fisik dan mental belum sepenuhnya menjadi bagaian dari asuhan keperawatan gangguan kecemasan khususnya tempat praktikan menjalani paraktik. Dari hasil pengkajian kebutuhan spiritual beberapa pasien meninggalkan kegiatan spiritual (sholat) yang sebelumnya selalu dilakukan. Stimulus yang ditemukan pada kondisi ini diantaranya karena ketidaktahuan pasien dalam menjalankan kegiatan spiritual saat sakit, karena motivasi yang kurang atau karena tidak tersedianya fasilitas untuk menjalankan praktek spiritual (Mukena, sajadah, injil, dan lainnya). Intervensi yang dapat dilakukan pada kondisi ini adalah meningkatkan keyakinan pasien bahwa spiritual akan membantu proses penyembuhan, mendiskusikan cara ibadah saat sakit dan melibatkan keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk ibadah. Evaluasi yang ditemukan pada pada masalah kecemasan, didapatkan perilaku adaptif seperti : pasien mampu mengungkapkan sumber kecemasnnya, mampu mengembangkan koping yang baik untuk mengatasi kecemasannya, ungkapan menerima kondisi sakitnya dan motivasi dalam menjalankan perawatannya. Waktu yang dapat dicapai untuk mengatasi berentang antara hari ke 3 hingga ke 7. Pencapain ini dipengaruhi juga oleh support system dari keluarga,dan maslah financial. Oleh sebab itu, melibatkan support dari keluarga menjadi hal yang utama pada intervensi kecemasan. Setelah praktikan melakukan asuhan keperawatan dengan menerapkan model adaptasi Roy, pada pasien gangguan endokrin khususnya untuk kasus DM, praktikan dapat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 111 menggambarkan bahwa MAR merupakan salah satu model asuhan keperawatan yang dapat dilakukan secara holistic. Pengkajian yang dilakukan pada empat mode telah mencakup masalah bio, psiko, social dan kultural. Pengkajian tidak hanya pada perilaku yang dapat dilihat, diukur dan diobsevasi, namun MAR menggali lebih lanjut penyebab dari timbulnya setiap perilaku, yaitu melalui pengkajian tahap dua. Pengkajian yang komprehensif akan menentukan intervensi yang tepat. MAR mengarahkan bahwa penetapan intervensi keperawatan dengan menggurangi stimulus yang ada sebagai sumber penyebab perilaku maladaptif /inefektif dan keberhasilan intervensi ditunjukan dengan perubahan perilaku kearah adaptif. Kelemahan lain dari MAR yang praktikan rasakan adalah pola pengkajian yang tidak dapat dilakukan secara utuh pada kasus kegawatan terutama di unit gawat darurat dan pada unit rawat jalan. Pada unit gawat darurat, pengkajian utama yang kita lakukan lebih kepada mode fisiologi yang saat itu dirasakan oleh pasien, sehingga pengkajian untuk mode yang lain sulit untuk dilakukan. Selain karena masalah fisiologi yang harus segera diatasi, pasien akhirnya akan dipindahkan ke unit lain. Begitu juga dengan pasien di poli rawat jalan. Singkatnya waktu yang digunakan untuk melakukan asuhan keperawatan menyulitkan MAR ini digunakan. Masukan yang dapat praktikan usulkan berhubungan dengan penerapan MAR di unit gawat darurat, format pengkajian hingga intervensi dibuat dengan model Check list . Pada mode adaptasi yang belum terkaji dapat ditindaklanjuti di tempat pasien tersebut menjalani perawatan. Kesulitan lain yang praktikan dapatkan dalam menentukan diagnose sejahtera. Diagnosa keperawatan sejahtera didefinisikan sebagai ketentuan klinis mengenai individu dalamtransisi dari tingkat kesehatan khusus ke tingkat kesehatan yang lebih baik. Diagnosa ini menggabungkan fungsi positif yang didapatkan. Pada MAR dalam menentukan masalah keperawatan berorientasi pada perilaku inefektif. Ketika ditemukan perilaku inefektif dan didukung dengan perilaku adaptif, ini merupakan kondisi khusus untuk menuju terjadinya peningkatan fungsi kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini, praktikan menggunakan panduan NANDA dalam menentukan diagnose keperawatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 112 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 113 BAB 4 PRAKTEK BERDASARKAN PEMBUKTIAN PENGKAJIAN KAKI SEBAGAI DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI PADA PASIEN DM TIPE II Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Komplikasi kronik yang sering dijumpai diantaranya adalah kaki diabetik yang dapat bermanifestasi sebagai ulkus, infeksi dan gangren. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam perjalanan penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di kaki (Taylor, 2008; Clair.D, 2011). Prevalensi penderita ulkus Diabetes di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetes merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk Diabetes mellitus (Hastuti, 2008). Dampak dari timbulnya ulkus pada penderita Diabetes, tidak hanya dari tingginya biaya perawatan namun lebih jauh akan menurunkan produktifitas penderita, gangguan konsep diri hingga menurunnya kualitas hidup. Pengelolaan kaki diabetes sudah dimulai saat seseorang dinyatakan menderita Diabetes mellitus, meskipun belum timbul luka atau ulkus. Langkah awal untuk melakukan pengelolaan dengan tepat adalah melakukan screening atau deteksi dini terhadap kaki pendereita diabetes. Deteksi dini yang optimal dapat menurunkan resiko terjadinya ulkus kaki dan amputasi sebesar 40 – 85% (Taylor, 2008; Yudovsky et al, 2011). Deteksi dini pada gangguan kaki diabetik merupakan salah satu kegiatan dalam pengkajian keperawatan yang harus dilakukan oleh seorang perawat. Pengkajian yang akurat dan komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada pasien dan selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat (Perry & Poter, 2010). Screening atau deteksi terhadap resiko ulkus kaki diabetik yang dilakukan oleh Malgrange et al, tahun 2003 di 16 pusat pelayanan diabetik di Perancis terhadap 555 pasien, ditemukan 72,8% beresiko rendah mengalami ulkus pedal dan 17,5 % berada Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 114 pada klasifikasi resiko tinggi. Dari deteksi tersebut disimpulkan bahwa hasil deteksi menjadi dasar bagi penyelenggara pelayanan kesehatan untuk merencanakan strategi pencegahan terhadap kejadian ulkus diabetik. Pada studi comparative yang dilakukan oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada pasien diabetes di Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania ditemukan masalah resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di Swedia. Faktor yang berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia dikarenakan Swedia merupakan negara yang lebih maju dibandingkan Tanzania terutama dalam pelayanan kaki diabetik. Disampaikan bahwa pengkajian kaki diabetik telah dilakukan pada pasien diabetik sebagai langkah awal dalam pencegahan ulkus diabetik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rerkasem et al, 2007 dalam Taylor.M.C,2008 terhadap 171 penderita ulkus kaki diabetik di Chiang Mai University Hospital, menggunakan metode cohort membandingkan perawatan standar dengan diabetik foot protocol (DFP) terhadap kejadian amputasi. Hasil penelitian menunjukan adanya penurunan kejadian amputasi baik mayor maupun minor pada kelompok dengan perlakukan DFP yang meliputi pengkajian, intervensi dan monitoring kaki diabetik. Pengkajian kaki secara komprehensif sebagai upaya deteksi dini terhadap ulkus diabetik seharusnya dilakukan pada semua penderita Diabetes. RNAO,2005;Farber & Farber,2007 dalam Taylor,M.C, 2008 dan ADA, 2011, menguraikan komponen penting dalam pengkajian kaki diabetik berdasarkan penyebab gangguan pada kaki diabetik yang meliputi : riwayat hiperglikemia, faktor resiko seperti merokok dan riwayat penyakit vaskuler , riwayat ulkus dan amputasi, neuropati, vaskularisasi, deformitas pada musculoskeletal, kondisi kuku kulit, adanya infeksi,serta penggunaan alas kaki. Pada akhirnya, dari hasil pengkajian dapat diklasifikasikan terhadap resiko terjadinya ulkus kaki diabetik. Salah satu klasifikasi yang banyak digunakan adalah klasifikasi yang dikembangkan oleh International Working Group on the Diabetik Foot tahun 1999. Resiko kaki diabetik dibagi dalam 4 klasifikasi (IWGDF, 2001). Selanjutnya pada bab ini akan dipaparkan hasil analisa dan sintesa secara kritis terhadap berbagai hasil penelitian yang berhubungan dengan pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik. Praktikan juga akan memaparkan pengalaman praktikan dalam melaksanakan praktek berdasarkan pembuktian (EBN) pada kasus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 115 kelolaan. Pada tahap akhir, praktikan akan melakukan penelaahan terhadap pengalaman melakukan EBN pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik. 4.1.Hasil Journal Reading (Critical Review) Dalam penerapan praktek berdasarkan pembuktian, langkah awal yang dilakukan adalah penelusuran literatur melalui EBSCO data bases; CINAHL, Proquest dan MEDLINE. Kata kunci yang digunakan yaitu: diabetik foot, ulcer diabetik, assessment diabetik foot, dan diabetik foot screening. Selanjutnya dilakukan review kritis pada literature yang mendukung. 1. Judul artikel : Foot Assessment in type 2 Diabetes:an evidence-based practice approach oleh Taylor M.C, 2008 . Merupakan sebuah sistematik review yang menganalisis berbagai Evidence Based Nursing Practice dengan berbagai tingkatan atau level mengenai pengkajian kaki diabetik. Literatur dari artikel ini didapatkan dari tiga EBN pada level 1, tiga EBN Level II, tidak ditemukan EBN dengan level III, empat EBN level IV, empat EBN level VI dan lima EBN pada Level VII. Latar belakang dari ini sistematik review adalah bahwa gangguan kaki merupakan penyebab kesakitan pada penderita Diabetes tipe 2. Ulkus kaki diabetik juga menjadi penyebab terbanyak amputasi pada kaki bagian bawah. Salah satu upaya termudah dalam mendeteksi adanya gangguan pada kaki dan akhirnya mengurangi kejadian amputasi adalah dengan melakukan pemeriksaan atau pengkajian pada kaki secara menyeluruh, cermat dan konsisten pada setiap kunjungan. Pada kaki penderita diabetes tanpa gangguan vaskuler, neurophati, maupun deformitas pemeriksaan dapat dilakukan minimal satu tahun sekali. Sayangnya ketika penderita Diabetes berkunjung ke pelayanan primer untuk kontrol penyakitnya (kunjungan rutin) penderita Diabetes ini jarang ditanyakan mengenai masalah kaki, perawatan kaki yang dilakukan, penggunaan alas kaki apalagi diminta untuk membuka kaus kaki dan alas kakinya untuk dilakukan pemeriksaan kaki. Dalam sistematik review ini, Taylor M.C., 2008 mempunyai tujuan mereview dan mensintesis literature yang berbasis bukti bagaimana pengkajian kaki pada pasien diabetes pada pelayanan primer atau rawat inap untuk mendeteksi adanya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 116 neurophati, deformitas, penurunan vaskularisasi dan perkembangan ulkus. Pada akhirnya berdasarkan klasifikasi hasil pengkajian kaki direkomendasikan intervensi untuk menurunkan komplikasi ulkus pada Diabetes tipe 2. Berdasarkan analisis didapatkan pertanyaan PICO pada literature ini adalah apakah pengkajian kaki yang selalu dilakukan pada pasien Diabetes tipe 2 di pelayanan primer maupun rawat inap dapat menurunkan resiko komplikasi pada ekskremitas bawah. Taylor, M.C, 2008 menguraikan PICO pada artikel ini sebagai berikut : Population (P) atau populasi pada EBN ini semua penyandang Diabetes tipe 2 tanpa ulkus. Intervensi (I) atau tindakan yang dilakukan adalah pengkajian kaki. Comparation (C) atau pembanding dari penerapan EBN ini, dinyatakan tidak ada pembanding. Dijelaskan oleh Taylor, bahwa pengkajian kaki pada pasien diabetes tipe 2 telah menjadi panduan standar Internasional dan sebagai EBN level 1. Outcome (O) atau hasil akhir yang diharapkan adalah teridentifikasinya resiko kaki diabetes melalui pengkajian kaki dan pada akhirnya dengan intervensi yang sesuai oleh multidisiplin keilmuan/profesi akan menurunkan komplikasi ekskremitas bawah seperti ulkus diabetik. Validitas dan reliabilitas pada systematic review ini disampaikan bahwa pengkajian kaki yang direkomendasikan ini merupakan pengkajian standar pada level 1 yang telah menjadi panduan internasional. EBN level 1 didefinisikan sebagai evidence yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai randomized control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review pada RCT. Pada systematic review ini, EBN level 1 yang digunakan adalah rekomendasi dan panduan pengkajian kaki dari American Diabetik Association (ADA), 2008 dan American Association of Clinical Endokrinologist (AACE), 2007, sebagai berikut : a. ADA dan AACE merekomendasikan untuk melakukan deteksi terhadap neuropathi khususnya pada yang pertama kali terdiagnosis DM tipe 2 dan dilakukan minimal satu tahun sekali (level A). b. AACE : melakukan pemeriksaan kaki pasien DM tipe 2 pada setiap kunjungan dengan mengevaluasi kondisi kulit, kuku, nadi, temperature, adanya tekanan dan kebersihan kaki (Level B) c. ADA : melalukan inspeksi kaki penderita DM tipe 2 pada setiap kunjungan jika didapatkan neuropati (level B) Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 117 d. ADA dan AACE : melakukan uji monofilament, garpu tala, palpasi, dan inspeksi untuk melakukan pengkajian kaki yang komprehensif (level B) e. Melakukan rujukan kepada spesialis perawatan kaki pada kondisi penurunan sensasi, perubahan mekanik kaki, riwayat merokok atau adanya riwayat komplikasi kaki sebelumnya ( level C) f. ADA : melakukan pengkajian adanya Peripheral Arterial Disease (PAD) dengan melakukan palpasi pada arteri pedal dan melakukan pemeriksaan Angkle Brachial Index (ABI) untuk mendiagnosis adanya penurunan sirkulasi vaskuler (level C) g. ADA dan AACE : pentingnya melakukan edukasi mengenai perawatan kaki dan modifikasi gaya hidup sesuai panduan (Level B). Rekomendasi yang dibuat pada systematic review ini adalah : a. Pemeriksaan kaki sejak awal pada penderita Diabetes di pelayanan primer akan mampu mendeteksi gangguan pada kaki seperti gangguan sensasi (neurophati),gangguan vaskuler maupun deformitas, yang akan menghambat perkembangan ulkus pada kaki b. Deteksi dini gangguan pada kaki diabetik akan menurunkan angka kematian yang berhubungan dengan Diabetes tipe2 c. Perawatan pasien Diabetes dengan berbagai komplikasi termasuk ulkus diabetik akan meningkatkan pembiayaan, sehingga deteksi dini terhadap masalah kaki diabetik akan menurunkan biaya perawatan d. Pelayanan kesehatan primer mempunyai peranan penting dalam mendeteksi gangguan kaki dan melakukan pencegahan dengan memberikan edukasi dan perawatan kaki, melakukan pemantauan pada setiap kunjungan atau melakukan pemeriksaan kaki sesuai yang direkomendasikan 2. Judul Artikel : Effectivenness of the diabetik foot risk classification system of the International Working Group on the Diabetik Foot oleh Edgar J.G. Peters & Lawrence A. Lavery pada tahun 2001. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai efektifitas klasifikasi kaki berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan oleh IWGDF. Desain dan metode penelitian : menggunakan sample 225 pasien diabetes yang pada awalnya menjadi bagian dari studi case control di University of Texas Health Science Center di San Antonio. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 118 Pada akhirnya hanya 213 pasien yang diamati selama 29 bulan. Sample kemudian dikelompokkan menjadi 4 kelompok sesuai consensus IWGDF, yaitu 0 untuk kaki tanpa neuropati, 1 dengan neuropati tetapi tidak ada deformitas maupun PVD, 2 merupakan kelompok sengan neuropati dan deformitas atau PVD dan kelompok 3 pasien dengan riwayat ulkus maupun amputasi. Hasil penelitian di dapatkan pada kelompok resiko tinggi mempunyai riwayat diabetes lebih lama, glukosa yang tidak terkontrol, adanya gangguan pembuluh darah dan neuropati serta adanya komplikasi sistemik. Diamati selama tiga tahun ulkus kaki terjadi 5.1 % pada kelompok 0, 14,3% pada kelompok 1, 18,8% pada kelompok 2 dan 55,8 % pada kelompok 3 (P<0,001). Kejadian amputasi ditemukan pada kelompok 2 sebanyak 3,1% dan kelompok 3, 30,9% (P < 0.001). Pada akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa klasifikasi menurut IWGDF dapat digunakan sebagai alat untuk screening dan mencegah komplikasi kaki diabetik. 3. Judul Artikel : Do foot examinations reduce the risk of diabetik amputations oleh Mayfield, reiber, Nelson & Greene, tahun 2000. Penelitian ini dilatarbelakangi bahwa pemeriksaan kaki telah direkomendasikan sebagai metoda untuk mengurangi resiko amputasi, tetapi karena belum ada penelitian yang dilakukan untuk melihat efek independen dari pemeriksaan kaki ini terhadap penurunan resiko amputasi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan desain retrospektif case control, diwilayah Arizona dengan melibatkan 244 sampel yang terdiri dari 61 kasus amputasi ekskremitas bawah pada 1 januari 1985 dan 31 Desember 1992. Dan 183 kasus control yaitu pada pasien yang tidak diamputasi pada tanggal 31 Desember 1992. Penelitian dilakukan dengan mencatat hasil pemeriksaan kaki, komplikasi atau penyakit penyerta, faktor resiko ulkus selama 36 bulan dari medical record. Hasil penelitian menunjukan total pemeriksaan yang dilakukan sebanyak 1857 kali pada 244 sampel. Rata – rata pemeriksaan dilakukan sebanyak 7 kali pada kasus dan 3 kali pada control. Resiko amputasi pada orang yang dilakukan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 119 pemeriksaan kaki 1 kali atau lebih menunjukan OR 0.55 (95% CI,02-1,7, P =0,31). Resiko amputasi berhubungan dengan ketidakpatuhan terhadap perawatan kaki yang direkomendasikan menunjukan hasil OR 1,9 (95% CI, 09-4,3, P =0,10). Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini gagal membuktikan bahwa pengkajian kaki dapat menurunkan resiko amputasi, namun pengkajian kaki mampu mendeteksi kondisi resiko tinggi untuk amputasi sehingga intervensi yang tepat, akan menurunkan kejadian amputasi. Hasil critical review pada 3 jurnal yang saling mendukung, selanjutnya akan diterapkan pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini kaki diabetic, berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Taylor, 2008 dengan judul “Foot Assessment in type 2 Diabetes:an evidence-based practice approach” 4.2. Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian Dalam pelaksanaan praktek berdasarkan pembuktian (EBN) ini praktikan menggunakan hasil systematik review dari Taylor M.C, 2008. Systematik review ini masuk ke dalam katagori EBN level 1. Sesuai definisi EBN level 1 adalah sebuah evidence yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai randomized control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review dengan RCT (Taylor M.C,2008). Penerapan EBN ini dilakukan ditempat praktek (RS.Fatmawati), dengan terlebih dahulu melalui pengamatan fenomena selama praktikan melaksanakan praktek residensi 1 dan 2. Hasil penelusuran data, didapatkan bahwa pasien Diabetes menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak pada tahun 2010 di RSUP. Jumlah pasien diabetes yang dirawat khususnya di ruang rawat inap penyakit dalam di gedung Teratai lantai 5 Selatan pada bulan September 2011 hingga Februari 2012 sebanyak 123 pasien terdiri dari 36 (29.1 %) pasien mengalami ulkus diabetik dan 87 (69.9 %) pasien dengan tanpa ulkus. Prosentase data rawat inap pasien ulkus ini, lebih tinggi dibandingkan dengan prosentase ulkus di Indonesia yang berjumlah 15% dari seluruh kasus Diabetes di Indonesia. Berdasarkan angka tersebut dapat kita cermati bahwa jumlah pasien diabetes melitus dengan tanpa ulkus cukup tinggi, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian untuk memberikan intervensi yang tepat sehingga tidak berlanjut pada ulkus diabetik. Intervensi awal yang dapat dilakukan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 120 adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya mengetahui resiko terjadinya ulkus pada pasien diabetes tersebut. Penerapan EBN ini mulai dilaksanakan pada minggu ke dua Maret hingga awal minggu pertama bulan Mei 2012. Dalam pelaksanaannya praktikan melibatkan sesama residen, mahasiswa program aplikasi dan juga perawat ruangan. Langkah pertama pada penerapan EBN ini adalah menginformasikan rencana kegiatan kepada management ruangan dan selanjutnya melakukan sosialisasi. Pemilihan pasien disesuaikan dengan kriteria, yaitu pasien DM tipe 2 tanpa ulkus kaki, tidak mengalami sakit berat maupun penurunan kesadaran. Format yang digunakan sebagai panduan pengkajian adalah format status kaki diabetes yang telah dimiliki oleh rumah sakit Fatmawati. Format ini khususnya untuk pengkajian kaki secara keseluruhan sudah sesuai dengan rekomendasi dari EBN yang digunakan. Penerapan EBN ini dilakukan pada 20 responden yang sesuai kriteria. Semua pasien merupakan penderita DM tipe 2 terdapat 3 pasien (15%) baru terdiagnosis diabetes. Pelaksanaan pengkajian kaki pasien DM, dimulai dengan mengisi identitas pasien yang meliputi nama,usia, dan nomer register. Selanjutnya dilakukan pengisian hasil laboratorium meliputi nilai gula darah sewaktu dan nilai HbA1C yang dapat dilihat dari status pasien. Selanjutnya dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik terutama pada area kaki. Berikut ini kegiatan pada pengkajian kaki diabetik. 4.2.1. Anamnesa Anamnesa atau wawancara yang dilakukan meliputi status kesehatan yang mempengaruhi proses terjadinya kaki diabetik diantaranya adalah lamanya menderita diabetes. Riwayat penyakit yang akan mempengaruhi kaki diabetik seperti adanya penyakit kardiovaskuler, gangguan peripheral vaskuler, adanya gangguan penglihatan, riwayat pembedahan pada pembuluh darah atau amputasi dan riwayat ulkus kaki sebelumnya. Pola hidup yang ditanyakan terkait dengan kaki diabetik meliputi, penggunaan alas kaki, merokok dan konsumsi alcohol. Keluhan pada kaki seperti hilang rasa, kesemutan dan nyeri pada area kaki termasuk klaudikasio merupakan hal yang harus ditanyakan pada pasien. 4.2.2. Pemeriksaan fisik Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 121 Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan olfaksi dan pemeriksaan khusus. Observasi pertama yang dilakukan pada pasien diabetes adalah gaya berjalan. Gaya berjalan dimana beban tubuh bertumpu pada satu kaki, merupakan resiko tinggi untuk terjadinya kaki diabetik. Fokus pemeriksaan fisik pada kaki diabetik adalah pada vaskuler, saraf dan kelainan pada kulit, kuku dan musculoskeletal (deformitas) a. Kulit, kuku dan deformitas musculoskeletal Melakukan observasi pada kebersihan dan bau dari area kulit kaki ,adanya athropi otot, ulcer, eritema, kulit kering dan bersisik, kelainan pada kuku dan adanya formasi kallus. Kelainan bentuk pada musculoskeletal meliputi, penurunan pada gerak sendi kaki, adanya claw toes, hammer toes, dan charcot. b. Pemeriksaan Vaskularisasi Pemeriksaan vaskularisasi ke area kaki dimulai dengan melakukan palpasi temperatur kulit, pulsasi pada arteri posterior tibialis dan dorsalis pedis. Pemeriksaan lanjut yang digunakan untuk mengetahui vaskularisasi kearah kaki dan untuk mengidentifikasi adanya resiko gangguan arteri peripheral (PAD), dapat dilakukan pemeriksaan Angkle Brachial Indexes (ABI). ABI adalah test non invasive untuk mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (brachial). Tekanan darah sistolik diukur dengan menggunakan alat yang disebut simple hand held vascular Doppler ultrasound probe dan tensimeter (manometer mercuri atau aneroid). Pemeriksaan ABI dilakukan untuk mendeteksi adanya insufisiensi arteri sehingga dapat diketahui adanya gangguan pada aliran darah menuju ke kaki. Direkomendasikan menggunakan probe dengan frekuensi 8 MHz untuk ukuran lingkar kaki normal dan 5 MHz untuk lingkar kaki obesitas atau edema. c. Pemeriksaan Neuropathy Neuropathy yang dapat terjadi pada kaki diabetik diantaranya neuropathy otonom, neuropathy sensorik, maupun neuropathy motorik. Neuropathy otonom dapat dilihat adanya penurunan produksi keringat pada area kulit Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 122 sehingga menyebabkan kulit kering,licin atau bersisik. Gangguan neuropathy sensorik ditemukan adanya penurunan sensasi terhadap raba, getar, suhu, maupun nyeri. Gangguan pada serabut saraf aferen dapat dideteksi dengan adanya penurunan reflek tendon baik tendon patella maupun achiles. Pemeriksaan neuropathy sensori getar digunakan garputala dengan frekuensi 128 Hz, dan untuk pemeriksaan sensasi rasa digunakan monofilament 10 gr, 5.07. Area-area untuk melakukan pengujian monofilament Gambar 4.1 Area melakukan uji monosilament Sumber : Assessing Protective Sensation with a Monofilament”, pada Advances in Skin & Wound Care, 17(7), p.346. Copyright 2004 by Lippincott Williams & Wilkins, dalam Nowakowski, P.E, 2008 Data-data yang di dapatkan pada pengkajian, selanjutnya dilakukan analisis untuk disimpulkan apakah ada gangguan atau resiko terjadinya ulkus pada penderita diabetes tersebut. Klasifikasi yang praktikan gunakan berdasarkan klasifikasi dari International Working Group on the Diabetik Foot (IWGDF) tahun 1999. Dibawah ini ditampilkan klasifikasi resiko komplikasi kaki menurut IWGDF. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 123 Tabel 4.1. Klasifikasi Resiko Ulkus Diabetik Menurut International Working Group on the Diabetik Foot Kategori Resiko 0 1 2 3 Definisi Rekomendasi Intervensi - Tidak ada penurunan sensasi - Tidak ada gangguan vaskularisasi - Tidak ada deformitas - Neurophaty (sensasi ) +/- Ditemukan deformitas - Edukasi : perawatan kaki dasar & penggunaan alas kaki - Gangguan vascular +/- Ada neuropathy sensori - Riwayat ulkus kaki atau riwayat amputasi Rekomendasi Follow up Setiap tahun (dokter umum, spesialis kaki) - Edukasi kaki diabetik - Pemeriksaan kaki setiap hari - Penggunaan alas kaki khusus - Dipertimbangkan untukkonsultasi ke dokter bedah - Sama dengan katagori 1 - Consultasi dengan spesialis vaskuler Mengunjungi poli kaki setiap 3 – 6 bulan sekali - Sama dengan katagori 1 - Consultasi dengan spesialis vaskuler,terutama jika ada penurunan vaskuler Mengunjungi poli kaki setiap 2 – 3 bulan sekali Mengunjungi poli kaki setiap 2 – 3 bulan sekali Adapun hasil pengkajian kaki pada penerapan EBN ini adalah sebagai berikut: Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan usia di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 n= 20 Variabel Mean Median Usia 54,65 56,50 SD Min-Maks 95% CI 11,67 26 - 69 49,1 – 60,1 Pada table 4.2 menggambarkan hasil analisis rata–rata usia responden dalam penerapan pengkajian kaki ini adalah 54,65 tahun (95 % CI : 49,1 – 60,1), dengan usia termuda 26 tahun dan usia tertua 69 tahun. Hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata–rata usia responden adalah diantara 49,1 – 60,1 tahun. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 124 Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lama menderita DM dan kadar HbA1C, di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012, N = 20 Jumlah Presentase Jenis kelamin ï‚· Pria ï‚· Wanita 17 3 85 % 15 % Lama menderita DM ï‚· < 5 tahun ï‚· > 5 tahun 9 11 45% 55% Kadar HbA1C ï‚· < 6,5 % ï‚· > 6.5 % 1 19 5% 95% Resiko ulkus kaki diabetik ï‚· Rendah (0) ï‚· Sedang (1) ï‚· Tinggi (2) 11 4 5 55% 20% 25% Variabel Tabel 4.3 menggambarkan jenis kelamin responden sebagian besar adalah pria dengan jumlah 17 orang (85%), 11 orang (55%) telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan 95 % (19 responden) menunjukan kadar HbA1C diatas 6,5 % atau pada kondisi gula darah yang tidak terkontrol dalam 3 bulan terakhir. Dari hasil pengkajian kaki dan pengklasifikasian resiko ulkus kaki diabetes menurut IWGDF didapatkan 11 responden (55 %) beresiko rendah, 4 responden (20%) beresiko sedang dan 5 responden (25 %) beresiko tinggi terjadi ulkus kaki. Selanjutnya praktikan mencoba melihat hubungan statistik antara usia, kadar HbA1C, dan lama menderita DM, didapatkan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 125 Tabel 4.4. Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan lama menderita DM dan kadar HbA1C di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012, N= 20 Variabel Resiko Kaki diabetik Ringan Sedang Tinggi n % N % n % Lama menderita DM ï‚· < 5 tahun ï‚· > 5 tahun 8 3 72,7 27,3 1 3 25 75 0 5 0 100 Kadar HbA1C ï‚· < 6,5 % ï‚· > 6.5 % 0 11 0 100 1 3 25 75 0 5 0 100 11 100 4 00 5 100 TOTAL Tabel 4.4 menunjukan bahwa responden yang mempunyai katagori beresiko terjadi ulkus kaki diabetik sedang, sebagian besar (75 %) telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan menunjukan kadar HbA1C yang lebih dari 6,5 %. Seluruh responden (100%) yang mempunyai resiko tinggi ulkus kaki diabetik telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan kadar HbA1C menunjukan lebih dari 6,5 %. Tabel 4.5 Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan usia di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N= 20 Variabel Usia Resiko Ulkus n Mean SD ï‚· Rendah 11 50,82 12,687 ï‚· Sedang & Tinggi 9 59,33 8,803 Pada table 4.5 dapat dijelaskan responden dengan resiko ulkus kaki sedang dan tinggi mempunyai rata-rata usia lebih tua sekitar 9 tahun dibandingkan pada responden dengan resiko rendah. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 126 4.3. Pembahasan Kaki diabetik adalah kaki pada pasien diabetes yang rentan terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari diabetes. Kaki diabetik ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy), berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor, 2008; Waspadji, 2009;Turn, 2011). Kelainan kaki juga menjadi salah satu penyebab utama morbiditas pada pasien DM tipe 2 (Taylor, 2008; Hastuti, 2008: Waspadji, 2009). Di Rumah sakit Fatmawati khususnya di lantai 5 Selatan Gedung teratai sebagai salah satu unit rawat inap penyakit dalam, pasien ulkus diabetes yang dirawat jumlahnya mencapai 29,1 % dari seluruh pasien DM yang dirawat pada bulan September 2011 hingga Februari 2012. Hal ini membuktikan bahwa ulkus diabetik akan menyebabkan penyandang diabetes mengalami masalah kesehatan yang harus mendapatkan perawatan yang lebih serius. Ulkus kaki diabetik merupakan komplikasi dari penyakit DM yang dapat dicegah sejak dini. Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus dapat diawali dengan melakukan pengkajian pada kaki. Pengkajian kaki sebagai upaya melakukan deteksi dini dapat menurunkan resiko terjadinya ulkus kaki dan amputasi sebesar 40-85% (Taylor, 2008; Yudovsky et al, 2011). Pengkajian merupakan langkah awal untuk menentukan tindakan yang tepat sesuai dengan kondisi kaki yang ditemukan. Pengkajian kaki untuk mendeteksi adanya resiko ulkus diabetik dilakukan dengan mengidentifikasi faktor resiko seperti lamanya menderita DM, kadar HbA1C, riwayat penyakit vaskuler, retinopathy maupun riwayat nefropathy. Penelitian yang dilakukan oleh Simmons & Clover, 2007 di pelayanan primer di Selandia baru dengan melihat status metabolic meliputi HbA1C, lipid profil, creatinin serum terhadap resiko ulkus kaki, didapatkan hubungan antara status metabolic yang tidak terkontrol dengan peningkatan resiko ulkus yang ditandai dengan kondisi kuku, kulit kaki kurang baik, ditunjang dengan peningkatan kejadian retinopathy. Pemeriksaan kaki yang dilakukan untuk mendeteksi adanya resiko ulkus meliputi pemeriksaan vaskuler, pemeriksaan neuropathy perifer dan deformitas. Pemeriksaan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 127 ini merupakan pemeriksaan yang standar yang direkomendasikan oleh RNAO, 2004, ADA, 2008, dan AACE, 2007. Gangguan vaskuler menjadi faktor resiko ulkus kaki diabetik dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing –masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009). Selain gangguan vaskuler, neuropathy perifer juga menjadi Faktor resiko penting pencetus ulkus kaki diabetik. Diperkirakan 40-65% ulkus kaki diabetik disebabkan karena neuropathy sensori (Frykberg et al, 2006). Screening kaki diabetik yang dilakukan pada 555 responden di berbagai pusat kesehatan di Perancis,mendapatkan 27 % mengalami neuropathy sensori dan dari 27% tersebut, 7.7% mempunyai resiko tinggi terjadi ulkus kaki diabetik (Malgrange et al, 2003). Adapun proses terjadinya neuropathy pada pasien diabetes adalah sebagai berikut : neuropathi diabetik (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 128 Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung. Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat perubahan neuropatik (Brunner & Suddarth, 2005). Pemeriksaan neuropathy sensori yang direkomendasikan dan merupakan EBN pada level 1 adalah pemeriksaan Semmes–Weistein monofilament 10 gr, 5.07. Pemeriksaan ini menggunakan monofilament 10 gr ukuran 5.07. Penggunaan monofilament 10 gr untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14 studi (1950 – 2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 3142 orang dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostic tunggal. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 129 Dari hasil penerapan pengkajian kaki yang dilakukan pada 20 pasien diabetes di lantai 5 selatan di dapatkan hasil rata-rata usia responden 54,56 tahun, rata-rata usia responden dengan resiko ulkus kaki pada katagori sedang dan tinggi adalah 59,33 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Malgrange et al, 2003 di Perancis mendapatkan responden yang mempunyai resiko ulkus diabetik sedang dan tinggi mempunyai rata-rata usia 65 th. Sementara penelitian Bibby, 2008 mendapatkan rata-rata usia responden yang mengalami resiko tinggi di Tazania adalah 59,2 tahun dan di Swedia dengan resiko sedang 58,3 tahun. Onset baru terjadinya DM tipe 2 yaitu pada usia di atas 40 tahun dan dengan meningkatnya usia resistensi terhadap insulin, serta penurunan terhadap berbagai fungsi organ terjadi,sehingga berbagai komplikasi lebih cepat terjadi pada penderita diabetes pada usia yang lebih lanjut (Brunner & Sudddarth (2005); Kebbi, 2003, dalam Ignativicius & Workman, 2006). Selain usia, factor lain yang mempengaruhi terjadinya ulkus kaki diabetik adalah lamanya menderita diabetes dan kadar HbA1C yang menunjukan control gula darah dalam 3 bulan terakhir. Hasil penerapan EBN di dapatkan 100 % pada responden yang beresiko tinggi terjadinya ulkus telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan mempunyai kadar HbA1C lebih dari 6,5% yang menunjukan gula darah yang tidak terkontrol selama 3 bulan terakhir. Penelitian Al Mahroos & Al Roomi, 2007 dalam Taylor, 2008, mendapatkan rata-rata responden telah menderita diabetes selama 9,5 tahun dan didapatkan hubungan antara resiko ulkus dengan gula darah yang tidak terkontrol, dimana ditemukan 36 % mengalami neuropathy perifer, 11,8 % mengalami gangguan vaskuler perifer dan 5.9 % mengalami ulkus kaki. Hambatan yang dialami praktikan saat menerapkan EBN pengkajian kaki ini adalah peralatan yang tidak tersedia khususnya untuk monofilament 10 gr, garputala 128 Hz, dan Doppler dengan prob 8 MHz. Selain itu format yang kurang sistematis, klasifikasi yang tidak sesuai dengan referensi praktikan serta kolom intervensi yang tidak tersedianya kolom rekomendasi intervensi juga menjadi hambatan awal praktikan menerapkan EBN ini. Pemecahan terhadap hambatan yang praktikan (monofilament 10 gr dan garputala 128 Hz) lakukan, untuk peralatan praktikan menyediakan sendiri, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 130 sedangkan untuk doppler digunakan spigmomanometer. Untuk keberlangsungan penerapan pengkajian kaki ini praktikan bersama tim mengkomunikasikan kepada management ruangan. Klasifikasi resiko ulkus yang praktikan gunakan mengacu kepada klasifikasi IWGDF, 2009 yang digunakan oleh berbagai Negara dan telah diuji kembali keefektifannya oleh Petter.E.J.G & Lavery L.A. tahun 2001. Perawatan dan penatalaksanaan lanjut terhadap masalah kaki pasien diabetes tidak hanya dilakukan oleh perawat, namun dokter dan educator juga mempunyai peranan penting. Dokumentasi terhadap hasil pengkajian dan intervensi lanjut menjadi media komunikasi untuk menindaklanjuti dan melihat perkembangan kondisi pasien. Sistem pendokumentasian yang belum terintegrasi antar tenaga kesehatan, rawat jalan dan rawat inap menjadi kendala dalam penatalaksanaan kaki diabetik yang berkelanjutan. Praktikan telah mengkomunikasikan masalah dokumentasi tersebut, dan masalah ini akan dijadikan topik diskusi dengan management. Pengkajian kaki pada pasien diabetes dapat mengidentisikasi sejak awal adanya resiko terjadinya ulkus kaki diabetik. Penatalaksanaan yang sesuai dengan klasifikasi resiko ulkus akan mampu menurunkan kejadian ulkus hingga 85 % (Taylor, 2008). Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang juga berperan dalam masalah kaki diabetik. Salah satu standar kompetensi perawat menurut PPNI tahun 2005, pada ranah kompetensi asuhan keperawatan dan pengembangan kualitas pelayanan, perawat S1 atau D3 dengan pendelegasian dan pelatihan mempunyai kompetensi untuk melakukan pengkajian dan menerapkan praktek berdasarkan EBN. Pada berbagai pelatihan kaki diabetes dimana peserta pelatihan adalah perawat, materi tentang pengkajian kaki diabetik juga dipaparkan. Seperti telah diuraikan sebelumnya rekomendasi yang dapat diberikan untuk penerapan EBN ini sebagai bagian dari asuhan keperawatan pada pasien diabetes diantaranya : a. perawat juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengkajian status kaki pada pasien diabetes. b. pencegahan ulkus kaki diabetik tidak hanya di lakukan dengan pengkajian namun harus dilakukan intervensi yang sesuai dengan resiko ulkus yang ditemukan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 131 c. Pendokumentasian terhadap hasil pengkajian sebagai dasar intervensi selanjutnya dan sebagai media komunikasi baik sesama perawat maupun dengan profesi lain yang berkaitan menjadi hal yang wajib dilakukan. d. Sebagai upaya pencegahan pengkajian kaki ini akan sangat efektif dilakukan di unit perawatan primer seperti rawat jalan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 132 BAB 5 KEGIATAN INOVASI PENINGKATAN KEMAMPUAN PERAWAT DALAM PENGKAJIAN KAKI DIABETIK SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI DIABETIK Kegiatan inovasi merupakan salah satu bentuk pelaksanaan peran perawat spesialis sebagai pembaharu untuk suatu perubahan pada pelaksana asuhan keperawatan yang berkualitas. Membantu meningkatkan kemampuan perawat generalis dalam melakukan asuhan keperawatan dapat dilakukan oleh perawat spesialis melalui perannya sebagai narasumber (resources), fasilitator, koordinator dan role model. Berikut ini akan diuraikan kegiatan inovasi yang telah praktikan laksanakan pada praktek residensi. 5.1.Analisa Situasi Masalah kaki diabetik sebagai salah satu komplikasi kronik diabetes banyak dialami oleh penyandang diabetes. Pengkajian kaki diabetik merupakan upaya pencegahan terjadinya masalah kaki diabetik dilakukan sejak awal seseorang terdiagnosis diabetes. Perry & Poter, (2010) menyampaikan bahwa pengkajian yang akurat dan komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada pasien dan selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat. Pengkajian merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat sesuai dengan levelnya (vokasional, ners atau ners spesialis). Pada ranah peningkatan kualitas pelayanan keperawatan, ners (S1 keperawatan) mempunyai kompetensi untuk melakukan praktek berdasarkan pembuktian (evidence based) dan perawat vokasional (D III keperawatan) mempunyai kompetensi untuk melaksanakan tugas sesuai arahan dan sesuai dengan pelatihan yang diikuti (PPNI, 2005). Pengkajian kaki diabetik merupakan praktek keperawatan yang didasarkan pada pembuktian, sehingga perewat pada level ners atau vokasional yang telah mendapatkan pelatihan mempunyai kewajiban untuk melakukan praktek ini sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus, pengkajian kaki juga merupakan upaya preventif yang dapat dilakukan oleh perawat generalis. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 133 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) adalah rumah sakit tipe A dan merupakan rumah sakit rujukan rumah sakit lain khususnya diwilayah Jakarta Selatan, Depok, Bogor dan Tangerang Selatan. Pada tahun 2010, diabetes merupakan penyakit terbanyak dari sepuluh penyakit terbanyak yang ada di RSUPF dengan ratarata kunjungan di poli penyakit dalam sebanyak 1500 kasus DM tipe 2 baik kasus baru maupun kasus lama. Gedung Teratai lantai 5 selatan merupakan salah satu unit rawat inap penyakit dalam dengan kasus terbanyak rawat inap juga dengan diabetes. Jumlah kasus diabetes yang dirawat dalam 6 bulan terakhir (September 2011 Februari 2012) mencapai 123 kasus dan 29,1 % dirawat dengan komplikasi ulkus diabetik. Pasien diabetes tanpa ulkus dengan prosentase 70.9% pada akhirnya akan berkomplikasi ulkus jika tidak terdeteksi dan tidak dilakukan tindakan pencegahan Lantai 5 selatan di RSUPF sebagai ruang rawat penyakit dalam mempunyai 6 kamar dengan jumlah tempat tidur masing-masing 6 tempat tidur, dan 2 kamar isolasi dengan jumlah tempat tidur masing-masing 2 tempat tidur. Pasien diabetes yang dirawat dilantai 5 selatan ini, ditempatkan di ruang nomer 529 untuk pasien wanita dan ruang nomer 521 untuk pasien laki-laki. Jika pasien diabetes melebihi kapasitas,pasien tersebut ditempatkan diruangan lain yang kosong. Salah satu ruangan yang ada dilantai 5 selatan, selain ruang rawat inap, terdapat satu ruang edukasi yang digunakan untuk mengadakan edukasi diabetes setiap hari Rabu. Edukasi ini diikuti oleh keluarga pasien diabetes dan juga pasien diabetes yang kondisinya memungkinkan untuk mengikuti edukasi. Materi edukasi yang diberikan salah satunya adalah perawatan kaki. Edukasi ini dilakukan oleh edukator yang terdiri dari dokter, perawat dan ahli gizi dan materi perawatan kaki diberikan oleh perawat. Secara keseluruhan jumlah perawat di ruangan ini berjumlah 33 orang, 12 orang (36,4%) S1 keperwatan dan 21 orang (36.6%) DIII keperawatan dan 3 diantara perawat tersebut adalah edukator. Hasil observasi praktikan selama menjalani praktek residensi 1, khususnya di gedung teratai lantai 5 selatan, format pengkajian kaki diabetik telah dimiliki oleh RSUPF. Format ini merupakan format pengkajian yang diisi dan ditandatangani oleh dokter. Pengkajian kaki pada pasien diabetes yang dirawat dilakukan oleh dokter residensi atau dokter koas yang sedang praktek di ruang tersebut, namun pengkajian lebih Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 134 banyak dilakukan pada pasien diabetes yang sudah mengalami ulkus. Selain itu pengisian format juga tidak selalu lengkap, terutama untuk pemeriksaan neuropati. Pengisian yang tidak lengkap disebabkan karena tidak tersedianya alat pemeriksaan kaki diabetik yang lengkap khususnya diruang rawat inap. Hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak diklasifikasikan dalam resiko ulkus sehingga tidak ada tindak lanjut, kecuali pada yang telah terjadi ulkus. Hasil wawancara dengan kepala ruangan, wakil kepala ruangan dan perawat primer, bahwa pengkajian kaki tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya di rawat inap. Hal ini disebabkan mereka berpersepsi pengkajian kaki merupakan kewenangan dokter dan hanya perawat yang pernah mengikuti pelatihan edukator diabetes pada tingkat lanjut saja yang mempunyai kemampuan untuk pengkajian kaki diabetik. Wawancara yang dilakukan kepada seorang perawat edukator tingkat lanjut, mengungkapkan bahwa pengkajian kaki di rawat inap tidak dilakukan, karena biasanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas. Perawat edukator melakukan edukasi mengenai perawatan kaki secara berkelompok pada pertemuan ke 3. Pengkajian kaki yang dilakukan perawat biasanya dilakukan di poli kaki saat pasien datang berkunjung ke poli kaki dan format yang digunakan juga format yang ditandatangi oleh dokter. Hasil kuesioner yang praktikan sebarkan terhadap 23 perawat di lantai 5 selatan, didapatkan 23.5% pernah mengikuti pelatihan kaki diabetik, 41% pernah mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik, 76% pernah melakukan pengkajian kaki diabetik namun hanya 29.5 % yang pernah mengisi format status kaki. Survei pengetahuan, didapatkan sebanyak 89% perawat sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang pengkajian kaki diabetik (dikatakan baik jika mendapat nilai 7 atau lebih dengan point tertinggi 10). Dari analisis praktikan, hasil kuesioner untuk poin pernah melakukan pengkajian kaki dan tingkat pengetahuan dirasakan tidak sesuai dengan observasi dan wawancara kepada kepala ruangan dan perawat primer, sehingga dilakukan wawancara pada beberapa perawat pelaksana untuk mengklarifikasi point tersebut. Hasil wawancara menunjukan bahwa pengkajian kaki yang dilakukan sebatas melihat ada ulkus atau tidak, dan jika sudah ada ulkus, maka dikaji lebih mendalam untuk kondisi ulkusnya. Pengkajian kaki diabetic tanpa ulkus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 135 sebagian besar perawat pelaksana belum pernah melaksanakan. Pengetahuan yang dimiliki perawat pelaksana tentang pengkajian kaki, dari hasil wawancara menunjukan sebagian perawat tidak mengetahui jenis-jenis kelainan kaki, tidakmengetahui cara mengukur ABI maupun menggunakan monofilament serta nilai normalnya. Disampaikan oleh beberapa perawat pelaksana bahwa ketika mengisi kuesioner tentang pengetahuan mereka mengisi tanpa mengetahui mana yang benar (menebak saja). Pada akhir kuesioner yang disebarkan, seluruh perawat menginginkan adanya pelatihan pengkajian kaki. Dari uraian diatas, analisis SWOT yang di dapatkan di gedung Teratai lantai 5 selatan RSUP Fatmawati adalah sebagai berikut : 5.1.1. Strength (Kekuatan) Kekuatan yang dimiliki oleh RSUPF dalam penerapan pengkajian kaki diabetik sebagai deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik adalah : a. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit rujukan diwilayah selatan Jakarta, Bogor, Tangerang selatan dan Depok, termasuk rujukan untuk kasus diabetes. b. RSUP Fatmawati mempunyai pelayanan diabetes yang terdiri dari unit edukasi dan unit perawatan kaki diabetic dan dalam perencanaan pengembangan menjadi pelayanan diabetes terpadu. c. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit pendidikan bagi berbagai tenaga kesehatan, sehingga sering dijadikan tempat penelitian dan penerapan evidence based practice terbaru d. Telah memiliki perawat dengan pendidikan S1 keperawatan atau DIII keperawatan yang telah mengikuti pelatihan management kaki diabetik dan edukasi. Hal ini sesuai dengan standar kompetensi perawat Indonesia pada ranah pengkajian keperawatan dan ranah peningkatan kualitas pelayanan e. Memiliki program edukasi diabetes yang telah terprogram dengan baik dan dapat digunakan sebagai intervensi lanjut setelah pengkajian dilakukan f. Mempunyai kelompok edukator diabetes dari berbagai disiplin ilmu g. Memiliki poli kaki yang melayani perawatan kaki khususnya kaki diabetik h. Telah memiliki format pengkajian status kaki diabetik yang terstandar Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 136 i. Memiliki konsultan endokrin yang handal dan peduli terhadap pengembangan pelayanan endokrin khususnya masalah diabetes. j. RSUPF mempunyai program-program pengembangan kualitas pelayanan asuhan keperawatan 5.1.2. Weakness (Kelemahan) a. Pengkajian kaki hanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas dengan pengisian format yang belum seluruhnya lengkap b. Format pengkajian kaki yang dimiliki RSUPF ditandatangani oleh dokter yang merawat, sehingga perawat menganggap pengkajian kaki menjadi kewenangan dokter. c. Perawat di lantai 5 selatan hanya 23.5% yang pernah mengikuti pelatihan kaki diabetik, 41% pernah mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik, 76% pernah melakukan pengkajian kaki diabetik dan hanya 29.5 % yang pernah mengisi format status kaki. Namun pengkajian kaki yang dilakukan hanya terbatas mengobservasi ada ulkus atau tidak. d. Keterbatasan jumlah alat untuk pengkajian kaki (Doppler, monofilament, terutama di ruang rawat inap penyakit dalam) e. Edukasi perawatan kaki diruang rawat inap diberikan secara umum dan klasikal. f. Sebagian besar pasien yang dirawat belum pernah mengunjungi poli kaki di RSUPF. 5.1.3. Opportunity (Peluang) a. Tingginya angka kunjungan pasien diabetes di poli penyakit dalam dan pasien yang dirawat tanpa ulkus berjumlah 70.1 % dan mengungkapkan ketakutannya jika sampai mengalami ulkus kaki b. Angka kejadian ulkus diabetik yang meningkat dari tahun ketahun merupakan perhatian perawat untuk berperan dalam upaya preventif melalui pengkajian kaki. c. Meningkatnya kesadaran penderita diabetes untuk memeriksakan kakinya dan mengikuti program edukasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 137 d. Seluruh perawat di lantai 5 selatan menginginkan adanya peningkatan pengetahauan mengenai pengkajian kaki e. Adanya dukungan baik dari ruangan dan penentu kebijakan untuk melakukan perubahan, sebagai upaya peningkatan kualitas asuhan keperawatan. 5.1.4. Threat (Ancaman) a. Tidak tersedianya alat pemeriksaan kaki yang lengkap meningkatkan resiko tidak terlaksananya pengkajian kaki di rawat inap secara komprehensif. b. Perubahan wewenang pengisian format memerlukan tahapan yang harus ditindaklanjuti. Berdasarkan pengamatan dan analisis masalah diatas, praktikan melakukan kegiatan inovasi dengan melaksanakan sosialisasi dan pelatihan pengkajian status kaki pasien diabetes tanpa ulkus kepada perawat sehingga pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam pengkajian status kaki meningkat. Pada akhirnya pengkajian status kaki pada pasien diabetes yang komprehensif dan dilakukan dengan benar akan mampu mendeteksi lebih awal masalah resiko kaki diabetik dan dengan tindakan yang sesuai akan menurunkan resiko terjadinya kaki diabetik. 5.2.Kegiatan Inovasi 5.2.1. Persiapan Kegiatan inovasi ini memaparkan fenomena yang ditemukan, dan rencana kegiatan kepada supervisor klinik dan supervisor akademik. Penyusunan proposal kegiatan dilakukan setelah disetujui oleh supervisor. Kegiatan dilanjutkan dengan memaparkan rencana inovasi kepada penentu kebijakan (manager rawat inap gedung Teratai Irna A, kepala ruangan dan wakil kepala ruangan) pada minggu pertama bulan Maret 2012. Rencana kegiatan inovasi tidak hanya didukung oleh managemen gedung teratai irna A, namun juga didukung oleh kepala bidang perawatan dan komite keperawatan RSUPF. Kegiatan ini diharapkan tidak hanya ditujukan untuk perawat lantai 5 selatan saja, namun juga melibatkan perwakilan perawat dari ruang rawat inap lain yang memungkinkan pasien diabetes dirawat. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 138 Persiapan selanjutnya adalah persiapan pelatihan diantaranya organisasi acara, perijinan, tempat kegiatan, waktu pelaksanaan, undangan, materi, pembicara hingga sponsor untuk dapat mensupport kegiatan inovasi ini. Persiapan kegiatan juga dibantu oleh manager ruangan lantai 5 selatan. 5.2.2. Pelaksanaan Inovasi Tujuan dari kegiatan inovasi ini adalah adanya peningkatan pelayanan asuhan keperawatan melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam melakukan pengkajian kaki diabetik. Pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikioleh perawat diharapkan akan merubah perilaku dan sikap perawat terhadap asuhan keperawatan pada pasien diabetes kearah yang lebih baik. Upaya yang dilakukan praktikan untuk pencapaian tujuan ini dengan melakukan pelatihan mengenai pengkajian kaki diabetik. Pelatihan dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu tanggal 17 dan 18 April 2012. Peserta pelatihan terdiri dari 20 orang untuk setiap tahap sehingga keseluruhan peserta pelatihan berjumlah 40 orang perawat pelaksana. Perawat yang mengikuti pelatihan berasal dari lantai 5 selatan 22 orang, lantai 5 utara 10 orang, lantai 6 dan lantai 4 masing masing 2 orang, dari gedung Irna C, 3 orang dan dari paviliun Anggrek 1 orang. Pelaksanaan pelatihan dibuka oleh kepada bidang perawatan RSUPF, dilanjutkan dengan pre test. Inti pelatihan adalah dengan pemberian materi tentang pengkajian kaki diabetic. Peningkatan ketrampilan peserta pelatihan dilakukan dengan mendemonstrasikan tehnik pengkajian kaki diabetic yang langsung dilakukan kepada pasien diabetes (hands on). Fasilitator hands on selain dari praktikan juga dari perawat edukator diabetic. Keterlibatan edukator dalam kegiatan ini adalah untuk pendampingan, motivator dan evaluator pada keberlangsungan kegiatan inovasi ini. Kegiatan selanjutnya adalah presentasi hasil hands on dari peserta dan pemberian masukan serta arahan dari salah satu dokter bedah vaskuler (Dr. Witra Irvan, Sp. B-V) sebagai salah satu tim medis dalam perawatan pasien diabetes dengan ulkus. Pada akhir pelatihan dilakukan evaluasi dengan post tes dan pelatihan ditutup oleh perwakilan dari bidang perawatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 139 5.2.3. Evaluasi 5.2.3.1. Evaluasi proses pelatihan a. Proses persiapan berlangsung selama 2 minggu. Rencana kegiatan didukung oleh semua pihak terutama penentu kebijakan dalam keperawatan seperti bidang keperawatan, komite keperawatan, meneger Irna A dan kepala ruangan b. Proses pelatihan : - Jumlah peserta pelatihan sesuai dengan yang direncanakan (100 % hadir) - Sambutan yang disampaikan kepala bidang keperawatan dan komite keperawatan saat acara pembukaan mengungkapkan dukungan terhadap inovasi yang dilakukan dan akan berkomitmen dalam perubahan ini. - Peserta pelatihan aktif mengikuti proses pelatihan baik sesi materi maupun sesi hands on. - Evaluasi dari peningkatan pengetahuan didapatkan : Grafik 5.1. Rata-rata Nilai pre dan post tes hari 1 dan hari ke 2 Pre Test Post Test 74,75 76 57,62 56,5 Hari ke 1 Hari ke 2 Dari grafik diatas menggambarkan adanya peningkatan pengetahuan tentang pengkajian kaki diabetic pada peserta pelatihan baik pada hari pertam maupun hari ke dua. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 140 c. Evaluasi peserta terhadap seluruh proses pelaksanaan pelatihan dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 5.2. Evaluasi pelaksanaan pelatihan 90% Sgt Menarik 80% Menarik 70% krg Menarik 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Materi Sarana & Tempat Prasarana konsumsi Hands on Dari grafik diatas dapat dijelaskan bahwa materi yang disampaikan 80 % peserta menyatakan sangat menarik, hands on yang dilaksanakan 70 % sangat menarik, sarana prasarana, tempat dan konsumsi yang disediakan memuaskan. 5.2.3.2. Evaluasi pelaksanaan inovasi Evaluasi pelaksanaan inovasi dilakukan selama 2 minggu setelah pelaksanaan pelatihan. Metode evaluasi yang digunakan dengan mengobservasi peserta pelatihan khususnya di gedung teratai lantai 5 selatan. Komponen evaluasi meliputi inisiatif dan keaktifan peserta dalam menerapkan pengkajian kaki, kemampuan peserta dalam melakukan pengkajian kaki, pelaksanaan program pendampingan oleh edukator dan dukungan managemen untuk keberlangsungan pelaksanaan kegiatan inovasi ini. Hasil evaluasi yang di dapatkan adalah sebagai berikut : a. Managemen : komite perawatan meminta panduan pengkajian kaki dan bentuk revisi format pengkajian untuk dapat ditindaklanjuti dalam perbaikan dan peningkatan sarana dalam pengkajian kaki. Kepala ruangan lantai 5 selatan memperbanyak Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 141 format pengkajian kaki untuk menunjang pelaksanaan pengkajian kaki ini. b. Peserta pelatihan : dalam waktu 2 minggu setelah pelatihan di dapatkan 6 pasien baru diabetes tanpa ulkus yang dirawat khususnya di lantai 5 selatan bagian laki – laki. Dari 6 pasien tersebut, 3 perawat (50%) yang melakukan pengkajian kaki atas inisiatif sendiri dan 3 perawat (50%) harus diingatkan. Tehnik melakukan pengkajian kaki rata – rata 80 % sesuai dengan panduan. Pendampingan edukator belum terlaksana, karena saat pengkajian dilaksanakan edukator dinas pada shift yang berbeda. Hasil pengkajian terhadap 6 pasien di dapatkan 2 pasien beresiko sedang (katagori 1) dan 4 pasien beresiko rendah (katagori 0). Tindakan yang dilakukan untuk menindaklanjuti hasil pengkajian, perawat melakukan mendokumentasikan ke edukasi dalam sesuai catatan katagori perawatan. dan Format pengkajian yang diisi tetap ditandatangani oleh dokter yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut, namun juga dicantumkan nama perawat yang mengkaji. 5.3.Pembahasan Pengkajian merupakan langkah pertama dalam melakukan asuhan keperawatan. Dalam proses pengkajian seorang perawat melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber yang dilakukan secara sistematis untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009; Craven & Hirnle, 2007). Proses pengkajian dapat dilakukan pada berbagai situasi. Pada saat pertama kali pasien datang ke pelayanan kesehatan maka pengkajian yang dilakukan merupakan pengkajian awal, dimana pada pengkajian ini data dasar untuk semua status kesehatan dikumpulkan. Selanjutnya akan dilakukan pengakajian yang lebih spesifik pada masalah yang ditemukan, maka pengkajian ini disebut dengan pengkajian fokus. Pengkajian ulang, merupakan pengumpulan data untuk mengetahui perubahan status kesehatan pasien pada waktu tertentu setelah dilakukan pengkajian awal. Pengkajian ulang ini dapat dikatakan sebagai evaluasi status kesehatan. Terakhir adalah pengkajian darurat, dimana pengkajian ini dilakukan secara cepat untuk mengidentifikasi situasi yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 142 menyangkut keselamatan nyawa pasien dan ini menjadi prioritas pengkajian (Craven & Hirnle, 2007). Pengkajian kaki diabetic merupakan pengkajian yang dilakukan pada setiap kaki penderita diabetes. Menurut jenis pengkajian, maka pengkajian kaki diabetik, dapat merupakan pengkajian awal, pengkajian fokus, pengkajian ulang maupun pengkajian darurat. Pengkajian awal dilakukan pada saat pertamakali pasien datang kepelayanan kesehatan sebagai penderita diabetes atau ketika pertamakali terdiagnosis diabetes. Pengkajian fokus dilakukan pada area kaki, baik dengan wawancara maupun pemeriksaan fisik. Pengkajian ulang dilakukan pada setiap kunjungan atau sesuai dengan criteria kaki diabetic untuk mengevaluasi kondisi kaki penderita. Dan pengkajian darurat dilakukan pada kaki diabetik yang mengalami ulkus dengan gas gangrene, dimana pada kondisi ini memerlukan tindakan segera untuk penyelamatan jiwa pasien (Craven & Hirnle, 2007; Turns, 2011; Taylor, 2008) Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan dalam perawatan pasien diabetes, sesuai dengan standard dan kompetensi perawat Indonesia harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian. Pengkajian yang lengkap dan komprehensif akan menentukan diagnose keparawatan atau masalah keperawatan yang tepat sehingga pada akhirnya menentukan intervensi yang tepat. Pada studi comparative yang dilakukan oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada pasien diabetes di Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania ditemukan masalah resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di Swedia. Faktor yang berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia dikarenakan selain fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih maju, juga kemampuan perawat dalam pelayanan perawatan kaki termasuk pengkajian kaki dan edukasi lebih dibandingkan dengan di Tanzania Sesuai dengan hasil observasi, wawancara dan kuesioner, didapatkan data, bahwa pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya untuk deteksi dini ulkus diabetik hampir tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya dilantai 5 selatan. Penyebab dari kondisi ini adalah karena pengetahuan dan kemampuan perawat dalam pengkajian kaki diabetic masih kurang. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ini salah satunya dengan pelatihan. Pelatihan didefinisikan sebagai suatu kegiatan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 143 pengajaran atau pemberian pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang bertujuan untuk mencapai kompetensi tertentu, dan pada akhirnya terjadi perubahan kinerja, serta kualitas asuhan yang lebih baik (Fakhrizal, 2010). Perubahan yang di dasarkan pengetahuan akan lebih langgeng dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik (Notoatmodjo, 2007). Untuk menjadikan pengkajian kaki sebagai bagian dari asuhan keperawatan pasien diabetes, tidak hanya peningkatan pengetahuan yang harus diperhatikan. Adanya komitmen dan kebijakan juga merupakan bagian penting yang harus diperhatikan. Komitmen awal dari kegiatan inovasi ini diperoleh dari penentu kebijakan (manajer rawat inap, bidang keperawatan, komite keperawatan dan kepala ruangan). Manajer sebagai pemimpin diharapkan dapat memberikan kebijakan, motivasi dan monitoring dalam keberlangsungan dan keberhasilan dari kegiatan inovasi ini (Nurusalam, 2007). Langkah kelompok untuk memperoleh komitmen dan kebijakan tersebut, pada awal kegiatan perencanaan inovasi, kelompok melakukan pemaparan rencana kegiatan berdasarkan fenomena yang ditemukan, analisis situasi, rencana perubahan yang diperkuat dengan evidence based nursing. Tujuan akhir dari kegiatan inovasi ini adalah pengkajian kaki menjadi bagian dari pengkajian yang selalu dilakukan pada pasien diabetes. Dalam mencapai tujuan ini, keterlibatan semua pihak di ruangan tersebut, monitoring dan evaluasi harus terus dilakukan. Kepala ruangan, wakil kepala ruangan, perawat primer dan educator telah berkomitmen akan melakukan pendampingan dan monitoring pada kegiatan ini Hambatan yang praktikan dapatkan pada penerapan kegiatan inovasi ini diantaranya alat pengkajian kaki yang belum lengkap (monofilament 10 gr dan garputala 128) hingga praktikan menyelesaikan kegiatan praktek residen. Solusi yang praktikan lakukan, mengkomunikasikan dengan managemen. Disampaikan oleh kepala ruangan bahwa pengadaan alat di rumah sakit memerlukan suatu mekanisme dan kepala ruangan telah mengkomunikasikan pada managemen dan pengadaan alat saat rapat pimpinan. Upaya pencegahan ulkus diabetik tidak hanya pengkajian, namun tindak lanjut dari hasil pengkajian sesuai katagori resiko ulkus merupakan hal penting yang harus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 144 dilakukan. Pada pelaksanaan inovasi oleh kelompok praktikan, tindak lanjut dari hasil pengkajian hanya sebatas edukasi individu, konseling dan system rujukan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Peran edukator untuk melaksanakan konseling dan alur rujukan perlu ditingkatkan, sehingga pencegahan terhadap ulkus diabetik dapat tercapai. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 145 BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system endokrin perlu didasarkan pada pemahaman yang memadai terhadap konsep yang mendasari seperti anatomi, fisiologi dan patofisiologi. Selain itu profesi keperawatan mempunyai badan keilmuan, sehingga pemahaman dan penguasaan terhadap teori keperawatan yang relevan serta berbagai modalitas keperawatan yang berbasis evidence menjadi dasar dalam praktik keperawatan profesional. Model Adaptasi Roy merupakan salah satu model keperawatan yang menekankan pada peran perawat dalam meningkatkan status kesehatannya dengan meningkatkan kemampuan individu baik sehat maupun sakit untuk beradaptasi terhadap stimulus yang di dapatkan. Kemampuan adaptasi tersebut ditunjukan dalam perilaku yang holistik yang dapat dilihat dari mode fisiologis, konsep diri, peran dan interdependensi. Namun demikian penggunaan MAR pada kondisi kegawatan, dan pada pasien rawat jalan khususnya pada system endokrin tidak dapat digunakan secara holistik. Melalui penerapan MAR berbagai peran perawat spesialis medical bedah baik sebagai practitioner, educator, researcher maupun inovator dapat diaplikasikan dalam memfasilitasi pasien untuk mencapai kondisi adaptasi secara holistik, yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Peran sebagai praktisi (practitioner). Dalam memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan MAR, praktikan dapat menyimpulkan bahwa model teori ini relevan untuk diaplikasikan pada pasien dengan gangguan sistem endokrin khususnya pada pasien DM. Pasien yang mengalami DM dengan berbagai komplikasi yang ditimbulkan akan mengalami perubahan perilaku pada fisiologisnya, konsep dirinya, peran maupun pada ketergantungannya. Melalui model ini, asuhan keperawatan diarahkan pada peningkatan kemampuan individu beradaptasi dengan meningkatkan koping regulator dan cognator. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 146 2. Peran sebagai pendidik (educator). Peran perawat dalam mengurangi stimulus yang ditimbulkan adalah dengan meningkatkan koping individu melalui kontrol kognator yaitu meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga yang berkaitan dengan perilaku dan stimulusnya. Selain itu tanggung jawab terhadap peningkatan pelayanan asuhan keperawatan dilakukan dengan berbagi (sharing) keilmuan kepada sejawat perawat, maupun mahasiswa keperawatan. 3. Peran sebagai peneliti (researcher). Peran ini dilakukan dengan mengaplikasikan hasil riset yang ada ke dalam pelayanan keperawatan dengan tujuan peningkatan mutu asuhan keperawatan di klinik. Salah satu penerapan hasil penelitian adalah pengkajian kaki terhadap resiko ulkus pada pasien DM yang dapat digunakan sebagai deteksi dini terhadap kejadian ulkus diabetic. 4. Peran sebagai pembaharu (innovator). Peran innovator mempunyai peranan yang strategis dalam melakukan perubahan di pelayanan keperawatan. Kegiatan inovasi yang dilakukan oleh praktikan bersama kelompok adalah meningkatkan upaya preventiv terhadap komplikasi ulkus pada pasien DM melalui pengkajian kaki diabetes pada setiap pasien DM yang dirawat tanpa ulkus. B. SARAN 1. Untuk menjadi seorang ners spesialis keperawatan medical bedah kekhususan system endokrin diperlukan pengembangan diri berkelanjutan dan tidak sebatas kasus DM agar dapat menjalankan perannya sebagai praktisi, pendidik, peneliti dan pembaharu. 2. Diperlukan kajian lebih lanjut untuk penerapan MAR yang efektif dan efisien pada unit gawat darurat maupun unit rawat jalan khususnya untuk pasien gangguan endokrin 3. Melaksanakan praktek berdasarkan evidence diharapkan akan terus dikembangkan dan dijadikan panduan praktek pada perawat klinik yang disesuaikan dengan level kompetensi. Evaluasi dan monitoring menjadi bagian penting yang harus dilakukan untuk kelanjutan penerapan evidence tersebut. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 147 4. Praktik keperawatan profesional yang melibatkan ners spesialis membutuhkan dukungan dari system pelayanan kesehatan yang ada, dukungan organisasi profesi dan pengakuan dari profesi lain yang saling berhubungan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH : PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI KARYA ILMIAH AKHIR FITRIAN RAYASARI NIM 0906504764 PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012 Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH : PENERAPAN TEORI ADAPTASI ROY PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN: DIABETES MELITUS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh Gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah FITRIAN RAYASARI NIM 0906504764 PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2012 Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 PERNYATAAN KEASLIAN Tulisan yang terdapat dalam Karya Ilmiah Akhir ini belum pernah disampaikan atau diajukan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah di institusi pendidikan manapun. Berdasarkan pengetahuan dan keyakinan penulis, Karya Ilmiah Akhir ini tidak memuat tulisantulisan yang pernah dipublikasikan orang lain secara keseluruhan kecuali tulisan tersebut digunakan sebagai bahan rujukan. Nama : FITRIAN RAYASARI NPM : 0906504764 Tanda Tangan : Tanggal : Juli 2012 iii Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 LEMBAR PENYATAAN PLAGIARISME Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama: Fitrian Rayasari NPM : 0906504764 Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Ilmiah Akhir ini saya buat tanpa adanya tindakan plagiarisme sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika dikemudian hari ternyata saya terbukti melakukan tindakan tersebut, maka saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan siap menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia. Yang Menyatakan Fitrian Rayasari Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Fitrian Rayasari NPM : 0906504764 Program Studi : Magister dan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas : Ilmu Keperawatan Jenis karya : Karya Ilmiah Akhir Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujuai untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclisive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah: Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Endokrin di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Beserta perangkat yang ada ( jika diperlukan). Dengan hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan,mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Pada Tanggal : Depok : Juli 2010 Yang Menyatakan Fitrian Rayasari Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING Karya Ilmiah Akhir ini telah diperiksa, dipertahankan dan disetujuai di hadapan Tim Penguji Program Spesialis Keperawatan Kekhusussan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Depok, Juli 2012 Pembimbing I DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc Pembimbing II Lestari Sukmarini, SKp., MN Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 HALAMAN PENGESAHAN Karya ilmiah ini diajukan oleh : Nama : Fitrian Rayasari NPM : 0906504674 Program Studi : Magister dan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Judul Karya Ilmiah : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah: Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Endokrin di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah pada Program Studi Magister dan Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI Pembimbing 1 : DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc. Pembimbing 2 : Lestari Sukmarini, SKp., MN Penguji 1 : dr. Suharko Soebardi, Sp.PD., KEMD Penguji 2 : Ernawati, SKp.,MKep.,Sp.KMB Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 10 Juli 2012 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur praktikan panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya akhirnya praktikan dapat menyelesaikan penyusunan laporan analisis praktek residensi spesialis keperawatan medikal bedah di RSUP Fatmawati Jakarta. Selanjutnya dalam penysunan Karya Ilmiah Akhir ini, praktikan banyak mendapat bimbingan dan dukungan serta arahan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini ingin menyampaikan rasa terima dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc, selaku Supervisor Utama dengan sabar dan penuh perhatian memberikan bimbingan pada praktikan dalam penyusunan laporan ini. 2. Lestari Sukmarini, S.Kp., M.N., selaku Supervisor yang telah banyak membimbing dan mengarahkan praktikan dalam penyusunan laporan ini. 3. Rita Herawati, S.Kp.,M.Kep,.selaku Supervisor klinik yang telah membimbing dengan praktikan selama menjalani praktik residensi di RSUP. Fatmawati 4. Dewi Irawati, M.A., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 5. Direktur RSUP Fatmawati Jakarta beserta staf struktural maupun fungsional yang telah memberikan ijin dan kesempatan pada praktikan untuk melakukan kegiatan residensi. 6. Penanggung jawab, Kepala ruangan dan perawat ruangan lantai 5 selatan, Poliklinik dan IGD RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada praktikan selama melakukan kegiatan residensi. 7. Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 8. Miciko Umeda, SKp., M. Biomed., selaku Ketua Program Studi D III Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah v Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 9. Suami dan anakku serta seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dengan penuh cinta, kasih sayang, kesabaran, perhatian dan senantiasa mendo’akan selama penulis menjalani pendidikan. 10. Rekan-rekan dosen Program studi D III Keperawatan FKK UMJ, teman-teman seangkatan pada peminatan endokrin dan pihak lain yang telah membantu penyusunan karya tulis ilmiah ini. 11. Semua pihak yang ikut membantu, sehingga kegiatan residensi dan laporan ini dapat diselesaikan. Praktikan sangat menyadari bahwa laporan ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan, sehingga praktikan berharap saran dan masukkan yang membangun demi kesempurnaan laporan ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan ilmu dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba yang selalu berbagi ilmu bermanfaat pada sesama, Amien. Depok, Juli 2012 Praktikan vi Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 ABSTRAK Nama Program Studi : Fitrian Rayasari : Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Judul : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Analisis Praktek Residensi Keperawatan Medikal Bedah penerapan Teori Adaptasi Roy pada Asuhan Keperawatan Kasus Gangguan Sistem Endokrin di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Gangguan sistem endokrin yang terbanyak dipelayanan kesehatan adalah pada kasus Diabetes Mellitus (DM) dan DM tipe 2 presentasenya mencapai 95%. Pada perkembangnnya gula darah yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik pada mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Pencegahan dan penanganan komplikasi DM, dilakukan oleh multidisiplin keilmuan yang dilakukan secara terpadu. Peran perawat spesialis medikal bedah pada kekhususan endokrin diharapkan mampu melakukan asuhan keperawatan secara holistik hingga pasien DM mampu beradaptasi dengan penyakitnya dan mampu mengontrol gula darahnya. Model Adaptasi Roy,dapat digunakan sebagai landasan perawat melakukan asuhan yang komprehensif dengan mengurangi stimulus yang ada dan meningkatkan koping individu sehingga tercapai perilaku yang adaptif. Melalui penerapan praktek keperawatan berbasis pembuktian (evidence based practice), pengkajian kaki diabetik dilakukan untuk pencegahan terjadinya komplikasi ulkus kaki diabetik. Pada peran perawat sebagai innovator pengkajian kaki dapat digunakan sebagai salah satu standar pengkajian keperawatan pada pasien DM, sehingga tercapai peningkatan asuhan keperawatan khususnya pada pasien dengan DM. Kata kunci: Perawat spesialis, Gangguan sistem endokrin, Teori Adaptasi Roy, Pengkajian kaki diabetik. vii Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 ABSTRACT Name Study Program : Fitrian Rayasari : Medical Surgical Nursing, Faculty of Nursing Science, Universitas Thesis Title : Practice Analysis on Residency Medical Surgery Nursing by Applying Roy Indonesia Adaptation Theory to Endocrine System Disorder Nursing in Fatmawati Central Public Hospital, Jakarta. Endocrine System Disorder mostly occurs in health service on Diabetes Mellitus, especially the DM Type-2, in which the percentage reach 95%. Furthermore, uncontrolled blood sugar causes several micro vascular or macro vascular complications. The DM prevention and treatment should be done by means of integrated multi-discipline efforts. It is expected that medical surgical nurses who are majoring in endocrine will be able to conduct a holistic nursing so that the DM patients are able to adapt to his illness and control his blood sugar. Roy Adaptation Model is applied as the basis for the nurses to conduct comprehensive care by reducing existing stimulus and increasing individual coping in order to generate adaptive behaviors. Through the application of evidence-based practice, diabetic foot research is conducted to prevent diabetic foot ulcers complication. In the nurse's role as an innovator, foot assessment can be utilized as a standard for nursing assessment on DM patient and, therefore, increasing nursing treatment for them. Keywords: specialized nurse, endocrine system disorder, Roy Adaptation Theory, diabetic foot assessment. viii Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v ABSTRAK ............................................................................................................. vii ABSTRACT ............................................................................................................. viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii DAFTAR BAGAN ................................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xiv BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................... 1.3 Manfaat Penulisan ............................................................................. 1 1 4 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. ......................................................................... 6 2.1 Konsep Penyakit Diabetes Mellitus .................................................. 6 2.1.1 Pengertian .......................................................................... 6 2.1.2 Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi .............................. 6 2.1.3 Tanda dan Gejala................................................................ 11 2.1.4 Diagnosis ............................................................................ 12 2.1.5 Penatalaksanaan ................................................................. 14 2.1.6 Komplikasi ......................................................................... 21 2.2 Asuhan Keperawatan Menggunakan Model Adaptasi Roy .............. 31 2.2.1 Dasar Teori Adaptasi Roy .................................................. 31 2.2.2 Asumsi-Asumsi Utama ...................................................... 32 2.2.3 Asuhan Keperawatan ......................................................... 38 2.3 Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Diabetes Melitus ................................................................. 42 2.3.1 Pengkajian ......................................................................... 42 2.3.2 Diagnosa Keperawatan....................................................... 49 2.3.3 Intervensi Keperawatan ...................................................... 51 BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN DISBETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG DAN SELULITIS ............................................................................................. 55 3.1 Deskripsi Kasus Kelolaan Utama ..................................................... 55 3.2 Penerapan Model Adaptasi Roy Pada Kasus Kelolaan Utama ......... 56 3.3 Pembahasan ....................................................................................... 77 3.4 Analisis penerapan Teori Adaptasi Roy pada 32 (tiga puluh dua) kasus kelolaan .................................................................................. 101 ix Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 BAB 4. PRAKTEK BERDASARKAN PEMBUKTIAN PENGKAJIAN KAKI SEBAGAI DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI PADA PASIEN DM TIPE II ............................................................................................ 113 4.1 Critical Review................................................................................. 115 4.2 Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian ................ 119 4.3 Pembahasan ...................................................................................... 126 BAB 5. KEGIATAN INOVASI PENINGKATAN KEMAMPUAN PERAWAT DALAM PENGKAJIAN KAKI DIABETIK SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI DIABETIK … 132 5.1 Analisa Situasi.................................................................................. 132 5.2 Kegiatan Inovasi............................................................................... 137 5.3 Pembahasan ...................................................................................... 141 BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN...................................................................145 6.1 Simpulan .......................................................................................... 145 6.2 Saran ................................................................................................. 146 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP x Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Tipe insulin dan cara kerja 20 Tabel 3.1 Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI). 57 Tabel 3.2 Pengkajian Kaki 62 Tabel 3.3 Rencana Asuhan Keperawatan 68 Tabel 4.1 Klasifikasi Resiko Ulkus Diabetik International Group on the Diabetik Foot Menurut 123 Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan usia di ruang lantai 5 Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N=20 123 Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lama menderita DM dan Kadar HBA1C, di ruang lantai 5 Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N=20 124 Tabel 4.4 Distribusi resiko ulkus kaki diabetic berdasarkan lama menderita DM dan kadar HBA1C, di ruang lantai 5 Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N=20 125 Tabel 4.5 Distribusi resiko ulkus kaki diabetic berdasarkan lama di ruang lantai 5 Selatan Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N=20 125 xi Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1 Photografi kaki Ny. S 61 Gambar 3.2 Photografi Abses punggung Ny. S 61 Gambar 3.3 Photografi Pengkajian kaki Ny. S 62 Gambar 4.1 Area melakukan uji monosilament 122 xii Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 DAFTAR BAGAN Halaman Bagan 2.1 Model Adaptasi Roy 35 xiii Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Gambaran 32 kasus kelolaan lainnya dengan menggunakan pendekatan Teori Adaptasi Roy Lampiran 2 Format pengkajian kaki Lampiran 3 Kuesioner kegiatan inovasi Lampiran 4 Rencana kegiatan inovasi Lampiran 5 Soal pre dan postest pelaksanaan pelatihan pengkajian kaki Lampiran 6 Pedoman Pengkajian Kaki Diabetik Lampiran 7 Leafleat Edukasi Perawatan Kaki Diabetik xiv Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan Data yang didapatkan dari International Diabetes Federation, 2011 menyatakan jumlah penderita diabetes diseluruh dunia hingga tahu 2011 mencapai 366 juta orang dan diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2030 diperkirakan jumlahnya mencapai 552 juta orang. Penyandang diabetes yang ada di dunia 80 % tinggal di negara dengan pendapatan rendah hingga menengah atau negara berkembang termasuk Indonesia. Dari sepuluh negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak pada usia 20 – 79 tahun , Indonesia menempati urutan ke 10 ,dengan jumlah penderita mencapai 7,3 juta orang. Jumlah ini akan meningkat hingga 11,8 juta orang pada tahun 2030 dan diprediksi Indonesia menempati urutan ke 9 dari 10 negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak. Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi diabetes mellitus sebesar 1,5 - 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di daerah urban prevalensi Diabetes mellitus sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju, sehingga diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 2 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003 diperkirakan terdapat penderita diabetes di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di daerah rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita diabetes mellitus sejumlah 12 juta di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2011). Diabetes mellitus merupakan penyakit yang akan terus ada di dalam tubuh seseorang, namun dapat dikontrol dengan melakukan pengelolaan yang benar. Jika tidak dilakukan dengan pengelolaan yang benar, penyakit diabetes ini akan menimbulkan berbagai komplikasi. Dampak dari komplikasi ini tidak hanya masalah fisik saja yang dirasakan oleh pasien, juga masalah psikis, dan social. Asuhan keperawatan yang diberikan hendaknya membuat penyandang diabetes dapat beradaptasi dengan kondisi yang dialami. Adaptasi yang terjadi pada penyandang diabetes diharapkan akan mampu merubah perilaku untuk meningkatkan pencegahan dan pengelolaan. Seorang pakar keperawatan yaitu Callista Roy, telah mengembangkan teori keperawatan yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Roy melihat bahwa manusia merupakan sistem terbuka yang akan mendapatkan stimulus dari luar tubuhnya dan masusia akan berespon dengan beradaptasi. Perawat mempunyai peranan penting dalam membantu individu yang sakit maupun yang sehat dalam berespon terhadap stressor, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas hidupnya melalui suatu proses adaptasi. Penyandang diabetes yang dirawat di rumah sakit mendapatkan berbagai stimulus dari dalam dirinya maupun dari lingkungan. Perawat merupakan salah satu profesi dibidang kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara holistik. Dalam melakukan asuhan keperawatan pada penyandang diabetes untuk membantu berespon secara adaptif, perawat spesialis dapat berperan sebagai pemberi asuhan (practitioner/care provider), pendidik (educator), konselor (counselor), agen perubahan atau agen inovasi (change egent/innovator), penasihat klien (client Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 3 advocate), manajer (manager), dan peneliti (researcher), dan pelindung (protector) (NACNS, 2008 dalam Perry & Potter, 2009) Dalam laporan ini praktikan menguraikan peran perawat dalam membantu penyandang diabetes dan keluarganya untuk berespon terhadap stimulus yang didapatkan secara adaptif. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan (practitioner/care provider) dengan menerapkan Model Adaptasi Roy. Penyandang diabetes masuk ke rumah sakit dengan berbagai komplikasi terjadi karena ketidaktahuan dan ketidakpatuhan dalam pengelolaan diabetes di rumah. Memberikan edukasi dan meningkatkan motivasi serta keyakinan diri dalam merawat dirinya sendiri merupakan upaya perawat untuk membuat penyandang diabetes ini beradaptasi. Peran yang dilakukan praktikan merupakan peran sebagai pendidik (educator), konselor (counselor), dan penasihat klien (client advocate). Peran perawat spesialis yang lain yang praktikan lakukan adalah peran sebagai peneliti (researcher) Pada peran ini, praktikan mengaplikasikan Evidence Base Nursing (EBN) sebagai upaya meningkatkan kualitas intervensi keperawatan. EBN yang praktikan aplikasikan adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya deteksi dini ulkus diabetik, merupakan hasil critical reviw yang dilakukan oleh Taylor M.C, pada tahun 2008 dengan judul Foot Assessment in type 2 Diabetes : an evidencebased practice approce. Penerapan EBN ini didasarkan pada tingginya angka kejadian ulkus diabetes di tempat praktikan melakukan praktek yaitu 29,1 %, dari seluruh pasien diabetes yang dirawat. Tidak menutup kemungkinan, penyandang diabetes tanpa ulkus pada akhirnya akan mengalami ulkus jika tidak diketahui faktor resikonya dan ditindak lanjuti dengan edukasi, maupun perawatan kaki. Peran sebagai agen inovasi (change egent/innovator) dilakukan praktikan bersama tim dengan mengembangkan metode pencegahan ulkus kaki melalui pengkajian faktor resiko dan edukasi Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan analisis kegiatan praktek residen ini praktikan akan memaparkan analisis kegiatan praktek residensi dalam menjalankan berbagai peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan menggunakan pendekatan model adaptasi Roy Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 4 1.2. Tujuan Penulisan 1.2.1. Tujuan Umum Melakukan analisis terhadap kegiatan praktek resiidensi medikal bedah pada peminatan keperawatan keperawatan endokrin dengan mengaplikasikan teori model adaptasi Roy di RSUP Fatmawati 1.2.2. Tujuan Khusus Melakukan analisis beberapa peran yang dijalani praktikan dalam praktek residensi yang meliputi : a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi Roy. b. Peran perawat sebagai peneliti melalui penerapan evidence based practice khususnya pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya deteksi dini ulkus diabetik. c. peran sebagai innovator, fasilitator, narasumber (resources), koordinator dan role model melalui proyek inovasi yang dilakukan di ruang penyakit dalam. 1.3. Manfaat 1.3.1. Bagi pelayanan keperawatan a. Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pelayanan keperawatan sebagai acuan dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem endokrin khususnya diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi Roy b. Meningkatkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan penelitian sebagai dasar pengambilan keputusan klinik berdasarkan evidence based nursing practice pada kasus gangguan sistem endokrin khususnya diabetes melitus 1.3.2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan Melalui hasil analisis ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan medikal bedah tentang aktualisasi peran perawat baik sebagai pemberi layanan, pendidik, konselor, agen perubahan atau agen inovasi, penasihat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 5 klien, peneliti, pelindung, dan manajer kasus khususnya dalam bidang keperawatan endokrin 1.3.3. Bagi pendidikan keperawatan Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan kurikulum pembelajaran khususnya dalam mengembangkan intervensi – intervensi keperawatan mandiri untuk meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin berdasarkan evidence based practice Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Jumlah penderita diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan Data yang didapatkan dari International Diabetes Federation, 2011 menyatakan jumlah penderita diabetes diseluruh dunia hingga tahu 2011 mencapai 366 juta orang dan diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2030 diperkirakan jumlahnya mencapai 552 juta orang. Penyandang diabetes yang ada di dunia 80 % tinggal di negara dengan pendapatan rendah hingga menengah atau negara berkembang termasuk Indonesia. Dari sepuluh negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak pada usia 20 – 79 tahun , Indonesia menempati urutan ke 10 ,dengan jumlah penderita mencapai 7,3 juta orang. Jumlah ini akan meningkat hingga 11,8 juta orang pada tahun 2030 dan diprediksi Indonesia menempati urutan ke 9 dari 10 negara dengan jumlah kasus diabetes terbanyak. Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi diabetes mellitus sebesar 1,5 - 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di daerah urban prevalensi Diabetes mellitus sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju, sehingga diabetes mellitus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 2 Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003 diperkirakan terdapat penderita diabetes di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di daerah rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita diabetes mellitus sejumlah 12 juta di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (PERKENI, 2011). Diabetes mellitus merupakan penyakit yang akan terus ada di dalam tubuh seseorang, namun dapat dikontrol dengan melakukan pengelolaan yang benar. Jika tidak dilakukan dengan pengelolaan yang benar, penyakit diabetes ini akan menimbulkan berbagai komplikasi. Dampak dari komplikasi ini tidak hanya masalah fisik saja yang dirasakan oleh pasien, juga masalah psikis, dan social. Asuhan keperawatan yang diberikan hendaknya membuat penyandang diabetes dapat beradaptasi dengan kondisi yang dialami. Adaptasi yang terjadi pada penyandang diabetes diharapkan akan mampu merubah perilaku untuk meningkatkan pencegahan dan pengelolaan. Seorang pakar keperawatan yaitu Callista Roy, telah mengembangkan teori keperawatan yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Roy melihat bahwa manusia merupakan sistem terbuka yang akan mendapatkan stimulus dari luar tubuhnya dan masusia akan berespon dengan beradaptasi. Perawat mempunyai peranan penting dalam membantu individu yang sakit maupun yang sehat dalam berespon terhadap stressor, sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas hidupnya melalui suatu proses adaptasi. Penyandang diabetes yang dirawat di rumah sakit mendapatkan berbagai stimulus dari dalam dirinya maupun dari lingkungan. Perawat merupakan salah satu profesi dibidang kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara holistik. Dalam melakukan asuhan keperawatan pada penyandang diabetes untuk membantu berespon secara adaptif, perawat spesialis dapat berperan sebagai pemberi asuhan (practitioner/care provider), pendidik (educator), konselor (counselor), agen perubahan atau agen inovasi (change egent/innovator), penasihat klien (client Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 3 advocate), manajer (manager), dan peneliti (researcher), dan pelindung (protector) (NACNS, 2008 dalam Perry & Potter, 2009) Dalam laporan ini praktikan menguraikan peran perawat dalam membantu penyandang diabetes dan keluarganya untuk berespon terhadap stimulus yang didapatkan secara adaptif. Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan (practitioner/care provider) dengan menerapkan Model Adaptasi Roy. Penyandang diabetes masuk ke rumah sakit dengan berbagai komplikasi terjadi karena ketidaktahuan dan ketidakpatuhan dalam pengelolaan diabetes di rumah. Memberikan edukasi dan meningkatkan motivasi serta keyakinan diri dalam merawat dirinya sendiri merupakan upaya perawat untuk membuat penyandang diabetes ini beradaptasi. Peran yang dilakukan praktikan merupakan peran sebagai pendidik (educator), konselor (counselor), dan penasihat klien (client advocate). Peran perawat spesialis yang lain yang praktikan lakukan adalah peran sebagai peneliti (researcher) Pada peran ini, praktikan mengaplikasikan Evidence Base Nursing (EBN) sebagai upaya meningkatkan kualitas intervensi keperawatan. EBN yang praktikan aplikasikan adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya deteksi dini ulkus diabetik, merupakan hasil critical reviw yang dilakukan oleh Taylor M.C, pada tahun 2008 dengan judul Foot Assessment in type 2 Diabetes : an evidencebased practice approce. Penerapan EBN ini didasarkan pada tingginya angka kejadian ulkus diabetes di tempat praktikan melakukan praktek yaitu 29,1 %, dari seluruh pasien diabetes yang dirawat. Tidak menutup kemungkinan, penyandang diabetes tanpa ulkus pada akhirnya akan mengalami ulkus jika tidak diketahui faktor resikonya dan ditindak lanjuti dengan edukasi, maupun perawatan kaki. Peran sebagai agen inovasi (change egent/innovator) dilakukan praktikan bersama tim dengan mengembangkan metode pencegahan ulkus kaki melalui pengkajian faktor resiko dan edukasi Berdasarkan uraian diatas, dalam laporan analisis kegiatan praktek residen ini praktikan akan memaparkan analisis kegiatan praktek residensi dalam menjalankan berbagai peran perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan menggunakan pendekatan model adaptasi Roy Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 4 1.2. Tujuan Penulisan 1.2.1. Tujuan Umum Melakukan analisis terhadap kegiatan praktek resiidensi medikal bedah pada peminatan keperawatan keperawatan endokrin dengan mengaplikasikan teori model adaptasi Roy di RSUP Fatmawati 1.2.2. Tujuan Khusus Melakukan analisis beberapa peran yang dijalani praktikan dalam praktek residensi yang meliputi : a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien endokrin khususnya pasien diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi Roy. b. Peran perawat sebagai peneliti melalui penerapan evidence based practice khususnya pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya deteksi dini ulkus diabetik. c. peran sebagai innovator, fasilitator, narasumber (resources), koordinator dan role model melalui proyek inovasi yang dilakukan di ruang penyakit dalam. 1.3. Manfaat 1.3.1. Bagi pelayanan keperawatan a. Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pelayanan keperawatan sebagai acuan dan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien dengan gangguan sistem endokrin khususnya diabetes mellitus dengan pendekatan teori Model Adaptasi Roy b. Meningkatkan motivasi bagi perawat dalam memanfaatkan penelitian sebagai dasar pengambilan keputusan klinik berdasarkan evidence based nursing practice pada kasus gangguan sistem endokrin khususnya diabetes melitus 1.3.2. Bagi perkembangan ilmu keperawatan Melalui hasil analisis ini diharapkan akan menambah khasanah keilmuan medikal bedah tentang aktualisasi peran perawat baik sebagai pemberi layanan, pendidik, konselor, agen perubahan atau agen inovasi, penasihat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 5 klien, peneliti, pelindung, dan manajer kasus khususnya dalam bidang keperawatan endokrin 1.3.3. Bagi pendidikan keperawatan Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan kurikulum pembelajaran khususnya dalam mengembangkan intervensi – intervensi keperawatan mandiri untuk meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin berdasarkan evidence based practice Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Konsep Penyakit Diabetes Mellitus 2.1.1. Pengertian Diabetes sering disingkat dengan DM merupakan kelompok penyakit metabolik yang yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah sebagai akibat dari penurunan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau keduanya (ADA, 2012). Glukosa yang berasal dari makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan akan bersirkulasi di dalam darah dalam jumlah tertentu. Selanjutnya proses regulasi atau metabolisme glukosa di sel otot, lemak dan hepar akan diperankan oleh hormone insulin. Hormon insulin ini merupakan rangkaian asam amino yang diproduksi oleh sel beta kelenjar pancreas. Pada keadaan terentu dapat terjadi penurunan produksi insulin oleh sel beta pancreas atau insulin yang ada tidak sensitive terhadap kadar glukosa dalam darah. Kondisi ini akan meningkatkan glukosa dalam sirkulasi darah atau disebut hyperglikemia. Hyperglikemia yang terus terjadi dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan berbagai gangguan baik pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler), pembuluh darah besar (makrovaskuler), maupun gangguan pada saraf (neuropathy) (Smeltzer & Bare, 2008; Manaf, 2009; Lewis et al, 2011; LeMone, 2011). 2.1.2. Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Hasil penelitian baik klinis maupun laboratories menunjukan bahwa diabetes merupakan suatu keadaan yang heterogen baik etiologi maupun macamnya dan pada akhirnya kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya, sehingga PERKENI, 2011; ADA, 2012 mengklasifikasikan diabetes menjadi : 2.1.2.1. Diabetes Tipe I Diabetes tipe 1 ini umumnya terjadi karena kerusakan sel beta pancreas sehingga produksi insulin mengalami kegagalan dan mengakibatkan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 7 defisiensi insulin absolute. Jumlah penyandang DM tipe 1 ini hanya 5 - 10 % dari jumlah seluruh penyandang DM. Pada klasifikasi awal DM tipe 1 ini disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Ini dikarenakan pada penyandang DM tipe 1 mutlak membutuhkan insulin dari luar tubuhnya. Kerusakan sel beta pancreas terjadi karena reaksi autoimun sebagai dampak dari berbagai pencetus salah satunya adalah proses infeksi.virus seperti virus Cocksakie, Rubella, CMV, Herpes, dan lain sebagainya hingga timbul peradangan sel–sel beta (insulitis). Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). Defisiensi insulin absolut terjadi jika kerusakan sel beta pancreas mencapai 80 - 90% yang akan menyebabkan gangguan metabolisme ( Lewis et al, 2011). Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel alpha kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel alpha ï€ kelenjar pankreas. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin (Depkes, 2005; Smeltzer & Bare, 2008; Lewis, 2011). Faktor resiko pada DM tipe 1 diantaranya adalah genetic. Ditemukan pada1 dalam 400 hingga 1 dalam 1000 untuk semua populasi, Resiko berkembang menjadi DM tipe 1 pada anak dengan orang tua yang menyandang DM 1 dalam 50 resiko,Maftin, 2009 (dalam LeMone, 2011). Faktor resiko lain adalah lingkungan. Infeksi virus, zat kimia dan asap rokok dapat menjadi factor pemicu terjadinya insulitis dari reaksi autoimun. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 8 2.1.2.2. DM Tipe II Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes, 2005). Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama dimana 85 % penyandang DM tipe 2 mengalami obesitas sebelumnya (Black & Hawks, 2009) Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 9 Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Namun pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Depkes, 2005; Suyono dalam Sugondo dkk, 2011; LeMone, 2011). Faktor resiko dari DM tipe 2 menurut Port & Matfin, 2009 dalam (LeMone, 2011) diantaranya adalah : a. Riwayat DM pada orang tua atau saudara kandung. Meskipun tidak teridentifikasi adanya HLA, seorang anak dari penyandang DM tipe 2 beresiko 2 hingga 4 kali lipat dan 35 % mempunyai resiko berkembang menjadi intoleransi glukosa. b. Obesitas, dimana berat badan lebih dari 20% BB ideal atau BMI lebih dari 27 kg/m2. Obesitas khususnya obesitas visceral berhubungan dengan resistensi insulin c. Pada wanita dengan riwayat DM gestational, atau melahirkan lebih dari 4 kg d. Hypertensi , peningkatan lipid profile : kolesterol, HDL & trigliserida e. Metabolik sindrom dengan manifestasi yang berhubungan dengan DM tipe 2 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 10 2.1.2.3. DM Tipe Gestasional ADA, 2012 mendefinisikan DM gestational adalah intoleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali diketahui saat proses kehamilan. Kondisi ini bisa berlanjut hingga setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami DM sejak sebelum kehamilannya tidak termasuk kelompok ini. Di Amerika DM tipe ini terjadi pada 7 % dari seluruh kasus kehamilan. Timbulnya intoleransi glukosa biasanya terjadi pada kehamilan trimester dua atau tiga akibat dari sekresi hormone plasenta yang berdampak menghambat kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2008). Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan DM tipe ini akan beresiko mempunyai berat badan yang besar (makrosomia). Faktor resiko pada DM gestational ini berdasarkan adanya riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat keluarga dengan DM tipe 2, adanya glikosuria dan riwayat polycystic ovary symdrom 2.1.2.4. DM Tipe lain Klasifikasi DM yang terakhir ,dimana DM ini tidak termasuk DM tipe 1,tipe 2 maupun tipe gestational. DM ini dikenal dengan DM tipe lain. Pada DM ini, penyebabnya adalah (ADA, 2012) : a. Kerusakan genetic pada fungsi sel beta b. Kerusakan genetic pada aksi insulin c. Penyakit eksokrin pancreas : Pancreatitis, trauma/pancreotomy, neoplasia, Cystic fibrosis, hemocromatosis, dan lainnya d. Endokrinopathy: acromegaly, cushing’s syndrome,glukagonoma, aldosteronoma, hypertiroidism, somatostatinoma e. Obat-obatan atau zat kimia : vacor, pentamidine, asam nicotinic, glukokortikaoid, diazoxide, thiazide, dilantin dan yang lainnya f. Infeksi : Rubella, CMV, dan yang lainnya g. Sindrom genetic lain yang berhubungan dengan diabetes : Down sindrom, turner sindrom, myothonic dystrophy, wolfram sindrom dan yang lainnya. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 11 2.1.3. Tanda dan Gejala Gejala klinis klasik pada semua tipe DM dikenal dengan trias poly. yaitu polydhipsi, polypaghia dan polyuria. Gejala trias poly ini seringkali tidak pada awalnya dirasakan oleh penyandang DM tipe 2, sehingga pada penyandang DM tipe 2 datang kepelayanan kesehatan dengan gejala komplikasi yang ditimbulkan (Lewis, et al 2011; LeMone, 2011). Berikut ini diuraikan tanda dan gejala yang ditimbulkan dari peningkatan gula darah pada penyandang DM menurut LeMone et al, 2011 2.1.3.1. Polyuria Polyuria atau sering disebut sering buang air kecil, terjadi karena adanya akumulasi glukosa di dalam sirkulasi darah menyebabkan hyperosmolaritas pada serum. Selanjutnya terjadi perpindahan cairan dari intra seluler ke dalam system sirkulasi. Peningkatan volume dalam pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke ginjal dan hyperglikemia menyebabkan dieresis osmotic yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran urine. Ambang batas ginjal terhadap kadar glukosa darah adalah 180 mg/dL. Ketika kadar gula darah lebih dari nilai tersebut, maka glukosa akan dikeluarkan bersama urine. Kondisi ini disebut dengan glukosuria. 2.1.3.2. Polydipsia Penurunan volume cairan di intraseluler dan peningkatan pengeluaran urine akan menyebabkan dehidrasi tingkat sel. Mukosa mulut menjadi kering dan sensasi haus dirasakan, maka akan menyebabkan peningkatan asupan cairan. 2.1.3.3. Polyphagia Penurunan jumlah atau sensitifitas insulin untuk membantu memasukan glukosa ke dalam sel, menyebabkan terjadinya penurunan metabolism dan pembentukan energy. Penurunan energi ini akan menstimulasi pusat lapar dan penyandang DM menjadi banyak makan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 12 2.1.3.4. Penurunan berat badan Pemenuhan kebutuhan energy akibat kegagalan penggunaan glukosa sebagai sumber energy didapatkan dari sumber energy lain yaitu protein dan lemak. Pemecahan asam amino (Proteolisis) terjadi pada otot yang disimpan sebagai cadangan protein. Berkurangnya cadangan protein otot menyebabkan penurunan berat badan. 2.1.3.5. Penurunan Penglihatan Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dapat menyebabkan peningkatan tekanan osmotik pada mata dan perubahan pada lensa sehingga pasien akan mengalami gangguan dalam penglihatan. 2.1.4. Diagnosis Penegakan diagnose DM tidak hanya dilakukan berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh pasien. Diagnosis DM harus didasarkan pada pemeriksaan penunjang khususnya pemeriksaan gula darah. Keluhan klasik seperti polyuria, polydipsi, polyphagia, badan yang lemah, penurunan berat badan tanpa diketahui jelas penyebabnya menjadi dasar dugaan adanya DM. Pada beberapa dekade, diagnosis DM ditegakkan dengan pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa dan gula darah 2 jam setelah beban (glukosa 75 gr). Sejak tahu 2009, pada International Expert Committee termasuk di dalamnya terdapat perwakilan dari American Diabetes Association (ADA), International Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study of Diabetes (EASD), merekomendasikan pemeriksaan HbA1C sebagai uji untuk diagnosis DM. Didiagnosis sebagai penyandang DM jika di dapatkan hasil HbA1C > 6.5%. Pemeriksaan HbA1C menggunakan metode yang telah terstandar oleh National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) (ADA, 2012). HbA1C atau haemoglobin glikosilate merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari ikatan hemoglobin dan gukosa dalam darah. Apabila hemoglobin bercampur dengan larutan dengan kadar glukosa yang tinggi, rantai beta molekul hemoglobin mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, proses ini dinamakan glikosilasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 13 Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal, sekitar 4-6% hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin glikosilat atau hemoglobin A1c. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar hemoglobin A1c dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar hemoglobin A1c yang tinggi mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes selama 3-5 minggu sebelumnya. Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar hemoglobin A1c kembali ke normal dalam waktu sekitar 3 minggu. Karena HbA1c terkandung dalam eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari, maka HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan. Pemeriksaan ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan informasi yang lebih jelas tentang keadaan penderita dan seberapa efektif terapi diabetik yang diberikan. Peningkatan kadar HbA1c > 6.5% mengindikasikan diabetes mellitus yang tidak terkendali dalam 3 bulan terakhir. Keuntungan yang lain dari pemeriksaan ini, tidak memerlukan persiapan seperti puasa dan pengambilan darah hanya dilakukan sekali saja (ADA, 2012; Black & Hawk, 2009). Namun demikian HbA1C hanya dapat dilakukan pada laboratorium yang telah terstandar. Pemeriksaan yang lain dan masih direkomendasikan oleh ADA, 2012 maupun PERKENI, 2011 adalah pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah beban. Berikut kriteria diagnosis DM menurut ADA, 2012 a. Adanya gejala klasik DM dengan hasil HbA1C > 6.5 % , dan pemeriksaan menggunakan metode yang terstandart (NGSP atau DCCT), atau b. Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Gula darah plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau c. Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa diartikan tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau d. Kadar gula plasma 2 jam pada Toleransi Tes Glukosa Oral (TTGO) > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, yaitu Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 14 menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Pada orang-orang yang beresiko DM namun tidak menunjukan adanya gejala DM, perlu dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi lebih awal adanya gangguan pada toleransi glukosa atau resiko DM sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih awal. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan guladarah sewaktu, atau gula darah puasa. Berikut ini kadar gula darah sebagai penyaring diagnosis DM (Pra diabetes) a. Gula darah puasa 100mg/dL (5,6 mmol/L) – 125 mg/dL (6,9 mmol/L) b. Gula darah 2 jam setelah beban dengan 75 gr glukosa oral 140 mg/dL (7.8 mmol/L) sampai 199 mg/dL (11.0 mmol/L) c. HbA1C : 5,7% sampai 6,4 % Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulang setiap tahun. Untuk yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko lain, penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun. Pemeriksaan penunjang lain yang disarankan untuk mengetahui factor resiko maupun gangguan metabolism lebih lanjut diantaranya adalah pemeriksaan lipid profile. Gangguan metabolism glukosa dapat menimbulkan peningkatan pada kadar trigliserida, penurunan HDL, perubahan pada struktul LDl, dimana dapat ditemukan peningakatan small dense LDL. Penurunan kadar C-Peptida dalam darah dapat digunakan untuk menggambarkan penurunan produksi insulin oleh sel beta pancreas. 2.1.5. Penatalaksanaan Tujuan jangka pendek dari penatalaksanaan pada penyandang DM adalah menghilangkan keluhan dan tanda dari DM, mempertahankan kenyamanan, dengan gula darah yang terkontrol. Sedangkan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai adalah mencegah dan menghambat progresivitas penyulit atau komplikasi seperti mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pada akhirnya keberhasilan penataksanaan akan meningkatkan kualitas hidup penyandang DM, menurunnya angka mortalitas dan morbiditas DM. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 15 Penatalaksanaan DM ini dilakukan secara holistic dan terpadu dengan melibatkan multidisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, educator, dan lainnya) dan keluarga sebagai system pendukung utama. Pilar penatalaksanaan utama untuk DM meliputi edukasi, perencanaan makan, latihan jasmani, intervensi farmakologis dan monitoring gula darah. Berikut ini penjelasan dari 5 pilar penatalaksanaan DM : 2.1.5.1. Edukasi Edukasi merupakan proses perpindahan informasi dari suatu sumber untuk menambah pengetahuan (internalisasi) satu individu dalam rangka meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dan diharapkan menampilkan satu perubahan perilaku (Nasution, 2008). Penyandang DM umumnya mempunyai resiko dari pola hidup yang tidak sehat. Selain itu pengendalian gula darah dan pencegahannya memerlukan perawatan sepanjang hidupnya, sehingga perubahan pola hidup dan kepatuhan terhadap perawatan hendaknya didasarkan pada pengetahuan yang benar. Tujuan dari edukasi pada penyandang DM adalah terjadinya perubahan perilaku untuk jangka panjang. Perubahan perilaku ini dapat dicapai dengan cara memberikan pengetahuan yang dibutuhkan sehingga penyandang DM mampu membuat keputusan sendiri yang akan memperbaiki kesehatan individu tersebut. Prinsip edukasi yang harus disampaikan adalah sesuai kebutuhan, diberikan secara bertahap sehingga proses internalisasi dapat tercapai. Memperhatikan kondisi diabetisi seperti tingkat pendidikan, usia, pengetahuan dan persepsi yang dimiliki, budaya hingga kondisi psikologis merupakan hal penting untuk pencapaian informasi. Edukasi yang diberikan untuk diabetisi diantaranya informasi tentang DM, pengendalian gula darah melalui perencanaan makan, latihan jasmani dan obat-obatan, pemantauan gula darah, tanda dan gejala komplikasi akut dan pencegahan komplikasi kronikseperti perawatan kaki. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 16 2.1.5.2. Pengaturan makan Pengaturan makan merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi penyandang DM (diabetisi). Prinsip dari perencanaan makan ini adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individu (Yunir .E & Soebardi, 2009; ADA, 2012). Manfaat yang didapatkan dari perencanaan makan pada penyandang DM antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolikdan diastolic, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, dan pada akhirnya meningkatkan sensitifitas insulin dan mencegah timbulnya kompliksi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hamper sama dengan anjuran makan pada umumnya, yaitu gizi seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi dari masing-masing individu. Penekanan perencanaan makan pada diabetisi adalah pentingnya keteraturan pada jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama pada diabetisi yang menggunakan obat penurun glukosa atau insulin (Sukardji dalam Sugondo, Suwondo, Subekti, 2011; PERKENI, 2011). Komposisi bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi dalam rangka mencapai gizi seimbang terdiri dari makronutrien, yaitu karbohidrat,lemak dan protein, dan mikronutrien yang terdiri dari vitamin dan mineral. Jumlah karbohidrat yang dianjurkan 45 – 65 % dari total asupan energi, protein 10- 20 % dan lemak 20 – 25%. Selain komposisi bahan makanan, jumlah kalori juga merupakan hal yang harus diperhatikan. Setiap individu akan berbeda jumlah kalori yang dibutuhkan. Penghitungan kalori pada penyandang DM disesuaikan dengan jenis kelamin, aktifitas fisik, berat badan, stress metabolic dan kondisi kehamilan. Makanan yang telah disesuaikan komposisi dan kalori, kemudian dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 17 2.1.5.3. Latihan jasmani Latihan fisik atau olah raga pada penyandang diabetisi akan membantu dalam pengendalian gula darah, menurunkan lemak dalam darah, menurunkan berat badan, menjaga kebugaran dan akan meningkatkan sensitifitas insulin. Aktivitas fisik melibatkan kelompok besar otot-otot utamanya yang mempengaruhi peningkatan pengambilan oksigen sehingga terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Prinsip latihan jasmani pada pasien diabetes hampir sama dengan latihan jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti: frekuensi, intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan pada pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam 1 minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (60-70% maximum heart rate), dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani endurans (aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging dan bersepeda. Latihan jasmani yang dipilih adalah latihan yang disenangi oleh pasien (Yunir & Soebardi, 2009). Proses terjadinya pengendalian kadar glukosa darah (penurunan kadar glukosa darah) pada penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani karena meningkatnya ambilan glukosa oleh otot yang bekerja selama latihan jasmani berlangsung dan pada masa pemulihan atau pasca latihan jasmani. Penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani memperoleh sumber energinya berasal dari glukosa dan glikogen otot. Pada saat latihan jasmani berlangsung (kontraksi otot rangka), aliran darah akan meningkat ke daerah otot yang bekerja tersebut untuk membawa bahan sumber energi (glukosa). Kontraksi sel otot merupakan peristiwa berinteraksinya aktin dan miosin yang didahului oleh pelepasan ion kalsium intrasel karena rangsangan persarafan. Kalsium intrasel mengaktifkan sejumlah enzim PKC serine kinase yang diduga menstimulasi molekul transpor glukosa, GLUT4. Peristiwa kontraktil juga mengubah rasio AMP/ATP sehinggga mengaktivasi AMP kinase. AMP Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 18 kinase memfosforilasi dan mengaktivasi enzim NO sintase sehingga meningkatkan produksi NO (Nitrat Oxide) dan menstimulasi peningkatan transport glukosa ke dalam sel otot rangka yang aktif. AMP kinase juga memfosforilasi molekul p38 MAPK yang akan meningkatkan translokasi GLUT4. Peningkatan GLUT4 pada sel otot yang aktif pada penderita DM tipe 2 akan meningkatkan ambilan glukosa dari plasma darah sehingga akan menurunkan kadar glukosa darah. Latihan jasmani menjadi kontraindikasi pada kondisi guladarah > 250mg/dL, terdapat keton yang positif dan gangguan kardiovaskuler. Pada kondisi ini meningkatkan metabolism sehingga meningkatkan kadar gula darah dan benda keton. Tahapan dalam latihan jasmani pada penyandang DM dimulai dengan pemanasan, latihan inti, pendinginan dan peregangan. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti hipoglikemia, maka latihan fisik yang akan dilakukan harus direncanakan & dalam pengawasan. 2.1.5.4. Obat-obatan Terapi farmakologis atau obat, digunakan jika penatalaksanaan melalui pengaturan makan dan latihan fisik, serta perubahan gaya hidup tidak mampu mengendalikan gula darah. DM tipe 2 yang merupakan populasi terbanyak terjadi karena resistensi insulin, penggunaan obat hiperglikemi oral seringkali menjadi pilihan utama. Namun pada kondisi kerusakan sel beta atau untuk mencegah kerusakan lebih lanjut insulin eksogen juga menjadi pertimbangan untuk digunakan (Sugondo, Suwondo, Subekti 2011). a. Obat hiperglikemia oral (OHO) Ada 2 jenis obat hipoglikemik oral diantaranya adalah pemicu sekresi insulin (seperti sulfonylurea dan glinid) dan obat penambah sensitivitas terhadap insulin (biguanid, tiazolidindion, penghambat glukosidase alfa dan incretin mimetic) Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 19 ï‚· Sulfonyluera Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pangkeras untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Sulfonylurea pada umunya diberikan dengan dosis rendah untuk mencegah hipoglikemi. Jenis obat sulfonylurea adalah klorpropamid, glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimepirid. ï‚· Glinid Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 jenis obat seperti repaglinid, dan nateglinid. ï‚· Biguanid Jenis obat ini seperti: metformin dam metformin XR. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular. Metformin tidak dapat menyebabkan penurunan glukosa darah sampai normal sehingga obat ini dikenal juga dengan obat anti hiperglikemik. Kombinasi supfoniluera dengan metformin tanpak memberikan kombinasi yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling aditif. ï‚· Tiazolidindion Golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin/ dapat diberikan secara oral. - Penghambat glukosidase alfa Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. - Golongan incretin memetic Pada pemberian glukosa secara oral, akan didapatkan kenaikan kadar insulin yang lebih besar dari pada pemberian glukosa secara intravena. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 20 b. Insulin Insulin eksogen atau berasal dari luar tubuh diberikan pada semua DM tipe 1. Indikasi pemberian pada DM tipe 2 adalah pada kondisi dimana terapi lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah, terjadi peningkatan metabolism : stress berat, infeksi, pembedahan, MCI dan stroke. Komplikasi akut seperti ketoasidosis, sindrom hiperosmolar non ketotik juga menjadi indikasi penggunaan insulin eksogen (Sugondo, 2011) Berdasarkan cara kerjanya insulin eksogen (puncak kerja dan jangka waktu efeknya), insulin dibagi menjadi empat tipe, yaitu : Insulin kerja singkat(short acting insulin), insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja panjang (long acting insulin). Tabel 2.1. Tipe insulin dan cara kerja Cara Kerja Sediaan Onset Puncak Durasi Rapid acting Humalog (insulin lispro) Novolog ( Insulin Aspart) 5 – 10 menit 1 jam 2–4 jam Short acting Humulin R Novolin R 0,5 – 2 jam 2- 4 jam 4–6 jam Intermediate acting Long acting Humulin N (NPH) Humulin 70/30 2–4 jam 4 – 10 jam 10- 16 jam Humulin U (Ultralente) Lantus ( Insulin glargine) Tidak ada onset dan tidak ada masa puncak kerjanya 2.1.5.5. Monitoring gula darah Monitoring gula darah sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemi atau hiperglikemi, terutama pada orang yang mendapatkan terapi insulin atau OHO yang berdampak pada peningkatan sekresi insulin. Saat ini telah banyak dipasarkan alat monitoring gula darah yang dapat digunakan oleh para penyandang DM. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 21 Monitoring gula darah oleh diabetisi sendiri hasilnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan diabetisi mengenali dan menggunakan alat tersebut. Perawat berperan dalam memberikan edukasi untuk tehnik pemeriksaan hingga pembacaan hasil. Monitoring glukosa oleh diabetisi dapat dilakukan 2–4 kali sehari pada penyandang DM yang mendapat terapi insulin yaitu pagi sebelum makan dan sebelum tidur, atau setiap sebelum makan dan 2 jamsetelah makan. Jika gula darah sudah stabil dapat dilakukan 2–3 kali dalam seminggu. Untuk penyandang DM yang tidak mendapatkan insulin, monitoring dapat dilakukan 2–3 kali seminggu termasuk pemeriksaan 2 jam setelah beban glukosa atau setelah makan (Smeltzer & Bare, 2008). Monitoring gula darah sendiri dianjurkan pada penyandang DM yang guladarahnya tidak terkontro, kejadian hypoglikemia berulang dan wanita hamil dengan hyperglikemia (PERKENI, 2011) 2.1.6. Komplikasi Penatalaksanaan DM yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik yang disebabkan karena penurunan gula darah yang terlalu drastis maupun peningkatan gula darah. Komplikasi yang terjadi bisa bersifat akut maupun kronik. 2.1.6.1. Komplikasi akut a. Hipoglikemia Hypoglikemia adalah terjadinya penuruanan glukosa dalam darah hingga dibawah 60 mg/dL. Pada penyandang DM, hypoglikemia biasanya terjadi peningkatan kadar insulin yang tidak tepat, baik akibat penyuntikan insulin eksogen maupun konsumsi OHO dengan aksi peningkatan sekresi insulin seperti sulfonylurea. Hipoglikemi merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kegawatan hingga kematian. Hal ini terjadi karena glukosa merupakan komponen penting yang dibutuhkan untuk metabolism sistim saraf pusat (otak). Pada gangguan asupan glukosa yang berlangsung dalam beberapa menit, akan menyebabkan gangguan pada fungsi saraf pusat dengan gejala mulai dari gangguan koknisi, penurunan kesadaran hingga koma. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 22 Mekanisme tubuh dalam kondisi hipoglikemia yaitu dengan melepaskan neuroendokrine dan mengaktifkan sistim saraf otonom. Penekanan produksi insulin, produksi glucagon dan epinephrine merupakan pencegahan terhadap hipoglikemia lanjut. Peniningkatan epinephrine akan menimbulkan manifestasi palpitasi, cemas, diaphoresis, lapar dan pucat (Lewis, 2011). Tanda dan gejala hipoglikemia, menurut Sugondo, dkk, 2011 dapat dibagi dalam 4 stadium, yaitu - Stadium parasimpatik : lapar, mual dan tekanan darah menurun - Stadium gangguan otak ringan : lemah,lesu, sulit bicara, gangguan koknitif seperti kesulitan menghitung - Stadium Simpatik : keringat dingin pada area wajah dan ekstremitas yang disertai dengan berdebar-debar - Stadium gangguan otak berat : koma dengan atau tanpa kejang. Pencegahan hipoglikemia dapat dilakukan dengan member edukasi kepada diabetisi mengenai OHO atau insulin yang digunakan: kapan harus dikonsumsi,bagaimana penyuntikan insulin yang benar seperti lokasinya, waktunya, dosis dan tehnik penyuntikan. Pengaturan makan sesuai jumlah, jenis dan jadwal penjadi pokok utama pencegahan. Pengenalan terhadap gejala hipoglikemia dan penanganan awal juga merupakan hal penting yang harus diketahui penyandang DM, sehingga tidak jatuh kepada hipoglikemia tahap lanjut. Jika hipoglikemia sudah terjadi maka, pengobatan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan otak lebih lanjut (Soegondo 2011), yaitu : - Stadium awal : masih komposmentis, dapat diberikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau sirup, permen dan makanan yang mengandung karbohidrat mudah cerna dan insulin atau OHO tidak diberikan. - Stadium koma hipoglikemia : segera dibawa ke pelayanan kesehatan. Pemberian glukosa 40 % sebanyak 2 flakon intravena setiap 10- 20 menit hingga pasien sadar, disertai pemberian cairan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 23 dextrose 10% perinfuse 6 jam/kolf dengan pemantauan gula darah setiap 30 menit. b. Ketoasidosis Ketoasidosis Diabetikum (KAD) juga merupakan komplikasi akut yang menyebabkan kondisi kegawatan sehingga membutuhkan pengelolaan yang cepat. KAD suatu keadaan dekompensasi dan kekacauan metabolic yang ditandai dengan hyperglikemia, asidosis dan ketosis dan gejala dehidrasi (Suwondo P, 2009; Lewis, 2011, LeMone, 2011). Walaupun KAD lebih mudah terjadi pada DM tipe 1, namun tidak sedikit penyandang DM tipe 2 juga mengalami komplikasi KAD dan 20 % dari pasien KAD, baru diketahui menderita DM. Faktor pencetus terjadinya KAD adalah infeksi, MCI, pancreatitis akut, penggunaan obat steroid dan menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Proses terjadinya KAD dapat diawali dengan defisiensi insulin absolute maupun relative mengakibatkan sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa. Sistem homeostasis tubuh teraktivasi sehingga cadangan glukosa dihati dan otot dikeluarkan. Kondisi ini menyebabkan hiperglikemia yang berat. Selanjutnya terjadi hormone kontraregulator meningkat terutama epinephrine yang akan merangsang aktivasi hormone lipase sensitive, lipolisis meningkat, benda keton dan asam lemak bebat juga akan meningkat dalam darah. Akumulasi benda keton ini akan menyebabkan asidosis metabolic. Gejala dehidrasi terjadi diawali dengan glycosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolite-seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan shock hypovolemik. Asidosis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (peranafasan Kussmaul). Muntah-muntah juga Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 24 biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolite. Diagnosis KAD dapat ditegakkan berdasarkan pada nilai gula darah lebih dari 250 mg/dL, pH darah kurang dari 7,35, HCO3 rendah dengan anion gap yang tinggi dan keton serum positif. Pemeriksaan lain sebagai penunjang dari manifestasi yang ditimbulkan yaitu pemeriksaan elektrolit, urium creatinin, dan penghitungan osmolaritas. Penatalaksanaan KAD dilakukan berdasarkan patofisiologi dan pathogenesis penyakit. Diperlukan pengelolaan yang intensive dengan prinsip pengelolaan KAD, yaitu : penggantian cairan dan elektrolit yang hilang, menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin, mengatasi pencetus KAD, mengembalikan kekondisi fisiologis dengan pemantauan glukosa. - Penggantian cairan (rehidrasi) : Cairan yang digunakan adalah NaCl 0,9%. Diberikan 1- 2 liter pada jam pertama, kemudian jam kedua diberikan 1 liter, setelah itu cairan diberikan sesuai dengan tingkat dehidrasi. Rehidrasi pada KAD selain memperbaiki perfusi jaringan, juga akan menurunkan hormone kontraregulator insulin. - Insulin : insulin mulai diberikan dalam bentuk bolus pada jam ke 2, dengan dosis 180 mU/KgBB, dilanjutkan dengan drip 90 mU/KgBB dalam NaCl 0,9%. Bila gula darah stabil dalam 12 jam (200 – 300 mg/dL), dilanjutkan dengan drip insulin 1 – 2 ui/jam dan dilakukan penyesuaian insulin setiap jam. Pemberian insulin pada KAD ini bertujuan menurunkan konsentrasi hormone glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas, pelepasan asam amino dan meningkatkan penggunaan insulin oleh sel. - Kalium : hipokalemia bisa terjadi pada KAD karena perpindahan ion K,dari dalam sel keluar sel yang pada akhirnya keluar melalui urine karena proses dehidrasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 25 c. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) HHNK merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama didapatkan adanya dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan dapat disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Faktor pencetus timbulnya HHNK diantaranya infeksi, pengobatan, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta seperti tumor yang menghasilkan hormone adeokortikotropin, pancreatitis dan lainnya. Pada usia lanjut dengan DM HHNK lebih mudah terjadi khususnya lansia dengan penyakit penyerta dan asupan nutrisi yang kurang. Proses perjalanan HHNK sama dengan KAD dimana tidak tercukupinya insulin akan mengakibatkan hiperglikemia yang pada akhirnya terjadi dieresis osmotik. Kehilangan cairan intravascular akan menyebabkan keadaan hiperosmolar yang akan memicu sekresi hormone anti diuretic, rasa haus yang berkepanjangan akan dirasakan oleh pasien. Kehilangan cairan yang tidak terkompensasi akan menimbulkan penurunan perfusi jaringan hingga koma. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis adanya HHNK diantaranya adalah kadar glukosa darah yang > dari 600mg/dL, osmolaritas serum yang tinggi >320 mOsm perkg air, pH > 7.30, dapat ditemukan adanya ketonemia ringan atau tidak ditemukan. Sebagian pasien menunjukan asidosis metabolic dengan anion gap ringan hingga berat. Konsentrasi BUN dan kreatininsering kalimeningkat yang menggambarkan adanya penurunan fungsi ginjal akibat dehidrasi dan akan terjadi penurunan elektrolit. Penatalaksanaan HHNK yang pertamaadalah rehidrasi dengan agresif menggunakan cairan NaCL 0,9 % dimulai dari 1 liter setiap jam. Pemberian elektrolit khususnya kalium yang hilang bersama pengeluaran cairan. Pemantauan terhadap kondisi aritmia sebagai Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 26 akibat hypokalemi harus dilakukan. HHNK diawali dengan ketidak cukupan kebutuhan insulin, sehingga pemberian insulin sangat penting. Pemberian insulin ini dilakukan setelah kondisi kekurangan cairan tubuh teratasi. 2.1.6.2. Komplikasi Kronik Kelainan metabolik pada DM tipe 2 dalam waktu yang lama dapat menyebabkan perubahan berbagai organ pada tubuh dan bersifat irreversible. Hiperglikemia menyebabkan glukosa direduksi menjadi sorbitol dalam sel yang mengandung enzim aldoreduktase. Sorbitol bersifat hidrofilik sehingga tidak dapat melewati membran sel sehingga meningkatkan akumulasi poliol intrasel sehingga sel menjadi bengkak dan mengalami kerusakan akibat proses osmotik (Waspadi dalam Sudoyo, 2009; Sibernagl & Lang, 2007). Hiperglikemia menyebabkan kerusakan jaringan melalui terbentuknya glikosilasi antara glukosa dengan protein non-enzimatik Advance Glycocilation End Products (AGES) yang berikatan dengan reseptor membran sel serta adanya pembentukan radikal bebas reactive oxygen species (ROS) yang dapat mengakibatkan pengendapan kolagen pada membran basalis pembuluh darah, kerusakan endothelium, penyempitan lumen dan penurunan permiabilitas pembuluh darah (Scott, Gronowski, Eby, 2007; Waspadji dalam Sudoyo, 2009). Kerusakan dinding pembuluh darah kecil dapat menyebabkan neuropati, nefropati dan retinopati. Neuropati disebabkan akibat penumpukan sorbitol pada sel schwan dan neuron sehingga mengganggu konduksi sel-sel saraf yang mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom, sensori dan refleks. Neuropati ditandai dengan adanya penurunan fungsi serabut saraf secara progresif. Neuropati merupakan komplikasi yang banyak terjadi pada DM dan diperkirakan terjadi pada 50% pasien DM baik tipe 1 maupun tipe 2 (Lin, 2011). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 27 Nefropati berhubungan dengan adanya glomerulosklerosis yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus, proteinuria, hipertensi dan gagal ginjal. Terjadinya gagal ginjal pada pasien DM tipe 2 dapat berhubungan dengan adanya penurunan Angiotensin Concerting Enzyme (ACE 2) yang berperan dalam melindungi ginjal (Reich, Oudit, Penninger, Scholey, & Herzenberg, 2008). Menurut Batuman resiko terjadinya nefropati diabetik dapat dialami pasien yang mengalami DM lebih dari 30 tahun. Retinopati disebabkan adanya penumpukan sorbitol pada lensa mata yang mengakibatkan penarikan cairan dan perubahan kejernihan lensa mata (Bate & Jerums, 2003). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan pada kelompok usia 25-74 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar 700.000 orang mengalami retinopati diabetik proliferasi dengan setiap tahunnya terdapat 65.000 kasus. Prevalensi retinopati diabetik di Amerika Serikat menunjukkan angka cukup tinggi yaitu sekitar 28.5% yang terutama terjadi pada pasien DM dengan usia diatas 40 tahun (Bhavsar, 2011). Hiperglikemia juga menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah yang besar yang berhubungan dengan terjadinya infark miokard, stroke dan penyakit pembuluh darah tepi. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan pembentukan protein plasma yang mengandung glukosa seperti fibrinogen, haptoglobin, macroglobulin alpha 2 dan faktor pembekuan V-VIII yang cenderung mengakibatkan peningkatan pembekuan dan viskositas darah yang mempermudah terjadinya trombosis. Trombosis yang disertai dengan peningkatan kadar kolesterol Very Low Density Lipoprotein (VLDL) akan menyebabkan makroangiopati yang memicu terjadinya penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer (Ignatavicius & Workman, 2010). Pasien DM tipe 2 memiliki resiko tinggi untuk mengalami gagal jantung. Kemungkinan mekanisme yang menjelaskan tentang hubungan DM tipe 2 dengan penyakit jantung adalah adanya peningkatan tekanan darah dan efek dari Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 28 metabolisme seperti hiperinsulinemia dan hiperglikemia (Gholap, Davies, Patel, Sattar, & Kunthi, 2011). Komplikasi kronik yang banyak terjadi akibat adanya komplikasi pada makrovaskuler, mikrovaskuler maupun neuropati adalah komplikasi pada kaki atau kaki diabetic. Kaki diabetic didefinisikan sebagai kaki pada pasien diabetes yang rentan terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari diabetes. Kaki diabetic ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy), berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,2008; Waspadji, 2009; Turn, 2011). Seperti dijelaskan pada definisi bahwa terjadinya kaki diabetik disebabkan selain oleh adanya gangguan vaskuler, gangguan saraf perifer, juga dapat disebabkan adanya deformitas musculoskeletal maupun infeksi. Proses terjadinya kaki diabetic dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Neuropathy Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol, sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 29 bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyunghuyung. Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat perubahan neuropatik (Smeltzer & Bare, 2008). b. Mikrovaskuler (mikroangiopathy) Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 30 reseptornya masing-masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009). c. Deformitas Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya artropati Charcot. d. Infeksi Penyandang Diabetes pada jangka waktu lama akan mengalami penurunan pada system imunitas. Penurunan system imun dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu : kerusakan fungsi polimorphonuclear leukosit, neuropathi diabetic dan penurunan vaskuler. Gangguan vaskuler akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi sel darah putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak dan ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat. Pada kondisi ini penyandang diabetes akan mudah Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 31 mengalami infeksi terutama pada kaki yang mengalami luka (Hawks & Black, 2010) 2.2. Asuhan Keperawatan Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy 2.2.1.Dasar Teori adaptasi Roy Sister Calissta Roy lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, seorang profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai mengembangkan teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964. Roy mengembangkan suatu model yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Model adaptasi Roy berasal dari pemikiran Roy yang sangat terkesan dengan ketahanan anak-anak terhadap perubahan mayor fisik dan psikososial saat dirawat di bangsal pediatric. Dimulai dari seminar dengan Dorothy E. Jhonson untuk mempresentasikan suatu model keperawatan dan kemudian dilanjutkan dengan berdasar pada teori adaptasi Helson (1964), maka Roy kemudian menghasilkan suatu teori yang disebut model adaptasi. Ada beberapa ahli yang memberikan pengaruh atau berkontribusi terhadap perkembangan teoritis model adaptasi Roy, para ahli tersebut antara lain Helson (Helson’s Adaptation Theory), Rapoport (Rapoport’s Definition), Dohrenwend, Lazarus, Mechanic, Selye, Marie Direver (Self Integrity), Martinez and sato (common and primary stimuli affecting the modes), Poush Tedrow and Van Landingham (Interdependence mode), Randel (Role Function Mode) (Tomey & Alligood, 2006). Pada awalnya, Roy mendiskusikan tentang konsep diri dan identitas kelompok dengan menggunakan teori interaksi social sebagai dasar teori, salah satu contoh penggunaan teori tersebut adalah persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh respon dari orang lain. Selain itu Sullivan juga mempengaruhi Roy untuk membuktikan bahwa seseorang itu muncul dari interaksi social yanga ada. Gardner dan Erickson, 1984 dalam Tomey & Alligood, 2006 juga berpengaruh pada mode yang lain, yaitu fisik-psikologis, fungsi peran dan interdependensi untuk memahami bahwa manusia juga berasal dari komponen biologis dan behavioral. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 32 2.2.2.Asumsi-Asumsi Utama Roy (1988 dalam Roy & Andrews, 1999) mengidentifikasi asumsi spesifik pada dua prinsip filosofi yaitu asumsi humanism dan veritivity. Asumsi humanism mengatakan bahwa manusia dan pengalamannya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengetahui dan menilai sesuatu untuk membentuk suatu kekuatan kreatif, sedangkan asumsi veritivity mengatakan tentang keyakinan pada tujuan, nilai dan arti dalam kehidupan manusia Roy (1988 dalam Roy & Andrew, 1999). Selain itu terdapat asumsi keilmuan yang berasal dari gabungan teori system dan teori level adaptasi. Teory system mengatakan bahwa system adaptasi manusia terlihat dari interaksi dan tindakan untuk mencapai suatu tujuan di dunia ini. Sedangkan system adaptasi manusia sangatlah kompleks, dengan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan stimulus dari lingkungan, manusia mempunyai kemampuan untuk merubah lingkungan sekitarnya. Dalam memahami konsep adaptasi, Roy (Roy & Andrew,1999 dalam Tomey & Alligood, 2006) mengembangkan 5 asumsi dasar dalam model adaptasi ini, yaitu adaptasi, keperawatan, manusia/individu, kesehatan dan lingkungan. 2.2.2.1. Adaptasi Adaptasi adalah suatu proses dan hasil, dimana manusia adalah sebagai individu dalam satu kelompok yang menggunakan kesadaran penuh dan pilihan untuk membentuk suatu integrasi antara manusia dan lingkungan. Untuk mempertahankan integritas, individu berespon terhadap stimulus dari lingkungan. 2.2.2.2. Keperawatan Keperawatan sebagai suatu profesi pelayanan kesehatan yang berfokus pada proses dan pola hidup manusia serta menekankan terhadap promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sebagai suatu kesatuan. Roy mengidentifikasikan aktifitas keperawatan sebagai suatu pengkajian terhadap perilaku dan stimulus yang mempengaruhi adaptasi. Keputusan dalam perawatan berdasarkan pada pengkajian dan perencanaan yang disusun untuk mengatur stimulus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 33 yang masuk. Pada akhirnya, tujuan Roy dalam keperawatan adalah promosi adaptasi individu dan kelompok pada setiap mode (physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode) yang berkontribusi terhadap kondisi sehat, kualitas hidup dan meninggal dengan tenang. Keperawatan mempunyai peran yang unik yaitu sebagai fasilitator untuk beradaptasi dengan mengkaji perilaku pada tiap mode dan faktorfaktor yang mempengaruhi adaptasi dengan cara ikut andil untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi dan meningkatkan interaksi lingkungan. 2.2.2.3. Manusia. Menurut Roy manusia adalah individu yang holistic, sebagai mahluk adaptif terhadap lingkungan yang ada. Sebagai system adaptif, manusia didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari beberapa bagian yang berfungsi secara menyeluruh untuk mencapai suatu tujuan. Individu sebagai suatu system meliputi manusia sebagai individu atau kelompok baik itu keluarga, organisasi, komunitas atau masyarakat dalam suatu kesatuan secara menyeluruh. Manusia mempunyai kemampuan untuk berfikir, merasakan, menyadari dan mengartikan sesuatu untuk merubah lingkungan dan pada akhirnya mempengaruhi lingkungan. Dengan kata lain manusia dipandang sebagai mahluk bio-psiko-sosialspiritual yang holistik dalam segenap aspek individu dengan bagianbagiannya yang berperan bersama membentuk kesatuan, ditambah manusia sebagai sistem yang hidup berada dalam interaksi yang konstan dengan lingkungannya. Dalam keperawatan, Roy mendefinisikan manusia sebagai focus utama, penerima asuhan keperawatan, sebagai system adaptif yang hidup dan sangat kompleks dengan aktifitas proses internal (kognator dan regulator) untuk mempertahankan adaptasi pada 4 lini mode (physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 34 2.2.2.4. Sehat Sehat adalah suatu kondisi dan suatu proses untuk menjadi manusia yang utuh dan berintegrasi (satu). Sehat merupakan suatu refleksi dari adaptasi, yaitu interaksi antara individu dan lingkungan. Definisi ini muncul dengan pemikiran bahwa adaptasi adalah suatu proses dukungan fisik, psikologis dan integritas social menuju suatu kesatuan dan keutuhan. Pada awalnya, Roy menampilkan kondisi sehat sebagai suatu kondisi yang berkelanjutan dari kondisi mati dan rendahnya status kesehatan menuju kondisi yang lebih baik dan sejahtera, untuk selanjutnya Roy memfokuskan pada asumsi bahwa sehat adalah suatu proses dimana kesehatan dan kematian selalu beriringan. Roy menyatakan bahwa sehat bukanlah bebas dari menghindari kematian, penyakit, kesedihan dan stress, tetapi lebih pada kemampuan untuk mengatasi semua hal tersebut dengan cara yang kompeten. Sehat dan sakit adalah kondisi yang tidak terelakkan karena merupakan dimensi hidup dan pengalaman hidup manusia. Ketika mekanisme koping seseorang tidak efektif, maka jatuhlah individu pada kondisi sakit, tetapi ketika seseorang dapat beradaptasi secara terus menerus maka orang tersebut sehat. Sebagai individu yang beradaptasi terhadap stimulus yang ada, individu mempunyai kebebasan untuk merespon terhadap stimulus lainnya. 2.2.2.5. Lingkungan. Lingkungan adalah semua kondisi, keadaan, situasi yang mempengaruhi pembentukan perilaku individu atau kelompok dengan fakta yang mempertimbangkan kualitas sumber daya alam dan manusia yang terdiri dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Perubahan lingkungan akan menstimulasi seseorang untuk berespon secara adaptif. Antara sistem dan lingkungan terjadi pertukaran informasi, materi dan energi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 35 Sebagai suatu system terbuka, manusia menerima input atau stimulus dari dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan adaptasi ditentukan oleh efek yang tergabung dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi terjadi ketika seseorang berespon positif terhadap perubahan lingkungan, dimana respon adaptif ini meningkatkan integritas seseorang untuk mencapai suatu kondisi sehat. Sebaliknya, jika responnya tidak efektif maka akan terjadi gangguan integritas seseorang. Di bawah ini bentuk diagram yang digunakan Roy untuk menggambarkan sistem adaptasi manusia dalam bentuk sistem yang terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan balik: Input Tingkat adaptasi (stimulus fokal, konstektual dan residual Proses kontrol Efektor Mekanisme koping (Regulator Kognator) Fungsi fisiologis Konsep diri Fungsi peran interdependensi Output Respons adaptif dan inefektif Feeback Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy Dari gambar di atas terdapat 2 subsistem di model adaptasi Roy, pertama yaitu fungsional atau subsistem proses kontrol yang terdiri dari regulator dan kognator. Yang kedua adalah subsistem effector yang terdiri dari 4 mode adaptif, yaitu 1) kebutuhan fisik, 2) konsep diri, 3) fungsi peran, dan 4) interdependence. Berikut keterangan gambar 2.1 tentang manusia sebagai suatu system adaptif: a. Input Roy mengidentifikasikan bahwa input merupakan stimulus yang terdiri dari informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon dimana dibagi dua dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual. ï‚· Stimulus fokal Stimulus yang dihadapi saat ini yang memerlukan waktu cepat untuk respons adaptasi atau stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang dan efeknya segera dirasakan, misalnya infeksi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 36 ï‚· Stimulus kontekstual Semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diamati, diukur serta dapat dilaporkan secara subyektif. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal seperti isolasi sosial. ï‚· Stimulus residual Faktor internal yang dimiliki individu yang memungkinkan mempengaruhi perilaku, misalnya: keyakinan, sikap, pengalaman masa lalu yang disebut koping. b. Kontrol (proses) Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk dari mekanisme yang Roy gunakan. Mekanisme kontrol ini terdiri dari regulator dan kognator yang merupakan bagian dari subsistem koping. ï‚· Sub sistem regulator Sub sistem regulator berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis, dimana terdapat respon otomatis terhadap perubahan lingkungan melalui proses neuro chemical endocrine coping proses. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator sub sistem. ï‚· Sub sistem kognator Kognator berhubungan dengan mode adaptive konsep diri; interdependensi dan fungsi peran dimana respon yang muncul melalui 4 canel kognitif-emosi, yaitu proses persepsi terhadap suatu informasi, belajar, penilaian dan emosi, proses ini terjadi dalam otak. c. Output Output atau keluaran dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diukur, diamati atau secara subyektif dapat dilaporkan baik dari dalam maupun luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy membagi output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang mal adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 37 kelangsungan hidup, perkembangan dan reproduksi. Sedangkan respon yang mal adaptif adalah perlaku yang tidak mendukung dalam tujuan ini. Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai sisten adaptif. Beberapa mekanisme koping ditentukan secara genetik (misalnya leukosit) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang dapat menyerang tubuh. Mekanisme lain yang dapat dipelajari seperti pengunaan antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan kognator dimana mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi. Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator sub sistem sering bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh individu itu sendiri serta mekanisme koping yang digunakan. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal megembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespons secara positif. Untuk sub sistem regulator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol sehingga sangat terbuka untuk melakukan penelitian tentang respons kontrol dari sub sistem kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya konsep ini mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor yaitu 4 (empat) model adaptasi yang terdiri dari: a. Kebutuhan Fisiological Kebutuhan fisiologi meliputi interaksi manusia dengan lingkungan dan kesepakatan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain cairan dan elektrolit, latihan dan istirahat, eliminasi, nutrisi, sirkulasi dan oksigen serta regulasi yang berhubungan dengan perasaan, suhu dan regulasi endokrin. b. Konsep Diri Konsep diri merupakan satu dari tiga mode psikososial yang berfokus pada psikologis dan spiritual sebagai aspek dari system manusia. Terbentuk dari persepsi internal dan persepsi dari orang lain. Terdiri dari body sensation yaitu bagaimana seseorang merasakan keadaan fisiknya, body image, bagaimana seseorang memandang fisik dirinya, self consistency, bagaimana upaya seseorang untuk memelihara dirinya dan menghindari dari ketidakseimbangan, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 38 dan moral etic spiritual self yang merupakan keyakinan seseorang dan evaluasi dirinya. c. Fungsi Peran Fungsi peran ini bagaimana mengenal pola interaksi social seseorang. Peran ini direfleksikan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer merupakan peran utama yang ditentukan oleh jenis kelamin, usia, dan tahap perkembangan. Peran sekunder merupakan tugas yang harus diselesaikan berdasarkan tugas perkembangan dan peran primernya. Peran tersier merupakan peran yang bersifat sementara, bebas untuk dilakukan, aktivitas dapat berupa hobi. Tujuan dari adaptasi fungsi peran ini adalah integritas social (Tomey & Alligood, 2006) d. Saling Ketergantungan (interdependency) Mode ini menunjukan mekanisme koping pada individu yang saling berhubungan dan menghasilkan rasa saling mencintai, menghargai dan saling membutuhkan. Hubungan ini biasanya terjadi antara individu dengan support sistemnya. Hasil dari mekanisme koping dari ke 4 mode ini adalah adaptif atau inefektif. Respon adaptif ditunjukan dengan meningkatnya integritas seseorang yang meliputi intergritas fisik, psikologi dan sosial. Sebaliknya, jika integritas ini tidak tercapai, maka respon inefektif yang akan didapatkan. 2.2.3. Asuhan keperawatan menurut Model Adaptasi Roy 2.2.3.1. Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu : a. Pengkajian perilaku (behavior) Pengkajian perilaku (behavior) merupakan langkah pertama proses keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku pasien adaptif atau inefektif. Perilaku yang diamati terdiri dari dua hal yaitu perilaku yang dapat diobservasi dan perilaku yang tidak dapat diobservasi, seperti keluhan pasien. Pengkajian tipe perilaku yang dapat diobservasi diperoleh dengan cara dilihat, didengar, dan/atau diukur. Apabila ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi normal Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 39 maka hal ini mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu dapat disebabkan oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006). Data perilaku yang diamati meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1) fisiologis, yang terdiri dari pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensori/ pengindraan, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis, fungsi endokrin; 2) konsep diri, meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi peran, meliputi proses transisi peran, perilaku peran, integrasi peran, pola penguasaan peran, dan proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola memberi dan menerima, dan strategi koping perpisahan dan kesendirian. b. Pengkajian stimulus merupakan tahap dua untuk mengetahui factor yang mempengaruhi perilaku yang ditunjukan oleh individu. Faktor yang mempengaruhi ini disebut juga dengan stimulus dan stimulus dapat internal dan eksternal yang mencakup semua kondisi, keadaan dan mempengaruhi sekeliling dan/atau mempengaruhi perkembangan dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi antara lain kultur (status sosial ekonomi, etnis, dan sistem keyakinan); keluarga (struktur dan tugas-tugas); tahap perkembangan (faktor usia, jenis, tugas, keturunan, dan genetik); integritas mode adaptif (fisiologis yang mencakup patologi penyakit, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi); efektivitas kognator (persepsi, pengetahuan, ketrampilan); pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan internal atau eksternal, pengelolaan medis, menggunakan obat-obat, alkohol, tembakau). Pengkajian stimulus diarahkan pada stimulus fokal, kontekstual, dan residual. 2.2.3.2. Diagnosa Keperawatan Menurut Roy & Andrews, 1999 diagnosa keperawatan merupakan proses penilaian yang menghasilkan pernyataan status adaptasi seseorang. Sebelum dilakukan penetapan diagnosa keperawatan semua data sudah terkumpul. Data perilaku merupakan hasil dari pengamatan, pengukuran, dan laporan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 40 subjektif. Data lain adalah penyataan tentang stimulus fokal, kontekstual, dan residual yang mempengaruhi data perilaku tersebut. Selanjutnya Roy menggambarkan tiga metode dalam menegakkan diagnose keperawatan. Metode pertama menggunakan tipologi diagnose berhubungan dengan empat mode adaptasi. Metode kedua dalam menegakkan diagnose, dengan mengobservasi tingkah laku yang berhubungan dengan stimulus, baik fokal, konstektual maupun residual. Metode yang ketiga merupakan kesimpulan satu atau lebih model adaptasi yang berhubungan dengan stimulus. 2.2.3.3. Penetapan tujuan keperawatan. Keperawatan terdiri dari dua yaitu : tujuan keperawatan dan aktivitas keperawatan. Tujuan keperawatan adalah mempertinggi interaksi manusia dengan lingkungan. Jadi peningkatan adaptasi dalam tiap empat cara adaptasi yaitu : (1) fungsi fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran dan (4) interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan integritas adaptasi dan berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup dan kematian dengan damai. Tujuan keperawatan tercapai ketika stimulus fokal berada dalam suatu area adaptasi yang adaptif. Ketika stimulus fokal berada pada area tersebut, manusia dapat membuat suatu penyesuaian diri atau berespons adaptif. Hal tersebut membebaskan individu dari koping yang tidak efektif dan memungkinkan individu untuk merespon stimulus yang lain. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat mencapai peningkatan penyembuhan dan kesehatan. Jadi peranan penting adaptasi sangat ditekankan pada konsep ini. Tujuan dari adaptasi adalah membantu perkembangan aktivitas keperawatan yang digunakan pada proses keperawatan meliputi : pengkajian, diagnosa keperawatan, tujuan, intervensi dan evaluasi. Adaptasi model keperawatan menetapkan “data apa yang dikumpulkan, bagaimana mengidentifikasi masalah dan tujuan utama, pendekatan apa yang dipakai dan bagaiman mengevaluasi efektifitas proses keperawatan”. Setelah dilakukan pengkajian terhadap perilaku, stimulus, dan diformulasikan ke dalam diagnosa keperawatan maka langkah selanjutnya adalah penentuan tujuan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 41 keperawatan. Penetapan tujuan keperawatan diartikan sebagai pembuatan pernyataan yang jelas dari keluaran perilaku (behavior outcomes) dari pelayanan keperawatan. Ada tiga hal yang dimuat dalam pernyatan tujuan keperawatan yaitu perilaku (behavior), perubahan yang diharapkan (change expected), dan kerangka atau rentang waktu (time frame). Setelah itu tujuan keperawatan jangka pendek dan jangka panjang ditentukan. 2.2.3.4. Intervensi dan implementasi Menurut Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006 tujuan dari intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi perilaku adaptif. Intervensi direncanakan untuk mengelola stimulus. Sebagai stimulus, intervensi berfokus bagaimana tujuan dapat dicapai. Fokus intervensi adalah mengarah pada suatu stimulus yang mempengaruhi suatu perilaku. Pengelolaan stimulus meliputi merubah, meningkatkan, menurunkan, memindahkan, menghilangkan, dan/atau mempertahankannya. Merubah stimulus memperkuat kemampuan mekanisme koping seseorang untuk berespon secara positif dan hasilnya adalah perilaku adaptif. Langkah dalam menyusun intervensi keperawatan meliputi penetapan atas empat hal yaitu 1) apa pendekatan alternatif yang akan dilakukan; 2) apa konsekuensi yang akan terjadi; 3) apakah mungkin tujuan tercapai oleh alternatif tersebut; dan 4) nilai alternatif itu diterima atau tidak. Intervensi keperawatan ini dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain (pasien, keluarga, dan tim kesehatan). Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari intervensi keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan memulai langkah-langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat. Implementasi keperawatan dilaksanakan terus menerus sesuai dengan perkembangan pasien. Implementasi dapat berubah-ubah dalam cara, teknik, dan pendekatan yang tergantung pada perubahan tingkat adaptasi pasien. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 42 2.2.3.5. Evaluasi Evaluasi merupakan penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan. Oleh karena itu, evaluasi tersebut menjadi refleksi dari tujuan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan suatu intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Tomey & Alligood, 2006) 2.3. Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Diabetes Mellitus Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya Diabetes Mellitus menggunakan model adaptasi Roy dirasakan tepat. Roy menekankan pada kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap stimulus yang didapatkan. Diabetes mellitus merupakan gangguan endokrin yang akan terus ada dalam tubuh penyandang DM, namun gangguan yang ditimbulkan dapat dikontrol. Model adaptasi yang dikembangkan oleh Roy, merupakan salah satu proses yang dapat digunakan oleh individu untuk berada pada kondisi terkontrol. Sebagai system terbuka, penyandang DM akan selalu mendapatkan stimulus baik fokal, kontekstual maupun residual. Untuk dapat beradaptasi terhadap stimulus tersebut, maka perawat berupaya meningkatkan koping yang dimiliki penyandang DM tersebut dengan berbagai intervensi untuk berupaya meningkatkan regulator dan kognator. Pada akhirnya diharapkan penyandang DM dapat beradaptasi secara penuh (integrity), compensatory, maupun adaptasi pada tingkat compromised. Berikut ini akan diuraikan asuhan keperawatan pada pasien DM dengan pendekatan model adaptasi Roy. 2.3.1. Pengkajian Pengkajian merupakan langkah pertama di dalam proses keperawatan. Model adaptasi Roy mengembangkan pengkajian dengan dua tahap. Tahap pertama dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perilaku pada empat mode yaitu : fisiologis, konsep diri, peran dan interdependen. Tahap kedua Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 43 menganalisis stimulus yang mempengaruhi. Stimulasi ini terdiri dari stimulasi fokal, kontekstual dan residual. Berikut ini diuraikan pengkajian pada pasien DM dengan pendekatan model adaptasi Roy meliputi pengkajian perilaku dan stimulus 2.3.1.1. Pengkajian Perilaku a. Mode Fisiologi - Oksigenasi ( Roy & Andrew, 1999; Smeltzer & Bare, 2008; Doenges, 2010; Lewis, 2011; LeMone, 2011) Perilaku yang ditunjukan pada kebutuhan oksigenasi pada pasien DM meliputi perilaku pada fungsi pernafasan dan fungsi sirkulasi. Fungsi pernafasan meliputi dikelompokkan dalam mekanisme ventilasi, difusi dan perfusi. Fungsi sirkulasi meliputi fungsi jantung dan transportasi oksigen. - Fungsi pernafasan pada pasien DM kemungkinan akan didapatkan perubahan perilaku seperti : adanya keluhan batuk dengan atau tanpa sputum yang purulent, sesak nafas. Dari hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya tachipnea, pernafasan khussmaul, adanya ronchi atau wheezing, sputum yang berwarna jernih, kuning atau kehijauan. - Fungsi sirkulasi kemungkinan akan di dapatkan keluhan claudicatio, kesemutan pada ekstemitas, luka yang lama sembuh pada area kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tachycardia, tekanan darah kemungkinan normal, hipertensi, atau perubahan tekanan darah pada posisi. Adanya irama jantung yang tidak teratur (dysritmia), penurunan nadi yang menurun atau tidak teraba terutama pada area kaki (dorsalis pedis dan posterior tibialis), nilai ABI normal, rendah atau tinggi. Pada pengukuran tekanan vena jugularis didapatkan hasil yang meningkat (pada komplikasi gagal jantung), kulit kering, hangat, kemerahan, bola mata cekung yang merupakan tanda adanya dehidrasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 44 Perubahan dari hasil pemeriksaan diagnostic merupakan perubahan perilaku yang dapat diamati. Hasil laboratorium yang dapat terjadi pada pasien dengan DM diantaranya ; perubahan pada nilai Hb kemungkinan didapatkan adanya penurunan nilai Hb. Nilai analisa gas darah, pada kasus KAD menunjukan adanya asidosis metabolic. Gangguan pada sirkulasi maupun pernafasan dapat dilihat dari pemeriksaan radiologi, seperti foto thorak. Adanya gambaran infeksi pada paru dansaluran pernafasan, adanya pembesaran jantung sebagai manifestasi komplikasi DM pada system kardiovaskuler dan pernafasan. Selain dari foto thoraks, EKG dapat digunakan untuk melihat adanya gambaran iskemik pada otot jantung dan penurunan kontraktilitas otot jantung. Pemeriksaan USG Doppler arteri dapat digunakan untuk menilai vaskularisasi kearah perifer (kaki). - Aktifitas dan Istirahat Keluhan yang dirasakan pada pasien DM terkait dengan kebutuhan aktifitas dan istirahat diantaranya adanya gangguan tidur dan istirahat salah satu penyebabnya adalah ketidaknyamanan (nyeri, sesak) dan poliuria. Keluhan lain seperti mudah lelah, kelemahan umum, kesulitan berjalan atau berubah posisi (dampak adanya ulkus atau perubahan struktur kaki). Pada otot pasien DM biasanya mempunyai keluhan penurunan kekuatan otot, maupun kram otot. Pemeriksaan fisik untuk menilai perubahan perilaku pada kebutuhan aktifitas istirahat ini akan didapatkan diantaranya : perubahan denyut nadi dan pernafasan (lebih cepat) saat istirahat atau setelah aktifitas, adanya kelemahan umum dan penurunan kesadaran. Pada otot terjadi penurunan kekuatan dan tonus otot. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 45 Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai perilaku ini diantaranya radiologi (foto) untuk area kaki. - Nutrisi Perubahan perilaku dari kebutuhan nutrisi yang dikeluhkan pasien DM diantaranya peningkatan nafsu makan (poliphagia), namun berat badan cenderung menurun. Pada komplikasi KAD atau gastrospathy didapatkan keluhan yang berlawanan yaitu kehilangan nafsu makan, mual dan muntah. Pemeriksaan fisik didapatkan IMT yang kurang atau lebih dari normal, tercium halitosis atau bau manis pada komplikasi KAD. Pemeriksaan diagnostik terutama untuk laboratorium didapatkan peningkatan gula darah, peningkatan HbA1C, kadar lemak yang meningkat, penurunan protein (albumin), maupun perubahan pada C peptide. Serum amilase akan meningkat jika ditemukan adanya pancreatitis akut yang disebabkan oleh KAD - Cairan, Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa Cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, pada pasien DM biasanya mengalami perubahan. Keluhan sering BAK (poliuria) dan diikuti dengan polidipsi merupakan keluhan yang sering dirasakan oleh pasien DM. Kehilangan cairan melalui urin dalam jumlah yang banyak dan muntah menjadi keluhan yang disakan pada komplikasi DM seperti KAD dan HHNK. Pemeriksaan fisik untuk melihat perubahan pada kebutuhan cairan pada DM dengan komplikasi KAD atau HHNK diantaranya membrane mukaso mulut yang kering, turgor kulit tidak elastis, diaphoresis, kulit kering dan bersisik. Pada DM dengan komplikasi gagal jantung atau nefropati akan ditemukan edema. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 46 Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mengidentifikasi perubahan perilaku pada cairan dan elektrolit ini diantaranya, pemeriksaan gula darah, ditemukan hasil yang meningkat, pemeriksaan natrium : hasilnya bisa normal, atau menurun. Pemeriksaan Kalium akan didapatkan kadar yang norma, meningkat pada fase awal dan akan menurun seiring dengan kondisi dehidrasi lanjut. Pemeriksaan osmolaritas sangat penting dilakukan, akan terjadi peningkatan pada HHNK. Pemeriksaan analisa gas darah penting dilakukan untuk pasien DM yang dicurigai KAD, dan akan didapatkan asidosis metabolic disertai peningkatan benda keton dalam darah. - Eliminasi Adanya keluhan sering BAK (poliuria), perubahan pola berkemih, nocturia merupakan keluhan yang sering dirasakan oleh pasien DM. Nyeri, panas dan kesulitan BAK merupakan tanda adanya neurogenik bledder dan kemungkinan infeksi saluran kemih. Pola BAB dapat dirasakan adanya keluhan konstipasi, maupun diare. Pemeriksaan fisikyang didapatkan pada pasien DM bisa ditemukan adanya penurunan atau peningkatan bising usus, distensi abdomen, tahanan pada bledder. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan melihat fungsi ginjal (urium, kreatinin yang meningkat) menunjukan adanya penurunan fungsi ginjal, pemeriksaan makroskopik urine dapat ditemukan warna urine yang keruh dan berbau sebagai tanda infeksi dan untuk memastikan infeksi pada saluran kemih dapat dilakukan pemeriksaan kultur urine. - Proteksi Pengkajian perilaku berhubungan dengan proteksi meliputi keluhan daya tahan tubuh yang menurun seperti sering demam, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 47 kelemahan, luka yang lama yang makin meluas. Kondisi kulit yang kering,pecah,pecah dan bersisik serta adanya keluhan gatal, menjadi resiko terhadap penurunan proteksi. Parastesia akibat diabetic neuropati juga merupakan keluhan yang sering dirasakan. Peningkatan resiko infeksi pada area genetalia dapat ditemukan pada pasien DM wanita, ditemukan adanya peningkatan sekresi vagina - Sensasi Perubahan sensasi pada pasien DM terjadi akibat komplikasi kronik. Adanya penurunan penglihatan dapat terjadi akibat retinopati. Gangguan sensasi lain yang dapat ditemukan pada pasien DM diantaranya penurunan terhadap sensasi nyeri, perubahan suhu dan perubahan tekstur. Pemeriksaan fisik terhadap penurunan sensasi dilakukan dengan menguji sensasi terhadap nyeri, suhu, serta perbedaan kasar dan halus. Pemeriksaan menggunakan monofilament 10gr merupakan pemeriksaan level A yang direkomendasikan pada pasien DM. - Fungsi Neurologi Perubahan perilaku pada fungsi neurologi dapat dilihat darimulai tingkat kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran dapat terjadi pada komplikasi akut hypoglikemia,maupun coma akibat KAD Gangguan lain neurologi sebagai dan HHNK. komplikasi didapatkan adanya neuropati motorik seperti kronik (kaki charcot), neuropathi sensorik (penurunan sensasi), neuropati otonom (kulit kering, tidak ada rambut pada area kulit, gastropaty dan neuropati bleder). Pemeriksaan reflek tendon dalam didapatkan penurunan reflek tendon dalam. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 48 - Fungsi Endokrin Perubahan fungsi endokrin pada pasien DM adalah adanya penurunan produksi atau sensitifitas insulin yang mengakibatkan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein. Perubahan perilaku yang dapat dilihat dan diukur dapat terjadi pada semua fungsi seperti yang telah dijelaskan pada fungsi-fungsi diatas. b. Mode Konsep Diri Mode konsep diri merupakan bagian dari psikologis dan spiritual. Kebutuhan psikologis yang merupakan respon psikologis terhadap apa yang dirasakan dari perubahan fisik. Gangguan psikologis tersebut dapat berupa, kecemasan, stress, ketakutan, malu terhadap bentuk tubuhnya, beban financial, hingga menyalahkan Tuhan, atau mempunyai persepsi yang salah yang berkaitan dengan kepercayaannya. Perilaku yang dapat diamati diantaranya, selalu menanyakan keadaannya, menolak untuk bertemu dengan orang lain, hingga ditemukan adanya tanda depresi. c. Mode Peran Perubahan peran yang terjadi pada pasien DM dapat berupa peran primer, sekunder maupun tersier. DM sebagai penyakit menahun yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi kronis pada akhirnya akan mengganggu peran dari pasien tersebut pada kehidupan sehari-hari, terutama pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan berbagai komplikasi. d. Mode Interdependensi Pengkajian perilaku terhadap model interdependensi meliputi hasil pengamatan dan ungkapan dari pasien DM tentang orang lain yang bermakna, perilaku saling menghargai, mencintai dan saling memperhatikan dari sistem pendukung yang dimiliki (orang terdekat, keluarga). Pasien DM dengan berbagai Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 49 komplikasi kronik, mengalami perubahan peran cenderung tergantung dengan orang terdekat. Dukungan yang tidak didapatkan dengan baik, misalnya keluarga jenuh atau harus menggantikan perannya, akan menimbulkan gangguan konsep diri untuk pasien DM. 2.3.1.2. Pengkajian Stimulus Pengkajian stimulus merupakan pengkajian tahap dua, untuk mengetahui penyebab perubahan perilaku maladaptive yang di dapatkan pada pengkajian tahap satu. Pada pesien DM stimulus fokal yang merupakan stimulus langsung yang mempengaruhi adanya perubahan perubahan perilaku pada ke 4 mode. Stimulus fokal meliputi : usia, dimana usia diatas 30 tahun merupakan usia beresiko untuk mengalami DM. Stimulus lain diantaranya, adanya riwayat melahirkan dengan berat badan bayi yang dilahirkan lebih dari 4 kg, obesitas dan hiperlipidemia. Pada pasien DM yang mengalami komplikasi, stimulus fokal meliputi gula darah yang tidak terkontrol, peningkatan metabolism yang disebabkan oleh infeksi, stress psikologi, atau proses pembedahan. Pada mode konsep diri, peran dan interdependensi fokal stimulus terjadi karena dirawat di rumah sakit, berbagai komplikasi yang dialami proses kehilangan seperti amputasi. Stimulus kontektual dan stimulus residual yang mempengaruhi diantaranya adanya riwayat DM dalam keluaraga, riwayat perawatan kesehatan sebelumnya, seperti diitnya, monitoring gula darah, olah raga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan merupakan stimulus kontektual penting yang mempengaruhi perubahan perilaku baik adaptif maupun maladaptive. (Roy & Andrew, 1999; Doengoes, 2010). 2.3.2. Diagnosa keperawatan Berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien DM, maka diagnose keperawatan yang dapat ditegakan adalah sebagai berikut (NANDA Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 50 2012-2014; Smeltzer & Bare, 2008; Doengoes, 2010; LeMone, 2011; Lewis, 2011). 2.3.2.1. Diagnosa Keperawatan pada Mode Fisiologi a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi, peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk. b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load. c. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan sirkulasi perifer. d. Perubahan aktifitas fisik berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik. e. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi, peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi). f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas. g. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic, pengeluaran berlebi dari sistim pencernaan dan keterbatasan asupan. h. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic, proses infeksi. i. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi, penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah. j. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan kimia endogen. k. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status kesehatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 51 2.3.2.2. Diagnosa keperawatan pada Mode Konsep Diri Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit, kesalahan informasi. 2.3.2.3. Diagnosa Keperawatan pada Mode Peran Perubahan fungsi peran berhubungan dengan krisissituasi, perawatan yang lama dan keterbatasan fisik. 2.3.2.4. Diagnosa keperawatan pada Mode Interdependensi a. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan dukungan sosial yang tidak adekwat. b. Tidak efektifnya managemen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi. 2.3.3. Intervensi Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi, peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk. Tujuan yang ingin dicapai jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada keluhan sesak, batuk berkurang, suara nafas vesikuler, tidak ada tanda kekurangan oksigen seperti sianosis, AGD dalam batas normal. Intervensi yang ditetapkan meliputi kognator dan regulator: :managemen respirasi : peningkatan kemampuan batuk, fisiotherapi dada, monitor status respirasi, kolaborasi dalam management terapi oksigen. 2. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load. Tujuan yang diinginkan adalah curah jantung adekuat ditandai dengan peningkatan sirkulasi, nadi, tekanan darah dalam batas normal, tidak didapatkan peningkatan vena jugularis, perfusi ke jaringan adekwat (akral hangat, denyur perifer kuat). Intervensi keperawatan yang ditetapkan (regulator &kognator) : Haemodinamik regulator, management energy, terapi oksigen, cardiac care Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 52 3. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan sirkulasi perifer. Tujuan yang ingin dicapai adalah perfusi jaringan kearah perifer (kaki) adekwat ditandai dengan akral hangat, pulsasi ke area kaki kuat dan normal, ABI dalam batas normal, tidak terjadi proses penyembuhan luka yang lambat. Intervensi yang ditetapkan : pemantauan sirkulasi, embolus care : peripheral, peningkatan latihan fisik. 4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik. Tujuan yang ingin dicapai : dapat menunjukan tingkat aktifitas yang adekwat, ditunjukan dengan melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri, menggunakan alat bantu dengan benar, melakukan mobilisasi (berjalan, berpindah posisi dengan benar). Intervensi yang ditetapkan meliputi : bedrest care, management energy, menegemen lingkungan, self medication assisstent, self care assisstent, pain management. 5. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi, peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi). Tujuan yang ingin dicapai : Peningkatan energy yang ditandai dengan kelelahan berkurang, melakukan aktifitas untuk perawatan diri tanpa keluhan lelah. Intervensi yang ditetapkan : management energy, progressive muscle relaksation. 6. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas. Tujuan yang akan ditetapkan : status nutrisi adekwat, ditandai dengan berat badan dipertahankan dalam batas ideal, gula darah terkontrol, kadar lemak, protein dalam darah normal. Intervensi yang ditetapkan managemen perubahan nutrisi, management nutrisi, terapi nutrisi, konseling nutrisi, monitor nutrisi, management berat badan, menegement hiperglikemia/hypoglikemik. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 53 7. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic, pengeluaran berlebih dari sistem pencernaan dan keterbatasan asupan. Tujuan yang ingin ditetapkan : status cairan adekwat, ditandai dengan intake dan output cairan seimbang, TTV dalam batas normal, turgor kulit elastis, membrane mukosa lembab, elektrolit dalam batas normal. Intervensi yang ditetapkan : managemen cairan dan elektrolit, monitoring asam basa, monitoring cairan dan elektrolit, management asidosis metabolic, management hyperglikemia. 8. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic, proses infeksi. Tujuan yang diinginkan pola eliminasi normal ditandai dengan tidak ada keluhan nyeri saat berkemih, frekuensi berkemih berkurang, tidak ada hematuri, hasil pemeriksaan urine tidak menunjukan ada tanda infeksi. Intervensi yang ditetapkan : manajemen cairan, monitoring cairan, management eliminasi urine, bladder training urine, pencegahan infeksi. 9. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi, penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah. Tujuan yang ditetapkan infeksi tidak atau tidak meluas atau tidak terjadi ditandai dengan status imun meningkat, nilai leukosit dalam batas normal, tidak ada keluhan demam, area infeksi (ulkus, ISK, infeksi pernafasan) mengalami proses penyembuhan. Intervensi yang ditetapkan meliputi : management pencegahan infeksi, management control infeksi, management nutrisi, management luka, management medikasi. 10. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan kimia endogen. Tujuan yang diinginkan tidak terjadi injuri seperti tidak terjadi ulkus, atau bahaya jatuh. Intervensi yang ditetapkan ; monitor fungsi neurologi, management neuropati perifer, edukasi perawatan kaki dan penggunaan alas kaki, edukasi berhenti merokok, pencegahan terhadap bahaya jatuh, management lingkungan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 54 11. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status kesehatan. Tujuan yang ditetapkan gula darah stabil yang ditandai dengan gula darah terkontrol dalam batas normal, tidak terjadi komplikasi DM akut : KAD,HHNK atau hypoglikemi. Intervensi yang ditetapkan monitoring gula darah, monitoring cairan, management hyperglikemia, management pengobatan, management nutrisi, edukasi pada nutrisi, pengobatan, management perilaku. 12. Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit, kesalahan informasi. Tujuan yang ditetapkan pasien dapat beradaptasi terhadap kondisi kecemasannya, yang ditunjukan dengan peningkatan terhadap kontrol kecemasannya, mampu mengungkapkan penyebab cemas, mampu merencanakan strategi koping yang akan digunakan. Intervensi yang ditetapkan menurunkan kecemasan, konseling, management energy, management lingkungan, management koping, management distraksi. 13. Tidak efektifnya management terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi. Tujauan yang diinginkan pasien mampu beradaptasi pada management terapi yang ditetapkan, meliputi menunjukan perilaku mengikuti diit, pengobatan yang ditetapkan. Intervensi yang ditetapkan : modifikasi perilaku, tingkatkan koping, konseling penatalaksanaan DM, beri dukungan sosial, edukasi group, management efikasi, follow up melalui telepon. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 55 BAB 3 PENERAPAN MODEL ADAPTASI ROY PADA ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KLIEN DIABETES MELLITUS KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG Pada BAB 3 ini, akan diuraikan hasil asuhan keperawatan dan analisis pada klien dengan diabetes mellitus (DM) dengan abses punggung dan resiko tinggi ulkus diabetik sebagai kasus kelolaan utama dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Uraian selanjutnya setelah pembahasan kasus kelolaan utama, praktikan juga menganalisa 32 kasus kelolaan lain yang praktikan lakukan selama praktikan menjalankan praktek residensi 1 dan 2. 3.1.Deskripsi kasus kelolaan utama Kasus dialami oleh seorang klien berinisial Ny.Sh usia 66 tahun, status perkawinan menikah dengan 2 anak yang telah berumah tangga, pendidikan SLTP, aktifitas sehari hari sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di Depok. Klien masuk rumah sakit (RSUPF) pada tanggal 8 Oktober 2011 melalui UGD dan tiba di ruang teratai lantai 5 Selatan pada tanggal 9 Oktober 2012 pukul 17.15 WIB. Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2011. Alasan keluarga membawa klien ke rumah sakit, karena klien mengalami bisul (abses) di area punggung sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Timbul bisul tersebut pada awalnya klien merasakan gatal di punggung, digaruk dan timbul kemerahan dan bisul kecil yang makin lama makin membesar. Keluarga sudah membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan, mendapatkan obat antibiotic dan anti nyeri namun tidak ada proses penyembuhan, bahkan semakin besar, klien merasakan nyeri, demam dan tidak bisa tidur selama 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Abses mengeluarkan nanah yang terus menerus, berbau sehingga klien merasakan tidak nyaman. Tindakan yang dilakukan di UGD diantaranya, dilakukan penggantian balutan, dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu dengan hasil 466 mg/dL dan pemeriksaan darah lengkap. Obat yang diberikan ke pada klien saat di UGD adalah anlgetik suppositoria (propenid), diberikan insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam dengan dosis dimulai 5 unit dan naik 5 unit setiap kenaikan gula darah 50 mg/dL dimulai dari nilai gula darah 201 mg/dL. Pengkajian terhadap riwayat kesehatan sebelumnya, klien telah menderita DM sejak 10 tahun yang lalu, pernah mengalami Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 56 amputasi pada kaki kanannya 3 tahun yang lalu kerena ulkus. Penatalaksanaan DM yang klien lakukan dengan minum obat metformin 500 mg dan glibenklamid yang terkadang dibelinya sendiri, karena klien tidak control ke dokter teratur. Riwayat kesehatan keluarga didapatkan kakak klien yang pertama juga menderita DM dan saat ini mengalami stroke. Hasil pemeriksaan gula darah suami klien setahun yang lalu juga mengalami peningkatan lebih dari 200 mg/dL, namun tidak ditindaklanjuti untuk pengobatan. 3.2.Penerapan Model Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama Asuhan keperawatan yang dilakukan pada semua klien kelolaan yang praktikan lakukan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy, yang dilakukan secara holistic dan komprehensif dimulai dari tahap pengkajian hingga evaluasi. Hasil akhir dari asuhan keperawatan ini, diharapkan klien mampu beradaptasi dengan berbagai gangguan pemenuhan kebutuhan, baik fisiologi, konsep diri, peran maupun interdependensi. 3.2.1. Pengkajian Perilaku dan stimulus 3.2.1.1. Mode Adaptasi Fisiologi 1. Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem kardiovaskuler, perfusi). Pengkajian pada perilaku oksigenasi diperoleh data : tidak ada keluhan pada sistem pernafasan seperti batuk, sesak kesulitan bernafas serta nyeri dada saat istirahat, beraktifitas maupun bernafas. Namun klien merasakan badannya lemas, sering pusing, terutama berubah posisi dari tiduran ke duduk. Sirkulasi ke perifer didapatkan tidak ada keluhan nyeri pada area kaki, baik saat beraktifitas maupun saat istirahat (nyeri claudikasio). Terkadang klien merasakan dingin pada area telapak atau punggung kaki, terutama pada malam hari. Untuk mengatasi dingin ini, klien selalu menggunakan kaos kaki jika tidur. Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva klien tampak pucat, tidak ditemukan adanya sianosis pada kulit maupun area bibir, tidak menggunakan otot bantu pernafasan, RR : 18 x/mnt irama teratur, suara nafas vesikuler di semua area lapang paru, capilari refile < 3dtk, nadi radialis : 78x/mnt irama Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 57 teratur pulsasi kuat, TD : 140/90 mmHg, HR : 80x/mnt teratur. Suara jantung 1 & 2 terdengar normal dan tidak terdengar suara jantung tambahan dengan denyut apikal 84 x/mnt, teratur. Hasil pemeriksaan EKG di dapatkan sinus rhytem, Gelombang QRS normal diikuti gelombang P, tidak ditemukan adanya T inverted, ST elevasi/depresi dan Q patologis. Perabaan pada kedua ekstemitas bawah hangat, tidak ditemukan edema pada kedua tungkai. Hasil pemeriksaan vaskularisasi kearah ekstremitas bawah dengan menggunakan Ankle Brachial Index (ABI), didapatkan : Table 3.1. Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) Arteri dorsalis pedis Arteri tibialis posterior Kaki kanan Kaki kiri Palpasi Nd : 84x/mnt , pulsasi kuat Nd : 82/mnt pulsasi kuat TD Sistolik (mmHg) Palpasi 130mmHg 130 mmHg Pulsasi kuat Pulsasi kuat 130 mmHg 130 mmHg 130 mmHg 140 mmHg 0.93 0.93 TD Sistolik (mmHg) TD Sistolik Arteri Brachialis (mmHg) Ankle Brachial Index (ABI) Stimulus Fokal : Luka abses diarea punggung mengeluarkan eksudat seropurulen, jumlah banyak (balutan penuh dan harus diganti 2 kali sehari) Hb : 10.3 g/dL. Hematokrit :30,4%. Eritrosit : 4.45 /µL. AGD (tidak diperiksa), Foto thoraks menunjukan hasil CTR > 50 %, pulmonal normal, tidak ada tanda infiltrat. ECHO (10 Oktober 2011) : EF : 72,4 %, LV kontraktilitas normal, fungsi diastolik normal, katup morfologi normal. Stimulus Kontekstual & Residual Usia klien 66 th, riwayat DM 10 tahun, riwayat hipertensi 3 tahun namun tidak terkontrol, mempunyai keturunan DM & hipertensi. Pengetahuan klien dan keluarga terhadap penatalaksanaan DM dan hipertensi masih kurang (diit, aktifitas, terapi, komplikasi, dll). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 58 Penatalaksanaan yang didapatkan saat ini rencana pemberian PRC500 cc Captopil 2x12,5 mg 2. Nutrisi Klien mengatakan sejak 2 minggu terakhir nafsu makannya menurun, merasakan mual, makan hanya ½ porsi dari porsi biasanya, menurut klien, ia tidak nafsu makan karena merasakan nyeri pada area punggungnya & bau amis dari luka. Sebelumnya klien makan tidak pernah banyak (nasi 1 centong). Jika klien makan banyak, ia akan merasakan begah pada perutnya. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya (rasa lapar) klien sering ngemil. Walaupun klien didiagnosa DM sejak 10 tahun yang lalu, namun klien tidak pernah mengatur makanan sesuai diit. Yang klien ketahui tentang diit DM hanya mengurangi nasi saja, bahkan suami klien selalu membuatkan susu kedelai dengan menggunakan gula setiap hari. Sejak amputasi 3 th yang lalu, seharusnya klien dianjurkan untuk menggunakan insulin, karena harga insulin mahal, klien tidak melanjutkan penggunaan insulin, dan menggantinya dengan OHO (Metformin 500 mg & glibenclamid) yang diminum tidak teratur. BB klien : 56 kg TB : 155 cm, IMT 23 , mukosa mulut lembab, tidak ada stomatitis, terdapat karies gigi, kemampuan mengunyah baik, abdomen flet, lunak tidak teraba pembesaran hepar bising usus 12 x/mnt. GDS (8/10/2011): 466 mg/dL, tanggal 10/10/2011: hasil scleding scale menunjukan hasil GD yang tidak fluktuatif terendah 142 dan tertinggi 219 SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, Glukosa urine (+++), HbA1C: 12,7 %, Trigliserida : 80mg/dL, kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL Penatalaksanaan yang diberikan untuk kebutuhan nutrisi adalah diit lunak 1500 kalori yang dibagi dalam 3 porsi besar (makan pagi, siang & sore) 3 porsi kecil/snack (jam 09.00, 15.00 dan 21.00 WIB). Pemberian insulin (Actrapid) ditetapkan dengan dosis 3x8 unit & monitoring GD dilakukan KGDH/hari. Therapy lain yang diberikan OMZ : 1x20 mg dan Donperidon 3 x 1 amp Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 59 Stimulus fokal : Ketidakseimbangan regulasi insulin yang ditandai dengan peningkatan guladarah sewaktu (GDS saat masuk 466mg/dL) dan gula darah yang tidak terkontrol dalam 3 bulan terakhir ditandai dengan HbA1C: 12,7%. Resiko gangguan nutrisi dapat terjadi pada klien akibat asupan nutrisi yang kurang akibat penurunan nafsu makan dan mual. Stimulus kontekstual dan residual Usia 66 th, mempunyai riwayat DM 10 th, 3 th yang lalu pernah dirawat dengan ulkus kaki diabetic dan dilakukan amputasi, namun tidak mengetahui diit yang sesuai, pengobatan DM tidak terkontrol, disebabkan pengetahuan & motivasi terhadap diit & pengobatan belum difahami. Sebelum klien mengalami DM, klien pernah mempunyai BB 80 kg (obesitas). Pengetahuan keluarga tentang penatalaksanaan DM juga masih kurang, terbukti keluarga menyediakan susu kedelai dengan gula setiap hari. Dukungan keluarga terhadap pengobatan juga kurang optimal yang dilihat dari pengobatan insulin tidak dilanjutkan dengan alasan keuangan. 3. Eliminasi Klien mengatakan tidak ada perubahan pada pola BAB maupun BAK. Klien biasa BAB 1 x sehari tanpa pencahar, faeses lunak warna khas. BAK 7-8 kali sehari, BAK malam 2-3x, urine berwarna kuning jernih, tidak ada nyeri ketika mulai maupun saat BAK. Tidak menggunakan kateter urine, tidak teraba blass pada area simpisis, maupun masa dan nyeritekan pada abdomen bawah. Bising usus 12 x/mnt. Hasil pemeriksaan urinalisa di dapatkan protein urine (++), tidak ditemukan adanya leukosit dan eritrosit dalam urine, berat jenis 1.020 di dapatkan adanya keton dalam urine yaitu (++). Hasil pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan nilai urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 0.5 mg/dl, CCT : 56.6 ml/menit Stimulus fokal : Ketonuria yang terjadi disebabkan adanya pemecahan lemak sebagai sumner energy (glukoneogenesis) yang menghasilkan asam lemak atau ketone, selanjutnya keton ini diekskresikan melalui system ginjal dan keluar bersama dengan urine. Dari hasil CCT di dapatkan adanya penurunan fungsi ginjal yang kemungkinan terjadi nefropathy. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 60 Stimulus kontekstual & residual : Riwatay DM selama 10 tahun, tidak terkontrol, hipertensi selama 3 tahun terakhir yang juga tidak terkontrol. Pengetahuan klien terhadap komplikasi kronik DM kurang. 4. Cairan dan Elektrolit Klien minum 2 blt air mineral (@ 600cc) dalam sehari, BAK 4-5 kali pagi hingga sore dan malam 2-3 kali, jumlahnya diperkirakan 2/3 gelas air mineral. Selama dirawat tidak merasakan perubahan dalam kebutuhan minum maupun pengeluaran cairan. Tidak ada muntah, berkeringat berlebihan maupun diare, namun klien merakan demam Mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, tidak didapatkan odema pada ekstremitas maupun odema anasarka, TD: 140/90mmHg, Nadi radialis : 78x/mnt pulsasi kuat, suhu 37,9° C. Urine tampung dalam 24 jam : 1500 cc, minum 1200 cc, Produksi eksudat dari abses + 200-300 cc setiap ganti balutan. Hasil pemeriksaan elektrolit : Na :137, Kalium : 4.79 mEq/L, Clorida : mEq/L, Urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 96 0.5 mg/dl. Penatalaksanaan yang diberikan IVFD: NaCl 1000 cc/24 jam. Stimulus fokal, kontekstual & residual : tidak ditemukan 5. Aktifitas Istirahat Aktifitas klien untuk pemenuhan nutrisi, eliminasi, mampu dilakukan secara mandiri (bantuan minimal karena menggunakan infuse). Mobilisasi terutama saat tidur hanya bisa dengan miring ke kiri, karena pada punggung kanan terdapat abses, sehingga untuk miring kanan & supine klien merasakan nyeri. Sudah 1 minggu tidur malam klien terganggu karena nyeri yang dirasakan. Klien tidur rata-rata 5-6 jam, namun, sering terbangun (tidak lelap) karena nyeri. Setelah dirawat di rumah sakit,nyeri yang dirasakan berkurang, karena mendapatkan obat anti nyeri dan ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan tidurnya. Aktifitas berjalan mampu dilakukan oleh klien namun dengan perlahan, karena pada 1/3 distal telapak kaki (metatarsal) kanan klien telah diamputasi 3 tahun yang lalu. Hasil observasi terlihat saat turun dari tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Kaki kiri tidak ada kelainan bentuk. Kekuatan otot Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 61 pada ekstremitas atas dan bawah 5 (mampu melawan grafitasi dan mampu melawan tahanan) Gambar 3.1. Photografi kaki Ny. S Kaki kanan Kaki kiri Stimulus fokal, kontektual dan residual : tidak ditemukan 6. Proteksi (proses imunitas, integumen, rambut, kuku, perubahan suhu, trauma) Rambut dan kulit klien kotor, lengket & berbau keringat ,karena selama di IGD tidak dibersihkan. Tidak ada keluhan keputihan maupun gatal-gatal pada area vagina & lipatan femur. Tampak abses yang terbalut pada regiodorsal thorakal X- XII sejajar midklavikula dengan balutan yang basah (terdapat rembesan pus), berbau khas pus. Suhu aksila 37.9ºC, leukosit 18.400/mm3. Hasil culture luka didapatkan leukosit banyak/LPB, ditemukan bakteri gram positif Coccus. Gambar 3.2. Photografi Abses punggung Ny. S Luka derajat III, dimana luka mengenai jaringan otot, mengeluarkan exudat purulen kira-kira 300cc, bau exudat khas,tercium pada jarak 1 lengan. Dasar luka berwarna putih, terdapat slough, luas luka 4x5x3cm dengan goa arah jam 12 hingga jam 09, panjang 3 cm, luas eritema luka : 12x 8 cm. Kaki kanan terdapat kalus pada area plantar, terdapat ulkus pada area tengan kalus, dengan kedalaman 7 mm berwarna merah dan basah. Saat turun dari tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Saat berjalan di dalam Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 62 rumah klien tidak menggunakan alas kaki & jika berjalan diluar rumah, klien menggunakan alas kaki (sandal) yang dimodifikasi menggunakan tali karet sebagai pengikat. Dari hasil pengkajian kaki didapatkan adanya penurunan sensasi pada kedua kaki, kulit kaki kering dan berkilap. Gambar 3.3. Photografi Pengkajian kaki Ny. S Table 3.2. Pengkajian kaki Kaki Kanan Ya Kallus Corns Bunions Hammer toes Amputasi: ï‚· Minor ( jari/ pedis ) ï‚· Mayor ( below knee/ above knee ) Kaki charchot Kuku ï‚· Penebalan ï‚· Infeksi jamur ï‚· Tumbuh ke dalam Kulit ï‚· Perabaan kaki dingin ï‚· Kulit berkilap ï‚· Kulit kering ï‚· Atrofi lemak sub kutan ï‚· Rubor ï‚· Pucat pada elevasi ï‚· Rambut kaki Tidak Kaki Kiri Ya  Tidak              -                  Stimulus fokal : Gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan system imun, penurunan vaskuler ,sehingga jika terjadi luka akan lebih mudah terjadi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 63 penyebaran infeksi. Hb dan albumin yang rendah akan mempengaruhi proses penyembuhan luka. Adanya riwayat amputasi kaki karena ulkus & adanya kalus dengan menurut Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 Ny. S masuk dalam katagori 3 ( resiko sangat tinggi), yang harus memeriksakan kakinya setiap 1- 3 bulan, namun belum pernah dilakukan. Stimulus kontekstual & residual Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, perawatan luka, perawatan kaki : mencegah terjadinya kalus, mengurangi kalus, penggunaan alas kaki belum diketahui seluruhnya oleh klien. Nyeri yang dirasakan saat mengganti balutan, membuat klien takut untuk ketika akan diganti balutannya. 7. Sensori (Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau, nyeri) Tidak ada gangguan pendengaran. Mengatakan pandangan terasa lebih buram terutama pada mata kiri, tidak dapat membaca tulisan dengan font 12 pada jarak 10 cm, hanya tampak bayang-bayang saja. Pada mata kanan masih mampu membaca dengan jarak 30 cm dengan besar huruf 16. Merasakan nyeri pada area luka dengan intensitas sedang dan semakin nyeri saat balutan dibanti. Baal atau kebas pada area telapak kaki kiri. Dilakukan pemeriksaan sensitifitas dengan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan salah dalam mempersepsikan sensasi tajam dan tumpul pada area telapak kaki kanan dan kiri. Stimulus fokal : Penurunan sensasi terutama pada area perifer disebabkan karena adanya komplikasi neuropathi sensori perifer. Penurunan tajam penglihatan merupakan komplikasi DM pada mata yang disebut retinopathy. Komplikasi yang terjadi pada DM akibat lamanya menderita DM (10 th) dan gula darah yang tidak terkontrol (> 6.5%) Stimulus kontekstual & residual : Pengetahuan yang kurang mengenai DM & komplikasinya. Penatalaksanaan DM yang belum adekuat. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 64 8. Fungsi Neurologi (Syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi) Klien dapat berorientasi terhadap orang,waktu dan tempat dengan baik, tidak ada gangguan pada XII saraf kranial, fungsi motorik menurun karena keterbatasan energi, sensorik , memori dan bahasa tidak ada gangguan. Reflek patela (+/+), reflek ackhiles (+/+), Monofilament 10 gr (-/-) Stimulus fokal : neuropathy perifer Stimulus kontekstual & residual Riwayat DM yang tidak terkontrol, pengetahuan terhadap perawatan kaki yang kurang 9. Fungsi Endokrin Hiperglikemia , tidak didapatkan pembesaran kelenjar thyroid, sudah menopause (menurut klien sudah lebih dari 10 th) Stimulus fokal : resistensi insulin/ketidakcukupan insulin ditandai dengan GDS : 466 mg%, HbA1C : 12,7% Stimulus kontekstual & residual Pengetahuan tentang penatalaksanaan DM yang belum semuanya diketahui, adanya perasaan bosan untuk berobat & sumber dana yang semakin berkurang, riwayat keluarga ada yang mengalami DM 3.2.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri : Physical self (memandang diri sendiri, berhubungan dengan kehilangan) & Personal self (konsistensi; ideal diri, moral, etik, spiritual, seksual, cemas, takut) Menurut klien setelah telapak kakinya diamputasi, klien lebih banyak dirumah, hal ini disebabkan karena pergerakan klien menjadi terbatas dan klien malas ditanya– tanya oleh tetangganya tentang kakinya. Spiritual klien : menyatakan untuk ibadah wajib & sunah selalu dilaksanakan, namun pengajian sudah tidak diikuti lagi. Saat ini klien ingin menjalankan ibadah wajib, namun klien ragu karena lukanya selalu mengeluarkan kotoran. Klien yakin bahwa sakit yang dialami merupakan teguran dari Tuhan, agar lebih taat menjalankan perintahNya. Klien juga meyakini bahwa kekuasaan Tuhan akan membantu kesembuhannya, oleh sebab itu, walaupun ia ragu menjalankan sholat, namun ia tetap berdzikir. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 65 Aktifitas seksual (suami istri) hampir tidak pernah dilakukan, karena merasa sudah tua. Menurut klien dan suaminya, kebutuhan tersebut sudah tidak penting lagi. Mereka mengekspresikan kebutuhan seksual dengan saling menyayangi, saling merawat, karena mereka hanya tinggal berdua saja. Saat ini yang diinginkan kesembuhan terhadap kondisi absesnya, ada ketakutan akan bertambah luas karena klien mempunyai DM dan pengalaman luka dikaki 3 tahun yang lalu merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien. Pengalaman terhadap nyeri yang dirasakan saat mengganti balutan juga mempengaruhi kecemasan klien saat akan diganti balutan. Namun karena produksi cairan eksudat yang banyak serta ingin sembuh, mampu menghilangkan rasa cemas akan nyeri yang dirasakan. Produksi eksudat yang berbau membuat klien menginginkan pindah tempat ke posisi diujung kamar dengan alasan agar klien lain dikamar tersebut tidak kebauan. Harapan klien saat ini proses penyembuhan luka di punggungnya mengalami kemajuan. Ia yakin dengan pelayanan kesehatan di RSUPF dan tenaga kesehatan yang merawatnya Stimulus Fokal : adanya abses di punggung, yang tidak sembuh–sembuh, mengeluarkan eksudat dan berbau. Perubahan bentuk kaki paska amputasi menyebabkan keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain. Stimulus kontekstual dan residual : Pengalaman ulkus kaki sebelumnya, pengalaman nyeri pada saat di lakukan ganti balutan sebelumnya. Aktifitas klien sebelum dilakukan amputasi (aktif dikegiatan kemasyarakatan, mempunyai aktifitas berdagang dan mempunyai pendapatan sendiri). Keyakinan diri klien terhadap proses penyembuhan luka dan dengan tempat serta petugas kesehatan yang menangani. 3.2.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran Klien adalah seorang istri & ibu dari 2 anak dimana kedua anaknya sudah menikah dan tidak tinggal dengan klien. Ia hanya tinggal berdua suaminya yang sudah pensiun. Kegiatan sehari-hari melakukan aktivitas rumah tangga (memasak, membersihkan rumah, dll) dibantu oleh suaminya. Saat ini klien selalu ditunggu oleh suaminya, dan untuk peran sehari–hari digantikan oleh suami dan anak klien. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 66 Stimulus kontekstual dan residual : merasakan nyeri akibat abses dan harus dirawat dirumah sakit. 3.2.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi (fokus: interaksi saling memberi/menerima, cinta kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian) Saat ini kebutuhan dan aktifitas klien dibantu oleh suami & anaknya . Secara bergantian keluarga (anak) dan suami klien menjaga klien di rumah sakit. Klien juga terlihat mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya yang ia bisa lakukan, seperti makan dilakukan sendiri, menurutnya ia juga tidak mau sepenuhnya tergantung dengan orang lain. Dalam menentukan pengobatan seperti keputusan untuk menggunakan jenis balutan, apa saja kebutuhan yang harus ada saat dirumah sakit hingga keuangan, klien berperan dalam membuat keputusan. Stimulus kontektual dan residual : abses di punggung, nyeri yang dirasakan, dirawat dirumah sakit. 3.2.2. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan pengkajian mode adaptif pada kasus diatas, dapat dianalisis terjadi inefektif pada mode fisiologi meliputi mode nutrisi, proteksi, sensasi, neurologi, endokrin dan pada mode konsep diri. Perubahan adaptasi atau inefektif pada mode adaptif tersebut dapat ditegakkan diagnose keperawatan sebagai berikut : Mode Fisiologis 1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi 2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi 3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan 4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan yang tidak adekwat, ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak dan kesulitan ekonomi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 67 Mode konsep diri dan mode Interdependensi 1. Kesiapan meningkatnya koping individu 2. Kesiapan meningkatnya religiositas. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 68 Tabel 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan 3.2.3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN Nama Klien Umur Klien No 1 : Ny.S : 66 tahun Perilaku Stimulus Fungsi Fisiologis : Proteksi Data subyektif: ï‚· Abses pada area thorakal X-XII sejajar midklavikula derajat 3, dengan leukositosis ï‚· Nyeri pada luka skala sedang ï‚· Demam Stimulus Fokal : Terjadi abses yang semakin meluas, mengeluarkan pus, GD meningkat & leukositosis Data obyektif: Stimulus kontekstual & residual : Riwayat DM 10 tahun, gula darah tidak terkontrol HBA1C :12,7 % Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, komplikasi, perawatan luka,perawatan kaki No. Rekam Medis Diagnosa Medik Diagnosa Keperawatan Resiko perluasan Infeksi berhubungan dengan hiperglikemia, rendahnya resistensi terhadap stres, penyembuhan luka yang memburuk Tujuan Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10 x 24 jam diharapkan klien akan beradaptasi dengan perilaku terhadap proteksi Kriteria Hasil ï‚· Tidak terdapat jaringan nekrotik ï‚· Luka tidak ada pus dan tidak bau ï‚· Leukosit dalam batas normal (4.000 – 11.000/mm3) ï‚· Suhu tubuh dalam batas Rencana Intervensi : 1094672 : DM Tp2 & Abses Evaluasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan dan dievaluasi 1. Hyperglicemia setiap 3x24 jam dan modifikasi management (metabolic dilakukan intervensi keperawatan (27 control) Oktober 2011), maka diperoleh : 2. Management Luka (wound and infection Perilaku adaptif : control) Klien mengatakan luka 3. Vascular control dipunggung sudah tidak 4. Education nyeri lagi, dasar luka merah muda & terjadi granulasi, Aktivitas keperawatan produksi cairan luka Regulator : minimal (cairan serous ï‚· Monitor gula darah bening), leukosit 5.600/ul, ï‚· Monitor TTV, terutama suhu klien & keluarga aktif dalam ï‚· Monitor GD/ hari sesuai kegiatan program edukasi program DM. ï‚· Monitoring tanda perluasan infeksi pada area luka: pus Perilaku inefektif yang bertambah, adanya luka Klien & keluarga belum NIC: Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 69 Luka mengeluarkan pus,berbau khas gangren,nekroti k pada digiti IV, kedalaman luka belum dapat dinilai bergaung menembus dari digiti III normal (36 – 37oC) ï‚· Penyembuhan luka: regenerasi sel dan jaringan diikuti penyembuhan luka ï‚· Klien menunjukan perilaku untukmenurun kan resiko perluasan infeksi ï‚· Pengetahuan terhadap penatalaksanaa n DM, pencegahan penyebaran luka meningkat yang meluas ï‚· Lakukan perawatan luka dengan prinsip streril, lembab setiap hari atau jika balutan jenuh ï‚· Pantau hasil laboratorium terhadap peningkatan leukosit, hasil kultur Kolaborasi : ï‚· Berikan insulin sesuai program 3x8 ui ï‚· Pemeriksaan kultur dari jaringan luka ï‚· Pemberian antibiotic : ï‚· Ceftriaxon 2 x 2 gr ï‚· Metronidazol : 3 x 500 mg ï‚· Kolaborasi untuk persiapan debridement: fisik, mental & administratif ï‚· Kaji respon klien terhadap terapi: penurunan produksi pus, penurunan leukosit Kognator ï‚· Motivasi klien untuk menjaga stabilitas gula darah: nutrisi, penurunan kecemasan ï‚· Informasikan kepada klien & klg untuk menjaga kebersihan area sekitar luka ï‚· Informasikan kepada klien berani melakukan perawatan luka secara mandiri Luka bergranulasi,namun belum pada tahap epitelisasi Analisa : Masalah penyebaran infeksi tidak terjadi, perilaku adaptif belum tercapai seluruhnya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 70 untuk mengurangi tekanan pada area luka 2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi glukosa pada Stimulus tingkat sel Kontekstual & skunder Residual : ketidakcukupan Riwayat DM sejak insulin 10 th yang lalu tidak terkontrol, pengetahuan tentang nutrisi untuk DM : Data Obyektif: hanya mengurangi ï‚· Pemeriksaan GDS tanggal nasi saja (jumlah, & 1/10’11: 531 jenis jadwal)belum mg/dl diketahui dengan ï‚· Pemeriksaan baik GD/6 jam : fluktuatif & jam 16.00: 325 mg% ï‚· Klien hanya menghabiskan porsi diet yang diberikan dari rumah sakit Fungsi Fisiologis : Nutrisi Data Subyektif: ï‚· Nafsu makan menurun mual ï‚· Makan ratarata habis 2/3 porsi selama 3 hari terakhir karena merasakan nyeri pada abses Stimulus Fokal GDS 466 mg% dan HbA1C :12.7 %, KGDH : 204 mg%, 305mg% & 219 mg% BB: 56 kg TB 155 cm. Tujuan Umum Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 hari, yang ditunjukan dengan : NIC  Kontrol metabolic (hiperglikemia)  Edukasi Aktifitas keperawatan Regulator ï‚· Timbang berat badan klien sesuai indikasi ï‚· Tentukan program diet kolaborasi dengan ahli gizi :1500kal dibagi dalam 3 porsi besar & 3 porsi kecil ï‚· Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen, perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna ï‚· Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan etnik/cultural dan lingkungan yang menyenangkan saat makan ï‚· Observasi tanda-tanda hipoglikemia Kriteria hasil ï‚· Asupan makanan, cairan dan zat gizi terpenuhi ï‚· Klien dapat menjelaskan komponen keadequatan diet ï‚· Menyatakan keinginan untuk mengikuti diet ï‚· Bertoleransi terhadap diet yang dianjurkan ï‚· Membertahanka Kognator n massa tubuh ï‚· Ajarkan metoda dan berat badan perencanaan makan pada normal klien dan keluarga ï‚· Nilai ï‚· Jelaskan sumber makanan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 21 hari (hingga tanggal 27 Oktober) & dievaluasi setiap 3 x 24 jam serta dilakukan modifikasi, maka di dapatkan hasil : Perilaku adaptif : Klien mengatakan makan habis sesuai porsi yang disediakan, makan sesuai jadwal yaitu 15 menit setelah diberikan insulin, Regulasi gula darah tercapai dengan control insulin 3 x 8 unit, keluarga (suami) mampu menggunakan insulin sendiri & glukotes sendiri. KLien mampu menyebutkan diit yang dianjurkan dari jenis, jumlah & jadwalnya Perilaku inefektif : Klien masih tergantung dengan keluarga dalam pengaturan diit & motivasi masih rendah. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 71 ï‚· BB : 56, TB: 155 cm. LILA: 22 cm 3 Fungsi Fisiologis : Aktifitas ï‚· Mempunyai riwayat amputasi 3 tahun yang lalu pada 1/3 distal metatarsal ï‚· Berjalan menjadi lebih pelan, kaki kanan sering menjadi laboratorium bergizi yang terjangkau albumin, bagi klien dan sesuai diit glukosa darah ï‚· Informasikan tentang dalam batas kebutuhan nutrisi dan normal bagaimana memenuhinya ï‚· Melaporkan ï‚· Libatkan keluarga klien keadequatan dalam perencanaan makan energy. Kolaborasi ï‚· Lakukan pemeriksaan gula darah sesuai program : KGDH ï‚· Berikan pengobatan insulin sesuai program : 3 x 8 ui ï‚· Berikan Donperidon 3 x 1 amp & OMZ 1 x 20 mg Resiko Injuri : Tujuan umum : NIC trauma jatuh, Injuri tidak terjadi,  Environmental perubahan ditunjukan dengan managemen : Safety anatomis kaki ï‚· Klien mampu  Mechanical control (chatcot), kalus mengurangi & ulkus b.d. tekanan pada Aktifitas Keperawatan penurunan Regulator kaki kanan sensasi, ï‚· Ciptakan lingkungan yang ï‚· Keluarga perubahan kimia aman bagi klien mampu endogen menyebutkan ï‚· Identifikasi kebutuhan ketidakseimbang criteria keamanan klien an glukosa Stimulus lingkungan berdasarkan tingkat fisik kontekstual & insulin yang aman & dan fungsi kognitif dan residual: memberikan perilaku Riwayat DM 10 lingkungan ï‚· Tempatkan alat-alat yang tahun tidak yang aman sering digunakan dalam Stimulus Fokal Penggunaan kaki kanan sebagai penumpu menyebabkan timbulnya kalus& perawatan yang tidak sesuai menimbulkan ulkus pada area kalus Setelah dilakukan asuhan selama 3 minggu,dapat dievalauasi perilaku klien : Adaptif : ï‚· Klien dan keluarga mampu menyebutkan dan menyediakan kondisi lingkungan yang aman untuk klien : meletakan barang dekat klien, memasang pengaman, mambantu mobilisasi ï‚· Klien & keluarga mampu menjelaskan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 72 penumpu saat turun dari tempat tidur Fungsi fisiologis proteksi & saraf: ï‚· Terdapat kalus dengan ulkus pada bagian tengahnya ï‚· Sensasi pada kaki kanan menurun & ABI 1 & 0,9 Fungsi fisiologi sense (indra): ï‚· Penurunan tajam penglihatan pada mata kiri terkontrol, pengetahuan tentang perawatan kaki, penggunaan alas kaki, perawatan kalus yang belum optimal selama di RS untuk klien jangkauan klien tehnik perawatan kaki : mencuci & menggosok ï‚· Jaga kebersihan, kalus, tehnik memeriksa kenyamanan tempat tidur kaki dan lingkungan ï‚· Klien mampu ï‚· Buang bahan-bahan yang menggunakan kakikiri telah digunakan setelah sebagai tumpuan saat mengganti balutan dan mulai berdiri eliminasi ï‚· Hindari paparan terhadap panas dan dingin berlebihan Perilaku inefektif : ï‚· Ulkus pada tengah ï‚· Libatkan keluarga untuk kalus belum kering, menunggui klien namun sudah ï‚· Lakukan perawatan kalus didapatkan granulasi & (pengikisan & perawatan ukuran yang mengecil ulkus) ï‚· belum di dapatkan alas ï‚· Latih klien untuk kaki yang sesuai menggunakan kaki kiri sehingga masih sebagai tumpuan menggunakan kaus kaki/sandal yang Kognator dimodifikasi ï‚· Jelaskan tentang perubahan Analisa: atau perlindungan ï‚· Masalah resiko injuri lingkungan pada klien dan masih di dapatkan. keluarga Intervensi untuk ï‚· Diskusikan dengan klien & menuju perilaku adaptif keluarga untuk perawatan tetap dilaksanakan kaki & penggunaan alas hingga klien dirumah kaki dengan melibatkan ï‚· Demonstrasikan keluarga tehnikperawatan kaki & pencegahan kalus Kolaborasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 73 ï‚· Kolaborasikan dengan dokter spesialis mata untuk pemeriksaan & penatalaksanaa mata ï‚· Kolaborasi dengan rehabilitasi untuk mendiskusikan alas kaki yang sesuai mode konsep diri : ï‚· klien tidak lagi menjalankan ibadah sholat karena tubuhnya selalu kotor oleh eksudat luka ï‚· Klien menginginka n untuk tetap menjalankan ibadah Stimulus fokal : Kesiapan pengetahuan klien meningkatnya tentang ibadah untuk religiositas orang sakit kurang Kesiapan dalam Mode konsep Stimulus peningkatan diri : Kontekstual : koping individu ï‚· Mengungkap ï‚· Pengalaman kan mengalami ulkus kekhawatiran sebelumnya Setelah dilakukan  Spiritual support,dengan tindakan aktifitas : keperawatan ï‚· Diskusikan tata cara bersuci selama 2x24 jam & sholat saat sakit diharapkan klien ï‚· Ajarkan cara tayamum & akan menunjukan sholat dengan kondisinya peningkatan ï‚· Libatkan keluarga dalam kesejahteraan penyediaan fasilitas ibadah : spiritual mukena, tasbih Criteria hasil ; ï‚· Pertahankan privacy saat ï‚· Bersuci melalui sholat/berdo’a tayamum ï‚· Sholat dengan cara duduk ï‚· Melakukan aktivitas doa Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 hri didapatkan : Perilaku efektif : ï‚· Keluarga membawakan perlengkapan ibadah ï‚· Klien terlihat menjalankan ibadah sesuai dengaan waktunya ï‚· Klien terlihat berzikir menggunakan tasbih di waktu istirahatnya. ï‚· Klien mengungkapkan lebih tenang jika dibantu dengan berdo’a Setelah dilakukan NIC tindakan  Peningkatan koping keperawatan individu selama 7 x 24 jam  Peningkatan support diharapkan klien system Setelah dilakuakan asuhan kepetawatan selama 7 hari dan dilakukan evaluasi di dapatkan perilaku yang adaptif , dimana klien Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 74 nya terhadap ï‚· Support dari luka yang keluarga baik saat ini dideritanya ï‚· Mengungkap kan keyakinanny a terhadap pelayanan dan petugas kesehatan mampu mengatasi sakitnya Mode Interdependen ï‚· Terlibat pengambilan keputusan dalam perawatan dirinya : mementukan tambahan protein, pemilihan menggunakan jenis balutan. ï‚· Mengungkapk an jika rasa takut akan nyeri dikesampingk memperlihatkan peningkatan kesejahteraan dalam koping  Peningkatan body image Aktivitas yang dilakukan : Kognator ï‚· Gali harapan yang diinginkan ï‚· Diskusikan hal – hal positif yang klien miliki ï‚· Lakukan reinsforment (+) terhadap hal – hal positif yang dimiliki oleh klien ï‚· Diskusikan dengan klien untuk menggunakan hal positif yang dimiliki klien untuk meningkatkan ï‚· Fasilitasi komunikasi akan perhatian/perasaanantara pasien dan keluarga atau anggota keluarga ï‚· Libatkan keluarga dalam setiap perawatan klien menunjukan perilaku : ï‚· Keaktifan klien dalam program perawatan ï‚· Ungkapan klien tentang harapan kesembuhan ï‚· Interaksi yang meningkat dengan pasien disekitarnya ï‚· Ungkapan keingitahuan klien tentang perawatan selanjutnya dan mengikuti program perawatan yang melibatkan keaktifan klien : latihan menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, bersholawat saat diganti balutan,melakukan exercise di tempat tidur. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 75 an jika akan diganti balutannya,krn ingin luka cepat sembuh Mode Fisiologi ï‚· Terjadi peningkatan GD ï‚· Abses yang makin luas ï‚· Kalus & ulkus pada kaki kanan Mode Interdependensi ï‚· Perawatan dirumah dilakukan oleh suami ï‚· Menghentika n program pengobatan karena sumber dana ï‚· Keluarga memberikan susu kedelai dengan gula setiappagi ï‚· Menghentika n pengobatan Stimulus Fokal : Belum pernah mengikuti program edukasi Informasi saat dirawat terbatas pada diit : pengurangan sumber karbohidrat Menegement diri inefektif berhubungan dengan pengetahuan yang kurang Setelah dialakukan NIC ; tindakan  Program edukasi keperawatan Aktifitas yang dilakukan : selama 7 hari ï‚· Gali pengetahuan klien dan diharapkan keluarga tentang kemempuan klien DM,komplikasi dan dalam management perawatannya diri meningkat ï‚· Lakukan edukasi dengan ditandai dengan - Kelompok sebaya (group) ï‚· Secara kognotif ï‚· Lakukan konseling klien mengetahui sesuai kebutuhan klien batasan gula ï‚· Fasilitasi klien dalam darah normal, membuat keputusan dalam tanda perawatan dirinya peningkatan gula ï‚· Demonstrasikan perilaku darah, komplikasi perawatan yang dapat dan dilakukan oleh klien : cara perawatannya perawatan kaki, pemberian ï‚· Secara insulin, menyiapkan psikomotor klien makanan, latihan yang bs menunjukan dilakukan (peregangan). perilaku terhadap diit yang benar, latihan fisik, melakukan penyuntikan insulin sendiri, Setelah dilakukan perawatan pada hingga hari ke 7 di dapatkan perilaku adaptif : Klien dan keluarga mampu menyebutkan batasan gula darah normal, tanda hiper & hipoglikemia,komplika si yang ada pada dirinya dan komplikasi lain yang dapat terjadi, penatalaksanaan DM. Klien melakukan exercise di tempat tidur (senam kaki, peregangan otot) sesuai kemampuan Anak klien mampu melakukan perawatan kaki Klien mampu menyuntik insulin sendiri Keluarga klien membeli glukometer dan mampu menggunakannya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 76 sendiri ï‚· Menggunaka n OHO tanpa monitoring dari tenaga kesehatan aktif dalam program edukasi - Klien dan keluaarga mampu menyebutkan sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau. Perilaku inefektif : Psikomotor dalam penyediaan diit,karena masih disediakan oleh RS Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 77 3.3. Pembahasan Bagian ini merupakan pembahasan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan pada Ny. S dengan DM komplikasi abses dan resiko tinggi ulkus diabetik dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Pembahasan yang akan praktikan uraikan bertolak dari masalah keperawatan yang ditemukan mengacu pada 4 mode adaptasi menurut Roy. Keempat mode tersebut meliputi mode fisiologi, mode konsep diri, mode peran dan mode ketergantungan. Dari masalah keperawatan yang terjadi, akan dianalisis berbagai faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya masalah tersebut, dilanjutkan dengan membahas berbagai intervensi yang telah dilakukan untuk mengatasinya dan evaluasi hasil dari intervensi yang telah dilakukan. Pembahasan juga akan diperkuat oleh teori/konsep yang mendasarinya fenomena yang terjadi dan hasil studi para peneliti sebelumnya sebagai justifikasi ilmiah. 3.3.1. Mode Fisiologi 3.3.1.1. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi Masalah keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan sebagai asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolise (NANDA, 2012-2014). Factor resiko yang berhubungan dengan gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada klien diabetes dikaitkan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrient. Perilaku klien di dapatkan berhubungan dengan masalah nutrisi ini adalah klien mengalami mual, penurunan nafsu makan, makan habis hanya ½ porsi. Dari penghitungan IMT didapatkan nilai 23, masuk dalam katagori normal. Pemeriksaan laboratorium sebagai pendukung perilaku pada mode nutrisi di dapatkan data SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, HbA1C: 12,7 %, Trigliserida : 80mg/dL, Kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL dengan protein urine kuantitatif Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 78 670 mg/24jam. Dari hasil laboratorium diatas dapat disimpulkan fungsi hati dalam kondisi normal. Hati merupakan organ penting yang berperan dalam metabolisme komponen nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Komponen nutrisi yang mengalami penurunan adalah albumin. Hipoalbumin yang terjadi pada Ny. S disebabkan karena inflamasi kronik dari abses yang terjadi. Kadar albumin rendah selain karena asupan nutrisi yang kurang juga karena inflamasi kronik dan kebocoran pada ginjal. Ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan disertai dengan penurunan fungsi ginjal menyebabkan penurunan albumin dalam darah. Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat respon inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin melalui mekanisme : 1) peningkatan permeabilitas vascular (menyebabkan albumin berdifusi ke ruang ekstravaskular); 2) peningkatan degradasi albumin; 3) penurunan sintesis albumin (TNF-α yang berperan dalam penurunan trankripsi gen albumin), (Dunning, 2009). Data lain yang menunjang masalah resiko keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah kadar gula darah yang tinggi saat masuk yaitu 466 mg/dL dan menurun dengan pemberian terapi insulin. Hasil HbA1C menunjukan nilai 12,7 % yang dapat disimpulkan tidak terkontrolnya gula darah dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan gula darah diduga adanya resistensi insulin. Resistensi insulin relative akan mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Lewis & Heitkemper, 2011). Insulin berfungsi dalam transportasi glukosa hingga masuk ke dalam sel. Sekresi insulin dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah. Saat terjadi defisiensi insulin, glukosa darah hasil metabolisme karbohidrat setelah seseorang makan tidak dapat masuk ke dalam sel, mengakibatkan suatu kondisi yang disebut hiperglikemia Selain itu penurunan metabolism Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 79 di sel berakibat terjadinya penurunan energy dan penderita DM akan mengalami keseimbangan kalori negative, perilaku klien yang ditunjukan misalnya adanya keluhan mudah lelah, atau lemas dan letih. Gangguan nutrisi pada sel, mengaktifkan system homeostatis tubuh untuk memproduksi energy terus berlangsung dengan pembentukan glukosa endogen glukoneogenesis & glikogenolisis dijaringan hepar. Kondisi ini semakin meningkatkan glukosa darah. Stress fisik seperti adanya ulkus, akan meningkatkan hormone kontraregulator (glucagon, katekolamin dan kortisol) yang akan mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan lemak. Akibat lipolisis meningkat akan terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Intervensi keperawatan yang dapat disusun pada masalah nutrisi ini adalah pemberian diit yang sesuai, kontrol gula darah, dan pemberian terapi insulin sebagai upaya membantu glukosa masuk ke dalam sel dan pada akhirnya diharapkan nutrisi sel terpenuhi. Menurut Yunir & Soebardi, 2010, salah satu terapi medis non farmakologi yang direkomendasikan untuk mengatasi maslah nutrisi pada klien DM adalah terapi gizi. Terapi gizi merupakan kegiatan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi penderita DM yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Adapun manfaat yang diharapkan dari pengaturan diit ini adalah : 1) menurunkan berat badan, 2) menurunkan tekanan darah. 3). mengontrol gula darah pada batas normal. 4). memperbaiki profil lipid . 5). memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki sistim koagulasi darah. Adapun pengaturan diit yang dilakukan pada Ny. S adalah sebagai berikut: Rumus penghitungan kebutuhan nutrisi dengan rumus Brocca : Penentuan besarnya kalori yang diberikan digunakan perhitungan rumus Brocca, yaitu: BBI x kebutuhankalori + aktifitas + kondisi stres BBI = (TB dalam Cm - 100) -10% Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 80 = (155 cm - 100) ± 5,5= 49,5 - 60,5 kg BBI Kalori basal wanita 25 Kkal/Kg = 49,5 x 25 = 1237,5 kkal Aktifitas ringan + 10% = 123,5 kal Keadaan stres fisik + 20% = 369,75 kal Usia > 50 th - 5% = 61,88 BB Gemuk - 20% = 247,5 Total kebutuhan nutrisi : kkal = 1423,125 pembulatan 1500 kal Makanan dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan malam (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makanan besar. Untuk pengaturan makan ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan tim gizi RS. Medical Nutrition Therapy (MNT) penting dalam manajemen pencegahan diabetes, mencegah perkembangan komplikasi akibat diabetes, dan mencegah kejadian morbiditas dan mortalitas akibat diabetes (ADA, 2012). MNT juga termasuk ke dalam edukasi manajemen diri pada klien diabetes. MNT dilaporkan dapat menurunkan nilai HbA1C ( A1C) 0,25 – 2,9% pada klien DM tipe II (ADA, 2012) tergantung kepada lamanya klien menderita DM. Hasil metaanalisis pada studi orang tanpa diabetes menunjukkan MNT dapat menurunkan kolesterol LDL antara 15-25 mg/dl yang dicapai setelah 3-6 bulan inisiasi. Terjadinya penurunan albumin dalam darah akan menghambat proses penyembuah luka. Peningkatan pemberian protein pada kondisi Ny. S perlu dipertimbangkan dengan fungsi ginjal yang menurun dan adanya pengeluaran protein melalui urine. Protein yang diberikan pada Ny. S adalah 1,5 – 2 gr/Kg BB/hari dengan pertimbangan untuk meningkatkan proses penyembuhan luka. Sumber protein yang diberikan 50 % berasal dari sumber hewani dan 50 % berasal dari sumber nabati. Kandungan protein pada putih telur mencapai 98%, sehingga pemberian ekstra putih telur hingga 6 butir perhari merupakan upaya untuk memenuhi protein Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 81 dalam tubuhnya. Selain dari sumber hewani sumber protein nabati seperti dari olahan kedelai (susu kedelai) mempunyai banyak keuntungan jika dikonsumsi oleh psien DM seperti Ny.S, dimana sudah terjadi penurunan pada fungsi tubuh. Kandungan protein yang ada pada kedelai (phytoestrogen) dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi dan proinflamato cytokines diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal (Kresnawan & Markun). Penelitian lain tentang susu kedelai dilakukan oleh Anitha pada tahun 2006 di RS Saiful Anwar, pada 5 orang kelompok perlakuan yang diberikan susu kedelai didapatkan penurunan gula darah puasa dan 2 jam post prandial (p= 0,01). Dengan demikian pemberian susu kedelai tanpa gula bisa menggantikan pemberian susu dari sumber hewani. Intervensi lain yang dilakukan pada Ny. S yang penting adalah mengatasi hyperglikemia. Pada kasus Ny. S penatalaksanaan terhadap hiperglikemia saat di UGD adalah dengan pemberian insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam (setiap kenaikan 50 mg%, diberikan 5 ui Humulin RR (insulin kerja pendek) dimulai dengan nilai GD 200mg%). Setelah 2 hari dirawat diberikan insulin dengan dosis 3 x 8 unit & kontrol gula darah setiap hari 30 menit sebelum makan. Pada hari ke 3 perawatan gula darah klien terkontrol dengan nilai antara 180–250. Pemberian insulin pada kondisi ini tidak hanya untuk menurunkan glukosa darah hingga batas normal, namun juga untuk mengatasi ketonemia dimana insulin akan menurunkan konsentrasi hormone glucagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas di jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Efektifitas penatalaksanaan hiperglikemi dapat dipantau melalui kadar glukosa dalam darah. Pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan disertai penyakit kritis insulin diberikan jika gula darah lebih dari 180 mg/dL dan pemberian Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 82 insulin lebih efektif dengan pemberian continuous IV insulin atau intermiten SC basal bolus yang dikombinasi dengan correctional doses insulin. Pemberian ini mengurangi terjadinya hipoglikemia dan dapat menentukan dosis yang tepat (Hassan, 2007; LeMone, 2011; ADA,2012) 3.3.1.2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi Masalah keperawatan berikutnya yang praktikan tegakkan pada Ny. S pada mode fisiologi adalah resiko infeksi kearah sepsis. NANDA 2012- 2014, mendefinisikan resiko infeksi merupakan kondisi peningkatan resiko terserang organism pathogen. Pada kasus Ny. S, infeksi sudah terjadi yang ditandai dengan lekositosis dan pada hasil kultur didapatkan bakteri gram (+). Resiko terjadinya sepsis pada Ny. S, berdasarkan pada beberapa faktor resiko seperti usia, peningkatan gula darah, penurunan system imun dan perubahan pada vaskularisasi. Gangguan vaskuler dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing–masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi. Selanjutnya penuruanan sirkulasi ini akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi, sel darah putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak. Kondisi ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009, Hawks & Black, 2010). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 83 Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencapai perilaku adaptif terhadap pencegahan perluasan infeksi menjadi sepsis dilakukan dengan meningkatkan koping regulator dan kognator pada Ny. S dan keluarga. Secara umum intervensi tersebut meliputi, management luka, managemen infeksi, menegemen hiperglikemik, control vaskuler dan edukasi. Aktivitas yang dilakukan pada klasifikasi intervensi tersebut khususnya untuk menegemen luka, infeksi dan edukasi meliputi : melakukan perawatan luka (mengganti balutan, menyiapkan dasar luka dengan debridement). Aktifitas keperawatan yang ditujukan untuk control infeksi diataranya dengan monitoring tanda perluasan infeksi (tanda infeksi sistemik, infeksi pada area luka, eksudat yang diproduksi luka), mempertahankan tehnik aseptic selama perawatan luka, mencegah kontaminasi luka dengan sumber infeksi (lingkungan), kolaborasi dalam pemberian antibiotic (Ceftriaxon 2x 2 gr dan Metronidazol 3 x 500 mg) sesuai hasil kultur. Edukasi yang diberikan kepada Ny. S sebagai upaya untuk meningkatkan koping kognator diantaranya upaya peningkatan daya tahan tubuh : istirahat, penurunan kecemasan, tehnik menurunkan nyeri dan pemenuhan nutrisi sesuai diit. Edukasi untuk pencegahan infeksi dilakukan dengan menginformasikan untuk menjaga kebersihan area sekitar luka dan menginformasikan untuk melaporkan kepada perawat jika ada tanda deman, nyeri yang bertambah pada luka dan pengeluaran produksi cairan luka yang berlebihan (Bulechek, et al, 2008; Doenges, et al, 2010; Ackley & Ladwig, 2011). Pemberian antibiotik pada Ny. S di dasarkan pada hasil kultur. Ceftriaxon dan Metronidazol merupakan salah satu antibiotic yang masih sensitive. Peran perawat pada pemberian antibiotic ini dimulai dari metode pengambilan bahan culture. Pengambilan specimen yang tidak sesuai akan mempengaruhi hasil kultur dan pada akhirnya berdampak pada pemberian antibiotic yang tidak sesuai dan menyebabkan resistensi. Tehnik pengambilan swab kultur pada luka dilakukan dengan mencuci luka Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 84 terlebih dahulu menggunakan air steril atau NaCl 0.9 % (bukan cairan antiseptic) kemudian dikeringkan dengan kasa steril. Swab atau apusan luka dilakukan dengan menggunakan lidi kapas steril dengan metode Levine. Metode ini terbukti pada 4 penelitian merupakan metode yang paling efektif dibandingkan dengan metode Z maupun metode sederhana. Tehnik swab dengan metode Levine dilakukan dengan mengusapkan lidi kapas steril pada dasar luka yang telah dicuci dan area yang paling sedikit terdapat jaringan nekrosis/slogh pada diameter 1-2 cm melingkar (Gardner, 2006; Angel et al, 2011; Drinka et al, 2012; Nata dkk, 2012). Intervensi lain yang juga penting diperhatikan pada pencegahan meluasnya infeksi pada luka adalah perawatan luka. Prinsip management luka menurut Dealey.C, 2005 diantaranya adalah : perawatan luka lembab & menyiapkan dasar luka (wound bed preparation). Perawatan Luka Lembab Pada perawatan luka yang diberikan kepada Ny.S untuk mempertahankan kelembabannya awalnya menggunakan kasa yang dibasahi NaCl, namun pada hari ke 4 perawatan, sudah menggunakan hydrogel, mengingat lebih efektif dan efisien. Perawatan luka lembab pertamakali diperkenalkan oleh George Winter pada tahun 1962 dan berkembang hingga sekarang. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa lingkungan lembab mempercepat proses epitelisasi dan untuk menciptakan lingkungan lembab dapat dilakukan dengan menggunanakan balutan semi occlusive, full occulisive dan impermeable dressing. Ada beberapa keuntungan prinsip moisture dalam perawatan luka, diantaranya: mencegah luka menjadi kering dan keras, meningkatkan laju epitelisasi, menjagah pembentukan jaringan eschar, meningkatkan pembentukan jaringan dermis, mengontrol inflamasi dan memberikan tampilan yang lebih kosmetis, mempercepat proses autolysis debridement, menurunkan kejadian infeksi, cost effective, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 85 mempertahankan aktifitas neutrofil, menurunkan nyeri, memberikan keuntungan psikologis. Penggunaan kasa yang dilembabkan dengan NaCl merupakan cara konvensional dan sering digunakan. Cara ini bisa menciptakan suasana lembab tapi tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama sebaliknya cara ini bisa menimbulkan nyeri (pada beberapa klien) saat pergantian balutan ketika kasa telah mengering. Sedangkan hydrogels merupakan polymer dengan kandungan air 90-95 % dan memiliki sifat semi transparan dan nonadherent (Hest, CT. 1995., Jeter, KF &Tintle, TE. 1991 dalam Dealey, 2005). Di pasaran hydrogel tersedia dalam bentuk pasta dan lembaran (sheet). Bentuk lembaran sangat comformable sehingga bisa mengikuti tekstur luka dan dapat mengabsorbsi eksudat dalam jumlah sedikit atau sedang. Karena sifatnya yang tidak lengket maka tidak menimbulkan nyeri saat pergantian balutan namun sifat ini pula yang mengharuskan hydrogel didampingi oleh balutan sekunder. Balutan sekunder yang diberikan pada Ny. S adalah jenis balutan yang mampu mengabsorbsi eksudat. Menyiapkan dasar luka (Wound bed preparation) Persiapan dasar luka telah diusulkan sebagai sarana untuk memberikan pendekatan terstruktur dan sistematik dalam manajemen penyembuhan luka yang terganggu. Persiapan dasar luka menekankan pada pengangkatan hambatan yang mengganggu penyembuhan luka dengan mengoptimalkan kondisi penyembuhan luka. Tujuan persiapan dasar luka adalah untuk menciptakan lingkungan penyembuhan luka yang optimal dengan menghasilkan dasar luka yang bervaskular, stabil, dengan eksudat minimal. Salah satu tehnik yang dapat dilakukan untuk menyiapkan dasar luka ini adalah dengan debridemen. Debridemen merupakan proses pengangkatan jaringan mati (nekrotik), eksudat, dan debris metabolik dari dasar luka dan kulit sekitar untuk memfasilitasi proses penyembuhan. Jaringan nekrotik Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 86 dan sampah metabolik dalam luka mencegah penyembuhan dengan memberi nutrisi pada bakteri serta menghambat fase inflamasi penyembuhan. Oleh karena itu, harus diangkat sehingga akan membantu merangsang tepi luka yang tidak meluas. Berbagai macam tehnik debridement dapat dilakukan diantaranya dengan autolitik, biologik, kimiawi maupun mekanik (Dealey.C, 2005; Yunir, 2010). Pada kasus Ny. S penyiapan dasar luka dilakukan pada awalnya menggunakan hydrogel sebagai autolitik, namun karena area slough yang banyak dan nyeri saat dibersihkan maka debridemen mekanik (pembedahan) akhirnya dilakukan. Kondisi Ny. S yang dihadapi praktikan saat mengganti balutan adalah masalah nyeri dengan skala sedang dan meningkat saat alat menyentuh area luka atau saat nekrotomi. Nyeri merupakan masalah yang banyak terjadi pada klien dengan luka kronik dan nyeri dirasakan saat mengganti luka. Augustin & Maier, (2003 dalam Dealey, 2005) menyatakan nyeri yang dirasakan oleh klien dengan luka akan mengakibatkan stress dan stress juga akan meningkatkan nyeri. Survey yang dilakukan oleh Moffatt, 2002 di 11 negara mendapatkan nyeri yang paling dirasakan oleh penderita luka konik adalah saat mengganti balutan dengan kondisi balutan yang kering. Penelitian sebelumnya yaitu Szor dan Bourguignon (1999) mengamati 32 klien dengan ulkus tekanan dengan menggunakan kuesioner McGill mendapatkan 28 (87,5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan 12 (42%) mengalami nyeri terus menerus baik saat istirahat maupun saat mengganti balutan. Faktor yang menimbulkan nyeri saat mengganti balutan disebabkan oleh karena balutan yang lengket dengan luka, irigasi luka, balutan yang kering dan kecemasan (Bell & McCarthy, 2010). Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri selain dengan analgetik perawat melakukan tehnik relaksasi sebelum perawatan yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan dilanjutkan saat mengganti balutan. Relaksasi didefinisikan sebagai teknik yang digunakan untuk mendukung Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 87 dan memperoleh relaksasi untuk tujuan mengurangi tanda-tanda dan gejala yang tidak diinginkan seperti nyeri, ketegangan otot dan kecemasan (Dochterman McCloskey, 2004). Teknik relaksasi yang mudah dilakukan oleh klien adalah dengan teknik dalam. Selain teknik relaksasi penggunaan balutan yang sesuai (lembab bersifat autolitik) seperti jenis balutan modern mampu dapat meningkatkan kenyamanan. Penelitian Kristanto, 2010 di RSUD Syaiful Anwar malang terhadap 20 orang kelompok kontrol dan perlakukan di dapatkan balutan modern mampu meningkatkan ekspresi TGF β1 dan menurunkan kadar kortisol yang berdampak pada penurunan stress fisik maupun psikis (p = 0.028). 3.3.1.3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan Diagnosa resiko injuri atau bahaya fisik didefinisikan sebagai kondisi yang beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu dengan faktor resiko biologis (tingkat imunitas, mikroorganisme), dari kliennya (kognitif, afektif dan psikomotor), disfungsi biokimia, usia, fisik dan disfungsi sensorik (NANDA 2012-2014). Diagnosa ini merupakan penggabungan dari beberapa masalah pada mode fisiologi, yaitu masalah pada mode aktifitas, mode proteksi, mode sensasi, mode neurologi dan mode endokrin. Perilaku yang di tampilkan pada 5 mode tersebut menjadi data untuk masalah resiko injuri sedangkan stimulus menjadi data pada etiologi. Data yang didapatkan pada diagnose ini diantaranya adanya perilaku yang mengarah kemungkinan terjadi bahaya fisik/cedera, diantaranya adanya baal pada kedua telapak kaki, telapak kaki telah diamputasi 3 th yang lalu (1/3 distal metatarsal), adanya kalus pada kaki kanan yang ditengahnya terdapat ulkus. Pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan terjadi penurunan sensasi. Stimulus yang didapatkan baik fokal, kontekstual maupun residual Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 88 diantaranya: klien lansia (66 th), mengalami DM selama 10 tahun namun gula darah tidak terkontrol mengalami hipertensi dan riwayat amputasi 3 th yang lalu. Pengetahuan klien dan keluarga dalam perawatan kaki, pencegahan berulangnya ulkus kaki dan modifikasi mobilisasi masih kurang karena belum pernah mendapatkan informasi mengenai masalah perawatan kaki. Masalah kaki yang dialami oleh Ny. S adalah riwayat amputasi dengan kalus dan ulkus kecil di kaki kanan. Ulkus kaki merupakan salah satu infeksi kronis yang sering dialami pada diabetisi. Di USA angka kejadian ulkus kaki sebagai komplikasi DM terjadi pada 15 % diabetisi (Frykberg, et al, 2006) dan di Indonesia 15-23% dari seluruh penderita DM (Waspadji, 2011) dan 85% amputasi pada kaki diabetic di dahului oleh adanya ulkus & ulkus pada kaki dapat diawali karena adanya kalus pada area plantar kaki. Pengkajian kaki yang dilakukan kepada Ny. S didapatkan data adanya riwayat amputasi dengan ulkus & saat ini mengalami kalus, maka menurut Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 masuk dalam katagori 3 (resiko sangat tinggi), dan seharusnya pemeriksaan kaki dilakukan setiap 1-3 bulan, namun pada Ny. S tidak pernah dilakukan. Faktor resiko terjadinya ulkus pada kaki diantaranya adalah : neuropathi perifer, gangguan vaskuler perifer, keterbatasan gerak sendi, deformitas kaki, tekanan kaki yang abnormal, trauma minor, riwayat ulcer atau amputasi dan penurunan tajam penglihatan (Frykberg, et al, 2006). Pada Ny. S, ulkus yang dahulu dialami karena luka yang tidak disadari. Saat ini jika tidak dilakukan intervensi yang tepat, ulkus pada kalus akan berkembang menjadi ulkus yang terinfeksi. Menurut Frykberg, 2006 kalus pada area plantar terjadi karena adanya gesekan dan tekanan yang tinggi sehingga menyebabkan penebalan pada area kulit. Berikut ini akan diuraikan proses terjadinya ulkus kaki pada pasien diabetes. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 89 Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang berakibat terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya atropati Charcot. Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi penyebab terjadinya ulkus juga mempersulit proses penyembuhan ulkus kaki. Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 katagori, yaitu kaki diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki diabetika disebabkan oleh faktor neuropati (82%) sisanya adalah akibat neuroiskemia dan murni akibat iskemia. Gangguan mode sense dan neurologi (neurophaty perifer) yang terjadi pada Ny.S adalah penurunan sensasi (rasa) pada area telapak kaki kiri (diperiksa dengan menggunakan monofilament 10 gr) pada area telapak : terjadi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 90 penurunan sensasi rasa. Penurunan sensasi terjadi karena adanya komplikasi neuropathi sensori perifer. Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada klien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol, sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 91 Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan neuropathy pada klien diabetes merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan oleh ADA 2012 dan AACE, 2008 pada level A sebagai screening terhadap adanya kaki diabetic. Penggunaan monofilament 10 gr untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14 studi (1950–2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 3142 dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostic tunggal. Gangguan sense (indra) yang lain pada Ny. S adalah penurunan tajam penglihatan. Gangguan penglihatan yang terjadi disebabkan karena komplikasi dari DM yaitu retinopathy yang dapat menyebabkan injury. Retinophaty termasuk dalam golongan komplikasi mikrovaskuler, penyebab retinopathy belum secara jelas diungkap tapi mungkin dapat disebabkan oleh multifaktorial yaitu terkait dengan glikosilasi protein, iskemi, dan mekanisme hemodinamik. Peningkatan viskositas darah menyebabkan peningkatan permeabilitas dan penurunan elastisitas kapiler. Retina membutuhkan rata-rata konsumsi O2 terbesar dari seluruh organ tubuh, bila terjadi gangguan suplai O2 pada retina maka akan terjadi anoksia jaringan yang dapat menyebabkan kematian jaringan (Black & Hawk 2010). Intervensi yang dilakukan untuk memfasilitasi Ny. S mempunyai perilaku yang adaptif, maka dilakukan upaya untuk menghilangkan stimulus dengan meningkatkan koping Ny.S baik yang bersifat regulator maupun kognator. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 92 Pada koping regulator, intervensi yang dilakukan diantaranya , melakukan perawatan kalus dan ulkus, bersama keluarga memberikan lingkungan yang aman (memasang restrain saat keluarga tidak menunggu, mendekatkan alat yang dibutuhkan klien untuk mudah dijangkau), melatih klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, melatih klien menggunakan pengaman/pegangan saat akan mulai berdiri. Meningkatkan koping kognator dilakukan dengan melibatkan keluarga terutama yang selalu bersama klien (suami klien). Mendiskusikan bahaya fisik yang mungkin terjadi : jatuh, resiko terjadi ulkus berulang. Mendiskusikan dan mendemonstrasikan tehnik perawatan kaki, tehnik mengurangi tekanan pada area kaki kanan dan lingkungan yang aman untuk klien. Kalus yang terjadi pada kaki kanan Ny. S, disebabkan karena adanya penekanan dimana kaki kanan menjadi tumpuan ketika klien memulai berdiri. Dengan kondisi telapak kaki yang telah diamputasi & adanya kalus dengan ulkus ditengahnya sangat beresiko terjadinya perluasan ulkus, maupun perubahan bentuk kaki. Oleh sebab itu, menghindari penekanan dan menggunakan alas kaki yang sesuai merupakan pencegahan yang dapat dilakukan. Salah satunya dengan mengistirahatkan kaki, menghindari tekanan pada kaki (non weight bearing) dan off loading. Istilah off-loading dalam konteks luka kaki diabetik merujuk pada upaya untuk mengurangi beban tekanan terutama pada daerah luka. Hal ini merupakan tujuan utama dalam perawatan luka kaki diabetes. Off-loading mencegah trauma lanjutan pada luka dan memfasilitasi proses penyembuhan terutama pada klien dengan neuropati sensoris. Penelitian retrospektif dan prospektif menunjukkan bahwa peningkatan beban tekanan pada daerah plantar merupakan penyebab terjadinya luka diabetes pada daerah tersebut yang berakibat pada abnormalitas struktural dari kaki seperti; claw-toe deformity dan charcot neuroarthropathy. Kombinasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 93 deformitas kaki, penurunan fungsi protektif, dan tidak adekuatnya offloading berdampak pada kerusakan jaringan dan ulserasi Saat ini telah tersedia berbagai jenis sepatu khusus bagi penderita diabetes (Protective footwear), dimana salah satunya yang terkenal sebagai ‘gold standard’ adalah Total Contact Casts (TCCs). TCC merupakan sepatu khusus bagi penderita diabetes yang dapat mendistribusikan beban tekanan pada daerah plantar serta membatasi pergerakan daerah tumit, dengan demikian penggunaan TCC dapat mengurangi tekanan hingga 87%. Sayangnya penggunaannya masih jarang di klinis. Dimana hanya 2 % dari praktisi yang menggunakan TCC untuk merawat luka kaki diabetes dengan alasan kurangnya ketersediaan dan tenaga ahli dalam penggunaannya, selain faktor lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemasangannya dibandingkan alat lain (Waspadji.S, 2011; Perkeni, 2009). Bahaya fisik lain yang mungkin terjadi pada Ny. S berhubungan dengan komplikasi yang ditimbulkan. Hasil CCT menunjukan nilai GFR 56 ml/24 jam. Hal ini menunjukan penurunan fungsi ginjal pada stadium 2. Jika ini tidak menjadi perhatian akan jatuh pada gagal ginjal kronik. Penurunan fungsi ginjal merupakan salah satu komplikasi kronik dari DM yang disebut nefropathy. Diabetik nefropathy terjadi pada 20–40% klien DM dan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik (ADA, 2012). Rekomendasi ADA 2012 untuk pencegahan dan penanganan pada kondisi ini adalah : kontrol gula darah dan tekanan darah pada batas normal. Screening pada penurunan fungsi ginjal dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urium, kreatinin dan dan penghitungan GFR minimal 1 tahun sekali. Pembatasan protein 0,8–1 gr/Kg BB berguna untuk mencegah kerusakan fungsi ginjal lebih lanjut (ADA, 2012). Evaluasi yang didapatkan pada hari ke 14 rawatan, ditemukan perilaku adaptif pada mode aktifitas, proteksi dan interdependensi yang dapat dilihat : Klien dan keluarga mampu mengenali resiko bahaya yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 94 mungkin terjadi akibat kondisi kaki. Keluarga mampu menyebutkan lingkungan yang aman untuk klien dan memberikan lingkungan yang aman saat dirawat di rumah sakit. adanya kemampuan klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan meningkat, klien mampu menggunanakan pinggir tempat tidur sebagai pengaman saat mulai berdiri, keluarga mampu melakukan perawatan kalus dengan benar. Perilaku inefektif yang masih ditemukan diantaranya penglihatan klien masih buram, ulkus pada area kalus masih ada walupun dengan ukuran yang mengecil. Tindaklanjut dari perilaku inefektif yang masih ditemukan adalah mengkonsulkan klien ke dokter spesialis mata dan melakukan perawatan ulkus. 3.3.1.4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan yang tidak adekwat NANDA 2012, mengklasifikasikan diagnose ini pada domain promosi kesehatan. Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik didefinisikan sebagai pola pengaturan dan pengintegrasian ke dalam kebiasaan terapeutik kehidupan sehari-hari untuk pengobatan penyakit dan gejala yang ditimbulkan yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan spesifik. Batasan karakteristik pada diagnose keperawatan ini diantaranya kegagalan menerapkan program pengobatan, kegagalan dalam melakukan tindakan mengurangi resiko, mengungkapkan keinginan untuk mengatasi penyakitnya dan mengungkapkan kesulitan dalam pengobatan. Masalah keperawatan ini ditegakkan pada Ny. S, karena ditemukan perilaku yang merupakan komplikasi dari DM pada semua mode fisiologis. Perilaku ini disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan yang ditunjukan dengan tidak melakukan diit dengan benar, mengkonsumsi OHO tanpa pengawasan dokter dan menghentikan pengobatan insulin karena keterbatasan dana. Semua perilaku ini bersumber kepada informasi yang kurang tentang penatalaksanaan DM pada Ny. S maupun keluarga sebagai pendamping dalam pengobatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 95 Intervensi yang diberikan kepada Ny. S dan keluarga untuk meningkatkan perilaku adaptif pada masalah keperawatan ini diantaranya dengan menggali sumber–sumber kekuatan yang dimiliki keluarga dan klien dalam meningkatkan manajemen kesehatan diri, mengikutsertakan keluarga dan pasien jika kondisi memungkinkan dalam program edukasi kelompok, mendiskusikan dengan klien dan keluarga hal–hal yang berhubungan dengan penatalaksanaan, pearawatan dan komplikasi yang akan ditimbul pada pasien DM. Hasil evaluasi yang didapatkan dari Ny. S dan keluarga pada masalah tidak efektifnya manajemen diri pada hari ke 6 perawatan didapatkan secara kognitif klien dapat menyebutkan batasan nilai gula darah normal, perencanaan makan untuk dirinya (jumlah, jenis dan jadwal), komplikasi yang sudah ada di dalam dirinya serta pencegahannya. Psikomotor yang dapat yang dapat dinilai,keluarga mengikutiprogram edukasi kelompok, aktif bertanya kepada narasumber, dan menginformasikan kembali kepada klien edukasi yang telah didapat. Edukasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan seseorang dan diharapkan dapat merubah perilaku kearah yang lebih baik. Perilaku yang didasarkan pengetahuan dapat dipertahankan lebih lama dibandingkan dengan sebaliknya (Notoatmojo, 2007). Diabetes Self Management Education (DSME) merupakan salah satu bentuk edukasi yang berkelanjutan tidak hanya memberikan pengetahuan, namun juga meningkatkan perubahan perilaku dan sikap yang benar terhadap penatalksanaan DM. Model edukasi dengan DSME, menekankan kepada peran aktif pada penyandang DM untuk menggali informasi dan berdiskusi dengan sumber informasi, sangat berbeda dengan model edukasi searah, imana narasumber hanya menekankan kepada memberikan informasi. Setelah mendapatkan informasi dengan metode ini, diharapkan penyandang DM dapat memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 96 meningkatkan kesehatannya, sesuai dengan sumber–sumber yang dimilikinya. International Diabetes Federation (IDF, 2009 dan ADA, 2012 menekankan bahwa setiap individu dengan DM dimanapun dia tinggal berhak mendapatkan pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan DM secara berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek klinis, perilaku dan psikososial. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan bahwa setiap penyelenggara kesehatan tingkat propinsi harus menyediakan pelayanan pendidikan kesehatan dan educator melibatkan multisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, apoteker, maupun pandu diabetes). Rekomendasi untuk negara, bahwa negara memberikan support baik dalam hal kebijakan maupun pendanaan untuk penyelenggaraan DSME ini. (IDF, 2009; ADA 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Gumbs, 2012 tentang hubungan DSME dengan perilaku perawatan diri kepada wanita Afrika Amerika mendapatkan 53.6% telah mengikuti program DSME dan terjadi perubahan perilaku dalam pemeriksaan gula darah, kunjungan ke pelayanan kaki dan menunjukan nilai HbA1C yang menurun. Metode edukasi lain yang dapat meningkatkan efikasi diri dan perubahan perilaku penyandang DM adalah dengan melibatkan sesame penyandang DM. Penelitian dengan Randomized controlled trial oleh Ghorob et al 2011 di Sanfransisko terhadap 400 penyandang DM dari berbagai pelayanan kesehatan dibagi 2 kelompok: 200 orang pada kelompok dengan pembinaan oleh penyandang DM yang telah dilatih dan 200 orang dengan edukasi seperti yang biasa dilakukan. Pada bulan ke 6 dilakukan evaluasi, pada kelompok perlakuan didapatkan nilai HbA1C yang menurun. Hasil sekunder lain yang didapatkan yaitu terjadi penurunan pada tekanan darah, indek masa tubuh, LDL dan kolesterol. Pada perilaku di dapatkan perubahan dalam aktifitas perawatan diri, kepatuhan pengobatan, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 97 penurunan depresi dan peningkatan kualitas hidup. Hal ini menunjukan edukasi dengan melibatkan sesame penyandang DM dapat berpengaruh positif terhadap efikasi diri penyandang DM. Penerapan DSME ini sudah dilakukan di RSUP Fatmawati, dimana kegiatan edukasi sesuai rekomendasi IDF dilakukan setiap hari Rabu dengan melibatkan klien dan keluarga. Evaluasi yang didapatkan pada klien adalah didapatkannya perilaku adaptif yang ditunjukan dengan peningkatan pengetahuan klien dan keluarga mengenai DM dan perawatannya, keikutsertaan keluarga dalam program edukasi kelompok, keterlibatan klien dalam perawatan dirinya : menyuntik insulin sendiri, memilih makanan yang sesuai diit dan melakukan latihan peregangan serta senam kaki di tempat tidur. 3.3.2. Mode Konsep diri 3.3.2.1. Kesiapan meningkatnya koping individu Diagnosa ini merupakan kelompok diagnose sejahtera merupakan suatu keputusan klinik tentang keadaan individu dalam transisi dari tingkat sejahtera ketingkat sejahtera yang lebih tinggi atau dikenal dengan wellness diagnoses. Pada diagnose sejahtera ini, etiologi tidak diperlukan. Meningkatnya kesiapan koping individu didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan yang memadai untuk kesejahteraan dan dapat ditingkatkan (NANDA, 2012; Wilkinson & Ahern, 2012). Batasan karakteristik pada diagnose ini diantaranya mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya, menganggap stressor sebagai sesuatu yang dapat diatasi,dan menggunakan sumber – sumber spiritual. Batasan karakteristik ini diantaranya. Intervensi yang dapat ditegakkan pada masalah koping ini meliputi peningkatan system koping dan peningkatan system pendukung. Aktivitas yang diberikan meliputi : menggali koping yang telah dimiliki oleh klien, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 98 menggali kemampuan klien dalam pemecahan masalah, mendiskusikan sumber keluatan yang dimiliki klien, mendiskusikan penggunaan koping dan kekuatan yang ada dalam diri Ny. S untuk meningkatkan koping. Selain itu meningkatkan support system yaitu dengan melibatkan keluarga (suami dan anak) untuk mendukung dan menguatkan koping yang dimiliki klien. Hasil evaluasi yang didapatkan pada hari ke 6 untuk masalah kesiapan peningkatan koping individu didapatkan perilaku yang adaptif yaitu, klien mengungkapkan bahwa kondisinya saat ini merupakan dampak dari ketidakpatuhan klien dalam penatalaksanaan DM, klien mengungkapkan keinginannya menjalani sisa kehidupannya dengan badan yang sehat, dan klien selalu aktif terlibat dalam perawatan dirinya : menentukan makanan yang akan dimakan, mengambil keputusan terhadap alternative pengobatan yang ditawarkan oleh dokter maupun perawat. 3.3.2.2. Kesiapan meningkatnya religiositas/Spiritual Diagnosa ini didefinisikan oleh NANDA, 2012 sebagai kemampuan untuk meningkatkan berpartisipasi karakteristik ketergantungan dalam dari ritual diagnose pada tradisi ini keyakinan agama kepercayaan dan tertentu. mengungkapkan keinginan atau Batasan untuk memperkuat pola keyakinan agama yang sebelumnya biasa dilakukan, memberikan ketenangan dan kenyamanan. Intervensi keperawatan yang dapat ditegakkan untuk meningkatkan koping individu dan untuk meningkatkan kesejahteraan konsep diri klien dalam hal spiritual, meliputi : peningkatan aktifitas ibadah, dukungan spiritual, dimana aktifitasnya meliputi diskusikan kebutuhan spiritual, sediakan media untuk menjalankan kegiatan spiritual, berikan privasi selama klien menjalankan ibadah, consultasikan dengan pembimbing rohani (Dochterman & Bulechek, 2008). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 99 Pada Ny. S ditegakkan diagnosa meningkatnya kesiapan religi/spiritual dengan didukung oleh perilaku klien yang mengatakan selalu menjalankan ibadah sebelum sakit. Saat ini ingin menjalankan ibadah (sholat), namun merasa jika tubuhnya kotor oleh cairan luka. Ungakapan lain yang menunjukan perilaku spiritual yang adaptif diantaranya klien menyatakan berserah diri kepada Tuhan atas sakit yang dideritanya, karena ia yakin pengobatan merupakan usaha dari manusia dan semuanya akan ditentukan olehNya. Intervensi yang lakukan kepada Ny. S diantaranya mendiskusikan tata cara bersuci dan shalat saat sakit, mengajarkan cara tayamum dan sholat dengan duduk,melibatkan keluarga dalam menyediakan perlengkapan sholat dan tashbih, memotivasi untuk melakukan sholat dan berdo’a dan mempertahankan privacy saat sholat/berdo’a. Pada hari kedua dilakukan asuhan keperawatan, keluarga klien membawakan peralatan sholat, klien sudah menjalankan ibadah sholat dengan duduk dan terlihat berdzikir saat tidak ada tindakan keperawatan. Spiritual merupakan salah satu kebutuhan manusia, kebutuhan ini didasarkan pada hubungan antara manusia dengan TuhanNya. Pada orang yang dirawat dirumah sakit, pemenuhan kebutuhan spiritual menjadi bagian sama dengan kebutuhan fisik maupun psikis pasien. Pemenuhan kebutuhan spiritual ini menjadi tanggung jawab parawat. Pengamatan praktikan di tempat menjalankan praktek residensi, belum ada dokumentasi keperawatan yang mengangkat masalah spiritual dan pengamatan praktikan terhadap pemenuhan kebutuhan ini jarang dilakukan oleh perawat. Penelitian di US menunjukan bahwa 94 % dari pasien yang berkunjung ke pelayanan kesehatan meyakini bahwa kesehatan spiritual sama pentingnya dengan kesehatan fisik, 77 % meyakini bahwa kesehatan spiritual harus menjadi bagian dari pelayanan kesehatan dan 80 % melaporkan petugas kesehatan tidak menyentuh aspek spiritual dalam melakukan pelayanan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 100 kesehatannya (Anadarajah, 2001). Pemenuhan kebutuhan spiritual pasien akan dapat membantu mereka beradaptasi dan melakukan koping terhadap sakit yang dideritanya yang akhirnya akan meningkatkan meningkatkan kualitas hidup pasien, Oswald (2004 dalam Rohman, 2009). Terapi pendukung atau CAM (complementary and alternative medicine) banyak digunakan oleh penderita DM diberbagai negara. Di Amerika para penyandang DM yang menggunakan CAM berkisar antara 17 – 73 %. Dari 18 studi yang dilakukan oleh Chang, 2007 mendapatkan 50 % (9 studi) menggunakan terapi spiritual sebagai terapi pendukung dan menunjukan peningkatan kesehatan pada pasien DM ini (Arye, 2010). Berdasarkan beberapa studi terkait, dengan kebutuhan spiritual sangat diharapkan pada praktek pelayanan kesehatan karena terbukti meningkatkan kesehatan fisik dan psikis. Peran perawat dalam pemberi asuhan yang holistik tidak mengesampingkan kebutuhan spiritual dalam praktek pelayanan kesehatan. 3.4. Analisis Penerapan Teori Adaptasi Roy pada 32 Kasus kelolaan Pada bagian ini praktikan akan membahas kasus–kasus lain yang praktikan kelola selama praktikan menjalankan praktek residensi. Kasus yang praktikan kelola terdiri dari 32 kasus diabetes mellitus dengan berbagai komplikasi yang ditimbulkan. Secara rinci 32 kasus yang praktikan kelola diantaranya 11 kasus DM dengan ulkus kaki, 2 diantaranya dilakukan amputasi mayor, 8 kasus dirawat karena komplikasi hyperglikemi dan hipertensi 5 kasus DM dengan komplikasi CKD, 2 kasus dengan komplikasi akut KAD, 2 kasus dengan komplikasi infeksi pernafasan dan 1 kasus dengan infeksi kulit. Semua kasus kelolaan dilakukan asuhan dengan pendekatan Model Adaptasi Roy. Analisis terhadap kasus dilakukan berdasarkan masalah keperawatan yang ditimbulkan kemudian dilakukan analisis mulai dari pengkajian, intervensi hingga evaluasinya dengan menggunakan Model Adaptasi Roy. Adapun hasil analisis pada ke 32 kasus kelolaan ini adalah : Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 101 3.4.1. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi Masalah keperawatan resiko infeksi atau infeksi yang meluas,pada kasus kelolaan yang praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi ulkus maupun dengan komplikasi CAP dan TB paru. Resiko infeksi yang terjadi pada pasien DM disebabkan karena menurunnya vaskularisasi dan penurunan kemampuan sel immune melakukan fungsinya dampakdari hiperglikemia (LeMone, 2011). Dari 32 kasus kelolaan 11 pasien mengalami ulkus dan 2 pasien dengan infeksi pernafasan. Ulkus kaki diabetic merupakan kompliasi DM yang banyak dijumpai setelah retinopati, hipertensi dan nefropathi. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam perjalanan penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di kaki (Taylor,2008; Clair.D, 2011). Di RSUP Fatmawati dicatat selama 6 bulan, dari 123 pasien DM yang dirawat di unit perawatan penyakit dalam khususnya di lantai 5 selatan jumlah pasien DM dengan ulkus kaki selama 36 orang (29.1 %) dengan ulkus kaki. Kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien DM yang menyebabkan kelainan neuropati, infeksi dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik, matorik maupun autonom akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus (Waspadji, 2009). Neuropathi sensorik perifer menjadi penyebab utama terjadinya berbagai trauma pada DM. 40 – 65 % ulkus diabetic terjadi karena murni gangguan neuropathy sensori dan 45 % terjadi karena gabungan anatara neuropati dan vaskulopathy (Frykberg et al, 2006). Pada kasus 11 kasus kelolaan, 7 pasien mengalami ulkus karena neuropathy sensori. Namun dari hasi pengkajian kaki pada 11 kasus kelolaan menunjukan hasil (-) pada pemeriksaan monofilament 10 gr yang menunjukan adanya neuropathy sensori. Neuropathy perifer pada DM terjadi melalui mekanisme Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 102 Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Pengkajian ulkus DM terutama pada kaki menggunakan panduan PEDIS, (Perfussion, Extend, Depth, Infection, and Sensation). Untuk menentukan kedalam dan luas luka, disarankan untuk mencuci luka terlenih dahulu, sehingga mendapatkan ukuran luka yang sebenarnya. Seluruh pasien kelolaan yang dengan ulkus, didapatkan sudah terjadi infeksi baik local maupun sistemik dan penurunan sensasi. Infeksi yang terjadi dapat dilihat dengan adanya eksudat yang purulen, peningkatan suhu, dan dari pemeriksaan leukosit maupun culture luka. Luas dan kedalaman luka bervariasi, namun sebagian besar kedalaman luka mencapai otot. Perfusi diukur dengan palpasi arteri terdekat dengan luka dan dibandingkan dengan kaki yang sehat. Intervensi keperawatan yang dilakukan pada kelolaan dengan masalah infeksi berdasarkan nursing intervention classification (NIC) dan panduan kaki diabetic dari PERKENI, 2011 yaitu wound control, metabolism control dan infection control. Aktifitas keperawatan yang dapat dilakukan diantaranya perawatan luka dengan memperhatikan prinsip memberikan lingkungan yang lembab dan pemilihan jenis topical terapi yang tepat, membuang jaringan nekrotik dan slough dengan nekrotomi atau kolaborasi tindahan surgical debridement. Metabolisme kontrol dilakukan dengan pemantauan gula darah, kolaborasi dalam perencanaan diit termasuk pemberian protein tambahan dan pemberian terapi insulin. Kontrol Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 103 Infeksi dilakukan dengan mencegah kontaminasi mikroorganisme ke area luka (prinsip steril saat mengganti balutan, dan pencucian area sekitar luka dengan antiseptic). Untuk mengurangi koloni bakteri dalam luka terutama pada area slough dapat dilakukan irigasi luka dengan tekanan 13 Psi. Irigasi ini menggunakan spuit 12 cc dengan jarum 22G terbukti menurunkan infeksi (p=0,017) dan inflamasi (p=0,031) (EBP level B), Joanna Briggs Institue, 2006. Kolaborasi pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur merupakan tindakan yang tepat. Pengambilan kultur menjadi kunci dalam menentukan antibiotik yang sensitif. Penggunaan metode Levine dalam pengambilan spesimen kultur luka terbukti lebih sensitive dibandingkan dengan metode Z-stroke maupun metode sederhana (p=0,001), Nata, 2012. Hasil evaluasi yang praktikan lakukan pada 11 kasus dengan ulkus kaki, dengan berbagai ukuran luka masalah infeksi dapat teratasi dengan waktu yang tercepat pada minggu ke 2 perawatan. Faktor lamanya masalah ini selain dipengaruhi oleh factor luka dan status metabolic, juga dipengaruhi oleh faktor usia, keputusan keluarga dalam menyetujuai tindakan (pemberian antibiotik, tindakan debridement, dan lain sebagainya). 3.4.2. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan, proses infeksi Masalah keperawatan lain yang ditemukan pada kasus kelolaan adalah masalah nyeri. Masalah nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensori yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang, bisa terjadi secara perlahan atau tiba–tiba dengan intensitas mulai dari ringan hingga berat (Wilkinson & Ahern, 2012; NANDA, 2012). Nyeri merupakan bentuk perilaku adaptif yang ditemukan pada mode sensasi. Masalah nyeri ditemukan pada semua pasien dengan ulkus pada rentang yang berbeda–beda, mulai dari nyeri sedang hingga nyeri berat. Nyeri yang terjadi pada ulkus DM selain karena adanya kerusakan jaringan juga terjadi karena proses infeksi atau inflamasi. Menurut Black dan Hawk (2010) Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 104 nyeri pada kondisi inflamasi atau infeksi ini terjadi sebagai akibat distensi pada jaringan yang peka terhadap peregangan (distention of stretch-sensitive tissue) terutama periosteum. Dalam keadaan inflamasi akan dilepaskan mediator kimia (chemical mediators) antara lain histamin, bradikinin, prostaglandin, dan substansi P, yang menstimulasi reseptor nyeri (nociceptor). Nyeri merupakan respon inefektif yang ditemukan pada mode sensasi. Perilaku yang ditunjukan dari nyeri ini berbeda–beda setiap individu begitu juga dengan rentang nyeri. Pengamatan praktikan melakukan asuhan pada kasus kelolaan, nyeri bertambah saat perawatan luka, mulai dari membuka balutan, irigasi hingga debridement mekanik. Hanya 1 pasien yang praktikan temukan mengalami nyeri terus menerus walaupun tidak sedang dilakukan perawatan luka, kondisi ini diduga adanya nyeri neuropathi. Szor and Bourguignon (1999 dalam Dealay, 2005) melakukan survey kepada 32 pasien luka tekan menggunakan McGill Pain Questionnaire di dapatkan 28 orang (87.5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan sisanya nyeri yang terus menerus. Faktor yang berperan dalam peningkatan nyeri saat diganti balutan diantaranya, balutan yang merekat pada luka, irigasi luka, atau cemas dan takut (Bell & McCarty, 2010). Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri dari sisi penggantian balutan adalah pemilihan jenis balutan dan memberikan lingkungan yang lembab pada area luka. Penelitian yang dilakukan Kristanto H, 2010 pada 20 responden di dapatkan hubungan yang signifikan (p= 0,0005) antara respon nyeri dengan kadar TGF β1 pada penggunaan modern dressing. Intervensi untuk meningkatkan koping regulator kognator pada pasien nyeri dapat dilakukan dengan mengkombinasikan terapi farmakologid dan non farmakologis. Intervensi mandiri dari perawat dengan mengembangkan berbagai terapi nyeri non farmakologis ini. Bentuk terapi nyeri non-farmakologi yang dapat dilakukan pada pasien , meliputi distraksi (distraction), relaksasi (relaxation), dan imajinasi terbimbing (guided imagery) (Perry & Poter, 2010). Untuk mengatasi nyeri yang terjadi pada pasien kelolaan, praktikan mengajarkan tehnik relaksasi yang bisa Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 105 dilakukan oleh pasien sebelum dilakukan ganti balutan, maupun saat dilakukan ganti balutan. Progressisve muscle relaxation (PMR) merupakan salah satu teknik relaksasi yang dapat dilakukan oleh setiap individu untuk mengurangi stress dan kecemasan (Borkove, Russcio, (2001 dalam Ghazavi, Abdeyaz dan, Attari, 2008). PMR merupakan teknik untuk mengurangi stress dan kecemasan yang dikembangkan oleh Edmund Jacobson (1920) dengan melakukan peregangan dan penekanan pada otot. PMR melibatkan penekanan dan peregangan pada kelompok otot daerah wajah, lengan, dada, perut dan kaki. Respon tubuh terhadap adanya stress salah satunya adalah terjadinya ketegangan pada otot yang dapat menimbulkan ketidaknyaman dan rasa nyeri. dapat dilakukan sebelum pasien dilakukan perawatan luka. Tehnik relaksasi lain yang dapat dilakukan saat balutan diganti adalah dengan penggabungan tehnik relaksasi dengan terapi spiritual yang dikembangkan oleh Benson & Proctor, (2000), yaitu dengan memusatkan perhatian pada suatu fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan berbagai pikiran yang menggangu. Praktikan memodifikasi dengan sholawat nabi jika pasiennya muslim, atau disesuaikan dengan agamanya. Evaluasi yang didapatkan nyeri berkurang dari hari–kehari dan dan ketergantungan pasien terhadap terapi analgetik dapat dikurangi, selain terjadi penurunan tingkat stress saat diganti balutan. Namun demikian karena nyeri pada ulkus DM termasuk nyeri kronik seringkali nyeri masih dirasakan hingga proses penyembuhan. 3.4.3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berlebih/ kurang dari kebutuhan tubuh Perilaku inefektif pada mode fisiologi cairan dan elektrolit pada pasien DM yang praktikan temukan terdapat pada pasien DM dengan komplikasi gagal ginjal kronik yang disebabkan oleh stimulus fokal adanya nefropati. Perilaku yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 106 ditemukan pada masalah ini adalah adanya tanda odema, sesak nafas yang terjadi akibat penumpukan cairan di paru–paru, disertai pengeluaran urine yang sedikit, uremia dan peningkatan kadar creatinin darah. Gejala yang timbul disebabkan karena penurunan filtrasi gromerulus. Di Amerika gagal ginjal atau Nefropati DM (ND) jumlahnya mencapai 44 % dari semua kasus baru CKD, 40 % dari pasien yang menjalani hemodialisa atau transplantasi ginjal (Porrth & Maftin, 2009 dalam LeMone, 2011). ND terjadi 30 – 40 % pada DM tipe 1 dan akan terjadi setelah 15–20 tahun mengalami DM, dan terjadi ND pada 15 – 20 % dari seluruh penderita DM tipe 2 (Mc Phee& Paadakins). Intervensi yang dapat dilakukan pada masalah ini untuk meningkatkan koping regulator diantaranya pemantauan terhadap intake & output cairan, pemantauan tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan), pembatasan cairan sesuai dengan balance cairan, pemberian posisi semifowler dan kolaborasi dalam penatalksanaan hemodialisa. Penatalaksanaan untuk meningkatkan koping kognator, dilakukan edukasi untuk pencegahan semakin menurunnya fungsi ginjal. Edukasi difokuskan untuk : 1). pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes; 2). Pengendalian tekanan darah (diit rendahgaram dan kontro tekananan darah dengan obat antihipertensi sesuai program pengobatan); 3). Pencegahan fungsi ginjal (diit rendah protein ). Hasil evaluasi menunjukan pasien menunjukan perilaku adaptif pada hari ke 6 sampai hari ke 12 tergantung pada stadium. Masalah cairan pada pasien DM tidak hanya masalah kelebihan, namun masalah kekurangan cairan juga dapat ditemukan pada kasus komplikasi akut ketoasidosis. Ketoasidosis didefinisikan sebagai keadaan dekompensasi dari gangguan metabolic ditandai dengan hiperglikemia, asidosis dan ketosis. Dua kasus yang praktikan kelola disebabkan karena proses infeksi, namun keduanya tidak mengetahui jika dirinya menderita DM. Masalah utama yang didapatkan pada KAD adalah pada inefektif cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh dan masalah keseimbangan asam basa. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 107 Pada kondisi KAD ini, inefektif kebutuhan cairan dan elektrolit terjadi karena dieresis osmotic akibat hyperglikemia. Pengeluaran cairan yang berlebih dapat mengakibatkan pasien jatuh ke kondisi dehidrasi hingga syok. Selain itu masalah keseimbangan asam basa juga masalah yang mengancam kehidupan pasien. Lipolisis terjadi karena penurunan insulin dan peningkatan hormone kontralateral pada akhirnya meningkatkan benda keton yang akan menurunkan pH darah. Mengatasi masalah inefektif cairan, elektrolit serta keseimbangan asam basa harus dicapai tidak lebih dari 24 jam. Kolaborasi dalam pemberian cairan, pemberian insulin dan pemantauan elektrolit merupakan intervensi yang harus dilakukan. Intervensi lain adalah dengan mengatasi sumber hyperglikemia seperti infeksi dan stress psikologi. Dari pengamatan praktikan, tindakan untuk mengatasi KAD seperti pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap jam atau 2 jam sekali pada 6 jam pertama, kemudian pemeriksaan laboratorium lain untuk pemantauan elektrolit, ketosis maupun asidosis merupakan sumber stress psikologis yang akan berpengaruh kepada peningkatan hormone kontra regulator. Pemberian informasi terhadap tindakan yang akan diterima pasien menjadi kewajiban perawat untuk melakukannya. Selain itu pendampingan oleh keluarga terdekat selama tindakan terbukti mengurangi stress yang dialami. Pada kedua pasien KAD yang praktikan kelola, masalah inefektif cairan dapat teratasi pada 6 jam pertama. 3.4.4. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan Resiko injuri atau bahaya fisik ini merupakan antisipasi terhadap berbagai kemungkinan timbulnya gangguan pada fisik akibat perilaku adanya penurunan pada mode sensasi. Bertolak dari banyaknya kejadian ulkus kaki pada pasien DM, awal terjadinya ulkus rata–rata tidak mengetahui penyebabnya. Hal ini terjadi karena penurunan sensasi baik pada kaki yang disebabkan oleh neuropathy perifer. Selain itu pengetahuan yang kurang dan perilaku yang salah dalam perawatan kaki menjadi stimulus kontekstual yang selalu pada pasien ulkus. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 108 Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus pada kaki, pengkajian kaki merupakan tindakan yang efektif untuk menemukan resiko terjadinya ulkus dan dengan intervensi yang tepat pada setiap resiko ulkus yang ditemukan akan mencegah terjadinya ulkus 40 – 80 % (Taylor, 2008). Selain pengkajian kaki, edukasi untuk perawatan kaki secara mandiri (pemeriksaan kaki oleh pasien atau dibantu keluarga, pencucian, menggunting kuku, menggosok kalus) menjadi bagian penting dalam pencegahan terjadinya ulkus. Model edukasi yang dilakukan pada perawatan kaki akan lebih dipahami oleh pasien jika dilakukan dengan mendemonstrasikan langsung atau memberikan tayangan visual (video). Kendala yang praktikan hadapi saat menerapkan pengkajian kaki di rawat jalan sebagai bagian dari pelayanan primer adalah banyaknya kunjungan pasien yang datang, waktu kunjungan yang singkat dan tempat yang terbatas. Poli kaki diabetic sebagai bagian dari poli penyakit dalam belum melakukan perannya sebagai upaya preventif, namun lebih kepada upaya kuratif dalam mengatasi pasien yang sudah mengalami ulkus. Sementara itu, kendala yang awalnya ditemukan di rawat inap saat melakukan pengkajian kaki adalah keterbatasan alat pemeriksaan. Namun pada akhirnya kendala ini (rawat inap) dapat segera diatasi dengan adanya kegiatan inovasi. 3.4.5. Mode Konsep Diri (Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan, perubahan status peran dan ancaman status kesehatan Dari 32 pasien yang praktikan kelola, 22 pasien (68,8%) mengalami masalah pada konsep diri yaitu kecemasan. Kecemasan yang dialami tidak hanya bersumber dari penyakitnya (adanya ulkus, penyakit kronis) namun juga akibat tindakan yang dilakukan (perawatan luka, pemeriksaan gula darah yang sering). Masalah perubahan peran terutama bagi wanita yang harus meninggalkan peran utamanya sebagai ibu atau pasien pria yang harus menghidupi keluarganya juga ditemukan pada kasus kelolaan yang praktikan lakukan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 109 Masalah keperawatan kecemasan di definisikan sebagai perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu) ; perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman (NANDA, 2012). Kecemasan yang dirasakan pasien DM akan berdampak pada masalah fisik seperti nyeri yang bertambah, gangguan tidur, perubahan pada tekanan darah hingga mempengaruhi stabilitas gula darah dan system imun. Pengaruh kecemasan terhadap kondisi diatas dapat dijelaskan melalui psikoneuroimunoendokrinologi. Sistem endokrin : stres psikis dan psikososial berdampak terhadap peningkatan aktivitas hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) melalui Corticotropin Releasing Factor (CRF). CRF berperan sebagai koordinator respon antara sel saraf terhadap stres tersebut. CRF menginstruksikan saluran-saluran pituitary pada otak untuk mengeluarkan ACTH (Adrenoccorticotropic Hormon) yang mengaktifkan korteks adrenal untuk mengeluarkan hormone corticoid. Corticoid berupa glucocorticoid mengeluarkan kortisol dan mineralocorticoid yang mengeluarkan aldosteron. Aldosteron dapat meningkatkan tekanan darah sedangkan kortisol mempunyai beberapa fungsi. Fungsi pertama kortisol meningkatkan gula darah untuk energi dan memobilisasi free fatty acids dari jaringan adiposa. Lapisan lemak ini dipecah menjadi protein yang meningkatkan tekanan darah arteri, sehingga mempunyai bahan bakar untuk mempersiapkan proses hadapi (munculnya stresor). Fungsi kortisol yang kedua menyebabkan perubahan fisiologi yang sangat bermakna, yaitu menurunkan pelepasan limphosit dari saluran timus dan lymphnodes. Limphosit ini penting untuk sistem imun. Jika kortisol meningkat berdampak pada penurunan efektifitas respon sistem imun. Padan sistem saraf otonom : pesan dikirim melalui bagian posterior dari hipotalamus melalui saraf ke adrenal medulla. Pada proses ini terjadi pengeluaran epinephrine dan nor-epinephrin. Ini menunjukan kaitan yang erat antara stres, neuro dan imunitas. Selanjutnya aspek Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 110 psikologis seperti stres dapat mempengaruhi ekspresi sel Th1dan Th2 yang akan menghambat imunitas seluler dan humoral Intervensi keperawatan yang dilakukan pada masalah kecemasan ini diantaranya dengan menggali sumber stress melalui pengkajian stimulus, mendiskusikan dengan klien kekuatan yang dimiliki, mengguanakan berbagai tehnik relaksasi seperti PMR, dan meningkatkan keyakinan spiritual pasien sebagai salah satu sumber kekuatan dari dalam diri pasien. Meningkatkan keyakinan spiritual sebagai upaya meningkatkan kesehatan fisik dan mental belum sepenuhnya menjadi bagaian dari asuhan keperawatan gangguan kecemasan khususnya tempat praktikan menjalani paraktik. Dari hasil pengkajian kebutuhan spiritual beberapa pasien meninggalkan kegiatan spiritual (sholat) yang sebelumnya selalu dilakukan. Stimulus yang ditemukan pada kondisi ini diantaranya karena ketidaktahuan pasien dalam menjalankan kegiatan spiritual saat sakit, karena motivasi yang kurang atau karena tidak tersedianya fasilitas untuk menjalankan praktek spiritual (Mukena, sajadah, injil, dan lainnya). Intervensi yang dapat dilakukan pada kondisi ini adalah meningkatkan keyakinan pasien bahwa spiritual akan membantu proses penyembuhan, mendiskusikan cara ibadah saat sakit dan melibatkan keluarga dalam menyediakan fasilitas untuk ibadah. Evaluasi yang ditemukan pada pada masalah kecemasan, didapatkan perilaku adaptif seperti : pasien mampu mengungkapkan sumber kecemasnnya, mampu mengembangkan koping yang baik untuk mengatasi kecemasannya, ungkapan menerima kondisi sakitnya dan motivasi dalam menjalankan perawatannya. Waktu yang dapat dicapai untuk mengatasi berentang antara hari ke 3 hingga ke 7. Pencapain ini dipengaruhi juga oleh support system dari keluarga,dan maslah financial. Oleh sebab itu, melibatkan support dari keluarga menjadi hal yang utama pada intervensi kecemasan. Setelah praktikan melakukan asuhan keperawatan dengan menerapkan model adaptasi Roy, pada pasien gangguan endokrin khususnya untuk kasus DM, praktikan dapat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 111 menggambarkan bahwa MAR merupakan salah satu model asuhan keperawatan yang dapat dilakukan secara holistic. Pengkajian yang dilakukan pada empat mode telah mencakup masalah bio, psiko, social dan kultural. Pengkajian tidak hanya pada perilaku yang dapat dilihat, diukur dan diobsevasi, namun MAR menggali lebih lanjut penyebab dari timbulnya setiap perilaku, yaitu melalui pengkajian tahap dua. Pengkajian yang komprehensif akan menentukan intervensi yang tepat. MAR mengarahkan bahwa penetapan intervensi keperawatan dengan menggurangi stimulus yang ada sebagai sumber penyebab perilaku maladaptif /inefektif dan keberhasilan intervensi ditunjukan dengan perubahan perilaku kearah adaptif. Kelemahan lain dari MAR yang praktikan rasakan adalah pola pengkajian yang tidak dapat dilakukan secara utuh pada kasus kegawatan terutama di unit gawat darurat dan pada unit rawat jalan. Pada unit gawat darurat, pengkajian utama yang kita lakukan lebih kepada mode fisiologi yang saat itu dirasakan oleh pasien, sehingga pengkajian untuk mode yang lain sulit untuk dilakukan. Selain karena masalah fisiologi yang harus segera diatasi, pasien akhirnya akan dipindahkan ke unit lain. Begitu juga dengan pasien di poli rawat jalan. Singkatnya waktu yang digunakan untuk melakukan asuhan keperawatan menyulitkan MAR ini digunakan. Masukan yang dapat praktikan usulkan berhubungan dengan penerapan MAR di unit gawat darurat, format pengkajian hingga intervensi dibuat dengan model Check list . Pada mode adaptasi yang belum terkaji dapat ditindaklanjuti di tempat pasien tersebut menjalani perawatan. Kesulitan lain yang praktikan dapatkan dalam menentukan diagnose sejahtera. Diagnosa keperawatan sejahtera didefinisikan sebagai ketentuan klinis mengenai individu dalamtransisi dari tingkat kesehatan khusus ke tingkat kesehatan yang lebih baik. Diagnosa ini menggabungkan fungsi positif yang didapatkan. Pada MAR dalam menentukan masalah keperawatan berorientasi pada perilaku inefektif. Ketika ditemukan perilaku inefektif dan didukung dengan perilaku adaptif, ini merupakan kondisi khusus untuk menuju terjadinya peningkatan fungsi kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini, praktikan menggunakan panduan NANDA dalam menentukan diagnose keperawatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 112 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 113 BAB 4 PRAKTEK BERDASARKAN PEMBUKTIAN PENGKAJIAN KAKI SEBAGAI DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI PADA PASIEN DM TIPE II Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Komplikasi kronik yang sering dijumpai diantaranya adalah kaki diabetik yang dapat bermanifestasi sebagai ulkus, infeksi dan gangren. Sekitar 12% - 25 % pasien DM tipe 2 dalam perjalanan penyakitnya mengalami komplikasi ulkus diabetik terutama ulkus di kaki (Taylor, 2008; Clair.D, 2011). Prevalensi penderita ulkus Diabetes di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetes merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk Diabetes mellitus (Hastuti, 2008). Dampak dari timbulnya ulkus pada penderita Diabetes, tidak hanya dari tingginya biaya perawatan namun lebih jauh akan menurunkan produktifitas penderita, gangguan konsep diri hingga menurunnya kualitas hidup. Pengelolaan kaki diabetes sudah dimulai saat seseorang dinyatakan menderita Diabetes mellitus, meskipun belum timbul luka atau ulkus. Langkah awal untuk melakukan pengelolaan dengan tepat adalah melakukan screening atau deteksi dini terhadap kaki pendereita diabetes. Deteksi dini yang optimal dapat menurunkan resiko terjadinya ulkus kaki dan amputasi sebesar 40 – 85% (Taylor, 2008; Yudovsky et al, 2011). Deteksi dini pada gangguan kaki diabetik merupakan salah satu kegiatan dalam pengkajian keperawatan yang harus dilakukan oleh seorang perawat. Pengkajian yang akurat dan komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada pasien dan selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat (Perry & Poter, 2010). Screening atau deteksi terhadap resiko ulkus kaki diabetik yang dilakukan oleh Malgrange et al, tahun 2003 di 16 pusat pelayanan diabetik di Perancis terhadap 555 pasien, ditemukan 72,8% beresiko rendah mengalami ulkus pedal dan 17,5 % berada Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 114 pada klasifikasi resiko tinggi. Dari deteksi tersebut disimpulkan bahwa hasil deteksi menjadi dasar bagi penyelenggara pelayanan kesehatan untuk merencanakan strategi pencegahan terhadap kejadian ulkus diabetik. Pada studi comparative yang dilakukan oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada pasien diabetes di Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania ditemukan masalah resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di Swedia. Faktor yang berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia dikarenakan Swedia merupakan negara yang lebih maju dibandingkan Tanzania terutama dalam pelayanan kaki diabetik. Disampaikan bahwa pengkajian kaki diabetik telah dilakukan pada pasien diabetik sebagai langkah awal dalam pencegahan ulkus diabetik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rerkasem et al, 2007 dalam Taylor.M.C,2008 terhadap 171 penderita ulkus kaki diabetik di Chiang Mai University Hospital, menggunakan metode cohort membandingkan perawatan standar dengan diabetik foot protocol (DFP) terhadap kejadian amputasi. Hasil penelitian menunjukan adanya penurunan kejadian amputasi baik mayor maupun minor pada kelompok dengan perlakukan DFP yang meliputi pengkajian, intervensi dan monitoring kaki diabetik. Pengkajian kaki secara komprehensif sebagai upaya deteksi dini terhadap ulkus diabetik seharusnya dilakukan pada semua penderita Diabetes. RNAO,2005;Farber & Farber,2007 dalam Taylor,M.C, 2008 dan ADA, 2011, menguraikan komponen penting dalam pengkajian kaki diabetik berdasarkan penyebab gangguan pada kaki diabetik yang meliputi : riwayat hiperglikemia, faktor resiko seperti merokok dan riwayat penyakit vaskuler , riwayat ulkus dan amputasi, neuropati, vaskularisasi, deformitas pada musculoskeletal, kondisi kuku kulit, adanya infeksi,serta penggunaan alas kaki. Pada akhirnya, dari hasil pengkajian dapat diklasifikasikan terhadap resiko terjadinya ulkus kaki diabetik. Salah satu klasifikasi yang banyak digunakan adalah klasifikasi yang dikembangkan oleh International Working Group on the Diabetik Foot tahun 1999. Resiko kaki diabetik dibagi dalam 4 klasifikasi (IWGDF, 2001). Selanjutnya pada bab ini akan dipaparkan hasil analisa dan sintesa secara kritis terhadap berbagai hasil penelitian yang berhubungan dengan pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik. Praktikan juga akan memaparkan pengalaman praktikan dalam melaksanakan praktek berdasarkan pembuktian (EBN) pada kasus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 115 kelolaan. Pada tahap akhir, praktikan akan melakukan penelaahan terhadap pengalaman melakukan EBN pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik. 4.1.Hasil Journal Reading (Critical Review) Dalam penerapan praktek berdasarkan pembuktian, langkah awal yang dilakukan adalah penelusuran literatur melalui EBSCO data bases; CINAHL, Proquest dan MEDLINE. Kata kunci yang digunakan yaitu: diabetik foot, ulcer diabetik, assessment diabetik foot, dan diabetik foot screening. Selanjutnya dilakukan review kritis pada literature yang mendukung. 1. Judul artikel : Foot Assessment in type 2 Diabetes:an evidence-based practice approach oleh Taylor M.C, 2008 . Merupakan sebuah sistematik review yang menganalisis berbagai Evidence Based Nursing Practice dengan berbagai tingkatan atau level mengenai pengkajian kaki diabetik. Literatur dari artikel ini didapatkan dari tiga EBN pada level 1, tiga EBN Level II, tidak ditemukan EBN dengan level III, empat EBN level IV, empat EBN level VI dan lima EBN pada Level VII. Latar belakang dari ini sistematik review adalah bahwa gangguan kaki merupakan penyebab kesakitan pada penderita Diabetes tipe 2. Ulkus kaki diabetik juga menjadi penyebab terbanyak amputasi pada kaki bagian bawah. Salah satu upaya termudah dalam mendeteksi adanya gangguan pada kaki dan akhirnya mengurangi kejadian amputasi adalah dengan melakukan pemeriksaan atau pengkajian pada kaki secara menyeluruh, cermat dan konsisten pada setiap kunjungan. Pada kaki penderita diabetes tanpa gangguan vaskuler, neurophati, maupun deformitas pemeriksaan dapat dilakukan minimal satu tahun sekali. Sayangnya ketika penderita Diabetes berkunjung ke pelayanan primer untuk kontrol penyakitnya (kunjungan rutin) penderita Diabetes ini jarang ditanyakan mengenai masalah kaki, perawatan kaki yang dilakukan, penggunaan alas kaki apalagi diminta untuk membuka kaus kaki dan alas kakinya untuk dilakukan pemeriksaan kaki. Dalam sistematik review ini, Taylor M.C., 2008 mempunyai tujuan mereview dan mensintesis literature yang berbasis bukti bagaimana pengkajian kaki pada pasien diabetes pada pelayanan primer atau rawat inap untuk mendeteksi adanya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 116 neurophati, deformitas, penurunan vaskularisasi dan perkembangan ulkus. Pada akhirnya berdasarkan klasifikasi hasil pengkajian kaki direkomendasikan intervensi untuk menurunkan komplikasi ulkus pada Diabetes tipe 2. Berdasarkan analisis didapatkan pertanyaan PICO pada literature ini adalah apakah pengkajian kaki yang selalu dilakukan pada pasien Diabetes tipe 2 di pelayanan primer maupun rawat inap dapat menurunkan resiko komplikasi pada ekskremitas bawah. Taylor, M.C, 2008 menguraikan PICO pada artikel ini sebagai berikut : Population (P) atau populasi pada EBN ini semua penyandang Diabetes tipe 2 tanpa ulkus. Intervensi (I) atau tindakan yang dilakukan adalah pengkajian kaki. Comparation (C) atau pembanding dari penerapan EBN ini, dinyatakan tidak ada pembanding. Dijelaskan oleh Taylor, bahwa pengkajian kaki pada pasien diabetes tipe 2 telah menjadi panduan standar Internasional dan sebagai EBN level 1. Outcome (O) atau hasil akhir yang diharapkan adalah teridentifikasinya resiko kaki diabetes melalui pengkajian kaki dan pada akhirnya dengan intervensi yang sesuai oleh multidisiplin keilmuan/profesi akan menurunkan komplikasi ekskremitas bawah seperti ulkus diabetik. Validitas dan reliabilitas pada systematic review ini disampaikan bahwa pengkajian kaki yang direkomendasikan ini merupakan pengkajian standar pada level 1 yang telah menjadi panduan internasional. EBN level 1 didefinisikan sebagai evidence yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai randomized control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review pada RCT. Pada systematic review ini, EBN level 1 yang digunakan adalah rekomendasi dan panduan pengkajian kaki dari American Diabetik Association (ADA), 2008 dan American Association of Clinical Endokrinologist (AACE), 2007, sebagai berikut : a. ADA dan AACE merekomendasikan untuk melakukan deteksi terhadap neuropathi khususnya pada yang pertama kali terdiagnosis DM tipe 2 dan dilakukan minimal satu tahun sekali (level A). b. AACE : melakukan pemeriksaan kaki pasien DM tipe 2 pada setiap kunjungan dengan mengevaluasi kondisi kulit, kuku, nadi, temperature, adanya tekanan dan kebersihan kaki (Level B) c. ADA : melalukan inspeksi kaki penderita DM tipe 2 pada setiap kunjungan jika didapatkan neuropati (level B) Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 117 d. ADA dan AACE : melakukan uji monofilament, garpu tala, palpasi, dan inspeksi untuk melakukan pengkajian kaki yang komprehensif (level B) e. Melakukan rujukan kepada spesialis perawatan kaki pada kondisi penurunan sensasi, perubahan mekanik kaki, riwayat merokok atau adanya riwayat komplikasi kaki sebelumnya ( level C) f. ADA : melakukan pengkajian adanya Peripheral Arterial Disease (PAD) dengan melakukan palpasi pada arteri pedal dan melakukan pemeriksaan Angkle Brachial Index (ABI) untuk mendiagnosis adanya penurunan sirkulasi vaskuler (level C) g. ADA dan AACE : pentingnya melakukan edukasi mengenai perawatan kaki dan modifikasi gaya hidup sesuai panduan (Level B). Rekomendasi yang dibuat pada systematic review ini adalah : a. Pemeriksaan kaki sejak awal pada penderita Diabetes di pelayanan primer akan mampu mendeteksi gangguan pada kaki seperti gangguan sensasi (neurophati),gangguan vaskuler maupun deformitas, yang akan menghambat perkembangan ulkus pada kaki b. Deteksi dini gangguan pada kaki diabetik akan menurunkan angka kematian yang berhubungan dengan Diabetes tipe2 c. Perawatan pasien Diabetes dengan berbagai komplikasi termasuk ulkus diabetik akan meningkatkan pembiayaan, sehingga deteksi dini terhadap masalah kaki diabetik akan menurunkan biaya perawatan d. Pelayanan kesehatan primer mempunyai peranan penting dalam mendeteksi gangguan kaki dan melakukan pencegahan dengan memberikan edukasi dan perawatan kaki, melakukan pemantauan pada setiap kunjungan atau melakukan pemeriksaan kaki sesuai yang direkomendasikan 2. Judul Artikel : Effectivenness of the diabetik foot risk classification system of the International Working Group on the Diabetik Foot oleh Edgar J.G. Peters & Lawrence A. Lavery pada tahun 2001. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai efektifitas klasifikasi kaki berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan oleh IWGDF. Desain dan metode penelitian : menggunakan sample 225 pasien diabetes yang pada awalnya menjadi bagian dari studi case control di University of Texas Health Science Center di San Antonio. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 118 Pada akhirnya hanya 213 pasien yang diamati selama 29 bulan. Sample kemudian dikelompokkan menjadi 4 kelompok sesuai consensus IWGDF, yaitu 0 untuk kaki tanpa neuropati, 1 dengan neuropati tetapi tidak ada deformitas maupun PVD, 2 merupakan kelompok sengan neuropati dan deformitas atau PVD dan kelompok 3 pasien dengan riwayat ulkus maupun amputasi. Hasil penelitian di dapatkan pada kelompok resiko tinggi mempunyai riwayat diabetes lebih lama, glukosa yang tidak terkontrol, adanya gangguan pembuluh darah dan neuropati serta adanya komplikasi sistemik. Diamati selama tiga tahun ulkus kaki terjadi 5.1 % pada kelompok 0, 14,3% pada kelompok 1, 18,8% pada kelompok 2 dan 55,8 % pada kelompok 3 (P<0,001). Kejadian amputasi ditemukan pada kelompok 2 sebanyak 3,1% dan kelompok 3, 30,9% (P < 0.001). Pada akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa klasifikasi menurut IWGDF dapat digunakan sebagai alat untuk screening dan mencegah komplikasi kaki diabetik. 3. Judul Artikel : Do foot examinations reduce the risk of diabetik amputations oleh Mayfield, reiber, Nelson & Greene, tahun 2000. Penelitian ini dilatarbelakangi bahwa pemeriksaan kaki telah direkomendasikan sebagai metoda untuk mengurangi resiko amputasi, tetapi karena belum ada penelitian yang dilakukan untuk melihat efek independen dari pemeriksaan kaki ini terhadap penurunan resiko amputasi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan desain retrospektif case control, diwilayah Arizona dengan melibatkan 244 sampel yang terdiri dari 61 kasus amputasi ekskremitas bawah pada 1 januari 1985 dan 31 Desember 1992. Dan 183 kasus control yaitu pada pasien yang tidak diamputasi pada tanggal 31 Desember 1992. Penelitian dilakukan dengan mencatat hasil pemeriksaan kaki, komplikasi atau penyakit penyerta, faktor resiko ulkus selama 36 bulan dari medical record. Hasil penelitian menunjukan total pemeriksaan yang dilakukan sebanyak 1857 kali pada 244 sampel. Rata – rata pemeriksaan dilakukan sebanyak 7 kali pada kasus dan 3 kali pada control. Resiko amputasi pada orang yang dilakukan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 119 pemeriksaan kaki 1 kali atau lebih menunjukan OR 0.55 (95% CI,02-1,7, P =0,31). Resiko amputasi berhubungan dengan ketidakpatuhan terhadap perawatan kaki yang direkomendasikan menunjukan hasil OR 1,9 (95% CI, 09-4,3, P =0,10). Dapat disimpulkan bahwa penelitian ini gagal membuktikan bahwa pengkajian kaki dapat menurunkan resiko amputasi, namun pengkajian kaki mampu mendeteksi kondisi resiko tinggi untuk amputasi sehingga intervensi yang tepat, akan menurunkan kejadian amputasi. Hasil critical review pada 3 jurnal yang saling mendukung, selanjutnya akan diterapkan pengkajian kaki sebagai upaya deteksi dini kaki diabetic, berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Taylor, 2008 dengan judul “Foot Assessment in type 2 Diabetes:an evidence-based practice approach” 4.2. Aplikasi Praktek Keperawatan Berdasarkan Pembuktian Dalam pelaksanaan praktek berdasarkan pembuktian (EBN) ini praktikan menggunakan hasil systematik review dari Taylor M.C, 2008. Systematik review ini masuk ke dalam katagori EBN level 1. Sesuai definisi EBN level 1 adalah sebuah evidence yang berasal dari systematic review atau meta analisis dari berbagai randomized control (RCTs) atau panduan klinik dasar pada systematic review dengan RCT (Taylor M.C,2008). Penerapan EBN ini dilakukan ditempat praktek (RS.Fatmawati), dengan terlebih dahulu melalui pengamatan fenomena selama praktikan melaksanakan praktek residensi 1 dan 2. Hasil penelusuran data, didapatkan bahwa pasien Diabetes menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit terbanyak pada tahun 2010 di RSUP. Jumlah pasien diabetes yang dirawat khususnya di ruang rawat inap penyakit dalam di gedung Teratai lantai 5 Selatan pada bulan September 2011 hingga Februari 2012 sebanyak 123 pasien terdiri dari 36 (29.1 %) pasien mengalami ulkus diabetik dan 87 (69.9 %) pasien dengan tanpa ulkus. Prosentase data rawat inap pasien ulkus ini, lebih tinggi dibandingkan dengan prosentase ulkus di Indonesia yang berjumlah 15% dari seluruh kasus Diabetes di Indonesia. Berdasarkan angka tersebut dapat kita cermati bahwa jumlah pasien diabetes melitus dengan tanpa ulkus cukup tinggi, sehingga hal ini perlu menjadi perhatian untuk memberikan intervensi yang tepat sehingga tidak berlanjut pada ulkus diabetik. Intervensi awal yang dapat dilakukan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 120 adalah pengkajian kaki diabetik sebagai upaya mengetahui resiko terjadinya ulkus pada pasien diabetes tersebut. Penerapan EBN ini mulai dilaksanakan pada minggu ke dua Maret hingga awal minggu pertama bulan Mei 2012. Dalam pelaksanaannya praktikan melibatkan sesama residen, mahasiswa program aplikasi dan juga perawat ruangan. Langkah pertama pada penerapan EBN ini adalah menginformasikan rencana kegiatan kepada management ruangan dan selanjutnya melakukan sosialisasi. Pemilihan pasien disesuaikan dengan kriteria, yaitu pasien DM tipe 2 tanpa ulkus kaki, tidak mengalami sakit berat maupun penurunan kesadaran. Format yang digunakan sebagai panduan pengkajian adalah format status kaki diabetes yang telah dimiliki oleh rumah sakit Fatmawati. Format ini khususnya untuk pengkajian kaki secara keseluruhan sudah sesuai dengan rekomendasi dari EBN yang digunakan. Penerapan EBN ini dilakukan pada 20 responden yang sesuai kriteria. Semua pasien merupakan penderita DM tipe 2 terdapat 3 pasien (15%) baru terdiagnosis diabetes. Pelaksanaan pengkajian kaki pasien DM, dimulai dengan mengisi identitas pasien yang meliputi nama,usia, dan nomer register. Selanjutnya dilakukan pengisian hasil laboratorium meliputi nilai gula darah sewaktu dan nilai HbA1C yang dapat dilihat dari status pasien. Selanjutnya dilakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik terutama pada area kaki. Berikut ini kegiatan pada pengkajian kaki diabetik. 4.2.1. Anamnesa Anamnesa atau wawancara yang dilakukan meliputi status kesehatan yang mempengaruhi proses terjadinya kaki diabetik diantaranya adalah lamanya menderita diabetes. Riwayat penyakit yang akan mempengaruhi kaki diabetik seperti adanya penyakit kardiovaskuler, gangguan peripheral vaskuler, adanya gangguan penglihatan, riwayat pembedahan pada pembuluh darah atau amputasi dan riwayat ulkus kaki sebelumnya. Pola hidup yang ditanyakan terkait dengan kaki diabetik meliputi, penggunaan alas kaki, merokok dan konsumsi alcohol. Keluhan pada kaki seperti hilang rasa, kesemutan dan nyeri pada area kaki termasuk klaudikasio merupakan hal yang harus ditanyakan pada pasien. 4.2.2. Pemeriksaan fisik Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 121 Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan olfaksi dan pemeriksaan khusus. Observasi pertama yang dilakukan pada pasien diabetes adalah gaya berjalan. Gaya berjalan dimana beban tubuh bertumpu pada satu kaki, merupakan resiko tinggi untuk terjadinya kaki diabetik. Fokus pemeriksaan fisik pada kaki diabetik adalah pada vaskuler, saraf dan kelainan pada kulit, kuku dan musculoskeletal (deformitas) a. Kulit, kuku dan deformitas musculoskeletal Melakukan observasi pada kebersihan dan bau dari area kulit kaki ,adanya athropi otot, ulcer, eritema, kulit kering dan bersisik, kelainan pada kuku dan adanya formasi kallus. Kelainan bentuk pada musculoskeletal meliputi, penurunan pada gerak sendi kaki, adanya claw toes, hammer toes, dan charcot. b. Pemeriksaan Vaskularisasi Pemeriksaan vaskularisasi ke area kaki dimulai dengan melakukan palpasi temperatur kulit, pulsasi pada arteri posterior tibialis dan dorsalis pedis. Pemeriksaan lanjut yang digunakan untuk mengetahui vaskularisasi kearah kaki dan untuk mengidentifikasi adanya resiko gangguan arteri peripheral (PAD), dapat dilakukan pemeriksaan Angkle Brachial Indexes (ABI). ABI adalah test non invasive untuk mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (brachial). Tekanan darah sistolik diukur dengan menggunakan alat yang disebut simple hand held vascular Doppler ultrasound probe dan tensimeter (manometer mercuri atau aneroid). Pemeriksaan ABI dilakukan untuk mendeteksi adanya insufisiensi arteri sehingga dapat diketahui adanya gangguan pada aliran darah menuju ke kaki. Direkomendasikan menggunakan probe dengan frekuensi 8 MHz untuk ukuran lingkar kaki normal dan 5 MHz untuk lingkar kaki obesitas atau edema. c. Pemeriksaan Neuropathy Neuropathy yang dapat terjadi pada kaki diabetik diantaranya neuropathy otonom, neuropathy sensorik, maupun neuropathy motorik. Neuropathy otonom dapat dilihat adanya penurunan produksi keringat pada area kulit Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 122 sehingga menyebabkan kulit kering,licin atau bersisik. Gangguan neuropathy sensorik ditemukan adanya penurunan sensasi terhadap raba, getar, suhu, maupun nyeri. Gangguan pada serabut saraf aferen dapat dideteksi dengan adanya penurunan reflek tendon baik tendon patella maupun achiles. Pemeriksaan neuropathy sensori getar digunakan garputala dengan frekuensi 128 Hz, dan untuk pemeriksaan sensasi rasa digunakan monofilament 10 gr, 5.07. Area-area untuk melakukan pengujian monofilament Gambar 4.1 Area melakukan uji monosilament Sumber : Assessing Protective Sensation with a Monofilament”, pada Advances in Skin & Wound Care, 17(7), p.346. Copyright 2004 by Lippincott Williams & Wilkins, dalam Nowakowski, P.E, 2008 Data-data yang di dapatkan pada pengkajian, selanjutnya dilakukan analisis untuk disimpulkan apakah ada gangguan atau resiko terjadinya ulkus pada penderita diabetes tersebut. Klasifikasi yang praktikan gunakan berdasarkan klasifikasi dari International Working Group on the Diabetik Foot (IWGDF) tahun 1999. Dibawah ini ditampilkan klasifikasi resiko komplikasi kaki menurut IWGDF. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 123 Tabel 4.1. Klasifikasi Resiko Ulkus Diabetik Menurut International Working Group on the Diabetik Foot Kategori Resiko 0 1 2 3 Definisi Rekomendasi Intervensi - Tidak ada penurunan sensasi - Tidak ada gangguan vaskularisasi - Tidak ada deformitas - Neurophaty (sensasi ) +/- Ditemukan deformitas - Edukasi : perawatan kaki dasar & penggunaan alas kaki - Gangguan vascular +/- Ada neuropathy sensori - Riwayat ulkus kaki atau riwayat amputasi Rekomendasi Follow up Setiap tahun (dokter umum, spesialis kaki) - Edukasi kaki diabetik - Pemeriksaan kaki setiap hari - Penggunaan alas kaki khusus - Dipertimbangkan untukkonsultasi ke dokter bedah - Sama dengan katagori 1 - Consultasi dengan spesialis vaskuler Mengunjungi poli kaki setiap 3 – 6 bulan sekali - Sama dengan katagori 1 - Consultasi dengan spesialis vaskuler,terutama jika ada penurunan vaskuler Mengunjungi poli kaki setiap 2 – 3 bulan sekali Mengunjungi poli kaki setiap 2 – 3 bulan sekali Adapun hasil pengkajian kaki pada penerapan EBN ini adalah sebagai berikut: Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan usia di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 n= 20 Variabel Mean Median Usia 54,65 56,50 SD Min-Maks 95% CI 11,67 26 - 69 49,1 – 60,1 Pada table 4.2 menggambarkan hasil analisis rata–rata usia responden dalam penerapan pengkajian kaki ini adalah 54,65 tahun (95 % CI : 49,1 – 60,1), dengan usia termuda 26 tahun dan usia tertua 69 tahun. Hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata–rata usia responden adalah diantara 49,1 – 60,1 tahun. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 124 Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, lama menderita DM dan kadar HbA1C, di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012, N = 20 Jumlah Presentase Jenis kelamin ï‚· Pria ï‚· Wanita 17 3 85 % 15 % Lama menderita DM ï‚· < 5 tahun ï‚· > 5 tahun 9 11 45% 55% Kadar HbA1C ï‚· < 6,5 % ï‚· > 6.5 % 1 19 5% 95% Resiko ulkus kaki diabetik ï‚· Rendah (0) ï‚· Sedang (1) ï‚· Tinggi (2) 11 4 5 55% 20% 25% Variabel Tabel 4.3 menggambarkan jenis kelamin responden sebagian besar adalah pria dengan jumlah 17 orang (85%), 11 orang (55%) telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan 95 % (19 responden) menunjukan kadar HbA1C diatas 6,5 % atau pada kondisi gula darah yang tidak terkontrol dalam 3 bulan terakhir. Dari hasil pengkajian kaki dan pengklasifikasian resiko ulkus kaki diabetes menurut IWGDF didapatkan 11 responden (55 %) beresiko rendah, 4 responden (20%) beresiko sedang dan 5 responden (25 %) beresiko tinggi terjadi ulkus kaki. Selanjutnya praktikan mencoba melihat hubungan statistik antara usia, kadar HbA1C, dan lama menderita DM, didapatkan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 125 Tabel 4.4. Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan lama menderita DM dan kadar HbA1C di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012, N= 20 Variabel Resiko Kaki diabetik Ringan Sedang Tinggi n % N % n % Lama menderita DM ï‚· < 5 tahun ï‚· > 5 tahun 8 3 72,7 27,3 1 3 25 75 0 5 0 100 Kadar HbA1C ï‚· < 6,5 % ï‚· > 6.5 % 0 11 0 100 1 3 25 75 0 5 0 100 11 100 4 00 5 100 TOTAL Tabel 4.4 menunjukan bahwa responden yang mempunyai katagori beresiko terjadi ulkus kaki diabetik sedang, sebagian besar (75 %) telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan menunjukan kadar HbA1C yang lebih dari 6,5 %. Seluruh responden (100%) yang mempunyai resiko tinggi ulkus kaki diabetik telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan kadar HbA1C menunjukan lebih dari 6,5 %. Tabel 4.5 Distribusi resiko ulkus kaki diabetik berdasarkan usia di ruang lantai 5 Selatan gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta 2012 N= 20 Variabel Usia Resiko Ulkus n Mean SD ï‚· Rendah 11 50,82 12,687 ï‚· Sedang & Tinggi 9 59,33 8,803 Pada table 4.5 dapat dijelaskan responden dengan resiko ulkus kaki sedang dan tinggi mempunyai rata-rata usia lebih tua sekitar 9 tahun dibandingkan pada responden dengan resiko rendah. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 126 4.3. Pembahasan Kaki diabetik adalah kaki pada pasien diabetes yang rentan terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari diabetes. Kaki diabetik ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy), berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor, 2008; Waspadji, 2009;Turn, 2011). Kelainan kaki juga menjadi salah satu penyebab utama morbiditas pada pasien DM tipe 2 (Taylor, 2008; Hastuti, 2008: Waspadji, 2009). Di Rumah sakit Fatmawati khususnya di lantai 5 Selatan Gedung teratai sebagai salah satu unit rawat inap penyakit dalam, pasien ulkus diabetes yang dirawat jumlahnya mencapai 29,1 % dari seluruh pasien DM yang dirawat pada bulan September 2011 hingga Februari 2012. Hal ini membuktikan bahwa ulkus diabetik akan menyebabkan penyandang diabetes mengalami masalah kesehatan yang harus mendapatkan perawatan yang lebih serius. Ulkus kaki diabetik merupakan komplikasi dari penyakit DM yang dapat dicegah sejak dini. Upaya untuk mencegah terjadinya ulkus dapat diawali dengan melakukan pengkajian pada kaki. Pengkajian kaki sebagai upaya melakukan deteksi dini dapat menurunkan resiko terjadinya ulkus kaki dan amputasi sebesar 40-85% (Taylor, 2008; Yudovsky et al, 2011). Pengkajian merupakan langkah awal untuk menentukan tindakan yang tepat sesuai dengan kondisi kaki yang ditemukan. Pengkajian kaki untuk mendeteksi adanya resiko ulkus diabetik dilakukan dengan mengidentifikasi faktor resiko seperti lamanya menderita DM, kadar HbA1C, riwayat penyakit vaskuler, retinopathy maupun riwayat nefropathy. Penelitian yang dilakukan oleh Simmons & Clover, 2007 di pelayanan primer di Selandia baru dengan melihat status metabolic meliputi HbA1C, lipid profil, creatinin serum terhadap resiko ulkus kaki, didapatkan hubungan antara status metabolic yang tidak terkontrol dengan peningkatan resiko ulkus yang ditandai dengan kondisi kuku, kulit kaki kurang baik, ditunjang dengan peningkatan kejadian retinopathy. Pemeriksaan kaki yang dilakukan untuk mendeteksi adanya resiko ulkus meliputi pemeriksaan vaskuler, pemeriksaan neuropathy perifer dan deformitas. Pemeriksaan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 127 ini merupakan pemeriksaan yang standar yang direkomendasikan oleh RNAO, 2004, ADA, 2008, dan AACE, 2007. Gangguan vaskuler menjadi faktor resiko ulkus kaki diabetik dapat dijelaskan sebagai berikut : bahwa gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing –masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009). Selain gangguan vaskuler, neuropathy perifer juga menjadi Faktor resiko penting pencetus ulkus kaki diabetik. Diperkirakan 40-65% ulkus kaki diabetik disebabkan karena neuropathy sensori (Frykberg et al, 2006). Screening kaki diabetik yang dilakukan pada 555 responden di berbagai pusat kesehatan di Perancis,mendapatkan 27 % mengalami neuropathy sensori dan dari 27% tersebut, 7.7% mempunyai resiko tinggi terjadi ulkus kaki diabetik (Malgrange et al, 2003). Adapun proses terjadinya neuropathy pada pasien diabetes adalah sebagai berikut : neuropathi diabetik (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol,sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 128 Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung. Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat perubahan neuropatik (Brunner & Suddarth, 2005). Pemeriksaan neuropathy sensori yang direkomendasikan dan merupakan EBN pada level 1 adalah pemeriksaan Semmes–Weistein monofilament 10 gr, 5.07. Pemeriksaan ini menggunakan monofilament 10 gr ukuran 5.07. Penggunaan monofilament 10 gr untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14 studi (1950 – 2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 3142 orang dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostic tunggal. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 129 Dari hasil penerapan pengkajian kaki yang dilakukan pada 20 pasien diabetes di lantai 5 selatan di dapatkan hasil rata-rata usia responden 54,56 tahun, rata-rata usia responden dengan resiko ulkus kaki pada katagori sedang dan tinggi adalah 59,33 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Malgrange et al, 2003 di Perancis mendapatkan responden yang mempunyai resiko ulkus diabetik sedang dan tinggi mempunyai rata-rata usia 65 th. Sementara penelitian Bibby, 2008 mendapatkan rata-rata usia responden yang mengalami resiko tinggi di Tazania adalah 59,2 tahun dan di Swedia dengan resiko sedang 58,3 tahun. Onset baru terjadinya DM tipe 2 yaitu pada usia di atas 40 tahun dan dengan meningkatnya usia resistensi terhadap insulin, serta penurunan terhadap berbagai fungsi organ terjadi,sehingga berbagai komplikasi lebih cepat terjadi pada penderita diabetes pada usia yang lebih lanjut (Brunner & Sudddarth (2005); Kebbi, 2003, dalam Ignativicius & Workman, 2006). Selain usia, factor lain yang mempengaruhi terjadinya ulkus kaki diabetik adalah lamanya menderita diabetes dan kadar HbA1C yang menunjukan control gula darah dalam 3 bulan terakhir. Hasil penerapan EBN di dapatkan 100 % pada responden yang beresiko tinggi terjadinya ulkus telah menderita diabetes lebih dari 5 tahun dan mempunyai kadar HbA1C lebih dari 6,5% yang menunjukan gula darah yang tidak terkontrol selama 3 bulan terakhir. Penelitian Al Mahroos & Al Roomi, 2007 dalam Taylor, 2008, mendapatkan rata-rata responden telah menderita diabetes selama 9,5 tahun dan didapatkan hubungan antara resiko ulkus dengan gula darah yang tidak terkontrol, dimana ditemukan 36 % mengalami neuropathy perifer, 11,8 % mengalami gangguan vaskuler perifer dan 5.9 % mengalami ulkus kaki. Hambatan yang dialami praktikan saat menerapkan EBN pengkajian kaki ini adalah peralatan yang tidak tersedia khususnya untuk monofilament 10 gr, garputala 128 Hz, dan Doppler dengan prob 8 MHz. Selain itu format yang kurang sistematis, klasifikasi yang tidak sesuai dengan referensi praktikan serta kolom intervensi yang tidak tersedianya kolom rekomendasi intervensi juga menjadi hambatan awal praktikan menerapkan EBN ini. Pemecahan terhadap hambatan yang praktikan (monofilament 10 gr dan garputala 128 Hz) lakukan, untuk peralatan praktikan menyediakan sendiri, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 130 sedangkan untuk doppler digunakan spigmomanometer. Untuk keberlangsungan penerapan pengkajian kaki ini praktikan bersama tim mengkomunikasikan kepada management ruangan. Klasifikasi resiko ulkus yang praktikan gunakan mengacu kepada klasifikasi IWGDF, 2009 yang digunakan oleh berbagai Negara dan telah diuji kembali keefektifannya oleh Petter.E.J.G & Lavery L.A. tahun 2001. Perawatan dan penatalaksanaan lanjut terhadap masalah kaki pasien diabetes tidak hanya dilakukan oleh perawat, namun dokter dan educator juga mempunyai peranan penting. Dokumentasi terhadap hasil pengkajian dan intervensi lanjut menjadi media komunikasi untuk menindaklanjuti dan melihat perkembangan kondisi pasien. Sistem pendokumentasian yang belum terintegrasi antar tenaga kesehatan, rawat jalan dan rawat inap menjadi kendala dalam penatalaksanaan kaki diabetik yang berkelanjutan. Praktikan telah mengkomunikasikan masalah dokumentasi tersebut, dan masalah ini akan dijadikan topik diskusi dengan management. Pengkajian kaki pada pasien diabetes dapat mengidentisikasi sejak awal adanya resiko terjadinya ulkus kaki diabetik. Penatalaksanaan yang sesuai dengan klasifikasi resiko ulkus akan mampu menurunkan kejadian ulkus hingga 85 % (Taylor, 2008). Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang juga berperan dalam masalah kaki diabetik. Salah satu standar kompetensi perawat menurut PPNI tahun 2005, pada ranah kompetensi asuhan keperawatan dan pengembangan kualitas pelayanan, perawat S1 atau D3 dengan pendelegasian dan pelatihan mempunyai kompetensi untuk melakukan pengkajian dan menerapkan praktek berdasarkan EBN. Pada berbagai pelatihan kaki diabetes dimana peserta pelatihan adalah perawat, materi tentang pengkajian kaki diabetik juga dipaparkan. Seperti telah diuraikan sebelumnya rekomendasi yang dapat diberikan untuk penerapan EBN ini sebagai bagian dari asuhan keperawatan pada pasien diabetes diantaranya : a. perawat juga mempunyai kewenangan dalam melakukan pengkajian status kaki pada pasien diabetes. b. pencegahan ulkus kaki diabetik tidak hanya di lakukan dengan pengkajian namun harus dilakukan intervensi yang sesuai dengan resiko ulkus yang ditemukan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 131 c. Pendokumentasian terhadap hasil pengkajian sebagai dasar intervensi selanjutnya dan sebagai media komunikasi baik sesama perawat maupun dengan profesi lain yang berkaitan menjadi hal yang wajib dilakukan. d. Sebagai upaya pencegahan pengkajian kaki ini akan sangat efektif dilakukan di unit perawatan primer seperti rawat jalan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 132 BAB 5 KEGIATAN INOVASI PENINGKATAN KEMAMPUAN PERAWAT DALAM PENGKAJIAN KAKI DIABETIK SEBAGAI UPAYA DETEKSI DINI RESIKO ULKUS KAKI DIABETIK Kegiatan inovasi merupakan salah satu bentuk pelaksanaan peran perawat spesialis sebagai pembaharu untuk suatu perubahan pada pelaksana asuhan keperawatan yang berkualitas. Membantu meningkatkan kemampuan perawat generalis dalam melakukan asuhan keperawatan dapat dilakukan oleh perawat spesialis melalui perannya sebagai narasumber (resources), fasilitator, koordinator dan role model. Berikut ini akan diuraikan kegiatan inovasi yang telah praktikan laksanakan pada praktek residensi. 5.1.Analisa Situasi Masalah kaki diabetik sebagai salah satu komplikasi kronik diabetes banyak dialami oleh penyandang diabetes. Pengkajian kaki diabetik merupakan upaya pencegahan terjadinya masalah kaki diabetik dilakukan sejak awal seseorang terdiagnosis diabetes. Perry & Poter, (2010) menyampaikan bahwa pengkajian yang akurat dan komprehensif merupakan langkah awal untuk mengetahui masalah pada pasien dan selanjutnya akan menentukan intervensi keperawatan yang tepat. Pengkajian merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat sesuai dengan levelnya (vokasional, ners atau ners spesialis). Pada ranah peningkatan kualitas pelayanan keperawatan, ners (S1 keperawatan) mempunyai kompetensi untuk melakukan praktek berdasarkan pembuktian (evidence based) dan perawat vokasional (D III keperawatan) mempunyai kompetensi untuk melaksanakan tugas sesuai arahan dan sesuai dengan pelatihan yang diikuti (PPNI, 2005). Pengkajian kaki diabetik merupakan praktek keperawatan yang didasarkan pada pembuktian, sehingga perewat pada level ners atau vokasional yang telah mendapatkan pelatihan mempunyai kewajiban untuk melakukan praktek ini sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Sebagai upaya deteksi dini terhadap resiko ulkus, pengkajian kaki juga merupakan upaya preventif yang dapat dilakukan oleh perawat generalis. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 133 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUPF) adalah rumah sakit tipe A dan merupakan rumah sakit rujukan rumah sakit lain khususnya diwilayah Jakarta Selatan, Depok, Bogor dan Tangerang Selatan. Pada tahun 2010, diabetes merupakan penyakit terbanyak dari sepuluh penyakit terbanyak yang ada di RSUPF dengan ratarata kunjungan di poli penyakit dalam sebanyak 1500 kasus DM tipe 2 baik kasus baru maupun kasus lama. Gedung Teratai lantai 5 selatan merupakan salah satu unit rawat inap penyakit dalam dengan kasus terbanyak rawat inap juga dengan diabetes. Jumlah kasus diabetes yang dirawat dalam 6 bulan terakhir (September 2011 Februari 2012) mencapai 123 kasus dan 29,1 % dirawat dengan komplikasi ulkus diabetik. Pasien diabetes tanpa ulkus dengan prosentase 70.9% pada akhirnya akan berkomplikasi ulkus jika tidak terdeteksi dan tidak dilakukan tindakan pencegahan Lantai 5 selatan di RSUPF sebagai ruang rawat penyakit dalam mempunyai 6 kamar dengan jumlah tempat tidur masing-masing 6 tempat tidur, dan 2 kamar isolasi dengan jumlah tempat tidur masing-masing 2 tempat tidur. Pasien diabetes yang dirawat dilantai 5 selatan ini, ditempatkan di ruang nomer 529 untuk pasien wanita dan ruang nomer 521 untuk pasien laki-laki. Jika pasien diabetes melebihi kapasitas,pasien tersebut ditempatkan diruangan lain yang kosong. Salah satu ruangan yang ada dilantai 5 selatan, selain ruang rawat inap, terdapat satu ruang edukasi yang digunakan untuk mengadakan edukasi diabetes setiap hari Rabu. Edukasi ini diikuti oleh keluarga pasien diabetes dan juga pasien diabetes yang kondisinya memungkinkan untuk mengikuti edukasi. Materi edukasi yang diberikan salah satunya adalah perawatan kaki. Edukasi ini dilakukan oleh edukator yang terdiri dari dokter, perawat dan ahli gizi dan materi perawatan kaki diberikan oleh perawat. Secara keseluruhan jumlah perawat di ruangan ini berjumlah 33 orang, 12 orang (36,4%) S1 keperwatan dan 21 orang (36.6%) DIII keperawatan dan 3 diantara perawat tersebut adalah edukator. Hasil observasi praktikan selama menjalani praktek residensi 1, khususnya di gedung teratai lantai 5 selatan, format pengkajian kaki diabetik telah dimiliki oleh RSUPF. Format ini merupakan format pengkajian yang diisi dan ditandatangani oleh dokter. Pengkajian kaki pada pasien diabetes yang dirawat dilakukan oleh dokter residensi atau dokter koas yang sedang praktek di ruang tersebut, namun pengkajian lebih Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 134 banyak dilakukan pada pasien diabetes yang sudah mengalami ulkus. Selain itu pengisian format juga tidak selalu lengkap, terutama untuk pemeriksaan neuropati. Pengisian yang tidak lengkap disebabkan karena tidak tersedianya alat pemeriksaan kaki diabetik yang lengkap khususnya diruang rawat inap. Hasil pemeriksaan yang dilakukan tidak diklasifikasikan dalam resiko ulkus sehingga tidak ada tindak lanjut, kecuali pada yang telah terjadi ulkus. Hasil wawancara dengan kepala ruangan, wakil kepala ruangan dan perawat primer, bahwa pengkajian kaki tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya di rawat inap. Hal ini disebabkan mereka berpersepsi pengkajian kaki merupakan kewenangan dokter dan hanya perawat yang pernah mengikuti pelatihan edukator diabetes pada tingkat lanjut saja yang mempunyai kemampuan untuk pengkajian kaki diabetik. Wawancara yang dilakukan kepada seorang perawat edukator tingkat lanjut, mengungkapkan bahwa pengkajian kaki di rawat inap tidak dilakukan, karena biasanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas. Perawat edukator melakukan edukasi mengenai perawatan kaki secara berkelompok pada pertemuan ke 3. Pengkajian kaki yang dilakukan perawat biasanya dilakukan di poli kaki saat pasien datang berkunjung ke poli kaki dan format yang digunakan juga format yang ditandatangi oleh dokter. Hasil kuesioner yang praktikan sebarkan terhadap 23 perawat di lantai 5 selatan, didapatkan 23.5% pernah mengikuti pelatihan kaki diabetik, 41% pernah mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik, 76% pernah melakukan pengkajian kaki diabetik namun hanya 29.5 % yang pernah mengisi format status kaki. Survei pengetahuan, didapatkan sebanyak 89% perawat sudah memiliki pengetahuan yang baik tentang pengkajian kaki diabetik (dikatakan baik jika mendapat nilai 7 atau lebih dengan point tertinggi 10). Dari analisis praktikan, hasil kuesioner untuk poin pernah melakukan pengkajian kaki dan tingkat pengetahuan dirasakan tidak sesuai dengan observasi dan wawancara kepada kepala ruangan dan perawat primer, sehingga dilakukan wawancara pada beberapa perawat pelaksana untuk mengklarifikasi point tersebut. Hasil wawancara menunjukan bahwa pengkajian kaki yang dilakukan sebatas melihat ada ulkus atau tidak, dan jika sudah ada ulkus, maka dikaji lebih mendalam untuk kondisi ulkusnya. Pengkajian kaki diabetic tanpa ulkus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 135 sebagian besar perawat pelaksana belum pernah melaksanakan. Pengetahuan yang dimiliki perawat pelaksana tentang pengkajian kaki, dari hasil wawancara menunjukan sebagian perawat tidak mengetahui jenis-jenis kelainan kaki, tidakmengetahui cara mengukur ABI maupun menggunakan monofilament serta nilai normalnya. Disampaikan oleh beberapa perawat pelaksana bahwa ketika mengisi kuesioner tentang pengetahuan mereka mengisi tanpa mengetahui mana yang benar (menebak saja). Pada akhir kuesioner yang disebarkan, seluruh perawat menginginkan adanya pelatihan pengkajian kaki. Dari uraian diatas, analisis SWOT yang di dapatkan di gedung Teratai lantai 5 selatan RSUP Fatmawati adalah sebagai berikut : 5.1.1. Strength (Kekuatan) Kekuatan yang dimiliki oleh RSUPF dalam penerapan pengkajian kaki diabetik sebagai deteksi dini terhadap resiko ulkus kaki diabetik adalah : a. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit rujukan diwilayah selatan Jakarta, Bogor, Tangerang selatan dan Depok, termasuk rujukan untuk kasus diabetes. b. RSUP Fatmawati mempunyai pelayanan diabetes yang terdiri dari unit edukasi dan unit perawatan kaki diabetic dan dalam perencanaan pengembangan menjadi pelayanan diabetes terpadu. c. RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit pendidikan bagi berbagai tenaga kesehatan, sehingga sering dijadikan tempat penelitian dan penerapan evidence based practice terbaru d. Telah memiliki perawat dengan pendidikan S1 keperawatan atau DIII keperawatan yang telah mengikuti pelatihan management kaki diabetik dan edukasi. Hal ini sesuai dengan standar kompetensi perawat Indonesia pada ranah pengkajian keperawatan dan ranah peningkatan kualitas pelayanan e. Memiliki program edukasi diabetes yang telah terprogram dengan baik dan dapat digunakan sebagai intervensi lanjut setelah pengkajian dilakukan f. Mempunyai kelompok edukator diabetes dari berbagai disiplin ilmu g. Memiliki poli kaki yang melayani perawatan kaki khususnya kaki diabetik h. Telah memiliki format pengkajian status kaki diabetik yang terstandar Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 136 i. Memiliki konsultan endokrin yang handal dan peduli terhadap pengembangan pelayanan endokrin khususnya masalah diabetes. j. RSUPF mempunyai program-program pengembangan kualitas pelayanan asuhan keperawatan 5.1.2. Weakness (Kelemahan) a. Pengkajian kaki hanya dilakukan oleh dokter PPDS atau koas dengan pengisian format yang belum seluruhnya lengkap b. Format pengkajian kaki yang dimiliki RSUPF ditandatangani oleh dokter yang merawat, sehingga perawat menganggap pengkajian kaki menjadi kewenangan dokter. c. Perawat di lantai 5 selatan hanya 23.5% yang pernah mengikuti pelatihan kaki diabetik, 41% pernah mendapatkan materi pengkajian kaki diabetik, 76% pernah melakukan pengkajian kaki diabetik dan hanya 29.5 % yang pernah mengisi format status kaki. Namun pengkajian kaki yang dilakukan hanya terbatas mengobservasi ada ulkus atau tidak. d. Keterbatasan jumlah alat untuk pengkajian kaki (Doppler, monofilament, terutama di ruang rawat inap penyakit dalam) e. Edukasi perawatan kaki diruang rawat inap diberikan secara umum dan klasikal. f. Sebagian besar pasien yang dirawat belum pernah mengunjungi poli kaki di RSUPF. 5.1.3. Opportunity (Peluang) a. Tingginya angka kunjungan pasien diabetes di poli penyakit dalam dan pasien yang dirawat tanpa ulkus berjumlah 70.1 % dan mengungkapkan ketakutannya jika sampai mengalami ulkus kaki b. Angka kejadian ulkus diabetik yang meningkat dari tahun ketahun merupakan perhatian perawat untuk berperan dalam upaya preventif melalui pengkajian kaki. c. Meningkatnya kesadaran penderita diabetes untuk memeriksakan kakinya dan mengikuti program edukasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 137 d. Seluruh perawat di lantai 5 selatan menginginkan adanya peningkatan pengetahauan mengenai pengkajian kaki e. Adanya dukungan baik dari ruangan dan penentu kebijakan untuk melakukan perubahan, sebagai upaya peningkatan kualitas asuhan keperawatan. 5.1.4. Threat (Ancaman) a. Tidak tersedianya alat pemeriksaan kaki yang lengkap meningkatkan resiko tidak terlaksananya pengkajian kaki di rawat inap secara komprehensif. b. Perubahan wewenang pengisian format memerlukan tahapan yang harus ditindaklanjuti. Berdasarkan pengamatan dan analisis masalah diatas, praktikan melakukan kegiatan inovasi dengan melaksanakan sosialisasi dan pelatihan pengkajian status kaki pasien diabetes tanpa ulkus kepada perawat sehingga pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam pengkajian status kaki meningkat. Pada akhirnya pengkajian status kaki pada pasien diabetes yang komprehensif dan dilakukan dengan benar akan mampu mendeteksi lebih awal masalah resiko kaki diabetik dan dengan tindakan yang sesuai akan menurunkan resiko terjadinya kaki diabetik. 5.2.Kegiatan Inovasi 5.2.1. Persiapan Kegiatan inovasi ini memaparkan fenomena yang ditemukan, dan rencana kegiatan kepada supervisor klinik dan supervisor akademik. Penyusunan proposal kegiatan dilakukan setelah disetujui oleh supervisor. Kegiatan dilanjutkan dengan memaparkan rencana inovasi kepada penentu kebijakan (manager rawat inap gedung Teratai Irna A, kepala ruangan dan wakil kepala ruangan) pada minggu pertama bulan Maret 2012. Rencana kegiatan inovasi tidak hanya didukung oleh managemen gedung teratai irna A, namun juga didukung oleh kepala bidang perawatan dan komite keperawatan RSUPF. Kegiatan ini diharapkan tidak hanya ditujukan untuk perawat lantai 5 selatan saja, namun juga melibatkan perwakilan perawat dari ruang rawat inap lain yang memungkinkan pasien diabetes dirawat. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 138 Persiapan selanjutnya adalah persiapan pelatihan diantaranya organisasi acara, perijinan, tempat kegiatan, waktu pelaksanaan, undangan, materi, pembicara hingga sponsor untuk dapat mensupport kegiatan inovasi ini. Persiapan kegiatan juga dibantu oleh manager ruangan lantai 5 selatan. 5.2.2. Pelaksanaan Inovasi Tujuan dari kegiatan inovasi ini adalah adanya peningkatan pelayanan asuhan keperawatan melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam melakukan pengkajian kaki diabetik. Pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikioleh perawat diharapkan akan merubah perilaku dan sikap perawat terhadap asuhan keperawatan pada pasien diabetes kearah yang lebih baik. Upaya yang dilakukan praktikan untuk pencapaian tujuan ini dengan melakukan pelatihan mengenai pengkajian kaki diabetik. Pelatihan dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu tanggal 17 dan 18 April 2012. Peserta pelatihan terdiri dari 20 orang untuk setiap tahap sehingga keseluruhan peserta pelatihan berjumlah 40 orang perawat pelaksana. Perawat yang mengikuti pelatihan berasal dari lantai 5 selatan 22 orang, lantai 5 utara 10 orang, lantai 6 dan lantai 4 masing masing 2 orang, dari gedung Irna C, 3 orang dan dari paviliun Anggrek 1 orang. Pelaksanaan pelatihan dibuka oleh kepada bidang perawatan RSUPF, dilanjutkan dengan pre test. Inti pelatihan adalah dengan pemberian materi tentang pengkajian kaki diabetic. Peningkatan ketrampilan peserta pelatihan dilakukan dengan mendemonstrasikan tehnik pengkajian kaki diabetic yang langsung dilakukan kepada pasien diabetes (hands on). Fasilitator hands on selain dari praktikan juga dari perawat edukator diabetic. Keterlibatan edukator dalam kegiatan ini adalah untuk pendampingan, motivator dan evaluator pada keberlangsungan kegiatan inovasi ini. Kegiatan selanjutnya adalah presentasi hasil hands on dari peserta dan pemberian masukan serta arahan dari salah satu dokter bedah vaskuler (Dr. Witra Irvan, Sp. B-V) sebagai salah satu tim medis dalam perawatan pasien diabetes dengan ulkus. Pada akhir pelatihan dilakukan evaluasi dengan post tes dan pelatihan ditutup oleh perwakilan dari bidang perawatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 139 5.2.3. Evaluasi 5.2.3.1. Evaluasi proses pelatihan a. Proses persiapan berlangsung selama 2 minggu. Rencana kegiatan didukung oleh semua pihak terutama penentu kebijakan dalam keperawatan seperti bidang keperawatan, komite keperawatan, meneger Irna A dan kepala ruangan b. Proses pelatihan : - Jumlah peserta pelatihan sesuai dengan yang direncanakan (100 % hadir) - Sambutan yang disampaikan kepala bidang keperawatan dan komite keperawatan saat acara pembukaan mengungkapkan dukungan terhadap inovasi yang dilakukan dan akan berkomitmen dalam perubahan ini. - Peserta pelatihan aktif mengikuti proses pelatihan baik sesi materi maupun sesi hands on. - Evaluasi dari peningkatan pengetahuan didapatkan : Grafik 5.1. Rata-rata Nilai pre dan post tes hari 1 dan hari ke 2 Pre Test Post Test 74,75 76 57,62 56,5 Hari ke 1 Hari ke 2 Dari grafik diatas menggambarkan adanya peningkatan pengetahuan tentang pengkajian kaki diabetic pada peserta pelatihan baik pada hari pertam maupun hari ke dua. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 140 c. Evaluasi peserta terhadap seluruh proses pelaksanaan pelatihan dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 5.2. Evaluasi pelaksanaan pelatihan 90% Sgt Menarik 80% Menarik 70% krg Menarik 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Materi Sarana & Tempat Prasarana konsumsi Hands on Dari grafik diatas dapat dijelaskan bahwa materi yang disampaikan 80 % peserta menyatakan sangat menarik, hands on yang dilaksanakan 70 % sangat menarik, sarana prasarana, tempat dan konsumsi yang disediakan memuaskan. 5.2.3.2. Evaluasi pelaksanaan inovasi Evaluasi pelaksanaan inovasi dilakukan selama 2 minggu setelah pelaksanaan pelatihan. Metode evaluasi yang digunakan dengan mengobservasi peserta pelatihan khususnya di gedung teratai lantai 5 selatan. Komponen evaluasi meliputi inisiatif dan keaktifan peserta dalam menerapkan pengkajian kaki, kemampuan peserta dalam melakukan pengkajian kaki, pelaksanaan program pendampingan oleh edukator dan dukungan managemen untuk keberlangsungan pelaksanaan kegiatan inovasi ini. Hasil evaluasi yang di dapatkan adalah sebagai berikut : a. Managemen : komite perawatan meminta panduan pengkajian kaki dan bentuk revisi format pengkajian untuk dapat ditindaklanjuti dalam perbaikan dan peningkatan sarana dalam pengkajian kaki. Kepala ruangan lantai 5 selatan memperbanyak Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 141 format pengkajian kaki untuk menunjang pelaksanaan pengkajian kaki ini. b. Peserta pelatihan : dalam waktu 2 minggu setelah pelatihan di dapatkan 6 pasien baru diabetes tanpa ulkus yang dirawat khususnya di lantai 5 selatan bagian laki – laki. Dari 6 pasien tersebut, 3 perawat (50%) yang melakukan pengkajian kaki atas inisiatif sendiri dan 3 perawat (50%) harus diingatkan. Tehnik melakukan pengkajian kaki rata – rata 80 % sesuai dengan panduan. Pendampingan edukator belum terlaksana, karena saat pengkajian dilaksanakan edukator dinas pada shift yang berbeda. Hasil pengkajian terhadap 6 pasien di dapatkan 2 pasien beresiko sedang (katagori 1) dan 4 pasien beresiko rendah (katagori 0). Tindakan yang dilakukan untuk menindaklanjuti hasil pengkajian, perawat melakukan mendokumentasikan ke edukasi dalam sesuai catatan katagori perawatan. dan Format pengkajian yang diisi tetap ditandatangani oleh dokter yang bertanggung jawab terhadap pasien tersebut, namun juga dicantumkan nama perawat yang mengkaji. 5.3.Pembahasan Pengkajian merupakan langkah pertama dalam melakukan asuhan keperawatan. Dalam proses pengkajian seorang perawat melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber yang dilakukan secara sistematis untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2009; Craven & Hirnle, 2007). Proses pengkajian dapat dilakukan pada berbagai situasi. Pada saat pertama kali pasien datang ke pelayanan kesehatan maka pengkajian yang dilakukan merupakan pengkajian awal, dimana pada pengkajian ini data dasar untuk semua status kesehatan dikumpulkan. Selanjutnya akan dilakukan pengakajian yang lebih spesifik pada masalah yang ditemukan, maka pengkajian ini disebut dengan pengkajian fokus. Pengkajian ulang, merupakan pengumpulan data untuk mengetahui perubahan status kesehatan pasien pada waktu tertentu setelah dilakukan pengkajian awal. Pengkajian ulang ini dapat dikatakan sebagai evaluasi status kesehatan. Terakhir adalah pengkajian darurat, dimana pengkajian ini dilakukan secara cepat untuk mengidentifikasi situasi yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 142 menyangkut keselamatan nyawa pasien dan ini menjadi prioritas pengkajian (Craven & Hirnle, 2007). Pengkajian kaki diabetic merupakan pengkajian yang dilakukan pada setiap kaki penderita diabetes. Menurut jenis pengkajian, maka pengkajian kaki diabetik, dapat merupakan pengkajian awal, pengkajian fokus, pengkajian ulang maupun pengkajian darurat. Pengkajian awal dilakukan pada saat pertamakali pasien datang kepelayanan kesehatan sebagai penderita diabetes atau ketika pertamakali terdiagnosis diabetes. Pengkajian fokus dilakukan pada area kaki, baik dengan wawancara maupun pemeriksaan fisik. Pengkajian ulang dilakukan pada setiap kunjungan atau sesuai dengan criteria kaki diabetic untuk mengevaluasi kondisi kaki penderita. Dan pengkajian darurat dilakukan pada kaki diabetik yang mengalami ulkus dengan gas gangrene, dimana pada kondisi ini memerlukan tindakan segera untuk penyelamatan jiwa pasien (Craven & Hirnle, 2007; Turns, 2011; Taylor, 2008) Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan dalam perawatan pasien diabetes, sesuai dengan standard dan kompetensi perawat Indonesia harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengkajian. Pengkajian yang lengkap dan komprehensif akan menentukan diagnose keparawatan atau masalah keperawatan yang tepat sehingga pada akhirnya menentukan intervensi yang tepat. Pada studi comparative yang dilakukan oleh Smide, 2008 dengan membandingkan hasil pengkajian kaki pada pasien diabetes di Tanzanian dengan Swedia dapat diidentifikasi bahwa di Tanzania ditemukan masalah resiko ulkus kaki diabetik lebih banyak dibandingkan dengan di Swedia. Faktor yang berperan pada rendahnya angka resiko kaki diabetik di Swedia dikarenakan selain fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih maju, juga kemampuan perawat dalam pelayanan perawatan kaki termasuk pengkajian kaki dan edukasi lebih dibandingkan dengan di Tanzania Sesuai dengan hasil observasi, wawancara dan kuesioner, didapatkan data, bahwa pengkajian kaki pada pasien diabetes sebagai upaya untuk deteksi dini ulkus diabetik hampir tidak pernah dilakukan oleh perawat khususnya dilantai 5 selatan. Penyebab dari kondisi ini adalah karena pengetahuan dan kemampuan perawat dalam pengkajian kaki diabetic masih kurang. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan ini salah satunya dengan pelatihan. Pelatihan didefinisikan sebagai suatu kegiatan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 143 pengajaran atau pemberian pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang bertujuan untuk mencapai kompetensi tertentu, dan pada akhirnya terjadi perubahan kinerja, serta kualitas asuhan yang lebih baik (Fakhrizal, 2010). Perubahan yang di dasarkan pengetahuan akan lebih langgeng dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik (Notoatmodjo, 2007). Untuk menjadikan pengkajian kaki sebagai bagian dari asuhan keperawatan pasien diabetes, tidak hanya peningkatan pengetahuan yang harus diperhatikan. Adanya komitmen dan kebijakan juga merupakan bagian penting yang harus diperhatikan. Komitmen awal dari kegiatan inovasi ini diperoleh dari penentu kebijakan (manajer rawat inap, bidang keperawatan, komite keperawatan dan kepala ruangan). Manajer sebagai pemimpin diharapkan dapat memberikan kebijakan, motivasi dan monitoring dalam keberlangsungan dan keberhasilan dari kegiatan inovasi ini (Nurusalam, 2007). Langkah kelompok untuk memperoleh komitmen dan kebijakan tersebut, pada awal kegiatan perencanaan inovasi, kelompok melakukan pemaparan rencana kegiatan berdasarkan fenomena yang ditemukan, analisis situasi, rencana perubahan yang diperkuat dengan evidence based nursing. Tujuan akhir dari kegiatan inovasi ini adalah pengkajian kaki menjadi bagian dari pengkajian yang selalu dilakukan pada pasien diabetes. Dalam mencapai tujuan ini, keterlibatan semua pihak di ruangan tersebut, monitoring dan evaluasi harus terus dilakukan. Kepala ruangan, wakil kepala ruangan, perawat primer dan educator telah berkomitmen akan melakukan pendampingan dan monitoring pada kegiatan ini Hambatan yang praktikan dapatkan pada penerapan kegiatan inovasi ini diantaranya alat pengkajian kaki yang belum lengkap (monofilament 10 gr dan garputala 128) hingga praktikan menyelesaikan kegiatan praktek residen. Solusi yang praktikan lakukan, mengkomunikasikan dengan managemen. Disampaikan oleh kepala ruangan bahwa pengadaan alat di rumah sakit memerlukan suatu mekanisme dan kepala ruangan telah mengkomunikasikan pada managemen dan pengadaan alat saat rapat pimpinan. Upaya pencegahan ulkus diabetik tidak hanya pengkajian, namun tindak lanjut dari hasil pengkajian sesuai katagori resiko ulkus merupakan hal penting yang harus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 144 dilakukan. Pada pelaksanaan inovasi oleh kelompok praktikan, tindak lanjut dari hasil pengkajian hanya sebatas edukasi individu, konseling dan system rujukan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Peran edukator untuk melaksanakan konseling dan alur rujukan perlu ditingkatkan, sehingga pencegahan terhadap ulkus diabetik dapat tercapai. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 145 BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system endokrin perlu didasarkan pada pemahaman yang memadai terhadap konsep yang mendasari seperti anatomi, fisiologi dan patofisiologi. Selain itu profesi keperawatan mempunyai badan keilmuan, sehingga pemahaman dan penguasaan terhadap teori keperawatan yang relevan serta berbagai modalitas keperawatan yang berbasis evidence menjadi dasar dalam praktik keperawatan profesional. Model Adaptasi Roy merupakan salah satu model keperawatan yang menekankan pada peran perawat dalam meningkatkan status kesehatannya dengan meningkatkan kemampuan individu baik sehat maupun sakit untuk beradaptasi terhadap stimulus yang di dapatkan. Kemampuan adaptasi tersebut ditunjukan dalam perilaku yang holistik yang dapat dilihat dari mode fisiologis, konsep diri, peran dan interdependensi. Namun demikian penggunaan MAR pada kondisi kegawatan, dan pada pasien rawat jalan khususnya pada system endokrin tidak dapat digunakan secara holistik. Melalui penerapan MAR berbagai peran perawat spesialis medical bedah baik sebagai practitioner, educator, researcher maupun inovator dapat diaplikasikan dalam memfasilitasi pasien untuk mencapai kondisi adaptasi secara holistik, yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Peran sebagai praktisi (practitioner). Dalam memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan MAR, praktikan dapat menyimpulkan bahwa model teori ini relevan untuk diaplikasikan pada pasien dengan gangguan sistem endokrin khususnya pada pasien DM. Pasien yang mengalami DM dengan berbagai komplikasi yang ditimbulkan akan mengalami perubahan perilaku pada fisiologisnya, konsep dirinya, peran maupun pada ketergantungannya. Melalui model ini, asuhan keperawatan diarahkan pada peningkatan kemampuan individu beradaptasi dengan meningkatkan koping regulator dan cognator. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 146 2. Peran sebagai pendidik (educator). Peran perawat dalam mengurangi stimulus yang ditimbulkan adalah dengan meningkatkan koping individu melalui kontrol kognator yaitu meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga yang berkaitan dengan perilaku dan stimulusnya. Selain itu tanggung jawab terhadap peningkatan pelayanan asuhan keperawatan dilakukan dengan berbagi (sharing) keilmuan kepada sejawat perawat, maupun mahasiswa keperawatan. 3. Peran sebagai peneliti (researcher). Peran ini dilakukan dengan mengaplikasikan hasil riset yang ada ke dalam pelayanan keperawatan dengan tujuan peningkatan mutu asuhan keperawatan di klinik. Salah satu penerapan hasil penelitian adalah pengkajian kaki terhadap resiko ulkus pada pasien DM yang dapat digunakan sebagai deteksi dini terhadap kejadian ulkus diabetic. 4. Peran sebagai pembaharu (innovator). Peran innovator mempunyai peranan yang strategis dalam melakukan perubahan di pelayanan keperawatan. Kegiatan inovasi yang dilakukan oleh praktikan bersama kelompok adalah meningkatkan upaya preventiv terhadap komplikasi ulkus pada pasien DM melalui pengkajian kaki diabetes pada setiap pasien DM yang dirawat tanpa ulkus. B. SARAN 1. Untuk menjadi seorang ners spesialis keperawatan medical bedah kekhususan system endokrin diperlukan pengembangan diri berkelanjutan dan tidak sebatas kasus DM agar dapat menjalankan perannya sebagai praktisi, pendidik, peneliti dan pembaharu. 2. Diperlukan kajian lebih lanjut untuk penerapan MAR yang efektif dan efisien pada unit gawat darurat maupun unit rawat jalan khususnya untuk pasien gangguan endokrin 3. Melaksanakan praktek berdasarkan evidence diharapkan akan terus dikembangkan dan dijadikan panduan praktek pada perawat klinik yang disesuaikan dengan level kompetensi. Evaluasi dan monitoring menjadi bagian penting yang harus dilakukan untuk kelanjutan penerapan evidence tersebut. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 147 4. Praktik keperawatan profesional yang melibatkan ners spesialis membutuhkan dukungan dari system pelayanan kesehatan yang ada, dukungan organisasi profesi dan pengakuan dari profesi lain yang saling berhubungan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Konsep Penyakit Diabetes Mellitus 2.1.1. Pengertian Diabetes sering disingkat dengan DM merupakan kelompok penyakit metabolik yang yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah sebagai akibat dari penurunan sekresi insulin, penurunan kerja insulin atau keduanya (ADA, 2012). Glukosa yang berasal dari makanan yang dicerna dalam saluran pencernaan akan bersirkulasi di dalam darah dalam jumlah tertentu. Selanjutnya proses regulasi atau metabolisme glukosa di sel otot, lemak dan hepar akan diperankan oleh hormone insulin. Hormon insulin ini merupakan rangkaian asam amino yang diproduksi oleh sel beta kelenjar pancreas. Pada keadaan terentu dapat terjadi penurunan produksi insulin oleh sel beta pancreas atau insulin yang ada tidak sensitive terhadap kadar glukosa dalam darah. Kondisi ini akan meningkatkan glukosa dalam sirkulasi darah atau disebut hyperglikemia. Hyperglikemia yang terus terjadi dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan berbagai gangguan baik pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuler), pembuluh darah besar (makrovaskuler), maupun gangguan pada saraf (neuropathy) (Smeltzer & Bare, 2008; Manaf, 2009; Lewis et al, 2011; LeMone, 2011). 2.1.2. Klasifikasi, Etiologi dan Patofisiologi Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Hasil penelitian baik klinis maupun laboratories menunjukan bahwa diabetes merupakan suatu keadaan yang heterogen baik etiologi maupun macamnya dan pada akhirnya kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya, sehingga PERKENI, 2011; ADA, 2012 mengklasifikasikan diabetes menjadi : 2.1.2.1. Diabetes Tipe I Diabetes tipe 1 ini umumnya terjadi karena kerusakan sel beta pancreas sehingga produksi insulin mengalami kegagalan dan mengakibatkan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 7 defisiensi insulin absolute. Jumlah penyandang DM tipe 1 ini hanya 5 - 10 % dari jumlah seluruh penyandang DM. Pada klasifikasi awal DM tipe 1 ini disebut juga dengan Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Ini dikarenakan pada penyandang DM tipe 1 mutlak membutuhkan insulin dari luar tubuhnya. Kerusakan sel beta pancreas terjadi karena reaksi autoimun sebagai dampak dari berbagai pencetus salah satunya adalah proses infeksi.virus seperti virus Cocksakie, Rubella, CMV, Herpes, dan lain sebagainya hingga timbul peradangan sel–sel beta (insulitis). Ada beberapa tipe otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic acid decarboxylase). Defisiensi insulin absolut terjadi jika kerusakan sel beta pancreas mencapai 80 - 90% yang akan menyebabkan gangguan metabolisme ( Lewis et al, 2011). Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel alpha kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel alpha ï€ kelenjar pankreas. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin (Depkes, 2005; Smeltzer & Bare, 2008; Lewis, 2011). Faktor resiko pada DM tipe 1 diantaranya adalah genetic. Ditemukan pada1 dalam 400 hingga 1 dalam 1000 untuk semua populasi, Resiko berkembang menjadi DM tipe 1 pada anak dengan orang tua yang menyandang DM 1 dalam 50 resiko,Maftin, 2009 (dalam LeMone, 2011). Faktor resiko lain adalah lingkungan. Infeksi virus, zat kimia dan asap rokok dapat menjadi factor pemicu terjadinya insulitis dari reaksi autoimun. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 8 2.1.2.2. DM Tipe II Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes, 2005). Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi utama dimana 85 % penyandang DM tipe 2 mengalami obesitas sebelumnya (Black & Hawks, 2009) Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara autoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 9 Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Namun pada penderita DM Tipe 2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Depkes, 2005; Suyono dalam Sugondo dkk, 2011; LeMone, 2011). Faktor resiko dari DM tipe 2 menurut Port & Matfin, 2009 dalam (LeMone, 2011) diantaranya adalah : a. Riwayat DM pada orang tua atau saudara kandung. Meskipun tidak teridentifikasi adanya HLA, seorang anak dari penyandang DM tipe 2 beresiko 2 hingga 4 kali lipat dan 35 % mempunyai resiko berkembang menjadi intoleransi glukosa. b. Obesitas, dimana berat badan lebih dari 20% BB ideal atau BMI lebih dari 27 kg/m2. Obesitas khususnya obesitas visceral berhubungan dengan resistensi insulin c. Pada wanita dengan riwayat DM gestational, atau melahirkan lebih dari 4 kg d. Hypertensi , peningkatan lipid profile : kolesterol, HDL & trigliserida e. Metabolik sindrom dengan manifestasi yang berhubungan dengan DM tipe 2 Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 10 2.1.2.3. DM Tipe Gestasional ADA, 2012 mendefinisikan DM gestational adalah intoleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali diketahui saat proses kehamilan. Kondisi ini bisa berlanjut hingga setelah persalinan. Wanita yang telah mengalami DM sejak sebelum kehamilannya tidak termasuk kelompok ini. Di Amerika DM tipe ini terjadi pada 7 % dari seluruh kasus kehamilan. Timbulnya intoleransi glukosa biasanya terjadi pada kehamilan trimester dua atau tiga akibat dari sekresi hormone plasenta yang berdampak menghambat kerja insulin (Smeltzer & Bare, 2008). Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan DM tipe ini akan beresiko mempunyai berat badan yang besar (makrosomia). Faktor resiko pada DM gestational ini berdasarkan adanya riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat keluarga dengan DM tipe 2, adanya glikosuria dan riwayat polycystic ovary symdrom 2.1.2.4. DM Tipe lain Klasifikasi DM yang terakhir ,dimana DM ini tidak termasuk DM tipe 1,tipe 2 maupun tipe gestational. DM ini dikenal dengan DM tipe lain. Pada DM ini, penyebabnya adalah (ADA, 2012) : a. Kerusakan genetic pada fungsi sel beta b. Kerusakan genetic pada aksi insulin c. Penyakit eksokrin pancreas : Pancreatitis, trauma/pancreotomy, neoplasia, Cystic fibrosis, hemocromatosis, dan lainnya d. Endokrinopathy: acromegaly, cushing’s syndrome,glukagonoma, aldosteronoma, hypertiroidism, somatostatinoma e. Obat-obatan atau zat kimia : vacor, pentamidine, asam nicotinic, glukokortikaoid, diazoxide, thiazide, dilantin dan yang lainnya f. Infeksi : Rubella, CMV, dan yang lainnya g. Sindrom genetic lain yang berhubungan dengan diabetes : Down sindrom, turner sindrom, myothonic dystrophy, wolfram sindrom dan yang lainnya. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 11 2.1.3. Tanda dan Gejala Gejala klinis klasik pada semua tipe DM dikenal dengan trias poly. yaitu polydhipsi, polypaghia dan polyuria. Gejala trias poly ini seringkali tidak pada awalnya dirasakan oleh penyandang DM tipe 2, sehingga pada penyandang DM tipe 2 datang kepelayanan kesehatan dengan gejala komplikasi yang ditimbulkan (Lewis, et al 2011; LeMone, 2011). Berikut ini diuraikan tanda dan gejala yang ditimbulkan dari peningkatan gula darah pada penyandang DM menurut LeMone et al, 2011 2.1.3.1. Polyuria Polyuria atau sering disebut sering buang air kecil, terjadi karena adanya akumulasi glukosa di dalam sirkulasi darah menyebabkan hyperosmolaritas pada serum. Selanjutnya terjadi perpindahan cairan dari intra seluler ke dalam system sirkulasi. Peningkatan volume dalam pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke ginjal dan hyperglikemia menyebabkan dieresis osmotic yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran urine. Ambang batas ginjal terhadap kadar glukosa darah adalah 180 mg/dL. Ketika kadar gula darah lebih dari nilai tersebut, maka glukosa akan dikeluarkan bersama urine. Kondisi ini disebut dengan glukosuria. 2.1.3.2. Polydipsia Penurunan volume cairan di intraseluler dan peningkatan pengeluaran urine akan menyebabkan dehidrasi tingkat sel. Mukosa mulut menjadi kering dan sensasi haus dirasakan, maka akan menyebabkan peningkatan asupan cairan. 2.1.3.3. Polyphagia Penurunan jumlah atau sensitifitas insulin untuk membantu memasukan glukosa ke dalam sel, menyebabkan terjadinya penurunan metabolism dan pembentukan energy. Penurunan energi ini akan menstimulasi pusat lapar dan penyandang DM menjadi banyak makan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 12 2.1.3.4. Penurunan berat badan Pemenuhan kebutuhan energy akibat kegagalan penggunaan glukosa sebagai sumber energy didapatkan dari sumber energy lain yaitu protein dan lemak. Pemecahan asam amino (Proteolisis) terjadi pada otot yang disimpan sebagai cadangan protein. Berkurangnya cadangan protein otot menyebabkan penurunan berat badan. 2.1.3.5. Penurunan Penglihatan Peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dapat menyebabkan peningkatan tekanan osmotik pada mata dan perubahan pada lensa sehingga pasien akan mengalami gangguan dalam penglihatan. 2.1.4. Diagnosis Penegakan diagnose DM tidak hanya dilakukan berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh pasien. Diagnosis DM harus didasarkan pada pemeriksaan penunjang khususnya pemeriksaan gula darah. Keluhan klasik seperti polyuria, polydipsi, polyphagia, badan yang lemah, penurunan berat badan tanpa diketahui jelas penyebabnya menjadi dasar dugaan adanya DM. Pada beberapa dekade, diagnosis DM ditegakkan dengan pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa dan gula darah 2 jam setelah beban (glukosa 75 gr). Sejak tahu 2009, pada International Expert Committee termasuk di dalamnya terdapat perwakilan dari American Diabetes Association (ADA), International Diabetes Federation (IDF) dan European Association for the Study of Diabetes (EASD), merekomendasikan pemeriksaan HbA1C sebagai uji untuk diagnosis DM. Didiagnosis sebagai penyandang DM jika di dapatkan hasil HbA1C > 6.5%. Pemeriksaan HbA1C menggunakan metode yang telah terstandar oleh National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) dan Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) (ADA, 2012). HbA1C atau haemoglobin glikosilate merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari ikatan hemoglobin dan gukosa dalam darah. Apabila hemoglobin bercampur dengan larutan dengan kadar glukosa yang tinggi, rantai beta molekul hemoglobin mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, proses ini dinamakan glikosilasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 13 Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal, sekitar 4-6% hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin glikosilat atau hemoglobin A1c. Pada hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar hemoglobin A1c dapat meningkat hingga 18-20%. Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar hemoglobin A1c yang tinggi mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes selama 3-5 minggu sebelumnya. Setelah kadar normoglikemik menjadi stabil, kadar hemoglobin A1c kembali ke normal dalam waktu sekitar 3 minggu. Karena HbA1c terkandung dalam eritrosit yang hidup sekitar 100-120 hari, maka HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan. Pemeriksaan ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan informasi yang lebih jelas tentang keadaan penderita dan seberapa efektif terapi diabetik yang diberikan. Peningkatan kadar HbA1c > 6.5% mengindikasikan diabetes mellitus yang tidak terkendali dalam 3 bulan terakhir. Keuntungan yang lain dari pemeriksaan ini, tidak memerlukan persiapan seperti puasa dan pengambilan darah hanya dilakukan sekali saja (ADA, 2012; Black & Hawk, 2009). Namun demikian HbA1C hanya dapat dilakukan pada laboratorium yang telah terstandar. Pemeriksaan yang lain dan masih direkomendasikan oleh ADA, 2012 maupun PERKENI, 2011 adalah pemeriksaan gula darah sewaktu, gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah beban. Berikut kriteria diagnosis DM menurut ADA, 2012 a. Adanya gejala klasik DM dengan hasil HbA1C > 6.5 % , dan pemeriksaan menggunakan metode yang terstandart (NGSP atau DCCT), atau b. Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). Gula darah plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau c. Adanya gejala klasik DM dengan kadar glukosa puasa > 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa diartikan tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8 jam, atau d. Kadar gula plasma 2 jam pada Toleransi Tes Glukosa Oral (TTGO) > 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, yaitu Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 14 menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Pada orang-orang yang beresiko DM namun tidak menunjukan adanya gejala DM, perlu dilakukan pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi lebih awal adanya gangguan pada toleransi glukosa atau resiko DM sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih awal. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan guladarah sewaktu, atau gula darah puasa. Berikut ini kadar gula darah sebagai penyaring diagnosis DM (Pra diabetes) a. Gula darah puasa 100mg/dL (5,6 mmol/L) – 125 mg/dL (6,9 mmol/L) b. Gula darah 2 jam setelah beban dengan 75 gr glukosa oral 140 mg/dL (7.8 mmol/L) sampai 199 mg/dL (11.0 mmol/L) c. HbA1C : 5,7% sampai 6,4 % Untuk kelompok resiko tinggi yang tidak menunjukan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulang setiap tahun. Untuk yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko lain, penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun. Pemeriksaan penunjang lain yang disarankan untuk mengetahui factor resiko maupun gangguan metabolism lebih lanjut diantaranya adalah pemeriksaan lipid profile. Gangguan metabolism glukosa dapat menimbulkan peningkatan pada kadar trigliserida, penurunan HDL, perubahan pada struktul LDl, dimana dapat ditemukan peningakatan small dense LDL. Penurunan kadar C-Peptida dalam darah dapat digunakan untuk menggambarkan penurunan produksi insulin oleh sel beta pancreas. 2.1.5. Penatalaksanaan Tujuan jangka pendek dari penatalaksanaan pada penyandang DM adalah menghilangkan keluhan dan tanda dari DM, mempertahankan kenyamanan, dengan gula darah yang terkontrol. Sedangkan tujuan jangka panjang yang ingin dicapai adalah mencegah dan menghambat progresivitas penyulit atau komplikasi seperti mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Pada akhirnya keberhasilan penataksanaan akan meningkatkan kualitas hidup penyandang DM, menurunnya angka mortalitas dan morbiditas DM. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 15 Penatalaksanaan DM ini dilakukan secara holistic dan terpadu dengan melibatkan multidisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, educator, dan lainnya) dan keluarga sebagai system pendukung utama. Pilar penatalaksanaan utama untuk DM meliputi edukasi, perencanaan makan, latihan jasmani, intervensi farmakologis dan monitoring gula darah. Berikut ini penjelasan dari 5 pilar penatalaksanaan DM : 2.1.5.1. Edukasi Edukasi merupakan proses perpindahan informasi dari suatu sumber untuk menambah pengetahuan (internalisasi) satu individu dalam rangka meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dan diharapkan menampilkan satu perubahan perilaku (Nasution, 2008). Penyandang DM umumnya mempunyai resiko dari pola hidup yang tidak sehat. Selain itu pengendalian gula darah dan pencegahannya memerlukan perawatan sepanjang hidupnya, sehingga perubahan pola hidup dan kepatuhan terhadap perawatan hendaknya didasarkan pada pengetahuan yang benar. Tujuan dari edukasi pada penyandang DM adalah terjadinya perubahan perilaku untuk jangka panjang. Perubahan perilaku ini dapat dicapai dengan cara memberikan pengetahuan yang dibutuhkan sehingga penyandang DM mampu membuat keputusan sendiri yang akan memperbaiki kesehatan individu tersebut. Prinsip edukasi yang harus disampaikan adalah sesuai kebutuhan, diberikan secara bertahap sehingga proses internalisasi dapat tercapai. Memperhatikan kondisi diabetisi seperti tingkat pendidikan, usia, pengetahuan dan persepsi yang dimiliki, budaya hingga kondisi psikologis merupakan hal penting untuk pencapaian informasi. Edukasi yang diberikan untuk diabetisi diantaranya informasi tentang DM, pengendalian gula darah melalui perencanaan makan, latihan jasmani dan obat-obatan, pemantauan gula darah, tanda dan gejala komplikasi akut dan pencegahan komplikasi kronikseperti perawatan kaki. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 16 2.1.5.2. Pengaturan makan Pengaturan makan merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi penyandang DM (diabetisi). Prinsip dari perencanaan makan ini adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individu (Yunir .E & Soebardi, 2009; ADA, 2012). Manfaat yang didapatkan dari perencanaan makan pada penyandang DM antara lain: menurunkan berat badan, menurunkan tekanan darah sistolikdan diastolic, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, dan pada akhirnya meningkatkan sensitifitas insulin dan mencegah timbulnya kompliksi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hamper sama dengan anjuran makan pada umumnya, yaitu gizi seimbang sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi dari masing-masing individu. Penekanan perencanaan makan pada diabetisi adalah pentingnya keteraturan pada jadwal makan, jenis dan jumlah makanan terutama pada diabetisi yang menggunakan obat penurun glukosa atau insulin (Sukardji dalam Sugondo, Suwondo, Subekti, 2011; PERKENI, 2011). Komposisi bahan makanan yang dianjurkan untuk diabetisi dalam rangka mencapai gizi seimbang terdiri dari makronutrien, yaitu karbohidrat,lemak dan protein, dan mikronutrien yang terdiri dari vitamin dan mineral. Jumlah karbohidrat yang dianjurkan 45 – 65 % dari total asupan energi, protein 10- 20 % dan lemak 20 – 25%. Selain komposisi bahan makanan, jumlah kalori juga merupakan hal yang harus diperhatikan. Setiap individu akan berbeda jumlah kalori yang dibutuhkan. Penghitungan kalori pada penyandang DM disesuaikan dengan jenis kelamin, aktifitas fisik, berat badan, stress metabolic dan kondisi kehamilan. Makanan yang telah disesuaikan komposisi dan kalori, kemudian dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) diantara makan besar. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 17 2.1.5.3. Latihan jasmani Latihan fisik atau olah raga pada penyandang diabetisi akan membantu dalam pengendalian gula darah, menurunkan lemak dalam darah, menurunkan berat badan, menjaga kebugaran dan akan meningkatkan sensitifitas insulin. Aktivitas fisik melibatkan kelompok besar otot-otot utamanya yang mempengaruhi peningkatan pengambilan oksigen sehingga terjadi peningkatan laju metabolik pada otot yang aktif. Prinsip latihan jasmani pada pasien diabetes hampir sama dengan latihan jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti: frekuensi, intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan pada pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam 1 minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (60-70% maximum heart rate), dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani endurans (aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging dan bersepeda. Latihan jasmani yang dipilih adalah latihan yang disenangi oleh pasien (Yunir & Soebardi, 2009). Proses terjadinya pengendalian kadar glukosa darah (penurunan kadar glukosa darah) pada penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani karena meningkatnya ambilan glukosa oleh otot yang bekerja selama latihan jasmani berlangsung dan pada masa pemulihan atau pasca latihan jasmani. Penderita DM tipe 2 yang melakukan latihan jasmani memperoleh sumber energinya berasal dari glukosa dan glikogen otot. Pada saat latihan jasmani berlangsung (kontraksi otot rangka), aliran darah akan meningkat ke daerah otot yang bekerja tersebut untuk membawa bahan sumber energi (glukosa). Kontraksi sel otot merupakan peristiwa berinteraksinya aktin dan miosin yang didahului oleh pelepasan ion kalsium intrasel karena rangsangan persarafan. Kalsium intrasel mengaktifkan sejumlah enzim PKC serine kinase yang diduga menstimulasi molekul transpor glukosa, GLUT4. Peristiwa kontraktil juga mengubah rasio AMP/ATP sehinggga mengaktivasi AMP kinase. AMP Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 18 kinase memfosforilasi dan mengaktivasi enzim NO sintase sehingga meningkatkan produksi NO (Nitrat Oxide) dan menstimulasi peningkatan transport glukosa ke dalam sel otot rangka yang aktif. AMP kinase juga memfosforilasi molekul p38 MAPK yang akan meningkatkan translokasi GLUT4. Peningkatan GLUT4 pada sel otot yang aktif pada penderita DM tipe 2 akan meningkatkan ambilan glukosa dari plasma darah sehingga akan menurunkan kadar glukosa darah. Latihan jasmani menjadi kontraindikasi pada kondisi guladarah > 250mg/dL, terdapat keton yang positif dan gangguan kardiovaskuler. Pada kondisi ini meningkatkan metabolism sehingga meningkatkan kadar gula darah dan benda keton. Tahapan dalam latihan jasmani pada penyandang DM dimulai dengan pemanasan, latihan inti, pendinginan dan peregangan. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti hipoglikemia, maka latihan fisik yang akan dilakukan harus direncanakan & dalam pengawasan. 2.1.5.4. Obat-obatan Terapi farmakologis atau obat, digunakan jika penatalaksanaan melalui pengaturan makan dan latihan fisik, serta perubahan gaya hidup tidak mampu mengendalikan gula darah. DM tipe 2 yang merupakan populasi terbanyak terjadi karena resistensi insulin, penggunaan obat hiperglikemi oral seringkali menjadi pilihan utama. Namun pada kondisi kerusakan sel beta atau untuk mencegah kerusakan lebih lanjut insulin eksogen juga menjadi pertimbangan untuk digunakan (Sugondo, Suwondo, Subekti 2011). a. Obat hiperglikemia oral (OHO) Ada 2 jenis obat hipoglikemik oral diantaranya adalah pemicu sekresi insulin (seperti sulfonylurea dan glinid) dan obat penambah sensitivitas terhadap insulin (biguanid, tiazolidindion, penghambat glukosidase alfa dan incretin mimetic) Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 19 ï‚· Sulfonyluera Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pangkeras untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Sulfonylurea pada umunya diberikan dengan dosis rendah untuk mencegah hipoglikemi. Jenis obat sulfonylurea adalah klorpropamid, glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimepirid. ï‚· Glinid Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 jenis obat seperti repaglinid, dan nateglinid. ï‚· Biguanid Jenis obat ini seperti: metformin dam metformin XR. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular. Metformin tidak dapat menyebabkan penurunan glukosa darah sampai normal sehingga obat ini dikenal juga dengan obat anti hiperglikemik. Kombinasi supfoniluera dengan metformin tanpak memberikan kombinasi yang rasional karena cara kerja yang berbeda dan saling aditif. ï‚· Tiazolidindion Golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin/ dapat diberikan secara oral. - Penghambat glukosidase alfa Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. - Golongan incretin memetic Pada pemberian glukosa secara oral, akan didapatkan kenaikan kadar insulin yang lebih besar dari pada pemberian glukosa secara intravena. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 20 b. Insulin Insulin eksogen atau berasal dari luar tubuh diberikan pada semua DM tipe 1. Indikasi pemberian pada DM tipe 2 adalah pada kondisi dimana terapi lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah, terjadi peningkatan metabolism : stress berat, infeksi, pembedahan, MCI dan stroke. Komplikasi akut seperti ketoasidosis, sindrom hiperosmolar non ketotik juga menjadi indikasi penggunaan insulin eksogen (Sugondo, 2011) Berdasarkan cara kerjanya insulin eksogen (puncak kerja dan jangka waktu efeknya), insulin dibagi menjadi empat tipe, yaitu : Insulin kerja singkat(short acting insulin), insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja panjang (long acting insulin). Tabel 2.1. Tipe insulin dan cara kerja Cara Kerja Sediaan Onset Puncak Durasi Rapid acting Humalog (insulin lispro) Novolog ( Insulin Aspart) 5 – 10 menit 1 jam 2–4 jam Short acting Humulin R Novolin R 0,5 – 2 jam 2- 4 jam 4–6 jam Intermediate acting Long acting Humulin N (NPH) Humulin 70/30 2–4 jam 4 – 10 jam 10- 16 jam Humulin U (Ultralente) Lantus ( Insulin glargine) Tidak ada onset dan tidak ada masa puncak kerjanya 2.1.5.5. Monitoring gula darah Monitoring gula darah sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akut seperti hipoglikemi atau hiperglikemi, terutama pada orang yang mendapatkan terapi insulin atau OHO yang berdampak pada peningkatan sekresi insulin. Saat ini telah banyak dipasarkan alat monitoring gula darah yang dapat digunakan oleh para penyandang DM. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 21 Monitoring gula darah oleh diabetisi sendiri hasilnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan diabetisi mengenali dan menggunakan alat tersebut. Perawat berperan dalam memberikan edukasi untuk tehnik pemeriksaan hingga pembacaan hasil. Monitoring glukosa oleh diabetisi dapat dilakukan 2–4 kali sehari pada penyandang DM yang mendapat terapi insulin yaitu pagi sebelum makan dan sebelum tidur, atau setiap sebelum makan dan 2 jamsetelah makan. Jika gula darah sudah stabil dapat dilakukan 2–3 kali dalam seminggu. Untuk penyandang DM yang tidak mendapatkan insulin, monitoring dapat dilakukan 2–3 kali seminggu termasuk pemeriksaan 2 jam setelah beban glukosa atau setelah makan (Smeltzer & Bare, 2008). Monitoring gula darah sendiri dianjurkan pada penyandang DM yang guladarahnya tidak terkontro, kejadian hypoglikemia berulang dan wanita hamil dengan hyperglikemia (PERKENI, 2011) 2.1.6. Komplikasi Penatalaksanaan DM yang tidak tepat akan menimbulkan berbagai komplikasi, baik yang disebabkan karena penurunan gula darah yang terlalu drastis maupun peningkatan gula darah. Komplikasi yang terjadi bisa bersifat akut maupun kronik. 2.1.6.1. Komplikasi akut a. Hipoglikemia Hypoglikemia adalah terjadinya penuruanan glukosa dalam darah hingga dibawah 60 mg/dL. Pada penyandang DM, hypoglikemia biasanya terjadi peningkatan kadar insulin yang tidak tepat, baik akibat penyuntikan insulin eksogen maupun konsumsi OHO dengan aksi peningkatan sekresi insulin seperti sulfonylurea. Hipoglikemi merupakan kondisi yang dapat menimbulkan kegawatan hingga kematian. Hal ini terjadi karena glukosa merupakan komponen penting yang dibutuhkan untuk metabolism sistim saraf pusat (otak). Pada gangguan asupan glukosa yang berlangsung dalam beberapa menit, akan menyebabkan gangguan pada fungsi saraf pusat dengan gejala mulai dari gangguan koknisi, penurunan kesadaran hingga koma. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 22 Mekanisme tubuh dalam kondisi hipoglikemia yaitu dengan melepaskan neuroendokrine dan mengaktifkan sistim saraf otonom. Penekanan produksi insulin, produksi glucagon dan epinephrine merupakan pencegahan terhadap hipoglikemia lanjut. Peniningkatan epinephrine akan menimbulkan manifestasi palpitasi, cemas, diaphoresis, lapar dan pucat (Lewis, 2011). Tanda dan gejala hipoglikemia, menurut Sugondo, dkk, 2011 dapat dibagi dalam 4 stadium, yaitu - Stadium parasimpatik : lapar, mual dan tekanan darah menurun - Stadium gangguan otak ringan : lemah,lesu, sulit bicara, gangguan koknitif seperti kesulitan menghitung - Stadium Simpatik : keringat dingin pada area wajah dan ekstremitas yang disertai dengan berdebar-debar - Stadium gangguan otak berat : koma dengan atau tanpa kejang. Pencegahan hipoglikemia dapat dilakukan dengan member edukasi kepada diabetisi mengenai OHO atau insulin yang digunakan: kapan harus dikonsumsi,bagaimana penyuntikan insulin yang benar seperti lokasinya, waktunya, dosis dan tehnik penyuntikan. Pengaturan makan sesuai jumlah, jenis dan jadwal penjadi pokok utama pencegahan. Pengenalan terhadap gejala hipoglikemia dan penanganan awal juga merupakan hal penting yang harus diketahui penyandang DM, sehingga tidak jatuh kepada hipoglikemia tahap lanjut. Jika hipoglikemia sudah terjadi maka, pengobatan harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan otak lebih lanjut (Soegondo 2011), yaitu : - Stadium awal : masih komposmentis, dapat diberikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau sirup, permen dan makanan yang mengandung karbohidrat mudah cerna dan insulin atau OHO tidak diberikan. - Stadium koma hipoglikemia : segera dibawa ke pelayanan kesehatan. Pemberian glukosa 40 % sebanyak 2 flakon intravena setiap 10- 20 menit hingga pasien sadar, disertai pemberian cairan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 23 dextrose 10% perinfuse 6 jam/kolf dengan pemantauan gula darah setiap 30 menit. b. Ketoasidosis Ketoasidosis Diabetikum (KAD) juga merupakan komplikasi akut yang menyebabkan kondisi kegawatan sehingga membutuhkan pengelolaan yang cepat. KAD suatu keadaan dekompensasi dan kekacauan metabolic yang ditandai dengan hyperglikemia, asidosis dan ketosis dan gejala dehidrasi (Suwondo P, 2009; Lewis, 2011, LeMone, 2011). Walaupun KAD lebih mudah terjadi pada DM tipe 1, namun tidak sedikit penyandang DM tipe 2 juga mengalami komplikasi KAD dan 20 % dari pasien KAD, baru diketahui menderita DM. Faktor pencetus terjadinya KAD adalah infeksi, MCI, pancreatitis akut, penggunaan obat steroid dan menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Proses terjadinya KAD dapat diawali dengan defisiensi insulin absolute maupun relative mengakibatkan sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa. Sistem homeostasis tubuh teraktivasi sehingga cadangan glukosa dihati dan otot dikeluarkan. Kondisi ini menyebabkan hiperglikemia yang berat. Selanjutnya terjadi hormone kontraregulator meningkat terutama epinephrine yang akan merangsang aktivasi hormone lipase sensitive, lipolisis meningkat, benda keton dan asam lemak bebat juga akan meningkat dalam darah. Akumulasi benda keton ini akan menyebabkan asidosis metabolic. Gejala dehidrasi terjadi diawali dengan glycosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolite-seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan shock hypovolemik. Asidosis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (peranafasan Kussmaul). Muntah-muntah juga Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 24 biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolite. Diagnosis KAD dapat ditegakkan berdasarkan pada nilai gula darah lebih dari 250 mg/dL, pH darah kurang dari 7,35, HCO3 rendah dengan anion gap yang tinggi dan keton serum positif. Pemeriksaan lain sebagai penunjang dari manifestasi yang ditimbulkan yaitu pemeriksaan elektrolit, urium creatinin, dan penghitungan osmolaritas. Penatalaksanaan KAD dilakukan berdasarkan patofisiologi dan pathogenesis penyakit. Diperlukan pengelolaan yang intensive dengan prinsip pengelolaan KAD, yaitu : penggantian cairan dan elektrolit yang hilang, menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin, mengatasi pencetus KAD, mengembalikan kekondisi fisiologis dengan pemantauan glukosa. - Penggantian cairan (rehidrasi) : Cairan yang digunakan adalah NaCl 0,9%. Diberikan 1- 2 liter pada jam pertama, kemudian jam kedua diberikan 1 liter, setelah itu cairan diberikan sesuai dengan tingkat dehidrasi. Rehidrasi pada KAD selain memperbaiki perfusi jaringan, juga akan menurunkan hormone kontraregulator insulin. - Insulin : insulin mulai diberikan dalam bentuk bolus pada jam ke 2, dengan dosis 180 mU/KgBB, dilanjutkan dengan drip 90 mU/KgBB dalam NaCl 0,9%. Bila gula darah stabil dalam 12 jam (200 – 300 mg/dL), dilanjutkan dengan drip insulin 1 – 2 ui/jam dan dilakukan penyesuaian insulin setiap jam. Pemberian insulin pada KAD ini bertujuan menurunkan konsentrasi hormone glukagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas, pelepasan asam amino dan meningkatkan penggunaan insulin oleh sel. - Kalium : hipokalemia bisa terjadi pada KAD karena perpindahan ion K,dari dalam sel keluar sel yang pada akhirnya keluar melalui urine karena proses dehidrasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 25 c. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) HHNK merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama didapatkan adanya dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan dapat disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Faktor pencetus timbulnya HHNK diantaranya infeksi, pengobatan, DM tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta seperti tumor yang menghasilkan hormone adeokortikotropin, pancreatitis dan lainnya. Pada usia lanjut dengan DM HHNK lebih mudah terjadi khususnya lansia dengan penyakit penyerta dan asupan nutrisi yang kurang. Proses perjalanan HHNK sama dengan KAD dimana tidak tercukupinya insulin akan mengakibatkan hiperglikemia yang pada akhirnya terjadi dieresis osmotik. Kehilangan cairan intravascular akan menyebabkan keadaan hiperosmolar yang akan memicu sekresi hormone anti diuretic, rasa haus yang berkepanjangan akan dirasakan oleh pasien. Kehilangan cairan yang tidak terkompensasi akan menimbulkan penurunan perfusi jaringan hingga koma. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis adanya HHNK diantaranya adalah kadar glukosa darah yang > dari 600mg/dL, osmolaritas serum yang tinggi >320 mOsm perkg air, pH > 7.30, dapat ditemukan adanya ketonemia ringan atau tidak ditemukan. Sebagian pasien menunjukan asidosis metabolic dengan anion gap ringan hingga berat. Konsentrasi BUN dan kreatininsering kalimeningkat yang menggambarkan adanya penurunan fungsi ginjal akibat dehidrasi dan akan terjadi penurunan elektrolit. Penatalaksanaan HHNK yang pertamaadalah rehidrasi dengan agresif menggunakan cairan NaCL 0,9 % dimulai dari 1 liter setiap jam. Pemberian elektrolit khususnya kalium yang hilang bersama pengeluaran cairan. Pemantauan terhadap kondisi aritmia sebagai Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 26 akibat hypokalemi harus dilakukan. HHNK diawali dengan ketidak cukupan kebutuhan insulin, sehingga pemberian insulin sangat penting. Pemberian insulin ini dilakukan setelah kondisi kekurangan cairan tubuh teratasi. 2.1.6.2. Komplikasi Kronik Kelainan metabolik pada DM tipe 2 dalam waktu yang lama dapat menyebabkan perubahan berbagai organ pada tubuh dan bersifat irreversible. Hiperglikemia menyebabkan glukosa direduksi menjadi sorbitol dalam sel yang mengandung enzim aldoreduktase. Sorbitol bersifat hidrofilik sehingga tidak dapat melewati membran sel sehingga meningkatkan akumulasi poliol intrasel sehingga sel menjadi bengkak dan mengalami kerusakan akibat proses osmotik (Waspadi dalam Sudoyo, 2009; Sibernagl & Lang, 2007). Hiperglikemia menyebabkan kerusakan jaringan melalui terbentuknya glikosilasi antara glukosa dengan protein non-enzimatik Advance Glycocilation End Products (AGES) yang berikatan dengan reseptor membran sel serta adanya pembentukan radikal bebas reactive oxygen species (ROS) yang dapat mengakibatkan pengendapan kolagen pada membran basalis pembuluh darah, kerusakan endothelium, penyempitan lumen dan penurunan permiabilitas pembuluh darah (Scott, Gronowski, Eby, 2007; Waspadji dalam Sudoyo, 2009). Kerusakan dinding pembuluh darah kecil dapat menyebabkan neuropati, nefropati dan retinopati. Neuropati disebabkan akibat penumpukan sorbitol pada sel schwan dan neuron sehingga mengganggu konduksi sel-sel saraf yang mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom, sensori dan refleks. Neuropati ditandai dengan adanya penurunan fungsi serabut saraf secara progresif. Neuropati merupakan komplikasi yang banyak terjadi pada DM dan diperkirakan terjadi pada 50% pasien DM baik tipe 1 maupun tipe 2 (Lin, 2011). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 27 Nefropati berhubungan dengan adanya glomerulosklerosis yang mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus, proteinuria, hipertensi dan gagal ginjal. Terjadinya gagal ginjal pada pasien DM tipe 2 dapat berhubungan dengan adanya penurunan Angiotensin Concerting Enzyme (ACE 2) yang berperan dalam melindungi ginjal (Reich, Oudit, Penninger, Scholey, & Herzenberg, 2008). Menurut Batuman resiko terjadinya nefropati diabetik dapat dialami pasien yang mengalami DM lebih dari 30 tahun. Retinopati disebabkan adanya penumpukan sorbitol pada lensa mata yang mengakibatkan penarikan cairan dan perubahan kejernihan lensa mata (Bate & Jerums, 2003). Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan pada kelompok usia 25-74 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan sekitar 700.000 orang mengalami retinopati diabetik proliferasi dengan setiap tahunnya terdapat 65.000 kasus. Prevalensi retinopati diabetik di Amerika Serikat menunjukkan angka cukup tinggi yaitu sekitar 28.5% yang terutama terjadi pada pasien DM dengan usia diatas 40 tahun (Bhavsar, 2011). Hiperglikemia juga menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah yang besar yang berhubungan dengan terjadinya infark miokard, stroke dan penyakit pembuluh darah tepi. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan pembentukan protein plasma yang mengandung glukosa seperti fibrinogen, haptoglobin, macroglobulin alpha 2 dan faktor pembekuan V-VIII yang cenderung mengakibatkan peningkatan pembekuan dan viskositas darah yang mempermudah terjadinya trombosis. Trombosis yang disertai dengan peningkatan kadar kolesterol Very Low Density Lipoprotein (VLDL) akan menyebabkan makroangiopati yang memicu terjadinya penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer (Ignatavicius & Workman, 2010). Pasien DM tipe 2 memiliki resiko tinggi untuk mengalami gagal jantung. Kemungkinan mekanisme yang menjelaskan tentang hubungan DM tipe 2 dengan penyakit jantung adalah adanya peningkatan tekanan darah dan efek dari Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 28 metabolisme seperti hiperinsulinemia dan hiperglikemia (Gholap, Davies, Patel, Sattar, & Kunthi, 2011). Komplikasi kronik yang banyak terjadi akibat adanya komplikasi pada makrovaskuler, mikrovaskuler maupun neuropati adalah komplikasi pada kaki atau kaki diabetic. Kaki diabetic didefinisikan sebagai kaki pada pasien diabetes yang rentan terkena berbagai proses patologi, seperti infeksi, ulserasi, dan/atau destruksi pada jaringan kulit dalam, yang merupakan komplikasi jangka panjang dari diabetes. Kaki diabetic ini terjadi akibat abnormalitas saraf (neuropathy), berbagai derajat kelainan pembuluh darah perifer (angiopathi), dan komplikasi metabolik dari diabetes pada ekstremitas bawah, (Taylor,2008; Waspadji, 2009; Turn, 2011). Seperti dijelaskan pada definisi bahwa terjadinya kaki diabetik disebabkan selain oleh adanya gangguan vaskuler, gangguan saraf perifer, juga dapat disebabkan adanya deformitas musculoskeletal maupun infeksi. Proses terjadinya kaki diabetic dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Neuropathy Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol, sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi,sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 29 bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada pasien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyunghuyung. Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan yang harus dilakukan terkait dengan neuropati perifer ini adalah pemeriksaan tendon dalam dan sensori vibrasi. Hasil pemeriksan fisik ini merupakan satu-satunya indikasi yang menunjukkan terdapat perubahan neuropatik (Smeltzer & Bare, 2008). b. Mikrovaskuler (mikroangiopathy) Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Mikroangiopathy dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 30 reseptornya masing-masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi kearah perifer, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009). c. Deformitas Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya artropati Charcot. d. Infeksi Penyandang Diabetes pada jangka waktu lama akan mengalami penurunan pada system imunitas. Penurunan system imun dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu : kerusakan fungsi polimorphonuclear leukosit, neuropathi diabetic dan penurunan vaskuler. Gangguan vaskuler akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi sel darah putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak dan ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat. Pada kondisi ini penyandang diabetes akan mudah Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 31 mengalami infeksi terutama pada kaki yang mengalami luka (Hawks & Black, 2010) 2.2. Asuhan Keperawatan Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Roy 2.2.1.Dasar Teori adaptasi Roy Sister Calissta Roy lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, seorang profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, mulai mengembangkan teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964. Roy mengembangkan suatu model yang dikenal dengan Model Adaptasi Roy (MAR). Model adaptasi Roy berasal dari pemikiran Roy yang sangat terkesan dengan ketahanan anak-anak terhadap perubahan mayor fisik dan psikososial saat dirawat di bangsal pediatric. Dimulai dari seminar dengan Dorothy E. Jhonson untuk mempresentasikan suatu model keperawatan dan kemudian dilanjutkan dengan berdasar pada teori adaptasi Helson (1964), maka Roy kemudian menghasilkan suatu teori yang disebut model adaptasi. Ada beberapa ahli yang memberikan pengaruh atau berkontribusi terhadap perkembangan teoritis model adaptasi Roy, para ahli tersebut antara lain Helson (Helson’s Adaptation Theory), Rapoport (Rapoport’s Definition), Dohrenwend, Lazarus, Mechanic, Selye, Marie Direver (Self Integrity), Martinez and sato (common and primary stimuli affecting the modes), Poush Tedrow and Van Landingham (Interdependence mode), Randel (Role Function Mode) (Tomey & Alligood, 2006). Pada awalnya, Roy mendiskusikan tentang konsep diri dan identitas kelompok dengan menggunakan teori interaksi social sebagai dasar teori, salah satu contoh penggunaan teori tersebut adalah persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh respon dari orang lain. Selain itu Sullivan juga mempengaruhi Roy untuk membuktikan bahwa seseorang itu muncul dari interaksi social yanga ada. Gardner dan Erickson, 1984 dalam Tomey & Alligood, 2006 juga berpengaruh pada mode yang lain, yaitu fisik-psikologis, fungsi peran dan interdependensi untuk memahami bahwa manusia juga berasal dari komponen biologis dan behavioral. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 32 2.2.2.Asumsi-Asumsi Utama Roy (1988 dalam Roy & Andrews, 1999) mengidentifikasi asumsi spesifik pada dua prinsip filosofi yaitu asumsi humanism dan veritivity. Asumsi humanism mengatakan bahwa manusia dan pengalamannya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengetahui dan menilai sesuatu untuk membentuk suatu kekuatan kreatif, sedangkan asumsi veritivity mengatakan tentang keyakinan pada tujuan, nilai dan arti dalam kehidupan manusia Roy (1988 dalam Roy & Andrew, 1999). Selain itu terdapat asumsi keilmuan yang berasal dari gabungan teori system dan teori level adaptasi. Teory system mengatakan bahwa system adaptasi manusia terlihat dari interaksi dan tindakan untuk mencapai suatu tujuan di dunia ini. Sedangkan system adaptasi manusia sangatlah kompleks, dengan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan stimulus dari lingkungan, manusia mempunyai kemampuan untuk merubah lingkungan sekitarnya. Dalam memahami konsep adaptasi, Roy (Roy & Andrew,1999 dalam Tomey & Alligood, 2006) mengembangkan 5 asumsi dasar dalam model adaptasi ini, yaitu adaptasi, keperawatan, manusia/individu, kesehatan dan lingkungan. 2.2.2.1. Adaptasi Adaptasi adalah suatu proses dan hasil, dimana manusia adalah sebagai individu dalam satu kelompok yang menggunakan kesadaran penuh dan pilihan untuk membentuk suatu integrasi antara manusia dan lingkungan. Untuk mempertahankan integritas, individu berespon terhadap stimulus dari lingkungan. 2.2.2.2. Keperawatan Keperawatan sebagai suatu profesi pelayanan kesehatan yang berfokus pada proses dan pola hidup manusia serta menekankan terhadap promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sebagai suatu kesatuan. Roy mengidentifikasikan aktifitas keperawatan sebagai suatu pengkajian terhadap perilaku dan stimulus yang mempengaruhi adaptasi. Keputusan dalam perawatan berdasarkan pada pengkajian dan perencanaan yang disusun untuk mengatur stimulus Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 33 yang masuk. Pada akhirnya, tujuan Roy dalam keperawatan adalah promosi adaptasi individu dan kelompok pada setiap mode (physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode) yang berkontribusi terhadap kondisi sehat, kualitas hidup dan meninggal dengan tenang. Keperawatan mempunyai peran yang unik yaitu sebagai fasilitator untuk beradaptasi dengan mengkaji perilaku pada tiap mode dan faktorfaktor yang mempengaruhi adaptasi dengan cara ikut andil untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi dan meningkatkan interaksi lingkungan. 2.2.2.3. Manusia. Menurut Roy manusia adalah individu yang holistic, sebagai mahluk adaptif terhadap lingkungan yang ada. Sebagai system adaptif, manusia didefinisikan sebagai suatu kesatuan dari beberapa bagian yang berfungsi secara menyeluruh untuk mencapai suatu tujuan. Individu sebagai suatu system meliputi manusia sebagai individu atau kelompok baik itu keluarga, organisasi, komunitas atau masyarakat dalam suatu kesatuan secara menyeluruh. Manusia mempunyai kemampuan untuk berfikir, merasakan, menyadari dan mengartikan sesuatu untuk merubah lingkungan dan pada akhirnya mempengaruhi lingkungan. Dengan kata lain manusia dipandang sebagai mahluk bio-psiko-sosialspiritual yang holistik dalam segenap aspek individu dengan bagianbagiannya yang berperan bersama membentuk kesatuan, ditambah manusia sebagai sistem yang hidup berada dalam interaksi yang konstan dengan lingkungannya. Dalam keperawatan, Roy mendefinisikan manusia sebagai focus utama, penerima asuhan keperawatan, sebagai system adaptif yang hidup dan sangat kompleks dengan aktifitas proses internal (kognator dan regulator) untuk mempertahankan adaptasi pada 4 lini mode (physiological-physical mode, self concept-group identity mode, role function mode and interdependence mode). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 34 2.2.2.4. Sehat Sehat adalah suatu kondisi dan suatu proses untuk menjadi manusia yang utuh dan berintegrasi (satu). Sehat merupakan suatu refleksi dari adaptasi, yaitu interaksi antara individu dan lingkungan. Definisi ini muncul dengan pemikiran bahwa adaptasi adalah suatu proses dukungan fisik, psikologis dan integritas social menuju suatu kesatuan dan keutuhan. Pada awalnya, Roy menampilkan kondisi sehat sebagai suatu kondisi yang berkelanjutan dari kondisi mati dan rendahnya status kesehatan menuju kondisi yang lebih baik dan sejahtera, untuk selanjutnya Roy memfokuskan pada asumsi bahwa sehat adalah suatu proses dimana kesehatan dan kematian selalu beriringan. Roy menyatakan bahwa sehat bukanlah bebas dari menghindari kematian, penyakit, kesedihan dan stress, tetapi lebih pada kemampuan untuk mengatasi semua hal tersebut dengan cara yang kompeten. Sehat dan sakit adalah kondisi yang tidak terelakkan karena merupakan dimensi hidup dan pengalaman hidup manusia. Ketika mekanisme koping seseorang tidak efektif, maka jatuhlah individu pada kondisi sakit, tetapi ketika seseorang dapat beradaptasi secara terus menerus maka orang tersebut sehat. Sebagai individu yang beradaptasi terhadap stimulus yang ada, individu mempunyai kebebasan untuk merespon terhadap stimulus lainnya. 2.2.2.5. Lingkungan. Lingkungan adalah semua kondisi, keadaan, situasi yang mempengaruhi pembentukan perilaku individu atau kelompok dengan fakta yang mempertimbangkan kualitas sumber daya alam dan manusia yang terdiri dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Perubahan lingkungan akan menstimulasi seseorang untuk berespon secara adaptif. Antara sistem dan lingkungan terjadi pertukaran informasi, materi dan energi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 35 Sebagai suatu system terbuka, manusia menerima input atau stimulus dari dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan adaptasi ditentukan oleh efek yang tergabung dari stimulus fokal, kontekstual dan residual. Adaptasi terjadi ketika seseorang berespon positif terhadap perubahan lingkungan, dimana respon adaptif ini meningkatkan integritas seseorang untuk mencapai suatu kondisi sehat. Sebaliknya, jika responnya tidak efektif maka akan terjadi gangguan integritas seseorang. Di bawah ini bentuk diagram yang digunakan Roy untuk menggambarkan sistem adaptasi manusia dalam bentuk sistem yang terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan balik: Input Tingkat adaptasi (stimulus fokal, konstektual dan residual Proses kontrol Efektor Mekanisme koping (Regulator Kognator) Fungsi fisiologis Konsep diri Fungsi peran interdependensi Output Respons adaptif dan inefektif Feeback Bagan 2.1. Model Adaptasi Roy Dari gambar di atas terdapat 2 subsistem di model adaptasi Roy, pertama yaitu fungsional atau subsistem proses kontrol yang terdiri dari regulator dan kognator. Yang kedua adalah subsistem effector yang terdiri dari 4 mode adaptif, yaitu 1) kebutuhan fisik, 2) konsep diri, 3) fungsi peran, dan 4) interdependence. Berikut keterangan gambar 2.1 tentang manusia sebagai suatu system adaptif: a. Input Roy mengidentifikasikan bahwa input merupakan stimulus yang terdiri dari informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon dimana dibagi dua dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual. ï‚· Stimulus fokal Stimulus yang dihadapi saat ini yang memerlukan waktu cepat untuk respons adaptasi atau stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang dan efeknya segera dirasakan, misalnya infeksi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 36 ï‚· Stimulus kontekstual Semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diamati, diukur serta dapat dilaporkan secara subyektif. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respons negatif pada stimulus fokal seperti isolasi sosial. ï‚· Stimulus residual Faktor internal yang dimiliki individu yang memungkinkan mempengaruhi perilaku, misalnya: keyakinan, sikap, pengalaman masa lalu yang disebut koping. b. Kontrol (proses) Menurut Roy proses kontrol seseorang adalah bentuk dari mekanisme yang Roy gunakan. Mekanisme kontrol ini terdiri dari regulator dan kognator yang merupakan bagian dari subsistem koping. ï‚· Sub sistem regulator Sub sistem regulator berhubungan dengan mode adaptasi fisiologis, dimana terdapat respon otomatis terhadap perubahan lingkungan melalui proses neuro chemical endocrine coping proses. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator sub sistem. ï‚· Sub sistem kognator Kognator berhubungan dengan mode adaptive konsep diri; interdependensi dan fungsi peran dimana respon yang muncul melalui 4 canel kognitif-emosi, yaitu proses persepsi terhadap suatu informasi, belajar, penilaian dan emosi, proses ini terjadi dalam otak. c. Output Output atau keluaran dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat diukur, diamati atau secara subyektif dapat dilaporkan baik dari dalam maupun luar. Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy membagi output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang mal adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 37 kelangsungan hidup, perkembangan dan reproduksi. Sedangkan respon yang mal adaptif adalah perlaku yang tidak mendukung dalam tujuan ini. Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai sisten adaptif. Beberapa mekanisme koping ditentukan secara genetik (misalnya leukosit) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang dapat menyerang tubuh. Mekanisme lain yang dapat dipelajari seperti pengunaan antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut regulator dan kognator dimana mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi. Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator sub sistem sering bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh individu itu sendiri serta mekanisme koping yang digunakan. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal megembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespons secara positif. Untuk sub sistem regulator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol sehingga sangat terbuka untuk melakukan penelitian tentang respons kontrol dari sub sistem kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy. Selanjutnya konsep ini mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor yaitu 4 (empat) model adaptasi yang terdiri dari: a. Kebutuhan Fisiological Kebutuhan fisiologi meliputi interaksi manusia dengan lingkungan dan kesepakatan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan dasar antara lain cairan dan elektrolit, latihan dan istirahat, eliminasi, nutrisi, sirkulasi dan oksigen serta regulasi yang berhubungan dengan perasaan, suhu dan regulasi endokrin. b. Konsep Diri Konsep diri merupakan satu dari tiga mode psikososial yang berfokus pada psikologis dan spiritual sebagai aspek dari system manusia. Terbentuk dari persepsi internal dan persepsi dari orang lain. Terdiri dari body sensation yaitu bagaimana seseorang merasakan keadaan fisiknya, body image, bagaimana seseorang memandang fisik dirinya, self consistency, bagaimana upaya seseorang untuk memelihara dirinya dan menghindari dari ketidakseimbangan, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 38 dan moral etic spiritual self yang merupakan keyakinan seseorang dan evaluasi dirinya. c. Fungsi Peran Fungsi peran ini bagaimana mengenal pola interaksi social seseorang. Peran ini direfleksikan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer merupakan peran utama yang ditentukan oleh jenis kelamin, usia, dan tahap perkembangan. Peran sekunder merupakan tugas yang harus diselesaikan berdasarkan tugas perkembangan dan peran primernya. Peran tersier merupakan peran yang bersifat sementara, bebas untuk dilakukan, aktivitas dapat berupa hobi. Tujuan dari adaptasi fungsi peran ini adalah integritas social (Tomey & Alligood, 2006) d. Saling Ketergantungan (interdependency) Mode ini menunjukan mekanisme koping pada individu yang saling berhubungan dan menghasilkan rasa saling mencintai, menghargai dan saling membutuhkan. Hubungan ini biasanya terjadi antara individu dengan support sistemnya. Hasil dari mekanisme koping dari ke 4 mode ini adalah adaptif atau inefektif. Respon adaptif ditunjukan dengan meningkatnya integritas seseorang yang meliputi intergritas fisik, psikologi dan sosial. Sebaliknya, jika integritas ini tidak tercapai, maka respon inefektif yang akan didapatkan. 2.2.3. Asuhan keperawatan menurut Model Adaptasi Roy 2.2.3.1. Pengkajian yang terdiri dari dua tahap yaitu : a. Pengkajian perilaku (behavior) Pengkajian perilaku (behavior) merupakan langkah pertama proses keperawatan menurut model adaptasi Roy. Pengkajian perilaku bertujuan untuk mengumpulkan data dan menganalisis apakah perilaku pasien adaptif atau inefektif. Perilaku yang diamati terdiri dari dua hal yaitu perilaku yang dapat diobservasi dan perilaku yang tidak dapat diobservasi, seperti keluhan pasien. Pengkajian tipe perilaku yang dapat diobservasi diperoleh dengan cara dilihat, didengar, dan/atau diukur. Apabila ditemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisi normal Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 39 maka hal ini mengindikasikan adanya kesulitan adaptasi. Keadaan itu dapat disebabkan oleh tidak efektifnya aktifitas regulator dan kognator (Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006). Data perilaku yang diamati meliputi empat mode adaptif, yaitu : 1) fisiologis, yang terdiri dari pengkajian kebutuhan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, sensori/ pengindraan, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis, fungsi endokrin; 2) konsep diri, meliputi fisik diri dan pribadi; 3) fungsi peran, meliputi proses transisi peran, perilaku peran, integrasi peran, pola penguasaan peran, dan proses koping; 4) Interdependen, meliputi pola memberi dan menerima, dan strategi koping perpisahan dan kesendirian. b. Pengkajian stimulus merupakan tahap dua untuk mengetahui factor yang mempengaruhi perilaku yang ditunjukan oleh individu. Faktor yang mempengaruhi ini disebut juga dengan stimulus dan stimulus dapat internal dan eksternal yang mencakup semua kondisi, keadaan dan mempengaruhi sekeliling dan/atau mempengaruhi perkembangan dan perilaku seseorang. Stimulus umum yang mempengaruhi adaptasi antara lain kultur (status sosial ekonomi, etnis, dan sistem keyakinan); keluarga (struktur dan tugas-tugas); tahap perkembangan (faktor usia, jenis, tugas, keturunan, dan genetik); integritas mode adaptif (fisiologis yang mencakup patologi penyakit, konsep diri, fungsi peran, dan interdependensi); efektivitas kognator (persepsi, pengetahuan, ketrampilan); pertimbangan lingkungan (perubahan lingkungan internal atau eksternal, pengelolaan medis, menggunakan obat-obat, alkohol, tembakau). Pengkajian stimulus diarahkan pada stimulus fokal, kontekstual, dan residual. 2.2.3.2. Diagnosa Keperawatan Menurut Roy & Andrews, 1999 diagnosa keperawatan merupakan proses penilaian yang menghasilkan pernyataan status adaptasi seseorang. Sebelum dilakukan penetapan diagnosa keperawatan semua data sudah terkumpul. Data perilaku merupakan hasil dari pengamatan, pengukuran, dan laporan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 40 subjektif. Data lain adalah penyataan tentang stimulus fokal, kontekstual, dan residual yang mempengaruhi data perilaku tersebut. Selanjutnya Roy menggambarkan tiga metode dalam menegakkan diagnose keperawatan. Metode pertama menggunakan tipologi diagnose berhubungan dengan empat mode adaptasi. Metode kedua dalam menegakkan diagnose, dengan mengobservasi tingkah laku yang berhubungan dengan stimulus, baik fokal, konstektual maupun residual. Metode yang ketiga merupakan kesimpulan satu atau lebih model adaptasi yang berhubungan dengan stimulus. 2.2.3.3. Penetapan tujuan keperawatan. Keperawatan terdiri dari dua yaitu : tujuan keperawatan dan aktivitas keperawatan. Tujuan keperawatan adalah mempertinggi interaksi manusia dengan lingkungan. Jadi peningkatan adaptasi dalam tiap empat cara adaptasi yaitu : (1) fungsi fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran dan (4) interdependensi. Dorongan terhadap peningkatan integritas adaptasi dan berkontribusi terhadap kesehatan manusia, kualitas hidup dan kematian dengan damai. Tujuan keperawatan tercapai ketika stimulus fokal berada dalam suatu area adaptasi yang adaptif. Ketika stimulus fokal berada pada area tersebut, manusia dapat membuat suatu penyesuaian diri atau berespons adaptif. Hal tersebut membebaskan individu dari koping yang tidak efektif dan memungkinkan individu untuk merespon stimulus yang lain. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat mencapai peningkatan penyembuhan dan kesehatan. Jadi peranan penting adaptasi sangat ditekankan pada konsep ini. Tujuan dari adaptasi adalah membantu perkembangan aktivitas keperawatan yang digunakan pada proses keperawatan meliputi : pengkajian, diagnosa keperawatan, tujuan, intervensi dan evaluasi. Adaptasi model keperawatan menetapkan “data apa yang dikumpulkan, bagaimana mengidentifikasi masalah dan tujuan utama, pendekatan apa yang dipakai dan bagaiman mengevaluasi efektifitas proses keperawatan”. Setelah dilakukan pengkajian terhadap perilaku, stimulus, dan diformulasikan ke dalam diagnosa keperawatan maka langkah selanjutnya adalah penentuan tujuan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 41 keperawatan. Penetapan tujuan keperawatan diartikan sebagai pembuatan pernyataan yang jelas dari keluaran perilaku (behavior outcomes) dari pelayanan keperawatan. Ada tiga hal yang dimuat dalam pernyatan tujuan keperawatan yaitu perilaku (behavior), perubahan yang diharapkan (change expected), dan kerangka atau rentang waktu (time frame). Setelah itu tujuan keperawatan jangka pendek dan jangka panjang ditentukan. 2.2.3.4. Intervensi dan implementasi Menurut Roy & Andrews, 1999 dalam Alligood & Tomey, 2006 tujuan dari intervensi keperawatan adalah mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif serta merubah perilaku tidak efektif menjadi perilaku adaptif. Intervensi direncanakan untuk mengelola stimulus. Sebagai stimulus, intervensi berfokus bagaimana tujuan dapat dicapai. Fokus intervensi adalah mengarah pada suatu stimulus yang mempengaruhi suatu perilaku. Pengelolaan stimulus meliputi merubah, meningkatkan, menurunkan, memindahkan, menghilangkan, dan/atau mempertahankannya. Merubah stimulus memperkuat kemampuan mekanisme koping seseorang untuk berespon secara positif dan hasilnya adalah perilaku adaptif. Langkah dalam menyusun intervensi keperawatan meliputi penetapan atas empat hal yaitu 1) apa pendekatan alternatif yang akan dilakukan; 2) apa konsekuensi yang akan terjadi; 3) apakah mungkin tujuan tercapai oleh alternatif tersebut; dan 4) nilai alternatif itu diterima atau tidak. Intervensi keperawatan ini dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain (pasien, keluarga, dan tim kesehatan). Implementasi keperawatan merupakan uraian yang lebih rinci dari intervensi keperawatan yang telah terpilih. Perawat harus menentukan dan memulai langkah-langkah yang akan merubah stimulus dengan tepat. Implementasi keperawatan dilaksanakan terus menerus sesuai dengan perkembangan pasien. Implementasi dapat berubah-ubah dalam cara, teknik, dan pendekatan yang tergantung pada perubahan tingkat adaptasi pasien. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 42 2.2.3.5. Evaluasi Evaluasi merupakan penetapan keefektifan dari intervensi keperawatan. Oleh karena itu, evaluasi tersebut menjadi refleksi dari tujuan keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Untuk dapat menetapkan suatu intervensi keperawatan efektif atau tidak maka perawat harus melakukan pengkajian perilaku berkaitan dengan manejemen stimulus pada intervensi keperawatan tersebut (Roy & Andrews, 1999 dalam Tomey & Alligood, 2006) 2.3. Penerapan Teori Adaptasi Roy Pada Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Diabetes Mellitus Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan endokrin khususnya Diabetes Mellitus menggunakan model adaptasi Roy dirasakan tepat. Roy menekankan pada kemampuan individu dalam beradaptasi terhadap stimulus yang didapatkan. Diabetes mellitus merupakan gangguan endokrin yang akan terus ada dalam tubuh penyandang DM, namun gangguan yang ditimbulkan dapat dikontrol. Model adaptasi yang dikembangkan oleh Roy, merupakan salah satu proses yang dapat digunakan oleh individu untuk berada pada kondisi terkontrol. Sebagai system terbuka, penyandang DM akan selalu mendapatkan stimulus baik fokal, kontekstual maupun residual. Untuk dapat beradaptasi terhadap stimulus tersebut, maka perawat berupaya meningkatkan koping yang dimiliki penyandang DM tersebut dengan berbagai intervensi untuk berupaya meningkatkan regulator dan kognator. Pada akhirnya diharapkan penyandang DM dapat beradaptasi secara penuh (integrity), compensatory, maupun adaptasi pada tingkat compromised. Berikut ini akan diuraikan asuhan keperawatan pada pasien DM dengan pendekatan model adaptasi Roy. 2.3.1. Pengkajian Pengkajian merupakan langkah pertama di dalam proses keperawatan. Model adaptasi Roy mengembangkan pengkajian dengan dua tahap. Tahap pertama dilakukan dengan melakukan pengkajian terhadap perilaku pada empat mode yaitu : fisiologis, konsep diri, peran dan interdependen. Tahap kedua Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 43 menganalisis stimulus yang mempengaruhi. Stimulasi ini terdiri dari stimulasi fokal, kontekstual dan residual. Berikut ini diuraikan pengkajian pada pasien DM dengan pendekatan model adaptasi Roy meliputi pengkajian perilaku dan stimulus 2.3.1.1. Pengkajian Perilaku a. Mode Fisiologi - Oksigenasi ( Roy & Andrew, 1999; Smeltzer & Bare, 2008; Doenges, 2010; Lewis, 2011; LeMone, 2011) Perilaku yang ditunjukan pada kebutuhan oksigenasi pada pasien DM meliputi perilaku pada fungsi pernafasan dan fungsi sirkulasi. Fungsi pernafasan meliputi dikelompokkan dalam mekanisme ventilasi, difusi dan perfusi. Fungsi sirkulasi meliputi fungsi jantung dan transportasi oksigen. - Fungsi pernafasan pada pasien DM kemungkinan akan didapatkan perubahan perilaku seperti : adanya keluhan batuk dengan atau tanpa sputum yang purulent, sesak nafas. Dari hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya tachipnea, pernafasan khussmaul, adanya ronchi atau wheezing, sputum yang berwarna jernih, kuning atau kehijauan. - Fungsi sirkulasi kemungkinan akan di dapatkan keluhan claudicatio, kesemutan pada ekstemitas, luka yang lama sembuh pada area kaki. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tachycardia, tekanan darah kemungkinan normal, hipertensi, atau perubahan tekanan darah pada posisi. Adanya irama jantung yang tidak teratur (dysritmia), penurunan nadi yang menurun atau tidak teraba terutama pada area kaki (dorsalis pedis dan posterior tibialis), nilai ABI normal, rendah atau tinggi. Pada pengukuran tekanan vena jugularis didapatkan hasil yang meningkat (pada komplikasi gagal jantung), kulit kering, hangat, kemerahan, bola mata cekung yang merupakan tanda adanya dehidrasi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 44 Perubahan dari hasil pemeriksaan diagnostic merupakan perubahan perilaku yang dapat diamati. Hasil laboratorium yang dapat terjadi pada pasien dengan DM diantaranya ; perubahan pada nilai Hb kemungkinan didapatkan adanya penurunan nilai Hb. Nilai analisa gas darah, pada kasus KAD menunjukan adanya asidosis metabolic. Gangguan pada sirkulasi maupun pernafasan dapat dilihat dari pemeriksaan radiologi, seperti foto thorak. Adanya gambaran infeksi pada paru dansaluran pernafasan, adanya pembesaran jantung sebagai manifestasi komplikasi DM pada system kardiovaskuler dan pernafasan. Selain dari foto thoraks, EKG dapat digunakan untuk melihat adanya gambaran iskemik pada otot jantung dan penurunan kontraktilitas otot jantung. Pemeriksaan USG Doppler arteri dapat digunakan untuk menilai vaskularisasi kearah perifer (kaki). - Aktifitas dan Istirahat Keluhan yang dirasakan pada pasien DM terkait dengan kebutuhan aktifitas dan istirahat diantaranya adanya gangguan tidur dan istirahat salah satu penyebabnya adalah ketidaknyamanan (nyeri, sesak) dan poliuria. Keluhan lain seperti mudah lelah, kelemahan umum, kesulitan berjalan atau berubah posisi (dampak adanya ulkus atau perubahan struktur kaki). Pada otot pasien DM biasanya mempunyai keluhan penurunan kekuatan otot, maupun kram otot. Pemeriksaan fisik untuk menilai perubahan perilaku pada kebutuhan aktifitas istirahat ini akan didapatkan diantaranya : perubahan denyut nadi dan pernafasan (lebih cepat) saat istirahat atau setelah aktifitas, adanya kelemahan umum dan penurunan kesadaran. Pada otot terjadi penurunan kekuatan dan tonus otot. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 45 Pemeriksaan diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai perilaku ini diantaranya radiologi (foto) untuk area kaki. - Nutrisi Perubahan perilaku dari kebutuhan nutrisi yang dikeluhkan pasien DM diantaranya peningkatan nafsu makan (poliphagia), namun berat badan cenderung menurun. Pada komplikasi KAD atau gastrospathy didapatkan keluhan yang berlawanan yaitu kehilangan nafsu makan, mual dan muntah. Pemeriksaan fisik didapatkan IMT yang kurang atau lebih dari normal, tercium halitosis atau bau manis pada komplikasi KAD. Pemeriksaan diagnostik terutama untuk laboratorium didapatkan peningkatan gula darah, peningkatan HbA1C, kadar lemak yang meningkat, penurunan protein (albumin), maupun perubahan pada C peptide. Serum amilase akan meningkat jika ditemukan adanya pancreatitis akut yang disebabkan oleh KAD - Cairan, Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa Cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa, pada pasien DM biasanya mengalami perubahan. Keluhan sering BAK (poliuria) dan diikuti dengan polidipsi merupakan keluhan yang sering dirasakan oleh pasien DM. Kehilangan cairan melalui urin dalam jumlah yang banyak dan muntah menjadi keluhan yang disakan pada komplikasi DM seperti KAD dan HHNK. Pemeriksaan fisik untuk melihat perubahan pada kebutuhan cairan pada DM dengan komplikasi KAD atau HHNK diantaranya membrane mukaso mulut yang kering, turgor kulit tidak elastis, diaphoresis, kulit kering dan bersisik. Pada DM dengan komplikasi gagal jantung atau nefropati akan ditemukan edema. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 46 Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk mengidentifikasi perubahan perilaku pada cairan dan elektrolit ini diantaranya, pemeriksaan gula darah, ditemukan hasil yang meningkat, pemeriksaan natrium : hasilnya bisa normal, atau menurun. Pemeriksaan Kalium akan didapatkan kadar yang norma, meningkat pada fase awal dan akan menurun seiring dengan kondisi dehidrasi lanjut. Pemeriksaan osmolaritas sangat penting dilakukan, akan terjadi peningkatan pada HHNK. Pemeriksaan analisa gas darah penting dilakukan untuk pasien DM yang dicurigai KAD, dan akan didapatkan asidosis metabolic disertai peningkatan benda keton dalam darah. - Eliminasi Adanya keluhan sering BAK (poliuria), perubahan pola berkemih, nocturia merupakan keluhan yang sering dirasakan oleh pasien DM. Nyeri, panas dan kesulitan BAK merupakan tanda adanya neurogenik bledder dan kemungkinan infeksi saluran kemih. Pola BAB dapat dirasakan adanya keluhan konstipasi, maupun diare. Pemeriksaan fisikyang didapatkan pada pasien DM bisa ditemukan adanya penurunan atau peningkatan bising usus, distensi abdomen, tahanan pada bledder. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan melihat fungsi ginjal (urium, kreatinin yang meningkat) menunjukan adanya penurunan fungsi ginjal, pemeriksaan makroskopik urine dapat ditemukan warna urine yang keruh dan berbau sebagai tanda infeksi dan untuk memastikan infeksi pada saluran kemih dapat dilakukan pemeriksaan kultur urine. - Proteksi Pengkajian perilaku berhubungan dengan proteksi meliputi keluhan daya tahan tubuh yang menurun seperti sering demam, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 47 kelemahan, luka yang lama yang makin meluas. Kondisi kulit yang kering,pecah,pecah dan bersisik serta adanya keluhan gatal, menjadi resiko terhadap penurunan proteksi. Parastesia akibat diabetic neuropati juga merupakan keluhan yang sering dirasakan. Peningkatan resiko infeksi pada area genetalia dapat ditemukan pada pasien DM wanita, ditemukan adanya peningkatan sekresi vagina - Sensasi Perubahan sensasi pada pasien DM terjadi akibat komplikasi kronik. Adanya penurunan penglihatan dapat terjadi akibat retinopati. Gangguan sensasi lain yang dapat ditemukan pada pasien DM diantaranya penurunan terhadap sensasi nyeri, perubahan suhu dan perubahan tekstur. Pemeriksaan fisik terhadap penurunan sensasi dilakukan dengan menguji sensasi terhadap nyeri, suhu, serta perbedaan kasar dan halus. Pemeriksaan menggunakan monofilament 10gr merupakan pemeriksaan level A yang direkomendasikan pada pasien DM. - Fungsi Neurologi Perubahan perilaku pada fungsi neurologi dapat dilihat darimulai tingkat kesadaran. Penurunan tingkat kesadaran dapat terjadi pada komplikasi akut hypoglikemia,maupun coma akibat KAD Gangguan lain neurologi sebagai dan HHNK. komplikasi didapatkan adanya neuropati motorik seperti kronik (kaki charcot), neuropathi sensorik (penurunan sensasi), neuropati otonom (kulit kering, tidak ada rambut pada area kulit, gastropaty dan neuropati bleder). Pemeriksaan reflek tendon dalam didapatkan penurunan reflek tendon dalam. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 48 - Fungsi Endokrin Perubahan fungsi endokrin pada pasien DM adalah adanya penurunan produksi atau sensitifitas insulin yang mengakibatkan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein. Perubahan perilaku yang dapat dilihat dan diukur dapat terjadi pada semua fungsi seperti yang telah dijelaskan pada fungsi-fungsi diatas. b. Mode Konsep Diri Mode konsep diri merupakan bagian dari psikologis dan spiritual. Kebutuhan psikologis yang merupakan respon psikologis terhadap apa yang dirasakan dari perubahan fisik. Gangguan psikologis tersebut dapat berupa, kecemasan, stress, ketakutan, malu terhadap bentuk tubuhnya, beban financial, hingga menyalahkan Tuhan, atau mempunyai persepsi yang salah yang berkaitan dengan kepercayaannya. Perilaku yang dapat diamati diantaranya, selalu menanyakan keadaannya, menolak untuk bertemu dengan orang lain, hingga ditemukan adanya tanda depresi. c. Mode Peran Perubahan peran yang terjadi pada pasien DM dapat berupa peran primer, sekunder maupun tersier. DM sebagai penyakit menahun yang pada akhirnya menimbulkan komplikasi kronis pada akhirnya akan mengganggu peran dari pasien tersebut pada kehidupan sehari-hari, terutama pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan berbagai komplikasi. d. Mode Interdependensi Pengkajian perilaku terhadap model interdependensi meliputi hasil pengamatan dan ungkapan dari pasien DM tentang orang lain yang bermakna, perilaku saling menghargai, mencintai dan saling memperhatikan dari sistem pendukung yang dimiliki (orang terdekat, keluarga). Pasien DM dengan berbagai Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 49 komplikasi kronik, mengalami perubahan peran cenderung tergantung dengan orang terdekat. Dukungan yang tidak didapatkan dengan baik, misalnya keluarga jenuh atau harus menggantikan perannya, akan menimbulkan gangguan konsep diri untuk pasien DM. 2.3.1.2. Pengkajian Stimulus Pengkajian stimulus merupakan pengkajian tahap dua, untuk mengetahui penyebab perubahan perilaku maladaptive yang di dapatkan pada pengkajian tahap satu. Pada pesien DM stimulus fokal yang merupakan stimulus langsung yang mempengaruhi adanya perubahan perubahan perilaku pada ke 4 mode. Stimulus fokal meliputi : usia, dimana usia diatas 30 tahun merupakan usia beresiko untuk mengalami DM. Stimulus lain diantaranya, adanya riwayat melahirkan dengan berat badan bayi yang dilahirkan lebih dari 4 kg, obesitas dan hiperlipidemia. Pada pasien DM yang mengalami komplikasi, stimulus fokal meliputi gula darah yang tidak terkontrol, peningkatan metabolism yang disebabkan oleh infeksi, stress psikologi, atau proses pembedahan. Pada mode konsep diri, peran dan interdependensi fokal stimulus terjadi karena dirawat di rumah sakit, berbagai komplikasi yang dialami proses kehilangan seperti amputasi. Stimulus kontektual dan stimulus residual yang mempengaruhi diantaranya adanya riwayat DM dalam keluaraga, riwayat perawatan kesehatan sebelumnya, seperti diitnya, monitoring gula darah, olah raga dan kepatuhan terhadap pengobatan. Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan merupakan stimulus kontektual penting yang mempengaruhi perubahan perilaku baik adaptif maupun maladaptive. (Roy & Andrew, 1999; Doengoes, 2010). 2.3.2. Diagnosa keperawatan Berdasarkan hasil pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien DM, maka diagnose keperawatan yang dapat ditegakan adalah sebagai berikut (NANDA Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 50 2012-2014; Smeltzer & Bare, 2008; Doengoes, 2010; LeMone, 2011; Lewis, 2011). 2.3.2.1. Diagnosa Keperawatan pada Mode Fisiologi a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi, peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk. b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load. c. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan sirkulasi perifer. d. Perubahan aktifitas fisik berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik. e. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi, peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi). f. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas. g. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic, pengeluaran berlebi dari sistim pencernaan dan keterbatasan asupan. h. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic, proses infeksi. i. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi, penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah. j. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan kimia endogen. k. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status kesehatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 51 2.3.2.2. Diagnosa keperawatan pada Mode Konsep Diri Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit, kesalahan informasi. 2.3.2.3. Diagnosa Keperawatan pada Mode Peran Perubahan fungsi peran berhubungan dengan krisissituasi, perawatan yang lama dan keterbatasan fisik. 2.3.2.4. Diagnosa keperawatan pada Mode Interdependensi a. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan dukungan sosial yang tidak adekwat. b. Tidak efektifnya managemen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi. 2.3.3. Intervensi Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi, peningkatan produksi sputum, penurunan kemampuan batuk. Tujuan yang ingin dicapai jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada keluhan sesak, batuk berkurang, suara nafas vesikuler, tidak ada tanda kekurangan oksigen seperti sianosis, AGD dalam batas normal. Intervensi yang ditetapkan meliputi kognator dan regulator: :managemen respirasi : peningkatan kemampuan batuk, fisiotherapi dada, monitor status respirasi, kolaborasi dalam management terapi oksigen. 2. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas otot jantung, perubahan pre adan after load. Tujuan yang diinginkan adalah curah jantung adekuat ditandai dengan peningkatan sirkulasi, nadi, tekanan darah dalam batas normal, tidak didapatkan peningkatan vena jugularis, perfusi ke jaringan adekwat (akral hangat, denyur perifer kuat). Intervensi keperawatan yang ditetapkan (regulator &kognator) : Haemodinamik regulator, management energy, terapi oksigen, cardiac care Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 52 3. Ketidakefektifan perfusi jaringan (perifer) berhubungan dengan hambatan sirkulasi perifer. Tujuan yang ingin dicapai adalah perfusi jaringan kearah perifer (kaki) adekwat ditandai dengan akral hangat, pulsasi ke area kaki kuat dan normal, ABI dalam batas normal, tidak terjadi proses penyembuhan luka yang lambat. Intervensi yang ditetapkan : pemantauan sirkulasi, embolus care : peripheral, peningkatan latihan fisik. 4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri, perubahan persepsi sensori, penurunan kekuatan dan ketahanan, keterbatasan kemampuan kardiovaskuler, keterbatasan fisik. Tujuan yang ingin dicapai : dapat menunjukan tingkat aktifitas yang adekwat, ditunjukan dengan melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri, menggunakan alat bantu dengan benar, melakukan mobilisasi (berjalan, berpindah posisi dengan benar). Intervensi yang ditetapkan meliputi : bedrest care, management energy, menegemen lingkungan, self medication assisstent, self care assisstent, pain management. 5. Fatigue berhubungan dengan penurunan produksi metabolic energi, peningkatan kebutuhan energy (hipermetabolisme akibat proses infeksi). Tujuan yang ingin dicapai : Peningkatan energy yang ditandai dengan kelelahan berkurang, melakukan aktifitas untuk perawatan diri tanpa keluhan lelah. Intervensi yang ditetapkan : management energy, progressive muscle relaksation. 6. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, dan tingkat aktifitas. Tujuan yang akan ditetapkan : status nutrisi adekwat, ditandai dengan berat badan dipertahankan dalam batas ideal, gula darah terkontrol, kadar lemak, protein dalam darah normal. Intervensi yang ditetapkan managemen perubahan nutrisi, management nutrisi, terapi nutrisi, konseling nutrisi, monitor nutrisi, management berat badan, menegement hiperglikemia/hypoglikemik. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 53 7. Deficit cairan dan elektrolit berhubungan dengan dieresis osmotic, pengeluaran berlebih dari sistem pencernaan dan keterbatasan asupan. Tujuan yang ingin ditetapkan : status cairan adekwat, ditandai dengan intake dan output cairan seimbang, TTV dalam batas normal, turgor kulit elastis, membrane mukosa lembab, elektrolit dalam batas normal. Intervensi yang ditetapkan : managemen cairan dan elektrolit, monitoring asam basa, monitoring cairan dan elektrolit, management asidosis metabolic, management hyperglikemia. 8. Perubahan pola eliminasi (poliuria) berhubungan dengan dieresis osmotic, proses infeksi. Tujuan yang diinginkan pola eliminasi normal ditandai dengan tidak ada keluhan nyeri saat berkemih, frekuensi berkemih berkurang, tidak ada hematuri, hasil pemeriksaan urine tidak menunjukan ada tanda infeksi. Intervensi yang ditetapkan : manajemen cairan, monitoring cairan, management eliminasi urine, bladder training urine, pencegahan infeksi. 9. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan perubahan sirkulasi, penurunan fungsi leukosit dan peningkatan kadar gula darah. Tujuan yang ditetapkan infeksi tidak atau tidak meluas atau tidak terjadi ditandai dengan status imun meningkat, nilai leukosit dalam batas normal, tidak ada keluhan demam, area infeksi (ulkus, ISK, infeksi pernafasan) mengalami proses penyembuhan. Intervensi yang ditetapkan meliputi : management pencegahan infeksi, management control infeksi, management nutrisi, management luka, management medikasi. 10. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan persepsi sensori, perubahan kimia endogen. Tujuan yang diinginkan tidak terjadi injuri seperti tidak terjadi ulkus, atau bahaya jatuh. Intervensi yang ditetapkan ; monitor fungsi neurologi, management neuropati perifer, edukasi perawatan kaki dan penggunaan alas kaki, edukasi berhenti merokok, pencegahan terhadap bahaya jatuh, management lingkungan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 54 11. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan ketidakadekwatan management terapi, hiperpetabolisme, proses infeksi dan perubahan status kesehatan. Tujuan yang ditetapkan gula darah stabil yang ditandai dengan gula darah terkontrol dalam batas normal, tidak terjadi komplikasi DM akut : KAD,HHNK atau hypoglikemi. Intervensi yang ditetapkan monitoring gula darah, monitoring cairan, management hyperglikemia, management pengobatan, management nutrisi, edukasi pada nutrisi, pengobatan, management perilaku. 12. Kecemasan berhubungan dengan, proses kehilangan, komplikasi penyakit, kesalahan informasi. Tujuan yang ditetapkan pasien dapat beradaptasi terhadap kondisi kecemasannya, yang ditunjukan dengan peningkatan terhadap kontrol kecemasannya, mampu mengungkapkan penyebab cemas, mampu merencanakan strategi koping yang akan digunakan. Intervensi yang ditetapkan menurunkan kecemasan, konseling, management energy, management lingkungan, management koping, management distraksi. 13. Tidak efektifnya management terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan, kurang dukungan sosial dan kesulitan ekonomi. Tujauan yang diinginkan pasien mampu beradaptasi pada management terapi yang ditetapkan, meliputi menunjukan perilaku mengikuti diit, pengobatan yang ditetapkan. Intervensi yang ditetapkan : modifikasi perilaku, tingkatkan koping, konseling penatalaksanaan DM, beri dukungan sosial, edukasi group, management efikasi, follow up melalui telepon. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 55 BAB 3 PENERAPAN MODEL ADAPTASI ROY PADA ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KLIEN DIABETES MELLITUS KOMPLIKASI ABSES PUNGGUNG Pada BAB 3 ini, akan diuraikan hasil asuhan keperawatan dan analisis pada klien dengan diabetes mellitus (DM) dengan abses punggung dan resiko tinggi ulkus diabetik sebagai kasus kelolaan utama dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Uraian selanjutnya setelah pembahasan kasus kelolaan utama, praktikan juga menganalisa 32 kasus kelolaan lain yang praktikan lakukan selama praktikan menjalankan praktek residensi 1 dan 2. 3.1.Deskripsi kasus kelolaan utama Kasus dialami oleh seorang klien berinisial Ny.Sh usia 66 tahun, status perkawinan menikah dengan 2 anak yang telah berumah tangga, pendidikan SLTP, aktifitas sehari hari sebagai ibu rumah tangga dan tinggal di Depok. Klien masuk rumah sakit (RSUPF) pada tanggal 8 Oktober 2011 melalui UGD dan tiba di ruang teratai lantai 5 Selatan pada tanggal 9 Oktober 2012 pukul 17.15 WIB. Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2011. Alasan keluarga membawa klien ke rumah sakit, karena klien mengalami bisul (abses) di area punggung sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Timbul bisul tersebut pada awalnya klien merasakan gatal di punggung, digaruk dan timbul kemerahan dan bisul kecil yang makin lama makin membesar. Keluarga sudah membawa klien berobat ke pelayanan kesehatan, mendapatkan obat antibiotic dan anti nyeri namun tidak ada proses penyembuhan, bahkan semakin besar, klien merasakan nyeri, demam dan tidak bisa tidur selama 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Abses mengeluarkan nanah yang terus menerus, berbau sehingga klien merasakan tidak nyaman. Tindakan yang dilakukan di UGD diantaranya, dilakukan penggantian balutan, dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu dengan hasil 466 mg/dL dan pemeriksaan darah lengkap. Obat yang diberikan ke pada klien saat di UGD adalah anlgetik suppositoria (propenid), diberikan insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam dengan dosis dimulai 5 unit dan naik 5 unit setiap kenaikan gula darah 50 mg/dL dimulai dari nilai gula darah 201 mg/dL. Pengkajian terhadap riwayat kesehatan sebelumnya, klien telah menderita DM sejak 10 tahun yang lalu, pernah mengalami Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 56 amputasi pada kaki kanannya 3 tahun yang lalu kerena ulkus. Penatalaksanaan DM yang klien lakukan dengan minum obat metformin 500 mg dan glibenklamid yang terkadang dibelinya sendiri, karena klien tidak control ke dokter teratur. Riwayat kesehatan keluarga didapatkan kakak klien yang pertama juga menderita DM dan saat ini mengalami stroke. Hasil pemeriksaan gula darah suami klien setahun yang lalu juga mengalami peningkatan lebih dari 200 mg/dL, namun tidak ditindaklanjuti untuk pengobatan. 3.2.Penerapan Model Adaptasi Roy pada Kasus Kelolaan Utama Asuhan keperawatan yang dilakukan pada semua klien kelolaan yang praktikan lakukan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy, yang dilakukan secara holistic dan komprehensif dimulai dari tahap pengkajian hingga evaluasi. Hasil akhir dari asuhan keperawatan ini, diharapkan klien mampu beradaptasi dengan berbagai gangguan pemenuhan kebutuhan, baik fisiologi, konsep diri, peran maupun interdependensi. 3.2.1. Pengkajian Perilaku dan stimulus 3.2.1.1. Mode Adaptasi Fisiologi 1. Oksigenasi (ventilasi, pertukaran gas dan transportasi, fungsi sistem kardiovaskuler, perfusi). Pengkajian pada perilaku oksigenasi diperoleh data : tidak ada keluhan pada sistem pernafasan seperti batuk, sesak kesulitan bernafas serta nyeri dada saat istirahat, beraktifitas maupun bernafas. Namun klien merasakan badannya lemas, sering pusing, terutama berubah posisi dari tiduran ke duduk. Sirkulasi ke perifer didapatkan tidak ada keluhan nyeri pada area kaki, baik saat beraktifitas maupun saat istirahat (nyeri claudikasio). Terkadang klien merasakan dingin pada area telapak atau punggung kaki, terutama pada malam hari. Untuk mengatasi dingin ini, klien selalu menggunakan kaos kaki jika tidur. Hasil pemeriksaan fisik di dapatkan konjungtiva klien tampak pucat, tidak ditemukan adanya sianosis pada kulit maupun area bibir, tidak menggunakan otot bantu pernafasan, RR : 18 x/mnt irama teratur, suara nafas vesikuler di semua area lapang paru, capilari refile < 3dtk, nadi radialis : 78x/mnt irama Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 57 teratur pulsasi kuat, TD : 140/90 mmHg, HR : 80x/mnt teratur. Suara jantung 1 & 2 terdengar normal dan tidak terdengar suara jantung tambahan dengan denyut apikal 84 x/mnt, teratur. Hasil pemeriksaan EKG di dapatkan sinus rhytem, Gelombang QRS normal diikuti gelombang P, tidak ditemukan adanya T inverted, ST elevasi/depresi dan Q patologis. Perabaan pada kedua ekstemitas bawah hangat, tidak ditemukan edema pada kedua tungkai. Hasil pemeriksaan vaskularisasi kearah ekstremitas bawah dengan menggunakan Ankle Brachial Index (ABI), didapatkan : Table 3.1. Hasil Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) Arteri dorsalis pedis Arteri tibialis posterior Kaki kanan Kaki kiri Palpasi Nd : 84x/mnt , pulsasi kuat Nd : 82/mnt pulsasi kuat TD Sistolik (mmHg) Palpasi 130mmHg 130 mmHg Pulsasi kuat Pulsasi kuat 130 mmHg 130 mmHg 130 mmHg 140 mmHg 0.93 0.93 TD Sistolik (mmHg) TD Sistolik Arteri Brachialis (mmHg) Ankle Brachial Index (ABI) Stimulus Fokal : Luka abses diarea punggung mengeluarkan eksudat seropurulen, jumlah banyak (balutan penuh dan harus diganti 2 kali sehari) Hb : 10.3 g/dL. Hematokrit :30,4%. Eritrosit : 4.45 /µL. AGD (tidak diperiksa), Foto thoraks menunjukan hasil CTR > 50 %, pulmonal normal, tidak ada tanda infiltrat. ECHO (10 Oktober 2011) : EF : 72,4 %, LV kontraktilitas normal, fungsi diastolik normal, katup morfologi normal. Stimulus Kontekstual & Residual Usia klien 66 th, riwayat DM 10 tahun, riwayat hipertensi 3 tahun namun tidak terkontrol, mempunyai keturunan DM & hipertensi. Pengetahuan klien dan keluarga terhadap penatalaksanaan DM dan hipertensi masih kurang (diit, aktifitas, terapi, komplikasi, dll). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 58 Penatalaksanaan yang didapatkan saat ini rencana pemberian PRC500 cc Captopil 2x12,5 mg 2. Nutrisi Klien mengatakan sejak 2 minggu terakhir nafsu makannya menurun, merasakan mual, makan hanya ½ porsi dari porsi biasanya, menurut klien, ia tidak nafsu makan karena merasakan nyeri pada area punggungnya & bau amis dari luka. Sebelumnya klien makan tidak pernah banyak (nasi 1 centong). Jika klien makan banyak, ia akan merasakan begah pada perutnya. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya (rasa lapar) klien sering ngemil. Walaupun klien didiagnosa DM sejak 10 tahun yang lalu, namun klien tidak pernah mengatur makanan sesuai diit. Yang klien ketahui tentang diit DM hanya mengurangi nasi saja, bahkan suami klien selalu membuatkan susu kedelai dengan menggunakan gula setiap hari. Sejak amputasi 3 th yang lalu, seharusnya klien dianjurkan untuk menggunakan insulin, karena harga insulin mahal, klien tidak melanjutkan penggunaan insulin, dan menggantinya dengan OHO (Metformin 500 mg & glibenclamid) yang diminum tidak teratur. BB klien : 56 kg TB : 155 cm, IMT 23 , mukosa mulut lembab, tidak ada stomatitis, terdapat karies gigi, kemampuan mengunyah baik, abdomen flet, lunak tidak teraba pembesaran hepar bising usus 12 x/mnt. GDS (8/10/2011): 466 mg/dL, tanggal 10/10/2011: hasil scleding scale menunjukan hasil GD yang tidak fluktuatif terendah 142 dan tertinggi 219 SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, Glukosa urine (+++), HbA1C: 12,7 %, Trigliserida : 80mg/dL, kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL Penatalaksanaan yang diberikan untuk kebutuhan nutrisi adalah diit lunak 1500 kalori yang dibagi dalam 3 porsi besar (makan pagi, siang & sore) 3 porsi kecil/snack (jam 09.00, 15.00 dan 21.00 WIB). Pemberian insulin (Actrapid) ditetapkan dengan dosis 3x8 unit & monitoring GD dilakukan KGDH/hari. Therapy lain yang diberikan OMZ : 1x20 mg dan Donperidon 3 x 1 amp Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 59 Stimulus fokal : Ketidakseimbangan regulasi insulin yang ditandai dengan peningkatan guladarah sewaktu (GDS saat masuk 466mg/dL) dan gula darah yang tidak terkontrol dalam 3 bulan terakhir ditandai dengan HbA1C: 12,7%. Resiko gangguan nutrisi dapat terjadi pada klien akibat asupan nutrisi yang kurang akibat penurunan nafsu makan dan mual. Stimulus kontekstual dan residual Usia 66 th, mempunyai riwayat DM 10 th, 3 th yang lalu pernah dirawat dengan ulkus kaki diabetic dan dilakukan amputasi, namun tidak mengetahui diit yang sesuai, pengobatan DM tidak terkontrol, disebabkan pengetahuan & motivasi terhadap diit & pengobatan belum difahami. Sebelum klien mengalami DM, klien pernah mempunyai BB 80 kg (obesitas). Pengetahuan keluarga tentang penatalaksanaan DM juga masih kurang, terbukti keluarga menyediakan susu kedelai dengan gula setiap hari. Dukungan keluarga terhadap pengobatan juga kurang optimal yang dilihat dari pengobatan insulin tidak dilanjutkan dengan alasan keuangan. 3. Eliminasi Klien mengatakan tidak ada perubahan pada pola BAB maupun BAK. Klien biasa BAB 1 x sehari tanpa pencahar, faeses lunak warna khas. BAK 7-8 kali sehari, BAK malam 2-3x, urine berwarna kuning jernih, tidak ada nyeri ketika mulai maupun saat BAK. Tidak menggunakan kateter urine, tidak teraba blass pada area simpisis, maupun masa dan nyeritekan pada abdomen bawah. Bising usus 12 x/mnt. Hasil pemeriksaan urinalisa di dapatkan protein urine (++), tidak ditemukan adanya leukosit dan eritrosit dalam urine, berat jenis 1.020 di dapatkan adanya keton dalam urine yaitu (++). Hasil pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan nilai urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 0.5 mg/dl, CCT : 56.6 ml/menit Stimulus fokal : Ketonuria yang terjadi disebabkan adanya pemecahan lemak sebagai sumner energy (glukoneogenesis) yang menghasilkan asam lemak atau ketone, selanjutnya keton ini diekskresikan melalui system ginjal dan keluar bersama dengan urine. Dari hasil CCT di dapatkan adanya penurunan fungsi ginjal yang kemungkinan terjadi nefropathy. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 60 Stimulus kontekstual & residual : Riwatay DM selama 10 tahun, tidak terkontrol, hipertensi selama 3 tahun terakhir yang juga tidak terkontrol. Pengetahuan klien terhadap komplikasi kronik DM kurang. 4. Cairan dan Elektrolit Klien minum 2 blt air mineral (@ 600cc) dalam sehari, BAK 4-5 kali pagi hingga sore dan malam 2-3 kali, jumlahnya diperkirakan 2/3 gelas air mineral. Selama dirawat tidak merasakan perubahan dalam kebutuhan minum maupun pengeluaran cairan. Tidak ada muntah, berkeringat berlebihan maupun diare, namun klien merakan demam Mukosa mulut lembab, turgor kulit elastis, tidak didapatkan odema pada ekstremitas maupun odema anasarka, TD: 140/90mmHg, Nadi radialis : 78x/mnt pulsasi kuat, suhu 37,9° C. Urine tampung dalam 24 jam : 1500 cc, minum 1200 cc, Produksi eksudat dari abses + 200-300 cc setiap ganti balutan. Hasil pemeriksaan elektrolit : Na :137, Kalium : 4.79 mEq/L, Clorida : mEq/L, Urium : 13 mg/dl, Kreatinin: 96 0.5 mg/dl. Penatalaksanaan yang diberikan IVFD: NaCl 1000 cc/24 jam. Stimulus fokal, kontekstual & residual : tidak ditemukan 5. Aktifitas Istirahat Aktifitas klien untuk pemenuhan nutrisi, eliminasi, mampu dilakukan secara mandiri (bantuan minimal karena menggunakan infuse). Mobilisasi terutama saat tidur hanya bisa dengan miring ke kiri, karena pada punggung kanan terdapat abses, sehingga untuk miring kanan & supine klien merasakan nyeri. Sudah 1 minggu tidur malam klien terganggu karena nyeri yang dirasakan. Klien tidur rata-rata 5-6 jam, namun, sering terbangun (tidak lelap) karena nyeri. Setelah dirawat di rumah sakit,nyeri yang dirasakan berkurang, karena mendapatkan obat anti nyeri dan ini membantu dalam pemenuhan kebutuhan tidurnya. Aktifitas berjalan mampu dilakukan oleh klien namun dengan perlahan, karena pada 1/3 distal telapak kaki (metatarsal) kanan klien telah diamputasi 3 tahun yang lalu. Hasil observasi terlihat saat turun dari tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Kaki kiri tidak ada kelainan bentuk. Kekuatan otot Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 61 pada ekstremitas atas dan bawah 5 (mampu melawan grafitasi dan mampu melawan tahanan) Gambar 3.1. Photografi kaki Ny. S Kaki kanan Kaki kiri Stimulus fokal, kontektual dan residual : tidak ditemukan 6. Proteksi (proses imunitas, integumen, rambut, kuku, perubahan suhu, trauma) Rambut dan kulit klien kotor, lengket & berbau keringat ,karena selama di IGD tidak dibersihkan. Tidak ada keluhan keputihan maupun gatal-gatal pada area vagina & lipatan femur. Tampak abses yang terbalut pada regiodorsal thorakal X- XII sejajar midklavikula dengan balutan yang basah (terdapat rembesan pus), berbau khas pus. Suhu aksila 37.9ºC, leukosit 18.400/mm3. Hasil culture luka didapatkan leukosit banyak/LPB, ditemukan bakteri gram positif Coccus. Gambar 3.2. Photografi Abses punggung Ny. S Luka derajat III, dimana luka mengenai jaringan otot, mengeluarkan exudat purulen kira-kira 300cc, bau exudat khas,tercium pada jarak 1 lengan. Dasar luka berwarna putih, terdapat slough, luas luka 4x5x3cm dengan goa arah jam 12 hingga jam 09, panjang 3 cm, luas eritema luka : 12x 8 cm. Kaki kanan terdapat kalus pada area plantar, terdapat ulkus pada area tengan kalus, dengan kedalaman 7 mm berwarna merah dan basah. Saat turun dari tempat tidur kaki kanan digunakan sebagai tumpuan. Saat berjalan di dalam Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 62 rumah klien tidak menggunakan alas kaki & jika berjalan diluar rumah, klien menggunakan alas kaki (sandal) yang dimodifikasi menggunakan tali karet sebagai pengikat. Dari hasil pengkajian kaki didapatkan adanya penurunan sensasi pada kedua kaki, kulit kaki kering dan berkilap. Gambar 3.3. Photografi Pengkajian kaki Ny. S Table 3.2. Pengkajian kaki Kaki Kanan Ya Kallus Corns Bunions Hammer toes Amputasi: ï‚· Minor ( jari/ pedis ) ï‚· Mayor ( below knee/ above knee ) Kaki charchot Kuku ï‚· Penebalan ï‚· Infeksi jamur ï‚· Tumbuh ke dalam Kulit ï‚· Perabaan kaki dingin ï‚· Kulit berkilap ï‚· Kulit kering ï‚· Atrofi lemak sub kutan ï‚· Rubor ï‚· Pucat pada elevasi ï‚· Rambut kaki Tidak Kaki Kiri Ya  Tidak              -                  Stimulus fokal : Gula darah yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan system imun, penurunan vaskuler ,sehingga jika terjadi luka akan lebih mudah terjadi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 63 penyebaran infeksi. Hb dan albumin yang rendah akan mempengaruhi proses penyembuhan luka. Adanya riwayat amputasi kaki karena ulkus & adanya kalus dengan menurut Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 Ny. S masuk dalam katagori 3 ( resiko sangat tinggi), yang harus memeriksakan kakinya setiap 1- 3 bulan, namun belum pernah dilakukan. Stimulus kontekstual & residual Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, perawatan luka, perawatan kaki : mencegah terjadinya kalus, mengurangi kalus, penggunaan alas kaki belum diketahui seluruhnya oleh klien. Nyeri yang dirasakan saat mengganti balutan, membuat klien takut untuk ketika akan diganti balutannya. 7. Sensori (Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau, nyeri) Tidak ada gangguan pendengaran. Mengatakan pandangan terasa lebih buram terutama pada mata kiri, tidak dapat membaca tulisan dengan font 12 pada jarak 10 cm, hanya tampak bayang-bayang saja. Pada mata kanan masih mampu membaca dengan jarak 30 cm dengan besar huruf 16. Merasakan nyeri pada area luka dengan intensitas sedang dan semakin nyeri saat balutan dibanti. Baal atau kebas pada area telapak kaki kiri. Dilakukan pemeriksaan sensitifitas dengan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan salah dalam mempersepsikan sensasi tajam dan tumpul pada area telapak kaki kanan dan kiri. Stimulus fokal : Penurunan sensasi terutama pada area perifer disebabkan karena adanya komplikasi neuropathi sensori perifer. Penurunan tajam penglihatan merupakan komplikasi DM pada mata yang disebut retinopathy. Komplikasi yang terjadi pada DM akibat lamanya menderita DM (10 th) dan gula darah yang tidak terkontrol (> 6.5%) Stimulus kontekstual & residual : Pengetahuan yang kurang mengenai DM & komplikasinya. Penatalaksanaan DM yang belum adekuat. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 64 8. Fungsi Neurologi (Syaraf, kesadaran, kognitif, persepsi) Klien dapat berorientasi terhadap orang,waktu dan tempat dengan baik, tidak ada gangguan pada XII saraf kranial, fungsi motorik menurun karena keterbatasan energi, sensorik , memori dan bahasa tidak ada gangguan. Reflek patela (+/+), reflek ackhiles (+/+), Monofilament 10 gr (-/-) Stimulus fokal : neuropathy perifer Stimulus kontekstual & residual Riwayat DM yang tidak terkontrol, pengetahuan terhadap perawatan kaki yang kurang 9. Fungsi Endokrin Hiperglikemia , tidak didapatkan pembesaran kelenjar thyroid, sudah menopause (menurut klien sudah lebih dari 10 th) Stimulus fokal : resistensi insulin/ketidakcukupan insulin ditandai dengan GDS : 466 mg%, HbA1C : 12,7% Stimulus kontekstual & residual Pengetahuan tentang penatalaksanaan DM yang belum semuanya diketahui, adanya perasaan bosan untuk berobat & sumber dana yang semakin berkurang, riwayat keluarga ada yang mengalami DM 3.2.1.2. Mode Adaptasi Konsep Diri : Physical self (memandang diri sendiri, berhubungan dengan kehilangan) & Personal self (konsistensi; ideal diri, moral, etik, spiritual, seksual, cemas, takut) Menurut klien setelah telapak kakinya diamputasi, klien lebih banyak dirumah, hal ini disebabkan karena pergerakan klien menjadi terbatas dan klien malas ditanya– tanya oleh tetangganya tentang kakinya. Spiritual klien : menyatakan untuk ibadah wajib & sunah selalu dilaksanakan, namun pengajian sudah tidak diikuti lagi. Saat ini klien ingin menjalankan ibadah wajib, namun klien ragu karena lukanya selalu mengeluarkan kotoran. Klien yakin bahwa sakit yang dialami merupakan teguran dari Tuhan, agar lebih taat menjalankan perintahNya. Klien juga meyakini bahwa kekuasaan Tuhan akan membantu kesembuhannya, oleh sebab itu, walaupun ia ragu menjalankan sholat, namun ia tetap berdzikir. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 65 Aktifitas seksual (suami istri) hampir tidak pernah dilakukan, karena merasa sudah tua. Menurut klien dan suaminya, kebutuhan tersebut sudah tidak penting lagi. Mereka mengekspresikan kebutuhan seksual dengan saling menyayangi, saling merawat, karena mereka hanya tinggal berdua saja. Saat ini yang diinginkan kesembuhan terhadap kondisi absesnya, ada ketakutan akan bertambah luas karena klien mempunyai DM dan pengalaman luka dikaki 3 tahun yang lalu merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan untuk pasien. Pengalaman terhadap nyeri yang dirasakan saat mengganti balutan juga mempengaruhi kecemasan klien saat akan diganti balutan. Namun karena produksi cairan eksudat yang banyak serta ingin sembuh, mampu menghilangkan rasa cemas akan nyeri yang dirasakan. Produksi eksudat yang berbau membuat klien menginginkan pindah tempat ke posisi diujung kamar dengan alasan agar klien lain dikamar tersebut tidak kebauan. Harapan klien saat ini proses penyembuhan luka di punggungnya mengalami kemajuan. Ia yakin dengan pelayanan kesehatan di RSUPF dan tenaga kesehatan yang merawatnya Stimulus Fokal : adanya abses di punggung, yang tidak sembuh–sembuh, mengeluarkan eksudat dan berbau. Perubahan bentuk kaki paska amputasi menyebabkan keterbatasan dalam berinteraksi dengan orang lain. Stimulus kontekstual dan residual : Pengalaman ulkus kaki sebelumnya, pengalaman nyeri pada saat di lakukan ganti balutan sebelumnya. Aktifitas klien sebelum dilakukan amputasi (aktif dikegiatan kemasyarakatan, mempunyai aktifitas berdagang dan mempunyai pendapatan sendiri). Keyakinan diri klien terhadap proses penyembuhan luka dan dengan tempat serta petugas kesehatan yang menangani. 3.2.1.3. Mode Adaptasi Fungsi Peran Klien adalah seorang istri & ibu dari 2 anak dimana kedua anaknya sudah menikah dan tidak tinggal dengan klien. Ia hanya tinggal berdua suaminya yang sudah pensiun. Kegiatan sehari-hari melakukan aktivitas rumah tangga (memasak, membersihkan rumah, dll) dibantu oleh suaminya. Saat ini klien selalu ditunggu oleh suaminya, dan untuk peran sehari–hari digantikan oleh suami dan anak klien. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 66 Stimulus kontekstual dan residual : merasakan nyeri akibat abses dan harus dirawat dirumah sakit. 3.2.1.4. Mode Adaptasi Interdependensi (fokus: interaksi saling memberi/menerima, cinta kasih sayang, perhatian dan saling menghargai. Keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian) Saat ini kebutuhan dan aktifitas klien dibantu oleh suami & anaknya . Secara bergantian keluarga (anak) dan suami klien menjaga klien di rumah sakit. Klien juga terlihat mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhannya yang ia bisa lakukan, seperti makan dilakukan sendiri, menurutnya ia juga tidak mau sepenuhnya tergantung dengan orang lain. Dalam menentukan pengobatan seperti keputusan untuk menggunakan jenis balutan, apa saja kebutuhan yang harus ada saat dirumah sakit hingga keuangan, klien berperan dalam membuat keputusan. Stimulus kontektual dan residual : abses di punggung, nyeri yang dirasakan, dirawat dirumah sakit. 3.2.2. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan pengkajian mode adaptif pada kasus diatas, dapat dianalisis terjadi inefektif pada mode fisiologi meliputi mode nutrisi, proteksi, sensasi, neurologi, endokrin dan pada mode konsep diri. Perubahan adaptasi atau inefektif pada mode adaptif tersebut dapat ditegakkan diagnose keperawatan sebagai berikut : Mode Fisiologis 1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi 2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi 3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan 4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan yang tidak adekwat, ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak dan kesulitan ekonomi. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 67 Mode konsep diri dan mode Interdependensi 1. Kesiapan meningkatnya koping individu 2. Kesiapan meningkatnya religiositas. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 68 Tabel 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan 3.2.3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN Nama Klien Umur Klien No 1 : Ny.S : 66 tahun Perilaku Stimulus Fungsi Fisiologis : Proteksi Data subyektif: ï‚· Abses pada area thorakal X-XII sejajar midklavikula derajat 3, dengan leukositosis ï‚· Nyeri pada luka skala sedang ï‚· Demam Stimulus Fokal : Terjadi abses yang semakin meluas, mengeluarkan pus, GD meningkat & leukositosis Data obyektif: Stimulus kontekstual & residual : Riwayat DM 10 tahun, gula darah tidak terkontrol HBA1C :12,7 % Pengetahuan klien terhadap penatalaksanaan DM, komplikasi, perawatan luka,perawatan kaki No. Rekam Medis Diagnosa Medik Diagnosa Keperawatan Resiko perluasan Infeksi berhubungan dengan hiperglikemia, rendahnya resistensi terhadap stres, penyembuhan luka yang memburuk Tujuan Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10 x 24 jam diharapkan klien akan beradaptasi dengan perilaku terhadap proteksi Kriteria Hasil ï‚· Tidak terdapat jaringan nekrotik ï‚· Luka tidak ada pus dan tidak bau ï‚· Leukosit dalam batas normal (4.000 – 11.000/mm3) ï‚· Suhu tubuh dalam batas Rencana Intervensi : 1094672 : DM Tp2 & Abses Evaluasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan dan dievaluasi 1. Hyperglicemia setiap 3x24 jam dan modifikasi management (metabolic dilakukan intervensi keperawatan (27 control) Oktober 2011), maka diperoleh : 2. Management Luka (wound and infection Perilaku adaptif : control) Klien mengatakan luka 3. Vascular control dipunggung sudah tidak 4. Education nyeri lagi, dasar luka merah muda & terjadi granulasi, Aktivitas keperawatan produksi cairan luka Regulator : minimal (cairan serous ï‚· Monitor gula darah bening), leukosit 5.600/ul, ï‚· Monitor TTV, terutama suhu klien & keluarga aktif dalam ï‚· Monitor GD/ hari sesuai kegiatan program edukasi program DM. ï‚· Monitoring tanda perluasan infeksi pada area luka: pus Perilaku inefektif yang bertambah, adanya luka Klien & keluarga belum NIC: Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 69 Luka mengeluarkan pus,berbau khas gangren,nekroti k pada digiti IV, kedalaman luka belum dapat dinilai bergaung menembus dari digiti III normal (36 – 37oC) ï‚· Penyembuhan luka: regenerasi sel dan jaringan diikuti penyembuhan luka ï‚· Klien menunjukan perilaku untukmenurun kan resiko perluasan infeksi ï‚· Pengetahuan terhadap penatalaksanaa n DM, pencegahan penyebaran luka meningkat yang meluas ï‚· Lakukan perawatan luka dengan prinsip streril, lembab setiap hari atau jika balutan jenuh ï‚· Pantau hasil laboratorium terhadap peningkatan leukosit, hasil kultur Kolaborasi : ï‚· Berikan insulin sesuai program 3x8 ui ï‚· Pemeriksaan kultur dari jaringan luka ï‚· Pemberian antibiotic : ï‚· Ceftriaxon 2 x 2 gr ï‚· Metronidazol : 3 x 500 mg ï‚· Kolaborasi untuk persiapan debridement: fisik, mental & administratif ï‚· Kaji respon klien terhadap terapi: penurunan produksi pus, penurunan leukosit Kognator ï‚· Motivasi klien untuk menjaga stabilitas gula darah: nutrisi, penurunan kecemasan ï‚· Informasikan kepada klien & klg untuk menjaga kebersihan area sekitar luka ï‚· Informasikan kepada klien berani melakukan perawatan luka secara mandiri Luka bergranulasi,namun belum pada tahap epitelisasi Analisa : Masalah penyebaran infeksi tidak terjadi, perilaku adaptif belum tercapai seluruhnya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 70 untuk mengurangi tekanan pada area luka 2 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi glukosa pada Stimulus tingkat sel Kontekstual & skunder Residual : ketidakcukupan Riwayat DM sejak insulin 10 th yang lalu tidak terkontrol, pengetahuan tentang nutrisi untuk DM : Data Obyektif: hanya mengurangi ï‚· Pemeriksaan GDS tanggal nasi saja (jumlah, & 1/10’11: 531 jenis jadwal)belum mg/dl diketahui dengan ï‚· Pemeriksaan baik GD/6 jam : fluktuatif & jam 16.00: 325 mg% ï‚· Klien hanya menghabiskan porsi diet yang diberikan dari rumah sakit Fungsi Fisiologis : Nutrisi Data Subyektif: ï‚· Nafsu makan menurun mual ï‚· Makan ratarata habis 2/3 porsi selama 3 hari terakhir karena merasakan nyeri pada abses Stimulus Fokal GDS 466 mg% dan HbA1C :12.7 %, KGDH : 204 mg%, 305mg% & 219 mg% BB: 56 kg TB 155 cm. Tujuan Umum Kebutuhan nutrisi terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 hari, yang ditunjukan dengan : NIC  Kontrol metabolic (hiperglikemia)  Edukasi Aktifitas keperawatan Regulator ï‚· Timbang berat badan klien sesuai indikasi ï‚· Tentukan program diet kolaborasi dengan ahli gizi :1500kal dibagi dalam 3 porsi besar & 3 porsi kecil ï‚· Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen, perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna ï‚· Identifikasi makanan yang disukai termasuk kebutuhan etnik/cultural dan lingkungan yang menyenangkan saat makan ï‚· Observasi tanda-tanda hipoglikemia Kriteria hasil ï‚· Asupan makanan, cairan dan zat gizi terpenuhi ï‚· Klien dapat menjelaskan komponen keadequatan diet ï‚· Menyatakan keinginan untuk mengikuti diet ï‚· Bertoleransi terhadap diet yang dianjurkan ï‚· Membertahanka Kognator n massa tubuh ï‚· Ajarkan metoda dan berat badan perencanaan makan pada normal klien dan keluarga ï‚· Nilai ï‚· Jelaskan sumber makanan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 21 hari (hingga tanggal 27 Oktober) & dievaluasi setiap 3 x 24 jam serta dilakukan modifikasi, maka di dapatkan hasil : Perilaku adaptif : Klien mengatakan makan habis sesuai porsi yang disediakan, makan sesuai jadwal yaitu 15 menit setelah diberikan insulin, Regulasi gula darah tercapai dengan control insulin 3 x 8 unit, keluarga (suami) mampu menggunakan insulin sendiri & glukotes sendiri. KLien mampu menyebutkan diit yang dianjurkan dari jenis, jumlah & jadwalnya Perilaku inefektif : Klien masih tergantung dengan keluarga dalam pengaturan diit & motivasi masih rendah. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 71 ï‚· BB : 56, TB: 155 cm. LILA: 22 cm 3 Fungsi Fisiologis : Aktifitas ï‚· Mempunyai riwayat amputasi 3 tahun yang lalu pada 1/3 distal metatarsal ï‚· Berjalan menjadi lebih pelan, kaki kanan sering menjadi laboratorium bergizi yang terjangkau albumin, bagi klien dan sesuai diit glukosa darah ï‚· Informasikan tentang dalam batas kebutuhan nutrisi dan normal bagaimana memenuhinya ï‚· Melaporkan ï‚· Libatkan keluarga klien keadequatan dalam perencanaan makan energy. Kolaborasi ï‚· Lakukan pemeriksaan gula darah sesuai program : KGDH ï‚· Berikan pengobatan insulin sesuai program : 3 x 8 ui ï‚· Berikan Donperidon 3 x 1 amp & OMZ 1 x 20 mg Resiko Injuri : Tujuan umum : NIC trauma jatuh, Injuri tidak terjadi,  Environmental perubahan ditunjukan dengan managemen : Safety anatomis kaki ï‚· Klien mampu  Mechanical control (chatcot), kalus mengurangi & ulkus b.d. tekanan pada Aktifitas Keperawatan penurunan Regulator kaki kanan sensasi, ï‚· Ciptakan lingkungan yang ï‚· Keluarga perubahan kimia aman bagi klien mampu endogen menyebutkan ï‚· Identifikasi kebutuhan ketidakseimbang criteria keamanan klien an glukosa Stimulus lingkungan berdasarkan tingkat fisik kontekstual & insulin yang aman & dan fungsi kognitif dan residual: memberikan perilaku Riwayat DM 10 lingkungan ï‚· Tempatkan alat-alat yang tahun tidak yang aman sering digunakan dalam Stimulus Fokal Penggunaan kaki kanan sebagai penumpu menyebabkan timbulnya kalus& perawatan yang tidak sesuai menimbulkan ulkus pada area kalus Setelah dilakukan asuhan selama 3 minggu,dapat dievalauasi perilaku klien : Adaptif : ï‚· Klien dan keluarga mampu menyebutkan dan menyediakan kondisi lingkungan yang aman untuk klien : meletakan barang dekat klien, memasang pengaman, mambantu mobilisasi ï‚· Klien & keluarga mampu menjelaskan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 72 penumpu saat turun dari tempat tidur Fungsi fisiologis proteksi & saraf: ï‚· Terdapat kalus dengan ulkus pada bagian tengahnya ï‚· Sensasi pada kaki kanan menurun & ABI 1 & 0,9 Fungsi fisiologi sense (indra): ï‚· Penurunan tajam penglihatan pada mata kiri terkontrol, pengetahuan tentang perawatan kaki, penggunaan alas kaki, perawatan kalus yang belum optimal selama di RS untuk klien jangkauan klien tehnik perawatan kaki : mencuci & menggosok ï‚· Jaga kebersihan, kalus, tehnik memeriksa kenyamanan tempat tidur kaki dan lingkungan ï‚· Klien mampu ï‚· Buang bahan-bahan yang menggunakan kakikiri telah digunakan setelah sebagai tumpuan saat mengganti balutan dan mulai berdiri eliminasi ï‚· Hindari paparan terhadap panas dan dingin berlebihan Perilaku inefektif : ï‚· Ulkus pada tengah ï‚· Libatkan keluarga untuk kalus belum kering, menunggui klien namun sudah ï‚· Lakukan perawatan kalus didapatkan granulasi & (pengikisan & perawatan ukuran yang mengecil ulkus) ï‚· belum di dapatkan alas ï‚· Latih klien untuk kaki yang sesuai menggunakan kaki kiri sehingga masih sebagai tumpuan menggunakan kaus kaki/sandal yang Kognator dimodifikasi ï‚· Jelaskan tentang perubahan Analisa: atau perlindungan ï‚· Masalah resiko injuri lingkungan pada klien dan masih di dapatkan. keluarga Intervensi untuk ï‚· Diskusikan dengan klien & menuju perilaku adaptif keluarga untuk perawatan tetap dilaksanakan kaki & penggunaan alas hingga klien dirumah kaki dengan melibatkan ï‚· Demonstrasikan keluarga tehnikperawatan kaki & pencegahan kalus Kolaborasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 73 ï‚· Kolaborasikan dengan dokter spesialis mata untuk pemeriksaan & penatalaksanaa mata ï‚· Kolaborasi dengan rehabilitasi untuk mendiskusikan alas kaki yang sesuai mode konsep diri : ï‚· klien tidak lagi menjalankan ibadah sholat karena tubuhnya selalu kotor oleh eksudat luka ï‚· Klien menginginka n untuk tetap menjalankan ibadah Stimulus fokal : Kesiapan pengetahuan klien meningkatnya tentang ibadah untuk religiositas orang sakit kurang Kesiapan dalam Mode konsep Stimulus peningkatan diri : Kontekstual : koping individu ï‚· Mengungkap ï‚· Pengalaman kan mengalami ulkus kekhawatiran sebelumnya Setelah dilakukan  Spiritual support,dengan tindakan aktifitas : keperawatan ï‚· Diskusikan tata cara bersuci selama 2x24 jam & sholat saat sakit diharapkan klien ï‚· Ajarkan cara tayamum & akan menunjukan sholat dengan kondisinya peningkatan ï‚· Libatkan keluarga dalam kesejahteraan penyediaan fasilitas ibadah : spiritual mukena, tasbih Criteria hasil ; ï‚· Pertahankan privacy saat ï‚· Bersuci melalui sholat/berdo’a tayamum ï‚· Sholat dengan cara duduk ï‚· Melakukan aktivitas doa Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 hri didapatkan : Perilaku efektif : ï‚· Keluarga membawakan perlengkapan ibadah ï‚· Klien terlihat menjalankan ibadah sesuai dengaan waktunya ï‚· Klien terlihat berzikir menggunakan tasbih di waktu istirahatnya. ï‚· Klien mengungkapkan lebih tenang jika dibantu dengan berdo’a Setelah dilakukan NIC tindakan  Peningkatan koping keperawatan individu selama 7 x 24 jam  Peningkatan support diharapkan klien system Setelah dilakuakan asuhan kepetawatan selama 7 hari dan dilakukan evaluasi di dapatkan perilaku yang adaptif , dimana klien Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 74 nya terhadap ï‚· Support dari luka yang keluarga baik saat ini dideritanya ï‚· Mengungkap kan keyakinanny a terhadap pelayanan dan petugas kesehatan mampu mengatasi sakitnya Mode Interdependen ï‚· Terlibat pengambilan keputusan dalam perawatan dirinya : mementukan tambahan protein, pemilihan menggunakan jenis balutan. ï‚· Mengungkapk an jika rasa takut akan nyeri dikesampingk memperlihatkan peningkatan kesejahteraan dalam koping  Peningkatan body image Aktivitas yang dilakukan : Kognator ï‚· Gali harapan yang diinginkan ï‚· Diskusikan hal – hal positif yang klien miliki ï‚· Lakukan reinsforment (+) terhadap hal – hal positif yang dimiliki oleh klien ï‚· Diskusikan dengan klien untuk menggunakan hal positif yang dimiliki klien untuk meningkatkan ï‚· Fasilitasi komunikasi akan perhatian/perasaanantara pasien dan keluarga atau anggota keluarga ï‚· Libatkan keluarga dalam setiap perawatan klien menunjukan perilaku : ï‚· Keaktifan klien dalam program perawatan ï‚· Ungkapan klien tentang harapan kesembuhan ï‚· Interaksi yang meningkat dengan pasien disekitarnya ï‚· Ungkapan keingitahuan klien tentang perawatan selanjutnya dan mengikuti program perawatan yang melibatkan keaktifan klien : latihan menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, bersholawat saat diganti balutan,melakukan exercise di tempat tidur. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 75 an jika akan diganti balutannya,krn ingin luka cepat sembuh Mode Fisiologi ï‚· Terjadi peningkatan GD ï‚· Abses yang makin luas ï‚· Kalus & ulkus pada kaki kanan Mode Interdependensi ï‚· Perawatan dirumah dilakukan oleh suami ï‚· Menghentika n program pengobatan karena sumber dana ï‚· Keluarga memberikan susu kedelai dengan gula setiappagi ï‚· Menghentika n pengobatan Stimulus Fokal : Belum pernah mengikuti program edukasi Informasi saat dirawat terbatas pada diit : pengurangan sumber karbohidrat Menegement diri inefektif berhubungan dengan pengetahuan yang kurang Setelah dialakukan NIC ; tindakan  Program edukasi keperawatan Aktifitas yang dilakukan : selama 7 hari ï‚· Gali pengetahuan klien dan diharapkan keluarga tentang kemempuan klien DM,komplikasi dan dalam management perawatannya diri meningkat ï‚· Lakukan edukasi dengan ditandai dengan - Kelompok sebaya (group) ï‚· Secara kognotif ï‚· Lakukan konseling klien mengetahui sesuai kebutuhan klien batasan gula ï‚· Fasilitasi klien dalam darah normal, membuat keputusan dalam tanda perawatan dirinya peningkatan gula ï‚· Demonstrasikan perilaku darah, komplikasi perawatan yang dapat dan dilakukan oleh klien : cara perawatannya perawatan kaki, pemberian ï‚· Secara insulin, menyiapkan psikomotor klien makanan, latihan yang bs menunjukan dilakukan (peregangan). perilaku terhadap diit yang benar, latihan fisik, melakukan penyuntikan insulin sendiri, Setelah dilakukan perawatan pada hingga hari ke 7 di dapatkan perilaku adaptif : Klien dan keluarga mampu menyebutkan batasan gula darah normal, tanda hiper & hipoglikemia,komplika si yang ada pada dirinya dan komplikasi lain yang dapat terjadi, penatalaksanaan DM. Klien melakukan exercise di tempat tidur (senam kaki, peregangan otot) sesuai kemampuan Anak klien mampu melakukan perawatan kaki Klien mampu menyuntik insulin sendiri Keluarga klien membeli glukometer dan mampu menggunakannya Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 76 sendiri ï‚· Menggunaka n OHO tanpa monitoring dari tenaga kesehatan aktif dalam program edukasi - Klien dan keluaarga mampu menyebutkan sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau. Perilaku inefektif : Psikomotor dalam penyediaan diit,karena masih disediakan oleh RS Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 77 3.3. Pembahasan Bagian ini merupakan pembahasan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan pada Ny. S dengan DM komplikasi abses dan resiko tinggi ulkus diabetik dengan menggunakan pendekatan Model Adaptasi Roy. Pembahasan yang akan praktikan uraikan bertolak dari masalah keperawatan yang ditemukan mengacu pada 4 mode adaptasi menurut Roy. Keempat mode tersebut meliputi mode fisiologi, mode konsep diri, mode peran dan mode ketergantungan. Dari masalah keperawatan yang terjadi, akan dianalisis berbagai faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya masalah tersebut, dilanjutkan dengan membahas berbagai intervensi yang telah dilakukan untuk mengatasinya dan evaluasi hasil dari intervensi yang telah dilakukan. Pembahasan juga akan diperkuat oleh teori/konsep yang mendasarinya fenomena yang terjadi dan hasil studi para peneliti sebelumnya sebagai justifikasi ilmiah. 3.3.1. Mode Fisiologi 3.3.1.1. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakseimbangan insulin, hypermetabolisme dan proses infeksi Masalah keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan sebagai asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolise (NANDA, 2012-2014). Factor resiko yang berhubungan dengan gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada klien diabetes dikaitkan dengan factor biologis, ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrient. Perilaku klien di dapatkan berhubungan dengan masalah nutrisi ini adalah klien mengalami mual, penurunan nafsu makan, makan habis hanya ½ porsi. Dari penghitungan IMT didapatkan nilai 23, masuk dalam katagori normal. Pemeriksaan laboratorium sebagai pendukung perilaku pada mode nutrisi di dapatkan data SGOT :13 mg/dl, SGPT : 32 mg/dl, HbA1C: 12,7 %, Trigliserida : 80mg/dL, Kolesteroltotal 94 mg/dL, HDL : 31 mg/dl & LDL : 47 mg/dL, Albumin 2,76 mg/dL dengan protein urine kuantitatif Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 78 670 mg/24jam. Dari hasil laboratorium diatas dapat disimpulkan fungsi hati dalam kondisi normal. Hati merupakan organ penting yang berperan dalam metabolisme komponen nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak. Komponen nutrisi yang mengalami penurunan adalah albumin. Hipoalbumin yang terjadi pada Ny. S disebabkan karena inflamasi kronik dari abses yang terjadi. Kadar albumin rendah selain karena asupan nutrisi yang kurang juga karena inflamasi kronik dan kebocoran pada ginjal. Ketidakseimbangan antara masukan dan kebutuhan disertai dengan penurunan fungsi ginjal menyebabkan penurunan albumin dalam darah. Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine (TBF, IL-6) sebagai akibat respon inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, trauma) mengakibatkan penurunan kadar albumin melalui mekanisme : 1) peningkatan permeabilitas vascular (menyebabkan albumin berdifusi ke ruang ekstravaskular); 2) peningkatan degradasi albumin; 3) penurunan sintesis albumin (TNF-α yang berperan dalam penurunan trankripsi gen albumin), (Dunning, 2009). Data lain yang menunjang masalah resiko keseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah kadar gula darah yang tinggi saat masuk yaitu 466 mg/dL dan menurun dengan pemberian terapi insulin. Hasil HbA1C menunjukan nilai 12,7 % yang dapat disimpulkan tidak terkontrolnya gula darah dalam tiga bulan terakhir. Peningkatan gula darah diduga adanya resistensi insulin. Resistensi insulin relative akan mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Lewis & Heitkemper, 2011). Insulin berfungsi dalam transportasi glukosa hingga masuk ke dalam sel. Sekresi insulin dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa dalam darah. Saat terjadi defisiensi insulin, glukosa darah hasil metabolisme karbohidrat setelah seseorang makan tidak dapat masuk ke dalam sel, mengakibatkan suatu kondisi yang disebut hiperglikemia Selain itu penurunan metabolism Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 79 di sel berakibat terjadinya penurunan energy dan penderita DM akan mengalami keseimbangan kalori negative, perilaku klien yang ditunjukan misalnya adanya keluhan mudah lelah, atau lemas dan letih. Gangguan nutrisi pada sel, mengaktifkan system homeostatis tubuh untuk memproduksi energy terus berlangsung dengan pembentukan glukosa endogen glukoneogenesis & glikogenolisis dijaringan hepar. Kondisi ini semakin meningkatkan glukosa darah. Stress fisik seperti adanya ulkus, akan meningkatkan hormone kontraregulator (glucagon, katekolamin dan kortisol) yang akan mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan lemak. Akibat lipolisis meningkat akan terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Intervensi keperawatan yang dapat disusun pada masalah nutrisi ini adalah pemberian diit yang sesuai, kontrol gula darah, dan pemberian terapi insulin sebagai upaya membantu glukosa masuk ke dalam sel dan pada akhirnya diharapkan nutrisi sel terpenuhi. Menurut Yunir & Soebardi, 2010, salah satu terapi medis non farmakologi yang direkomendasikan untuk mengatasi maslah nutrisi pada klien DM adalah terapi gizi. Terapi gizi merupakan kegiatan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi penderita DM yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Adapun manfaat yang diharapkan dari pengaturan diit ini adalah : 1) menurunkan berat badan, 2) menurunkan tekanan darah. 3). mengontrol gula darah pada batas normal. 4). memperbaiki profil lipid . 5). memperbaiki sensitivitas insulin dan memperbaiki sistim koagulasi darah. Adapun pengaturan diit yang dilakukan pada Ny. S adalah sebagai berikut: Rumus penghitungan kebutuhan nutrisi dengan rumus Brocca : Penentuan besarnya kalori yang diberikan digunakan perhitungan rumus Brocca, yaitu: BBI x kebutuhankalori + aktifitas + kondisi stres BBI = (TB dalam Cm - 100) -10% Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 80 = (155 cm - 100) ± 5,5= 49,5 - 60,5 kg BBI Kalori basal wanita 25 Kkal/Kg = 49,5 x 25 = 1237,5 kkal Aktifitas ringan + 10% = 123,5 kal Keadaan stres fisik + 20% = 369,75 kal Usia > 50 th - 5% = 61,88 BB Gemuk - 20% = 247,5 Total kebutuhan nutrisi : kkal = 1423,125 pembulatan 1500 kal Makanan dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan malam (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makanan besar. Untuk pengaturan makan ini dilakukan dengan berkolaborasi dengan tim gizi RS. Medical Nutrition Therapy (MNT) penting dalam manajemen pencegahan diabetes, mencegah perkembangan komplikasi akibat diabetes, dan mencegah kejadian morbiditas dan mortalitas akibat diabetes (ADA, 2012). MNT juga termasuk ke dalam edukasi manajemen diri pada klien diabetes. MNT dilaporkan dapat menurunkan nilai HbA1C ( A1C) 0,25 – 2,9% pada klien DM tipe II (ADA, 2012) tergantung kepada lamanya klien menderita DM. Hasil metaanalisis pada studi orang tanpa diabetes menunjukkan MNT dapat menurunkan kolesterol LDL antara 15-25 mg/dl yang dicapai setelah 3-6 bulan inisiasi. Terjadinya penurunan albumin dalam darah akan menghambat proses penyembuah luka. Peningkatan pemberian protein pada kondisi Ny. S perlu dipertimbangkan dengan fungsi ginjal yang menurun dan adanya pengeluaran protein melalui urine. Protein yang diberikan pada Ny. S adalah 1,5 – 2 gr/Kg BB/hari dengan pertimbangan untuk meningkatkan proses penyembuhan luka. Sumber protein yang diberikan 50 % berasal dari sumber hewani dan 50 % berasal dari sumber nabati. Kandungan protein pada putih telur mencapai 98%, sehingga pemberian ekstra putih telur hingga 6 butir perhari merupakan upaya untuk memenuhi protein Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 81 dalam tubuhnya. Selain dari sumber hewani sumber protein nabati seperti dari olahan kedelai (susu kedelai) mempunyai banyak keuntungan jika dikonsumsi oleh psien DM seperti Ny.S, dimana sudah terjadi penurunan pada fungsi tubuh. Kandungan protein yang ada pada kedelai (phytoestrogen) dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi dan proinflamato cytokines diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal (Kresnawan & Markun). Penelitian lain tentang susu kedelai dilakukan oleh Anitha pada tahun 2006 di RS Saiful Anwar, pada 5 orang kelompok perlakuan yang diberikan susu kedelai didapatkan penurunan gula darah puasa dan 2 jam post prandial (p= 0,01). Dengan demikian pemberian susu kedelai tanpa gula bisa menggantikan pemberian susu dari sumber hewani. Intervensi lain yang dilakukan pada Ny. S yang penting adalah mengatasi hyperglikemia. Pada kasus Ny. S penatalaksanaan terhadap hiperglikemia saat di UGD adalah dengan pemberian insulin berdasarkan hasil gula darah setiap 6 jam (setiap kenaikan 50 mg%, diberikan 5 ui Humulin RR (insulin kerja pendek) dimulai dengan nilai GD 200mg%). Setelah 2 hari dirawat diberikan insulin dengan dosis 3 x 8 unit & kontrol gula darah setiap hari 30 menit sebelum makan. Pada hari ke 3 perawatan gula darah klien terkontrol dengan nilai antara 180–250. Pemberian insulin pada kondisi ini tidak hanya untuk menurunkan glukosa darah hingga batas normal, namun juga untuk mengatasi ketonemia dimana insulin akan menurunkan konsentrasi hormone glucagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas di jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Efektifitas penatalaksanaan hiperglikemi dapat dipantau melalui kadar glukosa dalam darah. Pada pasien DM yang dirawat di rumah sakit dengan disertai penyakit kritis insulin diberikan jika gula darah lebih dari 180 mg/dL dan pemberian Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 82 insulin lebih efektif dengan pemberian continuous IV insulin atau intermiten SC basal bolus yang dikombinasi dengan correctional doses insulin. Pemberian ini mengurangi terjadinya hipoglikemia dan dapat menentukan dosis yang tepat (Hassan, 2007; LeMone, 2011; ADA,2012) 3.3.1.2. Resiko infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa darah, penurunan fungsi leukosit dan perubahan sirkulasi Masalah keperawatan berikutnya yang praktikan tegakkan pada Ny. S pada mode fisiologi adalah resiko infeksi kearah sepsis. NANDA 2012- 2014, mendefinisikan resiko infeksi merupakan kondisi peningkatan resiko terserang organism pathogen. Pada kasus Ny. S, infeksi sudah terjadi yang ditandai dengan lekositosis dan pada hasil kultur didapatkan bakteri gram (+). Resiko terjadinya sepsis pada Ny. S, berdasarkan pada beberapa faktor resiko seperti usia, peningkatan gula darah, penurunan system imun dan perubahan pada vaskularisasi. Gangguan vaskuler dapat terjadi akibat ikatan glukosa ke gugus protein yang bebas asam amino dan selanjutnya akan terjadi reaksi Amadori yang bersifat ireversibel sehingga terbentuk advanced glycation end product (AGE). AGE berikatan dengan reseptornya masing–masing di membrane sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membrane basalis pembuluh darah. Pembentukan jaringan ikat sebagian dirangsang melalui transforming growth factor β (TGF- β). Selain itu serat kolagen dapat diubah melalui glikosilasi. Kedua perubahan ini menyebabkan penebalan membrane basalis dengan penurunan permeabilitas dan penyempitan lumen pembuluh darah. Akibat lanjutnya adalah penurunan sirkulasi. Selanjutnya penuruanan sirkulasi ini akan menghambat aliran darah yang membawa oksigen, nutrisi, sel darah putih dan antibody untuk proses makrofag dan perbaikan jaringan yang rusak. Kondisi ini mengakibatkan mikroorganisme pathogen berkembang dengan cepat, (Silbernagl & Lang, 2003; Waspadji, 2009, Hawks & Black, 2010). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 83 Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencapai perilaku adaptif terhadap pencegahan perluasan infeksi menjadi sepsis dilakukan dengan meningkatkan koping regulator dan kognator pada Ny. S dan keluarga. Secara umum intervensi tersebut meliputi, management luka, managemen infeksi, menegemen hiperglikemik, control vaskuler dan edukasi. Aktivitas yang dilakukan pada klasifikasi intervensi tersebut khususnya untuk menegemen luka, infeksi dan edukasi meliputi : melakukan perawatan luka (mengganti balutan, menyiapkan dasar luka dengan debridement). Aktifitas keperawatan yang ditujukan untuk control infeksi diataranya dengan monitoring tanda perluasan infeksi (tanda infeksi sistemik, infeksi pada area luka, eksudat yang diproduksi luka), mempertahankan tehnik aseptic selama perawatan luka, mencegah kontaminasi luka dengan sumber infeksi (lingkungan), kolaborasi dalam pemberian antibiotic (Ceftriaxon 2x 2 gr dan Metronidazol 3 x 500 mg) sesuai hasil kultur. Edukasi yang diberikan kepada Ny. S sebagai upaya untuk meningkatkan koping kognator diantaranya upaya peningkatan daya tahan tubuh : istirahat, penurunan kecemasan, tehnik menurunkan nyeri dan pemenuhan nutrisi sesuai diit. Edukasi untuk pencegahan infeksi dilakukan dengan menginformasikan untuk menjaga kebersihan area sekitar luka dan menginformasikan untuk melaporkan kepada perawat jika ada tanda deman, nyeri yang bertambah pada luka dan pengeluaran produksi cairan luka yang berlebihan (Bulechek, et al, 2008; Doenges, et al, 2010; Ackley & Ladwig, 2011). Pemberian antibiotik pada Ny. S di dasarkan pada hasil kultur. Ceftriaxon dan Metronidazol merupakan salah satu antibiotic yang masih sensitive. Peran perawat pada pemberian antibiotic ini dimulai dari metode pengambilan bahan culture. Pengambilan specimen yang tidak sesuai akan mempengaruhi hasil kultur dan pada akhirnya berdampak pada pemberian antibiotic yang tidak sesuai dan menyebabkan resistensi. Tehnik pengambilan swab kultur pada luka dilakukan dengan mencuci luka Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 84 terlebih dahulu menggunakan air steril atau NaCl 0.9 % (bukan cairan antiseptic) kemudian dikeringkan dengan kasa steril. Swab atau apusan luka dilakukan dengan menggunakan lidi kapas steril dengan metode Levine. Metode ini terbukti pada 4 penelitian merupakan metode yang paling efektif dibandingkan dengan metode Z maupun metode sederhana. Tehnik swab dengan metode Levine dilakukan dengan mengusapkan lidi kapas steril pada dasar luka yang telah dicuci dan area yang paling sedikit terdapat jaringan nekrosis/slogh pada diameter 1-2 cm melingkar (Gardner, 2006; Angel et al, 2011; Drinka et al, 2012; Nata dkk, 2012). Intervensi lain yang juga penting diperhatikan pada pencegahan meluasnya infeksi pada luka adalah perawatan luka. Prinsip management luka menurut Dealey.C, 2005 diantaranya adalah : perawatan luka lembab & menyiapkan dasar luka (wound bed preparation). Perawatan Luka Lembab Pada perawatan luka yang diberikan kepada Ny.S untuk mempertahankan kelembabannya awalnya menggunakan kasa yang dibasahi NaCl, namun pada hari ke 4 perawatan, sudah menggunakan hydrogel, mengingat lebih efektif dan efisien. Perawatan luka lembab pertamakali diperkenalkan oleh George Winter pada tahun 1962 dan berkembang hingga sekarang. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa lingkungan lembab mempercepat proses epitelisasi dan untuk menciptakan lingkungan lembab dapat dilakukan dengan menggunanakan balutan semi occlusive, full occulisive dan impermeable dressing. Ada beberapa keuntungan prinsip moisture dalam perawatan luka, diantaranya: mencegah luka menjadi kering dan keras, meningkatkan laju epitelisasi, menjagah pembentukan jaringan eschar, meningkatkan pembentukan jaringan dermis, mengontrol inflamasi dan memberikan tampilan yang lebih kosmetis, mempercepat proses autolysis debridement, menurunkan kejadian infeksi, cost effective, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 85 mempertahankan aktifitas neutrofil, menurunkan nyeri, memberikan keuntungan psikologis. Penggunaan kasa yang dilembabkan dengan NaCl merupakan cara konvensional dan sering digunakan. Cara ini bisa menciptakan suasana lembab tapi tidak dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama sebaliknya cara ini bisa menimbulkan nyeri (pada beberapa klien) saat pergantian balutan ketika kasa telah mengering. Sedangkan hydrogels merupakan polymer dengan kandungan air 90-95 % dan memiliki sifat semi transparan dan nonadherent (Hest, CT. 1995., Jeter, KF &Tintle, TE. 1991 dalam Dealey, 2005). Di pasaran hydrogel tersedia dalam bentuk pasta dan lembaran (sheet). Bentuk lembaran sangat comformable sehingga bisa mengikuti tekstur luka dan dapat mengabsorbsi eksudat dalam jumlah sedikit atau sedang. Karena sifatnya yang tidak lengket maka tidak menimbulkan nyeri saat pergantian balutan namun sifat ini pula yang mengharuskan hydrogel didampingi oleh balutan sekunder. Balutan sekunder yang diberikan pada Ny. S adalah jenis balutan yang mampu mengabsorbsi eksudat. Menyiapkan dasar luka (Wound bed preparation) Persiapan dasar luka telah diusulkan sebagai sarana untuk memberikan pendekatan terstruktur dan sistematik dalam manajemen penyembuhan luka yang terganggu. Persiapan dasar luka menekankan pada pengangkatan hambatan yang mengganggu penyembuhan luka dengan mengoptimalkan kondisi penyembuhan luka. Tujuan persiapan dasar luka adalah untuk menciptakan lingkungan penyembuhan luka yang optimal dengan menghasilkan dasar luka yang bervaskular, stabil, dengan eksudat minimal. Salah satu tehnik yang dapat dilakukan untuk menyiapkan dasar luka ini adalah dengan debridemen. Debridemen merupakan proses pengangkatan jaringan mati (nekrotik), eksudat, dan debris metabolik dari dasar luka dan kulit sekitar untuk memfasilitasi proses penyembuhan. Jaringan nekrotik Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 86 dan sampah metabolik dalam luka mencegah penyembuhan dengan memberi nutrisi pada bakteri serta menghambat fase inflamasi penyembuhan. Oleh karena itu, harus diangkat sehingga akan membantu merangsang tepi luka yang tidak meluas. Berbagai macam tehnik debridement dapat dilakukan diantaranya dengan autolitik, biologik, kimiawi maupun mekanik (Dealey.C, 2005; Yunir, 2010). Pada kasus Ny. S penyiapan dasar luka dilakukan pada awalnya menggunakan hydrogel sebagai autolitik, namun karena area slough yang banyak dan nyeri saat dibersihkan maka debridemen mekanik (pembedahan) akhirnya dilakukan. Kondisi Ny. S yang dihadapi praktikan saat mengganti balutan adalah masalah nyeri dengan skala sedang dan meningkat saat alat menyentuh area luka atau saat nekrotomi. Nyeri merupakan masalah yang banyak terjadi pada klien dengan luka kronik dan nyeri dirasakan saat mengganti luka. Augustin & Maier, (2003 dalam Dealey, 2005) menyatakan nyeri yang dirasakan oleh klien dengan luka akan mengakibatkan stress dan stress juga akan meningkatkan nyeri. Survey yang dilakukan oleh Moffatt, 2002 di 11 negara mendapatkan nyeri yang paling dirasakan oleh penderita luka konik adalah saat mengganti balutan dengan kondisi balutan yang kering. Penelitian sebelumnya yaitu Szor dan Bourguignon (1999) mengamati 32 klien dengan ulkus tekanan dengan menggunakan kuesioner McGill mendapatkan 28 (87,5%) mengalami nyeri saat diganti balutan dan 12 (42%) mengalami nyeri terus menerus baik saat istirahat maupun saat mengganti balutan. Faktor yang menimbulkan nyeri saat mengganti balutan disebabkan oleh karena balutan yang lengket dengan luka, irigasi luka, balutan yang kering dan kecemasan (Bell & McCarthy, 2010). Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri selain dengan analgetik perawat melakukan tehnik relaksasi sebelum perawatan yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan dilanjutkan saat mengganti balutan. Relaksasi didefinisikan sebagai teknik yang digunakan untuk mendukung Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 87 dan memperoleh relaksasi untuk tujuan mengurangi tanda-tanda dan gejala yang tidak diinginkan seperti nyeri, ketegangan otot dan kecemasan (Dochterman McCloskey, 2004). Teknik relaksasi yang mudah dilakukan oleh klien adalah dengan teknik dalam. Selain teknik relaksasi penggunaan balutan yang sesuai (lembab bersifat autolitik) seperti jenis balutan modern mampu dapat meningkatkan kenyamanan. Penelitian Kristanto, 2010 di RSUD Syaiful Anwar malang terhadap 20 orang kelompok kontrol dan perlakukan di dapatkan balutan modern mampu meningkatkan ekspresi TGF β1 dan menurunkan kadar kortisol yang berdampak pada penurunan stress fisik maupun psikis (p = 0.028). 3.3.1.3. Resiko injuri berhubungan dengan perubahan anatomis kaki, penurunan sensasi, perubahan kimia endogen, penurunan persepsi sensori penglihatan Diagnosa resiko injuri atau bahaya fisik didefinisikan sebagai kondisi yang beresiko mengalami cedera sebagai akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensive individu dengan faktor resiko biologis (tingkat imunitas, mikroorganisme), dari kliennya (kognitif, afektif dan psikomotor), disfungsi biokimia, usia, fisik dan disfungsi sensorik (NANDA 2012-2014). Diagnosa ini merupakan penggabungan dari beberapa masalah pada mode fisiologi, yaitu masalah pada mode aktifitas, mode proteksi, mode sensasi, mode neurologi dan mode endokrin. Perilaku yang di tampilkan pada 5 mode tersebut menjadi data untuk masalah resiko injuri sedangkan stimulus menjadi data pada etiologi. Data yang didapatkan pada diagnose ini diantaranya adanya perilaku yang mengarah kemungkinan terjadi bahaya fisik/cedera, diantaranya adanya baal pada kedua telapak kaki, telapak kaki telah diamputasi 3 th yang lalu (1/3 distal metatarsal), adanya kalus pada kaki kanan yang ditengahnya terdapat ulkus. Pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr didapatkan terjadi penurunan sensasi. Stimulus yang didapatkan baik fokal, kontekstual maupun residual Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 88 diantaranya: klien lansia (66 th), mengalami DM selama 10 tahun namun gula darah tidak terkontrol mengalami hipertensi dan riwayat amputasi 3 th yang lalu. Pengetahuan klien dan keluarga dalam perawatan kaki, pencegahan berulangnya ulkus kaki dan modifikasi mobilisasi masih kurang karena belum pernah mendapatkan informasi mengenai masalah perawatan kaki. Masalah kaki yang dialami oleh Ny. S adalah riwayat amputasi dengan kalus dan ulkus kecil di kaki kanan. Ulkus kaki merupakan salah satu infeksi kronis yang sering dialami pada diabetisi. Di USA angka kejadian ulkus kaki sebagai komplikasi DM terjadi pada 15 % diabetisi (Frykberg, et al, 2006) dan di Indonesia 15-23% dari seluruh penderita DM (Waspadji, 2011) dan 85% amputasi pada kaki diabetic di dahului oleh adanya ulkus & ulkus pada kaki dapat diawali karena adanya kalus pada area plantar kaki. Pengkajian kaki yang dilakukan kepada Ny. S didapatkan data adanya riwayat amputasi dengan ulkus & saat ini mengalami kalus, maka menurut Internasional Working Group of Diabetic Foot 2007 masuk dalam katagori 3 (resiko sangat tinggi), dan seharusnya pemeriksaan kaki dilakukan setiap 1-3 bulan, namun pada Ny. S tidak pernah dilakukan. Faktor resiko terjadinya ulkus pada kaki diantaranya adalah : neuropathi perifer, gangguan vaskuler perifer, keterbatasan gerak sendi, deformitas kaki, tekanan kaki yang abnormal, trauma minor, riwayat ulcer atau amputasi dan penurunan tajam penglihatan (Frykberg, et al, 2006). Pada Ny. S, ulkus yang dahulu dialami karena luka yang tidak disadari. Saat ini jika tidak dilakukan intervensi yang tepat, ulkus pada kalus akan berkembang menjadi ulkus yang terinfeksi. Menurut Frykberg, 2006 kalus pada area plantar terjadi karena adanya gesekan dan tekanan yang tinggi sehingga menyebabkan penebalan pada area kulit. Berikut ini akan diuraikan proses terjadinya ulkus kaki pada pasien diabetes. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 89 Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang berakibat terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas kaki sebagaimana terjadi pada neuroartropati Charcot terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan, terutama adalah trauma akut maupun kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang memulai terjadinya ulkus. Neuropati perifer pada penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris dan autonom. Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus, halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya neuropati memudahkan terbentuknya kalus. Kerusakan serabut sensoris yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Kerusakan serabut autonom yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit kering (anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki. Kerusakan serabut motorik, sensoris dan autonom memudahkan terjadinya atropati Charcot. Gangguan vaskuler perifer baik akibat makrovaskular (aterosklerosis) maupun karena gangguan yang bersifat mikrovaskular menyebabkan terjadinya iskemia kaki. Keadaan tersebut di samping menjadi penyebab terjadinya ulkus juga mempersulit proses penyembuhan ulkus kaki. Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 katagori, yaitu kaki diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki diabetika disebabkan oleh faktor neuropati (82%) sisanya adalah akibat neuroiskemia dan murni akibat iskemia. Gangguan mode sense dan neurologi (neurophaty perifer) yang terjadi pada Ny.S adalah penurunan sensasi (rasa) pada area telapak kaki kiri (diperiksa dengan menggunakan monofilament 10 gr) pada area telapak : terjadi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 90 penurunan sensasi rasa. Penurunan sensasi terjadi karena adanya komplikasi neuropathi sensori perifer. Neuropati yang diartikan dengan gangguan fungsi saraf pada DM dapat menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada sel saraf yang terkena. Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan pertambahan usia. Prevalensi dapat mencapai 50% pada klien yang sudah menderita diabetes selama 25 tahun. Pathogenesis neuropati dalam diabetes berkaitan dengan mekanisme vaskuler dan metabolik. Dapat dijumpai penebalan membrane basalis kapiler dan penutupan kapiler. Disamping itu terdapat pula demielinisasi saraf karena hiperglikemia. Terjadinya neuropathi diabetic (ND) disebabkan karena hyperglikemik yang berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan jalur poliol, sintesis advance glycosilation and products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berakibat pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel, dan terjadilah ND (Subekti I, 2010). Neuropati perifer sering mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf ekstremitas bawah. Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan ditribusi yang simetris dan secara progresif dapat meluas kearah proksimal. Gejala permulaannya adalah parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar (khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati kaki terasa baal (patirasa). Disamping itu penurunan proprioseptif (kesadaran terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat benda yang berhubungan dengan tubuh) dan penurunan terhadap sensibilitas terhadap sentuhan ringan dapat menimbulkan gaya berjalan terhuyung-huyung. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 91 Penurunan terhadap sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami cedera dan luka pada kaki. Pemeriksaan neuropathy pada klien diabetes merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan oleh ADA 2012 dan AACE, 2008 pada level A sebagai screening terhadap adanya kaki diabetic. Penggunaan monofilament 10 gr untuk mendeteksi adanya neuropathy telah direkomendasikan oleh Nowakowski, P.E, 2008 melalui metaanalisis yang dilakukan terhadap 14 studi (1950–2007) dengan jumlah responden secara keseluruhan berjumlah 3142 dan dilakukan diberbagai negara. Rekomendasi yang diberikan adalah bahwa pemeriksaan menggunakan monofilament 10 gr merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendeteksi adanya neuropathi perifer pada diabetes, namun demikian monofilament ini tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostic tunggal. Gangguan sense (indra) yang lain pada Ny. S adalah penurunan tajam penglihatan. Gangguan penglihatan yang terjadi disebabkan karena komplikasi dari DM yaitu retinopathy yang dapat menyebabkan injury. Retinophaty termasuk dalam golongan komplikasi mikrovaskuler, penyebab retinopathy belum secara jelas diungkap tapi mungkin dapat disebabkan oleh multifaktorial yaitu terkait dengan glikosilasi protein, iskemi, dan mekanisme hemodinamik. Peningkatan viskositas darah menyebabkan peningkatan permeabilitas dan penurunan elastisitas kapiler. Retina membutuhkan rata-rata konsumsi O2 terbesar dari seluruh organ tubuh, bila terjadi gangguan suplai O2 pada retina maka akan terjadi anoksia jaringan yang dapat menyebabkan kematian jaringan (Black & Hawk 2010). Intervensi yang dilakukan untuk memfasilitasi Ny. S mempunyai perilaku yang adaptif, maka dilakukan upaya untuk menghilangkan stimulus dengan meningkatkan koping Ny.S baik yang bersifat regulator maupun kognator. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 92 Pada koping regulator, intervensi yang dilakukan diantaranya , melakukan perawatan kalus dan ulkus, bersama keluarga memberikan lingkungan yang aman (memasang restrain saat keluarga tidak menunggu, mendekatkan alat yang dibutuhkan klien untuk mudah dijangkau), melatih klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan, melatih klien menggunakan pengaman/pegangan saat akan mulai berdiri. Meningkatkan koping kognator dilakukan dengan melibatkan keluarga terutama yang selalu bersama klien (suami klien). Mendiskusikan bahaya fisik yang mungkin terjadi : jatuh, resiko terjadi ulkus berulang. Mendiskusikan dan mendemonstrasikan tehnik perawatan kaki, tehnik mengurangi tekanan pada area kaki kanan dan lingkungan yang aman untuk klien. Kalus yang terjadi pada kaki kanan Ny. S, disebabkan karena adanya penekanan dimana kaki kanan menjadi tumpuan ketika klien memulai berdiri. Dengan kondisi telapak kaki yang telah diamputasi & adanya kalus dengan ulkus ditengahnya sangat beresiko terjadinya perluasan ulkus, maupun perubahan bentuk kaki. Oleh sebab itu, menghindari penekanan dan menggunakan alas kaki yang sesuai merupakan pencegahan yang dapat dilakukan. Salah satunya dengan mengistirahatkan kaki, menghindari tekanan pada kaki (non weight bearing) dan off loading. Istilah off-loading dalam konteks luka kaki diabetik merujuk pada upaya untuk mengurangi beban tekanan terutama pada daerah luka. Hal ini merupakan tujuan utama dalam perawatan luka kaki diabetes. Off-loading mencegah trauma lanjutan pada luka dan memfasilitasi proses penyembuhan terutama pada klien dengan neuropati sensoris. Penelitian retrospektif dan prospektif menunjukkan bahwa peningkatan beban tekanan pada daerah plantar merupakan penyebab terjadinya luka diabetes pada daerah tersebut yang berakibat pada abnormalitas struktural dari kaki seperti; claw-toe deformity dan charcot neuroarthropathy. Kombinasi Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 93 deformitas kaki, penurunan fungsi protektif, dan tidak adekuatnya offloading berdampak pada kerusakan jaringan dan ulserasi Saat ini telah tersedia berbagai jenis sepatu khusus bagi penderita diabetes (Protective footwear), dimana salah satunya yang terkenal sebagai ‘gold standard’ adalah Total Contact Casts (TCCs). TCC merupakan sepatu khusus bagi penderita diabetes yang dapat mendistribusikan beban tekanan pada daerah plantar serta membatasi pergerakan daerah tumit, dengan demikian penggunaan TCC dapat mengurangi tekanan hingga 87%. Sayangnya penggunaannya masih jarang di klinis. Dimana hanya 2 % dari praktisi yang menggunakan TCC untuk merawat luka kaki diabetes dengan alasan kurangnya ketersediaan dan tenaga ahli dalam penggunaannya, selain faktor lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pemasangannya dibandingkan alat lain (Waspadji.S, 2011; Perkeni, 2009). Bahaya fisik lain yang mungkin terjadi pada Ny. S berhubungan dengan komplikasi yang ditimbulkan. Hasil CCT menunjukan nilai GFR 56 ml/24 jam. Hal ini menunjukan penurunan fungsi ginjal pada stadium 2. Jika ini tidak menjadi perhatian akan jatuh pada gagal ginjal kronik. Penurunan fungsi ginjal merupakan salah satu komplikasi kronik dari DM yang disebut nefropathy. Diabetik nefropathy terjadi pada 20–40% klien DM dan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik (ADA, 2012). Rekomendasi ADA 2012 untuk pencegahan dan penanganan pada kondisi ini adalah : kontrol gula darah dan tekanan darah pada batas normal. Screening pada penurunan fungsi ginjal dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan urium, kreatinin dan dan penghitungan GFR minimal 1 tahun sekali. Pembatasan protein 0,8–1 gr/Kg BB berguna untuk mencegah kerusakan fungsi ginjal lebih lanjut (ADA, 2012). Evaluasi yang didapatkan pada hari ke 14 rawatan, ditemukan perilaku adaptif pada mode aktifitas, proteksi dan interdependensi yang dapat dilihat : Klien dan keluarga mampu mengenali resiko bahaya yang Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 94 mungkin terjadi akibat kondisi kaki. Keluarga mampu menyebutkan lingkungan yang aman untuk klien dan memberikan lingkungan yang aman saat dirawat di rumah sakit. adanya kemampuan klien menggunakan kaki kiri sebagai tumpuan meningkat, klien mampu menggunanakan pinggir tempat tidur sebagai pengaman saat mulai berdiri, keluarga mampu melakukan perawatan kalus dengan benar. Perilaku inefektif yang masih ditemukan diantaranya penglihatan klien masih buram, ulkus pada area kalus masih ada walupun dengan ukuran yang mengecil. Tindaklanjut dari perilaku inefektif yang masih ditemukan adalah mengkonsulkan klien ke dokter spesialis mata dan melakukan perawatan ulkus. 3.3.1.4. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri berhubungan dengan pengetahuan yang tidak adekwat NANDA 2012, mengklasifikasikan diagnose ini pada domain promosi kesehatan. Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik didefinisikan sebagai pola pengaturan dan pengintegrasian ke dalam kebiasaan terapeutik kehidupan sehari-hari untuk pengobatan penyakit dan gejala yang ditimbulkan yang tidak memuaskan untuk memenuhi tujuan kesehatan spesifik. Batasan karakteristik pada diagnose keperawatan ini diantaranya kegagalan menerapkan program pengobatan, kegagalan dalam melakukan tindakan mengurangi resiko, mengungkapkan keinginan untuk mengatasi penyakitnya dan mengungkapkan kesulitan dalam pengobatan. Masalah keperawatan ini ditegakkan pada Ny. S, karena ditemukan perilaku yang merupakan komplikasi dari DM pada semua mode fisiologis. Perilaku ini disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien dalam pengobatan yang ditunjukan dengan tidak melakukan diit dengan benar, mengkonsumsi OHO tanpa pengawasan dokter dan menghentikan pengobatan insulin karena keterbatasan dana. Semua perilaku ini bersumber kepada informasi yang kurang tentang penatalaksanaan DM pada Ny. S maupun keluarga sebagai pendamping dalam pengobatan. Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 95 Intervensi yang diberikan kepada Ny. S dan keluarga untuk meningkatkan perilaku adaptif pada masalah keperawatan ini diantaranya dengan menggali sumber–sumber kekuatan yang dimiliki keluarga dan klien dalam meningkatkan manajemen kesehatan diri, mengikutsertakan keluarga dan pasien jika kondisi memungkinkan dalam program edukasi kelompok, mendiskusikan dengan klien dan keluarga hal–hal yang berhubungan dengan penatalaksanaan, pearawatan dan komplikasi yang akan ditimbul pada pasien DM. Hasil evaluasi yang didapatkan dari Ny. S dan keluarga pada masalah tidak efektifnya manajemen diri pada hari ke 6 perawatan didapatkan secara kognitif klien dapat menyebutkan batasan nilai gula darah normal, perencanaan makan untuk dirinya (jumlah, jenis dan jadwal), komplikasi yang sudah ada di dalam dirinya serta pencegahannya. Psikomotor yang dapat yang dapat dinilai,keluarga mengikutiprogram edukasi kelompok, aktif bertanya kepada narasumber, dan menginformasikan kembali kepada klien edukasi yang telah didapat. Edukasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pengetahuan seseorang dan diharapkan dapat merubah perilaku kearah yang lebih baik. Perilaku yang didasarkan pengetahuan dapat dipertahankan lebih lama dibandingkan dengan sebaliknya (Notoatmojo, 2007). Diabetes Self Management Education (DSME) merupakan salah satu bentuk edukasi yang berkelanjutan tidak hanya memberikan pengetahuan, namun juga meningkatkan perubahan perilaku dan sikap yang benar terhadap penatalksanaan DM. Model edukasi dengan DSME, menekankan kepada peran aktif pada penyandang DM untuk menggali informasi dan berdiskusi dengan sumber informasi, sangat berbeda dengan model edukasi searah, imana narasumber hanya menekankan kepada memberikan informasi. Setelah mendapatkan informasi dengan metode ini, diharapkan penyandang DM dapat memutuskan apa yang harus mereka lakukan untuk Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 96 meningkatkan kesehatannya, sesuai dengan sumber–sumber yang dimilikinya. International Diabetes Federation (IDF, 2009 dan ADA, 2012 menekankan bahwa setiap individu dengan DM dimanapun dia tinggal berhak mendapatkan pendidikan kesehatan yang berkaitan dengan DM secara berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek klinis, perilaku dan psikososial. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan bahwa setiap penyelenggara kesehatan tingkat propinsi harus menyediakan pelayanan pendidikan kesehatan dan educator melibatkan multisiplin profesi (dokter, perawat, ahli gizi, apoteker, maupun pandu diabetes). Rekomendasi untuk negara, bahwa negara memberikan support baik dalam hal kebijakan maupun pendanaan untuk penyelenggaraan DSME ini. (IDF, 2009; ADA 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Gumbs, 2012 tentang hubungan DSME dengan perilaku perawatan diri kepada wanita Afrika Amerika mendapatkan 53.6% telah mengikuti program DSME dan terjadi perubahan perilaku dalam pemeriksaan gula darah, kunjungan ke pelayanan kaki dan menunjukan nilai HbA1C yang menurun. Metode edukasi lain yang dapat meningkatkan efikasi diri dan perubahan perilaku penyandang DM adalah dengan melibatkan sesame penyandang DM. Penelitian dengan Randomized controlled trial oleh Ghorob et al 2011 di Sanfransisko terhadap 400 penyandang DM dari berbagai pelayanan kesehatan dibagi 2 kelompok: 200 orang pada kelompok dengan pembinaan oleh penyandang DM yang telah dilatih dan 200 orang dengan edukasi seperti yang biasa dilakukan. Pada bulan ke 6 dilakukan evaluasi, pada kelompok perlakuan didapatkan nilai HbA1C yang menurun. Hasil sekunder lain yang didapatkan yaitu terjadi penurunan pada tekanan darah, indek masa tubuh, LDL dan kolesterol. Pada perilaku di dapatkan perubahan dalam aktifitas perawatan diri, kepatuhan pengobatan, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 97 penurunan depresi dan peningkatan kualitas hidup. Hal ini menunjukan edukasi dengan melibatkan sesame penyandang DM dapat berpengaruh positif terhadap efikasi diri penyandang DM. Penerapan DSME ini sudah dilakukan di RSUP Fatmawati, dimana kegiatan edukasi sesuai rekomendasi IDF dilakukan setiap hari Rabu dengan melibatkan klien dan keluarga. Evaluasi yang didapatkan pada klien adalah didapatkannya perilaku adaptif yang ditunjukan dengan peningkatan pengetahuan klien dan keluarga mengenai DM dan perawatannya, keikutsertaan keluarga dalam program edukasi kelompok, keterlibatan klien dalam perawatan dirinya : menyuntik insulin sendiri, memilih makanan yang sesuai diit dan melakukan latihan peregangan serta senam kaki di tempat tidur. 3.3.2. Mode Konsep diri 3.3.2.1. Kesiapan meningkatnya koping individu Diagnosa ini merupakan kelompok diagnose sejahtera merupakan suatu keputusan klinik tentang keadaan individu dalam transisi dari tingkat sejahtera ketingkat sejahtera yang lebih tinggi atau dikenal dengan wellness diagnoses. Pada diagnose sejahtera ini, etiologi tidak diperlukan. Meningkatnya kesiapan koping individu didefinisikan sebagai upaya kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan yang memadai untuk kesejahteraan dan dapat ditingkatkan (NANDA, 2012; Wilkinson & Ahern, 2012). Batasan karakteristik pada diagnose ini diantaranya mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya, menganggap stressor sebagai sesuatu yang dapat diatasi,dan menggunakan sumber – sumber spiritual. Batasan karakteristik ini diantaranya. Intervensi yang dapat ditegakkan pada masalah koping ini meliputi peningkatan system koping dan peningkatan system pendukung. Aktivitas yang diberikan meliputi : menggali koping yang telah dimiliki oleh klien, Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 98 menggali kemampuan klien dalam pemecahan masalah, mendiskusikan sumber keluatan yang dimiliki klien, mendiskusikan penggunaan koping dan kekuatan yang ada dalam diri Ny. S untuk meningkatkan koping. Selain itu meningkatkan support system yaitu dengan melibatkan keluarga (suami dan anak) untuk mendukung dan menguatkan koping yang dimiliki klien. Hasil evaluasi yang didapatkan pada hari ke 6 untuk masalah kesiapan peningkatan koping individu didapatkan perilaku yang adaptif yaitu, klien mengungkapkan bahwa kondisinya saat ini merupakan dampak dari ketidakpatuhan klien dalam penatalaksanaan DM, klien mengungkapkan keinginannya menjalani sisa kehidupannya dengan badan yang sehat, dan klien selalu aktif terlibat dalam perawatan dirinya : menentukan makanan yang akan dimakan, mengambil keputusan terhadap alternative pengobatan yang ditawarkan oleh dokter maupun perawat. 3.3.2.2. Kesiapan meningkatnya religiositas/Spiritual Diagnosa ini didefinisikan oleh NANDA, 2012 sebagai kemampuan untuk meningkatkan berpartisipasi karakteristik ketergantungan dalam dari ritual diagnose pada tradisi ini keyakinan agama kepercayaan dan tertentu. mengungkapkan keinginan atau Batasan untuk memperkuat pola keyakinan agama yang sebelumnya biasa dilakukan, memberikan ketenangan dan kenyamanan. Intervensi keperawatan yang dapat ditegakkan untuk meningkatkan koping individu dan untuk meningkatkan kesejahteraan konsep diri klien dalam hal spiritual, meliputi : peningkatan aktifitas ibadah, dukungan spiritual, dimana aktifitasnya meliputi diskusikan kebutuhan spiritual, sediakan media untuk menjalankan kegiatan spiritual, berikan privasi selama klien menjalankan ibadah, consultasikan dengan pembimbing rohani (Dochterman & Bulechek, 2008). Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 99 Pada Ny. S ditegakkan diagnosa meningkatnya kesiapan religi/spiritual dengan didukung oleh perilaku klien yang mengatakan selalu menjalankan ibadah sebelum sakit. Saat ini ingin menjalankan ibadah (sholat), namun merasa jika tubuhnya kotor oleh cairan luka. Ungakapan lain yang menunjukan perilaku spiritual yang adaptif diantaranya klien menyatakan berserah diri kepada Tuhan atas sakit yang dideritanya, karena ia yakin pengobatan merupakan usaha dari manusia dan semuanya akan ditentukan olehNya. Intervensi yang lakukan kepada Ny. S diantaranya mendiskusikan tata cara bersuci dan shalat saat sakit, mengajarkan cara tayamum dan sholat dengan duduk,melibatkan keluarga dalam menyediakan perlengkapan sholat dan tashbih, memotivasi untuk melakukan sholat dan berdo’a dan mempertahankan privacy saat sholat/berdo’a. Pada hari kedua dilakukan asuhan keperawatan, keluarga klien membawakan peralatan sholat, klien sudah menjalankan ibadah sholat dengan duduk dan terlihat berdzikir saat tidak ada tindakan keperawatan. Spiritual merupakan salah satu kebutuhan manusia, kebutuhan ini didasarkan pada hubungan antara manusia dengan TuhanNya. Pada orang yang dirawat dirumah sakit, pemenuhan kebutuhan spiritual menjadi bagian sama dengan kebutuhan fisik maupun psikis pasien. Pemenuhan kebutuhan spiritual ini menjadi tanggung jawab parawat. Pengamatan praktikan di tempat menjalankan praktek residensi, belum ada dokumentasi keperawatan yang mengangkat masalah spiritual dan pengamatan praktikan terhadap pemenuhan kebutuhan ini jarang dilakukan oleh perawat. Penelitian di US menunjukan bahwa 94 % dari pasien yang berkunjung ke pelayanan kesehatan meyakini bahwa kesehatan spiritual sama pentingnya dengan kesehatan fisik, 77 % meyakini bahwa kesehatan spiritual harus menjadi bagian dari pelayanan kesehatan dan 80 % melaporkan petugas kesehatan tidak menyentuh aspek spiritual dalam melakukan pelayanan Universitas Indonesia Analisis praktik..., Fitrian Rayasari, FIK UI, 2012 100 kesehatannya (Anadar