Ijtihad Ekonomi Majlis Tarjih Muhammadiyah [Studi Putusan Tarjih dalam Buku Tanya Jawab Agama] Muh. Salahuddin Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Mataram Email: [email protected] Abstrak Hukum dibuat untuk merealisasikan ke­mashlahat­an bagi manusia (material-mo­ral-spiritual). Hukum Islam pun demi­ki­an, sepenuhnya dihajatkan untuk me­me­nuhi kebutuhan masnusia secara utuh (jiwa-raga, material-spiritual). Sesuai de­ngan perubahan sosialmasyarakat, hukum Is­lam secara aktif merespon peru­bah­an itu de­ngan mengadaptasikan pe­ru­bahan yang ada dengan memper­baharui hukum me­lalui proses ijtihād. Inilah spirit yang diperjuangkan oleh banyak kalangan dalam membela dan memperjuangkan untuk mendakwahkan Islam. Muhammadiyah, sebagai lembaga/organisasi sosial keaga­ maan ‘senior’ di Indonesia pun mengandalkan ijtihād dalam menjawab masalah yang ditanyakan/diajukan kepadanya. Tidak hanya sebatas ritual Islam, aqidah dan moral, namun juga terkait dengan masalah sosial-ekonomi riil yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Kata kunci: Ijtihad, ekonomi, majlis tarjih, mashlahah Iqtishaduna Volume III Nomor 1 Juni 2012 | 1 A. Pendahuluan Hukum Islam, selain bersumber dari norma dan doktrin yang bersifat ulūhiyyah, juga berasal dan digali dari data yang bersifat empiris. Boleh dikata, hukum Is­ lam bukan hanya pengejewantahan ke­ inginan Tuhan belaka, namun juga me­ rangkum ke­inginan-keinginan manusia (mukallaf) yang didasarkan pada hasil pe­­mi­kiran sehat dan rasional. Hal ini se­ tidaknya tampak dari adillat al-syar’iyyah atau mashādir al-ahkām (sumber hukum) yang ditulis oleh para ahli ushul. Dalam beberapa kasus, terkadang umat Islam tidak menerima begitu saya makna teks­ tual teks (nāsh) serta mengedepankan pemikiran rasional dalam memahami mak­sud Tuhan. Hal ini terjadi sejak awal Islam, dan kemudian ini pula yang memicu perkembangan pemikiran hukum Islam kontemporer. Dengan adanya sentuhan pemikiran manusia, hukum Islam menjadi ‘hidup’ dan menjadi tema yang menarik untuk di­kaji. Sebut saja al-Ghazāl� misalnya, yang me­ nekankan aspek mashlahah dalam me­to­ do­logi hukumnya.1 Demikian juga halnya dengan asy-Syāthib� yang mena­warkan analisis maqāshid asy-syar�’ah dalam ber­ ijtihad.2 Demikian pula dengan Jasser Auda Penekanan aspek masalahah yang dimak­ sud oleh al-Ghazâli adalah perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Hukum Islam seharusnya diorientasikan untuk menjamin kebaikan lima aspek tersebut. Lihat Abū Hāmid alGhazālī, al-Mustashfā min ‘ilm al-Ushūl, (Bagdād, al-Mutsannā, tt.). 1 Asy-Syāthibī berkeyakinan bahwa hukum Islam diturunkan untuk menjamin kamaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu tawaran ijtihād asy-Syāthibī adalah dengan menganalisis maqāshid asy-syarī’ah (tujuan diturunkannya hu­ kum). Mengenai hal ini lebih jelas dalam Abū Ishāq asy-Syāthibī, al-Muwāfaqāt min ushūl asy-syarī’ah, (Mesir, Musthafa Muhammad, tth), khususnya jilid II. Analisis pemikiran as-Syāthibī dapat dibaca 2 2 | Iqtishaduna yang mencoba untuk mengem­bangkan lebih lanjut konsep dan analisis maqâshîd as-syarî’ah yang pernah di­tawarkan sebe­ lumnya.Semuanya, mencoba untuk meng­ gali makna substansi hukum Islam dan menghadiahkannya untuk kemaslahat­an manusia. Di Indonesia, perkembangan pemi­ kir­an hukum Islam cukup meramaikan khazanah intelektual Islam, bahkan terkadang tampak kontroversial.3 Ti­ dak hanya secara individual, namun ju­­ga secara kelembagaan, orang Islam In­donesia mencoba merespon setiap perubahan/fenomena sosial yang ada dalam masyarakat dengan perangkat metodologi hukum Islam (ushūl al-fiqh). Salah satu lembaga sosial keagamaan Islam yang terus aktif memberikan res­ dalam Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam, (Bandung, Pustaka; 1996). Lihat juga Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut asSyatibi, (Jakarta, Raja Grafindo; 1996). Contoh kasus ketika awal munculnya Per­ bankan Syari’ah di Indonesia, MUI mengeluarkan fatwa ‘bunga bank haram’. Fatwa ini membuat pelaku perbankan konvensional (non-syari’ah) merasa terusik dari bisnisnya. Selama seminggu penuh semua stasiun tv swasta nasional mendiskusikan masalah tersebut. Demikian juga fatwa MUI tentang haramnya rokok memicu emosi banyak pihak dari kalangan petani tembakau, pengusaha, dan karyawan pabrik rokok. Yang paling parah adalah fatwa MUI yang menghalalkan SDSB dan PORKAS pada tahun 1980-an. Semua ini adalah dinamika pemikiran hukum Islam di Indonesia. Belum lagi hadirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang membuat resah banyak masyarakat muslim Indonesia dengan berbagai pemikirannya yang sangat kontroversial dari ajaran (hukum) Islam yang diketahui masyarakat secara umum. JIL berupaya untuk melalukan dekonstruksi terhadap ajaran/hukum Islam dengan berbasis pada fenomena dan realitas masyarakat modern. Lihat Zuly Qodir, Islam Liberal Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002, (Jogjakarta, LkiS; 2010). Baca juga Mutawalli, JIL Menggugat Digugat, (Mataram, LKIM IAIN Mataram; 2009). Jurnal Ekonomi Islam 3 pon terhadap perubahan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia adalah Muhammadiyah, lembaga yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 di Jogjakarta. Fatwa hukum yang diberikan Muhammadiyah melalui Majlis Tarjih-nya mencakup masalah aqidah, moral, ibadah, politik, jual-beli, ekonomi dan aspek-as­pek lain dalam kehidupan masyarakat se­hari-hari. Dalam hal ini Muhammadiyah menawarkan standar tingkah laku bagi warganya dengan mengutip langsung pa­da al-Quran dan as-Sunnah. Artikel ini mem­batasi diri dan hanya berhajat untuk melihat kreativitas ‘Orang Muhammadiyah’ dalam menjawab masalah ekonomi masya­rakat serta meng­ analisis dalil dan logika/argumentasi yang digunakan dalam mem­berikan fatwa di bidang ekonomi. B. Ijtihad: Berpegang Pada TeksBeradaptasi dengan Konteks Hukum Islam dikembangkan melalui pro­ses pemikiran rasional yang biasa di­ kenal dengan ijtihād. Dengan demikian, dalam beberapa aspek hukum Islam dapat dijadikan sebagai ilmu pengetahuan. Se­bagai ilmu pengetahuan, hukum Islam harus bersifat skeptis, siap diuji dan dikaji ulang dan tidak kebal kritik.4 Skeptisitas hukum Islam berarti bahwa kesimpulan dan putusan hukum Islam melalui metodologi dan pendekatan yang ada masih bersifat relatif.5 Artinya bahwa kebenaran yang di­hasil­kan masih dapat dibantah oleh realitas kebenaran yang lain. Dengan demikian hukum Islam harus siap terbuka untuk diuji ulang dan dikritik. Untuk menguji dan mengkritik hu­ kum Islam, ijtihād sangat dibutuhkan dan menjadi suatu keharusan. Ijtihād adalah upaya berpikir secara optimal dalam meng­gali hukum syara’ dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap per­masalahan yang muncul dalam masya­ rakat.6 Al-‘Āmid� mengatakan bahwa ij­ tihād adalah pengerahan kemampuan da­lam memperoleh dugaan kuat tentang se­suatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu. Definisi yang diberikan Khallāf tersebut hampir sama dengan definisi yang diberikan oleh asy-Syāthibī. Menurut asy-Syāthībī, ijtihād adalah pengerahan ke­sungguhan dengan upaya yang optimal da­lam menggali hukum syara’.7 Amin Abdullah mengatakan bahwa gerakan ijtihād adalah sikap mental untuk selalu siap bersikap kritiskonstruktif terhadap realitas historis manusia, termasuk di dalamnya adalah dalam masalah keber­agamaan.8 Dari sekian definisi yang ada, da­ pat dipahami bahwa ijtihād adalah bu­ kan hanya sekedar menggali hukum yang tertuang dalam nāsh, namun juga mem­ berikan jawaban hukum terhadap per­ masalahan yang muncul di masarakat. Suatu yang terhenti (nāsh) tak akan mampu menghadang sesuatu yang tak pernah terhenti (permasalahan hukum yang mun­cul). Konsep ijtihād muncul karena adanya persentuhan antara ajaran Islam di satu pihak dengan tuntutan Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, (Kairo, Dār al-Qalam; 1978) h. 216. 6 Abdul Wahhab Afif, Fiqih (Hukum Islam) Antara Teori dan Praktek, (Bandung, IAIN Sunan Gunung Djati; 1991), h. 5. 4 Mu’allim Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta, UII Press; 1999), h. 33. 5 Iqtishaduna Lihat Abū Ishāq Ibrāhīm asy-Syāthibī, al-Muwāfaqāt min Ushūl asy-Syarī’ah, (Kairo, Musthafa Muhammad, t.th.), h. 89. 7 Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, (Bandung, Mizan; 2000), h. 29 8 Volume III Nomor 1 Juni 2012 | 3 realitas kehidupan ummat manusia di lain pihak9 Mungkin ini pula yang mengilhami Minhaji untuk selalu enekankan penelitian hukum Islam yang bersifat induktif.10 Proses penggalian atau penyimpulan hukum Islam dengan pendekatan induk­ tif sering dilakukan oleh Umar bin alKhathâb. Pertimbangan utamanya adalah kemaslahatan masyarakat (kemaslahatan yang sesungguhnya) yang lebih luas. De­ ngan memperhatikan aspek maslahah ini kemudian banyak ide Umar yang mengesampingkan ketentuan nāsh yang qath’ī dan mengedepankan rasa (sense of) maslahah bagi masyarakat saat itu. Di antara idenya adalah tentang pembagian harta rampasan perang dan penghapusan ‘jatah’ zakat bagi kelompok mu’allaf.11 Kedua ketentuan tersebut adalah bukan termasuk dalam masalah zhanniyyah, namun Umar bin Khattāb meninggalkan suatu hal yang qhat’ī karena ia tidak melihat aspek maslahah yang terkandung dalam nāsh yang qath’ī tersebut. Dalam hal ini Umar berarti telah meninggalkan makna teks ayat dan menerjamahkan teks tersebut dalam bahasa konteks. Atau dalam kata lain, Umar mencoba untuk menerjemahkan bahasa Tuhan dalam ba­ hasa yang dapat dipahami oleh manusia Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi, (Yogyakarta, Titian Ilahi Press; 1997), h. 22. 9 Dalam berbagai pertemuan ilmiah, ia selalu menekankan pada penelitian hukum yang bersifat empiris-induktif. Hal ini dimaksudkan agar peneliti dapat mengidentifikasi masalah secara langsung dan memberikan jawaban terhadap masalah tersebut. Lihat Akh. Minhaji, Reorientasi Kajian Ushul Fiqh, dan Al-Jâmi’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1999. 10 Lihat Nurdin, Ijtihad Umar Bin Khattab, (Jakarta, Rajawali; 1994), 13. Lihat juga Atho’ Mudzhar, Membaca Gelambang Ijtihad, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999). 11 4 | Iqtishaduna dengan senang hati tanpa harus membuat Tuhan murka.12 Dengan demikian, untuk mengetahui nilai maslahah yang sesungguhnya, maka yang perlu diperhatikan dalam ijtihād adalah latar belakang sosial, ekonomi po­litik, pendidikan dan kultural suatu ke­ lompok masyarakat serta dampak yang mungkin akan ditimbulkan dari hasil ijtihād tersebut.13 Karena bagaimanapun, ijtihād sangat terkait dengan perubahan waktu, tempat, peradaban, sosial dan lainnya.14 Nilai maslahah akan berubah mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum Islam hendaklah dipahami sebagai refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai pranata ke­ hi­dup­an. Hal ini berarti muatan hukum Islam harus dirancang bukan hanya untuk mengantisipasi masalah kekinian, namun juga sebagai acuan untuk memecahkan masalah-masalah yang akan muncul di masa mendatang. Menurut Minhaji, ijtihād dapat di­ laku­kan dengan dua cara, deduktif dan induktif. Deduktif berarti menggali hukum Apa yang dilakukan oleh Umar tersebut kemudian dijadikan dalil oleh banyak ahli dalam metodologi hukum sebagai acuan dalam penetapan hukum Islam. Di antaranya adalah Malik bin Anas, Abû Hamîd al-Ghazali, Najmuddin athThûfî dan Abû Ishâq Ibrâhim asy-Syâthibi. Bahkan ath-Thufî adalah ulama’ yang sangat ekstrim dalam menerapkan dalil maslahah. Ia mengatakan bahwa jika ada nash yang bertentangan dengan nilai kemaslahatan manusia, maka kemaslahatan manusia tersebut harus didahulukan dan nash ditinggalkan. Lihat Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam ,terj. (Bandung, Pustaka; 1999). Lebih detail lagi baca Qamaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Bandung, Mizan; 1997). 12 M. Atho’Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar; 1998), h. 246. 13 Musthafā Ahmad Az-Zarqā, Al-Fiqh alIslāmy fî Tsaubih al-Jadīd, (Beirut, Dār al-Fikr; 1968). Jurnal Ekonomi Islam 14 Islam dari nash dan kemudian menerapkan qawā’id al-ushūlyyah dan qawā’id alfiqhiyyah un­tuk menemukan hukum. In­ duktif berarti meng­gali permasalahan hu­ kum yang muncul dari masyarakat yang kemudian dianalisa aspek baik-buruknya bagi kemanusiaan dengan berpedoman pada standar norma yang ada dalam metodologi hukum Islam.15 Intelektual muslim belakangan ini, selalu mengedepankan dua aspek tersebut dalam ber-ijtihâd. Setidaknya hal tersebut tampak dalam beberapa metode yang diguna-kembangkan oleh cendekiawan mus­lim seperti Fazlur Rahman dengan mo­del ijtihād arus bolak-baliknya (double movement),16 Yusuf al-Qarādawy dengan metode ijtihād intisyā’ī dan intiqā’ī17 dan Madmoud Mohammed Thaha dengan teori nasakh-nya,18 Muhammad Syahrur dengan teori hudūd19, dan terakhir kini adalah Jasser Auda20. 15 Minhaji, “Reorientasi….h. 16. Demikian pula halnya di Indonesia, pemikiran tentang hukum Islam mulai dikembangkan dengan dua pendekatan tersebut. Setidaknya hal tersebut tampak dari hasil pemikiran tokoh intelektual muslim Indonesia seperti Abdurrahman Wahid, Kang Jalal, Cak Nun, Cak Nur, Azyumardi Azra, Amin Abdullah, Atho’ Mudzhar dan lain sebagainya. Bahkan sebagian cendekiawan muslim ini kerapkali diklaim sebagai ‘kelewatan’ karena terlalu mengedepankan pen­dekatan yang ber­ sifat induktif (akal) dalam penyelesaian ma­salah hukum. Seca­ra individual, memang banyak tokoh/cen­dekiawan muslim yang ‘kelewatan’ itu punya afiliasi dengan Mu­hammadiyah, walau pendapat yang di­kemukan di depan pub­ lik bukan suara Muhammadiyah. Dalam hal ini (masalah hukum) Muhammadiyah menampilkan diri melalui Lembaga Majlis Tarjih; or­ganisasi otonom dalam tubuh organisasi Muhammadiyah. C. Lihat karyanya Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. (Bandung, Pustaka; 1994). 16 LihatYusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, terj. (Surabaya, Risalah Gusti; 1995). 17 Lihat Mahmoud Muhammed Taha, The Second Message of Islam, terj. (Surabaya, eLPAD; 1994). Karya Mahmoud tersebut kemudian disempurnakan oleh muridnya Abdullah Ahmad an-Na’im dalam Dekonstruksi Syari’ah, terj. (Yogyakarta, LkiS; 1994). 18 Muhammad Syahrūr, al-Kitāb wa alQur’ān: Qirā’ah Mu’āshirah, (Kairo, Sina li alNasyr; 1992). Pemikiran Syahrur ini banyak mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena kapabilitas personal Syahrur yang tidak memiliki latar belakang akademik keislaman. Lihat Munir Muhammad Thāhir as-Sawwāf, Tahāfut Qirā’ah al-Qirā’ah al-Mu’āshirah, (Limassol, As-Syawwāf li an-Nasyr wa ad-Dirāsāt; 1993). 19 Jasser Auda, Maqāsid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law a System Approach, (London, The International Institute of Islamic Thought; 2008). 20 Iqtishaduna Muhammadiyah: Mendobrak Kebuntuan Muhammadiyah, walau tidak pernah mengklaim dirinya sebagai lembaga pem­ baharu di Indonesia, selalu diidentikkan dengan lembaga pembaharu oleh bebe­ rapa pe­nulis. Muhammadiyah juga se­ ring­kali dikait­kan dengan nama besar Wahaby, dan atau Muhammad Abduh yang telah banyak menginspirasi banyak masyarakat (negara) Islam pada masa ko­ lonialisme. Hal itu wajar, karena pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, ter­ golong manusia dengan kategori man of action. Refleksi keagamaan KH. Ahmad Dahlan selalu dipraktekkan dan kemudian menjadi ‘model’ bagi generasi selanjutnya. Diakui atau tidak, Muhammadiyah adalah lembaga sosial keagamaan pertama di Indonesia yang mendobrak kebuntuan dan kejumudan pemikiran Islam Indonesia. Volume III Nomor 1 Juni 2012 | 5 Muhammadiyah, pada dasarnya me­­le­­tak­­kan dasar berpikir yang liberatiftrans­formatif dalam pengembangan pemi­ kir­­an Islam di Indonesia. Sebagaimana gerak­an Islam, Muhammadiyah diawali de­ngan ‘pe­rombakan’ teologis sebagai ba­sis praksis ibadah dan pengembangan da­lam bidang mu’amalah. Basis teologis yang dileakkan Muhammadiyah adalah for­mula untuk mengkritisi tatanan kehi­ dupan yang mendorong terciptanya se­ ma­ngat pembaruan. Hal ini juga yang membuat Muhammadiyah terbuka de­ ngan modernitas dan membuka diri terhadap pe­rubahan dalam masyarakat. Oleh para perintisnya, Muhammadiyah di­kembangkan atas dasar rasionalitas, perubahan, kete­­raturan, orientasi jangka panjang, rajin, kerja keras, tepa waktu, he­mat dan lain-lain. Kesemuanya itu adalah wa­tak dan ciri dari sebuah lembaga modern.21 Pada level individual, basis teologis Muhammadiyah ini membentuk perilaku warga yang terbuka terhadap perubahan. Dan pada level organisasi, basis teologis Muhammadiyah ini me­ lahirkan institusi sosial yang berperan dalam proses ‘pencerahan’ masyarakat Indonesia. Kehadiran Muhammadiyah di Indonesia pada priode awal, pa­ling tidak mengurangi kesan muslim (orang Islam In­donesia) yang terbelakang, kumuh, uncivilized, dan bodoh. Contoh konkrit dari pengaruh teologi Muhammadiyah dalam pembentukan institusi sosial adalah dengan hadirnya lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang dihasilkan dari refleksi kritis terhadap QS. Al-Mā’ūn.22 Lembaga yang bergerak dalam bidang sosial ke­sejah­ Achmad Jaenuri, Ideologi Kaum Reformis Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal, (Surabaya: LPAM, 2002). 21 Untuk sekarang ini lembaga ini sudah berkembang menjadi amal usaha Muhammadiyah dalam bentuk Rumah sakit, lembaga wakaf, dan 22 6 | Iqtishaduna teraan ini adalah suatu hal yang baru pa­da saat itu. Langkah ini merupakan ge­ rak transformasi Muhammadiyah da­lam meng­aktullisasikan Islam dalam kehidup­ an/realitas masyarakat. Di saat pendidikan Indonesia pada masa kolonial Belanda masih sangat kental dengan dikotomi sekolah dan pe­ santren, Muhammadiyah menawarkan pengga­bung­an konsep keduanya. Biasanya, se­ko­lah diisi oleh kelompok elit priyayi dan anak keturunan Belanda, sementara pe­santren identik dengan sekolah kumuh dan untuk rakyat jelata. Sekolah rintisan Muhammadiyah ini sekarang menjadi pola/model pengemba­ngan madrasah (sekolah Islam) di seluruh Indonesia. Sekolah yang me­ngusung kemampuan intelektual dan kematangan spiritual, menghasilkan output sarjana muslim yang dapat hidup di era modern tanpa harus terpecah kepribadiannya.23 Hadirnya Muhammadiyah pada awal-awal kerap kali dikaitkan dengan moder­nitas. Sikap keagamaan yang kolot, ter­tutup, tidak rasional terban­ tah­kan dengan hadirnya warga Mu­ hamma­diyah yang ter­­buka, rasional, tasāmuh, dan pluralis. La­­bel sosial muslim Indonesia sebagai so­sok yang malas, miskin, dan bodoh ter­bantah­ kan dengan hadirnya lembaga pen­­ didikan Muhammadiyah, lembaga sosial Muhammadiyah, lembaga amal usaha Muhammadiyah dan seterusnya de­ngan spirit kerja keras, profesional, dan ber­ pendidikan. Pembaharuan yang di­lakukan Muhammadiyah pada awal dengan prinsip yang dikedepankannya mendapat sorotan tajam dari kelompok mayoritas saat itu. Ibarat JIL saat ini, yang terlalu LAZIS Muhammadiyah, mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Kuntowijoyo, Muslim Tanpa (Bandng, Mizan; 1998). Jurnal Ekonomi Islam 23 Masjid, vulgar ‘menelanjangi’ konsep baku yang dipahami dan dianut oleh masyarakat. Muhammadiyah awal bisa diibaratkan seperti itu. Pembaharuan yang dilakukan Mu­ ham­madiyah diawali dari reformasi kon­ sep teologis (tauhid/aqidah) yang ke­mu­ dian bergerak pada ranah mu’āmalah dunyawiyah. Dengan demikian, lingkup pem­baharuan Muhammadiyah adalah upa­­ya purifikasi dan dinamisasi Islam da­lam realitas masyarakat modern. Da­ lam bidang aqidah, KH. Mas Mansur me­ nyatakan bahwa kemunduran umat Islam karena lemahnya iman, kebodohan, dan kecenderungan mementingkan diri sen­ diri.24 Dari ungkapan di atas, KH. Mas Mansur hendak mensinkronkan tauhid dan realitas kehidupan masyarakat. Hanya saja, pemurnian tauhid yang diawali oleh Muhammadiyah ini ‘diplesetkan’ dan di­man­­faatkan secara negatif oleh ke­ lompok fundamentalisme, yang juga sebagiannya lahir dari sekolah/lembaga pendidikan Muhammadiyah.25 Hakekat yang diinginkan lembaga Muhammadiyah dalam lapangan kehidupan adalah bahwa al-Quran dan as-Sunnah harus dijadikan sebagai inspirasi untuk melakukan kreati­ vitas, inovasi dan daya dobrak bagi kemajuan umat. Tidak sebaliknya, agama dijadikan sebagai ‘pelin­dung’ kemiskinan, kebodohan, dan keter­belakangan umat. Di sinilah perlunya re­interpretasi yang terus-menerus agar pe­­mahaman agama Abdul Munir Mulkhan, Neo-Sufisme dan Pudar­nya Fundamentalisme di Pedesaan (Yogyakarta: UII Press, 2000). 24 Pernah berkembang paham bahwa menya­nyikan lagu ‘Padamu Negeri’, memasang gambar presiden/ pahlawan nasional di dinding sekolah/kantor, hormat bendera dan seterusnya haram. Ini adalah negative spread dari upaya pembaharuan Muham­madiyah. Mughni, Syafiq A. Nilai-Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). bermakna bagi ke­manusiaan dan perilaku keagamaan mam­pu memberikan warna bagi bangunan per­adaban.26 Terlepas dari itu semua, bahwa Mu­ ham­madiyah adalah lembaga/organisasi so­sial kemasyarakatan yang secara signi­ fikan telah memberikan sumbangan in­telektual, moral, dan material bagi ke­berlangsungan Indonesia, dari pra ke­ merdekaan hingga hingga sekarang ini. Basis perjuangan Mu­hammadiyah adalah al-Quran dan as-Sunnah, yang seringkali juga identik dengan gerakan pemurnian Islam nusantara. D. Lajnah Tarjih: Ijmā’ Ulamā’ Muhammadiyah? Proses ijtihād dalam lembaga Muham­madiyah dilakukan melalui pro­ ses jama’ah (kolektif/kelompok ahli) dalam lembaga otonom; Lajnah Tarjih atau Majlis Tarjih. Pada awal­nya, lem­ baga ini bertugas untuk mem­bahas dan memutuskan masalah agama yang diper­selisihkan dengan mengambil da­ lil yang kuat. Namun seiring dengan per­­­kem­bangan zaman, lembaga ini ti­ dak hanya membahas tentang masalah khilāfiyyah, namun juga menjawab realitas perkembangan sosial, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi dan lain-lain. Keputusan atau proses isthinbāth al-ahkām, Lajnah Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ini di­ la­­ku­kan pada muktamar lajnah tarjih Muham­madiyah. Secara lebih rinci, tugas Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut:27 25 Iqtishaduna Muthoharun Jinan “Tinjauan Pemikiran Ke­agamaan Muhammadiyah” dalam http:// muham­m adiyahstudies.blogspot.com/search/ label/Tajdid%20and%20Tarjih 26 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Qaidah Laj­nah Tarjih Muhammadiyah, (Jogjakarta, PP. Muham­madiyah; 1971), 2 27 Volume III Nomor 1 Juni 2012 | 7 1. Menyelidiki dan memahami ilmu a­ga­­ma Islam untuk memperoleh ke­ murniannya. 2. Menyusun tuntunan aqidah, akhlaq, ibadah, dan mu’āmalah dunyawiyah. 3. Memberi fatwa dan nasehat baik atas permintaan, maupun tarjih sen­ diri memandang perlu. 4. Menyalurkan perbedaan pendapat/ faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. 5. Mempertinggi mutu ulama’. 6. Hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh pimpinan per­sya­rikatan. Dari uraian tugas di atas, dapat di­ ambil kesimpulan bahwa lembaga tarjih adalah identik dengan lembaga fatwa bagi perserikatan Muhammadiyah dan war­ganya dengan menjunjung tinggi per­­ bedaan paham yang ada dalam masya­ rakat. Selain itu, lembaga ini bertugas untuk men­cetak kader yang militan dalam hal agama dan keagamaan. Metode yang digunakan oleh majlis tarjih Muhammadiyah dalam berijtihad adalah metode jamā’ī.28 Metode ini di­ Dalam terma ilmu ushūl al-fiqh dikenal dengan ijmā’; yaitu kesepakatan bulat mujtahid muslim pada suatu periode setelah wafatnya rasulullah Muhammad (ittifāq ulamā’ al-mujtahidīn fī ashrin ba’da wafāti rasūlillah). Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, terj. (Jogjakarta, Pustaka Pelajar; 1996), 219. Secara teoritis, konsep ijmā’ ini hanya mengakui kesepakatan ulama mujtahid saja. Sementara di daerah yang tidak ada mujtahidnya, mustahil dilakukan ijma’. Kalau toh dilakukan, ijma’nya batal. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, ijma' adalah upaya kritis suatu masyarakat pada waktu tertentu untuk menjawab kebutuhan hukum di antara mereka. Pendapat ini didasarkan pada statemen Imam Ahmad yang mengatakan bahwa bahwa ijma' itu tidak mungkin dilakukan. pilih dengan menduplikasi praktek pa­­ra sahabat dalam berijtihad (ijmā’ asshahāby). Ijtihad jama’iy adalah ijtihad yang dilakukan secara kolektif, yaitu seke­lompok ahli dalam hukum Islam yang ber­usaha untuk mendapatkan hukum sesuatu atau beberapa masalah hukum Islam.29 Dalam prakteknya, ijtihād jamā’iy dalam lajnah tarjih Muhammadiyah tidak hanya dilakukan oleh internal ulama’ Muhammadiyah, namun juga dengan me­ng­undang para ahli dan ulama’ yang ada di luar Muhammadiyah (NU, PERSIS, Syi’ah, dll.) dalam melakukan ijtihad.30 Dalam mencari jawaban terhadap masalah yang diajukan oleh masyarakat tim Lajnah Tarjih Muhammadiyah selalu mengawali dengan menelusuri al-Quran dan as-Sunnah. Dalam penggunaan as-Sunnah, Lajnah Tarjih pun hanya membatasi diri pada penggunaan asSunnah as-shahhāh.31 Pada hal/masalah yang sama se­kali belum ada ketentuannya dalam nāsh, Lajnah Tarjih mengundang pada ahli yang mempunyai kompetensi dalam bidang yang sedang dipersoalkan. Mereka ini dijadikan sebagai referensi dalam me­nentukan kesimpulan hukum Lajnah Tarjih sebagai basis pertimbangan dalam me­nen­tukan berdasarkan akal (maslahah, ‘urf, qiyas dan lain-lain).32 28 8 | Iqtishaduna Dan jika ada yang mengatakan telah terjadi ijma' maka dia telah berbohong (wa man yadda’iy fīhi ar rajul al-ijmā’ huwa al-kadzb man idda’ā al-ijmā’ fahuwa kadzābun). Abd al Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, (Mesir, Dār al-Qalam; 1978), 49. Tim Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 2, (Jogjakarta, Suara Muhammadiyah; 2003), 217. 29 Ibid, 217. 30 31 Ibid., Tanya Jawab Agama 3, 228. Ibid., 25, 217. Lihat juga Tim Majlis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 3 (Jogjakarta, Suara Muhammadiyah; 2003), 225. Jurnal Ekonomi Islam 32 Penggunaan usūl al-fiqh dan qawā’id al-fiqhiyyah ini dimaksudkan untuk memberikan jawaban hukum atas soal/ masalah yang diajukan dengan runtut logika berpikir yang benar.33 Djamil, setelah mengurai dengan rinci dalam tulisannya, menyimpulkan bahwa metode yang digunakan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah dalam berijtihad adalah sebagai berikut34 : 1. Ijtihad al-Bayānī: menjelaskan hu­ kum yang kasusnya telah terdapat dalam al-Quran dan as-sunnah. 2. Ijtihad al-Qiyāsī: menyelesaikan ka­ sus hukum baru dengan melakukan analogi hukum dengan kasus hukum yang telah disebutkan/diatur dalam al-Quran dan al-hadist. 3. Ijtihad al-Istishlāhī: menyelesaikan kasus hukum baru yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan melakukan pe­­nalaran yang didasarkan pada nilai kemaslahatan. Dari uraian di atas ditangkap bahwa metode yang diguna-kembangkan oleh lajnah tarjih Muhammadiyah dalam pe­ nyimpulan hukum bersifat doktriner-nor­ matif dan empiris-historis. Penggunaan me­tode di atas, disesuaikan dengan ma­ salah yang diajukan kepada tim majlis tarjih. Masalah yang direspon dan dijawab oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah berasal dari surat pembaca di rubrik tanya jawab agama Majalah Suara Muhammadiyah. Permasalahan yang diangkat pun terkait dengan realitas kehidupan masyarakat, terkait dengan masalah aqidah, ibadah, dan sosial-ekonomi. Tingkat kemampuan 33 Ibid, 218-9 Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlih Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta, Logos; 1995), 78. 34 Iqtishaduna intelektual dan keterbatasan pengetahuan agama masyarakat, yang hanya sebatas ritual mahdhah berpengaruh pada tingkat kemajemukan pertanyaan/masalah yang diajukan masyarakat kepada Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Bisa dikata, hampir 80% hasil putusan tarjih itu terkait dengan masalah aqidah, akhlaq, dan ibadah. Masalah sosial ekonomi mendapat ‘porsi’ bahasan yang sangat minimal. Se­mentara, dalam realitas masyarakat modern yang selalu berubah dengan cepat dituntut respon hukum (Islam) yang juga cepat. Apa yang dilakukan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah adalah baru hanya sebatas memperkuat icon Muhammadiyah sebagai kelompok yang anti TBC (taqlid, bid’ah, dan churafat); gerakan pemurnian aqidah. Masalah eko­ nomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain belum tersentuh secara maksimal. Jika kembali kepada pendapat intelektual/ ulama’ kontemporer saat ini, seharusnya agama dikaitkan dengan realitas hidup masyarakat agar spirit keagamaan/ber­ agama itu terlihat dalam semua aspek kehidupan.35 Masalah tauhid yang menjadi esensi perjuangan Muhammadiyah seha­ rus­nya tidak terpisah dengan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari.Tauhid, seharusnya menyatu dengan aktivitas masyarakat, menghiasinya, dan menjadi spirit kehidupan. Rahman mengistilahkannya dengan living tradition. Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad..., 28. Analisis hukum berbasis realitas (induktif) ini mencoba menterjamahkan makna di balik teks yang disesuaikan dengan perkembangan. Analisis teks dengan mengabaikan realitas hanya akan membakukan formalismelogosentris dan ‘kemandulan’ hukum dalam menjawab dan mengantisipasi perkembangan masyarakat. MohammedArkoun, The Unthougth in Contemporary Islamic Thought, (London, Saqi Books; 2002). 35 Volume III Nomor 1 Juni 2012 | 9 E. Ijtihad Ekonomi Muhammadiyah dalam Fatwa Tarjih Buku Tanya Jawab Agama terdiri dari lima jilid dan telah mengalami cetak ulang sebanyak enam kali.36 Kar­ ya ini ditulis oleh tim majlis tarjih Muhammadiyah yang berbasis pada per­ soalan/pertanyaan masyarakat di majalah Suara Muhammadiyah. Banyak yang me­ ngatakan bahwa putusan majlis tarjih Muhammadiyah ini sebagai mazhab kelima di Indonesia setelah mazhab empat yang masyhur (Syāfi’iyyah. Mālikiyyah, Hanābilah, dan Hanāfiyyah).37 Sistematika penulisan dalam himpunan putusan tarjih Muhammadiyah disusun secara tematik yang mencakup aspek fiqh, ushul fiqh, ibadah, aqidah, tasawuf, kehidupan sosial, dan ekonomi. Karena Cetakan Pertama diterbitkan pada tahun 1995. Ide pencetakan ini sebenarnya adalah untuk memudahkan masyarakat dalam melihat putusan hukum Muhammadiyah yang dilakukan sejak awal berdirinya Muhammadiyah sampai cetakan terakhir. Buku I, II, III, IV, dan V adalah buku yang dicetak secara priodik (serial). Artinya bahwa tidak menutup kemungkinan akan hadir buku VI, VII, VIII, dan seterusnya. Menurut Abdurahman, buku tarjih selanjutnya merupakan jawaban Lajnah tarjih dan tajdid Muhammadiyah dalam menjawab perkembangan zaman yang memerlukan pemikiran dan pengembangan. Tim Majlis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Tanya Jawab 3, dalam Kata Sambutan, v. 36 Tim Majlis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Tanya Jawab 3, 226-30. Anggapan di atas dibantah oleh tim tarjih Muhammadiyah dengan mengatakan bahwa Muhammadiyah memang tidak menganut mazhab tertentu, namun berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah. Ibid, 226. Tentang anggapan bahwa tarjih adalah mazhab kelima, tim Majlis Tarjih tidak membenarkan itu. Himpunan putusan tarjih hanya dijadikan sebagai bahan rujukan untuk ditelaah atau sebagai tuntunan dalam pengamalan agama yang sesuai dengan dalilnya. Dengan demikian masyarakat tidak terjebak pada perilaku taqlīd. Prinsip yang dikembangkan dalam himpunan putusan tarjih adalah terbuka dan toleransi. Ibid. 228. sifat penulisannya yang berbasis pada pertanyaan masyarakat, banyak masalah yang sama diulang-ulang ulasannya di berbagai tempat. Masalah yang telah diulas dalam buku satu dibahas lagi pada buku dua, atau buku tiga. Proses pemilihan, pemilihan dan penyuntingan tulisan dan tema dalam penyusunan buku ini tidak dilakukan secara ketat dan teliti. Apa yang telah dilakukan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ditulis ulang kembali dengan tanpa melakukan proses editing yang serius, baik dari bahasa konteks sosial, dan metodologi. Hal ini dapat dimaklumi karena hal yang menjadi putusan majlis tarjih dinukil kembali sesuai dengan versi aslinya. Sebagaimana ditulis sebelumnya, harus diakui bahwa ijtihad ekonomi Muham­madiyah masih sangat terbatas dan sangat minim. Hal ini disebabkan oleh hal sebagai berikut; 1. Masalah yang ditanyakan berasal dari bawah melalui surat pembaca di rubrik tanya jawab agama dalam Majalah Suara Muhammadiyah. 2. Karena rubrik itu berjudul tanya ja­ wab agama, masyarakat lebih ba­ nyak menanyakan masalah yang terkait dengan akidah dan ibadah mahdhah. 3. Muktamar lajnah tarjih yang dilak­ sanakan 3 tahun sekali, dan penulis anggap sangat lambat untuk meres­ pon perubahan yang sangat cepat dalam masyarakat modern. 37 10 | Iqtishaduna Hal ini menunjukkan bahwa ma­ salah yang diajukan kepada Lajnah Tar­ jih Muham­madiyah bersifat induktif, wa­lau tidak semua masalah dijawab de­ngan metode induktif, terkhusus dalam hal aqidah-ibadah pedekatannya pasti normatif-doktriner-deduktif, dan bahkan terkesan menganggap praktek Jurnal Ekonomi Islam yang selain itu salah. Hal lain yang dapat ditangkap adalah bahwa ada kesan bahwa pemahaman keagamaan masyarakat masih memisahkan realitas kehidupan dunia dan akhirat. Hakikatnya, dalam Islam tidak ada pemisahan yang tegas antara dua kehidupan ini. Islam menginginkan kemaslahatan hidup di dunia dan di akhirat secara bersamaan (li tahqīq al-mashlahah fī dunyāhum wa ukhrāhum ma’an). Semes­tinya, lajnah tarjih Muhammadiyah me­ngkaitkan nilai tauhid yang menjadi doktrin utama Muhammadiyah dengan nilai, realitas, dan aktivitas kehidupan bermasyarakat warga Muhammadiyah khususnya, dan masyarakat secara luas. Dalam hal ekonomi putusan tarjih Muhammadiyah tertulis dalam buku Fatwa Tarjih Jilid 2 dan 3. Masalah yang diangkat pun ada berupa pertanyaan yang sudah qath’i jawabannya dan ada beberapa ma­salah baru yang hingga hari ini pun masih menjadi perdebatan banyak orang. Beberapa pembahasan dalam bidang eko­ nomi dan perdagangan yang ada dalam buku Fatwa Tarjih Muhammadiyah adalah sebagai berikut: syarat jual-beli, jual-beli kulit ular dan harimau, uang jasa, koperasi, riba/bunga bank, undian, hutang piutang, hukum menjual bangkai, asuransi, cara membayar hutang pada orang yang su­ dah pindah alamatnya, menggunakan sebagian harta anak yatim, dan suap. untuk lebih fokus pada analisis ijtihad ekonomi Muhammadiyah, selanjutnya akan dipaparkan hal yang terkait masalah baru yang masih menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Masalah tersebut terkait dengan bunga bank, koperasi, dan asuransi. Pada umumnya, dalam hal yang ber­sifat baru (tidak ada ketentuan nash), Lajnah Tarjih Muhammadiyah mengguna­ kan kaidah al-ashl fī al-muā’malah al- Iqtishaduna ibāhah hatta yadullu ad-dalīl ‘alā tahrīmihi. Bunga bank, koperasi dan asuransi ada­ lah sesuatu yang masuk dalam kontek mu’amalah baru yang secara khusus tidak ada ketentuannya dalam nash. Oleh karenanya, Lajnah Tarjih sangat hatihati dan memperhatikan aspek realitas tekstual dan kontekstual. Bunga bank/interest adalah hal baru yang muncul setelah adanya lembaga keuangan (bank). Sebelumnya, ada istilah riba/usury yang oleh semua agama diha­ ramkan prakteknya.38 Oleh sebagian ula­ ma’ bunga bank disamakan dengan prak­ tek riba.39 dalam pemahaman Lajnah Tar­­jih Muhammadiyah adalah sesuatu yang dibolehkan dengan logika bahwa bu­­nga adalah jasa yang harus dibayarkan oleh peminjam atas aktivitas kerja/pro­ fesionalisme yang dilakukan oleh lembaga perbankan. Oleh karena itu, Lajnah Tarjih membedakan pinjaman yang dilakukan antar pribadi dan perbankan. Kalau pin­ jaman dari dana pribadi, tambahan apapun dari biaya pinjaman adalah riba.Sementara jika dari lembaga perbankan, maka itu adalah upah jasa yang harus dibayar atas profesionalisme yang dilakukan oleh lem­ baga perbankan. Selain itu, jasa yang diambil oleh lembaga perbankan adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh ka­renanya Lajnah Tarjih mengarahkan agar masyarakat untuk berhubungan eko­ nomi dengan lembaga keuangan (bank) Metode penyimpulan hukum demikian ini, dalam terminologi lazim dikenal dengan qiyās, yaitu menyamakan jawaban hukum yang lama dengan peristiwa hukum yang baru muncul kemudian karena adanya kesamaan ‘illat. Lihat Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama; 2001), 61. 38 Hal ini pula yang menyebabkan munculnya Bank Syari’ah. Lihat Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. (Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf; 1993). 39 Volume III Nomor 1 Juni 2012 | 11 milik negara,40 tidak pada usaha milik swasta. Bank negara berorientasi pada pembangunan nasional, sementara bank swasta lebih banyak masuk ke kantong pribadi pemilik perusahaan. Yang paling pokok adalah bahwa dalam proses tran­ saksi hutang-piutang ini tidak ada pihak yang merasa keberatan dan tidak ada unsur paksaan.41 Bersedianya seseorang untuk menandatangan dalam pinjaman uang di Bank adalah bukti keikhlasan (‘an tarādlin) dan kesadaran akan dampak yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian yang dilakukannya. Dalam hal bunga ini pemetaan Lajnah Tarjih sangat tegas antara individual dan lembaga. Lembaga dibayar lebih karena ‘kerja profesional’ yang ditawarkan. Itulah yang menjadi sebab adanya ‘tambahan’ dalam pembiayaan hutang piutang. Se­ dang­kan ‘tambahan’ hutang oleh individu dianggap sebagai penghisapan darah an­tar saudara. Dalam kaitannya dengan lem­baga perbankan, lajnah tarjih juga mengutamakan lembaga bank yang dike­lola oleh pemerintah karena melihat manfaat yang mungkin dirasakan oleh masyarakat. Dalam konteks ini, Lajnah Tarjih menghidupkan lembaga bank peme­ rintah.42 Terlepas dari itu, logika berpikir Ibid,, 206. 40 Di sinilah letak aplikasi pemahaman ayat riba yang mengatakan lā tazhlimūn wa lā tuzhlamūn. Inti dari ayat ini bukan pada ‘tambahan/ ziyādah’ dari kuantitas uang yang dipinjam, tapi lebih melihat kualitas nilai uang. Dalam hal ini lajnah tarjih mengedapankan teori inflasi sebagai basis rasionalisasi pendapat mereka. Fatwa Tarjih 2., hal. 205. Qaidah ushul yang diusung dalam hal ini adalah al-hujjat tanzilu manzilat ad-dlarūrah. Fatwa Tarjih 3, 207. 41 Dalam fatwa yang seperti ini dikhawatirkan ada unsur ‘pesanan’ yang disisipkan oleh lembaga bank pemerintah kepada Lajnah Tarjih, mengingat kuatnya persaingan usaha jasa keuangan sekarang ini. Karena kasus seperti ini pernah terjadi dalam fatwa rokok haram. Lihat 42 12 | Iqtishaduna Muhammadiyah, yang memang sejak awal kehadirannya selalu ‘merangkul’ pe­ me­rintah selalu berorientasi untuk mem­ berikan kebaikan yang menyeluruh bagi masyarakat.43 Nampaknya, dari sisi ini Lajnah Tarjih mengedepankan kepen­ tingan orang banyak (al-maslahah alUmmah). Jadi jelas, bahwa bunga bank, dengan kerangka berpikir kepentingan orang banyak, nilai inflasi mata uang, dan profesionalisme, da­lam pandangan Suryopratomo, ‘Fatwa Rokok Muhammadiyah’, dalam http:// muhammadiyahstudies. blogspot. com/search/label/Tajdid% 20and %20 Tarjih Ketika masyarakat Indonesia membenci Belanda dengan berbagai perangkatnya, termasuk pendidikan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, malah menduplikasi sistem pendidikan Belanda dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah. Karena itulah Muhammadiyah selalu identik dengan gerakan kultural; menyentuh kebutuhan riil masyarakat sebagai agenda perubahan umat. Lihat Jamhari, ‘Muhammadiyah’s 2000 Conngress: Preparing for the New Millenium’, dalam Studia Islamika, Volume 7, Nomor 3, 2000, 193-4. Karena gerakan kultural inilah, oleh Belanda Muhammadiyah dianggap sebagai ‘kawan’ dan tidak berbahaya bagi kepentingan kolonialisme. Faktor inilah yang juga ikut mempercepat proses perkembangan Muhammadiyah ke seluruh Nusantara. Lihat A. Syafi’i Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta, LP3ES; 1996), 66. Namun pada akhir tahun 1997, romantisme Muhammadiyah dengan pemerintah mulai ‘tercoreng’ setelah tampilnya Amin Rais, pimpinan Muhammadiyah saat itu, sebagai pendobrak gerakan reformasi mahasiswa. Terlebih lagi, ketika Amin Rais hadir dengan PAN yang kerap kali dikaitkan dengan Muhammadiyah. Lihat Haedar Nasir, Dinamika Politik Muhammadiyah, (Yogyakarka, Biograf; 2000). Oleh sebagian orang, PAN dianggap sebagai ijtihad politik Muhammadiyah. Walau demikian dalam internal Muhammadiyah tidak mengakui bahwa PAN adalah bagian dari Muhammadiyah. Lihat M. Saleh Ending, ‘Posisi Muhammadiyah dalam Politik Di Era Reformasi’, dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Volume 1, No. 1 Desember 2004, 147-160. Jurnal Ekonomi Islam 43 Muhammadiyah ada­lah sesuatu yang mubāh. Ibarat orang mengajar mengaji (agama), seharusnya tidak diberi upah apapun karena tugasnya.Tapi sekarang ini, profesionalisme yang dijadikan sebagai barometer, upah menjadi wajib karena menukur profesionalisme seseorang/lem­ baga.44 Dalam bidang koperasi Lajnah Tarjih beranggapan bahwa koperasi adalah hal baru yang secara teoritis-konseptualpraktis belum dilakukan oleh Nabi dan para sahabat. Lajnah Tarjih mengutip QS. Al-Mā’idah: 2 dan beberapa hadist nabi sebagai landasan hukum.45 Dengan berangkat dari pengetahuan dan sistem tentang koperasi dan perkoperasian di Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UU. No. 25 tahun 1992, lajnah Tarjih Muhammadiyah menyimpulkan bahwa koperasi mengandung unsur kerjasama, tolong-menolong, dan meningkatkan kese­jah­teraan umum.46 Oleh sebab itu, Sederhana saja. Jika jamaah pengajian da’i lokal berlaku tarif lokal. Jika da’i nasional tarifnya pun mengikuti. Jika pelatihan keagamaan dilakukan lembaga lokal akan berbeda juga tarifnya jika pelatihan itu dikelola oleh ESQ center dan seterusnya. Bayaran itu sebenarnya bukan karena pelatihan, tapi profesionalisme lembaga yang memberikan pelatihan. 44 Hadist dariAbu Harairah yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang orang memberikan kelonggaran (beban hidup) antar sesama, akan dilapangkan Allah nanti di hari kiamat. Hadist riwayat muslim yang menyatakan bahwa muslim itu bersaudara. Hadist riwayat al-Hākim dan alBazzār yang menyatakan bahwa yang haram adalah sesuatu yang telah diharamkan Allah dalam kitab-Nya, dan yang halal pun demikian. Sedangkan sesuatu yang didiamkan adalah dibolehkan. Hal ini senada dengan pemikiran asSyāthibī yang lebih fokus pada analisis sukūt assyārī’ sebagai basis dalam memahami maqāshid as-syarī’ah. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta, Raja Grafindo; 1996), 99-103. 45 46 Tim Majlis Tarjih, Fatwa Tarjih...., 203 Iqtishaduna segala hal yang terkait dengan koperasi, yang didasarkan pada kesepakatan bersama adalah sesuatu yang dibolehkan selama tujuan dan sarana untuk mencapai tujuan itu tidak bertentangan dengan nāsh, untuk kepentingan bersama, dan meningkatkan harkat martabatah hidup orang banyak. Hal ini terkait dengan permasalahan yang ditanyakan apakah tambahan biaya peminjaman dana/uang/ modal dari ko­perasi yang melebihi dari yang dipinjam itu riba atau tidak. Sesuatu yang telah disepakati dalam kelompok dan menjadi kebutuhan bersama adalah bukan suatu yang diharamkan. Dalam konteks koperasi, kelebihan dana yang dikembalikan dari pokok pinjaman adalah untuk kepentingan anggota yang didasarkan pada kesepakatan setiap rapat anggota tahunan. Selama itu didasarkan pada kesepakatan dan keikhlasan maka tambahan terhadap pokok pinjaman dalam lembaga koperasi adalah dibolehkan.47 Arahan/fatwa yang diberikan Lajnah Tarjih Muhammadiyah untuk pengembangan koperasi adalah sebagai berikut : 1. Koperasi simpan pinjam dikembang­ kan berdasarkan prinsip tolongmenolong (ta’āwun) yang bersumber dari ajaran Islam. 2. Koperasi sebaiknya tidak memberi­ kan pinjaman uang/dana di luar anggota­nya, dan atau atas nama anggota. 3. Bagi anggota koperasi yang me­ minjam uang karena terkena mu­ sibah sebaiknya tidak dikenakan biaya tam­bahan, dan sedapat mung­kin diberi­kan subsidi bantuan karena musibah yang diterimanya. Ibid., 205. 47 Volume III Nomor 1 Juni 2012 | 13 4. Pinjaman yang dilakukan oleh ang­ gota untuk tujuan produktif, se­ baiknya dilakukan dengan prinsip mudhārabah (bagi hasil).48 Dari paparan di atas, jelas bahwa Muham­madiyah melalui proses ijtihad Lajnah Tarjih-nya menyimpulkan bahwa hal-hal baru yang belum ditentukan oleh nash perlu ditetapkan hukumnya sesuai dengan realitas kekinian dan berbasis pada kepentingan orang banyak tanpa mengesampingkan maqāshid as-syarī’ah dalam penetapan hukum. Dengan kerang­ ka berpikir tatanāhā an-nushūsh wa lā tatanāhā al-waqā’i, kreativitas ijtihad Lajnah Tarjih harus dikembangkan. Ti­ dak hanya menunggu pertanyaan dari masya­rakat melalui majalah Suara Mu­ hammadiyah, tapi juga merespon per­ kembangan sosial-ekonomi masyarakat yang berkembang teramat sangat cepat. F. Simpulan Ijtihad adalah spirit (ruh) bagi eksis­ tensi dan pengakuan ‘orang lain’ ter­ hadap Islam. Inovasi dan kreativitas dalam pemaknaan kembali hukum/ajaran Islam dalam realitas masyarakat perlu dipertajam dengan mengalisis unit-unit terkecil dari masalah baru yang dihadapi masyarakat. Muhammadiyah tidak harus lagi membicarakan tentang tauhid, atau sekedar TBC, tapi yang lebih penting lagi adalah menginternalisasi nilai tauhid yang menjadi inti perjuangan Muhammadiyah dalam sistem yang hidup (a living tradition) dalam masyarakat. Dengan demikian, Muham­madiyah secara kontinyu mencipta tradisi baru dalam keberagamaan masya­ rakat baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Ibid., 205. 48 14 | Iqtishaduna Masalah penting yang dihadapi Mu­hammadiyah sekarang ini adalah kurang­­nya ulama’ yang mampu mem­ berikan ‘kesejukan’ berbasis al-Quran dan as-Sunnah. Muham­madiyah terlalu asyik menggeluti aspek modern dari pengembangan lem­baga, dan melupakan aspek tradisi yang menjadi basis re­ ligius sebagai benteng pertahanan war­ ga Muhammadiyah. Beban tugas Mu­ hammadiyah untuk mencetak ulama’ saat ini semakin sulit karena turunnya minat masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak di sekolah agama (madrasah/ pesantren). DAFTAR PUSTAKA Abū Hāmid al-Ghazālī. al-Mustshfā min ‘Ilm al-Ushūl. Bagdād: al-Mutsannā, tt.. Abū Ishāq asy-Syāthībī. al-Muwāfaqāt min Ushûl asy-Syarî’ah, jilid II. Mesir: Musthafa Muhammad, tth. Muhammad Khalid Mas’ud. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pustaka, 1996. Asafri Jaya Bakri. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut as-Syatibi. Jakarta: Raja Grafindo, 1996. Zuly Qodir. Islam Liberal Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002. Jogjakarta: LkiS, 2010. Mutawalli. JIL Menggugat Digugat. Mataram: LKIM IAIN Mataram, 2009. Abdul Wahhab Afif. Fiqih (Hukum Islam) Antara Teori dan Praktek. Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati, 1991. Mu’allim Amir dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 1999. Abd al-Wahhāb Khallāf. ‘Ilm Ushūl al-Fiqh. Kairo: Dār al-Qalam, 1978. Jurnal Ekonomi Islam Amin Abdullah. Dinamika Islam Kultural. Bandung: Mizan, 2000. Approach. London: The International Institute of Islamic Thought, 2008. Amir Mu’allim dan Yusdani. Ijtihad Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997. Achmad Jaenuri. Ideologi Kaum Reformis Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah Periode Awal. Surabaya: LPAM, 2002. Akh. Minhaji. Reorientasi Kajian Ushul Fiqh, dan Al-Jâmi’ah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: 1999. Nurdin. Ijtihad Umar Bin Khattab. Jakarta: Rajawali, 1994. Atho’ Mudzhar. Membaca Gelambang Ijtihad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Qamaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama. Bandung: Mizan, 1997. M. Atho’Mudzhar. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Mustafa Ahmad Az-Zarqā. Al-Fiqh alIslāmī fī Tsaubih al-Jadīd. Beirut: Dār al-Fikr, 1968. Fazlur Rahman. Membuka Pintu Ijtihad, terj. Bandung: Pustaka, 1994. Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Bandung: Mizan, 1998. Masjid. Abdul Munir Mulkhan. Neo-Sufisme dan Pu­dar­nya Fundamentalisme di Pedesaan. Yogyakarta: UII Press, 2000. A. Syafiq Mughni. Nilai-Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Muthoharun Jinan, “Tinjauan Pemikiran Keaagamaan Muhammadiyah” dalam http://muhammadiyahstudies. blogspot.com/search/label/ Tajdid%20and%20Tarjih Yusuf Qaradhawi. Ijtihad Kontemporer. terj. Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Qaidah Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Yog­ jakarta: PP. Muhammadiyah, 1971. Mahmoud Muhammed Taha. The Second Message of Islam, terj. Surabaya: eLPAD, 1994. Muhammad Hashim Kamali: Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam, terj. Yogja­ karta: Pustaka Pelajar, 1996. Abdullah Ahmad an-Na’im. De­konstruksi Syari’ah, terj. Yogyakarta: LkiS, 1994. Abd al Wahhāb Khallāf. ‘Ilm Ushūl al-Fiqh. Mesir: Dār al-Qalam, 1978. Muhammad Syahrur. al-Kitāb wa alQur’ān: Qirā’ah Mu’āshirah. Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992. Munir Muhammad Thāhir as-Sawwāf. Tahāfut Qirā’ah al-Qirā’ah alMu’āshirah. Limassol: as-Syawwāf li an-Nasyr wa ad-Dirāsāt, 1993. Jasser Auda. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law a System Iqtishaduna Tim Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Fatwafatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 2. Yogjakarta, Suara Muhammadiyah, 2003. Tim Majlis Tarjih dan Tajdid PP. Muham­ madiyah. Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 3. Yogjakarta: Suara Muhammadiyah, 2003. Volume III Nomor 1 Juni 2012 | 15 Fathurrahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Lo­gos, 1995. Mohammed Arkoun. The Unthougth in Contemporary Islamic Thought. London: Saqi Books, 2002. Suparman Usman. Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Muhammad Abdul Mannan. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993. Suryopratomo, ‘Fatwa Rokok Muham­ madiyah’, dalam http:// muham­ madiyahstudies. blogspot. com/ 16 | Iqtishaduna search/label/Tajdid% 20and %20 Tarjih . Jamhari. ‘Muhammadiyah’s 2000 Conng­ ress: Preparing for the New Millenium’, dalam Studia Islamika, Volume 7, Nomor 3, 2000 Syafi’i Maarif. Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1996. Haedar Nasir. Dinamika Politik Muham­ madiyah. Yogyakarka: Biograf, 2000. M. Saleh Ending, ‘Posisi Muhammadiyah dalam Politik Di Era Reformasi’, dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Volume 1, No. 1 Desember 2004 Jurnal Ekonomi Islam