Ijtihad Ekonomi

advertisement
Ijtihad Ekonomi
Majlis Tarjih Muhammadiyah
[Studi Putusan Tarjih dalam Buku Tanya Jawab Agama]
Muh. Salahuddin
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Mataram
Email: [email protected]
Abstrak
Hukum dibuat untuk merealisasikan ke­mashlahat­an bagi manusia
(material-mo­ral-spiritual). Hukum Islam pun demi­ki­an, sepenuhnya
dihajatkan untuk me­me­nuhi kebutuhan masnusia secara utuh
(jiwa-raga, material-spiritual). Sesuai de­ngan perubahan sosialmasyarakat, hukum Is­lam secara aktif merespon peru­bah­an itu de­ngan
mengadaptasikan pe­ru­bahan yang ada dengan memper­baharui hukum
me­lalui proses ijtihād. Inilah spirit yang diperjuangkan oleh banyak
kalangan dalam membela dan memperjuangkan untuk mendakwahkan
Islam. Muhammadiyah, sebagai lembaga/organisasi sosial keaga­
maan ‘senior’ di Indonesia pun mengandalkan ijtihād dalam menjawab
masalah yang ditanyakan/diajukan kepadanya. Tidak hanya sebatas
ritual Islam, aqidah dan moral, namun juga terkait dengan masalah
sosial-ekonomi riil yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia.
Kata kunci: Ijtihad, ekonomi, majlis tarjih, mashlahah
Iqtishaduna
Volume III Nomor 1 Juni 2012
| 1
A.
Pendahuluan
Hukum Islam, selain bersumber dari
norma dan doktrin yang bersifat ulūhiyyah,
juga berasal dan digali dari data yang
bersifat empiris. Boleh dikata, hukum Is­
lam bukan hanya pengejewantahan ke­
inginan Tuhan belaka, namun juga me­
rangkum ke­inginan-keinginan manusia
(mukallaf) yang didasarkan pada hasil
pe­­mi­kiran sehat dan rasional. Hal ini se­
tidaknya tampak dari adillat al-syar’iyyah
atau mashādir al-ahkām (sumber hukum)
yang ditulis oleh para ahli ushul. Dalam
beberapa kasus, terkadang umat Islam
tidak menerima begitu saya makna teks­
tual teks (nāsh) serta mengedepankan
pemikiran rasional dalam memahami
mak­sud Tuhan. Hal ini terjadi sejak awal
Islam, dan kemudian ini pula yang memicu
perkembangan pemikiran hukum Islam
kontemporer.
Dengan adanya sentuhan pemikiran
manusia, hukum Islam menjadi ‘hidup’ dan
menjadi tema yang menarik untuk di­kaji.
Sebut saja al-Ghazāl� misalnya, yang me­
nekankan aspek mashlahah dalam me­to­
do­logi hukumnya.1 Demikian juga halnya
dengan asy-Syāthib� yang mena­warkan
analisis maqāshid asy-syar�’ah dalam ber­
ijtihad.2 Demikian pula dengan Jasser Auda
Penekanan aspek masalahah yang dimak­
sud oleh al-Ghazâli adalah perlindungan terhadap
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Hukum
Islam seharusnya diorientasikan untuk menjamin
kebaikan lima aspek tersebut. Lihat Abū Hāmid alGhazālī, al-Mustashfā min ‘ilm al-Ushūl, (Bagdād,
al-Mutsannā, tt.).
1
Asy-Syāthibī berkeyakinan bahwa hukum
Islam diturunkan untuk menjamin kamaslahatan
hamba di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu tawaran
ijtihād asy-Syāthibī adalah dengan menganalisis
maqāshid asy-syarī’ah (tujuan diturunkannya hu­
kum). Mengenai hal ini lebih jelas dalam Abū Ishāq
asy-Syāthibī, al-Muwāfaqāt min ushūl asy-syarī’ah,
(Mesir, Musthafa Muhammad, tth), khususnya
jilid II. Analisis pemikiran as-Syāthibī dapat dibaca
2
2 |
Iqtishaduna
yang mencoba untuk mengem­bangkan
lebih lanjut konsep dan analisis maqâshîd
as-syarî’ah yang pernah di­tawarkan sebe­
lumnya.Semuanya, mencoba untuk meng­
gali makna substansi hukum Islam dan
menghadiahkannya untuk kemaslahat­an
manusia.
Di Indonesia, perkembangan pemi­
kir­an hukum Islam cukup meramaikan
khazanah intelektual Islam, bahkan
terkadang tampak kontroversial.3 Ti­
dak hanya secara individual, namun
ju­­ga secara kelembagaan, orang Islam
In­donesia mencoba merespon setiap
perubahan/fenomena sosial yang ada
dalam masyarakat dengan perangkat
metodologi hukum Islam (ushūl al-fiqh).
Salah satu lembaga sosial keagamaan
Islam yang terus aktif memberikan res­
dalam Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum
Islam, (Bandung, Pustaka; 1996). Lihat juga Asafri
Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut asSyatibi, (Jakarta, Raja Grafindo; 1996).
Contoh kasus ketika awal munculnya Per­
bankan Syari’ah di Indonesia, MUI mengeluarkan
fatwa ‘bunga bank haram’. Fatwa ini membuat
pelaku perbankan konvensional (non-syari’ah)
merasa terusik dari bisnisnya. Selama seminggu
penuh semua stasiun tv swasta nasional
mendiskusikan masalah tersebut. Demikian juga
fatwa MUI tentang haramnya rokok memicu
emosi banyak pihak dari kalangan petani
tembakau, pengusaha, dan karyawan pabrik
rokok. Yang paling parah adalah fatwa MUI yang
menghalalkan SDSB dan PORKAS pada tahun
1980-an. Semua ini adalah dinamika pemikiran
hukum Islam di Indonesia. Belum lagi hadirnya
Jaringan Islam Liberal (JIL) yang membuat resah
banyak masyarakat muslim Indonesia dengan
berbagai pemikirannya yang sangat kontroversial
dari ajaran (hukum) Islam yang diketahui
masyarakat secara umum. JIL berupaya untuk
melalukan dekonstruksi terhadap ajaran/hukum
Islam dengan berbasis pada fenomena dan realitas
masyarakat modern. Lihat Zuly Qodir, Islam Liberal
Varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002,
(Jogjakarta, LkiS; 2010). Baca juga Mutawalli,
JIL Menggugat Digugat, (Mataram, LKIM IAIN
Mataram; 2009).
Jurnal Ekonomi Islam
3
pon terhadap perubahan yang terjadi
di tengah masyarakat Indonesia adalah
Muhammadiyah, lembaga yang didirikan
oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun
1912 di Jogjakarta. Fatwa hukum yang
diberikan Muhammadiyah melalui Majlis
Tarjih-nya mencakup masalah aqidah,
moral, ibadah, politik, jual-beli, ekonomi
dan aspek-as­pek lain dalam kehidupan
masyarakat se­hari-hari. Dalam hal ini
Muhammadiyah menawarkan standar
tingkah laku bagi warganya dengan
mengutip langsung pa­da al-Quran dan
as-Sunnah. Artikel ini mem­batasi diri dan
hanya berhajat untuk melihat kreativitas
‘Orang Muhammadiyah’ dalam menjawab
masalah ekonomi masya­rakat serta meng­
analisis dalil dan logika/argumentasi yang
digunakan dalam mem­berikan fatwa di
bidang ekonomi.
B.
Ijtihad: Berpegang Pada TeksBeradaptasi dengan Konteks
Hukum Islam dikembangkan melalui
pro­ses pemikiran rasional yang biasa di­
kenal dengan ijtihād. Dengan demikian,
dalam beberapa aspek hukum Islam dapat
dijadikan sebagai ilmu pengetahuan.
Se­bagai ilmu pengetahuan, hukum
Islam harus bersifat skeptis, siap diuji
dan dikaji ulang dan tidak kebal kritik.4
Skeptisitas hukum Islam berarti bahwa
kesimpulan dan putusan hukum Islam
melalui metodologi dan pendekatan
yang ada masih bersifat relatif.5 Artinya
bahwa kebenaran yang di­hasil­kan masih
dapat dibantah oleh realitas kebenaran
yang lain. Dengan demikian hukum Islam
harus siap terbuka untuk diuji ulang dan
dikritik.
Untuk menguji dan mengkritik hu­
kum Islam, ijtihād sangat dibutuhkan dan
menjadi suatu keharusan. Ijtihād adalah
upaya berpikir secara optimal dalam
meng­gali hukum syara’ dari sumbernya
untuk memperoleh jawaban terhadap
per­masalahan yang muncul dalam masya­
rakat.6 Al-‘Āmid� mengatakan bahwa ij­
tihād adalah pengerahan kemampuan
da­lam memperoleh dugaan kuat tentang
se­suatu dari hukum syara’ dalam bentuk
yang dirinya merasa tidak mampu berbuat
lebih dari itu. Definisi yang diberikan
Khallāf tersebut hampir sama dengan
definisi yang diberikan oleh asy-Syāthibī.
Menurut asy-Syāthībī, ijtihād adalah
pengerahan ke­sungguhan dengan upaya
yang optimal da­lam menggali hukum
syara’.7 Amin Abdullah mengatakan
bahwa gerakan ijtihād adalah sikap
mental untuk selalu siap bersikap kritiskonstruktif terhadap realitas historis
manusia, termasuk di dalamnya adalah
dalam masalah keber­agamaan.8
Dari sekian definisi yang ada, da­
pat dipahami bahwa ijtihād adalah bu­
kan hanya sekedar menggali hukum yang
tertuang dalam nāsh, namun juga mem­
berikan jawaban hukum terhadap per­
masalahan yang muncul di masarakat.
Suatu yang terhenti (nāsh) tak akan
mampu menghadang sesuatu yang tak
pernah terhenti (permasalahan hukum
yang mun­cul). Konsep ijtihād muncul
karena adanya persentuhan antara ajaran
Islam di satu pihak dengan tuntutan
Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh,
(Kairo, Dār al-Qalam; 1978) h. 216.
6
Abdul Wahhab Afif, Fiqih (Hukum Islam)
Antara Teori dan Praktek, (Bandung, IAIN Sunan
Gunung Djati; 1991), h. 5.
4
Mu’allim Amir dan Yusdani, Konfigurasi
Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta, UII Press;
1999), h. 33.
5
Iqtishaduna
Lihat Abū Ishāq Ibrāhīm asy-Syāthibī,
al-Muwāfaqāt min Ushūl asy-Syarī’ah, (Kairo,
Musthafa Muhammad, t.th.), h. 89.
7
Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural,
(Bandung, Mizan; 2000), h. 29
8
Volume III Nomor 1 Juni 2012
| 3
realitas kehidupan ummat manusia di lain
pihak9 Mungkin ini pula yang mengilhami
Minhaji untuk selalu enekankan penelitian
hukum Islam yang bersifat induktif.10
Proses penggalian atau penyimpulan
hukum Islam dengan pendekatan induk­
tif sering dilakukan oleh Umar bin alKhathâb. Pertimbangan utamanya adalah
kemaslahatan masyarakat (kemaslahatan
yang sesungguhnya) yang lebih luas. De­
ngan memperhatikan aspek maslahah
ini kemudian banyak ide Umar yang
mengesampingkan ketentuan nāsh yang
qath’ī dan mengedepankan rasa (sense
of) maslahah bagi masyarakat saat itu. Di
antara idenya adalah tentang pembagian
harta rampasan perang dan penghapusan
‘jatah’ zakat bagi kelompok mu’allaf.11
Kedua ketentuan tersebut adalah bukan
termasuk dalam masalah zhanniyyah,
namun Umar bin Khattāb meninggalkan
suatu hal yang qhat’ī karena ia tidak
melihat aspek maslahah yang terkandung
dalam nāsh yang qath’ī tersebut. Dalam
hal ini Umar berarti telah meninggalkan
makna teks ayat dan menerjamahkan
teks tersebut dalam bahasa konteks. Atau
dalam kata lain, Umar mencoba untuk
menerjemahkan bahasa Tuhan dalam ba­
hasa yang dapat dipahami oleh manusia
Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad Suatu
Kontroversi Antara Teori dan Fungsi, (Yogyakarta,
Titian Ilahi Press; 1997), h. 22.
9
Dalam berbagai pertemuan ilmiah, ia
selalu menekankan pada penelitian hukum yang
bersifat empiris-induktif. Hal ini dimaksudkan agar
peneliti dapat mengidentifikasi masalah secara
langsung dan memberikan jawaban terhadap
masalah tersebut. Lihat Akh. Minhaji, Reorientasi
Kajian Ushul Fiqh, dan Al-Jâmi’ah, IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 1999.
10
Lihat Nurdin, Ijtihad Umar Bin Khattab,
(Jakarta, Rajawali; 1994), 13. Lihat juga
Atho’ Mudzhar, Membaca Gelambang Ijtihad,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).
11
4 |
Iqtishaduna
dengan senang hati tanpa harus membuat
Tuhan murka.12
Dengan demikian, untuk mengetahui
nilai maslahah yang sesungguhnya, maka
yang perlu diperhatikan dalam ijtihād
adalah latar belakang sosial, ekonomi
po­litik, pendidikan dan kultural suatu ke­
lompok masyarakat serta dampak yang
mungkin akan ditimbulkan dari hasil ijtihād
tersebut.13 Karena bagaimanapun, ijtihād
sangat terkait dengan perubahan waktu,
tempat, peradaban, sosial dan lainnya.14
Nilai maslahah akan berubah mengikuti
perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Dengan demikian, hukum Islam hendaklah
dipahami sebagai refleksi tata nilai yang
diyakini masyarakat sebagai pranata ke­
hi­dup­an. Hal ini berarti muatan hukum
Islam harus dirancang bukan hanya untuk
mengantisipasi masalah kekinian, namun
juga sebagai acuan untuk memecahkan
masalah-masalah yang akan muncul di
masa mendatang.
Menurut Minhaji, ijtihād dapat di­
laku­kan dengan dua cara, deduktif dan
induktif. Deduktif berarti menggali hukum
Apa yang dilakukan oleh Umar tersebut
kemudian dijadikan dalil oleh banyak ahli
dalam metodologi hukum sebagai acuan dalam
penetapan hukum Islam. Di antaranya adalah Malik
bin Anas, Abû Hamîd al-Ghazali, Najmuddin athThûfî dan Abû Ishâq Ibrâhim asy-Syâthibi. Bahkan
ath-Thufî adalah ulama’ yang sangat ekstrim
dalam menerapkan dalil maslahah. Ia mengatakan
bahwa jika ada nash yang bertentangan dengan
nilai kemaslahatan manusia, maka kemaslahatan
manusia tersebut harus didahulukan dan nash
ditinggalkan. Lihat Muhammad Khalid Mas’ud,
Filsafat Hukum Islam ,terj. (Bandung, Pustaka;
1999). Lebih detail lagi baca Qamaruddin Hidayat,
Memahami Bahasa Agama, (Bandung, Mizan;
1997).
12
M. Atho’Mudzhar, Pendekatan Studi Islam,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar; 1998), h. 246.
13
Musthafā Ahmad Az-Zarqā, Al-Fiqh alIslāmy fî Tsaubih al-Jadīd, (Beirut, Dār al-Fikr;
1968).
Jurnal Ekonomi Islam
14
Islam dari nash dan kemudian menerapkan
qawā’id al-ushūlyyah dan qawā’id alfiqhiyyah un­tuk menemukan hukum. In­
duktif berarti meng­gali permasalahan hu­
kum yang muncul dari masyarakat yang
kemudian dianalisa aspek baik-buruknya
bagi kemanusiaan dengan berpedoman
pada standar norma yang ada dalam
metodologi hukum Islam.15
Intelektual muslim belakangan ini,
selalu mengedepankan dua aspek tersebut
dalam ber-ijtihâd. Setidaknya hal tersebut
tampak dalam beberapa metode yang
diguna-kembangkan oleh cendekiawan
mus­lim seperti Fazlur Rahman dengan
mo­del ijtihād arus bolak-baliknya (double
movement),16 Yusuf al-Qarādawy dengan
metode ijtihād intisyā’ī dan intiqā’ī17 dan
Madmoud Mohammed Thaha dengan
teori nasakh-nya,18 Muhammad Syahrur
dengan teori hudūd19, dan terakhir kini
adalah Jasser Auda20.
15
Minhaji, “Reorientasi….h. 16.
Demikian pula halnya di Indonesia,
pemikiran tentang hukum Islam mulai
dikembangkan dengan dua pendekatan
tersebut. Setidaknya hal tersebut tampak
dari hasil pemikiran tokoh intelektual
muslim Indonesia seperti Abdurrahman
Wahid, Kang Jalal, Cak Nun, Cak Nur,
Azyumardi Azra, Amin Abdullah, Atho’
Mudzhar dan lain sebagainya. Bahkan
sebagian cendekiawan muslim ini kerapkali
diklaim sebagai ‘kelewatan’ karena terlalu
mengedepankan pen­dekatan yang ber­
sifat induktif (akal) dalam penyelesaian
ma­salah hukum. Seca­ra individual,
memang banyak tokoh/cen­dekiawan
muslim yang ‘kelewatan’ itu punya
afiliasi dengan Mu­hammadiyah, walau
pendapat yang di­kemukan di depan pub­
lik bukan suara Muhammadiyah. Dalam
hal ini (masalah hukum) Muhammadiyah
menampilkan diri melalui Lembaga Majlis
Tarjih; or­ganisasi otonom dalam tubuh
organisasi Muhammadiyah.
C. Lihat karyanya Fazlur Rahman, Membuka
Pintu Ijtihad, terj. (Bandung, Pustaka; 1994).
16
LihatYusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer,
terj. (Surabaya, Risalah Gusti; 1995).
17
Lihat Mahmoud Muhammed Taha, The
Second Message of Islam, terj. (Surabaya, eLPAD; 1994). Karya Mahmoud tersebut kemudian
disempurnakan oleh muridnya Abdullah Ahmad
an-Na’im dalam Dekonstruksi Syari’ah, terj.
(Yogyakarta, LkiS; 1994).
18
Muhammad Syahrūr, al-Kitāb wa alQur’ān: Qirā’ah Mu’āshirah, (Kairo, Sina li alNasyr; 1992). Pemikiran Syahrur ini banyak
mendapat kecaman dari berbagai pihak, karena
kapabilitas personal Syahrur yang tidak memiliki
latar belakang akademik keislaman. Lihat Munir
Muhammad Thāhir as-Sawwāf, Tahāfut Qirā’ah
al-Qirā’ah al-Mu’āshirah, (Limassol, As-Syawwāf li
an-Nasyr wa ad-Dirāsāt; 1993).
19
Jasser Auda, Maqāsid al-Shariah as
Philosophy of Islamic Law a System Approach,
(London, The International Institute of Islamic
Thought; 2008).
20
Iqtishaduna
Muhammadiyah: Mendobrak
Kebuntuan
Muhammadiyah, walau tidak pernah
mengklaim dirinya sebagai lembaga pem­
baharu di Indonesia, selalu diidentikkan
dengan lembaga pembaharu oleh bebe­
rapa pe­nulis. Muhammadiyah juga se­
ring­kali dikait­kan dengan nama besar
Wahaby, dan atau Muhammad Abduh
yang telah banyak menginspirasi banyak
masyarakat (negara) Islam pada masa ko­
lonialisme. Hal itu wajar, karena pendiri
Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, ter­
golong manusia dengan kategori man of
action. Refleksi keagamaan KH. Ahmad
Dahlan selalu dipraktekkan dan kemudian
menjadi ‘model’ bagi generasi selanjutnya.
Diakui atau tidak, Muhammadiyah adalah
lembaga sosial keagamaan pertama di
Indonesia yang mendobrak kebuntuan dan
kejumudan pemikiran Islam Indonesia.
Volume III Nomor 1 Juni 2012
| 5
Muhammadiyah, pada dasarnya
me­­le­­tak­­kan dasar berpikir yang liberatiftrans­formatif dalam pengembangan pemi­
kir­­an Islam di Indonesia. Sebagaimana
gerak­an Islam, Muhammadiyah diawali
de­ngan ‘pe­rombakan’ teologis sebagai
ba­sis praksis ibadah dan pengembangan
da­lam bidang mu’amalah. Basis teologis
yang dileakkan Muhammadiyah adalah
for­mula untuk mengkritisi tatanan kehi­
dupan yang mendorong terciptanya se­
ma­ngat pembaruan. Hal ini juga yang
membuat Muhammadiyah terbuka de­
ngan modernitas dan membuka diri
terhadap pe­rubahan dalam masyarakat.
Oleh para perintisnya, Muhammadiyah
di­kembangkan atas dasar rasionalitas,
perubahan, kete­­raturan, orientasi jangka
panjang, rajin, kerja keras, tepa waktu,
he­mat dan lain-lain. Kesemuanya itu
adalah wa­tak dan ciri dari sebuah lembaga
modern.21 Pada level individual, basis
teologis Muhammadiyah ini membentuk
perilaku warga yang terbuka terhadap
perubahan. Dan pada level organisasi,
basis teologis Muhammadiyah ini me­
lahirkan institusi sosial yang berperan
dalam proses ‘pencerahan’ masyarakat
Indonesia. Kehadiran Muhammadiyah di
Indonesia pada priode awal, pa­ling tidak
mengurangi kesan muslim (orang Islam
In­donesia) yang terbelakang, kumuh,
uncivilized, dan bodoh. Contoh konkrit
dari pengaruh teologi Muhammadiyah
dalam pembentukan institusi sosial
adalah dengan hadirnya lembaga
Penolong
Kesengsaraan
Oemoem
(PKO) yang dihasilkan dari refleksi kritis
terhadap QS. Al-Mā’ūn.22 Lembaga yang
bergerak dalam bidang sosial ke­sejah­
Achmad Jaenuri, Ideologi Kaum Reformis
Melacak Pandangan Keagamaan Muhammadiyah
Periode Awal, (Surabaya: LPAM, 2002).
21
Untuk sekarang ini lembaga ini sudah
berkembang menjadi amal usaha Muhammadiyah
dalam bentuk Rumah sakit, lembaga wakaf, dan
22
6 |
Iqtishaduna
teraan ini adalah suatu hal yang baru
pa­da saat itu. Langkah ini merupakan ge­
rak transformasi Muhammadiyah da­lam
meng­aktullisasikan Islam dalam kehidup­
an/realitas masyarakat.
Di saat pendidikan Indonesia pada
masa kolonial Belanda masih sangat
kental dengan dikotomi sekolah dan pe­
santren, Muhammadiyah menawarkan
pengga­bung­an konsep keduanya. Biasanya, se­ko­lah diisi oleh kelompok elit priyayi
dan anak keturunan Belanda, sementara
pe­santren identik dengan sekolah kumuh
dan untuk rakyat jelata. Sekolah rintisan
Muhammadiyah ini sekarang menjadi
pola/model pengemba­ngan madrasah
(sekolah Islam) di seluruh Indonesia. Sekolah yang me­ngusung kemampuan intelektual dan kematangan spiritual, menghasilkan output sarjana muslim yang dapat
hidup di era modern tanpa harus terpecah
kepribadiannya.23
Hadirnya Muhammadiyah pada
awal-awal kerap kali dikaitkan dengan
moder­nitas. Sikap keagamaan yang
kolot, ter­tutup, tidak rasional terban­
tah­kan dengan hadirnya warga Mu­
hamma­diyah yang ter­­buka, rasional,
tasāmuh, dan pluralis. La­­bel sosial
muslim Indonesia sebagai so­sok yang
malas, miskin, dan bodoh ter­bantah­
kan dengan hadirnya lembaga pen­­
didikan Muhammadiyah, lembaga sosial
Muhammadiyah, lembaga amal usaha
Muhammadiyah dan seterusnya de­ngan
spirit kerja keras, profesional, dan ber­
pendidikan. Pembaharuan yang di­lakukan
Muhammadiyah pada awal dengan
prinsip yang dikedepankannya mendapat
sorotan tajam dari kelompok mayoritas
saat itu. Ibarat JIL saat ini, yang terlalu
LAZIS Muhammadiyah, mengikuti perkembangan
yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa
(Bandng, Mizan; 1998).
Jurnal Ekonomi Islam
23
Masjid,
vulgar ‘menelanjangi’ konsep baku yang
dipahami dan dianut oleh masyarakat.
Muhammadiyah awal bisa diibaratkan
seperti itu.
Pembaharuan yang dilakukan Mu­
ham­madiyah diawali dari reformasi kon­
sep teologis (tauhid/aqidah) yang ke­mu­
dian bergerak pada ranah mu’āmalah
dunyawiyah. Dengan demikian, lingkup
pem­baharuan Muhammadiyah adalah
upa­­ya purifikasi dan dinamisasi Islam
da­lam realitas masyarakat modern. Da­
lam bidang aqidah, KH. Mas Mansur me­
nyatakan bahwa kemunduran umat Islam
karena lemahnya iman, kebodohan, dan
kecenderungan mementingkan diri sen­
diri.24 Dari ungkapan di atas, KH. Mas
Mansur hendak mensinkronkan tauhid
dan realitas kehidupan masyarakat. Hanya
saja, pemurnian tauhid yang diawali oleh
Muhammadiyah ini ‘diplesetkan’ dan
di­man­­faatkan secara negatif oleh ke­
lompok fundamentalisme, yang juga
sebagiannya lahir dari sekolah/lembaga
pendidikan Muhammadiyah.25 Hakekat
yang diinginkan lembaga Muhammadiyah
dalam lapangan kehidupan adalah bahwa
al-Quran dan as-Sunnah harus dijadikan
sebagai inspirasi untuk melakukan kreati­
vitas, inovasi dan daya dobrak bagi
kemajuan umat. Tidak sebaliknya, agama
dijadikan sebagai ‘pelin­dung’ kemiskinan,
kebodohan, dan keter­belakangan umat.
Di sinilah perlunya re­interpretasi yang
terus-menerus agar pe­­mahaman agama
Abdul Munir Mulkhan, Neo-Sufisme
dan Pudar­nya Fundamentalisme di Pedesaan
(Yogyakarta: UII Press, 2000).
24
Pernah berkembang paham bahwa
menya­nyikan lagu ‘Padamu Negeri’, memasang
gambar presiden/ pahlawan nasional di dinding
sekolah/kantor, hormat bendera dan seterusnya
haram. Ini adalah negative spread dari upaya
pembaharuan Muham­madiyah. Mughni, Syafiq
A. Nilai-Nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya
Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
bermakna bagi ke­manusiaan dan perilaku
keagamaan mam­pu memberikan warna
bagi bangunan per­adaban.26
Terlepas dari itu semua, bahwa Mu­
ham­madiyah adalah lembaga/organisasi
so­sial kemasyarakatan yang secara signi­
fikan telah memberikan sumbangan
in­telektual, moral, dan material bagi
ke­berlangsungan Indonesia, dari pra ke­
merdekaan hingga hingga sekarang ini.
Basis perjuangan Mu­hammadiyah adalah
al-Quran dan as-Sunnah, yang seringkali
juga identik dengan gerakan pemurnian
Islam nusantara.
D.
Lajnah Tarjih: Ijmā’ Ulamā’
Muhammadiyah?
Proses ijtihād dalam lembaga
Muham­madiyah dilakukan melalui pro­
ses jama’ah (kolektif/kelompok ahli)
dalam lembaga otonom; Lajnah Tarjih
atau Majlis Tarjih. Pada awal­nya, lem­
baga ini bertugas untuk mem­bahas
dan memutuskan masalah agama yang
diper­selisihkan dengan mengambil da­
lil yang kuat. Namun seiring dengan
per­­­kem­bangan zaman, lembaga ini ti­
dak hanya membahas tentang masalah
khilāfiyyah, namun juga menjawab realitas
perkembangan sosial, ilmu pengetahuan,
politik, ekonomi dan lain-lain. Keputusan
atau proses isthinbāth al-ahkām, Lajnah
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ini di­
la­­ku­kan pada muktamar lajnah tarjih
Muham­madiyah. Secara lebih rinci, tugas
Lajnah Tarjih adalah sebagai berikut:27
25
Iqtishaduna
Muthoharun Jinan “Tinjauan Pemikiran
Ke­agamaan Muhammadiyah” dalam http://
muham­m adiyahstudies.blogspot.com/search/
label/Tajdid%20and%20Tarjih
26
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Qaidah
Laj­nah Tarjih Muhammadiyah, (Jogjakarta, PP.
Muham­madiyah; 1971), 2
27
Volume III Nomor 1 Juni 2012
| 7
1. Menyelidiki dan memahami ilmu
a­ga­­ma Islam untuk memperoleh ke­
murniannya.
2. Menyusun
tuntunan
aqidah,
akhlaq, ibadah, dan mu’āmalah
dunyawiyah.
3. Memberi fatwa dan nasehat baik
atas permintaan, maupun tarjih sen­
diri memandang perlu.
4. Menyalurkan perbedaan pendapat/
faham dalam bidang keagamaan ke
arah yang lebih maslahat.
5. Mempertinggi mutu ulama’.
6. Hal-hal
lain
dalam
bidang
keagamaan yang diserahkan oleh
pimpinan per­sya­rikatan.
Dari uraian tugas di atas, dapat di­
ambil kesimpulan bahwa lembaga tarjih
adalah identik dengan lembaga fatwa
bagi perserikatan Muhammadiyah dan
war­ganya dengan menjunjung tinggi per­­
bedaan paham yang ada dalam masya­
rakat. Selain itu, lembaga ini bertugas
untuk men­cetak kader yang militan dalam
hal agama dan keagamaan.
Metode yang digunakan oleh majlis
tarjih Muhammadiyah dalam berijtihad
adalah metode jamā’ī.28 Metode ini di­
Dalam terma ilmu ushūl al-fiqh dikenal
dengan ijmā’; yaitu kesepakatan bulat mujtahid
muslim pada suatu periode setelah wafatnya
rasulullah Muhammad (ittifāq ulamā’ al-mujtahidīn
fī ashrin ba’da wafāti rasūlillah). Muhammad
Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum
Islam, terj. (Jogjakarta, Pustaka Pelajar; 1996), 219.
Secara teoritis, konsep ijmā’ ini hanya mengakui
kesepakatan ulama mujtahid saja. Sementara
di daerah yang tidak ada mujtahidnya, mustahil
dilakukan ijma’. Kalau toh dilakukan, ijma’nya
batal. Oleh karena itu, menurut hemat penulis,
ijma' adalah upaya kritis suatu masyarakat pada
waktu tertentu untuk menjawab kebutuhan
hukum di antara mereka. Pendapat ini didasarkan
pada statemen Imam Ahmad yang mengatakan
bahwa bahwa ijma' itu tidak mungkin dilakukan.
pilih dengan menduplikasi praktek
pa­­ra sahabat dalam berijtihad (ijmā’ asshahāby). Ijtihad jama’iy adalah ijtihad
yang dilakukan secara kolektif, yaitu
seke­lompok ahli dalam hukum Islam yang
ber­usaha untuk mendapatkan hukum
sesuatu atau beberapa masalah hukum
Islam.29 Dalam prakteknya, ijtihād jamā’iy
dalam lajnah tarjih Muhammadiyah tidak
hanya dilakukan oleh internal ulama’
Muhammadiyah, namun juga dengan
me­ng­undang para ahli dan ulama’ yang
ada di luar Muhammadiyah (NU, PERSIS,
Syi’ah, dll.) dalam melakukan ijtihad.30
Dalam mencari jawaban terhadap
masalah yang diajukan oleh masyarakat
tim Lajnah Tarjih Muhammadiyah selalu
mengawali dengan menelusuri al-Quran
dan as-Sunnah. Dalam penggunaan
as-Sunnah, Lajnah Tarjih pun hanya
membatasi diri pada penggunaan asSunnah as-shahhāh.31 Pada hal/masalah
yang sama se­kali belum ada ketentuannya
dalam nāsh, Lajnah Tarjih mengundang
pada ahli yang mempunyai kompetensi
dalam bidang yang sedang dipersoalkan.
Mereka ini dijadikan sebagai referensi
dalam me­nentukan kesimpulan hukum
Lajnah Tarjih sebagai basis pertimbangan
dalam me­nen­tukan berdasarkan akal
(maslahah, ‘urf, qiyas dan lain-lain).32
28
8 |
Iqtishaduna
Dan jika ada yang mengatakan telah terjadi ijma'
maka dia telah berbohong (wa man yadda’iy fīhi
ar rajul al-ijmā’ huwa al-kadzb man idda’ā al-ijmā’
fahuwa kadzābun). Abd al Wahhāb Khallāf, ‘Ilm
Ushūl al-Fiqh, (Mesir, Dār al-Qalam; 1978), 49.
Tim Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, Fatwa-fatwa Tarjih:
Tanya Jawab Agama 2, (Jogjakarta, Suara
Muhammadiyah; 2003), 217.
29
Ibid, 217.
30
31
Ibid., Tanya Jawab Agama 3, 228.
Ibid., 25, 217. Lihat juga Tim Majlis Tarjih
dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Fatwa-fatwa
Tarjih: Tanya Jawab Agama 3 (Jogjakarta, Suara
Muhammadiyah; 2003), 225.
Jurnal Ekonomi Islam
32
Penggunaan usūl al-fiqh dan qawā’id
al-fiqhiyyah ini dimaksudkan untuk
memberikan jawaban hukum atas soal/
masalah yang diajukan dengan runtut
logika berpikir yang benar.33 Djamil,
setelah mengurai dengan rinci dalam
tulisannya, menyimpulkan bahwa metode
yang digunakan oleh Lajnah Tarjih
Muhammadiyah dalam berijtihad adalah
sebagai berikut34 :
1. Ijtihad al-Bayānī: menjelaskan hu­
kum yang kasusnya telah terdapat
dalam al-Quran dan as-sunnah.
2. Ijtihad al-Qiyāsī: menyelesaikan ka­
sus hukum baru dengan melakukan
analogi hukum dengan kasus hukum
yang telah disebutkan/diatur dalam
al-Quran dan al-hadist.
3. Ijtihad al-Istishlāhī: menyelesaikan
kasus hukum baru yang sama sekali
tidak disebutkan dalam al-Quran
dan as-Sunnah dengan melakukan
pe­­nalaran yang didasarkan pada
nilai kemaslahatan.
Dari uraian di atas ditangkap bahwa
metode yang diguna-kembangkan oleh
lajnah tarjih Muhammadiyah dalam pe­
nyimpulan hukum bersifat doktriner-nor­
matif dan empiris-historis. Penggunaan
me­tode di atas, disesuaikan dengan ma­
salah yang diajukan kepada tim majlis
tarjih.
Masalah yang direspon dan dijawab
oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah berasal
dari surat pembaca di rubrik tanya jawab
agama Majalah Suara Muhammadiyah.
Permasalahan yang diangkat pun terkait
dengan realitas kehidupan masyarakat,
terkait dengan masalah aqidah, ibadah,
dan sosial-ekonomi. Tingkat kemampuan
33
Ibid, 218-9
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad
Majlih Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta, Logos;
1995), 78.
34
Iqtishaduna
intelektual dan keterbatasan pengetahuan
agama masyarakat, yang hanya sebatas
ritual mahdhah berpengaruh pada tingkat
kemajemukan pertanyaan/masalah yang
diajukan masyarakat kepada Lajnah Tarjih
Muhammadiyah. Bisa dikata, hampir 80%
hasil putusan tarjih itu terkait dengan
masalah aqidah, akhlaq, dan ibadah.
Masalah sosial ekonomi mendapat
‘porsi’ bahasan yang sangat minimal.
Se­mentara, dalam realitas masyarakat
modern yang selalu berubah dengan
cepat dituntut respon hukum (Islam)
yang juga cepat. Apa yang dilakukan
oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah adalah
baru hanya sebatas memperkuat icon
Muhammadiyah sebagai kelompok yang
anti TBC (taqlid, bid’ah, dan churafat);
gerakan pemurnian aqidah. Masalah eko­
nomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain
belum tersentuh secara maksimal. Jika
kembali kepada pendapat intelektual/
ulama’ kontemporer saat ini, seharusnya
agama dikaitkan dengan realitas hidup
masyarakat agar spirit keagamaan/ber­
agama itu terlihat dalam semua aspek
kehidupan.35 Masalah tauhid yang menjadi
esensi perjuangan Muhammadiyah seha­
rus­nya tidak terpisah dengan realitas
kehidupan masyarakat sehari-hari.Tauhid,
seharusnya menyatu dengan aktivitas
masyarakat, menghiasinya, dan menjadi
spirit kehidupan.
Rahman mengistilahkannya dengan
living tradition. Fazlur Rahman, Membuka
Pintu Ijtihad..., 28. Analisis hukum berbasis
realitas (induktif) ini mencoba menterjamahkan
makna di balik teks yang disesuaikan dengan
perkembangan. Analisis teks dengan mengabaikan
realitas hanya akan membakukan formalismelogosentris dan ‘kemandulan’ hukum dalam
menjawab dan mengantisipasi perkembangan
masyarakat. MohammedArkoun, The Unthougth
in Contemporary Islamic Thought, (London, Saqi
Books; 2002).
35
Volume III Nomor 1 Juni 2012
| 9
E.
Ijtihad Ekonomi Muhammadiyah
dalam Fatwa Tarjih
Buku Tanya Jawab Agama terdiri
dari lima jilid dan telah mengalami
cetak ulang sebanyak enam kali.36 Kar­
ya ini ditulis oleh tim majlis tarjih
Muhammadiyah yang berbasis pada per­
soalan/pertanyaan masyarakat di majalah
Suara Muhammadiyah. Banyak yang me­
ngatakan bahwa putusan majlis tarjih
Muhammadiyah ini sebagai mazhab
kelima di Indonesia setelah mazhab
empat yang masyhur (Syāfi’iyyah.
Mālikiyyah, Hanābilah, dan Hanāfiyyah).37
Sistematika penulisan dalam himpunan
putusan tarjih Muhammadiyah disusun
secara tematik yang mencakup aspek
fiqh, ushul fiqh, ibadah, aqidah, tasawuf,
kehidupan sosial, dan ekonomi. Karena
Cetakan Pertama diterbitkan pada tahun
1995. Ide pencetakan ini sebenarnya adalah untuk
memudahkan masyarakat dalam melihat putusan
hukum Muhammadiyah yang dilakukan sejak
awal berdirinya Muhammadiyah sampai cetakan
terakhir. Buku I, II, III, IV, dan V adalah buku yang
dicetak secara priodik (serial). Artinya bahwa tidak
menutup kemungkinan akan hadir buku VI, VII,
VIII, dan seterusnya. Menurut Abdurahman, buku
tarjih selanjutnya merupakan jawaban Lajnah
tarjih dan tajdid Muhammadiyah dalam menjawab
perkembangan zaman yang memerlukan
pemikiran dan pengembangan. Tim Majlis Tarjih
dan Tajdid PP. Muhammadiyah, Tanya Jawab 3,
dalam Kata Sambutan, v.
36
Tim Majlis Tarjih dan Tajdid PP.
Muhammadiyah, Tanya Jawab 3, 226-30. Anggapan
di atas dibantah oleh tim tarjih Muhammadiyah
dengan mengatakan bahwa Muhammadiyah
memang tidak menganut mazhab tertentu, namun
berpegang pada al-Quran dan as-Sunnah. Ibid, 226.
Tentang anggapan bahwa tarjih adalah mazhab
kelima, tim Majlis Tarjih tidak membenarkan itu.
Himpunan putusan tarjih hanya dijadikan sebagai
bahan rujukan untuk ditelaah atau sebagai
tuntunan dalam pengamalan agama yang sesuai
dengan dalilnya. Dengan demikian masyarakat
tidak terjebak pada perilaku taqlīd. Prinsip yang
dikembangkan dalam himpunan putusan tarjih
adalah terbuka dan toleransi. Ibid. 228.
sifat penulisannya yang berbasis pada
pertanyaan masyarakat, banyak masalah
yang sama diulang-ulang ulasannya di
berbagai tempat. Masalah yang telah
diulas dalam buku satu dibahas lagi
pada buku dua, atau buku tiga. Proses
pemilihan, pemilihan dan penyuntingan
tulisan dan tema dalam penyusunan buku
ini tidak dilakukan secara ketat dan teliti.
Apa yang telah dilakukan oleh Majlis Tarjih
dan Tajdid Muhammadiyah ditulis ulang
kembali dengan tanpa melakukan proses
editing yang serius, baik dari bahasa
konteks sosial, dan metodologi. Hal ini
dapat dimaklumi karena hal yang menjadi
putusan majlis tarjih dinukil kembali sesuai
dengan versi aslinya.
Sebagaimana ditulis sebelumnya,
harus diakui bahwa ijtihad ekonomi
Muham­madiyah masih sangat terbatas
dan sangat minim. Hal ini disebabkan oleh
hal sebagai berikut;
1. Masalah yang ditanyakan berasal
dari bawah melalui surat pembaca
di rubrik tanya jawab agama dalam
Majalah Suara Muhammadiyah.
2. Karena rubrik itu berjudul tanya ja­
wab agama, masyarakat lebih ba­
nyak menanyakan masalah yang
terkait dengan akidah dan ibadah
mahdhah.
3. Muktamar lajnah tarjih yang dilak­
sanakan 3 tahun sekali, dan penulis
anggap sangat lambat untuk meres­
pon perubahan yang sangat cepat
dalam masyarakat modern.
37
10 |
Iqtishaduna
Hal ini menunjukkan bahwa ma­
salah yang diajukan kepada Lajnah Tar­
jih Muham­madiyah bersifat induktif,
wa­lau tidak semua masalah dijawab
de­ngan metode induktif, terkhusus
dalam hal aqidah-ibadah pedekatannya
pasti normatif-doktriner-deduktif, dan
bahkan terkesan menganggap praktek
Jurnal Ekonomi Islam
yang selain itu salah. Hal lain yang
dapat ditangkap adalah bahwa ada
kesan bahwa pemahaman keagamaan
masyarakat masih memisahkan realitas
kehidupan dunia dan akhirat. Hakikatnya,
dalam Islam tidak ada pemisahan yang
tegas antara dua kehidupan ini. Islam
menginginkan kemaslahatan hidup di
dunia dan di akhirat secara bersamaan
(li tahqīq al-mashlahah fī dunyāhum wa
ukhrāhum ma’an). Semes­tinya, lajnah
tarjih Muhammadiyah me­ngkaitkan
nilai tauhid yang menjadi doktrin utama
Muhammadiyah dengan nilai, realitas,
dan aktivitas kehidupan bermasyarakat
warga Muhammadiyah khususnya, dan
masyarakat secara luas.
Dalam hal ekonomi putusan tarjih
Muhammadiyah tertulis dalam buku Fatwa
Tarjih Jilid 2 dan 3. Masalah yang diangkat
pun ada berupa pertanyaan yang sudah
qath’i jawabannya dan ada beberapa
ma­salah baru yang hingga hari ini pun
masih menjadi perdebatan banyak orang.
Beberapa pembahasan dalam bidang eko­
nomi dan perdagangan yang ada dalam
buku Fatwa Tarjih Muhammadiyah adalah
sebagai berikut: syarat jual-beli, jual-beli
kulit ular dan harimau, uang jasa, koperasi,
riba/bunga bank, undian, hutang piutang,
hukum menjual bangkai, asuransi, cara
membayar hutang pada orang yang su­
dah pindah alamatnya, menggunakan
sebagian harta anak yatim, dan suap.
untuk lebih fokus pada analisis ijtihad
ekonomi Muhammadiyah, selanjutnya
akan dipaparkan hal yang terkait masalah
baru yang masih menjadi perdebatan di
tengah masyarakat. Masalah tersebut
terkait dengan bunga bank, koperasi, dan
asuransi.
Pada umumnya, dalam hal yang
ber­sifat baru (tidak ada ketentuan nash),
Lajnah Tarjih Muhammadiyah mengguna­
kan kaidah al-ashl fī al-muā’malah al-
Iqtishaduna
ibāhah hatta yadullu ad-dalīl ‘alā tahrīmihi.
Bunga bank, koperasi dan asuransi ada­
lah sesuatu yang masuk dalam kontek
mu’amalah baru yang secara khusus
tidak ada ketentuannya dalam nash. Oleh
karenanya, Lajnah Tarjih sangat hatihati dan memperhatikan aspek realitas
tekstual dan kontekstual.
Bunga bank/interest adalah hal baru
yang muncul setelah adanya lembaga
keuangan (bank). Sebelumnya, ada istilah
riba/usury yang oleh semua agama diha­
ramkan prakteknya.38 Oleh sebagian ula­
ma’ bunga bank disamakan dengan prak­
tek riba.39 dalam pemahaman Lajnah
Tar­­jih Muhammadiyah adalah sesuatu
yang dibolehkan dengan logika bahwa
bu­­nga adalah jasa yang harus dibayarkan
oleh peminjam atas aktivitas kerja/pro­
fesionalisme yang dilakukan oleh lembaga
perbankan. Oleh karena itu, Lajnah Tarjih
membedakan pinjaman yang dilakukan
antar pribadi dan perbankan. Kalau pin­
jaman dari dana pribadi, tambahan apapun
dari biaya pinjaman adalah riba.Sementara
jika dari lembaga perbankan, maka itu
adalah upah jasa yang harus dibayar atas
profesionalisme yang dilakukan oleh lem­
baga perbankan. Selain itu, jasa yang
diambil oleh lembaga perbankan adalah
untuk kesejahteraan masyarakat. Oleh
ka­renanya Lajnah Tarjih mengarahkan
agar masyarakat untuk berhubungan eko­
nomi dengan lembaga keuangan (bank)
Metode penyimpulan hukum demikian
ini, dalam terminologi lazim dikenal dengan
qiyās, yaitu menyamakan jawaban hukum yang
lama dengan peristiwa hukum yang baru muncul
kemudian karena adanya kesamaan ‘illat. Lihat
Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta, Gaya
Media Pratama; 2001), 61.
38
Hal ini pula yang menyebabkan munculnya
Bank Syari’ah. Lihat Muhammad Abdul Mannan,
Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. (Yogyakarta,
Dana Bhakti Wakaf; 1993).
39
Volume III Nomor 1 Juni 2012
| 11
milik negara,40 tidak pada usaha milik
swasta. Bank negara berorientasi pada
pembangunan nasional, sementara bank
swasta lebih banyak masuk ke kantong
pribadi pemilik perusahaan. Yang paling
pokok adalah bahwa dalam proses tran­
saksi hutang-piutang ini tidak ada pihak
yang merasa keberatan dan tidak ada
unsur paksaan.41 Bersedianya seseorang
untuk menandatangan dalam pinjaman
uang di Bank adalah bukti keikhlasan (‘an
tarādlin) dan kesadaran akan dampak
yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian
yang dilakukannya.
Dalam hal bunga ini pemetaan Lajnah
Tarjih sangat tegas antara individual dan
lembaga. Lembaga dibayar lebih karena
‘kerja profesional’ yang ditawarkan. Itulah
yang menjadi sebab adanya ‘tambahan’
dalam pembiayaan hutang piutang. Se­
dang­kan ‘tambahan’ hutang oleh individu
dianggap sebagai penghisapan darah
an­tar saudara. Dalam kaitannya dengan
lem­baga perbankan, lajnah tarjih juga
mengutamakan lembaga bank yang
dike­lola oleh pemerintah karena melihat
manfaat yang mungkin dirasakan oleh
masyarakat. Dalam konteks ini, Lajnah
Tarjih menghidupkan lembaga bank peme­
rintah.42 Terlepas dari itu, logika berpikir
Ibid,, 206.
40
Di sinilah letak aplikasi pemahaman
ayat riba yang mengatakan lā tazhlimūn wa lā
tuzhlamūn. Inti dari ayat ini bukan pada ‘tambahan/
ziyādah’ dari kuantitas uang yang dipinjam, tapi
lebih melihat kualitas nilai uang. Dalam hal ini
lajnah tarjih mengedapankan teori inflasi sebagai
basis rasionalisasi pendapat mereka. Fatwa Tarjih
2., hal. 205. Qaidah ushul yang diusung dalam hal
ini adalah al-hujjat tanzilu manzilat ad-dlarūrah.
Fatwa Tarjih 3, 207.
41
Dalam fatwa yang seperti ini
dikhawatirkan ada unsur ‘pesanan’ yang disisipkan
oleh lembaga bank pemerintah kepada Lajnah
Tarjih, mengingat kuatnya persaingan usaha jasa
keuangan sekarang ini. Karena kasus seperti ini
pernah terjadi dalam fatwa rokok haram. Lihat
42
12 |
Iqtishaduna
Muhammadiyah, yang memang sejak
awal kehadirannya selalu ‘merangkul’ pe­
me­rintah selalu berorientasi untuk mem­
berikan kebaikan yang menyeluruh bagi
masyarakat.43 Nampaknya, dari sisi ini
Lajnah Tarjih mengedepankan kepen­
tingan orang banyak (al-maslahah alUmmah). Jadi jelas, bahwa bunga bank,
dengan kerangka berpikir kepentingan
orang banyak, nilai inflasi mata uang,
dan profesionalisme, da­lam pandangan
Suryopratomo, ‘Fatwa Rokok Muhammadiyah’,
dalam http:// muhammadiyahstudies. blogspot.
com/search/label/Tajdid% 20and %20 Tarjih
Ketika masyarakat Indonesia membenci
Belanda dengan berbagai perangkatnya,
termasuk pendidikan KH. Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah, malah menduplikasi
sistem pendidikan Belanda dalam lembaga
pendidikan Muhammadiyah. Karena itulah
Muhammadiyah selalu identik dengan gerakan
kultural; menyentuh kebutuhan riil masyarakat
sebagai agenda perubahan umat. Lihat Jamhari,
‘Muhammadiyah’s 2000 Conngress: Preparing
for the New Millenium’, dalam Studia Islamika,
Volume 7, Nomor 3, 2000, 193-4. Karena gerakan
kultural inilah, oleh Belanda Muhammadiyah
dianggap sebagai ‘kawan’ dan tidak berbahaya
bagi kepentingan kolonialisme. Faktor inilah yang
juga ikut mempercepat proses perkembangan
Muhammadiyah ke seluruh Nusantara. Lihat A.
Syafi’i Maarif, Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan,
(Jakarta, LP3ES; 1996), 66. Namun pada akhir
tahun 1997, romantisme Muhammadiyah
dengan pemerintah mulai ‘tercoreng’ setelah
tampilnya Amin Rais, pimpinan Muhammadiyah
saat itu, sebagai pendobrak gerakan reformasi
mahasiswa. Terlebih lagi, ketika Amin Rais hadir
dengan PAN yang kerap kali dikaitkan dengan
Muhammadiyah. Lihat Haedar Nasir, Dinamika
Politik Muhammadiyah, (Yogyakarka, Biograf;
2000). Oleh sebagian orang, PAN dianggap sebagai
ijtihad politik Muhammadiyah. Walau demikian
dalam internal Muhammadiyah tidak mengakui
bahwa PAN adalah bagian dari Muhammadiyah.
Lihat M. Saleh Ending, ‘Posisi Muhammadiyah
dalam Politik Di Era Reformasi’, dalam Jurnal
Penelitian Keislaman, Volume 1, No. 1 Desember
2004, 147-160.
Jurnal Ekonomi Islam
43
Muhammadiyah ada­lah sesuatu yang
mubāh. Ibarat orang mengajar mengaji
(agama), seharusnya tidak diberi upah
apapun karena tugasnya.Tapi sekarang ini,
profesionalisme yang dijadikan sebagai
barometer, upah menjadi wajib karena
menukur profesionalisme seseorang/lem­
baga.44
Dalam bidang koperasi Lajnah Tarjih
beranggapan bahwa koperasi adalah hal
baru yang secara teoritis-konseptualpraktis belum dilakukan oleh Nabi dan
para sahabat. Lajnah Tarjih mengutip
QS. Al-Mā’idah: 2 dan beberapa hadist
nabi sebagai landasan hukum.45 Dengan
berangkat dari pengetahuan dan sistem
tentang koperasi dan perkoperasian di
Indonesia sebagaimana yang tertuang
dalam UU. No. 25 tahun 1992, lajnah Tarjih
Muhammadiyah menyimpulkan bahwa
koperasi mengandung unsur kerjasama,
tolong-menolong, dan meningkatkan
kese­jah­teraan umum.46 Oleh sebab itu,
Sederhana saja. Jika jamaah pengajian
da’i lokal berlaku tarif lokal. Jika da’i nasional
tarifnya pun mengikuti. Jika pelatihan keagamaan
dilakukan lembaga lokal akan berbeda juga
tarifnya jika pelatihan itu dikelola oleh ESQ center
dan seterusnya. Bayaran itu sebenarnya bukan
karena pelatihan, tapi profesionalisme lembaga
yang memberikan pelatihan.
44
Hadist dariAbu Harairah yang diriwayatkan
oleh Abu Daud tentang orang memberikan
kelonggaran (beban hidup) antar sesama, akan
dilapangkan Allah nanti di hari kiamat. Hadist
riwayat muslim yang menyatakan bahwa muslim
itu bersaudara. Hadist riwayat al-Hākim dan alBazzār yang menyatakan bahwa yang haram
adalah sesuatu yang telah diharamkan Allah
dalam kitab-Nya, dan yang halal pun demikian.
Sedangkan sesuatu yang didiamkan adalah
dibolehkan. Hal ini senada dengan pemikiran asSyāthibī yang lebih fokus pada analisis sukūt assyārī’ sebagai basis dalam memahami maqāshid
as-syarī’ah. Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid
Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta, Raja Grafindo;
1996), 99-103.
45
46
Tim Majlis Tarjih, Fatwa Tarjih...., 203
Iqtishaduna
segala hal yang terkait dengan koperasi,
yang didasarkan pada kesepakatan
bersama adalah sesuatu yang dibolehkan
selama tujuan dan sarana untuk mencapai
tujuan itu tidak bertentangan dengan
nāsh, untuk kepentingan bersama, dan
meningkatkan harkat martabatah hidup
orang banyak. Hal ini terkait dengan
permasalahan yang ditanyakan apakah
tambahan biaya peminjaman dana/uang/
modal dari ko­perasi yang melebihi dari
yang dipinjam itu riba atau tidak.
Sesuatu yang telah disepakati dalam
kelompok dan menjadi kebutuhan bersama
adalah bukan suatu yang diharamkan.
Dalam konteks koperasi, kelebihan dana
yang dikembalikan dari pokok pinjaman
adalah untuk kepentingan anggota
yang didasarkan pada kesepakatan
setiap rapat anggota tahunan. Selama
itu didasarkan pada kesepakatan dan
keikhlasan maka tambahan terhadap
pokok pinjaman dalam lembaga koperasi
adalah dibolehkan.47 Arahan/fatwa yang
diberikan Lajnah Tarjih Muhammadiyah
untuk pengembangan koperasi adalah
sebagai berikut :
1. Koperasi simpan pinjam dikembang­
kan berdasarkan prinsip tolongmenolong (ta’āwun) yang bersumber
dari ajaran Islam.
2. Koperasi sebaiknya tidak memberi­
kan pinjaman uang/dana di luar
anggota­nya, dan atau atas nama
anggota.
3. Bagi anggota koperasi yang me­
minjam uang karena terkena mu­
sibah sebaiknya tidak dikenakan
biaya tam­bahan, dan sedapat
mung­kin diberi­kan subsidi bantuan
karena musibah yang diterimanya.
Ibid., 205.
47
Volume III Nomor 1 Juni 2012
| 13
4. Pinjaman yang dilakukan oleh ang­
gota untuk tujuan produktif, se­
baiknya dilakukan dengan prinsip
mudhārabah (bagi hasil).48
Dari paparan di atas, jelas bahwa
Muham­madiyah melalui proses ijtihad
Lajnah Tarjih-nya menyimpulkan bahwa
hal-hal baru yang belum ditentukan oleh
nash perlu ditetapkan hukumnya sesuai
dengan realitas kekinian dan berbasis
pada kepentingan orang banyak tanpa
mengesampingkan maqāshid as-syarī’ah
dalam penetapan hukum. Dengan kerang­
ka berpikir tatanāhā an-nushūsh wa lā
tatanāhā al-waqā’i, kreativitas ijtihad
Lajnah Tarjih harus dikembangkan. Ti­
dak hanya menunggu pertanyaan dari
masya­rakat melalui majalah Suara Mu­
hammadiyah, tapi juga merespon per­
kembangan sosial-ekonomi masyarakat
yang berkembang teramat sangat cepat.
F.
Simpulan
Ijtihad adalah spirit (ruh) bagi eksis­
tensi dan pengakuan ‘orang lain’ ter­
hadap Islam. Inovasi dan kreativitas
dalam pemaknaan kembali hukum/ajaran
Islam dalam realitas masyarakat perlu
dipertajam dengan mengalisis unit-unit
terkecil dari masalah baru yang dihadapi
masyarakat. Muhammadiyah tidak harus
lagi membicarakan tentang tauhid, atau
sekedar TBC, tapi yang lebih penting lagi
adalah menginternalisasi nilai tauhid yang
menjadi inti perjuangan Muhammadiyah
dalam sistem yang hidup (a living tradition)
dalam masyarakat. Dengan demikian,
Muham­madiyah secara kontinyu mencipta
tradisi baru dalam keberagamaan masya­
rakat baik dalam bidang pendidikan,
kesehatan, sosial, ekonomi, politik, dan
budaya.
Ibid., 205.
48
14 |
Iqtishaduna
Masalah penting yang dihadapi
Mu­hammadiyah sekarang ini adalah
kurang­­nya ulama’ yang mampu mem­
berikan ‘kesejukan’ berbasis al-Quran
dan as-Sunnah. Muham­madiyah terlalu
asyik menggeluti aspek modern dari
pengembangan lem­baga, dan melupakan
aspek tradisi yang menjadi basis re­
ligius sebagai benteng pertahanan war­
ga Muhammadiyah. Beban tugas Mu­
hammadiyah untuk mencetak ulama’
saat ini semakin sulit karena turunnya
minat masyarakat untuk menyekolahkan
anak-anak di sekolah agama (madrasah/
pesantren).
DAFTAR PUSTAKA
Abū Hāmid al-Ghazālī. al-Mustshfā min
‘Ilm al-Ushūl. Bagdād: al-Mutsannā,
tt..
Abū Ishāq asy-Syāthībī. al-Muwāfaqāt
min Ushûl asy-Syarî’ah, jilid II. Mesir:
Musthafa Muhammad, tth.
Muhammad Khalid Mas’ud. Filsafat Hukum
Islam. Bandung: Pustaka, 1996.
Asafri Jaya Bakri. Konsep Maqashid
Syari’ah Menurut as-Syatibi. Jakarta:
Raja Grafindo, 1996.
Zuly Qodir. Islam Liberal Varian Liberalisme
Islam di Indonesia 1991-2002.
Jogjakarta: LkiS, 2010.
Mutawalli. JIL Menggugat Digugat.
Mataram: LKIM IAIN Mataram,
2009.
Abdul Wahhab Afif. Fiqih (Hukum Islam)
Antara Teori dan Praktek. Bandung:
IAIN Sunan Gunung Djati, 1991.
Mu’allim Amir dan Yusdani. Konfigurasi
Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta:
UII Press, 1999.
Abd al-Wahhāb Khallāf. ‘Ilm Ushūl al-Fiqh.
Kairo: Dār al-Qalam, 1978.
Jurnal Ekonomi Islam
Amin Abdullah. Dinamika Islam Kultural.
Bandung: Mizan, 2000.
Approach. London: The International
Institute of Islamic Thought, 2008.
Amir Mu’allim dan Yusdani. Ijtihad Suatu
Kontroversi Antara Teori dan Fungsi.
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.
Achmad Jaenuri. Ideologi Kaum Reformis
Melacak Pandangan Keagamaan
Muhammadiyah Periode Awal.
Surabaya: LPAM, 2002.
Akh. Minhaji. Reorientasi Kajian Ushul Fiqh,
dan Al-Jâmi’ah, IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta: 1999.
Nurdin. Ijtihad Umar Bin Khattab. Jakarta:
Rajawali, 1994.
Atho’ Mudzhar. Membaca Gelambang
Ijtihad. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Qamaruddin Hidayat. Memahami Bahasa
Agama. Bandung: Mizan, 1997.
M. Atho’Mudzhar. Pendekatan Studi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Mustafa Ahmad Az-Zarqā. Al-Fiqh alIslāmī fī Tsaubih al-Jadīd. Beirut: Dār
al-Fikr, 1968.
Fazlur Rahman. Membuka Pintu Ijtihad,
terj. Bandung: Pustaka, 1994.
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa
Bandung: Mizan, 1998.
Masjid.
Abdul Munir Mulkhan. Neo-Sufisme dan
Pu­dar­nya Fundamentalisme di
Pedesaan. Yogyakarta: UII Press,
2000.
A. Syafiq Mughni. Nilai-Nilai Islam:
Perumusan Ajaran dan Upaya
Aktualisasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Muthoharun
Jinan,
“Tinjauan
Pemikiran
Keaagamaan
Muhammadiyah”
dalam
http://muhammadiyahstudies.
blogspot.com/search/label/
Tajdid%20and%20Tarjih
Yusuf Qaradhawi. Ijtihad Kontemporer.
terj. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Qaidah
Lajnah Tarjih Muhammadiyah. Yog­
jakarta: PP. Muhammadiyah, 1971.
Mahmoud Muhammed Taha. The Second
Message of Islam, terj. Surabaya: eLPAD, 1994.
Muhammad Hashim Kamali: Prinsip dan
Teori-teori Hukum Islam, terj. Yogja­
karta: Pustaka Pelajar, 1996.
Abdullah Ahmad an-Na’im. De­konstruksi
Syari’ah, terj. Yogyakarta: LkiS,
1994.
Abd al Wahhāb Khallāf. ‘Ilm Ushūl al-Fiqh.
Mesir: Dār al-Qalam, 1978.
Muhammad Syahrur. al-Kitāb wa alQur’ān: Qirā’ah Mu’āshirah. Kairo:
Sina li al-Nasyr, 1992.
Munir Muhammad Thāhir as-Sawwāf.
Tahāfut Qirā’ah al-Qirā’ah alMu’āshirah. Limassol: as-Syawwāf li
an-Nasyr wa ad-Dirāsāt, 1993.
Jasser Auda. Maqasid al-Shariah as
Philosophy of Islamic Law a System
Iqtishaduna
Tim Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Fatwafatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 2.
Yogjakarta, Suara Muhammadiyah,
2003.
Tim Majlis Tarjih dan Tajdid PP. Muham­
madiyah. Fatwa-fatwa Tarjih: Tanya
Jawab Agama 3. Yogjakarta: Suara
Muhammadiyah, 2003.
Volume III Nomor 1 Juni 2012
| 15
Fathurrahman Djamil. Metode Ijtihad
Majlis
Tarjih
Muhammadiyah.
Jakarta: Lo­gos, 1995.
Mohammed Arkoun. The Unthougth in
Contemporary Islamic Thought.
London: Saqi Books, 2002.
Suparman Usman. Hukum Islam. Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001.
Muhammad Abdul Mannan. Teori
dan Praktek Ekonomi Islam, terj.
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1993.
Suryopratomo, ‘Fatwa Rokok Muham­
madiyah’, dalam http:// muham­
madiyahstudies. blogspot. com/
16 |
Iqtishaduna
search/label/Tajdid% 20and %20
Tarjih .
Jamhari. ‘Muhammadiyah’s 2000 Conng­
ress: Preparing for the New
Millenium’, dalam Studia Islamika,
Volume 7, Nomor 3, 2000
Syafi’i Maarif. Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante Islam dan
Masalah Kenegaraan. Jakarta:
LP3ES, 1996.
Haedar Nasir. Dinamika Politik Muham­
madiyah. Yogyakarka: Biograf,
2000.
M. Saleh Ending, ‘Posisi Muhammadiyah
dalam Politik Di Era Reformasi’,
dalam Jurnal Penelitian Keislaman,
Volume 1, No. 1 Desember 2004
Jurnal Ekonomi Islam
Download