2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fish Nugget Fish nugget adalah suatu

advertisement
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fish Nugget
Fish nugget adalah suatu produk olahan dari bahan dasar daging ikan yang
digiling halus dan diberi bumbu-bumbu serta dicampur dengan bahan pengikat
kemudian dicetak menjadi bentuk tertentu selanjutnya dicelupkan ke dalam batter,
breading kemudian digoreng atau disimpan terlebih dahulu dalam ruang pembeku
(freezer) sebelum digoreng. Daging giling berasal dari ikan segar yang telah
dibuang kepala, sisik/kulit, sirip, isi perut dan insang serta setelah dipisahkan dari
tulangnya (Mesra 1994).
Pada dasarnya produk fish nugget sama seperti nugget ayam atau nugget
udang. Perbedaannya hanya terletak pada bahan baku yang digunakan dan
karakteristik yang dimiliki oleh bahan baku tersebut (Aswar 1995). Fish nugget
juga dapat dibedakan antara bahan baku ikan laut dan ikan tawar. Fish nugget
dengan bahan baku ikan laut memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan dengan
bahan baku ikan tawar. Hal ini disebabkan oleh tekstur yang lebih kompak dan
juga pengaruh adaptasi dari sistem osmoregulasi air laut (Rumaniah 2002).
2.1.1 Tahapan pembuatan fish nugget
Dalam pembuatan fish nugget terdapat tahapan-tahapan yang harus
dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut (Rumaniah 2002) :
a. Penyiangan dan Pencucian. Penyiangan adalah membuang bagian yang tidak
diperlukan yaitu kepala, sisik/kulit, isi perut dan insang. Penyiangan dan
pencucian dilakukan pada dasarnya adalah untuk menghilangkan segala
kotoran, darah dan lendir dari ikan yang merupakan sumber bakteri
pembusuk dan bakteri patogen.
b. Filleting. Tahapan ini adalah tahapan memisahkan daging dari tulang ikan
serta kulitnya, sehingga didapat daging bersih tanpa tulang dan kulit atau
sisiknya.
c. Pencucian. Pencucian terhadap fillet ini bertujuan untuk menghilangkan
protein sarkoplasma yang terdapat pada daging ikan tersebut. Selain itu,
5
pencucian bertujuan untuk mendapat tekstur yang kompak. Proses pencucian
ini menghasilkan bahan baku berupa surimi.
d. Penggilingan. Tahapan ini bertujuan untuk menghaluskan dan melembutkan
surimi, sehingga memudahkan pencampuran dengan bahan tambahan lain
untuk membentuk adonan.
e. Pengadonan dan Pencetakan. Pengadonan merupakan proses pencampuran
surimi yang telah digiling dengan bawang putih, gula, garam dan merica
untuk memberikan rasa (seasoning). Bahan lain yang juga ditambahkan
adalah tepung tapioka, telur serta karagenan. Setelah adonan homogen lalu
dicetak dan diberikan tepung panir.
f. Pengukusan. Adonan lalu dikukus selama 45 menit pada suhu 100 0C, agar
teksturnya menjadi lebih padat.
g. Penggorengan. Pada tahapan terakhir ini, bahan yang telah dikukus
didinginkan terlebih dahulu untuk menurunkan suhunya, lalu digoreng pada
suhu 180
0
C selama tiga menit. Tujuan penggorengan adalah untuk
mematangkan, meningkatkan cita rasa, mengeringkan, memberikan warna
yang baik dan untuk membunuh mikroba yang tadinya terdapat dalam
adonan.
2.1.2 Bahan pengikat
Bahan pengikat merupakan bahan yang digunakan dalam industri makanan
untuk mengikat air yang terdapat dalam adonan. Salah satu bahan yang dapat
digunakan sebagai bahan pengikat dalam makanan adalah tepung. Fungsi bahan
pengikat adalah untuk memperbaiki stabilitas emulsi, menurunkan penyusutan
akibat pemasakan, memberikan warna yang terang, meningkatkan elastisitas
produk, membentuk tekstur yang padat dan menarik air dari adonan. Pembentukan
adonan atau lebih tepatnya pengembangan adonan dipengaruhi kandungan protein
dalam tepung terigu (Fennema 1996).
Pembentukan adonan atau lebih tepatnya pengembangan adonan
dipengaruhi kandungan protein dalam tepung terigu. Menurut Fennema (1996)
protein dalam tepung terigu dapat dibedakan menjadi empat jenis berdasarkan
kelarutannya, yaitu :
6
a. Glutenin, merupakan jenis protein yang tidak larut dalam air, garam
maupun alkohol.
b. Globulin, merupakan jenis protein yang mempunyai sifat larut dalam
garam tapi tidak atau sedikit larut dalam air.
c. Glindin, merupakan jenis protein yang bersifat larut dalam larutan
alkohol 70-90%.
d. Albumin, jenis protein yang larut dalam air.
2.1.3 Bumbu-bumbu
Penambahan garam diperlukan untuk mendapat gel lumat yang baik.
Garam yang ditambahkan pada daging ikan pada umumnya adalah berkisar 2-3 %
dari berat daging ikan (Watanabe et al. 1974). Penggunaan garam pada
konsentrasi 1 % hingga 2 % mengakibatkan produk daging ikan yang kurang
kompak dan agak lunak. Hal ini disebabkan oleh protein miofibril dalam daging
ikan yang belum sepenuhnya terkontraksi sehingga membentuk gel tidak
sempurna. Pada penggunaan garam dengan konsentrasi 3 % hingga 4% didapat
produk daging ikan yang kompak dan kenyal. Walaupun pada konsentrasi 4 %
rasa dagingnya terlalu asin (Romadhonna 2000).
Bawang putih (Allium sativa L.) berfungsi sebagai penambah aroma dan
cita rasa produk yang dihasilkan. Bau yang khas pada bawang putih berasal dari
minyak volatil yang mengandung komponen sulfur. Karakteristik bawang putih
muncul apabila terjadi pemotongan atau perusakan jaringan. Bawang putih sangat
mudah dijumpai pada daerah-daerah tropis di sepanjang garis khatulistiwa.
(Palungku dan Budiatri 1992).
Lada atau merica (Piper nigrum) adalah bahan pangan yang biasa
ditambahkan pada bahan makanan sebagai penyedap masakan. Lada digemari
karena mempunyai sifat penting, yaitu rasanya yang pedas dan aroma yang khas.
Rasa pedas pada lada yang dihasilkan berasal dari zat piperin dan piperinin serta
khavisin yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan alkaloida. Merica
sangat digemari oleh orang-orang yang tinggal di iklim sub-tropis karena dapat
menghangatkan suhu badan (Rismunandar 1993).
7
2.1.4 Predusting, battering dan breading
Predusting banyak digunakan untuk meningkatkan daya adhesi batter.
Proses ini sangat penting untuk produk basah atau memiliki permukaan yang
berminyak misalnya daging bagian dada dan drumstick. Predusting biasanya
mengandung tepung atau campuran tepung batter dan kemungkinan bumbubumbu jika diinginkan (Sidiq 2005).
Predusting biasanya diaplikasikan dengan menggunakan drum breader,
tetapi metode ini lebih sesuai diaplikasikan untuk daging yang banyak
mengandung otot sebagai akibat gaya mekanis yang terjadi pada drum breader.
Metode lainnya adalah dengan menggunakan springkle applicator. Metode ini
digunakan untuk produk cetakan karena tidak banyak mengalami tekanan mekanis
(Sidiq 2005).
Batter adalah campuran yang terdiri dari air, tepung pati dan bumbubumbu yang digunakan untuk mencelupkan produk setelah dimasak. Coating
dapat digunakan untuk melindungi produk dari dehidrasi selama pemasakan dan
penyimpanan. Ada dua jenis batter yang dapat digunakan yaitu jenis yang beragi
dan yang tidak beragi. Jenis yang beragi digunakan untuk coating karena memiliki
level viskositas yang tinggi, sehingga breading tidak perlu dilakukan. Batter yang
beragi salah satunya adalah tempura. Sedangkan jenis yang tidak beragi biasa
dikombinasikan prosesnya dengan breading dan tingkat viskositasnya dapat diatur
(Fellow 1992).
Breading adalah campuran tepung, pati dan bumbu berbentuk kasar dan
diaplikasikan sebelum digoreng. Terdapat lima jenis utama breader yaitu
American bread crumbs, Japanese bread crumbs, crackermeal, flour breaders,
dan extruded crumbs (Fellow 1992).
Fungsi utama dari batter dan breading secara keseluruhan adalah untuk
memperbaiki penampakan dan memperbaiki karakteristik produk, misalnya
kerenyahan tekstur maupun warna yang lebih menarik. Batter dan breading juga
dapat meningkatkan nilai gizi dari suatu produk pangan dan menambah
kenikmatan ketika mengkonsumsi produk tersebut. Batter dan breading juga
bertujuan untuk menjaga kelembaban produk pangan. Tepung roti yang digunakan
harus segar, berbau khas roti, tidak berbau tengik atau asam, berwarna cemerlang,
8
berbentuk serpihan yang rata dan tidak mengandung benda asing (Badan
Standardisasi Nasional 1999).
2.2 Definisi Konsumen
Menurut Kotler dan Armstrong (1997), konsumen terdiri dari seluruh
individu rumah tangga yang membeli atau mendapatkan barang dan jasa untuk
keperluan pribadi. Konsumen itu sendiri dapat digolongkan ke dalam kelompokkelompok yang berbeda berdasarkan usia, pendapatan, pendidikan, pola
perpindahan tempat dan selera. Pengelompokan ini sangat bermanfaat bagi
pemasaran dalam merencanakan strategi pemasaran. Sedangkan menurut UndangUndang Nomor 1999 tentang perlindungan konsumen, definisi konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.
Konsumen digolongkan menjadi dua jenis, yaitu konsumen individu dan
konsumen organisasi. Konsumen individu membeli barang dan jasa untuk
digunakan sendiri. Konsumen individu juga mungkin membeli barang dan jasa
untuk teman, saudara atau orang lain. Dalam konteks barang dan jasa yang dibeli
kemudian digunakan langsung oleh individu pemakainya disebut pemakai akhir
atau konsumen akhir. Sedangkan konsumen organisasi meliputi organisasi bisnis,
yayasan, lembaga sosial, kantor pemerintah dan lembaga lainnya (sekolah,
perguruan tinggi, rumah sakit). Semua organisasi ini harus membeli produk,
peralatan, dan jasa lainnya untuk menjalankan seluruh kegiatan organisasinya
(Suwarman 2003).
2.3 Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen adalah perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam
mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan menghabiskan produk dan
jasa yang mereka harapkan akan memuaskan kebutuhan mereka (Sumarwan
2003). Sedangkan menurut Engel et al. (1995), perilaku konsumen adalah
tindakan yang langsung terlibat untuk mendapatkan, mengkonsumsikan dan
9
menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan
mengikuti tindakan ini.
Perilaku konsumen dapat disimpulkan yaitu semua kegiatan, serta proses
psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada saat sebelum membeli, ketika
membeli, menggunakan, menghabiskan barang dan jasa setelah melakukan hal-hal
di atas atau kegiatan mengevaluasi. Perilaku konsumen dalam mengambil
keputusan tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang nantinya akan
membentuk perilaku proses keputusan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku konsumen dalam mengambil keputusan antara lain : lingkungan,
perbedaan individu dan proses psikologis (Suwarman 2003).
Perilaku konsumen menurut Mowen (1995) adalah interaksi dinamis dari
pengaruh, kesadaran, perilaku dan lingkungan dimana manusia melakukan
pertukaran barang dan jasa dalam memenuhi kebutuhannya. Dari pengertian
tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku konsumen merupakan
tindakan-tindakan dan hubungan sosial yang dilakukan oleh konsumen
perorangan, kelompok maupun organisasi untuk menilai, memperoleh dan
menggunakan barang dan jasa melalui proses pertukaran atau pembelian yang
diawali dengan proses pengambilan keputusan yang menentukan tindakan
tersebut.
2.4 Peran Pembelian
Perilaku manusia dalam melakukan proses pembelian cukup sulit untuk
didefinisikan. Hal ini disebabkan karena terlalu kompleksnya hal-hal yang
mempengaruhi manusia untuk mengkonsumsi atau membeli suatu produk.
Keputusan konsumen yang dilaksanakan dalam bentuk tindakan membeli tidak
muncul begitu saja, tetapi melalui suatu tahapan tertentu. Secara khusus, pemasar
harus mengidentifikasikan siapa yang membuat keputusan pembelian atau siapa
yang berperan dalam pembelian dan langkah-langkah yang dilakukan dalam
proses pembelian tersebut. Suatu proses keputusan membeli bukan sekedar
mengetahui berbagai faktor yang akan mempengaruhi pembelian tetapi
berdasarkan peranan dalam pembelian dan keputusan untuk membeli (Kotler dan
Armstrong 1997)
10
Terdapat lima peran yang terjadi dalam keputusan membeli, yaitu :
a. Pemrakarsa (initiator) adalah orang yang pertama kali menyarankan untuk
membeli suatu produk atau jasa tertentu.
b. Pemberi pengaruh (influence) adalah orang yang pandangan atau
nasihatnya memberi bobot dalam pengambilan keputusan.
c. Pengambil keputusan (decider) adalah orang yang sangat menentukan
sebagian atau keseluruhan keputusan pembelian.
d. Pembeli (buyer) adalah orang yang melakukan pembelian yang nyata.
e. Pemakai (user) adalah orang yang mengkonsumsi atau menggunakan
produk atau jasa yang bersangkutan.
2.5 Mekanisme Dalam Proses Keputusan Pembelian
Keputusan konsumen yang dilaksanakan dalam bentuk tindakan membeli
tidak dapat muncul begitu saja, melainkan melalui suatu tahapan tertentu.
Seseorang konsumen yang hendak melakukan pilihan maka harus menentukan
alternatif pilihan. Menurut Kotler dan Armstrong (1997) keputusan konsumen
melewati lima tahapan. Yang pertama adalah pengenalan kebutuhan, pencarian
informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian dan perilaku pasca pembelian.
2.5.1 Pengenalan kebutuhan
Proses pembelian dimulai dengan pengenalan kebutuhan, dimana
konsumen menyadari suatu masalah atau kebutuhan. Kebutuhan dapat dipicu oleh
faktor internal ketika salah satu kebutuhan normal seseorang timbul pada tingkat
yang cukup tinggi, sehingga terjadi dorongan. Kebutuhan juga dapat dipicu oleh
faktor eksternal, misalnya contoh iklan-iklan atau pengaruh dari orang lain
(Kamenetz 2006).
Terkadang terdapat ketidaksesuaian yang ada di antara keadaan aktual
dengan kondisi yang digunakan. Menurut Engel et al. (1995), pada saat
ketidaksesuaian ini melebihi ambang tertentu, kebutuhan pun dikenali.
Seandainya ketidaksesuaian itu berada di bawah tingkat ambang, maka
pengenalan kebutuhan pun tidak terjadi. Penganalisaan kebutuhan dan keinginan
ini menurut Swastha dan Handoko (2000) ditunjukkan terutama untuk mengetahui
11
adanya kebutuhan dan keinginan yang tidak terpuaskan, jika kebutuhan tersebut
diketahui maka konsumen akan segera memahami adanya kebutuhan yang belum
segera dipenuhi atau masih bisa ditunda pemenuhannya serta kebutuhan yang
sama-sama harus segera dipenuhi. Adanya kebutuhan yang belum terpenuhi
tersebut sering diketahui secara tiba-tiba pada saat konsumen sedang berjalanjalan ke toko atau sedang berbelanja atau pada saat memperoleh informasi dari
sebuah iklan, media lain, tetangga ataupun dari teman.
2.5.2 Pencarian informasi
Konsumen yang tertarik kepada suatu produk mungkin akan mencari lebih
banyak informasi. Jika dorongan itu kuat dan produk memuaskan, maka
konsumen tersebut akan membelinya lagi dikemudian hari. Jumlah pencarian
informasi yang dilakukan bergantung pada kekuatan dorongan si konsumen,
jumlah informasi yang dimulai, kemudahan memperoleh lebih banyak informasi,
nilai yang ditempatkan pada informasi tambahan dan kepuasan yang didapat dari
pencarian (Mankins 2005)
Konsumen akan mencari informasi yang tersimpan dalam ingatannya
(pencarian internal) atau melakukan pengambilan informasi dari lingkungan
sekitarnya (lingkungan eksternal). Menurut Engel et al. (1995), pencarian
informasi adalah suatu kegiatan termotivasi dan pengetahuan yang tersimpan di
dalam ingatan konsumen dan pengumpulan informasi utama yang akan dicari
konsumen. Menurut Kotler dan Armstrong (1997), sumber-sumber informasi yang
diperoleh konsumen dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu :
a. Sumber pribadi
: keluarga, teman, kenalan
b. Sumber komersial
: iklan, wiraniaga, penyalur, kemasan
c. Sumber publik
: media massa, organisasi penilai konsumen
d. Sumber pengalaman
: penanganan, pengkajian dan pemakaian produk
Menurut Swastha dan Handoko (2000), pencarian informasi dapat bersifat
aktif atau pasif, internal atau eksternal. Pencarian informasi yang bersifat aktif
dapat berupa kunjungan terhadap beberapa toko untuk membuat perbandingan
harga atau kualitas produk, sedangkan pencarian informasi pasif mungkin hanya
dengan membaca suatu iklan di majalah atau surat kabar tanpa mempercayai
12
tujuan khusus dalam pikirannya tentang gambaran produk yang diinginkan.
Pencarian informasi internal tentang sumber-sumber pembelian dapat berasal dari
pelopor opini (opinion leader). Sedangkan informasi eksternal dapat berasal dari
media massa (majalah, surat kabar, radio dan televisi) dan sumber-sumber
informasi dari kegiatan pemasaran perusahaan (publikasi, iklan, informasi dari
pedagang).
2.5.3 Evaluasi alternatif
Evaluasi alternatif menurut Sumarwan (2003) adalah bagaimana seorang
konsumen memproses informasi untuk sampai pada memilih suatu merek tertentu.
Evaluasi alternatif bergantung pada pribadi konsumen dan situasi pembelian
tertentu. Konsumen terkadang membuat keputusan pembelian sendiri, misalnya
konsumen meminta nasihat pembelian dari teman, pemandu, wiraniaga atau orang
lain yang terpercaya.
Menurut Engel et al. (1995), evaluasi alternatif didefinisikan sebagai
proses evaluasi suatu alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Terdapat empat komponen dasar dalam proses evaluasi alternatif, yaitu (1)
Menentukan kriteria evaluasi yang akan digunakan untuk menilai alternatifalternatif, (2) Memutuskan alternatif yang akan dipertimbangkan, (3) Menilai
kinerja dari alternatif yang dipertimbangkan dan (4) Memilih dan menerapkan
kaidah keputusan untuk membuat keputusan akhir. Hasil akhir dari proses
evaluasi alternatif pada keterlibatan tinggi adalah pembentukan sikap umum
terhadap masing-masing alternatif. Sedangkan pada situasi keterlibatan rendah,
proses evaluasi alternatif hanya melibatkan pembentukan sedikit kepercayaan
kepada alternatif pilihan.
2.5.4 Keputusan membeli
Setelah tahap evaluasi alternatif, konsumen menentukan peringkat merek
dan membentuk niat pembelian. Pada umumnya, keputusan pembelian adalah
tahap untuk membeli yang paling disukai oleh konsumen. Terdapat dua faktor
yakni bisa berada di antara niat pembelian dan keputusan pembelian. Faktor
pertama adalah sikap orang lain dimana faktor ini adalah faktor yang
13
mempengaruhi konsumen untuk segera membeli tanpa pikir panjang. Faktor yang
kedua adalah faktor situasional yang tidak diharapkan. Konsumen mungkin
membentuk niat pembelian berdasarkan aspek-aspek pendapatan, harga dan
manfaat produk yang dibeli (Pruden et al. 2004)
Keputusan untuk membeli di sini merupakan proses dalam pembelian
yang nyata. Jadi setelah tahap-tahap di muka dilakukan, maka konsumen harus
mengambil keputusan apakah membeli atau tidak, bila konsumen memutuskan
untuk membeli, konsumen akan menjumpai serangkaian keputusan yang harus
diambil menyangkut jenis produk, merek, penjual, kuantitas, waktu pembelian
dan cara pembayarannya (Swastha dan Handoko 2000). Konsumen mungkin juga
akan membentuk suatu maksud membeli dan cenderung membeli merek yang
disukainya. Pada tahap ini konsumen harus mengambil keputusan mengenai
kapan membeli, di mana membeli dan bagaimana membeli.
Menurut Kotler dan Armstrong (1997), terdapat dua faktor yang dapat
mempengaruhi maksud pembelian dan keputusan pembelian. Pertama adalah
faktor sikap atau pendirian orang lain dan kedua adalah faktor situasi yang tidak
diantisipasi atau tidak diinginkan. Faktor pertama, mempengaruhi alternatif yang
disukai seseorang namun tergantung pada intensitas dari pendirian negatif orang
lain terhadap alternatif yang disukai konsumen dan motivasi konsumen untuk
menuruti keinginan orang lain. Semakin kuat sikap negatif orang lain dan semakin
menyesuaikan maksud pembeliannya. Sedangkan untuk faktor kedua, yang dapat
mempengaruhi niat pembelian dan keputusan pembelian adalah faktor situasi yang
tidak diantisipasi atau tidak diinginkan. Adanya faktor ini dapat mengubah
rencana pembelian suatu produk yang akan dilakukan konsumen (Kotler dan
Armstrong 1997)
2.5.5 Perilaku pasca pembelian
Tahap ini adalah tahap yang dilakukan setelah konsumen melakukan
pembelian. Tugas pemasar tidak berakhir saat produk dibeli, melainkan berlanjut
hingga periode pasca pembelian. Setelah melakukan pembelian, maka konsumen
akan mengevaluasi hasil pembelian yang dilakukannya. Hasil evaluasi pasca
pembelian
dapat
berupa
kepuasan
atau
ketidakpuasan.
Kepuasan
dan
14
ketidakpuasan terhadap suatu produk akan mempengaruhi perilaku selanjutnya
(Kotler dan Armstrong 1997).
Kepuasan akan mendorong konsumen membeli dan mengkonsumsi ulang
produk tersebut. Konsumen yang merasa puas akan memperlihatkan peluang
membeli yang lebih tinggi dalam kesempatan berikutnya dan cenderung
mengatakan sesuatu yang serba baik tentang produk yang akan bersangkutan
terhadap orang lain. Sedangkan apabila konsumen dalam melakukan pembelian
tidak merasa puas dengan produk yang telah dibelinya ada dua kemungkinan yang
akan dilakukan oleh konsumen. Pertama, dengan meninggalkan atau konsumen
tidak mau melakukan pembelian ulang. Kedua, ia akan mencari informasi
tambahan mengenai produk yang telah dibelinya untuk menguatkan pendiriannya
mengapa ia memilih produk itu sehingga ketidakpuasan tersebut dapat dikurangi.
Semakin besar kesenjangan antara ekspektasi dan kinerja, semakin besar pula
ketidakpuasan konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa produsen hanya boleh
menjanjikan apa yang dapat diberikan berupa produknya sehingga konsumen
terpuaskan (Keller dan Berry 2003).
2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen
Proses keputusan konsumen untuk membeli suatu produk sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku
konsumen adalah faktor-faktor kebudayaan, sosial, personal dan psikologi (Kotler
dan Armstrong 1997). Peran faktor-faktor tersebut berbeda untuk produk yang
berbeda pula. Dengan kata lain, adanya faktor yang dominan pada pembelian
suatu produk sementara faktor lain kurang berpengaruh.
2.6.1 Faktor kebudayaan
Kebudayaan adalah penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar.
Menurut Engel et al. (1995), budaya mengacu kepada nilai, gagasan, sikap dan
simbol lain yang membentuk individu untuk berkomunikasi, membuat tafsiran
dan mengevaluasi sebagai anggota masyarakat. Manusia adalah makhluk yang
berbudaya, perilakunya dapat dipelajari dari lingkungan sekitarnya, sehingga nilai,
persepsi, preferensi dan perilaku antara seseorang yang tinggal pada daerah
15
tertentu dapat berbeda dengan orang lain yang berada di lingkungan yang lain
pula. Dalam perilaku konsumen, budaya mempengaruhi tiga faktor, yaitu : (1)
konsumsi, (2) budaya mempengaruhi bagaimana individu dalam pengambilan
keputusan dan (3) variabel utama dalam penciptaan dan komunikasi makna dari
sebuah produk. Oleh karena itu, pemasar sangat berkepentingan untuk melihat
pergeseran budaya tersebut agar dapat menyediakan produk-produk baru yang
diinginkan konsumen.
Masing-masing budaya memiliki sub-budaya yang lebih kecil atau
kelompok orang yang berbagi sistem nilai berdasarkan pengalaman hidup dan
situasi yang umum. Sub-budaya meliputi kebangsaan, agama, kelompok ras dan
daerah geografis. Banyak sub-budaya membentuk segmen pasar yang penting dan
pemasar sering merancang produk dan program pemasaran yang dibuat untuk
kebutuhan mereka. Sebagai contoh sub-budaya yang ada di Amerika adalah kaum
hispanik, Afrika-Amerika, Asia-Amerika dan konsumen dewasa (Russel 2005).
2.6.2 Faktor sosial
Kelompok rujukan adalah kelompok yang dijadikan pembanding baik
yang pernah ditemui atau tidak, yang mempengaruhi sikap seseorang. Seseorang
sering dipengaruhi kelompok rujukan di mana ia tidak menjadi anggotanya.
Pemasar dalam hal ini berupaya mengidentifikasikan kelompok rujukan untuk
pasar sasarannya. Kelompok ini dapat mempengaruhi orang pada perilaku dan
gaya hidup. Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting
dalam masyarakat dan ia telah menjadi objek penelitian yang ekstensif (Kotler dan
Armstrong 1997). Anggota keluarga pembeli dapat memberikan pengaruh yang
kuat terhadap perilaku pembelian. Keluarga sangat penting di dalam studi perilaku
konsumen karena dua alasan. Pertama, keluarga adalah unit pemakaian dan
pembelian untuk banyak produk konsumen. Kedua, keluarga memberikan
pengaruh utama pada sikap dan perilaku konsumen.
2.6.3 Faktor pribadi
Seseorang akan mengubah keinginannya dalam membeli barang dan jas
selama hidupnya. Kebutuhan dan selera seseorang akan berubah sesuai dengan
16
usia. Keinginan untuk membeli dipengaruhi oleh jenjang hidup seseorang di
dalam keluarga, sehingga pemasar hendaknya memperhatikan perubahan yang
terjadi, yang berhubungan dengan tingkat hidup seseorang. Pekerjaan seseorang
mempengaruhi barang dan jasa yang dibelinya. Dengan demikian pemasar dapat
mengidentifikasikan kelompok profesi yang mempengaruhi minat lebih terhadap
produk mereka. Keadaan ekonomi sangat mempengaruhi pilihan produk. Pemasar
yang produknya peka terhadap pendapatan dapat dengan seksama memperhatikan
kecenderungan dalam pendapatan pribadi, tabungan dan tingkat bunga, sehingga
indikator-indikator ekonomi tersebut menunjukkan adanya resisi, pemasar dapat
mencari jalan untuk menetapkan posisi produknya (Keller dan Berry 2003).
2.6.4 Faktor psikologis
Kebutuhan-kebutuhan yang ada tersebut tidak cukup untuk memotivasi
seseorang untuk bertindak pada saat tertentu. Suatu kebutuhan akan berubah
menjadi motif apabila kebutuhan itu telah mencapai tingkat tertentu. Motif adalah
suatu kebutuhan yang cukup menekan seseorang untuk mengejar kepuasaan.
Menurut Kotler dan Armstrong (1997) adalah proses bagaimana seseorang
individu mengorganisasikan, memilih dan menginterpretasikan masukan-masukan
informasi untuk menciptakan gambaran dunia yang memiliki arti. Seseorang yang
termotivasi siap untuk bertindak. Bagaimana seseorang yang termotivasi bertindak
akan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap rangsangan yang sama karena tiga
proses persepsi yaitu selektif, distorsi selektif dan ingatan selektif.
2.7 Peranan Merek
Menurut UU Merek No. 15 Tahun 2001 pasal 1 ayat 1, merek adalah tanda
yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna dan
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Tjiptono (2005) memberikan empat
hal pokok yang harus diperhatikan dalam sebuah merek (brand), yaitu (1)
recognition atau tingkat dikenalnya sebuah merek oleh konsumen, (2) reputation
atau tingkat dan status yang cukup baik bagi sebuah merek karena telah terbukti
mempunyai track-record yang baik, (3) affinity atau hubungan emosional yang
17
timbul antara sebuah merek dengan konsumennya dan (4) domain atau seberapa
lebar scope dari produk yang mau menggunakan merek yang bersangkutan.
Tjiptono (2005) mengemukakan bahwa terdapat empat konsep merek,
pertama intangible product, yaitu merupakan basis pilihan konsumen yang
rasional. Kedua adalah basic brand yang bertujuan untuk mewujudkan penjualan
dalam lingkungan yang kompetitif. Basic brand adalah atribut-atribut
yang
mampu mengajak atau menstimulasi konsumen pertama kali untuk memilih
produk pertama kali. Tjiptono (2005) lebih lanjut memberikan contoh basic brand
bahwa produk harus dikemas dengan rapi dan menarik. Ketiga adalah augmented
brand yang bertujuan untuk memperluas merek dalam meningkatkan nilainya.
Keempat adalah potential brand yaitu menambahkan berbagai atribut tambahan
yang berperan dalam membentuk prefrensi dan loyalitas pelanggan.
2.8 Uji Validitas
Validitas menunjukkan suatu hasil dari sebuah alat pengukuran untuk
melihat pengukuran yang ingin diukur (Umar 2003). Setelah kuesioner tersebut
tersusun maka langkah awal yang dilakukan adalah menguji validitas kuesioner.
Pengujian validitas terhadap kuesioner dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh
mana suatu alat pengukur (instrumen) mengukur apa yang ingin diukur. Suatu alat
ukur yang valid atau tingkat keabsahannya tinggi secara otomatis biasanya
diandalkan (reliable). Namun sebaliknya, suatu pengukuran yang handal belum
tentu memiliki keabsahan tinggi (Rangkuti 1997). Suatu kuesioner dikatakan valid
jika pertanyaan-pertanyaan yang ada saling berhubungan antara konsep dengan
kenyataan empiris. Uji validitas dilakukan pada orang responden. Setelah
kuesioner tersusun dan teruji validitasnya, dalam prakteknya belum tentu data
yang dikumpulkan adalah data yang valid. Beberapa hal yang dapat mengurangi
validitas data antara lain cara mewawancarai dan keadaan responden sewaktu
wawancara dilakukan adalah hal-hal yang perlu diperhatikan (Umar 2003).
2.9 Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu angka indeks yang menunjukkan konsistensi
suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama (Umar 2003). Setiap
18
alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil
pengukuran yang konsisten. Semakin kecil kesalahan pengukuran, maka semakin
reliabel alat pengukur tersebut. Begitu juga sebaliknya, semakin besar kesalahan
pengukuran, maka semakin tidak reliabel alat pengukuran tersebut. Besar kecilnya
kesalahan pengukuran dapat diketahui antara lain dari indeks korelasi antara hasil
pengukuran pertama dan kedua. Pada penelitian sosial, kemungkinan terjadinya
kesalahan pengukuran cukup besar karena itu untuk mengetahui hasil pengukuran
yang sebenarnya kesalahan pengukuran harus diperhitungkan. Instrumen yang
baik tidak akan bersifat tendensius yang mengarahkan responden untuk memilih
jawaban-jawaban tertentu (Umar 2003).
Download