10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernikahan 2.1.1 Definisi

advertisement
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pernikahan
2.1.1
Definisi Pernikahan
Dalam pengertiannya, Olson & DeFrain (2006) mendefinisikan
pernikahan sebagai komitmen emosional dan hukum dari dua individu
dalam berbagi keintiman emosional dan fisik, berbagi tugas dan
sumber
daya
ekonomi.
Selain
itu,
Duvall
&
Miller
(1977)
mendefinisikan pernikahan sebagai suatu hubungan antara pria dan
wanita yang diakui secara sosial dalam mensahkan hubungan
seksual dan pengasuhan anak, serta adanya pembagian hubungan
kerja antara suami dan isteri, yang bertujuan untuk membangun
keluarga yang bahagia dan kekal.
Dengan demikian berdasarkan pada definisi-definisi di atas,
dapat disimpulkan bahwa pernikahan merupakan suatu bentuk
perwujudan dalam komitmen antara pria dan wanita yang diakui oleh
masyarakat dan hukum dalam mensahkan hubungan seksual,
pengasuhan anak, serta membentuk pembagian tugas antara suami
dan isteri dengan tujuan membangun keluarga yang bahagia dan
kekal.
11
2.1.2
Alasan Menikah bagi Individu
Menurut Stinnet & Stinnet (dalam Sofiana, 2001) kebahagiaan
dan kesuksesan dalam pernikahan tercermin dari alasan menikah
bagi individu. Setiap individu mempunyai alasan yang berbeda untuk
menikah. Stinnet & Stinnet (dalam Sofiana, 2001) mengemukakan
beberapa faktor yang menjadi alasan bagi individu untuk menikah
yaitu sebagai berikut:
a. Commitment
Setiap individu berharap ada seseorang yang diperuntukkan bagi
mereka sepenuhnya. Individu beranggapan bahwa pernikahan
sebagai lembaga untuk mengekspresikan komitmen antara kedua
individu yang juga dilandasi dengan kesepakatan yang jelas. Individu
memperlihatkan cinta dan penghargaan satu sama lain terhadap
pasangannya dengan spontan dan jujur. Individu dan pasangan lebih
bekerja sama daripada berkompetisi satu sama lain.
Ada beberapa unsur yang terdapat dalam suatu komitmen yaitu:
- Terciptanya komunikasi yang efektif
Terciptanya komunikasi secara spontan, jujur, terbuka, dan saling
menghargai dalam suatu hubungan, mampu mengekspresikan
perasaan negatif maupun positif individu terhadap konflik yang
dihadapi sehingga dapat diatasi dengan baik.
- Adanya kebersamaan
Menghabiskan
perasaan,
waktu
saling
bersama-sama,
berbagi
saling
pengalaman,
mencurahkan
saling
melibatkan
12
pasangan dalam suatu kegiatan, serta melakukan rekreasi
bersama mampu menciptakan hubungan yang harmonis dalam
rumah tangga.
- Mempunyai nilai dan aturan
Mempunyai nilai dan aturan yang telah disepakati dan harus
dipatuhi bersama. Namun, penting bagi kedua individu untuk
mendiskusikan dan mempraktekkan nilai dan aturan tersebut,
sehingga
dapat
menciptakan
rasa
toleransi
dan
saling
menghargai satu sama lain.
- Kemampuan mengatasi masalah secara efektif
Masalah yang muncul dapat dihadapi secara optimis dengan
tujuan
untuk
menemukan
pemecahan
masalah
dengan
melibatkan pasangan untuk dapat saling membantu.
b. One to One Relationship
Pada dasarnya setiap individu memiliki keinginan untuk menjalin
hubungan intim dengan oranglain yang diharapkan langgeng dan
bersifat monogami. Setiap individu juga mengharapkan seseorang
yang dapat memenuhi kebutuhan dasar akan harga diri, kasih
sayang, penghargaan, dan saling percaya satu sama lain.
c. Companionship
Pernikahan memungkinkan kesempatan untuk mengatasi rasa
kesepian dan terisolasi dengan adanya aktivitas yang dapat dilakukan
bersama dengan pasangan hidup. Turner & Helms (dalam Sofiana,
2001) mengatakan bahwa cinta, penghargaan, dan persahabatan
13
merupakan kualitas yang penting di dalam suatu pernikahan. Selain
itu, companionship memungkinkan pasangan dalam pernikahan
mendapatkan
tempat
berlindung
dalam
menghadapi
gejolak
kehidupan yang dialami individu tersebut.
d. Love
Setiap individu dapat merasakan kepuasan hidup apabila dirinya
berarti
bagi
oranglain.
Setiap
individu
berharap
menemukan
seseorang yang dapat memberikan cinta tak terbatas dan dapat
membalas perasaan tersebut.
e. Happiness
Pada dasarnya setiap individu dalam segi kehidupannya berusaha
mencari kebahagiaan dengan menikah, walaupun sebenarnya
kebahagiaan tidak terletak pada lembaga pernikahan melainkan
bersumber pada masing-masing pribadi individu dalam berinteraksi
antara satu sama lain.
f. Legitimation of sex and children
Hubungan seksual disetujui oleh norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat bagi pasangan individu yang sudah menikah. Selain itu
dengan menikah, individu dapat mensahkan anak menurut hukum
yang berlaku.
14
2.2
Persepsi
2.2.1
Definisi Persepsi
Persepsi merupakan salah satu bagian dari aspek yang paling
mendasar dalam tahap perkembangan manusia. Menurut Lahey
(2007) persepsi merupakan suatu proses mental dari adanya stimulus
yang
diterima
oleh
otak
kemudian
diorganisasikan
dan
diinterpretasikan ke dalam perilaku. Santrock (2009) mendefinisikan
persepsi sebagai pengalaman individu terhadap suatu objek atau
peristiwa yang dituangkan ke dalam cara pandang individu tersebut
terhadap objek atau peristiwa yang diamati. Melalui pengalaman
tersebut individu mempunyai pengetahuan dan pemahaman terhadap
suatu objek ataupun peristiwa yang diamati.
Dengan demikian dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa persepsi merupakan suatu proses mental dalam
memberikan arti terhadap suatu objek atau peristiwa yang dialami
individu yang kemudian diinterpretasikan ke dalam sikap dan perilaku
individu terhadap objek atau peristiwa yang diamati. Berdasarkan
kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi pernikahan
merupakan suatu proses mental yang dialami oleh individu dalam
memberikan
pemahaman
dan
pengetahuan
individu
terhadap
pernikahan yang kemudian diinterpretasikan ke dalam perilaku dan
sikap individu tersebut terhadap pernikahan.
15
2.2.2
Tahapan dalam Proses Persepsi
Santrock (2009) mengemukakan bahwa dalam teori Piaget
terdapat beberapa tahap pembentukan proses persepsi, yaitu:
1. Skema
Suatu bentuk representasi mental yang mengorganisasikan
pengetahuan atau pemahaman individu terhadap objek atau
peristiwa yang dialaminya.
2. Asimilasi
Penggabungan informasi yang baru ke dalam pengetahuan atau
skema-skema yang ada sebelumnya.
3. Akomodasi
Proses pembentukan skema agar sesuai dengan informasi dan
pengalaman yang baru sehingga mempunyai arti atau makna.
2.3
Remaja
2.3.1
Definisi Remaja
Menurut Golinko (dalam Rice & Dolgin, 2008) “remaja” berasal
dari bahasa latin yaitu ‘adolescere’ yang berarti “tumbuh” atau
“tumbuh
menjadi
dewasa”.
Dalam
Kamus
Psikologi,
remaja
merupakan suatu tahap periodisasi perkembangan manusia yang
berada pada di antara usia pubertas sampai dengan memasuki usia
dewasa.
Secara lebih luas dalam tahap perkembangannya, Hurlock
(1978) mengemukakan bahwa masa remaja mencakup pada proses
16
menuju
kematangan
kognitif
seperti
individu
sudah
mampu
membedakan dan membandingkan hal yang satu dengan hal yang
lain, individu mampu menghubungkan suatu peristiwa yang satu
dengan yang lain, dan individu mampu mengolah cara berpikir
sehingga mampu memunculkan suatu ide baru; kematangan
psikososial seperti cara individu berhubungan dengan orang lain dan
menyatakan emosi secara unik; dan kematangan fisik seperti
terjadinya perubahan pada bentuk tubuh, tinggi badan, dan berat
badan, serta menuju pada kematangan organ seksual dan fungsi
reproduksi.
Sedangkan di Indonesia, Sarwono (2006) mendefinisikan
masa remaja sebagai masa peralihan dari masa anak ke masa
dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai
persiapan memasuki masa dewasa. Oleh karena keberadaan remaja
yang dalam masa transisi atau peralihan tersebut membuat pola
sikap
dan
tindakan
remaja
diarahkan
untuk
memperoleh
penghargaan terhadap eksistensi atau keberadaannya di dalam
lingkungan.
2.3.2
Batas Usia Remaja
Batasan usia yang digunakan pada tahap perkembangan
remaja berdasarkan Papalia, Olds & Feldman (2009) dimulai dari usia
12 tahun hingga usia 20 tahun. Berbeda dengan Hurlock (1978) yang
membagi masa remaja menjadi dua tahap, yaitu masa remaja awal
17
yang dimulai pada usia 13 hingga 17 tahun dan masa remaja akhir
yaitu pada usia 17 hingga 22 tahun. Adanya pembedaan yang
dilakukan oleh Hurlock tersebut dikarenakan pada masa remaja akhir
individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati
masa dewasa.
Sedangkan di Indonesia, untuk menentukan batasan usia
masa remaja mempunyai beberapa kesulitan. Menurut Sarwono
(2006), hal tersebut disebabkan oleh sulitnya menentukan umur
permulaan masa dewasa. Selain itu juga karena negara Indonesia
mempunyai kebudayaan yang beragam antara daerah yang satu
dengan yang lain, sehingga sulit untuk menentukan batasan usia
remaja. Sebagai contoh di beberapa daerah di Indonesia, anak yang
sudah mencapai tinggi badan menyamai tinggi badan orangtuanya
sudah dianggap dewasa. Anak yang sudah dianggap dewasa akan
dicarikan jodohnya dan akan dinikahkan. Namun, di daerah lain di
Indonesia menggolongkan anak tersebut sebagai ‘anak tanggung’.
Hal itu karena mereka bukan merupakan anak-anak lagi, tetapi juga
belum dipastikan bahwa mereka telah mencapai kedewasaan. Dari
sudut hukum, kedewasaan ditentukan dari umur dan status
pernikahan. Dengan demikian mereka yang sudah menikah walaupun
usianya kurang dari 17 tahun, sudah dianggap dewasa dan
mempunyai hak pilih dalam pemilihan umum.
Maka dari itu, batasan usia remaja yang digunakan dalam
penelitian ini adalah berdasarkan pada batasan usia remaja
18
Indonesia yang dinyatakan oleh Sarwono (2006) sebagai batasan
usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah 11 sampai 24 tahun
dan belum menikah, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Usia belasan tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda
seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik)
2. Dari banyaknya masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah
dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga
masyarakat tidak lagi memperlakukan remaja sebagai anak-anak
(kriteria sosial)
3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan
perkembangan jiwa, seperti tercapainya identitas diri, tercapainya
fase genital dari perkembangan psikoseksual, dan tercapainya
puncak perkembangan kognitif maupun moral (kriteria psikologis)
4. Batas usia 24 tahun merupakan batas usia maksimal, yaitu untuk
memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut
masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hakhak penuh sebagai orang dewasa.
2.3.3
Tahap dan Tugas Perkembangan Remaja
Dalam tahap dan tugas perkembangan remaja, Santrock
(2009) menyatakan bahwa individu yang memasuki tahap remaja
telah menunjukkan penampilan fisik yang matang sehingga mampu
untuk melakukan tugas-tugas sebagai orang dewasa seperti bekerja,
menikah, dan mempunyai anak. Pada perkembangan kognitif remaja
19
telah terjadi peningkatan dalam berpikir abstrak, idealistik dan logis.
Pada perkembangan psikososial, terjadinya peningkatan dalam
kematangan seksual remaja sehingga meningkatkan minat terhadap
relasi romantis dengan lawan jenis. Pada tahap ini remaja mulai
menyadari peran masing-masing sebagai individu yang bekerja dan
sebagai orangtua bagi anak-anak mereka kelak.
Mendukung pernyataan tersebut, Rice & Dolgin (2008)
mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perubahan besar
dalam
hubungannya
dengan
teman
sebaya.
Remaja
mulai
melepaskan diri dari keluarga dan menghabiskan waktu lebih banyak
dengan teman sebaya. Oleh karena kemampuan kognitif sosial
remaja yang semakin luas dari ketika remaja masih anak-anak,
sehingga remaja memiliki pemahaman yang lebih baik tentang orang
lain. Hal tersebut menjadi langkah awal remaja untuk memiliki
interaksi yang lebih intim dan bermakna.
Seperti halnya, ketika remaja pindah sekolah, selesai dari
sekolah dasar dilanjutkan ke sekolah menengah, dan kemudian dari
sekolah menengah menuju perguruan tinggi, sehingga dari adanya
perkembangan fisik yang terjadi melalui kematangan seksual muncul
keinginan untuk membentuk hubungan yang romantis dengan lawan
jenis yang dimulai dengan persahabatan, hubungan romantis dan
menuju pada pernikahan.
20
2.3.4
Masalah dalam Kehidupan Remaja
Sarwono (2006) menyatakan bahwa pada masa remaja
banyak ditemukan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan
remaja seperti:
a. Keyakinan
Remaja
menganut
suatu
keyakinan
yang
dirumuskan
dalam
kepercayaan-kepercayaan yang tidak diutarakan.
b. Pencarian makna mengenai sesuatu
Pada dasarnya remaja ingin mendapatkan kepastian tentang arti atau
makna akan sesuatu dan berusaha mencari jawaban secara detail.
c. Pilihan
Remaja seperti halnya orang dewasa tidak dapat menghindari dirinya
dalam membuat pilihan dan memikul akibat atas dasar kebebasan
memilih. Atas dasar kebebasan memilih tersebut remaja dengan
kemampuannya mau menerima pengertian, bahwa dirinya dapat
melakukan sesuatu yang menurutnya benar.
d. Tujuan
Berkaitan dengan usaha untuk mencari makna dari segala sesuatu
dan membuat pilihan-pilihan, para remaja menetapkan tujuan yang
ingin dicapai.
Berkaitan dengan hal di atas, dapat dilihat bahwa dalam tahap
perkembangannya remaja memiliki masalah dalam pembentukan
keyakinan, pencarian makna akan sesuatu hal yang terjadi
disekelilingnya, menentukan pilihan, dan menetapkan tujuan. Akan
21
hal
tersebut,
dalam
tahap
perkembangannya
remaja
sangat
membutuhkan peran kedua orangtuanya dalam proses tahap
perkembangannya, sehingga masalah yang seringkali dihadapi
remaja tersebut dapat dilewati dengan baik yang disertai dengan
dukungan dari kedua orangtuanya. Akan hal tersebut dalam
kaitannya dengan pernikahan bahwa hubungan orangtua dengan
anak dapat mempengaruhi sikap anak terhadap pernikahan, dan
hubungan orangtua dengan anak juga dapat membentuk konsep
anak tentang pernikahan (Risch, 2012)
2.4
Perceraian
2.4.1
Definisi Perceraian
Menurut definisinya, Hurlock (1978) menyatakan bahwa
perceraian merupakan akumulasi dari penyesuaian pernikahan yang
buruk yang terjadi bila di antara suami dan isteri sudah tidak mampu
lagi untuk menyelesaikan permasalahan dalam pernikahan. Papalia,
Olds & Feldman (2009), perceraian bukanlah suatu kejadian tunggal
melainkan serangkaian proses yang dimulai sebelum perpisahan fisik
dan berpotensial menjadi pengalaman stress serta menimbulkan efek
psikologis yang buruk bagi suami, isteri dan anak.
Selain itu, Duvall & Miller (1977) menyatakan bahwa
perceraian tidak hanya didasarkan pada ketidakpuasan dalam
pernikahan saja, tetapi bisa juga disebabkan karena adanya tekanan
22
dari luar seperti pilihan karir, ketertarikan fisik dengan orang lain di
luar pernikahan. Lemer & Hultsch (dalam Rice & Dolgin, 2008),
perceraian merupakan suatu proses yang menyakitkan serta dapat
membuat seseorang yang mengalaminya mengalami stres, depresi,
kesepian, merasa rendah diri, merasa sangat bersalah dan tidak
berguna, kurang produktif dalam bekerja, dan merasa cemas dalam
menghadapi
situasi
sosial
yang
disebabkan
karena
adanya
pengalaman baru seperti pengaturan keuangan, pengaturan hidup,
menangani masalah rumah tangga dan anak.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
perceraian merupakan serangkaian proses dari terjadinya hal yang
tidak
diinginkan,
penuh dengan tekanan, serta menimbulkan
konsekuensi yang tidak diinginkan oleh seluruh anggota keluarga,
dimulai dari sebelum perpisahan fisik pasangan dan diakhiri dengan
pemutusan hubungan pernikahan secara hukum.
2.4.2
Dampak Terjadinya Perceraian Pada Anak
Selain
pada
individu
yang
bercerai,
perceraian
juga
menimbulkan dampak buruk terhadap perkembangan anak. Hines
(dalam Duvall & Miller, 1977) mengatakan bahwa anak yang berasal
dari keluarga bercerai cenderung mengalami kesulitan dalam belajar
dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, mengalami kesulitan
dalam membangun dan mempertahankan hubungan, mengalami
23
kenakalan seperti mempunyai perilaku seksual dini, dan penggunaan
obat-obatan terlarang.
Menurut Bird dan Melville (1994), anak yang orangtuanya
bercerai merasa malu, karena anak merasa berbeda dari temantemannya yang lain. Kondisi tersebut dapat merusak konsep pribadi
anak yang sering diikuti dengan depresi, cemas, marah, adanya rasa
penolakan, merasa rendah diri,
bermasalah dengan prestasi
akademis, menjadi tidak patuh dan cenderung agresif.
Selain itu, Greenberg & Nay (dalam Duvall dan Miller, 1977)
menyatakan bahwa anak dari keluarga bercerai lebih mudah untuk
bercerai dalam membangun rumah tangganya kelak. Hal tersebut
disebabkan karena perceraian telah diperkenalkan secara tidak
langsung oleh orangtua serta dianggap menjadi suatu hal yang biasa
daripada diabaikan keberadaannya. Hal tersebut juga sependapat
dengan Pope & Mueller (dalam Duvall dan Miller, 1977) yang
menyatakan bahwa anak dari keluarga bercerai juga lebih mudah
untuk bercerai, disebabkan karena adanya kesamaan antara pola
kepribadian orangtua dan pola kepribadian anaknya. Dengan
mengamati perceraian orangtuanya, anak belajar bahwa perceraian
dapat dijadikan solusi untuk mengatasi konflik dalam pernikahan.
Mendukung pernyataan diatas, Amato dan DeBoer (dalam
Rice & Dolgin, 2008) menyatakan bahwa remaja yang mengalami
perceraian orangtua cenderung menunjukkan pandangan terhadap
pernikahannya kelak. Pandangan tersebut dapat terwujud dari
24
timbulnya rasa cemas pada remaja dengan memilih untuk tidak
menikah atau menjadi lebih selektif dan bijaksana dalam memilih dan
menentukan pasangan hidupnya. Selain itu, Amato dan Deboer
(dalam Rice & Dolgin, 2008) juga menambahkan bahwa individu yang
berasal dari keluarga bercerai menjadi lebih pesimis terhadap
kelanggengan pernikahannya.
Akan hal tersebut, Rogers & Amato (1997) dan Umberson
et.al. (2005) (dalam Cunningham 2012) menyimpulkan bahwa
terjadinya
perceraian
menyebabkan
penurunan
akan
makna
pernikahan yang mempunyai implikasi bagi pandangan dan sikap
individu terhadap pernikahan yang akan dikaitkan dengan sikap dan
perilaku individu terhadap pernikahannya kelak. Hal tersebut
disebabkan karena individu mengamati pernikahan orangtua mereka,
dan karena pernikahan orangtua merupakan indikator anak untuk
meniru orangtua mereka yang akan dikaitkan dengan pernikahannya
kelak.
25
2.5
Kerangka Berpikir
Pernikahan
Bahagia dan Tidak Bahagia.
Pernikahan yang tidak bahagia timbul dari adanya
konflik dan permasalahan yang menyebabkan perceraian
Sehingga menimbulkan dampak bagi suami, isteri
dan khususnya terhadap anak dalam tahap perkembangannya
terjadinya perceraian orangtua memberikan dampak pada sikap individu terhadap
pernikahan dan kehidupan berkeluarga dengan memperlihatkan kecemasan dalam
pernikahannya kelak, seperti individu memutuskan untuk tidak menikah atau menjadi lebih
selektif dan bijaksana dalam menentukan pasangan hidup.
Terjadinya hal tersebut mencerminkan perubahan sosial yang lebih luas dan menciptakan
pergeseran dalam persepsi dan penerimaan sosial perceraian.
Sehingga mengakibatkan peran pernikahan dalam mengkoordinasikan kehidupan
sosial semakin terkikis dan banyak anak yang dibesarkan
dalam pengaturan alternatif.
Terjadinya hal tersebut, peneliti ingin mengetahui gambaran persepsi pernikahan
pada remaja di Jakarta yang orangtuanya bercerai.
26
Seperti yang telah dinyatakan oleh Greenberg & Nay; Pope & Mueller
(dalam Duvall & Miller, 1977) bahwa individu yang berasal dari keluarga
bercerai memiliki kecenderungan yang lebih mudah juga untuk bercerai.
Berpatokan
pada
pendapat
dari
tokoh-tokoh
di
atas,
dapat
digambarkan bahwa pernikahan orangtua secara tidak langsung menjadi
tolak ukur atau persepsi serta contoh penting bagi individu dalam kehidupan
pernikahannya kelak. Karena persepsi yang positif terhadap pernikahan
mampu menjanjikan awal kehidupan rumah tangga yang baik serta mampu
memberikan arti dan makna pernikahan yang baik bagi individu. Namun,
apabila individu memiliki persepsi yang negatif terhadap suatu pernikahan,
hal tersebut tidak mampu menjamin bahwa individu tidak akan menganggap
pernikahan sebagai suatu lembaga yang dapat dipercaya, dan minat untuk
melangsungkan pernikahan itu sendiri akan terpengaruh. Dengan kata lain,
tidak memperkecil kemungkinan remaja menganggap bahwa perceraian
dapat dijadikan sebagai suatu solusi positif untuk mengakhiri konflik dan
pertikaian yang terjadi di dalam kehidupan pernikahan, dan menganggap
bahwa pernikahan merupakan suatu lembaga yang tidak dapat dipercaya.
Download