Work Plan POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) DISUSUN OLEH: FAUZAN LUTHFI AM 1307101030154 BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT JIWA BANDA ACEH 2014 1. Pendahuluan Kejadian luar biasa dalam kehidupaan dapat dialami oleh seseorang mulai sejak dalam kandungan sampai akhir hayatnya. Peristiwa dalam hidup dapat disebabkan alam dan peristiwa atau permasalahan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri. Semakin berat peristiwa yang dialami oleh seseorang, semakin besar peluang orang tersebut mengalami gangguan stres pasca trauma yang dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorders (PTSD). Stres pasca trauma umumnya terjadi setelah seseorang mengalami, menyaksikan trauma berat yang mengancam fisik maupun psikis. Trauma ini bisa saja pengalaman dirawat di rumah sakit maupun akibat bencana. Banyaknya peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di negara kita, seperti tsunami, gempa bumi, gunung meletus dan banjir yang menimbulkan banyak korban baik harta atau jiwa umumnya menimbulkan suatu trauma psikologis yang berat baik bagi korban atau keluarganya. Trauma yang dialami tersebut merupakan faktor stresor yang berat, sehingga dapat menyebabkan suatu keadaan PTSD, apabila orang tersebut tidak dapat mengatasinya. Penderita PTSD tersebut mempunyai gambaran berupa perasaan cemas berlebihan dan ketakutan bila orang tersebut teringat atau melalui tempat peristiwa tersebut terjadi, disertai dengan ketegangan motorik, hiperaktivitas otonom dan kewaspadaan berlebih. Tetapi untuk mendiagnosa PTSD yang terpenting adalah suatu trauma fisik atau psikologis sebagai faktor stresornya. Penanganan penderita PTSD harus diperhatikan secara serius karena pengobatan tidak hanya pada keluhan fisik saja, tetapi juga terhadap psikologisnya, yaitu untuk membantu penderita melupakan peristiwa tersebut dan dapat melanjutkan kehidupannya. sehingga diharapkan penderita PTSD dapat sembuh baik fisik maupun kejiwaannya. Beberapa pasien perawatan intensif mengalami PTSD setelah trauma tinggal di rumah sakit, dan ini adalah pemikiran yang akan diperburuk oleh kenangan waktu mereka di unit perawatan intensif. Saat ini telah ditemukan bahwa jika staf dan keluarga dekat membuat buku harian untuk pasien, yang menampilkan informasi tentang tinggal pasien, keluarga dan perawat dengan disertai foto, kejadian PTSD dapat dikurangi secara signifikan. 1 2. Definisi Menurut American Psychological Assosiation, Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam. Peristiwa traumatis (traumatic experience) adalah peristiwa yang menyakitkan yang menimbulkan efek psikologis dan fisiologis yang berat. Peristiwa traumatis mencakup tragedi personal, seperti berada dalam kecelakaan yang serius, menjadi korban kekerasan, atau mengalami peristiwa bencana yang mengancam hidup. Peristiwa traumatis dapat terjadi dalam skala yang besar dan dengan segera dapat mempengaruhi seseorang: misalnya, kebakaran, gempa bumi, kerusuhan dan perang.. 3. Etiologi 3.1 Faktor Resiko Terdapat beberapa faktor resiko PTSD. Memiliki kejadian traumatis yang dialami, prediktor PTSD mencakup ancaman yang dirasakan terhadap nyawa, berjenis kelamin perempuan, pemisahan dari orang tua dimasa kecil, riwayat gangguan dalam keluarga, berbagai pengalaman traumatis sebelumnya dan gangguan yang dialami sebelumnya (suatu gagguan anxietas atau depresi). Memiliki intelegensi tinggi tampaknya menjadi faktor protektif, mungkin karena hal itu diasosiasikan dengan keterampilan coping yang lebih baik. Prevalensi PTSD juga meningkat sejalan dengan parahnya kejadian traumatik: sebagai contoh, semakin tinggi pengalaman dalam pertempuran, semakin besar resikonya. Diantara mereka yang memiliki riwayat gangguan dalam keluarga, bahkan sedikit pengalaman pertempuran menyebabkan tingkat kejadian PTSD yang tinggi. Simtom-simtom disosiatif pada saat trauma juga meningkatkan kemungkinan terjadinya PTSD. Disosiasi dapat memiliki peran dalam menetapnya gangguan karena mencegah pasien menghadapi ingatan tentang trauma tersebut. Menurut keane dan koleganya ( 2006 ) mengelompokan faktor resiko PTSD kedalam 3 kategori, yaitu: 2 1. Faktor yang sudah ada dan unik bagi setiap individu, Faktor yang sudah ada, seperti kontribusi genetis, jenis kelamin seperti; para pria lebih berpeluang mengalami trauma ( seperti pertarungan ) sedangkan para wanita lebih berpeluang mengalami PTSD. 2. Faktor yang terkait dengan kejadian traumatis Berasal dari penyebab terjadinya kejadian taumatis. Salah satu contohnya yaitu: pengalaman cedera tubuh. Dalam suatu penelitian, tentara yang terluka lebih berpeluang menggalami PTSD mereka yang terlibat dalam pertempuran yang sama, namun tidak terluka. 3. Kejadian-kejadian yang mengikuti pengalaman traumatis. Faktor ketiga, yaitu berfokus pada apa yang terjadi setelah mengalami trauma. 3.2 Faktor Psikologis Para teoris belajar berasumsi bahwa PTSD terjadi karena pengondisian klasik terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa, contohnya, dapat merasa takut untuk berjalan di lingkungan tertentu karena diperkosa di sana. Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan secara klasik tersebut, terjadi penghindaran yang secara negatif dikuatkan oleh berkurangnya rasa takut yang dihasilkan oleh ketidakberadaan dalam lingkungan tersebut. Suatu teori psikodinamika yang diajukan oleh Horowitz menyatakan bahwa ingatan tentang kejadian traumatik muncul secara konstan dalam pikiran seseorang dan sangat menyakitkan sehingga secara sadar mereka mensupresikanya atau merepresinya. 3.3 Faktor Biologis Sejarah kecemasan keluarga menunjukan adanya kerentanan biologis menyeluruh untuk PTSD. True dan kawan-kawan (1993) melaporkan bahwa, dengan adanya paparan pertempuran yang sama banyaknya dan dengan memiliki kembaran yang mengalami PTSD, seorang pasangan kembar monozigot (identik) memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengembangkan PTSD dibanding pasangan kembar dizigot. Ini menunjukan adanya pengaruh genetik tertentu dalam perkembangan PTSD. 3 3.4 Faktor Sosial dan Kultural Faktor sosial dan kultural berperan penting dalam pengembangan PTSD. Hasil-hasil dari sejumlah studi dengan sangat konsisten menunjukan bila kita memiliki sekelompok orang yang kuat dan suportif, maka kemungkinan kita untuk mengembangkan PTSD setelah mengalami trauma akan jauh lebih kecil. Semakin luas dan mendalam jaringan dukungan sosial, semakin kecil peluang untuk mengembangkan PTSD 4. Tanda dan Gejala Tiga tipe gejala atau symptom yang sering terjadi pada PTSD adalah : 1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan. 2. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. 3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsen -trasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu. Simtom-simtom PTSD dikelompokan dalam 3 kategori utama. Diagnosis dapat ditegakan jika simtom-simtom dalam tiap kategori berlangsung selama lebih dari satu bulan. 1. Mengalami kembali kejadian traumatis. Individu kerap teringat pada kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Penderitaan emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut (petir, mengingatkan seorang veteran pada medan perang) atau tanggal terjadinya pengalaman tertentu (hari dimana seorang wanita mengalami penyerangan seksual). Pentingnya mengalami kembali tidak dapat diremehkan karena kemungkinan merupakan penyebab simtom-simtom kategori lain. Beberapa teori 4 PTSD membuat mengalami kembali sebagai ciri utama dengan mengatribusikan gangguan tersebut pada ketidak mampuan untuk berhasil mengintegrasikan kejadian traumatik kedalam skema yang ada pada saat ini. 2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk berpikir tentang trauma atau menghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada kejadian tersebut (dapat terjadi amnesia pada kejadian tersebut). Mati rasa adalah menurunya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Simtom-simtom ini tampaknya hampir konradiktif dengan simtom-simtom pada item 1. Pada PTSD kenyataanya terdapat suatu fluktuasi (penderita bergantian mengalami kembali dan mati rasa). 3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan. Simtom-simtom ini mencakup sulit tidur atau mempertahankanya, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan dan respon terkejut yang berlebihan. 5. Diagnosis . Berikut ini adalah kriteria diagnostik untuk gangguan stres pasca trauma menurut DSM-IV yaitu: 1. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini terdapat : a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain. b. Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor. Catatan: pada anak-anak hal ini diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi. 2. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut: a. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengangu tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran atau persepsi. 5 Catatan: pada anak kecil, dapat menunjukan permainan berulang dengan tema atau aspek trauma. b. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali. c. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatikterjadi kembali ( termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi ). Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma. d. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. e. Reaktifitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. 3. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku kerena responsivitas umum ( tidak ditemukan sebelum trauma ), seperti yang ditujukan oleh tiga ( atau lebih ) berikut ini: a. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan dengan trauma b. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma. c. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma. d. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna. e. erasaan terlepas atau asing dari orang lain. f. Rentang efek yang terbatas (misalnya tidak mampu memiliki perasaan cinta). g. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal). 6 4. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan oleh dua (atau lebih) berikut: a. Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur b. Iritabilitas atau ledakan kemarahan c. Sulit berkonsentrasi d. Kewaspadaan yang berlebihan e. Respon kejut yang berlebihan. 5. Lama gangguan ( gejala dalam kriteria 1, 2, 3, dan 4 ) adalah lebih dari satu bulan. 6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi lainya. Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stress pasca traumatik menurut PPDGJ III (F43,1) adalah sebagai berikut: 1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat ( masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan ). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manivestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif gangguan lainya. 2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali ( flashback ). 3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. 4. Suatu “ sequelae “menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F 62,0 ( perubahan kepribadian setelah mengalami katastofa ) 7 6. Penatalaksanaan Ada 2 macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. 1. Farmakoterapi Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Para klinisi mempertimbangkan pengobatan sebagai cara pertam untuk mempertahankan diri dari penyebab munculnya gejala-gejala tersebut. Klien yang mengalami gejala hyperexcitability dan reaksi berulang dapat mengambil keuntungan dari obat anti kecemasan seperti: benzodiazepin. Bagi mereka yang mengalami iritabilitas, agresi implusif atau ingatan mundur dapat mengonsumsi anticonvulsants, seperti: karbamazepina atau valproic acid. Anti depresi, seperti selective serotonin reuptake inhibitors dan monoamine-oxidase inhibitor sering digunakan untuk memberikan terapi bagi gejala kekakuan, gangguan dan menarik diri dari lingkungan sosial. 2. Psikoterapis Meskipun pengobatan dapat mengurangi gejala yang ada, hal yang naif jika kita berfikir bahwa obat-obatan tersebut cukup untuk mengurangi tekanan psikologis dan masalah interpersonal yang dialami oleh para penderita PTSD. Konsekwensinya, para klinisi merekomendasikan psikoterapi berkelanjutan, tidak hanya untuk mengatasi masalah emosional, namun juga untuk memonitor bagaimana reaksi individu terhadap pengobatan medis. a. Teknik menutup, seperti: terapi suportif dan management stress, membantu klien mengemas rasa sakit yang disebabkan oleh trauma. Mereka juga dapat membantu klien mengurangi stres secara lebih efektif dan selama proses tersebut, menghilangkan beberapa masalah sekunder yang disebabkan oleh gejala-gejala tersebut. Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa keterampilan untuk mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik. b. Teknik tidak menutup, yang termasuk pengungkapan trauma, meliputi treatment perilaku dengan cara imaginal flooding dan disentisasi sistemik. Menghadapkan penderita PTSD dengan tanda-tanda yang membangkitkan kenangan terhadap kejadian traumatis pada tingkat tertentu atau pada 8 situasi ketika individu diajarkan untuk santai, dapat memecahkan reaksi kecemasan terkondisi. c. Terapi cognitive, terapis membantu untuk mengubah kepercayaan yang tidak rasional yang menganggu emosi dan menganggu kegiatan-kegiatan kita. misalnya: seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang. d. Terapi kognitif perilaku, digunakan bagi berbagai bentuk PTSD. Prinsip dasar terapi perilaku berbasis pemaparan adalah bahwa cara yang terbaik mengurangi atau menghapus rasa takut adalah dengan menghadapkan orang yang bersangkutan dengan sesuatu yang ingin dihindarinya. Semakin banyak bukti yang muncul mengindikasikan bahwa pemaparan terstuktur terhadap kejadian yang berkaitan dengan trauma, kadang kala dengan imajinasi, seperti dalam desentisasi sistematik, memberikan sesuatu yang lebih bermanfaat dari pengobatan medis, dukungan sosial, atau berada dalam lingkungan terapeutik yang aman. e. Terapi bermain, mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya. f. Terapi debriefing, juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Boyce dan condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debrefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan. g. Suport group terapi dan terapi bicara, dalam suport group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa ( misal: korban stunami, korban genpa bumi ) dimana proses terapi merka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemudian mereka saling memberi penguatan satu sama lain ( Swalm, 2005 ). 9 Sementara dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam.bertukar cerita membuat berasa senasib,bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Kondisi disini memacu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan. h. Pendidikan dan suportive konseling juga merupakan upaya lain untuk mengobati PTSD. Konselor ahli mepertimbangkan pentingnya penderita PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan berbagai macam treatment (terapi dan pengobatan) yang cocok bagi PTSD. Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD dalam waktu lama, langkah utama yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah mengenali gejala dan permasalahanya sehingga dia mengerti apa yang dilakukan untuk mengatasinya. i. . EMDR ( Eye Movement Desentization and Reprocessing ), pada tahun 1989 mulai mempublikasikan sutu pendekatan untuk menangani trauma yang disebut EMDR. EMDR dimaksudkan untuk dilakukan dengan sangat cepat, sering kali hanya memerlukan satu atau dua sesi dan lebih efektif dibanding prosedur pemaparan standar yang dijelaskan sebelumnya. Dalam prosedur ini, pasien membayangkan suatu situasi yang berkaitan dengan masalahnya seperti: kecelakaan mobil yang sangat mengerikan. Dengan tetap membayangkan situasi tersebut, pasien memandang jari terapis dan mengikutinya dengan pandanganya seiring terapis mengerakanya maju mundur kira-kira satu kaki didepan pasien. Proses ini berlangsung selama kurang lebih satu menit atau sampai pasien menuturkan bahwa kengerian bayangan tersebut talah berkurang. Kemudian terapis meminta pasien menceritakan semua pikiran negatif yang muncul dipikiranya, sekali lagi dengan mengarahkan pandanganya pada jari terapis yang terus bergerak. Terakhir terapis, mendorong pasien untuk berfikir secara lebih positif, seperti “ saya dapat mengatasi hal ini “ 10 dan hal ini juga dilakukan sambil memandang jari-jari terapis yang bergerak. j. Pendekatan psikoanalisis. Pendekatan psikodinamika dari Horowitz memiliki banyak persamaan dengan penanganan yang disebutkan diatas karena dia mendorong pasien untuk membahas trauma dan memaparkan diri mereka pada kejadian yang memicu PTSD. Namun Horowitz menekankan cara trauma berinteraksi dengan kepribadian pratrauma pasien, dan penanganan yang ditawarkanya juga memiliki banyak persamaan dengan berbagai pendekatan psikoanlitik lain, termasuk pembahasan mengenai pertahanan dan analisis reaksi transferensi oleh pasien. Terapi kompleks ini memerlukan verifikasi empiris. Beberapa studi terkendali yang dilakukan sejauh ini hanya memberikan sedikit dukungan empiris terhadap efektifitasnya. Dalam suatu analisis hasil 26 peneliti mengenai treatment terhadap penderita PTSD, para peneliti membandingkan efektivitas bentuk-bentuk utama psikoterapi terhadap lebih dari 1.500 pasien. Mereka menyimpulkan bahwa sekitar 65% dari pasien yang dirawat melalui psikoterapi PTSD dapat sembuh atau mengalami perbaikan meskipun hampi setengah diantaranya terus mengalami sisa gejala sebagai akibat dari pengunaan obat yang menetap selama bertahun-tahun setelah treatment. Jelas telihat bahwa meskipun treatment dapat menjadi efektif, tindak lanjut berkesinambungan diperlukan untuk membantu para klien menjaga hasil yang dicapai selama masa teratment untuk jangka waktu yang lama. 11 KESIMPULAN Post Traumatic Stress Disoreder (PTSD) merupakan ganguan kecemasan, ketidak rentanan emosional yang berlangsung berkelanjutan terhadap suatu kejadian traumatis. Peristiwa traumatis ( traumatic experience )adalah peristiwa yang menyakitkan yang menimbulkan efek psikologis dan fisiologis yang berat.peristiwa traumatis mencakup tragedi personal, seperti berada dalam kecelakaan yang serius, menjadi korban kekerasan, atau mengalami peristiwa bencana yang mengancam hidup.peristiwa traumatis dapat terjadi dalam skala yang besar dan dengan segera dapat mempengaruhi seseorang: misalnya, kebakaran, gempa bumi, kerusuhan dan perang. Faktor penyebab PTSD yaitu: faktor-faktor resiko, faktor psikologis,faktor biologis, faktor sosial dan kultur. Dimana klasifikasi diagnosis dari PTSD dapat dilihat di DSM IV dan PPGDJ III. Berdasarkan diagnosis PTSD dari DSM IV dan PPGDJ III dapat diterapkan treatment yang sesuai, seperti: mengunakan teknik farmakoterapi dan psikoterapi. 12 DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed". Washington, DC Davidson, C Gerald dkk. 2004. Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Jakarta. Penerbit: Rajawali Pers. Maslim R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya Jakarta. Naomi Breslau and James C. Anthony. 2007. Journal of Abnormal Psychology, Vol. 116, No. 3, 607–611 Nevid J.S, dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid I. Edisi 5. Penerbit Erlangga : Jakarta Tomb, D. A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta Yusak, Ranimpi Yulius. 2002. Konflik Sosial dan Post-Traumatic Post Disorder (Gangguan Stres Pasca Trauma). Universitas Kristen Satya Wacana. Volume 18, Nomor 2, Januari 2003. . . 13