BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pemahaman Matematis Dalam proses pembelajaran matematika, pemahaman matematis merupakan bagian yang sangat penting. Pemahaman matematis merupakan landasan penting untuk berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan matematika maupun persoalan-persoalan di kehidupan sehari-hari. Mengembangkan kemampuan pemahaman matematik, di samping karena sudah merupakan salah satu tujuan dalam kurikulum, kemampuan tersebut sangat mendukung pada kemampuan-kemampuan matematis lain, yaitu komunikasi matematis, penalaran matematis, koneksi matematis, representasi matematis dan problem solving. Dalam NCTM 2000 disebutkan bahwa pemahaman matematis merupakan aspek yang sangat penting dalam prinsip pembelajaran matematika. Siswa dalam belajar matematika harus disertai dengan pemahaman, hal ini merupakan visi dari belajar matematika. Hal tersebut berakibat bahwa dalam setiap pembelajaran matematika harus ada unsur pemahaman matematisnya. Polya (Sumarmo, 1987) mengemukakan empat tingkat pemahaman suatu hukum atau konsep, yaitu pemahaman mekanikal, pemahaman induktif, pemahaman rasional, dan pemahaman intuitif. Seseorang bisa dikatakan mempunyai pemahaman mekanikal suatu konsep, jika ia dapat mengingat dan menerapkan konsep itu secara benar. Kemudian seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman induktif suatu konsep, jika ia telah mencobakan konsep itu 20 berlaku dalam kasus yang sederhana dan yakin bahwa konsep itu berlaku dalam kasus serupa. Seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman rasional suatu konsep, jika ia dapat membuktikanya. Selanjutnya seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman intuitif suatu konsep, jika ia telah yakin akan kebenaran konsep tersebut tanpa ragu-ragu. Skemp (1976) membedakan dua jenis pemahaman, yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman instrumental sejumlah konsep diartikan sebagai pemahaman atas konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus serta menerapkanya dalam perhitungan tanpa mengetahui alasanalasan dan penjelasanya. Sebaliknya pada pemahaman relasional termuat suatu skema atau struktur pengetahuan yang kompleks dan saling ber-relasi atau berhubungan yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas dan kompleks. Dalam pemahaman relasional, sifat pemakaiannya lebih bermakna. Sebagai contoh seorang siswa yang yang hanya memiliki pemahaman instrumental terampil menyelesaikan persamaan kuadrat 3x2 + 4x – 2 = 0 dengan menggunakan rumus abc, tetapi pengerjaannya menjadi salah jika dihadapkan pada persamaan kuadrat 2x – 4x2 + 3 = 0, karena ia menganggap a = 2, b = - 4, c = 3. Contoh lainnya, pada persamaan garis y = mx + c, jika persamaan tersebut dirubah menjadi y = cx + m, maka siswa yang hanya memiliki pemahaman instrumental akan bingung menentukan gradien, karena siswa sudah terbiasa dengan simbol m sebagai gradien. Pengajaran matematika dengan hanya menekankan pada aspek pemahaman instrumental relatif lebih mudah, akibatnya para guru lebih senang 21 dengan cara ini. Berdasarkan anggapan ini, Skemp(1976) berpendapat bahwa para guru memilih mengajarkan pemahaman matematis hanya pada level instrumental didasarkan pada salah satu atau beberapa alasan berikut ini : 1. Pemahaman relasional membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapainya. Hal ini cukup jelas, karena untuk memahami materi dengan pemahaman relasional dibutuhkan banyak pengetahuan dan konstruksi pikiran sehingga waktu yang diperlukan dalam proses pembelajarannya relatif lebih lama dibandingkan dengan mengajarkannya hanya dengan pemahaman prosedural. 2. Pemahaman relasional untuk topik-topik tertentu terlalu sulit. Pada umumnya pemahaman relasional lebih sulit dibandingkan dengan pemahaman instrumental, namun pada topik-topik tertentu pemahaman relasional terlalu sulit dibandingkan dengan pemahaman instrumental. 3. Kemampuan instrumental segera dibutuhkan/dipakai untuk materi pelajaran yang lain, sebelum dapat memahaminya secara relasional. Misalnya tentang perkalian dua bilangan bulat, materi sangat dibutuhkan untuk pelajaran-pelajaran lain sehingga guru merasa harus mengajarkan secepatnya yang tentu saja secara prosedural sehingga siswa bisa menggunakannya pada mata pelajaran yang lain tersebut. 4. Bagi guru yang masih pemula, sementara guru-guru matematika yang lain yang lebih senior mengajarkan matematika secara instrumental, mereka cenderung untuk mengikuti jejak seniornya dan kurang berani melakukan terobosan. 22 Pemahaman relasional, walaupun lebih sulit untuk diajarkan tetapi memiliki banyak kelebihan dan keuntungan. Menurut Skemp (1976) minimal terdapat 4 keuntungan dalam pemahaman relasional matematis, yaitu : 1. Lebih mudah diadaptasi pada tugas atau persoalan baru Jika seseorang mempunyai pemahaman relasional terhadap suatu topik, maka pemahamannya tersebut bisa lebih mudah untuk diadaptasikan dan direlasikan pada topik-topik pengetahuan lain. Sebagai contoh jika seseorang siswa bisa memahami secara relasional tentang luas persegi panjang dan luas segitiga, maka pemahamannya tersebut lebih mudah untuk diadaptasikan untuk memahami luas jajaran genjang, maupun bangun bidang datar lainnya yang berkaitan dengan segitiga dan persegi panjang. 2. Lebih mudah untuk selalu diingat Pembelajaran matematika untuk memperoleh pemahaman secara relasional dibutuhkan waktu yang relatif lama, namun jika pemahaman tersebut telah dicapai maka pengetahuan yang ada pada siswa akan lebih mudah untuk selalu diingat dan tidak mudah terlupakan. 3. Pemahaman relasional dapat lebih efektif sebagai tujuan (effective as a goal in itself), hal ini berkaitan dengan nomor 4 sebagai berikut : 4. Skema relasional merupakan hal yang pokok dalam kualitas ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut seseorang yang telah mencapai tingkat pemahaman relasional, maka skema yang dia miliki akan dapat dikembangkan pada pengetahuan-pengetahuan yang lain yang berkaitan langsung maupun 23 tidak langsung. Sebagai contoh siswa yang paham betul tentang teorema pythagoras, maka pemahamannya tersebut bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan teorema pythagoras, misalnya masalah yang berkaitan dengan segitiga siku-siku, maupun tidak berkaitan langsung, misalnya masalah jajaran genjang. Pemahaman relasional sebagai tujuan dalam pembelajaran matematika, lebih sulit untuk diterapkan dibandingkan dengan hanya pemahaman instrumental. Skemp (1976) menjelaskan faktor-faktor yang berperan pada sulitnya penerapan pembelajaran matematika dengan tujuan untuk pemahaman relasional, yaitu : 1. Efek tidak baik dari pelaksanaan ujian/evaluasi Adanya sistim ujian atau evaluasi yang kurang tepat, misalnya suatu sistim yang hanya melihat hasil akhir sebagai tolok ukur penilaian, bisa berakibat pada para guru cenderung lebih suka mengajarkannya secara instrumental. 2. Beban sylabus yang berat Pembelajaran matematika untuk mencapai pemahaman relasional dibutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan tujuan hanya pemahaman instrumental. Hal ini berakibat bahwa jika beban sylabusnya banyak dan berat, maka waktu yang disediakan kurang mencukupi untuk mencapai pemahaman relasional. 3. Sulitnya evaluasi(assessment) Perancangan evaluasi untuk mengukur pemahaman relasional lebih rumit dan lebih sulit, karena dibutuhkan kreativitas guru dalam pembuatan evaluasi 24 tersebut, sehingga dalam evaluasi tersebut bisa betul-betul mengungkapkan pemahaman relasional yang dimiliki oleh siswa. 4. Kesulitan psikologis bagi guru untuk mengakomodasikan skema yang dimilikinya Pembelajaran untuk mencapai pemahaman relasional tidak hanya sekedar menyampaikan materi sedemikian sehingga siswa bisa mengerjakan persoalan-persoalan secara prosedural. Namun pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa sehingga siswa bisa mencapai pemahaman relasional tersebut. Hal ini dibutuhkan kreatifitas guru untuk merancang pembelajaran yang bisa mencapai sasaran tersebut, sehingga secara psikologis guru harus bekerja lebih keras untuk mencapainya. Identik dengan pendapat Skemp yang menyatakan bahwa terdapat dua jenis pemahaman yaitu : instrumental dan relasional, Hiebert (Even & Tirosh, 2002) mengemukakan pendapatnya tentang pengetahuan prosedural (procedural knowledge) yang identik dengan pemahaman instrumental, dan pengetahuan konseptual (conceptual knowledge) yang identik pemahaman relasional. Namun demikian, antara Skemp dan Hiebert terdapat perbedaan mengenai hubungan antara dua kemampuan tersebut. Even & Tirosh (2002) menyatakan bahwa Skemp memberi batas yang jelas antara dua kemampuan tersebut sehingga terdapat dikotomi antara pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Sedangkan Hiebert tidak memberi batas yang tegas antara pengetahuan prosedural dan pengetahuan konseptual, sehingga antara dua kemampuan ini sifatnya continue. 25 Para ahli banyak yang bersilang pendapat tentang pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Reys (1998) di tengah adanya perbedaan pendapat para ahli tentang mana yang lebih antara pemahaman prosedural dan pemahaman konseptual mengungkapkan bahwa kedua pemahaman tersebut samasama penting dalam keahlian matematika. Pemahaman prosedural didasarkan pada urutan langkah-langkah dan aturan-aturan yang harus dilaksanakan dalam memecahkan persoalan. Sedangkan pemahaman relasional atau konseptual didasarkan pada jaringan-jaringan terkoneksi yang menghubungkan dan memilah informasi (Hiebert and Lefevre, dalam Reys, 1998), di mana hal ini juga sangat dibutuhkan dalam pembelajaran matematika. Pendapat lain tentang pemahaman dikemukakan oleh Bloom (Wikipedia, 2009), yang menyatakan bahwa ada 3 macam pemahaman yaitu: pengubahan (translation), interpretasi (interpretation), dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Implementasi pengertian pemahaman tersebut dalam matematika bisa dicontohkan sebagai berikut : pengubahan (translation), misalnya mampu mengubah suatu persamaan menjadi suatu grafik, mampu mengubah soal berbentuk kata-kata menjadi bentuk simbol atau sebaliknya. Interpretasi (interpretation), misalnya mampu menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan soal, mampu mengartikan suatu kesamaan. Sedangkan ekstrapolasi (extrapolation), misalnya mampu menerapkan konsepkonsep dalam perhitungan matematis, mampu memperkirakan kecenderungan suatu diagram. 26 Anderson & Krathwohl (2001) dalam Taxonomi Bloom yang direvisi menyatakan bahwa proses kognitif dari pemahaman ada 7, yaitu : 1. Interpreting (menginterpretasikan): Mengubah dari satu representasi ke representasi yang lain. Contoh : Pada Gambar 2.1 berikut ini diketahui bahwa AB sejajar DE. C D E A Gambar 2.1 B Dua Segitiga Sebangun Siswa bisa menginterpretasikan bahwa : ∠ CDE = ∠ CAB dan ∠ CED = ∠ CBA 2. Exemplifying/Ilustrating : Menemukan contoh spesifik ataupun ilustrasi dari sebuah konsep Contoh : Siswa bisa memberikan contoh 2 segitiga yang sebangun. 3. Classifying (Mengklasifikasikan) : Menentukan bahwa suatu contoh atau suatu kasus termasuk dalam kategori dari suatu konsep atau tidak. Contoh : Disajikan berbagai macam gambar segitiga, dari gambar-gambar segitiga yang disajikan siswa bisa menemukan mana yang sebangun dan mana yang tidak sebangun. 27 4. Summarizing, generalizing (Menyimpulkan) : Membuat satu statemen atau pernyataan yang merepresentasikan beberapa informasi yang disajikan. Contoh : Diketahui gambar dua segitiga yang sebangun seperti pada Gambar 2.2. I C A B G H Gambar 2.2 Dua Segitiga Siku-siku Sebangun dengan informasi dari gambar ini siswa diarahkan untuk mengamati perbandingan panjang sisi-sisi yang bersesuaian antara kedua segitiga tersebut. Dari data-data yang diperoleh, siswa dapat menyimpulkan bahwa dua segitiga tersebut mempunyai perbandingan panjang sisi yang sama. 5. Inferring (Menduga) : Menemukan pola dari suatu kumpulan contoh atau kasus. Contoh : Disajikan berbagai Gambar 2.2 yaitu segitiga-segitiga yang sebangun dengan ukuran yang berbeda. Dari gambar-gambar segitiga yang disajikan, siswa bisa menduga bahwa segitiga-segitiga yang sebangun mempunyai sudut-sudut yang kongruen. (hampir sama dg summarizing, tetapi lebih kepada aktifitas mental menduga). 28 6. Comparing (Membandingkan) : Mendeteksi kesamaan dan perbedaan antara dua objek atau lebih. Contoh : Disajikan berbagai macam bangun segitiga, siswa bisa mendeteksi kesamaan dan perbedaan pada segitiga-segitiga yang disajikan tersebut. 7. Explaining (Menjelaskan) : Mengkonstruksi dan menggunakan sistim sebab akibat dari suatu konsep. Contoh : siswa bisa menjelaskan tentang konsep segitiga-segitiga yang sebangun. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam penelitian ini kemampuan pemahaman matematis meliputi kemampuan pemahaman instrumental matematis dan kemampuan pemahaman relasional matematis. Kemampuan pemahaman instrumental matematis mengilustrasikan, adalah mengklasifikasikan, kemampuan membandingkan, menginterpretasikan, dan melakukan perhitungan matematis. Sedangkan kemampuan pemahaman relasional adalah kemampuan menyimpulkan, menduga, dan menjelaskan alasan setiap tindakan matematis yang dilakukan. Kemampuan pemahaman matematis tersebut akan dilihat melalui kemampuan siswa dalam menyelesaikan persoalan matematika. Dalam setiap penyelesaian persoalan matematika, aspek pemahaman matematis diukur melalui indikator-indikator yaitu: mengklasifikasikan menginterpretasikan gagasan atau konsep; obyek-obyek matematika; menemukan contoh dari sebuah 29 konsep; memberikan contoh dan bukan contoh dari sebuah konsep, serta menyatakan kembali konsep matematika dengan bahasa sendiri. B. Koneksi Matematis Dalam belajar matematika, siswa melaksanakan aktivitas-aktivitas belajar seperti menerima, mengolah atau mengungkapkan gagasan-gagasan maupun ideide matematika. Untuk menghubungkan berbagai macam gagasan-gagasan atau ide-ide matematis yang diterima oleh siswa, diperlukan kemampuan koneksi matematis (mathematical connection). Koneksi matematis merupakan salah satu kemampuan standar yang sudah ditetapkan oleh NCTM serta sudah diadopsi dan digunakan dalam pembelajaran matematika oleh banyak negara. Dengan melihat banyaknya konsep, gagasan atau ide dalam matematika, maka kemampuan koneksi matematis menjadi penting untuk dikembangkan agar gagasan-gagasan atau ide-ide matematika tersebut tidak dipahami saling terpisah oleh siswa. Adanya kemampuan siswa untuk menghubungkan antar konsep-konsep maupun obyek-obyek matematika, bisa mengakibatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep akan lebih luas dan mendalam. Hal ini juga ditegaskan dalam NCTM (2000) yang menyatakan bahwa apabila para siswa dapat menghubungkan gagasan-agasan matematis, maka pemahaman mereka akan lebih mendalam dan lebih bertahan lama. Misalkan seorang siswa sudah belajar tentang konsep kesejajaran, dan pada saat berikutnya siswa tersebut belajar tentang kesebangunan. Jika dalam pembelajaran konsep kesejajaran dan konsep kesebangunan tidak dihubungkan, maka pemahaman siswa tentang kesejajaran akan lebih mudah berkurang. Tetapi jika dalam pembelajaran kedua konsep 30 tersebut dihubungkan, maka pemahaman siswa tentang kesejajaran akan bertambah, begitu juga pemahaman siswa tentang kesebangunan. Dalam NCTM (2000) dijelaskan pula bahwa matematika bukan merupakan sekumpulan topiktopik yang terpisah, tetapi merupakan jaringan dari ide-ide yang saling berhubungan sangat dekat. Dalam mengembangkan koneksi matematis, Harnisch (2003) mengemukakan 3 macam koneksi yang harus dikembangkan, yaitu: (1) data connection, yaitu ide-ide matematika dikoneksikan dengan ide dalam science, misalkan “log” dalam math dihubungkan dengan pH dalam kimia. (2) language connection, yaitu bahasa yang umum digunakan dalam matematika dikaitkan dengan bahasa yang digunakan dalam sains, misalnya penggunaan satuan panjang cm, cm2, dll. (3) life connection, yaitu matematika dan science dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam penelitiannya, Harnisch (2003) juga menemukan bahwa siswa bisa mendapatkan gambaran tentang konsep dan ide-ide yang besar mengenai hubungan-hubungan antar matematika dan sains, serta siswa mendapatkan pengalaman yang lebih banyak. Tentang pentingnya mengembangkan koneksi dalam matematika, Mousley (2004) menyatakan bahwa membangun koneksi matematis merupakan aktifitas sangat penting yang harus dilakukan oleh guru dan siswa dalam pembelajaran matematika agar bisa terbentuk pemahaman matematis siswa. Selanjutnya, Mousley (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga macam koneksi matematis yang perlu dikembangkan yaitu : (a) koneksi antara pengetahuan matematika baru dengan pengetahuan matematika yang sudah ada sebelumnya; (b) koneksi antar 31 konsep-konsep matematika, dan (c) koneksi antara matematika dengan kehidupan sehari-hari. Geller (2008) menyatakan bahwa pembelajaran matematika dengan mengembangkan koneksi-koneksi dalam matematika memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran biasa pada siswa dengan kemampuan rendah (low-performing students) kelas 8 di Pacific Northwest, Amerika Serikat. Penelitian Geller ini juga menunjukkan kaitan yang sangat erat antara pengembangan koneksi matematis dan pemahaman matematis dalam pembelajaran matematika. Businkas (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa para guru pada pembelajaran matematika dalam mengembangkan koneksi matematis menekankan pada hubungan antara matematika dengan dunia nyata. Para guru melihat bahwa hubungan yang dikembangkan tersebut sangat bermanfaat untuk membantu meningkatkan pemahaman dan motivasi belajar mereka. Pada pembelajaran yang menekankan pada koneksi matematis guru harus memahami topik matematika apa yang harus dipelajari saat ini, topik-topik matematika yang sudah dipelajari, serta topik-topik matematika yang akan dipelajari. Hal ini sangat diperlukan agar guru bisa merancang pembelajaran matematika dengan penekanan pada koneksi matematis dengan menghubungkan topik-topik tersebut. Sebagai contoh, pada saat guru akan merancang pembelajaran tentang topik kesebangunan, guru harus memahami bahwa siswa telah belajar tentang topik kesejajaran. Sehingga dalam merancang pembelajaran, guru merancang pembelajaran yang menghubungkan topik-topik tersebut. 32 Knapp (Mousley, 2004) menerangkan tentang hal-hal yang harus ditekankan pada pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan koneksi matematika, yaitu: (a) meluaskan cakupan dari isi matematika yang dipelajari untuk memberi anak-anak suatu pengertian yang luas dari matematika dan aplikasi-aplikasinya, (b) menekankan koneksi antar ide-ide matematika, (c) meng-eksplorasi matematika dengan memperkaya situasi kehidupan nyata, (d) memberikan arahan pada siswa untuk menemukan solusi yang lebih dari satu dan menemukan koneksi antar solusi-solusi tersebut, (e) membuat beragam representasi terhadap suatu ide matematika. Sumarmo (2006) mengungkapkan bahwa yang tergolong kemampuan koneksi matematik adalah: mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur; memahami hubungan antar topik matematika; menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari; memahami representasi ekuivalen suatu konsep; mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen; dan menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar matematika. Dalam NCTM (2000) dinyatakan bahwa standar koneksi matematis adalah penekanan pembelajaran matematika pada kemampuan siswa yang meliputi : a. mengenali dan memanfaatkan hubungan-hubungan antar gagasan-gagasan matematis; b. memahami bagaimana gagasan-gagasan matematis saling berhubungan dan saling mendasari satu sama lain untuk menghasilkan suatu keutuhan yang saling koheren; 33 c. mengenali dan menerapkan matematika di dalam konteks-konteks di luar matematika. Pembelajaran matematika yang menekankan pada hubungan atau keterkaitan antar konsep dan ide matematika diharapkan bisa memberikan pengalaman belajar yang bisa meningkatkan kemandirian belajar. Dengan berbekal pada pamahaman konsep yang sudah pernah dipalajari, siswa akan mempunyai disposisi ataupun rasa percaya diri untuk mempelajari konsep-konsep baru yang diyakininya punya hubungan dengan konsep yang sudah dipahami. Dengan memiliki kemampuan koneksi matematis maka siswa akan bisa membangun pengetahuan matematikanya didasarkan pada hubungan antar konsep matematika yang sudah dikuasainya. Siswa juga bisa mempunyai kesadaran yang lebih tinggi tentang manfaat matematika, karena mereka mengetahui bahwa matematika bisa digunakan untuk mendukung bidang studi lain dan matematika bisa diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Kepercayaan maupun disposisi bahwa konsep-konsep matematika saling berhubungan bisa dikembangkan dengan pertanyaan-pertanyaan pengarahan yang diberikan kepada siswa. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa dibuat oleh guru atau oleh siswa yang sudah dilatih untuk membuat pertanyaan tentang koneksi atau hubungan antar konsep, contoh pertanyaan :’Hari ini kita sudah belajar tentang konsep kesebangunan, coba jelaskan bagaimana hubungan antara konsep kesebangunan dengan konsep kesejajaran yang sudah kamu pelajari di kelas VIII?’. Dengan adanya disposisi maupun rasa percaya diri dalam belajar tersebut, maka kemandirian belajar siswa juga akan terbentuk. 34 Pembelajaran yang menekankan pada koneksi matematis juga harus bisa menumbuhkan kepercayaan pada siswa bahwa matematika bisa dihubungkan dan diterapkan pada konteks-konteks di luar matematika. Pemberian contoh kasus di luar matematika akan membangun kepercayaan tersebut. Misalkan ahli bangunan yang akan menghitung banyaknya material yang diperlukan untuk membuat gorong-gorong yang berbentuk tabung, kasus ini bisa dihubungkan dengn konsep volume tabung maupun konsep selimut tabung. Hal ini juga sesuai dengan yang dinyatakan dalam NCTM (2000) bahwa di kelas 6-8 dan di kelas 9-12 siswa harus percaya diri menggunakan matematika untuk aplikasi-aplikasi yang kompleks di dunia luar. Dalam penelitian ini, kemampuan koneksi matematis akan diukur melalui kemampuan siswa dalam mengungkapkan kemampuan koneksi matematisnya dalam permasalahan matematika. Dalam setiap permasalahan matematika, pengukuran kemampuan koneksi matematis dilakukan dengan indikator-indikator yaitu: kemampuan menyatakan hubungan antar obyek dan konsep matematika; serta kemampuan menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari. C. Komunikasi Matematis Pemahaman matematis yang telah dibahas sebelumnya erat kaitannya dengan komunikasi matematis. Siswa yang sudah mempunyai kemampuan pemahaman matematis dituntut juga untuk bisa mengkomunikasikannya, agar pemahamannya bisa dimanfaatkan oleh orang lain. Dengan kemampuan komunikasi matematis siswa juga bisa memanfaatkan konsep-konsep matematika 35 yang sudah dipahami orang lain. Dengan mengkomunikasikan ide-ide matematisnya kepada orang lain, seseorang bisa meningkatkan pemahaman matematisnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh Huggins (1999) bahwa untuk meningkatkan pemahaman konseptual matematis, siswa bisa melakukannya dengan mengemukakan ide-ide matematisnya kepada orang lain. Matematika adalah bahasa simbol di mana setiap orang yang belajar matematika dituntut untuk mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi dengan menggunakan bahasa simbol tersebut. Kemampuan komunikasi matematis akan membuat seseorang bisa memanfaatkan matematika untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain, sehingga akan meningkatkan sikap positif terhadap matematika baik dari dalam diri sendiri maupun orang lain. Sumarmo (2000) mengemukakan bahwa matematika sebagai bahasa simbol mengandung makna bahwa matematika bersifat universal dan dapat dipahami oleh setiap orang kapan dan di mana saja. Setiap simbol mempunyai arti yang jelas, dan disepakati secara bersama oleh semua orang. Sebagai contoh simbol ‘9’ , operasi +, × , - berlaku secara nasional disetiap jenjang sekolah di mana pun sehingga dapat dipahami oleh semua orang. Menurut Sumarmo (2000), pengembangan bahasa dan simbol dalam matematika bertujuan untuk mengkomunikasikan matematika sehingga siswa dapat : a. merefleksikan dan menjelaskan pemikiran siswa mengenai idea dan hubungan matematika; 36 b. memformulasikan definisi matematika dan generalisasi melalui metode penemuan; c. menyatakan idea matematika secara lisan dan tulisan; d. membaca wacana matematika dengan pemahaman; e. mengklarifikasi dan memperluas pertanyaan terhadap matematika yang dipelajarinya; f. menghargai keindahan dan kekuatan notasi matematika dan peranannya dalam pengembangan ide matematika. Kemampuan komunikasi matematis menunjang kemampuan-kemampuan matematis yang lain, misalnya kemampuan pemecahan masalah. Dengan kemampuan komunikasi yang baik maka suatu masalah akan lebih cepat bisa direpresentasikan dengan benar dan hal ini akan mendukung untuk penyelesaian masalah. Hulukati (2005) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis merupakan syarat untuk memecahkan masalah, artinya jika siswa tidak dapat berkomunikasi dengan baik memaknai permasalahan maupun konsep matematika maka ia tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Berkaitan dengan hal tersebut, Pugalee (2001) menyatakan bahwa agar siswa bisa terlatih kemampuan komunikasi matematisnya, maka dalam pembelajaran siswa perlu dibiasakan untuk memberikan argumen atas setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa yang sedang dipelajari menjadi lebih bermakna baginya. Komunikasi matematis bisa ditumbuhkan dengan berbagai macam cara, di antaranya adalah melalui diskusi kelompok. Within (Saragih, 2007) 37 mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan. Dalam diskusi tersebut siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Menurut Cobb (Saragih, 2007) dengan siswa mengkomunikasikan pengetahuan yang dimilikinya, maka dapat terjadi renegosiasi respon antar siswa, dan peran guru diharapkan hanya sebagai filter dalam proses pembelajaran. Komunikasi matematis juga bisa ditumbuhkan dengan merancang suatu bentuk permasalahan matematika yang untuk menjawabnya dibutuhkan penjelasan-penjelasan dan penalaran-penalaran dan tidak sekedar jawaban akhir dari suatu prosedur yang baku. Sebagai contoh, perhatikan persoalan pertama ini : Dalam suatu segitiga siku-siku, jika diketahui panjang sisi miring (hipotenusa) = 10 cm, salah satu panjang sisi siku-sikunya = 6 cm. Berapa panjang sisi yang belum diketahui ? Selanjutnya perhatikan persoalan kedua sbb. : Pada suatu hari Zaky pergi ke rumah Vina dengan menggunakan motor. Dari rumahnya, ia harus mengendarai motornya dengan arah barat sejauh 8 km. Kemudian belok dengan sudut 90o dan melanjutkan perjalanan sejauh 6 km dan sampailah ke rumah Vina. Dalam perjalanan pulang, Zaky tidak melalui jalan semula, melainkan melalui jalan lurus yang langsung menghubungkan rumah Vina dan Zaky. Jelaskan bagaimana bisa mengukur total jarak yang ditempuh oleh Zaky selama menempuh semua perjalanan tersebut ? Perhatikan bahwa pada persoalan pertama tidak banyak dibutuhkan kemampuan komunikasi matematis, misalnya membaca maupun menuliskan ideide matematis siswa. Hal ini berbeda dengan persoalan kedua, pada persoalan ini siswa berlatih untuk mengembangkan kemampuan komunikasinya melalui membaca persoalan dan memahaminya, kemudian mengkomunikasikan ide-ide 38 matematisnya ke dalam tulisan sehingga bisa dipahami orang lain. Untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa, siswa bisa dilatih dengan persoalan-persoalan dengan model persoalan kedua tersebut. Beberapa pendapat tentang komunikasi matematis dikemukakan berikut ini: Schoen, Bean dan Ziebarth (Hulukati, 2005) mengemukakan bahwa komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam hal menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, katakata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri. Sedangkan Greenes dan Schulman (Saragih, 2007) menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan: (a) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi; (b) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematika; (c) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, berbagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain. Sementara itu dalam NCTM (2000) dinyatakan bahwa standar komunikasi matematis adalah penekanan pengajaran matematika pada kemampuan siswa dalam hal : a. mengorganisasikan dan mengkonsolidasikan (mathematical thinking) mereka melalui komunikasi; berfikir matematis 39 b. mengkomunikasikan mathematical thinking mereka secara koheren (tersusun secara logis) dan jelas kepada teman-temannya, guru dan orang lain; c. menganalisis dan mengevaluasi berfikir matematis (mathematical thinking) dan strategi yang dipakai orang lain; d. menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara benar. Pengertian yang lebih luas tentang komunikasi matematis dikemukakan oleh Romberg dan Chair (Sumarmo, 2000) yaitu: (a) menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika; (b) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematis secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar; (c) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; (d) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (e) membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi; (f) menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari. Baroody (1993) mengemukakan lima aspek komunikasi, kelima aspek itu adalah: (1) Representasi (representing), membuat representasi berarti membuat bentuk yang lain dari ide atau permasalahan, misalkan suatu bentuk tabel direpresentasikan ke dalam bentuk diagram atau sebaiknya. Representasi dapat membantu anak menjelaskan konsep atau ide dan memudahkan anak mendapatkan strategi pemecahan. Selain itu dapat meningkatkan fleksibelitas 40 dalam menjawab soal matematika. Namun mulai dari NCTM 2000, kemampuan representasi matematis merupakan kemampuan tersendiri dan terpisah dari kemampuan komunikasi matematis. (2) Mendengar (listening), aspek mendengar merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam diskusi. Kemampuan dalam mendengarkan topik-topik yang sedang didiskusikan akan berpengaruh pada kemampuan siswa dalam memberikan pendapat atau komentar. Siswa sebaiknya mendengar secara hati-hati manakala ada pertanyaan dan komentar dari temannya. Baroody (1993) mengemukakan bahwa mendengar secara hati-hati terhadap pernyataan teman dalam suatu grup juga dapat membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika lebih lengkap ataupun strategi matematika yang lebih efektif. (3) Membaca (reading), proses membaca merupakan kegiatan yang kompleks, karena di dalamnya terkait aspek mengingat, memahami, membandingkan, menganalisis, serta mengorganisasikan apa yang terkandung dalam bacaan. Betapa sangat pentingnya membaca ini sehingga dalam ajaran Islam, wahyu yang diturunkan pertama kali adalah :”Iqro’“ yang berarti “Bacalah !“. Dengan membaca seseorang bisa memahami ide-ide yang sudah dikemukakan orang lain lewat tulisan, sehingga dengan membaca ini terbentuklah satu masyarakat ilmiah matematis di mana antara satu anggota dengan anggota lain saling memberi dan menerima ide maupun gagasan matematis. (4) Diskusi (Discussing), di dalam diskusi siswa dapat mengungkapkan dan merefleksikan pikiran-pikirannya berkaitan dengan materi yang sedang 41 dipelajari. Siswa juga bisa menanyakan hal-hal yang tidak diketahui atau masih ragu-ragu. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan siswa diarahkan untuk mengetahui “Bagaimana bisa memperoleh suatu penyelesaian masalah ?” dan tidak sekedar “Apa penyelesaian masalahnya ?”. Dalam diskusi, pertanyaanpertanyaan “Bagaimana” lebih berkualitas dibandingkan dengan pertanyaan “Apa “ (Huggins, 1999). Baroody (1993) menguraikan beberapa kelebihan dari diskusi antara lain: (a) dapat mempercepat pemahaman materi pembelajaran dan kemahiran menggunakan strategi; (b) membantu siswa mengkonstruksi pemahaman matematik; (c) menginformasikan bahwa para ahli matematika biasanya tidak memecahkan masalah sendiri-sendiri tetapi membangun ide bersama pakar lainnya dalam satu tim, dan (4) membantu siswa menganalisis dan memecahkan masalah secara bijaksana. Huggins (1999) menyatakan bahwa salah satu bentuk komunikasi matematis adalah berbicara (speaking), hal ini identik dengan diskusi (discussing) yang dikemukakan oleh Baroody tersebut. Baroody (1993) tidak memasukkan speaking dalam unsur komunikasi matematis, karena sudah memasukkannya dalam unsur discussing. (5) Menulis (writing), menulis merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran, yang dituangkan dalam media, baik kertas, komputer maupun media lainnya. Menulis adalah alat yang bermanfaat dari berpikir karena siswa memperoleh pengalaman matematika sebagai suatu aktivitas yang kreatif. Dengan menulis, siswa mentransfer pengetahuan yang dimilikinya ke dalam bentuk tulisan. Parker (Huggins, 42 1999) menyatakan bahwa menulis tentang sesuatu yang dipikirkan dapat membantu para siswa untuk memperoleh kejelasan serta dapat mengungkapkan tingkat pemahaman para siswa tersebut. Begitu juga menulis tentang konsep-konsep matematika dapat menuntun siswa untuk menemukan tingkat pemahamannya. Kemampuan komunikasi matematis siswa bisa dikembangkan dengan berbagai cara, salah satunya dengan melakukan diskusi kelompok. Brenner (1998) menemukan bahwa pembentukan kelompok-kelompok kecil memudahkan pengembangan kemampuan komunikasi matematis. Dengan adanya kelompokkelompok kecil, maka intensitas seseorang siswa dalam mengemukakan pendapatnya akan semakin tinggi. Hal ini akan memberi peluang yang besar bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya. Dalam penelitian ini, kemampuan komunikasi matematis akan diukur melalui kemampuan siswa dalam mengungkapkan kemampuan komunikasi matematisnya secara tertulis dalam permasalahan matematika. Dalam setiap permasalahan matematika, pengukuran kemampuan komunikasi secara tertulis dilakukan dengan indikator-indikator yaitu: kemampuan menyatakan dan mengilustrasikan ide matematika ke dalam bentuk model matematika yaitu bentuk persamaan, notasi, gambar dan grafik, atau sebaliknya. D. Kemandirian Belajar Matematika Marcou dan George (2005) membagi kemandirian belajar ke dalam tiga konsep, pertama, kemampuan pebelajar untuk menggunakan strategi metakognisi 43 atau mengontrol kognisinya. Kedua, kemampuan pebelajar untuk menggunakan metakognisi dan strategi belajar secara bersamaan. Ketiga, kemampuan pebelajar untuk menyelaraskan antara motivasi, kognisi dan metakognisi dalam pembelajaran. Dalam penelitiannya, Macou dan George (2005) juga menemukan bahwa kemandirian belajar secara signifikan berkaitan erat dengan self-efficacy, kepercayaan pada tugas yang bermanfaat (task-value beliefs), orientasi dari dalam diri (intrinsic goal orientation) dan orientasi dari luar (extrinsic goal orientation). Ditemukan juga bahwa semua faktor tersebut, selain faktor orientasi dari luar (extrinsic goal orientation), secara signifikan mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah matematis. Montalvo dan Maria (2004) menyatakan bahwa karakteristik siswa yang memiliki kemandirian belajar adalah: mereka memandang dirinya sebagai agen dari perilaku dan tindakannya sendiri; mereka percaya bahwa belajar adalah proses yang proaktif; mereka bisa memotivasi diri sendiri; dan mereka menggunakan berbagai strategi untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan. Zimmerman (Woolfolk, 2007) mendefinisikan kemandirian sebagai suatu proses mengaktifkan dan mempertahankan secara terus menerus pikiran, tindakan dan emosi kita untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jika tujuan yang akan dicapai berkaitan dengan belajar matematika, maka hal ini dinamakan sebagai kemandirian belajar matematika (mathematics self-regulated learning). Darr dan Jonathan (2004) menyatakan bahwa pebelajar yang memiliki kemandirian belajar adalah pebelajar yang secara aktif bisa memaksimalkan kesempatan dan kemampuannya untuk belajar. Mereka tidak hanya mampu mengontrol 44 metakognisinya tetapi juga mengembangkan kemandirian sikap dan perilaku serta sumber daya yang dibutuhkan untuk meningkatkan hasil pembelajaran yang positif. Boekaerts (Hannula, 2007) mengemukakan tiga macam kemandirian yang tersusun secara berlapis. Lapisan paling dalam adalah kemandirian dalam hal memilih strategi kognitif yang digunakan; lapisan tengah adalah kemandirian dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran termasuk penggunaan metakognisi dan ketrampilan; sedangkan lapisan paling luar adalah kemandirian dalam menentukan tujuan dan sumber daya yang digunakan. Woolfolk (2007) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar meliputi : pengetahuan (knowledge), motivasi (motivation) dan disiplin pribadi (self-discipline). Agar dapat mempunyai kemandirian dalam belajar siswa harus mempunyai pengetahuan tentang dirinya, tentang subyek yang akan dipelajari, tentang tugas, tentang strategi belajar dan tentang aplikasi dari subyek yang dipelajari. Siswa dengan kemandirian belajar yang baik juga mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Mereka tertarik untuk mengerjakan berbagai tugas yang diberikan karena menyukainya. Mereka mengetahui mengapa mereka belajar, sehingga mereka melakukan dan memilih sesuatu merupakan dorongan dari diri mereka sendiri dan bukan karena dikontrol oleh orang lain. Siswa dengan kemandirian belajar yang baik disamping memiliki pengetahuan dan motivasi, juga mempunyai disiplin pribadi yang baik. Corno (Woolfolk, 2007) menyatakan bahwa motivasi menandakan adanya komitmen, sedangkan disiplin pribadi menandakan adanya keberlanjutan. Kedisiplinan yang dimiliki 45 siswa akan menjamin bahwa tindakan yang dilakukan akan berlangsung secara terus menerus sehingga bisa didapatkan hasil yang lebih baik. Pintrich (Rhee & Pintrich, 2004) menyatakan ada 4 jenis strategi umum harus digunakan para siswa untuk mengembangkan kemandirian belajar mereka, yaitu: (1) strategi kemandirian berpikir, strategi ini berfokus pada memonitor, mengontrol dan mengatur pikiran; (2) strategi kemandirian motivasi dan perasaan, strategi ini berfokus pada memonitor, mengontrol dan mengatur motivasi, emosi maupun perasaan; (3) strategi kemandirian perilaku, strategi ini berfokus pada memonitor, mengontrol dan mengatur perilaku; (4) strategi kemandirian konteks, strategi ini berfokus pada memonitor, mengontrol dan mengatur konteks dan lingkungan. Bandura (Sumarmo, 2004) menyarankan tiga langkah dalam melaksanakan kemandirian belajar yaitu: mengamati dan mengawasi diri sendiri, membandingkan posisi diri dengan standar tertentu, dan memberikan respon sendiri(respon positif dan respon negatif). Walaupun tidak sama persis, pendapat Bandura tersebut hampir identik dengan pendapat Zimmerman (1998) yang menyatakan bahwa kemandirian dalam belajar merupakan suatu proses terbuka yang memerlukan aktivitas siklis (cyclical activity) dalam tiga fase: pemikiran awal (forethought), kontrol kemauan (volitional control), dan refleksi diri (self reflection). Fase pemikiran awal mengacu pada proses-proses yang akan berpengaruh dan keyakinan-keyakinan awal sebelum belajar. Fase kedua, kontrol kemauan, merupakan proses-proses yang terjadi selama belajar yang mempengaruhi konsentrasi dan kinerja. Fase ketiga, refleksi diri, merupakan 46 proses-proses yang terjadi setelah belajar dan reaksi pebelajar terhadap pengalaman belajar tersebut. Fase refleksi diri ini, pada gilirannya akan pengaruh pada pemikiran tentang upaya pembelajaran berikutnya, sehingga merupakan suatu siklus yang utuh dalam kemandirian belajar. Selanjutnya, Zimmerman (2001) juga menambahkan bahwa siswa yang memiliki kemandirian belajar mempunyai kemandirian dalam berfikir, merasakan (feelings) dan bertindak untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Sumarmo (2004) kemandirian belajar merupakan proses perancangan dan pemantauan diri yang seksama terhadap proses kognitif dan afektif dalam meyelesaikan suatu tugas akademik. Selanjutnya, Hargis (Sumarmo, 2004) juga mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kemandirian belajar bukan merupakan kemampuan mental atau ketrampilan akademik tertentu, tapi merupakan proses pengarahan diri dalam mentransformasi kemampuan mental ke dalam ketrampilan akademik tertentu. Schunk dan Zimmerman (Sumarmo, 2004) menyatakan bahwa terdapat tiga phase utama dalam siklus kemandirian belajar yaitu : merancang belajar, memantau kemajuan belajar selama menerapkan rancangan, dan mengevaluasi hasil belajar diri sendiri secara lengkap. Sedangkan menurut Woolfolk (2007), tahap-tahap belajar mandiri ada empat, yaitu : menganalisa tugas/pekerjaan, menetapkan tujuan dan menyusun rencana, menentukan taktik dan strategi untuk memenuhi tugas, dan pengaturan belajar. Berdasarkan uraian tentang kemandirian belajar tersebut, dalam penelitian ini kemandirian belajar siswa dalam matematika dikembangkan berdasarkan 47 sembilan aspek kemandirian belajar yaitu: inisiatif belajar; mendiagnosa kebutuhan belajar; menetapkan target atau tujuan belajar; memonitor, mengatur dan mengontrol belajar; memandang kesulitan sebagai tantangan; memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan; memilih dan menerapkan strategi belajar; mengevaluasi proses dan hasil belajar; serta self eficacy (konsep diri). E. Reciprocal Teaching Palincsar dan Brown (1984) menjelaskan bahwa strategi reciprocal teaching adalah pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada prinsip-prinsip membuat pertanyaan, mengajarkan keterampilan metakognitif melalui pengajaran, dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan membaca dan pemahaman pada siswa yang berkemampuan rendah. Reciprocal teaching adalah prosedur pengajaran yang dirancang untuk mengajarkan kepada siswa tentang strategi-strategi kognitif serta untuk membantu siswa memahami bacaan dengan baik. Dalam kamus on line Wikipedia juga dinyatakan bahwa Reciprocal Teaching merupakan salah satu model pembelajaran yang berbasis konstruktivisme (Wikipedia, 2008). Menurut Palinscar (1986) reciprocal teaching bisa disusun dengan menggunakan empat strategi yang bisa diterapkan secara fleksibel yaitu : menyimpulkan (summarization), membuat pertanyaan (question generation), klarifikasi (clarification), dan memprediksi (prediction). Dalam implementasinya, guru harus mempersiapkan bahan teks yang berisi materi pokok bahasan yang akan diajarkan. Foster dan Rotoloni (2008) menyatakan bahwa bahan ajar yang dipersiapkan 48 oleh guru harus efektif dan mudah diimplementasikan oleh siswa, tidak boleh terlalu mudah atau terlalu sulit. Dalam strategi pembelajaran ini siswa dilatih untuk memahami suatu naskah dan memberikan penjelasan pada teman sebaya, sehingga para ahli banyak yang menyebut reciprocal teaching ini sebagai peer practice (latihan dengan teman sebaya). Dalam pembelajaran tersebut guru berperan sebagai fasilitator yang melakukan bimbingan secara bertahap atau scaffolding. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan oleh guru ataupun siswa kepada siswa lainnya untuk belajar dan menyelesaikan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, penguraian masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, pemberian contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri. Scaffolding perlu diberikan agar siswa atau kelompok siswa yang lambat dalam memahami suatu materi bisa mengikuti pembelajaran secara lancar dan tidak tertinggal dengan kelompok yang lain. Scaffolding juga bermanfaat untuk meluruskan pemahaman jika ada kelompok yang masih ragu maupun salah dalam memahami konsep. Dengan adanya scaffolding, kemampuan aktual siswa yaitu kemampuan yang mampu dicapai oleh siswa dengan belajar sendiri dapat berkembang lebih tinggi dan lebih baik sehingga dicapai kemampuan potensialnya. Dengan demikian scaffolding mampu membantu siswa mengembangkan kemampuan aktualnya menjadi kemampuan potensialnya (Rosyid dan Ibrahim, 2007). Dalam reciprocal teaching siswa diajarkan untuk membuat pertanyaanpertanyaan dari bahan bacaan yang sudah dibacanya. Dengan membuat pertanyaanpertanyaan siswa bisa lebih memahami metakognisinya, siswa menjadi lebih tahu tentang hal-hal yang dimengertinya dan hal-hal yang tidak dimengertinya. Selanjutnya 49 siswa dilatih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah diajukan oleh teman dalam dalam kelompoknya. Dengan menjawab pertanyaan yang diajukan, siswa akan menjadi lebih paham tentang apa yang sudah diketahuinya dan terjadi pertukaran pendapat antar kelompok, sehingga siswa yang mempunyai pemahaman yang kurang benar akan bisa diluruskan. Setelah selesai menjawab dan menjelaskan pertanyaanpertanyaan dalam kelompok, siswa juga dituntut untuk memprediksi pertanyaanpertanyaan lanjutan. Dalam reciprocal teaching, pengetahuan dipelajari setahap demi setahap, namun demikian pengetahuan tidak langsung diberikan semuanya kepada siswa. Siswa diberikan stimulus awal, dengan adanya tahapan-tahapan dalam reciprocal teaching seperti membuat prediksi, membuat pertanyaan, menjelaskan dan menyimpulkan, maka siswa diarahkan untuk bisa mengembangkan stimulus awal tersebut untuk mendapatkan ide-ide dan pengetahuan matematika lebih lanjut. Dalam menentukan siswa yang akan berperan sebagai ketua kelompok, bisa dilakukan dengan kebijaksanaan guru, misalkan dilakukan dengan acak. Dengan pemilihan secara acak, setiap siswa akan merasa mendapatkan tantangan untuk bisa berperan sebagai ketua kelompok. Dengan tantangan ini siswa akan mempelajari dan lebih memahami bahan teks yang disediakan serta mengembangkan pengetahuan yang telah didapatkannya. Namun demikian tantangan tersebut harus dikemukakan secara bijaksana oleh guru, jangan sampai hal tersebut menjadikan siswa terlalu tertekan sehingga malah mengganggu konsentrasi belajar. 50 Menurut Palinscar dan Brown (1984) dalam pelaksanaan reciprocal teaching harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Guru bertanggung jawab dalam melaksanakan keempat strategi reciprocal teaching. b. Guru menjelaskan bagaimana cara melaksanakan keempat strategi tersebut. c. Guru memberikan bimbingan (scaffolding) kepada siswa dalam menyelesaikan tugas sesuai dengan tingkat kepandaian siswa. d. Siswa belajar memimpin diskusi dengan atau tanpa ada guru. e. Guru bertindak sebagai fasilitator dengan memberikan penilaian berkenaan dengan penampilan siswa dan mendorong siswa untuk berpartisipasi dalam tanya jawab ke tingkat yang lebih tinggi. Resnick (Hendriana, 2002) menyatakan bahwa reciprocal teaching berarti suatu kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa yang meliputi membaca bahan ajar yang disediakan, menyimpulkan, membuat pertanyaan, menjelaskan kembali dan menyusun prediksi. Slavin (Hendriana, 2002) berpendapat bahwa yang membedakan model reciprocal teaching dengan model lain adalah : Reciprocal teaching menuntut siswa untuk mampu menjelaskan kembali hasil wacana yang dibaca kepada teman-temannya baik dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan atau prediksi-prediksi dari wacana tersebut. Penerapan pendekatan reciprocal teaching dalam pembelajaran matematika menunjukkan adanya peningkatan kemampuan pemahaman konsepkonsep matematika maupun kemampuan-kemampuan matematis yang lain. Kahre (1999) menemukan bahwa penerapan reciprocal teaching dapat meningkatkan 51 kemampuan pemahaman masalah-masalah matematika untuk siswa kelas 7, di samping itu juga meningkatkan kemampuan pemahaman untuk siswa kelas 4 dan kelas 5. Hendriana (2002) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pengajaran terbalik bisa meningkatkan kemampuan pengajuan dan pemecahan masalah matematika. Rahman (2004) menemukan bahwa penerapan pengajaran terbalik dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan kemampuan generalisasi matematis siswa secara signifikan. F. Pemahaman, Koneksi dan Komunikasi Matematis dalam Reciprocal Teaching Kemampuan pemahaman matematis dapat dikembangkan dalam reciprocal teaching. Hal ini bisa dilihat dari karakteristik dan tahap-tahap yang harus dilakukan dalam reciprocal teaching. Palinscar dan Brown (1984) mengemukakan bahwa reciprocal teaching dirancang untuk meningkatkan pemahaman siswa melalui membaca dan menjelaskannya kepada teman sebaya. Dengan tugas dan tantangan untuk menjelaskan materi kepada teman sebaya, siswa akan termotivasi untuk lebih memahami materi tersebut. Langkah awal reciprocal teaching adalah membaca bahan teks materi matematika. Langkah ini mengarahkan siswa untuk memahami bahan bacaan. Bagi siswa yang lebih pandai akan lebih mudah untuk memahami teks dan bisa berperan sebagai ketua dalam kelompok, walaupun pada akhirnya semua anggota diusahakan agar mendapat giliran sebagai ketua kelompok. Sedangkan siswa yang lain atau yang kurang pandai bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau prediksi sehingga bisa mendapat klarifikasi atau penjelasan agar menjadi lebih 52 paham. Klarifikasi merupakan salah satu unsur pemahaman, dan salah satu tahap reciprocal teaching adalah klarifikasi. Tugas memberikan klarifikasi dan penjelasan kepada teman sebaya akan memotivasi siswa untuk lebih memahami materi tersebut. Dengan adanya tahap klarifikasi ini kemampuan pemahaman matematis siswa diharapkan bisa meningkat. Kemampuan komunikasi matematis dapat dikembangkan dalam reciprocal teaching. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa reciprocal teaching merupakan pembelajaran kooperatif. Dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 siswa melakukan tahap-tahap yang ditentukan dalam reciprocal teaching. Dalam diskusi kelompok ini kemampuan komunikasi siswa bisa ditingkatkan. Within (Saragih, 2007) mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, di mana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, mengambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Aspek-aspek kemampuan komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya karakteristik dari tahap-tahap yang harus dilakukan dalam reciprocal teaching. Aspek membaca dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya tahap membaca teks yang dilakukan sebelum proses pembuatan kesimpulan. Salah satu ciri reciprocal teaching adalah adanya bahan teks yang harus dipersiapkan guru sebelum proses pembelajaran dimulai. Dalam konteks pembelajaran matematika, guru harus menyiapkan bahan teks yang berisi materimateri matematika yang menjadi pokok bahasan dalam pembelajaran. Bahan teks 53 ini harus dibaca oleh semua siswa dalam kelompok, sehingga dalam tahap ini kemampuan siswa dalam membaca bisa ditingkatkan. Siswa tidak hanya sekedar membaca teks, namun juga dituntut untuk memahami teks tersebut sehingga pemahamannya bisa digunakan untuk melakukan tahap-tahap pembelajaran berikutnya. Aspek menulis dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya tahap-tahap pembuatan kesimpulan, pembuatan pertanyaan dan prediksi. Pemahaman matematis siswa yang didapatkan pada saat membaca teks maupun pada tahap klarifikasi, siswa diberi tugas untuk membuat kesimpulan. Tugas ini bisa meningkatkan kemampuan siswa dalam hal menuliskan ide-ide matematisnya. Tahap pembuatan pertanyaan akan membuat siswa bisa menuangkan hal-hal yang belum diketahui maupun yang perlu penjelasan lebih detail untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Tahap prediksi memperkirakan materi atau masalah matematis lanjutan yang bisa digali oleh siswa, masalahmasalah ini dituangkan dalam bentuk tulisan sehingga bisa meningkatkan kemampuan menulis bagi siswa. Sedangkan aspek diskusi dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya proses klarifikasi dalam reciprocal teaching. Bagi siswa yang bertugas sebagai ketua kelompok, tahapan ini sangat bermanfaat untuk mengasah kemampuan berbicara, memberikan penjelasan, serta memahami pendapat siswa lain. Bagi siswa yang sedang tidak bertugas sebagai ketua kelompok, bisa mengungkapkan pendapat-pendapatnya, menanyakan hal-hal yang tidak jelas, serta menambah penjelasan yang sudah diberikan. 54 Aspek mendengar dalam komunikasi matematis bisa ditingkatkan dengan adanya proses klarifikasi. Siswa yang bertugas sebagai ketua kelompok, selain bermanfaat untuk mengasah kemampuan berbicara, tahapan ini juga bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan mendengarkan pendapat siswa lain yang ingin mengungkapkan pendapatnya. Sedangkan bagi siswa yang tidak bertugas sebagai ketua kelompok, dengan mendengar klarifikasi dari ketua kelompok, akan meningkatkan kemampuan mendengar. Koneksi matematis dalam pembelajaran dengan pendekatan reciprocal teaching dapat dikembangkan dalam berbagai cara, diantaranya adalah dengan memberikan bahan ajar yang memuat hubungan-hubungan antar konsep matematika, antara konsep matematika dengan bidang lain ataupun antara konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari. Dengan memberikan bahan ajar tersebut, siswa akan terbiasa dan memahami bahwa konsep-konsep dalam matematika tidak berdiri sendiri dan tidak saling terpisah. Penanaman koneksi matematis juga bisa dilaksanakan pada saat guru memberikan scaffolding, pada tahap ini guru memberikan hubungan antara konsep yang sedang dipelajari dengan konsep-konsep matematika lain atau dengan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian siswa akan lebih memahami adanya koneksi matematis tersebut. G. Penelitian-penelitian yang Relevan Penelitian-penelitian yang relevan dan berkaitan dengan penerapan reciprocal teaching untuk meningkatkan kemampuan pemahaman, koneksi dan 55 komunikasi matematis siswa SMP belum banyak dilakukan. Berikut ini disajikan beberapa penelitian yang relevan tersebut. Kahre(1999) mengadakan penelitian tentang penerapan reciprocal teaching untuk meningkatkan kemampuan pemahaman siswa terhadap masalahmasalah matematika untuk siswa kelas 7, kelas 4 dan kelas 5 di Northern Illinois. Dari penelitiannya tersebut ditemukan bahwa penerapan dapat meningkatkan kemampuan pemahaman reciprocal teaching masalah-masalah matematika untuk siswa kelas 7, di samping itu juga meningkatkan kemampuan pemahaman untuk siswa kelas 4 dan kelas 5. Giangrave (2006) yang melakukan penelitian pada siswa kelas 7 menemukan bahwa reciprocal teaching efektif meningkatkan kemampuan membaca dan pemahaman siswa. Disamping itu, reciprocal teaching juga mampu meningkatkan strategi metakognisi yang digunakan siswa. Ia juga menambahkan bahwa reciprocal teaching bisa diimplementasikan pada berbagai setting kelas dimana siswa harus memahami suatu bacaan. Hendriana (2002) dalam studi yang dilakukan pada siswa kelas 1 SMU di salah satu kota di Bandung menemukan bahwa : (a) penerapan pembelajaran berbalik dapat meningkatkan kemampuan pengajuan masalah matematis siswa secara signifikan; (b) kemampuan pengajuan masalah siswa yang menggunakan pembelajaran berbalik lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran biasa; (c) kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang menggunakan pembelajaran berbalik lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran biasa; (d) sikap siswa terhadap pembelajaran berbalik secara keseluruhan adalah 56 positif, dimana sikap positif ini menjadi faktor pendukung sikap siswa terhadap bidang studi matematika; (e) faktor penghambat dalam meningkatkan kemampuan pengajuan dan pemecahan masalah dengan penerapan pembelajaran berbalik adalah kesulitan penerapan model ini jika pengetahuan prasyarat siswa lemah dan tidak semua siswa berkesempatan menjadi ketua kelompok, sedangkan kuatnya minat siswa mengikuti proses pembelajaran menjadi faktor pendukung. Rahman (2004) dalam penelitian yang dilakukan terhadap siswa SMA di Kendari mengemukakan bahwa penerapan pembelajaran berbalik dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan kemampuan generalisasi matematis siswa secara signifikan. Temuan lainnya adalah adanya sikap siswa yang positif terhadap penerapan pembelajaran berbalik. Pandangan atau pendapat guru terhadap pembelajaran berbalik juga menunjukkan sikap yang positif. Ansari (2003) yang melakukan penelitian untuk menumbuhkembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMU melalui strategi think-talk-write(TTW) menemukan bahwa strategi TTW dalam kelompok kecil lebih besar pengaruhnya untuk menumbuhkembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMU dibandingkan dengan strategi TTW yang dilaksanakan secara klasikal. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa strategi TTW dapat memberikan efek yang signifikan terhadap kemampuan pemahaman dan komunikasi siswa secara bersama. Gandhi & Varma (2010) dalam penelitiannya pada siswa kelas 8 berhasil meningkatkan kemandirian belajar matematika siswa. Dalam penelitiannya, ia menerapkan strategi pembelajaran matematika secara kooperatif dengan 57 kelompok kecil dan menekankan pada pengetahuan metakognitif, keyakinan akan motivasi, serta pendekatan kemandirian. Ia juga menyatakan bahwa para siswa aktif dalam melaksanakan tugas mereka masing-masing maupun tugas kelompok.