yang bersifat spesifik untuk suatu situasi

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Kepercayaan diri (self confidence) yang bersifat spesifik untuk suatu situasi
tertentu dinamakan efikasi diri (self efficacy). Keyakinan efikasi diri dapat bervariasi
dari situasi ke situasi dan dapat memengaruhi kinerja apabila didukung oleh
keterampilan yang cukup (Bandura, 1997). Teori efikasi diri merupakan konsep utama
dari teori pembelajaran sosial yang terdiri dari faktor perilaku, kognisi, dan lingkungan,
semuanya, memengaruhi satu sama lain dalam model dinamis (Bandura, 1977; 1986).
Efikasi diri merupakan keyakinan yang dimiliki individu tentang kemampuan
atau ketidakmampuan yang dimiliki untuk menunjukkan suatu perilaku atau
sekumpulan perilaku tertentu (Bandura, 1997). Konsep efikasi diri berkaitan bagaimana
individu mampu memiliki kemampuan, potensi, dan kecenderungan yang ada pada
dirinya untuk dipadukan menjadi tindakan tertentu dalam mengatasi situasi yang akan
dihadapi pada masa mendatang. Efikasi diri merupakan keyakinan pribadi mengenai
kemampuan seseorang untuk mengatur dan menerapkan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja yang sudah direncanakan (Bandura, 1977).
Efikasi diri juga dipengaruhi oleh pola pikir dan reaksi emosional; misalnya stres dan
gelisah berperan mengurangi efikasi diri seseorang (Bandura, 1986).
Efikasi diri tumbuh secara pelan-pelan melalui pengalaman, kemampuan
intelektual, sosial, bahasa, atau kemampuan fisik (Bandura, 1997). Sejalan dengan
Weinberg dan Gould (2003), bahwa efikasi diri merupakan persepsi kemampuan
seseorang untuk kinerja tugas dengan sukses dan merupakan bentuk situasi spesifik dari
kepercayaan diri. Menurut teori efikasi diri Bandura (1997), apabila seseorang memiliki
2
keterampilan yang diperlukan dan motivasi yang cukup, penentu utama kinerja individu
adalah efikasi diri. Walaupun efikasi diri merupakan spesifik tugas, dapat digeneralisasi
atau ditransfer pada keterampilan dan situasi serupa lainnya.
Terdapat beberapa ulasan yang menyoroti tiga aspek definisi efikasi diri
(Bandura, 1988; Bandura & Wood, 1989a & 1989b). Pertama, efikasi diri adalah
ringkasan yang komprehensif atau justifikasi dari kapabilitas yang dipersepsikan untuk
melakukan tugas tertentu. Dalam konteks organisasi, informasi yang diperoleh individu
dan tugas kerja di lingkungan kerja dapat berkontribusi pada penilaian yang
komprehensif dari kapabilitas. Kedua, efikasi diri merupakan konstruk yang bersifat
dinamis. Perubahan justifikasi efikasi diri dari waktu ke waktu merupakan informasi
baru dan sebuah pengalaman yang diperoleh selama bekerja menyelesaikan tugas.
Ketiga, keyakinan efikasi diri komponen mobilisasi; efikasi diri menunjukkan proses
yang lebih kompleks dan generatif; serta melibatkan konstruksi dan orkestrasi kinerja
adaptif sesuai dengan perubahan keadaan. Dengan demikian, orang yang memiliki
keterampilan sama dapat melakukannya berbeda berdasarkan pemanfaatannya,
kombinasi, dan peruntukan keterampilan ini dalam konteks yang berkembang.
Menurut Bandura (1997), sumber utama dalam efikasi diri dapat ditumbuhkan
dan dipelajari melalui empat sumber. Pertama, pengalaman penguasaan (mastery
experience) atau pencapaian kinerja. Sumber inilah yang paling kuat dalam membentuk
keyakinan efikasi karena merupakan informasi langsung mengenai kesuksesan.
Bandura
(1997)
menyatakan
bahwa
pencapaian
kinerja
merupakan
sumber
pengharapan efikasi yang terbesar karena didasarkan pada pengalaman-pengalaman
pribadi berupa keberhasilan atau kegagalan pada masa lalu.
Kedua, pengalaman pribadi atau pemodelan (vicarious experiences). Individu
tidak perlu mengalami secara langsung perilaku personal yang memperkuat
3
pembelajaran (dapat belajar sendiri dengan mengamati dan melihat orang lain yang
relevan). Hal yang sama dapat terjadi pada pencapaian efikasi. Penting untuk
ditekankan bahwa semakin mirip modelnya dan semakin relevan tugas yang dilakukan,
semakin besar pengaruh pada pengamat proses efikasi diri (Bandura, 1997).
Ketiga, persuasi sosial. Persuasi verbal merupakan sumber yang paling banyak
digunakan untuk memengaruhi perilaku individu karena mudah dan praktis. Individu
diarahkan dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan
keyakinannya tentang kemampuan yang dimilikinya, yang dapat membantu mencapai
tujuan yang diinginkan. Persuasi sosial tidak sekuat dua sumber informasi sebelumnya.
Keyakinan seseorang atas efikasi mereka dapat diperkuat melalui pengaruh orang lain
yang kompeten dan dihormati. Seseorang mendapat apa yang diperlukan dan
memberikan umpan balik positif pada perkembangan yang terjadi dalam penugasan
(Bandura, 1997).
Keempat, peningkatan fisiologi dan psikologi. Individu akan lebih berhasil jika
tidak mengalami gejolak fisiologi serta tidak mengalami tekanan, goncangan, dan
kegelisahan yang mendalam karena pengalaman tersebut dapat menurunkan kinerjanya.
Gejolak emosional dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu
isyarat akan terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan dan situasi yang menekan akan
cenderung dihindari (Bandura, 1997). Bandura juga menyatakan bahwa orang sering
mengandalkan
perasaan mereka, secara fisik dan emosi, untuk menilai kapasitas
mereka. Lebih dari sumber informasi lainnya, jika ada hal negatif (misalnya, orang
sangat lelah atau tidak sehat secara fisik, cemas, atau depresi dan merasa tertekan), hal
tersebut akan sangat mengurangi efikasi. Apabila kemampuan intelektual dan
kemampuan fisik dalam keadaan baik, kondisi tersebut akan memberikan kontribusi
pada efikasi. Jika seseorang berada dalam kemampuan intelektual yang tinggi dan
4
kemampuan fisik yang sehat, hal ini merupakan titik awal yang baik untuk membangun
efikasi. Kondisi tersebut juga meningkatkan efikasi seseorang pada tugas yang
menuntut kemampuan fisik dan atau psikologi yang baik (Bandura, 1997).
Menurut Gist dan Mitchell (1992), empat sumber efikasi diri dari Bandura
(1986) memberikan kontribusi berbagai isyarat informasi internal dan eksternal yang
dapat memengaruhi efikasi diri. Namun demikian, informasi tersebut hanya
mempertimbangkan satu dimensi dari teori atribusi, yaitu lokus kausalitas. Dua dimensi
utama lainnya yang belum dipertimbangkan adalah variabilitas (dari waktu ke waktu
dan kesempatan) dan pengendalian dari pengaruh kausal.
Determinan efikasi diri dari sisi variabilitas dibagi menjadi variabilitas rendah
dan variabilitas tinggi, sedangkan determinan efikasi diri dari sisi lokus dibagi menjadi
determinan internal dan determinan eksternal. Kategori variabilitas rendah dari
determinan eksternal efikasi diri adalah faktor yang berkaitan dengan atribut tugas
(misalnya, saling ketergantungan dan sumber daya) dan kompleksitas tugas (misalnya,
kesulitan, ketidakpastian) (Gist & Mitchell, 1992). Kategori variabilitas rendah dari
determinan internal efikasi diri mengacu pada penilaian kemampuan dan atribut
disposisional stabil (misalnya, kondisi fisik secara umum, kepribadian). Kategori
variabilitas tinggi dari determinan eksternal efikasi diri dihasilkan oleh lingkungan
tugas (misalnya, gangguan, risiko). Kategori variabilitas tinggi dari determinan internal
efikasi diri mencakup strategi penentu kinerja, dan motivasi untuk mengerahkan usaha
(dipengaruhi tujuan, prioritas, perhatian, dan suasana hati) (Gist & Mitchell, 1992).
Perbedaan dimensi tersebut disebabkan oleh teori atribusi, yaitu kontrolabilitas
(Weiner, 1979). Pada saat penilaian efikasi, individu juga mempertimbangkan kontrol
atas faktor penentu (Bandura & Wood, 1989). Menurut Gist dan Mitchell (1992),
kontrolabilitas dapat bervariasi dalam beberapa cara. Pertama, beberapa faktor utama
5
berada di bawah kontrol pribadi (dimensi internal), dan beberapa yang lain berada di
bawah kendali dalam organisasi (dimensi eksternal). Kedua, kontrol dapat bervariasi
berdasarkan rentang waktu antara penilaian efikasi diri dan kinerja. Beberapa faktor
dapat mengubah dengan cepat (seperti usaha), sedangkan yang lainnya membutuhkan
periode waktu yang panjang (kemampuan intelektual atau kemampuan fisik secara
umum). Dengan demikian, persepsi kontrol akan lebih tinggi daripada determinan yang
bersifat variabel dibandingkan dengan faktor yang relatif lebih stabil.
Hunter (1986) mendefinisikan kemampuan sebagai suatu kapasitas individu
untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan
individu pada hakikatnya tersusun dari dua perangkat, yakni kemampuan intelektual
dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan
untuk menjalankan kegiatan mental. Tujuh dimensi dari kemampuan intelektual adalah
kecerdasan berhitung, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif,
penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan ingatan (Hunter, 1986).
Kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugastugas yang menuntut stamina, kelenturan, kekuatan dinamis, koordinasi, dan
keseimbangan tubuh (Gibson et al., 2003). Fleishman (1979) mendefinisikan
kemampuan fisik adalah suatu kapasitas seseorang untuk mengerjakan berbagai tugas
fisik dalam suatu pekerjaan. Komponen dasar kemampuan fisik adalah kekuatan
dinamis, kekuatan tubuh, kekuatan statis, keluwesan dinamis, koordinasi tubuh,
keseimbangan, dan stamina.
Menurut Bandura (1997), indikator pembentukan efikasi diri sangat relevan
dalam ranah yang melibatkan kecakapan fisik, fungsi kesehatan, dan pengatasan stres.
Sumber efikasi diri yang keempat, ialah peningkatan fisiologi dan psikologi. Apabila
individu berada dalam kemampuan intelektual yang baik dan kemampuan fisik yang
6
sehat, hal ini merupakan titik awal yang baik untuk membangun efikasi. Dukungan
serupa disampaikan oleh Gist dan Mitchell (1992) bahwa faktor internal penentu efikasi
diri adalah kemampuan intelektual (pengetahuan dan keterampilan), kemampuan fisik
secara umum, kondisi kesehatan secara umum, kepribadian, strategi kinerja yang ada,
dan motivasi untuk menggunakan usaha, yang dipengaruhi oleh tujuan, prioritas,
kepentingan, dan suasana hati.
Kemampuan intelektual dan kemampuan fisik secara umum telah menjadi
prediktor tunggal kinerja yang terbaik (Hunter, 1984). Kemampuan juga diketahui
memprediksi efikasi diri (Thomas dan Mathiew, 1994). Judge et al. (2007) dari hasil
studinya menyatakan bahwa efikasi seseorang secara umum dipengaruhi oleh variabel
kemampuan mental umum, kepribadian the big five (ekstraversi, menyenangkan,
mendengarkan kata hati, berketerbukaan pada pengalaman, dan berstabilitas emosional)
dan pengalaman yang selama ini dimiliki. Efikasi seseorang mempunyai pengaruh
secara positif terhadap kinerja tugas individualnya. Philips dan Guly (1997)
menjelaskan bahwa terdapat variabel internal individu, yang terdiri dari kemampuan
intelektual, orientasi tujuan pembelajaran, orientasi tujuan kinerja, dan lokus kontrol
yang berpengaruh terhadap efikasi diri. Secara spesifik Philips dan Guly (1997), Judge,
et al. (2007), dan Judge, et al.
(2009) menyatakan bahwa kemampuan dapat
memprediksi secara positif terhadap efikasi diri dan kinerja. Philips dan Guly (1997)
menyatakan bahwa kemampuan akan berpengaruh langsung pada tujuan yang
ditetapkan sendiri melalui pengaruh positifnya pada efikasi diri.
Kelompok sangat penting dalam sebuah organisasi. Oleh karena itu, pengusaha
membutuhkan keterampilan baru bagi karyawan, seperti kemampuan untuk bekerja
sebagai anggota kelompok atau memimpin sebuah kelompok. Akibatnya, konstruksi
efikasi kelompok muncul sebagai salah satu variabel kunci dalam pemahaman
7
efektivitas kelompok (Capelli & Rogovsky, 1994; Cohen & Bailey, 1997; dalam Jung
& Sosik, 2003). Kolektivis adalah individu yang cenderung melihat diri mereka sebagai
yang tak terpisahkan dari orang lain (Wagner & Moch, 1986; Triandis, Bontempo,
Vilareal, Masaaki, & Luca, 1988; Hewlin, 2009; Triandis, 1995). Kolektivis cenderung
untuk berbagi dan mempromosikan kepentingan kolektif dengan mengorbankan
kepentingan mereka sendiri (Hewlin, 2009; Wagner & Moch, 1986).
Bandura (2000) menyatakan bahwa efikasi kolektif sebuah kelompok
merupakan komplemen dan dibangun atas dasar konsep efikasi diri. Konsep efikasi diri
dan efikasi kolektif berasal dari teori sosial kognitif. Peningkatan kelembagaan
seseorang terjadi dalam hal pemberdayaan, proses yang melengkapi seseorang dengan
keyakinan, dan sarana untuk menghasilkan pengaruh melalui tindakan kolektif mereka.
Kelompok berfungsi memberikan pengaruh munculnya kreativitas dan kesinergian.
Efikasi kelompok berakar pada efikasi diri dan merupakan atribut kelompok.
Efikasi kolektif didefinisikan sebagai keyakinan bersama dalam suatu kelompok
yang dapat melaksanakan tugas dengan sukses, untuk memotivasi kelompok, kinerja
kelompok, dan keefektifan (Bandura, 1997; Gully, et al., 2002). Bandura (2000)
berpendapat bahwa dengan memiliki rasa yang kuat dari efikasi kolektif, kelompok
akan menetapkan tujuan yang lebih menantang, bertahan dalam menghadapi kesulitan,
dan pada akhirnya lebih memungkinkan untuk berhasil. Kelompok yang percaya diri
akan memiliki banyak keunggulan karena dapat membangun efikasi kolektif pada
tingkat yang tinggi sedini mungkin. Efikasi kolektif tingkat tinggi akan mengurangi
bentuk tertentu dari konflik yang dapat bermanfaat bagi kinerja kelompok. Efikasi
kolektif merupakan atribut kelompok yang dibagikan di antara para anggota (Bandura,
1997; Zaccaro et al., 1999). Para peneliti menyatakan bahwa efikasi kolektif
merupakan persepsi bersama dan selanjutnya agregasi mereka juga merupakan persepsi
8
bersama untuk level kelompok (Feltz & Lirgg, 1998; Prussia & Kinicki, 1996, dalam
Zaccaro et al., 1999).
Menurut Rousseau dan House (1994; dalam Watson, et al., 2001), efikasi pada
level individu atau level kelompok akan mengalami bias, apabila hanya menggunakan
salah satu level analisis untuk mengeneralisasi secara keseluruhan. Bias pertama,
adalah hasil penelitian yang menggunakan level tunggal akan terjadi generalisasi yang
berlebihan apabila akan digunakan pada level lainnya. Bias kedua, adalah penelitian
yang dilakukan dengan level tunggal akan menurunkan estimasi pengaruh dari lintaslevel. Bias ketiga, adalah penelitian yang dilakukan dengan level tunggal di tingkat
kelompok akan dapat mengakibatkan reefikasi atribut kelompok.
Hasil studi yang menggunakan level kelompok untuk efikasi sebagai variabel
antesenden dan variabel konsekuen adalah partisipasi tim (Thoms et al., 1996); sikap
tim (Thoms et al., 1996); keefektifan kerja kelompok (Gibson, 1999); komitmen tujuan,
kepuasan, kecemasan, kinerja, usaha, dan persistensi (Feltz & Chasek, 1998;
Beauchamp, 2007, dalam Chen dan Kao, 2011); kelompok fungsi: tingkat usaha,
ketekunan, dan prestasi (Durham, Knight, & Locke, 1997; dalam Bandura, 2000); dan
keefektifan individu (Gibson, 2001).
Hasil penelitian Somech dan Zahavy (2000) yang didukung oleh Chen dan Kao
(2011) menyebutkan bahwa efikasi kelompok berpengaruh positif terhadap efikasi diri
seseorang yang menjadi anggota kelompok. Somech dan Zahavy (2000) menyatakan
bahwa persepsi efikasi kolektif memprediksi kinerja pada level organisasi dan level
kelompok. Seperti dalam konsepsi efikasi diri, hasil penelitian terdahulu menyebutkan
bahwa efikasi kolektif berhubungan dengan kinerja tugas. Hasil penelitian Somech dan
Zahavy (2000) juga menemukan bahwa persepsi efikasi kelompok berhubungan positif
dengan perilaku ekstra peran pada level siswa, tim, dan organisasi. Selanjutnya, juga
9
diidentifikasi kepuasan kerja, efikasi diri, dan efikasi kolektif sebagai faktor kunci yang
positif dan khas, yang berhubungan dengan perilaku ekstra-peran guru.
Menurut Hsieh et al. (2012), efikasi kolektif berpengaruh pada kinerja tingkat
kelompok dan kinerja individu. Efikasi kolektif sebagai variabel level kelompok adalah
tipe keyakinan kolektif yang berasal dari persepsi kompetensi anggota kelompok dalam
pelaksanaan tugas. Bandura (1986, 1997) berpendapat bahwa kepercayaan kolektif
kelompok adalah inti dari efikasi kolektif, yang berpengaruh pada perilaku individu,
keterlibatan kerja, dan kinerja individu. Efikasi diri dan efikasi kelompok sebagai
konsep khas dari Bandura (1997) menunjukkan bahwa efikasi kelompok dalam
organisasi berpengaruh secara positif pada pengembangan efikasi diri seseorang. Hsieh
et al. (2012) menyatakan bahwa variabel level kelompok, yaitu karakteristik kerja
sosial dan efikasi kelompok berpengaruh signifikan pada kontekstual efikasi diri dan
kinerja individu.
Menurut Gibson et al. (1996), kelompok informal dan formal dapat memiliki
kedekatan atau kesamaan dalam sikap, perilaku, dan kinerja. Kedekatan ini dinamakan
kekohesifan, yang merupakan suatu bentuk kekuatan keinginan anggota dalam
kelompok dan berkomitmen terhadap kelompok. Kanfer (1990) mendefinisikan
kekohesifan kerja kelompok sebagai wadah sebuah kelompok, kehangatan, dan
keakraban yang kuat antar sesama anggota kelompok dalam bekerja guna mencapai
tujuan organisasi. Kekohesifan kerja ini ditandai oleh adanya kepercayaan, ketertarikan
individu dengan individu lainnya, respek antar anggota kelompok, dan penghargaan
kelompok terhadap kinerja individu.
Terdapat dua tipe orientasi kekohesifan, yaitu kekohesifan berorientasi tugas
dan kekohesifan berorientasi sosial. Kekohesifan berorientasi tugas adalah anggota
kelompok bekerja sama untuk mencapai tujuan yang dapat diidentifikasi secara umum,
10
sedangkan kekohesifan berorientasi sosial adalah seberapa baik anggota kelompok
antara satu sama lain dalam memperoleh kesenangan pribadi, yang menjadi bagian dari
kelompok sebagai fungsi kelompok dan kesatuan (Carron et al., 1985; dalam Marcos et
al., 2010). Hasil studi Patchell (2007) menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif
antara kekohesifan kelompok dengan kinerja individu.
Dorsch, et al. (1996, dalam Stegelin, 2003) dalam studinya menemukan bahwa
terdapat pengaruh positif antara variabel kekohesifan kelompok dengan efikasi diri.
Veskovic dan Valdevit (2008) menjelaskan bahwa semua dimensi (tugas dan sosial)
dari kekohesifan kelompok berkorelasi positif dengan keyakinan efikasi kelompok
maupun efikasi diri, baik signifikan secara statistik maupun signifikan secara praktis.
Fosse et al. (2015) menemukan bahwa kepribadian conscientiousness
berhubungan positif dengan kinerja akademik dan kinerja militer, sedangkan efikasi
diri muncul sebagai mediator parsial pada hubungan antara conscientiousness dengan
kinerja. Efikasi diri berhubungan positif dengan kinerja akademik dan kinerja militer
taruna di ketiga Akademi Militer Norwegia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
kepribadian conscientiousness dan efikasi diri sangat penting sebagai faktor penentu
kinerja individual.
Hasil penelitian Somech dan Zahavy (2000) menjelaskan kepuasan kerja,
efikasi diri, dan efikasi kolektif berpengaruh positif terhadap perilaku ekstra-peran pada
level analisis individu, kelompok, dan organisasi pada lingkungan sekolah. Efikasi diri
berhubungan positif terhadap perilaku ekstra-peran pada level analisis kelompok dan
organisasi. Sedangkan efikasi kolektif memiliki hubungan secara positif terhadap
perilaku ekstra-peran pada level kelompok saja. Hasil penelitian Somech dan Zahavy
(2000) memberikan alternatif pendekatan multidimensional untuk perilaku ekstraperan, dan menekankan pentingnya memeriksa penentu setiap konstruk secara terpisah.
11
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil tinjauan empiris terhadap antesenden dan konsekuen efikasi
diri dalam level analisis individual dan level analisis kelompok, terdapat beberapa isu
empiris dan isu teoritis yang dapat diidentifikasi dalam rangka untuk pengembangan
konsep efikasi pada masa mendatang. Isu pertama, faktor determinan efikasi diri.
Faktor determinan efikasi diri selama ini diteliti pada bagian tertentu saja dan dilakukan
secara terpisah. Selama ini dalam penelitian, terlihat bahwa kemampuan seseorang
yang diukur masih sebatas pada satu aspek, yakni kemampuan intelektual atau
kemampuan mental umum yang bersifat sederhana, misalnya, diukur berdasarkan nilai
masuk di perguruan tinggi (Philips & Gully, 1997), kinerja rata-rata sebelumnya (Judge
et al., 2007). Riyadiningsih (2001) dalam penelitiannya menguji pengaruh kemampuan
intelektual terhadap efikasi diri dengan sampel mahasiswa. Pengukuran kemampuan
intelektual dengan menggunakan Nilai Ebtanas Murni (NEM) SMA. Kemampuan fisik
terbatas pada pengukuran aktivitas fisik (McAuley et al., 2005; Judge et al., 2009; dan
Ashford et al., 2010).
Menurut Wilk et al. (1995), kemampuan adalah karakteristik stabil yang
berkaitan dengan kemampuan intelektual dan kemampuan fisik seseorang secara
maksimum.
Bandura (1997) dan Maurer (2001) mengemukakan bahwa sumber
keempat dari efikasi diri adalah peningkatan kemampuan fisik dan psikologi. Ketika
kemampuan fisik dan kemampuan mental dalam keadaan baik, maka kondisi tersebut
akan memberikan kontribusi pada efikasi seseorang. Kondisi tersebut juga
meningkatkan efikasi seseorang pada tugas yang menuntut kondisi fisik dan atau
psikologi yang baik. Feltz dan Magyar (1996) menjelaskan bahwa peran olahraga dan
partisipasi aktivitas fisik merupakan sumber yang sangat kuat pada keyakinan efikasi
dan terkait pada perilaku prestasi berikutnya.
12
Gist dan Mitchell (1992) menjelaskan bahwa efikasi diri akan menjadi bahan
pertimbangan atau justifikasi atasan pada kapabilitas kinerja yang disebabkan oleh
asimilasi dan integrasi banyak penentu kinerja. Faktor determinan lokus bagian internal
dan determinan variabilitas tingkat rendah secara keseluruhan ialah variabel
kemampuan intelektual dan kemampuan fisik sebagai sumber yang memengaruhi
efikasi diri pada level individual.
Isu kedua, hasil tinjauan empiris efikasi selama ini masih didominasi pada level
analisis individual, yakni berbentuk efikasi diri. Pengujian efikasi pada level analisis
kelompok terbatas dilakukan. Ulke dan Bilgic (2011) menyatakan bahwa hingga saat
ini kelompok kerja menjadi bagian penting dari strategi bisnis. Hal yang mendasari
adalah kelompok lebih unggul dibandingkan dengan individu ketika tugas memerlukan
beberapa keterampilan, penilaian, dan pengalaman yang dibutuh organisasi. Bandura
(1982) menjelaskan bahwa banyak tantangan dan kesulitan yang mencerminkan
permasalahan sebuah kelompok. Maka dari itu, diperlukan upaya kolektif dari sebuah
kelompok yang berkelanjutan untuk menghasilkan perubahan yang berarti dalam
kelompok tersebut. Menurut Gully et al. (2002), efikasi kelompok adalah sebuah
konsep yang relatif baru dalam penelitian kelompok. Namun demikian, terdapat
kelemahan yang perlu diselesaikan sebelum memiliki pemahaman yang lebih akurat
tentang bagaimana keyakinan kolektif bersama oleh anggota kelompok dalam
memengaruhi kinerja mereka.
Isu ketiga, pengujian lintas-level pengaruh efikasi kolektif pada efikasi diri.
Hasil studi Chen dan Kao (2011) menyimpulkan bahwa efikasi kelompok berpengaruh
positif terhadap efikasi diri dan organisational citizenship behaviour (OCB). Hal
tersebut dilakukan dengan mengadopsi level analisis yang dapat menyintesis hipotesis
efek kelompok pada variabel hasil tingkat individu. Dari perspektif teoritis, Bandura
13
(1986, 1997) menunjukkan bahwa keyakinan kolektif suatu kelompok merupakan
esensi dari efikasi kolektif. Efikasi kolektif pada awalnya dapat memengaruhi perilaku
dan keterlibatan umum dan akhirnya memengaruhi perilaku kerja individu.
Selanjutnya, peneliti tertarik menguji pengaruh efikasi kelompok terhadap efikasi diri.
Isu keempat, Hsieh et al. (2012) mengatakan bahwa efikasi kelompok sebagai
variabel level kelompok adalah tipe keyakinan kolektif yang berasal dari persepsi
kompetensi anggota kelompok dalam pelaksanaan tugas. Efikasi kelompok akan
memiliki efek pada kinerja tingkat kelompok dan kinerja individu. Bandura (1986,
1997) berpendapat bahwa kepercayaan kolektif kelompok adalah inti dari efikasi
kolektif yang dapat memengaruhi perilaku individu, keterlibatan kerja, dan kinerja
individu. Hsieh et al. (2012) mengemukakan bahwa variabel level kelompok, yaitu
karakteristik kerja sosial dan efikasi kelompok, berpengaruh signifikan pada
kontekstual efikasi diri dan kinerja individu. Efikasi kelompok, selain berpengaruh
terhadap efikasi diri, juga berpengaruh pada kinerja individual baik kinerja tugas
individual, maupun kinerja kontekstual individual.
Isu kelima, Gibson et al. (1996) mengatakan bahwa kelompok dapat memiliki
kedekatan atau kesamaan dalam sikap, perilaku, dan kinerja. Kedekatan ini disebut
kekohesifan kelompok, yang merupakan suatu bentuk kekuatan keinginan anggota
dalam kelompok dan berkomitmen terhadap kelompok tersebut. Dorsch et al. (1996,
dalam Stegelin, 2003) menyatakan bahwa kekohesifan kelompok berhubungan secara
positif dengan efikasi diri. Dimensi (tugas dan sosial) dari kekohesifan berpengaruh
positif dan signifikan secara statistik dan praktis dengan keyakinan efikasi kelompok
dan efikasi diri (Veskovic & Valdevit, 2008). Hasil studi Patchell (2007)
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara kekohesifan kelompok dengan
kinerja individu.
14
Isu keenam, hasil penelitian Philips dan Guly (1997) menyatakan bahwa efikasi
diri berpengaruh langsung terhadap kinerja. Menurut Locke et al. (1984) efikasi diri
berpengaruh pada kinerja walaupun pengaruh langsungnya pada penetapan tujuan, atau
pengaruh langsungnya pada kinerja, atau keduanya. Pada penelitian sebelumnya,
sebagian besar pengujian pengaruh variabel efikasi diri terhadap konsekuensinya masih
terbatas pada variabel kinerja tugas (Judge et al., 2007; Philips & Guly, 1997).
Hasil penelitian Fosse et al. (2015) menyimpulkan bahwa efikasi diri
berhubungan secara positif dengan kinerja akademik dan kinerja militer taruna di ketiga
Akademi Militer Norwegia. Hasil studi Somech dan Zahavy (2000) menyatakan bahwa
efikasi diri dan efikasi kolektif berhubungan positif terhadap perilaku ekstra-peran pada
level analisis individu, kelompok, dan organisasi pada lingkungan sekolah. Selanjutnya,
peneliti akan meneliti hubungan antara efikasi diri dengan kinerja tugas individual,
yang terdiri atas kinerja akademik dan kinerja militer taruna serta kinerja kontekstual
atau perilaku ekstra-peran pada level individual.
Menurut Gist dan Mitchell (1992), sumber-sumber efikasi diri yang meliputi:
pengalaman penguasan, pengalaman pribadi, persuasi sosial, dan peningkatan fisiologi
dan psikologi, masing-masing sumber efikasi diri memberikan kontribusi berbagai
isyarat informasi internal dan eksternal yang dapat memengaruhi efikasi diri. Namun
demikian, hal itu hanya merupakan pertimbangan satu dimensi dari teori atribusi, lokus
kausalitas. Dua dimensi utama lainnya yang belum dipertimbangkan adalah variabilitas
(dari waktu ke waktu dan kesempatan) dan pengendalian dari pengaruh kausal. Model
faktor penentu efikasi diri dari Gist dan Mitchell (1992) menyajikan dimensi lokus
kausalitas dan dimensi variabilitas.
Kategori variabilitas rendah dari determinan internal efikasi diri mengacu pada
penilaian kemampuan intelektual dan atribut disposisional stabil (misalnya, kondisi
15
fisik secara umum dan kepribadian) perlu mendapat perhatian dalam penelitian saat ini.
Selama ini penelitian kemampuan inteletual dan kemampuan fisik dilakukan secara
terpisah. Penelitian ini melakukan pengujian ada variabel kemampuan inteletual dan
kemampuan fisik. Hal ini sesuai dengan definisi kemampuan yang terdiri dari
kemampuan intelektual dan kemampuan fisik (Hunter, 1986). Walaupun demikian,
untuk melakukan pengukuran kedua variabel kemampuan inteletual dan kemampuan
fisik dibutuhkan pelibatan orang banyak dan biaya yang tidak sedikit. Variabel
kepribadian tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena variabel kepribadian sudah
banyak diteliti sebelumnya. Peneliti sebelumnya juga pernah melakukan penelitian
tentang pengaruh kepribadian terhadap efikasi diri dan kinerja tugas individual (Suwito,
2005). Selanjutnya penelitian ini akan menguji pengaruh kemampuan intelektual dan
kemampuan fisik terhadap efikasi diri dan kinerja individual.
Menurut Ulke dan Bilgic (2011), sampai saat ini kelompok kerja menjadi
bagian penting dari strategi bisnis yang dilakukan dalam organisasi. Hal yang
mendasari adalah bahwa kelompok mengungguli individu ketika tugas memerlukan
keterampilan, penilaian, dan pengalaman. Menurut Bandura (1982), terdapat banyak
tantangan dan kesulitan yang mencerminkan permasalahan sebuah kelompok. Oleh
karena itu, diperlukan upaya kolektif yang berkelanjutan untuk menghasilkan
perubahan yang berarti dalam kelompok tersebut.
Konsep Bandura (2000) menunjukkan bahwa efikasi kolektif merupakan
komplemen dan dibangun atas dasar konsep efikasi diri. Kedua konsep tersebut berasal
dari teori sosial kognitif yang berfokus pada manusia. Bandura (1997) menjelaskan
bahwa peningkatan level individual menjadi level kelompok atau organisasi merupakan
pemberdayaan diri. Proses untuk melengkapi keyakinan seseorang dan sarana untuk
menghasilkan pengaruh melalui tindakan kolektif. Kelompok berfungsi memberikan
16
pengaruh pada munculnya kreativitas dan kesinergian. Efikasi kolektif itu berakar pada
efikasi diri dan merupakan atribut kelompok. Menurut Gully et al. (2002), efikasi
kelompok adalah sebuah konsep dalam penelitian kelompok yang masih menunjukkan
kelemahan, yang perlu diselesaikan sebelum kita memiliki lebih banyak pemahaman
yang akurat tentang bagaimana keyakinan kolektif oleh anggota kelompok
memengaruhi kinerja.
Menurut Rousseau dan House (1994, dalam Watson, Chemers, & Preiser,
2001), para peneliti yang mempelajari efikasi pada analisis level individu dan level
kelompok akan mengalami bias apabila hanya menggunakan analisisnya pada level
tunggal. Bias pertama adalah penelitian yang hanya dilakukan dengan level tunggal
akan terjadi generalisasi yang berlebihan dari hasil penemuannya pada satu level yang
akan digunakan pada level lainnya. Bias kedua adalah penelitian yang dilakukan
dengan level tunggal akan menurunkan estimasi pengaruh dari lintas-level. Bias ketiga
adalah penelitian yang dilakukan dengan level tunggal di tingkat kelompok akan dapat
mengakibatkan reefikasi atribut kelompok. Dengan demikian, untuk mengurangi biasbias tersebut dibutuhkan kajian efikasi pada level individu, yang dinamakan efikasi diri
dan efikasi pada level kelompok, yang dinamakan efikasi kelompok.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Kao (2011) menyimpulkan
bahwa penelitian pada level kelompok, efikasi kelompok berpengaruh secara positif
terhadap efikasi diri dan OCB pada level individual. Hal tersebut dilakukan dengan
mengadopsi level analisis, yang dapat menyintesis hipotesis efek kelompok pada
variabel hasil tingkat individu. Hsieh et al. (2012) menyatakan bahwa variabel level
kelompok, yaitu karakteristik kerja sosial dan efikasi kelompok ditemukan memiliki
pengaruh signifikan pada kontekstual efikasi diri dan kinerja individu. Dari perspektif
teoritis, Bandura (1986, 1997), menunjukkan keyakinan kelompok adalah esensi dari
17
efikasi kolektif. Efikasi kelompok pada awalnya dapat memengaruhi perilaku dan
keterlibatan masyarakat umum dan akhirnya memengaruhi perilaku kinerja individu.
Penelitian ini menguji pengaruh efikasi kelompok terhadap efikasi diri dan kinerja
individual yang didasari adanya pengujian lintas-level.
Untuk memaksimalkan kinerja, organisasi dapat berusaha melakukannya dengan
membentuk kelompok untuk menyelesaikan aktivitas yang berhubungan dengan
pekerjaan (Kirkman, 2000; dalam Pearsall et al., 2010). Menurut Baron dan Byrne
(2005), salah satu properti dari kelompok yang terpenting adalah kekohesifan
kelompok. Patchell (2007) mengatakan bahwa terdapat beberapa studi yang membahas
masalah hubungan kekohesifan kelompok dengan kinerja individu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kekohesifan kelompok adalah prediktor signifikan dari kinerja
individu dalam olahraga bisbol. Pada tingkat lebih tinggi, terlihat bahwa kekohesifan
kelompok terkait dengan tingkat yang lebih tinggi dari kinerja individu untuk pemain
basket tingkat SMA. Williams dan Widmeyer (1991)menunjukkan bahwa terdapat
hubungan kekohesifan kelompok dengan kinerja individu dalam olahraga co-acting
golf. Arroyo (2005) menemukan hubungan positif antara kekohesifan kelompok
dengan kinerja individu dan kepuasan antar pegulat perguruan tinggi.
Hasil studi Marcos et al. (2010) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
dan signifikan antara kekohesifan kelompok dengan keyakinan efikasi diri individu dari
pemain bola basket di Spanyol, persepsi efikasi dari rekan kelompok, dan persepsi
efikasi yang diberikan oleh pelatih. Hasil penelitian Veskovic et al. (2008) menyatakan
bahwa semua dimensi kekohesifan (dimensi tugas dan sosial) berkorelasi positif dan
signifikan dengan keyakinan efikasi. Hasil penelitian Stegelin (2003) menyatakan
bahwa variabel efikasi diri memediasi hubungan antara variabel kekohesifan kelompok
dengan komitmen organisasional.
18
Hofmann (1997) dalam studinya telah melakukan pengujian hipotesis untuk
lintas-level (cross-level) pada level individu dan level kelompok atau unit
menggunakan alat analisisnya berupa hierarchical linear model (HLM). Pengujian
tersebut didukung oleh Zhang et al. (2009) yang menyatakan bahwa HLM merupakan
alat analisis yang tepat untuk menguji model lintas-level yang di dalamnya terdapat
variasi level individu dan variasi level kelompok dengan luaran level individu.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, mengarah pada beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut.
1.
Apakah kemampuan intelektual mempunyai pengaruh positif terhadap efikasi diri
dan kinerja tugas individual?
2.
Apakah kemampuan fisik mempunyai pengaruh positif terhadap efikasi diri dan
kinerja tugas individual?
3.
Apakah efikasi kelompok mempunyai pengaruh positif terhadap efikasi diri,
kinerja tugas individual dan kinerja kontekstual individual?
4.
Apakah kekohesifan kelompok mempunyai pengaruh positif terhadap efikasi diri,
kinerja tugas individual dan kinerja kontekstual individual?
5.
Apakah efikasi diri mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja tugas individual
dan kinerja kontekstual individual?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, penelitian ini bertujuan sebagai
berikut.
19
1.
Menguji pengaruh positif kemampuan intelektual terhadap efikasi diri dan kinerja
tugas individual.
2.
Menguji pengaruh positif kemampuan fisik terhadap efikasi diri dan kinerja tugas
individual.
3.
Menguji pengaruh positif efikasi kelompok terhadap efikasi diri, kinerja tugas
individual, dan kinerja kontekstual individual.
4.
Menguji pengaruh positif kekohesifan kelompok terhadap efikasi diri, kinerja
tugas individual, dan kinerja kontekstual individual.
5.
Menguji pengaruh positif efikasi diri terhadap kinerja tugas individual dan kinerja
kontekstual individual.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Bagi Literatur Teori Efikasi Diri
a)
Penelitian ini diharapkan berkontribusi pada pengujian pengaruh efikasi
diri, terutama pada hubungan dengan anteseden pada level individual yang
terdiri dari variabel kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.
b)
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengujian pengaruh efikasi diri,
terutama pada hubungan dengan anteseden pada variabel level kelompok,
yang terdiri dari efikasi kelompok dan kekohesifan kelompok.
c)
Penelitian ini juga diharapkan berkontribusi pada pengujian hubungan
variabel anteseden efikasi diri, yang terdiri dari variabel kemampuan
intelektual, kemampuan fisik, efikasi kelompok, dan kekohesifan kelompok
dengan variabel konsekuensi efikasi diri, yang terdiri dari variabel kinerja
tugas individual dan kinerja kontekstual individual.
20
1.5.2
Manfaat Studi Efikasi Diri bagi Praktisi
a.
Bagi organisasi, studi efikasi diri dapat membantu proses seleksi yang
berharga dalam pengambilan keputusan penerimaan karyawan atau siswa
oleh panitia seleksi terakhir, atau proses promosi karir seseorang dalam
kedinasan.
b.
Studi efikasi diri dapat membantu kepelatihan dan pengembangan
organisasi serta pembentukan kelompok untuk sesuatu proyek.
c.
Aplikasi lainnya dari manfaat studi efikasi kelompok dan kekohesifan
kelompok adalah bermanfaat bagi kelompok kerja dalam manajemen diri,
manajemen stres, penghargaan, bimbingan dan penyuluhan, penentapan
tujuan dan penyempurnaan tugas, serta kepemimipinan.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Beberapa catatan yang berhubungan dengan pengujian antesenden dan
konsekuensi dari variabel efikasi diri pada penelitian sebelumnya, antara lain, adalah
sebagai berikut. Pertama, kebanyakan penelitian sebelumnya masih didominasi oleh
pengujian antesenden dan konsekuensi terhadap variabel efikasi diri secara terpisah.
Pengujian variabel antesenden dan konsekuensi sekaligus pada efikasi diri masih
terbatas. Kedua, penelitian terdahulu menguji hubungan antesenden dari variabel
efikasi diri terbatas pada level individual, sedangkan pengujian dengan analisis lintaslevel masih terbatas. Ketiga, kebanyakan penelitian sebelumnya hanya menguji
variabel kemampuan kognitif sebagai anteseden dari variabel efikasi diri sehingga
kemampuan fisik belum diujikan. Keempat, pengujian pengaruh variabel efikasi diri
dengan kinerja tugas individual dan kontekstual individual juga masih sangat terbatas.
21
Tabel 1.1 merupakan ringkasan berbagai penelitian sebelumnya yang menguji
anteseden dan konsekuensi dari variabel efikasi diri.
Tabel 1.1
Ringkasan Hasil Penelitian Anteseden dan Konsekuen Efikasi Diri
Peneliti
Anteseden
Konsekuen
Judge et al. (2007)
Kemampuan Mental
Umum, Kepribadian The
Big Five, Pengalaman
Judge, et al. (2009)
Kemampuan mental secara
umum, Lokus Kontrol
Philips dan Guly (1997)
Kemampuan kognitif,
Orientasi Tujuan
Pembelajaran, Orientasi
Tujuan Kinerja, Lokus
Kontrol
Penetapan Tujuan,
Kinerja Tugas
Individual
Individual
Saks (1994)
Kepelatihan Tutorial,
Kepelatihan Formal,
Orientasi Formal
Kecemasan, Stress
Individual
Dierrdorff dan Surface
(2010)
Goal Orientation Tujuan
Pembelajaran (LGO),
Membuktikan Orientation
Tujuan Kinerja (PPGO),
Menghindari Orientation
Tujuan Kinerja (APGO)
Ashford et al. (2010)
Aktivitas fisik
Individual
Staples et al. (1999)
Kondisi fisik
Individual
Ellis et al. (2010)
Kinerja Tugas
Individual
Level Analisis
Individual
Individual
Perubahan Kinerja
Thoms et al. (1996)
Kepribadian The Big Five
Somech dan Zahavy
(2000)
Efikasi Diri dan Efikasi
Kelompok
Individual
Individual
Individual
Perilaku Ekstra
Peran
Individual,
Kelompok,
Organisasi
Bersambung ke halaman berikutnya
22
Sambungan Tabel 1.1 Ringkasan Hasil Penelitian Anteseden dan Konsekuen Efikasi
Diri
Peneliti
Anteseden
Konsekuen
Level Analisis
Hejazi et al. (2009)
Gaya identitas (gaya
informasional, gaya
normatif, dan gaya
difusi/menghindar)
Prestasi akademik
Individual
Yee, Ang, dan Chan
(2009)
Neuroticism, Extraversion,
dan Conscientiousness
Keefektifan
Pemimpin
Individual
Paglis dan Green (2002)
Pengalaman sukses
kepemimpinan, Internal
locus of control, Selfesteem, Sinisme organisasi
dari bawahan, Karakteristik
kinerja dari bawahan,
Model kepemimpinan
atasan, Perilaku melatih
dari atasan, Pasokan
sumberdaya, Dukungan
untuk perubahan, dan
Otonomi kerja
Usaha
kepemimpinan, dan
Usaha manajer
dalam memimpin
perubahan
Individual
Jex dan Gudanowski
(1992)
Stressor (ambiguitas peran,
hambatan situasional, jam
kerja)
Ketegangan
psikologis
(Ketidakpuasan
kerja, Kekuatiran,
Frustasi, dan
Keinginan
turnover)
Individual dan
Kelompok
Schaubroeck, Lam, dan
Jia Xie (1997)
Gejala kesehatan,
Gejala psikologi
Individual dan
Kelompok
Jex, Bliese, Buzzell, dan
Primeau (2001)
Strain Psikologis
Individual
Gibson (1999)
Keefektifan
Kelompok
Kelompok
Judge et al. (2009)
Chen dan Kao (2011)
Pengalaman, Aktraktif
fisik
Individual
Efikasi Kelompok
Kelompok
Bersambung ke halaman berikutnya
23
Sambungan Tabel 1.1 Ringkasan Hasil Penelitian Anteseden dan Konsekuen Efikasi
Diri
Peneliti
Hsieh et al. (2012)
Penelitian ini (2016)
Anteseden
Konsekuen
Karakteristik pekerjaan
dari individu dan level
tim, Karakteristik sosial
(kekohesifan,
kepercayaan, dan efikasi
tim)
 Kemampuan Intelektual
 Kemampuan Fisik
 Efikasi Kelompok
 Kekohesifan Kelompok
Level Analisis
Individual dan
Kelompok
 Kinerja Tugas
Individual
 Kinerja
Individual
dan
Kelompok
Kontekstual
Individu
Penelitian ini dilakukan dengan mengisi celah yang belum pernah dipenuhi para
penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, orisinalitas penelitian ini terletak pada variabel
anteseden dari efikasi diri yang, terdiri dari variabel level individual dan variabel level
kelompok. Terdapat pengaruh variabel anteseden pada efikasi diri yang menggunakan
analisis lintas-level. Selain itu, dilakukan pengujian variabel konsekuensi dari efikasi
diri, yang terdiri dari variabel kinerja tugas individual dan kinerja kontekstual
individual secara bersama sama.
Penelitian yang menguji variabel antesenden pada efikasi diri yang pernah
dilakukan Bandura (1997) menemukan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan
akan kemampuan-kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan
kognitif, dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi.
Penelitian sebelumnya yang menguji variabel antesenden pada efikasi diri, diantaranya
oleh Philips dan Guly (1997) dan Judge et al. (2007, 2009) yaitu kemampuan mental
secara umum dan locus of control; Judge et al. (2009) yaitu pengalaman dan aktivitas
fisik; McAuley et al. (2000, 2005) dan Ashford et al. (2010) yaitu aktivitas fisik; dan
24
Staples (1999) yaitu meneliti kondisi fisik; Brown et al. (2006) yaitu kepribadian
proaktif ; dan Mathieu et al. (1993) yaitu motivasi berprestasi.
Penelitian ini variabel antesenden level individual pada efikasi diri adalah
kemampuan mental yang menggunakan kemampuan intelektual secara keseluruhan
dengan alat ukurnya menggunakan IST (Intelligence Structure Test). Alat ukur ini
merupakan salah satu tes inteligensi yang sudah diadaptasi di Indonesia dari hasil yang
dikembangkan oleh Rudold Amthauer dari Jerman pada tahun 1951 (Winarti, 1998).
Dalam penelitian ini, untuk meneliti aktivitas fisik menggunakan kemampuan fisik,
yaitu kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut
stamina, kelenturan, kekuatan dinamis, koordinasi dan keseimbangan tubuh (Gibson et
al., 2003). Kemampuan fisik diukur dengan tes kesamaptaan jasmani yang terdiri dari
samapta A, yaitu lari lapangan sejauh 2.400 meter dan samapta B, yang terdiri dari
pull-up 1 menit, sit-up 1 menit, push-up 1 menit, dan shutle-run 6 x 10 meter.
Hasil studi Choi et al. (2008) menyatakan bahwa berbagai faktor kelompok
berkontribusi terhadap perubahan efikasi diri anggota dalam ranah pencarian kerja.
Mekanisme pengaruh kelompok pada perubahan efikasi diri anggota melibatkan
beberapa jalur, termasuk pada level individu dan proses lintas-level. Hasil penelitian
tersebut didukung oleh hasil penelitian Somech dan Zahavy (2000), yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan positif antara efikasi kolektif dan efikasi diri dalam sebuah
kelompok dengan perilaku ekstra peran pada sampel mahasiswa. Studi yang dilakukan
Hsieh et al. (2012) mengadopsi kerangka berlevel untuk menguji pengaruh
karakteristik pekerjaan dari individu dan level kelompok pada efikasi diri dan efikasi
kelompok, serta pengaruh efikasi kelompok dan efikasi diri pada kinerja dalam level
individu. Hasil studi tersebut menyatakan bahwa karakteristik sosial bukan sebagai
faktor yang berpengaruh langsung pada kinerja karyawan, karakteristik sosial dapat
25
dianggap sebagai konteks interpersonal kerja yang memengaruhi kinerja dalam
individu dan level kelompok melalui pembentukan model mental kolektif (kekohesifan,
kepercayaan, dan efikasi kelompok).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efikasi kelompok memiliki dampak yang
signifikan terhadap fungsi kelompok, terutama tingkat usaha, ketekunan, prestasi
(Bandura, 1997; Durham, Knight, & Locke, 1997; dalam Bandura, 2000), dan
pemecahan masalah kelompok (Kline & MacLeod, 1997, dalam Bandura, 2000), serta
hasil meta-analisis menemukan bahwa efikasi kelompok berhubungan dengan kinerja
kelompok (Gully et al., 2002). Efikasi kelompok meningkatkan pencapaian tujuan
kelompok (George & Feltz, 1995; Lindsley et al., 1995; dalam Gully et al., 2002).
Hodges dan Carron (1992, dalam Gully et al., 2002) menemukan bahwa efikasi
kelompok yang tinggi dapat meningkatkan kolaborasi kinerja. Hasil studi Somech dan
Zahavy (2000) berfokus pada hubungan antara efikasi kelompok dengan perilaku
ekstra-peran di sekolah. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah yang menjadi
variabel antesenden dari efikasi diri, selain variabel level individual, ditambahkan
variabel level kelompok, yakni variabel efikasi kelompok dan kekohesifan kelompok.
Menurut Raudenbush dan Bryk (2002, dalam Hsieh, et al., 2012), terdapat
pengaruh variabel mediasi efikasi diri pada hubungan antara karakteristik kerja sosial
pada level kelompok dan variabel kinerja individual dalam struktur level organisasi
(Raudenbush dan Bryk, 2002; dalam Hsieh et al., 2012). Dalam cara yang sama,
menurut Hsieh et al. (2012) efikasi kolektif sebuah kelompok akan berpengaruh pada
kinerja tingkat kelompok dan kinerja individu. Hsieh et al. (2012) menyatakan bahwa
karakteristik kerja sosial dan efikasi kelompok berpengaruh signifikan pada kontekstual
efikasi diri dan kinerja individu. Chen dan Kao (2011) menemukan bahwa efikasi
kolektif level kelompok berpengaruh positif pada efikasi diri dan OCB pada level
26
individu. Pengukuran variabel kinerja kontekstual individual dalam penelitian ini
menggunakan hasil penilaian di bidang pengasuhan, yaitu kepribadian taruna. Penilaian
kepribadian taruna Akademi Angkatan Udara menggunakan enam aspek makro yang
dijabarkan ke dalam dua puluh indikasi kualitas segi mikro kepribadian taruna.
Orisinalitas penelitian yang peneliti lakukan adalah mengembangkan efikasi diri
dengan variabel independennya pada level individual dan level kelompok (lintas level)
dengan alat analisisnya berupa hierarchical linear model (HLM).
Sampel penelitian ini adalah taruna Akademi Angkatan Udara yang terdiri dari
tiga skadron taruna dengan jumlah 345 orang dari populasinya yang terdiri empat
skadron taruna yang berada di dalam Wing Taruna Akademi Angkatan Udara. Taruna
dipilih menjadi sampel penelitian ini, karena taruna sedang mengikuti pendidikan
militer yang memungkinkan untuk diukur dalam variabel anteseden individual dan
kelompok dan konsekuensi dari variabel efikasi diri. Setelah lulus pendidikan taruna
dilantik menjadi perwira, maka berawal dari pendidikan hingga menjadi perwira
dituntut memiliki efikasi diri yang tinggi.
Keunikan sampel dalam penelitian ini, adalah sampel memiliki kemampuan
intelektual dan kemampuan fisik yang selalu dikembangkan dan dibina lewat
pendidikan militer. Taruna mengikuti pendidikan militer sehari-hari berada dalam
asrama, semua kegiatan yang dijalani seragam dan berdasarkan peraturan yang berlaku.
Taruna AAU selain dituntut kinerja tugas individual yang berupa kinerja akademis dan
kinerja jasmani kemiliteran, juga dituntut kinerja kontekstual individual yang berupa
keperilakuan dalam enam aspek makro yang dijabarkan dalam dua puluh aspek mikro.
Taruna AAU berasal dari pemuda seluruh propinsi di Indonesia, karena dalam proses
rekrutmen menggunakan azas pemerataan atau keterwakilan pemuda dari setiap
propinsi yang ada di Indonesia.
Download