Perlindungan masyarakat sipil waktu perang

advertisement
II
The Main Currents :
The Hague, Geneva, New York
MATERI KELAS HHI
The Hague
Sejarah Awal
-Bermula dari "Instructions of the Government of the
Armies of the United States in the Field" (Lieber Code)
mengenai bagaimana perang dijalankan dan penanganan
warga sipil. Pembedaan antara tahanan perang, orang
terluka, franc tireurs, dll.
-"Declaration Renouncing the Use, in Time of War, of
Explosive Projectiles Under 400 Grammes Weight" di St.
Petersbug mengatur tentang penggunaan proyektil.
-Pemerintah Rusia meneruskan inisiatifnya dengan
mengundang Pemerintah Belanda untuk membahas
permasalahan mengenai perang dan damai di The
Hague.
The Hague I
- Diusulkan :Adanya kewajiban negara-negara untuk
melaporkan sengketanya kepada Arbitrasi Internasional
dan mengadakan pertemuan rutin guna menjaga
perdamaian.
- Gagal karena beberapa negara tidak menyetujui konsep
Arbitrasi Internasional yang mengurangi hak negara untuk
memutuskan.
- Dilanjutkan dalam " Declation of Brussels 1824" :definisi
combatant, penanganan tawanan perang, serta larangan
pengadopsian maksud dan cara perang.
- Dalam pembukaannya dicantumkan bahwa walaupun
negara tidak menemukan konsensus dalam deklarasi ini,
pengadaan perang tetap akan diatur oleh hukum
internasional.
The Hague II
- Tujuan utama : memastikan perdamaian
internasional.
- Revisi kecil dari "Convention
and Regulations
of 1899" mengenai teknik serangan bom
terhadap kota pertahanan.
- Hasil penting mengenai penembakan oleh
angkatan laut di masa perang walaupun tidak
mencapai konsensus mengenai peraturan
substantif mengenai angkatan laut tersebut.
Law of the Hague (1923 )
• Mengatur mengenai perang udara.
• Diadopsi oleh PBB pada tahun pertama
pendirian (1945).
• Salah satu konsentrasi PBB pada tahun
itu adalah mengenai bom atom.
• Deklarasi the Hague (1954) mengenai
perlindungan budaya di lahan konflik.
Geneva
Sejarah Awal
-Pada pertengahan abad ke-19, hampir semua
keadaan tentara di lapangan pertempuran lukaluka.
-Perawatan untuk korban cedera sangat
sederhana dan tidak mencukupi dalam segala hal,
ada sedikit tentara, medis dan personil tambahan,
operasi dan pengobatan lain dilakukan dalam
kondisi yang sederhana; kurangnya pengetahuan
dalam membersihkan dan mengobati luka,
antibiotik dan darah tidak pernah ditemukan
• Korban yang berjatuhan sering ditangkap dan ditawan
oleh musuh dalam keadaan terluka.
• Warga yang menolong korban terluka justru dianggap
memihak sehingga tidak berani untuk menolong.
• J. Henry Dunant setelah pertempuran Solferino di utara
Italia,
berada di tengah ribuan orang Perancis dan
Austria yang cedera
• Sehingga mendorongnya untuk:
– Pertama, pembentukan di setiap negara, sebuah organisasi
bantuan swasta nasional membantu tugas medis dalam perang
militer. Henry Dunant mendirikan ‘Komisi Internasional Bantuan
kepada yang Terluka ’, dengan mengangkat tugas mendorong
penciptaan bantuan masyarakat nasional dan mengadopsi
perjanjian pekerjaan mereka. (Komite tersebut berganti nama
menjadi Komisi Palang Merah Internasional, dan akan disebut
sebagai ‘ ICRC ’). Ada dihampir setiap negara, dengan nama
Palang Merah atau Sabit Merah.
– Kedua, membuat perjanjian agar organisasi tersebut dilindungi
dan berjalan dengan baik.
Geneva Law
• Konvensi Jenewa 1949 terdiri dari empat konvensi, yaitu :
1. Konvensi JENEWA Pertama, mengenai Perbaikan Keadaan
Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat,
1864
2. Konvensi JENEWA Kedua, mengenai Perbaikan Keadaan
Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di
Laut, 1906
3. Konvensi JENEWA Ketiga, mengenai PerlakuanTawanan Perang,
1929
4. Konvensi JENEWA Keempat, mengenai Perlindungan Orang
Sipil di Masa Perang, 1949
Perlindungan tentara dalam perang
darat
1.
Tentara yang luka-luka
dikumpulkan dan dirawat tanpa
diskriminasi.
2.
Personil Medis
yang
bertugas di medan
3. Lambang palang merah diatas
perang adalah netral
putih
adalah tanda
dasar
perlindungan
Perlindungan tentara dalam perang
di laut
Anggota angkatan perang di laut
luka sakit dan korban kapal
yang
karam harus
dikumpulkan dan
dirawat
tan[pa adanya
diskriminasi
atau pembedaan
apapun
• Perlakuan tawanan perang
Tawanan perang bukanlah seorang
kriminal.
Selama ditahan, tawanan perang harus
diperlakukan secara manusiawi.
Tawanan perang harus dibebaskan
setelah masa permusuhan berakhir.
Perlindungan masyarakat sipil waktu
perang
•
Orang- orang sipil yang tidak turut
serta dalam permusuhan harus
dilindungi.
•
Menyerang orang sipil dan harta
bendanya dilarang.
•
Serangan yang dilakukan secara
membabi buta dilarang.
New York
• "London Agreement August 1945" -> pendirian
pengadilan, pembagian tindak kriminal sesuai yuridiksi
pengadilan : kriminal melawan perdamaian, kriminal
dalam perang, kriminal melawan kemanusiaan. Diadopsi
PBB tahun 1946.
• Fokus PBB menganai pengaturan bom atom, pendirian
Atomic Energy Commision tahun 1946.
• Pembicaraan berkembang pada tahun 1961 mengenai
pelarangan senjata nuklir namun tidak mencapai
konsensus karena banyak negara yang menolak.
• Perhatian PBB tentang konflik bersenjata sejak resolusi
2444.
-Muncul resolusi mengenai perlindungan wanita dan
anak, posisi jurnalis, dan para pejuang pembebasan
(kemerdekaan).
-Hak mengenai self determination dalam hal pejuang
pembebasan atau kemerdekaan.
-Pada tahun 1970 PBB juga menghasilkan peraturan
pelarangan terhadap senjata konvensional, munculnya
WMD (Weapon Mass Destruction).
-Tiga perubahan besar yang dilakukan PBB tahun
1970 :
1.Mulai mengikisnya banyak ketabuan dalam subyek
yang dibahas.
2.Ide proteksi dan HAM dalam konflik bersenjata.
3.Posisi para gerilya dalam perjuangan pembebasan.
Pertemuan Pasca 1977
•
Pada dekade 1950-an, Palang Merah Internasional mengajukan
seperangkat rancangan aturan terkait aspek-aspek yang belum cukup
ditekankan dalam Hukum Hague, seperti perlindungan masyarakat sipil
terhadap dampak dari perang.
•
Proposal yang diajukan pada saat puncak Perang Dingin tersebut tidak
berujung pada hasil yang memuaskan karena pada saat itu mayoritas
negara belum siap untuk ikut serta dalam diskusi mengenai subyek
serumit regulasi yang mendetail dan pembatasan pengeboman udara.
•
Satu dekade kemudian, Palang Merah Internasional mengambil inisiatif
baru melalui jalur yang sangat berbeda, yaitu tanpa adanya proposal
mendetail terkaitperaturan yang saksama, melainkan suatu pernyataan
mengenai beberapa prinsip fundamental terkait hukum perang, dengan
keabsahan yang tidak dapat disangkal oleh siapa pun.
Pendekatan ini pun sukses. Konferensi Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah Internasional yang dilaksanakan di Wina pada 1965,
mengadopsi Resolusi XXVII dimana di dalamnya sunguh-sungguh
dinyatakan bahwa setiap negara dan pemegang otoritas yang lain
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tindakan dalam konflik
bersenjata herus sesuai dengan prinsip-prinsip berikut:
•Bahwa hak
suatu pihak yang
terlibat dalam konflik
untuk melukai musuh bukan berarti tak terbatas
•Bahwa dilarang untuk melancarkan serangan terhadap
penduduk sipil
•Bahwa harus dibedakan
setiap saat
antara
kombatan
dan non kombatan dalam perang
•Bahwa prinsip-prinsip umum Hukum Perang berlaku
terhadap penggunaan nuklir dan senjata-senjata sejenisnya.
• Resolusi tersebut ditetapkan dan diadopsi dalam
Konferensi Wina, yang mengindikasikan dengan jelas
bahwa selain Palang Merah dan Bulan Sabit Merah,
pemerintah dari berbagai negara di dunia juga siap
untuk menegaskan
kembali dan mengembangkan
hukum konflik bersenjata.
• Kesiapan ini terlihat lebih nyata dengan diadopsinya
Resolusi Majelis Umum 2444 (XXIII) pada bulan
Desember 1968 dimana sebelumnya, prinsip-prinsip yang
ditetapkan dalam Resolusi tersebut telah sejak luas diakui
sebagai ranah hukum adat.
•Dengan pengadopsian Resolusi 2444, berarti Majelis Umum menolak
gagasan ‘ coercive war' sebagai suatu metode dalam berperang untuk
memaksa pihak lawan menyerah dan menegaskan kembali prinsipprinsip perlindungan warga sipil yang diwujudkan dalam Resolusi Wina.
•Dengan begitu, berarti negara, PBB dan Palang Merah Internasional
telah berpartisipasi untuk mempercepat penyatuan Hukum Hague yang
mengatur mengenai perang, Hukum Jenewa yang mengatur mengenai
perlindungan korban perang dan Hukum New York terkait perlindungan
terhadap HAM dalam konflik bersenjata bersama-sama menjadi satu arus
utama.
•Dalam perkembangannya hingga saat ini, interaksi yang erat antara
bagian-bagian utama dari hukum humaniter konflik bersenjata tersebut
semakin terlihat, terutama dalam situasi perang kontemporer.
Pada 1974 di Jenewa, atas undangan dari pemerintah Swiss,
dimulailah penyelenggaraan konferensi diplomatik yang membahas
mengenai hukum yang berlaku dalam konflik bersenjata dan penegasan
kembali tentang pengembangan hukum humaniter internasional yang
seluruhnya telah tertulis pada konvensi Jenewa 1974. Dalam konferensi
tersebut disusun dua jenis bentuk perjanjian tambahasan untuk Konvensi
Jenewa 1949:
Protokol I
berkaitan
dengan perlindungan
korban konflik bersenjata internasional
Protokol II berkaitan dengan perlindungan korban konflik
merupakan campuran
bersenjata internal-bagian
ini
mementingkan
antara hukum Deg Haag dan Jenewa serta
elemen HAM
Protokol-protokol tersebut diadopsi pada tanggal 8 Juni 1977,
ditandatangani pada 12 Desember 1877 di Bern dan kemudian diratifikasi
oleh banyak negara lalu mulai diberlakukan pada 7 Desember 1978.
•Adapun terdapat perdebatan yang muncul pada konferensi diplomatik tahun
1974-1977, mengenai kemungkinan larangan atau pembatasan penggunaan
senjata konvensional tertentu seperti napalm dan senjata pembakar lainnya,
serta tambang dan booby-traps. Akhirnya perdebatan tersebut dibahas dalam
konferensi PBB yang diadakan dalam dua sesi yakni pada 1979 dan 1980.
•Pada 10 Oktober 1980, diadopsilah Konvensi Pelarangan atau Pembatasan
Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang Bisa Dianggap Melukai
Secara Berlebihan atau Memiliki Efek membabi buta, dengan tiga Protokol
Dianeksasi (atas 'fragmen-fragmen yang tidak terdeteksi, tambang, boobytraps dan perangkat lain serta senjata pembakar).
•Konvensi dengan Protokol Dianeksasi mulai berlaku pada 2 Desember 1983,
enam bulan setelah instrumen ratifikasi ke-20 telah diserahkan pada
Sekretaris Jenderal PBB, yang bertindak sebagai penyimpan Konvensi ini.
•Pada 1995, terdapat tambahan protokol lagi yakni protokol
keempat mengenai senjata laser dan pada tahun 1996
dilakukan amandemen. Adanya adopsi dan pemberlakuan
protokol tambahan 1977 terinspirasi dari keprihatinan terhadap
perlindungan benda budaya
yang merupakan upaya
UNESCO yang kemudian mencapai hasil akhir dengan
diadopsinya Protokol Second Hague untuk perlindungan properti
budaya dalam acara konflik bersenjata pada 26 Maret 1999.
•Sementara,
hukum peperangan
laut tidak mengalami
perkembangan berarti semenjak Konvensi Jenewa sebab
hukum yang berlaku, San Remo Manual on International Law
Applicable to Armed Conflicts at Sea, walaupun bukan
merupakan treaty, masih dianggap patut diperhatikan.
Mengenai Peradilan Kejahatan Perang...
• Geneva Convention maupun Protocol 1977 tidak mampu
memberikan suatu prosedur kriminal internasional dan konsep
mengenai suatu badan hukum yang khusus menangani
kejahatan perang tidak berkembang semenjak International
Military Tribunals di Nuremberg dan Tokyo.
• Ide mengenai penegakan hukum internasional mengenai
konflik bersenjata baru muncul kembali setelah UNSC
mengadakan dua peradilan internasional yang bersifat Ad
Hoc pada tahun 1993 untuk mengadili pelanggar-pelanggar
berat hukum kemanusiaan dari Rwanda dan Yugoslavia.
kedua tribunal ini nantinya memberi jalan bagi dibentuknya
Statute of the International Criminal Court.
Download