Status Ekosistem Terumbu Karang Perairan Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan Laut Sekitarnya, Suaka Alam Perairan (SAP) Flores Timur, dan Perairan Sekitarnya Tahun 2017 Sebuah Temuan Awal dari XPDC Alor Flotim 2017 Penulis: Amkieltiela Marine Science and Knowledge Management Officer, WWF-Indonesia Pendahuluan Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pembentukan 20 juta ha kawasan konservasi hingga tahun 2020. Selain memprioritaskan pembentukan kawasan konservasi, pemerintah Indonesia juga mengupayakan peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi yang sudah dibentuk. Pemantauan kondisi ekologi, sosial dan ekonomi secara berkala merupakan salah satu aspek penting dalam upaya peningkatan efektivitas pengelolaan untuk memantau keberhasilan dan mengidentifikasi upaya yang perlu dilakukan atau ditingkatkan. Pemantauan secara berkala dapat memberikan informasi mengenai status, tren dan dampak ekologi, sosial, dan ekonomi yang terjadi setelah adanya kawasan konservasi. Kegiatan Pemantauan Terumbu Karang untuk Evaluasi Dampak Pengelolaan yang diadakan di Perairan Suaka Alam Perairan (SAP) Selat Pantar dan Laut Sekitarnya, Suaka Alam Perairan (SAP) Flores Timur, dan Perairan Sekitarnya merupakan bagian dari kerangka kerja penilaian dampak ekologi dari adanya kawasan konservasi. Secara umum, tujuan kegiatan ini adalah untuk menilai status, perubahan dan dampak ekologi setelah adanya pengelolaan SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya dan SAP Flores Timur. SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya dan SAP Flores Timur merupakan rumah bagi karang, ikan, mangrove, dan lamun dan juga dikenal sebagai jalur migrasi penyu dan mamalia laut seperti paus, lumba-lumba, dan dugong (Kementerian Kelautan dan Perikanan, n.d.; WWF-Indonesia, n.d.). Pengumpulan data kesehatan terumbu karang dilakukan di kedua KKP ini yang dikemas dalam sebuah ekspedisi dengan nama XPDC Alor Flotim 2017. Informasi kesehatan terumbu karang yang dikumpulkan merupakan data repetisi (T1) dari tahun 2014 (T0). Hasil survei tahun 2014 menunjukkan rerata tutupan karang keras di SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya sebesar 38%, lebih tinggi dari rerata tutupan karang keras di Sunda Banda Seascape (SBS) yaitu sebesar 32%. Rerata tutupan karang keras di SAP Flores Timur lebih rendah dari SBS, yaitu sebesar 30%. Hal yang sama terjadi dengan rerata kelimpahan 16 famili ikan target pengamatan. Rerata kelimpahan ikan di SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya lebih tinggi daripada rerata kelimpahan ikan di SBS (3951 ind/ha), yaitu sebesar 5271 ind/ha. Sedangkan rerata kelimpahan ikan di SAP Flores Timur sebesar 1310 ind/ha. Rerata biomassa 16 famili ikan target pengamatan di SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya dan SAP Flores Timur lebih rendah dibandingkan dengan rerata biomassa di SBS (985 kg/ha), yaitu berturutturut 786 kg/ha dan 256 kg/ha (Amkieltiela, et al., In prep). XPDC Alor Flotim 2017 merupakan kerjasama antara WWF-Indonesia dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Alor, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Flores Timur, University Consortium For Sustainable Fishery (UNICONSUFISH), dan Yayasan Reef Check Indonesia. XPDC Alor Flotim 2017 XPDC Alor Flotim 2017 sukses dilaksanakan pada 20 Maret hingga 7 April 2017. Sebelas orang yang terdiri dari 2 Tim ekologi (9 orang) dan 1 Tim Komunikasi (2 orang) terlibat dalam ekspedisi ini dan berhasil mengumpulkan data di 72 lokasi dari 73 lokasi target. Arus yang cukup kencang menyebabkan data dari 1 lokasi target tidak berhasil dikumpulkan. Kondisi kesehatan terumbu karang SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya dan SAP Flores Timur dikumpulkan menggunakan metode pengamatan langsung, yaitu menggunakan Transek Titik Menyinggung (Point Intercept Transect – PIT) untuk data tutupan bentik, sensus bawah laut (Underwater Visual Census – UVC) dan renang jauh (long swim) untuk data biomassa dan kelimpahan ikan karang, serta pengamatan insidental (Occasional Observation) untuk data sebaran spesies ETP (Endangered, Threatened, and Protected). Metode lengkap dapat dilihat di buku panduan “Protokol Pemantauan Kesehatan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan” (Amkieltiela & Wijonarno, 2015). Gambar 1. Lokasi Pengambilan Data Kesehatan Terumbu Karang di SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya dan SAP Flores Timur Sekilas tentang SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya dan SAP Flores Timur Kawasan Alor dan Flores Timur terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Kawasan ini menjadi wilayah kerja WWF-Indonesia bekerja sama dengan pemerintah lokal dan masyarakat sejak tahun 2009. Tujuannya adalah untuk melindungi dan menjaga kawasan laut, salah satunya dengan mendukung pembentukan KKP di Alor dan Flores Timur. SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya resmi ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada tanggal 16 Juni 2015 seluas 276.693,38 hektar melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/KEPMEN-KP/2015. Survei oleh Kahn (2002) menemukan 11 spesies setasean (5 spesies paus dan 6 spesies lumba-lumba) dengan total kurang lebih 3.211 individu. Tahun 2011, WWF-Indonesia bersama DKP dan Tim SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya mendokumentasikan keberadaan dugong di perairan Pantai Mali. Tutupan lamun, pakan dugong, yang rendah menjadi pertimbangan dalam pengelolaan SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya (Ariyogagautama, 2012). Sedangkan SAP Flores Timur dicadangkan pada tahun 2013 melalui Surat Keputusan Bupati No. 4 Tahun 2013 seluas 150.000 hektar. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Hasil pengamatan menunjukkan tutupan karang yang cukup rapat di sebagian besar area pengamatan meskipun di beberapa lokasi masih ditemukan hamparan pecahan karang yang cukup luas yang disinyalir merupakan akibat penggunaan bahan peledak. Meskipun tutupan pecahan karang cukup tinggi, namun terlihat adanya pemulihan ekosistem ditandai dengan ditemukan cukup banyak rekrutment karang. Karang keras didominasi oleh Pocillopora, Stylophora, Hydnophora, Acropora, Porites, Symphyllia, dan Galaxea, hanya 2 lokasi yang didominasi oleh karang lunak. Jumlah ikan karang target pengamatan yang ditemukan pun cukup banyak, namun lebih banyak ikan-ikan yang berukuran antara 10-35 cm. Ikan karang didominasi oleh famili Scarini, Caesionidae, dan Acanthuridae. Selain itu, selama pengamatan juga ditemukan hiu black tip, white tip, nurse shark, penyu, dan lumba-lumba. Gambar 2. Hiu white tip yang ditemukan saat tim melakukan pengambilan data Ancaman dan Tantangan terhadap Sumber Daya Laut Selama XPDC Alor Flotim 2017, tim mengidentifikasi ancaman dan tantangan terhadap kesehatan ekosistem terumbu karang. Ancaman yang paling besar adalah masih adanya penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan. Selama penyelaman, tim mendengar ledakan bom di tiga lokasi pengamatan. Penggunaan bom merusak terumbu karang dan menghasilkan pecahan karang yang banyak. Tingginya pecahan karang yang menutupi substrat dasar dapat menghambat pertumbuhan karang akibat kondisinya yang tidak stabil sehingga dapat mengurangi keberhasilan penempelan planula karang. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat proses pemulihan ekosistem terumbu karang. Ancaman lainnya adalah ditemukannya pemutihan karang keras di dua lokasi penyelaman dan pemutihan karang lunak di satu lokasi penyelaman. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa lokasi yang memiliki kondisi terumbu karang yang cukup sensitif. Pemutihan karang dapat disebabkan oleh peningkatan suhu permukaan laut akibat perubahan iklim, limpasan polutan ke laut, paparan matahari yang tinggi dan dalam waktu yang panjang, serta kondisi surut yang panjang dan lama (NOAA's Coral Reef Conservation Program, 2015). Oleh karena itu, diperlukan tindakan preventif salah satunya dengan menjaga tingkat kelentingan (resiliensi) ekosistem terumbu karang sehingga dampak yang lebih buruk (misalnya kerusakan habitat, penurunan biomassa ikan yang signifikan) dapat dihindari. Laporan Teknis dapat diakses pada bulan Desember 2017. Informasi lebih lanjut tentang XPDC ALor Flotim 2017 dapat diakses di www.wwf.or.id/xpdcalorflotim.