perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 2 BAB I

advertisement
2
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Globalisasi di dunia terjadi akibat adanya kemajuan perkembangan
interaksi atau komunikasi antarbangsa. Komunikasi adalah kunci utama
kehidupan bermasyarakat sosial yang bersifat universal1. Globalisasi sebagai
fenomena di abad kedua puluh telah membawa banyak pengaruh di segala sisi
kehidupan masyarakat, kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi telah
melipat dunia menjadi sebuah desa global yang dihuni berbagai macam ras dan
suku dengan corak budaya yang berbeda.2 Media juga berperan penting dalam
proses ini, bervariasi secara meluas diseluruh dunia3. Ada banyak dampak baik
positif maupun negatif yang terjadi akibat adanya globalisasi, terutama di
Indonesia.
Hal yang ingin penulis ungkap dari dampak negatif globalisasi bangsa
Indonesia adalah mengenai kasus pornografi yang semakin lama kian marak di
Indonesia. Sehingga banyak efek dan dampak negatif lain yang terjadi karenanya.
Di Indonesia, pornografi telah menjadi hal yang sangat umum karena
sangat mudah diakses oleh setiap kalangan usia. Aliansi Selamatkan Anak (ASA)
Indonesia (2006) menyatakan bahwa Indonesia selain menjadi negara tanpa aturan
1
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009), hal.5.
Andrik Purwarsito, Komunikasi Multikultural, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2003), hal.18.
3
commit toMedia,
user terj.Drs.Tony Rinaldo (Sidney:Mitra
Jim Macnamara, Strategi Jitu Menjinakkan
Media,1999), hal.9.
2
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
yang jelas tentang pornografi, juga mencatat rekor sebagai negara kedua setelah
Rusia yang paling rentan penetrasi pornografi (BKKBN,2004).4
Beberapa treatment pada awalnya telah pemerintah dan tokoh-tokoh
ulama lakukan sebagai upaya antisipasi. Mulai dari dukungan kegiatan-kegiatan
keagamaan, ceramah-ceramah agama, kajian, bahkan sampai dengan pengesahan
Undang-Undang Antipornografi No.44 Tahun 2008 (UU AP No.44/2008) pada
Sidang Paripurna DPR tanggal 30 Oktober 2008 hingga pembentukan Satuan
Tugas Antipornografi (Satgas Antipornografi) yang diresmikan Presiden pada 2
Maret 2012 lalu.
Namun meski telah disahkan UU No.44/2008, tetap saja masih banyak
kasus asusila yang terjadi di Indonesia akibat memang masih dianggap ambigunya
konsep pornografi di Indonesia.5 Misalnya video mesum Nazriel Irham alias Ariel
Peter Pan dengan dua wanita yang diduga Cut Tari dan Luna Maya yang sempat
heboh di media massa karena polemik penentuan siapa yang bersalah.6 Yang
kemudian muncul dampak buruk lebih luas lagi seperti terungkapnya kasus
pemerkosaan yang dilakukan sejumlah pelajar SMA terhadap gadis dibawah
umur. Tidak hanya itu, adegan pemerkosaan itu pun mereka filmkan. Proses
peniruan dilakukan setelah mereka mengaku menonton video berjudul Ariel
Peterpan.7
4
Euis Supriati dan Sandra Fikawati, "Efek Paparan Pornografi pada Remaja SMP Negeri Kota
Pontianak Tahun 2008", Jurnal Makara Seri Sosial Humaniora, No. 43 (Juli, 2009), hal.49.
5
Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta:Komunitas Bambu,2011),hal.20.
6
“Aktor dan Sutradara Mesum Diancam 12 Tahun Penjara,” Koran Tempo, 5 Desember, 2010,
commit to user
hal. 30-31
7
Ibid., Hal.31
perpustakaan.uns.ac.id
4
digilib.uns.ac.id
Ada lagi kasus ditemukannya tindak asusila oleh si pembuat kebijakan
perundangan itu sendiri, dimana seorang anggota DPR terjerat kasus video
mesum.8
Kemudian kasus lain yang perlu kita ketahui adalah penelitian yang
menyatakan bahwa sejumlah 62,7% siswi SMP dinyatakan sudah tidak perawan
lagi. Data diperoleh dari hasil survey Komisi Nasional Perlindungan Anak pada
bulan Februari 2012.9
Debat mengenai hal ini mungkin tidak akan berkembang menjadi suatu
polemik yang berkepanjangan, jika saja persoalan-persoalan seputar seksualitas
maupun pornografi ini dikemas dalam suatu frame yang memuat pengaturan
mengenai media yang digunakan, cara peredaran serta pasar yang akan dituju.
Artinya tidak menjadi tontonan yang bersifat massal tanpa peduli mengenai
dampak yang mungkin ditimbulkannya.10
Menganalisis terkait adanya isu pro dan kontra tentang telah disahkannya
UU AP pada Oktober 2008, sebuah pertunjukkan teater yang merupakan salah
satu media komunikasi,11 berusaha untuk mengimplementasikan perundangundangan soal antipornografi keatas panggung pementasan.
Dari situ nampaknya memang diperlukan adanya media komunikasi yang
lebih sederhana, mudah dipahami dengan adanya banyak dimensi, dan lebih
dialogis. Salah satunya adalah melalui pertunjukkan teater.
8
Munawaroh,”Video Porno Coreng Muka DPR”, Koran Tempo,5 April 2012
“62,7% Siswi SMP Tidak Perawan!,” www. citizenjurnalism.com/hot-topics/627-persen-siswismp-tidak-perawan (diakses 17 Desember 2012).
10
B.Tjandra Wulandari,” Perempuan dan Pornografi Sebuah Seni Ataukah Eksploitasi”, Jurnal
Legality
Universitas
Muhamadiyah
Malang,
commit to user (diakses 12 Januari 2013)
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/309,
11
Ipit S.Dimyati, Komunikasi Teater Indonesia (Bandung:Penerbit Kelir, 2010), hal.2
9
5
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Teater berasal dari bahasa Yunani kuno, “theatron” yang berarti seeing
place atau tempat dimana aktor-aktor mementaskan lakon-lakon dan orang-orang
menontonnya. Sedangkan istilah teater atau dalam bahasa Inggrisnya “theatre”
mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan, kelompok
yang melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri.12
Didalam sebuah pertunjukkan teater bukan hanya suatu upaya untuk
mengkomunikasikan makna yang ada dalam naskah lakon, tetapi yang lebih
penting adalah merepresentasikan realitas ke dalam gagasan dan ide-ide teater di
atas panggung. Naskah teater merupakan sebuah teks yang memiliki karakteristik
tersendiri dalam mengkonstruksikan makna-maknanya dengan sajian audio-visual
berbagai dimensi secara live diatas panggung.
Teater dapat dengan mudah dimengerti, lebih mudah diurus dan
dikomunikasikan dengan pengaruh langsung yang jauh lebih besar dari semua
multi media modern digabung menjadi satu. Teater tidak mahal, tidak dikuasai
oleh perusahaan-perusahaan besar atau perusahaan asing, dan dapat dipergunakan
untuk melayani kebutuhan masyarakat secara lebih spontan dan lebih mengena.
Teater yang dipergunakan sebagai media, channel/saluran, alat, produk
dan
proses,
memungkinkan
masyarakat
penonton
untuk
ikut
serta
menyumbangkan gagasan tentang isi, bentuk dan pesan pertunjukkan itu.
Kegiatan teater dapat mendorong lebih jauh kegiatan bersama dan proses
kebersamaan. Teater merupakan gladi atau latihan bagi perubahan yang
commit to user
12
Bakdi Soemanto, Jagad Teater (Yogyakarta:Media Pressindo, 2001), hal. 8
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sesungguhnya dengan menggunakan kehidupan dan kepekaan masyarakat.13
Teater sebagai media yang membantu mengatasi sebagian besar kendala dan
kelemahan dari penggunaan media massa lainnya karena dinilai lebih terjangkau,
mudah, bersifat sederajat, dialogis, sesuai dan syah dari segi budaya, bersifat
setempat, lentur, menghibur, dan sekaligus memasyarakat.14
Selain sebagai karya seni, teater juga merupakan salah satu media
komunikasi yang menyampaikan pesan-pesannya melalui simbol-simbol dan
tanda-tanda
yang perlu di-interpretasikan lebih mendalam. Seni
teater
menggabungkan unsur-unsur audio, visual, dan kinestetik (gerak) yang meliputi
bunyi, suara, musik, gerak serta seni rupa. Seni teater merupakan suatu kesatuan
seni yang diciptakan oleh penulis lakon, sutradara, pemain (pemeran), penata
artistik, pekerja teknik, dan diproduksi oleh sekelompok orang produksi. Sebagai
seni kolektif, seni teater dilakukan bersama-sama yang mengharuskan semuanya
sejalan dan seirama serta perlu harmonisasi dari keseluruhan tim. Pertunjukan ini
merupakan proses seseorang atau sekelompok manusia dalam rangka mencapai
tujuan artistik secara bersama. Dalam proses produksi artistik ini, ada sekelompok
orang yang mengkoordinasikan kegiatan (tim produksi). Sementara itu, sejarah
panjang seni teater dipercayai keberadaannya sejak manusia mulai melakukan
interaksi satu sama lain. Interaksi itu juga berlangsung bersamaan dengan tafsirantafsiran terhadap alam semesta. Dengan demikian, pemaknaan-pemaknaan teater
tidak jauh berada dalam hubungan interaksi dan tafsiran-tafsiran antara manusia
dengan alam semesta.
13
14
Ibid.hal.84
Ibid.hal.88
commit to user
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Selain sebagai media komunikasi yang dapat menyampaikan pesan
kepada khalayak, teater juga berfungsi sebagai media kritik terhadap realitas
sosial di masyarakat. Komunikasi yang disampaikan secara audio visual dengan
beragam dimensi secara langsung diatas panggung akan dengan lebih mudah
dipahami hampir seperti simulasi sebuah adegan/peristiwa sebagai media
pembelajaran.
Kaitannya dengan UU Antipornografi No.44/2008, seniman dan
budayawan yang tergabung dalam kelompok teater Gandrik dari Yogyakarta, Ayu
Utami dan Agus Noor telah berhasil mengkaryakannya kedalam sebuah naskah
pementasan berjudul “Sidang Susila”. Lakon Sidang Susila (karya Ayu Utami dan
Agus Noor) dipentaskan pertama kali oleh Teater Gandrik, pada tanggal 21-23
Februari 2008 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Kemudian dipentaskan kembali
pada 7 dan 8 Maret 2008, bertempat di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.
Inilah lakon yang menggambarkan satu upaya monopoli kebenaran moral. Sebuah
zaman, ketika undang-undang asusila ditegakkan, yang bayang-bayangnya seperti
sudah bisa terasakan ketika naskah ini ditulis. Sebuah zaman yang menyeramkan
tetapi juga penuh kekonyolan.15
Pada tanggal 15, 16, 17 Januari 2009, lakon Sidang Susila, dipentaskan
Teater Gandrik kembali di Teater Salihara Jakarta, lantaran dianggap (masih)
memiliki relevansi dengan tema seputar Undang-Undang Antipornografi yang
telah disahkan itu. “Setidaknya lakon ini akan menjadi pengingat bagi kita akan
agenda-agenda tersembunyi yang akan mencederai pluralisme, kemajemukan
commit to user
15
“Sidang Susila”, http://agusnoorfiles.wordpress.com (diakses 10 Oktober 2012)
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
serta pentingnya ruang untuk mengekspresikan setiap pikiran,” jelas Butet
Kartaredjasa. “Makanya, ketika Komunitas Salihara memberi kesempatan tampil,
kami sangat antusias. Bagaimana pun Komunitas Salihara merupakan representasi
tempat dan ruang bagi kreatifitas di Republik ini. Klop-lah dengan Gandrik.”
Selain Butet Kartaredjasa, para dedengkot Gandrik seperti Susilo Nugroho, Heru
Kesawa Murti, Djaduk Ferianto, Whani Darmawan pun konsisten mendukung
lakon ini.16 Naskah tersebut kemudian diadaptasi dan dipentaskan kembali oleh
Teater Sopo FISIP UNS pada tanggal 3 November 2011 di Semarang, 4
November 2011 di Salatiga, dan 15-16 November 2011 di Surakarta.
Adapun pementasan yang akan penulis teliti adalah salah satu hasil
dokumentasi dari pementasan lakon “Sidang Susila” yang telah dipentaskan pada
tanggal 15 November 2011 di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Dengan
durasi 2 jam 30 menit berkonsep semi realis, yang artinya merupakan bagian dari
teater modern bersifat baru dan bernuansa masa sekarang. Teater semi realis
bersifat semi atau diantara kontemporer dan realis. Dalam penampilannya
cenderung lebih mudah dipahami karena pemeranan bersifat nyata namun masih
aneh dalam kenyataan misalnya dari latar tampilan yang tidak lazim dan dari segi
tokoh dalam pemeranan yang tidak nyata namun memiliki sifat nyata. Didalam
pementasan tersebut akan menampilkan pengaplikasian hal-hal yang dianggap
porno dan dianggap melanggar Undang-Undang Asusila. Hadirnya tokoh-tokoh
penegak hukum yang mengalami kelainan seksual, dan lain sebagainya.
Semuanya akan diteliti melalui analisis semiologi sebagai metode untuk
commit to user
16
“Sidang Susila”, Op.Cit., (diakses 10 Oktober 2012)
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang pesan
atau teks17.
B. RUMUSAN MASALAH
Memahami latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka dapat
dirumuskan permasalahan terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut:
“Bagaimana penggunaan simbol-simbol dalam mengkritisi UU Antipornografi
melalui pementasan “Sidang Susila” oleh Teater Sopo UNS?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui bagaimana penggunaan simbol-simbol dalam mengkritisi
UU Antipornografi melalui pementasan “Sidang Susila” oleh Teater Sopo UNS.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Secara Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sebagai
sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Komunikasi pada umumnya dan
studi semiotik pada khususnya. Selain itu juga diharapkan mempunyai
signifikansi dalam membongkar penggambaran pornografi yang ditampilkan
dalam pementasan teater sebagai media komunikasi, baik dalam bentuk pencitraan
yang digambarkan melalui adegan (gestur, mimik), karakter, make up dan kostum,
tata cahaya, setting panggung, musik, serta dialog-dialog yang muncul dalam
commit to user
17
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta:LKIS Yogyakarta,2007),hal.155
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pementasan terkait dengan konteks kondisi sosial budaya saat pementasan teater
tersebut dibuat.
2. Secara Praktis
2.1. Bagi Peneliti
Kegunaan penelitian ini, bagi peneliti adalah untuk menambah pengetahuan dan
wawasan sehubungan dengan masalah yang diteliti melalui penerapan ilmu dan
teori yang telah di peroleh selama masa perkuliahan serta membandingkannya
dengan fakta dan kondisi realita yang terjadi di lapangan.
2.2. Bagi Akademik
Bagi akademik, penelitian ini berguna bagi mahasiswa secara umum dan
mahasiswa ilmu komunikasi secara khusus sebagai literatur, khususnya bagi
mahasiswa atau peneliti yang akan melakukan penelitian yang sejenis.
2.3. Bagi Praktisi
Penelitian ini dapat bermanfaat untuk para pekerja seni dan aktivis budaya untuk
lebih memahami bahwa pementasan teater dapat menjadi wahana bagi
pembebasan atau pengaktualitasan kondisi yang riil (nyata) sehingga selanjutnya
mendorong para pekerja seni dan aktivis budaya di Indonesia untuk lebih berhatihati dalam menghasilkan karya yang bebas dari penilaian unsur porno.
2.4. Bagi Pemerintah
Penelitian ini dapat berfungsi sebagai mediator maupun bahan kajian kembali
kepada pemerintah terhadap disahkannya Undang-Undang Antipornografi Nomer
44 Tahun 2008, sehingga tidak akan ada lagi perselisihan sudut pandang moralitas
mengenai pornografi.
commit to user
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. TELAAH PUSTAKA
Ada beberapa poin yang menjadi kerangka teori yang digunakan untuk
menjadi landasan dasar dalam penelitian yang berjudul “Teater Sebagai Channel
Penggambaran Pornografi (Studi Media Komunikasi Massa Teater Sopo dalam
Pementasan “Sidang Susila” dengan Analisis Semiologi Komunikasi)”. Adapun
teori-teori dasar yang digunakan penulis untuk mengkaji penelitian ini adalah sbb;
1. KOMUNIKASI
Komunikasi mempunyai banyak arti dan sifat serba ada. Fenomena
komunikasi adalah sesuatu yang konstan dan tidak berubah tetapi hanya
pemahamannya saja yang berubah. Astrid Susanto merumuskan komunikasi
sebagai
berikut
:
“Suatu
kegiatan
pengoperan lambang-lambang
yang
mengandung arti atau makna yang perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang
terkait dalam suatu kegiatan.”18
Komunikasi memegang peranan penting dalam dalam kehidupan
manusia. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan
terampil dari manusia. Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia
tidak berkonunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide,
gagasan, maksud, serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol, baik yang
bersifat verbal maupun non verbal. Melalui pertukaran simbol-simbol yang sama
commit
Susanto, Astrid, Komunikasi dalam
Teori to
danuser
Praktek Jilid I, (Bina Cipta: Bandung,
1996),hal.31.
18
perpustakaan.uns.ac.id
12
digilib.uns.ac.id
dalam menjelaskan informasi, gagasan dan emosi diantara mereka itulah akan
lahir kesamaan makna atas pikiran, perasaan dan perbuatan.19
Apa sebenarnya komunikasi itu? Jane Pauley (1999) memberikan definisi
khusus atas komunikasi, setelah membandingkan tiga komponen yang harus ada
dalam sebuah peristiwa komunikasi, yaitu :
a. Transmisi informasi;
b. Transmisi pengertian;
c. Menggunakan simbol yang sama.
Menurut Pauley (1999), jika salah satu dari komponen tersebut tidak ada,
maka komunikasi tidak akan terjadi.20
Sementara itu Schram dalam Effendy (1999) menyatakan bahwa
komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator
cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan
pengertian (collection of experience and meanings) yang diperoleh komunikan.21
Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan utama dari setiap tindakan komunikasi,
yaitu mencapai kesepakatan atau pengertian bersama (mutual understanding).
Komunikasi dapat dipandang baik atau efektif sejauh ide, informasi,
gagasan, dan sebagainya dimiliki bersama oleh atau mempunyai kebersamaan arti
bagi orang-orang yang terlibat dalam tindakan komunikasi tersebut.
Secara sederhana proses komunikasi dapat digambarkan sebagai berikut:
19
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 1999),
hal. 9.
20
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: Rosdakarya, 1990),
commit to user
hal.7.
21
Ibid., hal.13
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Message
Channel
Source/
receiver
Encoding
Interpretating
Decoding
Decoding
Interpretating
Encoding
Source/
receiver
Message
Channel
Model Komunikasi Sirkuler yang Bersifat Dua Arah
(Osgood & Schram, dalam Effendy 1999 )
Komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pesan, yang di dalamnya
terlibat elemen-elemen komunikasi yakni sumber (source), media (channel),
penerima (receiver), dan respon (feedback). Agar sebuah proses komunikasi lebih
efektif, maka gagasan, ide, dan opini akan di-encode atau diterjemahkan menjadi
pesan yang mudah diterima (decode) oleh penerima. Dalam sebuah proses
komunikasi, pesan adalah hal yang utama.22 Sebab komunikasi sendiri adalah
proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan. Pesan yang
disampaikan lewat media pun, ada yang tampak tersurat (denoted) maupun tersirat
(connoted).23 Pengertian isi pesan selanjutnya mengacu pada pengertian makna
yang sisampaikan melalui bahasa, baik verbal maupaun nonverbal. Lawrence dan
Schramm mengartikan makna sebagai jalinan asosiasi pikiran dan konsep yang
diterapkan.24 Pertalian jalinan sosial dan pikiran yang diberikan pada simbol22
Onong U. Effendy, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1995), hal.13.
23
D. Lawrence & Wilbur Schramm, Azas-azas Komunkasi Antar Manusia, (Jakarta: LP3ES,
commit to user
1987), hal.76.
24
Ibid, hal.76.
14
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
simbol komunikasi akan mempermudah dan menguatkan elemen-elemen
komunikasi meng-encode dan men-decode simbol menjadi pengertian bermakna.
Secara utuh ini merupakan konteks tak terpisahkan antara maksud komunikator
dan interpretasi komunikan dalam kegiatan pengoperan lambang yang
mengandung arti atau makna tersebut.25 Dr. Phil. Astrid S. Susanto menyatakan
pesan hendaknya bisa dihayati oleh komunikan, sehingga menjadi milik
komunikator dan komunikan.26
Sedangkan proses model komunikasi menurut Schramm adalah sebagai berikut:
Proses Komunikasi Model Schramm
Encode
Decode
message
Intepretation
Intepretation
Sumber: D. Lawrence & Schramm Azas-azas
Komunkasi
Decode
Encode
Antar Manusia, LP3ES, Jakarta, 1987
Selanjutnya Lawrence dan Schramm memberi penjelasan bahwa makna
baru timbul jika orang menafsirkan isyarat atau simbol dan berusaha memahami
aspek pikiran, perasaan, konsep.27 Dalam hal ini, komunikasi dilihat sebagai
proses produksi dan pertukaran pesan : yaitu dengan memperhatikan bagaimana
suatu pesan berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan untuk memproduksi
makna.
25
H. Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi : Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta:PT. RajaGrafindo
Persada, 1998), hal.25.
26
commit
to user
Astrid S. Susanto, Filsafat Komunikasi,
(Bandung:Binacipta,1995),
hal. 9.
27
D. Lawrence & Wilbur Schramm, Op Cit, hal.77.
15
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pesan yang disampaikan oleh sumber tidak akan memiliki arti jika
penerima pesan tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk mendecode pesan
tersebut, yaitu proses memberikan makna balik terhadap pesan tersebut. Ketidak
pahaman atas sebuah pesan yang disampaikan oleh sumber kepada penerima
pesan seringkali terjadi, tetapi di sini bukan berarti telah terjadi kegagalan dalam
berkomunikasi. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan faktor lingkungan dan latar
belakang sosial budaya yang berbeda antara kedua belah pihak.
Dijelaskan juga bahwa komunikasi menjangkau secara lebih mendalam
pada beberapa komponen utama proses terjadinya komunikasi. Konsep sumber
(sourse) dan penerima (receiver) diperluas, serta perlakuan dan representasi dari
saluran (channel) komunikasi berbeda dari model komunikasi lainnya.
Menurut Lasswell (dalam Effendy, 1993: 3), komunikasi adalah proses
penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang
menimbulkan efek tertentu.28
Model komunikasi Lasswell sebagai berikut :
Who
Says What
In Which Channel
To Whom
With What Effect
Keterangan :
a. Who
: Siapa (Komunikator/sender)
b. Says What
: Mengatakan apa (Pesan/message: idea, informasi,
opini, dsb)
c. In Which Channel : Melalui saluran apa (Media/channel)
d. To Whom
: Kepada Siapa (komunikan/receiver: audien)
commit to user
28
Onong U.Effendy, Televisi Siaran Teori & Praktek, (Bandung: Mandar Maju,1993), hal.3.
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e. With what effect
:
Dengan
efek
apa
(efek/pengaruh
kegiatan
komunikasi yang dilakukan komunikator kepada komunikan.)
Dari skema diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan
suatu proses yang diawali dengan adanya sebuah pesan (message) yang dibawa
atau disampaikan oleh komunikator (sender) kepada komunikan (receiver)
melalui sebuah media atau saluran (channel) dengan maksud dan tujuan untuk
mendapatkan efek dari proses tersebut.
2. CHANNEL / SALURAN KOMUNIKASI SEBAGAI KOMPONEN
KOMUNIKASI
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, pada dasarnya ilmu pengetahuan
komunikasi secara keseluruhan cenderung mengidentifikasi serangkaian masalah
yang terdapat pada semua peringkat. Teori dan penelitian berupaya menyodorkan
penjelasan terhadap rangkaian masalah tersebut, sekali lagi meliputi :
a. Siapakah yang melakukan komunikasi dan kepada siapa komunikasi
itu ditujukan? (sumber dan penerima)
b. Mengapa orang berkomunikasi? (fungsi dan tujuan)
c. Bagaimana cara terjadinya komunikasi? (saluran, bahasa, kode)
d. Komunikasi itu menyangkut hal apa? (isi, obyek acuan, tipe
informasi)
e. Apakah konsekuensi komunikasi? (disengaja atau tidak disengaja)29
Mengenai bagaimana cara terjadinya komunikasi adalah dengan
menggunakan saluran, bahasa, kode, yang disebut dengan media. Harold Lasswell
dengan teori model komunikasi yang dikutip Deddy Mulyana tentang cara yang
baik untuk menggambarkan komunikasi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan
to user
Denis McQuail, Teori Komunikasi commit
Massa Suatu
Pengantar Edisi Kedua (Jakarta:Penerbit
Erlangga,1996), hal.7
29
perpustakaan.uns.ac.id
17
digilib.uns.ac.id
“Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?”. Jadi
berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian
pesan/informasi oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang
menimbulkan efek tertentu. Pada komponen komunikasi poin ketiga, yaitu
channel (saluran atau media), adalah alat atau wahana yang digunakan sumber
untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.30 Dalam kajian ilmu
komunikasi, media komunikasi adalah saluran atau alat yang digunakan untuk
menyampaikan pesan/informasi dari komunikator kepada komunikan. Dalam hal
ini, media merupakan lokasi (atau forum) yang semakin berperan untuk
menampilkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik
yang bertaraf nasional maupun internasional. Sering kali juga berperan sebagai
wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan
tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. Media telah menjadi sumber
dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas
sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif dan
menyuguhkan nilai-nilai normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.31
Pentingnya media komunikasi juga diperkuat dengan pernyataan David
K.Berlo yang disampaikan pada tahun 1960 dengan model SMCR, kepanjangan
dari Source (sumber), Message (pesan), Channel (saluran), dan Receiver
(penerimaan). Sebagaimana dikemukakan Berlo,
“.....sumber adalah pihak yang menciptakan pesan, baik seseorang
ataupun suatu kelompok. Pesan adalah terjemahan gagasan ke dalam suatu kode
simbolik, seperti bahasa atau isyarat; dan saluran/channel adalah medium yang
30
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2005),
commit to user
hal.62-63
31
Denis McQuail, Op.Cit., hal.3
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
membawa pesan; kemudian penerima adalah orang yang menjadi sasaran
komunikasi.”32
Model komunikasi SMCR ini, menguji empat variabel kunci yang
menyempurnakan berbagai model komunikasi, yaitu : source (sumber), message
(pesan), channel (saluran), dan receiver (penerima). Dalam hal ini, keunikan cara
kerja Berlo untuk mendefinisikan saluran komunikasi menjadi catatan yang
penting. Berlo adalah peneliti yang pertama kali menggunakan panca indera
sebagai saluran komunikasi. Sebagai tambahan, ia memperluas konsep sumber
dan penerima, kemudian mencatat beberapa komponen seperti kemampuan
berkomunikasi
(communication
skills),
sikap
(attitudes),
pengetahuan
(knowledge), sistem sosial (social system), dan juga budaya (culture) atau teori
sistem.
Sehingga tanpa hadirnya salah satu dari komponen komunikasi diatas,
maka proses komunikasi tidak akan berjalan dengan baik, karena komponen satu
dengan yang lainnya saling berkaitan dan memiliki peran masing-masing.
3. TEATER SEBAGAI BENTUK KOMUNIKASI KELOMPOK
Didalam ranah kebudayaan, ada berbagai cara dalam memandang seni,
satu diantaranya melalui kacamata komunikasi. Bila hal itu dilakukan, berarti seni
dipahami bukan sebagai karya yang eksklusif, untuk diri sendiri, tetapi menjadi
32
John R.Wenburg dan William W.Wilmot, The Personal Communication Process (New
York:John
Wiley
&
Sons,1973),hal.49-50;
Michael
Burgoon,
Approaching
commit to user
Speech/Communication (New York: Holt,Rinehart
& Winston,1974),hal.15-16, seperti dikutip
oleh Deddy Mulyana, Op.Cit., hal.150
perpustakaan.uns.ac.id
19
digilib.uns.ac.id
suatu “intensionalitas”, terarah pada orang lain.33 Berbagai macam bentuk karya
seni yang didalamnya termasuk pementasan teater. Teater sebagai salah satu jenis
kesenian yang tidak terlepas dari implikasi ketika para teaterawan melakukan
proses kreatif yang hasilnya kemudian dipersembahkan kepada masyarakat
sebagai penonton, bukan berarti pementasan teater tersebut hanya sekedar
perbuatan untuk memuaskan diri para kreatornya saja, tetapi juga suatu ungkapan
yang lahir karena dorongan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan para
anggota masyarakat lainnya.
Dalam salah satu teori pengalaman estetis, pengalaman yang dialami
seniman sebelum mencipta karya seni, disebutkan bahwa lahirnya karya seni
karena seniman melihat adanya kesenjangan antara kehidupan nyata dengan
kehidupan yang seharusnya ada, yang ada dalam benak seniman. Untuk
menjembatani kesenjangan itu kemudian seniman menciptakan karya seni sebagai
sebuah „dunia alternatif‟ yang ditawarkan kepada masyarakat, sehingga kehidupan
bersama diharapkan lebih baik (Dimyati,1986:14-16). Ini kiranya menjadi jelas,
bahwa teater sebetulnya juga berada dalam wilayah komunikasi.34 Didalam
komunikasi, setidaknya melibatkan tiga unsur, yaitu: sumber, pesan dan sasaran.
Sedangkan didalam teater, yang menjadi sumber itu para teatrawan, pesannya
berupa nilai-nilai yang berada dibalik pertunjukkan (channel) dan sasarannya
adalah para penonton yang menyaksikan pertunjukkan teater tersebut.35.
33
Istilah “intensionalitas” dipinjam dari terminologi fenomenologi Edmund Husserl. Selanjutnya
lihat Kees Bertens, “Masalah „Dunia‟ dalam Filsafat”, dalam Sarjono Pespowardojo dan K.Bertens
(1979:20), seperti dikutip oleh Ipit S.Dimyati, Komunikasi Teater Indonesia, (Bandung: Penerbit
Kelir, 2010), hal.1
34
commit to user
Ipit S.Dimyati, Ibid., hal.2
35
Ibid
perpustakaan.uns.ac.id
20
digilib.uns.ac.id
Komunikasi manusia terbanyak terjadi diantara individu. Karena itu,
disamping komunikasi intrapersonal, perlu juga diperhatikan komunikasi
interpersonal. Komunikasi interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih.
Namun jika sudah lebih dari dua orang, kita bisa menyebutnya sebagai satu
kelompok sesuai dengan prinsip: tres faciunt collegium, yaitu tiga orang sudah
bisa disebut satu kelompok.36 Sehingga dalam hal ini, teater termasuk ke dalam
komunikasi kelompok.
Adanya pementasan teater merupakan proses vital didalam kelompokkelompok demi eksistensi mereka, kehidupan mereka dan perubahan mereka
sendiri. Sarana-sarana untuk komunikasi dalam dan untuk komunikasi kelompok,
terutama kalau sarana-sarana itu dengan satu atau lain cara dipersiapkan secara
teknis, dapat disebut “media kelompok”.37 Pementasan teater sebagai media audio
visual, informasinya dapat ditangkap secara lengkap karena dapat dilihat dan
didengarkan.
Dalam konteks media komunikasi, Marshal McLuhan menyampaikan
bahwa media massa merupakan perpanjangan dari alat indera kita. 38 Dengan
media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang, atau tempat
dimana kita tidak mengalaminya secara langsung. Realitas yang ditampilkan
media adalah realitas yang sudah diseleksi atau biasa disebut realitas tangan
kedua. Media massa memiliki kurikulum tersembunyi yang menggambarkan apa
yang terjadi, apa yang penting dalam berbagai peristiwa dan menjelaskan
36
Franz Josef Eilers, Communicating In Community An Introduction To Social
Communication;Berkomunikasi dalam Masyarakat, terj.Frans Obon,Eduard Jebarus,
(Semarang:Nusa Indah, 2001), hal.218
37
commit to user
Ibid., hal.219
38
Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung:Rosda,2002),hal.18.
21
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hubungan-hubungan serta makna yang ada diantara peristiwa-peristiwa itu.
Dengan cara tersebut, media membentuk lingkungan simbolis39, salah satunya
melalui pementasan teater yang mengkomunikasikan pesan-pesan tertentu kepada
khalayaknya. Pementasan teater sebagai media audio visual, informasinya dapat
ditangkap secara lengkap karena dapat dilihat dan didengarkan.
Pada saat bersamaan, sebuah lakon yang dimainkan oleh aktor-aktor
tersebut merupakan serangkaian tindakan yang tokoh-tokohnya harus dihidupkan.
Hal ini menjadi tidak mungkin tanpa adanya beberapa kerangka sosial bagi
kelompok tersebut: mereka harus bertemu bersama, bersatu, membentuk afiliasi,
terpecah-pecah, serta saling menyesuaikan cara interaksi dan lingkungan sosial
bersama-sama.
Pada setiap pertunjukan teater selalu terdapat penonton yang membentuk
publik yang tidak jarang selera, kebutuhan, dan asal sosial mereka cukup
beragam. Publik teater ini mungkin membentuk kelompok-kelompoknya sendiri
yang anggotanya terdiri dari sekumpulan massa, mulai dari lingkungan kecil
kenalan sampai pada sebuah komunitas. Karena teater selalu membutuhkan
komunitas sebagai penyangga eksistensinya. Didalam teater, pertunjukan adalah
bagian dari dinamika sosial komunitas atau masyarakat pendukungnya. Di sinilah,
fungsi sosial teater menjadi penting karena dapat mengolah persoalan-persoalan
sosial ke dalam pertunjukan.
The theatre berasal dari kata Yunani kuno, “Theatron” yang berarti
seeing place atau tempat dimana aktor-aktor mementaskan lakon-lakon dan orangcommit to user
39
Ibid, hal.249.
perpustakaan.uns.ac.id
22
digilib.uns.ac.id
orang menontonnya. Sedangkan istilah teater atau dalam bahasa Inggrisnya
“theatre” mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan,
kelompok yang melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri.40
Penonton mempunyai peran penting dalam pementasan teater. Teater tanpa
penonton itu mustahil. Tanpa penonton, teater bukanlah peristiwa budaya. Jadi
penonton memiliki kekuatan yang dibutuhkan dalam setiap seni pertunjukan
seperti halnya komunikasi, penonton adalah salah satu komunikan. Dalam kajian
ilmu sosiologi teater menyebutkan bahwa melacak apakah penonton memiliki
interaksi dengan pementasan dan evaluasi pementasan teater: apakah unsur
teatrikal dan kultural yang ada bisa menuntun atau mengintervensi penonton
terhadap teaterikal sosial; mentalitas, emosi dan nilai penonton, dan pengaruh
ideologi terhadap cara penonton dalam menyaksikan pementasan teater.41 Dalam
kajian sosiologi komunikasi tentu saja masih relevan menyebutkan penonton
merupakan bagian dari masyarakat tertentu. Seperti yang dikemukakan Burhan
Bungin bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang
menghasilkan kebudayaan. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian ini bahwa
teater merupakan salah satu produk kebudayaan masyarakat.42
Seni teater merupakan suatu karya seni yang rumit dan kompleks,
sehingga sering disebut dengan collective art atau synthetic art,43 artinya teater
merupakan sintesa dari berbagai disiplin seni yang melibatkan berbagai macam
keahlian dan keterampilan. Seni teater merupakan suatu kesatuan seni yang
40
Bakdi Soemanto, Jagad Teater (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), hal. 8
Nur Sahid, Sosiologi Teater,(Yogyakarta: Penerbit Prastista, 2008),hal.156
42
Stevania Melati Puspitasari,"Komunitas Teater Sego Gurih," Jurnal Skripsi S1 Prodi
commit to userhal.5
Komunikasi 2012 Stpmd Yogyakarta,(Yogyakarta,2012),
43
“Teater”, www.seaedunet.seamolec.org (diakses 25 Desember 2012)
41
23
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diciptakan oleh penulis lakon/naskah, sutradara, pemain, penata artistik, pekerja
teknik dan diproduksi oleh sekelompok orang produksi berupa sebuah pementasan
yang berperan sebagai sarana/media pembelajaran khalayak untuk lebih
memahami isi atau muatan pesan yang disampaikan.
Bahan utama karya seni teater adalah lakon atau naskah cerita, karena
tanpa cerita maka teater tidak dapat diwujudkan. Naskah menjadi begitu penting
karena unsur-unsur yang ada di dalamnya. Menurut Aston, ada empat unsur
penting yang membangun naskah drama/teater, yaitu (1) wujud atau bentuk
dramatic/dramatic shape, (2) tokoh/character, (3) dialog/dialogue, (4) petunjuk
pementasan/stage directions.44 Pentas teater bukan hanya suatu upaya untuk
mengkomunikasikan makna yang ada dalam naskah lakon, tetapi yang lebih
penting adalah sebagai media untuk merepresentasikan realitas ke dalam gagasan
dan ide-ide teater di atas panggung.45 Seperti halnya karya sastra, naskah teater
merupakan
sebuah
teks
yang
memiliki
karakteristik
tersendiri
dalam
mengkonstruksikan tanda-tandanya. Naskah lakon dalam teater modern
merupakan bentuk tertulis dari sebuah cerita dan baru akan menjadi karya teater
setelah diaudio-visualisasikan ke dalam pementasan. Mementaskan naskah drama
berarti memindahkan karya seni dari media bahasa kata ke media bahasa pentas.
Dalam visualisasinya, karya sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya
teater. Pada saat transformasi inilah karya sastra bersinggungan dengan
komponen-komponen teater, yaitu sutradara, pemain dan tata artistik. Teater
memang berbeda dengan sebuah karya novel atau lukisan. Teater cenderung baru
44
Soediro Satoto, Teater sebagai Sistem Tanda, Sebuah Pengantar : Seni Pertunjukan (Indonesia:
commit to user
Gramedia,1994), hal.7
45
“Pentas Teater”, www.antara.co.id (diakses 22 Desember 2012)
perpustakaan.uns.ac.id
24
digilib.uns.ac.id
dianggap ada dan terjadi dan eksis pada saat aktor melakukannya dalam sebuah
pertunjukan di muka publik atau dipentaskan atau dipanggungkan. Sehingga
naskah dalam teater belum dapat dikatakan sempurna apabila belum dipentaskan.
Karena dalam sebuah pementasan terdapat unsur-unsur yang saling melengkapi.
Dalam hal ini seni teater menjadi sauran komunikasi massa yang
berfungsi sebagai penyampai pesan dari komunikator sehingga pesan tersebut
dapat dimengerti oleh komunikan. Komunikator dalam hal ini adalah organisasi
teater seperti yang disampaikan oleh Jalaludin Rahmat dan Effendy, sedangkan
komunikan adalah penonton pementasan yang sifatnya heterogen atau berasal dari
berbagai kalangan.46
Seni teater menjadi channel yang mengantarkan publik/khalayaknya
untuk menyadari tentang pentingnya fenomena atau isu-isu yang sedang
berkembang dalam lingkungan dan masyarakat ketika media massa lain dianggap
belum efektif dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak. Sehingga teater
juga berperan sebagai bentuk media komunikasi yang bersifat alternatif ketika
media mainstream yang bermunculan cukup tak terbendung perkembangannya
atau dianggap belum dapat menjangkau seluruh masyarakat. Karena selain
sebagai karya seni, teater juga merupakan salah satu media komunikasi yang
menyampaikan pesan-pesannya melalui simbol-simbol dan tanda-tanda yang
perlu di-interpretasikan lebih mendalam.47
46
Jalaluddin Rakhmat, Op.Cit., hal. 189; dan Onong U.Effendy, Op.Cit.,Bandung, hal. 22
Kristianti MKS, “Obsesi Perempuan dalam Menggapai Kebebasan dan Emansipasi (Studi
Komunikasi Media Pertunjukkan Teater yang Mengupas Pesan dalam “Perempuan Menuntut
commit to user
Malam” dengan Analisis Semiologi Komunikasi)”,
(Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2009), hal.4
47
25
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. PORNOGRAFI DALAM PENELITIAN
Pornografi adalah sebuah istilah yang cukup lama dan cukup panjang
sejarahnya (diperkirakan istilah pornografi telah lama dikenal ketika lukisan/grafis
pertama dibuat oleh beberapa masyarakat dalam budaya Mesir Kuno. Secara jelas
pornografi berkembang setelah ketika Elegi Gutenberg menemukan mesin cetak
pada abad-14. Jadi istilah pornografi ini telah lama dikenal sejak mesin cetak
dikenal orang sebagai media komunikasi.) bila dibandingkan dengan berbagai
istilah dalam konteks istilah-istilah yang sama dalam perbendaharaan kata-kata
Inggris maupun bahasa Indonesia. Akhir-akhir ini masalah pornografi semakin
sering diucapkan sejak media massa, terutama media elektronika sering
menayangkan gambar-gambar asusila, ketika tren model pakaian modern hampir
mendekati “tidak berpakaian”, dan berbagai kasus yang berhubungan dengan
tubuh manusia diungkapkan sebagai komoditas kapitalis.48
Pornografi
dapat
didefinisikan
sebagai
representasi
eksplisit
(gambar,tulisan,lukisan,dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak
senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik
(R.Ogien, 2003: 31,47). Mesum, cabul atau tidak senonoh dipahami sebagai
sesuatu yang melukai dengan sengaja rasa malu atau rasa susila dengan
membangkitkan representasi seksualitas. Bisa saja penilaian ini dituduh bersifat
subyektif karena mengacu pada situasi mental atau afektif seseorang. Akan tetapi,
ukuran tidak hanya berhenti pada subyektivitas semacam itu, karya yang “mesum,
cabul atau tidak senonoh” itu didasarkan juga atas penilaian oleh komunitas
commit to user dan Diskursus Teknologi Komunikasi
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi;Teori,Paradigma
di Masyarakat, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.346
48
perpustakaan.uns.ac.id
26
digilib.uns.ac.id
setempat atau oleh setiap orang yang sehat akal. Definisi tersebut akan lebih
meyakinkan lagi bila karya itu tidak mengandung nilai seni, sastra, ilmiah atau
politik.49
Sedangkan segala macam hal yang berbau porno selalu erat kaitannya
dengan bentuk tubuh, adegan-adegan seksual, dan lain sebagainya yang dapat
mengganggu maupun merangsang hasrat seksual seseorang.
Pornografi merupakan masalah lama yang belum dapat ditanggulangi
oleh ketentuan-ketentuan yang ada yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (Wetbook van Starfrecht voor Nederlandsch-Indie). Seperti yang
disampaikan oleh Daniel Linz dan Neil Malamuth dalam penelitiannya yang
menyebutkan:
“Pornography is a very short book, and it is obviously not possible to
present all the subtleties of an issue as complex as this in it. Nevertheless,
Linz & Malamuth exhibit several shortcomings. First, they focus almost
exclusively on the United States, without much consideration of the
specific historical or cultural context for thinking about issues like
obscenity, pornography, and legislation.”50
Dalam menjelaskan mengenai makna pornografi, masih banyak masalah
rumit yang belum bisa disajikan secara ilmiah sebagai suatu landasan teori.
Banyak yang perlu dipertimbangkan dalam konteks sejarah maupun budaya dalam
mengkaji dari isu-isu mengenai kecabulan, pornografi dan peraturan perundangundangan.
Menurut beberapa golongan masyarakat tertentu, orang yang bersalah
dan yang amoral dan asusila adalah orang yang merasa terangsang nafsu birahinya
49
Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi,
(Yogyakarta:Kanisius, 2007), hal.93.
50
to user
Daniel Linz dan Neil Malamuth, " commit
Pornography
(Communication concepts 5)," Canadian
Journal of Communication, No.20.1 (Winter, 1995), hal.120.
27
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketika ia atau mereka melihat, atau mendengar, atau menyentuh hal-hal yang
pornografis.
Setiap
orang
menurut
mereka
adalah
berhak
dan
bebas
memperlakukan dan mengekspresikan tubuhnya tanpa batas, sepanjang tidak
melanggar kesusilaan masyarakat setempat.51 Pornografi dapat diartikan dalam
berbagai sudut pandang kajian ilmu. Seperti misalnya pornografi menurut James
Drever dalam Kamus Psikologi yang mendefinisikan pornografi sebagai bacaan
yang menyangkut hal-hal cabul.52 Sedangkan dalam Kamus Komunikasi,
pornografi diartikan sebagai kecabulan dalam artian berupa tulisan, gambar, dan
lain-lain tanpa nilai seni, yang merangsang timbulnya gairah seks. (Berasal dari
bahasa Yunani “pornographos” yang berarti tulisan atau penulis mengenai wanita
pelacur).53 Berbeda lagi maknanya jika ditinjau dari sudut pandang Kamus Besar
Bahasa Indonesia, makna porno disamaartikan dengan:
“Cabul, kemudian pornografi menjadi 1.penggambaran tingkah laku
secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu
birahi:mereka mengumandangkan argumennya bahwa – merendahkan
kaum wanita; 2.bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata
untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks”.54
Dari beberapa kamus dan beberapa sumber yang penulis temukan itu saja
sudah memberikan arti yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Ada
lagi artikel yang menyebutkan bahwa,
”Jika kita mendengar istilah pornografi yang terlintas dipikiran adalah
film-film yang menggambarkan kehidupan seks, gambar-gambar yang
selalu memperlihatkan, mengeksploitasi tubuh wanita dengan gaya
bahasa yang sengaja dibuat erotis dengan tujuan membangkitkan nafsu
51
Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam (rev.ed.;Jakarta:
Kencana, 2009),hal.2
52
James Drever, Kamus Psikologi, terj.Nancy Simanjuntak (Jakarta: PT Bina Aksara, 1988),
hal.357
53
commit(Bandung:
to user Mandar Maju,1989),hal.278.
Onong Uchjana Effendy, Kamus Komunikasi
54
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).hal.696
perpustakaan.uns.ac.id
28
digilib.uns.ac.id
birahi dan juga dapat menimbulkan sebuah rangsangan dan kepuasan
seksual dengan tampilan bentuk, pose, posisi, sikap dan ekspresi.”55
Orang yang sudah dewasa jika melihat dan/atau mendengar dan/atau
menyentuh benda-benda pornografi dan/atau pornoaksi akan berbeda dengan yang
masih anak-anak, atau orang yang belum dewasa. Bagi yang sudah dewasa,
kemungkinan untuk dapat mengendalikan diri dari pornografi dan/atau pornoaksi
masih ada, dibandingkan dengan orang yang belum dewasa. Sedangkan orangorang yang tergolong belum dewasa, terutama anak-anak yang berusia menjelang
remaja dan usia remaja, lebih mudah dipengaruhi oleh pornografi dan/atau
pornoaksi.
Pornografi menurut Benny H.Hoed adalah penyajian tindakan cabul yang
intinya adalah tindakan hubungan seksual yang sengaja ditujukan untuk
menimbulkan nafsu birahi atau nafsu seksual.56
Berbeda juga menurut Vivian Chan yang menyamakan pornografi
dengan sebuah bentuk kejahatan seksual, dalam kajiannya:
“...pornography is a common antecedent to sexual crimes and that sex
crimes often mirror behaviours viewed in pornographic depictions. It is
true that scientific research is as yet unable to demonstrate that
pornography causes sex crimes, as noted previously, it is clear that there
is strong correlation between pornography and sex crimes. Aside from
the causal harm between pornography and sex crimes, it is important to
pay attention to the implications behind the exclusive focus of such
relationship.”57
55
Lihat Artikel yang di tulis oleh Mudji Sutrisno, ”Pornografi”, Tempo, 12 Februari 2006,hal.70
Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Vol.2; Depok: Komunitas Bambu,
2011), hal.149.
57
Weed, S. (1997). Pornography: a review of scientific literature. National coalition for the
user oleh Vivian Chan, “The Impact of
protection of children and families,”commit
seperti todikutip
Pornography on Individuals”, Journal of Line Canada, (Januari,2009), hal.1
56
29
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bahwa pornografi adalah salah satu bentuk penggambaran dari kejahatan
seksual. Meskipun belum ada penelitian yang mampu menunjukkan bahwa
pornografi
menyebabkan
kejahatan
seksual,
namun
seperti
disebutkan
sebelumnya, jelas bahwa ada korelasi yang kuat antara pornografi dan kejahatan
seks. Selain dari bahaya sebab akibat antara pornografi dan kejahatan seksual,
penting juga untuk memperhatikan implikasi dibalik fokus eksklusif hubungan
tersebut. Tentunya sebelum meninjau lagi bagaimana nantinya pornografi
menyebabkan berbagai macam dampak negatif bagi masyarakat.
Tetapi memang pada dasarnya masalah keterkaitan hal-hal yang berbau
porno tidak lepas dari bentuk tubuh yang menjadi obyek dan polemik dihampir
semua masyarakat.
Seperti halnya yang telah dikemukakan pada bagian-bagian terdahulu,
bahwa negara Repubik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 serta Perubahannya, terdiri dari berbagai macam penduduk
dan masyarakat, serta berbagai agama yang diakui keberlakuannya. Karena itu,
pengertian pornografi (dan pornoaksi) di Indonesia dapat dipengaruhi oleh
kondisi-kondisi sebagai berikut :
1) Pembagian penduduk berdasarkan tempat tinggal : perkotaan, dan
pedesaan;
2) Pembagian penduduk berdasarkan agama yang dianut di
Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan
Budha, juga Kong Hu Cu.
3) Pembagian penduduk berdasarkan masyarakat adat di Indonesia,
dari Aceh sampai Irian (Papua), masing-masing masyarakat adat
memiliki ragam budaya dan hukum adat yang berbeda antara satu
dan lainnya.58
commit to user
58
Neng Djubaedah, Op.Cit., hal.143-144
perpustakaan.uns.ac.id
30
digilib.uns.ac.id
Dalam merumuskan pengertian pornografi, perlu dikemukakan asal kata
pornografi terlebih dahulu, meskipun ala kadarnya. Salah satunya juga kata
pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne artinya pelacur, dan graphein
artinya ungkapan.59
Di Yunani, pada abad keempat sebelum masehi, terdapat seorang
perempuan cantik jelita bernama Phryne dari Thespiae. Ia seorang hetaerai, yaitu
perempuan yang kehidupannya digunakan hanya untuk bersenang-senang dengan
laki-laki. Hetaerai berbeda dengan porne, yaitu perempuan pelacur yang
digunakan dan untuk dibayar setiap hari, dan berbeda pula dengan istri yang
berfungsi sebagai pemelihara rumah tangga dan keturunan yang dapat dipercaya.60
Phryne pernah dituduh sebagai perempuan yang mengkorupsi para jejaka Athena.
Ketika pengadilan akan menjatuhkan hukuman terhadap Phryne, pembela Phryne
bernama Hyperides mengajukan pembelaan dengan cara meminta Phryne berdiri
di suatu tempat di depan sidang dengan posisi yang dapat dilihat oleh semua yang
hadir. Phryne menanggalkan pakaiannya satu per satu, sehingga seluruh
keindahan tubuhnya tampak oleh hakim dan seluruh hadirin. Dan hasilnya,
Phryne dibebaskan dari hukuman. Dan pertunjukkan Phryne itulah awal dari
striptease show61.
Menurut Neng Djubaedah dalam bukunya, striptease yang dilakukan
secara langsung, atau tanpa melalui media komunikasi saat ini dapat disebut
59
A.Hamzah, Pornografi dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, Cet.1, (Jakarta: Bina
Mulia, 1987),hal.7
60
commit toOrientasi
user (Jakarta:Dewan Pers,1977), hal.10-11
Alex A.Rachim, Pornografi dalam Pers,Sebuah
61
Ibid.
31
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan pornoaksi. Namun apabila striptease itu ditampilkan di media komunikasi,
maka striptease dapat dikategorikan sebagai pornografi.
Sedangkan pada pasal 1 UU AP No.44/2008 menyebutkan bahwa:
“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi
seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
Berbagai definisi di atas agak dipertanyakan bila sudah menyangkut
masalah representasi mental, atau bila terkait dengan obyek fisik (pakaian dalam
dan perlengkapan obyek seksual) atau obyek abstrak yang terungkap dalam
budaya atau masyarakat tertentu. Namun, isi representasi publik ini bagaimanapun
tidak bisa dikatakan relatif. Persepsi dan kategori yang dipakai oleh komunitas
tertentu tidak sepenuhnya relativis. Ada acuan pada konsepsi umum tentang seni,
misalnya maksud pengarang atau seniman dalam penentuan karya, hakikat
universal apresiasi karya seni yang bisa dipertanggungjawabkan, dan konsepsi
moral (menolak dehumanisasi dan pengobyekkan).
Dalam debat publik, biasanya ada tiga alasan utama yang dikemukakan
untuk menolak pornografi, ialah:
1.
Perlindungan terhadap orang muda atau anak-anak;
2.
Mencegah perendahan martabat perempuan;
3.
Mencegah sifat subversifnya yang cenderung menghancurkan
tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat.62
Pornografi dikhawatirkan akan mengganggu anak-anak atau remaja
sehingga mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam perilaku yang mirip
dengan bila mereka mengalami pelecehan seksual. Pornografi cenderung akan
dipakai sebagai pegangan perilaku seksual. Pornografi cenderung membangkitkan
commit to user
62
Haryatmoko, Op.Cit, hal.94
32
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suasana kekerasan terhadap perempuan. Dengan bahasa lugas, pornografi
dianggap akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong
perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
Bahkan seandainya pornografi tidak merangsang lagi, bukan berarti tidak
membahayakan psikologi anak, dan penyebarannya yang luas dikhawatirkan akan
meningkatkan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan menurut etika, minimal
pornografi melukai pihak lain. Etika minimal terdiri atas tiga pilar (R.Ogien,
2003:12-13), yaitu:
1. Sikap netral terhadap konsepsi tentang “baik”. Konsepsi ini
menghargai hak akan kemandirian moral yang dalam kasus ini
berarti kebebasan memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam hal
seksualitas.
2. Prinsip menghindar dari merugikan pihak lain. Prinsip ini berasal
dari cara berpikir konsekuensialis yang sangat peduli pada efek yang
menimpa individu, bisa berupa kerugian fisik atau psikologis.
3. Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau
kepentingan setiap orang. Prinsip ini berasal berasal dari tradisi
deontologi dimana kewajiban setiap orang untuk tidak menjadikan
orang lain sarana, tetapi tujuan pada dirinya.63
Untuk memahami kecenderungan argumen otoritas, logika pornografi
lebih jernih dipahami bila dianalisis melalui mekanisme kajian semiologi
komunikasi sebagai analisis pesan dalam komunikasi. Ikon atau simbol yang
digunakan merupakan tanda yang mirip dengan apa yang digambarkannya. Ikon
dapat berupa seperti aslinya atau yang diacunya (foto atau gambar), bahkan bisa
lebih dari sekedar aslinya (hiperrealitas).
commit to user
63
Ibid., hal.95
33
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5.
SEMIOLOGI
SEBAGAI
ANALISIS
PESAN
DALAM
KOMUNIKASI
Semiotika atau semiologi sendiri berasal dari bahasa Yunani Semion,
yang berarti tanda. Kemudian diartikan kedalam bahasa Inggris menjadi
Semiotics. Dalam Bahasa Indonesia, semiotika atau semiologi diartikan sebagai
ilmu tentang tanda dengan kata lain semiologi adalah ilmu yang digunakan untuk
interpretasi
terhadap
pesan
(tanda)
yang
dipertukarkan
dalam
proses
komunikasi.64 Tanda menurut Tony Thwaites dkk, adalah segala sesuatu yang
menghasilkan/memproduksi makna.65 Sedangkan tanda dan cara bagaimana tanda
itu bekerja dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu tanda itu sendiri yang
mempelajari berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu
dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia
yang menggunakannya. Tanda dalam hal ini adalah sebagai kontruksi manusia
dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. Yang
kedua, mengenai kode atau sistem yang mengkoordinasikan tanda, mencakup cara
berbagai kode yang dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat
atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk
mentransmisikannya. Sedangkan yang ketiga adalah kebudayaan tempat kode dan
tanda bekerja yang pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan
tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.66
64
Andrik Purwasito,Analisis Semiologi sebagai Tafsir Pesan, Jurnal Komunikasi Massa,
Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2007
65
Tony Thwaites, Lloyd davis, dan Warwick Mules, Introduction Cultural and Media
Studies;Sebuah Pendekatan Semiotik, terj.Saleh Rahmana. (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), hal.13
66
commitStudies;Sebuah
to user
John Fiske, Cultural and Communication
Pengantar Paling Komprehensif,
terj.Yosal Irianta dan Idi Subandy Ibrahim. (Yogyakarta:Jalasutra, 2007), hal.60
34
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Semiologi sebagai ilmu simbol dalam komunikasi termasuk dalam
memaknai simbol-simbol dalam sebuah pementasan teater yang merupakan salah
satu media komunikasi. Pementasan teater sebagai salah satu dari media
komunikasi mengandung pesan yang berbentuk tampilan secara audio visual di
atas panggung. Sajian ini memerlukan pemaknaan yang lebih dari penonton.
Untuk memberi kelengkapan atas proses pemaknaan terhadap pementasan
tersebut, maka akan dilibatkan unsur-unsur yang mendukungnya secara
keseluruhan.
Dalam
sebuah
pementasan
teater
terhadap
tanda
yang
memungkinkan untuk diinterpretasikan oleh penonton.
Tanda-tanda ini dapat bersifat audio visual atau yang berhubunngan
dengan indera lain. Setiap tanda dalam komunikasi harus memiliki 3 ciri khas,
yaitu:
a. Harus memiliki bentuk fisik, karena indra harus mampu menerimanya.
b. Harus menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya.
c. Harus digunakan dan dikenal oleh orang lain sebagai suatu tanda sebagai alat
komunikasi.
Jika suatu tanda tidak dapat dikenal dan dimengerti oleh orang lain maka
tanda itu tidak dapat memberikan makna, sebab itu tidak bisa menjadi unsur
dalam komunikasi (Eilers, 2001: 29).67
Tanda sebagai perwakilan dan konsep, benda, idea, yang disebut sebagai objek
sedangkan makna yang diperoleh akan disebut dengan interpretasi. Dalam definisi Saussure
67
Dwi Retno P,”Penggambaran Kekerasan terhadap Perempuan dalam Teater(Analisis Semiotik
tentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pementasan Teater “Wajah Sebuah Vagina” oleh
user Sarjana,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Klompok Tonil Klosed Surakarta tahuncommit
2005)”, to
(Skripsi
Politik,Universitas Sebelas Maret,Surakarta,2011),hal.14
35
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Budiman, 1999a:107), semiologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji tanda-tanda
di tengah masyarakat. Semiologi dalam istilah Barthes, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa obyek-obyek
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek-obyek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda
(Barthes,1988:179; Kurniawan, 2001:53).68
Semiologi juga digunakan pada analisis media dengan asumsi media
dikomunikasikan oleh seperangkat tanda. Dengan mempertanyakan bagaimana
tanda tersebut bekerja, adalah tugas semiologi untuk menganalisisnya. Teks media
tersusun atas seperangkat tanda (yang terbentuk bahasa) tidak pernah membawa
makna tunggal didalamnya. Kenyataan teks media selalu memiliki ideologi
dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut.69
Semiologi disisi lain melihat bahwa pesan merupakan kontruksi tandatanda, yang saat bersinggungan dengan penerima akan memproduksi makna.
Sebagai sebuah hasil kontruksi, berita/pesan/informasi merupakan produksi
konvensi seperangkat aturan informal dan subyektif yang menuntut pengambilan
keputusan dari siapa yang mengumpulkan, memproduksi, dan mengirim pesan.
Media
68
memiliki
kekuasaan
simbolik,
yang
merupakan
“kemampuan
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2009), hal.15
commit
to user
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu
Pengantar
untuk Analisis Wacana, Analisis semiotika
dan Analisis Framing (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2004),hal.138
69
perpustakaan.uns.ac.id
36
digilib.uns.ac.id
menggunakan bentuk-bentuk simbolik untuk mencampuri dan mempengaruhi
jalannya aksi maupun peristiwa”(Thomson,1994).70
Pada dasarnya setiap ahli memiliki cara yang berbeda-beda dalam
memaknai tanda. Prof.Dr.Andrik Purwasito,DEA memiliki sembilan formula
dasar pemaknaan dalam semiologi komunikasi yang terdapat dalam bukunya
“Message Studies”. Berikut ini dapat digunakan seluruhnya tetapi dapat
digunakan sebagian tergantung dari temuan makna yang telah diperolehnya.
Sembilan formula dasar pemaknaan sebagai teknik analisis makna dalam pesan
dapat dijelaskan sebagai berikut71:
1. Siapa Komunikator
Semiologi komunikasi berangkat dari tafsir tanda yang dibangun oleh
komunikator. Disini komunikator harus mampu dijelaskan latar belakang sosialbudaya dan ruang waktu dimana mereka hidup. Komunikator harus didefinisikan
sebagai pihak sumber yang secara langsung atau tidak langsung ingin
menyampaikan pesan kepada penerima. Dengan demikian harus ada jawaban atas
siapa komunikator, siapa penerima (yang dituju) melalui saluran media apa.
2. Motivasi Komunikator
Semiologi komunikasi memuat tafsir tanda itu sendiri dalam hubungannya
dengan maksud komunikator membangun pesan dimaksud. Dalam hal ini,
komunikator memposisikan diri sebagai apa, dalam memburu target yang ingin
dicapai, dan bagaimana melakukan konstruksi agar pesan tersebut berhasil
optimal.
70
Alex Sobur, 2004, Op.Cit, hal.117.
commit to
user
Andrik Purwasito, Message Studies;Pesan
Penggerak
Kebudayaan, (Surakarta: Ndalem
Purwahadiningratan Press, 2003)., hal.37.
71
37
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Konteks Fisik dan Sosial
Semiologi komunikasi menafsirkan tanda berdasarkan konteks sosial dan
budaya, lingkungan konteks fisik, konteks waktu dan tempat dimana tanda itu
diletakkan. Dasar argumentasi ini memperjelas uraian di atas, bahwa pesan
dikonstruksi oleh komunikator dengan mempertimbangkan norma dan nilai sosial,
mitos dan kepercayaan, serta dipertimbangkannya tempat dimana pesan itu akan
disalurkan kepada publiknya (penerima). Pesan juga menunjuk pada ruang dan
waktu, kapan dan dimana pesan itu diletakkan.
4. Struktur Tanda dan Tanda Lain
Semiologi komunikasi menafsirkan tanda-tanda dengan cara melihat
struktur tanda tersebut dan menghubungkan tanda-tanda dimaksudkan dengan
tanda-tanda lain yang berkaitan erat dengannya. Dasar argumentasi ini, selalu
mengaitkan tanda yang ditafsir dengan tanda-tanda lain yang berdekatan dan
secara fungsional ada relevansinya.
5. Fungsi Tanda, Sejarah dan Mitologi
Semiologi komunikasi menafsirkan tanda dengan cara melihat fungsi
tanda tersebut dalam masyarakat. Fungsi ini sangat berhubungan erat dengan
maksud sumber menyalurkan pesan. Pohon-pohon tumbangkan dan diletakkan di
jalan raya (Sidang Istimewa MPR tahun 2000), berfungsi menghalangi pemakai
jalan. Artinya, sebuah bentuk protes dan resistensi terhadap eksistensi Sidang
Istimewa. Perilaku ini bersumber dari domain historis bahkan mitos-mitos yang
terekam dalam mental para pelaku.
commit to user
38
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6. Intertekstualitas
Semiologi komunikasi memperkuat tafsir dan argumentasinya dengan cara
memperbandingkan dengan fungsi tanda pada teks-teks lain. Julia Kristiva
menyebut intertekstualitas, yaitu upaya unutk mendalami tafsir dengan cara
mencari sumber-sumber sejenis. Hal ini berhubungan dengan eksistensi tanda
yang bersifat universal. Tanda digunakan oleh komunitas lain, dalam konteks dan
referensi budaya yang berbeda.
7. Intersubyektifitas
Semiologi
komunikasi
memberi
tafsir
tanda-tanda
dengan
cara
memperoleh dukungan dari penafsir lain dalam tanda-tanda yang mempunyai
hubungan yang relevan. Inilah yang disebut sebagai intersubyektivitas, yaitu
pandangan dari beberapa ahli, yang biasanya juga saling bertentangan, disini
peneliti mengambil sikap atas makna tanda itu berdasarkan konteksnya. Dalam
hal ini disebut sebagai referensi, seperti buku-buku yang relevan dan data
pendukung lainnya.
8. Common Sense
Semiologi komunikasi memaknai tanda dengan cara mengambil alih
pemaknaan secara umum yang berkembang di masyarakat (common sense). Hal
ini didasarkan atas, tanda-tanda dalam pesan biasanya bersifat sosial. Tanda itu
digunakan berdasarkan kesepakatan kolektif atau konsesus sosial sehingga secara
konvensional menjadi milik masyarakat. Tanda juga bersifat sangat individual,
terutama tanda-tanda dalam karya seni dan karya individual, bahkan media massa.
Tetapi sumber inspirasi tidak dapat dilepaskan dengan latar budaya produktor.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39
digilib.uns.ac.id
9. Penjelajahan Ilmiah Peneliti
Semiologi komunikasi merupakan tafsir intuitif yang dilakukan oleh
penafsir dengan mendasarkan pada pengalaman intelektual, keyakinan subyektif
dan pengembaraan dan penjelajahan ilmiah terhadap tanda-tanda yang
bersangkutan. Ini menyangkut kredibilitas dan otoritas keilmuan seseorang yang
menggunakan akal sehat sebagai landasan berpikirnya.
Dari konsep obyek penelitian yang telah disampaikan diatas, elemenelemen semiologi yang disajikan disini tidak memiliki tujuan lain kecuali
mengambil dari linguistik beberapa konsep analistis72 yang secara a priori
dianggap cukup general untuk membuat riset semiologis bisa dimulai. Dengan
mengumpulkan konsep-konsep itu, orang tidak boleh mengira bahwa konsepkonsep itu tidak akan berubah ketika riset dijalankan, juga jangan dianggap bahwa
semiologi semiologi harus selalu mengikuti model linguistik secara ketat. 73 Disini
cukuplah nantinya bahwa kehadiran terminologi atau kategorisasi diusulkan dan
diterangkan, dengan berharap bahwa kategorisasi itu memungkinkan kita untuk
menghadirkan suatu tatanan awal (yang mungkin hanya sementara) bagi massa
yaitu fakta-fakta yang menghasilkan simbol/tanda.
72
“Suatu konsep tentu saja bukanlah suatu hal, tetapi bukan pula hanya merupakan kesadaran
suatu konsep. Sebuah konsep adalah salah satu alat dan suatu sejarah, yaitu sekumpulan
kemungkinan-kemungkinan dan halangan-halangan yang ada dalam suatu dunia yang dihidupi.”
(G.Granger,Methodologie economique,p.23), seperti dikutip oleh Roland Barthes, Petualangan
commit to user
Semiologi,terj.Stephanus Aswar H,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2007),hal.14
73
Roland Barthes, Ibid.,hal.14
perpustakaan.uns.ac.id
40
digilib.uns.ac.id
F. ASUMSI DASAR PENELITIAN
Dalam penelitian ini diperlukan penjelasan mengenai asumsi dasar bagi
unsur-unsur masalah yang akan diteliti dengan tujuan menghindari kesesatan,
perbedaan pengertian ataupun penafsiran. Adapun unsur-unsur masalah yang
dirumuskan adalah mengenai penerapan peraturan pornografi sesuai dengan
Undang-Undang Asusila yang sudah berlaku di Indonesia ditinjau dari
efektivitasnya.
Khalayak, dalam hal ini adalah masyarakat, pada umumnya kurang sadar
dan memahami hal-hal yang menjadi peraturan negara tempat tinggalnya ternyata
belum efektif dan efisien. Apalagi jika sebagai negara pluralis yang memiliki
beraneka ragam suku dan budaya, pengaturan-pengaturan itu telah ditunggangi
beberapa kepentingan, yang salah satunya adalah monopoli sudut pandang. Untuk
itu diperlukan media yang dapat merepresentasikan kebenaran itu dengan lebih
sederhana dan mudah dipahami. Dimana representasi adalah tindakan
menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu melalui sesuatu yang lain diluar
dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol.74 Penelitian ini ingin melihat
bagaimana penggunaan simbol-simbol dalam mengkritisi UU Antipornografi
melalui pementasan teater menggunakan analisis semiologi. Pengaturanpengaturan mengenai konsep pornografi di Indonesia yang telah berlaku tersebut
dikontruksikan melalui naskah teater yang diberi judul “Sidang Susila” kemudian
dipentaskan dengan kelengkapan komponen artistiknya secara audio visual.
commit
to user
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika:
Tafsir
Cultural Studies Atas Matinya Makna,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2003), hal.21
74
perpustakaan.uns.ac.id
41
digilib.uns.ac.id
G. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran penelitian ini berawal dari fenomena makin
banyaknya kasus tentang pornografi atau tindakan asusila di Indonesia. Dari
kekhawatiran-kekhawatiran itu, maka negara membuat peraturan tentang
pornografi. Namun pada hakekatnya, peraturan itu dianggap belum efektif dan
efisien, karena selain sudah ada peraturan perundangan yang juga memuat
mengenai tindak asusila, rupanya masih banyak kasus pornografi yang terjadi
pada masyarakat.
Dalam kurun waktu setelah disahkannya Undang-Undang Antipornografi
Nomer 44 Tahun 2008 mengenai moralitas bangsa dengan penegak hukum
moralitas yang kredibilitasnya masih dipertanyakan, toh pada akhirnya tetap saja
kasus pornografi dan asusila semakin merebak di masyarakat. Ini membuktikan
bahwa peraturan-peraturan tersebut belum efektif dan efisien keberlakuannya.
Realita dan informasi mengenai hal ini kemudian disampaikan kepada
masyarakat setempat melalui pementasan teater “Sidang Susila” yang dianggap
menjadi media komunikasi yang sederhana dan lebih mudah dipahami karena
menggunakan kelengkapan artistik berupa audio dan visualnya.
Setelah terlaksana pementasan itu, muncul beberapa fenomena yang
membuat penulis sebagai pimpinan produksi yang juga salah satu tokoh dan
pelaku pementasan, ingin mengangkatnya kedalam sebuah penelitian yang
nantinya akan dianalisis dengan teori semiologi komunikasi guna mengetahui
bagaimana pementasan teater dapat menggambarkan berbagai macam fenomena
di masyarakat dalam hal ini adalah pornografi, sehingga setelah pesan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
42
digilib.uns.ac.id
tersampaikan, akan ada proses perbaikan selanjutnya tanpa ada polemik pro dan
kontra dalam masyarakat lagi.
H. METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian dipergunakan peneliti guna memberikan kerangka
kerja dalam memahami objek yang akan menjadi sasaran ilmu pengetahuan.75
Dalam penelitian ini metode yang digunakan ditunjukkan untuk melihat pesan
yang terkandung dalam sebuah pementasan teater terkait dengan penggambaran
pornografi di Indonesia.
1. JENIS PENELITIAN
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Dimana penelitian kualitatif memiliki beberapa karakteristik.76
Penelitian dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh, dengan
fokus penelitian pada ‟proses‟ dan bukan pada ‟hasil‟. Dijelaskan lebih lanjut,
seperti dinyatakan oleh Creswell, bahwa penelitian kualitatif menekankan pada
proses yang diikuti dengan pemaknaan dan pemahaman atas suatu gejala.77
Penelitian komunikasi kualitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk
memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala
komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi tetapi lebih dimaksudkan untuk
75
Manasse Malo, Sri Tresnaningtyas Gulardi, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Pusat Antar
Ilmu-ilmu Sosial UI, 1986, hal. 89.
76
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000), hal.
4-8.
77
to user
John W. Creswell, Reseach Design :commit
Quantitative
and Qualitative Approaches, London, Sage
Publications, 1994, hal. 145.
perpustakaan.uns.ac.id
43
digilib.uns.ac.id
mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai
bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.78
Riset kualitatif yang selama ini hanya populer dalam ilmu-ilmu sosial
dan budaya, sosiologi, ilmu politik dan antropologi juga telah berkembang pesat
dibanyak bidang. Pendekatan ini dalam bentuk studi kasus, sebagai suatu strategi
riset banyak digunakan dalam berbagai cabang ilmu yang antara lain meliputi
riset-riset kebijakan, ilmu politik, administrasi, psikologi komunitas dan sosiologi,
organisasi dan manajemen, perencanaan kota dan regional. Strategi riset ini sudah
banyak sekali dilakukan bagi penyusunan tesis dan disertai dalam ilmu-ilmu
sosial. Bahkan kegiatan riset pendidikan yang semula hanya didasari pada
pengukuran kuantitatif, definisi-definisi operasional, dan menekankan pada fakta
empiris, sekarang sedang berubah arah dengan memberikan tempat yang sentral
pada riset kualitatif yang menekankan analisis induktif, dengan deskripsi yang
kaya nuansa, dan studi tentang persepsi manusia (Bogdan dan Biklen, 1982).79
Adapun beberapa sifat yang merupakan karakteristik pokok riset
kualitatif menurut Heribertus Sutopo adalah sebagai berikut :
1. Riset kualitatif memiliki natural setting karena data dikumpulkan dari
sumbernya langsung dan peneliti merupakan instrument utamanya. Peneliti
menjelajahi lapangan dan manghabiskan waktu cukup lama dalam mengumpulkan
data secara langsung. Walau berbagai bentuk alat penelitian (alat pengumpulan
data) dapat digunakan, namun data yang dikumpulkan dengan bentuk deskripsi
78
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta:Lkis, 2007), hal. 35.
Bogdan,R.C dan Biklen,S.K, Qualitatif research for education:an introduction to theory and
methods, (Bostom:Allyn and Bacon,Inc, 1982) seperti dikutip oleh Heribertus Sutopo, Dasarcommit
to hal.1
user
Dasar Penelitian Kualitatif, (Surakarta:UNS,
1987),
79
perpustakaan.uns.ac.id
44
digilib.uns.ac.id
kalimat selalu ditunjang dengan pengertian yang diperoleh dari lapangan atas
pengalamannya sendiri. Demikian pula hasil pengumpulan data dengan alat-alat
itu seluruhnya direview oleh peneliti dengan pengertian peneliti sebagai
instrument pokok bagi analisisnya.
2. Riset kualitatif bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan berwujud
kata-kata dalam kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar
angka atau jumlah. Berisi catatan-catatan yang menggambarkan situasi
sebenarnya guna mendukung presentasi. Dalam mencari pengertian-pengertian,
riset kualitatif tidak memotong halaman-halaman cerita dan data lain dengan
simbol-simbol angka. Peneliti mencoba menganalisis data dengan semua
kekayaan data yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya,
seperti pada waktu dicatat.
3. Lebih mementingkan proses dari pada produk. Bagaimana orang-orang
merundingkan makna? Bagaimana istilah tertentu timbul dan digunakan?
Bagaimana pikiran-pikiran tertentu timbul dan menjadi bagian dari apa yang kita
sebut “common sense”? Serta bagaimana sejarah aktivitas dan peristiwa-peristiwa
yang diteliti? Dilain pihak, riset kualitatif telah menyarankan bagaimana harapanharapan diterjemahkan kedalam bentuk aktivitas sehari-hari, prosedur, dan
interaksi. Studi semacam ini telah memfokuskan bagaimana definisi-definisi
dibentuk.
4. Riset kualitatif cenderung menganalisis data secara induktif. Data
dikumpulkan bukan untuk mendukung atau menolak hipotesa yang diajukan
sebelum penelitian dimulai, tetapi abstraksi disusun sebagai kekhususancommit to user
45
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kekhususan yang telah terkumpul dan dikelompokkan bersama. Teori yang
dikembangkan dimulai di lapangan (bottom up), dari data yang terpisah-pisah, dan
atas bukti-bukti yang terkumpul yang saling berkaitan (grounded theory).
Pendekatan ini berusaha mengembangkan teori tentang apa yang telah dipelajari.
Arahan yang akan diambil tiba setelah data terkumpul, setelah peneliti berada
beberapa lama di lokasi penelitian.
Peneliti tidak menyatukan hal-hal yang
terpisah untuk menjawab teka-teki yang jawabannya sudah diketahui, melainkan
menyusun suatu gambar yang terbentuk akibat bagian data yang terkumpul yang
telah teruji.
5. Riset kualitatif menganggap “makna” sebagai perhatian pokoknya.
Peneliti berminat pada bagaimana cara-cara orang memberi makna pada
pertanyaan-pertanyaan: Asumsi-asumsi apa yang telah diajukan oleh orang-orang
tentang kehidupan mereka? Apa yang mereka alami sebenarnya? Bagaimana
mereka menafsirkan pengalaman-pengalamannya, dan bagaimana mereka
membentuk dunia sosial mereka sendiri dalam hidupnya?80
Pada dasarnya riset kualitatif dipandang terlalu subyektif dalam
menyikapi sebuah permasalahan. Tetapi memang, selama realitas itu bersumber
dari hubungan antarmanusia, antarsubyek,
maka makna yang dihasilkannya
merupakan makna yang subyektif. Namun subyektifitas ini merupakan satu
kebenaran. Seperti yang dikatakan oleh Dr.Ir.Hidayat Naatmadja (1982) dalam
buku karya Heribertus Sutopo,
“bahwa landasan yang dijadikan dasar tempat manusia membangun
ilmu pengetahuan adalah subyektifitas. Subyektifitas kitalah yang
commit to user
80
Heribertus Sutopo, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Surakarta: UNS, 1987), hal.6-8
perpustakaan.uns.ac.id
46
digilib.uns.ac.id
akhirnya berbicara, yang mengambil keputusan mengenai kebenaran
sesuatu. Bahkan subyektivitas itulah yang mengambil keputusan tentang
ditegakkannya rasionalisme, empirisme, obyektivitas, dan relaitivisme
dalam dunia ilmiah”(hal.5)81
Selanjutnya Hidayat mengatakan bahwa manusia sebagai subyek yang
bersifat subyektif, tidak mungkin dapat didekati dengan ilmu yang bersifat
obyektif. Memaksakan menggunakan ilmu yang obyektif untuk mempelajari
manusia sebagai subyek, merupakan bias fundamental, kekeliruan fatal yang
merupakan sumber krisis ilmu sosial dalam masa modern. Penafsiran-penafsiran
dapat diteliti kebenarannya dalam suatu konteks antarsubyektif.82
Spiegelberg (1966) telah menunjukkan, meskipun orang membandingkan
catatan-catatan tentang wajah fenomena yang sama, tak seorangpun dapat
mengetahui apa yang umum dan apa yang pribadi. Bahkan dapat dikatakan bahwa
dalam pengertian ini, semua pengalaman obyektif sebenarnya adalah merupakan
pengalaman antarsubyektif.
2. PARADIGMA PENELITIAN
Paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma konstruktivisme
yang membahas mengenai kontruksi sosial seperti dikemukakan oleh Peter L
Berger yang berada dalam dua kutub teori yang berbeda di satu sisi ada teori fakta
sosial (yang dikeluarkan Durkheim) di satu sisi lagi ada teori definisi sosial dari
alirannya Weberian.83 Pemikiran yang ditarik dari sisi fakta sosial adalah bahwa
81
Hidayat Naatmadja, Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan Penyembuhannya, (Bandung:Penerbit
IQRA, 1982), hal.5, seperti dikutip oleh Heribertus Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif;
Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis, (Surakarta:UNS, 1988), hal.4
82
commit to user
Ibid.,hal.4-5
83
Margaret N Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV Rajawali, 1979), hal. 308-310.
perpustakaan.uns.ac.id
47
digilib.uns.ac.id
struktur sosial sangat penting, sehingga dinyatakan bahwa manusia adalah produk
dari masyarakat. Hal ini berimplikasi terhadap tindakan dan persepsi manusia,
dimana kedua hal tersebut ditentukan oleh struktur yang ada dalam masyarakat.84
Berbeda halnya pada teori definisi sosial, yang menyatakan bahwa
manusialah yang membentuk masyarakat, manusia memiliki kekuatan sehingga
manusia mampu membentuk realitas, menyusun institusi dan norma yang ada.
”Pemikiran Berger melihat realitas kehidupan sehari-hari memiliki
dimensi subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam
menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi,
sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang
mencerminkan realitas subyektif). Dalam model dialektis, dimana
terdapat tesa, antitesa, dan sintesa. Berger melihat masyarakat sebagai
produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Baik manusia
maupun masyarakat merupakan sebuah dialektis dan tidak pernah
sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang
terbentuk”.85
Realitas sosial terbentuk tidak dalam ruang hampa dalam ruang yang
penuh dengan kepentingan-kepentingan.86 Pembentukan realitas sosial melalui
proses eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi. Dimana ekternalisasi
merupakan suatu usaha pencurahan ekspresi manusia ke dalam dunia, baik dalam
kegiatan mental dan fisik.87 Hal ini sudah menjadi dasar manusia karena manusia
akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana manusia itu berada. Sama halnya
seperti dikemukakan oleh RB Riyo Mursanto, bahwa manusia akan terus
mengalami proses pembentukan menjadi manusia dari lahir hingga manusia
tersebut mati. Proses ini disertai dengan interaksi manusia selama hidupnya
84
Ibid.
Ibid.
86
Alex Sobur, 2004,Op.Cit, hal. 91.
87
commitTafsir
to user
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann,
Sosial atas Kenyataan, Risalah Tentang
Sosiologi Pengetahuan, Jakarta, LP3ES, 1990, hal. 87.
85
perpustakaan.uns.ac.id
48
digilib.uns.ac.id
dengan lingkungan luarnya. Semua ini menganggap bahwa manusia tidak berhenti
untuk menemukan dirinya selalu mencurahkan dirinya dalam dunia. Ini semua
terkait dengan dunia manusia yang terbuka, sehingga dunia yang dipijak oleh
manusia merupakan dunia yang selalu membentuk tanpa akhir.88
Proses pembentukan realitas yang kedua adalah objektifikasi. Proses
objektifikasi adalah proses dimana produk yang dihasilkan melalui eksternalisasi
tadi mengalami proses objektifikasi yaitu produk yang dihasilkan manusia
tersebut dilepaskan atau dipisahkan dengan penciptanya sehingga produk tadi
menjadi sebuah entitas tersendiri (menjadi realita) yang lepas dari penciptanya.89
Sedangkan yang dimaksud dengan internalisasi adalah proses penyerapan produk
objektifikasi oleh individu atau bisa dikatakan sebagai proses interprestasi dari
sebuah kegiatan objektif sebagai pengekspresian makna, yang menjadi
manifestasi dari proses subjektif sehingga secara subjektif bermakna bagi
individu.90
Kembali ke pernyataan Margaret N Poloma yang menyatakan ”Manusia
merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial”. Dalam pernyataan ini
terlihat bahwa realitas merupakan bentukan manusia. Namun muncul pertanyaan
melalui apa manusia mengkonstruksikan realitas. Media merupakan alat bagi
manusia untuk mengkonstruksi realitas sosial dalam masyarakat. Media pada
hakikatnya bekerja untuk membentuk atau mengkonstruksi realitas. Hal ini
dikarenakan fungsi atau pekerjaan media adalah menceritakan realitas, maka
88
RB Riyo Mursanto, Peter L Berger : Realitas Sosial agama, dalam Diskursus Kemasyarakatan
dan Kemanusiaan, Jakarta, Gramedia, 1993, hal. 227.
89
commit to user
Peter L. Berger, Op.Cit, hal. 78.
90
Ibid, hal. 149.
49
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seluruh hasil produksi dari media merupakan realitas yang telah dikonstuksikan
(constructed reality).91 Media dengan bentuk nyatanya berupa bahasa, membentuk
sebuah pencitraan akan suatu realitas sehingga realitas tersebut terlihat baik atau
tidak baik. Seperti dikemukakan oleh Hamad bahwa bahasa bukan hanya mampu
mencerminkan realitas dapat pula sebagai pencipta dari realitas.92
Di sini terlihat bahwa media, merupakan sesuatu yang tidak berwajah
netral dalam menginformasikan sesuatu hal. Keadaaan ini dipertegas melalui
pernyataan Althusser mengenai media, dimana dinyatakan bahwa media dalam
hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi yang strategis karena media
akan cenderung berada dekat dengan pihak yang berkuasa (ideological state
apparatus).93 Pemikiran Althusser yang melihat penguasaan media pada satu
kekuasaan tertentu berbeda dengan Antonio Gramsci yang melihat media
merupakan
sarana
merepresentasikan
atau
ideologi
ajang
pertarungan
penguasa
juga
ideologi
sebagai
alat
sehingga
bisa
resistensi
atau
pengangkatan ideologi kelompok tersubordinasi dalam masyarakat.94
Proses pembentukan realitas oleh media, bila mengikuti Berger dalam
proses pembentukan realitas maka media juga akan mengalami tiga proses
tersebut yaitu eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. Pada proses awal
realitas yang ditangkap media digambarkan kembali dalam produk hasil
eksternalisasi media bisa berupa surat kabar, film dan lain-lain (termasuk
91
Alex Sobur, 2004, Op.Cit, hal. 88.
Ibnu Hamad, Media Massa dalam Komunikasi Politik : Saluran atau Agen Politik?” dalam
Jurnal Media Watch Kupas, Vol. 3, No. 1, Tahun 2001, hal. 52-60.
93
Al-Zastrouw Ng, Membaca Berita yang Tidak Diberitakan, dalam Winarko, H. Mendeteksi Bias
berita : Panduan Untuk Pemula. Kajian dan Layanan Informasi untuk Kedaulatan Rakyat
commit
(KLIKR) untuk Garda Bangsa, Yogyakarta,
2000,to
haluser
v-xii.
94
Ibid.
92
perpustakaan.uns.ac.id
50
digilib.uns.ac.id
pementasan teater sebagai salah satu media komunikasi). Dalam (proses produksi)
proses eksternalisasi media, berbagai macam pikiran dan mind set yang berasal
dari stock of knowledge yang dimiliki aktor dalam media, sehingga membuat
realitas yang tergambar media tidak murni lagi. Hal tersebut (hasil eksternalisasi)
diberitakan atau disampaikan terus menerus sehingga membentuk realitas
tersendiri dalam masyarakat. Hal ini terkait dengan proses objektivikasi. Setelah
proses objektivikasi, maka produk media tersebut dikonsumsi dan meresap dalam
pemikiran masyarakat sehingga membentuk makna (meaning) atau pemahaman
akan sesuatu yang digambarkan oleh media tadi.
Kalau dalam pandangan positivistik mengatakan bahwa realitas yang ada
adalah riil, maka dalam proses penciptaan realitas dalam pandangan kritis
berposisi sebaliknya dengan pandangan positivistik, dalam pandangan kritis tidak
ada realitas yang benar-benar riil, karena realitas yang muncul sebenarnya adalah
realitas semu yang terbentuk bukan melalui proses alami, tetapi oleh proses
sejarah dan kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Pandangan kritis ini agak mirip
dengan pandangan konstruktivisme yang melihat realitas sebagai hasil konstruksi
manusia atas realitas.
Akan tetapi, pandangan kritis menolak pandangan konstruktivisme yang
seolah melihat manusia sebagai determinan utama yang bisa menafsirkan dan
mengkonstruksi realitas. Sebab, konstruksi dibatasi oleh struktur sosial tertentu,
bahkan yang sering terjadi manusia tinggal menerima begitu saja hasil konstruksi
dari struktur sosial yang sudah timpang tersebut. Misalnya, hubungan antara lakilaki dan perempuan. Pandangan positivistik akan melihat hubungan laki-laki
commit to user
51
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perempuan tersebut sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan memang demikian
terjadinya.
Sementara pandangan konstruktivisme melihat bagaimana setiap orang
pada dasarnya mempunyai pemikiran dan bisa mengkonstruksi hubungan tersebut
yang tentu saja melibatkan emosi atau pengalaman hidup personal. Pandangan
semacam ini yang ditolak oleh paradigma kritis, yang yakin bahwa individu
meskipun mempunyai kebebasan untuk melakukan konstruksi, tetapi ia juga
dibatasi oleh struktur sosial di mana dia diposisikan dan akan menafsirkan realitas
tersebut berdasarkan posisi dia berada.95
Demikian halnya dengan aktor yang membuat realitas dalam hal ini
misalnya sutradara, walaupun ia memiliki kebebasan dalam menafsirkan realitas
guna membuat realitas kembali, tetap saja ia dibatasi struktur dimana ia berada.
Dalam proses objektivikasi, hasil produksi dari aktor pembentuk realitas
termasuk media, lepas dari kontrol si pembuat sehingga pada tahapan ini realitas
yang dibentuk tidak lagi dapat dipengaruhi oleh pembuatnya, bahkan realitas
tersebut akan memiliki pengaruh balik kepada pembuatnya sendiri. Proses yang
disebut objektifikasi ini menyebutkan bahwa hasil yang dicapai setelah
mengalami proses eksternalisasi dalam, hasil ini dapat berupa mental atau fisik
yang mana hasil ini akan menjadi realitas objektif yang dapat berefek kepada
pembuatnya juga, sebagai sebuah proses yang berada diluar dan berlainan dengan
manusia yang menghasilkannya.96 Sedangkan Roland Barthes menyatakan bahwa
dalam mengkonsumsi sebuah realitas tersebut bisa berbeda dengan apa yang
95
96
Eriyanto,Op.Cit., hal. 54.
Ibid., hal. 14-15.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52
digilib.uns.ac.id
diinginkan oleh pembuat realitas. Menurut Barthes ketika proses pengkonsumsian
sebuah realitas bisa berbentuk teks ataupun visual dan audio lainnya maka yang
ada hanyalah teks dari realitas tersebut, sehingga konsumen memiliki kekuasaan
atas pembacaan teks tersebut.97
3. SUBYEK PENELITIAN
Subjek penelitian ini ada 3 unsur, yaitu:
1. Video dokumentasi pementasan “Sidang Susila” oleh Teater Sopo
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, di
Gedung Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah.
2. Subjek penelitian yang kedua adalah komunikator, yaitu orang-orang
yang tergabung dalam tim produksi dan pementasan teater “Sidang Susila” di
Semarang, Salatiga dan Surakarta. Sehingga dapat diperoleh informasi dan data
mengenai penggambaran pornografi di Indonesia yang telah diimplementasikan
kedalam pementasan teater “Sidang Susila” dengan analisis semiologi
komunikasi.
3. Literatur atau kepustakaan yang terkait dengan pornografi secara
keseluruhan beserta persoalannya maupun yang spesifik membahas tentang
pementasan teater “Sidang Susila”.
97
Eric
Santoso,
“Film,
Teks
dan
commit to user
http://www.layarperak.com/news/articles/2005/index.php?id=1112733428barthes
Agustus 2012)
Penonton”,
(diakses
2
perpustakaan.uns.ac.id
53
digilib.uns.ac.id
4. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Dalam penelitian kualitatif sumber data dipilih dan disesuaikan dengan
tujuan penelitian. Proses pengumpulan data mengutamakan perspektif emic
(mementingkan bagaimana responden memandang dan menafsirkan dunia
sekitarnya). Sesuai dengan jenis data, penelitian ini menggunakan metode
pengumpulan data dengan menggunakan data primer dan data sekunder.98
A.) DATA PRIMER
Data primer merupakan data langsung yang diambil dari sumbernya.
Dalam penelitian ini data langsung diambil dari dokumentasi yang nantinya akan
menjadi referensi utama korpus penelitian.
1.) Dokumentasi
Dokumentasi adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan
menggunakan bahan-bahan verbal maupun non verbal seperti buku-buku, koran,
majalah, ensiklopedia, jurnal, kamus, artikel, foto dan video pementasan serta
sumber-sumber lain yang berhubungan dengan tema penelitian ini.99
B.) DATA SEKUNDER
Merupakan data yang didapat dari sumber kedua seperti studi pustaka,
studi media dan sumber lain. Data yang diambil bisa berupa pendapat, kutipan,
berita, artikel atau lainnya. Data sekunder ini bermanfaat untuk melengkapi,
98
99
commit
to user(Jakarta: Kencana, 2006), hal.58.
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset
Komunikasi,
Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id
54
digilib.uns.ac.id
memperkuat atau membuktikan data primer. Pada penelitian ini, data sekunder
mencakup observasi dan wawancara.100
1.) Observasi
Metode ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung tentang
kondisi di lapangan, baik yang berupa keadaan fisik maupun perilaku yang terjadi
selama berlangsungnya penelitian.101 Dalam pengertian sempit observasi berarti
pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena yang diselidiki.
Secara singkat, observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan
secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala pada
objek penelitian. Unsur-unsur yang tampak itu disebut data atau informasi yang
harus diamati dan dicatat secara benar dan lengkap.102 Observasi ini dilakukan
agar penulis dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keadaan
lingkungan dan animo masyarakat terhadap pementasan teater.
2.) Interview (wawancara)
Interview atau wawancara adalah alat yang digunakan dalam komunikasi
tatap muka (face to face) yang diajukan oleh penulis untuk mencari informasi
yang berbentuk pertanyaan yang nantinya akan dijawab oleh narasumber yang
telah ditentukan oleh penulis guna melengkapi data yang dibutuhkan selama
penelitian.
Wawancara merupakan salah satu yang efektif untuk mengumpulkan
data sosial yang berbentuk tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, hasil
100
Ibid.
Ibid.
102
commit
to user
Moh.Soehada, Buku Daras; Pengantar
Metode
Penelitian Sosial Kualitatif (Yogyakarta:
Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2004), hal.74
101
55
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemikiran dan pengetahuan seseorang tentang segala sesuatu yang ditanyakan
kepada para narasumber.
Wawancara menurut Denzim dan Lincoln adalah percakapan, seni dalam
bertanya dan mendengar. Wawancara dalam penelitian kualitatif tidak bersifat
netral,
melainkan
dapat
dipengaruhi
oleh
kreatifitas
individu
dalam
mempengaruhi keadaan ketika berlangsungnya wawancara.103
Pada penelitian ini, untuk mengoperasionalkan metode tersebut penulis
menggunakan jenis wawancara terstruktur. Pada tekhnik pengumpulan data jenis
ini, penulis sudah membuat pertanyaan yang akan diberikan kepada komunikator
dan komunikan yang terlibat dalam pementasan teater “Sidang Susila” dalam
memberikan
gambaran
tentang
pornografi
yang
dieksplorasikan
dalam
pementasan. Kemudian hasil dari wawancara tersebut akan diolah kembali oleh
penulis yang nantinya akan digunakan sebagai data sekunder atau tambahan
dalam penelitian ini.
5. TEKNIK ANALISIS DATA
Tekhnik analisis data adalah sebuah penyederhanaan ke dalam bentuk
yang lebih ringkas dan sistematis sehingga dapat di interpretasikan. Sesuai dengan
sifat penelitian ini, maka dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode
deskriptif yaitu langkah-langkah melakukan reinterpretasi objektif tentang
fenomena sosial yang terdapat dalam permasalahan yang diteliti. Data yang
disajikan dalam bentuk kata verbal perlu diolah terlebih dahulu kemudian mulai
commit to user
103
Ibid., hal.48
perpustakaan.uns.ac.id
56
digilib.uns.ac.id
menuliskan hasil observasi, wawancara, dan kajian dokumentasi menggunakan
analisis semiotik yang nantinya akan memberikan pemaknaan terhadap simbolsimbol yang terdapat dalam pementasan kemudian menyajikannya. Analisis data
dilakukan guna mempermudah peneliti dalam mengambil kesimpulan.
Sedangkan tekhnik pertama yang digunakan untuk menganalisis data
menggunakan data kualitatif deskripstif, yaitu berupa pesan-pesan verbal maupun
non verbal dengan yang terdapat dalam setiap tanda yang termuat dalam
pementasan “Sidang Susila”, kemudian dianalisis menggunakan teori semiotika.
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan kaidah tafsir semiologi
komunikasi Andrik Purwasito yang tertuang dalam buku Message Studies (2003),
yang pada intinya merupakan alat uji tanda-tanda dalam pesan diangkat dari motiv
komunikator. Dengan semiologi komunikasi akan digali hakekat makna dalam
sistem tanda yang beranjak keluar dari makna aslinya, sehingga didapatkan makna
tambahan yang tidak lepas dari sistem budaya yang berlaku di tempat tanda itu
dilahirkan.104
commit
to user
Andrik Purwasito, Message Studies
(Surakarta:
Dalem Purwahadiningratan Press, 2003),
hal.37-41
104
Download