2 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Globalisasi di dunia terjadi akibat adanya kemajuan perkembangan interaksi atau komunikasi antarbangsa. Komunikasi adalah kunci utama kehidupan bermasyarakat sosial yang bersifat universal1. Globalisasi sebagai fenomena di abad kedua puluh telah membawa banyak pengaruh di segala sisi kehidupan masyarakat, kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi telah melipat dunia menjadi sebuah desa global yang dihuni berbagai macam ras dan suku dengan corak budaya yang berbeda.2 Media juga berperan penting dalam proses ini, bervariasi secara meluas diseluruh dunia3. Ada banyak dampak baik positif maupun negatif yang terjadi akibat adanya globalisasi, terutama di Indonesia. Hal yang ingin penulis ungkap dari dampak negatif globalisasi bangsa Indonesia adalah mengenai kasus pornografi yang semakin lama kian marak di Indonesia. Sehingga banyak efek dan dampak negatif lain yang terjadi karenanya. Di Indonesia, pornografi telah menjadi hal yang sangat umum karena sangat mudah diakses oleh setiap kalangan usia. Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia (2006) menyatakan bahwa Indonesia selain menjadi negara tanpa aturan 1 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009), hal.5. Andrik Purwarsito, Komunikasi Multikultural, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2003), hal.18. 3 commit toMedia, user terj.Drs.Tony Rinaldo (Sidney:Mitra Jim Macnamara, Strategi Jitu Menjinakkan Media,1999), hal.9. 2 perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id yang jelas tentang pornografi, juga mencatat rekor sebagai negara kedua setelah Rusia yang paling rentan penetrasi pornografi (BKKBN,2004).4 Beberapa treatment pada awalnya telah pemerintah dan tokoh-tokoh ulama lakukan sebagai upaya antisipasi. Mulai dari dukungan kegiatan-kegiatan keagamaan, ceramah-ceramah agama, kajian, bahkan sampai dengan pengesahan Undang-Undang Antipornografi No.44 Tahun 2008 (UU AP No.44/2008) pada Sidang Paripurna DPR tanggal 30 Oktober 2008 hingga pembentukan Satuan Tugas Antipornografi (Satgas Antipornografi) yang diresmikan Presiden pada 2 Maret 2012 lalu. Namun meski telah disahkan UU No.44/2008, tetap saja masih banyak kasus asusila yang terjadi di Indonesia akibat memang masih dianggap ambigunya konsep pornografi di Indonesia.5 Misalnya video mesum Nazriel Irham alias Ariel Peter Pan dengan dua wanita yang diduga Cut Tari dan Luna Maya yang sempat heboh di media massa karena polemik penentuan siapa yang bersalah.6 Yang kemudian muncul dampak buruk lebih luas lagi seperti terungkapnya kasus pemerkosaan yang dilakukan sejumlah pelajar SMA terhadap gadis dibawah umur. Tidak hanya itu, adegan pemerkosaan itu pun mereka filmkan. Proses peniruan dilakukan setelah mereka mengaku menonton video berjudul Ariel Peterpan.7 4 Euis Supriati dan Sandra Fikawati, "Efek Paparan Pornografi pada Remaja SMP Negeri Kota Pontianak Tahun 2008", Jurnal Makara Seri Sosial Humaniora, No. 43 (Juli, 2009), hal.49. 5 Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Jakarta:Komunitas Bambu,2011),hal.20. 6 “Aktor dan Sutradara Mesum Diancam 12 Tahun Penjara,” Koran Tempo, 5 Desember, 2010, commit to user hal. 30-31 7 Ibid., Hal.31 perpustakaan.uns.ac.id 4 digilib.uns.ac.id Ada lagi kasus ditemukannya tindak asusila oleh si pembuat kebijakan perundangan itu sendiri, dimana seorang anggota DPR terjerat kasus video mesum.8 Kemudian kasus lain yang perlu kita ketahui adalah penelitian yang menyatakan bahwa sejumlah 62,7% siswi SMP dinyatakan sudah tidak perawan lagi. Data diperoleh dari hasil survey Komisi Nasional Perlindungan Anak pada bulan Februari 2012.9 Debat mengenai hal ini mungkin tidak akan berkembang menjadi suatu polemik yang berkepanjangan, jika saja persoalan-persoalan seputar seksualitas maupun pornografi ini dikemas dalam suatu frame yang memuat pengaturan mengenai media yang digunakan, cara peredaran serta pasar yang akan dituju. Artinya tidak menjadi tontonan yang bersifat massal tanpa peduli mengenai dampak yang mungkin ditimbulkannya.10 Menganalisis terkait adanya isu pro dan kontra tentang telah disahkannya UU AP pada Oktober 2008, sebuah pertunjukkan teater yang merupakan salah satu media komunikasi,11 berusaha untuk mengimplementasikan perundangundangan soal antipornografi keatas panggung pementasan. Dari situ nampaknya memang diperlukan adanya media komunikasi yang lebih sederhana, mudah dipahami dengan adanya banyak dimensi, dan lebih dialogis. Salah satunya adalah melalui pertunjukkan teater. 8 Munawaroh,”Video Porno Coreng Muka DPR”, Koran Tempo,5 April 2012 “62,7% Siswi SMP Tidak Perawan!,” www. citizenjurnalism.com/hot-topics/627-persen-siswismp-tidak-perawan (diakses 17 Desember 2012). 10 B.Tjandra Wulandari,” Perempuan dan Pornografi Sebuah Seni Ataukah Eksploitasi”, Jurnal Legality Universitas Muhamadiyah Malang, commit to user (diakses 12 Januari 2013) http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/309, 11 Ipit S.Dimyati, Komunikasi Teater Indonesia (Bandung:Penerbit Kelir, 2010), hal.2 9 5 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Teater berasal dari bahasa Yunani kuno, “theatron” yang berarti seeing place atau tempat dimana aktor-aktor mementaskan lakon-lakon dan orang-orang menontonnya. Sedangkan istilah teater atau dalam bahasa Inggrisnya “theatre” mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan, kelompok yang melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri.12 Didalam sebuah pertunjukkan teater bukan hanya suatu upaya untuk mengkomunikasikan makna yang ada dalam naskah lakon, tetapi yang lebih penting adalah merepresentasikan realitas ke dalam gagasan dan ide-ide teater di atas panggung. Naskah teater merupakan sebuah teks yang memiliki karakteristik tersendiri dalam mengkonstruksikan makna-maknanya dengan sajian audio-visual berbagai dimensi secara live diatas panggung. Teater dapat dengan mudah dimengerti, lebih mudah diurus dan dikomunikasikan dengan pengaruh langsung yang jauh lebih besar dari semua multi media modern digabung menjadi satu. Teater tidak mahal, tidak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar atau perusahaan asing, dan dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat secara lebih spontan dan lebih mengena. Teater yang dipergunakan sebagai media, channel/saluran, alat, produk dan proses, memungkinkan masyarakat penonton untuk ikut serta menyumbangkan gagasan tentang isi, bentuk dan pesan pertunjukkan itu. Kegiatan teater dapat mendorong lebih jauh kegiatan bersama dan proses kebersamaan. Teater merupakan gladi atau latihan bagi perubahan yang commit to user 12 Bakdi Soemanto, Jagad Teater (Yogyakarta:Media Pressindo, 2001), hal. 8 6 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sesungguhnya dengan menggunakan kehidupan dan kepekaan masyarakat.13 Teater sebagai media yang membantu mengatasi sebagian besar kendala dan kelemahan dari penggunaan media massa lainnya karena dinilai lebih terjangkau, mudah, bersifat sederajat, dialogis, sesuai dan syah dari segi budaya, bersifat setempat, lentur, menghibur, dan sekaligus memasyarakat.14 Selain sebagai karya seni, teater juga merupakan salah satu media komunikasi yang menyampaikan pesan-pesannya melalui simbol-simbol dan tanda-tanda yang perlu di-interpretasikan lebih mendalam. Seni teater menggabungkan unsur-unsur audio, visual, dan kinestetik (gerak) yang meliputi bunyi, suara, musik, gerak serta seni rupa. Seni teater merupakan suatu kesatuan seni yang diciptakan oleh penulis lakon, sutradara, pemain (pemeran), penata artistik, pekerja teknik, dan diproduksi oleh sekelompok orang produksi. Sebagai seni kolektif, seni teater dilakukan bersama-sama yang mengharuskan semuanya sejalan dan seirama serta perlu harmonisasi dari keseluruhan tim. Pertunjukan ini merupakan proses seseorang atau sekelompok manusia dalam rangka mencapai tujuan artistik secara bersama. Dalam proses produksi artistik ini, ada sekelompok orang yang mengkoordinasikan kegiatan (tim produksi). Sementara itu, sejarah panjang seni teater dipercayai keberadaannya sejak manusia mulai melakukan interaksi satu sama lain. Interaksi itu juga berlangsung bersamaan dengan tafsirantafsiran terhadap alam semesta. Dengan demikian, pemaknaan-pemaknaan teater tidak jauh berada dalam hubungan interaksi dan tafsiran-tafsiran antara manusia dengan alam semesta. 13 14 Ibid.hal.84 Ibid.hal.88 commit to user 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Selain sebagai media komunikasi yang dapat menyampaikan pesan kepada khalayak, teater juga berfungsi sebagai media kritik terhadap realitas sosial di masyarakat. Komunikasi yang disampaikan secara audio visual dengan beragam dimensi secara langsung diatas panggung akan dengan lebih mudah dipahami hampir seperti simulasi sebuah adegan/peristiwa sebagai media pembelajaran. Kaitannya dengan UU Antipornografi No.44/2008, seniman dan budayawan yang tergabung dalam kelompok teater Gandrik dari Yogyakarta, Ayu Utami dan Agus Noor telah berhasil mengkaryakannya kedalam sebuah naskah pementasan berjudul “Sidang Susila”. Lakon Sidang Susila (karya Ayu Utami dan Agus Noor) dipentaskan pertama kali oleh Teater Gandrik, pada tanggal 21-23 Februari 2008 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Kemudian dipentaskan kembali pada 7 dan 8 Maret 2008, bertempat di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Inilah lakon yang menggambarkan satu upaya monopoli kebenaran moral. Sebuah zaman, ketika undang-undang asusila ditegakkan, yang bayang-bayangnya seperti sudah bisa terasakan ketika naskah ini ditulis. Sebuah zaman yang menyeramkan tetapi juga penuh kekonyolan.15 Pada tanggal 15, 16, 17 Januari 2009, lakon Sidang Susila, dipentaskan Teater Gandrik kembali di Teater Salihara Jakarta, lantaran dianggap (masih) memiliki relevansi dengan tema seputar Undang-Undang Antipornografi yang telah disahkan itu. “Setidaknya lakon ini akan menjadi pengingat bagi kita akan agenda-agenda tersembunyi yang akan mencederai pluralisme, kemajemukan commit to user 15 “Sidang Susila”, http://agusnoorfiles.wordpress.com (diakses 10 Oktober 2012) 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id serta pentingnya ruang untuk mengekspresikan setiap pikiran,” jelas Butet Kartaredjasa. “Makanya, ketika Komunitas Salihara memberi kesempatan tampil, kami sangat antusias. Bagaimana pun Komunitas Salihara merupakan representasi tempat dan ruang bagi kreatifitas di Republik ini. Klop-lah dengan Gandrik.” Selain Butet Kartaredjasa, para dedengkot Gandrik seperti Susilo Nugroho, Heru Kesawa Murti, Djaduk Ferianto, Whani Darmawan pun konsisten mendukung lakon ini.16 Naskah tersebut kemudian diadaptasi dan dipentaskan kembali oleh Teater Sopo FISIP UNS pada tanggal 3 November 2011 di Semarang, 4 November 2011 di Salatiga, dan 15-16 November 2011 di Surakarta. Adapun pementasan yang akan penulis teliti adalah salah satu hasil dokumentasi dari pementasan lakon “Sidang Susila” yang telah dipentaskan pada tanggal 15 November 2011 di Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta. Dengan durasi 2 jam 30 menit berkonsep semi realis, yang artinya merupakan bagian dari teater modern bersifat baru dan bernuansa masa sekarang. Teater semi realis bersifat semi atau diantara kontemporer dan realis. Dalam penampilannya cenderung lebih mudah dipahami karena pemeranan bersifat nyata namun masih aneh dalam kenyataan misalnya dari latar tampilan yang tidak lazim dan dari segi tokoh dalam pemeranan yang tidak nyata namun memiliki sifat nyata. Didalam pementasan tersebut akan menampilkan pengaplikasian hal-hal yang dianggap porno dan dianggap melanggar Undang-Undang Asusila. Hadirnya tokoh-tokoh penegak hukum yang mengalami kelainan seksual, dan lain sebagainya. Semuanya akan diteliti melalui analisis semiologi sebagai metode untuk commit to user 16 “Sidang Susila”, Op.Cit., (diakses 10 Oktober 2012) 9 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang pesan atau teks17. B. RUMUSAN MASALAH Memahami latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana penggunaan simbol-simbol dalam mengkritisi UU Antipornografi melalui pementasan “Sidang Susila” oleh Teater Sopo UNS?” C. TUJUAN PENELITIAN Mengetahui bagaimana penggunaan simbol-simbol dalam mengkritisi UU Antipornografi melalui pementasan “Sidang Susila” oleh Teater Sopo UNS. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Secara Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Komunikasi pada umumnya dan studi semiotik pada khususnya. Selain itu juga diharapkan mempunyai signifikansi dalam membongkar penggambaran pornografi yang ditampilkan dalam pementasan teater sebagai media komunikasi, baik dalam bentuk pencitraan yang digambarkan melalui adegan (gestur, mimik), karakter, make up dan kostum, tata cahaya, setting panggung, musik, serta dialog-dialog yang muncul dalam commit to user 17 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta:LKIS Yogyakarta,2007),hal.155 10 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pementasan terkait dengan konteks kondisi sosial budaya saat pementasan teater tersebut dibuat. 2. Secara Praktis 2.1. Bagi Peneliti Kegunaan penelitian ini, bagi peneliti adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan sehubungan dengan masalah yang diteliti melalui penerapan ilmu dan teori yang telah di peroleh selama masa perkuliahan serta membandingkannya dengan fakta dan kondisi realita yang terjadi di lapangan. 2.2. Bagi Akademik Bagi akademik, penelitian ini berguna bagi mahasiswa secara umum dan mahasiswa ilmu komunikasi secara khusus sebagai literatur, khususnya bagi mahasiswa atau peneliti yang akan melakukan penelitian yang sejenis. 2.3. Bagi Praktisi Penelitian ini dapat bermanfaat untuk para pekerja seni dan aktivis budaya untuk lebih memahami bahwa pementasan teater dapat menjadi wahana bagi pembebasan atau pengaktualitasan kondisi yang riil (nyata) sehingga selanjutnya mendorong para pekerja seni dan aktivis budaya di Indonesia untuk lebih berhatihati dalam menghasilkan karya yang bebas dari penilaian unsur porno. 2.4. Bagi Pemerintah Penelitian ini dapat berfungsi sebagai mediator maupun bahan kajian kembali kepada pemerintah terhadap disahkannya Undang-Undang Antipornografi Nomer 44 Tahun 2008, sehingga tidak akan ada lagi perselisihan sudut pandang moralitas mengenai pornografi. commit to user 11 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id E. TELAAH PUSTAKA Ada beberapa poin yang menjadi kerangka teori yang digunakan untuk menjadi landasan dasar dalam penelitian yang berjudul “Teater Sebagai Channel Penggambaran Pornografi (Studi Media Komunikasi Massa Teater Sopo dalam Pementasan “Sidang Susila” dengan Analisis Semiologi Komunikasi)”. Adapun teori-teori dasar yang digunakan penulis untuk mengkaji penelitian ini adalah sbb; 1. KOMUNIKASI Komunikasi mempunyai banyak arti dan sifat serba ada. Fenomena komunikasi adalah sesuatu yang konstan dan tidak berubah tetapi hanya pemahamannya saja yang berubah. Astrid Susanto merumuskan komunikasi sebagai berikut : “Suatu kegiatan pengoperan lambang-lambang yang mengandung arti atau makna yang perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang terkait dalam suatu kegiatan.”18 Komunikasi memegang peranan penting dalam dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan terampil dari manusia. Manusia tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkonunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud, serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol, baik yang bersifat verbal maupun non verbal. Melalui pertukaran simbol-simbol yang sama commit Susanto, Astrid, Komunikasi dalam Teori to danuser Praktek Jilid I, (Bina Cipta: Bandung, 1996),hal.31. 18 perpustakaan.uns.ac.id 12 digilib.uns.ac.id dalam menjelaskan informasi, gagasan dan emosi diantara mereka itulah akan lahir kesamaan makna atas pikiran, perasaan dan perbuatan.19 Apa sebenarnya komunikasi itu? Jane Pauley (1999) memberikan definisi khusus atas komunikasi, setelah membandingkan tiga komponen yang harus ada dalam sebuah peristiwa komunikasi, yaitu : a. Transmisi informasi; b. Transmisi pengertian; c. Menggunakan simbol yang sama. Menurut Pauley (1999), jika salah satu dari komponen tersebut tidak ada, maka komunikasi tidak akan terjadi.20 Sementara itu Schram dalam Effendy (1999) menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experience and meanings) yang diperoleh komunikan.21 Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan utama dari setiap tindakan komunikasi, yaitu mencapai kesepakatan atau pengertian bersama (mutual understanding). Komunikasi dapat dipandang baik atau efektif sejauh ide, informasi, gagasan, dan sebagainya dimiliki bersama oleh atau mempunyai kebersamaan arti bagi orang-orang yang terlibat dalam tindakan komunikasi tersebut. Secara sederhana proses komunikasi dapat digambarkan sebagai berikut: 19 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Rosdakarya, 1999), hal. 9. 20 Dedy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: Rosdakarya, 1990), commit to user hal.7. 21 Ibid., hal.13 13 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Message Channel Source/ receiver Encoding Interpretating Decoding Decoding Interpretating Encoding Source/ receiver Message Channel Model Komunikasi Sirkuler yang Bersifat Dua Arah (Osgood & Schram, dalam Effendy 1999 ) Komunikasi adalah sebuah proses penyampaian pesan, yang di dalamnya terlibat elemen-elemen komunikasi yakni sumber (source), media (channel), penerima (receiver), dan respon (feedback). Agar sebuah proses komunikasi lebih efektif, maka gagasan, ide, dan opini akan di-encode atau diterjemahkan menjadi pesan yang mudah diterima (decode) oleh penerima. Dalam sebuah proses komunikasi, pesan adalah hal yang utama.22 Sebab komunikasi sendiri adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan. Pesan yang disampaikan lewat media pun, ada yang tampak tersurat (denoted) maupun tersirat (connoted).23 Pengertian isi pesan selanjutnya mengacu pada pengertian makna yang sisampaikan melalui bahasa, baik verbal maupaun nonverbal. Lawrence dan Schramm mengartikan makna sebagai jalinan asosiasi pikiran dan konsep yang diterapkan.24 Pertalian jalinan sosial dan pikiran yang diberikan pada simbol22 Onong U. Effendy, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), hal.13. 23 D. Lawrence & Wilbur Schramm, Azas-azas Komunkasi Antar Manusia, (Jakarta: LP3ES, commit to user 1987), hal.76. 24 Ibid, hal.76. 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id simbol komunikasi akan mempermudah dan menguatkan elemen-elemen komunikasi meng-encode dan men-decode simbol menjadi pengertian bermakna. Secara utuh ini merupakan konteks tak terpisahkan antara maksud komunikator dan interpretasi komunikan dalam kegiatan pengoperan lambang yang mengandung arti atau makna tersebut.25 Dr. Phil. Astrid S. Susanto menyatakan pesan hendaknya bisa dihayati oleh komunikan, sehingga menjadi milik komunikator dan komunikan.26 Sedangkan proses model komunikasi menurut Schramm adalah sebagai berikut: Proses Komunikasi Model Schramm Encode Decode message Intepretation Intepretation Sumber: D. Lawrence & Schramm Azas-azas Komunkasi Decode Encode Antar Manusia, LP3ES, Jakarta, 1987 Selanjutnya Lawrence dan Schramm memberi penjelasan bahwa makna baru timbul jika orang menafsirkan isyarat atau simbol dan berusaha memahami aspek pikiran, perasaan, konsep.27 Dalam hal ini, komunikasi dilihat sebagai proses produksi dan pertukaran pesan : yaitu dengan memperhatikan bagaimana suatu pesan berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan untuk memproduksi makna. 25 H. Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi : Sebuah Pengantar Ringkas, (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hal.25. 26 commit to user Astrid S. Susanto, Filsafat Komunikasi, (Bandung:Binacipta,1995), hal. 9. 27 D. Lawrence & Wilbur Schramm, Op Cit, hal.77. 15 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pesan yang disampaikan oleh sumber tidak akan memiliki arti jika penerima pesan tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk mendecode pesan tersebut, yaitu proses memberikan makna balik terhadap pesan tersebut. Ketidak pahaman atas sebuah pesan yang disampaikan oleh sumber kepada penerima pesan seringkali terjadi, tetapi di sini bukan berarti telah terjadi kegagalan dalam berkomunikasi. Hal tersebut bisa jadi dikarenakan faktor lingkungan dan latar belakang sosial budaya yang berbeda antara kedua belah pihak. Dijelaskan juga bahwa komunikasi menjangkau secara lebih mendalam pada beberapa komponen utama proses terjadinya komunikasi. Konsep sumber (sourse) dan penerima (receiver) diperluas, serta perlakuan dan representasi dari saluran (channel) komunikasi berbeda dari model komunikasi lainnya. Menurut Lasswell (dalam Effendy, 1993: 3), komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.28 Model komunikasi Lasswell sebagai berikut : Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect Keterangan : a. Who : Siapa (Komunikator/sender) b. Says What : Mengatakan apa (Pesan/message: idea, informasi, opini, dsb) c. In Which Channel : Melalui saluran apa (Media/channel) d. To Whom : Kepada Siapa (komunikan/receiver: audien) commit to user 28 Onong U.Effendy, Televisi Siaran Teori & Praktek, (Bandung: Mandar Maju,1993), hal.3. 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id e. With what effect : Dengan efek apa (efek/pengaruh kegiatan komunikasi yang dilakukan komunikator kepada komunikan.) Dari skema diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses yang diawali dengan adanya sebuah pesan (message) yang dibawa atau disampaikan oleh komunikator (sender) kepada komunikan (receiver) melalui sebuah media atau saluran (channel) dengan maksud dan tujuan untuk mendapatkan efek dari proses tersebut. 2. CHANNEL / SALURAN KOMUNIKASI SEBAGAI KOMPONEN KOMUNIKASI Seperti yang sudah dijelaskan diatas, pada dasarnya ilmu pengetahuan komunikasi secara keseluruhan cenderung mengidentifikasi serangkaian masalah yang terdapat pada semua peringkat. Teori dan penelitian berupaya menyodorkan penjelasan terhadap rangkaian masalah tersebut, sekali lagi meliputi : a. Siapakah yang melakukan komunikasi dan kepada siapa komunikasi itu ditujukan? (sumber dan penerima) b. Mengapa orang berkomunikasi? (fungsi dan tujuan) c. Bagaimana cara terjadinya komunikasi? (saluran, bahasa, kode) d. Komunikasi itu menyangkut hal apa? (isi, obyek acuan, tipe informasi) e. Apakah konsekuensi komunikasi? (disengaja atau tidak disengaja)29 Mengenai bagaimana cara terjadinya komunikasi adalah dengan menggunakan saluran, bahasa, kode, yang disebut dengan media. Harold Lasswell dengan teori model komunikasi yang dikutip Deddy Mulyana tentang cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan to user Denis McQuail, Teori Komunikasi commit Massa Suatu Pengantar Edisi Kedua (Jakarta:Penerbit Erlangga,1996), hal.7 29 perpustakaan.uns.ac.id 17 digilib.uns.ac.id “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?”. Jadi berdasarkan paradigma Laswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan/informasi oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Pada komponen komunikasi poin ketiga, yaitu channel (saluran atau media), adalah alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima.30 Dalam kajian ilmu komunikasi, media komunikasi adalah saluran atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan/informasi dari komunikator kepada komunikan. Dalam hal ini, media merupakan lokasi (atau forum) yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional. Sering kali juga berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif dan menyuguhkan nilai-nilai normatif yang dibaurkan dengan berita dan hiburan.31 Pentingnya media komunikasi juga diperkuat dengan pernyataan David K.Berlo yang disampaikan pada tahun 1960 dengan model SMCR, kepanjangan dari Source (sumber), Message (pesan), Channel (saluran), dan Receiver (penerimaan). Sebagaimana dikemukakan Berlo, “.....sumber adalah pihak yang menciptakan pesan, baik seseorang ataupun suatu kelompok. Pesan adalah terjemahan gagasan ke dalam suatu kode simbolik, seperti bahasa atau isyarat; dan saluran/channel adalah medium yang 30 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2005), commit to user hal.62-63 31 Denis McQuail, Op.Cit., hal.3 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id membawa pesan; kemudian penerima adalah orang yang menjadi sasaran komunikasi.”32 Model komunikasi SMCR ini, menguji empat variabel kunci yang menyempurnakan berbagai model komunikasi, yaitu : source (sumber), message (pesan), channel (saluran), dan receiver (penerima). Dalam hal ini, keunikan cara kerja Berlo untuk mendefinisikan saluran komunikasi menjadi catatan yang penting. Berlo adalah peneliti yang pertama kali menggunakan panca indera sebagai saluran komunikasi. Sebagai tambahan, ia memperluas konsep sumber dan penerima, kemudian mencatat beberapa komponen seperti kemampuan berkomunikasi (communication skills), sikap (attitudes), pengetahuan (knowledge), sistem sosial (social system), dan juga budaya (culture) atau teori sistem. Sehingga tanpa hadirnya salah satu dari komponen komunikasi diatas, maka proses komunikasi tidak akan berjalan dengan baik, karena komponen satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan memiliki peran masing-masing. 3. TEATER SEBAGAI BENTUK KOMUNIKASI KELOMPOK Didalam ranah kebudayaan, ada berbagai cara dalam memandang seni, satu diantaranya melalui kacamata komunikasi. Bila hal itu dilakukan, berarti seni dipahami bukan sebagai karya yang eksklusif, untuk diri sendiri, tetapi menjadi 32 John R.Wenburg dan William W.Wilmot, The Personal Communication Process (New York:John Wiley & Sons,1973),hal.49-50; Michael Burgoon, Approaching commit to user Speech/Communication (New York: Holt,Rinehart & Winston,1974),hal.15-16, seperti dikutip oleh Deddy Mulyana, Op.Cit., hal.150 perpustakaan.uns.ac.id 19 digilib.uns.ac.id suatu “intensionalitas”, terarah pada orang lain.33 Berbagai macam bentuk karya seni yang didalamnya termasuk pementasan teater. Teater sebagai salah satu jenis kesenian yang tidak terlepas dari implikasi ketika para teaterawan melakukan proses kreatif yang hasilnya kemudian dipersembahkan kepada masyarakat sebagai penonton, bukan berarti pementasan teater tersebut hanya sekedar perbuatan untuk memuaskan diri para kreatornya saja, tetapi juga suatu ungkapan yang lahir karena dorongan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan para anggota masyarakat lainnya. Dalam salah satu teori pengalaman estetis, pengalaman yang dialami seniman sebelum mencipta karya seni, disebutkan bahwa lahirnya karya seni karena seniman melihat adanya kesenjangan antara kehidupan nyata dengan kehidupan yang seharusnya ada, yang ada dalam benak seniman. Untuk menjembatani kesenjangan itu kemudian seniman menciptakan karya seni sebagai sebuah „dunia alternatif‟ yang ditawarkan kepada masyarakat, sehingga kehidupan bersama diharapkan lebih baik (Dimyati,1986:14-16). Ini kiranya menjadi jelas, bahwa teater sebetulnya juga berada dalam wilayah komunikasi.34 Didalam komunikasi, setidaknya melibatkan tiga unsur, yaitu: sumber, pesan dan sasaran. Sedangkan didalam teater, yang menjadi sumber itu para teatrawan, pesannya berupa nilai-nilai yang berada dibalik pertunjukkan (channel) dan sasarannya adalah para penonton yang menyaksikan pertunjukkan teater tersebut.35. 33 Istilah “intensionalitas” dipinjam dari terminologi fenomenologi Edmund Husserl. Selanjutnya lihat Kees Bertens, “Masalah „Dunia‟ dalam Filsafat”, dalam Sarjono Pespowardojo dan K.Bertens (1979:20), seperti dikutip oleh Ipit S.Dimyati, Komunikasi Teater Indonesia, (Bandung: Penerbit Kelir, 2010), hal.1 34 commit to user Ipit S.Dimyati, Ibid., hal.2 35 Ibid perpustakaan.uns.ac.id 20 digilib.uns.ac.id Komunikasi manusia terbanyak terjadi diantara individu. Karena itu, disamping komunikasi intrapersonal, perlu juga diperhatikan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih. Namun jika sudah lebih dari dua orang, kita bisa menyebutnya sebagai satu kelompok sesuai dengan prinsip: tres faciunt collegium, yaitu tiga orang sudah bisa disebut satu kelompok.36 Sehingga dalam hal ini, teater termasuk ke dalam komunikasi kelompok. Adanya pementasan teater merupakan proses vital didalam kelompokkelompok demi eksistensi mereka, kehidupan mereka dan perubahan mereka sendiri. Sarana-sarana untuk komunikasi dalam dan untuk komunikasi kelompok, terutama kalau sarana-sarana itu dengan satu atau lain cara dipersiapkan secara teknis, dapat disebut “media kelompok”.37 Pementasan teater sebagai media audio visual, informasinya dapat ditangkap secara lengkap karena dapat dilihat dan didengarkan. Dalam konteks media komunikasi, Marshal McLuhan menyampaikan bahwa media massa merupakan perpanjangan dari alat indera kita. 38 Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang, atau tempat dimana kita tidak mengalaminya secara langsung. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi atau biasa disebut realitas tangan kedua. Media massa memiliki kurikulum tersembunyi yang menggambarkan apa yang terjadi, apa yang penting dalam berbagai peristiwa dan menjelaskan 36 Franz Josef Eilers, Communicating In Community An Introduction To Social Communication;Berkomunikasi dalam Masyarakat, terj.Frans Obon,Eduard Jebarus, (Semarang:Nusa Indah, 2001), hal.218 37 commit to user Ibid., hal.219 38 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung:Rosda,2002),hal.18. 21 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hubungan-hubungan serta makna yang ada diantara peristiwa-peristiwa itu. Dengan cara tersebut, media membentuk lingkungan simbolis39, salah satunya melalui pementasan teater yang mengkomunikasikan pesan-pesan tertentu kepada khalayaknya. Pementasan teater sebagai media audio visual, informasinya dapat ditangkap secara lengkap karena dapat dilihat dan didengarkan. Pada saat bersamaan, sebuah lakon yang dimainkan oleh aktor-aktor tersebut merupakan serangkaian tindakan yang tokoh-tokohnya harus dihidupkan. Hal ini menjadi tidak mungkin tanpa adanya beberapa kerangka sosial bagi kelompok tersebut: mereka harus bertemu bersama, bersatu, membentuk afiliasi, terpecah-pecah, serta saling menyesuaikan cara interaksi dan lingkungan sosial bersama-sama. Pada setiap pertunjukan teater selalu terdapat penonton yang membentuk publik yang tidak jarang selera, kebutuhan, dan asal sosial mereka cukup beragam. Publik teater ini mungkin membentuk kelompok-kelompoknya sendiri yang anggotanya terdiri dari sekumpulan massa, mulai dari lingkungan kecil kenalan sampai pada sebuah komunitas. Karena teater selalu membutuhkan komunitas sebagai penyangga eksistensinya. Didalam teater, pertunjukan adalah bagian dari dinamika sosial komunitas atau masyarakat pendukungnya. Di sinilah, fungsi sosial teater menjadi penting karena dapat mengolah persoalan-persoalan sosial ke dalam pertunjukan. The theatre berasal dari kata Yunani kuno, “Theatron” yang berarti seeing place atau tempat dimana aktor-aktor mementaskan lakon-lakon dan orangcommit to user 39 Ibid, hal.249. perpustakaan.uns.ac.id 22 digilib.uns.ac.id orang menontonnya. Sedangkan istilah teater atau dalam bahasa Inggrisnya “theatre” mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan, kelompok yang melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri.40 Penonton mempunyai peran penting dalam pementasan teater. Teater tanpa penonton itu mustahil. Tanpa penonton, teater bukanlah peristiwa budaya. Jadi penonton memiliki kekuatan yang dibutuhkan dalam setiap seni pertunjukan seperti halnya komunikasi, penonton adalah salah satu komunikan. Dalam kajian ilmu sosiologi teater menyebutkan bahwa melacak apakah penonton memiliki interaksi dengan pementasan dan evaluasi pementasan teater: apakah unsur teatrikal dan kultural yang ada bisa menuntun atau mengintervensi penonton terhadap teaterikal sosial; mentalitas, emosi dan nilai penonton, dan pengaruh ideologi terhadap cara penonton dalam menyaksikan pementasan teater.41 Dalam kajian sosiologi komunikasi tentu saja masih relevan menyebutkan penonton merupakan bagian dari masyarakat tertentu. Seperti yang dikemukakan Burhan Bungin bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian ini bahwa teater merupakan salah satu produk kebudayaan masyarakat.42 Seni teater merupakan suatu karya seni yang rumit dan kompleks, sehingga sering disebut dengan collective art atau synthetic art,43 artinya teater merupakan sintesa dari berbagai disiplin seni yang melibatkan berbagai macam keahlian dan keterampilan. Seni teater merupakan suatu kesatuan seni yang 40 Bakdi Soemanto, Jagad Teater (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001), hal. 8 Nur Sahid, Sosiologi Teater,(Yogyakarta: Penerbit Prastista, 2008),hal.156 42 Stevania Melati Puspitasari,"Komunitas Teater Sego Gurih," Jurnal Skripsi S1 Prodi commit to userhal.5 Komunikasi 2012 Stpmd Yogyakarta,(Yogyakarta,2012), 43 “Teater”, www.seaedunet.seamolec.org (diakses 25 Desember 2012) 41 23 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id diciptakan oleh penulis lakon/naskah, sutradara, pemain, penata artistik, pekerja teknik dan diproduksi oleh sekelompok orang produksi berupa sebuah pementasan yang berperan sebagai sarana/media pembelajaran khalayak untuk lebih memahami isi atau muatan pesan yang disampaikan. Bahan utama karya seni teater adalah lakon atau naskah cerita, karena tanpa cerita maka teater tidak dapat diwujudkan. Naskah menjadi begitu penting karena unsur-unsur yang ada di dalamnya. Menurut Aston, ada empat unsur penting yang membangun naskah drama/teater, yaitu (1) wujud atau bentuk dramatic/dramatic shape, (2) tokoh/character, (3) dialog/dialogue, (4) petunjuk pementasan/stage directions.44 Pentas teater bukan hanya suatu upaya untuk mengkomunikasikan makna yang ada dalam naskah lakon, tetapi yang lebih penting adalah sebagai media untuk merepresentasikan realitas ke dalam gagasan dan ide-ide teater di atas panggung.45 Seperti halnya karya sastra, naskah teater merupakan sebuah teks yang memiliki karakteristik tersendiri dalam mengkonstruksikan tanda-tandanya. Naskah lakon dalam teater modern merupakan bentuk tertulis dari sebuah cerita dan baru akan menjadi karya teater setelah diaudio-visualisasikan ke dalam pementasan. Mementaskan naskah drama berarti memindahkan karya seni dari media bahasa kata ke media bahasa pentas. Dalam visualisasinya, karya sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya teater. Pada saat transformasi inilah karya sastra bersinggungan dengan komponen-komponen teater, yaitu sutradara, pemain dan tata artistik. Teater memang berbeda dengan sebuah karya novel atau lukisan. Teater cenderung baru 44 Soediro Satoto, Teater sebagai Sistem Tanda, Sebuah Pengantar : Seni Pertunjukan (Indonesia: commit to user Gramedia,1994), hal.7 45 “Pentas Teater”, www.antara.co.id (diakses 22 Desember 2012) perpustakaan.uns.ac.id 24 digilib.uns.ac.id dianggap ada dan terjadi dan eksis pada saat aktor melakukannya dalam sebuah pertunjukan di muka publik atau dipentaskan atau dipanggungkan. Sehingga naskah dalam teater belum dapat dikatakan sempurna apabila belum dipentaskan. Karena dalam sebuah pementasan terdapat unsur-unsur yang saling melengkapi. Dalam hal ini seni teater menjadi sauran komunikasi massa yang berfungsi sebagai penyampai pesan dari komunikator sehingga pesan tersebut dapat dimengerti oleh komunikan. Komunikator dalam hal ini adalah organisasi teater seperti yang disampaikan oleh Jalaludin Rahmat dan Effendy, sedangkan komunikan adalah penonton pementasan yang sifatnya heterogen atau berasal dari berbagai kalangan.46 Seni teater menjadi channel yang mengantarkan publik/khalayaknya untuk menyadari tentang pentingnya fenomena atau isu-isu yang sedang berkembang dalam lingkungan dan masyarakat ketika media massa lain dianggap belum efektif dalam menyampaikan pesannya kepada khalayak. Sehingga teater juga berperan sebagai bentuk media komunikasi yang bersifat alternatif ketika media mainstream yang bermunculan cukup tak terbendung perkembangannya atau dianggap belum dapat menjangkau seluruh masyarakat. Karena selain sebagai karya seni, teater juga merupakan salah satu media komunikasi yang menyampaikan pesan-pesannya melalui simbol-simbol dan tanda-tanda yang perlu di-interpretasikan lebih mendalam.47 46 Jalaluddin Rakhmat, Op.Cit., hal. 189; dan Onong U.Effendy, Op.Cit.,Bandung, hal. 22 Kristianti MKS, “Obsesi Perempuan dalam Menggapai Kebebasan dan Emansipasi (Studi Komunikasi Media Pertunjukkan Teater yang Mengupas Pesan dalam “Perempuan Menuntut commit to user Malam” dengan Analisis Semiologi Komunikasi)”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2009), hal.4 47 25 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 4. PORNOGRAFI DALAM PENELITIAN Pornografi adalah sebuah istilah yang cukup lama dan cukup panjang sejarahnya (diperkirakan istilah pornografi telah lama dikenal ketika lukisan/grafis pertama dibuat oleh beberapa masyarakat dalam budaya Mesir Kuno. Secara jelas pornografi berkembang setelah ketika Elegi Gutenberg menemukan mesin cetak pada abad-14. Jadi istilah pornografi ini telah lama dikenal sejak mesin cetak dikenal orang sebagai media komunikasi.) bila dibandingkan dengan berbagai istilah dalam konteks istilah-istilah yang sama dalam perbendaharaan kata-kata Inggris maupun bahasa Indonesia. Akhir-akhir ini masalah pornografi semakin sering diucapkan sejak media massa, terutama media elektronika sering menayangkan gambar-gambar asusila, ketika tren model pakaian modern hampir mendekati “tidak berpakaian”, dan berbagai kasus yang berhubungan dengan tubuh manusia diungkapkan sebagai komoditas kapitalis.48 Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar,tulisan,lukisan,dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik (R.Ogien, 2003: 31,47). Mesum, cabul atau tidak senonoh dipahami sebagai sesuatu yang melukai dengan sengaja rasa malu atau rasa susila dengan membangkitkan representasi seksualitas. Bisa saja penilaian ini dituduh bersifat subyektif karena mengacu pada situasi mental atau afektif seseorang. Akan tetapi, ukuran tidak hanya berhenti pada subyektivitas semacam itu, karya yang “mesum, cabul atau tidak senonoh” itu didasarkan juga atas penilaian oleh komunitas commit to user dan Diskursus Teknologi Komunikasi Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi;Teori,Paradigma di Masyarakat, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.346 48 perpustakaan.uns.ac.id 26 digilib.uns.ac.id setempat atau oleh setiap orang yang sehat akal. Definisi tersebut akan lebih meyakinkan lagi bila karya itu tidak mengandung nilai seni, sastra, ilmiah atau politik.49 Sedangkan segala macam hal yang berbau porno selalu erat kaitannya dengan bentuk tubuh, adegan-adegan seksual, dan lain sebagainya yang dapat mengganggu maupun merangsang hasrat seksual seseorang. Pornografi merupakan masalah lama yang belum dapat ditanggulangi oleh ketentuan-ketentuan yang ada yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetbook van Starfrecht voor Nederlandsch-Indie). Seperti yang disampaikan oleh Daniel Linz dan Neil Malamuth dalam penelitiannya yang menyebutkan: “Pornography is a very short book, and it is obviously not possible to present all the subtleties of an issue as complex as this in it. Nevertheless, Linz & Malamuth exhibit several shortcomings. First, they focus almost exclusively on the United States, without much consideration of the specific historical or cultural context for thinking about issues like obscenity, pornography, and legislation.”50 Dalam menjelaskan mengenai makna pornografi, masih banyak masalah rumit yang belum bisa disajikan secara ilmiah sebagai suatu landasan teori. Banyak yang perlu dipertimbangkan dalam konteks sejarah maupun budaya dalam mengkaji dari isu-isu mengenai kecabulan, pornografi dan peraturan perundangundangan. Menurut beberapa golongan masyarakat tertentu, orang yang bersalah dan yang amoral dan asusila adalah orang yang merasa terangsang nafsu birahinya 49 Haryatmoko, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, (Yogyakarta:Kanisius, 2007), hal.93. 50 to user Daniel Linz dan Neil Malamuth, " commit Pornography (Communication concepts 5)," Canadian Journal of Communication, No.20.1 (Winter, 1995), hal.120. 27 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ketika ia atau mereka melihat, atau mendengar, atau menyentuh hal-hal yang pornografis. Setiap orang menurut mereka adalah berhak dan bebas memperlakukan dan mengekspresikan tubuhnya tanpa batas, sepanjang tidak melanggar kesusilaan masyarakat setempat.51 Pornografi dapat diartikan dalam berbagai sudut pandang kajian ilmu. Seperti misalnya pornografi menurut James Drever dalam Kamus Psikologi yang mendefinisikan pornografi sebagai bacaan yang menyangkut hal-hal cabul.52 Sedangkan dalam Kamus Komunikasi, pornografi diartikan sebagai kecabulan dalam artian berupa tulisan, gambar, dan lain-lain tanpa nilai seni, yang merangsang timbulnya gairah seks. (Berasal dari bahasa Yunani “pornographos” yang berarti tulisan atau penulis mengenai wanita pelacur).53 Berbeda lagi maknanya jika ditinjau dari sudut pandang Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna porno disamaartikan dengan: “Cabul, kemudian pornografi menjadi 1.penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi:mereka mengumandangkan argumennya bahwa – merendahkan kaum wanita; 2.bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks”.54 Dari beberapa kamus dan beberapa sumber yang penulis temukan itu saja sudah memberikan arti yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Ada lagi artikel yang menyebutkan bahwa, ”Jika kita mendengar istilah pornografi yang terlintas dipikiran adalah film-film yang menggambarkan kehidupan seks, gambar-gambar yang selalu memperlihatkan, mengeksploitasi tubuh wanita dengan gaya bahasa yang sengaja dibuat erotis dengan tujuan membangkitkan nafsu 51 Neng Djubaedah, Pornografi dan Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam (rev.ed.;Jakarta: Kencana, 2009),hal.2 52 James Drever, Kamus Psikologi, terj.Nancy Simanjuntak (Jakarta: PT Bina Aksara, 1988), hal.357 53 commit(Bandung: to user Mandar Maju,1989),hal.278. Onong Uchjana Effendy, Kamus Komunikasi 54 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).hal.696 perpustakaan.uns.ac.id 28 digilib.uns.ac.id birahi dan juga dapat menimbulkan sebuah rangsangan dan kepuasan seksual dengan tampilan bentuk, pose, posisi, sikap dan ekspresi.”55 Orang yang sudah dewasa jika melihat dan/atau mendengar dan/atau menyentuh benda-benda pornografi dan/atau pornoaksi akan berbeda dengan yang masih anak-anak, atau orang yang belum dewasa. Bagi yang sudah dewasa, kemungkinan untuk dapat mengendalikan diri dari pornografi dan/atau pornoaksi masih ada, dibandingkan dengan orang yang belum dewasa. Sedangkan orangorang yang tergolong belum dewasa, terutama anak-anak yang berusia menjelang remaja dan usia remaja, lebih mudah dipengaruhi oleh pornografi dan/atau pornoaksi. Pornografi menurut Benny H.Hoed adalah penyajian tindakan cabul yang intinya adalah tindakan hubungan seksual yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan nafsu birahi atau nafsu seksual.56 Berbeda juga menurut Vivian Chan yang menyamakan pornografi dengan sebuah bentuk kejahatan seksual, dalam kajiannya: “...pornography is a common antecedent to sexual crimes and that sex crimes often mirror behaviours viewed in pornographic depictions. It is true that scientific research is as yet unable to demonstrate that pornography causes sex crimes, as noted previously, it is clear that there is strong correlation between pornography and sex crimes. Aside from the causal harm between pornography and sex crimes, it is important to pay attention to the implications behind the exclusive focus of such relationship.”57 55 Lihat Artikel yang di tulis oleh Mudji Sutrisno, ”Pornografi”, Tempo, 12 Februari 2006,hal.70 Benny H.Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Vol.2; Depok: Komunitas Bambu, 2011), hal.149. 57 Weed, S. (1997). Pornography: a review of scientific literature. National coalition for the user oleh Vivian Chan, “The Impact of protection of children and families,”commit seperti todikutip Pornography on Individuals”, Journal of Line Canada, (Januari,2009), hal.1 56 29 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Bahwa pornografi adalah salah satu bentuk penggambaran dari kejahatan seksual. Meskipun belum ada penelitian yang mampu menunjukkan bahwa pornografi menyebabkan kejahatan seksual, namun seperti disebutkan sebelumnya, jelas bahwa ada korelasi yang kuat antara pornografi dan kejahatan seks. Selain dari bahaya sebab akibat antara pornografi dan kejahatan seksual, penting juga untuk memperhatikan implikasi dibalik fokus eksklusif hubungan tersebut. Tentunya sebelum meninjau lagi bagaimana nantinya pornografi menyebabkan berbagai macam dampak negatif bagi masyarakat. Tetapi memang pada dasarnya masalah keterkaitan hal-hal yang berbau porno tidak lepas dari bentuk tubuh yang menjadi obyek dan polemik dihampir semua masyarakat. Seperti halnya yang telah dikemukakan pada bagian-bagian terdahulu, bahwa negara Repubik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 serta Perubahannya, terdiri dari berbagai macam penduduk dan masyarakat, serta berbagai agama yang diakui keberlakuannya. Karena itu, pengertian pornografi (dan pornoaksi) di Indonesia dapat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sebagai berikut : 1) Pembagian penduduk berdasarkan tempat tinggal : perkotaan, dan pedesaan; 2) Pembagian penduduk berdasarkan agama yang dianut di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Budha, juga Kong Hu Cu. 3) Pembagian penduduk berdasarkan masyarakat adat di Indonesia, dari Aceh sampai Irian (Papua), masing-masing masyarakat adat memiliki ragam budaya dan hukum adat yang berbeda antara satu dan lainnya.58 commit to user 58 Neng Djubaedah, Op.Cit., hal.143-144 perpustakaan.uns.ac.id 30 digilib.uns.ac.id Dalam merumuskan pengertian pornografi, perlu dikemukakan asal kata pornografi terlebih dahulu, meskipun ala kadarnya. Salah satunya juga kata pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne artinya pelacur, dan graphein artinya ungkapan.59 Di Yunani, pada abad keempat sebelum masehi, terdapat seorang perempuan cantik jelita bernama Phryne dari Thespiae. Ia seorang hetaerai, yaitu perempuan yang kehidupannya digunakan hanya untuk bersenang-senang dengan laki-laki. Hetaerai berbeda dengan porne, yaitu perempuan pelacur yang digunakan dan untuk dibayar setiap hari, dan berbeda pula dengan istri yang berfungsi sebagai pemelihara rumah tangga dan keturunan yang dapat dipercaya.60 Phryne pernah dituduh sebagai perempuan yang mengkorupsi para jejaka Athena. Ketika pengadilan akan menjatuhkan hukuman terhadap Phryne, pembela Phryne bernama Hyperides mengajukan pembelaan dengan cara meminta Phryne berdiri di suatu tempat di depan sidang dengan posisi yang dapat dilihat oleh semua yang hadir. Phryne menanggalkan pakaiannya satu per satu, sehingga seluruh keindahan tubuhnya tampak oleh hakim dan seluruh hadirin. Dan hasilnya, Phryne dibebaskan dari hukuman. Dan pertunjukkan Phryne itulah awal dari striptease show61. Menurut Neng Djubaedah dalam bukunya, striptease yang dilakukan secara langsung, atau tanpa melalui media komunikasi saat ini dapat disebut 59 A.Hamzah, Pornografi dalam Hukum Pidana, Suatu Studi Perbandingan, Cet.1, (Jakarta: Bina Mulia, 1987),hal.7 60 commit toOrientasi user (Jakarta:Dewan Pers,1977), hal.10-11 Alex A.Rachim, Pornografi dalam Pers,Sebuah 61 Ibid. 31 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dengan pornoaksi. Namun apabila striptease itu ditampilkan di media komunikasi, maka striptease dapat dikategorikan sebagai pornografi. Sedangkan pada pasal 1 UU AP No.44/2008 menyebutkan bahwa: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.” Berbagai definisi di atas agak dipertanyakan bila sudah menyangkut masalah representasi mental, atau bila terkait dengan obyek fisik (pakaian dalam dan perlengkapan obyek seksual) atau obyek abstrak yang terungkap dalam budaya atau masyarakat tertentu. Namun, isi representasi publik ini bagaimanapun tidak bisa dikatakan relatif. Persepsi dan kategori yang dipakai oleh komunitas tertentu tidak sepenuhnya relativis. Ada acuan pada konsepsi umum tentang seni, misalnya maksud pengarang atau seniman dalam penentuan karya, hakikat universal apresiasi karya seni yang bisa dipertanggungjawabkan, dan konsepsi moral (menolak dehumanisasi dan pengobyekkan). Dalam debat publik, biasanya ada tiga alasan utama yang dikemukakan untuk menolak pornografi, ialah: 1. Perlindungan terhadap orang muda atau anak-anak; 2. Mencegah perendahan martabat perempuan; 3. Mencegah sifat subversifnya yang cenderung menghancurkan tatanan nilai seksual keluarga dan masyarakat.62 Pornografi dikhawatirkan akan mengganggu anak-anak atau remaja sehingga mengalami gangguan psikis dan kekacauan dalam perilaku yang mirip dengan bila mereka mengalami pelecehan seksual. Pornografi cenderung akan dipakai sebagai pegangan perilaku seksual. Pornografi cenderung membangkitkan commit to user 62 Haryatmoko, Op.Cit, hal.94 32 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id suasana kekerasan terhadap perempuan. Dengan bahasa lugas, pornografi dianggap akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Bahkan seandainya pornografi tidak merangsang lagi, bukan berarti tidak membahayakan psikologi anak, dan penyebarannya yang luas dikhawatirkan akan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan menurut etika, minimal pornografi melukai pihak lain. Etika minimal terdiri atas tiga pilar (R.Ogien, 2003:12-13), yaitu: 1. Sikap netral terhadap konsepsi tentang “baik”. Konsepsi ini menghargai hak akan kemandirian moral yang dalam kasus ini berarti kebebasan memilih akan apa yang baik bagi dirinya dalam hal seksualitas. 2. Prinsip menghindar dari merugikan pihak lain. Prinsip ini berasal dari cara berpikir konsekuensialis yang sangat peduli pada efek yang menimpa individu, bisa berupa kerugian fisik atau psikologis. 3. Prinsip untuk menempatkan nilai yang sama pada suara atau kepentingan setiap orang. Prinsip ini berasal berasal dari tradisi deontologi dimana kewajiban setiap orang untuk tidak menjadikan orang lain sarana, tetapi tujuan pada dirinya.63 Untuk memahami kecenderungan argumen otoritas, logika pornografi lebih jernih dipahami bila dianalisis melalui mekanisme kajian semiologi komunikasi sebagai analisis pesan dalam komunikasi. Ikon atau simbol yang digunakan merupakan tanda yang mirip dengan apa yang digambarkannya. Ikon dapat berupa seperti aslinya atau yang diacunya (foto atau gambar), bahkan bisa lebih dari sekedar aslinya (hiperrealitas). commit to user 63 Ibid., hal.95 33 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 5. SEMIOLOGI SEBAGAI ANALISIS PESAN DALAM KOMUNIKASI Semiotika atau semiologi sendiri berasal dari bahasa Yunani Semion, yang berarti tanda. Kemudian diartikan kedalam bahasa Inggris menjadi Semiotics. Dalam Bahasa Indonesia, semiotika atau semiologi diartikan sebagai ilmu tentang tanda dengan kata lain semiologi adalah ilmu yang digunakan untuk interpretasi terhadap pesan (tanda) yang dipertukarkan dalam proses komunikasi.64 Tanda menurut Tony Thwaites dkk, adalah segala sesuatu yang menghasilkan/memproduksi makna.65 Sedangkan tanda dan cara bagaimana tanda itu bekerja dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu tanda itu sendiri yang mempelajari berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda dalam hal ini adalah sebagai kontruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. Yang kedua, mengenai kode atau sistem yang mengkoordinasikan tanda, mencakup cara berbagai kode yang dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. Sedangkan yang ketiga adalah kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja yang pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.66 64 Andrik Purwasito,Analisis Semiologi sebagai Tafsir Pesan, Jurnal Komunikasi Massa, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2007 65 Tony Thwaites, Lloyd davis, dan Warwick Mules, Introduction Cultural and Media Studies;Sebuah Pendekatan Semiotik, terj.Saleh Rahmana. (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), hal.13 66 commitStudies;Sebuah to user John Fiske, Cultural and Communication Pengantar Paling Komprehensif, terj.Yosal Irianta dan Idi Subandy Ibrahim. (Yogyakarta:Jalasutra, 2007), hal.60 34 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Semiologi sebagai ilmu simbol dalam komunikasi termasuk dalam memaknai simbol-simbol dalam sebuah pementasan teater yang merupakan salah satu media komunikasi. Pementasan teater sebagai salah satu dari media komunikasi mengandung pesan yang berbentuk tampilan secara audio visual di atas panggung. Sajian ini memerlukan pemaknaan yang lebih dari penonton. Untuk memberi kelengkapan atas proses pemaknaan terhadap pementasan tersebut, maka akan dilibatkan unsur-unsur yang mendukungnya secara keseluruhan. Dalam sebuah pementasan teater terhadap tanda yang memungkinkan untuk diinterpretasikan oleh penonton. Tanda-tanda ini dapat bersifat audio visual atau yang berhubunngan dengan indera lain. Setiap tanda dalam komunikasi harus memiliki 3 ciri khas, yaitu: a. Harus memiliki bentuk fisik, karena indra harus mampu menerimanya. b. Harus menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya. c. Harus digunakan dan dikenal oleh orang lain sebagai suatu tanda sebagai alat komunikasi. Jika suatu tanda tidak dapat dikenal dan dimengerti oleh orang lain maka tanda itu tidak dapat memberikan makna, sebab itu tidak bisa menjadi unsur dalam komunikasi (Eilers, 2001: 29).67 Tanda sebagai perwakilan dan konsep, benda, idea, yang disebut sebagai objek sedangkan makna yang diperoleh akan disebut dengan interpretasi. Dalam definisi Saussure 67 Dwi Retno P,”Penggambaran Kekerasan terhadap Perempuan dalam Teater(Analisis Semiotik tentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pementasan Teater “Wajah Sebuah Vagina” oleh user Sarjana,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Klompok Tonil Klosed Surakarta tahuncommit 2005)”, to (Skripsi Politik,Universitas Sebelas Maret,Surakarta,2011),hal.14 35 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (Budiman, 1999a:107), semiologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji tanda-tanda di tengah masyarakat. Semiologi dalam istilah Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Barthes,1988:179; Kurniawan, 2001:53).68 Semiologi juga digunakan pada analisis media dengan asumsi media dikomunikasikan oleh seperangkat tanda. Dengan mempertanyakan bagaimana tanda tersebut bekerja, adalah tugas semiologi untuk menganalisisnya. Teks media tersusun atas seperangkat tanda (yang terbentuk bahasa) tidak pernah membawa makna tunggal didalamnya. Kenyataan teks media selalu memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut.69 Semiologi disisi lain melihat bahwa pesan merupakan kontruksi tandatanda, yang saat bersinggungan dengan penerima akan memproduksi makna. Sebagai sebuah hasil kontruksi, berita/pesan/informasi merupakan produksi konvensi seperangkat aturan informal dan subyektif yang menuntut pengambilan keputusan dari siapa yang mengumpulkan, memproduksi, dan mengirim pesan. Media 68 memiliki kekuasaan simbolik, yang merupakan “kemampuan Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2009), hal.15 commit to user Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis semiotika dan Analisis Framing (Bandung:PT Remaja Rosdakarya,2004),hal.138 69 perpustakaan.uns.ac.id 36 digilib.uns.ac.id menggunakan bentuk-bentuk simbolik untuk mencampuri dan mempengaruhi jalannya aksi maupun peristiwa”(Thomson,1994).70 Pada dasarnya setiap ahli memiliki cara yang berbeda-beda dalam memaknai tanda. Prof.Dr.Andrik Purwasito,DEA memiliki sembilan formula dasar pemaknaan dalam semiologi komunikasi yang terdapat dalam bukunya “Message Studies”. Berikut ini dapat digunakan seluruhnya tetapi dapat digunakan sebagian tergantung dari temuan makna yang telah diperolehnya. Sembilan formula dasar pemaknaan sebagai teknik analisis makna dalam pesan dapat dijelaskan sebagai berikut71: 1. Siapa Komunikator Semiologi komunikasi berangkat dari tafsir tanda yang dibangun oleh komunikator. Disini komunikator harus mampu dijelaskan latar belakang sosialbudaya dan ruang waktu dimana mereka hidup. Komunikator harus didefinisikan sebagai pihak sumber yang secara langsung atau tidak langsung ingin menyampaikan pesan kepada penerima. Dengan demikian harus ada jawaban atas siapa komunikator, siapa penerima (yang dituju) melalui saluran media apa. 2. Motivasi Komunikator Semiologi komunikasi memuat tafsir tanda itu sendiri dalam hubungannya dengan maksud komunikator membangun pesan dimaksud. Dalam hal ini, komunikator memposisikan diri sebagai apa, dalam memburu target yang ingin dicapai, dan bagaimana melakukan konstruksi agar pesan tersebut berhasil optimal. 70 Alex Sobur, 2004, Op.Cit, hal.117. commit to user Andrik Purwasito, Message Studies;Pesan Penggerak Kebudayaan, (Surakarta: Ndalem Purwahadiningratan Press, 2003)., hal.37. 71 37 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3. Konteks Fisik dan Sosial Semiologi komunikasi menafsirkan tanda berdasarkan konteks sosial dan budaya, lingkungan konteks fisik, konteks waktu dan tempat dimana tanda itu diletakkan. Dasar argumentasi ini memperjelas uraian di atas, bahwa pesan dikonstruksi oleh komunikator dengan mempertimbangkan norma dan nilai sosial, mitos dan kepercayaan, serta dipertimbangkannya tempat dimana pesan itu akan disalurkan kepada publiknya (penerima). Pesan juga menunjuk pada ruang dan waktu, kapan dan dimana pesan itu diletakkan. 4. Struktur Tanda dan Tanda Lain Semiologi komunikasi menafsirkan tanda-tanda dengan cara melihat struktur tanda tersebut dan menghubungkan tanda-tanda dimaksudkan dengan tanda-tanda lain yang berkaitan erat dengannya. Dasar argumentasi ini, selalu mengaitkan tanda yang ditafsir dengan tanda-tanda lain yang berdekatan dan secara fungsional ada relevansinya. 5. Fungsi Tanda, Sejarah dan Mitologi Semiologi komunikasi menafsirkan tanda dengan cara melihat fungsi tanda tersebut dalam masyarakat. Fungsi ini sangat berhubungan erat dengan maksud sumber menyalurkan pesan. Pohon-pohon tumbangkan dan diletakkan di jalan raya (Sidang Istimewa MPR tahun 2000), berfungsi menghalangi pemakai jalan. Artinya, sebuah bentuk protes dan resistensi terhadap eksistensi Sidang Istimewa. Perilaku ini bersumber dari domain historis bahkan mitos-mitos yang terekam dalam mental para pelaku. commit to user 38 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 6. Intertekstualitas Semiologi komunikasi memperkuat tafsir dan argumentasinya dengan cara memperbandingkan dengan fungsi tanda pada teks-teks lain. Julia Kristiva menyebut intertekstualitas, yaitu upaya unutk mendalami tafsir dengan cara mencari sumber-sumber sejenis. Hal ini berhubungan dengan eksistensi tanda yang bersifat universal. Tanda digunakan oleh komunitas lain, dalam konteks dan referensi budaya yang berbeda. 7. Intersubyektifitas Semiologi komunikasi memberi tafsir tanda-tanda dengan cara memperoleh dukungan dari penafsir lain dalam tanda-tanda yang mempunyai hubungan yang relevan. Inilah yang disebut sebagai intersubyektivitas, yaitu pandangan dari beberapa ahli, yang biasanya juga saling bertentangan, disini peneliti mengambil sikap atas makna tanda itu berdasarkan konteksnya. Dalam hal ini disebut sebagai referensi, seperti buku-buku yang relevan dan data pendukung lainnya. 8. Common Sense Semiologi komunikasi memaknai tanda dengan cara mengambil alih pemaknaan secara umum yang berkembang di masyarakat (common sense). Hal ini didasarkan atas, tanda-tanda dalam pesan biasanya bersifat sosial. Tanda itu digunakan berdasarkan kesepakatan kolektif atau konsesus sosial sehingga secara konvensional menjadi milik masyarakat. Tanda juga bersifat sangat individual, terutama tanda-tanda dalam karya seni dan karya individual, bahkan media massa. Tetapi sumber inspirasi tidak dapat dilepaskan dengan latar budaya produktor. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 39 digilib.uns.ac.id 9. Penjelajahan Ilmiah Peneliti Semiologi komunikasi merupakan tafsir intuitif yang dilakukan oleh penafsir dengan mendasarkan pada pengalaman intelektual, keyakinan subyektif dan pengembaraan dan penjelajahan ilmiah terhadap tanda-tanda yang bersangkutan. Ini menyangkut kredibilitas dan otoritas keilmuan seseorang yang menggunakan akal sehat sebagai landasan berpikirnya. Dari konsep obyek penelitian yang telah disampaikan diatas, elemenelemen semiologi yang disajikan disini tidak memiliki tujuan lain kecuali mengambil dari linguistik beberapa konsep analistis72 yang secara a priori dianggap cukup general untuk membuat riset semiologis bisa dimulai. Dengan mengumpulkan konsep-konsep itu, orang tidak boleh mengira bahwa konsepkonsep itu tidak akan berubah ketika riset dijalankan, juga jangan dianggap bahwa semiologi semiologi harus selalu mengikuti model linguistik secara ketat. 73 Disini cukuplah nantinya bahwa kehadiran terminologi atau kategorisasi diusulkan dan diterangkan, dengan berharap bahwa kategorisasi itu memungkinkan kita untuk menghadirkan suatu tatanan awal (yang mungkin hanya sementara) bagi massa yaitu fakta-fakta yang menghasilkan simbol/tanda. 72 “Suatu konsep tentu saja bukanlah suatu hal, tetapi bukan pula hanya merupakan kesadaran suatu konsep. Sebuah konsep adalah salah satu alat dan suatu sejarah, yaitu sekumpulan kemungkinan-kemungkinan dan halangan-halangan yang ada dalam suatu dunia yang dihidupi.” (G.Granger,Methodologie economique,p.23), seperti dikutip oleh Roland Barthes, Petualangan commit to user Semiologi,terj.Stephanus Aswar H,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2007),hal.14 73 Roland Barthes, Ibid.,hal.14 perpustakaan.uns.ac.id 40 digilib.uns.ac.id F. ASUMSI DASAR PENELITIAN Dalam penelitian ini diperlukan penjelasan mengenai asumsi dasar bagi unsur-unsur masalah yang akan diteliti dengan tujuan menghindari kesesatan, perbedaan pengertian ataupun penafsiran. Adapun unsur-unsur masalah yang dirumuskan adalah mengenai penerapan peraturan pornografi sesuai dengan Undang-Undang Asusila yang sudah berlaku di Indonesia ditinjau dari efektivitasnya. Khalayak, dalam hal ini adalah masyarakat, pada umumnya kurang sadar dan memahami hal-hal yang menjadi peraturan negara tempat tinggalnya ternyata belum efektif dan efisien. Apalagi jika sebagai negara pluralis yang memiliki beraneka ragam suku dan budaya, pengaturan-pengaturan itu telah ditunggangi beberapa kepentingan, yang salah satunya adalah monopoli sudut pandang. Untuk itu diperlukan media yang dapat merepresentasikan kebenaran itu dengan lebih sederhana dan mudah dipahami. Dimana representasi adalah tindakan menghadirkan atau mempresentasikan sesuatu melalui sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol.74 Penelitian ini ingin melihat bagaimana penggunaan simbol-simbol dalam mengkritisi UU Antipornografi melalui pementasan teater menggunakan analisis semiologi. Pengaturanpengaturan mengenai konsep pornografi di Indonesia yang telah berlaku tersebut dikontruksikan melalui naskah teater yang diberi judul “Sidang Susila” kemudian dipentaskan dengan kelengkapan komponen artistiknya secara audio visual. commit to user Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), hal.21 74 perpustakaan.uns.ac.id 41 digilib.uns.ac.id G. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran penelitian ini berawal dari fenomena makin banyaknya kasus tentang pornografi atau tindakan asusila di Indonesia. Dari kekhawatiran-kekhawatiran itu, maka negara membuat peraturan tentang pornografi. Namun pada hakekatnya, peraturan itu dianggap belum efektif dan efisien, karena selain sudah ada peraturan perundangan yang juga memuat mengenai tindak asusila, rupanya masih banyak kasus pornografi yang terjadi pada masyarakat. Dalam kurun waktu setelah disahkannya Undang-Undang Antipornografi Nomer 44 Tahun 2008 mengenai moralitas bangsa dengan penegak hukum moralitas yang kredibilitasnya masih dipertanyakan, toh pada akhirnya tetap saja kasus pornografi dan asusila semakin merebak di masyarakat. Ini membuktikan bahwa peraturan-peraturan tersebut belum efektif dan efisien keberlakuannya. Realita dan informasi mengenai hal ini kemudian disampaikan kepada masyarakat setempat melalui pementasan teater “Sidang Susila” yang dianggap menjadi media komunikasi yang sederhana dan lebih mudah dipahami karena menggunakan kelengkapan artistik berupa audio dan visualnya. Setelah terlaksana pementasan itu, muncul beberapa fenomena yang membuat penulis sebagai pimpinan produksi yang juga salah satu tokoh dan pelaku pementasan, ingin mengangkatnya kedalam sebuah penelitian yang nantinya akan dianalisis dengan teori semiologi komunikasi guna mengetahui bagaimana pementasan teater dapat menggambarkan berbagai macam fenomena di masyarakat dalam hal ini adalah pornografi, sehingga setelah pesan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 42 digilib.uns.ac.id tersampaikan, akan ada proses perbaikan selanjutnya tanpa ada polemik pro dan kontra dalam masyarakat lagi. H. METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian dipergunakan peneliti guna memberikan kerangka kerja dalam memahami objek yang akan menjadi sasaran ilmu pengetahuan.75 Dalam penelitian ini metode yang digunakan ditunjukkan untuk melihat pesan yang terkandung dalam sebuah pementasan teater terkait dengan penggambaran pornografi di Indonesia. 1. JENIS PENELITIAN Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dimana penelitian kualitatif memiliki beberapa karakteristik.76 Penelitian dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh, dengan fokus penelitian pada ‟proses‟ dan bukan pada ‟hasil‟. Dijelaskan lebih lanjut, seperti dinyatakan oleh Creswell, bahwa penelitian kualitatif menekankan pada proses yang diikuti dengan pemaknaan dan pemahaman atas suatu gejala.77 Penelitian komunikasi kualitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi atau mengemukakan prediksi-prediksi tetapi lebih dimaksudkan untuk 75 Manasse Malo, Sri Tresnaningtyas Gulardi, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta, Pusat Antar Ilmu-ilmu Sosial UI, 1986, hal. 89. 76 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 4-8. 77 to user John W. Creswell, Reseach Design :commit Quantitative and Qualitative Approaches, London, Sage Publications, 1994, hal. 145. perpustakaan.uns.ac.id 43 digilib.uns.ac.id mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.78 Riset kualitatif yang selama ini hanya populer dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, sosiologi, ilmu politik dan antropologi juga telah berkembang pesat dibanyak bidang. Pendekatan ini dalam bentuk studi kasus, sebagai suatu strategi riset banyak digunakan dalam berbagai cabang ilmu yang antara lain meliputi riset-riset kebijakan, ilmu politik, administrasi, psikologi komunitas dan sosiologi, organisasi dan manajemen, perencanaan kota dan regional. Strategi riset ini sudah banyak sekali dilakukan bagi penyusunan tesis dan disertai dalam ilmu-ilmu sosial. Bahkan kegiatan riset pendidikan yang semula hanya didasari pada pengukuran kuantitatif, definisi-definisi operasional, dan menekankan pada fakta empiris, sekarang sedang berubah arah dengan memberikan tempat yang sentral pada riset kualitatif yang menekankan analisis induktif, dengan deskripsi yang kaya nuansa, dan studi tentang persepsi manusia (Bogdan dan Biklen, 1982).79 Adapun beberapa sifat yang merupakan karakteristik pokok riset kualitatif menurut Heribertus Sutopo adalah sebagai berikut : 1. Riset kualitatif memiliki natural setting karena data dikumpulkan dari sumbernya langsung dan peneliti merupakan instrument utamanya. Peneliti menjelajahi lapangan dan manghabiskan waktu cukup lama dalam mengumpulkan data secara langsung. Walau berbagai bentuk alat penelitian (alat pengumpulan data) dapat digunakan, namun data yang dikumpulkan dengan bentuk deskripsi 78 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta:Lkis, 2007), hal. 35. Bogdan,R.C dan Biklen,S.K, Qualitatif research for education:an introduction to theory and methods, (Bostom:Allyn and Bacon,Inc, 1982) seperti dikutip oleh Heribertus Sutopo, Dasarcommit to hal.1 user Dasar Penelitian Kualitatif, (Surakarta:UNS, 1987), 79 perpustakaan.uns.ac.id 44 digilib.uns.ac.id kalimat selalu ditunjang dengan pengertian yang diperoleh dari lapangan atas pengalamannya sendiri. Demikian pula hasil pengumpulan data dengan alat-alat itu seluruhnya direview oleh peneliti dengan pengertian peneliti sebagai instrument pokok bagi analisisnya. 2. Riset kualitatif bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan berwujud kata-kata dalam kalimat atau gambar yang mempunyai arti lebih dari sekedar angka atau jumlah. Berisi catatan-catatan yang menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung presentasi. Dalam mencari pengertian-pengertian, riset kualitatif tidak memotong halaman-halaman cerita dan data lain dengan simbol-simbol angka. Peneliti mencoba menganalisis data dengan semua kekayaan data yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya, seperti pada waktu dicatat. 3. Lebih mementingkan proses dari pada produk. Bagaimana orang-orang merundingkan makna? Bagaimana istilah tertentu timbul dan digunakan? Bagaimana pikiran-pikiran tertentu timbul dan menjadi bagian dari apa yang kita sebut “common sense”? Serta bagaimana sejarah aktivitas dan peristiwa-peristiwa yang diteliti? Dilain pihak, riset kualitatif telah menyarankan bagaimana harapanharapan diterjemahkan kedalam bentuk aktivitas sehari-hari, prosedur, dan interaksi. Studi semacam ini telah memfokuskan bagaimana definisi-definisi dibentuk. 4. Riset kualitatif cenderung menganalisis data secara induktif. Data dikumpulkan bukan untuk mendukung atau menolak hipotesa yang diajukan sebelum penelitian dimulai, tetapi abstraksi disusun sebagai kekhususancommit to user 45 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kekhususan yang telah terkumpul dan dikelompokkan bersama. Teori yang dikembangkan dimulai di lapangan (bottom up), dari data yang terpisah-pisah, dan atas bukti-bukti yang terkumpul yang saling berkaitan (grounded theory). Pendekatan ini berusaha mengembangkan teori tentang apa yang telah dipelajari. Arahan yang akan diambil tiba setelah data terkumpul, setelah peneliti berada beberapa lama di lokasi penelitian. Peneliti tidak menyatukan hal-hal yang terpisah untuk menjawab teka-teki yang jawabannya sudah diketahui, melainkan menyusun suatu gambar yang terbentuk akibat bagian data yang terkumpul yang telah teruji. 5. Riset kualitatif menganggap “makna” sebagai perhatian pokoknya. Peneliti berminat pada bagaimana cara-cara orang memberi makna pada pertanyaan-pertanyaan: Asumsi-asumsi apa yang telah diajukan oleh orang-orang tentang kehidupan mereka? Apa yang mereka alami sebenarnya? Bagaimana mereka menafsirkan pengalaman-pengalamannya, dan bagaimana mereka membentuk dunia sosial mereka sendiri dalam hidupnya?80 Pada dasarnya riset kualitatif dipandang terlalu subyektif dalam menyikapi sebuah permasalahan. Tetapi memang, selama realitas itu bersumber dari hubungan antarmanusia, antarsubyek, maka makna yang dihasilkannya merupakan makna yang subyektif. Namun subyektifitas ini merupakan satu kebenaran. Seperti yang dikatakan oleh Dr.Ir.Hidayat Naatmadja (1982) dalam buku karya Heribertus Sutopo, “bahwa landasan yang dijadikan dasar tempat manusia membangun ilmu pengetahuan adalah subyektifitas. Subyektifitas kitalah yang commit to user 80 Heribertus Sutopo, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, (Surakarta: UNS, 1987), hal.6-8 perpustakaan.uns.ac.id 46 digilib.uns.ac.id akhirnya berbicara, yang mengambil keputusan mengenai kebenaran sesuatu. Bahkan subyektivitas itulah yang mengambil keputusan tentang ditegakkannya rasionalisme, empirisme, obyektivitas, dan relaitivisme dalam dunia ilmiah”(hal.5)81 Selanjutnya Hidayat mengatakan bahwa manusia sebagai subyek yang bersifat subyektif, tidak mungkin dapat didekati dengan ilmu yang bersifat obyektif. Memaksakan menggunakan ilmu yang obyektif untuk mempelajari manusia sebagai subyek, merupakan bias fundamental, kekeliruan fatal yang merupakan sumber krisis ilmu sosial dalam masa modern. Penafsiran-penafsiran dapat diteliti kebenarannya dalam suatu konteks antarsubyektif.82 Spiegelberg (1966) telah menunjukkan, meskipun orang membandingkan catatan-catatan tentang wajah fenomena yang sama, tak seorangpun dapat mengetahui apa yang umum dan apa yang pribadi. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam pengertian ini, semua pengalaman obyektif sebenarnya adalah merupakan pengalaman antarsubyektif. 2. PARADIGMA PENELITIAN Paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma konstruktivisme yang membahas mengenai kontruksi sosial seperti dikemukakan oleh Peter L Berger yang berada dalam dua kutub teori yang berbeda di satu sisi ada teori fakta sosial (yang dikeluarkan Durkheim) di satu sisi lagi ada teori definisi sosial dari alirannya Weberian.83 Pemikiran yang ditarik dari sisi fakta sosial adalah bahwa 81 Hidayat Naatmadja, Krisis Global Ilmu Pengetahuan dan Penyembuhannya, (Bandung:Penerbit IQRA, 1982), hal.5, seperti dikutip oleh Heribertus Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif; Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis, (Surakarta:UNS, 1988), hal.4 82 commit to user Ibid.,hal.4-5 83 Margaret N Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: CV Rajawali, 1979), hal. 308-310. perpustakaan.uns.ac.id 47 digilib.uns.ac.id struktur sosial sangat penting, sehingga dinyatakan bahwa manusia adalah produk dari masyarakat. Hal ini berimplikasi terhadap tindakan dan persepsi manusia, dimana kedua hal tersebut ditentukan oleh struktur yang ada dalam masyarakat.84 Berbeda halnya pada teori definisi sosial, yang menyatakan bahwa manusialah yang membentuk masyarakat, manusia memiliki kekuatan sehingga manusia mampu membentuk realitas, menyusun institusi dan norma yang ada. ”Pemikiran Berger melihat realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif). Dalam model dialektis, dimana terdapat tesa, antitesa, dan sintesa. Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat. Baik manusia maupun masyarakat merupakan sebuah dialektis dan tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk”.85 Realitas sosial terbentuk tidak dalam ruang hampa dalam ruang yang penuh dengan kepentingan-kepentingan.86 Pembentukan realitas sosial melalui proses eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi. Dimana ekternalisasi merupakan suatu usaha pencurahan ekspresi manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental dan fisik.87 Hal ini sudah menjadi dasar manusia karena manusia akan selalu mencurahkan diri ke tempat di mana manusia itu berada. Sama halnya seperti dikemukakan oleh RB Riyo Mursanto, bahwa manusia akan terus mengalami proses pembentukan menjadi manusia dari lahir hingga manusia tersebut mati. Proses ini disertai dengan interaksi manusia selama hidupnya 84 Ibid. Ibid. 86 Alex Sobur, 2004,Op.Cit, hal. 91. 87 commitTafsir to user Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Sosial atas Kenyataan, Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta, LP3ES, 1990, hal. 87. 85 perpustakaan.uns.ac.id 48 digilib.uns.ac.id dengan lingkungan luarnya. Semua ini menganggap bahwa manusia tidak berhenti untuk menemukan dirinya selalu mencurahkan dirinya dalam dunia. Ini semua terkait dengan dunia manusia yang terbuka, sehingga dunia yang dipijak oleh manusia merupakan dunia yang selalu membentuk tanpa akhir.88 Proses pembentukan realitas yang kedua adalah objektifikasi. Proses objektifikasi adalah proses dimana produk yang dihasilkan melalui eksternalisasi tadi mengalami proses objektifikasi yaitu produk yang dihasilkan manusia tersebut dilepaskan atau dipisahkan dengan penciptanya sehingga produk tadi menjadi sebuah entitas tersendiri (menjadi realita) yang lepas dari penciptanya.89 Sedangkan yang dimaksud dengan internalisasi adalah proses penyerapan produk objektifikasi oleh individu atau bisa dikatakan sebagai proses interprestasi dari sebuah kegiatan objektif sebagai pengekspresian makna, yang menjadi manifestasi dari proses subjektif sehingga secara subjektif bermakna bagi individu.90 Kembali ke pernyataan Margaret N Poloma yang menyatakan ”Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial”. Dalam pernyataan ini terlihat bahwa realitas merupakan bentukan manusia. Namun muncul pertanyaan melalui apa manusia mengkonstruksikan realitas. Media merupakan alat bagi manusia untuk mengkonstruksi realitas sosial dalam masyarakat. Media pada hakikatnya bekerja untuk membentuk atau mengkonstruksi realitas. Hal ini dikarenakan fungsi atau pekerjaan media adalah menceritakan realitas, maka 88 RB Riyo Mursanto, Peter L Berger : Realitas Sosial agama, dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta, Gramedia, 1993, hal. 227. 89 commit to user Peter L. Berger, Op.Cit, hal. 78. 90 Ibid, hal. 149. 49 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id seluruh hasil produksi dari media merupakan realitas yang telah dikonstuksikan (constructed reality).91 Media dengan bentuk nyatanya berupa bahasa, membentuk sebuah pencitraan akan suatu realitas sehingga realitas tersebut terlihat baik atau tidak baik. Seperti dikemukakan oleh Hamad bahwa bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas dapat pula sebagai pencipta dari realitas.92 Di sini terlihat bahwa media, merupakan sesuatu yang tidak berwajah netral dalam menginformasikan sesuatu hal. Keadaaan ini dipertegas melalui pernyataan Althusser mengenai media, dimana dinyatakan bahwa media dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi yang strategis karena media akan cenderung berada dekat dengan pihak yang berkuasa (ideological state apparatus).93 Pemikiran Althusser yang melihat penguasaan media pada satu kekuasaan tertentu berbeda dengan Antonio Gramsci yang melihat media merupakan sarana merepresentasikan atau ideologi ajang pertarungan penguasa juga ideologi sebagai alat sehingga bisa resistensi atau pengangkatan ideologi kelompok tersubordinasi dalam masyarakat.94 Proses pembentukan realitas oleh media, bila mengikuti Berger dalam proses pembentukan realitas maka media juga akan mengalami tiga proses tersebut yaitu eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. Pada proses awal realitas yang ditangkap media digambarkan kembali dalam produk hasil eksternalisasi media bisa berupa surat kabar, film dan lain-lain (termasuk 91 Alex Sobur, 2004, Op.Cit, hal. 88. Ibnu Hamad, Media Massa dalam Komunikasi Politik : Saluran atau Agen Politik?” dalam Jurnal Media Watch Kupas, Vol. 3, No. 1, Tahun 2001, hal. 52-60. 93 Al-Zastrouw Ng, Membaca Berita yang Tidak Diberitakan, dalam Winarko, H. Mendeteksi Bias berita : Panduan Untuk Pemula. Kajian dan Layanan Informasi untuk Kedaulatan Rakyat commit (KLIKR) untuk Garda Bangsa, Yogyakarta, 2000,to haluser v-xii. 94 Ibid. 92 perpustakaan.uns.ac.id 50 digilib.uns.ac.id pementasan teater sebagai salah satu media komunikasi). Dalam (proses produksi) proses eksternalisasi media, berbagai macam pikiran dan mind set yang berasal dari stock of knowledge yang dimiliki aktor dalam media, sehingga membuat realitas yang tergambar media tidak murni lagi. Hal tersebut (hasil eksternalisasi) diberitakan atau disampaikan terus menerus sehingga membentuk realitas tersendiri dalam masyarakat. Hal ini terkait dengan proses objektivikasi. Setelah proses objektivikasi, maka produk media tersebut dikonsumsi dan meresap dalam pemikiran masyarakat sehingga membentuk makna (meaning) atau pemahaman akan sesuatu yang digambarkan oleh media tadi. Kalau dalam pandangan positivistik mengatakan bahwa realitas yang ada adalah riil, maka dalam proses penciptaan realitas dalam pandangan kritis berposisi sebaliknya dengan pandangan positivistik, dalam pandangan kritis tidak ada realitas yang benar-benar riil, karena realitas yang muncul sebenarnya adalah realitas semu yang terbentuk bukan melalui proses alami, tetapi oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Pandangan kritis ini agak mirip dengan pandangan konstruktivisme yang melihat realitas sebagai hasil konstruksi manusia atas realitas. Akan tetapi, pandangan kritis menolak pandangan konstruktivisme yang seolah melihat manusia sebagai determinan utama yang bisa menafsirkan dan mengkonstruksi realitas. Sebab, konstruksi dibatasi oleh struktur sosial tertentu, bahkan yang sering terjadi manusia tinggal menerima begitu saja hasil konstruksi dari struktur sosial yang sudah timpang tersebut. Misalnya, hubungan antara lakilaki dan perempuan. Pandangan positivistik akan melihat hubungan laki-laki commit to user 51 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perempuan tersebut sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan memang demikian terjadinya. Sementara pandangan konstruktivisme melihat bagaimana setiap orang pada dasarnya mempunyai pemikiran dan bisa mengkonstruksi hubungan tersebut yang tentu saja melibatkan emosi atau pengalaman hidup personal. Pandangan semacam ini yang ditolak oleh paradigma kritis, yang yakin bahwa individu meskipun mempunyai kebebasan untuk melakukan konstruksi, tetapi ia juga dibatasi oleh struktur sosial di mana dia diposisikan dan akan menafsirkan realitas tersebut berdasarkan posisi dia berada.95 Demikian halnya dengan aktor yang membuat realitas dalam hal ini misalnya sutradara, walaupun ia memiliki kebebasan dalam menafsirkan realitas guna membuat realitas kembali, tetap saja ia dibatasi struktur dimana ia berada. Dalam proses objektivikasi, hasil produksi dari aktor pembentuk realitas termasuk media, lepas dari kontrol si pembuat sehingga pada tahapan ini realitas yang dibentuk tidak lagi dapat dipengaruhi oleh pembuatnya, bahkan realitas tersebut akan memiliki pengaruh balik kepada pembuatnya sendiri. Proses yang disebut objektifikasi ini menyebutkan bahwa hasil yang dicapai setelah mengalami proses eksternalisasi dalam, hasil ini dapat berupa mental atau fisik yang mana hasil ini akan menjadi realitas objektif yang dapat berefek kepada pembuatnya juga, sebagai sebuah proses yang berada diluar dan berlainan dengan manusia yang menghasilkannya.96 Sedangkan Roland Barthes menyatakan bahwa dalam mengkonsumsi sebuah realitas tersebut bisa berbeda dengan apa yang 95 96 Eriyanto,Op.Cit., hal. 54. Ibid., hal. 14-15. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 52 digilib.uns.ac.id diinginkan oleh pembuat realitas. Menurut Barthes ketika proses pengkonsumsian sebuah realitas bisa berbentuk teks ataupun visual dan audio lainnya maka yang ada hanyalah teks dari realitas tersebut, sehingga konsumen memiliki kekuasaan atas pembacaan teks tersebut.97 3. SUBYEK PENELITIAN Subjek penelitian ini ada 3 unsur, yaitu: 1. Video dokumentasi pementasan “Sidang Susila” oleh Teater Sopo Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, di Gedung Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah. 2. Subjek penelitian yang kedua adalah komunikator, yaitu orang-orang yang tergabung dalam tim produksi dan pementasan teater “Sidang Susila” di Semarang, Salatiga dan Surakarta. Sehingga dapat diperoleh informasi dan data mengenai penggambaran pornografi di Indonesia yang telah diimplementasikan kedalam pementasan teater “Sidang Susila” dengan analisis semiologi komunikasi. 3. Literatur atau kepustakaan yang terkait dengan pornografi secara keseluruhan beserta persoalannya maupun yang spesifik membahas tentang pementasan teater “Sidang Susila”. 97 Eric Santoso, “Film, Teks dan commit to user http://www.layarperak.com/news/articles/2005/index.php?id=1112733428barthes Agustus 2012) Penonton”, (diakses 2 perpustakaan.uns.ac.id 53 digilib.uns.ac.id 4. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Dalam penelitian kualitatif sumber data dipilih dan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Proses pengumpulan data mengutamakan perspektif emic (mementingkan bagaimana responden memandang dan menafsirkan dunia sekitarnya). Sesuai dengan jenis data, penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data dengan menggunakan data primer dan data sekunder.98 A.) DATA PRIMER Data primer merupakan data langsung yang diambil dari sumbernya. Dalam penelitian ini data langsung diambil dari dokumentasi yang nantinya akan menjadi referensi utama korpus penelitian. 1.) Dokumentasi Dokumentasi adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan verbal maupun non verbal seperti buku-buku, koran, majalah, ensiklopedia, jurnal, kamus, artikel, foto dan video pementasan serta sumber-sumber lain yang berhubungan dengan tema penelitian ini.99 B.) DATA SEKUNDER Merupakan data yang didapat dari sumber kedua seperti studi pustaka, studi media dan sumber lain. Data yang diambil bisa berupa pendapat, kutipan, berita, artikel atau lainnya. Data sekunder ini bermanfaat untuk melengkapi, 98 99 commit to user(Jakarta: Kencana, 2006), hal.58. Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Ibid. perpustakaan.uns.ac.id 54 digilib.uns.ac.id memperkuat atau membuktikan data primer. Pada penelitian ini, data sekunder mencakup observasi dan wawancara.100 1.) Observasi Metode ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung tentang kondisi di lapangan, baik yang berupa keadaan fisik maupun perilaku yang terjadi selama berlangsungnya penelitian.101 Dalam pengertian sempit observasi berarti pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena yang diselidiki. Secara singkat, observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu gejala pada objek penelitian. Unsur-unsur yang tampak itu disebut data atau informasi yang harus diamati dan dicatat secara benar dan lengkap.102 Observasi ini dilakukan agar penulis dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang keadaan lingkungan dan animo masyarakat terhadap pementasan teater. 2.) Interview (wawancara) Interview atau wawancara adalah alat yang digunakan dalam komunikasi tatap muka (face to face) yang diajukan oleh penulis untuk mencari informasi yang berbentuk pertanyaan yang nantinya akan dijawab oleh narasumber yang telah ditentukan oleh penulis guna melengkapi data yang dibutuhkan selama penelitian. Wawancara merupakan salah satu yang efektif untuk mengumpulkan data sosial yang berbentuk tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, hasil 100 Ibid. Ibid. 102 commit to user Moh.Soehada, Buku Daras; Pengantar Metode Penelitian Sosial Kualitatif (Yogyakarta: Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2004), hal.74 101 55 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pemikiran dan pengetahuan seseorang tentang segala sesuatu yang ditanyakan kepada para narasumber. Wawancara menurut Denzim dan Lincoln adalah percakapan, seni dalam bertanya dan mendengar. Wawancara dalam penelitian kualitatif tidak bersifat netral, melainkan dapat dipengaruhi oleh kreatifitas individu dalam mempengaruhi keadaan ketika berlangsungnya wawancara.103 Pada penelitian ini, untuk mengoperasionalkan metode tersebut penulis menggunakan jenis wawancara terstruktur. Pada tekhnik pengumpulan data jenis ini, penulis sudah membuat pertanyaan yang akan diberikan kepada komunikator dan komunikan yang terlibat dalam pementasan teater “Sidang Susila” dalam memberikan gambaran tentang pornografi yang dieksplorasikan dalam pementasan. Kemudian hasil dari wawancara tersebut akan diolah kembali oleh penulis yang nantinya akan digunakan sebagai data sekunder atau tambahan dalam penelitian ini. 5. TEKNIK ANALISIS DATA Tekhnik analisis data adalah sebuah penyederhanaan ke dalam bentuk yang lebih ringkas dan sistematis sehingga dapat di interpretasikan. Sesuai dengan sifat penelitian ini, maka dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu langkah-langkah melakukan reinterpretasi objektif tentang fenomena sosial yang terdapat dalam permasalahan yang diteliti. Data yang disajikan dalam bentuk kata verbal perlu diolah terlebih dahulu kemudian mulai commit to user 103 Ibid., hal.48 perpustakaan.uns.ac.id 56 digilib.uns.ac.id menuliskan hasil observasi, wawancara, dan kajian dokumentasi menggunakan analisis semiotik yang nantinya akan memberikan pemaknaan terhadap simbolsimbol yang terdapat dalam pementasan kemudian menyajikannya. Analisis data dilakukan guna mempermudah peneliti dalam mengambil kesimpulan. Sedangkan tekhnik pertama yang digunakan untuk menganalisis data menggunakan data kualitatif deskripstif, yaitu berupa pesan-pesan verbal maupun non verbal dengan yang terdapat dalam setiap tanda yang termuat dalam pementasan “Sidang Susila”, kemudian dianalisis menggunakan teori semiotika. Analisa data dalam penelitian ini menggunakan kaidah tafsir semiologi komunikasi Andrik Purwasito yang tertuang dalam buku Message Studies (2003), yang pada intinya merupakan alat uji tanda-tanda dalam pesan diangkat dari motiv komunikator. Dengan semiologi komunikasi akan digali hakekat makna dalam sistem tanda yang beranjak keluar dari makna aslinya, sehingga didapatkan makna tambahan yang tidak lepas dari sistem budaya yang berlaku di tempat tanda itu dilahirkan.104 commit to user Andrik Purwasito, Message Studies (Surakarta: Dalem Purwahadiningratan Press, 2003), hal.37-41 104