13 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS Bab ini

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
Bab ini menguraikan mengenai kajian pustaka dan pengembangan
hipotesis. Bab ini terdiri atas dua bagian utama, yaitu sub bab 2.1 menguraikan
mengenai landasan teori dan sub bab 2.2 menguraikan mengenai pengembangan
hipotesis.
2.1
Landasan Teori
Secara terperinci sub bab 2.1 menguraikan mengenai teori keagenan, teori
akuntansi positif, asimetri informasi, laba, manajemen laba, income smoothing,
cash holding, bonus plan, reputasi auditor, profitabilitas, dan leverage.
2.1.1 Agency theory
Teori agensi merupakan teori yang sangat berkaitan dengan tindakan
manajemen laba atau praktik perataan laba yang dilakukan oleh perusahaan.
Menurut Anthony dan Govindarajan (2005) dalam Budiasih (2009), teori agensi
adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Agency theory tidak
dapat dilepaskan dari kedua belah pihak, baik prinsipal maupun agen merupakan
pelaku utama dan keduanya mempunyai bargaining position masing-masing
dalam menempatkan posisi, peran dan kedudukannya. Prinsipal sebagai pemilik
modal memiliki akses pada informasi internal perusahaan sedangkan agen sebagai
pelaku dalam praktik operasional perusahaan mempunyai informasi tentang
operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh.
13
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan
bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia
pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki
daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan
(3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Dari asumsi sifat dasar
manusia tersebut dapat dilihat bahwa konflik agensi yang sering terjadi antara
manajer dengan pemegang saham dipicu adanya sifat dasar tersebut.
Teori keagenan menjelaskan hubungan antara dua pihak yang terlibat
dalam suatu kontrak yang terdiri atas agen sebagai pihak yang diberikan tanggung
jawab untuk suatu tugas dan prinsipal sebagai pihak yang memberi tugas. Kondisi
ini mengandung konsekuensi bahwa kedua belah pihak, baik agen maupun
prinsipal, akan berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya masing-masing (Jensen
& Meckling, 1976).
Dalam kaitannya dengan keagenan, manajemen memiliki lebih banyak
informasi
internal
perusahaan
dibandingkan
dengan
prinsipal,
sehingga
memungkinkan agen untuk memaksimalkan pemenuhan kepentingan pribadinya
dengan cara ilegal yaitu moral hazard dan adverse selection (Hendrikson dan
Breda, 2000 dalam Prasetya, 2013). Moral hazard dapat disebut juga sebagai
perilaku menyimpang dari kontrak kerja, sedangkan adverse selection dapat
disebut juga sebagai penyimpangan dari penggunaan informasi sesuai yang
dikehendaki prinsipal. Informasi akuntansi yang digunakan prinsipal sebagai
acuan untuk mengukur kinerja manajer dan juga sebagai dasar pemberian reward
membuat timbulnya disfunctional behavior dikalangan manajer dan cenderung
14
melakukan perataan laba dengan memanipulasi informasi sedemikian rupa agar
kinerja manajer terlihat bagus.
Konsep teori keagenan menyatakan bahwa praktik manajemen laba
dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen dan pemilik yang timbul
ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat
kemakmuran yang dikehendakinya. Dalam hubungan keagenan, manajer memiliki
asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaan, seperti kreditor dan
investor. Dengan adanya asimetri informasi antara manajemen (agent) dengan
pemilik (principal) akan memberi kesempatan kepada manajer untuk melakukan
manajemen laba (earnings management) sehingga akan menyesatkan pemilik
(pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan (Sulistiani, 2013).
Dalam kondisi demikian, manajer dapat menggunakan informasi yang
diketahuinya
untuk
memanipulasi
pelaporan
keuangan
dalam
usaha
memaksimalkan kemakmurannya (Salno dan Baridwan, 2000).
Pembahasan konsep perataan laba dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan teori keagenan (Salno dan Baridwan, 2000). Lambert (1984:165)
dalam Dewi (2014) juga menggunakan teori keagenan untuk memperlihatkan
adanya perjanjian kompensasi optimal yang ditawarkan prinsipal sehingga
menimbulkan motivasi untuk melakukan income smoothing.
15
2.1.2 Teori akuntansi positif
Teori akuntansi positif adalah teori yang memprediksi tindakan pemilihan
kebijakan akuntansi oleh manajer dan bagaimana manajer akan merespon
kebijakan akuntansi baru yang diusulkan (Scott, 2006). Watts dan Zimmerman
(1986) merumuskan pemahaman tentang perataan laba (income smoothing) yang
dirumuskan dalam Positive Accounting Theory (PAT), yaitu anggapan bahwa
tujuan dari teori akuntansi adalah untuk menjelaskan praktik-praktik akuntansi,
diantaranya:
1) The bonus plan hypothesis
Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer
perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser
laba dari masa depan ke masa kini sehingga dapat menaikkan laba masa
kini.
2) Debt convenant hypothesis
Pada perusahan yang mempunyai debt to equity ratio tinggi, manajer
perusahaan cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat
meningkatkan pendapatan atau laba. Hal ini karena perusahaan dengan
debt to equity ratio yang tinggi akan mengalami kesulitan dalam
memperoleh dana tambahan dari pihak kreditur bahkan perusahaan
terancam melanggar perjanjian utang.
3) Political cost hypothesis
Ketika perusahaan mengeluarkan biaya untuk kepentingan politik dengan
jumlah
yang
besar,
maka
perusahaan
16
tersebut
akan
cenderung
menggunakan metode akuntansi yang dapat membuat pelaporan laba pada
periode berjalan lebih rendah daripada pelaporan laba sesungguhnya.
Semakin besar perusahaan, maka biaya politik yang terjadi akan
cenderung semakin besar pula.
2.1.3 Asimetri informasi
Para pengguna internal (para manajemen) mengetahui peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada perusahaan, sedangkan pihak eksternal yang tidak berada di
perusahaan secara langsung, tidak mengetahui informasi tersebut sehingga tingkat
ketergantungan manajemen terhadap informasi akuntansi tidak sebesar para
pengguna eksternal. Salah satu kendala yang akan muncul antara agent dan
principal adalah adanya asimetri informasi.
Asimetri informasi adalah suatu keadaan dimana agent mempunyai
informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dan prospek dimasa yang akan
datang dibandingkan dengan principal. Kondisi ini memberikan kesempatan
kepada agent untuk menggunakan informasi yang diketahuinya dalam
memanipulasi pelaporan keuangan.
Astika (2011:4) menyatakan terdapat dua bentuk asimetri informasi, yaitu:
1) Adverse selection, yaitu jenis asimetri informasi dimana salah satu pihak
mempunyai informasi lebih dibanding dengan yang lainnya dalam suatu
transaksi bisnis atau potensial transaksi.
2) Moral hazard, yaitu tipe asimetri informasi yang menggambarkan satu atau
lebih kelompok melakukan transaksi bisnis, serta pihak atau kelompok
17
tersebut dapat mengendalikan tindakan-tindakannya secara menyeluruh atas
transaksi bisnis yang dilakukan, sedangkan kelompok lain tidak memiliki
potensi tersebut.
Schift dan Lewin (1970) dalam Ujiyanto dan Bambang (2007),
menyatakan bahwa agent berada pada posisi yang memiliki lebih banyak
informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara
keseluruhan dibandingkan dengan principal. Dengan asumsi bahwa individuindividu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan
informasi
asimetri
yang
dimilikinya
akan
mendorong
agent
untuk
menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui principal. Dengan
adanya kondisi yang asimetri, maka agent dapat mempengaruhi angka-angka
akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan
manajemen laba. Sehingga dalam kondisi semacam ini principal seringkali pada
posisi yang tidak diuntungkan.
2.1.4 Laba
Laba sangat penting bagi suatu perusahaan, karena berhasil atau tidak
suatu perusahaan pada umumnya diukur dengan laba yang diperoleh. Menurut
Suwardjono (2008:464), laba dimaknai sebagai imbalan atas upaya perusahaan
menghasilkan barang dan jasa. Ini berarti laba merupakan kelebihan pendapatan
diatas biaya. Menurut Soemarso (2004:245), laba adalah selisih lebih pendapatan
atas beban sehubungan dengan usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut
selama periode tertentu. Dapat disimpulkan bahwa laba berasal dari semua
18
transaksi yang terjadi di perusahaan dan akan mempengaruhi kegiatan perusahaan
pada suatu periode dan laba didapat dari selisih antara pendapatan dengan beban.
Laba akuntansi (accounting income) didefinisikan sebagai perbedaan
antara pendapatan yang direalisasi dari transaksi yang terjadi selama satu periode
dengan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut. Wild dan Subramanyan
(2005:411) menyebutkan bahwa laba akuntansi (accounting income) merupakan
produk lingkup pelaporan keuangan yang melibatkan standar akuntansi,
mekanisme pengaturan, dan insentif manajer.
Di sisi lain, akuntan mendefinisikan laba dari sudut pandang perusahaan
sebagai suatu kesatuan. Laba akuntansi sebagai (accounting income) secara
operasional didefinisikan sebagai perbedaan pendapatan yang direalisasikan dari
transaksi yang terjadi selama satu periode dengan biaya yang berkaitan dengan
pendapatan tersebut.
Belkaoui (2007:229) menyebutkan bahwa laba akuntansi mempunyai lima
karakteristik sebagai berikut:
1) Laba akuntansi didasarkan pada transaksi aktual yang diadakan oleh
perusahaan (terutama pendapatan yang berasal dari penjualan barang atau
jasa dikurangi biaya yang dibutuhkan untuk mencapai penjualan tersebut)
2) Laba akuntansi didasarkan pada postulat periodisasi dan mengacu pada
kinerja keuangan perusahaan selama satu periode tertentu.
3) Laba akuntansi didasarkan pada prinsip pendapatan yang memerlukan
pemahaman khusus tentang definisi, pengukuran dan pengakuan
pendapatan.
19
4) Laba akuntansi memerlukan pengukuran tentang biaya (expenses) dalam
bentuk biaya historis.
5) Laba akuntansi menghendaki adanya penandingan (matching) antara
pendapatan dan biaya yang relevan dan berkaitan dengan pendapatan
tersebut.
2.1.5 Manajemen laba
Manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan
atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan
manajemen. Menurut Schipper (dalam Jafarpour, 2014), manajemen laba adalah
campur tangan yang disengaja dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan
maksud untuk memperoleh keuntungan. Scott (2006:369) membagi cara
pemahaman atas manajemen laba menjadi dua, yaitu sebagai perilaku oportunistik
manajer dan sebagai efficient contracting. Manajemen laba sebagai perilaku
oportunistik, manajemen laba dilakukan untuk memaksimumkan utilitas
perusahaan dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political
cost (opportunistic earnings management). Manajemen laba dari perspektif
efficient contracting (efficient earnings management) dapat dipahami sebagai cara
untuk memberi manajer suatu fleksibilitas guna melindungi diri dan perusahaan
dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga.
20
Menurut Scott dalam Indriyani (2009), pola manajemen laba dapat
dilakukan dengan cara:
a) Taking a bath
Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru
dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan
dapat meningkatkan laba di masa yang akan datang.
b) Income minimization
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat laba yang tinggi,
sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis
dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
c) Income maximization
Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net
income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini
dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian
hutang.
d) Income smoothing (perataan laba)
Perataan laba merupakan salah satu bentuk manajemen laba yang
dilakukan dengan cara membuat laba akuntansi relatif konsisten (rata atau
smooth) dari periode ke periode.
21
2.1.6 Income smoothing (perataan laba)
Perataan laba (income smoothing) merupakan salah satu pola dari
manajemen laba dimana manajemen berusaha menstabilkan laba perusahaan
selama beberapa periode dengan tujuan tertentu. Menurut Belkaoui (2007:192),
perataan laba merupakan upaya yang sengaja dilakukan dengan melakukan
normalisasi laba untuk mencapai tingkatan atau kinerja tren yang diinginkan dan
suatu upaya yang dilakukan oleh manajer dengan sengaja untuk memperkecil
fluktuasi laba pada tingkat yang dianggap normal. Perataan laba (income
smoothing) menurut Fudenberg dan Tirole dikutip oleh Stolowy dan Breton
(2000) dalam Dewi dan Zulaikha (2011) mengemukakan bahwa income
smoothing (perataan laba) adalah suatu proses manipulasi laba yang sengaja diatur
pada waktu terjadinya atau usaha yang sengaja dirancang berkaitan dengan
pengurangan arus laba yang dilaporkan, bukan pada saat menambah jumlah laba
yang dilaporkan dalam jangka panjang.
Tindakan income smoothing sengaja dilakukan manajemen guna mencapai
posisi laba yang diinginkan dalam laporan laba rugi perusahaan guna menarik
minat pasar dalam berinvestasi, karena perhatian investor seringkali hanya
terpusat pada informasi laba tersebut (Subekti, 2005). Situasi ini dimanfaatkan
oleh manajer untuk melakukan perataan laba dengan tujuan untuk menstabilkan
laba sesuai dengan kepentingannya, dengan harapan investor dapat memiliki
motivasi yang tinggi untuk berinvestasi dalam perusahaan.
22
Menurut Subekti (2005), dimensi perataan laba pada dasarnya adalah cara
yang digunakan untuk melakukan perataan laba. Ronen dan Sadan (1981) dalam
Mostafa, dkk. (2013) memungkinkan income smoothing melalui tiga metode,
yaitu:
a) Perataan melalui terjadinya peristiwa dan/atau identifikasi
Ini berarti manajemen dapat memilih saat terjadinya peristiwa keuangan
dengan cara memberikan efek penurunan variabel periodikal menjadi
laporan pendapatan.
b) Perataan melalui dedikasi
Manajemen memiliki kewenangan dengan cara mengendalikan otorisasi
pada keuangan yang merupakan efek dari peristiwa finansial yang ada.
c) Perataan melalui klasifikasi
Manajemen
perusahaan
melakukan
perataan
laba
dengan
cara
mengklasifikasikan item-item dalam laba (extra-ordinary items atau
ordinary items) untuk menimbulkan kesan yang lebih merata pada laporan
keuangan yang dilaporkan.
Menurut Nasir, dkk (2002) dalam Amanza (2014) perataan laba dapat
diakibatkan oleh dua jenis, yaitu:
1) Natural smoothing (perataan alami)
Perataan laba ini terjadi secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak
manapun. Aliran laba dalam perataan ini secara alami menunjukkan
kestabilan dengan aliran laba yang merata untuk setiap tahunnya sehingga
tidak membutuhkan perhatian yang khusus bagi manajemen.
23
2) Intentional Smoothing (Perataan yang disengaja)
Biasanya dihubungkan dengan tindakan manajemen. Dapat dikatakan
bahwa intentional smoothing berkenaan dengan situasi dimana rangkaian
laba yang dilaporkan dipengaruhi oleh tindakan manajemen. Intentional
smoothing dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a) Real smoothing
Merupakan usaha yang diambil oleh manajemen dalam merespon
perubahan kondisi ekonomi. Dapat juga berarti perataan laba real
melalui transaksi nyata yaitu, dengan mengatur (menunda atau
mempercepat) transaksi. Perataan ini menyangkut pemilihan waktu
kejadian transaksi riil untuk mencapai sasaran perataan.
b) Artificial smoothing
Merupakan suatu usaha yang disengaja untuk mengurangi variabilitas
aliran laba secara artificial. Perataan laba ini menerapkan prosedur
akuntansi untuk memindahkan biaya dan pendapatan dari satu periode
ke periode tertentu. Dengan kata lain, artificial smoothing dicapai
dengan menggunakan kebebasan memilih prosedur akuntansi yang
memperbolehkan perubahan cost dan revenue dari suatu periode
akuntansi.
24
Ayres (1994) dalam Narsa et al. (2003) mengungkapkan tiga faktor yang
dapat dikaitkan dengan munculnya income smoothing, yaitu:
1) Manajemen akrual (accruals management)
Faktor ini biasa dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat
mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi
merupakan wewenang dari para manajer. Misalnya, dengan mempercepat
atau menunda pengakuan pendapatan dan menganggap biaya sebagai suatu
tambahan investasi.
2) Penerapan suatu kebijakan akuntansi (adoption of mandatory accounting
changes)
Faktor ini berkaitan dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu
kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh perusahaan yaitu, antara
menerapkan lebih awal dari waktu yang diterapkan atau menunda sampai
saat berlakunya kebijakan tersebut. Para manajer tentu akan memilih
menerapkan kebijaksanaan akuntansi bila dengan penerapan tersebut dapat
mempengaruhi baik aliran kas maupun keuntungan perusahaan.
3) Perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes)
Faktor ini berkaitan dengan upaya manajer untuk mengganti atau
mengubah suatu metode akuntansi tertentu di antara sekian banyak metode
yang dapat dipilih dan tersedia serta diakui oleh badan akuntansi yang ada.
Contohnya, penggantian metode-metode pencatatan, mengubah metode
penyusutan aktiva dari metode garis lurus ke metode yang dipercepat atau
sebaliknya.
25
2.1.7 Cash holding
Kas merupakan aset yang paling likuid yang ada dalam perusahaan yang
berfungsi sebagai alat yang digunakan oleh manajer dalam menjalankan
operasionalnya. Kas adalah salah satu aset yang bisa dikonversikan dalam bentuk
aset jenis lainnya. Adanya karakteristik yang unik tersebut, membuat kas menjadi
aset yang paling mungkin untuk disalahgunakan. Selain itu, kas juga merupakan
aset yang yang rentan terhadap perilaku yang tidak semestinya oleh manajemen
(Isshaq, et al., 2009).
Menurut Teruel et al. (2009) dalam Poluan, cash holdings merupakan
rasio perbandingan antara jumlah kas dan setara kas yang dimiliki perusahaan
dengan jumlah aktiva perusahaan secara keseluruhan. Swanson (2006) dalam
Poluan (2013) mengatakan tujuan perusahaan memiliki cash holding adalah untuk
membayar hutang, membiayai kesempatan investasi yang menguntungkan, serta
sebagai cadangan apabila terdapat kejadian-kejadian yang tidak terduga dimasa
yang akan datang. Sedangkan Saddour (2006) mengatakan cash holding bisa di
bagikan kepada pemegang saham dalam bentuk deviden, melakukan pembelian
kembali saham, melakukan investasi dan disimpan untuk kepentingan perusahaan
di masa depan.
Menurut Talebnia dan Darvish (2012) dalam Cendy (2013), cara
menggunakan kepemilikan kas internal adalah sebuah keputusan penting dalam
konflik antara pemegang saham dan manajer. Pada teori agensi, hal ini
meningkatkan keinginan manajemen untuk memegang uang tunai (cash holding).
Di sisi lain, kinerja manajer difokuskan kepada pemegang saham, sehingga
26
manajer harus mempertahankan kas perusahaan agar tetap stabil. Tanggung jawab
ini dapat dicapai dengan salah satu alat manajemen yaitu perataan laba atau
income smoothing (Cendy, 2013).
Berdasarkan The General Theory of Employment, Interest, and Money,
Keynes dalam Cendy (2013) menjelaskan bahwa terdapat tiga alasan atau motif
kepemilikan kas, yaitu: (1) Motif transaksi. Dalam hal ini, kas digunakan untuk
membayar barang dan jasa atau transaksi sehari-hari (2) Motif berjaga-jaga.
Dalam hal ini, kas digunakan untuk investasi (misalnya berupa saham atau
obligasi) karena investasi dianggap aman karena jarang kehilangan nilai (3) Motif
Spekulasi. Dalam hal ini, para investor mengharapkan tingkat pengembalian yang
sebesar-besarnya dari investasi yang dilakukan.
Myers dan Majluf (1984) dalam Dewi (2015) mengganggap bahwa tidak
ada tingkat optimal untuk menyimpan kas tetapi kas tersebut lebih memiliki peran
sebagai laba ditahan atau kebutuhan investasi. Jumlah kepemilikan kas di
perusahaan
biasanya
ditentukan
oleh
manajer
keuangan
perusahaaan.
Ketersediaan jumlah kas yang optimal bagi perusahaan dapat mempengaruhi
keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan tersebut (Prasentianto, 2014).
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Chung et al. (2011), mereka dapat
menunjukkan bahwa perusahaan terus mengurangi penahanan kas ketika tingkat
asimetri informasi yang lebih tinggi. Mereka menginterpretasikan hasil ini sebagai
bukti bahwa manajer lebih leluasa untuk menentukan tingkat penahanan kas
perusahaan ketika sulit bagi pemegang saham luar untuk memantau dan
menafsirkan tindakan mereka.
27
Menurut Oppler et al. (1999) dalam Cendy (2013), ada tiga teori tentang
mengapa perusahaan menahan kas terlalu banyak, yaitu:
1) Teori trade off
Dalam teori trade off, kepemilikan kas menyatakan bahwa tingkat
likuiditas yang optimal merupakan trade-off antara biaya dan manfaat dari
kas ditangan. Manfaat dari cash holding yaitu, mengurangi kesulitan
keuangan, kas tidak menghalangi kebijakan investasi ketika kendala
keuangan terpenuhi, dan kas menurunkan biaya penggalangan dana
eksternal atau melikuidasi aset. Biaya besar yang dikeluarkan dari kas
ditangan disisi lain merupakan biaya peluang dari modal yang
diinvestasikan dalam aset yang likuid.
2) Teori pecking order
Berdasarkan teori ini, ketika membutuhkan dana untuk keperluan
pembiayaan investasi perusahaan, seharusnya perusahaan membiayai
kesempatan investasi dengan dana internal terlebih dahulu. Jika keperluan
untuk investasi tidak bisa didapat dari pendanaan internal, maka
perusahaan akan menggunakan pendanaan eksternal dari utang sebagai
sumber pendanaan kedua dan ekuitas sebagai sumber pendanaan terakhir.
3) Teori arus kas bebas
Menurut teori arus kas bebas, masalah akan timbul jika perusahaan
memiliki free cash flow dalam jumlah besar. Pada umumnya, shareholder
mengharapkan kelebihan kas tersebut didistribusikan kepada shareholder
dalam bentuk dividen, sementara pihak manajemen lebih menginginkan
28
menahan kas tersebut dengan alasan untuk keperluan pendanaan proyekproyek tertentu.
2.1.8 Bonus plan
Tujuan dari pendekatan teori akuntansi positif adalah untuk menerangkan
dan meramalkan praktik akuntansi. Salah satu contoh dalam penggunaan teori
positif ini adalah hipotesis bonus plan. Menurut Harahap (2011:112), hipotesis ini
menunjukkan bahwa manajemen yang remunerasinya didasarkan pada bonus,
maka mereka akan berusaha memaksimalkan pendapatannya melalui pendekatan
akuntansi yang dapat menaikkan laba sehingga bonusnya tinggi yang bisa menuju
arah creative accounting. Dalam penyusunan laporan keuangan manajemen tentu
akan memilih standar akuntansi yang dapat menaikkan laba atau bonus mereka.
Teori ini akan dapat menjelaskan atau memprediksi perilaku manajemen dalam
mana bonus plan diberlakukan.
Bonus plan seringkali dikaitkan dengan kesempatan bagi manajer untuk
menikmati
bagian
keuntungan
tertentu
bilamana
perusahaan
mampu
menghasilkan suatu tingkat keuntungan tertentu yang telah ditargetkan. Target
tersebut biasanya dinyatakan dalam satuan angka misalnya, keuntungan bersih
perusahaan dalam suatu periode akuntansi tertentu atau tingkat pengembalian
terhadap nilai buku aset perusahaan, atau pencapaian harga saham tertentu di
pasar modal (Setiawan, 2011).
Hipotesis rencana bonus (bonus plan hypothesis) menyatakan bahwa
manajer perusahaan dengan rencana bonus lebih cenderung memilih prosedur
29
akuntansi yang memindah laba untuk periode mendatang menjadi laba periode
sekarang (Watts dan Zimmerman dalam Narsa et al., 2003). Karena alasan-alasan
tertentu, manajer memiliki inisiatif untuk memanipulasi atau mengatur laba yang
dilaporkan dengan menggunakan kewenangannya melalui pemilihan metode
akuntansi yang dapat mempengaruhi besar kecilnya laba.
2.1.9 Reputasi auditor
Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah badan usaha yang didirikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapatkan izin
usaha berdasarkan Undang-undang Akuntan Publik (Jusup, 2014:21). Reputasi
KAP dapat diartikan sebagai pandangan (image) atas nama baik, prestasi dan
kepercayaan publik yang disandang KAP tersebut. Jasa Kantor Akuntan Publik
(KAP) digunakan oleh perusahaan dalam menyampaikan suatu laporan atau
informasi akan kinerja perusahaan agar memperoleh keakuratan dan terpercaya.
Perusahaan yang menggunakan jasa dari kantor akuntan publik besar seperti the
big four cenderung lebih dipilih investor karena menghasilkan kualitas audit yang
baik (Handayani, 2013).
Indonesia memiliki kantor akuntan publik yang berafiliasi dengan the big
four, sehingga dapat memudahkan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia
apabila perusahaannya ingin diaudit oleh KAP yang memiliki reputasi (Ariyani,
2014). Kantor akuntan publik di Indonesia yang berafiliasi dengan the big four
antara lain:
30
1) KAP Tanudiredja, Wibisana & Rekan berafiliasi dengan PwC (Price
Waterhouse Coopers).
2) KAP Osman Bing Satrio berafiliasi dengan Deloitte Tauche Thomatsu.
3) KAP Purwantoro, Suherman & Surja berafiliasi dengan Ernest & Young.
4) KAP Sidharta Widjaja berafiliasi dengan KPMG (Klynfeld Peat Marwick
Godelar).
2.1.10 Profitabilitas
Kemampuan memperoleh laba bisa diukur dari modal sendiri maupun dari
seluruh dana yang diinvestasikan ke dalam perusahaan (Wiagustini, 2010:76).
Menurut Kasmir (2013:196), penggunaan rasio profitabilitas merupakan rasio
untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga
memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini
ditunjukkan dari hasil penjualan dan pendapatan investasi. Pada dasarnya
penggunaan rasio ini menunjukkan efisiensi perusahaan.
Juniarti dan Carolina (2005), menyatakan profitabilitas sebagai salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap praktik perataan laba, tindakan perataan laba
cenderung dilakukan oleh perusahaan yang profitabilitasnya rendah dan
perusahaan dalam industri yang lebih berisiko. Profitabilitas sering dijadikan
patokan oleh investor dan kreditur dalam menilai sehat atau tidaknya suatu
perusahaan. Profitabilitas akan mempengaruhi keputusan investasi dan pemberian
kredit. Perusahaaan dengan profitabilitas rendah akan cenderung untuk melakukan
31
perataan laba dibandingkan perusahaan dengan profitabilitas tinggi. Perataan laba
dilakukan agar image perusahaan terlihat lebih bagus (Abiprayu, 2011).
Tujuan akhir yang ingin dicapai suatu perusahaan yang terpenting adalah
memperoleh laba atau profit yang maksimal. Diperolehnya laba yang maksimal
sesuai yang telah ditargetkan, perusahaan dapat berbuat banyak bagi kesejahteraan
pemilik, karyawan serta meningkatan mutu perusahaan dan melakukan investasi
baru. Tujuan akhir tersebut menuntut manajemen perusahaan untuk mampu
memenuhi target yang telah ditetapkan.
Rasio
profitabilitas
merupakan
rasio
untuk
menilai
kemampuan
perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran
tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal tersebut ditunjukkan dalam
hubungannya dengan penjualan maupun investasi. Dimana semakin baik rasio
profitabilitas, maka semakin baik perusahaan dalam memperoleh keuntungan
(Fahmi, 2014:68). Profitabilitas adalah ukuran penting yang digunakan investor
dalam menilai apakah suatu perusahaan sehat atau tidak untuk menjadi tempat
berinvestasi,
yang
selanjutnya
hasil
ini
mempengaruhi
investor
untuk
memutuskan membeli atau menjual saham.
2.1.11 Leverage
Leverage merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana
aktiva perushaan dibiayai dengan utang. Wiagustini (2010:76) menyebutkan
leverage adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang atau mengukur sejauh mana
32
perusahaan dibiayai oleh hutang. Rasio ini mempunyai beberapa implikasi: (1)
para pemberi kredit akan melihat kepada modal sendiri untuk melihat batas
keamanan pemberian kredit, (2) dengan menggunakan hutang, memberi dampak
yang positif bagi pemilik karena perusahaan memperoleh dana tetapi pemilik
tidak kehilangan kendali atas perusahaan, (3) apabila perusahaan mendapat
keuntungan yang lebih besar dari beban bunga, maka keuntungan bagi pemilik
modal sendiri akan menjadi lebih besar (Bernadetha, 2010).
Rasio leverage yang tinggi dapat diindikasikan adanya kemungkinan
kesulitan yang dihadapi oleh perusahaan untuk membayar bunga dan prinsipal di
masa yang akan datang. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage tinggi
diduga melakukan perataan laba karena perusahaan terancam default sehingga
manajemen membuat kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan (Prabayanti
dan Yasa, 2011).
2.2
Rumusan Hipotesis
Sub bab 2.2 menguraikan mengenai pengaruh cash holding pada income
smoothing, pengaruh bonus plan pada income smoothing, pengaruh reputasi
auditor pada income smoothing, pengaruh profitabilitas pada income smoothing,
dan pengaruh leverage pada income smoothing.
2.2.1 Pengaruh cash holding pada income smoothing
Berdasarkan teori agensi, adanya konflik antara manajer dan pemegang
saham menimbulkan keinginan manajemen untuk memegang kas (cash holding)
di perusahaan. Manajer menggunakan cash holding untuk meminimalisir
33
pendanaan eksternal dan operasional perusahaan. Oleh karena cash holding yang
bersifat likuid, jangka pendek dan mudah dijadikan kas dalam jumlah tertentu
tanpa mengalami perubahan nilai yang signifikan. Cash holding sangat mudah
dikendalikan
manajer
sehingga
memotivasi
manajer
untuk
melakukan
kepentingan pribadi. Hal ini dapat meningkatkan praktik income smoothing
(Mambraku, 2014).
Talebnia dan Darvish (2012) dalam Cendy (2013) menyatakan bahwa cash
holding (kepemilikan kas) berhubungan signifikan dan berhubungan langsung
dengan income smoothing (perataan laba), yang berarti bahwa semakin tinggi
kepemilikan kas atau semakin tinggi kas yang ada dalam perusahaan, maka
semakin tinggi perataan laba. Hasil penelitian yang sama diungkapkan oleh
Hutauruk (2013) dan Mambraku (2014) yang menyatakan bahwa cash holding
berpengaruh positif terhadap praktik income smoothing. Cendy (2013) juga telah
meneliti mengenai pengaruh cash holding terhadap income smoothing juga
mendapatkan hasil yang sama yaitu cash holding berpengaruh singnifikan
terhadap income smoothing.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis pertama
dalam penelitian ini adalah:
H1 :
Cash holding berpengaruh positif pada income smoothing perusahaan
property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
periode 2012-2014.
34
2.2.2 Pengaruh bonus plan pada income smoothing
Berdasarkan the bonus plan hypothesis pada perusahaan yang memiliki
rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode
akuntansi yang dapat menggeser laba dari periode mendatang ke periode saat ini
sehingga dapat menaikkan laba saat ini. Hal ini dilakukan karena manajer lebih
menyukai pemberian bonus yang lebih tinggi untuk masa kini. Sehingga memicu
manajer melakukan praktik perataan laba. hipotesis ini menunjukan bahwa
manajemen yang remunerasinya didasarkan pada bonus, maka mereka akan
berusaha memaksimalkan pendapatannya melalui pendekatan akuntansi yang
dapat menaikkan laba, sehingga bonusnya tinggi yang bisa menuju arah creative
accounting (Harahap, 2011:112). Hasil penelitian Gayatri dan Wirakusuma (2012)
menemukan bahwa bonus plan berpengaruh positif pada peluang terjadinya
praktik perataan laba.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis kedua dalam
penelitian ini adalah:
H2 :
Bonus plan berpengaruh positif pada income smoothing perusahaan
property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
periode 2012-2014.
2.2.3 Pengaruh reputasi auditor pada income smoothing
Reputasi auditor adalah sebagai suatu tolak ukur yang menunjukkan kualitas
hasil audit yang dapat diproksikan dengan besaran suatu KAP (Kantor Akuntan
Publik) dan KAP Big Four sebagai proksi kualitas auditor yang tinggi. Soselisa
35
(2008) dalam Prabayanti dan Yasa (2011) menyatakan bahwa kualitas audit yang
lebih tinggi dari suatu Kantor Akuntan Publik (KAP) akan memperbesar risiko
terungkapnya kecurangan akuntansi. Dengan demikian, terdapat indikasi bahwa
KAP Big Four akan cenderung bertindak lebih objektif dalam menghasilkan
kualitas audit yang lebih baik daripada KAP non-Big Four.
Sementara itu, reputasi auditor merupakan penilaian terhadap kualitas
auditor dalam melakukan audit (Prabayanti dan Yasa, 2011). Gayatri dan
Wirakusuma (2012) menemukan bahwa reputasi auditor tidak memiliki pengaruh
terhadap perataan laba. Hasil ini juga konsisten dengan Prabayanti dan Yasa
(2011) dan Wahyuni, dkk. (2013) yang menemukan hasil bahwa reputasi auditor
tidak berpengaruh terhadap perataan laba.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis ketiga dalam
penelitian ini adalah:
H3 :
Reputasi auditor berpengaruh negatif pada income smoothing perusahaan
property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
periode 2012-2014.
2.2.4 Pengaruh profitabilitas pada income smoothing
Menurut Juniarti dan Corolina (2005) fluktuasi profitabilitas yang rendah
atau menurun memiliki kecenderungan bagi perusahaan tersebut untuk melakukan
perataan laba, hal ini dipicu jika perusahaan dalam menentukan kompensasi bonus
berdasarkan pada besarnya profit yang dihasilkan.
36
Profitabilitas yang stabil akan meningkatkan kepercayaan pasar sehingga
perusahaan menjaga konsistensi tingkat labanya. Hal ini senada dengan penelitian
Amanza (2012) yang mengatakan bahwa profitabilitas yang menurun memiliki
kecenderungan untuk melakukan tindakan perataan laba agar laba tampak stabil.
Lebih lanjut Manuari dan Yasa (2014) menyebutkan rendahnya probabilitas
variabel profitabilitas mempengaruhi praktik perataan laba. Berbeda dengan
Ramdani (2012) menemukan bahwa tidak ada pengaruh antara profitabilitas
terhadap praktik perataan laba yang dilakukan perusahaan.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis keempat
dalam penelitian ini adalah:
H4 :
Profitabilitas berpengaruh negatif pada income smoothing perusahaan
property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
Periode 2012-2014.
2.2.5 Pengaruh leverage pada income smoothing
Menurut Sartono dalam Budiasih (2009), financial leverage menunjukkan
proporsi penggunaan utang untuk membiayai investasinya. Semakin besar utang
perusahaan, maka semakin besar pula risiko yang dihadapi investor, sehingga
investor akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi. Akibat kondisi
tersebut perusahaan cenderung untuk melakukan praktik perataan laba.
Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwito dan
Herawati (2005) yang menyatakan bahwa leverage ratio bukan faktor yang
mendorong praktik perataan laba. Hal ini berarti perusahaan dengan tingkat
37
leverage tinggi tidak memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk melakukan
perataan laba dibandingkan perusahaan dengan tingkat leverage rendah.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis kelima dalam
penelitian ini adalah:
H5 :
Leverage berpengaruh negatif pada income smoothing perusahaan
property dan real estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
periode 2012-2014.
38
Download