BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam di

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam di Indonesia memperlihatkan corak Islam yang khas dibandingkan
Islam di negara-negara lain. Di berbagai wilayah Indonesia, Islam dipraktekkan
secara berbeda bergantung kultur masyarakat setempat. Praktek pelaksanaan
agama dalam banyak masyarakat Indonesia menyuguhkan fakta agama tak selalu
bisa dipisahkan secara tegas dari praktek adat atau tradisi lokal. Penelitianpenelitian tentang Islam Jawa banyak menegaskan fenomena ini. Sebut saja
misalnya Jay (1969); Nakamura (1984); Koentjaraningrat (1985). Agama yang
dipraktekkan di Jawa adalah Islam dengan ciri lokalitasnya (Muhaimin, 2002),
perbedaan antara tradisi dan agama dalam masyarakat Jawa demikian kabur; tak
ada pembedaan yang tegas antara santri dan non santri (Beatty, 2001); bahkan
betapapun ‘nominalnya’ muslim melakukan ibadahnya, akan tetapi komitmen
mereka terhadap Islam adalah sesuatu yang pasti (Pranowo, 2009).
Tidak hanya di Jawa, perpaduan Islam dan kultur lokal di Sulawesi
Tenggara juga bisa dirujuk dengan jelas. Haliadi (2001) menemukan bahwa Islam
di Buton adalah Islam yang sinkretis, sebuah perpaduan timbal balik antara
kepercayaan pra-Islam dan kepercayaan Islam. Haliadi menguraikan bagaimana
kepercayaan animisme-dinamisme yang dilanjutkan dengan kepercayaan HinduBudha bercampur dengan kepercayaan Islam masih dipegang teguh oleh
masyarakat Buton dan mewarnai sistem pengelolaan pemerintahan dan
masyarakat di Kesultanan Buton, khususnya pada rentang tahun 1873-1938.
Banyak sistem kepercayaan lokal yang menyatu dengan kepercayaan Islam
sehingga membentuk sinkretisme antara Buton dan Islam atau antara Islam dan
Buton, di antaranya tentang kepercayaan reinkarnasi yang disebutnya dengan rohi
polimba, sistem gelar, upacara dan terbentuknya komunitas Islam di Kesultanan
Buton, serta pembahasan tentang Keraton Buton yang kental akan nuansa adat dan
Islam. Sistem pemerintahan dan sistem kemasyarakatan di Kesultanan Buton pada
masa itu ditegaskan Haliadi sebagai legalitas timbal balik antara Islam dan budaya
pra-Islam.
Tulisan tersebut memberikan gambaran bahwa Islam di Buton tidaklah
benar-benar murni Islam, ia bercampur dengan tradisi lokal yang berasal dari
kepercayaan pra-Islam dan dielaborasikan dengan kepercayaan Islam serta
dianggap sebagai praktek Islam. Haliadi mengurai sinkretisme Buton dan Islam
pada periode abad 19 yang merupakan masa perkembangan Islam di Buton dan
dilanjutkan pada periode masuknya Belanda ke Buton. Meskipun pada masa
tersebut disebut dengan masa perkembangan Islam, akan tetapi bentuk sinkretisme
tersebut masih bisa ditemui dalam kepercayaan masyarakat Buton hingga saat ini,
bahkan masyarakat di sekitarnya termasuk juga masyarakat Muna.
Secara historis, Buton dan Muna memiliki kedekatan genealogis,
intelektual, politik, dan kedekatan kultur. Sultan pertama Buton, yaitu Sultan
Murhum awalnya adalah raja Muna (Lakilaponto). Banyak penguasa dan ulama
Buton yang menghasilkan karya-karya Islam dan juga menjadi rujukan bagi Islam
di Muna, seperti halnya Sultan Muhammad Idrus Qaimuddin, Syekh Abdul
Ghaniyu, dan sebagainya. Di samping itu meskipun tidak berbentuk kesultanan,
sistem pemerintahan di Kerajaan Muna setelah Islam masuk tidak jauh berbeda
dengan di kesultanan Buton, yaitu didasarkan pada Undang-Undang Martabat
Tujuh (Yunus, 1995). Secara politik, hubungan Buton dan Muna berada pada
kondisi fluktuatif, antara persaudaraan, pertemanan, dan persaingan meskipun
pada awalnya ada klaim satu sama lain bahwa kedua wilayah ini dieratkan dengan
posisi kakak dan adik. Sementara itu, penganjur Islam di Muna adalah tokoh yang
sama dengan penganjur Islam di Buton. Oleh sebab kedekatan genealogis,
intelektual, dan politik tersebut, maka tidak heran jika kultur sosial dan budaya
masyarakat Muna tidak jauh berbeda dengan masyarakat Buton. Dengan
demikian, maka akulturasi adat dengan Islam juga masih sangat kental bisa
ditemui dalam masyarakat Muna
Islam yang dipraktekkan bercampur dengan kultur lokal sesungguhnya
memiliki rujukan pada Islam itu sendiri. Dengan demikian, tidak fair mengatakan
bahwa praktek kaum abangan sebagaimana temuan Geertz adalah produk warisan
Hindu-Budha atau tradisi animisme. Nakamura (1984:72) menegaskan bahwa
konsep slamet yang dimaksudkan Geertz dalam ritual slametan bukanlah nilai
tradisional kaum abangan. Ia adalah konsep yang berasal dari sumber ajaran
Islam, yaitu kata bahasa Arab ‘salam’ yang berarti ‘menjadi baik’, ’selamat’.
Maka yang diminta dalam ritual slametan adalah permohonan doa untuk
kebaikan, kesejahteraan dan keselamatan. Demikian pula halnya Woodward
(1988) menegaskan bahwa agama Jawa berasal dari tradisi Islam dan slametan
adalah praktek interpretasi teks skriptual Islam dan banyak dipraktekkan secara
popular di Asia dan Asia Tenggara. Temuan Muhaimin (2002) dalam masyarakat
Cirebon menunjukkan bahwa ritual sesungguhnya berasal dari Islam tekstual dan
setiap ritual baik ia religius maupun bukan jika ia dilakukan dengan niat untuk
mewujudkan pemujaan kepada Tuhan, maka ritual tersebut dikategorikan ibadah.
Lagi pula Muslim yang meniatkan syahadat adalah seorang Muslim dan sebagai
bagian dari ummat. Van Bruinessen (2003) menggarisbawahi bahwa proses
adaptasi Islam dan adat selalu saja mengalir, sehingga dalam banyak kebudayaan
dianggap bukan sesuatu yang saling bertentangan. Oleh sebab itu, tradisi Islam di
Jawa dan bagaimana corak keberagamaan seorang Muslim hendaknya dilihat
secara apa adanya, sebagai bagian dari proses dinamik untuk menjadi (becoming)
muslim (Pranowo, 2009), sebagai bagian dari lokal Islam (Woodward, 1999)
sebagai sebuah varian Islam.
Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya tentang Islam
dalam masyarakat menunjukkan bagaimana Islam dilandasi oleh kultur lokal yang
memiliki varian yang beragam. Islam boleh jadi adalah tunggal dengan rujukan
otentik yang tunggal, yaitu Al Qur’an-Hadist. Akan tetapi, interpretasi terhadap
Islam tidaklah tunggal, sehingga wajah Islam juga ditampilkan secara beragam.
Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari akar lokalitasnya, oleh sebab Islam
yang hadir pada suatu wilayah tertentu tidak lahir dalam kevakuman budaya. Hal
inilah yang menjadikan Islam yang tersebar di nusantara menjadi unik dan khas
dibandingkan dengan corak Islam dari belahan dunia muslim lainnya, bahkan
berbeda cukup jauh dari tanah kelahirannya, Arab. Islam di Indonesia memiliki
varian yang membentuk Islam Jawa, Islam Aceh, Islam Sasak, Islam Minang,
Islam Sunda, dan seterusnya. Pluralitas dan heterogenitas masyarakat Indonesia
yang membentuk berbagai macam suku bangsa, agama, budaya yang berbeda
antara satu yang lain (Dayak, Bugis, Jawa, Sasak, Madura, Minang, Banjar, Bali,
dan lain-lain) telah memberi warna lokalitas yang bervariasi pula dalam bentukbentuk keberislaman di Indonesia. Ditambah pula dengan pertemuan dan
pertarungan berbagai kepercayaan dan idiologi (Perancis, Belanda, Cina, India,
Hindu, Budha, Koghuchu, dan sebagainya).
Lokalitas Islam yang memberi warna berbeda sesuai dengan karakter
budaya masyarakat setempat sesungguhnya telah dimulai ketika Islam disebarkan
pertama kali di tanah Arab. Rasulullah dalam menyebarkan Islam pada masanya
menyesuaikan Islam dengan kondisi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga,
Islam yang lahir dan tersebar di Arab pertama kali juga adalah Islam lokal Arab.
Hanya saja, Islam yang dipraktekkan di Arab dianggap sebagai Islam pusat
(center Islam) dan Islam yang dipraktekan di luar Arab, seperti halnya di
Indonesia dianggap sebagai Islam pinggiran (peripheral Islam). Polarisasi Islam
pusat dan Islam lokal sesungguhnya bisa dipertanyakan kembali. Bahkan
pemahaman Islam lokal sebagai Islam yang hanya dipermukaan tidak bisa
diterima begitu saja. Dengan demikian, pandangan kalangan Islam puritan yang
membayangkan Islam yang ideal sesungguhnya tak berwujud. Yang bisa dikenali
adalah Islam yang riil, yang dipraktekkan oleh masyarakat muslim sesuai dengan
corak lokalitas budaya masing-masing.
Keberhasilan proses adaptasi agama dan adat di Asia Tenggara bagi
Mulder (1999), oleh karena Islam telah berhasil menemukan akar cangkokannya
pada tradisi lokal masyarakat setempat; jika tidak ia akan tetap terpinggirkan dan
tidak akan mendapatkan tempat dalam kehidupan masyarakat. Sisi inilah yang
menarik minat banyak antropolog untuk meneliti bagaimana keberagamaan Islam
dipraktekkan di berbagai wilayah tidak saja di Indonesia bahkan di belahan dunia
Muslim lainnya; untuk menemukan faktor pembeda tradisi Muslim satu wilayah
dengan Muslim di wilayah lain (lihat Geertz, 1976). Sebagaimana temuan Geertz,
Jawa hanyalah satu contoh bagaimana Islam di Indonesia diinterpretasi dan
diapresiasi dengan cara yang unik dan khas oleh masyarakat lokal. Perbandingan
lain dengan Sulawesi Selatan yang juga menunjukkan diversitas pemahaman
Islam meskipun tidak sevariatif di Jawa (Mattulada, 1976; Pelras, 1985, Ali,
2011). Masyarakat Gayo adalah contoh unik lain dari sebuah masyarakat Muslim
yang dengan mulus mengadopsi tata cara adat dalam tradisi Islam (Bowen, 1993).
Di Buton, sinkretisme antara budaya lokal dengan Islam dapat diwujudkan secara
mapan dalam sistem pemerintahan kesultanan dan sistem kepercayaan masyarakat
(Haliadi, 2001), sehingga ikut mempengaruhi daerah-daerah di sekitarnya
termasuk di dalam masyarakat Muna.
Banyak hal bisa dilakukan untuk melihat dinamika keberagamaan
masyarakat, sebanyak aspek kehidupan masyarakat itu sendiri; baik melalui aspek
kepercayaan atau doktrin, aspek penghayatan nilai-nilai yang dianggap benar dan
penting, aspek upacara atau ritual, maupun aspek praktek kehidupan sehari-hari.
Studi ini menfokuskan pada salah satu ritual inisiasi dalam masyarakat Muna
yang disebut dengan ritual katoba. Mengkaji ritual adalah mengkaji simbolsimbol dan untuk hal tersebut Geertz (1966) meletakkan ritual sebagai teks yang
di dalamnya terdapat simbol-simbol yang saling berhubungan satu dengan yang
lain, sehingga membentuk satu totalitas sistem makna dalam masyarakat. Simbol
menjadi satu bagian utama dan penting dalam kehidupan manusia. Dengan simbol
manusia berpikir, berperasaan, bersikap, berkata-kata atau bahkan diam. Dalam
katoba Muna, interpretasi dan analisis dilakukan secara komprehensif terhadap
simbol-simbol yang meliputi simbol-simbol dalam mitos/kepercayaan, simbolsimbol dalam alat/bahan yang digunakan, simbol-simbol waktu dan tempat ritual,
simbol pemimpin dan peserta ritual, simbol dalam petuah-petuah/nasehat dalam
katoba (wambano toba), simbol dalam praktek dan aksi ritual, dan hubungan
antara simbol yang satu dengan simbol lainnya secara keseluruhan.
Secara ringkas katoba adalah ritual inisiasi yang dilaksanakan pada anak
laki-laki dan perempuan pada usia sekitar 7-14 tahun. Kata katoba adalah proses
nominalisasi dari akar kata toba dan prefix ka- yang membentuk makna
“pertobatan atau proses untuk bertaubat”. Kata “toba” atau “taubat” berasal dari
bahasa Arab “taubat” yang dalam bahasa lokal dilisankan dengan “toba”.
Masyarakat lokal Muna menyebut katoba sebagai ritual pengislaman. Oleh sebab
itu, katoba hanya dilaksanakan oleh orang-orang Muna yang muslim. Masyarakat
Muna yang non-muslim tidak melaksanakan ritual ini bagi anak-anaknya. Inisiasi
untuk anak-anak mereka lebih merujuk pada konsep sakramen menurut agama
mereka (misalnya orang Kristen Muna). Dengan demikian, jika menyebut
masyarakat Muna maka yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
masyarakat Muslim Muna.
Katoba pada masa lalu dianggap sebagai kewajiban orang tua sebagai
salah satu cara melunasi hutang (odosa) atau dosa (odhosa) yang dianggap
sebagai kotoran/daki yang melekat di tubuh mereka. Karena itulah, menjadi wajib
bagi setiap orang tua untuk melaksanakan ritual katoba bagi anak-anaknya.
Kewajiban tersebut ikut melekat bersamaan dengan label nama-nama mereka,
yaitu La untuk anak laki-laki dan Wa untuk anak perempuan. Label la dan wa
yang dilekatkan pada nama depan anak-anak di Muna merupakan representasi dari
dua
kalimat
syahadat;
(La)ilaaha
illallah,
(Wa)asyhadu
anna
muhamaddarrasulullah, sehingga masyarakat Muna menganggap bahwa setiap
nama la dan wa di Muna harus di-toba.
Meskipun lekat erat dengan Islam, katoba masih memelihara simbolsimbol tradisi dan praktek-praktek lokal, seperti pembakaran kemenyan/dupa,
keyakinan dan perlakuan terhadap dupa, ketersediaan makanan haroa, dan
sebagainya. Di sisi lain, kewajiban orang tua sekaligus kewajiban anak untuk
menjalani katoba telah mengalami reinterpretasi dan negosiasi makna dalam
masyarakat. Hal ini menimbulkan pemaknaan terhadap katoba menjadi berbeda.
Sebagian masyarakat melaksanakan katoba yang dianggap lebih Islami atau
memberikan pendidikan atau ajaran Islam yang dianggap sebagai intisari ajaran
katoba. Akan tetapi masih lebih banyak lagi yang melaksanakan katoba dengan
tetap mempertahankan simbol-simbol tradisi dan memaknainya sebagai bagian
dari cara ber-Islam. Perbedaan pemahaman terhadap simbol-simbol katoba
melahirkan berbagai macam varian Islam dalam masyarakat Muna.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk
mengkaji berbagai masalah sebagai berikut:
1. Identitas sosial apa yang terlihat pada ritual katoba dalam masyarakat Muna?
2. Bagaimana masyarakat Muna menegosiasikan makna dalam simbol-simbol
katoba?
3. Bagaimana kemusliman dalam masyarakat Muna direproduksi secara terus
menerus?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mencermati identitas sosial yang ditemukan pada ritual katoba dalam
masyarakat Muna.
2. Mengkaji bagaimana masyarakat Muna menegosiasikan makna simbol-simbol
dalam ritual katoba secara berbeda.
3. Mengkaji bagaimana kemusliman dalam masyarakat Muna diproduksi dan
direproduksi secara berulang dan terus menerus.
D. Manfaat Penelitian
Kajian tentang ritual katoba tidak terbatas pada kebudayaan lokal dengan
keunikan dan spesifikasinya, akan tetapi juga memiliki konsekwensi antropologis
dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan
mampu memberikan kontribusi dalam memahami kebudayaan suatu masyarakat,
sebagai referensi ilmu pengetahuan, khususnya lapangan antropologi agama
dalam memahami eksistensi dan dinamika ritual dalam masyarakat. Oleh sebab
itu, penelitian ini dapat menjadi landas tumpu atau transisi bagi penelitianpenelitian dengan fokus yang sama dengan lokus berbeda atau dengan lokasi yang
sama dengan aspek kajian yang berbeda.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi
kultural bagi para pemerhati, pengamat, peneliti atau pihak-pihak tertentu yang
memiliki minat terhadap komunitas lokal, khususnya dalam kajian tentang ritual.
Bagi masyarakat Muna secara khusus, penelitian ini bisa menjadi referensi yang
cukup kuat dan signifikan dalam memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk
berbudaya sekaligus beragama.
E. Tinjauan Pustaka
Studi etnografis yang komprehensif tentang agama manusia direkam
Frazer (1976) dalam bukunya The Golden Bough. Frazer memaparkan bentuk-
bentuk agama manusia mulai dari yang paling primitif hingga paling beradab.
Menyoal pembahasan tentang ritual, Frazer menekankan bahwa ritual inisiasi
merupakan pusat misteri dalam masyarakat primitif. Ritual inisiasi nyatanya
bukan hanya dominasi masyarakat primitif, dalam berbagai kebudayaan, baik
kebudayaan tradisional maupun modern ritual-ritual inisiasi masih bisa ditemukan
dengan bentuk dan proses pelaksanaan yang berbeda.
Catatan etnografis tentang ritual, khususnya ritual inisiasi banyak
mengilhami para antropolog untuk memotret kebudayaan di berbagai wilayah
dunia. Perspektif dan berbagai sudut pandang digunakan antropolog dalam
merekam sebuah peristiwa atau proses ritual dalam sebuah kebudayaan; mulai
dari perspektif fungsionalisme atau fungsionalisme-struktural, strukturalisme, dan
interpretif. Terlepas dari apapun pendekatan yang digunakan para antropolog
dalam menjelaskan ritual, semuanya bermuara pada; bagaimana sebuah ritual
bekerja dan memberikan makna tertentu bagi masyarakatnya, hingga sebuah ritual
mencerminkan tatanan sosio-kultural dan/atau sosio-religius masyarakat tersebut
secara keseluruhan.
Dalam perspektif fungsionalisme, B. Litt (1971) melakukan studi tentang
ritual life-cycle pada berbagai wilayah dunia. Pembahasan tentang ritual inisiasi
difokuskannya pada berbagai suku di Australia mulai dari praktek yang paling
sederhana dengan memukul gigi (perdarahan gigi) sampai pada sirkumsisi. Radin
(1957) memaparkan ritual inisiasi dan pubertas dalam berbagai masyarakat
Australia dan membandingkan prakteknya antara wilayah yang satu dengan
lainnya; La Fontaine (1985) menghimpun dan membandingkan karya-karya
antropolog tentang ritual inisiasi dan melakukan studi kritis atas penelitianpenelitian tersebut; J. Mansoben (dalam Koentjaraningrat, 1994) melakukan studi
tentang ritual inisiasi anak laki-laki dalam masyarakat Numfor Irian Jaya; Mark &
Chupin (1998) memaparkan studinya tentang ritual inisiasi laki-laki dalam
masyarakat Jola di Senegal bagian Selatan; Taku (2011) memaparkan tentang
ritual inisiasi anak laki-laki dalam masyarakat Ekpe di bagian barat daya
Kamerun.
Penelitian-penelitian
tentang
ritual
inisiasi
dengan
menggunakan
perspektif fungsionalisme menunjukkan bahwa ritual inisiasi memiliki fungsi
penting dalam masyarakat. Ritual inisiasi dalam perspektif fungsionalisme adalah
sesuatu yang masih dilakukan masyarakatnya oleh karena memenuhi fungsi
tertentu dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Tujuan dilaksanakan
ritual inisiasi adalah untuk mempersiapkan anak laki-laki memasuki dunia
kedewasaan, sebagai laki-laki sejati (to be a man), dan transformasi pada
keanggotaan suatu masyarakat. Sebuah ritual inisiasi memiliki fungsi memperoleh
status dan identitas sosial (La Fontaine, 1985; Taku, 2001; J. Mansoben (dalam
Koentjaraningrat, 1994), fungsi magico-religius (B. Litt, 1971), maupun fungsi
sosial, ekonomi, dan politik (Radin, 1957; Mark & Chupin, 1998).
Studi tentang ritual dengan perspektif fungsionalisme memiliki kelebihan
dan juga kelemahan. Ritual dalam sebuah kebudayaan menurut perspektif
fungsionalisme memiliki fungsi tertentu, sehingga kelebihan perspektif ini adalah
mampu menjelaskan keberadaan ritual dalam kebudayaan masyarakat. Perspektif
fungsionalisme mampu menjelaskan mengapa sebuah ritual masih terus dilakukan
oleh masyarakat dan peran ritual dalam menjamin keberlangsungan dan
kemapanan kebudayaan masyarakat. Namun demikian, oleh sebab fungsionalisme
begitu menekankan keteraturan dan keberlangsungan kebudayaan, maka
perspektif ini cenderung statis dalam menjelaskan sesuatu. Ketika masyarakat
berubah dan boleh jadi ritual juga berubah, maka perspektif ini tidak mampu
menjelaskan dinamika perubahan tersebut. Ia terlalu menekankan hubungan
fungsional sebuah ritual, sehingga sulit untuk menjelaskan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam masyarakat. Di samping itu, gambarannya juga cenderung
generalisir dengan mengabaikan detil dan kompleksitas sebuah kebudayaan.
Studi kebudayaan dalam perspektif fungsionalisme melihat gejala-gejala
kebudayaan sebagai sesuatu yang statis yang dapat menjamin keteraturan atau
keberlangsungan sebuah kebudayaan. Sisi inilah yang dianggap sebagai
kelemahan dan dianggap perlu mengemukakan perspektif lain dalam melihat
sebuah masyarakat atau sebuah kebudayaan. Sisi kelemahan inilah yang
memunculkan perspektif strukturalisme dan interpretif. Gejala-gejala kebudayaan
bukanlah sesuatu yang statis sebagaimana halnya organisme atau mesin, tetapi
sebagaimana bahasa yang mengekspresikan struktur pikir nirsadar manusia.
Perspektif strukturalisme mengkaji ritual dengan menganggapnya sebagai
gambaran struktur tertentu dari pikiran-pikiran para pelaku budaya. Mengkaji
ritual dalam perspektif strukturalisme adalah mengkaji struktur nalar masyarakat
yang
bersangkutan.
Penelitian-penelitian
tentang
ritual
inisiasi
dengan
menekankan pada perspektif strukturalisme dipaparkan Van Gennep dengan
memetakan berbagai upacara seremonial dan ritus tertentu dalam berbagai
masyarakat di seluruh dunia. Dalam paparannya, Van Gennep mengkategorikan
dan mengklasifikasikan setiap ritual dan struktur dalam ritual dengan klasifikasi
tertentu yang disebutnya sebagai rite de passage; Cory (1948) dalam studinya
tentang ritual jando dalam masyarakat Muslim Bantu di Afrika Timur; Turner
(1967) dalam studinya tentang ritual inisiasi laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat Ndembu, Zambia; Vogt & Vogt (1979) mengemukakan studinya
tentang makna simbol dalam masyarakat Indian Maya di Zinacantan, Meksiko;
Rosaldo & Atkinson (dalam Lessa & Vogt, 1979) menguraikan tentang peran
laki-laki dan perempuan dalam ritual mantra perburuan di masyarakat Ilongot di
Sebelah Utara Luzon, Filipina; Shaw (1982) menjelaskan tentang ritual inisisasi
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Samo di Papua Nugini; Herdt (1982)
memaparkan tentang ritual perdarahan hidung pada masyarakat Sambia di Papua
Nugini; Schneider & Schneider (1991) menjelaskan tentang ritual inisiasi laki-laki
dalam masyarakat Dayak Selako di Kalimantan Barat; Houseman (1993) dalam
penelitiannya tentang ritual inisiasi muslim dalam masyarakat Beti, di Kamerun
Selatan; Darwin (2001) ketika melakukan studi tentang mutilasi genital anak lakilaki dan perempuan di dua wilayah berbeda; Yogyakarta dan Madura.
Penelitian-penelitian tentang ritual dengan menggunakan perspektif
strukturalisme menjelaskan struktur dalam ritual, aspek-aspek dalam ritual yang
tergambar dalam kumpulan simbol-simbol yang dapat menjelaskan sesuatu. Inilah
yang diinisiasi oleh Van Gennep dan dikembangkan lebih lanjut oleh Turner
dengan menekankan pada konsep liminalitas dan comunitas. Sebagaimana juga
yang dilakukan oleh Cory (1948) dalam memaparkan simbol-simbol dan
metaphor dalam nyanyian yang diajarkan dalam ritual jando bagi muslim Buntu
di Afrika Timur. Studi ritual dalam perspektif stukturalisme menekankan bahwa
simbol-simbol dalam ritual bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, ia ada untuk
dan karena melengkapi simbol lainnya. Strukturalisme mulai mengkategorikan
dan mengklasifikasikan sesuatu dan menghubungkan antarkategori tersebut.
Hubungan antar kategori inilah yang dipakai perspektif strukturalisme untuk
menjelaskan sebuah ritual sebagai sesuatu dalam oposisi biner (binary
opposition), di mana struktur-struktur dalam ritual dilihat dalam relasi yang saling
bertentangan, sekaligus juga berpasangan dan saling melengkapi.
Mengkaji ritual dalam perspektif strukturalisme adalah menjelaskan
strukturnya dalam oposisi antara dua hal yang berbeda akan tetapi saling
berhubungan dan memiliki relasi yang saling melengkapi satu sama lain. Ritual
diletakkan dalam hubungan relasional sebagai oposisi biner antara nature dan
culture dalam jiwa yang mengalami proses timbal balik, yaitu kulturalisasi nature
dan naturalisasi culture (Vogt &Vogt, 1979); oposisi biner antara kelelakian dan
keperempuanan (Turner, 1967; Rosaldo & Atkinson, 1979; Shaw, 1982;
Scheneider &Scheneider, 1991, Darwin, 2001). Ritual dalam kajian struturalisme
sebagaimana dipaparkan di atas dilakukan untuk mengantarkan anak sebagai
seorang
Muslim
(Cory,
1948),
pembentukan
identitas
sosial
yang
membedakannya baik dari yang belum/bukan Muslim maupun bagi yang belum
dewasa (Darwin, 2001; Houseman, 1993); membedakan sekaligus meletakan
peran dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan (Rosaldo & Atkinson,
1979; Shaw, 1982; Scheneider &Scheneider, 1991; Darwin, 2001).
Perspektif strukturalisme dalam kajiannya tentang ritual yang dilakukan
oleh beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa ritual sarat akan simbolsimbol yang sarat pula akan makna. Tugas peneliti adalah menemukan makna
simbol-simbol tersebut dan menghubungkan simbol-simbol tersebut dalam
hubungan struktur yang saling bertentangan pada awalnya, tetapi secara logis
dapat ditemukan relasi kesalingtergantungan dan saling melengkapi oposisi dalam
struktur tersebut. Kekuatan perspektif strukturalisme adalah penjelasan detil
tentang struktur-struktur dalam simbol ritual untuk menjelaskan secara
komprehensif pola struktur berpikir masyarakat. Dengan perspektif strukturalisme
akan dapat memberikan perspektif baru dalam menjelaskan hal-hal yang lebih
detil dan mendalam, sesuatu yang tidak mampu diungkapkan oleh perspektif
fungsionalisme. Akan tetapi, kelemahan perspektif strukturalisme dalam
menjelaskan ritual memerlukan perhatian dan pendalaman yang sangat teliti dan
berhati-hati untuk menemukan struktur-struktur atau unsur-unsur domain sebuah
kebudayaan, mengklasifikasikan domain-domain tersebut, menentukan relasi satu
sama lain untuk menemukan pola-pola relasinya.
Studi tentang ritual dengan menekankan pada aspek makna simbolik dari
pelaku budaya diberikan oleh perspektif interpretif. Penekanan studi ritual secara
interpretif menegaskan bahwa manusia dapat menciptakan dan memanfaatkan
simbol sehingga kehidupan manusia penuh dengan simbol-simbol. Dalam
perspektif interpretif, ritual dijelaskan menurut pandangan subyektif seorang
pelaku yang terlibat langsung dalam kebudayaan. Perspektif ini juga disebut
dengan fenomenologis dengan menekankan pada cara pandang emik, cara
pandang pelaku budaya yang bersangkutan. Lewis (1980) mengemukakan
penelitiannya tentang ritual inisiasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat
Sepik dan sekitarnya di Papua Nugini; Caplan (1976) dalam studinya tentang
ritual sirkumsisi anak laki-laki dan ritual pubertas perempuan dalam masyarakat
muslim Mafia di Tanzania; Liisa-Swantz (1995) dalam studinya tentang ritual
pubertas anak laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Muslim Zaramo,
Tanzania; Beidelman (1997) ketika memaparkan studinya tentang ritual anak lakilaki dan ritual pubertas perempuan dalam masyarakat Kaguru, Tanzania; Adyaje
(1999) memaparkan studinya tentang ritual inisiasi anak perempuan dalam
masyarakat Krobo di sebelah selatan Ghana.
Dalam perspektif interpretif, ritual dianggap sebagai teks, oleh karena itu
ia perlu dibaca, ditafsir, dan diberi makna (Geertz, 1963). Makna ritual dalam
perspektif interpretif dilihat dari dua subyek, yaitu makna menurut tineliti (pelaku
budaya) dan makna yang berasal dari peneliti (sebagai orang luar). Makna yang
dikemukakan oleh pelaku budaya boleh jadi bertentangan satu sama lain, dan
peneliti berusaha untuk menemukan kategorisasi tertentu untuk melihat
kecenderungan perbedaan makna tersebut.
Dari
berbagai
makna
yang
dikemukakan pelaku budaya, peneliti mencoba membangun tafsir atas makna
subyektivitas-subyektivitas tersebut. Lewis (1980) menegaskan bahwa melihat
ritual seperti melihat sebuah seni (art), sebuah performance yang barangkali
masyarakat bisa memastikan makna dan tujuan sebuah ritual, tetapi boleh jadi
maka tersebut tetap tersimpan sebagai sebuah misteri yang memerlukan
mendalaman lebih lanjut, sehingga sebuah simbol ritual menunjukkan makna
lebih dari apa yang tampak.
Ritual keperempuanan (womanhood) dalam penelitian Beidelman (1997)
bersifat biologis dan karenanya ia merupakan pemberian (gift), sebaliknya
kelelakian (manhood) lebih bersifat sosial. Oleh sebab itu, ritual pubertas anak
perempuan merupakan awal kehidupan barunya yang dirayakan secara ritual
dengan makna untuk melindungi, mendukung, menyuburkan, dan menguatkan
kekuatan keperempuanan dan kesuburan (Liisa-Swantz (1995); Caplan (1976).
Hal ini berbeda dengan anak laki-laki yang menjalani sirkumsisi, karena
dilakukan dalam usia yang masih sangat muda tidak menandai perubahan penting
apapun dalam kehidupannya. Satu-satunya penanda perubahannya adalah
diberikannya nama Muslim yang layak untuknya, sementara status dan perlakuan
atasnya secara sosial tidak berubah (Caplan, 1976). Interpretasi lain dari ritual
yang disajikan Caplan adalah bahwa ritual menyuguhkan sebuah identitas
masyarakat yang bergerak antara tradisi dan Islam. Sirkumsisi anak laki-laki
merujuk pada agama (sunnah), di mana referensinya ditujukan pada Tuhan, roh
nenek moyang, dukun dan keturunannya; sementara ritual pubertas anak
perempuan merujuk pada tradisi (millah) yang referensinya ditujukan hanya pada
roh nenek moyang. Ada kecenderungan kelompok masyarakat tertentu yang lebih
mementingkan identitas tradisi (millah) daripada Islam (sunnah), lebih memilih
menjadi Afrika daripada Islam/Arab. Tetapi bagi masyarakat di wilayah lain,
kedua dikotomis tersebut tidak terlalu signifikan. Makna ritual dianggap sebagai
integratif antara sunnah dan millah, antara tradisi dan Islam, antara Afrika dan
Arab/Islam. Dalam studinya, Adyaje (1999) memaparkan bahwa ritual inisiasi
anak perempuan bagi masyarakat Krobo, Ghana dimaknai sebagai persimpangan
jalan yang berbahaya, persimpangan yang disertai dengan kecemasan,
ketidakpastian, dan ambivalensi dari status remaja menuju pada status dewasa
yang belum juga dicapai. Masing-masing orang dalam masyarakat Krobo
memaknai kecemasan, ambivalensi, dan ketidakpastian tersebut dengan asumsi
dan implikasi yang berbeda.
Kekuatan perspektif interpretif ada pada intersubyektivitasnya yang
melihat makna-makna simbolik berasal dari makna orang dalam (pelaku budaya)
dan ditafsirkan oleh peneliti dari subyektivitas orang luar (peneliti). Perspektif
interpretif akan dapat mengungkapkan dengan jelas mengapa sebuah ritual masih
bertahan dipraktekkan oleh masyarakatnya. Kekuatan interpretif lain adalah
dengan jeli melihat istilah-istilah lokal dan menganalisis maknanya dari sudut
pandang pelaku. Hal ini membawa pada perspektif baru bahwa pelaku dianggap
bukan sebagai obyek tetapi subyek budaya, merekalah yang mengkonstruk atau
membangun kebudayaannya, bukan sebagai obyek yang dianggap tidak memiliki
peran apa-apa dalam kebudayaan mereka. Oleh sebab itu, perspektif ini dapat
digunakan pula untuk mengungkapkan realitas sosial atau bagaimana sebuah
kebudayaan itu terbentuk.
Kelemahan perspektif interpretif ketika menjelaskan ritual dalam
kebudayaan tertentu membutuhkan waktu yang lebih banyak dan cukup jeli untuk
menyelami pengalaman subjektif para pelakunya.
Hal
ini
dilakukan
untuk
memperoleh pemahaman yang mendalam tentang kebudayaan masyarakat
tersebut. Jika peneliti tidak mampu menyelami pengalaman subyektivitas para
pelaku budaya, maka penjelasan sebagaimana yang dikehendaki interpretif tidak
akan sampai. Peneliti harus mampu menemukan dan merekam dengan jeli makna
istilah-istilah lokal yang boleh jadi cukup kompleks dan bertentangan satu sama
lain. Sebagaimana sebuah teks, ritual bisa ditafsirkan oleh pelaku-pelaku budaya
yang bisa jadi berlainan. Jika makna-makna yang diberikan oleh pelaku budaya
berbeda dan bertentangan satu sama lain, maka peneliti membutuhkan waktu lebih
banyak untuk menemukan makna-makna apa saja yang bisa mewakili masyarakat
yang bersangkutan. Peneliti juga kesulitan ketika mereduksi makna-makna yang
diberikan oleh masyarakat sebab dalam perspektif interpretif, semua pelaku
budaya adalah subyek yang mengkonstruk budayanya sendiri. Hal ini akan
berakibat pada tafsir yang diberikan oleh peneliti yang berangkat dari makna yang
diberikan oleh pelaku budaya.
Masing-masing penelitian memiliki kekuatan dan kelemahan sekaligus.
Sebagaimana ditekankan B. Litt (1971) bahwa tak ada satu teoripun yang bisa
menjelaskan satu fase ritual tertentu.Yang hanya perlu dilakukan antropolog
adalah dengan menggunakan interpretasi berbeda untuk menjelaskan tiap ritual
inisiasi pada lokus yang berbeda. Setiap penelitian menyajikan data dan informasi
tertentu. Data dan informasi tersebutlah yang diolah antropolog dari sisi yang
menurutnya cukup kuat dan tepat menggambarkan fenomena sosio-religiusitas
masyarakatnya. Oleh sebab itu, perspektif atau pendekatan apapun dalam sebuah
penelitian merupakan sebuah pilihan yang berhubungan erat dengan ketersediaan
data, pemahaman baik atas perspektif yang digunakan dan analisis yang tepat
sesuai dengan fokus penelitian. Penelitian-penelitian sebagaimana yang
disebutkan di atas menjadi referensi langsung maupun tidak langsung dalam
penelitian ini; membandingkan, dan secara jujur mengambil sisi-sisi kekuatan
yang cocok bagi analisis penelitian ini.
Penelitian tentang ritual katoba akan dikaji dalam perspektif interpretif
dengan menggunakan metode fenomenologis dengan menyuguhkan bagaimana
masyarakat Muna memaknai katoba sebagai identitas keislaman mereka. Metode
fenomenologis dianggap tepat digunakan dalam studi tentang ritual katoba untuk
melihat makna simbol-simbol dalam ritual katoba menurut pelaku budaya atau
masyarakat Muna (tineliti) dan tafsir yang dibangun oleh peneliti berangkat dari
makna yang diberikan oleh masyarakat Muna. Masyarakat Muna adalah
masyarakat yang cenderung homogen dengan dinamika gerak perubahan
kebudayaan yang cukup perlahan. Dalam dinamika perubahan yang tidak
revolusioner tersebut masih bisa dikaji makna ritual bagi masyarakatnya
sebagaimana dalam metode fenomenologis. Fenomenologis dianggap dapat
menjelaskan mengapa ritual katoba masih terus dipertahankan dan dipraktekkan
dalam masyarakat Muna, baik ia bertempat tinggal dalam sentral kebudayaanya
(Kabupaten Muna) maupun di luar sentral kebudayaanya (luar Kabupaten Muna).
Penelitian ini akan mengungkap secara jeli istilah-istilah lokal yang
dipakai oleh masyarakat Muna untuk kemudian menghubungkan dengan
konstruksi sosial keagamaan mereka. Dari sudut pandang pelaku budaya sebagai
subyek kebudayaan, penelitian ini akan mengkaji simbol-simbol dalam ritual
katoba, baik simbol verbal maupun nonverbal. Simbol-simbol dalam ritual boleh
jadi dimaknai secara berbeda oleh masyarakat lokal. Simbol-simbol yang berbeda
dihimpun, dianalisis, dan dihubungkan antara simbol yang satu dengan simbol
lainnya dan dalam keseluruhan hidup masyarakat Muna. Inilah yang menjadi
landasan analisis yang dapat digunakan untuk mengungkap konstruksi keislaman
di Muna.
Ritual katoba tidak membedakan inisiasi antara laki-laki dan perempuan.
Ritual ini juga tidak membedakan antara ritual pubertas (secara biologis) dan
ritual inisiasi keislaman (secara sosial) sebagaimana temuan Beidelman (1997;
Caplan (1976); Liisa-Swantz (1995). Dengan perspektif interpretif, studi ini juga
akan menemukan bagaimana dua hal yang tampak bertentangan, yaitu adat dan
Islam bisa disatukan dengan cara kompromi dan negosiasi sehingga ia tetaplah
layak disebut sebagai praktek Islam dan sebagai perwujudan dari menjadi muslim.
Ini membedakan dengan studi yang dilakukan Caplan (1976) dalam masyarakat
muslim Mafia bahwa ritual menampilkan sebuah identitas yang bergerak antara
Islam dan adat/tradisi. Inisiasi anak laki-laki lebih cenderung ke arah agama
(sunnah) dan inisiasi anak perempuan lebih cenderung ke arah tradisi (millah).
Perspektif interpretif dalam penelitian ini mengelaborasikan antara pemaknaan
tineliti dengan interpretasi peneliti yang dibangun berdasarkan makna-makna
yang dibentangkan oleh orang dalam (orang Muna) sendiri. Dengan pemaknaan
masyarakaat lokal dan dengan interpretasi peneliti, penelitian ini akan
mengungkapkan bagaimana ritual katoba menjadi penegas identitas sosial, dalam
hal ini adalah identitas sosial-agama sebagai muslim. Dengan perspektif
interpretif-fenomenologis, penelitian ini akan melihat bagaimana katoba
memperlihatkan cara masyarakat Muna mengkostruksi sekaligus mereproduksi
identitas mereka secara terus menerus secara berkesinambungan.
F. Landasan Teori
F.1 Simbol dan Makna dalam Ritual
Ritual bukan entitas yang hadir dalam ruang dan waktu yang kosong, ia
hadir memiliki makna dan implikasi tertentu, minimal bagi pelaku budaya yang
memilikinya. Karena itu, ritual dalam beberapa hal adalah komunikasi, setidaknya
dalam hal transformasi nilai antar generasi. Komunikasi yang didapat dari ritual
diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol. Simbol adalah unit terkecil dari ritual
yang mengandung sekian banyak informasi dan bisa berwujud banyak hal: obyek
tertentu, aktivitas, kata-kata, hubungan, peristiwa tertentu, gesture (Turner, 1967).
Manusia disebut sebagai animal symbolicum (Firth, 1973) dan oleh sebab itu,
komunikasi yang dilakukan manusia adalah komunikasi simbolis (lewat simbolsimbol bahasa maupun non-bahasa) dan melahirkan pula bahasa-bahasa simbolik.
Simbol-simbol ini kemudian dimaknai dengan pemaknaan yang bersifat arbitrer
dalam masyarakat.
Simbol mestilah dibedakan dengan index dan icon dalam hubungan antara
apa yang dirujuk (signified) dan yang menjadi rujukannya (signifier). Pierce
(dalam Firth, 1973: 61) menjelaskan bahwa hubungan antara signified dan
signifier dalam index bersifat langsung. Seorang pemburu yang menemukan jejak
kaki singa dalam hutan, maka jejak tersebut adalah index bagi keberaniannya
berburu. Icon merujuk pada hubungan antara signified dan signifier bersifat
mimikri atau peniruan dari obyek. Patung singa merupakan icon dari hewan jantan
dan buas. Sementara itu, tanda-tanda dalam simbol mengandung pesan yang bisa
mengkomunikasikan sesuatu dan bersifat arbitrer tergantung kesepakatan pelaku
budaya. Hubungan antara simbol dengan apa yang disimbolkan bersifat arbitrer,
subyektif, kompleks, dan interpretatif tergantung pada konvensi-konvensi sosial,
kebudayaan atau kebiasaan. Jika merujuk pada pengertian simbol secara etimologi
berasal dari kata Yunani “symbolos” yang berarti tanda atau ciri yang
memberitahukan sesuatu kepada seseorang (Herusatoto, 2008). Dengan demikian,
singa bisa jadi menjadi simbol keberanian selama ada kesepakatan atau konvensi
tentang hal itu.
Kebudayaan adalah sistem simbol yang di dalamnya terdapat hubungan
antara simbol dengan rujukannya, dan hubungan antara simbol yang satu dengan
simbol lainnya. Simbol melibatkan tiga unsur sekaligus: yaitu simbol itu sendiri,
rujukan dari simbol, dan hubungan antara simbol dengan rujukannya (Spradley,
2006). Ketiga unsur tersebut membentuk dasar bagi makna simbolik. Ada dua
macam simbol dalam ritual yang dibedakan Turner (1967) dengan simbol
dominan dan simbol instrumental. Simbol dominan bisa ditemukan dalam banyak
konteks ritual berbeda dan meliputi sistem simbol secara keseluruhan. Sementara
simbol instrumental membungkus tujuan tertentu dari tiap-tiap ritual dan
maknanya dapat ditemukan hanya jika dihubungkan dengan simbol yang lain.
Pohon mudyi (the milk tree) dalam masyarakat Ndembu adalah simbol dominan
yang
memiliki
banyak
orientasi
makna
(polysemy/multivocality).
Ia
menggambarkan sistem totalitas hubungan antara individu dan masyarakat yang
membentuk masyarakat Ndembu.
Kehadiran simbol dalam kebudayaan mengharuskan interpretasi dan
pemaknaan. Pemaknaan terhadap simbol bisa dilakukan dari cara masyarakat
lokal memahami simbol, bagaimana masyarakat bertindak/bersikap secara
simbolik, dan bagaimana mereka secara sadar menginterpretasikan apa yang
mereka lakukan sebagai perilaku simbolik yang bermakna. Pada level ini, makna
sebuah simbol dipahami dari sudut pandang pelaku budaya atau pemilik simbol
itu sendiri (tineliti). Simbol diciptakan oleh masyarakat dan maknanya dipahami
sebagai sesuatu yang disepakati secara arbitrer. Memahami masyarakat dari sudut
pandang mereka akan mendekatkan pemahaman secara lebih terbuka terhadap
fenomena kebudayaan suatu masyarakat.
Mempelajari makna simbol dari sudut pandang pelaku budaya dalam studi
antropologi disebut dengan metode fenomenologis. Meskipun demikian, studi
antropologis tidak hanya meneliti masyarakat dari sudut pandang pelakunya.
Peneliti dalam memaparkan sebuah kebudayaan tidak bisa lepas dari interpretasi
atau pembacaan terhadap kebudayaan tersebut. Namun demikian, peneliti tidak
bisa sembarangan menafsirkan makna berdasarkan subyektivitas pribadinya.
Peneliti melakukan interpretasi tetaplah berangkat dari cara masyarakat lokal
memaknai simbol-simbol dalam kebudayaan mereka. Memaknai simbol dengan
demikian adalah upaya intersubyektif di antara makna yang diberikan pelaku
budaya yang bersangkutan dan makna yang diinterpretasi peneliti berdasarkan
totalitas makna yang telah diberikan oleh tineliti (pelaku budaya).
Turner (1967) memberikan tiga bentuk penafsiran simbol, yaitu (1)
exegetical meaning, berupa makna yang diperoleh dari pelaku budaya setempat.
Pemaknaan dalam hal ini bisa diperoleh dengan cara wawancara terhadap pelaku
budaya; (2) operational meaning, berupa makna-makna yang diperoleh dari
tindakan yang dilakukan dalam ritual; (3) positional meaning, yaitu makna yang
diperoleh melalui interpretasi simbol dalam hubungan totalitas dengan simbolsimbol lainnya. Ketiga penafsiran simbol tersebut akan melahirkan sebuah
pemaknaan yang total, mendalam dan komprehensif; dimulai dari pemaknaan dari
sudut pandang pelaku budaya, dari segi praktek ritual yang dilakukan, dan
pemaknaan terhadap hubungan antara pelaku, tindakan yang dilakukan, dan
dengan simbol-simbol lain yang berada dalam satu setting sosial dan budaya.
Dengan demikian, makna harus dilihat dalam totalitas simbol yang
melingkupinya. Makna dalam simbol ritual tidak hanya merujuk pada apa yang
dikatakan masyarakat tentang hal tersebut, tetapi juga pada apa yang masyarakat
lakukan dengannya, pengaruh emosional terhadap makna tertentu dan juga alasanalasan mengapa seseorang melakukan atau menggunakan simbol tertentu,
sementara yang lainnya tidak menggunakan atau melakukannya. Dari maknamakna yang diberikan oleh pelaku budaya, peneliti berupaya untuk menangkap
makna totalitas berdasarkan hubungan antara simbol yang satu dengan simbol
lainnya dan konteks keseluruhan simbol tersebut dalam keseluruhan hidup
masyarakat.
Ekspresi-ekspresi dalam ritual dapat ditemukan dalam simbol-simbol, baik
simbol verbal maupun non-verbal. Ia ada dalam simbol kata-kata yang diucapkan,
simbol bahasa yang digunakan, simbol kehadiran, simbol tindakan ritual, dan
hubungan simbol-simbol tersebut secara keseluruhan. Sebagai sebuah teks,
pembacaan terhadap ritual adalah mempelajari makna simbol-simbol dari sisi
pelaku budaya (tineliti) dan berdasarkan pemaknaan pelaku budaya tersebut,
peneliti melakukan pembacaan terhadap cara masyarakat memaknai simbolsimbol ritual.
Mempelajari ritual secara fenomenologis bagi Dhavamony (1995: 167)
adalah melihatnya sebagai agama dalam tindakan. Ritual merupakan manifestasi
iman yang diwujudkan dalam bentuk yang praktis dan kongkrit.Tindakan agama
yang diwujudkan dalam ritual merupakan fenomena religius masyarakat yang
bersifat subyektif karena pengalaman agama dihayati, dimaknai, diinterpretasikan
oleh pemeluk agama yang bersangkutan.
Dalam fenomenologi, satu fenomena agama tidak bisa dipandang hanya
memiliki satu arti atau makna. Dia boleh jadi memiliki arti dan dimaknai secara
berbeda oleh masing-masing individu atau kelompok yang berbeda sebagai
tindakan religius mereka. Karena itulah, makna dalam simbol tidaklah tunggal.
Makna dalam simbol bisa merujuk pada banyak hal atau multivocal/multivalence
(Turner, 1969; Eliade, 1952), ia meliputi simbol-simbol pribadi atau keseluruhan
fenomena, simbol-simbol yang bertentangan atau polarisasi, simbol-simbol yang
memiliki arti terpisah atau unifikasi, dan diekspresikan secara terus menerus.
Simbol pada dasarnya berhubungan dengan dinamika sosial masyarakat. Ia hadir
untuk merepresentasikan masyarakat itu sendiri. Bagi Turner (1967), ritual,
kepercayaan dan simbol berhubungan sangat erat satu sama lain dan dalam
beberapa konteks menyebabkan tindakan atau aksi sosial. Ia menjadi pendorong
atau kekuatan yang menyebabkan seseorang atau kelompok melakukan aksi
tertentu. Pendeknya, semua dinamika sosial masyarakat diringkas ke dalam
representasi tunggal, yaitu simbol-simbol dan menegaskannya dalam ritual.
Oleh karena itu, masyarakat bisa saja berbagi simbol tetapi belum tentu
berbagi maknanya. Maka dari itu, simbol bisa dipahami secara berbeda oleh
masyarakat yang berbeda, bahkan dalam masyarakat yang sama (Turner, 1967;
Ozlem, 2010; Cohen, 1985). Pemaknaan yang sama bukan menunjukkan
kepatuhan pelaku budaya, akan tetapi mereka memaknai simbol yang sama secara
dan dengan cara bersama-sama pula. Sebaliknya, pemaknaan yang tidak sama
bukan menunjukkan pengingkaran atau penyimpangan, akan tetapi cara mereka
memaknai simbol dengan cara dan orientasi yang berbeda.
Dalam konteks ini, seorang peneliti fenomenologis akan berupaya untuk
menghubungkan makna-makna yang berbeda dari partisipan yang berbeda dan
membangun pemahaman atas makna-makna yang berbeda tersebut. Fakta religius
dalam fenomenologis karena itu bersifat subyektif oleh sebab ia merupakan
keadaan mental dari masyarakatnya dalam menginterpretasi dan memaknai
religiusitas mereka. Namun demikian, subyektivitas tersebut juga obyektif oleh
karena dapat dikonfirmasikan oleh peneliti atau pengamat yang mencermati
pemaknaan tersebut (Dhavamony, 1995: 34).
Kajian tentang ritual ditegaskan Geertz (1966) bukan untuk menetapkan
hukum atau polaritas, tetapi merujuk pada analisis interpretif untuk mencari dan
menemukan makna. Meskipun demikian, mempelajari makna simbol tidak hanya
melihat apa yang terlihat secara kasat mata. Apa yang disajikan dalam simbol
bukanlah apa yang muncul di permukaan (surface fact), akan tetapi merujuk pada
apa yang lebih dalam/tersembunyi dari apa yang tampak (deep fact). Pencarian
makna bukan dengan cara mengungkapkan fakta-fakta kebudayaan tertentu, tetapi
yang paling penting adalah sejauh mana seorang antropolog mampu menjelaskan
apa yang terjadi dalam kebudayaan tertentu (bukan hanya sekedar fakta-fakta),
mengungkapkan teka-teki dan misteri tentang pelaku budayanya, latar belakang
(yang awalnya tidak tampak) yang melatari tindakan tertentu. Geertz (1966)
menyebut cara tersebut dengan “appraisal”, sebuah cara penggambaran yang lebih
baik.
Oleh sebab itu, studi tentang ritual mengharuskan studi tentang apa yang
ada dibalik apa yang terlihat. Firth (1973) menyebut hal tersebut dengan
disjunction, sebuah gap antara apa yang terlihat di permukaan dengan maknamakna di baliknya. Mempelajari makna dalam simbol-simbol kebudayaan bukan
dengan cara mempertanyakan suatu simbol tertentu merujuk pada apa, tetapi
mempelajari hubungan antara simbol tersebut dengan simbol lainnya hingga
akhirnya akan membentuk satu makna total dan menyeluruh.
F.2 Ritual Life-Cycle
Simbol-simbol mengisi dan memperkaya sebuah ritual dalam sebuah
kebudayaan. Ritual menyiratkan suatu tindakan yang berulang secara terus
menerus dan bertahap, berciri tradisional, menggambarkan tindakan yang
menyimbolkan
nilai-nilai
kepercayaan
masyarakat.
Liisa-Swantz
(1970)
mendefinisikan ritual sebagai cara masyarakat mengalami dan mengekspresikan
simbol-simbol pemahaman mereka tentang hidup dan lalu mewariskannya kepada
generasi selanjutnya. Winangun (1990: 60) mendefinisikan ritual dengan lebih
khusus mengacu kepada ekspresi dari keyakinan dan sikap religius manusia.
Lebih detail ritual didefinisikan Turner (1967); Kurtz (1995) sebagai perilaku dan
ucapan tertentu pada kesempatan tertentu yang bukan merupakan sebuah rutinitas
biasa dan merupakan perwujudan dari nilai suatu kepercayaan keagamaan, serta
ditujukan pada suatu kekuatan mistik.
Ritual dibedakan dari upacara (ceremony). Sebuah ritual harus
mengandung mistical notion (Gluckman dalam Swantz, 1970: 66), sementara
upacara tidak mengandung hal tersebut. Upacara lebih mengacu kepada kegiatan
manusia yang bersifat teknis atau rekreasional dan berkaitan dengan tindakantindakan ekspresif dalam hubungan sosial (Dhavamony, 1995: 125). Jadi, ritual
mengacu kepada tindakan religius atau magic-spritual dan bersifat mistical notion
(perasaan dan tindakan mistik), sedangkan upacara mengacu kepada tindakan
dalam konteks sosial. Jika upacara berlangsung dalam hal-hal yang profan, maka
ritual mengacu kepada hal yang sacred/sakral.
Manusia memiliki siklus hidup yang dalam beberapa kebudayaan
dianggap sebagai sesuatu yang rentan dan berbahaya, oleh karenanya dipecahkan
secara ritual. Studi tentang ritual sebagai siklus hidup (life-cycle) dilakukan oleh
Van Gennep (1960; 11) yang disebutnya sebagai rite de passage. Van Gennep
(1960: 11) menetapkan bahwa keseluruhan rangkaian daur hidup manusia
senantiasa melewati tiga tahap, yaitu preliminal rite (rites of separation), liminal
rites (rites of transition), dan postliminal rites (rites of incorporation). Rite de
Passage adalah gerbang/ambang (threshold) yang dilewati seseorang atau
kelompok dalam memasuki statusnya yang baru yang membedakannya dari
keadaan sebelumnya. Tahap separasi adalah tahap dimana “novice” dipisahkan
dari lingkungan sosialnya; tahap transisi ketika anak tak memiliki dan dimiliki
oleh atribut, status, dan struktur apapun; dan tahap inkorporasi ketika anak
dikembalikan kepada lingkungan sosialnya kembali dengan status dan peran baru,
serta tanggung jawab yang baru pula.
Konsep Van Gennep dengan Rites de Passage ini dikembangkan lebih
lanjut oleh Victor Turner dalam penelitiannya terhadap masyarakat Ndembu,
Zambia. Turner (1967: 94) mengatakan bahwa Rite de Passage secara simbolis
merupakan perpindahan individu dari alam plasenta menuju kematian, suatu
analogi konsep yang mengacu pada proses kehidupan yang terus menerus dari
titik awal kelahiran hingga kematian. Penekanan utama Turner adalah aspek
liminalitas dan communitas-nya. Dalam tahap ini “novive” berada pada kondisi
ambang, in between, in bitwixt, tak memiliki dan dimiliki oleh status, atribut, dan
struktur apapun atau siapapun, tidak ada gradasi, tidak ada perbedaan dalam hal
apapun, tidak berada di sini maupun di sana, tidak berada di manapun. Dalam
kondisi ini, “novice” biasanya berada dalam kondisi yang sama, mengenakan
pakaian yang sama dan terbatas, juga terbatas makanan, minuman, dan istirahat.
Oleh Turner kondisi ini disebut dengan anti-structure bahkan tidak terstruktur.
Dalam fase inilah drilling atau latihan dan ajaran-ajaran keprihatinan hidup
diberikan. Liminal adalah masa inkubasi bagi sikap dan perilaku baru di mana
anak diharuskan memahami ajaran-ajaran suci dan luhur tentang hidup dan
tentang hak dan kewajibannya dalam masyarakat. Konsep Turner tentang
liminalitas digunakan untuk mencermati bagaimana ritual katoba bekerja dalam
kehidupan masyarakat Muna. Konsep ini digunakan untuk mengkaji mengapa
ritual ini sangat penting bagi masyarakat Muna dan tidak hanya dilakukan sekali,
tetapi diulang kembali dalam siklus hidup manusia.
Ada dua level yang bisa dicermati dalam ritual: level mikro dan level
makro. Level mikro mengacu kepada upaya para tetua agama dan adat
menanamkan secara cross-generational nilai-nilai yang diharapkan pada anak
setelah menjalani ritual dan nilai-nilai yang perlu dihindari. Level makro di sisi
lain mengacu kepada upaya menegaskan perasaan etnisitas. Ritual menyiratkan
sebuah karakteristik masyarakat tertentu. Ritual slametan menurut Beatty (2001)
adalah identitas masyarakat Jawa yang mempresentasikan falsafah rukun
(agreeing to differ); Geertz (1966) menyajikan ritual kematian dalam masyarakat
Pare sebagai sebuah potret konflik antara santri dan abangan, kesenjangan antara
praktek-praktek kehidupan Islam dan tradisi lokal; Turner (1967) menyajikan
ritual pelantikan kepala suku dalam masyarakat Ndembu sebagai upaya
merevitalisasi struktur-struktur sosial dalam masyarakat.
Ritual inisisi anak sebagai bagian dari life-cycle mencerminkan maksud
dan tujuan-tujuan yang sakral. Ritual life-cycle dilakukan salah satunya dengan
tujuan purifikasi atau pembersihan diri. Purifikasi (kebersihan/kesucian diri) oleh
beberapa tradisi dan agama merupakan tujuan utama dalam ritual inisiasi. Konsep
tentang purifikasi dipahami sebagai persyaratan pertama dan utama dalam ritual,
baik ritual agama maupun tradisi atau sinkretik keduanya. Islam dengan konsep
kesucianya (thaharah) merupakan salah satu bagian dari konsep purifikasi yang
bagi muslim merupakan persyaratan pertama dan utama sebagai pintu masuk
dalam pelaksanaan syari’at. Sholat sebagai bagian dari ibadah muslim tidak akan
diterima jika badan dan diri tidak dalam kondisi suci (wudhu/tayamum).
Purifikasi juga merupakan prasyarat utama kembali ke jalan fitrah /kembali
kepada agama (Abu-Shahlieh, 1998: 2001).
Ritual inisiasi tidak hanya mengacu pada perubahan-perubahan fisikbiologis, tetapi juga perubahan-perubahan sosial pada diri individu maupun
komunitas. Salah satu bentuk ritual inisiasi adalah ritual perubahan status yang
berhubungan dengan bagaimana seseorang berpindah dari satu status menuju
status berikutnya dan bertanggung jawab karenanya, suatu perubahan yang
dimulai pada tahap kehidupan hingga kematian. Collins (2005: 328) menyebutnya
sebagai sebuah ketegangan yang bergerak dan menjadikan proses tersebut menjadi
seimbang, yang mengantarkan seseorang dari satu dunia ke dunia lain (dan
kemudian kembali lagi). Perubahan fisik-biologis dalam ritual ditandai dengan
simbol-simbol fisik yang secara sederhana berupa gerakan melewati ambang pintu
(threshold), sedangkan perubahan sosial ditandai dengan perubahan status,
identitas, tanggung jawab dan kewajiban baru (Muir, 1997).
Ritual inisiasi sebagai penanda keremajaan biasanya dilaksanakan pada
akhir masa kanak-kanak. Alasan agama atau budaya menjadi dasar pertimbangan
dilakukannya ritual, di samping untuk menyambut datangnya usia remaja
(coming-of-age ritual) yang mengekspresikan transisi status dari kanak-kanak
menjadi remaja, bahkan menuju dewasa (Arbuckle, 1982: 230). Dhavamony
(1995: 191) menambahkan alasan pelaksanaan ritual sebagai penerimaan individu
ke dalam kedewasaan atau kematangan religius. Hal ini menunjukkan bahwa
alasan dilakukannya ritual inisiasi adalah penanda diterimanya status baru bagi
anak dan pengakuan oleh masyarakat, serta mendapatkan hak-hak sebagai bagian
dari anggota masyarakat secara sosial maupun religius.
F.3 Identitas Keislaman
Sebuah ritual dalam masyarakat bisa memperlihatkan identitas masyarakat
tersebut yang diwujudkan lewat simbol-simbol. Identitas mengacu kepada batasan
yang membedakan diri sendiri dengan orang lain. Masyarakat menciptakan tradisi,
misalnya dalam bentuk ritual salah satunya untuk membedakan dirinya atau
menunjukkan keberadaan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain. Dalam
masyarakat tradisional, ritual merupakan elemen penting dalam kesadaran
komunitas tentang identitas dirinya (La Fontaine, 1985) sebagai salah satu cara
memposisikan diri dengan identitas luar. Ritual menjadi salah satu cara untuk
mengekspresikan sesuatu yang dianggap penting dalam masyarakat sebagai satu
wadah komunikasi untuk menunjukkan keberadaan (identitas) dirinya. Ritual juga
merupakan media untuk menjembatani dua atau lebih entitas yang berbeda.
Identitas melekat pada diri seseorang atau kelompok masyarakat tertentu
dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan bersama yang membedakannya dengan
sesorang atau kelompok yang lain. Hall (dalam Osmani, 2007: 68) menetapkan
bahwa identitas sebagai rangkaian dan harapan-harapan sosial yang berhubungan
dengan diri sendiri dan orang lain yang dilatarbelakangi oleh persamaan dan
perbedaan. Dengan demikian, identitas budaya merupakan perasaan kepemilikan
dan ide yang sama mengikat satu individu atau kelompok masyarakat dalam satu
kebudayaan tertentu.
Identitas mengacu kepada status sosial yang bisa berupa identitas budaya
dan bisa pula identitas agama atau kedua-duanya. Identitas sosial yang dibahas
dalam studi ini adalah identitas agama atau identitas keislaman atau apa yang
dimaksudkan dengan menjadi Islam. Dengan begitu, keislaman adalah sebuah
identitas sosial-agama. Ia dibangun oleh kriteria-kriteria agama, apa yang
dimaksudkan sebagai Islam dan bagaimana keislaman itu dikonsepsikan.
Keislaman dalam hal ini adalah sebuah kondisi atas pengakuan “apa yang
dimaksudkan sebagai Islam”. Maka, keislaman sebagai sebuah identitas adalah
menetapkan pada kondisi yang bagaimana masyarakat atau kelompok tertentu
dianggap sebagai Islam dan bagaimana keislaman tersebut dibangun.
Keislaman ditandai dengan ikrar secara lisan dan dalam praktek. Secara
lisan, menjadi Islam ditandai dengan diikrarkannya dua kalimat syahadat. Abu
Shahlieh (1998) menegaskan bahwa penanda keislaman terletak pada sirkumsisi
dan oral symbolic berupa deklarasi syahadat. Dalam praktek, menjadi Islam
ditandai dengan sirkumsisi atau khitan. Maka, bagi nonmuslim yang masuk Islam,
selain keharusan mengucapkan dua kalimat syahadat, ia juga diwajibkan untuk
melakukan sunat atau khitan secara Islam. Dalam berbagai studi ditemukan bahwa
masyarakat muslim di berbagai wilayah meyakini dan mempraktekkan sirkumsisi
atau praktek sunat sebagai penanda keislaman seseorang. Dalam masyarakat Jawa
dan Madura (Putranti, 2000; Darwin, 2001), masyarakat Muslim Banjar (Hasan,
tt), masyarakat Sunda (Newland, 2000), dalam masyarakat Ternate (Depdikbud,
tt), juga dalam masyarakat Muslim Zanzibar, Afrika Timur (Cory, 1948).
Keislaman sebagai sebuah identitas sosial bisa diketahui lewat simbolsimbol, baik simbol verbal maupun nonverbal. Dengan demikian, identitas
keislaman adalah simbol-simbol yang dimaknai sebagai Islam. Simbol-simbol
yang dimaknai sebagai Islam bisa saja menunjukkan hal-hal yang berasal dari
Islam, tetapi juga bisa berasal dari selain Islam yang lalu dimaknai masyarakat
tertentu sebagai bagian dari tradisi Islam. Masyarakat Islam Indonesia menurut
banyak penelitian antropologi tidaklah benar-benar “murni” Islam. Islam yang
dipraktekkan dalam masyarakat Islam di Indonesia adalah Islam yang merupakan
hasil adaptasi dan akomodasi dengan praktek tradisi lokal yang bisa jadi dianggap
sebagai non Islam atau bahkan bertentangan dengan Islam. Praktek Islam dalam
masyarakat Jawa, misalnya adalah contoh bagaimana Islam mengalami
sinkretisasi dalam jangka waktu yang cukup lama (Geertz, 1950; Jay, 1969;
Nakamura, 1984; Koentjaraningrat, 1985). Pada akhirnya, begitu sulit untuk
membedakan secara tegas yang mana Islam dan mana yang non Islam dalam
kebudayaan Jawa. Begitu pula halnya dengan sinkretisme antara adat Buton
dengan kepercayaan Islam sebagaimana temuan Haliadi (2001).
Elemen-elemen dalam kebudayaan Jawa baik itu dalam bentuk babad,
tembang,
mitos,
ataupun
wayang
menurut
Ahimsa-Putra
(2006)
oleh
masyarakatnya menjadi satu kesatuan dengan Islam. Elemen-elemen tersebut
menyatu dengan cara yang licin dan halus lewat relasi-relasi tertentu; relasi
genealogis, relasi analogis, relasi historis, relasi profesis, dan relasi kooperatif
mampu menyatukan Islam dengan tradisi Jawa dan tradisi pra-Islam (AhimsaPutra, 2006: 371). Dengan berbagai macam relasi tersebutlah mampu membentuk
satu kebudayaan Jawa yang menyatukan dan memadatkan relasi antara Islam,
Jawa, dan Pra-Islam dalam hubungan yang cair. Di Buton, konsep kelahiran
kembali dikatakan Haliadi (2001) sebagai rohi polimba (roh yang berpindah) yang
timbul dalam masyarakat Buton sebagai perpaduan antara kepercayaan Islam
tentang “roh” dan kepercayaan Buton tentang “kematian”. Kepercayaan ini
merupakan bentuk pengetahuan yang dikembangkan Oleh Sultan Muhammad
Idrus Qaimuddin dan Abdullah Ghaniyu yang menghimpun pengertian kematian
secara tradisional dan roh secara Islam.
Dari temuan tersebut dapat dikatakan bahwa keislaman dimaknai secara
berbeda oleh setiap masyarakat yang berbeda. Dalam masyarakat Cirebon, setiap
ritual baik ia religius maupun bukan jika ia dilakukan dengan niat untuk
mewujudkan pemujaan kepada Tuhan, maka ritual tersebut dikategorikan ibadah
dan dikategorikan sebagai Islam (Muhaimin, 2002). Begitu pula halnya dalam
masyarakat Tegalroso, betapapun kecilnya seorang muslim melakukan komitmen
keagamaanya, tidak ada satupun masyarakat yang mengingkari keberadaanya
sebagai muslim (Pranowo, 2009: 365).
Dengan demikian, penanda keislaman tidaklah tunggal, sebab menjadi
Islam atau keislaman ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan perjalanan sejarah
dan kultur masyarakat tersebut. Pada dasarnya konsep keislaman adalah konsep
yang menimbulkan perdebatan tersendiri. Keislaman adalah persoalan komitmen
yang mengacu kepada bagaimana keislaman itu dicirikan atau bagaimana menjadi
pemeluk Islam yang sebenarnya. Salah satu kunci perdebatan tersebut
sebagaimana disebutkan Hassan (2005: 437) adalah keislaman harus dapat
terbukti lewat sikap atau perbuatan, lewat etika, dan pengetahuan. Oleh sebab itu,
Ahimsa-Putra (2007: 709) menawarkan untuk melihat identitas sebagai perangkat
simbol dan tanda yang wujudnya situasional dan kontekstual.
Keislaman tidak hanya terbatas pada salah satu aspek dan tidak pula cukup
dilihat dalam periode yang pendek. Mengamati Islam adalah meneliti pada tataran
“discursive tradition” (Asad dalam Anjum, 2007), pada “practical Islam” (Ali,
2011), pada “discourse” (Bowen, 1993). Konsep “discursive tradition” bagi Asad
mengacu pada aspek yang bagaimana keotentikan tersebut diterapkan dan kriteria
yang bagaimana dia mendapatkan pembenaran.
Islam sebagai “discursive tradition” dimaknai Asad sebagai;
“Historically envolving set of discourse, embodied in the practices and
institutions of Islamic society and hence deeply imbricated in the material
life of those inhabiting them” (Asad, 1986).
Islam sebagai tradisi dengan corak keberagamaan masyarakatnya dicirikan
oleh rasionalitas atau alasan kebenaran yang berasal dari teks agama, sejarahnya,
dan institusinya. Disebut dengan paktek-praktek Islam sebab ia diotorisasi oleh
tradisi diskursif dalam Islam (entah oleh alim ulama, khatib, sufi, syekh, atau para
orang tua) dan ditujukan untuk Muslim (Asad, 1986). Ia memiliki sejarah
tersendiri yang menghubungkan masa lalu (masa dimana praktek keberagamaan
tersebut ditetapkan) dan masa yang akan datang (bagaimana praktek
keberagamaan tersebut terus berlangsung pada masa mendatang) lewat
pelaksanaannya pada masa kini (bagaimana ia dihubungkan dengan praktek,
institusi, dan kondisi sosial yang lain).
Keislaman bisa dilihat dalam praktek ritual yang kaya akan simbol-simbol.
Dari simbol-simbol tersebut, keislaman akan bisa terdeteksi yang lalu bisa
menunjukkan sebuah identitas sosial, dalam hal ini adalah identitas sosial-agama.
Dalam konteks ini, meneliti ritual untuk mengkonfirmasikan identitas sosial
masyarakat adalah mengamati bagaimana cara masyarakat mempraktekkan Islam.
Keislaman dalam masyarakat yang dilihat pada aspek praktek, wacana atau tradisi
diskursifnya berarti melihat keislaman sebagai sebuah proses dinamika sosial
masyarakat.
Identitas dikonstruksi masyarakat berdasarkan dinamika sosial masyarakat
tersebut, berhadapan dengan konteks sosial yang lebih besar. Dengan demikian,
identitas diyakini merupakan sesuatu yang sengaja diciptakan (King, 1982;
Vickers, 1989; Hall, 1992; Eriksen, 1993; Kipp, 1993; Kahn, 1995, Picard, 1997;
Wood, 1998). Konstruksi identitas ini merupakan sesuatu yang berlangsung terus
menerus dan berkesinambungan (Pilliang, 2002: 10) dan “sesuatu yang tidak
pernah sempurnah” (Hall, 1990). Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa
identitas bukanlah entitas yang statis, ia terus berproses sepanjang dinamika
masyarakat tersebut. Karena itu, identitas keislaman bisa saja mengalami
perubahan, bisa dipertanyakan, diperdebatkan, dinegosiasikan, bahkan bisa
diganti.
F.4 Negosiasi dan Reproduksi
Keislaman sebagai identitas sosial selalu mengalami perubahan dan hal ini
berlangsung sepanjang dinamika perubahan masyarakat. Sebagaimana dijelaskan
Jenkins (dalam Jensen, 2012: 391) bahwa identitas adalah proses yang
berlangsung terus menerus, yang dibentuk oleh dialektika antara gambaran diri
sendiri dan orang lain. Dalam konteks ini, identitas keislaman boleh jadi
mengalami proses negosiasi dan reproduksi. Negosiasi dilakukan terhadap
simbol-simbol ritual yang menunjukkan penanda keislaman. Dalam hal ini,
negosiasi dilakukan terhadap simbol-simbol yang tampak bertentangan dan/atau
oleh seseorang atau kelompok yang memiliki pandangan yang berbeda.
Melihat ritual sebagai kumpulan dari perangkat simbol berarti melihat
ritual dalam dinamika masyarakat sebagai sebuah fenomena sosial yang dinamis.
Oleh sebab itu, sebagai sebuah fenomena sosial, pemaknaan sebuah simbol juga
bisa berbeda-beda dan berubah. Simbol-simbol yang sama dipahami secara
berbeda tergantung orientasi sosial, budaya, dan keagamaan pemilik dan pembaca
simbol tersebut. Simbol menyediakan diri secara bebas untuk diinterpretasi dalam
pemaknaan yang kurang lebih sama atau berbeda. Makna dalam ritual dengan
demikian bisa saja dipertanyakan, digugat, diperdebatkan, dan dinegosiasikan oleh
masyarakatnya sendiri.
Oleh sebab itu, dalam kebudayaannya, masyarakat seringkali melakukan
upaya negosiasi dalam memaknai apa yang dianggapnya penting dan bermakna.
Negosiasi adalah sebuah proses pendekatan atau kontestasi antara satu hal yang
diyakini dengan hal yang baru/asing. Negosiasi mengindikasikan sebuah proses
pendekatan argumen atau kompromitas antara dua hal yang bertentangan demi
menghasilkan kesepakatan yang bisa memuaskan kedua pihak (Haviland, 1999:
367). Ada dua bentuk negosiasi kultural, yaitu negosiasi personal dan negosiasi
interpersonal (Djunaedi dalam Abdullah, 2008). Negosiasi personal adalah proses
kontestasi antara ideologi yang dianut seseorang/sebuah masyarakat dengan
entitas asing, sementara negosiasi interpersonal adalah proses kontestasi dan
penyesuaian ideologi yang dianutnya sekaligus juga berhadapan dengan proses
resistensi dari orang-orang/kelompok yang tidak setuju. Negosiasi interpersonal
lebih berat resikonya dari negosiasi personal karena diperhadapkan dengan
penolakan atau perlawanan.
Negosiasi pada dasarnya merupakan strategi retorika tentang bagaimana
masyarakat bekerja dan hidup dalam perbedaan-perbedaan (West & A. Olson,
1999). Proses negosiasi dilakukan ketika terjadi perbenturan antara dua budaya
yang berlainan dan telah terjadi perubahan orientasi berpikir, bahkan perubahan
tata nilai dalam masyarakat. Negosiasi berlangsung seiring melemahnya pusatpusat kebudayaan sebagai pengendali dan pewarisan sistem nilai (Abdullah, 2007:
58-60).
Yang dimaksudkan dengan negosiasi dalam studi ini adalah upaya atau
proses pendekatan argumentasi makna dalam simbol-simbol ritual yang
merupakan kontestasi antara tradisi lokal dan Islam. Pertemuan dua entitas budaya
lokal dan Islam melahirkan berbagai macam respon, baik dalam bentuk resistensi
maupun kompromistis. Nilai-nilai tradisional ketika diperhadapkan dengan nilainilai Islam menjadi dikontestasikan dalam bentuk yang kompromistis, atau
bahkan konflik. Ketika kecenderungan masyarakat berpihak pada agama (Islam)
ditambah pula dengan keinginan dan upaya mengeliminir tradisi lokal, maka sikap
resistensi dan akhirnya konfliklah yang muncul (baik dalam bentuk konflik
terbuka maupun konflik laten).
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa Islam yang menyebar di
Indonesia dicirikan dengan Islam yang bercampur dengan keyakinan dan praktek
tradisi lokal. Inilah yang membedakan
praktek Islam di tanah Arab dengan
praktek Islam di Indonesia. Islam di Indonesia adalah Islam yang tidak hanya
murni Islam tetapi juga masih berbalut adat istiadat lokal yang ditranformasikan
ke dalam nilai-nilai Islam. Islam menemukan akar untuk tumbuh dan berkembang
kuat di nusantara justru dikuatkan oleh adat istiadat lokal. Hubungan antara Islam
dan adat istiadat lokal merupakan bentuk akomodasi dan adaptasi yang jenius.
Cara adaptatif yang sukses seperti ini diistilahkan Baso (1999: 87) sebagai parodi
atau plesetan cara beragama yang merupakan percampuran antara akomodasi dan
resistensi. Dikatakan parodi dan plesetan karena mampu merangkul dan
menghayati agama-agama yang (di)resmi(kan) di satu sisi dan keuletan menyiasati
ajaran-ajaran agama resmi tersebut untuk kepentingan mereka di sisi lain.
Ketika masyarakat berusaha mengkompromikan dua entitas tradisi lokal
dan Islam dengan maksud untuk tetap mempertahankan nilai-nilai keduanya,
maka
telah
terjadi
proses
negosiasi.
Dalam
negosiasi,
terjadi
proses
mempertemukan persamaan sekaligus juga mendeteksi perbedaan antara diri
sendiri dengan orang lain yang berlangsung dalam hubungan dialog (Jensen,
2012: 391). Negosiasi dilakukan dengan mencoba melakukan posisis tawar atas
peran masing-masing tradisi dan Islam tanpa harus kehilangan sikap. Lewat ritual,
proses negosiasi antara tradisi dan Islam dimediasikan. Dengan ritual pula, tradisi
atau budaya dikontestasikan dan ditantang (Aguilar, 2008). Bahkan di dalam
ritual, bentuk-bentuk keberagamaan diartikulasikan dan direproduksi, sementara
bentuk-bentuk budaya dinegosiasikan dalam bentuk yang baru.
Dalam relasi Islam dan tradisi lokal, masyarakat mencoba menegosiasikan
makna simbol-simbol dalam ritual berdasarkan pemahaman mereka terhadap
agama Islam dan bagaimana beragama menurut cara pandang masyarakat.
Negosiasi makna dilakukan untuk tetap menjaga harmonitas dan kerukunan dalam
masyarakat dan agar bisa mempertahankan nilai-nilai Islam dan tradisi lokal
sekaligus. Ketika masyarakat tertentu memiliki interpretasi dan pemahaman
makna yang berbeda soal simbol ritual dengan masyarakat lainnya, maka boleh
jadi akan terjadi proses kontestasi makna. Kontestasi tersebut bisa dalam bentuk
yang
kompromistis,
atau
bahkan
konflik.
Jika
masyarakat
berusaha
mengkompromikan posisi mereka dalam memahami dua makna yang berbeda
dengan maksud untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kerukunan, maka telah
terjadi proses negosiasi.
Proses negosiasi yang dilakukan masyarakat terhadap simbol-simbol ritual
memberikan dampak tersendiri pula terhadap identitas sosial masyarakat yang
bersangkutan, dalam hal ini adalah identitas keislaman. Ketika masyarakat
berubah, identitas seseorang baik itu etnis maupun agama akan mengalami
redefinisi dan reproduksi dalam bentuk-bentuk yang berbeda (Abdullah (2007:
117). Reproduksi identitas dilakukan individu atau kelompok dalam melekatkan
dan membangun kembali identitas keislamannya dalam konteks sosial yang lebih
luas. Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang mengharuskan
adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Reproduksi mengacu kepada cara masyarakat merepresentasikan
“kebudayaan asal” dalam lingungan yang baru (Abdullah, 2007: 41-42). Maka,
reproduksi identitas menyangkut cara masyarakat mempertahankan identitasnya di
dalam konteks sosial budaya yang berbeda. Dalam pemahaman ini, identitas
keislaman diproduksi bahkan direproduksi kembali dalam bentuk yang bisa jadi
berbeda dari bentuk awalnya.
G. Metode Penelitian
G.1 Jenis dan Desain Penelitian
Studi ini menggunakan perspektif interpretif-fenomenologis. Penelitian ini
diarahkan pada identifikasi fenomena-fenomena yang terdapat dalam tradisi
katoba sebagai sebuah entitas masyarakat Muna yang mencitrakan penerimaan
ajaran Islam dalam kehidupan mereka. Dengan perspektif ini, peneliti
mempelajari fenomena religius dari sisi subyektivitas pelaku budaya berupa
pikiran-pikiran, perasaan, dan maksud-maksud pelaku budaya yang diwujudkan
dalam tindakan tertentu (Dhavamony, 1995: 33). Agama dalam metode
fenomenologis dipandang sebagai fenomena yang terjadi yang diungkapkan
dalam simbol ritual. Dalam penelitian ini, fenomena religius masyarakat Muna
dipelajari, dicermati, dikaji dalam simbol-simbol ritual katoba sebagai manifestasi
atau perwujudan keberagamaan mereka. Penelitian tentang ritual katoba sebagai
manifestasi keberagamaan masyarakat Muna dilakukan dengan cara mencermati
bagaimana fenomena katoba dihayati, dimaknai, dan diinterpretasi oleh
masyarakatnya. Lokasi utama penelitian ini dilakukan di Kabupaten Muna,
Sulawesi Tenggara sebagai basis sosial dan kultur masyarakat Muna. Akan tetapi,
sebagai data pembanding penelitian juga dilakukan dalam masyarakat Muna yang
bertempat di wilayah kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
G.2 Jenis Data dan Sumber Informasi
Data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah fenomena-fenomena
yang muncul dalam ritual katoba dalam masyarakat Muna Sulawesi Tenggara dan
hal-hal yang berhubungan dengan ritual tersebut. Fenomena-fenomena yang
dimaksudkan adalah simbol-simbol dalam ritual katoba dan simbol-simbol lain
yang berhubungan, baik simbol verbal maupun nonverbal. Data berupa prosesi
ritual yang meliputi unsur-unsur ritual yaitu ajaran/sistem kepercayaan yang
mendasari ritual, proses ritual, doa/mantra/petuah-petuah yang diucapkan,
benda/sajian dan alat yang dipakai, tempat/ruang upacara, dan waktu pelaksanaan
ritual. Data-data penelitian bisa berasal dari foto-foto ritual, foto-foto kegiatan
masyarakat sehari-hari, video pelaksanaan ritual, rekaman hasil wawancara atau
percakapan sehari-hari yang terkait langsung atau tidak langsung dengan data
penelitian.
Data tersebut dikuatkan pula oleh sumber-sumber pengambilan data, baik
dalam bentuk observasi terhadap proses pelaksanaan ritual dan kehidupan
keseharian masyarakat Muna, lisan (wawancara) maupun tertulis (dokumentasi,
tulisan-tulisan dan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya, dan
manuskrip kangkilo pataanguna yang berhubungan dengan ajaran kebersihan diri.
Sumber informasi lisan didapatkan dari hasil wawancara para tokoh adat, para
pegawai sara (imam, khatibi, dan modji), tokoh agama, tokoh masyarakat, orang
tua dan anak yang menjalani katoba untuk mendapatkan data yang komprehensif.
G.3 Teknik Pengumpulan Data
Data yang dimaksudkan di atas dihimpun dengan menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut;
1. Studi pustaka. Studi pustaka dilakukan terhadap sumber-sumber tulisan yang
berhubungan dengan masyarakat Muna secara umum dan kebudayaan Muna
secara khusus. Tulisan-tulisan tersebut sangat membantu pemahaman dasar
tentang dinamika sosial, budaya, dan religiusitas masyarakat Muna. Tulisantulisan tersebut berasal dari beberapa tokoh adat dan agama lokal, beberapa di
antaranya sudah dalam bentuk cetakan buku dan beberapa lainnya masih dalam
bentuk catatan pribadi yang ditulis tangan. Tulisan-tulisan tersebut penulis
dapatkan dari pengarangnya langsung dan ada pula yang ditemukan di kantor
Dinas Pariwisata Kabupaten Muna. Di samping tulisan-tulisan tentang adat
istiadat dan kebudayaan Muna, penulis berusaha menemukan rujukan dalam
bentuk manuskrip dan menemukan satu naskah yang berjudul “Kangkilo
Pataanguna” yang ditulis dengan menggunakan buri wolio atau bahasa Buton.
Naskah ini ditemukan dalam masyarakat lokal dan sudah pula diteliti oleh peneliti
lain, baik isi maupun bentuk naskahnya.
2.
Pengamatan (observation). Pengamatan dilakukan dalam dua bentuk, yaitu
Participant observation dan observasi biasa. Participant observation berupa
keterlibatan peneliti secara langsung dalam keseharian hidup masyarakat maupun
dalam proses ritual. Peran yang dilakonkan peneliti dalam teknik ini ada dua,
yaitu sebagai subyek (researcher) sekaligus obyek penelitian (bagian dari
masyarakat dan bagian dari prosesi ritual). Participant observation dilakukan
dalam prosesi ritual, sebagai bagian dari anggota keluarga besar (ada beberapa
ritual yang dilakukan oleh keluarga besar penulis sendiri), dimulai dari
mempersiapkan ritual, pelaksanaan ritual, hingga akhir ritual. Penulis juga terlibat
langsung dalam proses pelaksanaan katoba, ikut membantu proses pelaksanaan
ritual baik dalam proses persiapan maupun dalam proses pelaksanaan ritual.
Pengamatan dilakukan terhadap benda-benda/alat-alat yang digunakan dalam
ritual, proses pelaksanaan ritual, dan situasi kontekstual pada saat pelaksanaan
ritual. Pendeknya, pengamatan dilakukan pada tahap-tahap ritual mulai tahap
persiapan, proses pelaksanaan, maupun pasca-ritual. Sementara itu, observasi
(pengamatan) biasa dilakukan terhadap kehidupan masyarakat, pola hubungan
orang tua dan anak, pola pergaulan masyarakat, pola pendidikan yang diberikan
orang tua pada anak, dan pola kehidupan secara keseluruhan. Dalam hal ini,
peneliti mengalami langsung kehidupan masyarakat lokal, dalam cara mereka
melakukan upacara dan cara mereka bekerja, bergaul dan memberikan pendidikan
pada anak. Pengamatan yang dilakukan secara partisipasi (pengamatan terlibat)
maupun pengamatan biasa, maka penulis harus lebih dahulu mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat untuk mencegah tindak tanduk atau sikap yang bisa
menimbulkan kecurigaan atau ketidakpercayaan dari masyarakat lokal. Oleh
sebab itu, penulis terlebih dahulu mendatangi dan mendekatkan diri kepada tokohtokoh kunci dalam pencarian data-data yang diperlukan, seperti halnya tokohtokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat yang memahami ritual katoba.
Untuk memperoleh data yang otentik dan komrehensif, penulis menggunakan alat
bantu pengamatan berupa kamera, alat perekam suara (voice recorder), dan
perekam gerak (video recorder). Alat bantu pengamatan ini sangat diperlukan
untuk menjembatani keterbatasan ingatan dan jangkauan pengamatan oleh peneliti
(Bachtiar dalam Koentjaraningrat, 1997: 122).
3. Wawancara. Wawancara yang dilakukan dalam dua cara, yaitu wawancara
mendalam (indepth interview) dan wawancara biasa. Wawancara mendalam
dilakukan secara terus menerus dan berulang kepada informan utama (para
pegawai sara, tokoh adat, tokoh agama, orang tua dan anak yang melakukan
katoba). Koentjaraningrat (1997: 139) menyebut wawancara biasa dengan bentuk
wawancara tak berencana (unstandardize interview). Dalam wawancara tak
berencana, daftar pertanyaan tidak disusun dan direncanakan sebelumnya.
Percakapan mengalir bersamaan dengan hubungan yang terjalin antara penulis dan
masyarakat dalam bentuk percakapan sehari-hari dengan masyarakat lokal tentang
kehidupan mereka yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan data
penelitian. Wawancara dilakukan terhadap pegawai sara berupa cerita
pengalaman mereka dalam pelaksanaan katoba; terhadap para tokoh adat dan
tokoh
agama
menyangkut
cerita
mereka
tentang
elemen-elemen
yang
membungkus ritual katoba, respon mereka terhadap elemen-elemen dan prosesi
ritual katoba; terhadap orang tua untuk mendengar cerita, alasan dan tujuan
mereka melaksanakan ritual dan percakapan kepada anak yang menjalani katoba
untuk mendengar pendapat dan perasaan mereka terhadap ritual yang mereka
jalani. Wawancara terhadap berbagai informan yang berbeda tersebut untuk
mengkonfirmasi ritual pada tataran maknanya yang bisa jadi sama dan bisa jadi
pula berbeda orientasi. Wawancara dengan informan yang berbeda ketegori
tersebut dilakukan demi mendapatkan data otentik dan menyeluruh dalam
pelaksanaan katoba. Teknik ini digunakan untuk melengkapi dan menguatkan
data yang dihimpun dan pada akhirnya memunculkan suatu kebulatan data yang
terpola dalam bentuk snow ball sampling yang menghasilkan data-jenuh (data
komprehensif).
4. Dokumentasi. Dokumentasi yang dimaksudkan adalah catatan hasil wawancara,
transkrip wawancara; foto-foto kegiatan keseharian masyarakat, momen-momen
upacara dan perkumpulan bersama (peristiwa komunalitas) dalam rangka upacara
adat atau perkumpulan biasa; dan lebih khusus lagi benda-benda/alat-alat dalam
ritual, momen dan peristiwa dalam tahap ritual katoba; dan rekaman video tentang
prosesi ritual katoba, baik pada tahap persiapan, proses pelaksanaan, maupun
penutup
ritual. Hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasikan data yang satu
dengan data lainnya demi memperkaya dan memperluas data-data penelitian.
5. FGD (focus group discussion). FGD dilakukan guna menkonfirmasikan data
penelitian
yang terkait dengan ritual katoba, terutama yang menyangkut
pandangan masyarakat Muna tentang makna ritual yang boleh jadi direspon secara
berbeda. Konfirmasi data dirasa perlu dilakukan dengan cara FGD dengan
melibatkan secara langsung kelompok-kelompok masyarakat lokal yang
mengetahui dengan baik kebudayaan Muna, khususnya ritual katoba sehingga
didapatkan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Dalam proses
pelaksanaannya, penulis bertindak sebagai fasilitator dan moderator dengan
mengundang para tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan beberapa
orang tua yang pernah menyelenggarakan katoba bagi anak-anaknya. Penulis
bertindak langsung sebagai moderator guna menfokuskan diskusi agar lebih
terarah pada permasalahan yang ingin dibicarakan dalam tujuan penelitian.
Diskusi dilakukan sebanyak dua kali, yaitu tahap pertama diselenggarakan pada
bulan ke empat penelitian (bulan Juli 2010) untuk mengkonfirmasi beberapa data
temuan di lapangan dan diskusi pada tahap kedua dilakukan pada bulan April
2012. FGD yang diselenggarakan pada tahap kedua ini dilakukan untuk
menguatkan,
membulatkan
data-data
yang
sudah
pernah
dikonfirmsi,
ditambahkan, atau bahkan ditiadakan demi mendapatkan data análisis yang
otentik dan valid.
Pengumpulan data dilakukan dengan berkali-kali berada di lapangan, baik
di wilayah desa maupun wilayah perkotaan, dengan melakukan pengamatan
terhadap berbagai praktek pelaksanaan katoba dalam wilayah yang berbeda untuk
dapat menentukan pola persamaan dan perbedaan antara satu dengan lainnya.
Peneliti hidup bersama masyarakat lokal selama kurang lebih dua tahun (pada
bulan Mei 2010 sampai tahun 2012) dan kembali berkali-kali ke lapangan untuk
menambah, mengkonfirmasi, dan menguatkan data). Oleh sebab itu, lokus
penelitian bisa berpindah atau berganti tergantung diversitas dan persebaran
praktek pelaksanaan ritual katoba.
G.4 Teknik Analisis Data
Data
yang
telah
terkumpul
dianalisis
dengan
cara
mengkategorikan/mengklasifikasikan, menentukan relasi-relasi antar simbol, dan
menafsirkan makna-makna dalam simbol dengan metode fenomenologis. Penulis
berusaha menyentuh dan mengalami cara pandang dan cara hidup masyarakat dari
sudut pandang mereka dan mencermati fenomena-fenomena dalam masyarakat
lebih dalam dari apa yang ditemui di permukaan. Smart (1995) menganjurkan
upaya memahami fenomena masyarakat setempat dari sudut pandang mereka
tanpa ada klaim ataupun judgement apapun (structured emphaty). Sedangkan
Scutz (dalam Denzim&Lincoln, 1994: 263) mengharuskan dilakukannya natural
attitude dengan cara mencermati dan mencatat realitas-realitas kehidupan
masyarakat secara apa adanya. Studi fenomenologi menurut Swidler (2000: 144)
menekankan pada tiga hal, yaitu simpati, empati dan apresiasi. Fenomenologis
menekankan pentingnya pemahaman yang simpatik terhadap fenomena-fenomena
keagamaan masyarakat; pentingnya empati dalam mengalami pengalamanpengalaman keagamaan masyarakat; dan pentingnya mengapresiasi bagaimana
masyarakat
mengklaim
dan
memahami
agama
mereka.
Dalam
kajian
fenomenologi agama, Dhavamony (1995: 35) menegaskan bahwa pemahaman
terhadap fenomena religius masyarakat harus mengedepankan empati terhadap
pengalaman, pemikiran, emosi, ide-ide dari masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, melihat ritual katoba adalah mengkaji maknanya dari
sudut penceritaan dan pembacaan dari pelaku budaya (emik), dari cara masyarakat
Muna memikirkan, merasakan, mengalami, dan bertindak dalam ritual (empati
dan verstehen). Cara mengapresiasi kehidupan masyarakat dari dalam sudut
pandang mereka sendiri akan sangat menolong memahami realitas masyarakat
yang sebenarnya.
Sumber-sumber data berupa rekaman hasil wawancara dan video prosesi
ritual ditranskripsikan, dikelompokkan menurut data-data utama dan data-data
tambahan, dilakukan kategorisasi terhadap data-data tersebut menurut tema-tema
tertentu. Begitu pula halnya sumber data berupa foto-foto ritual dikategorisasikan
dalam tema-tema tertentu. Kepada para informan diajukan pertanyaan-pertanyaan
etnografis yang terdiri atas beberapa bentuk, di antaranya adalah (1) pertanyaan
deskriptif yang merujuk pada berbagai informasi dari sudut pandang informan, (2)
pertanyaan struktural yang merujuk pada domain atau hal-hal yang utama dan
penting sebagai unsur-unsur dasar dari pengetahuan budaya informan, (3)
pertanyaan kontras untuk menemukan dimensi makna yang dipakai informan
untuk membedakan berbagai obyek dan peristiwa dalam kehidupanya (Spradley,
2006).
Dari deskripsi data terhadap observasi partisipasi dan wawancara
mendalam dilakukan beberapa tahap analisis sebagai berikut; (a) membuat analisis
domain dengan menentukan hal-hal yang menonjol dan menarik untuk dikaji
dalam ritual katoba, (b) membuat analisis taksonomi dengan cara menentukan
struktur internal atau subset-subset dari domain tertentu yang sudah ditetapkan
dalam hubungan semantik, (c) membuat analisis komponen dengan cara
menentukan komponen-komponen yang termasuk dalam kategori-kategori
tertentu
dengan
cara
mencari
dan
menentukan
dimensi
kontras
lalu
memasukkannya dalam satu paradigma, (d) menemukan tema-tema budaya yang
menggambarkan tema-tema utama dalam ritual katoba dalam hubungannya
dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan (disarikan dari Spradley, 1980).
Dengan analisis tersebut, domain-domain dalam katoba ditentukan hingga
menemukan tema-tema budaya yang terkait dengan ritual tersebut.
Domain-
domain ditentukan, dicermati, disusun secara polaristik dan kategoris untuk
melihat pola varian pelaksanaan, simbol yang digunakan dalam ritual, pemaknaan
terhadap simbol-simbol tersebut, serta bagaimana hubungan antara simbol dan
makna tersebut dengan simbol lainnya dalam satu totalitas kehidupan masyarakat
Muna secara keseluruhan. Dengan fenomenologis, simbol-simbol dalam katoba
dicermati dan diamati dari cara masyarakat memahami simbol, bagaimana mereka
bersikap dan bertingkah laku secara simbolik dalam ritual, dan bagaimana mereka
secara sadar memaknai simbol-simbol tersebut sebagai sesuatu yang penting bagi
mereka.
Dalam analisis fenomenologis, subyektivitas memungkinkan untuk hadir
dalam proses interpretasi data. Dengan analisis fenomenologis, peneliti menyadari
hal tersebut oleh sebab fakta religius masyarakat bersifat subyektif dalam sisi
mencerminkan keadaan mental dari masyarakat dan caranya mengungkapkan dan
menginterpretasikan religiusitas mereka. Akan tetapi, fakta tersebut adalah
obyektif oleh sebab bisa dibuktikan dengan fakta-fakta lain yang mendukung
kebenaran subyektif tersebut. Oleh sebab itu, obyektivitas sangat memungkinkan
untuk hadir dengan membiarkan fakta atau fenomena berbicara untuk dirinya
sendiri, tanpa peneliti terlibat jauh melakukan penilaian atau justifikasi atas baik
buruknya religiusitas pelaku budaya. Untuk menghindari kecenderungan
subyektivitas yang membabi buta, dilakukan konfirmasi antara cara pandang dari
subyek pelaku budaya (masyarakat Muna) dengan subyektifitas peneliti secara
netral, sehingga menghasilkan intersubyektivitas yang lebih obyektif. Dengan
demikian, subyektivitas data yang dihimpun di lapangan (berasal dari subyek
pelaku budaya) diintepretasikan dengan subyektivitas peneliti, akan memunculkan
analisis data yang dapat menjawab fenomena masyarakat ke arah peta konsep
sosio-religius masyarakat Muna.
Download