SKILL YANG MENDUKUNG EFEKTIVITAS LEADER DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS PROF. DR. ABD. YULI ANDI GANI, MS 1. 3. 5. 7. : : : : Kepemimpinan Sektor Publik 3 SKS Administrasi Publik Penguasaan materi dalam modul ini, dirancang sebagai landasan dasar untuk dapat memahami, mengerti dan mampu menjelaskan skill yang mendukung leader. Pendahuluan 2. Skill Komunikasi Skill Sosial 4. Skill Pengaruh Skill Analitik 6. Skill Teknis Pembelajaran Kontinyu 8. Kesimpulan PENDAHULUAN George Eliot mengatakan bahwa Tuhan memberikan Antonio Stradivari bakat yang membuatnya menjadi pembuat biola terkenal di dunia, tapi bukan Antonio dan Tuhan yang memperbaiki skillnya dan membawanya sampai membuahkan hasil. Naskah ini difokuskan ke karakteristik leader yang bisa mengalami perbaikan. Banyak point sebelumnya, yaitu tentang sifat, menunjukkan topik seputar skill yang mendukung efektivitas leader. Ada beberapa perbedaan antara sifat, skill perilaku dan kompetensi. Perbedaan antar sifat, skill dan perilaku, meski begitu, terbilang kecil. Sifat didefinisikan sebagai kecenderungan bawaan atau jangka panjang. Contoh, beberapa orang memang lahir dengan resiliensi (yaitu persistensi, toleransi terhadap stress) lebih besar dibanding lainnya. Meski begitu, orang bisa meningkatkan persistensinya dengan memiliki tujuan jelas dan mempraktekkan kesabaran dan disiplin-diri, dan orang bisa belajar dan mempraktekkan teknik untuk mengurangi stress. Skill didefinisikan secara luas, dan menjadi karakteristik pembelajaran kinerja leader. Skill dipengaruhi oleh pelatihan, pendidikan dan praktek, dan ini bisa dilihat dalam skill komunikasi tertulis. Di lain pihak, beberapa skill, seperti komunikasi lisan, memiliki komponen bawaan atau “hard-wired”. Banyak leader terkenal memulai hidup dengan relatif introvert dan tidak ekspresif, dan mereka belajar menggunakan bahasa ucapan dalam cara yang lebih kuat (lewat praktek, bukan “bakat”). Skill sama dengan sifat dalam hal keluasannya. Skill sama perilaku karena ini bisa dilihat lebih langsung dibanding sifat. [1] MODUL SKILL YANG MENDUKUNG EFEKTIVITAS LEADER 1. Mata Kuliah SKS Jurusan Tujuan Pembelajaran Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 Perilaku – yang menjadi fokus di tiga bab selanjutnya – didefinisikan sebagai aksi konkrit yang diambil untuk menjalankan pekerjaan. Ini bisa dianggap sebagai tipe skill, tapi ini lebih sempit konsepnya dan lebih spesifik penggunaannya. Contoh, delegasi adalah perilaku manajemen yang membantu distribusi kerja, pengembangan pegawai, dan dukungan leader untuk menfokuskan diri ke pertimbangan operasional yang lebih strategis. Untuk mudahnya, maka sifat, skill dan perilaku bisa disebut kompetensi. Kompetensi kerja adalah sifat, skill dan perilaku yang paling penting bagi posisi atau kelas posisi. Contoh, ketegasan adalah kompetensi kunci bagi eksekutif yang diberi tugas untuk membuat keputusan hidup-dan-mati bagi keselamatan publik, tapi ini tidak penting bagi eksekutif finansial yang kompetensi analitik dan teknisnya diharuskan lebih tajam. Meski demarkasi tajam antar sifat, skill dan perilaku sulit dibuat, perbedaan ini bisa digunakan dalam menganalisa kinerja seseorang, menilai kinerja, menulis lamaran kerja dan penggunaan spesifik lainnya. Meski skill kadang begitu luas, ini sangat penting. Apakah ada leader kuat tanpa memiliki kemampuan dalam komunikasi, interaksi sosial, dan skill pengaruh? Semua leader memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan dalam skill bisa mudah diketahui dan bisa menimbulkan malfungsi atau masalah organisasi jika tidak diimbangi oleh bakat orang lain dalam tim organisasi. US Office of Personnel Management, contohnya, menyebut 28 kompetensi, kecuali satu, sebagai skill yang dibutuhkan leader (2006). Ada enam skill leadership yang didiskusikan di sini. Itu adalah skill komunikasi, skill sosial, skill pengaruh, skill analitik, skill teknis, dan kecenderungan pembelajaran kontinyu. 2. SKILL KOMUNIKASI Apakah orang bicara tentang memimpin orang lain, mengarahkan operasi, atau mempengaruhi perubahan organisasi, tetap saja, komunikasi adalah bagian dari proses, dan karena itu, menjadi skill kunci bagi leader. Lee Iacocca berpendapat bahwa “kemampuan komunikasi adalah segalanya” (1984). Dalam leadership administratif, Paul Van Riper mengatakan bahwa “orang organisasi efektif adalah pakar dari bahasa” (Cooper dan Wright, 1992). Komunikasi didefinisikan secara luas, bukan sebagai tindakan memberikan informasi, tapi juga sebagai kemampuan menukar informasi secara efektif lewat sarana aktif dan pasif. Ini berarti bahwa komunikasi dibawa langsung lewat bahasa dan secara tidak langsung lewat isyarat, sikap, dan sebagainya. Ini juga berarti bahwa ini adalah proses dua-arah yang memastikan bahwa pesan diterima secara akurat tapi juga berisi penerimaan informasi oleh leader. Contoh, memberikan perintah yang jelas adalah sebuah elemen komunikasi, tapi ini bukanlah komunikasi efektif dalam konteks tertentu jika leader tidak mendengar advis bawahan, menjelaskan alasan dengan teka-teki, atau “melunakkan” pesan jika penerima menjadi tidak peduli. Ada empat elemen skill komunikasi untuk leadership. Komunikasi lisan sering dianggap paling menonjol, dan ini menjadi alasan di balik leadership dalam politik, gerakan sosial, dan organisasi sektor privat. Meski ini kurang begitu dipandang penting di banyak setting pemerintah, ini berada di bagian atas daftar survey manajer pemerintah. Komunikasi lisan memiliki bentuk berbeda, seperti bicara dengan individu, kelompok kecil dan kelompok besar, dan komunikasi lewat media elektronik. Beberapa individu bisa sangat baik dalam interaksi “tatap muka” setiap hari, tapi kasar dalam kelompok atau dalam setting kelompok besar. Individu lain malah bersikap lebih baik dalam setting [2] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 kelompok karena mereka terstimulasi oleh tata panggung. Pihak lain berkinerja baik di depan kelompok tapi, karena kurang pelatihan, bisa buruk di depan media. Perbedaan penting lainnya adalah kemampuan untuk menyebarkan pesan teknis versus emotif secara lisan. Ini seperti kemampuan memberikan perintah yang jelas (teknis) dan kemampuan menginspirasi tentara agar bertempur (emotif). Beberapa leader diberkahi dua skill tersebut, tapi kebanyakan leader adalah lebih cakap dalam satu tipe pesan dibanding lainnya, dan beberapa leader tidak cakap dalam tipe mana pun. Skill komunikasi tulisan bisa berupa penggunaan e-mail, memoranda (potongan dan arahan informasi/diskusi), laporan dan dokumen tujuan-khusus seperti penilaian kinerja, surat, bahan public relation, dan pernyataan publik tertulis. Jarangnya atau kecenderungan penggunaan skill komunikasi tulisan adalah hal wajar, dan ini tergantung kecondongan leader. Umumnya, yang dimaksud tulisan adalah catatan tertulis yang bertahan dalam waktu lama karena semuanya tidak diketahui mata publik. Contoh menarik dari itu adalah Gettysburg Address dari Abraham Lincoln. Dalam menulis pidato tentang jalan ke Gettysburg, Lincoln merasa senang dengan hasilnya. Meski begitu, dia sadar bahwa ini tidak diterima dengan baik karena terlalu pendek. Beberapa orang berpikir bahwa pidato keseluruhannya adalah sebuah preambul (pendahuluan). Sejarah selalu menghargai kepadatan dan kejelasan bahasa tulisan, dan ini menjadi salahsatu momen dari ekspresi politik Amerika. Sedikit, tapi dengan kualitas lebih tinggi, adalah jawaban terbaiknya, dan itu dikatakan Franklin Delano Roosevelt. Dalam merespon birokrat yang memberikan terlalu banyak informasi ke Roosevelt, dia menjawab, “Apakah anda bekerja dengan maksud bahwa saya akan membaca memoranda yang anda berikan? Mengambilnya saja tidak bisa”. Sebaliknya, penelitian awal tentang leadership di dalam lingkungan elektronik menunjukkan bahwa kualitas komunikasi ditentukan oleh kuantitas, yaitu lebih banyak adalah lebih baik dan banyak komunikasi elektronik yang terlalu ringkas (Kelly dkk, 2008). Mendengar bisa menjalankan beberapa fungsi (Hoppe, 2006). Ini adalah sumber informasi tentang fakta, trend, masalah dan kinerja. Informasi yang ada di sumber tersebut adalah informasi tentang sikap, mood dan level motivasi orang. Yang sama pentingnya, kualitas mendengar adalah tindakan menghormati. Karena itu, ini sering memberikan ikatan lebih kuat dibanding bicara dan menulis. Nilai besar dari mendengar dalam komunikasi sudah diterima di dalam filosofi China klasik. Contoh terkenalnya adalah perkataan Lao Tzu, yaitu “Orang yang tahu adalah yang tidak bicara. Orang yang bicara adalah yang tidak tahu”. Yang tidak disukai dibanding mendengar adalah komunikasi non-verbal (Sinclair, 2005). Informasi sering disimpan dan dibawa secara non-verbal, tapi informasi yang disampaikan jauh lebih lunak dibanding informasi yang diucapkan dan ditulis. Ini bisa meliputi gerakan mata, ekspresi wajah, sikap badan, isyarat dan gerakan badan. Ketika seseorang diminta menjelaskan kesenjangan teknisnya dan dia melakukannya dengan melihat ke atas (ingin menunjukkan pencarian kognitif kreatif), maka kita pantas curiga bahwa dia tidak bisa. Jika leader mencoba menginspirasi orang tentang prospek sebuah perubahan besar, dan dia sering menunduk (menunjukkan pencarian kognitif untuk mendapatkan potongan data), kita malah tidak terinspirasi karena kita merasa bahwa dia tidak menangkap gambaran besarnya. Terkait dengan aspek lain, komunikasi non-verbal bisa dilakukan dengan baik atau buruk. Leader yang ingin mengumumkan perubahan dan [3] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 masuk ruang dengan konfidensi akan mempertahankan konfidensinya. Leader yang tergesa-gesa masuk ruang dan terlihat gugup tidak mudah menjaga konfidensinya. Di studi US Office of Personnel Management (OPM) di tahun (1997) yang mempelajari pentingnya 22 kompetensi bagi eksekutif, manajer dan supervisor yang baru dan berpengalaman, maka komunikasi lisan selalu diberi rangking pertama dan komunikasi tertulis diberi rangking kedua atau ketiga. Sebaran komunikasi tersebut antar level leadership (eksekutif versus manajer dan supervisor) beragam dari kecil hingga moderat. Leader baru berharap memiliki skill komunikasi kuat di saat entry, tapi tidak memiliki kompetensi lain, seperti mengartikulasikan visi, yang harus dikuatkan di waktu kemudian. Setiap studi kompetensi sektor publik memberikan emphasis konsisten ke skill komunikasi (Bhatta, 2001). Studi sektor-campuran Inggris oleh Rankin menempatkan komunikasi di rangking kedua untuk kepentingan (2001). Stogdill (1974) memasukkan kecakapan bicara dalam daftar skillnya, dan Howard dan Bray (1988) memasukkan komunikasi lisan dan tertulis dalam daftarnya. Meski beberapa pakar leadership tidak menganggap komunikasi sebagai kompetensi kunci (Yukl, 2002; Kotter, 1982, 1990), ini terlihat di hampir semua kompetensi atau elemen yang diberikan emphasis. Meski jarang terlihat sebagai kompetensi besar, mendengar sering dipelajari dalam studi besar. Kompetensi perilaku puncak bagi eksekutif di studi OPM 150-item (Van Wart, 2002) berisi tiga kompetensi dengan elemen mendengar di sepuluh besar. Studi empiris juga memperlihatkan pentingnya kualitas mendengar untuk menciptakan keterpercayaan dan kredibilitas (Klauss dan Bass, 1982; St. John, 1983). Beberapa studi memperlihatkan bahwa perilaku non-verbal bukan hanya penting (Stein, 1975; Friedman dan Riggio, 1981), tapi itu sering memberikan petunjuk lebih terpercaya ke pendengar dibanding perilaku verbal (Gitter, Black dan Fishman, 1975; Remland, 1981). Banyak penilaian-diri dari leader, khususnya dalam studi manajer lokal, memperlihatkan bahwa kemampuan berkomunikasi dengan baik secara lisan dan tulisan adalah area skill paling lemah dari mereka (Van Wart, 2001). Panduan 1. Menilai skill komunikasi untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan. Karena ada banyak tipe dan metode komunikasi, maka penilaian bukanlah proposisi sederhana. Skill untuk menghasilkan komunikasi e-mail yang baik bukanlah yang dibutuhkan untuk menulis laporan analitik yang baik. Karena itu, penilaian skill komunikasi harus cukup diskrit/unik agar bisa mengidentifikasi sub-kompetensi spesifik. Contoh, jika persepsi umum terbentuk bahwa skill menulis leader adalah kurang, maka penilaian follow-up harus dilakukan untuk melihat apakah itu berarti (a) komunikasi tertulisnya terlalu sedikit, (b) tipe komunikasi yang salah (menggunakan e-mail padahal dokumen lebih formal adalah yang tepat), atau (c) kualitas buruk dalam metode tertentu (misal, bertele-tele dan yang tidak sesuai grammar). Sarana menilai skill komunikasi bisa berupa penilaian-diri personal, penilaian orang lain di tempat kerja, dan penilaian oleh pakar atau pembimbing. 2. Membuat rencana untuk mengatasi kelemahan. Semua skill komunikasi seperti terlalu penting untuk menghasilkan kelemahan signifikan. Dengan kata lain, itu minim kelemahan. Karena itu, persepsi adanya kelemahan harus ditindaklanjuti. Proses untuk melakukan itu bisa sederhana seperti meningkatkan jumlah komunikasi, memberikan lebih banyak perhatian ke kelemahan, melakukan self-study (misal, membaca [4] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 pedoman), atau instruksi formal dan informal, yang bisa berupa kelas menulis, ikut Toastmasters, atau bimbingan komunikasi. 3. SKILL SOSIAL Karena leadership adalah cara berhadapan dengan orang, maka skill sosial adalah pilar utama dari set skill seorang leader. Theodore Roosevelt mengatakan bahwa “bahan paling penting dalam formula sukses adalah tahu cara bergaul dengan orang”. Dalam mendukung penilaian ini, peneliti yang mempelajari “situasi terpelesetnya leader” adalah bahwa skill sosial yang lemah adalah sumber paling umum dari kegagalan karir eksekutif (Lombardo dan McCauley, 1988). Orang umumnya tidak bisa memaafkan kecanggungan sosial, kelalaian atau kealpaan untuk bersikap sopan pada pihak leader. Meski sudah ada penjelasan, skill sosial terbilang lunak dan sulit ditegaskan. Skill sosial berhubungan dengan skill komunikasi dan skill pengaruh, dan kadang dimasukkan dalam dua skill terakhir. Di sini, kita akan membahasnya secara terpisah karena kadar dan range elemen yang dikover setiap konsep adalah berbeda. Perlu dicatat bahwa, seperti komunikasi dan pengaruh, skill sosial memiliki komponen bawaan signifikan. Contoh, ekstrovert adalah “hard-wired” dalam menghadapi setting sosial dalam cara berbeda dibanding orang yang introvert. Meski orang ekstrovert cenderung orang yang pembicara, dan introvert adalah pendengar, dalam interaksi sosial, orang ekstrovert-lah yang mahir dalam menarik percakapan dari orang lain, sedangkan introvert adalah yang bisa diajak bicara oleh pembicara. Skill bicara atau mendengar dari seseorang, bukan sifat orang tersebut, adalah yang bisa mempengaruhi skill sosial mereka. Skill sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi efektif dalam setting sosial dan untuk memahami dan secara produktif memperkuat struktur kepribadian diri sendiri dan orang lain. Ada tiga elemen dalam skill sosial. Satu elemen adalah kesukaan personal, yang mana, bagi leader, ini difokuskan ke aspek seperti optimisme, kebaikan, kebijaksanaan, dan menghormati keberadaan orang lain. Optimisme adalah kerangka pikiran positif bahkan ketika orang sedang lelah dan pekerjaannya tidak berjalan baik (Jennings, 1943; Zullow dkk, 1988). Kebaikan bisa membantu orang untuk percaya ke seorang leader (Fleishman, 1953). Kebijaksanaan membuat orang bisa menjaga martabatnya. Menghormati orang lain membuat leader bisa mengolah keragaman orang dan melihat orang lain sebagai aset bukan biaya dalam setting profesional (Fiedler, 1967; Priem, 1990). Dalam literatur psikologi, kesukaan (likability) disebut sebagai kesetujuan (agreeableness) (Judge, Piccolo, dan Kosalka, 2009). Elemen kedua dari skill sosial adalah ekspresivitas. Satu aspek dari ekspresivitas adalah memastikan bahwa sesuatu yang benar dikatakan atau dilakukan dalam waktu ideal. Pendorongan terjadi ketika orang membutuhkan ekspresivitas karena “orang malah lebih hidup karena affirmasi (dukungan) daripada makanan”, menurut Victor Hugo. Ilmuwan sosial menemukan bahwa penguatan positif dan pendorongan adalah lebih efektif dibanding disinsentif (pengurangan insentif). Kritik kadang dibutuhkan. Kritikisme yang baik diberikan dalam cara yang bisa dipahami penerima. Di beberapa kasus, ini melibatkan kebijaksanaan, tapi di banyak kasus, ini membutuhkan kelangsungan pikiran. Leader yang kuat dalam ekspresivitasnya adalah yang mampu menempatkan emosi atau hasrat profesionalnya ke dalam kata-kata. Ini penting agar membuat orang merasa ternilai secara personal, menyuntikkan makna ke dalam pekerjaan dan “memadukan anggota” untuk upaya bersama (Stohl, 1986). [5] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 Perseptivitas sosial adalah elemen ketiga dari skill sosial (Newcomb, 1961). Baseline dari perseptivitas sosial adalah pemahaman jujur tentang motif, nilai, dorongan, dan preferensi. Ini akan menghasilkan sebuah pemahaman tentang motif dan aksi dari orang lain, yang menjadi nilai leadership yang sulit diestimasi. Thach dan Thompson (2007) menemukan bahwa dimensi ini diberi rangking sebelas di antara eksekutif sektor publik, dan bahkan lebih tinggi oleh leader sektor privat. Dimensi lain dari perseptivitas sosial adalah pemahaman mendalam tentang dinamika interpersonal. Dinamika interpersonal adalah lem organisasi dan sumber politik birokratik. Baik atau buruk, wawasan tentang (dan penggunaan efektif dari) dinamika interpersonal adalah penting dalam posisi leadership (Stogdill, 1948). Kasus khusus dari skill sosial adalah karisma. Karisma adalah kemampuan alami untuk menginspirasi pemujaan atau kesetiaan, yang berarti “hadiah dari kelembutan Tuhan”. Karismatik sebenarnya, yang jarang ditemukan, memiliki skill sosial intens sehingga bisa mempesona setiap orang, setidaknya dalam waktu pendek. Meski beberapa leader besar di dunia adalah karismatik, banyak dari mereka tidak demikian, dan ini diketahui dalam beberapa studi kontemporer leader (Bennis dan Nanus, 1985). Banyak tokoh karismatik malah tidak menjadi leader, tapi seperti sifat atau skill lainnya, karisma bisa menimbulkan kesalahan dan kejahatan. Leader karismatik yang terkenal di abad 20 adalah Rasputin (penasehat tsarina (ratu tsar) terakhir di Rusia), Hitler dan Pendeta Jim Jones, yang meminta ribuan followernya untuk melakukan bunuh diri di Amerika Selatan, dan Ayatolah Khomeini. Pentingnya skill sosial bisa mudah dipahami. Ini menghasilkan sebuah bentuk power (power personal). Skill ini juga meningkatkan komunikasi, yang juga mempermudah pengumpulan informasi. Ini meningkatkan kemampuan mereka dalam pembentukan tim efektif. Ini mengurangi masalah yang tidak dibutuhkan karena sifat kepribadian yang buruk (misal kekasaran atau ketidakberanian), sekaligus meningkatkan kemampuan untuk memperbaiki situasi sosial yang canggung (misal, kesalahan sosial). Peneliti berbeda mempertimbangkan aspek berbeda dari skill sosial. Sebagai review literatur, Stogdill mendiskusikan skill sosial sebagai diplomasi, kebijaksanaan dan dianggap memiliki skill secara sosial (1974). Howard dan Bray memecah skill sosial menjadi beberapa komponen dengan mendaftar dampak personal, persepsi petunjuk sosial, dan obyektivitas sosial (1988). Studi OPM menggambarkan itu sebagai skill interpersonal (1992, 1999, 2006). Meski semua studi kompetensi sektor publik dari bangsa lain yang dipelajari Bhatta (2001) mengulas tentang skill sosial, yang menonjol adalah dari Selandia Baru (“membangun dan mempertahankan hubungan”) dan Australia (“membina hubungan produktif”). Tentu saja, preferensi sosial dan kepribadian (yang tidak sama dengan skill sosial) adalah bidang psikologi dan bisa ditentukan oleh penilaian kepribadian seperti Myers-Briggs Type Indicator (MBTI). Panduan 1. Menggunakan pandangan kritis pada skill sosial dan mengidentifikasi skill yang lemah. Meski banyak dari kita merasakan kepribadian yang distingtif, dan sering bangga dengan tingkah kita, dan meski sifat kepribadian distingtif ini adalah aset, skill sosial yang tidak diperiksa atau tidak terlatih akan menghambat leadership efektif. Sumber feedback bisa berisi review pola respon dari orang lain, instrumen feedback sinonim, dan seminar penilaian kepribadian. Apa yang disebut orang sebagai [6] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 ketidakberuntungan (karena tidak diberi promosi atau tidak diberi tugas distingtif) adalah karena kepribadian lunak atau cacat skill sosial yang bisa dilemahkan atau dirubah menjadi sebuah kearifan. 2. Membuat rencana untuk mengatasi kelemahan sosial. Aspek “hard-wired” untuk kepribadian dan pelatihan sosial membuat perencanaan menjadi sulit, khususnya dalam jangka pendek. Rajin dan praktek bisa merubah liabilitas. Orang yang tidak bijak bisa mempelajari diskresi jika mereka paham apa yang disebut tidak bijak (hilangnya teman dan kurangnya kemajuan profesional). Orang yang canggung secara verbal bisa memperbaiki cara bicaranya di Toastmasters. Orang negatif bisa belajar menghentikan “self-talk” negatifnya dan mempraktekkan rutinitas mental positif yang bisa diterjemahkan menjadi optimisme lebih besar (Manz, 1986; Manz dkk, 1988). 4. SKILL PENGARUH Semua leader memiliki tipe dan jumlah power tertentu, dan ini memberikannya potensi untuk mempengaruhi orang, sumberdaya dan hasil. Bennis dan Nanus berpendapat bahwa “power adalah energi dasar yang dibutuhkan untuk mengawali dan mempertahankan aksi, atau kapasitas untuk menerjemahkan intensi menjadi realita dan menjaganya” (1985). Skill pengaruh didefinisikan sebagai penggunaan sumber power aktual lewat strategi perilaku konkrit (Bass, 1990). Contoh, meski hakim pidana memiliki power ekstensif dari posisi dan keahlian legalnya, mereka mungkin bisa atau tidak bisa menggunakan powernya sebagai sebuah bentuk pengaruh. Juri bisa diberi instruksi detail tentang point hukum yang harus dipertimbangkan (melegitimasi opsi dan persuasi rasional) atau memilih untuk tidak begitu. Dalam kasus ekstrim, hakim yang merasakan point hukumnya bisa diabaikan oleh juri akan menggunakan power judisialnya untuk mempengaruhi keputusan akhir dengan menolak putusan juri. Analisis power yang paling sederhana adalah didasarkan pada posisi, orang, atau kombinasi keduanya. Power yang didasarkan pada posisi berisi otoritas tradisional (kadang disebut power legitimate), kontrol terhadap lingkungan, dan power untuk memberikan reward dan hukuman (koersi). Power otoritas berasal dari hukum atau aturan, pemilihan, atau adat. Kontrol terhadap lingkungan meliputi kemampuan merubah teknologi, lingkungan fisik atau pola kerja. Power koersif adalah kemampuan menghukum, dan power reward adalah kemampuan memberikan keuntungan finansial, psikologi, karir atau lainnya. Di bagian ekstrim lain, terdapat power personal yang secara teknis disebut “power referen”. Power referen adalah kemampuan mempengaruhi hasil berdasarkan berbagai tipe persuasi personal. Kasus dari power referen adalah leader sebuah gerakan sosial yang memiliki pengaruh besar tapi kurang posisi power formal. Dominasi dan penilaian adalah bentuk power referen (Anderson dan Kilduff, 2009). Beberapa tipe power adalah kombinasi posisi dan power personal. Power pakar berasal dari pengetahuan profesional dan teknis. Sir Francis Bacon berpendapat bahwa pengetahuan adalah power. Pakar power sebagian berada di tangan user (personal), tapi ini dilakukan atas nama kelompok (posisi). Tipe power yang dimaksud di sini melibatkan kontrol terhadap informasi dalam setting kelompok. Ini didasarkan pada otoritas posisi, tapi penggunaan power tersebut menjadi sebuah bentuk keahlian dan leverage personal. [7] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 Leader (atau agen) menggunakan power terhadap pihak lain (target), dan meningkatkan atau mengurangi powernya lewat penggunaan strategi pengaruh konkrit secara bijak dan efektif. Delapan strategi pengaruh akan didiskusikan lebih jauh. Taktik legitimasi dan taktik tekanan adalah dua strategi pengaruh yang berasal dari otoritas. Taktik legitimasi menitikberatkan konsistensi sebuah upaya pengaruh dengan kebijakan, prosedur atau praktek, atau langsung menegaskan hak agen sebagai pembuat keputusan yang tepat untuk membuat permintaan/perintah. Tentu saja, taktik tersebut berguna dalam menilai otoritas seseorang, tapi ini juga berguna dalam memberikan informasi/peringatan ke orang lain tentang sifat bantuan administratif dari otoritas dan areanya, atau tanggungjawab yang mengalir dari otoritas tersebut. Reward dan power koersif sering – tapi tidak selalu – digunakan dengan taktik legitimasi untuk menegakkan otoritas, meski setelah target ditetapkan dan karena itu sebagai insentif untuk mempengaruhi aksi masa depan. Saat menggunakan otoritas legitimasi secara eksesif atau canggung, maka itu mengganggu atau mencerminkan kebrutalan. Orang yang melakukan itu bisa disebut otoriter, penggila aturan, atau nitpicker (pekerja level bawah yang langsung melapor manajer senior). Taktik tekanan berisi penggunaan kebutuhan, ancaman, atau gangguan untuk mempengaruhi. Lebih dari strategi pengaruh lainnya, taktik tekanan menitikberatkan hukuman, termasuk ancaman pemberhentian, evaluasi buruk, tidak ada kenaikan, sedikit sumberdaya, penghindaran, dan sebagainya. Bawahan menggunakan taktik tekanan dengan mengancam keluar, memberikan keluhan, melakukan tindakan hukum, melambatkan kerja, atau mengomel. Dalam dunia sempurna, taktik tekanan tidak dibutuhkan. Setiap orang akan melakukan apa yang ingin dilakukan, tepat waktu, dan dalam cara yang tepat. Karena ini bukan dunia sempurna, taktik tekanan bisa memberikan berbagai strategi pengaruh, yang berpengaruh dari petunjuk halus dan pengingat lembut sampai peringatan kasar tentang konsekuensi buruknya. Leader efektif menggunakan beragam taktik tekanan, mencocokkan kebutuhan dan strategi, dan penyesuaian terhadap reward dan hukuman. Meski begitu, administrator yang terlalu menggunakan taktik tekanan atau menggunakannya terlalu kasar dengan cepat disebut pengganggu, pembuat onar atau pelaku intimidasi. Taktik pertukaran melibatkan pertukaran mutual, baik dalam perjanjian eksplisit atau implisit dan pemahaman longgar. Taktik ini menekankan power reward. Di level makro, pertukaran mutual bukan hanya menjadi basis sistem ekonomi kapitalistik, tapi juga menjadi basis dari sistem free-floating employment. Pelamar bersepakat dengan kewajiban dan kondisi kerja, sedangkan organisasi bersepakat dengan kompetensi, keuntungan dan dukungan. Di level mikro dimana banyak leader bekerja dalam waktu banyak (di luar proses perekrutan), taktik pertukaran sering digunakan untuk mempengaruhi kerja atau upaya ekstra atau tidak biasa, atau mendapatkan akomodasi kerja yang khusus. Leader bisa menjanjikan waktu kompensasi dengan ditukar lembur di waktu sekarang, atau pekerja lini bisa berjanji meningkatkan produktivitasnya jika mereka diijinkan menjalankan program pelatihan khusus. Meski taktik pertukaran menekankan reward, hukuman diberikan ke pihak yang mengingkari perjanjian. Dalam batasan yang tepat, taktik pertukaran adalah cara tepat dalam menata kerja dan mengakomodasi pasang-surutnya kondisi dan kebutuhan organisasi dan pekerja. Meski begitu, ketergantungan berlebihan ke taktik pertukaran bisa memunculkan penawaran [8] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 disfungsional dalam hal penugasan kerja rutin (sebuah taktik yang digunakan di banyak lingkungan labor union) atau perasaan favoritisme yang tidak fair oleh pihak lain. Power berdasarkan-posisi dan taktik pengaruh yang berasal dari itu umumnya adalah pondasi power bagi leader di banyak organisasi. Leader efektif jarang menggunakan taktik power posisi, dan di satu abad lalu, gerakan diarahkan untuk menggunakan power posisi paling sedikit. Alasannya banyak, seperti level pendidikan yang lebih tinggi, akses lebih besar ke informasi, pembuatan keputusan lebih lokal, dan sebagainya. Karena itu, leader tidak boleh takut dalam menggunakan power posisinya tapi harus melakukan itu lebih jauh secara strategis dibanding budayanya yang cenderung mendukung pola otoriter. Persuasi dan konsultasi rasional adalah dua strategi pengaruh yang banyak didasarkan pada keahlian dan kontrol terhadap informasi. Persuasi rasional adalah penggunaan fakta dan logika untuk meyakinkan target bahwa permintaan atau proposal cenderung sukses meraih targetnya. Ini adalah tipe paling umum dan paling disetuji dari strategi pengaruh yang digunakan dalam birokrasi. Meski begitu, tipe lain dari strategi berada di dalam proposal “rasional”. Ini sama penting dan tepatnya sebagai persuasi rasional, dan ini sering digunakan sebagai sebuah strategi, dan karena itu, batasannya diremehkan. Beberapa masalah persuasi rasional adalah sebagai berikut. Asumsi dasarnya sering tidak dikatakan dan tidak disangkal. Fakta dengan mudahnya dimanipulasi (sengaja atau tidak sengaja), dan keyakinan, komitmen dan hasrat bisa jadi lebih penting dibanding logika rasional untuk kesuksesan. Konsultasi adalah tindakan untuk melibatkan target dalam proses perencanaan, memberikan feedback substantif, atau membuat perubahan. Agen mendapat informasi dan melakukan “buy-in”, dan target bisa mempengaruhi pembuatan keputusan sekaligus juga mendapatkan informasi. Konsultasi bisa menjadi sebuah taktik pengaruh kuat di tangan leader yang tidak memiliki terlalu banyak informasi atau buy-in. Masalah konsultasi berisi waktu dan energi, dan juga berisi kemungkinan tuduhan manipulasi karena pihak terkait menggunakan konsultasi secara remeh atau egois. Appeal emosional, appeal personal, dan keramahan berasal dari power referen (personal). Dalam appeal emosional (juga disebut appeal inspirasional), agen menstimulasi antusiasme dan komitmen dengan menonjolkan nilai, preferensi, atau keyakinan target atau dengan meningkatkan konfidensi-dirinya. Contoh, appeal emosional adalah sarana efektif untuk meningkatkan rekrutan dalam tentara selama masa perang meskipun upahnya rendah dan bahayanya tinggi. Selama masa damai (dalam sistem rekrutan sukarelawan), tentara menggunakan persuasi rasional dan taktik pertukaran agar bisa mempengaruhi rakyat agar mau mendaftar. Appeal emosional yang efektif membuat orang mau berkorban demi organisasi atau unitnya dan merasa baik terhadap pengorbanan tersebut selama masa sulit atau krisis, menyatukan orang dengan keyakinan bersama, dan dapat meningkatkan nilai-diri dan kepuasan dari target. Bila dilakukan secara tidak efektif atau tidak tepat, appeal emosional bisa menjemukan atau manipulatif, atau ini bisa membentuk harapan emosional yang tidak kunjung terpenuhi. Appeal personal didasarkan pada perasaan loyalitas, pertemanan, atau kasih sayang manusia. Appeal personal sering ditunjukkan oleh ekspresi “Bisakah aku minta kamu, sebagai teman, untuk ……..”, atau “Aku tidak akan meminta ini bila aku bebas, tapi ……..” Orang umumnya suka membantu orang lain, khususnya jika permintaannya ringan dan wajar. Ketika ini dilakukan dalam basis resiprok, berkelanjutan dan tepat, sharing [9] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 “bantuan” ini memunculkan budaya bantuan dan dukungan mutual. Bahkan leader yang kuat pun harus membuat appeal personal untuk meningkatkan ikatan bersama. Sayangnya, beberapa orang kecanduan appeal personal agar bisa menutupi perencanaannya yang buruk atau disiplinnya yang defisien, dan buruknya, tidak mampu atau tidak mau melakukan resiprok. Keramahan (atau menjilat) adalah penggunaan perilaku ramah atau pujian, atau memberikan bantuan tanpa diminta yang diarahkan ke target agar bisa meningkatkan responsivitas target ke permintaan dan pesanan di masa depan. Di satu pihak, keramahan dasar adalah sebuah harapan dalam hubungan sosial, bahkan di setting kerja dimana pihak terkait memiliki posisi tidak sama. Keramahan yang antusiastik dan terdistribusi luas normalnya dianggap sebagai kearifan. Di lain pihak, keramahan menjadi penjilatan ketika motif agen cenderung instrumental, mementingkan diri-sendiri atau manipulatif. Ini terjadi ketika pujian menjadi berlebihan atau tidak wajar, atau tindakan “memberikan bantuan tanpa diminta” menjadi ibarat suap untuk memenangkan bantuan. Beberapa komentar dibutuhkan untuk mengkerangkai diskusi area power dan pengaruh yang luas dan kompleks. Pertama, semua orang memiliki power dan pengaruh. Meski begitu, mereka tidak memiliki tipe atau kadar yang sama. Leader organisasi secara struktural memiliki power posisi lebih besar (tapi tidak eksklusif), tapi power personal cenderung terdistribusi merata. Kedua, pengaruh bisa bekerja dalam dua cara. Meski leader efektif memiliki pengaruh lebih besar ke keseimbangan, leader tersebut sadar dan mendukung proses pertukaran pengaruh. Seperti yang dikatakan Max DePree, “leader harus terbuka ke pengaruh orang lain” (1989). Contoh, leader organisasi yang menggunakan power formalnya terlalu agresif cenderung dalam jangka panjang tersandung oleh tantangan prosedural atau sabotase, atau taktiknya malah menimbulkan pasivitas, turnover atau konflik. Ketiga, semua sumber power dan taktik pengaruh terkaitnya adalah netral dalam ranah etika. Ini adalah cara power ditingkatkan dan konteks penggunaan taktik pengaruh yang harus dinilai. Contoh, memberhentikan seorang pegawai yang menolak perawatan alkoholisme bisa sangat berbeda dari memecat pegawai karena kebencian personal. Leader efektif bisa meningkatkan powernya seiring waktu dan menggunakan semua strategi pengaruhnya. Leader etika menggunakan power dan taktik pengaruh berbedanya dengan hati-hati agar bisa mengimbangi kebutuhan organisasi, standar profesional, kebutuhan hukum dan kebaikan publik, atau kebutuhannya sendiri (Van War, 1998a). Leader yang menggunakan power dan pengaruh untuk keuntungan personal – apakah untuk privilege personal atau peningkatan karir – cenderung dinilai kasar oleh orang lain meski jika dia adalah “brilian” dan/atau sukses (Kets de Vries dan Miller, 1984; Kets de Vries, 1985). Perlu ditegaskan bahwa survey ini hanya mendiskusikan sumber power dan pengaruh individu, dan tidak mendiskusikan aspek kelompok atau aspek politik. Taktik politik umum yang digunakan meliputi pembentukan koalisi, kooptasi (mendorong lawan besar bergabung ke pihak anda dengan menawarkan bantuan atau pekerjaan, agar bisa melemahkan perlawanannya), dan memperoleh/menjaga kontrol terhadap proses keputusan. Meski ada klaim atas netralitas politik putatif, taktik ini sering digunakan di level eksekutif dari lembaga publik, dan penggunaannya (dan bahkan penyelewangannya) perlu dipahami oleh eksekutif senior yang pintar. Meski begitu, ini tidak akan didiskusikan. [10] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 Dalam literatur leadership, signifikansi dari pengaruh dan negosiasi dianggap sangat penting. Skill pengaruh dan negosiasi disebut oleh banyak pakar leadership sebagai urutan atas atau mendekati atas di daftar. Contoh, Stogdill (1974) mendiskusikan persuasivitas. Howard dan Bray (1988) memasukkan persuasivitas dalam kluster skill leadershipnya. Rankin (2001) juga menggunakan itu dalam kapasitas sama. Yukl memberikan perlakuan paling komprehensif terhadap persuasivitas dalam studi leadershipnya. Studi OPM 1997 menempatkan persuasivitas dalam kepentingan kelima, dan studi OPM 1999 menambahkan kecakapan politik dan partnering sebagai kompetensi besar selain mempengaruhi dan negosiasi. Sebaliknya, meski Thach dan Thompson (2007) memasukkan proses mempengaruhi pada daftar kompetensi intinya, maka ini lebih dekat ke dasar, yaitu pada urutan 16, untuk leader organisasi privat dan publik. Panduan 1. Leader harus bersiap menilai – secara jujur dan menyeluruh – sumber power dan kemampuannya dalam menggunakan taktik pengaruh. Jumlah power dan efektivitas pengaruhnya bisa berbeda antar individu berbeda yang berinteraksi dengan leader. Semakin sadar individu dengan kekuatan dan kelemahannya, semakin minim powernya akan terkuras atau upaya pengaruhnya semakin tidak efektif. 2. Power tidak dikumpulkan dalam waktu cepat. Power bisa didapatkan seiring waktu. Bahkan ketika orang masuk ke posisi eksekutif baru, ini terjadi karena power yang dibangun individu dalam karirnya. Leader yang sangat efektif akan memahami power dan kepentingannya, dan mengembangkan disiplin untuk meningkatkannya seiring waktu. Ini terjadi pada power personal. 3. Pemahaman dan pengolahan taktik pengaruh seiring waktu juga penting bagi efektivitas tinggi. Leader efektif mampu menggunakan power yang paling rendah, yaitu power formal. Leader efektif mampu menggunakan strategi pengaruh yang benar untuk situasi berbeda, dan bukan selalu menggunakan strategi yang sama. Leader efektif bisa menggunakan strategi pengaruh multipel secara simultan untuk tujuan yang lebih penting atau sulit. 4. Leader efektif bisa sangat hati-hati untuk melawan efek korosif power dan pengaruh. Meski power dan pengaruh adalah kebutuhan standar dari stok perdagangan leadership, ini dengan mudah menciptakan keterpusatan diri, keegoisan, blind spot, manipulasi, ketidaksensitifan, kekasaran, arogansi, dan pathologi personal lain. 5. SKILL ANALITIK Skill analitik didefinisikan sebagai kemampuan mengingat, membuat perbedaan, dan menindaklanjuti kompleksitas dan ambiguitas. Banyak dari apa yang dianggap orang sebagai intelejensi diulas dalam skill analitik. Banyak elemen kluster skill ini lebih sering dideskripsikan sebagai sifat karena elemen bawaannya yang besar. Skill analitik bisa dipengaruhi oleh lingkungan, pendidikan, pelatihan dan self-study. Penting untuk diingat bahwa orang memiliki skill analitik yang baik di satu domain, seperti proses kerja (yang bisa dipecah menjadi beberapa aspek konkrit/fisik atau konseptual), sekaligus memiliki skill analitik lemah di domain lain, seperti aspek sosial atau politik (Streufert dan Swezey, 1986). Ada setidaknya empat elemen yang mengisi skill analitik. Yang paling menonjol adalah memori. Ketika orang memiliki memori baik, ada keuntungan jelas karena data [11] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 dengan mudah diakses. Karena memori didasarkan pada paparan ke informasi, orang yang dianggap memiliki “memori baik” bisa mengingat informasi dari satu paparan atau bisa mengingat detail setelah periode waktu lama dengan sedikit paparan. Tentu saja, karena memori didasarkan pada paparan ke informasi dan karena orang terpapar ke banyak informasi seiring waktu, maka mereka bisa mengingat informasi berdasarkan pengalamannya. Memori yang baik dalam proses konkrit bisa didapat dari proses mengetahui bahasa spesifik dari statuta penegakan aturan, atau melibatkan pengingatan proses untuk menyelesaikan sebuah masalah di beberapa bulan sebelumnya. Memori yang baik di setting sosial bisa diperoleh dari pengingatan nama orang yang hanya ditemui sekali sebelumnya atau mengingat pasangan orang, anak, atau detail personal lainnya. Memori politik bisa berupa mengetahui pembuat keputusan kunci dan protokol keputusan yang digunakan, atau mungkin proses keluhan kompleks (Willner, 1968). Elemen kedua dari skill analitik adalah diskriminasi. Diskriminasi adalah kemampuan untuk membedakan dan menggunakan beberapa dimensi konseptual berbeda. Contoh, tukang kayu yang baik harus mampu membedakan karakteristik tipe kayu berbeda, dan marshal pemadam kebakaran harus mampu membedakan sumber kebakaran berbeda seperti sebab listrik versus cairan dan gas yang mudah terbakar. Diskriminasi yang baik membutuhkan kemampuan melihat lebih daripada perbedaan “hitam dan putih”. Kemampuan ini melibatkan seluk-beluk dan nuansa agar menghasilkan keputusan yang lebih baik. Contoh, proposal bawahan tentang tatanan organisasi baru bisa jadi baik secara keseluruhan, tapi ini masih bisa diperbaiki dalam hal biaya, timing dan komunikasi. Ketika leader mempertahankan skill diskriminasi teknisnya, mereka juga harus memperbaiki set baru dari kemampuan diskriminasinya. Contoh dari diskriminasi leadership adalah kemampuan melawan kontaminasi arena personal dan profesional. Seorang pekerja lini bisa saja menghindari seorang kolega yang mudah bergaul tapi terlalu terbuka. Seorang manajer harus paham dengan elemen ini, agar bisa dibuat konsep terpisah. Seorang pekerja lini bisa menilai bagus pekerjaan seorang kolega yang disukainya, tapi manajer tetap harus memisahkan elemen kinerja sosial dan teknis. Ini bukan berarti bahwa kontribusi sosial/interpersonal dapat diabaikan. Kompleksitas kognitif adalah kemampuan dalam mempertimbangkan dan menggunakan dimensi berbeda secara simultan atau menggunakan level kompleksitas berbeda dalam domain berbeda (Streufert dan Swezey, 1986; Hunt, 1996). Agar manajer bisa melakukan pekerjaan baik dalam penilaian kinerja, beberapa kompleksitas kognitif menjadi sebuah aset karena sifat kompleks dari kontribusi dan liabilitas pekerja di lingkungan kerja. Manajer bukan hanya harus mempertimbangkan dimensi individu, seperti akurasi, kecepatan dan volume kerja, komunikasi, pembukuan, penyelesaian masalah dan kreativitas, kolegialitas, responsivitas, dan fleksibilitas, tapi manajer yang kompleks dan kognitif harus paham dan menindaklanjuti faktor ini ketika berinteraksi satu sama lain dan ketika memahami kebutuhan lingkungan kerja (Boal dan Hooijberg, 2000). Kompleksitas kognitif menjadi sebuah cara hidup ketika manajer naik tangga hirarki, dan merka sering membuat diskriminasi di domain berbeda atau melakukan penilaian lunak tentang emphasis kebaikan organisasi (Jaques, 1989). Contoh, seorang manajer bisa mencapai sukses dalam divisi kinerja rendah dengan menfokuskan diri ke efek interaktif dari rekrutmen, pelatihan, protokol kerja yang jelas, perbaikan proses, dan akuntabilitas dan disiplin yang lebih ketat. Ketika ditransfer ke divisi lain yang berkinerja tinggi, manajer [12] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 harus menfokuskan diri ke dimensi pembentukan tim, peningkatan sistem reward dan bonus, dan benchmarking eksternal. Elemen akhir dari skill analitik adalah toleransi ambiguitas (Wilkinson, 2006). Toleransi ambiguitas adalah kemampuan menahan penilaian ketika data baru dikumpulkan. Di satu pihak, banyak skill analitik melibatkan kemampuan membangun dan mengingat pola atau model mental (juga disebut sebagai skema mental). Model ini memberikan sarana untuk menyortir banyak informasi dengan cepat dan menyederhanakan pembuatan keputusan dengan mengkategorikan data dan persoalan menjadi beberapa “pigeonholes”. Tepatnya, model mental membantu orang dalam mengatasi overload informasi dan bertindak cepat terhadap informasi. Meski begitu, model mental didasarkan pada informasi dan analisis sebelumnya. Ini bisa menjadi liabilitas bila trend sebelumnya tidak lagi akut, atau analisis sebelumnya menjadi tidak cukup atau salah. Manajer yang bisa mentoleransi ambiguitas adalah yang lebih mau memberikan perhatian ke anomali agar bisa menentukan apakah ada pola baru atau kontradiktif, atau yang lebih sadar bahwa trend lingkungan baru bisa berisi konfigurasi model mental baru dan belum dielaborasi. Skill analitik dipahami secara univerrsal sebagai skill penting bagi leadership, tapi ini didiskusikan dalam cara yang sangat berbeda. Beberapa peneliti berbicara tentang skill analitik dalam aspek seperti penyelesaian masalah (US OPM, 1992, 1999; Rankin, 2001). Peneliti lainnya menghubungkan aspek leadership ini ke ranah lebih abstrak seperti intelejensi (Kotter, 1982). Meski begitu, banyak peneliti memiliki banyak konsep untuk memahami skill analitik seperti kemampuan mental general dan pembuatan keputusan (Howard dan Bray, 1988), skill konseptual (Yukl, 1998), dan skill intelejensi (pintar) dan konseptualisasi (Stogdill, 1974). Sebuah studi oleh American Management Association (Bhatta, 2001) mengidentifikasi kemampuan intelektual sebagai sebuah kategori meta yang berisi pikiran logika, konseptualisasi, dan penggunaan konsep secara diagnostik. Selandia Baru juga mengidentifikasi kapabilitas intelektual sebagai kategori meta bagi manajer publiknya. Kategori meta berisi proses intelektual, penyelesaian masalah, dan penilaian strategis (Bhatta, 2001). Studi OPM 1997 mengidentifikasi penyelesaian masalah sebagai skill eksekutif paling penting kedua setelah komunikasi lisan, dan skill pengawasan penting disebut paling penting ketiga setelah komunikasi lisan. Panduan 1. Menilai beragam kemampuan kognitif. Apa yang dimaksud kekuatan dan kelemahan? Hal apa yang paling penting untuk peningkatan? Aspek apa yang bisa ditingkatkan lewat disiplin-diri? 2. Meningkatkan skill analitik lewat pengalaman target atau pelatihan dan pendidikan ekstensif. Pengalaman adalah guru yang baik karena memberikan informasi dan data dasar. Tepatnya, ini memberikan isi pengetahuan untuk analisis. Pelatihan dan pendidikan menjadi guru yang baik dalam mendukung alat diskriminasi dan menunjukkan nuansa. Karena itu, karena kompleksitas dunia manajemen kontemporer, maka sulit menjadi leader yang luar biasa atau di atas rata-rata bila tanpa pelatihan dan pendidikan yang cukup tentang manajemen. 3. Meningkatkan reflektivitas. Pelatihan dan pendidikan memiliki batasan. Leader harus berhadapan dengan banyak isu dan masalah baru. Ini bukan lagi mempelajari solusi dalam kurikula pelatihan dan pendidikan yang berkualitas tinggi. Pelatihan dan [13] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 pendidikan hanya memperkaya repertoir, tapi proporsi besar dari proses analitik adalah kustomisasi pengetahuan, diskriminasi, kompleksitas kognitif, dan toleransi ambiguitas lewat refleksi. Sayangnya, leader memiliki skill tapi kurang disiplin atau sabar dalam melakukan refleksi. Refleksi bisa berupa duduk di ruang yang tenang, atau memikirkan kembali masalah yang ada agar bisa melihat apakah ada pola dan solusi yang lebih tinggi. Tapi, dalam mode fisik, refleksi bisa berupa kunjungan tempat personal dengan pikiran terbuka terhadap masalah yang akan didengar, terhadap kekuatan dan kelemahan yang akan diobservasi, dan pekerjaan yang muncul dari pengalaman. 6. SKILL TEKNIS Meski leader jarang melakukan kerja teknisnya sendiri, khususnya di rangking senior, penguasaan skill teknis ini tetaplah penting. Seorang eksekutif, menurut Stone, “harus cukup tahu tentang medan yang ditempuh agar tidak tersesat di labirin. Jika tidak tahu tentang program yang dijalankan, eksekutif harus menguasai elemen besarnya. Bila tidak, dia tidak mendapat loyalitas dan kehormatan dari spesialisnya, dan akibatnya, dia sulit membuat tim” (Stone, 1945). Sejak lama, Katz (1955) mengatakan bahwa skill teknis adalah hal paling penting bagi supervisor tapi paling tidak penting bagi eksekutif. Ini dimunculkan dalam studi OPM besar (1997) dimana skill teknis adalah satu-satunya skill yang dianggap supervisor membutuhkan lebih banyak kompetensi dibanding kompetensi eksekutif. Meski begitu, eksekutif di area fungsi sempit seperti akuntansi atau aturan keselamatan malah membutuhkan lebih banyak kompetensi dibanding generalist seperti city manager, agency director, atau anggota korp eksekutif yang menjadi troubleshooter (konsep asli dari US Senior Executive Service). Leader – khususnya dengan bakat entrepreneurial – yang ingin memiliki dampak signifikan ke operasi sering memiliki skill teknis dan keterlibatan yang lebih kuat. Meski begitu, facet ini adalah pedang bermata dua. Di satu pihak, eksekutif adalah perintis yang dibutuhkan untuk membuat perubahan penting dalam produk atau proses yang mungkin gagal tanpa keterlibatan eksekutif. Di lain pihak, fokus eksekutif yang eksesif ke persoalan teknis dan keahlianpersonal adalah sumber hambatan karir karena kecenderungan ke arah arogansi, manajemen mikro dan pencapaian rendah di kompetensi eksekutif inti lainnya (Lombardo dan McCauley, 1988). Skill teknis bagi leader bisa berupa pengetahuan dan praktek profesional dan organisasi yang dihubungkan dengan satu area kerja. Ini berisi tiga elemen. Elemen paling menonjol adalah informasi dan skill teknis dari disiplin. Contoh, manajer dalam transportasi umumnya memiliki dan membutuhkan gelar teknik, khususnya teknik sipil atau teknik aeronautika. Di rumah sakit, yang dibutuhkan biasanya lulusan keperawatan atau gelar medis. Dalam manajemen hutan dan pertamanan, gelar yang dibutuhkan adalah dari biologi atau ilmu alam (Carnevale, Gainer dan Schultz, 1990). Di banyak area, satu gelar mungkin tidak dibutuhkan, tapi pengetahuan ekstensif terkaitnya tetaplah dibutuhkan. Manajer training mungkin tidak memiliki gelar dalam pendidikan, tapi mereka biasanya memiliki pengetahuan ekstensif tentang teori pembelajaran dan teknik pelatihan. Leader, khususnya di level supervisor, sering direkrut atau dipromosikan berdasarkan skill teknis. Banyak orang mengeluh bahwa leader kehilangan sentuhan ke skill ini, dan ini juga mewakili komplain dari bawahan. Dalam studi tentang manajer lokal, 22 persen mengatakan bahwa aspek kompetensi teknis ini adalah area skill terlemah (meski 22 persen studi lain mengatakan sebagai yang terkuat) (Van Wart, 2001). [14] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 Sebagian repertoir kompetensi dasar selalu berisi informasi tentang organisasi, yaitu proses, aturan, pegawai, fasilitas, klien, kelompok kepentingan, pengawas, budaya dan sebagainya. Ini tidak menjadi persoalan bagi pihak yang dipromosikan secara internal di sebuah organisasi, khususnya jika mereka memiliki diberi keistimewaan seperti rotasi tugas atau peluang tim lintas fungsi. Ini malah menjadi persoalan besar bagi rekrutan luar yang harus fokus untuk memahami organisasi dalam 6 bulan pertama atau sekitarnya. Meski begitu, kadang, ini adalah sebuah aset jangka panjang karena leader memiliki pengalaman lebih luas dan bisa menggunakan praktek komparatif sebagai sumber benchmarking personal. Sejak revolusi manajemen kualitas yang terjadi di akhir 1980-an dan 1990-an, banyak skill manajemen dasar diharap dimiliki oleh pekerja frontline dan skill tersebut bisa dianggap sebagai ekstensi pengetahuan dan skill organisasi. Pengetahuan dan skill tersebut bisa berupa mengurus dan memimpin tim, memimpin pertemuan, penyelesaian masalah operasional, dan perencanaan operasi. Sayangnya, skill dasar ini sering dimiliki oleh leader di semua level, yang melahirkan pelatihan atau feedback yang tidak cukup di area ini. Organisasi militer dan kuasi-militer adalah pengecualian dimana perencanaan pertemuan, tim, operasi dan sebagainya adalah keahlian penting dalam perdagangan. Skill teknis dan kredibilitas bukan tertulis dalam daftar kompetensi leader. Kotter (1982, 1990) menghapus ini keseluruhan, dan Howard dan Bray (1988) hanya mengidentifikasi elemen manajemen dasarnya. Ada banyak contoh dalam dunia manajemen eksekutif yang, dengan sedikit informasi teknis dan organisasi, harus menyelesaikan banyak hal, dan kadang, harus tanpa pengetahuan dan pengalaman terkait. Kasus ini memang jarang terjadi, tapi kelemahan dalam skill teknis tetap menjadi liabilitas besar. Analisis-meta oleh Stogdill (1974) mengidentifikasi pengetahuan teknis dan komponen manajemen dasar sebagai yang terpisah. Studi Rankin menemukan bahwa skill teknis adalah relatif menonjol (2001). Seperti yang disebut, studi OPM mengidentifikasi kompetensi teknis, dan OPM merubah namanya sebagai kredibilitas teknis di studi selanjutnya (1992,1999, 2006). Ini lebih menonjol dibanding yang tertulis di daftar kompetensi di demokrasi maju lainnya (Bhatta, 2001). Panduan 1. Menilai skill teknis dan kebutuhan akan kompetensi teknis. Level kompetensi teknis kadang dinilai dengan menggunakan self-inventory, tapi ini harus ditingkatkan dengan bertanya ke bawahan tentang cara mereka mengevaluasi skill atau dengan menggunakan instrumen survey anonim. Jika bawahan diteliti, penting untuk mendapat opini atasan atau koleganya karena mereka bisa memiliki persepsi berbeda tentang level dan kebutuhan akan kompetensi. Kompetensi teknis yang mudah dimiliki harus dikembangkan sebagai aspek rutin dari perkembangan personal berkelanjutan. Karena keahlian teknis profesional bukanlah persoalan penting yang dirasakan leader saat menjalankan program, sekelompok program, dan agensi keseluruhan, skill teknis yang perlu waktu untuk meningkatkannya harus ditimbang secara hati-hati dibanding area lain yang juga membutuhkan perhatian dan peningkatan. Ketika manajemen memiliki lebih banyak pekerjaan inti, skill juga harus diberi fokus inti. Ini berarti bahwa manajer senior harus tetap menjaga skill teknisnya seiring waktu atau mendelegasikan keahlian spesialisnya ke orang lain. [15] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 2. Membuat rencana untuk meningkatkan skill teknis terpilihnya. Tidak jadi soal apakah rencananya kecil atau ambisius, skill teknis umumnya bisa ditingkatkan hanya lewat disiplin-diri. Jika pengetahuan tentang disiplin diri masih lemah, ini bisa diperkuat lewat pembacaan jurnal besar sekali sebulan atau dengan ikut konferensi beberapa kali setahun. Jika skill pertemuan masih lemah, maka kita perlu membeli software pertemuan dan/atau meminta kritik di setiap selesai pertemuan. 7. PEMBELAJARAN KONTINYU Meski pembelajaran kontinyu selalu menjadi kompetensi signifikan, kepentingannya mulai naik di beberapa dekade terakhir karena peningkatan perubahan dan ketidakpastian di semua organisasi (Vera dan Crossan, 2004; Berson dkk, 2006). Bila didefinisikan secara luas, pembelajaran kontinyu berarti memikul tanggungjawab dalam mendapatkan informasi baru, melihat informasi lama dalam cara baru, dan menemukan cara untuk menggunakan informasi lama dan baru dalam cara kreatif. Ini berhubungan erat dengan kompetensi lain, dan sekaligus membentuknya. “Kompleksitas kognitif dibutuhkan untuk mengembangkan model mental lebih baik, tapi maturitas emosional juga dibutuhkan untuk belajar dari kesalahan, dan fleksibilitas dibutuhkan untuk merubah asumsi dan cara pikir dan bertindak saat merespon dunia yang berubah” (Yukl, 1998). Selain kompleksitas kognitif, ada skill analitik lain seperti memori, diskriminasi dan toleransi ambiguitas yang berhubungan erat dengan pembelajaran kontinyu. Untuk contoh detail dari skill kompleks ini. Karena beberapa aspek pembelajaran kontinyu dijelaskan lewat kompetensi lain, hanya dua elemen yang akan diulas di sini. Elemen tersebut mencerminkan kemampuan belajar pintar dalam mode dasar dan mode mahir. Elemen pertama adalah kemampuan mencermati dan menggunakan informasi dan data baru. Mode pembelajaran dasar ini mengharuskan orang mereview dan mengawasi data dan trend. Data dan trend bisa tentang internal dan eksternal dari organisasi. Contoh dari ini adalah operasi, kebutuhan klien, teknologi dan ekonomi. Pembelajaran dasar membutuhkan penggunaan informasi baru dalam cara standar. Meski pembelajaran dasar terdengar rutin, dan harusnya begitu, ada tantangan, yaitu besarnya informasi yang harus diamati dan direview, atau jumlah proses standar dan protokol penyelesaian masalah yang harus dipelajari dan digunakan dalam dunia manajemen kontemporer. Agar muatan kerjanya tetap wajar, data harus direview secara singkat, diabaikan, atau disortir lewat metode lama penyelesaian masalah, meski itu tidak cocok bagi persoalan yang ada di tangan. Pihak yang cakap dalam pembelajaran dasar biasanya paham dengan data operasional dan lingkungan, dan menemukan metode standar terbaik untuk menyelesaikan pekerjaannya. Elemen kedua adalah kemampuan memperluas pengetahuan. Pembelajaran mahir melibatkan penciptaan pengetahuan baru yang mendukung inovasi (menggunakan produk/proses yang dikenal dalam cara baru) atau invensi (menemukan produk/proses baru). Diseminasi pengetahuan juga dibutuhkan. Satu contoh berikut mungkin berguna dalam membedakan pembelajaran dasar dan pembelajaran mahir. Seorang manajer di agensi layanan sosial menemukan bahwa berbagai klien bisa mendapat informasi buruk di beberapa area, dan bahwa tingkat error dari hitungan keuntungan rutin mengalami peningkatan. Karena itu, manajer memutuskan bahwa biaya/keuntungan bukanlah hal penting dalam menentukan siapa yang menyebabkan masalah, dan bahwa sumberdayanya lebih baik digunakan untuk sessi pelatihan penyegaran in-service dalam [16] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 waktu singkat di saat pertemuan staff (tepatnya, dia bekerja di level pembelajaran dasar). Yang mengejutkan, meski ada periode perbaikan singkat, masalahnya malah lebih buruk setelah setahun. Dia yakin bahwa masalahnya lebih ekstensif dibanding yang diduga, dan dia kemudian melakukan studi untuk menentukan siapa yang membuat kesalahan dan mengapa. Studinya menemukan bahwa banyak pekerja yang berpengalaman sudah keluar untuk mencari kondisi kerja dan upah yang lebih baik, bahwa pelatihan pekerja baru masih kurang komprehensif, bahwa kualitas rekrutan baru masih rendah, dan bahwa muatan kasus telah meningkat sampai 10 persen. Dengan studi tersebut, dia merekomendasikan ke direktur agensi sebuah paket reformasi komprehensif yang berisi penyesuaian gaji ringan, sejumlah perubahan proses (perampingan), suntikan teknologi signifikan untuk meningkatkan produktivitas pekerja, perluasan kurikulum pelatihan, dan sistem yang lebih baik untuk melacak level kinerja dari manajer kasus. Contoh ini memperlihatkan pembelajaran mahir. Penting untuk diketahui bahwa meski pembelajaran mahir sering dilandasi oleh pembelajaran dasar, sepertinya manfaat dan kelayakan mode pembelajaran dasar dan mahir umumnya ditentukan secara situasional, dan pembelajaran mahir tidak selalu lebih baik. Meski begitu, pembelajaran mahir selalu melibatkan lebih banyak sumberdaya dan jarang dipraktekkan. Kalaupun dipraktekkan, ini lebih buruk dibanding pembelajaran dasar. Selain itu, semua organisasi yang berkinerja-tinggi memiliki budaya yang mendukung pembelajaran mahir. Karena itu, leader bijak selalu terlibat dan mau mendorong praktek pembelajaran mahir. Aspek pembelajaran kontinyu telah disebut di beberapa daftar kompetensi leadership. Stogdill menyebut leader sebagai kreatif (1974). Kotter mendeskripsikan leader sebagai yang memiliki intelejensi dan memiliki interest beragam (1990). Howard dan Bray mempelajari interest beragam atau kreativitas (1988). Rankin (2001) menyebut ini secara tidak langsung sebagai penyelesaian masalah. Studi OPM 1997 menemukan bahwa penyelesaian masalah dan pemikiran kreatif diberi rangking kedua dan kesebelas dalam rangking kompetensi eksekutif dalam waktu panjang dan bahwa penyebaran skill pikiran kreatif antar supervisor dan eksekutif selalu sangat besar. Di studi 1999, kompetensi yang berhubungan dengan pembelajaran kontinyu diperluas menjadi empat area, yaitu penyelesaian masalah, kreativitas dan inovasi, pikiran strategis, dan pembelajaran kontinyu. Panduan 1. Fokus ke keuntungan pembelajaran. Pembelajaran adalah kerja keras, dan bisa dirasakan seperti gangguan atau aktivitas yang dilakukan bila ada waktu. Karena itu, penting untuk memahami keuntungan pembelajaran (kontinyu) di setiap waktu. Pertama, ini memberikan peluang entrepreneurial untuk kemajuan organisasi dan personal. Seperti yang dikatakan Bennis dan Nanus, pembelajaran kontinyu berarti merespon masa depan di masa sekarang (1985). Realita yang berlawanan dengan ini adalah bahwa kurangnya pembelajaran kontinyu bisa menimbulkan hambatan karir organisasi. Kedua, ini membuat orang harus memahami bisnis dan dunia, yang jelasnya membuat hidupnya lebih menarik. 2. Belajar dari kejutan dan masalah. Menindaklanjuti kejutan, masalah, kesalahan dan kegagalan bukanlah gangguan terhadap kerja. Ini memang pekerjaan leader. Leader memiliki tanggungjawab untuk mengambil sikap mental proaktif terhadap tantangan. [17] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 Seringkali, masalah dan kegagalan memberikan jalan menuju peluang yang tidak terduga dan substansial. Satu-satunya orang yang tidak pernah gagal adalah yang tidak pernah mencoba. 3. Menemukan cara untuk menantang asumsi dan model mental. Karena leader memiliki kemampuan merubah asumsi dan model mental, maka leader bertanggungjawab menemukan cara untuk waspada terhadap pertanyaan yang diberikan kepadanya. Tantangan tersebut bisa berupa proses dan standar kerja, atau tentang prinsip apa yang bisa dicapai orang tertentu, atau cara klien diperlakukan. Satu set asumsi penting di balik tantangan adalah tentang kinerja organisasi. Menantang asumsi adalah sebuah bentuk disiplin-diri yang mendukung kompetensi eksternal, yaitu bisakah sesuai dilakukan secara lebih baik dan apakah orang bisa meraih hasil terbaik? 4. Berinvestasi dalam pembelajaran meski di masa turbulen atau masa sulit. Jarang ada waktu baik untuk menghasilkan pembelajaran. Ini adalah cara hidup dari banyak leader. Metode pembelajaran bisa beragam. Leader bisa melakukan aktivitas seperti seminar, konferensi, pembacaan, kunjungan tempat, tugas rotasi, mentoring, dan sebagainya. Leader juga melakukan eksperimen dan studi khusus, memeriksa best practice, melakukan benchmark dan menjaga network informasi yang baik. Karena pembelajaran butuh waktu, maka perlu memiliki horison waktu yang lebih lama. Pembelajaran harus dianggap bukan hanya sebagai aktivitas individu, tapi juga sebagai aktivitas yang dilakukan oleh kelompok, tim dan organisasi keseluruhan. 8. KESIMPULAN Theodore Roosevelt mengatakan bahwa orang bisa meraih kesuksesan hanya lewat bakat, tapi ini jarang terjadi. Banyak orang meraih sukses dengan kemampuannya untuk mengolah bakat alami. Kesuksesan, menurutnya, datang ke orang yang membentuk kualitasnya yang biasa menjadi kualitas yang luar biasa. Wawasan ini berlaku pada skill yang dibahas di bab ini. Beberapa orang memiliki bawaan jenius di bidang tertentu, tapi banyak orang juga mengembangkan dirinya dari bakat yang dimilikinya sampai efektif. Enam skill luas yang didiskusikan di sini bisa jadi penting dan multifacet. Meski begitu, review tentang sifat dan skill masih tidak lengkap tanpa diskusi karakteristik lain yang sering disebut di literatur leadership, tapi ini tidak terlihat di enam skill yang dibahas di sini. Meski signifikan, tiga karakteristik leadership di bawah ini adalah lebih struktural daripada sifat dan skill yang dibahas sejauh ini. Intelejensi tidak terdaftar sebagai sifat yang menekankan elemen bawaan dari briliansi mental. Skill kognitif didiskusikan dengan fokus lebih banyak ke aspek pembelajaran dari kemampuan mental. Argumen untuk ini adalah bahwa orang dengan mental medioker tapi dengan disiplin baik dan dengan kognitif terlatih bisa mengalahkan jenius yang tidak terlatih. Penelitian mendukung ini (Stogdill, 1948, 1974). Tentu saja, perlu dicatat bahwa konsep intelejensi memang multifacet, dan bahwa tipe intelejensi berbeda bisa berguna di level manajerial rendah (“mengkristalisasikan pemahaman”) dan ini berbeda dari tipe cair yang berguna di level manajerial tinggi (sama seperti diskriminasi versus kompleksitas kognitif dalam skill analitik). Satu temuan menarik kontraintuitif berhubungan dengan kadar perbedaan optimal antara leader dan yang dipimpin. Hollingworth (1926) berpendapat bahwa kesenjangan moderat dalam intelejensi adalah optimal. Dia menemukan bahwa individu yang memiliki intelejensi jarang memimpin orang [18] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 dengan kemampuan rata-rata karena nanti ada masalah komunikasi dan individu intejelensi tersebut cenderung terisolasi secara konseptual dan sosial. Banyak studi menemukan temuan sama, termasuk Ghiselli (1963), yang berpendapat bahwa orang dengan intelejensi luar biasa sering membuat rintisan konsep yang lebih baik dibanding leader yang harus mencocokkan tujuan dan nilainya dengan follower. Agar bisa menyelesaikan masalah intelejensi sebagai sifat primer, konsep kadang dicampur dengan pengetahuan dan diberi label kearifan, meski intelejensi ini lebih bersifat terapan atau praktek, bukan abstrak (Sternberg, 2003). Area penting kedua berhubungan dengan aspek fisik seperti tampilan dan umur. Individu dengan tampilan lebih baik berdasarkan perawatan, pembawaan, kesehatan, ketinggian, atau daya tarik, menunjukkan sebuah keunggulan di banyak studi. Meski begitu, banyak studi lain gagal menemukan perbedaan berdasarkan karakteristik ini. Sepertinya, sifat tampilan yang menghasilkan perbedaan selalu spesifik situasi. Orang yang bekerja di posisi leadership di organisasi militer atau kuasi-militer adalah yang cenderung terpilih dan dipersepsikan sebagai leader jika mereka terawat dengan baik, memiliki kebanggaan, dan kuat secara fisik. Leader politik memiliki keuntungan berbeda ketika mereka mempesona dan tinggi. Leader di banyak lembaga layanan dan lembaga informasi merasa bahwa tampilan bukanlah signifikan. Meski begitu, di satu studi, ditemukan bahwa pembawaan (tindakan profesional dari orang tertentu) dianggap sebagai salahsatu dari karakteristik penting bagi leadership di semua kategori lembaga (Van Ward, 2001). Meski 1990-an adalah jaman pakaian kasual (sederhana), media populer menunjukkan adanya gerakan kembali ke trend pakaian konservatif ketika pasar menjadi lebih kompetitif. Umur adalah faktor menarik lain yang juga penting. Sebuah studi oleh Standard and Poor’s (1967) memberikan baseline yang cukup layak. Sekitar 74 persen eksekutif Amerika telah berumur 50-an. Eksekutif di kategori umur 71 sampai 80 tahun malah 48 kali lebih banyak dibanding yang ada di kategori di bawah 30-an. Meski studi terbaru tentang ini merubah data sedikit ke arah profil lebih muda, masih sulit untuk merubah profil eksekutif senior ini. Selain itu, ada variasi berdasarkan industri karena banyak orang terkunci dalam hubungan umur dan pangkat. Sektor publik cenderung menunjukkan hubungan umur dan pangkat secara lebih fair dan konsisten. Beberapa organisasi, seperti militer, lebih suka menempatkan leader eksekutif senior dalam range umur 55 sampai 60 tahun untuk mencerminkan pengalaman maksimum. Organisasi lain menempatkan umur 50 sampai 55 tahun memaksimalkan energi fisik. Beberapa organisasi menempatkan orang dijajaran eksekutif pada umur lebih muda dari 50 tahun. Leader umur muda ini bisa ditemukan di lembaga informasi yang membutuhkan kekuatan mental dan keahlian teknis yang ekstrim. Sejumlah eksekutif yang diangkat pada umur lebih tua dibanding 60 tahun selalu mengalami drop. Meski begitu, banyak eksekutif sektor publik yang lebih tua tetap bisa mempertahankan posisinya dalam periode lama, sehingga sejumlah eksekutif dalam umur 65 tahun atau lebih tua tetap memberikan pengaruh penting. Aspek yang mulai diberi perhatian adalah hubungan antara latarbelakang sosial dan leadership. Sebagian besar studi menemukan adanya efek signifikan dari latarbelakang sosial dan ekonomi terhadap kecenderungan berada di posisi leadership senior (misal, Porter, 1965). Meski hubungan ini sangat menonjol sebelum abad 20, ketika masyarakat berbasis-kelas (Matthews, 1945) dan ketika keanggotaan kelas terkesan lebih rigid, hubungan ini masih bertahan. Faktor mediasinya adalah bahwa kekayaan lebih besar [19] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 memicu lebih banyak pendidikan dan memunculkan universitas yang lebih baik. Hubungan ekonomi dan sosial juga memainkan peran, meski itu bukan peran penting. Dari tiga karakteristik yang dibahas di atas, orang bisa membandingkan pentingnya skill komunikasi, skill sosial, skill pengaruh, skill analitik, skill teknis, dan kemampuan melakukan pembelajaran. Orang bisa saja memiliki intelensi, kuat fisiknya dan menarik, dan berasal dari keluarga bermartabat, tapi malah tidak pernah leader, atau kalaupun jadi leader, malah tidak bisa menjalankannya secara efektif. Leader harus menguasai bahasa, atau pandai dalam interaksi, pengaruh, ide, kredibilitas dan perubahan. Meski sebagian bakat leader sudah terbentuk sejak lahir dan usia dini, skill leadership bisa dibentuk lewat studi dan praktek dengan disiplin-diri tinggi. Karakteristik leader hanyalah separuh dari bauran kompetensi leadership. Untuk memahami dinamika leadership, orang harus melihat cara leader bertindak dalam setting kerja. TUGAS DAN DISKUSI KELAS 1. Pembuatan makalah secara individu yang akan didiskusikan dalam kelas 2. Pembuatan makalah secara kelompok yang akan didiskusikan dalam kelas 3. Makalah individu dan kelompok menjadi tugas akhir mahasiswa REFERENSI Geroge Eliot, Antonio Stradiveri (2011); Le Lacocca (1984); Paul Van Riper, Cooper dan Wright (1992); A. Lincoln, F.D. Roosevelt, Kelly et al., (2008). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Gitter, Black dan Fishman (1975); Remland (1981); Van Wart (2001); Theodore dan Roosevelt (2001); Lombardo dan Mc Cauley (1988); Jennings (1943); Zullow et al., (1988); Fiedler (1967); Priem (1990); Judge, Piccolo dan Kosalka (2009). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Hoppe (2006); Lao Tzu, Sinclair (2005); Bhatta (2001); Rankin (2001); Stugdill (1974); Howard dan Bray (1988); Yukl (2002); Kotter (1982 – 1990); Van Wart (2002); Klauss dan Bass (1982); St. John (1983); Stein (1975); Friedman dan Ringgio (1981). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Manz (1986); Manz et al., (1988); Bass (1990); Anderson dan Kildoff (2009); S.F. Bacon (2011); Max De Pree (1989); Van War (1998a); Kets de Vries dan Miller (1984) Kets de Vries (1985). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. [20] Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader 2012 Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Stogdill (1974); Howard dan Bray (1988); Rankin (2001); Yukl (1998 – 2002); Thach dan Thompson (2007). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Stone (1945); Katz (1955); Garnevale, Gainer dan Schultz (1990); Van Wart (2001); Vera dan Crossan (2004); Berson et al., (2006); Hollingworth (1926); Ghiselli (1963); Sternberg (2003); Matthews (1945). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Streufert dan Swezey (1986); Willner (1968); Hunt (1996); Boal dan Hooijberg (2000); Jaques (1989); Wilkinson (2006); Kotter (1982 – 1990); Howard dan Bray (1988); Bhatta (2001). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Victor Hugo (2011); Stohl (1986); Newcomb (1961); Thach dan Thompson (2007); Stogdill (1948); Bennis dan Nanus (1985); Hitler, Jim Jones, A. Khomeini (2011); Bhatta (2001). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. [21]