Manajemen Keuangan Publik / Pelaksanaan Anggaran Pada

advertisement
SKILL YANG MENDUKUNG EFEKTIVITAS LEADER
DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS
PROF. DR. ABD. YULI ANDI GANI, MS




1.
3.
5.
7.
:
:
:
:
Kepemimpinan Sektor Publik
3 SKS
Administrasi Publik
Penguasaan materi dalam modul ini, dirancang
sebagai landasan dasar untuk dapat memahami,
mengerti dan mampu menjelaskan skill yang
mendukung leader.
Pendahuluan
2. Skill Komunikasi
Skill Sosial
4. Skill Pengaruh
Skill Analitik
6. Skill Teknis
Pembelajaran Kontinyu
8. Kesimpulan
PENDAHULUAN
George Eliot mengatakan bahwa Tuhan memberikan Antonio
Stradivari bakat yang membuatnya menjadi pembuat biola terkenal
di dunia, tapi bukan Antonio dan Tuhan yang memperbaiki skillnya
dan membawanya sampai membuahkan hasil. Naskah ini
difokuskan ke karakteristik leader yang bisa mengalami perbaikan.
Banyak point sebelumnya, yaitu tentang sifat, menunjukkan
topik seputar skill yang mendukung efektivitas leader. Ada
beberapa perbedaan antara sifat, skill perilaku dan kompetensi.
Perbedaan antar sifat, skill dan perilaku, meski begitu, terbilang
kecil. Sifat didefinisikan sebagai kecenderungan bawaan atau
jangka panjang. Contoh, beberapa orang memang lahir dengan
resiliensi (yaitu persistensi, toleransi terhadap stress) lebih besar
dibanding lainnya. Meski begitu, orang bisa meningkatkan
persistensinya dengan memiliki tujuan jelas dan mempraktekkan
kesabaran dan disiplin-diri, dan orang bisa belajar dan
mempraktekkan teknik untuk mengurangi stress.
Skill didefinisikan secara luas, dan menjadi karakteristik
pembelajaran kinerja leader. Skill dipengaruhi oleh pelatihan,
pendidikan dan praktek, dan ini bisa dilihat dalam skill komunikasi
tertulis. Di lain pihak, beberapa skill, seperti komunikasi lisan,
memiliki komponen bawaan atau “hard-wired”. Banyak leader
terkenal memulai hidup dengan relatif introvert dan tidak ekspresif,
dan mereka belajar menggunakan bahasa ucapan dalam cara yang
lebih kuat (lewat praktek, bukan “bakat”). Skill sama dengan sifat
dalam hal keluasannya. Skill sama perilaku karena ini bisa dilihat
lebih langsung dibanding sifat.
[1]
MODUL
SKILL YANG MENDUKUNG EFEKTIVITAS LEADER
1.
Mata Kuliah
SKS
Jurusan
Tujuan Pembelajaran
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
Perilaku – yang menjadi fokus di tiga bab selanjutnya – didefinisikan sebagai aksi
konkrit yang diambil untuk menjalankan pekerjaan. Ini bisa dianggap sebagai tipe skill,
tapi ini lebih sempit konsepnya dan lebih spesifik penggunaannya. Contoh, delegasi
adalah perilaku manajemen yang membantu distribusi kerja, pengembangan pegawai,
dan dukungan leader untuk menfokuskan diri ke pertimbangan operasional yang lebih
strategis. Untuk mudahnya, maka sifat, skill dan perilaku bisa disebut kompetensi.
Kompetensi kerja adalah sifat, skill dan perilaku yang paling penting bagi posisi atau kelas
posisi. Contoh, ketegasan adalah kompetensi kunci bagi eksekutif yang diberi tugas untuk
membuat keputusan hidup-dan-mati bagi keselamatan publik, tapi ini tidak penting bagi
eksekutif finansial yang kompetensi analitik dan teknisnya diharuskan lebih tajam. Meski
demarkasi tajam antar sifat, skill dan perilaku sulit dibuat, perbedaan ini bisa digunakan
dalam menganalisa kinerja seseorang, menilai kinerja, menulis lamaran kerja dan
penggunaan spesifik lainnya.
Meski skill kadang begitu luas, ini sangat penting. Apakah ada leader kuat tanpa
memiliki kemampuan dalam komunikasi, interaksi sosial, dan skill pengaruh? Semua
leader memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan dalam skill bisa mudah diketahui dan
bisa menimbulkan malfungsi atau masalah organisasi jika tidak diimbangi oleh bakat
orang lain dalam tim organisasi. US Office of Personnel Management, contohnya,
menyebut 28 kompetensi, kecuali satu, sebagai skill yang dibutuhkan leader (2006).
Ada enam skill leadership yang didiskusikan di sini. Itu adalah skill komunikasi, skill
sosial, skill pengaruh, skill analitik, skill teknis, dan kecenderungan pembelajaran
kontinyu.
2.
SKILL KOMUNIKASI
Apakah orang bicara tentang memimpin orang lain, mengarahkan operasi, atau
mempengaruhi perubahan organisasi, tetap saja, komunikasi adalah bagian dari proses,
dan karena itu, menjadi skill kunci bagi leader. Lee Iacocca berpendapat bahwa
“kemampuan komunikasi adalah segalanya” (1984). Dalam leadership administratif, Paul
Van Riper mengatakan bahwa “orang organisasi efektif adalah pakar dari bahasa”
(Cooper dan Wright, 1992). Komunikasi didefinisikan secara luas, bukan sebagai tindakan
memberikan informasi, tapi juga sebagai kemampuan menukar informasi secara efektif
lewat sarana aktif dan pasif. Ini berarti bahwa komunikasi dibawa langsung lewat bahasa
dan secara tidak langsung lewat isyarat, sikap, dan sebagainya. Ini juga berarti bahwa ini
adalah proses dua-arah yang memastikan bahwa pesan diterima secara akurat tapi juga
berisi penerimaan informasi oleh leader. Contoh, memberikan perintah yang jelas adalah
sebuah elemen komunikasi, tapi ini bukanlah komunikasi efektif dalam konteks tertentu
jika leader tidak mendengar advis bawahan, menjelaskan alasan dengan teka-teki, atau
“melunakkan” pesan jika penerima menjadi tidak peduli.
Ada empat elemen skill komunikasi untuk leadership. Komunikasi lisan sering
dianggap paling menonjol, dan ini menjadi alasan di balik leadership dalam politik,
gerakan sosial, dan organisasi sektor privat. Meski ini kurang begitu dipandang penting di
banyak setting pemerintah, ini berada di bagian atas daftar survey manajer pemerintah.
Komunikasi lisan memiliki bentuk berbeda, seperti bicara dengan individu, kelompok kecil
dan kelompok besar, dan komunikasi lewat media elektronik. Beberapa individu bisa
sangat baik dalam interaksi “tatap muka” setiap hari, tapi kasar dalam kelompok atau
dalam setting kelompok besar. Individu lain malah bersikap lebih baik dalam setting
[2]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
kelompok karena mereka terstimulasi oleh tata panggung. Pihak lain berkinerja baik di
depan kelompok tapi, karena kurang pelatihan, bisa buruk di depan media. Perbedaan
penting lainnya adalah kemampuan untuk menyebarkan pesan teknis versus emotif
secara lisan. Ini seperti kemampuan memberikan perintah yang jelas (teknis) dan
kemampuan menginspirasi tentara agar bertempur (emotif). Beberapa leader diberkahi
dua skill tersebut, tapi kebanyakan leader adalah lebih cakap dalam satu tipe pesan
dibanding lainnya, dan beberapa leader tidak cakap dalam tipe mana pun.
Skill komunikasi tulisan bisa berupa penggunaan e-mail, memoranda (potongan dan
arahan informasi/diskusi), laporan dan dokumen tujuan-khusus seperti penilaian kinerja,
surat, bahan public relation, dan pernyataan publik tertulis. Jarangnya atau
kecenderungan penggunaan skill komunikasi tulisan adalah hal wajar, dan ini tergantung
kecondongan leader. Umumnya, yang dimaksud tulisan adalah catatan tertulis yang
bertahan dalam waktu lama karena semuanya tidak diketahui mata publik. Contoh
menarik dari itu adalah Gettysburg Address dari Abraham Lincoln. Dalam menulis pidato
tentang jalan ke Gettysburg, Lincoln merasa senang dengan hasilnya. Meski begitu, dia
sadar bahwa ini tidak diterima dengan baik karena terlalu pendek. Beberapa orang
berpikir bahwa pidato keseluruhannya adalah sebuah preambul (pendahuluan). Sejarah
selalu menghargai kepadatan dan kejelasan bahasa tulisan, dan ini menjadi salahsatu
momen dari ekspresi politik Amerika. Sedikit, tapi dengan kualitas lebih tinggi, adalah
jawaban terbaiknya, dan itu dikatakan Franklin Delano Roosevelt. Dalam merespon
birokrat yang memberikan terlalu banyak informasi ke Roosevelt, dia menjawab, “Apakah
anda bekerja dengan maksud bahwa saya akan membaca memoranda yang anda
berikan? Mengambilnya saja tidak bisa”. Sebaliknya, penelitian awal tentang leadership di
dalam lingkungan elektronik menunjukkan bahwa kualitas komunikasi ditentukan oleh
kuantitas, yaitu lebih banyak adalah lebih baik dan banyak komunikasi elektronik yang
terlalu ringkas (Kelly dkk, 2008).
Mendengar bisa menjalankan beberapa fungsi (Hoppe, 2006). Ini adalah sumber
informasi tentang fakta, trend, masalah dan kinerja. Informasi yang ada di sumber
tersebut adalah informasi tentang sikap, mood dan level motivasi orang. Yang sama
pentingnya, kualitas mendengar adalah tindakan menghormati. Karena itu, ini sering
memberikan ikatan lebih kuat dibanding bicara dan menulis. Nilai besar dari mendengar
dalam komunikasi sudah diterima di dalam filosofi China klasik. Contoh terkenalnya
adalah perkataan Lao Tzu, yaitu “Orang yang tahu adalah yang tidak bicara. Orang yang
bicara adalah yang tidak tahu”.
Yang tidak disukai dibanding mendengar adalah komunikasi non-verbal (Sinclair,
2005). Informasi sering disimpan dan dibawa secara non-verbal, tapi informasi yang
disampaikan jauh lebih lunak dibanding informasi yang diucapkan dan ditulis. Ini bisa
meliputi gerakan mata, ekspresi wajah, sikap badan, isyarat dan gerakan badan. Ketika
seseorang diminta menjelaskan kesenjangan teknisnya dan dia melakukannya dengan
melihat ke atas (ingin menunjukkan pencarian kognitif kreatif), maka kita pantas curiga
bahwa dia tidak bisa. Jika leader mencoba menginspirasi orang tentang prospek sebuah
perubahan besar, dan dia sering menunduk (menunjukkan pencarian kognitif untuk
mendapatkan potongan data), kita malah tidak terinspirasi karena kita merasa bahwa dia
tidak menangkap gambaran besarnya. Terkait dengan aspek lain, komunikasi non-verbal
bisa dilakukan dengan baik atau buruk. Leader yang ingin mengumumkan perubahan dan
[3]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
masuk ruang dengan konfidensi akan mempertahankan konfidensinya. Leader yang
tergesa-gesa masuk ruang dan terlihat gugup tidak mudah menjaga konfidensinya.
Di studi US Office of Personnel Management (OPM) di tahun (1997) yang
mempelajari pentingnya 22 kompetensi bagi eksekutif, manajer dan supervisor yang baru
dan berpengalaman, maka komunikasi lisan selalu diberi rangking pertama dan
komunikasi tertulis diberi rangking kedua atau ketiga. Sebaran komunikasi tersebut antar
level leadership (eksekutif versus manajer dan supervisor) beragam dari kecil hingga
moderat. Leader baru berharap memiliki skill komunikasi kuat di saat entry, tapi tidak
memiliki kompetensi lain, seperti mengartikulasikan visi, yang harus dikuatkan di waktu
kemudian. Setiap studi kompetensi sektor publik memberikan emphasis konsisten ke skill
komunikasi (Bhatta, 2001). Studi sektor-campuran Inggris oleh Rankin menempatkan
komunikasi di rangking kedua untuk kepentingan (2001). Stogdill (1974) memasukkan
kecakapan bicara dalam daftar skillnya, dan Howard dan Bray (1988) memasukkan
komunikasi lisan dan tertulis dalam daftarnya. Meski beberapa pakar leadership tidak
menganggap komunikasi sebagai kompetensi kunci (Yukl, 2002; Kotter, 1982, 1990), ini
terlihat di hampir semua kompetensi atau elemen yang diberikan emphasis. Meski jarang
terlihat sebagai kompetensi besar, mendengar sering dipelajari dalam studi besar.
Kompetensi perilaku puncak bagi eksekutif di studi OPM 150-item (Van Wart, 2002) berisi
tiga kompetensi dengan elemen mendengar di sepuluh besar. Studi empiris juga
memperlihatkan pentingnya kualitas mendengar untuk menciptakan keterpercayaan dan
kredibilitas (Klauss dan Bass, 1982; St. John, 1983). Beberapa studi memperlihatkan
bahwa perilaku non-verbal bukan hanya penting (Stein, 1975; Friedman dan Riggio,
1981), tapi itu sering memberikan petunjuk lebih terpercaya ke pendengar dibanding
perilaku verbal (Gitter, Black dan Fishman, 1975; Remland, 1981). Banyak penilaian-diri
dari leader, khususnya dalam studi manajer lokal, memperlihatkan bahwa kemampuan
berkomunikasi dengan baik secara lisan dan tulisan adalah area skill paling lemah dari
mereka (Van Wart, 2001).
 Panduan
1. Menilai skill komunikasi untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan. Karena ada
banyak tipe dan metode komunikasi, maka penilaian bukanlah proposisi sederhana.
Skill untuk menghasilkan komunikasi e-mail yang baik bukanlah yang dibutuhkan untuk
menulis laporan analitik yang baik. Karena itu, penilaian skill komunikasi harus cukup
diskrit/unik agar bisa mengidentifikasi sub-kompetensi spesifik. Contoh, jika persepsi
umum terbentuk bahwa skill menulis leader adalah kurang, maka penilaian follow-up
harus dilakukan untuk melihat apakah itu berarti (a) komunikasi tertulisnya terlalu
sedikit, (b) tipe komunikasi yang salah (menggunakan e-mail padahal dokumen lebih
formal adalah yang tepat), atau (c) kualitas buruk dalam metode tertentu (misal,
bertele-tele dan yang tidak sesuai grammar). Sarana menilai skill komunikasi bisa
berupa penilaian-diri personal, penilaian orang lain di tempat kerja, dan penilaian oleh
pakar atau pembimbing.
2. Membuat rencana untuk mengatasi kelemahan. Semua skill komunikasi seperti terlalu
penting untuk menghasilkan kelemahan signifikan. Dengan kata lain, itu minim
kelemahan. Karena itu, persepsi adanya kelemahan harus ditindaklanjuti. Proses untuk
melakukan itu bisa sederhana seperti meningkatkan jumlah komunikasi, memberikan
lebih banyak perhatian ke kelemahan, melakukan self-study (misal, membaca
[4]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
pedoman), atau instruksi formal dan informal, yang bisa berupa kelas menulis, ikut
Toastmasters, atau bimbingan komunikasi.
3.
SKILL SOSIAL
Karena leadership adalah cara berhadapan dengan orang, maka skill sosial adalah
pilar utama dari set skill seorang leader. Theodore Roosevelt mengatakan bahwa “bahan
paling penting dalam formula sukses adalah tahu cara bergaul dengan orang”. Dalam
mendukung penilaian ini, peneliti yang mempelajari “situasi terpelesetnya leader” adalah
bahwa skill sosial yang lemah adalah sumber paling umum dari kegagalan karir eksekutif
(Lombardo dan McCauley, 1988). Orang umumnya tidak bisa memaafkan kecanggungan
sosial, kelalaian atau kealpaan untuk bersikap sopan pada pihak leader. Meski sudah ada
penjelasan, skill sosial terbilang lunak dan sulit ditegaskan. Skill sosial berhubungan
dengan skill komunikasi dan skill pengaruh, dan kadang dimasukkan dalam dua skill
terakhir. Di sini, kita akan membahasnya secara terpisah karena kadar dan range elemen
yang dikover setiap konsep adalah berbeda. Perlu dicatat bahwa, seperti komunikasi dan
pengaruh, skill sosial memiliki komponen bawaan signifikan. Contoh, ekstrovert adalah
“hard-wired” dalam menghadapi setting sosial dalam cara berbeda dibanding orang yang
introvert. Meski orang ekstrovert cenderung orang yang pembicara, dan introvert adalah
pendengar, dalam interaksi sosial, orang ekstrovert-lah yang mahir dalam menarik
percakapan dari orang lain, sedangkan introvert adalah yang bisa diajak bicara oleh
pembicara. Skill bicara atau mendengar dari seseorang, bukan sifat orang tersebut,
adalah yang bisa mempengaruhi skill sosial mereka.
Skill sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi efektif dalam setting sosial dan
untuk memahami dan secara produktif memperkuat struktur kepribadian diri sendiri dan
orang lain. Ada tiga elemen dalam skill sosial. Satu elemen adalah kesukaan personal,
yang mana, bagi leader, ini difokuskan ke aspek seperti optimisme, kebaikan,
kebijaksanaan, dan menghormati keberadaan orang lain. Optimisme adalah kerangka
pikiran positif bahkan ketika orang sedang lelah dan pekerjaannya tidak berjalan baik
(Jennings, 1943; Zullow dkk, 1988). Kebaikan bisa membantu orang untuk percaya ke
seorang leader (Fleishman, 1953). Kebijaksanaan membuat orang bisa menjaga
martabatnya. Menghormati orang lain membuat leader bisa mengolah keragaman orang
dan melihat orang lain sebagai aset bukan biaya dalam setting profesional (Fiedler, 1967;
Priem, 1990). Dalam literatur psikologi, kesukaan (likability) disebut sebagai kesetujuan
(agreeableness) (Judge, Piccolo, dan Kosalka, 2009).
Elemen kedua dari skill sosial adalah ekspresivitas. Satu aspek dari ekspresivitas
adalah memastikan bahwa sesuatu yang benar dikatakan atau dilakukan dalam waktu
ideal. Pendorongan terjadi ketika orang membutuhkan ekspresivitas karena “orang malah
lebih hidup karena affirmasi (dukungan) daripada makanan”, menurut Victor Hugo.
Ilmuwan sosial menemukan bahwa penguatan positif dan pendorongan adalah lebih
efektif dibanding disinsentif (pengurangan insentif). Kritik kadang dibutuhkan. Kritikisme
yang baik diberikan dalam cara yang bisa dipahami penerima. Di beberapa kasus, ini
melibatkan kebijaksanaan, tapi di banyak kasus, ini membutuhkan kelangsungan pikiran.
Leader yang kuat dalam ekspresivitasnya adalah yang mampu menempatkan emosi atau
hasrat profesionalnya ke dalam kata-kata. Ini penting agar membuat orang merasa ternilai
secara personal, menyuntikkan makna ke dalam pekerjaan dan “memadukan anggota”
untuk upaya bersama (Stohl, 1986).
[5]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
Perseptivitas sosial adalah elemen ketiga dari skill sosial (Newcomb, 1961).
Baseline dari perseptivitas sosial adalah pemahaman jujur tentang motif, nilai, dorongan,
dan preferensi. Ini akan menghasilkan sebuah pemahaman tentang motif dan aksi dari
orang lain, yang menjadi nilai leadership yang sulit diestimasi. Thach dan Thompson
(2007) menemukan bahwa dimensi ini diberi rangking sebelas di antara eksekutif sektor
publik, dan bahkan lebih tinggi oleh leader sektor privat. Dimensi lain dari perseptivitas
sosial adalah pemahaman mendalam tentang dinamika interpersonal. Dinamika
interpersonal adalah lem organisasi dan sumber politik birokratik. Baik atau buruk,
wawasan tentang (dan penggunaan efektif dari) dinamika interpersonal adalah penting
dalam posisi leadership (Stogdill, 1948).
Kasus khusus dari skill sosial adalah karisma. Karisma adalah kemampuan alami
untuk menginspirasi pemujaan atau kesetiaan, yang berarti “hadiah dari kelembutan
Tuhan”. Karismatik sebenarnya, yang jarang ditemukan, memiliki skill sosial intens
sehingga bisa mempesona setiap orang, setidaknya dalam waktu pendek. Meski
beberapa leader besar di dunia adalah karismatik, banyak dari mereka tidak demikian,
dan ini diketahui dalam beberapa studi kontemporer leader (Bennis dan Nanus, 1985).
Banyak tokoh karismatik malah tidak menjadi leader, tapi seperti sifat atau skill lainnya,
karisma bisa menimbulkan kesalahan dan kejahatan. Leader karismatik yang terkenal di
abad 20 adalah Rasputin (penasehat tsarina (ratu tsar) terakhir di Rusia), Hitler dan
Pendeta Jim Jones, yang meminta ribuan followernya untuk melakukan bunuh diri di
Amerika Selatan, dan Ayatolah Khomeini.
Pentingnya skill sosial bisa mudah dipahami. Ini menghasilkan sebuah bentuk
power (power personal). Skill ini juga meningkatkan komunikasi, yang juga
mempermudah pengumpulan informasi. Ini meningkatkan kemampuan mereka dalam
pembentukan tim efektif. Ini mengurangi masalah yang tidak dibutuhkan karena sifat
kepribadian yang buruk (misal kekasaran atau ketidakberanian), sekaligus meningkatkan
kemampuan untuk memperbaiki situasi sosial yang canggung (misal, kesalahan sosial).
Peneliti berbeda mempertimbangkan aspek berbeda dari skill sosial. Sebagai review
literatur, Stogdill mendiskusikan skill sosial sebagai diplomasi, kebijaksanaan dan
dianggap memiliki skill secara sosial (1974). Howard dan Bray memecah skill sosial
menjadi beberapa komponen dengan mendaftar dampak personal, persepsi petunjuk
sosial, dan obyektivitas sosial (1988). Studi OPM menggambarkan itu sebagai skill
interpersonal (1992, 1999, 2006). Meski semua studi kompetensi sektor publik dari
bangsa lain yang dipelajari Bhatta (2001) mengulas tentang skill sosial, yang menonjol
adalah dari Selandia Baru (“membangun dan mempertahankan hubungan”) dan Australia
(“membina hubungan produktif”). Tentu saja, preferensi sosial dan kepribadian (yang tidak
sama dengan skill sosial) adalah bidang psikologi dan bisa ditentukan oleh penilaian
kepribadian seperti Myers-Briggs Type Indicator (MBTI).
 Panduan
1. Menggunakan pandangan kritis pada skill sosial dan mengidentifikasi skill yang lemah.
Meski banyak dari kita merasakan kepribadian yang distingtif, dan sering bangga
dengan tingkah kita, dan meski sifat kepribadian distingtif ini adalah aset, skill sosial
yang tidak diperiksa atau tidak terlatih akan menghambat leadership efektif. Sumber
feedback bisa berisi review pola respon dari orang lain, instrumen feedback sinonim,
dan seminar penilaian kepribadian. Apa yang disebut orang sebagai
[6]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
ketidakberuntungan (karena tidak diberi promosi atau tidak diberi tugas distingtif)
adalah karena kepribadian lunak atau cacat skill sosial yang bisa dilemahkan atau
dirubah menjadi sebuah kearifan.
2. Membuat rencana untuk mengatasi kelemahan sosial. Aspek “hard-wired” untuk
kepribadian dan pelatihan sosial membuat perencanaan menjadi sulit, khususnya
dalam jangka pendek. Rajin dan praktek bisa merubah liabilitas. Orang yang tidak bijak
bisa mempelajari diskresi jika mereka paham apa yang disebut tidak bijak (hilangnya
teman dan kurangnya kemajuan profesional). Orang yang canggung secara verbal bisa
memperbaiki cara bicaranya di Toastmasters. Orang negatif bisa belajar menghentikan
“self-talk” negatifnya dan mempraktekkan rutinitas mental positif yang bisa
diterjemahkan menjadi optimisme lebih besar (Manz, 1986; Manz dkk, 1988).
4.
SKILL PENGARUH
Semua leader memiliki tipe dan jumlah power tertentu, dan ini memberikannya
potensi untuk mempengaruhi orang, sumberdaya dan hasil. Bennis dan Nanus
berpendapat bahwa “power adalah energi dasar yang dibutuhkan untuk mengawali dan
mempertahankan aksi, atau kapasitas untuk menerjemahkan intensi menjadi realita dan
menjaganya” (1985). Skill pengaruh didefinisikan sebagai penggunaan sumber power
aktual lewat strategi perilaku konkrit (Bass, 1990). Contoh, meski hakim pidana memiliki
power ekstensif dari posisi dan keahlian legalnya, mereka mungkin bisa atau tidak bisa
menggunakan powernya sebagai sebuah bentuk pengaruh. Juri bisa diberi instruksi detail
tentang point hukum yang harus dipertimbangkan (melegitimasi opsi dan persuasi
rasional) atau memilih untuk tidak begitu. Dalam kasus ekstrim, hakim yang merasakan
point hukumnya bisa diabaikan oleh juri akan menggunakan power judisialnya untuk
mempengaruhi keputusan akhir dengan menolak putusan juri.
Analisis power yang paling sederhana adalah didasarkan pada posisi, orang, atau
kombinasi keduanya. Power yang didasarkan pada posisi berisi otoritas tradisional
(kadang disebut power legitimate), kontrol terhadap lingkungan, dan power untuk
memberikan reward dan hukuman (koersi). Power otoritas berasal dari hukum atau
aturan, pemilihan, atau adat. Kontrol terhadap lingkungan meliputi kemampuan merubah
teknologi, lingkungan fisik atau pola kerja. Power koersif adalah kemampuan
menghukum, dan power reward adalah kemampuan memberikan keuntungan finansial,
psikologi, karir atau lainnya.
Di bagian ekstrim lain, terdapat power personal yang secara teknis disebut “power
referen”. Power referen adalah kemampuan mempengaruhi hasil berdasarkan berbagai
tipe persuasi personal. Kasus dari power referen adalah leader sebuah gerakan sosial
yang memiliki pengaruh besar tapi kurang posisi power formal. Dominasi dan penilaian
adalah bentuk power referen (Anderson dan Kilduff, 2009). Beberapa tipe power adalah
kombinasi posisi dan power personal. Power pakar berasal dari pengetahuan profesional
dan teknis. Sir Francis Bacon berpendapat bahwa pengetahuan adalah power. Pakar
power sebagian berada di tangan user (personal), tapi ini dilakukan atas nama kelompok
(posisi). Tipe power yang dimaksud di sini melibatkan kontrol terhadap informasi dalam
setting kelompok. Ini didasarkan pada otoritas posisi, tapi penggunaan power tersebut
menjadi sebuah bentuk keahlian dan leverage personal.
[7]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
Leader (atau agen) menggunakan power terhadap pihak lain (target), dan
meningkatkan atau mengurangi powernya lewat penggunaan strategi pengaruh konkrit
secara bijak dan efektif. Delapan strategi pengaruh akan didiskusikan lebih jauh.
Taktik legitimasi dan taktik tekanan adalah dua strategi pengaruh yang berasal dari
otoritas. Taktik legitimasi menitikberatkan konsistensi sebuah upaya pengaruh dengan
kebijakan, prosedur atau praktek, atau langsung menegaskan hak agen sebagai pembuat
keputusan yang tepat untuk membuat permintaan/perintah. Tentu saja, taktik tersebut
berguna dalam menilai otoritas seseorang, tapi ini juga berguna dalam memberikan
informasi/peringatan ke orang lain tentang sifat bantuan administratif dari otoritas dan
areanya, atau tanggungjawab yang mengalir dari otoritas tersebut. Reward dan power
koersif sering – tapi tidak selalu – digunakan dengan taktik legitimasi untuk menegakkan
otoritas, meski setelah target ditetapkan dan karena itu sebagai insentif untuk
mempengaruhi aksi masa depan. Saat menggunakan otoritas legitimasi secara eksesif
atau canggung, maka itu mengganggu atau mencerminkan kebrutalan. Orang yang
melakukan itu bisa disebut otoriter, penggila aturan, atau nitpicker (pekerja level bawah
yang langsung melapor manajer senior).
Taktik tekanan berisi penggunaan kebutuhan, ancaman, atau gangguan untuk
mempengaruhi. Lebih dari strategi pengaruh lainnya, taktik tekanan menitikberatkan
hukuman, termasuk ancaman pemberhentian, evaluasi buruk, tidak ada kenaikan, sedikit
sumberdaya, penghindaran, dan sebagainya. Bawahan menggunakan taktik tekanan
dengan mengancam keluar, memberikan keluhan, melakukan tindakan hukum,
melambatkan kerja, atau mengomel. Dalam dunia sempurna, taktik tekanan tidak
dibutuhkan. Setiap orang akan melakukan apa yang ingin dilakukan, tepat waktu, dan
dalam cara yang tepat. Karena ini bukan dunia sempurna, taktik tekanan bisa
memberikan berbagai strategi pengaruh, yang berpengaruh dari petunjuk halus dan
pengingat lembut sampai peringatan kasar tentang konsekuensi buruknya. Leader efektif
menggunakan beragam taktik tekanan, mencocokkan kebutuhan dan strategi, dan
penyesuaian terhadap reward dan hukuman. Meski begitu, administrator yang terlalu
menggunakan taktik tekanan atau menggunakannya terlalu kasar dengan cepat disebut
pengganggu, pembuat onar atau pelaku intimidasi.
Taktik pertukaran melibatkan pertukaran mutual, baik dalam perjanjian eksplisit atau
implisit dan pemahaman longgar. Taktik ini menekankan power reward. Di level makro,
pertukaran mutual bukan hanya menjadi basis sistem ekonomi kapitalistik, tapi juga
menjadi basis dari sistem free-floating employment. Pelamar bersepakat dengan
kewajiban dan kondisi kerja, sedangkan organisasi bersepakat dengan kompetensi,
keuntungan dan dukungan. Di level mikro dimana banyak leader bekerja dalam waktu
banyak (di luar proses perekrutan), taktik pertukaran sering digunakan untuk
mempengaruhi kerja atau upaya ekstra atau tidak biasa, atau mendapatkan akomodasi
kerja yang khusus. Leader bisa menjanjikan waktu kompensasi dengan ditukar lembur di
waktu sekarang, atau pekerja lini bisa berjanji meningkatkan produktivitasnya jika mereka
diijinkan menjalankan program pelatihan khusus. Meski taktik pertukaran menekankan
reward, hukuman diberikan ke pihak yang mengingkari perjanjian. Dalam batasan yang
tepat, taktik pertukaran adalah cara tepat dalam menata kerja dan mengakomodasi
pasang-surutnya kondisi dan kebutuhan organisasi dan pekerja. Meski begitu,
ketergantungan berlebihan ke taktik pertukaran bisa memunculkan penawaran
[8]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
disfungsional dalam hal penugasan kerja rutin (sebuah taktik yang digunakan di banyak
lingkungan labor union) atau perasaan favoritisme yang tidak fair oleh pihak lain.
Power berdasarkan-posisi dan taktik pengaruh yang berasal dari itu umumnya
adalah pondasi power bagi leader di banyak organisasi. Leader efektif jarang
menggunakan taktik power posisi, dan di satu abad lalu, gerakan diarahkan untuk
menggunakan power posisi paling sedikit. Alasannya banyak, seperti level pendidikan
yang lebih tinggi, akses lebih besar ke informasi, pembuatan keputusan lebih lokal, dan
sebagainya. Karena itu, leader tidak boleh takut dalam menggunakan power posisinya
tapi harus melakukan itu lebih jauh secara strategis dibanding budayanya yang
cenderung mendukung pola otoriter.
Persuasi dan konsultasi rasional adalah dua strategi pengaruh yang banyak
didasarkan pada keahlian dan kontrol terhadap informasi. Persuasi rasional adalah
penggunaan fakta dan logika untuk meyakinkan target bahwa permintaan atau proposal
cenderung sukses meraih targetnya. Ini adalah tipe paling umum dan paling disetuji dari
strategi pengaruh yang digunakan dalam birokrasi. Meski begitu, tipe lain dari strategi
berada di dalam proposal “rasional”. Ini sama penting dan tepatnya sebagai persuasi
rasional, dan ini sering digunakan sebagai sebuah strategi, dan karena itu, batasannya
diremehkan. Beberapa masalah persuasi rasional adalah sebagai berikut. Asumsi
dasarnya sering tidak dikatakan dan tidak disangkal. Fakta dengan mudahnya
dimanipulasi (sengaja atau tidak sengaja), dan keyakinan, komitmen dan hasrat bisa jadi
lebih penting dibanding logika rasional untuk kesuksesan.
Konsultasi adalah tindakan untuk melibatkan target dalam proses perencanaan,
memberikan feedback substantif, atau membuat perubahan. Agen mendapat informasi
dan melakukan “buy-in”, dan target bisa mempengaruhi pembuatan keputusan sekaligus
juga mendapatkan informasi. Konsultasi bisa menjadi sebuah taktik pengaruh kuat di
tangan leader yang tidak memiliki terlalu banyak informasi atau buy-in. Masalah
konsultasi berisi waktu dan energi, dan juga berisi kemungkinan tuduhan manipulasi
karena pihak terkait menggunakan konsultasi secara remeh atau egois.
Appeal emosional, appeal personal, dan keramahan berasal dari power referen
(personal). Dalam appeal emosional (juga disebut appeal inspirasional), agen
menstimulasi antusiasme dan komitmen dengan menonjolkan nilai, preferensi, atau
keyakinan target atau dengan meningkatkan konfidensi-dirinya. Contoh, appeal emosional
adalah sarana efektif untuk meningkatkan rekrutan dalam tentara selama masa perang
meskipun upahnya rendah dan bahayanya tinggi. Selama masa damai (dalam sistem
rekrutan sukarelawan), tentara menggunakan persuasi rasional dan taktik pertukaran agar
bisa mempengaruhi rakyat agar mau mendaftar. Appeal emosional yang efektif membuat
orang mau berkorban demi organisasi atau unitnya dan merasa baik terhadap
pengorbanan tersebut selama masa sulit atau krisis, menyatukan orang dengan
keyakinan bersama, dan dapat meningkatkan nilai-diri dan kepuasan dari target. Bila
dilakukan secara tidak efektif atau tidak tepat, appeal emosional bisa menjemukan atau
manipulatif, atau ini bisa membentuk harapan emosional yang tidak kunjung terpenuhi.
Appeal personal didasarkan pada perasaan loyalitas, pertemanan, atau kasih
sayang manusia. Appeal personal sering ditunjukkan oleh ekspresi “Bisakah aku minta
kamu, sebagai teman, untuk ……..”, atau “Aku tidak akan meminta ini bila aku bebas, tapi
……..” Orang umumnya suka membantu orang lain, khususnya jika permintaannya ringan
dan wajar. Ketika ini dilakukan dalam basis resiprok, berkelanjutan dan tepat, sharing
[9]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
“bantuan” ini memunculkan budaya bantuan dan dukungan mutual. Bahkan leader yang
kuat pun harus membuat appeal personal untuk meningkatkan ikatan bersama.
Sayangnya, beberapa orang kecanduan appeal personal agar bisa menutupi
perencanaannya yang buruk atau disiplinnya yang defisien, dan buruknya, tidak mampu
atau tidak mau melakukan resiprok.
Keramahan (atau menjilat) adalah penggunaan perilaku ramah atau pujian, atau
memberikan bantuan tanpa diminta yang diarahkan ke target agar bisa meningkatkan
responsivitas target ke permintaan dan pesanan di masa depan. Di satu pihak,
keramahan dasar adalah sebuah harapan dalam hubungan sosial, bahkan di setting kerja
dimana pihak terkait memiliki posisi tidak sama. Keramahan yang antusiastik dan
terdistribusi luas normalnya dianggap sebagai kearifan. Di lain pihak, keramahan menjadi
penjilatan ketika motif agen cenderung instrumental, mementingkan diri-sendiri atau
manipulatif. Ini terjadi ketika pujian menjadi berlebihan atau tidak wajar, atau tindakan
“memberikan bantuan tanpa diminta” menjadi ibarat suap untuk memenangkan bantuan.
Beberapa komentar dibutuhkan untuk mengkerangkai diskusi area power dan
pengaruh yang luas dan kompleks. Pertama, semua orang memiliki power dan pengaruh.
Meski begitu, mereka tidak memiliki tipe atau kadar yang sama. Leader organisasi secara
struktural memiliki power posisi lebih besar (tapi tidak eksklusif), tapi power personal
cenderung terdistribusi merata. Kedua, pengaruh bisa bekerja dalam dua cara. Meski
leader efektif memiliki pengaruh lebih besar ke keseimbangan, leader tersebut sadar dan
mendukung proses pertukaran pengaruh. Seperti yang dikatakan Max DePree, “leader
harus terbuka ke pengaruh orang lain” (1989). Contoh, leader organisasi yang
menggunakan power formalnya terlalu agresif cenderung dalam jangka panjang
tersandung oleh tantangan prosedural atau sabotase, atau taktiknya malah menimbulkan
pasivitas, turnover atau konflik. Ketiga, semua sumber power dan taktik pengaruh
terkaitnya adalah netral dalam ranah etika. Ini adalah cara power ditingkatkan dan
konteks penggunaan taktik pengaruh yang harus dinilai. Contoh, memberhentikan
seorang pegawai yang menolak perawatan alkoholisme bisa sangat berbeda dari
memecat pegawai karena kebencian personal. Leader efektif bisa meningkatkan
powernya seiring waktu dan menggunakan semua strategi pengaruhnya. Leader etika
menggunakan power dan taktik pengaruh berbedanya dengan hati-hati agar bisa
mengimbangi kebutuhan organisasi, standar profesional, kebutuhan hukum dan kebaikan
publik, atau kebutuhannya sendiri (Van War, 1998a). Leader yang menggunakan power
dan pengaruh untuk keuntungan personal – apakah untuk privilege personal atau
peningkatan karir – cenderung dinilai kasar oleh orang lain meski jika dia adalah “brilian”
dan/atau sukses (Kets de Vries dan Miller, 1984; Kets de Vries, 1985).
Perlu ditegaskan bahwa survey ini hanya mendiskusikan sumber power dan
pengaruh individu, dan tidak mendiskusikan aspek kelompok atau aspek politik. Taktik
politik umum yang digunakan meliputi pembentukan koalisi, kooptasi (mendorong lawan
besar bergabung ke pihak anda dengan menawarkan bantuan atau pekerjaan, agar bisa
melemahkan perlawanannya), dan memperoleh/menjaga kontrol terhadap proses
keputusan. Meski ada klaim atas netralitas politik putatif, taktik ini sering digunakan di
level eksekutif dari lembaga publik, dan penggunaannya (dan bahkan
penyelewangannya) perlu dipahami oleh eksekutif senior yang pintar. Meski begitu, ini
tidak akan didiskusikan.
[10]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
Dalam literatur leadership, signifikansi dari pengaruh dan negosiasi dianggap
sangat penting. Skill pengaruh dan negosiasi disebut oleh banyak pakar leadership
sebagai urutan atas atau mendekati atas di daftar. Contoh, Stogdill (1974) mendiskusikan
persuasivitas. Howard dan Bray (1988) memasukkan persuasivitas dalam kluster skill
leadershipnya. Rankin (2001) juga menggunakan itu dalam kapasitas sama. Yukl
memberikan perlakuan paling komprehensif terhadap persuasivitas dalam studi
leadershipnya. Studi OPM 1997 menempatkan persuasivitas dalam kepentingan kelima,
dan studi OPM 1999 menambahkan kecakapan politik dan partnering sebagai kompetensi
besar selain mempengaruhi dan negosiasi. Sebaliknya, meski Thach dan Thompson
(2007) memasukkan proses mempengaruhi pada daftar kompetensi intinya, maka ini lebih
dekat ke dasar, yaitu pada urutan 16, untuk leader organisasi privat dan publik.
 Panduan
1. Leader harus bersiap menilai – secara jujur dan menyeluruh – sumber power dan
kemampuannya dalam menggunakan taktik pengaruh. Jumlah power dan efektivitas
pengaruhnya bisa berbeda antar individu berbeda yang berinteraksi dengan leader.
Semakin sadar individu dengan kekuatan dan kelemahannya, semakin minim
powernya akan terkuras atau upaya pengaruhnya semakin tidak efektif.
2. Power tidak dikumpulkan dalam waktu cepat. Power bisa didapatkan seiring waktu.
Bahkan ketika orang masuk ke posisi eksekutif baru, ini terjadi karena power yang
dibangun individu dalam karirnya. Leader yang sangat efektif akan memahami power
dan kepentingannya, dan mengembangkan disiplin untuk meningkatkannya seiring
waktu. Ini terjadi pada power personal.
3. Pemahaman dan pengolahan taktik pengaruh seiring waktu juga penting bagi
efektivitas tinggi. Leader efektif mampu menggunakan power yang paling rendah, yaitu
power formal. Leader efektif mampu menggunakan strategi pengaruh yang benar
untuk situasi berbeda, dan bukan selalu menggunakan strategi yang sama. Leader
efektif bisa menggunakan strategi pengaruh multipel secara simultan untuk tujuan yang
lebih penting atau sulit.
4. Leader efektif bisa sangat hati-hati untuk melawan efek korosif power dan pengaruh.
Meski power dan pengaruh adalah kebutuhan standar dari stok perdagangan
leadership, ini dengan mudah menciptakan keterpusatan diri, keegoisan, blind spot,
manipulasi, ketidaksensitifan, kekasaran, arogansi, dan pathologi personal lain.
5.
SKILL ANALITIK
Skill analitik didefinisikan sebagai kemampuan mengingat, membuat perbedaan,
dan menindaklanjuti kompleksitas dan ambiguitas. Banyak dari apa yang dianggap orang
sebagai intelejensi diulas dalam skill analitik. Banyak elemen kluster skill ini lebih sering
dideskripsikan sebagai sifat karena elemen bawaannya yang besar. Skill analitik bisa
dipengaruhi oleh lingkungan, pendidikan, pelatihan dan self-study. Penting untuk diingat
bahwa orang memiliki skill analitik yang baik di satu domain, seperti proses kerja (yang
bisa dipecah menjadi beberapa aspek konkrit/fisik atau konseptual), sekaligus memiliki
skill analitik lemah di domain lain, seperti aspek sosial atau politik (Streufert dan Swezey,
1986).
Ada setidaknya empat elemen yang mengisi skill analitik. Yang paling menonjol
adalah memori. Ketika orang memiliki memori baik, ada keuntungan jelas karena data
[11]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
dengan mudah diakses. Karena memori didasarkan pada paparan ke informasi, orang
yang dianggap memiliki “memori baik” bisa mengingat informasi dari satu paparan atau
bisa mengingat detail setelah periode waktu lama dengan sedikit paparan. Tentu saja,
karena memori didasarkan pada paparan ke informasi dan karena orang terpapar ke
banyak informasi seiring waktu, maka mereka bisa mengingat informasi berdasarkan
pengalamannya. Memori yang baik dalam proses konkrit bisa didapat dari proses
mengetahui bahasa spesifik dari statuta penegakan aturan, atau melibatkan pengingatan
proses untuk menyelesaikan sebuah masalah di beberapa bulan sebelumnya. Memori
yang baik di setting sosial bisa diperoleh dari pengingatan nama orang yang hanya
ditemui sekali sebelumnya atau mengingat pasangan orang, anak, atau detail personal
lainnya. Memori politik bisa berupa mengetahui pembuat keputusan kunci dan protokol
keputusan yang digunakan, atau mungkin proses keluhan kompleks (Willner, 1968).
Elemen kedua dari skill analitik adalah diskriminasi. Diskriminasi adalah
kemampuan untuk membedakan dan menggunakan beberapa dimensi konseptual
berbeda. Contoh, tukang kayu yang baik harus mampu membedakan karakteristik tipe
kayu berbeda, dan marshal pemadam kebakaran harus mampu membedakan sumber
kebakaran berbeda seperti sebab listrik versus cairan dan gas yang mudah terbakar.
Diskriminasi yang baik membutuhkan kemampuan melihat lebih daripada perbedaan
“hitam dan putih”. Kemampuan ini melibatkan seluk-beluk dan nuansa agar menghasilkan
keputusan yang lebih baik. Contoh, proposal bawahan tentang tatanan organisasi baru
bisa jadi baik secara keseluruhan, tapi ini masih bisa diperbaiki dalam hal biaya, timing
dan komunikasi. Ketika leader mempertahankan skill diskriminasi teknisnya, mereka juga
harus memperbaiki set baru dari kemampuan diskriminasinya. Contoh dari diskriminasi
leadership adalah kemampuan melawan kontaminasi arena personal dan profesional.
Seorang pekerja lini bisa saja menghindari seorang kolega yang mudah bergaul tapi
terlalu terbuka. Seorang manajer harus paham dengan elemen ini, agar bisa dibuat
konsep terpisah. Seorang pekerja lini bisa menilai bagus pekerjaan seorang kolega yang
disukainya, tapi manajer tetap harus memisahkan elemen kinerja sosial dan teknis. Ini
bukan berarti bahwa kontribusi sosial/interpersonal dapat diabaikan.
Kompleksitas kognitif adalah kemampuan dalam mempertimbangkan dan
menggunakan dimensi berbeda secara simultan atau menggunakan level kompleksitas
berbeda dalam domain berbeda (Streufert dan Swezey, 1986; Hunt, 1996). Agar manajer
bisa melakukan pekerjaan baik dalam penilaian kinerja, beberapa kompleksitas kognitif
menjadi sebuah aset karena sifat kompleks dari kontribusi dan liabilitas pekerja di
lingkungan kerja. Manajer bukan hanya harus mempertimbangkan dimensi individu,
seperti akurasi, kecepatan dan volume kerja, komunikasi, pembukuan, penyelesaian
masalah dan kreativitas, kolegialitas, responsivitas, dan fleksibilitas, tapi manajer yang
kompleks dan kognitif harus paham dan menindaklanjuti faktor ini ketika berinteraksi satu
sama lain dan ketika memahami kebutuhan lingkungan kerja (Boal dan Hooijberg, 2000).
Kompleksitas kognitif menjadi sebuah cara hidup ketika manajer naik tangga hirarki, dan
merka sering membuat diskriminasi di domain berbeda atau melakukan penilaian lunak
tentang emphasis kebaikan organisasi (Jaques, 1989). Contoh, seorang manajer bisa
mencapai sukses dalam divisi kinerja rendah dengan menfokuskan diri ke efek interaktif
dari rekrutmen, pelatihan, protokol kerja yang jelas, perbaikan proses, dan akuntabilitas
dan disiplin yang lebih ketat. Ketika ditransfer ke divisi lain yang berkinerja tinggi, manajer
[12]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
harus menfokuskan diri ke dimensi pembentukan tim, peningkatan sistem reward dan
bonus, dan benchmarking eksternal.
Elemen akhir dari skill analitik adalah toleransi ambiguitas (Wilkinson, 2006).
Toleransi ambiguitas adalah kemampuan menahan penilaian ketika data baru
dikumpulkan. Di satu pihak, banyak skill analitik melibatkan kemampuan membangun dan
mengingat pola atau model mental (juga disebut sebagai skema mental). Model ini
memberikan sarana untuk menyortir banyak informasi dengan cepat dan
menyederhanakan pembuatan keputusan dengan mengkategorikan data dan persoalan
menjadi beberapa “pigeonholes”. Tepatnya, model mental membantu orang dalam
mengatasi overload informasi dan bertindak cepat terhadap informasi. Meski begitu,
model mental didasarkan pada informasi dan analisis sebelumnya. Ini bisa menjadi
liabilitas bila trend sebelumnya tidak lagi akut, atau analisis sebelumnya menjadi tidak
cukup atau salah. Manajer yang bisa mentoleransi ambiguitas adalah yang lebih mau
memberikan perhatian ke anomali agar bisa menentukan apakah ada pola baru atau
kontradiktif, atau yang lebih sadar bahwa trend lingkungan baru bisa berisi konfigurasi
model mental baru dan belum dielaborasi.
Skill analitik dipahami secara univerrsal sebagai skill penting bagi leadership, tapi ini
didiskusikan dalam cara yang sangat berbeda. Beberapa peneliti berbicara tentang skill
analitik dalam aspek seperti penyelesaian masalah (US OPM, 1992, 1999; Rankin, 2001).
Peneliti lainnya menghubungkan aspek leadership ini ke ranah lebih abstrak seperti
intelejensi (Kotter, 1982). Meski begitu, banyak peneliti memiliki banyak konsep untuk
memahami skill analitik seperti kemampuan mental general dan pembuatan keputusan
(Howard dan Bray, 1988), skill konseptual (Yukl, 1998), dan skill intelejensi (pintar) dan
konseptualisasi (Stogdill, 1974). Sebuah studi oleh American Management Association
(Bhatta, 2001) mengidentifikasi kemampuan intelektual sebagai sebuah kategori meta
yang berisi pikiran logika, konseptualisasi, dan penggunaan konsep secara diagnostik.
Selandia Baru juga mengidentifikasi kapabilitas intelektual sebagai kategori meta bagi
manajer publiknya. Kategori meta berisi proses intelektual, penyelesaian masalah, dan
penilaian strategis (Bhatta, 2001). Studi OPM 1997 mengidentifikasi penyelesaian
masalah sebagai skill eksekutif paling penting kedua setelah komunikasi lisan, dan skill
pengawasan penting disebut paling penting ketiga setelah komunikasi lisan.
 Panduan
1. Menilai beragam kemampuan kognitif. Apa yang dimaksud kekuatan dan kelemahan?
Hal apa yang paling penting untuk peningkatan? Aspek apa yang bisa ditingkatkan
lewat disiplin-diri?
2. Meningkatkan skill analitik lewat pengalaman target atau pelatihan dan pendidikan
ekstensif. Pengalaman adalah guru yang baik karena memberikan informasi dan data
dasar. Tepatnya, ini memberikan isi pengetahuan untuk analisis. Pelatihan dan
pendidikan menjadi guru yang baik dalam mendukung alat diskriminasi dan
menunjukkan nuansa. Karena itu, karena kompleksitas dunia manajemen
kontemporer, maka sulit menjadi leader yang luar biasa atau di atas rata-rata bila
tanpa pelatihan dan pendidikan yang cukup tentang manajemen.
3. Meningkatkan reflektivitas. Pelatihan dan pendidikan memiliki batasan. Leader harus
berhadapan dengan banyak isu dan masalah baru. Ini bukan lagi mempelajari solusi
dalam kurikula pelatihan dan pendidikan yang berkualitas tinggi. Pelatihan dan
[13]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
pendidikan hanya memperkaya repertoir, tapi proporsi besar dari proses analitik adalah
kustomisasi pengetahuan, diskriminasi, kompleksitas kognitif, dan toleransi ambiguitas
lewat refleksi. Sayangnya, leader memiliki skill tapi kurang disiplin atau sabar dalam
melakukan refleksi. Refleksi bisa berupa duduk di ruang yang tenang, atau memikirkan
kembali masalah yang ada agar bisa melihat apakah ada pola dan solusi yang lebih
tinggi. Tapi, dalam mode fisik, refleksi bisa berupa kunjungan tempat personal dengan
pikiran terbuka terhadap masalah yang akan didengar, terhadap kekuatan dan
kelemahan yang akan diobservasi, dan pekerjaan yang muncul dari pengalaman.
6.
SKILL TEKNIS
Meski leader jarang melakukan kerja teknisnya sendiri, khususnya di rangking
senior, penguasaan skill teknis ini tetaplah penting. Seorang eksekutif, menurut Stone,
“harus cukup tahu tentang medan yang ditempuh agar tidak tersesat di labirin. Jika tidak
tahu tentang program yang dijalankan, eksekutif harus menguasai elemen besarnya. Bila
tidak, dia tidak mendapat loyalitas dan kehormatan dari spesialisnya, dan akibatnya, dia
sulit membuat tim” (Stone, 1945). Sejak lama, Katz (1955) mengatakan bahwa skill teknis
adalah hal paling penting bagi supervisor tapi paling tidak penting bagi eksekutif. Ini
dimunculkan dalam studi OPM besar (1997) dimana skill teknis adalah satu-satunya skill
yang dianggap supervisor membutuhkan lebih banyak kompetensi dibanding kompetensi
eksekutif. Meski begitu, eksekutif di area fungsi sempit seperti akuntansi atau aturan
keselamatan malah membutuhkan lebih banyak kompetensi dibanding generalist seperti
city manager, agency director, atau anggota korp eksekutif yang menjadi troubleshooter
(konsep asli dari US Senior Executive Service).
Leader – khususnya dengan bakat entrepreneurial – yang ingin memiliki dampak
signifikan ke operasi sering memiliki skill teknis dan keterlibatan yang lebih kuat. Meski
begitu, facet ini adalah pedang bermata dua. Di satu pihak, eksekutif adalah perintis yang
dibutuhkan untuk membuat perubahan penting dalam produk atau proses yang mungkin
gagal tanpa keterlibatan eksekutif. Di lain pihak, fokus eksekutif yang eksesif ke persoalan
teknis dan keahlianpersonal adalah sumber hambatan karir karena kecenderungan ke
arah arogansi, manajemen mikro dan pencapaian rendah di kompetensi eksekutif inti
lainnya (Lombardo dan McCauley, 1988).
Skill teknis bagi leader bisa berupa pengetahuan dan praktek profesional dan
organisasi yang dihubungkan dengan satu area kerja. Ini berisi tiga elemen. Elemen
paling menonjol adalah informasi dan skill teknis dari disiplin. Contoh, manajer dalam
transportasi umumnya memiliki dan membutuhkan gelar teknik, khususnya teknik sipil
atau teknik aeronautika. Di rumah sakit, yang dibutuhkan biasanya lulusan keperawatan
atau gelar medis. Dalam manajemen hutan dan pertamanan, gelar yang dibutuhkan
adalah dari biologi atau ilmu alam (Carnevale, Gainer dan Schultz, 1990). Di banyak area,
satu gelar mungkin tidak dibutuhkan, tapi pengetahuan ekstensif terkaitnya tetaplah
dibutuhkan. Manajer training mungkin tidak memiliki gelar dalam pendidikan, tapi mereka
biasanya memiliki pengetahuan ekstensif tentang teori pembelajaran dan teknik pelatihan.
Leader, khususnya di level supervisor, sering direkrut atau dipromosikan berdasarkan skill
teknis. Banyak orang mengeluh bahwa leader kehilangan sentuhan ke skill ini, dan ini
juga mewakili komplain dari bawahan. Dalam studi tentang manajer lokal, 22 persen
mengatakan bahwa aspek kompetensi teknis ini adalah area skill terlemah (meski 22
persen studi lain mengatakan sebagai yang terkuat) (Van Wart, 2001).
[14]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
Sebagian repertoir kompetensi dasar selalu berisi informasi tentang organisasi,
yaitu proses, aturan, pegawai, fasilitas, klien, kelompok kepentingan, pengawas, budaya
dan sebagainya. Ini tidak menjadi persoalan bagi pihak yang dipromosikan secara internal
di sebuah organisasi, khususnya jika mereka memiliki diberi keistimewaan seperti rotasi
tugas atau peluang tim lintas fungsi. Ini malah menjadi persoalan besar bagi rekrutan luar
yang harus fokus untuk memahami organisasi dalam 6 bulan pertama atau sekitarnya.
Meski begitu, kadang, ini adalah sebuah aset jangka panjang karena leader memiliki
pengalaman lebih luas dan bisa menggunakan praktek komparatif sebagai sumber
benchmarking personal.
Sejak revolusi manajemen kualitas yang terjadi di akhir 1980-an dan 1990-an,
banyak skill manajemen dasar diharap dimiliki oleh pekerja frontline dan skill tersebut bisa
dianggap sebagai ekstensi pengetahuan dan skill organisasi. Pengetahuan dan skill
tersebut bisa berupa mengurus dan memimpin tim, memimpin pertemuan, penyelesaian
masalah operasional, dan perencanaan operasi. Sayangnya, skill dasar ini sering dimiliki
oleh leader di semua level, yang melahirkan pelatihan atau feedback yang tidak cukup di
area ini. Organisasi militer dan kuasi-militer adalah pengecualian dimana perencanaan
pertemuan, tim, operasi dan sebagainya adalah keahlian penting dalam perdagangan.
Skill teknis dan kredibilitas bukan tertulis dalam daftar kompetensi leader. Kotter
(1982, 1990) menghapus ini keseluruhan, dan Howard dan Bray (1988) hanya
mengidentifikasi elemen manajemen dasarnya. Ada banyak contoh dalam dunia
manajemen eksekutif yang, dengan sedikit informasi teknis dan organisasi, harus
menyelesaikan banyak hal, dan kadang, harus tanpa pengetahuan dan pengalaman
terkait. Kasus ini memang jarang terjadi, tapi kelemahan dalam skill teknis tetap menjadi
liabilitas besar. Analisis-meta oleh Stogdill (1974) mengidentifikasi pengetahuan teknis
dan komponen manajemen dasar sebagai yang terpisah. Studi Rankin menemukan
bahwa skill teknis adalah relatif menonjol (2001). Seperti yang disebut, studi OPM
mengidentifikasi kompetensi teknis, dan OPM merubah namanya sebagai kredibilitas
teknis di studi selanjutnya (1992,1999, 2006). Ini lebih menonjol dibanding yang tertulis di
daftar kompetensi di demokrasi maju lainnya (Bhatta, 2001).
 Panduan
1. Menilai skill teknis dan kebutuhan akan kompetensi teknis. Level kompetensi teknis
kadang dinilai dengan menggunakan self-inventory, tapi ini harus ditingkatkan dengan
bertanya ke bawahan tentang cara mereka mengevaluasi skill atau dengan
menggunakan instrumen survey anonim. Jika bawahan diteliti, penting untuk mendapat
opini atasan atau koleganya karena mereka bisa memiliki persepsi berbeda tentang
level dan kebutuhan akan kompetensi. Kompetensi teknis yang mudah dimiliki harus
dikembangkan sebagai aspek rutin dari perkembangan personal berkelanjutan. Karena
keahlian teknis profesional bukanlah persoalan penting yang dirasakan leader saat
menjalankan program, sekelompok program, dan agensi keseluruhan, skill teknis yang
perlu waktu untuk meningkatkannya harus ditimbang secara hati-hati dibanding area
lain yang juga membutuhkan perhatian dan peningkatan. Ketika manajemen memiliki
lebih banyak pekerjaan inti, skill juga harus diberi fokus inti. Ini berarti bahwa manajer
senior harus tetap menjaga skill teknisnya seiring waktu atau mendelegasikan keahlian
spesialisnya ke orang lain.
[15]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
2. Membuat rencana untuk meningkatkan skill teknis terpilihnya. Tidak jadi soal apakah
rencananya kecil atau ambisius, skill teknis umumnya bisa ditingkatkan hanya lewat
disiplin-diri. Jika pengetahuan tentang disiplin diri masih lemah, ini bisa diperkuat lewat
pembacaan jurnal besar sekali sebulan atau dengan ikut konferensi beberapa kali
setahun. Jika skill pertemuan masih lemah, maka kita perlu membeli software
pertemuan dan/atau meminta kritik di setiap selesai pertemuan.
7.
PEMBELAJARAN KONTINYU
Meski pembelajaran kontinyu selalu menjadi kompetensi signifikan, kepentingannya
mulai naik di beberapa dekade terakhir karena peningkatan perubahan dan
ketidakpastian di semua organisasi (Vera dan Crossan, 2004; Berson dkk, 2006). Bila
didefinisikan secara luas, pembelajaran kontinyu berarti memikul tanggungjawab dalam
mendapatkan informasi baru, melihat informasi lama dalam cara baru, dan menemukan
cara untuk menggunakan informasi lama dan baru dalam cara kreatif. Ini berhubungan
erat dengan kompetensi lain, dan sekaligus membentuknya. “Kompleksitas kognitif
dibutuhkan untuk mengembangkan model mental lebih baik, tapi maturitas emosional
juga dibutuhkan untuk belajar dari kesalahan, dan fleksibilitas dibutuhkan untuk merubah
asumsi dan cara pikir dan bertindak saat merespon dunia yang berubah” (Yukl, 1998).
Selain kompleksitas kognitif, ada skill analitik lain seperti memori, diskriminasi dan
toleransi ambiguitas yang berhubungan erat dengan pembelajaran kontinyu. Untuk contoh
detail dari skill kompleks ini.
Karena beberapa aspek pembelajaran kontinyu dijelaskan lewat kompetensi lain,
hanya dua elemen yang akan diulas di sini. Elemen tersebut mencerminkan kemampuan
belajar pintar dalam mode dasar dan mode mahir. Elemen pertama adalah kemampuan
mencermati dan menggunakan informasi dan data baru. Mode pembelajaran dasar ini
mengharuskan orang mereview dan mengawasi data dan trend. Data dan trend bisa
tentang internal dan eksternal dari organisasi. Contoh dari ini adalah operasi, kebutuhan
klien, teknologi dan ekonomi. Pembelajaran dasar membutuhkan penggunaan informasi
baru dalam cara standar. Meski pembelajaran dasar terdengar rutin, dan harusnya begitu,
ada tantangan, yaitu besarnya informasi yang harus diamati dan direview, atau jumlah
proses standar dan protokol penyelesaian masalah yang harus dipelajari dan digunakan
dalam dunia manajemen kontemporer. Agar muatan kerjanya tetap wajar, data harus
direview secara singkat, diabaikan, atau disortir lewat metode lama penyelesaian
masalah, meski itu tidak cocok bagi persoalan yang ada di tangan. Pihak yang cakap
dalam pembelajaran dasar biasanya paham dengan data operasional dan lingkungan,
dan menemukan metode standar terbaik untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Elemen kedua adalah kemampuan memperluas pengetahuan. Pembelajaran mahir
melibatkan penciptaan pengetahuan baru yang mendukung inovasi (menggunakan
produk/proses yang dikenal dalam cara baru) atau invensi (menemukan produk/proses
baru). Diseminasi pengetahuan juga dibutuhkan. Satu contoh berikut mungkin berguna
dalam membedakan pembelajaran dasar dan pembelajaran mahir. Seorang manajer di
agensi layanan sosial menemukan bahwa berbagai klien bisa mendapat informasi buruk
di beberapa area, dan bahwa tingkat error dari hitungan keuntungan rutin mengalami
peningkatan. Karena itu, manajer memutuskan bahwa biaya/keuntungan bukanlah hal
penting dalam menentukan siapa yang menyebabkan masalah, dan bahwa
sumberdayanya lebih baik digunakan untuk sessi pelatihan penyegaran in-service dalam
[16]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
waktu singkat di saat pertemuan staff (tepatnya, dia bekerja di level pembelajaran dasar).
Yang mengejutkan, meski ada periode perbaikan singkat, masalahnya malah lebih buruk
setelah setahun. Dia yakin bahwa masalahnya lebih ekstensif dibanding yang diduga, dan
dia kemudian melakukan studi untuk menentukan siapa yang membuat kesalahan dan
mengapa. Studinya menemukan bahwa banyak pekerja yang berpengalaman sudah
keluar untuk mencari kondisi kerja dan upah yang lebih baik, bahwa pelatihan pekerja
baru masih kurang komprehensif, bahwa kualitas rekrutan baru masih rendah, dan bahwa
muatan kasus telah meningkat sampai 10 persen. Dengan studi tersebut, dia
merekomendasikan ke direktur agensi sebuah paket reformasi komprehensif yang berisi
penyesuaian gaji ringan, sejumlah perubahan proses (perampingan), suntikan teknologi
signifikan untuk meningkatkan produktivitas pekerja, perluasan kurikulum pelatihan, dan
sistem yang lebih baik untuk melacak level kinerja dari manajer kasus. Contoh ini
memperlihatkan pembelajaran mahir.
Penting untuk diketahui bahwa meski pembelajaran mahir sering dilandasi oleh
pembelajaran dasar, sepertinya manfaat dan kelayakan mode pembelajaran dasar dan
mahir umumnya ditentukan secara situasional, dan pembelajaran mahir tidak selalu lebih
baik. Meski begitu, pembelajaran mahir selalu melibatkan lebih banyak sumberdaya dan
jarang dipraktekkan. Kalaupun dipraktekkan, ini lebih buruk dibanding pembelajaran
dasar. Selain itu, semua organisasi yang berkinerja-tinggi memiliki budaya yang
mendukung pembelajaran mahir. Karena itu, leader bijak selalu terlibat dan mau
mendorong praktek pembelajaran mahir.
Aspek pembelajaran kontinyu telah disebut di beberapa daftar kompetensi
leadership. Stogdill menyebut leader sebagai kreatif (1974). Kotter mendeskripsikan
leader sebagai yang memiliki intelejensi dan memiliki interest beragam (1990). Howard
dan Bray mempelajari interest beragam atau kreativitas (1988). Rankin (2001) menyebut
ini secara tidak langsung sebagai penyelesaian masalah. Studi OPM 1997 menemukan
bahwa penyelesaian masalah dan pemikiran kreatif diberi rangking kedua dan kesebelas
dalam rangking kompetensi eksekutif dalam waktu panjang dan bahwa penyebaran skill
pikiran kreatif antar supervisor dan eksekutif selalu sangat besar. Di studi 1999,
kompetensi yang berhubungan dengan pembelajaran kontinyu diperluas menjadi empat
area, yaitu penyelesaian masalah, kreativitas dan inovasi, pikiran strategis, dan
pembelajaran kontinyu.
 Panduan
1. Fokus ke keuntungan pembelajaran. Pembelajaran adalah kerja keras, dan bisa
dirasakan seperti gangguan atau aktivitas yang dilakukan bila ada waktu. Karena itu,
penting untuk memahami keuntungan pembelajaran (kontinyu) di setiap waktu.
Pertama, ini memberikan peluang entrepreneurial untuk kemajuan organisasi dan
personal. Seperti yang dikatakan Bennis dan Nanus, pembelajaran kontinyu berarti
merespon masa depan di masa sekarang (1985). Realita yang berlawanan dengan ini
adalah bahwa kurangnya pembelajaran kontinyu bisa menimbulkan hambatan karir
organisasi. Kedua, ini membuat orang harus memahami bisnis dan dunia, yang
jelasnya membuat hidupnya lebih menarik.
2. Belajar dari kejutan dan masalah. Menindaklanjuti kejutan, masalah, kesalahan dan
kegagalan bukanlah gangguan terhadap kerja. Ini memang pekerjaan leader. Leader
memiliki tanggungjawab untuk mengambil sikap mental proaktif terhadap tantangan.
[17]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
Seringkali, masalah dan kegagalan memberikan jalan menuju peluang yang tidak
terduga dan substansial. Satu-satunya orang yang tidak pernah gagal adalah yang
tidak pernah mencoba.
3. Menemukan cara untuk menantang asumsi dan model mental. Karena leader memiliki
kemampuan merubah asumsi dan model mental, maka leader bertanggungjawab
menemukan cara untuk waspada terhadap pertanyaan yang diberikan kepadanya.
Tantangan tersebut bisa berupa proses dan standar kerja, atau tentang prinsip apa
yang bisa dicapai orang tertentu, atau cara klien diperlakukan. Satu set asumsi penting
di balik tantangan adalah tentang kinerja organisasi. Menantang asumsi adalah sebuah
bentuk disiplin-diri yang mendukung kompetensi eksternal, yaitu bisakah sesuai
dilakukan secara lebih baik dan apakah orang bisa meraih hasil terbaik?
4. Berinvestasi dalam pembelajaran meski di masa turbulen atau masa sulit. Jarang ada
waktu baik untuk menghasilkan pembelajaran. Ini adalah cara hidup dari banyak
leader. Metode pembelajaran bisa beragam. Leader bisa melakukan aktivitas seperti
seminar, konferensi, pembacaan, kunjungan tempat, tugas rotasi, mentoring, dan
sebagainya. Leader juga melakukan eksperimen dan studi khusus, memeriksa best
practice, melakukan benchmark dan menjaga network informasi yang baik. Karena
pembelajaran butuh waktu, maka perlu memiliki horison waktu yang lebih lama.
Pembelajaran harus dianggap bukan hanya sebagai aktivitas individu, tapi juga
sebagai aktivitas yang dilakukan oleh kelompok, tim dan organisasi keseluruhan.
8.
KESIMPULAN
Theodore Roosevelt mengatakan bahwa orang bisa meraih kesuksesan hanya
lewat bakat, tapi ini jarang terjadi. Banyak orang meraih sukses dengan kemampuannya
untuk mengolah bakat alami. Kesuksesan, menurutnya, datang ke orang yang
membentuk kualitasnya yang biasa menjadi kualitas yang luar biasa. Wawasan ini berlaku
pada skill yang dibahas di bab ini. Beberapa orang memiliki bawaan jenius di bidang
tertentu, tapi banyak orang juga mengembangkan dirinya dari bakat yang dimilikinya
sampai efektif.
Enam skill luas yang didiskusikan di sini bisa jadi penting dan multifacet. Meski
begitu, review tentang sifat dan skill masih tidak lengkap tanpa diskusi karakteristik lain
yang sering disebut di literatur leadership, tapi ini tidak terlihat di enam skill yang dibahas
di sini. Meski signifikan, tiga karakteristik leadership di bawah ini adalah lebih struktural
daripada sifat dan skill yang dibahas sejauh ini.
Intelejensi tidak terdaftar sebagai sifat yang menekankan elemen bawaan dari
briliansi mental. Skill kognitif didiskusikan dengan fokus lebih banyak ke aspek
pembelajaran dari kemampuan mental. Argumen untuk ini adalah bahwa orang dengan
mental medioker tapi dengan disiplin baik dan dengan kognitif terlatih bisa mengalahkan
jenius yang tidak terlatih. Penelitian mendukung ini (Stogdill, 1948, 1974). Tentu saja,
perlu dicatat bahwa konsep intelejensi memang multifacet, dan bahwa tipe intelejensi
berbeda bisa berguna di level manajerial rendah (“mengkristalisasikan pemahaman”) dan
ini berbeda dari tipe cair yang berguna di level manajerial tinggi (sama seperti diskriminasi
versus kompleksitas kognitif dalam skill analitik). Satu temuan menarik kontraintuitif
berhubungan dengan kadar perbedaan optimal antara leader dan yang dipimpin.
Hollingworth (1926) berpendapat bahwa kesenjangan moderat dalam intelejensi adalah
optimal. Dia menemukan bahwa individu yang memiliki intelejensi jarang memimpin orang
[18]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
dengan kemampuan rata-rata karena nanti ada masalah komunikasi dan individu
intejelensi tersebut cenderung terisolasi secara konseptual dan sosial. Banyak studi
menemukan temuan sama, termasuk Ghiselli (1963), yang berpendapat bahwa orang
dengan intelejensi luar biasa sering membuat rintisan konsep yang lebih baik dibanding
leader yang harus mencocokkan tujuan dan nilainya dengan follower. Agar bisa
menyelesaikan masalah intelejensi sebagai sifat primer, konsep kadang dicampur dengan
pengetahuan dan diberi label kearifan, meski intelejensi ini lebih bersifat terapan atau
praktek, bukan abstrak (Sternberg, 2003).
Area penting kedua berhubungan dengan aspek fisik seperti tampilan dan umur.
Individu dengan tampilan lebih baik berdasarkan perawatan, pembawaan, kesehatan,
ketinggian, atau daya tarik, menunjukkan sebuah keunggulan di banyak studi. Meski
begitu, banyak studi lain gagal menemukan perbedaan berdasarkan karakteristik ini.
Sepertinya, sifat tampilan yang menghasilkan perbedaan selalu spesifik situasi. Orang
yang bekerja di posisi leadership di organisasi militer atau kuasi-militer adalah yang
cenderung terpilih dan dipersepsikan sebagai leader jika mereka terawat dengan baik,
memiliki kebanggaan, dan kuat secara fisik. Leader politik memiliki keuntungan berbeda
ketika mereka mempesona dan tinggi. Leader di banyak lembaga layanan dan lembaga
informasi merasa bahwa tampilan bukanlah signifikan. Meski begitu, di satu studi,
ditemukan bahwa pembawaan (tindakan profesional dari orang tertentu) dianggap
sebagai salahsatu dari karakteristik penting bagi leadership di semua kategori lembaga
(Van Ward, 2001). Meski 1990-an adalah jaman pakaian kasual (sederhana), media
populer menunjukkan adanya gerakan kembali ke trend pakaian konservatif ketika pasar
menjadi lebih kompetitif.
Umur adalah faktor menarik lain yang juga penting. Sebuah studi oleh Standard and
Poor’s (1967) memberikan baseline yang cukup layak. Sekitar 74 persen eksekutif
Amerika telah berumur 50-an. Eksekutif di kategori umur 71 sampai 80 tahun malah 48
kali lebih banyak dibanding yang ada di kategori di bawah 30-an. Meski studi terbaru
tentang ini merubah data sedikit ke arah profil lebih muda, masih sulit untuk merubah
profil eksekutif senior ini. Selain itu, ada variasi berdasarkan industri karena banyak orang
terkunci dalam hubungan umur dan pangkat. Sektor publik cenderung menunjukkan
hubungan umur dan pangkat secara lebih fair dan konsisten. Beberapa organisasi, seperti
militer, lebih suka menempatkan leader eksekutif senior dalam range umur 55 sampai 60
tahun untuk mencerminkan pengalaman maksimum. Organisasi lain menempatkan umur
50 sampai 55 tahun memaksimalkan energi fisik. Beberapa organisasi menempatkan
orang dijajaran eksekutif pada umur lebih muda dari 50 tahun. Leader umur muda ini bisa
ditemukan di lembaga informasi yang membutuhkan kekuatan mental dan keahlian teknis
yang ekstrim. Sejumlah eksekutif yang diangkat pada umur lebih tua dibanding 60 tahun
selalu mengalami drop. Meski begitu, banyak eksekutif sektor publik yang lebih tua tetap
bisa mempertahankan posisinya dalam periode lama, sehingga sejumlah eksekutif dalam
umur 65 tahun atau lebih tua tetap memberikan pengaruh penting.
Aspek yang mulai diberi perhatian adalah hubungan antara latarbelakang sosial dan
leadership. Sebagian besar studi menemukan adanya efek signifikan dari latarbelakang
sosial dan ekonomi terhadap kecenderungan berada di posisi leadership senior (misal,
Porter, 1965). Meski hubungan ini sangat menonjol sebelum abad 20, ketika masyarakat
berbasis-kelas (Matthews, 1945) dan ketika keanggotaan kelas terkesan lebih rigid,
hubungan ini masih bertahan. Faktor mediasinya adalah bahwa kekayaan lebih besar
[19]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
memicu lebih banyak pendidikan dan memunculkan universitas yang lebih baik.
Hubungan ekonomi dan sosial juga memainkan peran, meski itu bukan peran penting.
Dari tiga karakteristik yang dibahas di atas, orang bisa membandingkan pentingnya
skill komunikasi, skill sosial, skill pengaruh, skill analitik, skill teknis, dan kemampuan
melakukan pembelajaran. Orang bisa saja memiliki intelensi, kuat fisiknya dan menarik,
dan berasal dari keluarga bermartabat, tapi malah tidak pernah leader, atau kalaupun jadi
leader, malah tidak bisa menjalankannya secara efektif. Leader harus menguasai bahasa,
atau pandai dalam interaksi, pengaruh, ide, kredibilitas dan perubahan. Meski sebagian
bakat leader sudah terbentuk sejak lahir dan usia dini, skill leadership bisa dibentuk lewat
studi dan praktek dengan disiplin-diri tinggi. Karakteristik leader hanyalah separuh dari
bauran kompetensi leadership. Untuk memahami dinamika leadership, orang harus
melihat cara leader bertindak dalam setting kerja.
TUGAS DAN DISKUSI KELAS
1. Pembuatan makalah secara individu yang akan didiskusikan dalam kelas
2. Pembuatan makalah secara kelompok yang akan didiskusikan dalam kelas
3. Makalah individu dan kelompok menjadi tugas akhir mahasiswa
REFERENSI
Geroge Eliot, Antonio Stradiveri (2011); Le Lacocca (1984); Paul Van Riper, Cooper dan
Wright (1992); A. Lincoln, F.D. Roosevelt, Kelly et al., (2008). Skill yang Mendukung
Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in
Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New
York, London, England.
Gitter, Black dan Fishman (1975); Remland (1981); Van Wart (2001); Theodore dan Roosevelt
(2001); Lombardo dan Mc Cauley (1988); Jennings (1943); Zullow et al., (1988);
Fiedler (1967); Priem (1990); Judge, Piccolo dan Kosalka (2009). Skill yang
Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of
Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe
Armonk, New York, London, England.
Hoppe (2006); Lao Tzu, Sinclair (2005); Bhatta (2001); Rankin (2001); Stugdill (1974); Howard
dan Bray (1988); Yukl (2002); Kotter (1982 – 1990); Van Wart (2002); Klauss dan Bass
(1982); St. John (1983); Stein (1975); Friedman dan Ringgio (1981). Skill yang
Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of
Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe
Armonk, New York, London, England.
Manz (1986); Manz et al., (1988); Bass (1990); Anderson dan Kildoff (2009); S.F. Bacon
(2011); Max De Pree (1989); Van War (1998a); Kets de Vries dan Miller (1984) Kets de
Vries (1985). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van
Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice.
Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
[20]
Kepemimpinan Sektor Publik / Skill yang Mendukung Efektivitas Leader
2012
Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and
Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Stogdill (1974); Howard dan Bray (1988); Rankin (2001); Yukl (1998 – 2002); Thach dan
Thompson (2007). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery
Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice.
Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Stone (1945); Katz (1955); Garnevale, Gainer dan Schultz (1990); Van Wart (2001); Vera dan
Crossan (2004); Berson et al., (2006); Hollingworth (1926); Ghiselli (1963); Sternberg
(2003); Matthews (1945). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam
Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory
and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Streufert dan Swezey (1986); Willner (1968); Hunt (1996); Boal dan Hooijberg (2000); Jaques
(1989); Wilkinson (2006); Kotter (1982 – 1990); Howard dan Bray (1988); Bhatta
(2001). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart
(2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second
Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Victor Hugo (2011); Stohl (1986); Newcomb (1961); Thach dan Thompson (2007); Stogdill
(1948); Bennis dan Nanus (1985); Hitler, Jim Jones, A. Khomeini (2011); Bhatta
(2001). Skill yang Mendukung Efektivitas Leader. Dalam Montgomery Van Mart
(2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second
Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
[21]
Download