Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Kinerja Sektor Riil Di Indonesia

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan
dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.
Pada satu sisi
Indonesia terlalu cepat melakukan proses integrasi perekonomian menuju
perekonomian global sehingga memudahkan pergerakan aliran dana luar negeri,
padahal di sisi lain perangkat kelembagaan yang mendukung bekerjanya
ekonomi pasar yang efisien belum tertata dengan baik.
Dengan kondisi
perekonomian seperti tersebut maka gejolak nilai tukar yang merupakan efek
penularan dari Thailand dan Korea telah menimbulkan kesulitan ekonomi yang
cukup
parah
dan
ditunjukkan
oleh
adanya
stagflasi
dan
instabilitas
perekonomian.
Penarikan dana secara tiba-tiba oleh investor asing karena pesimis
dengan proses perekonomian regional mengakibatkan lemahnya mata uang
rupiah. Selanjutnya gelombang capital outflow tersebut direspon oleh penduduk
Indonesia dengan membeli dollar dalam jumlah besar yang membuat nilai tukar
semakin menurun drastis.
Padahal karakteristik sektor riil yang berkembang
pesat di Indonesia saat itu adalah footloose industry dengan kandungan bahan
baku impor yang sangat tinggi sehingga depresiasi nilai tukar rupiah menjadi
beban biaya yang memicu timbulnya peningkatan harga-harga barang (inflasi).
Disamping itu terputusnya akses ke sumber dana luar negeri karena kewajiban
hutang yang terlalu besar dan perubahan kebijakan di negara-negara donor
semakin menurunkan tingkat produksi sektor riil.
Untuk menghindari dampak lebih jauh dari gejala spekulasi dan
ekspektasi
depresiasi
rupiah
yang
berlebihan,
maka
otoritas
moneter
menerapkan kebijakan moneter yang kontraktif yang berkonsekuensi pada
2
tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan beban suku bunga yang tinggi secara
paralel mendorong keatas suku bunga pinjaman yang menjadi biaya modal
perusahaan di sektor riil.
Kenaikan biaya modal tersebut dengan sendirinya
mengganggu perencanaan investasi maupun produksi yang pada akhirnya
berpengaruh pada penurunan penawaran agregat.
Sementara itu melemahnya nilai tukar rupiah berdampak pula pada
penurunan daya beli masyarakat karena kenaikan inflasi yang tertransmisi
melalui kenaikan harga barang konsumsi yang tinggi kandungan impornya.
Penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat bersama-sama dengan
terjadinya kenaikan biaya produksi dari kandungan impor dan biaya modal
semakin memberikan tekanan kepada sektor riil.
Secara makro, terganggunya penawaran agregat tersebut tampak dari
tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 1997 yang merosot menjadi 4.19 persen dan
bahkan pada akhir tahun 1998 pertumbuhan ekonomi minus 17.13 persen.
Pemutusan hubungan kerja meningkat tajam dan pada saat yang bersamaan,
kenaikan laju inflasi yang tinggi (77.6%) dan penurunan penghasilan masyarakat
telah
menurunkan
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
yang
selanjutnya
berdampak pada semakin meluasnya kantong-kantong kemiskinan (Bank
Indonesia, 1998).
Menghadapi tekanan pasca krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis
multidimensi tersebut, maka pemerintah menetapkan kombinasi kebijakan
moneter dan fiskal dimana kebijakan fiskal diarahkan pada penghematan
anggaran belanja negara. Sedangkan di bidang moneter berdasarkan pasal 7
UU No, 23 tahun 1999, Bank Indonesia telah menetapkan inflasi sebagai
landasan kebijakan moneter ke depan.
Artinya kebijakan moneter diarahkan
pada penurunan tingkat inflasi yang pada tahun ini ditargetkan berada pada
kisaran 6-7 persen (Warjiyo, 2000).
3
Dengan pertimbangan bahwa tekanan inflasi yang terjadi selama ini lebih
banyak disebabkan keterbatasan dari sisi penawaran dan kebijakan pemerintah
di bidang harga (cost push inflation), maka untuk mencapai sasaran inflasi
tersebut, kebijakan moneter Bank Indonesia diarahkan pada upaya pengendalian
uang primer dengan fokus pada penyerapan kelebihan likuiditas agar tetap
sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian.
Secara
operasional,
pengendalian
moneter
dilakukan
dengan
mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter yang tersedia khususnya melalui
operasi pasar terbuka yaitu mekanisme lelang SBI baik yang berjangka waktu 1
bulan atau 3 bulan. Upaya ini juga didukung oleh penyerapan likuiditas melalui
intervensi rupiah yang dilakukan Bank Indonesia untuk menjaga agar uang
primer tetap berada dalam sasaran yang telah ditetapkan.
Dengan relatif besarnya kelebihan likuiditas sejalan dengan belum
pulihnya fungsi intermediasi perbankan, upaya pengendalian moneter melalui
instrumen moneter ini membawa implikasi pada terjadinya kenaikan suku bunga
SBI dan suku bunga perbankan.
Oleh sebab itu, upaya pengendalian uang
primer juga dilengkapi dengan upaya penambahan pasokan valuta asing di pasar
melalui kebijakan sterilisasi valuta asing.
Hal ini terutama dilakukan untuk
menyerap ekspansi uang primer yang berasal dari pengeluaran pemerintah
dalam rupiah yang dibiayai dari penerimaan dalam valuta asing.
Penambahan pasokan valuta asing melalui sterilisasi valuta asing selain
digunakan untuk menyerap uang primer, juga dimaksudkan untuk mengurangi
tekanan depresiasi dan volatilitas nilai tukar. Namun dalam pasar valuta asing
masih terdapat kesenjangan antara jumlah pasokan dan permintaan valuta asing
sehingga untuk menjaga efektivitas kebijakan ini maka diperlukan juga dukungan
kebijakan lain yang dapat membatasi kemampuan para pelaku pasar untuk
melakukan kegiatan spekulatif.
4
Namun demikian, kebijakan moneter yang lebih independen saat ini
dengan adanya penetapan sasaran akhir yang lebih jelas yaitu target inflasi
diharapkan tetap dapat memberikan pengaruh pada perbaikan perekonomian
dan kinerja sektor riil yang terganggu akibat krisis selama 5 tahun terakhir ini.
Inflasi yang berada pada kisaran yang rendah dengan kondisi perekonomian
yang lebih stabil memberikan kepastian kepada pengusaha dalam meningkatkan
kapasitas produksi yang didukung perencanaan investasi yang matang dan
kegiatan perdagangan yang menguntungkan.
1.2. Perumusan Masalah
Setelah lima tahun proses pemulihan ekonomi, perbaikan kebijakan
dibidang moneter belum tertransmisi dengan baik terhadap perekonomian
Indonesia. Sampai triwulan IV-2005, pertumbuhan Produk Domestik Bruto relatif
kecil yaitu 4.5 persen/tahun (Laporan Bank Indonesia, 2006).
Lambatnya
pertumbuhan ekonomi ini terutama disebabkan oleh kinerja konsumsi dan
investasi yang kurang optimal.
Konsumsi masyarakat mengalami penurunan
yang signifikan karena menurunnya daya beli terkait dengan tingginya angka
inflasi. Sementara itu perlambatan investasi terjadi karena meningkatnya biaya
input, menurunnya margin keuntungan perusahaan dan iklim usaha di Indonesia
yang masih belum kondusif. Kontribusi investasi terhadap pembentukan produk
domestik bruto juga hanya 15 persennya, padahal sebelum krisis aktivitas
investasi menyumbang sekitar 30 persen terhadap PDB.
Disisi eksternal, kegiatan ekspor sebagai sumber pertumbuhan yang
dominan sebelum krisis juga masih menunjukkan pertumbuhan yang kecil
dimana sampai akhir tahun 2005 tumbuh hanya 8.6 persen. Peningkatan ekspor
netto lebih banyak disebabkan oleh kontraksi impor barang dan jasa yang mulai
terjadi sejak tahun 2004. Melambatnya volume impor diperkirakan terkait erat
5
dengan melambatnya kegiatan investasi khususnya jenis-jenis investasi yang
membutuhkan barang modal impor dalam proses produksi.
Perlambatan kinerja perekonomian juga tampak pada pengangguran
terbuka tahun 2005 yang mencapai 10.84 persen (11.6 juta orang) jauh lebih
tinggi dari level sebelum krisis pada tahun 1997 sebesar 4.7 persen. Artinya
pertumbuhan ekonomi saat ini tidak cukup menampung angkatan kerja yang
bertambah 1.8 juta orang per tahun. Sulitnya mengurangi tingkat pengangguran
atau menciptakan lapangan kerja baru menjadi cerminan lambatnya gerak laju
ekspansi sektor riil yang mampu menyerap tenaga kerja yang terus bertambah
setiap tahunnya.
Secara teoritis kebijakan moneter mampu mempengaruhi sisi permintaan
seperti yang dikemukakan oleh Keynesian dan Monetaris.
Namun melihat
struktur ekonomi Indonesia semasa krisis ekonomi dimana tekanan inflasi
ternyata lebih banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja
sektor riil, maka kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral adalah kebijakan
moneter ekspansif yaitu penurunan suku bunga sehingga diharapkan stimulan ini
dapat mendorong ekspansi produksi dan menggeser kembali kurva penawaran
ke kanan.
Dengan demikian diharapkan harga akan menurun dan output
meningkat.
Namun penurunan suku bunga yang dilakukan Bank Indonesia pada
tahun 2004 dengan pertimbangan tekanan inflasi selama krisis ekonomi lebih
banyak bersumber dari sisi penawaran karena penurunan kinerja sektor riil, tidak
langsung mendongkrak peningkatan output dengan indikasi awal suku bunga
kredit investasi masih tinggi. Lambannya penurunan suku bunga kredit investasi
bagi sektor riil terutama disebabkan masih tingginya persepsi risiko perbankan
terhadap penyaluran kredit investasi bagi sektor riil seiring dengan tingginya
resiko yang harus ditanggung sektor riil setelah krisis ekonomi. Akibatnya suku
6
bunga kredit terlihat kurang elastis terhadap sinyal penurunan suku bunga dari
bank sentral.
Padahal perbankan mendominasi 80 persen sistem keuangan
sehingga perbankan menjadi prioritas jalur transmisi kebijakan moneter.
Hal ini sejalan dengan gejala yang muncul dari sisi pelaku usaha, dimana
dunia usaha masih banyak mengeluhkan sulitnya memperoleh suntikan modal
sebagai sumber dana untuk meningkatkan kapasitas produksi, padahal suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia telah mengalami penurunan yang signifikan dan
diharapkan bertransmisi kepada turunnya suku bunga kredit (Hendarsah, 2003).
Penurunan suku bunga SBI cenderung direspon dengan peningkatan
kegiatan konsumsi.
Sementara itu, kegiatan investasi yang memiliki efek
pengganda (multiplier effect) yang lebih tinggi daripada konsumsi tidak
memberikan pengaruh yang berarti dengan perkembangan yang kurang
memuaskan dan justru mengalami kontraksi sebesar 0.2 persen. Dalam tiga
tahun terakhir ini, persetujuan investasi PMDN dan PMA pada tahun 2003 hanya
sebesar Rp 177.18 trilyun rupiah, pada tahun 2004 menurun menjadi Rp 129.24
trilyun dan pada tahun 2005 persetujuan investasi sebesar Rp 179.57 trilyun
rupiah (33.93% dari target).
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, maka
secara umum penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauhmana dampak
kebijakan moneter terhadap perbaikan kinerja sektor riil di Indonesia. Adapun
secara lebih khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis perkembangan moneter, perekonomian dan kinerja sektor riil
pada periode sebelum dan setelah adanya independensi Bank Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sektor moneter dan kinerja
transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.
7
3. Mengkaji dampak kebijakan moneter terhadap kinerja sektor riil dan kinerja
perekonomian.
4. Merumuskan
rekomendasi
alternatif
kebijakan
moneter
yang
dapat
dilaksanakan pemerintah dalam mendorong kinerja sektor riil.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah sektor riil di Indonesia yang
disederhanakan menjadi tiga kelompok utama yaitu sektor pertanian, sektor
industri pengolahan, dan sektor lainnya. Penyederhanaan menjadi tiga kelompok
sektor ini dengan pertimbangan sektor pertanian dan sektor industri merupakan
sektor andalan dalam pembentukan PDRB namun memiliki karakteristik yang
berbeda dalam merespon gejolak krisis seperti tampak pada kinerja sektor-sektor
tersebut saat terjadi depresiasi nilai tukar rupiah dan peningkatan suku bunga.
Menurut Yudanto (1998) seberapa besar tekanan krisis ekonomi
terhadap sektor riil sangat tergantung pada kuatnya keterkaitan tingkat produksi
sektor tersebut dengan faktor depresiasi dan suku bunga. Diantara lima sektor
utama yaitu pertanian, industri, perdagangan, keuangan dan bangunan, sektor
pertanian terbukti cukup resisten terhadap krisis sehingga pertumbuhan sektor ini
memperlihatkan hubungan yang tidak terlalu kuat dengan gejolak kurs dan
bahkan mempunyai koefisien korelasi dan elastisitas yang positif meskipun
sangat rendah yaitu 0.08 dan 0.01. Sedangkan sektor yang terkait cukup erat
dengan faktor depresiasi adalah sektor bangunan, industri, transportasi dan
keuangan dan dilihat dari tingkat elastisitasnya maka sektor industri menjadi
sektor yang paling elastis terhadap perubahan nilai kurs. Saratnya kandungan
input yang diimpor dan besarnya sumber pembiayaan dari luar negeri dalam
struktur produksi diduga menjadi penyebabnya. Dari sisi pengaruh faktor suku
8
bunga diketahui bahwa sektor industri dan perdagangan merupakan sektor yang
paling terpengaruh oleh gejolak suku bunga.
Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan bahasan pada sektor
pertanian dan industri untuk melihat seberapa jauh perubahan kinerja produksi
setelah adanya perbaikan kebijakan moneter yang dijalankan sejak tahun 1999.
Transmisi moneter dilihat dari sisi permintaan agregat menurut sektor dan secara
sekilas juga akan dilihat dari sisi penawaran agregatnya yang terwakili dari jalur
kredit karena seperti yang dikatakan oleh aliran neostrukturalis bahwa kebijakan
moneter juga ditransmisikan melalui penawaran agregat via suku bunga dan
volume kredit.
Dampak kebijakan moneter terhadap sektor riil dianalisis melalui jalurjalur transmisi yaitu jalur suku bunga, jalur harga aset dan jalur kredit. Jalur
transmisi harga aset dibatasi pada pengaruh nilai tukar, sedangkan jalur kredit
dibatasi pada jalur pinjaman bank (bank lending channel) karena jalur ini yang
diperkirakan memberikan pengaruh yang relatif kuat terhadap pertumbuhan
kinerja sektor riil. Kinerja sektor riil dianalisis dari indikator penggunaan kredit,
kinerja investasi, ekspor, Produk Domestik Bruto, dan penyerapan tenaga kerja.
Sedangkan secara makro, digunakan lima indikator kinerja yaitu alokasi kredit
total, investasi, ekspor, PDB dan tingkat pengangguran.
Keterbatasan penelitian ini tampak pula pada perhitungan kinerja sektor
riil yang diasumsikan hanya dipengaruhi oleh kebijakan moneter sedangkan
kebijakan ekonomi lainnya seperti kebijakan fiskal dan faktor lain diluar moneter
tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Dengan adanya keterbatasan dalam
perolehan data, maka data time series yang akan digunakan dibatasi hanya
untuk periode 1984-2005.
Download