14 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Impulsive Buying 2.1.1 Pengertian

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
2.1.1
Impulsive Buying
Pengertian Impulsive Buying
Suatu kondisi yang terjadi ketika individu mengalami perasaan
terdesak secara tiba-tiba yang tidak dapat dilawan. Kecenderungan untuk
membeli secara spontan ini umumnya dapat menghasilkan pembelian
ketika konsumen percaya bahwa tindakan tersebut adalah hal yang wajar
Rook & Fisher 1995 (Solomon 2009).
Verplanken & Herabadi (2005) mendefinisikan pembelian impulsif
sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan dengan
pembelian yang cepat dan tidak direncanakan, diikuti oleh adanya konflik
fikiran dan dorongan emosional. Dorongan emosional tersebut terkait
dengan adanya perasaan yang intens yang ditunjukkan dengan melakukan
pembelian karena adanya dorongan untuk membeli suatu produk dengan
segera, mengabaikan konsekuensi negatif, merasakan kepuasan dan
mengalami konflik di dalam pemikiran.
Beberapa
peneliti
pemasaran
beranggapan
bahwa
impulse
bersinonim dengan unplanned ketika para psikolog dan ekonomi
memfokuskan pada aspek irasional atau pembelian impulsif murni (Bayley
dan Nancarrow dalam Semuel, 2006). Namun Solomon & Rabolt (2009)
menyatakan bahwa tidak sepenuhnya impulse buying disebut irasional
karena justru seringnya pembelian impulse justru didasarkan kebutuhan.
Thomson et al, (Semuel, 2006), juga mengemukakan bahwa ketika terjadi
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pembelian impulsif akan memberikan pengalaman akan kebutuhan
emosional, sehingga tidak dilihat sebagai suatu sugesti, dengan dasar ini
maka pembelian impulsif lebih dipandang sebagai keputusan rasional
dibanding irasional.
Perspektif mengenai impulse buying yang paling dasar berfokus
pada faktor eksternal yang mungkin menyebabkan gejala tersebut.
Menurut Buedincho (2003) faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi
pembelian impulsif antara lain adalah harga, kebutuhan terhadap produk
atau merek, distribusi masal, pelayanan terhadap diri sendiri, iklan, displai
toko yang menyolok, siklus hidup produk yang pendek, ukuran yang kecil
dan kesenangan untuk mengoleksi.
1. Aspek-Aspek Impulsive Buying
Ada 2 elemen penting yang terdapat dalam impulsive buying
Verplanken & Herabadi (2005), yaitu:
a. Kognitif Elemen ini fokus pada konflik yang terjadi pada kognitif
individu yang meliputi:
1) Tidak mempertimbangan harga dan kegunaan suatu produk
2) Tidak melakukan evaluasi terhadap suatu pembelian produk
3) Tidak melakukan perbandingan produk yang akan dibeli
dengan produk yang mungkin lebih berguna.
b. Emosional Elemen ini fokus pada kondisi emosional konsumen
yang meliputi :
1) Timbulnya dorongan perasaan untuk segera melakukan
pembelian.
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2) Timbul perasaan senang dan puas setelah melakukan
pembelian.
3) Tipe-tipe pembelian impulsive.
2.1.2
Tipe Impulsive Buying
Yu K. Han et.al pada tahun 1991 (Solomon & Rabolt, 2009)
menyatakan tipe impulse buying dalam pembelian fashion terdiri dari :
1. Pure Impulse Buying (pembelian Impulsif murni) Pembelian terjadi
tanpa adanya pemikiran atau rencana sebelumnya untuk membeli dan
keadaan terdesak untuk membeli sesuatu.
2. Fashion Oriented Buying atau biasa disebut Suggestion Impulse
(Pembelian impulsif yang timbul karena sugesti). Konsumen melihat
produk dengan gaya baru termotivasi oleh sugesti dan memutuskan
untuk membeli produk tersebut. Kondisi ini mengarah pada kesadaran
individu terhadap hal-hal baru atau fashionability terhadap desain
maupun gaya yang inovatif.
3. Reminder Impulse Buying (pembelian impulsif karena pengalaman
masa lampau) Pembeli mengingat keputusan di masa lalu dimana
menyebabkan pembelian di tempat. Planned Impulse Buying
(Pembelian tergantung pada kondisi penjualan) Konsumen menunggu
untuk melihat apa yang tersedia dan keputusan membeli dibuat di
dalam toko.
2.1.3
Karakteristik Impulsive Buying
Menurut Rook dan Fisher (Putra, 2014), impulse buying memiliki
beberapa karakteristik, yaitu sebagai berikut:
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
1. Spontanitas
Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk
membeli sekarang, sering sebagai respons terhadap stimulasi visual
yang langsung ditempat penjualan.
2. Kekuatan, Kompulsi, dan intensitas
Mungkin ada motivasi untuk mengesampingkan semua yang lain
dan bertindak seketika.
3. Kegairahan dan stimulasi
Desakan mendadak untuk membeli sering disertai emosi yang
dicirikan sebagai “menggairahkan”,”menggetarkan” atau “liar”.
4. Ketidakpedulian akan akibat
Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu sulit ditolak
sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan.
2.1.4
Impulsive Buying pada Remaja
2.1.4.1 Pengertian Remaja
Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas,
mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock,
1997:206). Menurut Monks (1982: 262), secara global seseorang dikatakan
memasuki masa remajasaat ia memasuki usia antara 12 sampai 21 tahun,
dimana remaja awal ada pada usia 12 sampai 15 tahun, remaja tengah ada
pada usia 15 sampai 18 tahun, remaja akhir ada pada usia 18 sampai 22
tahun.
Hurlock (1997:206) menyatakan bahwa remaja akhir ditandai
dengan ingin selalu menjadi pusat perhatian, ingin menonjolkan diri. Ia
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
idealis, mempunyai cita-cita tinggi, bersemangat dan mempunyai energi
yang besar. Ia berusaha memantapkan identitas diri, dan ingin mencapai
ketidaktergantungan emosional.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masa
remaja adalah individu dengan usia antara 12 samapai 21 tahun. Sesuai
dengan penelitian yang dilakukan yaitu peneliti menggunakan sampel
remaja akhir yang berkisar usia 18 sampai 21tahun.
1. Ciri-ciri Remaja
Masa remaja mempunyai ciri tertentu yang membedakan dengan
periode sebelumnya. Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1998: 312), antara
lain:
1. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan
yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada
individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan
selanjutnya.
2. Masa remaja sebagai periode peralihan. Disini berarti perkembangan
masa kanak- kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa.
Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk
mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai
dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
3. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja
berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam
masyarakat.
Disimpulkan adanya kecenderungan remaja akan mengalami
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan
agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan
penuh tanggung jawab.
Dengan demikian, perubahan fisik, psikologis, dan sosial yang
terjadi pada remaja mempengaruhi remaja sebagai konsumen. Salah satunya
adalah bentuk sikap dan ketertarikan remaja, misalnya minat yang sangat
kuat terhadap penampilan. Reynolds dan Wells (Sihotang, 2009).
Namun pada masa remaja sangat rentan sekali terbawa larut pada
pergaulan dan lingkungannya untuk mengikuti trend teman sebaya,
sehingga remaja dengan kematangan emosi individu belum stabil yang
mendorong munculnya berbagai gejala dalam perilaku membeli yang tidak
wajar. Membeli tidak lagi dilakukan karena produk tersebut memang
dibutuhkan, tetapi membeli dilakukan karena alasan-alasan lain seperti
sekedar mengikuti arus mode, hanya ingin mencoba produk baru, dan ingin
memperoleh fungsi yang sesungguhnya dan menjadi suatu ajang
pemborosan biaya karena belum memiliki penghasilan sendiri. Zebua &
Nurdjayadi (Sihotang, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif terbagi
menjadi faktor personal dan faktor lingkungan. Faktor personal terdiri dari
perilaku pembelajaran, motivasi, kepribadian, kepercayaan, usia, sumber
daya konsumen, dan gaya hidup. Faktor lingkungan terdiri dari situasi,
kelompok dan budaya. Engel et al, hal.140-141 (Sihotang, 2009).
Menurut Johnstone (Sihotang, 2009), konsumen remaja mempunyai
ciri-ciri, sebagai berikut :
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(a) mudah terpengaruh oleh rayuan penjual.
(b) mudah terbujuk iklan, terutama pada penampilan produk.
(c) kurang berpikir hemat, dan
(d) kurang realistis, romantis dan impulsif.
Remaja akan melakukan berbagai macam cara untuk memuaskan
keinginannya untuk berbelanja. Survei yang dilakukan oleh Deteksi Jawa
Pos menemukan bahwa 20,9 % dari 1.074 responden yang berstatus sebagai
pelajar yang berdomisili di Jakarta dan Surabaya mengaku pernah
menggunakan uang spp-nya untuk membeli barang incarannya ataupun
hanya untuk bersenang-senang. Jawa Pos (Sihotang, 2003).
2. Perubahan-perubahan Pada Remaja
Perubahan yang dialami remaja akan mempengaruhi mengapa anak
bertindak dengan cara tertentu yang menyebabkan penilaian berbeda dari
orang tua. Menurut Desmita (2005: 109-214) perubahan itu meliputi:
1. Perkembangan kognitif. Yaitu perkembangan fungsi daya pikir seperti
kecerdasan, ingatan, perhatian, khayalan, berpikir dan pencapaian
prestasi. Masa remaja adalah suatu periode kehidupan dimana kepastian
untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan secara efisien
mencapai puncaknya. Hal ini karena selama masa periode remaja,
proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaan.
2. Perkembangan emosional. Remaja biasanya mengalami kesukaran
dalam mengendalikan emosi, sehingga sikap mereka menjadi tidak
menentu, karena tingkah laku mereka seolah mengalami transisi, antara
sikap anak-anak dan dewasa.
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3. Perkembangan sosial. Sebagian besar remaja akan berusaha mandiri dan
menghindari ketergantungan kepada orang lain. Mereka akan menjalin
hubungan dengan orang lain yang seusianya untuk berbagipengalaman.
Disimpulkan
bahwa
adanya
beberapa
perubahan
atau
perkembangan yang akan terjadi pada diri remaja, perkembangan inilah
yang nantinya akan membedakan antara diri pada anak, remaja dan orang
dewasa.
2.1.4.2 Impulsive Buying Online
Teknologi informasi yang meningkat pesat pada tahun-tahun
terakhir telah membawa beberapa dampak transformasional pada beberapa
aspek kehidupan termasuk perkembangan dalam dunia bisnis (Kharis,
2011) pemasar melakukan gerakan baru sebagai tuntutan zaman dengan
pemanfaatan teknologi informasi sebagai metode pelengkap dan
penyempurnaan
dalam
melakukan
promosi,
pemasaran,
dan
penyebarluasan produk secara lebih efektif dan efisien melalui sebuah
sistem internet guna meningkatkan penjualan secara signifikan. Dimana
niat beli ini tentunya adalah niat beli melalui via internet dalam
mendorong terciptanya pasar cyber (berjualan di media sosial atau website
internet). Dengan mengetahui sejauh mana potensi pasar cyber yang ada
dapat menjadikan peluang-peluang baru dalam memulai dan menjalankan
bisnis dengan berbasis internet. Pemasaran akan menjadi senjata yang
ampuh dalam kehidupan bisnis pengenalan dan peningkatan penjualan
produk secara lebih signifikan. Pengggunaan sistem pemasaran secara
21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
konvensional terdapat batasan-batasan yang tidak dapat dihindari jika
dibandingkan pemasaran melalui online. Chen Tsai (Kharis, 2011).
Indonesia
merupakan
negara
berkembang
yang
memiliki
masyarakat dengan tingkat konsumtif yang tinggi Ster (Kharis, 2011).
Namun dalam hal berbelanja melalui internet, masyarakat Indonesia masih
kalah tertinggal dibandingkan dengan negara Korea dan Cina, yang
merupakan negara tetangga dalam lingkup Asia Pasifik. Hal ini dapat
dilihat dalam data diatas, yaitu Indonesia masih menduduki peringkat
ketujuh dalam hal berbelanja secara online, Nielsen (Kharis, 2011)
konsumen
korea
lebih
menyukai
berbelanja
buku,
kosmetik,
baju/accessories/sepatu melalui jaringan dunia maya. Ster (Kharis, 2011)
mengemukakan bahwa pembelian impulsif dapat dikategorikan dalam
empat kategori, yaitu pembelian impulsif murni, pembelian impulsif
karena ingatan, pembelian impulsif secara sugesti, dan pembelian impulsif
yang direncanakan Rook (Kharis, 2011).
Stern dan Rook (Kharis, 2011) konsumen akan menggunakan toko
ritel dan promosi penjualan sebagai alat mendapatkan informasi,
mngembangkan alternatif, membandingkan produk, kemudian melakukan
keputusan pembelian yang diinginkan. Selain itu, dapat saja konsumen
yang menemukan informasi melalui online, tetapi memutuskan pembelian
secara offline, itupun dikategorikan sebagai salah satu bentuk pembelian
impulsif. Pembelian produk melalui informasi iklan internet berpotensi
untuk masuk kategori pembelian impulsif seperti membeli produk lainnya.
22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.1.4.3 Impulsive Buying Non Online
Impulsive menurut kamus lengkap psikologi (Chaplin, 2011)
mencirikan kegiatan untuk terlibat dalam sesuatu perbuatan tanpa refleksi
(tanpa berfikir) secukupnya, atau yang tidak dapat ditahan-tahan, tidak
dapat ditekan. Pembelian impulsif berimplikasi pada kurangnya rasional
atau evaluasi alternatif. Hawkins et al, (Sihotang, 2009).
Membeli tidak lagi dilakukan karena produk tersebut memang
dibutuhkan, tetapi membeli dilakukan karena alasan-alasan lain seperti
sekedar mengikuti arus mode, hanya ingin mencoba produk baru, dan
ingin memperoleh fungsi yang sesungguhnya dan menjadi suatu ajang
pemborosan biaya karena belum memiliki penghasilan sendiri. Zebua &
Nurdjayadi, (Sihotang 2009).
2.2
Self - Talk
Secara umum, self-talk didefinisikan sebagai pembicaraan terhadap
diri sendiri yang dapat dilakukan dengan suara atau tanpa suara. Secara
khusus, self-talk didefinisikan berdasarkan pernyataan yang diucapkan.
Hardy (Luzanil, 2016). Bila seseorang berbicara kepada dirinya, maka
akan membuat dirinya mendengarkan apa yang diucapkan dirinya. Bila
seseorang berbicara kepada orang lain dia harus mendengarkannya juga.
Rangkaian percakapan tanpa adanya tanggapan bukanlah sebuah
komunikasi. Tanpa adanya interaksi dua arah, bahkan bila dilakukan
seorang diri, maka tidak terjadi pertukaran informasi atau komunikasi.
Brown, 1973 (Luzanil, 2016).
23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut Van Raalte, Vincent, dan Brewer (Luzanil, 2016), selftalk sebagai pembicaraan terhadap diri sendiri baik secara disuarakan atau
diinternalisasikan tanpa suara. Lanjut, self-talk adalah pengucapan bahasa
dari dalam diri yang dapat dikenali dan diekspresikan secara internal atau
disuarakan dimana pengiriman pesan juga menjadi penerima pesan yang
dituju.
Penelitian-penelitian
tentang
self-talk
menggunakan
kedua
pembagian definisi ini antara secara umum maupun khusus dalam konteks
tertentu.
Kegunanaan melakukan self-talk menurut Oliver dan Tod (Luzanil,
2016) yaitu self-talk sebagai pernyataan yang dikatakan kepada dirinya
sendiri baik secara otomatis maupun disengaja dan dilakukan dengan diam
atau bersuara ketika memikirkan sesuatu. Self-Talk atau intrapersonal
speech adalah internalisasi dari pembicaraan intrapribadi.
Penggunaan bahasa self-talk Nigro & Neisseer (Luzanil, 2016)
dapat memberikan pengaruh yang berbeda pada jarak yang dipersepsikan
terhadap diri sendiri. Fungsi yang terdapat pada self-talk diantaranya
adalah pemberian jarak pada diri sendiri. Hal ini membuat individu lebih
sedikit merasakan emosi dari pengalaman dan membuat lebih berusaha
memaknai pengalaman tersebut secara terbuka. Jarak yang dirasakan dan
yang berada pada diri sendiri terjadi karena adanya jarak psikologis.
Menurut Van Raalte, Vicent & Brewer (Luzanil, 2016) terdapat 3
bentuk self-talk lainnya, yaitu positif-negatif, instructional vs motivational.
Self-talk positif berupa pernyataan tentang diri sendiri yang positif atau
dapat berupa dukungan. Motivational self-talk dihubungkan dengan
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
penguatan rasa percaya diri, meningkatkan usaha, dan perasaan yang
positif (contohnya: “saya bisa melakukan ini”) Instructional Self-talk
Positif adalah teknik atau taktik yang dilakukan untuk membantu
konsentrasi (contohnya: “yakinkan kepada diri sendiri, saya bisa
mengontrol diri dan saya bisa melakukan ini”) Hardy, Begley &
Blanchfield (Luzabil, 2016). Penggunaan nama ganti “diri sendiri”
meningkatkan kontrol diri. Dalam penelitian (Kross et.al., 2014)
penggunaan kata ganti “nama diri” untuk merujuk pada diri sendiri
sehingga dapat memberikan jarak pada diri sendiri.
Self-talk negatif melibatkan pernyataan yang negatif dan/atau
merefleksikan marah, frustasi, atau mematahkan semangat. Instructional
Self-talk adalah teknik atau taktik yang dilakukan untuk membantu
konsentrasi (contohnya: “kuatkan pergelangan tangan”), masing-masing
self-talk tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap pikiran dan
perilaku. Van Raalte, Vicent & Brewer (Luzanil, 2016).
Evaluasi self-tlak telah dilakukan dalam penelitian Iswari &
Hartini, (2005) yaitu self-talk terhadap body dissatisfaction (ketidakpuasan
terhadap bentuk tubuh). Body dissatisfaction merupakan suatu bentuk
pikiran yang tidak rasional sehingga terapi yang digunakan untuk
menangani body dissatisfaction juga disesuaikan dengan keadaan tersebut.
Terapi yang dipilih dalam penelitian ini adalah self-talk. Self-talk dipilih
karena self-talk merupakan bagian dari rational emotive behavior therapy
yang bertujuan mengubah ide-ide tidak rasional menjadi ide yang rasional
sehingga dapat merubah pandangan negatif mengenai perasaan dan
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
keinginan untuk tampil cantik dengan berat badan proporsional sesuai
dengan harapan-harapan dan tuntutan dari lingkungannya. Para pediet
yang menggunakan kalimat penegasan positif dapat menurunkan berat
badan 3 kali lebih banyak dan berkemungkinan 2 kali lebih besar
mempertahankan berat badan yang turun. Hal ini berarti bahwa self-talk
memiliki pengaruh yang sangat besar dan dapat dicoba untuk mengubah
pandangan negatif remaja tentang tubuhnya.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Iswari & Hartini,
(2005) penelitian ini akan menggunakan evaluasional dalam redaksi
instruksi manipulasinya yaitu “tanya kepada diri sendiri apakah anda yakin
membeli barang tersebut?”.
Terdapat alasan saat seseorang melakukan self-talk, ketika individu
dalam keadaan bahagia, maka dia akan menunjukkan kebahagiaan saat
melakukan self-talk. Begitu pula sebaliknya, ketika dalam perasaan yang
negatif individu dapat berbicara kepada dirinya dengan perasaan tersiksa.
Menurut Hardy, Oliver & Tod (Luzanil, 2016) sifat-sifat yang dimiliki
oleh individu juga dapat mempengaruhi self-talk. Melakukan self-talk
dapat membuat individu menjadi lebih terbuka, empati, dan memahami
orang lain. Brown, 1973 (Luzanil, 2016).
2.3
Self Distancing (Jarak Diri)
Self Distancing (Jarak Diri) yaitu suatu analisis terhadap emosi
menggunakan jarak pada diri sendiri ketika menghadapi pengalaman negatif
(berkaitan dengan kemarahan dan kesedihan) mengarahkan seseorang untuk
sedikit terpengaruh secara emosi dari mengalaman mereka dan lebih
26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
berusaha memaknai pengalaman secara terbuka Ayduk & Kross (Luzanil
2016).
Adanya jarak terhadap diri sendiri yang dipersepsikan individu
dapat terjadi akibat adanya psychological distance (jarak psikologis).
Psychological distance (jarak psikologis) adalah jarak yang dipersepsikan
terhadap objek atau peristiwa tanpa kehadirannya secara langsung. Orangorang dapat fokus pada stimulus yang beragam dari sudut pandang jarak
psikologis, seperti diri sendiri, orang lain, dan objek lain. Keadaan khusus
ketika individu fokus pada diri sendiri dari sudut pandang berjarak
dinamakan sebagai self-distance Trope & Liberman (Luzanil 2016).
Pemberian jarak pada diri sendiri memberikan kemampuan bagi individu
untuk melakukan regulasi terhadap pikiran, perasaan, dan tingkah laku
ketika berada dibawah tekanan, adanya pergeseran terhadap jarak yang
dipersepsikan individu memiliki kondisi yang serupa dengan jarak
psikologis sehingga membuat afeksi individu tidak terpengaruh ketika
menghadapi pengalaman yang dapat membuatnya cemas Kross et al.,
(Luzanil 2016). Disisi lain, terdapat cara lain yang dapat digunakan untuk
berfikir kembali tentang pengalaman masa lalu menggunakan sudut
pandang sebagai diri yang berjarak (self distance), maksudnya seolah
seseorang menarik dirinya keluar dari dirinya yang terlibat dalam situasi
yang terjadi agar dapat melihat dari sudut pandang yang lebih jauh.
Memulai sudut pandang yang lebih jauh ini membuat seseorang dapat
melihat dirinya sendiri berperan dalam situasi yang terjadi beserta keadaan
di sekitarnya secara luas.
27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Nigro dan Neisser (Luzanil 2016) berpendapat “I can see it now”
bahwa manusia mengucapkan kalimat ini ketika mencertitakan beberapa
kejadian dari masa lalu. Ingatan diri umumnya hanya menangkap
fenomena penting dalam kehidupan sehari-hari, tetapi jarang sekali
manusia berusaha memahami karakteristik dari fenomena itu. Ketika
berusaha mengingat kembali pengalaman yang telah tejadi di masa lalu,
individu dapat melihat menggunakan sudut pandang yang berbeda.
Self-distance sangat efektif untuk mengatasi masalah-masalah yang
berkaitan dengan pikiran atau perubahan perilaku, tetapi ada beberapa hal
yang harus diingat dan diperhatikan dalam pelaksanaan self-distance
menurut Pearson (Luzanil 2016), antara lain:
1.
Afirmasi atau self-distance positif sebaiknya menggunakan kata ganti
“nama diri”. Kita tidak selalu dapat mengontrol hal-hal yang terdapat
dalam diri orang lain, oleh karena itu afirmasi dibuat untuk mengontrol hal
yang dapat dikontrol, yaitu diri sendiri. Maksudnya adalah afirmasi berisi
tujuan, keinginan, nilai-nilai dari diri sendiri, bukan orang lain.
Dalam penelitian Luzanil, 2016 sudah membahas self talk dengan
kata ganti “saya”, dan “aku” untuk memberikan jarak pada dirinya sendiri.
Maka dalam penelitian ini menggunakan “nama diri” untuk memberi jarak
kepada diri sendiri yang dilakukan oleh para partisipan penelitian ini.
2.
Membuat sebuah afirmasi yang realistis sehingga lebih dapat diterima oleh
pikiran. Mulailah dengan hal kecil yang mudah dicapai lalu semakin lama
semakin besar. Contohnya adalah “kontrol diriku cukup baik” tampak
lebih realistis daripada “saya selalu dapat mengontrol diri setiap waktu”.
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3.
Ulangi afirmasi positif tersebut sesering mungkin sehingga pikiran positif
akan menjadi suatu rutinitas atau kebiasaan. Jarang manusia beremosi
tanpa berpikir, sebab perasaan-perasaan biasanya didasari oleh persepsi
atas situasi yang spesifik, seperti yang dikemukakan oleh Ellis: “ketika
mereka beremosi, mereka juga berpikir dan bertindak. Ketika mereka
bertindak, mereka juga berpikir dan beremosi. Ketika mereka berpikir,
mereka juga beremosi dan bertindak” (Corey, 1995:241)(Luzanil 2016).
Adapun afirmasi negatif, contohnya: “kontrol diri saya tidak baik”.
Afirmasi negatif tersebut sesering mungkin sehingga pikiran negatif akan
menjadi sebagai rutinitas dan kebiasaan. Manusia beremosi tanpa berpikir,
sebab perasaan-perasaan biasanya didasari oleh persepsi atas situasi yang
spesifik dan mendesak, contoh: “ketika mereka beremosi, mereka tidak
berpikir dan langsung bertindak. Ketika mereka bertindak, mereka tidak
berpikir saat merasa emosi. Ketika mereka tidak berpikir, mereka beremosi
dan langsung bertindak” (Corey, 1995:241)(Luzanil 2016).
2.4
Kerangka Konseptual
Merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan
dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang
penting. Pemberian jarak pada diri sendiri memberikan kemampuan bagi
individu untuk melakukan regulasi terhadap pikiran, perasaan, dan tingkah
laku ketika berada dibawah tekanan, adanya pergeseran terhadap jarak
yang dipersepsikan individu memiliki kondisi yang serupa dengan jarak
psikologis sehingga membuat afeksi individu tidak terpengaruh ketika
menghadapi pengalaman yang dapat membuatnya cemas. Kross et al.,
29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(Luzanil 2016).
Untuk mendapatkan efek self distancing dalam self-talk digunakan
cara self-talk yang berbeda yaitu: self-talk dengan nama diri dan self-talk
dengan kata ganti saya (Luzanil, 2016). Verplanken & Herabadi (2005)
mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian yang tidak rasional
dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak direncanakan,
diikuti oleh adanya konflik fikiran dan dorongan emosional. Dorongan
emosional tersebut terkait dengan adanya perasaan yang intens yang
ditunjukkan dengan melakukan pembelian karena adanya dorongan untuk
membeli suatu produk dengan segera, mengabaikan konsekuensi negatif,
merasakan kepuasan dan mengalami konflik di dalam pemikiran.
Dari penjelasan di atas maka dari itu kita dapat membuat kerangka
konseptual agar mengetahui pengaruh self distancing terhadap perilku
impusive buying online remaja pada usia 16-18 tahun, maka untuk
mengetahui masalah yang akan dibahas, perlu adanya kerangka konseptual
yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Self Distancing dalam Self-
Impulsive Buying (Y)
Talk (X)
30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.5
Hipotesis
Hipotesis satu (H1) adalah Pernyataan yang diharapkan terjadi tentang
hubungan antara variabel “X” dan variabel ”Y” yang sedang diteliti atau tentang
perbedaan pengaruh sebagai akibat dari perlakuan yang berbeda. Sugiyono
(2012).
Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Ho
= Tidak ada pengaruh self distance dalam self talk terhadap impulsive
buying online pada remaja usia 16-18 tahun.
Ha
= Ada pengaruh antara self distance dalam self talk terhadap impulsive
buying online pada remaja usia 16-18 tahun.
31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download