TINJAUAN PUSTAKA Botani Anggrek Tanaman anggrek merupakan famili yang memiliki jumlah keanekaragaman sangat besar yaitu terdiri dari 700 genus dan 35 000 spesies yang tersebar di seluruh dunia (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Contoh dari genus anggrek yaitu Dendrobium, Phalaenopsis, Renanthera, Vanda, Cattleya, Bulbophylum, dan masih banyak genus lain. Anggrek umumnya hidup secara epifit di batang-batang pohon di hutan tropis namun ada pula yang hidup secara terestrial di atas permukaan tanah, saprofit atau lithofit (dipermukaan batu). Genus Phalaenopsis merupakan anggrek yang hidup secara epifit. Tipe perkembangan anggrek dibedakan menjadi dua yaitu monopodial dan simpodial. Monopodial merupakan tipe pertumbuhan yang terus tumbuh ke atas dan tidak akan berhenti. Tipe ini hanya memiliki satu titik tumbuh (tidak bercabang), ia akan bercabang apabila titik tumbuhnya dihilangkan atau dirusak. Tipe simpodial merupakan pertumbuhan yang dapat berhenti apabila bulb (batang semu) telah mencapai ukuran maksimal dan kembali membentuk bulb. Phalaenopsis dan Renanthera termasuk anggrek dengan tipe perkembangan monopodial. (Iswanto, 2005) Anggrek memiliki permukaan daun yang dilapisi kutikula (lapisan lilin) yang dapat melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit. Kedudukan daun tersusun secara berjajar berseling. Batang anggrek yang menebal merupakan batang semu yang dikenal dengan istilah pseudobulb (pseudo-semu, bulb-batang yang menggembung), berfungsi sebagai penyimpan air dan makanan untuk bertahan dalam keadaan kering (Sastrapradja, 1980). Batang dan daun anggrek mengandung klorofil, hal ini sangat membantunya memaksimalkan penyerapan sinar matahari untuk fotosintesis dalam habitatnya di hutan yang minim cahaya. Klorofil pada batang anggrek tidak mudah hilang atau terdegradasi walaupun daun-daunnya telah gugur, oleh sebab itu anggrek juga memiliki julukan evergreen. Akar tanaman anggrek berdasarkan fungsinya dibedakan menjadi akar lekat dan akar udara. Akar lekat berfungsi untuk melekatkan dan menguatkan 5 tubuh tanaman pada media, sedangkan akar udara berfungsi untuk mengambil air dan unsur hara dari media tempat tumbuhnya. Contoh akar lekat dapat di jumpai pada anggrek jenis simpodial seperti Dendrobium, Bulbophyllum, maupun Cattleya, sedangkan akar udara dimiliki oleh anggrek monopodial seperti Phalaenopsis dan Renanthera (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Morfologi Phalaenopsis gigantea Setiap jenis anggrek memiliki karakter morfologi yang berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk daun, letak daun, batang, akar, bunga, dan buah. Phalaenopsis gigantea memiliki keunggulan bentuk daunnya lebar dan jumlah bunganya yang banyak (Gambar 1). Berdasarkan karakter morfologi tersebut maka Phalaenopsis gigantea mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Gambar 1. Anggrek Phalaenopsis gigantea. Akar Akar anggrek Phalaenopsis memiliki ciri khas yaitu adanya perkembangan akar udara atau akar aerial. Akar aerial merupakan akar yang keluar dari batang atas. Akar aerial yang masih aktif ujungnya berwarna hijau, 6 hijau keputihan atau kuning kecoklatan, licin dan mengkilat. Akar aerial ini mempunyai lapisan sel atau jaringan yang disebut velamen yang bersifat spongy (berongga). Jaringan tersebut berfungsi untuk memudahkan akar menyerap air hujan yang jatuh pada kulit pohon inang dan membasahi akar udara. Batang Batang anggrek Phalaenopsis gigantea berbentuk tunggal dengan ujung batang tumbuh lurus tidak terbatas dan terdiri dari satu batang utama yang ukurannya pendek, hanya 3-5 cm, bahkan nyaris tidak tampak karena tertutup oleh pelepah daun (Iswanto, 2005). Apabila daun-daun tua pada batang sebelah bawah telah gugur, maka batang tampak seperti mati, pola pertumbuhan ini disebut monopodial. Daun Daun anggrek Phalaenopsis gigantea berjumlah 5-6 helai, dengan panjang daun mencapai 50-68,5 cm dan lebar 20-25,5 cm (O’Byrne, 2001). Daun tebal, tegar, membengkok membentuk busur dan menggantung ke bawah (menjuntai) sebagai tempat penyimpanan air karena anggrek Phalaenopsis bersifat monopodial dan tidak mempunyai pseudobulb (Iswanto, 2005). Bunga Bunga anggrek bulan raksasa (Phalaenopsis gigantea) tersusun dalam tandan yang tumbuh dari ketiak daun paling bawah dengan tangkai menjuntai sepanjang 40 cm. Jumlah bunga tiap tandan sekitar 20-30 kuntum dan masing masing bunga bergaris tengah 5 cm (O’Byrne, 2001). Menurut Iswanto (2005), bunga tersebut tersusun menurut pola baku, yaitu terdiri atas tiga buah kelopak bunga (sepal) dan tiga buah mahkota bunga (petal) (Gambar 2). Satu buah kelopak bunga terletak di punggung dinamakan kelopak punggung (sepalum dorsalum), sedangkan dua lainnya dinamakan daun kelopak samping (sepalum lateraria). Mahkota bunga ada tiga buah, posisinya berseling dengan kelopak bunga, tetapi salah satu mahkota bunga tersebut berubah menjadi bibir (labellum). 7 Gambar 2. Bunga Phalaenopsis gigantea. Pada pusat bunga terdapat alat kelamin jantan dan betina yang menjadi satu disebut gynostemium, yang berasal dari kata gynaecium atau putik dan stemona yang berarti benang sari. Ukuran kelopak bunga rata-rata lebih kecil atau sama dengan tajuk bunganya. Bibir bunga memiliki tiga penutup tengah yang terkadang berbulu halus. Bagian dalamnya berwarna ungu atau putih berbintik coklat kehitaman dengan tepung sari yang berbentuk dua bulatan kecil berwarna kuning dan bersayap, sedangkan bunganya berwarna hijau keputihan dengan bintik-bintik dan garis-garis kecil coklat kehitaman, yang mekar dalam periode 7-30 hari. Buah Phalaenopsis gigantea memiliki buah yang berbentuk jorong bergaris garis dengan panjang 10 cm atau lebih (O’Byrne, 2001). Apabila buah tua dibelah, akan terlihat lapisan menyerupai kapas yang dipenuhi beribu-ribu biji anggrek. Biji Biji Phalaenopsis gigantea menyerupai tepung dan berwarna kekuning kuningan atau kecoklat-coklatan. Bentuk mikroskopik biji Phalaenopsis menunjukan bahwa biji berbentuk elips dengan dua ujung lancip. 8 Habitat Tumbuh Phalaenopsis gigantea Phalaenopsis gigantea umumnya tumbuh di dataran rendah hingga tinggi, yaitu berkisar 1 - 1 000 meter di atas permukaan laut (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Suhu optimum yang dibutuhkan anggrek Phalaenopsis untuk fotosintesis dan respirasi ialah 21-26oC. Anggrek Phalaenopsis menyukai suhu minimum 16-18oC pada malam hari dengan suhu siang 24 oC (Setiawan dan Setiawan, 2008).Phalaenopsis gigantea menyukai kelembaban pada siang hari yaitu 50-70%., namun menyukai kelembaban yang lebih besar dari 70% di sekitar perakarannya sepanjang waktu (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 1999). Intensitas cahaya ideal untuk Phalaenopsis adalah 1 000-1 500 foot candles atau semi teduh (ternaungi) dengan intensitas cahaya matahari 20-50% (Gunawan, 1992). Kultur Jaringan Kultur jaringan secara luas dapat didefinisikan sebagai usaha mengisolasi, menumbuhkan, memperbanyak, dan meregenerasikan protoplas, sel utuh atau bagian tanaman seperti; meristem, tunas, daun muda, ujung akar, kepala sari, dan bakal buah dalam suatu lingkungan aseptik terkendali (Gunawan, 1992). Kultur jaringan ini berawal dari suatu konsep yang disebut konsep totipotensi sel yaitu tiap bagian dari tumbuhan tingkat tinggi dipisahkan dan dari setiap bagian-bagian yang dipisahkan itu dapat tumbuh menjadi tanaman lengkap (Arditti dan Ernst, 1993). Kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan metode perbanyakan tanaman lainnya, diantaranya adalah dapat menghasilkan bibit yang seragam dalam waktu singkat dan dengan produksi tinggi, sifat tanaman yang sama seperti induknya, kecepatan tumbuh bibit yang lebih cepat dibandingkan bibit hasil perbanyakan konvensional, serta tanaman yang relatif lebih sehat Armini et al., (1992) menyatakan bahwa keberhasilan perbanyakan tanaman kultur jaringan dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman, karakteristik eksplan, komposisi media, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan kultur. Kondisi 9 lingkungan dalam kultur in vitro sangat mempengaruhi keberhasilan kultur tanaman tertentu. Kultur Jaringan Anggrek Kultur jaringan anggrek pertama kali dicoba oleh Haberlandt pada tahun 1902, karena adanya sifat tanaman yang disebut totipotensi. Kemudian disusul oleh penelitian Morel tahun 1960 yang dipublikasikan mengenai perbanyakan tanaman anggrek secara kultur jaringan. Penemuan ini didukung oleh Wimber tahun 1963 yang berhasil mengadakan perbanyakan klon-klon anggrek Cymbidium secara kultur jaringan. Kultur jaringan anggrek yang sering digunakan adalah kultur tunas dibandingkan dengan kultur biji. Perbanyakan melalui biji jarang dilakukan karena dikhawatirkan adanya perbedaan genetik, sehingga planlet yang dihasilkan tidak seragam. Kultur tunas yaitu menumbuhkan meristem tunas, tunas apikal yang mengandung meristem apikal beserta dua atau lebih primodia daun dan juga dari kuncup lateral. Pertumbuhan kultur tunas anggrek dibutuhkan suhu antara 21-24o dan pemberian cahaya terus-menerus dengan intensitas 500-700 lumen. (Gunawan, 1992) Media yang sering digunakan pada kultur jaringan anggrek adalah media Vacin and Went dan KC. Namun media ini tidak mempunyai komposisi yang lengkap, sehingga dibutuhkan media yang komponennya lengkap untuk pertumbuhan yang optimal. Di era tahun 2000, protokol regenerasi tanaman Phalaenopsis direalisasikan menggunakan medium ½ konsentrasi nutrisi Murashige dan Skoog (½ MS) yang ditambahkan thidiazuron 0-1 mg/l dan 2,4dichloropenoxyacetic acid (2,4-D) 0-10 mg/l, sedangkan PLBs dapat dibentuk dari kalus tersebut pada medium ½ MS yang ditambah thidiazuron saja sebanyak 0,1-1 mg/l (Ying-Chun et al., 2000). 10 Bahan Organik Keberhasilan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan harus menyediakan unsur makro dan mikro tanaman selain karbohidrat yang biasa diberikan berupa gula. Gula berfungsi sebagai pengganti karbon yang biasa diperoleh dari atmosfer melalui fotosintesis. Hasil yang lebih baik akan diperoleh apabila ke dalam media kultur jaringan ditambahkan vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh. Walaupun penggunaan senyawa organik kompleks seperti juice, yeast extract, dan casein hydrolysate disarankan untuk dihindari, tapi terkadang hasil yang lebih tinggi diperoleh dengan adanya penambahan bahan-bahan tersebut. Ekstrak pisang merupakan komponen tambahan yang sangat populer pada media anggrek (Gunawan,1992). Jenis pisang yang umumnya digunakan sebagai bahan untuk media kultur jaringan yaitu jenis pisang ambon. Bubur pisang yang biasa digunakan berkisar 150-200 g/l. Kandungan pada buah pisang adalah vitamin A, tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), piridoksin (vitamin B6) dan asam askorbat (vitamin C), sedangkan gula dalam pisang terdiri atas senyawa 4,6% dextrosa, 3,6% levulosa, dan 2% sukrosa (PKBT, 2007). Penggunaan ekstrak ubi sering digunakan pada kultur Phalaenopsis. Media dengan penambahan ekstrak ubi dapat jaringan memacu pertumbuhan eksplan Phalaenopsis fuscata (Rahayu et al., 2010). Kandungan gizi pada 100 g ubi jalar yaitu karbohidrat, lemak, protein, mineral, kalsium, vitamin A, dan vitamin C. (Soeprapto, 1992) Ekstrak taoge sering digunakan dalam kultur jaringan anggrek. Komposisi dan nilai gizi pada 100 gram taoge yaitu kalori, protein, lemak, hidrat arang, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan air. Asam amino esensial yang terkandung dalam protein kacang hijau antara lain triptofan 1,35 %, treonin 4,50 %, fenilalanin 7,07 %, metionin 0,84 %, lisin 7,94 %, leusin 12,90 %, isoleusin 6,95 % dan valin 6,25 % (Soeprapto, 1992). Air kelapa dapat digunakan sebagai pelengkap dalam media kultur jaringan. Air kelapa telah diketahui sebagi sumber yang dapat digunakan untuk perkembangan embrio, diantaranya adalah sitokinin endogen (Wattimena, et al., 11 2003). Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang terdapat dalam air kelapa disamping senyawa lainnya. Zat pengatur tumbuh umumnya mendorong terjadinya pertumbuhan dan perkembangan sehingga terjadi perubahan dan penampilan tanaman (Prihatmanti, 2002). Sitokinin penting peranannya dalam pembelahan dan diferensiasi sel. Air kelapa mengandung gula dan gula alkohol yang selalu diberikan karena dapat memperbaiki pertumbuhan in vitro (Wattimena, 1991). Di dalam air kelapa juga terkandung sitokinin karena di dalamnya terdapat 1.3-difenilurea, zeatin, zeatin glukosida dan zeatin ribosida (Armini et. al., 1992). Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang dalam konsentrasi rendah mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Gunawan (1988) mengatakan bahwa dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Fungsi sitokinin dalam kultur jaringan adalah mendorong pembelahan sel-sel. Perbandingan konsentrasi sitokinin yang lebih tinggi daripada auksin akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan tunas, akan tetapi jika auksin lebih tinggi daripada sitokinin akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan akar. Bila sitokinin dan auksin memiliki konsentrasi yang sama, maka akan merangsang pertumbuhan dan pembentukan kalus. Sitokinin Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi dan mendorong pembelahan sel dan memperlambat proses penghancuran butir-buitr klorofil pada daun yang terlepas dari tanaman. Sitokinin juga berperan sebagai perkembangan dominasi apikal, perkembangan tunas adventif dan diferensial tunas . Sitokinin merupakan turunan adenine yang terdiri dari sitokinin alami yaitu zeatin dan 2-iP, dan sitokinin sitentik yang terdiri dari kinetin, Benzyl Amino Purine (BAP), PBA, 2Ci-4PU, dan 2,6Ci-4PU. Benzyl Amino Purine (BAP) merupakan satu kelompok sitokinin selain dari kinetin yang berfungsi untuk memacu perkembangan tunas lateral. (Watimmena, 1991) 12 Auksin Auksin merupakan salah satu golongan fitohormon baik alamiah maupun sinetik, yang dapat menginduksi pemanjangan sel dan juga dalam kasus pembelahan sel. Auksin mempunyai peran fisiologis yang dapat mempengaruhi tanaman yaitu, mendorong perpanjangan sel dan organ, mendorong pembentukan akar, mendorong gerakan trofisme, mendorong dominasi apikal, mencegah imbibisi, mendorong pembentukan kalus dan mendorong pembungaan (Gunawan, 1992). Auksin sintetik antara lain Napthalene Acetic Acid (NAA), IAA, IBA dan 2,4 D. Napthalene Acetic Acid (NAA) termasuk dalam auksin eksogen sehingga dapat menggantikan hormon IAA (auksin endogen). NAA berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan perakaran dan mendorong pertumbuhan stek dari tanaman berkayu dan tanaman berbatang lunak. Penambahan auksin pada konsentrasi yang rendah pada media akan mendorong pembentukan akar adventif, sedangkan pada konsentrasi tinggi cenderung membentuk kalus. Kitosan Kitosan adalah salah satu polimer alam yang dapat diperoleh dari berbagai jenis mahluk hidup. Kitosan ditemukan pada kulit ari dari serangga serta dalam dinding sel jamur dan ganggang (Sanford, 2002). Kitosan adalah polisakarida yang terdiri dari d-glukosamin dan N-asetil-d-glukosamin. Kitosan memiliki muatan positif yang kuat dan menarik molekul bermuatan negatif. Fisiologis yang unik dan sifat biologi kitosan telah menyebabkan penggunaannya dalam variabel industri untuk menghilangkan ion logam dari air limbah, penghapusan pewarna, penambahan untuk pakan ternak dan pencegahan kontaminan dalam industri makanan, kontrol kolesterol darah, dan sebagai aditif untuk kosmetik produk seperti pelembab, lotion mandi, dan krim wajah, tangan dan tubuh (Shahidi et al., 2001). Kitosan telah digunakan pula sebagai bahan pelapis untuk buah-buahan, biji-bijian dan sayuran (Photchanachai et al., 2006). 13 Chandrkrachang (2002) melaporkan bahwa kitosan semprot (10 mg/l) meningkatkan pertumbuhan tanaman anggrek muda. Limpanavech et al. (2003) mempelajari pengaruh konsentrasi, derajat deasetilasi dan polimerisasi kitosan, terhadap pertumbuhan dan perkembangan Dendrobium Sonia Jo 'Eiskul'. Oligomer dan polimer kitosan dengan 70, 80, dan 90% deasetilasi (% DD) pada konsentrasi 1, 10, 50 dan 100 mg/l tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif, tetapi kitosan menginduksi pembungaan awal pada Dendrobium Sonia Jo 'Eiskul'. Chandrkrachang (2002) melaporkan bahwa penyemprotan kitosan dengan konsentrasi 2,5-40 mg/l dapat meningkatkan panjang daun anggrek Paphiopedilum. Kliangkeaw et al. (2003) menambahkan bahwa kitosan dapat meningkatkan pertumbuhan Paph. bellatulum x Paph. angthong dalam kultur jaringan. Regenerasi Tanaman Metode kultur daun spesies Phalaenopsis sudah banyak dipublikasikan, namun masih terdapat kendala dalam proses regenerasi eksplan. Regenerasi tanaman anggrek pada kultur in vitro dapat membentuk embriogenesis dan organogenesis. Embriogenesis somatik atau embriogenesis aseksual adalah proses dimana sel-sel somatik berkembang menjadi embrio melalui tahap-tahap morfologi yang khas tanpa melalui fusi gamet. Organogenesis merupakan proses pembetukan organ-organ tanaman seperti tunas dan akar. Ciri utama dari proses embriogenesis somatik adalah pembentukan struktur bipolar dari eksplan somatik yang akhirnya membentuk kecambah dengan titik tumbuh akar dan daun pada masing-masing ujungnya secara serempak. Sedangkan proses organogenesis ditandai dengan pembentukan struktur unipolar yaitu hanya pembentukan titik tumbuh daun atau akar secara terpisah. Karena prosesnya mirip dengan perkembangan pada biji, tanaman klonal yang dihasilkan dengan teknik embriogenesis somatik secara morfologi sangat mirip dengan tanaman asal dari biji, sedangkan tanaman dari proses organogenesis bentuk tanaman mirip dengan tanaman asal stek. (Wiendi et al., 1991) 14 Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung maupun tidak langsung (melewati fase kalus). Keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati. Embrio somatik dapat dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan dalam skala besar, jumlahnya kadang-kadang dapat lebih ditingkatkan melalui inisisasi sel embrionik dari kultur suspensi yang berasal dari kalus primer. (Wiendi et al., 1991) Zat pengatur tumbuh berperan penting dalam menentukan arah pertumbuhan suatu kultur. Zat pengatur tumbuh 2,4-D merupakan auksin yang paling umum digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik. Selain auksin, zat pengatur tumbuh sitokinin juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel dalam proses embriogenesis somatik. Setiap genotip atau jaringan mempunyai respon yang berbeda dalam penyerapan zat pengatur tumbuh dalam medium dan memiliki kandungan zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda. Oleh karena itu dalam embriogenesis somatik kadang-kadang hanya dibutuhkan auksin, sitokinin secara sendiri-sendiri atau campuran auksin dan sitokinin. (Wattimena, 1991) .