pembahasan umum - IPB Repository

advertisement
PEMBAHASAN UMUM
Respon Kolesom terhadap Pemupukan Nitrogen + Kalium dan
Interval Panen
Aplikasi pupuk N+K sangat berpengaruh terhadap produksi protein dan
antosianin pucuk kolesom. Dosis pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
merupakan dosis standar yang dapat dijadikan sebagai pupuk dasar dalam
budidaya kolesom karena dapat menghasilkan produksi protein dan antosianin
pucuk kolesom yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis pupuk urea + KCl
yang lebih rendah, namun dosis pupuk urea + KCl yang diberikan hanya pada
awal tanam tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan hara kolesom selama masa
tanam 80 hari. Hal ini dapat terlihat dengan adanya penurunan hasil setelah umur
50 hari. Oleh karena itu dilakukan percobaan pemupukan secara bertahap dengan
meningkatkan total dosis urea + KCl.
Pemupukan secara bertahap dengan total dosis lebih tinggi dan 2/3 dosis
tersebut diberikan pada saat tanam, dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi
kolesom. Pemupukan urea + KCl dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
yang terbagi dalam 3 tahapan pemberian yaitu 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada
saat tanam; 25 kg urea + 25 kg KCl/ha masing-masing pada 30 dan 60 HST
mampu memberikan produksi protein dan antosianin tertinggi pada kolesom yang
dipanen sebanyak 3 kali selama periode tanam 90 hari. Tiga tahapan waktu
pemberian pupuk urea + KCl tersebut dapat direkomendasikan dalam budidaya
kolesom karena merupakan waktu yang bertepatan dengan masa perkembangan
kolesom yang membutuhkan peningkatan hara. Pemberian pupuk urea + KCl
pada awal tanam dibutuhkan kolesom untuk memulai pertumbuhan vegetatif, 30
HST merupakan masa perkembangan batang dan cabang, sedangkan 60 HST
merupakan masa transisi dari vegetatif ke reproduktif dan pembentukan umbi.
Pemberian pupuk urea + KCl pada umur 60 HST berperan penting untuk
meningkatkan kandungan hara dalam organ vegetatif agar tidak terjadi penurunan
hara secara drastis dan senescence dini pada saat terjadi remobilisasi hara ke
organ reproduktif. Pemberian pupuk urea + KCl dengan total dosis yang sama
tetapi dengan frekuensi yang lebih tinggi dalam percobaan ini menghasilkan
produksi protein dan antosianin yang lebih rendah karena dosis urea + KCl yang
diberikan pada setiap aplikasi menjadi lebih rendah dan tidak mencukupi
kebutuhan hara kolesom.
Upaya lain yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi protein dan
antosianin serta memperpanjang masa produksi kolesom adalah penambahan
pupuk melalui daun. Kombinasi antara pemupukan 0.2% urea + 0.1% KCl yang
diberikan secara bertahap melalui daun dengan pemupukan urea + KCl yang
diberikan melalui tanah hanya pada saat tanam atau secara bertahap bersamaan
dengan waktu aplikasi pupuk melalui daun menunjukkan bahwa pemberian pupuk
urea + KCl melalui daun tidak dapat meningkatkan produksi protein dan
antosianin pucuk kolesom jika dibandingkan dengan pemupukan urea + KCl
secara bertahap melalui tanah saja. Oleh karena itu, pupuk urea + KCl cukup
diberikan secara bertahap melalui tanah saja untuk meningkatkan produksi protein
dan antosianin pucuk kolesom.
Respon kolesom terhadap interval panen tampaknya terkait dengan
beberapa hal, yaitu proses recovery, rejuvenasi, dan organ source-sink. Proses
rejuvenasi pada kolesom akan berjalan lambat bahkan menurun apabila waktu
yang tersedia untuk proses recovery setelah pemanenan sangat pendek atau tidak
ada karena dilanjutkan dengan pemanenan berikutnya. Rejuvenasi yang terjadi
akibat pemanenan pucuk kolesom mengakibatkan pucuk kolesom menjadi organ
sink yang kuat dibandingkan organ lainnya. Kompetisi antara organ sink dapat
terjadi dengan perubahan interval panen. Pentingnya waktu yang cukup untuk
proses recovery pasca pemanenan dijelaskan oleh Kabi & Bareeba (2008) sebagai
sesuatu yang harus diperhatikan untuk meningkatkan produksi tanaman karena
pemanenan merupakan proses pelukaan terhadap jaringan tanaman.
Interval panen 15 hari dapat direkomendasikan untuk budidaya kolesom
yang mengutamakan hasil dan kualitas pucuk. Pemanenan pucuk dengan interval
15 hari menghasilkan produksi protein dan antosianin yang lebih tinggi selama
periode tanam 80 atau 90 hari dibandingkan pemanenan pucuk dengan interval 10
dan 30 hari. Pemanenan pucuk dengan interval panen 15 hari dapat menunda
waktu pembungaan dan masa senescence, tetapi tidak dapat menghambat
munculnya bunga setelah panen ke tiga yang menyebabkan penurunan hasil yang
ditandai dengan ukuran pucuk yang mengecil.
Hal ini menunjukkan bahwa
kolesom memiliki masa rejuvenasi yang terbatas yang menyebabkan penurunan
hasil dengan meningkatnya umur tanaman dan frekuensi panen.
Pemanenan pucuk kolesom dengan interval panen 10 dan 30 hari tidak
dapat direkomendasikan pada budidaya kolesom. Interval panen 10 hari
menyebabkan aktivitas rejuvenasi kolesom yang rendah, lebih cepat mengalami
penurunan hasil dan kualitas pucuk serta masa produksi yang lebih pendek
dibandingkan perlakuan interval panen yang lebih panjang. Masa produksi yang
pendek hanya sampai umur 60 HST ditandai dengan senescence dini yang diduga
terjadi akibat masa recovery pasca pemanenan yang pendek. Pemanenan pucuk
yang terlalu intensif dapat merusak jaringan dan mempercepat kematian.
Pemanenan pucuk dengan interval panen 30 hari menyebabkan kolesom lebih
cepat memasuki masa reproduktif yang ditandai dengan munculnya bunga dan
buah. Pemanenan yang dilakukan setelah masa reproduktif menghasilkan pucuk
dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan masa vegetatif. Oleh karena
itu akumulasi produksi pucuk selama periode tanam dengan interval panen 30 hari
menjadi rendah.
Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom yang mendapatkan
perlakuan pemupukan urea + KCl dan interval panen yang sama menunjukkan
fluktuasi antar percobaan dalam penelitian ini. Kolesom yang ditanam pada
kondisi curah hujan yang lebih tinggi menghasilkan bobot basah pucuk total,
kandungan protein dan antosianin yang lebih tinggi pula. Kolesom yang ditanam
pada kondisi curah hujan yang sama tetapi dalam wadah tanam yang berbeda
menghasilkan produksi protein dan antosianin yang berbeda pula. Penanaman
kolesom dalam polybag menghasilkan bobot basah pucuk total yang lebih rendah,
kandungan protein dan antosianin yang lebih tinggi dibandingkan penanaman di
lahan.
Berdasarkan paparan tersebut, maka penanaman kolesom harus
memperhatikan pula wadah tanam dan pengairan yang baik untuk mendapatkan
produksi protein dan antosianin pucuk layak jual yang tinggi.
Keterkaitan antara Pertumbuhan Tanaman Kolesom dengan
Perubahan Kandungan Protein dan Antosianin
Perubahan kandungan protein pucuk sebagai respon atas berbagai
perlakuan pupuk urea + KCl dan interval panen pada seluruh percobaan dalam
penelitian ini tidak memiliki keterkaitan dengan perubahan biomassa yang
menjadi parameter pengamatan komponen pertumbuhan, sedangkan keterkaitan
antara perubahan kandungan antosianin dengan perubahan biomassa bervariasi
antar percobaan.
Korelasi positif antara kandungan antosianin pucuk dengan biomassa
kolesom yang meliputi bobot basah daun dan pucuk, bobot basah dan kering
batang maupun umbi hanya terjadi pada saat kolesom mendapatkan perlakuan
pemupukan urea + KCl yang hanya diberikan pada awal tanam dan pemanenan
berulang selama periode tanam 80 hari. Keterkaitan tersebut bertentangan dengan
beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kandungan antosianin akan
berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan tanaman yang dicerminkan oleh
biomassa tanaman (Kytridis et al. 2008; Guo et al. 2011). Korelasi positif antara
kandungan antosianin dengan biomassa dapat terjadi dengan mengikuti konsep
―over flow metabolism‖ yang menyatakan pada saat hasil fotosintesis melebihi
kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman, maka kelebihan C akan disumbangkan
untuk biosintesis metabolit sekunder berbasis C (Matsuki 1996). Jika konsep ini
dikaitkan dengan pertumbuhan kolesom, maka ada kemungkinan bahwa kolesom
mengalami suatu kondisi yang menyebabkan suatu urgensi pembagian hasil
asimilasi secara proporsional untuk pembentukan biomassa dan biosintesis
antosianin.
Tidak diketahui secara pasti kondisi apa yang menyebabkan
terjadinya peristiwa tersebut dalam percobaan ini, namun
tampaknya ini
merupakan suatu mekanisme kolesom untuk mempertahankan eksistensi
pertumbuhannya dalam suatu kondisi tidak menguntungkan bagi peningkatan
biomassa tanaman yang membutuhkan sinergisme dengan antosianin. Manetas
(2006) menyatakan bahwa peranan antosianin seringkali tidak dapat diketahui
secara pasti karena sangat tergantung kepada spesies, fase perkembangan tanaman
dan lingkungan. Adanya korelasi positif antara kandungan senyawa metabolit
berbasis C dengan biomassa
yang dianggap mengikuti konsep ―over flow
metabolism‖ ditemukan oleh Mosaleeyanon et al.
(2005) pada tanaman
Hypericum perforatum L. Korelasi positif antara kandungan antosianin dengan
biomassa tanaman terdapat pada hasil penelitian Yu-fan et al. (2008) pada ubi
jalar, namun hasil ini tidak konsisten pada berbagai varietas dan fase
perkembangan tanaman.
Perubahan kandungan antosianin pucuk tidak memperlihatkan keterkaitan
dengan biomassa kolesom pada percobaan pemupukan urea + KCl secara bertahap
baik melalui tanah dan daun maupun kombinasi keduanya yang dipanen secara
periodik selama periode tanam 90 hari. Hal ini dapat disebabkan karena
pemberian pemupukan urea + KCl secara bertahap baik melalui tanah dan daun
maupun kombinasi keduanya pada kolesom yang dipanen secara periodik mampu
memberikan keseimbangan antara laju rejuvenasi dan pertumbuhan total tanaman.
Pernyataan ini didasarkan pada biomassa yang lebih besar antara kolesom yang
mendapatkan pupuk urea + KCl secara bertahap dibandingkan diberikan hanya
pada awal tanam. Oleh karena itu, konsep ―over flow metabolism‖ tidak berlaku
pada kolesom yang mendapatkan pemupukan urea + KCl secara bertahap.
Perubahan kandungan protein dan bobot basah pucuk pada setiap
percobaan terlihat memiliki pola yang sama yaitu mengikuti fase perkembangan
tanaman. Kandungan protein dan bobot basah pucuk kolesom terus meningkat
seiring dengan pertambahan umur tanaman dalam masa vegetatif dan mengalami
penurunan pada saat memasuki masa reproduktif. Pola perubahan kandungan
protein dan bobot basah pucuk yang sama mengikuti fase perkembangan tanaman
juga ditemukan oleh Abbasi et al. (2011) pada tanaman bayam yang mendapatkan
perlakuan berbagai interval panen dan dosis pupuk N.
Peningkatan bobot basah pucuk pada masa vegetatif kolesom terjadi
karena peningkatan aktivitas rejuvenasi pasca pemanenan pucuk yang berulang
dan pemupukan urea + KCl. Unsur N dan K yang terkandung dalam pupuk
tersebut sangat berperan dalam peningkatan bobot basah pucuk sejalan dengan
penjelasan Kanzikwera et al. (2001) yang menyatakan bahwa sinergisme antara
unsur N dan K menyebabkan peningkatan sitokinin yang merupakan fitohormon
penting untuk pertumbuhan vegetatif.
Srivastava (2002) menunjukkan bahwa
sitokinin dapat mendorong aktivitas pembelahan dan pembesaran sel pada
jaringan tumbuhan.
Peningkatan aktivitas rejuvenasi akan menyebabkan pucuk menjadi organ
sink yang kuat, oleh karena itu terjadi translokasi hara yang tinggi ke pucuk.
Akumulasi hara N pada pucuk menyebabkan antara lain peningkatan asam amino
yang disintesis menjadi protein, sehingga protein yang terkandung dalam pucuk
sebenarnya merupakan deposit sementara asam amino pada masa vegetatif
sebelum diremobilisasi ke organ lain.
Penurunan kandungan protein dan bobot basah pucuk setelah umur 50 atau
60 hari terjadi karena kolesom memasuki masa reproduktif yang menyebabkan
terjadinya kompetisi dalam pembagian asimilat antara pucuk dengan organ sink
lain yang terbentuk. Kompetisi tersebut menyebabkan menurunnya suplai asimilat
dari tajuk ke akar, sehingga pertumbuhan akar terganggu dan terjadi penurunan
penyerapan hara N oleh akar. Peng et al. (2010) melaporkan bahwa perbedaan
laju penyerapan hara N oleh akar antara masa vegetatif dan reproduktif ditentukan
oleh jumlah permintaan hara yang dikendalikan oleh potensial pertumbuhan tajuk.
Penurunan
penyerapan
hara
oleh
akar
pada
masa
reproduktif
mengakibatkan remobilisasi hara N dari pucuk ke organ reproduktif sehingga
terjadi penurunan kandungan protein pada pucuk kolesom. Mekanisme
remobilisasi N yang dilaporkan oleh Barneix (2007) menunjukkan bahwa
remobilisasi dilakukan oleh enzim proteolitik yang menghidrolisis protein daun
dan melepaskan asam amino untuk ditransportasikan ke organ sink lain.
Konsentrasi asam amino yang dilepaskan tergantung kepada total konsentrasi N
dan metabolisme fotosintesis, sedangkan komposisi asam amino tergantung
kepada spesies tanaman. Pentingnya remobilisasi hara N dari daun dijelaskan
oleh Noquet et al. (2004) sebagai bentuk konservasi hara dalam tanaman untuk
menjamin kelangsungan hidupnya selama siklus perkembangan tanaman.
Penurunan bobot basah pucuk yang terjadi pada masa reproduktif karena
pucuk yang dihasilkan mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan pada
masa vegetatif. Menurunnya bobot basah pucuk kolesom pada masa reproduktif
dapat mencerminkan adanya penurunan aktivitas meristem apikal. Penurunan
produksi pucuk tanaman anggur pada saat aktivitas meristem apikal menurun
dilaporkan oleh Grechi et al. (2007) karena rendahnya suplai hara N ke pusat
pertumbuhan pucuk untuk pembentukan materi dinding sel baru (xyloglucan).
Percobaan pemupukan urea + KCl secara bertahap baik melalui tanah dan
daun atau kombinasi keduanya menunjukkan bahwa kandungan klorofil memiliki
pola perubahan yang sama dengan kandungan protein dan bobot basah pucuk
selama fase pertumbuhan kolesom, sedangkan pemupukan urea + KCl yang
diberikan hanya pada awal tanam menghasilkan kandungan klorofil pucuk
kolesom yang terus menurun sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan klorofil dapat menjadi indikator sederhana dalam
menentukan kecukupan hara bagi kolesom.
Perubahan kandungan antosianin pucuk berdasarkan fase pertumbuhan
kolesom dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 pola, yaitu : (1) terus menurun
sejalan dengan pertambahan umur tanaman; (2) terus menurun sejalan dengan
pertambahan umur tanaman kemudian mengalami peningkatan pada umur 60 atau
90 HST. Meskipun demikian, kandungan antosianin selalu terdeteksi pada pucuk
kolesom sejak awal panen baik pada umur 20 maupun 30 HST hingga panen
terakhir baik pada umur 80 maupun 90 HST.
Hal ini menunjukkan bahwa
antosianin merupakan tipe komponen yang permanen dalam pucuk kolesom dan
bukan tipe inducible anthocyanin.
Kandungan antosianin pucuk kolesom yang terus mengalami penurunan
sejalan dengan pertambahan umur tanaman terjadi pada saat kolesom
mendapatkan perlakuan pemupukan urea + KCl hanya pada awal tanam dan
dipanen setiap 15 atau 30 hari sekali selama periode 80 hari.
Peristiwa ini
menunjukkan bahwa antosianin dalam pucuk kolesom lebih banyak terakumulasi
pada masa awal pertumbuhan saja dan diduga antosianin dalam fase ini berperan
sebagai juvenile anthocyanin. Istilah tersebut digunakan oleh Chalker-Scott
(2002) yang menunjukkan bahwa antosianin pada pucuk berperan sebagai penjaga
turgor sel dalam level yang tinggi sehingga mendorong ekspansi dinding sel untuk
perkembangan daun sampai pada ukuran yang optimal. Penurunan yang terjadi
dengan pertambahan umur terjadi karena adanya pengenceran pigmen antosianin
pada jaringan sejalan peningkatan pertumbuhan.
Penurunan kandungan antosianin pucuk sejalan dengan pertambahan umur
tanaman kemudian kembali meningkat pada umur 60 HST terjadi pada kolesom
yang mendapatkan perlakuan pemupukan urea + KCl hanya pada awal tanam dan
dipanen setiap 10 hari sekali selama periode 80 hari, sedangkan peningkatan
kembali kandungan antosianin pada umur 90 HST terjadi pada kolesom yang
mendapatkan pemupukan urea + KCl secara bertahap yang dipanen 15 atau 30
hari sekali dengan panen terakhir pada umur 90 HST. Berdasarkan deskripsi
tersebut maka peningkatan kembali kandungan antosianin pucuk kolesom dalam
masa pertumbuhan tanaman karena kolesom mengalami stres abiotik yang
disebabkan oleh (1) peningkatan frekuensi panen; (2) pertambahan umur panen
terakhir. Stres yang dialami kolesom yang mendapatkan perlakuan interval panen
10 hari menyebabkan senescence dini sehingga hanya dapat memproduksi pucuk
sampai umur 60 HST saja.
Peningkatan kandungan antosianin pada saat kolesom mengalami stres
akibat pemanenan pucuk dapat dikaitkan dengan peranan antosianin sebagai
modulator sinyal stres dan antioksidan dengan mekanisme yang berlaku umum
pada tanaman seperti yang dilaporkan oleh Hatier & Gould (2008) dan
ditunjukkan oleh Gambar 31.
Laporan Hatier & Gould (2008) menjelaskan bahwa stres yang dialami
oleh tanaman membawa serta gelombang reactive oxygen species (ROS) misalnya
H2O2 yang membahayakan tanaman dengan menggangu berbagai proses
metabolisme sel. Tanaman harus memiliki suatu mekanisme untuk menurunkan
atau menetralkan ROS untuk mencegah kerusakan oksidatif.
Salah satunya
adalah dengan cara memproduksi antosianin pada sel daun.
Antosianin
berinteraksi langsung dengan sinyal stres dengan cara menyerap sebagian energi
cahaya pada kloroplas untuk mengurangi laju produksi ROS karena kloroplas
merupakan tempat akumulasi ROS pada saat tanaman mengalami cekaman.
selanjutnya antosianin juga bertindak sebagai antioksidan untuk melindungi
jaringan tanaman yang sehat dengan memerangkap berbagai radikal bebas dalam
vakuola
untuk
menghambat
keseimbangan ROS dalam sel.
pergerakan,
melemahkan
dan
mengatur
Gambar 31 Mekanisme antosianin sebagai modulator sinyal stres. Interaksi positif
(panah) dan negatif ( T bar) (Hatier & Gould 2008)
Keterkaitan antar Komponen Fisiologis Kolesom dengan
Perubahan Kandungan Protein dan Antosianin
Kandungan protein pucuk kolesom dari berbagai percobaan dalam
penelitian ini secara konsisten menunjukkan tidak ada keterkaitan dengan
kandungan antosianin dan secara konsisten berbagai perlakuan pemupukan urea +
KCl sampai pada dosis tertentu hanya berpengaruh terhadap kandungan protein
dan tidak berpengaruh terhadap kandungan antosianin pucuk kolesom. Konsep
mengenai kompetisi antara biosintesis kandungan protein dan antosianin untuk
memperoleh fenilalanin dalam jalur shikimat (Gambar 32) sehingga menghasilkan
korelasi negatif antara keduanya seperti yang dikemukakan oleh Bragazza &
Freeman (2007) dan Stefanelli et al. (2010) tidak ditemukan dalam penelitian ini.
Merujuk pada data yang terdapat pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa
kandungan asam amino tertinggi yang terdapat pada daun kolesom adalah asam
glutamat, leusin, dan asam aspartat maka protein yang dihasilkan oleh daun
kolesom lebih banyak disintesis melalui senyawa asam α-ketoglutarat dan
oksaloasetat yang berasal dari siklus krebs dibandingkan dengan jalur shikimat.
Oleh karena itu, kemungkinan sintesis protein melalui siklus krebs merupakan
penyebab ketiadaan korelasi antara kandungan protein dan antosianin. Siklus
krebs merupakan fase respirasi dalam sel tumbuhan yang merupakan kelanjutan
dari glikolis, sedangkan jalur shikimat merupakan serangkaian reaksi yang
menghasilkan asam amino aromatik dan senyawa fenol dengan menggunakan
asam shikimat sebagai prekursor. Asam shikimat terbentuk dari fosfoenolpiruvat
dari lintasan respirasi glikolisis dan eritrosa-4-fosfat dari lintasan pentosa fosfat.
Ketiadaan korelasi antara protein dan antosianin juga ditemukan oleh Vaknin et
al. (2005) pada bunga Brunfelsia calycina yang menunjukkan bahwa degradasi
protein tidak menyebabkan perubahan terhadap kandungan antosianin.
Gambar 32 Jalur mekanisme biosintesis protein dan antosianin (Sullivan 1998)
Berdasarkan penjelasan Oren-Shamir (2009) mengenai pigmen antosianin
pada berbagai organ tanaman, maka pigmen antosianin yang terdeteksi pada
pucuk kolesom yang selalu berwarna hijau mengindikasikan bahwa kandungan
antosianin tersebut berada pada level rendah dan diproduksi dengan laju
biosintesis yang lambat. Oleh karena itu, tampaknya kolesom memiliki suatu
mekanisme sendiri untuk terus memproduksi antosianin dengan jumlah tertentu
dan menjadi komponen yang permanen dalam pucuk kolesom dalam siklus
hidupnya tanpa mengganggu sintesis protein.
Perubahan kandungan protein pucuk kolesom pada berbagai percobaan
dalam penelitian ini secara konsisten menunjukkan keterkaitan yang erat dan
berkorelasi positif terhadap kandungan klorofil, kecuali pada percobaan
kombinasi pupuk urea + KCl yang diberikan melalui tanah dan daun. Keterkaitan
antara kandungan protein dan klorofil pucuk kolesom disebabkan oleh keterkaitan
biosintesis antara keduanya yang secara umum juga terjadi pada tanaman lain.
Heldt (2005) menyatakan bahwa sintesis protein dan klorofil membutuhkan
glutamat sebagai prekursor. Glutamat merupakan hasil asimilasi N yang telah
melalui siklus metabolisme dalam sel. Mekanisme sintesis protein dan klorofil
dengan prekursor glutamat dijelaskan oleh Richter et al. (2010) melalui langkahlangkah sebagai berikut : (1) glutamat berligasi dengan tRNAglu menjadi glutamyl
tRNA reductase (Glu-tRNA) dikatalisis oleh glutamyl–tRNA synthetase (GluRS);
(2) Glu-tRNA memasuki 2 percabangan biosintesis tanpa kompetisi; (3)
percabangan 1 : Glu-tRNA ditransaminasi menghasilkan protein ; (4) percabangan
2 : Glu-tRNA direduksi menjadi glutamat 1- semialdehyde (GSA) oleh enzim
glutamyl-tRNA reductase (GluTR) yang kemudian ditransaminasi menjadi 5aminolevulinic acid (ALA) yang diubah menjadi klorofil sebagai produk akhir.
Keterkaitan antara sintesis protein dan klorofil dengan perkembangan plastida
juga telah ditemukan oleh Drum & Margulies (1970)
pada daun buncis
(Phaseolus vulgaris) yang menunjukkan bahwa kemampuan plastida untuk
mensintesis protein akan meningkat selama plastida aktif berkembang dan
membelah untuk membentuk struktur lamela kloroplas dalam proses sintesis
klorofil. Plastida merupakan organel yang akan berkembang menjadi kloroplas
untuk menghasilkan klorofil, selain itu plastida juga merupakan bagian dari
ribosom yang memiliki kromosom sirkular sebagaimana enzim untuk duplikasi
gen, ekspresi gen, dan sintesis protein.
Ketiadaan korelasi antara kandungan protein dan klorofil dalam pucuk
yang terjadi pada saat kolesom mendapatkan kombinasi pemupukan urea + KCl
yang diberikan melalui tanah dan daun karena perlakuan tersebut hanya
mempengaruhi kandungan klorofil dan tidak berpengaruh terhadap kandungan
protein pucuk kolesom. Pengaruh yang berbeda ini menunjukkan bahwa sintesis
protein pucuk kolesom memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada klorofil
terhadap pemupukan urea + KCl. Sensitivitas sintesis protein pucuk kolesom
diduga terkait dengan perubahan kondisi larutan sel sebagai respon terhadap
pemupukan urea + KCl yang diberikan.
Sideris (1946) menyatakan bahwa
perubahan kemasaman atau pH larutan sel dengan nilai yang tidak sesuai dengan
titik isoelektrik protein akan mempengaruhi sintesis protein dan mengubah
korelasi antara protein dan klorofil. Ketiadaan korelasi antara protein dan klorofil
ditemukan oleh Botha et al. (2006) pada daun kentang karena perbedaan pengaruh
kandungan N terhadap kandungan protein dan klorofil antar kultivar.
Seluruh percobaan dalam penelitian ini menunjukkan secara konsisten
bahwa tidak terdapat keterkaitan antara kandungan antosianin dengan klorofil
pucuk kolesom. Hal ini dapat mencerminkan bahwa antosianin dalam pucuk
kolesom tidak berperan penting sebagai photoprotectant. Penjelasan ini
didasarkan hasil laporan Stintzing & Carle (2004), Kytridis et al. (2008), dan
Oren-Shamir (2009) yang menyatakan bahwa antosianin dapat berperan sebagai
photoprotectant pada saat kandungan klorofil masih rendah atau terdegradasi
sehingga terdapat korelasi negatif antar keduanya.
Keterkaitan antara kandungan protein dan gula pucuk kolesom sangat
bervariasi antar percobaan. Korelasi antara kandungan protein dan gula tidak
ditemukan dalam pucuk kolesom yang dipanen secara periodik dan mendapatkan
pemupukan urea + KCl baik yang dilakukan hanya pada awal tanam maupun
secara bertahap melalui tanah atau kombinasi melalui tanah dan daun. Ketiadaan
korelasi tersebut dapat dipahami karena secara konsisten peningkatan kandungan
protein pucuk kolesom yang dipanen secara periodik sejalan dengan peningkatan
dosis urea+KCl sampai pada dosis tertentu, sedangkan kandungan gula sangat
fluktuatif dan tidak memperlihatkan pola yang jelas. Adanya fluktuasi gula dalam
pucuk kolesom diduga terkait dengan mekanisme sintesis gula yang dijelaskan
oleh Heldt (2005) bahwa sintesis gula sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi fotosintesis seperti CO2, cahaya, dan temperatur. Oleh karena itu,
akumulasinya pada daun tergantung kepada laju fotosintesis dan penggunaan
asimilat pada organ lain.
Korelasi positif antara protein dan gula dalam pucuk kolesom yang
dipanen secara periodik ditemukan pada percobaan berbagai frekuensi
penyemprotan pupuk urea + KCl melalui daun setelah pemberian pupuk urea +
KCl melalui tanah pada saat tanam. Belum ada penelitian yang membuktikan
secara pasti tentang korelasi positif antara kandungan protein dan gula. Aplikasi
pupuk urea + KCl melalui daun diduga merupakan penyebab utama terjadinya
korelasi positif antara kandungan protein dan gula dalam pucuk kolesom. Hal ini
mengacu pada hasil penelitian Smolen & Sady (2009) pada tanaman wortel yang
menunjukkan bahwa aplikasi pupuk daun menyebabkan penurunan reaksi apoplas
sel daun sehingga meningkatkan aktivitas enzim acid invertase yang
menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa, kemudian melalui reaksi
biokimia kedua molekul ini berperan sebagai penyedia ―C skleton‖ yang
digunakan untuk penggabungan N menjadi senyawa organik N. Peristiwa ini
menyebabkan peningkatan akumulasi gula pada daun wortel sejalan dengan
peningkatan sintesis senyawa organik N dan menurunkan translokasi gula ke
organ lain.
Pengaruh pemupukan urea + KCl dan interval panen terhadap kandungan
antosianin dan gula pucuk kolesom dalam penelitian ini sangat tidak konsisten,
sehingga mempengaruhi korelasi antara keduanya.
Korelasi positif antara
kandungan antosianin dan gula pada penelitian ini ditemukan pada percobaan
berbagai dosis pupuk urea + KCl yang diberikan hanya pada awal tanam pada
berbagai interval panen, di mana semakin panjang interval panen akan
meningkatkan baik kandungan antosianin dan gula. Korelasi tersebut mendukung
hasil penelitian Hara et al. (2003) pada hipokotil lobak yang menunjukkan bahwa
gula berperan sebagai molekul sinyal dengan cara mengaktifkan gen yang
mengkodekan enzim chalcone synthase (pembentukan naringenin chalcone) dan
anthocyanidin
synthase
(pembentukan
anthocyanidins)
dalam
biosintesis
antosianin.
Adanya perbedaan pengaruh pupuk urea + KCl dan interval panen
terhadap kandungan antosianin dan gula menjadikan korelasi antar keduanya tidak
ditemukan lagi pada percobaan-percobaan berikutnya. Mengacu kepada berbagai
hasil penelitian diduga bahwa ketidakstabilan korelasi antara kandungan
antosianin dan gula dalam pucuk kolesom terjadi karena beragamnya mekanisme
gula dalam mempengaruhi biosintesis antosianin, antara lain:
1.
Respon gula terhadap biosintesis antosianin tampaknya lebih dipengaruhi
oleh perubahan fluks/aliran transportasi gula dibandingkan kandungan
gula dalam sel daun.
Gangguan transportasi gula dalam floem yang
ditemukan oleh Murakami et al. (2008) menyebabkan akumulasi gula
yang sejalan dengan peningkatan antosianin dalam daun mapel, sedangkan
berbagai konsentrasi gula yang diaplikasikan dalam penelitian Hara et al.
(2003) tidak dapat meningkatkan kandungan antosianin daun lobak.
2.
Respon gula terhadap biosintesis antosianin merupakan pengaruh interaksi
gula dengan fitohormon. Pernyataan ini didasarkan pada hasil penelitian
Hiratsuka et al.
(2001) pada tanaman anggur menunjukkan aktivasi
ekspresi gen dalam biosintesis antosianin oleh gula dimediasi oleh hormon
ABA.
Adanya korelasi yang tidak konsisten antara antosianin dan gula yang
terkandung dalam pucuk dapat menunjukkan bahwa pucuk kolesom bukan organ
yang tepat untuk mempelajari kedua senyawa tersebut. Penelitian Hara et al.
(2003) menunjukkan bahwa kerkaitan antara kandungan antosianin dan gula
dalam pucuk lobak tidak dapat dipelajari dengan baik karena pucuk bukan
merupakan tempat akumulasi kedua senyawa tersebut. Konsistensi korelasi antara
kandungan antosianin dan gula pada berbagai penelitian terlihat pada organ
reproduktif tanaman yaitu bunga dan buah (Hiratsuka et al. 2001; Hara et al.
2003; Bodelon et al. 2010).
Potensi Pucuk Kolesom sebagai Sayuran Bergizi Berkhasiat Obat
Kandungan protein pucuk tertinggi pada seluruh percobaan ini yaitu
sebesar 19.51 mg/g bobot basah atau sebesar 1.95%. Kandungan protein ini
masih lebih rendah daripada kandungan protein daun kolesom berdasarkan bobot
basah yang dilaporkan oleh Aletor & Adeogun (1995) dan Saidu & Jideobi yaitu
masing-masing secara berurutan sebesar 2.50 dan 2.52%. Perbedaan lokasi dan
iklim dalam pelaksanaan penelitian dapat menyebabkan perbedaan kandungan
protein tersebut.
Kandungan antosianin pucuk tertinggi pada seluruh percobaan yaitu
sebesar 0.22 µmol/g bobot basah tetapi kadar tersebut tidak dapat dibandingkan
karena belum ada penelitian yang memberikan standar untuk kandungan
antosianin dalam sayuran daun. Meskipun dengan kadar yang beragam, namun
antosianin selalu tersedia dalam pucuk kolesom pada semua umur panen dan
dapat memberikan fungsi antioksidan pada saat dikonsumsi.
Peningkatan kandungan protein dan antosianin secara bersamaan dalam
pucuk kolesom layak jual tidak dapat dicapai pada penelitian ini. Meskipun
demikian, produksi protein dan antosianin pucuk kolesom selama masa tanam
dapat dijadikan parameter yang menggambarkan total kandungan protein dan
antosianin yang terakumulasi dalam pucuk kolesom yang dihasilkan dan dapat
dijadikan pertimbangan dalam budidaya sayuran kolesom yang mengutamakan
hasil dan kualitas.
Upaya peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom
dengan pemupukan nitrogen+kalium dan interval panen dalam penelitian ini dapat
memberikan informasi awal dalam rangka penyusunan GAP sayur kolesom
berkhasiat obat karena telah memenuhi sebagian dari tujuan dan ruang lingkup
pedoman budidaya buah dan sayur yang baik berdasarkan Peraturan Menteri
Pertanian No.48/Permentan/OT.140/2009. Tujuan dari penyusunan GAP yang
telah terpenuhi adalah meningkatkan produksi dan produktivitas serta mutu hasil,
sedangkan perlakuan pemupukan dan interval panen termasuk dalam ruang
lingkup GAP.
Download