perempuan dalam rengkuhan syariah dan hak asasi

advertisement
PEREMPUAN DALAM RENGKUHAN
SYARIAH DAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh: Suyatno1
Abstract: Islam since the beginning of the whole ummah’s mandated to protect and put women in a safe position. So that
embraces syar’i, women are actually safe and respectable position. But in reality, many obstacles and hurdles that actually
invented by the Muslims themselves. The majority of Islamic legal interpretation and the results are written by scholars and
men often bring bias in their views. Patriarchal culture has marginalized women, denying women as caliph fil ard, and deny
justice teachings promoted by the Qur’an. Ideal-normative Islam does not differentiate between men and women, let alone
discriminate against women. As carrier safety and kerahmatan entire universe (rahmatan li al-’aalamiin), Islam puts
women’s position as evidence of primacy. Women are not appreciated at the time of ignorance, with the arrival of Islam he
earned a place of honor, getting an education, open a wider kesempatann for actualization and self-development.
Kata kunci: Perempuan, HAM, Syar’i
Pendahuluan
Problem yang perlu ditegaskan dalam artikel ini yaitu, bahwa pemahaman dan interpretasi yang
salah dari sebagian kalangan dalam mendiskripsikan hak-hak perempuan dan kewajibannya, adalah sisi
lain dari rentannya penodaan dan klaim Islam biang keladi dan legetimator tindakan diskriminasi terhadap
perempuan. Oleh karena itu, artikel ini melihat perlu meluruskan kesalahpahaman dalam interpretasiinterpretasi tentang ajaran Islam terutama menyangkut pembahasan tentang relasi perempuan dengan
kaum laki laki serta menempatkan relasi tersebut secara proporsional berdasarkan konteks materi Khutbah
(pidato) haji Wada’ Nabi Muhammad Saw, yang dipandang sebagai deklarasi Islam tentang Hak Asasi
Manusia (HAM).
Kaum perempuan sejak lama telah menjadi pemikiran terhadap keamanan dan privasinya sebagai
bagian dari manusia yang seharusnya mendapat perlindungan atas hak-hak asasinya. Islam dalam hal
perlindungan ini, justeru sejak awal mengamanatkan kepada seluruh ummatnya untuk melindungi dan
menempatkan wanita dalam posisi aman.
Dalam arti lain, yang menjadi orientasi penulis adalah melakukan reinterpretasi pemahaman bahwa Islam
adalah benar-benar tidak diskriminatif terhadap perempuan, sekaligus sebagai manifestasi dari makna aktualisasi
HAM; dengan bukti yang terdapat dalam konten khutbah haji wada’ oleh Nabi Muhammad yang akan menjadi
uraian analisis dalam peneniltian ini yaitu kata “… ¥>ÆČEA¿
C˜¦AÌ=Ā÷¦Ŀ© ¥ĆBÓĆE °EË¥ ” yang akan menjadi pembahasan
serta relevansinya bagi perlindungan terhadap hak-hak perempuan dalam Islam sebagai fokus utama
dalam penelitian ini.
Pembahasan
A. Perempuan dalam Dekapan Syariah
Penjelasan tentang relasi perempuan dan laki-laki serta hak-hak kaum perempuan perspektif Islam, telah banyak di ulas dalam berbagai momen seperti: seminar, diskusi, lokakarya bedah buku dan
1. Penulis adalah Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Semarang.
Perempuan dalam Rengkuhan Syariah dan Hak Asasi Manusia (Suyatno)
147
karya-karya ilmiah lainnya. Termasuk juga tanggapan dari para kaum feminis barat maupun timur bahkan
konon pembahasan mengenai kesetaraan gender yang merupakan bagian dari perjuangan hak-hak
perempuan di Negara barat telah menjadi cabang dari disiplin ilmu. Salah satu buku yang sangat
komprehensif yang membahas tentang hak-hak perempuan, adalah dua buah karya karya Abdu al- Razzaq
Bin Abdul Muhsin Al-Badar, berjudul Takrîmu al-Islâm Lî al-Mar’ah, (Madinah: Al-Maktabah Malik
Fahd al-Wathaniyah, 2009) dan Khuthab Wa Mawâidzu Min Hajjaa ti al-Wada’i, (Madinah: Al-Maktabah
Malik Fahd al-Wathaniyah, 2005). Dua karya tersebut merupakan master pice dari pemikiran Abdur
Razzaq kaitannya dengan potret perempuan dalam Islam. Dalam karya Takrîmu al-Islâm Lî al-Mar’ah, ia
menjelaskan normativitas baik yang berbentuk dalil-dalil al-Qur’an maupun Hadits tentang posisi
perempuan dalam Islam di mana Islam telah memberikan penghormatan (pemulyaan) terhadap kaum
perempuan. Sebuah karya yang perlu diapresiasi, karena di dalamnya terdapat asumsi bahwa Islam
notabene sangat memulyakan perempuan yang mungkin tidak dimiliki oleh agama lain.
Dalam Khuthab Wa Mawâidzu Min Hajjaa ti al-Wada’i menjelaskan pilar-pilar kemanusiaan dengan
memberikan apresiasi terhadap Hak asasi Manusia secara umum terutama hak-hak kaum perempuan
secara khusus, kerena Nabi meredaksikannya dengan wasiah (wasiat) yang berkonotasi lebih dari sekadar
perintah bagi kaum bani Adam untuk berbuat baik kepada kaum perempuan dan memperlakukan secara
bermartabat dan ramah, termasuk kewajiban untuk memenuhi hak-haknya baik privat maupun publik.
Hasil dan tawaran dalam karya ini, memberikan respon positif terhadap asumsi perempuan yang
cenderung negatif, menjadi produktif berdasarakan konten khutbah haji wada’. Seorang penulis
kontemporer Timur Tengah Robi’ al-Madkholi menulis dalam karyanya al-Huquq Wal-Wajibaat ‘ala arRijali Wan-Nisai fi al-Islami (hak-hak dan kewajiban kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam Islam)
dalam buku ini beliau berusaha meluruskan stigma negatif sebagian orang (kaum feminis Liberal) terhadap
Islam atas pendiskriminasian kaum perempuan, beliau berusaha untuk meletakkan permasalahan dengan
pendekatan ideal normatif, sehingga perempuan secara komprehensif dapat dipahami bukan dengan
diskriminatif, tetapi lebih ramah dan penghargaan yang sangat tinggi terhdap perempuan.
Selanjutnya, Nasaruddin Umar menulis buku berjudul Argumen kesetaraan Gender, dalam karyanya
ia berusaha membangun Epistimologi Gender berbasis al-Qur’an dengan berusaha memaparkan ayatayat yang berkaitan dengan perempuan kemudian menganalisanya demgam berbagai pendekatan disiplin
ilmu moderen sehingga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pesan universal al-Qur’an adalah
pengakuan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dari kalangan Feminis Islam Internasional Amina
Wadud Muhsin menulis buku dengan judul Inside The Jihad Gender, Women’s Reform in Islam, Ajaran Islam
mengenai keadilan antara laki-laki dan perempuan, menimbulkan kegelisahan di diri Amina Wadud
ketika melihat keterpurukan Perempuan Islam di segala bidang. As a fully Human agency, ia mulai mencari
penyebab dari keterpurukan tersebut kepada sumber ajaran Islam terkai dengan perempuan.
Dalam pernyataan Wadud, bahwa mayoritas penafsiran dan hasil hukum Islam ditulis oleh para
ulama pria dan seringkali membawa bias pada pandangan mereka.2 Menurutnya, budaya patriarki telah
memarginalkan kaum perempuan, menafikan perempuan sebagai khalifah fil ardh, serta menyangkal ajaran
keadilan yang diusung oleh al-Qur‘an.3 Ia tertantang dan berjuang (jihad) untuk melakukan reinterpretasi
terhadap masalah tersebut dengan menggunakan metode Hermeneutik.4 Kegelisahan ini akhirnya
menginspirasikan ditulisnya buku Qur‘an and Woman, kemudian Inside The Jihad Gender, Women’s Reform in
Islam, karya yang membuat sebuah reformasi terhadap perempuan Islam dan merupakan grand proyek
intelektualnya sehingga pemikiran dan perannya mulai diperhitungkan. berkaitan dengan dirintisnya fikih
yang berkeadilan gender oleh feminis Islam, maka di samping mengutip pemikirannya dalam buku Inside
2. Ia memfokuskan penelaahan kepada tafsir Al-kassyaf, karya al-Zamahsyary dan Fi Zhilal al-Qur’an, karya Sayyid Quthub, serta
banyak mengutip pendapat Abu al-A’laa al-Maududy
3. Dikutip dari Khalid Aboe al-Fadhl dalam memberikan kata pengantar dalam : Amina wadud, Inside the Gender Jihad,
Women’s Reform in Islam (hal. Xii,50dan 187)
4. Amina wadud, Inside the Gender Jihad, Women’s Reform in Islam, (hal. 188)
148
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
The Gender Jihad, Women’s Reform In Islam, penulis juga banyak mengutip -bahkan mayoritas- pemikiran
yang dirangkumnya dalam karyanya Qur‘an and Woman di atas. Hal ini dikarenakan fikih yang ia rintis
nantinya adalah produk dari reinterpretasinya terhadap interpretasi ulama terdahulu terhadap ayat dan
hadis tentang perempuan.
Dari hasil penelitian dan hasil karya yang disebutkan, penulis belum menemukan kajian atau
pembahasan yang menyajikan mengenai hak-hak perempuan berdasarkan epistimologi Islam Normatif
yang berlandaskan kajian Konten Hadits Khutbah (pidato) Haji Wada’ Nabi Muhammad saw secara
konprehensif. oleh karena itu penulis pada artikel ini, ingin mengkaji secara mendalam dan komparatif
dengan menganalisa konten hadits tersebut.
Sebagaimana diketahui dalam konteks Historis tentang peranan Islam dalam memperjuangkan
tegaknya nilai-nilai HAM, terdapat beberapa data Historis tentang informasi penegakan HAM. Islam
sebagiamana agama-agama yang lain, juga menitikberatkan pada nilai persamaan derajat manusia disisi
Tuhannya.5 Terdapat dua deklarasi ketika berbicara tentang HAM (huquuq al-insaaniyyah) yang menjadi
perjuangan Nabi Muhammad SAW, yaitu terkait dengan Piagam Madinah (charter of Madina) dalam
membangun masyarakat (ummah) di Madinah. Selain Piagam Madinah adalah Khutbah Haji Wada’ yang
di dalamnya menegaskan hak-hak perempuan, baik yang menyangkut harta, hak-hak, dan perlindungan.6
Karena salah satu ajaran yang sangat urgen dalam Islam adalah pengakuan hak-hak perempuan (huquq
al-mar’ah) untuk diperlakukan secara bermartabat oleh komunitas manusia terutama kaum lelaki, seperti
yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW.7
Menodai kehormatan perempuan adalah tindakan melanggar HAM dan sekaligus melanggar ajaran
agama Islam. Sebab dalam Islam, kaum perempuan memiliki kesederajatan dengan kaum laki-laki untuk
diperlakukan secara manusiawi. Jika laki-laki memiliki hak mendapat pendidikan, pekerjaan, hak ekonomi,
sosial dan lain-lain maka perempuanpun sama. Pemberdayaan kaum perempuan dan pengakuan terhadap
hak-haknya merupakan bagian dari pilar-pilar perjuangan Nabi SAW. semenjak empat belas abad silam.
Dalam hal ini, terdapat tiga pilar revolusi yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad mulai dari Makkah,
hingga hijrahnya ke Madinah. Pertama, revolusi tauhid (melawan paganisme-penyembah patung), atau
bahkan atheis menjadi kembali Iman kepada Allah dengan seruan tauhid (monotheisme) yang gaungnya
menggtarkan seluruh Jazirah Arabia.8 Kedua, revolusi HAM Masyarakat Jahiliyah. Contoh perempuan
dikuburkan hidup-hidup-menjadi terangkat derajatnya seperti laki-laki. Selain itu, yang mencerminkan
penegakan HAM bagi perempuan, tertuang dalam isi pidato (khutbah) haji wada’ di mana dalam teksteks khutbah tersebut hak-hak kaum perempuan diberi apresiasi, sehingga tercipta relasi yang harmonis
dan dimanis di bawah bimbingan wahyu Allah SWT.9 Ketiga, revolusi konstitusi yang dilakukan Nabi di
Madinah, sehingga melahirkan Piagam Madinah sebagai landasan bermasyarakat dan bernegara bagi
Umat Islam.10
Ketiga pilar inilah yang paling terlihat dalam perjuangan Nabi dalam misi ke-Islaman-nya. Akan
tetapi, pada fokus kajian kali ini lebih spesifik untuk menganalisa materi khutbah haji wada’ seputar
hak-hak kaum perempuan, bahwa ternyata perempuan diberi apresiasi dan bahkan dalam pidato tersebut
terlihat sangat menjunjung tinggi nilia-nilai universal dalam Islam. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi
5. Lihat Q.S an-Nisa (4) : 124, dan an-Nahl (16)
6. Syu’bah Asa, “HAM dalam Kajian Khutbah Haji Wada’” dalam Buku Islam, HAM, dan Keindonesiaan Refleksi dan Genda
Aksi Untuk Pendidikan Agama, (ed.), Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana, (Jakarta: Ma’arif Institute, 2007), hlm. 17.
7. Ibid.
8. Abd. Salam Arief, Konsep Ummah dalam Piagam Madinah, dalam Jurnal Al-jamiah No. 50. Tahun 1992, hlm. 85-86; dan
Hannah Rahman (Haifa), “Pertentangan Antara Nabi dan Golongan Oposisi di Madinah”, dalam Jurnal INIS (Indonesian
Netherlands Cooperation in Islamic Studies), Pandangan Barat Terhadap Islam Lama, 1989, Jilid 4, hlm. 54.55.
9. Abd. Salam Arief, Konsep Ummah…, hlm. 86.
10. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Press, Cet. Ke-5, 2002), hlm. 78-79., dan
Abd. Salam Arief, Piagam Madinah Sebagai Konstitusi Menjadi Landasan Kehidupan Bermasyarakat, Jurnal Ulama, Vol. III,
No. 1, 2010, hlm. 4-6.
Perempuan dalam Rengkuhan Syariah dan Hak Asasi Manusia (Suyatno)
149
sangat penting untuk dijadikan sebagai kontribusi akademik. Sekedar gambaran kendala yang dihadapi
dalam upaya penegakan HAM Khususnya menyangkut hak-hak kaum Hawa adalah ketidaktahuan sejauh
mana pengakuan hak-hak tersebut bisa dipertanggung jawabkan secara benar. Dalam ranah ilmiah hal
tersebut dengan mudah bisa dilacak dan diakses. Misalnya dengan menganalisa kandungan-kandungan
ajaran Islam yang termaktub dalam Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW.
Salah satu hadis yang dimaksud adalah hadits riwayat at-Turmudzi dalam Sunan Turmudziy: 11.
áĿ ¥AÁAĆ÷¥ C¬¸
: A» U - úøËą ĂČøã 7¥ ĈøÓ - d
D Ā:÷¥ AâüCAË ĂB ÿ_› : - ĂĀã 7¥ Ċ×Å - ĊüAÐzľ ¥ ĿÑĆ»ď¥ þ© ąÆüã þã
þ: ăB ¦Aüÿ_Ŀ Ľë ĺ¥ÆEČA¿ C˜¦Ì=Ā÷¦© ¥ĆBÓĆĽ°Ë
E ¥Aą ē› ) : Ľõ¦Ľï ú: ³ľ ĽÞãAąAą AÆó_ ĽÃAą CĂČĽøAã ĈAĀŁ³›Aą ĈĽ÷¦AäĽ̄ 7¥ AÂüCA» ýE › AÂäE A© õľ ĆľðAċ
âĿ·¦ĽØĽ}¥ U þ: ăB ąBƸ
B ăE ¦Ľë AþŁøAäĽë ýE Ľë @¬AĀ=ČAªûB @¬AлC ¦ĽìĿ© AjC̄œAċ ýE › ē_ Ÿ Aò÷Cà AÆČEĽç 妤EČAÏ þ: ĄBĀECû AýĆľôCøüE Ľ̄ AÊČEĽ÷ úE óľ AÂĀECã ļý¥AĆAã
úE ôľ C£¦AÌCĀC÷Aą ĺ¦ðŀ A» úE ôľ C£¦AÌCÿ ĈĽøAã úE ôľ Ľ÷ ý: Ÿ Ľē› Ĕ
> ČªAË þ: ĄČĽøAã ¥ĆľèªEĽ̄ ĔĽë úE ôľ AĀäE ĽÛ› ýE ë ļ¹=ÆAªûB AÆČEĽç ĺ¦©ÆĽ× þ: ăB ĆB©ĿÆŁ×¥Aą
þ: ĄBð̀A»Aą Ľē› AýĆBăAÆŁôĽ̄ þE Aü÷C úE ôľ C̄ĆČB©B U ý: ĽÃŁœAċ ēAą AýĆBăAÆŁôĽ̄ þE Aû úE ôľ AÏÆB ëľ AþŁ¤ÛC ĆBċ ē ýE › :þĄĿČĽøAã úE ôľ ð̀A¼Ľë ĺ¦ðŀ A» úE ôľ ČEĽøAã
ĉÄûe÷¥ ā¥ąÅ ( þ: ĄCû¦AäĽÛAą þ: ĄC̄AĆÌ
E óC U :þĄĿČEĽ÷ŸĿ ¥ĆBĀC̼
E ľ̄ ýE › úE ôľ ČEĽøAã
Dalam hadits lain yang semakna namun dengan redaksi yang sedikit berbeda Nabi SAW. bersabda:12
úôÏąÆë þ¤ÛĆċ ē› þĄČøã úô÷ą 7¥ ¬üøô© þĄ·ąÆë ú°øø¼°Ë¥ą 7¥ ý¦ûœ© þăĆsÄ¿› úôÿ ë ˜¦ÌĀ÷¥ U 7¥¥Ćð¯¦ë
éąÆä}¦© þtĆÌóą þĄïÇÅ úôČøã þ~ą ¹bû iç ¦©Æ× þăĆ©Æצë ò÷à þøäë ý ë ĂÿĆăÆô¯ ¥Â»›
Ajaran Islam tentang hak asasi manusia di atas telah diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat
pada zaman Nabi Muhammad SAW dan Khulafa’ur Rasyidin (empat khalifah pertama) seperti tersirat
dalam beberapa Sunnah dan tradisi Sahabat. Sebagian dari khutbah Rasulullah SAW. di depan umatnya
yang menerangkan tentang hak asasi manusia secara umum pada peristiwa Haji Wada’ adalah: 13
¥Äă úóÆĄÏ U ¥Äă úôûĆċ ¬ûƼó úôČøã ù¥Æ» úô÷¥Ćû›ą úó˜¦ûÁ ýŸ
Hadits-hadits diatas secara eksplisit menjustifikasi adanya pengakuan hak perempuan dalam konteks
sebagai seorang istri, pengakuan tersebut merupakan manifestasi dari kesetaraannya di hadapan Allah.14
Islam sesungguhnya secara ideal-normatif tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, apalagi
mendiskriminasikan perempuan. bahkan, sebagai pembawa keselamatan dan kerahmatan seluruh alam
(rahmatan li al-‘aalamiin), Islam menempatkan pengangkatan derajat dan posisi perempuan sebagai bukti
keutamaannya. Perempuan yang pada masa Jahiliyah tidak dihargai, dengan kedatangan Islam ia
mendapatkan tempat terhormat, memperoleh pendidikan, terbukanya kesempatann yang lebih luas untuk
aktualisasi dan pengembangan diri.
Dalam hal ini relevansinya dengan penelitian bahwa Materi Khutbah Arafah / Khutbah Wada’
secara normatif-konseptual merupakan bukti pengakuan Hak-hak Asasi bagi Manusia secara umum,
karena mengandung pemeliharaan terhadap pelanggaran lima kebutuhan dasar setiap individu
(Daruuriyyaat al-Khamsah; Agama, darah, harta, nyawa, dan kehormatan). Dan, pengakuan terhadap hakhak asasi perempuan secara Khusus, karena penjaminan hak-haknya merupakan kewajiban setiap kaum
bani adam. Banyak hak-hak mereka menjadi tidak terakomodasi dan terlanggar dengan dalih bahwa
11. Muhammad bin Isa Abu Isa at-Turmudziy, Sunan Turmudziy, Juz 3 (Bairut: Dar Ihya’ Turats, tt) hal: 467
12. Abu Husaian al-Qusayiri an-Naisaburi Muslim bin Hajjaj, sahaih Muslim hadits no.1218 (Bairut : Dar Fikr,tt)
13. Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fiy, Shahih Bukhari Hadits No. 1741, Abu Husaian al-Qusayiri anNaisaburi Muslim bin Hajjaj, sahaih Muslim hadits No. 1679
14. Baca, dalam kata pengantar K.H M.A. Sahal Mahfudz dalam buku Fikih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001).
150
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
perempuanan berkewajiban secara totalitas kepada segala kemauan bani adam (suami) dari satu sisi,
padahal jika dicermati hak dan kewajiban seorang perempuan merupakan imbal balik dari penunaian
hak dan kewajiban dari seorang laki-laki. Dalam sebuah pernyataan dari beberapa kalangan, menganggap
hukum Islam mengekang kebebasan perempuan, yang menjadikan perempuan tidak mempunyai ruang
gerak yang berkonsekuensi pada kejumudan dan ketertinggalan dan sebagai sumber fitnah. Hukum
Islam yang acapkali dituduh diskriminatif di antaranya: keharusan izin bagi istri kepada suaminya jika
akan keluar rumah; keharaman perempuan menjadi kepala negara; kewajiban perempuan menutup aurat,
mendidik anak, serta menaati dan melayani suami; kebolehan lelaki berpoligami dan seterusnya.
Perempuan dalam Islam dianggap tidak diberi kesempatan oleh Islam untuk berkiprah di ranah publik
dan ruang gerak lainnya.15
Dalam hal pendidikan perempuan misalnya, bahwa tingkat pendidikan perempuan sangat rendah
dan bahkan akan berdampak pada terbatasnya pilihan-pilihan untuk melakukan berbagai upaya pemenuhan
hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak sipil dan politik. Upaya mewujudkan keterwakilan perempuan
di lembaga pengambilan keputusan sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh pengambil keputusan,
besar kemungkinan akan terus mengalami rintangan karena rendahnya tingkat pendidikan perempuan.
Bahkan dalam realitanya, rendahnya tingkat pendidikan perempuan mengakibatkan yang bersangkutan
menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia, terjebak dalam relasi kerja yang eksploitatif dan
predatory.Memang, tingkat pendidikan salah satu indikator yang mampu menjadi efek bagi faktor yang
sosial lain, namun yang terpenting bukan hanya pada pendidikan formal saja, tetapi pendidikan moral
dan agama ini sangat penting untuk ditingkatkan terlebih perempuan adalah lembaga pendidikan utama
(al-Madarasah al-uula), yang tak hanya mampu menjadi seorang “leader of woman” namun dapat menjadi
Aisyah yang menjadi rujukan para ulama besar sebagaimana pernyaataan Nabi SAW.”Ambillah setengah
pengetahuan agama kalian dari Al-Humairah (Aisyah)”, hingga akan lahir para perempuan yang cerdas,
berpendidikan, dan berakhlakul karimah.
B. Perempuan dalam Bingkai Hak Asasi Manusia
Dalam konteks global Perjuangan panjang kaum Feminis telah mendapat momentumnya dengan
dikeluarkan naskah-naskah hak asasi manusia dan naskah perjanjian (covenant ) sebagai jawaban atas
kegelisahan mereka. Perjanjian (covenant) ini bersifat lebih mengikat daripada deklarasi belaka.
Pembahasan tentang hak-hak perempuan (women’s Rights), secara umum tidak lepas dari sebuah
pandangan bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan manusia berakal dan berhati nurani. Dengan
akal dan nurani, manusia mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang akan mengarahkan
sikap dan prilakunya dalam menjalani kehidupan. Dengan akal dan nurani itu, maka manusia memiliki
kebebasan untuk memutuskan sendiri sikap dan prilakunya dan mampu mempertanggungjawabkan semua
tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia.
Jadi hak asasi manusia dapat diartikan sebagai hak-hak dasar yang dimiliki pribadi manusia secara universal yang merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa.16 Dalam konteks perempuan sebagai bagian dari
masyarakat Negara-negara di dunia, maka apresiasi terhadap hak-haknya terefleksikan dalam konsep
Hak Asasi perempuan (HAP) yang sedikitnya memiliki dua makna yang terkandung didalamnya17 hak
asasi perempuan yang hanya dimaknai sekedar berdasarkan akal sehat. Logika yang dipakai adalah
pengakuan bahwa perempuan adalah manusia, dan karenanya sudah sewajarnya mereka juga memiliki
hak asasi. Makna yang kedua, dibalik istilah Hak Asasi Perempuan terkandung visi dan maksud
transformasi relasi sosial melalui perubahan relasi kekuasaan yang berbasis gender.18 Makna Hak Asasi
15. http://notmisterjeckyll.wordpress.com/2011/01/10/hanya-islam-yang-memuliakan-perempuan/. Diakases Tanggal 15 Juni
2011.
16. (http://hamblogger.org/mengenal-hak-asasi-perempuan/) di akses, 21 maret 2012
17. Manssour Fakih, Hak asasi Perempuan Jurnal Wacana, Edisi Khusus, VIII/2001, hal.167-181
18. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama,2008), .hal. 256-257
Perempuan dalam Rengkuhan Syariah dan Hak Asasi Manusia (Suyatno)
151
Perempuan yang kedua ini memang lebih revolusioner karena adanya pengintegrasian Hak Asasi Perempuan kedalam Standar Hak Asasi Manusia (HAM). Secara Formal Yuridis Hak-hak Asasi Perempuan
telah diakui dalam naskah yang berskala nasional maupun internasional, baik yang telah diratifikasi19
maupun yang belum diratifikasi. Adapun naskah yang dimaksud adalah:
a. 1945: Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, pasal 27
b. 1958: Undang-Undang No. 68 Tahun 1958, Konvensi hak Politik Perempuan
c. 1984: Undang-Undang No. 7 Tahun 1984, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Wanita (CEDAW)
d. 1966/1976: Kovenan Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Pasal
3 (belum diratifikasi Indonesia)
e. 1993: Deklarasi Wina, Pasal I/18
f. 1998: S.K Presiden No. 181, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) didirikan
g. 2002: Protokol dari CEDAW20 ditandatangani
h. 2003: Undang-Undang No. 12, Pemilihan Umum, Pasal 65
i. 2004: Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
j. 2006: Undang-Undang Kewarganegaraan Tahun 2006
Dari keterangan beberapa naskah yang telah disebutkan dapat dijelasakan bahwa hak-hak Asasi
Perempuan dapat dikategorikan menjadi :
a.
Hak Beragama
Banyak dokumen Internasional tentang HAM telah menyebut tentang kebebasan beragama. Dalam
deklarasi Universal tentang HAM yang diadopsi PBB tahun 1948, pasal 18, 26, dan 29, disebutkan
mengenai pkok-pokok kebebasan beragama itu. Pasal 18 misalnya mengatakan bahwa setiap orang mempunyai
hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama, termasuk kebebasan memilih dan memeluk agama, menyatakan
agamanya itu dalam pengajaran, pengamalan dan beribadatnya, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam kelompok.21
Dalam kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang disahkan PBB pada tanggal 16
Desember 1966, pada pasal 18 juga dinyatakan hal yang sama dengan apa yang disebutkan dalam pasal
18 Deklarasi Universal tentang HAM PBB tersebut.22
Kemudian dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang
disahkan PBB tanggal 16 Desember 1966, pada 13 dinyatakan bahwa semua Negara pihak yang
meratifikasi Kovenan itu harus menghormati kebebasan orang tua atau wali untuk menjamin bahwa
pendidikan anak mereka di sekolah-sekolah dilakukan sesuai dengan agama mereka. Dalam deklarasi
tentang penghapusan segala bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasarkan Agama atau kepercayaan
yang diadopsi PBB tahun 1981, pada pasal 1 juga dinyatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih
19. Ratifikasi merupakan tindakan yang dilakukan Negara yang memberikan persetujuan tertulis untuk menyatakan terikat pada
suatu traktat. Bila ratifikasi sudah dilakukan, maka Negara yang bersangkutan resmi menjadi peserta traktat, biasanya disebut
‘Negara pihak’ jumlah minimal ratifikasi merupakan hal penting yang mendasari ‘pemberlakuan’ suatu taraktat. CEDAW
misalnya mensyaratkan minimal 20 negara yang meratifikasi sebelum dapat diberlakukan (sesuai dengan pasal 27) (lihat :
Madhu Mehra, Amita Punj, CEDAW Mengembalikan Hak-Hak Perempuan: Jakarta, 2007), hal. 51
20. CEDAW atau Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi tentang
Penghapusan segala Bentuk Dikriminasi terhadap Perempuan) merupakan instrument hukum internasional yang pertama
yang mengatur dan mengakui hak asasi perempuan secara konprehensif. CEDAW juga telah dianggap sebagai Bill of Rigt for
Women. Pada 1984, Indonesia meratifikasi dan mensahkan konvensi CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan
konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (http://www.wahidinstitute.org/, diakses
21 Maret 2012)
21. AthoMudzhar,http://www.djpp.depkumham.go.id/files/doc/591_Pengaturan%20Kebebasan%20Beragama
%20dan%20Penodaan%20Agama.pd, diakses 29 Februari 2012
22. Ibid
152
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
dan menganut agama dan memanifestasikannya secara pribadi dan berkelompok, baik dalam beribadat,
pengalaman, maupun pengajarannya.
Dalam Kovenan internasional tentang Hak-hak anak yang diadopsi PBB tanggal 30 November
1989, khususnya pasal 14, 29, dan 30, dinyatakan bahwa Negara-negara pihak, maksudnya Negaranegara yang telah meratifikasi Kovenan itu, harus menghormati hak agama anak.
Dalam dokumen Durban Review Conference bulan April 2009, paragraf 13, juga dinyatakan bahwa
negara-negara anggota PBB memperteguh komitmen mereka bahwa semua pernyataan yang bersifat
kebencian keagamaan adalah termasuk diskriminasi yang harus dilarang dengan hukum. Demikianlah
beberapa dokumen internasional yang merupakan kesepakatan bangsa-bangsa anggota PBB untuk
menegakkan HAM di bidang agama. sebagian dari isi dokumen ini telah diambil dan dituangkan ke
dalam berbagai peraturan perundangan Indonesia, dan sebagian lainnya, telah diratifikasi secara penuh
tanpa catatan.23
Untuk diketahui bahwa dalam kovenan internasional tentang HAM, dinyatakan bahwa hak beragama
termasuk hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi (dirogate), sesuai dengan ketentuan pasal 18.24
meskipun demikian usaha untuk mencapai kata sepakat mengalami kesukaran karena implementasi hak
tersebut menyangkut masalah hukum internasional yang sangat rumit sifatnya, seperti masalah kedudukan
individu sebagai subyek hukum internasional, kedaulatan suatu negara, dan soal domistic yurisdiction.
Pasal 2 piagam PBB menentukan bahwa badan itu tidak diperkenankan campur tangan dalam hal-hal
yang berkenaan dengan yurisdiksi masing-masing Negara : tiada dalam piagam ini yang member wewenang
kepada PBB untuk campur tangan dalam hal-hal yang pada hakekatnya termasuk yurisdiksi domistik
setiap Negara (nothing contained in the present Charter shall authorize the UN to intervene in matters Which are
assentially within the domestic jurisdiction of any state).25
Khusus mengenai hak beragama, terdapat kesulitan utama membangun standar universal yang
melintasi batas kultural, khususnya Agama, adalah bahwa masing-masing tradisi memiliki kerangka
acuan (Frame of Reference) internalnya sendiri, karena masing-masing tradisi menjabarkan Validitas ajaran
dan norma-normanya dari sumber-sumbernya sendiri. Jika suatu taradisi kultural khususnya agama
berhubungan dengan tradisi-tradisi yang lain, maka kemungkinan yang terjadi adalah hubungan secara
negatif dan bahkan dengan cara permusuhan. Untuk mengklaim loyalitas dan kepatuhan anggotaanggotanya suatu tradisi kultural atau agama secara normatif menegaskan kelebihan-kelebihan dirinya
atas tradisi yang lain.26 Hal ini mempertegas adanya kesimpulan bahwa, hak beragama haruslah disertai
dengan adanya kewajiban menjunjung tinggi kebebasan orang lain untuk menjalankan konsekwensi
beragamnya tanpa adanya intimidasi dan aturan-aturan yang mengikat secara baku, kecuali aturan dan
norma-norma agama tersebut.
Di Indonesia sendiri pasca reformasi, masalah kebebasan beragama mendapatkan banyak perhatian
dan banyak memenuhi halaman media massa. Padahal menyertai proses reformasi 1998, baik konstitusi,
system politik maupun perundang-undangan mengalami perubahan yang signifikan yang makin
mendekatkan pada jaminan kebebasan beragama dalam standar HAM Universal. Pertanyaannya,
bagaimana kebebasan beragama dalam konstitusi dan perundang-undangan di Indonesia?.
Secara keseluruhan, baik UUD 45 yang asli maupun hasil amandemen, dan juga UUD sementara
yang berlaku masa priode konstituante tidak terdapat unsur pembedaan dan diskriminasi bagi pemeluk
agama dan keyakinan tertentu, termasuk perbedaan berdasarkan etnis dan ras. Pada pasal 29 ayat 1 dan
2 UUD 45, misalnya, ditegaskan adanya jaminan kebebasan beragama dan beribadah menurut agama
23. Ibid
24. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,….hal. 224
25. Ibid hal. 222-223
26. Abdullah Ahmed an-Na‘im, Dekonstruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional
dalam Islam, terj. Farid Wajidi (Yogyakarta: LKIS, 1996).
Perempuan dalam Rengkuhan Syariah dan Hak Asasi Manusia (Suyatno)
153
dan kepercayaan bagi semua warga Negara. Bahkan di dalam UUD 1945 amandemen ditegaskan kembali
kebebasan beragama dan kepercayaan di dalam pasal 28, khususnya huruf E angka 1 dan 2.27
b.
Hak Sipil dan Politik (Sipol)
Dalam kovenan Internasional dan CEDAW hak sipil dan politik perempuan diatur dalam bentuk
beberapa pasal. Kedua hak ini menurut perspektif kovenan Internasional HAM telah dikategorikan
dalam hak Derogable (bisa dikurangi). Dengan mengacu kepada pasal 2 kovenan hak sipil dan politik,
mengisyaratkan adanya pembatasan intervensi disebabkan adanya domestic yurisdiction. Pasal ini juga secara
tidak langsung mengurangi bobot dari hak politik karena dalam pelaksanaannya harus diperhatikan
keadaan perundang-undangan Negara masing-masing (domestic yurisdiction). hak asasi yang dalam deklarasi
dirumuskan dengan gaya yang gamblang, seolah-olah tanpa batas, dianggap perlu untuk dapat diberi
batasan atau restriksi. Banyak negara khawatir bahwa kebebasan tanpa batas dapat mengganggu stabilitas
dalam negeri dan menggerogoti wewenang sistem perundang-undangannya. Maka dari itu, hak-hak perlu
dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melanggar domestic yurisdiction ini. Perdebatan mengenai
masalah “pembatasan” memerlukan waktu lama, karena jika tidak dimasukkan dalam rumusan kovenan,
banyak Negara tidak akan meratifikasinya.28
Pelaksanaan beberapa hak politik secara khusus dibatasi yaitu perundang-undangan yang menyangkut ketertiban dan keamanan nasional dalam negara masing-masing. Misalnya, dalam kovenan sipil dan
politik ditentukan bahwa hak berkumpul secara damai terkena pembatasan yang sesuai dengan undangundang nasional dan yang dalam masyarakat demokratis diperlukan demi kepentingan keamanan nasional
atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan dan kesusilaan umum
atau perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain (pasal 21). Hak atas kebebasan mempunyai
dan mengeluarkan pendapat dinyatakan terbatas oleh undang-undang nasional yang berlaku yang perlu
untuk a) menghormati hak dan nama baik orang lain, dan b) untuk menjaga keamanan nasional atau
ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum (pasal 19).29
Disamping itu pasal 4 kovenan sipil dan politik memberi wewenang kepada negara-negara pihak
(contending parties)30untuk dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan eksistensinya,
mengurangi kewajiban-kewajibannya menurut kovenan ini. Akan tetapi agar wewenang tersebut oleh
pemerintah tidak disalahgunakan, kekuasaan khusus itu pada gilirannya dibatasi oleh ketentuan bahwa
ada beberapa hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi (derogate). Hak-hak ini antara lain hak atas
hidup (pasal 6), dan hak untuk tidak dinyatakan bersalah atas tindakan yang bukan merupakan tindakan
tindak pidana pada saat dilakukannya (asas non-retroaktif atau tidak berlaku surut) (pasal 7). Hak-hak
tersebut bersifat tidak boleh dikurangi (non-derogable).
Beberapa contoh hak asasi dalam bidang sipil dan politik berdasarkan pasal-pasal Kovenan antara
lain mencakup :
Pasal 6 : hak atas hidup- right life menyangkut masalah aborsi dan euthanasia (hak non – derogable).
Pasal 7 : hak untuk tidak disiksa – no one shall be subjected to torture (hak non- derogable).
Pasal 9 : hak atas kebebasan dan keamanan dirinya -right to liberty and security of person.
Pasal 14 : hak atas kesamaan di muka badan-badan peradilan – right to equality before the court and tribunals.
Pasal 15 : hak untuk tidak dikenai konsep retroaktif (kedaluarsa) (hak non – derogable) – no one shall be
held quilty of any criminal office which did not constitute a crime at the time it was commited.
27. http://www.wahidinstitute.org/, diakses 21 Maret 2012
28. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,…hal. 223
29. Ibid
30. Yang dimaksud Negara pihak (contending parties) adalah: pemerintah yang meratifikasi Konvensi (lihat : Madhu Mehra,
Amita Punj, CEDAW Mengembalikan Hak-Hak Perempuan: Jakarta, 2007), hal. 52
154
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
Pasal 18 : hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama (hak non derogable)- right to freedom
of thought, conscience and religion.
Pasal 19 : hak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan (hak yang dapat diretriksi) –
Right to hold opinions without interference.
Pasal 21 : hak atas kebebasan berkumpul secara damai (hak yang dapat diretriksi) – Right to peaceful
assembly.
Pasal 22 : hak atas kebebasan untuk berserikat (hak yang dapat diretriksi) – right to freedom of association.31
Sementara itu dalam pasal- pasal CEDAW hak sipil dan politik (Sipol) perempuan mencakup :
Pasal 7 : Hak perempuan dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan Negaranya, khususnya
menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan hak :
1. hak untuk memilih dan dipilih
2. hak berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya.
3. hak untuk memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi
pemerintahan di segala tingkat
4. hak untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan perkumpulan non
pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara
Pasal 8 : Hak perempuan untuk mendapat kesempatan untuk mewakili pemerintah mereka pada tingkat
internasional dan berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional.
Pasal 9 : Hak perempuan dalam kaitan dengan kwarganegaraannya, meliputi:
1. hak yang sama dengan pria untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan
kawarganegaraannya.
2. hak untuk mendapatkan jaminan bahwa perkawinan dengan orang asing tidak secara otomatis
mengubah kewarganegaraannya atau menghilangkan kewarganegara-annya.
3. hak yang sama dengan pria berkenaan dengan penentuan kewarganegaraan anak-anak mereka.32
Dalam konteks Indonesia, kedudukan perempuan secara formal cukup kuat sebab banyak ketentuan
dalam berbagai undang-undang serta peraturan-peraturan lain yang memberi perlindungan yuridis padanya.
Selain itu, indonesiapun telah meratifikasi dua perjanjian, yaitu perjanjian mengenai hak politik perempuan
(Convention on the Political Right of Women) dan perjanjian mengenai penghapusan Diskriminasi terhadap
perempuan (CEDAW). Kemudian pada tahun 1993, Indonesia telah menerima Deklarasi Wina yang
sangat mendukung kedudukan perempuan. Akhirnya, dalam Undang-undang Pemilihan Umum 2004
dibuka kesempatan agar perempuan dipertimbangkan menduduki 30% kursi wakil rakyat.33
Secara umum hak kaum perempuan Indonesia dalam naskah, dapat dijelaskan melalui boks berikut:
1) 1945: Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27
2) 1958: Undang-Undang No. 68 Tahun 1968, Konvensi Hak Politik Perempuan
3) 1984: Undang-Undang No.7 Tahun 1984, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Wanita (CEDAW)
4) 1993: Deklarasi Wina, Pasal I/18
5) 1998: S.K Presiden No. 181, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) didirikan
6) 2002: Protocol dari CEDAW ditandatangani
7) 2003: Undang-Undang No. 12, Pemilihan Umum, Pasal 65
31. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik…hal. 224
32. http://www.wahidinstitute.org/, diakses 21 Maret 2012
33. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik….hal. 258
Perempuan dalam Rengkuhan Syariah dan Hak Asasi Manusia (Suyatno)
155
c.
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Kampanye hak ekonomi, sosial dan budaya dalam perjuangan hak asasi manusia global baru
dilakukan tahun 1990-an. “Konstruksinya juga masih rumit,” paling tidak begitulah pesan yang ditangkap
oleh sebagian aktifis perempuan seperti Arimbi Heroepoetri.34 Padahal kenyataannya negara tidak saja
lemah dalam melindungi hak-hak sipil dan politik namun juga dalam memenuhi hak ekonomi, sosial dan
budaya termasuk diantaranya hak atas pekerjaan, hak atas upah yang layak serta hak untuk mengakses
pangan, pendidikan dan kesehatan.35 Secara umum dalam CEDAW pasal-pasal Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya Perempuan meliputi :
1) Pasal 10, Hak dibidang Pendidikan meliputi : mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan
baik ditingkat taman kanak-kanak, umum, teknik serta pendidikan keahlian teknik tinggi dan segala
macam jenis pelatihan kejuruan; Pengikutsertaan pada kurikulum, ujian, staf pengajar dengan standar
kualifikasi yang sama, serta gedung dan peralatan sekolah yang berkualitas sama; Penghapusan
konsep yang streotip mengenai peranan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan dan bentuk
pendidikan; kesempatan yang sama dalam kesempatan beasiswa; kesempatan yang sama untuk
ikut serta dalam program pendidikan kelanjutan, pendidikan orang dewasa dan pemberantasan
buta huruf; Pengurangan angka putus sekolah pelajar puteri dan penyelenggaraan program untuk
gadis-gadis dan perempuan yang putus sekolah; berpartisipasi secara aktif dalam olahraga dan
pendidikan jasmani dan; memperoleh penerangan untuk menjamin kesehatan, kesejahteraan keluarga
dan keluarga berencana.
2) Pasal 11, Hak dalam pekerjaan.
3) Pasal 12, hak atas Kesehatan meliputi : Pelayanan kesehatan termasuk yang berhubungan dengan
keluarga berencana, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan; Pelayanan yang layak
berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan masa sesudah persalinan, dengan memberikan pelayanan
cuma-cuma dimana perlu, dengan memberikan pelayanan cuma-cuma dimana perlu, serta pemberian
makanan bergizi yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui persalinan.
4) Pasal 13, hak-hak lainnya di bidang Ekonomi dan sosial meliputi : hak atas tunjangan keluarga; hak
atas pinjaman bank, hipotek dan lain-lain bentuk kredit permodalan dan: hak untuk ikut serta
dalam kegiatan-kegiatan rekreasi, olahraga, dan semua segi kehidupan kebudayaan.
5) Pasal 14, Hak-hak khusus untuk perempuan pedesaan, meliputi: untuk berpartisipasi dalam perluasan
dan implementasi perencanaan pembangunan di segala tingkatan; untuk memperoleh fasilitas
pemeliharaan kesehatan yang memadai, termasuk penerangan, penyuluhan, dan pelayanan dalam
keluarga berencana; untuk mendapat manfaat langsung dari program jaminan social; untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, baik formal maupun non formal, termasuk yang
berhubungan dengan pemberantasan buta huruf fungsional maupun penyuluhan isu lainnya; untuk
membentuk kelompok-kelompok swadaya dan koperasi supaya memperoleh peluang yang sama
terhadap kesempatan ekonomi (pekerjaan atau kewiraswastaan); untuk berpartisipasi dalam semua
kegiatan masyarakat; untuk dapat memperoleh kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas pemasaran,
teknologi tepat guna dan perlakuan sama pada land reform dan urusan-urusan pertahanan termasuk
pengaturan-pengaturan tanah pemukiman; dan untuk menikmati kondisi hidup yang memadai,
terutama yang berhubungan dengan perumahan, sanitasi, penyediaan listrik, air, pengangkutan dan
komunikasi.36
Dengan dipenuhinya hak ekonomi, sosial dan budaya perempuan sebenarnya bisa menjadi jalan
untuk menekan pelanggaran terhadap perempuan seperti diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Indonesia melalui Komnas Perempuan saat ini tengah mempersiapkan kerangka advokasi hak ekonomi,
sosial dan budaya yang lebih komprehensif.
34. Anggota KOMNAS PEREMPUAN
35. http://www.antaranews.com/print/1204874075 diakses 2 april 2012
36. http://hamblogger.org/mengenal-hak-asasi-perempuan/) di akses, 21 maret 2012
156
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
Berdasar uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, baik kovenan Internasional, Deklarasi
HAM, CEDAW maupun undang-undang dasar negara Indonesia dan peraturan-peraturan pemerintah
secara konstitusional telah mengapresiasi hak-hak perempuan secara baik. pengakuan konstitusional ini
walaupun secara eksplisit telah mengapresiasi hak-hak perempuan, namun tinjauan spesifik belum
menyentuh hak-hak perempuan yang berbasis ajaran-ajaran normativ Islam atau lebih baku agama.
Untuk tujuan yang dimaksud maka Pada pembahasan bab ketiga berikut akan dijelaskan tentang haji
wada’ dan kaitannya dengan hak-hak perempuan.
C. Hak-Hak Perempuan
Kata hak mengandung arti apa-apa yang diperoleh seseorang dari pihak lainnya sehubungan dengan
apa yang dikerjakannya, sedangkan yang diperoleh itu merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan,
oleh karena itu dalam perbuatannya itu juga sesuatu yang baik, untuk dirinya sendiri maupun untuk
orang lain. Hak sesuatu yang diterima dari pihak lain.37 Kata “kewajiban”38 berasal dari bahasa Arab dari
akar kata “wajib” ( ¨·¥Ć÷¥ ) berarti sesuatu yang mesti dilakukan. Dalam bahasa Indonesia mengandung
arti “keharusan” untuk berbuat terhadap pihak lain, baik karena hak yang diterimanya dari pihak lain itu
atau karena melakukan sesuatu terhadap pihak lain. Kewajiban adalah sesuatu yang harus ditunaikan
yang biasanya memberatkan kepada pihak yang memikulnya. Dengan begitu kata “hak” mengandung
arti yang berlawanan dengan “kewajiban” 39
Secara Etimologi kata Perempuan dalam bahasa Arab merupakan proses pembentukan kata benda
40
untuk menunjukkan jenis perempuan yang berasal dari ri˜Æ}¥ “ apabila ditambahkan ta marbuthah ( « )
«›Æû¥ atau «AÆAû . Kata ini tidak memiliki bentuk plural dari (ri«›Æû¥
( ) tetapi bentuk pluralnya
41
di
dan «ĆÌÿ . Perempuan sering disebut dengan panggilan ‘wanita’. Panggilan ini lazim
menjadi ˜¦Ìÿ
akan menjadi
dipakai di negeri kita. seperti darma wanita, karya wanita, wanita karir, korp wanita, wanita Islam dsb.
Kata-kata “wanita” (bahasa Sans), berarti lawan dari jenis laki-laki, juga diartikan perempuan .42Kata
“empu” (yang terdapat pada kata perempuan) berasal dari jawa kuno, berarti raja, orang pilihan, ahli
yang pandai, pintar dengan segala keutamaan yang lain.43 Dari beberapa arti diatas telah mengindikasikan
bahwa perempuan memiliki banyak peran yang secara tersirat telah mensejajarkannya dengan laki-laki.
Abdurrozaq bin Abdul Muhsin al-Badr44 mengatakan, perempuan adalah makhluk Allah yang diciptakan
sebagai mitra bagi seorang laki-laki dalam hidupnya. Ia tercipta sejatinya dari seorang laki-laki45 supaya
37. H. Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia (Jakarta:PT.
Ciputat Press, 1426 H/2005 M), hal.249
38. Penulis sertakan kata “kewajiban“ karena secara proporsional perolehan hak seharusnya dibarengi dengan pelaksanaan kewajiban
dengan baik.
39. Ibid
40. Dalam bahasa arab genderisasi tidak hanya berlaku untuk yang berakal namun berlaku pula bagi yang tidak berakal; seperti kata
benda yang desebut “mu’annats” (kata benda yang menunjukkan perempuan) mudzakkar “ (kata benda yang menunjukkan
laki-laki).
41. Mu’jamu al- Wasith
42. Kamus besar Bahasa Indonesia
43. Mas’oed Abidin, Hak Perempuan Menurut pandangan Islam (terhadap Tanah Ulayat Di Minangkabau) (seri Makalah).
44. Adurrazzak bin Abdul Muhsin al-BAdr, TakrÎmu al-Islami li al-Mar’ati, (al-Madinah al-Munawwarah:Maktabah al_malik alFahd al-Wathaniyyah Atsnâan-Nasyr, 1429), hal.12
45. Penciptaan hawa yang merupakan symbol manusia berjenis kelamin perempuan menurut para mufassir diciptakan dari tulang
rusuk adam bagian atas sebagaimana hadits :
˜¦ÌĀ÷¦© ¥ĆÓĆ°Ë¦ë µĆ㛠õÈċ Y Ă°óƯ ýŸą Ă¯ÆÌó ĂüČ博ªăà ý ë āĔ㛠âøØ÷¥ U ¦û µĆ㛠ýŸą âø× þû ®ðø¿ «›Æ}¥ ý ë ĺ¥i¿ ˜¦ÌĀ÷¦© ¥ĆÓĆ°Ë¥
“berwasiat baiklah pada perempuan karena sesungguhnya ia tercipta dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok
adalah yang paling atas apabila anda meluruskannya anda akan sangat potensial mematahkannya dan jika anda biarkan maka
akan tetap bengkok oleh karena itu berwasiat baiklah pada perempuan”
Perempuan dalam Rengkuhan Syariah dan Hak Asasi Manusia (Suyatno)
157
hal itu lebih menunjukkan secara mendalam akan keserupaan dan lebih merekatkan hubungan dan
kedekatan, juga untuk mewujudkan kasih sayang antara keduanya (laki-laki dan perempuan) dalam
sebaik-baik bentuk (performen).
Berdasarkan ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan secara kodrati penciptaan
merupakan mitra laki-laki46 dan memiliki keserupaan dan peluang untuk bisa bekerjasama secara positif
dengan laki-laki dalam meraih kebahagiaan dan ketenteraman hidup. sebagai makhluk Allah dan
eksisitensinya sebagai manusia perempuan seperti juga laki-laki memiliki seperangkat hak yang melekat
pada dirinya sebagai anugrah dari Tuhan dan wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
hukum pemerintah dan setiap orang demi perbandingan harkat dan martabat manusia.
Dalam tataran realita hak-hak perempuan untuk diperlakukan secara baik dan bermartabat sering
diabaikan oleh komunitas manusia lain (baca: laki-laki), sehingga melahirkan berbagai tindakan kekerasan
terhadap perempuan. Kekerasan merupakan sebuah tindak sosial yang merujuk pada kewajiban atau
sebuah tindak sosial dan tanda maskulitas yang ditanamkan dalam budaya, diperaktekkan secara luas,
dan secara keseluruhan seringkali kebal dari hukum.47 Kekerasan yang teridentifikasi dalam catatan
Samitra Abhaya KPPD 2000-2001 misalnya, merilis jenis kekerasan yang teridentifikasi terdapat 95
korban yaitu: janji palsu (15,79 %), penganiayaan ringan dan berat (45,27%), pengusiran paksa (2,11%),
penjualan Isteri (2,11%), pemutusan hubungan (cerai) sepihak (1,06%), poligami, selingkuh (9,48%),
tidak memberi nafkah (1,06%), ancaman, terror, kata-kata kasar (1,06%), pembunuhan (16,85%),
perkosaan (2,38%). Sementara pelaku teridentifikasi 84 orang pelaku terdiri dari anak (2,38%), bapak,
orang tua (4,76%), mantu,cucu mantu, isteri (2,38%), majikan (1,19%), pacar (25,78%), suami (44,05%),
anggota keluarga lain (1,19%). Dan usia korban data teridentifikasi 95 orang terdiri dari dibawah 18
tahun (6,32%), 19-30 tahun (50,53%), 31-40 tahun (17,90%), 41-50 tahun (7,37%) di atas 50 tahun
(4,21%) dan tidak jelas (13,69%).
Lebih jauh bahwa Akhir abad kedua puluh muncul kesadaran yang tinggi bahwa selama ini telah
banyak terjadi dan berlangsung diskriminasi dan ketidakadilan gender (gender inequalities) yang menimpa
kaum perempuan. Fenomena ketidakadilan gender itu paling tidak meliputi (1) marginalisasi perempuan
baik di rumah hingga di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan bermasyarakat lainnya. Proses
marginalisasi berakibat pada pemiskinan ekonomi perempuan; (2) subordinasi terhadap perempuan karena
ada anggapan bahwa perempuan itu irrasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena
itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting; (3) streotipe yang merugikan kaum perempuan
misalnya asumsi bahwa mereka suka dandan dan itu untuk menarik perhatian lawan jenis sehingga
menimbulkan kekerasan seksual; (4) berbagai bentuk kekerasan menimpa perempuan baik fisik maupun
fsikologis, karena adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah; (5) pembagian kerja secara seksual
yang merugikan kaum perempuan, misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domistik, oleh
sebab tidak pantas melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki. Akibatnya perempuan terkurung dalam
ruang dan wawasan yang sempit.48
D. Munculnya Feminisme
Melihat fenomena seperti diatas muncullah para feminis yaitu mereka yang sadar akan adanya
ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat dan
melakukan tindakan yang sadar untuk mengubahnya.49 Gerakan-gerakan kaum Feminis ini juga sebagai
õ¦·Æ÷
: ¥ ðÏ ˜¦ÌĀ÷¥ ¦†Ÿ “sesungguhnya wanita itu adalah hanyalah belahan dari laki-laki’
46. Sebagaimana sabda nabi saw : aw
HR.Imam Ahmad,Abu Dawud, dan Daru Quthni dari ‘Aisyah RA lihat : Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi ad-Damsyiqi,
Asbabul Wurud latar belakang Historis Timbilnya Hadis-hadis Rasul (terj.)(Jakarta :Kalam Mulia,2009),hal.114
47. Dokumentasi pelatihan HAM. 2000. Kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jakarta : Komnas
Perempuan : hal. 14-23
48. Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hal.11-20
49. Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hal.42
158
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
respons atas kesadaran bahwa hak-hak mereka telah banyak terabaikan, dalam lintas sejarah isu-isu
feminis telah lama eksis dalam berbagai graduasi perjuangan dan platformnya bisa disebutkan diantaranya
sbb:
1.
Feminis Gelombang Pertama
Ditandai dengan publikasi Mary Wollstonecraft yang berjudul “Vindication of the Rights of Women”
tahun 1792 dia mendeskripsikan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan
disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran perempuan
dari ruang public. Perhatian feminis gelombang pertama adalah memperoleh hak-hak politik dan
kesempatan ekonomi yang setara bagi kaum perempuan. Feminis berargumentasi bahwa perempuan
memiliki kapasitas rasio yang sama dengan laki-laki. Akhirnya pada pada tahun 1920, perempuan berhasil
mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu. Bukan hanya itu kaum feminis juga juga berhasil memenangkan
hak kepemilikan bagi kaum perempuan, kebebasan reproduksi yang lebih dan akses yang lebih besar
dalam bidang pendidikan dan profesional.
2.
Feminis Gelombang Kedua
Pada tahun 1949 ditandai dengan munculnya publikasi dari Simone de Beauvoir’s The Second Sex.
Dia berargumen bahwa perbedaan gender bukan berakar dari biologi, tetapi memang sengaja diciptakan
untuk memperkuat penindasan terhadap kaum perempuan. Bagi feminis gelombang ke-2 kesetaraan
politik dan hukum tidak cukup untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan. dalam sudut
pandang mereka, penindasan sexist tidak hanya berakar pada hukum dan politik, tetapi penyebabnya
adalah penanamannya pada setiap aspek kehidupan sosial manusia, termasuk ekonomi, politik dan
perencanaan sosial, serta norma-norma, kebiasaan, interaksi sehari-hari dan hubungan personal. Feminis
gelombang ke-2 juga mulai menggugat institusi pernikahan, motherhood, hubungan lawan jenis (heterosexual relationship), sexualitas perempuan dll. Mereka berjuang keras untuk mengubah secara radikal
setiap aspek dari kehidupan politik dan pribadi.
3.
Feminis Gelombang Ketiga
Dimulai pada tahun 1980 yang menginginkan keragaman perempuan atau keragaman secara umum,
secara khusus dalam teori feminis dan politik. Sebagai contoh kulit berwarna dipertahankan ketika
dahulu pengalaman, kepentingan dan perhatian mereka tidak terwakili oleh feminis gelombang ke-2
yang didominasi oleh oleh wanita kulit putih kelas menengah. Sebagai contoh ketertindasan perempuan
kulit putih kelas menengah berbeda secara signifikan dengan penindasan yang yang dialami oleh
perempuan kulit hitam Amerika. Ketertindasan perempuan heterosexual berbeda dengan ketertindasan
yang dialami oleh kaum lesbi dan lainnya.50
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian si atas, kesimpulan dalam penelitian ini adalah:
1. Khutbah haji wada’ Nabi SAW. telah membuktikan adanya konsep Hak Asasi Manusia yang berbasis
ideal moral bagi manusia.
2. Aktualisasi perlindungan terhadap hak-hak perempuan dalam khutbah haji wada’ Nabi SAW.
hendaknya dipahami dengan tetap memperhatikan konsep kemitrasejajaran antara laki-laki dan
perempuan, dengan memahami bahwa peran dan kewajiban natara laki-laki (suami) dan perempuan
(isteri) terbentuk secara alami sesuai dengan kodratnya, dan ada juga yang terbentuk dari konstruk
sosial budaya yang bisa berubah sesuai dengan zamannya.
3. Pandangan tentang HAM khususnya yang terkait dengan relasi antara suami dan Isteri dalam islam
tidak semata-mata berorientasi pada antroposentris semata namun lebih kepada Teosentris dan
inilah yang membedakan dengan konsep HAM global.
50. Dewi Kania, Dinar. Islamia: Isu Gender, Sejarah dan Perkembangannya. (Jakarta: Khairul Bayan Press, 2010)
Perempuan dalam Rengkuhan Syariah dan Hak Asasi Manusia (Suyatno)
159
4.
5.
Relevansi khutbah haji wada’ dengan perlindungan terhadap hak-hak perempuan secara umum
bisa dimaknai adanya konsep mitra sejajar yang proporsional dan upaya proteksi terhadap problemproblem sosial kemasyarakatan.
Dengan temuan adanya relevansi dari kandungan khutbah haji wada’ dengan kebutuhan masyarakat
saat ini menunjukkan sisi universalitas Islam yang selama ini banyak diragukan atau digugat oleh
sebagian kalangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Salam Arief, Piagam Madinah Sebagai Konstitusi Menjadi Landasan Kehidupan Bermasyarakat, Jurnal
Ulama, Vol. III, No. 1, 2010.
——————, Konsep Ummah dalam Piagam Madinah, dalam Jurnal Al-jamiah No. 50.
Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar kompetensi Guru, (Remaja Rosda Karya,
2007).
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan dirumah, sekolah dan masyarakat, (Jakata: Gema Insani Press, 1995).
Amina wadud, Inside the Gender Jihad, Women’s Reform in Islam
Baharuddin, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Arruz Media, 2007).
Chalijah Hasan, Dimensi-Dimensi Psikologi Pendidikan (Surabaya: Al Ikhlas,1994).
Hannah Rahman (Haifa), “Pertentangan Antara Nabi dan Golongan Oposisi di Madinah”, dalam Jurnal
INIS (Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies), Pandangan Barat Terhadap Islam Lama, 1989
Kata pengantar K.H M.A. Sahal Mahfudz dalam buku Fikih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama
dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001).
Khalid Aboe al-Fadhl dalam memberikan kata pengantar dalam : Amina wadud, Inside the Gender Jihad,
Women’s Reform in Islam.
Khoruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Tazaffa ACAdeMIA, 2009).
Lihat, Syayid Qutub, al Tashwir al Fanni fil Qur’an.
M. A. Fattah Santoso, “Islam dan Hak Asasi Manusia”, dalam Buku Islam, HAM, dan Keindonesiaan
Refleksi dan Genda Aksi Untuk Pendidikan Agama, (ed.), Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana,
(Jakarta: Ma’arif Institute, 2007).
Muhammad A. Khalafullah, al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah seni,sastra dan moralitas dalam kisah, terj.Zuhairini
Miswari, (Jakarta: Paramadina, 2002).
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta : Rineka cipta, 2003).
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Raja Grafindo, 2004).
Suyuthi Pulungan, Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Press,
Cet. Ke-5, 2002).
Syu’bah Asa, “HAM dalam Kajian Khutbah Haji Wada’” dalam Buku Islam, HAM, dan Keindonesiaan
Refleksi dan Genda Aksi Untuk Pendidikan Agama, (ed.), Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana,
(Jakarta: Ma’arif Institute, 2007).
Tafsir Al-kassyaf, karya al-Zamahsyary dan Fi Zhilal al-Qur’an, karya Sayyid Quthub, serta banyak
mengutip pendapat Abu al-A’laa al-Maududy
Usman Najati, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa.
Muhammad Jamaluddin al-Qasimiy, Qawâidu at-Tahd(tsi Min Funni Musthalahi al-Had)tsi, (Kaero : Dar al‘Aqìdah,1425/2004)
Nizar Ali, Memahami Hadits Nabi Metode dan Pendekatannya (Yogyakarta : IDEA Press, 2011)
M. Syuhudi Ismail, hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al –Hadits tentang ajaran
Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta; Bulan Bintang, 2009)
http://notmisterjeckyll.wordpress.com/2011/01/10/hanya-islam-yang-memuliakan-perempuan/.
160
MUWÂZÂH , Vol. 5, No. 2, Desember 2013
Download