Analisis Klorofil-A Fitoplankton di Pantai

advertisement
ANALISIS KLOROFIL-A FITOPLANKTON
(PRODUKTIFITAS PRIMER) DI PERAIRAN PANTAI NATSEPA
KABUPATEN MALUKU TENGAH
Donny J. Pugesehan
Dosen Agroforestri Politeknik Perdamaian Halmahera - Tobelo
ABSTRACT
The concentration of chlorophyll-a in the sea is highly dependent on the availability
of nutrients and the intensity of sunlight. When nutrients and sunlight intensity are
available then the concentration of chlorophyll-a will be high. Chlorophyll-a is a
measure of the fertility of the sea which is expressed in primary production. while
it is part of the food chain in the sea, phytoplankton function as a primary producer
whereby the organism is able to convert inorganic substances into organic matter
through photosynthesis. Therefore the chlorophyll-a is used as standing stock by the
phytoplankton which can then be used as an guide to primary productivity in the sea.
Research was conducted in the coastal region of Natsepa from 150m from the lowest
tide line toward to the sea and based on activities carried out in the sea. To determine
the chlorophyll-a content at Natsepa, measurements were taken of chlorophyll-a in the
sea in this area using 4 stations and 12 sample points. The result showed chlorophyll-a
phytoplankton at 12 sample points in 4 observation stations to have an average ranged
from 0.14-0.36 mg/m3.
Key words : Chlorophyll–a Phytoplankton, primary productivity
PENDAHULUAN
Wilayah perairan pantai dalam peranannya
sebagai sumberdaya hayati laut dapat diartikan
sebagai wilayah perairan laut yang masih
terjangkau oleh pengaruh daratan. Pantai
merupakan daerah pinggir laut yang sempit atau
wilayah darat yang berbatasan langsung dengan
bagian laut, terletak antara air–tinggi dan air–
rendah, walaupun luas daerah ini sangat terbatas,
tetapi di sini terdapat variasi faktor–faktor
lingkungan yang besar di bandingkan dengan
daerah bahari lainnya, bersamaan dengan ini
terdapat keragaman kehidupan yang sangat besar.
Perlu ditekankan bahwa daerah ini benar–benar
merupakan perluasan dari lingkungan bahari dan
dihuni oleh organisme yang hampir semuanya
organisme bahari, walaupun sebagian dari daerah
ini berupa daratan. Kekayaan, keragaman faktor
lingkungan serta kemudahan untuk mencapainya
menyebabkan interaksi dalam daerah kecil ini
lebih banyak dikenal. Perairan wilayah pantai
merupakan salah satu ekosistem yang sangat
produktif di perairan laut, ekosistem ini dikenal
sebagai ekosistem yang dinamik dan unik, karena
pada mintakat ini terjadi pertemuan tiga kekuatan
yaitu yang berasal dari daratan, perairan laut,
dan udara. Kekuatan dari darat dapat berwujud
air dan sedimen yang terangkut sungai dan
masuk ke perairan pesisir, dan kekuatan dari
batuan pembentuk tebing pantainya, sedangkan
kekuatan yang berasal dari perairan laut dapat
berwujud tenaga gelombang, pasang surut, dan
arus, kekuatan yang berasal dari udara berupa
angin yang mengakibatkan gelombang dan arus
sepanjang pantai, suhu udara, curah hujan.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang
memiliki wilayah pesisir yang kaya dan beragam
akan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan
serta memiliki garis pantai sepanjang 81.791 km
termasuk negara kedua yang memiliki garis pantai
terpanjang setelah Kanada. Luas wilayah laut
negeri kita, termasuk didalamnya zona ekonomi
ekslusif, mencakup 5,8 juta kilometer persegi,
atau sekitar tiga perempat dari luas keseluruhan
wilaya Indonesia (Dahuri 2002).
Dengan kenyataan seperti itu sumber daya
pesisir dan lautan Indonesia merupakan salah satu
modal dasar pembangunan Indonesia yang sangat
potensial disamping sumber daya alam darat.
Sumberdaya wilayah pesisir diprediksi akan
semakin meningkat peranannya dimasa-masa
mendatang dalam mendukung pembangunan
ekonomi nasional. Sebagai ekosistem yang
memiliki kelimpahan dan keanekaragaman
Jurnal Agroforestri Volume V Nomor 4 Desember 2010
hayati yang tinggi, memungkinkan manusia
untuk memanfaatkan, mengeksploitasi dan
membudidayakan sumber daya hayati tersebut.
Perhatian manusia sangat besar terhadap wilayah
ini, bukan saja karena letaknya yang begitu dekat
dengan kehidupan mereka tetapi wilayah ini
memang sudah turun-temurun menjadi sumber
protein yang subur bagi masyarakat pantai.
Ekosistem pantai mempunyai berbagai
sumberdaya alam yang berpotensi untuk di
kembangkan, di antaranya perikanan, hutan
mangrove, padang lamun dan terumbu karang
(renewable resources), minyak bumi, gas dan
mineral serta bahan tambang lainya (non renewable
resources) , selain sebagai penyedia kedua
sumber daya tersebut wilayah perairan pantai
memiliki berbagai fungsi seperti : transportasi,
pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan
agroindustri, jasa lingkungan, rekreasi, dan
pariwisata, serta kawasan pemukiman dan
tempat pembuangan limbah. Dengan semakin
meningkatnya pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam yang tidak berwawasan
lingkungan, akan berdampak terhadap penurunan
kualitas dari ekosistem ini. Padahal peranan
positif ekologis dari berbagai tipe ekosistem di
wialayah pantai adalah sebagai penyeimbang
faktor biologis, fisis, kemis (Nybakken,1992).
Ini merupakan konsekwensi dari potensi yang
besar tersebut, kawasan pesisir akan mengalami
perkembangan dengan pertumbuhan yang sangat
pesat. Rais (2002), mengatakan bahwa sekitar 50
– 70 % manusia hidup dan bekerja diwilayah ini
walaupun luasnya hanya 8% dari muka bumi.
Sumberdaya hayati wilayah pesisir yang
merupakan satuan kehidupan (organisme hidup)
yang saling berhubungan dan berinteraksi dengan
lingkungan non hayati (fisik) membentuk suatu
sistem, dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa ekosistem pesisir merupakan unit
fungsional komponen hayati (biotik) dan non
hayati (abiotik), pada prinsipnya terdapat tiga
proses dasar yang menyusun struktur fungsional
komponen biotik ; 1) proses produksi, 2) proses
konsomasi (konsumen), 3) Proses dekomposisi
atau mineralisasi ( pendaur-ulangan materi).
Komponen abiotik suatu ekosistem pesisir
adalah faktor–faktor fisik seperti suhu, curah
hujan, pasang surut, salinitas, ombak, oksigen
273
terlarut dan faktor fisik lainnya yang membatasi
kehidupan di wilayah perairan. Kegiatan–kegiatan
pembangunan yang dilakukan di daerah pesisir
maupun di daerah bagian atas atau lahan atas
secara langsung maupun tidak langsung dapat
memberikan dampak yang sangat besar bagi
keadaan ekosistem di daerah pesisir, memang
dapak tersebut dapat memberikan keuntungan
terhadap kemajuan wilayah tersebut tetapi juga
memberikan kerugian yang sangat besar terhadap
kerusakan habitat, perubahan pada proses alami
ekosistem dan pencemaran, pembangunan
wilayah pesisir merupakan suatu proses perubahan
untuk meningkatkan taraf hidup masyrakat, tidak
terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya
alam pesisir. Didalam aktivitas ini sering
dilakukan perubahan–perubahan pada sumberdaya
alam. Perubahan–perubahan yang dilakukan
tentunya akan memberikan pengaruh terhadap
lingkungan hidup, makin tinggi pembagunan,
makin tinggi pula pemanfaatan sumberdaya alam
dan makin besar perubahan–perubahan yang
terjadi pada lingkungan hidup. Oleh karena itu
perencanaan pembangunan pada suatu sistem
ekologi wilayah pesisir yang berimplikasi pada
perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam
perlu diperhatikan kaidah–kaidah ekologis yang
berlaku untuk mengurangi dampak negatif yang
merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu
sendiri secara menyeluruh. Proses pengelolaan
yang mempertimbangkan hubungan timbal
balik antara kegiatan pembangunan (manusia )
yang terdapat di wilayah pesisir dan lingkungan
alam (ekosistem) yang secara potensial terkena
dampak tersebut (1), proses penyusunan dan
pengambilan keputusan secara rasional tentang
pemanfaatan wilayah pesisir beserta segenap
sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya
secara berkelanjutan (2), suatu proses kontinyu
dan dinamis dalam penyusunan dan pengambilan
keputusan tentang pemanfaatan berkelanjutan
dari wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya
alam yang terdapat didalamnya (3), suatu proses
kontinyu dan dinamis yang mempersatukan atau
mengharmoniskan kepentingan antara berbagi
stakehoders (pemerintah, swasta, masyarakat
lokal, LSM); dan kepentingan ilmiah dengan
pengelolaan pembangunan dalam menyusun
dan mengimplementasikan suatu rencana
terpadu untuk membangun (memanfaatkan) dan
Donny J. Pugesehan
274
Jurnal Agroforestri Volume V Nomor 4 Desember 2010
melindungi ekositem pesisir beserta segenap
sumberdaya alam yang terdapat didalamnya, bagi
kemakmuran/kesejaterahan umat manusia secara
adil dan berkelanjutan (Dahuri,2001).
Sebaran klorofil-a di laut bervariasi
secara geografis maupun berdasarkan kedalaman
perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh
perbedaan intensitas cahaya matahari, dan
konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu
perairan. Secara umum di laut, sebaran klorofila lebih tinggi konsentrasinya pada perairan
pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas
pantai. Tingginya sebaran konsentrasi klorofila di perairan pantai dan pesisir disebabkan
karena adanya suplai nutrien dalam jumlah
besar melalui run-off dari daratan, sedangkan
rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas
pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari
daratan secara langsung. Namun pada daerahdaerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai
konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup
tinggi. Keadaan ini disebabkan oleh tingginya
konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui
proses fisik massa air, dimana massa air dalam
mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan (Valiela, 1984 dalam Tubalawony
2001).
Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh
sistem pola angin muson memiliki pola sirkulasi
massa air yang berbeda dan bervariasi antara
musim, disamping itupula juga dipengaruhi oleh
massa air Lautan Pasifik yang melintasi perairan
Indonesia menuju Lautan Hindia melalui sistem
arus lintas Indonesia (Arlindo). Sirkulasi massa
air perairan Indonesia berbeda antara musim
barat dan musim timur. Dimana pada musim
barat, massa air umumnya mengalir ke arah
timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika
musim timur berkembang dengan sempurna
suplai massa air yang berasal dari daerah
upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda
akan mengalir menunju perairan lndonesia
bagian barat (Wyrki, 1961 dalam Tubalawony
2001). Perbedaan suplai massa air tersebut
mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap
kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi
tinggi rendahnya produktivitas perairan.(Tisch
et al. 1992 dalam Tubalawony 2001) mengatakan
perubahan kondisi suatu massa air dapat diketahui
dengan melihat sifat-sifat massa air yang meliputi
suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan kandungan
nutrien.
Melihat akan keberadaan perairan
Indonesia dimana karena adanya perbedaan
pola angin yang secara langsung mempengaruhi
pola arus permukaan perairan Indonesia dan
perubahan karakteristik massa diduga dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap
tingkat produktivitas perairan. Keadaan ini
tergantung pada berbagai hal, seperti bagaimana
sebaran faktor fisik-kimia perairan. Untuk itu
perlu dilakukan analisa untuk mempelajari dan
menelaah pengaruh faktor-faktor oseanografi
terhadap sebaran fisik-kimia perairan dan
keterkaitannya terhadap tingkat konsentrasi
klorofil- a
Konsentrasi klorofil-a suatu perairan
sangat tergantung pada ketersediaan nutrien
dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien
dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,
maka konsentrasi klorofil-a akan tinggi dan
Sebaliknya. Perairan oseanis di daerah tropis
umumnya memiliki konsentrasi klorofil-a
yang rendah karena keterbatasan nutrien dan
kuatnya stratifikasi kolom perairan akibat
pemanasan permukaan perairan yang terjadi
hampir sepanjang tahun. Namun berdasarkan
pola persebaran klorofil-a secara musiman
maupun secara spasial di beberapa bagian
perairan dijumpai konsentrasi klorofil-a yang
cukup tinggi. Tingginya konsentrasi klorofila disebabkan karena terjadinya pengkayaan
nutiien pada lapisan permukaan perairan melalui
berbagai prosss dinamika massa air, diantaranya
upwelling, percampuran vertikal massa air serta
pola pergerakan masa airr yang membawa massa
air kaya nutrien dari perairan Sekitarnya.
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Pantai
Natsepa, dengan membatasi daerah penelitian
pada kawasan perairan Pantai Natsepa yang
meliputi, perairan dekat pantai sampai jarak
150m dari garis pasang terrendah ke arah laut,
hal ini didasarkan pada kegiatan–kegiatan yang
dilakukan pada kawasan pantai ini.
Analisis Klorofil-a Fitoplankton (Produktifitas Primer) di Perairan Pantai Natsepa Kabupaten Maluku Tengah
275
Jurnal Agroforestri Volume V Nomor 4 Desember 2010
Untuk mengetahui kondisi klorofil-a
pantai Natsepa, maka dilakukan pengukuran
terhadap klorofil-a pada kawasan pantai ini.
Pengukuran dengan menggunakan empat stasiun
dengan 12 titik sampel, sampel ini diambil
berdasarkan pembagian lokasi pemanfaatan
pantai natsepa yaitu pantai Natsepa bagian luar
(lokasi perekonomian dan lain-lain) dan Pantai
Natsepa bagian dalam lokasi rekreasi. Adapun
alat yang digunakan adalah botol Van Dorm,
perahu, CTD (Coductivity, Temperatur & depth,
Turbidity), serta GPS.
Analisis Data
Nilai–nilai penyerapan setelah dikoreksi
digunakan untuk menghitung kadar klorofil –a
mengikuti rumus Strickland dan Parson (1968)
dalam Tubalawony,(2001)
Prosedur Penelitian
Pengambilan contoh air laut untuk
penentuan kadar klorofil – a dilakukan dengan
menggunakan tabung Van Dorn pada kedalaman
1 meter dari perahu yang digunakan. Sampel
air sebanyak 1 - 2 liter, kemudian disaring
dengan kertas millipore tipe HA – WP (ukuran
pori 0,45μm) yang berdiameter 47m, supspensi
magnesium karbonat (MgCO3) disemprotkan
ke dalam contoh pada akhir penyaringan untuk
mencegah terjadinya pengasaman. Selesai
penyaringan, saringan dimasukan ke dalam
desikator aluminium kemudian disimpan dalam
lemari es sampai proses ekstrasi dapat dikerjakan.
Klorofil diekstrasi dengan jalan mengerus contoh
dalam pelarut aseton 90% dengan menggunakan
tissue grinder, setelah dibiarkan lebih kurang 30
menit dalam kedap cahaya yang disimpan pada
lemari es, lalu disentrifuge dengan putaran 4000
rpm selama 30 menit, kemudian cairan yang
bening segera dibaca penyerapannya dengan
menggunakan spektofotometer pada panjang
gelombang 750nm, 665nm, 645nm dan 630nm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Klorofi − a =
(11,48,48 x E665) - (1,54 x E645) - (0,08 xE630) x Ve
Vs x d
Dimana Ve : volume ekstrak aseton
Vs : Volume contoh air
d : diameter biuret
Produktivitas Primer (Kandungan Klorofil-a
Fitoplanton)
Pengukuran kandungan klorofil a
merupakan salah satu alat pengukuran kesuburan
suatu perairan yang dinyatakan dalam bentuk
produktivitas primer (Uno.1982 dalam
Tubalawony, 2008). Klorofil–a fitoplanton
adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan
yang mempunyai peranan penting didalam
proses berlangsungnya fotosintesis diperairan
(Perzelin.1981 dalam Tubalawony 2001) semua
sel berfotosintesis mengandung satu atau
beberapa pigmen klorofil (hijau coklat, merah
atau lembayung), sementara itu dalam mata rantai
(food chain) makanan diperaian, fitoplanton
mempunyai fungsi sebagai produsen primer
(primary productivity) dimana organisme ini
mampu mengubah bahan anorganik menjadi
bahan organik melalui proses fotosintesis, untuk
itu, maka kandungan klorofil - a digunakan
sebagai standing stock fitoplankton yang dapat
Donny J. Pugesehan
276
Jurnal Agroforestri Volume V Nomor 4 Desember 2010
dijadikan sebagai petunjuk produktivitas primer
suatu perairan.
Hasil pengukuran kandungan klorofil–a
fitoplanton pada 12 titik sampel dalam 4 stasiun
pengamatan rata–rata berkisar antara 0,14 – 0,36
mg/m3. Dari hasil pengukuran ini, maka dapat
dikatakan bahwa kandungan klorofil-a relatif
lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Sediadi dan Edward pada
lokasi perairan Pulau–Pulau Lease (Pulau Seram
dan Haruku, Saparua) rata–rata kandungan
klorofil-a antara 0,53 – 2,14 mg/m3, pada bulan
juli laut dilaut banda terjadi upwelling (Musim
Timur), Proses tarikan air (upwelling) yang
terjadi di suatu perairan akan mempengaruhi
kondisi fitoplankton, hidrologi dan pengayakan
nutrisi diperairan tersebut. Proses upwelling yang
terjadi di Laut Banda di karena pengaruh WIRKY
(Sediadi 1993). Akibatnya Laut Banda dan
sekitarnya mengalami defisit air di permukaan
yang harus diganti dengan air dari bawah sekitar
125 – 300 m, naik ke permukaan. Inilah yang
dikenal dengan air naik (Upwelling). Upwelling
sendiri adalah proses naiknya massa air laut dari
lapisan yang lebih dalam dan kaya akan nutrisi ke
lapisan permukaan. Proses upwelling yang terjadi
di suatu perairan akan mempengaruhi kondisi
kehidupan fitoplankton, hidrologi maupun
pengayaan nutrisi di perairan tersebut. Massa
air yang kaya akan nutrisi akan mengalir sampai
ke perairan bawah Pulau Haruku dan Saparua.
Nutrisi (Fosfat dan Nitrat) merupakan makanan
utama fitoplanton yang menghasilkan klorofil a,
makin tinggi kepadatan fitoplanton makin tinggi
kandungan klorofil –a. Hal ini diduga karean
pengaruh dari kandungan zat hara (PO4 dan NO3).
Kandungan nutrisi yang tinggi pada perairan
Pulau Haruku dan Saparua ini akan merangsang
pertumbuhan fitoplankton. Volume fitoplankton
yang tinggi akan menghasilkan klorofil yang tinggi
pula, Proses upwelling inilah yang mengangkat
air yang kaya akan zat hara dari lapisan dalam
ke permukaan, hingga membuat Laut Banda
subur. Di perairan pulau–Pulau Lease pada
bulan juli ini mendapat suplai nutrisi yang besar
dari perairan Laut Banda akibatnya konsentrasi
fitopalnkton juga mengalami peningkatan/ besar,
dengan demikian kandungan klorofil-a juga akan
meningkat.
Penelitian yang dilakukan di Pantai Natsepa
dilakukan pada bulan Februari - Maret (Musim
Barat), pada musim barat ini proses upwelling
telah telah selesai dan diganti dengan peristiwa
penenggelaman atau pengasapan air yang masuk
ke lapisan–lapisan dalam Sinking (downwelling).
Di Laut Banda pada bulan Desember – Februari
(Musim Barat), terjadi angin monsoon barat laut
yang mendorong massa air dari laut jawa melewati
laut flores dan masuk ke laut banda dan sekitarnya
hingga disini terjadi surplus massa air, sebagai
kompensasinya terjadilah penengelaman atau
pengasapan air yang masuk ke lapisan–lapisan
bawah (downwelling), sebagian air ini kemudian
mengalir kesebelah utara Pulau Buru dan masuk
ke Laut Seram (termasuk Pulau Haruku dan
Saparua), sebagian lagi massa air bergerak
sebagai arus masuk disebelah selatan Pulau Seram
dan Laut Arafura (Sediadi, 2004). Pada keadaan
downelling konsentrasi fitoplankton semakin
menurun terutama pada lapisan permukaan
penurunan konsentasi fitoplankton ini di ikut
juga dengan penurunan kandungan klorofil-a, hal
inilah yang menjelaskan perbedaan kandungan
klorofil a pada musim timur (Sediadi dan Edward,
1993) dengan penelitian yang dilakukan pada
Pantai Natsepa (Pebruari – Maret). Kelimpahan
fitoplankton pada musim timur lebih besar
daripada musim Barat, musim Timur dijumpai 30
magra fitoplankton yang didominasi oleh marga
Chaetoceros, Thalassiorix/nema, Lithodesium
dan Cararium (Sediadi,1993), sedangkan
musim barat, dijumpai 22 marga fitoplankton
yang didominasi oleh marga Chaetoceros,
Rhizosolenia,Cararium, tetapi berdasarkan
pengelompokan klorofil - a dalam perairan < 0,07
mg/m3 rendah, 0,07 – 014 mg/m3 sedang dan
> 0,14 mg/m3 tinggi, Hatta (2002), kandungan
klorofil a yang terdapat di perairan Pantai Natsepa
masih kategori mempuyai kandungan klorofil a
yang tinggi. Kandungan klorofil-a di perairan
Pantai Natsepa yang tinggi sangat di pengaruhi
oleh perpindahan massa air dan upwelling
maupun sinking (downwelling) yang terjadi di
Laut Banda, parairan pantai natsepa adalah satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perairan
Teluk Baguala yang merupakan bagian dari selat
Haruku dan berhadapan langsung dengan Laut
Banda, sehingga keadaan hidrologi dari perairan
pantai natsepa sangat dipengaruhi oleh keadaan
Analisis Klorofil-a Fitoplankton (Produktifitas Primer) di Perairan Pantai Natsepa Kabupaten Maluku Tengah
277
Jurnal Agroforestri Volume V Nomor 4 Desember 2010
Produktivitas primer
yang berkembang di Laut Banda. Keadaan ini
telah dijelaskan oleh Wirky (1961) dalam Sediadi
(1993), keadaan perairan Teluk Baguala (Pantai
Natsepa) sangat dipengaruhi oleh perpindahan
massa air dan upwelling dan downwelling yang
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
0.23
0.14
terjadi di Laut Banda. Laut merupakan medium
yang tidak pernah berhenti bergerak baik di
permukaan maupun di bagian bawahnya, hal ini
menyebabkan terjadinya sirkulasi air. Berikut
ini sebaran produktivitas primer pada stasiun
pengamatan.
0.30 0.30 0.28
0.19 0.19 0.19
0.36 0.36
0.24 0.26
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1 D2 D3
Titik sampel
Gambar.1. Konsentrasi Produktivitas Primer pada setiap stasiun
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kesuburan dari perairan ini masih
baik, dengan tingkat produktivitas
primer cukup tinggi, berkisar antara
0,14 – 0,36 m3
2. Kandungan klorofil-a di perairan
Pantai Natsepa yang tinggi sangat
dipengaruhi oleh perpindahan massa air dan upwelling maupun sinking (downwelling) yang terjadi di
Laut Banda
Saran
Kawasan
peraiaran
sangat
tergantung pada kondisi lingkungan
bagian atas atau daratan, meliputi
aktivitas dan kegiatan pembangunan,
kerusakan dan aktivitas yang dilakukan
di lahan atas (darat) akan berdampak
terhadap
pencemaran
kawasan
perairan. Untuk itu disarankan kepada
masyarakat maupun pihak–pihak yang
berkepentingan terhadap pengembangan
dan pengelolaan kawasan ini untuk
menjaga dan melestarikan kawasan ini
terutama kawasan pantai, serta menjaga
agar kawasan peraiaran tetap baik
bebas dari sampah dan limbah akibat
dari berbagai aktivitas dan kegiatan
pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Dahuri,R. Nugroho,I 2004. Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan.
Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia.jakarta
Edward, 1989. Pengamatan Pendahuluan Kualitas Perairan Teluk Ambon, LIPI Ambon
Hatta, M. 2002. Hubungan Antara Klorofil–a dan Ikan Pelagis, IPB Bogor
Guntur. 1996. Ekologi Perairan. Institut Pertanian Malang
Donny J. Pugesehan
278
Jurnal Agroforestri Volume V Nomor 4 Desember 2010
Nybakken, W. R. 1988. Biologi Laut suatu pendekatan ekologis. Penerbit PT.Gramedia. Jakarta
Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Edisi revisi. Penerbit Djambatan. Jakarta
Prayitno, Edward, Marasabessy. 2003. Kandungan Total Padat Tersuspensi di Perairan Teluk Baguala,
Makalah Utama seminar Nasional Perikanan Indonesia
Sediady A, 1993. Kandungan Klorofil–a Fitoplankton di Perairan Pulau–Pulau Lease, Maluku Tengah,
Puslitbang Oseanologi LIPI Ambon
Sediady A, 2004, Effek Upwelling Terhadap Kelimpahan dan Distribusi Plankton di Perairan
Banda, Program Pascasarjana Biologi, FMIPA, Universitas Indonesia Jakarta (tidak
dipublikasikan)
Sediady A, 2004. Dominasi Cyanobacteria dan Musim Peralihan Laut Banda. Program Pascasarjana
Biologi, FMIPA, Universitas Indonesia. Jakarta. (tidak dipublikasikan)
Tubalawony, S, 2001. Pengaruh Faktor–Faktor Oseanografi Terhadap Produktivitas Primer Perairan
Indonesia
Tubalawony, S, 2008. Kajian Klorofil–a dan Nutrien serta Interelasinya dengan Dinamika Massa Air
di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa - Sumbawa
Analisis Klorofil-a Fitoplankton (Produktifitas Primer) di Perairan Pantai Natsepa Kabupaten Maluku Tengah
Download