Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang

advertisement
PENGARUH JANGKA PENDEK DAN JANGKA PANJANG PERUBAHAN
SUKU BUNGA DAN KURS RUPIAH TERHADAP HARGA SAHAM:
STUDI EMPIRIS DI INDONESIA (2000:1 – 2010:4)
Rogatianus Maryatmo
Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Email: [email protected]
ABSTRACT
The present study investigates the role of exchange rate and interest rate in stock price discovery in
Indonesia. Indonesia is experiencing a kind of bubble which is indicated by surplus of current account
accompanied by high capital inflow. Capital inflow simustaneusly influences exchange rate, and interest
rate, and thus sequently affects stock prices. Employing cointegration approach and Engle Granger Error
Corection Model (ECM), covering monthly time series data from January 2000 to April 2010, both short
run and long run relationships are investigated. It is found out that there is cointegration relationship
between stock price as dependent variable and exchange rate and interest rate, as independent
variables. In the long run and in the short run, interest rate statisticaly significant negatively influences
the stock prices. The impact of exchange rate on stock price is statistically significant, and changes in
sign from negative in the short run effect to positive in the long run effect. In the long run, stock price is
elastic to the changes in interest rate, and exchange rate. In the short run, the elasticity of stock price is
decreasing in responding to the change in interest rate and exchange rate.
Keywords: Cointegration, ECM, stock price, economic model, elasticity
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara
yang mengalami pertumbuhan ekonomi secara
positif. Telah lama bahwa suku bunga dalam negeri
Indonesia lebih tinggi dari negara-negara tetangganya. Tingkat bunga yang tinggi dalam negeri dan
pertumbuhan ekonomi yang positif telah menarik
arus masuk modal asing jangka pendek. Di satu sisi
neraca transaksi berjalan yang surplus, di sisi neraca
modal juga surplus. Surplus neraca pembayaran
tidak disertai dengan apresiasi mata uang domestik
yang signifikan (rupiah), dan penurunan suku bunga
yang cukup besar, sehingga aliran modal masuk
terus berkelanjutan.
Menurut teori pasar terbuka, aliran modal masuk mempengaruhi harga saham melalui perubahan
nilai tukar dan suku bunga (Mankiw, 2004; Alhayky,
2009). Masuknya investasi meningkatkan penawaran
mata uang asing dan meningkatkan nilai tukar mata
uang domestik. Apresiasi mata uang domestik, pada
gilirannya, menurunkan daya saing produksi dalam
negeri di pasar luar negeri. Penurunan daya saing
produksi dalam negeri melemahkan harga saham.
Sementara itu, arus masuk modal menyebabkan
pasokan dana dalam negeri membengkak, dan
menekan tingkat bunga turun. Penurunan suku
bunga cenderung meningkatkan permintaan saham,
dan pada gilirannya mendongkrak harga saham.
Ada begitu banyak artikel yang mengamati
pengaruh nilai tukar dan suku bunga terhadap harga
saham. Kebanyakan dari mereka meneliti secara
bivariat antara nilai tukar dan harga saham dan
antara suku bunga dan harga saham (Alhayky, 2009;
et.all Rjoub., 2009; Kettering, 2009; Aliyu, 2009).
Karena pada umumnya penelitian penelitian tersebut
berasumsi bahwa ada hubungan timbal balik antara
kedua set variabel, maka biasanya tes kausalitas
antara dua set dilakukan (Alhayky, 2009; Aliyu,
2009). Penelitian ini sedikit berbeda. Uji kointegrasi
antara dua variabel independen dan variabel dependen dilakukan dalam penelitian ini. Kedua variabel
independen tersebut alah nilai tukar dan suku bunga,
dan variabel terikatnya adalah harga saham. Konfirmasi uji kointegrasi persamaan tersebut menyatakan
dukungannya terhadap kebenaran teori yang melatarbelakangi.
JEJAK, Volume 3, Nomor 1, Maret 2010
1
LANDASAN TEORI
Sebagian besar penelitian di berbagai negara
menyelidiki hubungan antara nilai tukar dan harga
saham, dan antara suku bunga dan harga saham
secara terpisah. Penelitian ini memfokuskan diri pada
hubungan antara variabel independen yakni nilai
tukar dan suku bunga, dan variabel dependen yakni
harga saham. Kointegrasi antara variabel independen dan variabel tergantung menunjukkan bahwa
teori yang mendukung adalah benar adanya.
Studi sebelumnya yang meneliti hubungan
antara nilai tukar dan harga saham dilakukan
diantaranya oleh Ahmed Alhayky dan nDambendia
Houdou (2009); Ronald C. Kattering (2009); Shehu
Usman Rano Aliyu (2009). Sebagian besar dari
mereka meneliti hubungan antara harga saham dan
nilai tukar mata uang beberapa negara. Ahmed
Alhayky dan nDambendia Houdou (2009), dengan
menggunakan data bulanan dari bulan Juni 2001
sampai Desember 2008, menguji hubungan antara
nilai tukar mata uang dan harga saham di Kuwait.
Dengan menggunakan uji kointegrasi, dan uji kausalitas, hasil penelitian menghasilkan bahwa ada
kointegrasi antara harga saham Kuwait dan mata
uang dolar AS, Yen Jepang, dan British Pound. Tidak
ada kointegrasi antara harga saham Kuwait dan
mata uang Eropa, Euro. Berdasarkan hasil uji
kausalitas Granger, ditemukan bahwa dalam jangka
panjang, ada kausalitas bilateral antara harga saham
Kuwait dan mata uang British Pound, harga saham
Kuwait dan mata uang Yen Jepang, dan harga
saham Kuwait dan mata uang dollar AS. Selain itu
dalam jangka pendek, harga saham Kuwait tidak
memiliki hubungan kausalitas searah atau dua arah
dengan mata uang Inggris, Pound.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Usman
Shehu Rano Aliyu di Nigeria (2009). Aliyu melakukan
pengamatan hubungan jangka panjang dan hubungan jangka pendek antara nilai tukar mata uang dan
harga saham di Nigeria, dengan menggunakan basis
data harian dari 1 Februari 2001 sampai dengan 31
Desember 2008. Dengan menggunakan metoda
kointegrasi Johansen dan Julius dan menggunakan
uji kausalitas, Aliyu menemukan bahwa ada
kointegrasi antara nilai tukar mata uang dollar AS
dan harga saham di Nigeria. Uji kausalitas menunjukkan bahwa ada hubungan dua arah jangka panjang
2
antara nilai tukar mata uang dolar AS dan harga
saham di Nigeria.
Sebuah perhatian khusus diberikan oleh Ronald
Kettering (2009) untuk meneliti hubungan antara kurs
mata uang dolar AS dan harga saham yang diwakili
oleh harga saham Industri Dow Jones dan Index
saham Standard Poor's 500. Menggunakan data
bulanan untuk periode 8 tahun, 1999-2006, hubungan antara harga saham dan kurs tukar dolar AS
diamati. Periode waktu penelitian ini dipilih sebagai
upaya menyertakan periode mulai berlakunya mata
uang Eropa, Euro. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan, namun dampaknya
terbatas. Temuan tambahan menunjukkan bahwa
ada perubahan hubungan antar mata uang, namun
hubungan antar mata uang dari daerah ekonomi
yang sama cenderung berhubungan positif. Hubungan antara mata uang Euro, Pound, dan Frank berhubungan positif.
Sebuah pendekatan yang sedikit berbeda dilakukan oleh Husam Rjoub, Turgut Tursoy, dan Nihil
Gunsel (2009) yang penelitian dilakukan di Turki.
Pendekatan Ordinary Least Squares (OLS) dogimalam untuk menguji pengaruh dari enam variabel
makroekonomi terhadap harga saham. Variabel
makro yang digunakan adalah suku bunga, inflasi,
premi risiko, nilai tukar, dan jumlah uang yang
beredar. Sampel yang digunakan untuk penelitian
mereka adalah saham dari 259 perusahaan yang
terdaftar di Bursa pasar uang Turki dalam periode 1
Januari 2001 hingga September 2005. Data runtun
waktu sebanyak 57 bulan digunakan untuk mengestimasi model linier enam variabel independen tersebut. Hasilnya adalah bahwa variabel makroekonomi
secara umum mampu menjelaskan variasi harga
portofolio di Turki.
Mohammad Shabri Abdul Madjid, dan Roslin
Mohammad Yusof (2009), dengan menggunakan
data bulanan dari Mei 1999 sampai Februari 2006,
meneliti hubungan antara variabel ekonomi makro
dan penghasilan saham syariah di Malaysia (2009).
Variabel makroekonomi yang digunakan sebagai
variabel independen adalah suku bunga obligasi
pemerintah (TBR), suku bunga bank federal (FDR),
jumlah uang beredar (M2), dan nilai tukar riil (REER).
Dengan menggunakan model Autoregressive
Distributed Lag dan dengan pendekatan Cointegrasi, hubungan jangka panjang dan jangka
Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang Perubahan Suku Bunga . . . . (Maryatmo: 1 – 11)
pendek antara variabel-variabel ekonomi makro dan
penghasilan saham diteliti. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa semakin tinggi tingkat suku
bunga obligasi pemerintah, dan semakin tinggi suku
bunga bank, semakin banyak orang membeli saham
Syariah, sehingga harga saham meningkat. Penelitian tersebut menegaskan bahwa ada hubungan
antara kurs dan penghasilan saham syariah.
Semakin tinggi nilai tukar, permintaan saham syariah
turun, sehingga harga saham syariah itu juga turun.
Mohammad Akbar dan Omar kundi (2009),
dengan menggunakan data bulanan untuk periode
Januari 2000 hingga April 2008, meneliti pengaruh
variabel moneter pada harga saham di Pakistan.
Variabel moneter adalah inflasi, jumlah uang beredar
(M2), dan suku bunga. Kointegrasi dan Vector Error
Correction Model digunakan untuk meneliti hubungan
antara variabel-variabel moneter dan harga saham.
Dapat disimpulkan bahwa semua variabel moneter
menyebabkan harga saham. Tingkat bunga positif
mempengaruhi harga saham. Kesimpulan tentang
pengaruh tingkat bunga terhadap harga saham mirip
dengan temuan penelitian Abdul Madjid dengan topik
serupa yang dilakukan di Malaysia.
Dengan menggunakan data runtun waktu
triwulanan yang tidak terlalu panjang, yakni hanya 38
observasi, M Shabri Abdul Madjid (2009) mengeksplorasi hubungan antara permintaan uang dan harga
saham di Indonesia. Data meliputi kuartal kedua
tahun 1997 yang merupakan awal masa krisis
ekonomi bagi Indonesia, sampai kuartal keempat
tahun 2008. Kointegrasi dan pendekatan Kausalitas
Engle Granger digunakan dalam penelitian ini. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada kointegrasi
antara uang sempit, M1, dengan harga saham. Ada
hubungan kausalitas dua arah antara M1 dan harga
saham. Hal ini lebih lanjut menunjukkan bahwa
dalam merancang kebijakan ekonomi yang berkaitan
dengan pasar saham, pemerintah Indonesia melalui
Bank Indonesia juga dapat menggunakan saldo uang
yang beredar. Praktek kebijakan ekonomi untuk
mengatur pasar saham yang dilakukan oleh Bank
Indonesia pada saat ini menggunakan tingkat suku
bunga. Sebaliknya, mengendalikan stabilitas saldo
uang dalam jangka panjang dapat dicapai secara
tidak langsung dengan cara mengatur pasar saham.
Sangat menarik bahwa sebagian besar penelitian yang mengamati hubungan antara suku bunga
dan harga saham menyimpulkan bahwa ada korelasi
positif antara kedua variabel tersebut (Rjoub et.all,
2009; Shabri dan Roslin, 2009; Akbar dan kundi,
2009; Shabri, 2009; Erdem, Arslan dan Erdem,
2005). Erdem, Arslan dan Erdem (2005) menunjukkan bahwa perubahan suku bunga menyebabkan
investor mengubah portofolionya dari obligasi ke
saham. Ketika suku bunga turun, investor mengalihkan investasi dari obligasi ke saham.
Rjoub et.all, (2009), Shabri dan Roslin, (2009),
Akbar dan kundi, (2009), Shabri, (2009) melakukan
penelitian mereka di negara-negara berkembang.
Penelitian tersebut berurutan dilakukan di Turki,
Malaysia, Pakistan, dan Indonesia. Negara-negara
berkembang dianggap sebagai negara kecil yang
terbuka lebih sensitif terhadap pengaruh negara
asing. Jika perbedaan suku bunga meningkat, arus
masuk modal meningkat, permintaan akan saham
naik, dan pada gilirannya berikutnya, harga saham
yang meningkat.
Hubungan antara nilai tukar dan harga saham
sangat ambigu. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan statistik yang signifikan
antara nilai tukar dan harga saham (Rjoub, 2009;
Alhayky dan Houdou, 2009; Kettering, 2009). Beberapa penelitian lain menyimpulkan bahwa ada
hubungan positif antara nilai tukar dan harga saham
(Rjoub, 2009; Kettering, 2009; Aliyu, 2009). Beberapa penelitian lainnya lagi menemukan bahwa
hubungan statistik antara kedua variabel adalah
negatif (Rjoub, 2009; Alhayky dan Houdou, 2009;
Kettering, 2009; Shabri dan Roslin, 2009. Kettering
(2009) menyimpulkan bahwa hubungan statistik
antara harga saham dan nilai tukar sangatlah meragukan dan lemah. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa dampak nilai tukar terhadap harga saham
selama periode sampel hasilnya tidak meyakinkan.
Aliyu (2009) menjelaskan bahwa hubungan
positif antara harga saham dan nilai tukar bersifat
dua arah. Ini berarti bahwa nilai tukar ditentukan
harga saham, dan harga saham mempengaruhi nilai
tukar. Jika ada modal masuk, permintaan saham
meningkat, dan harga saham naik. Dapat pula
sebaliknya terjadi, jika kinerja sektor riil bagus, maka
pasar saham akan bagus pula. Jika arus modal
masuk meningkat, nilai tukar menguat. Menurut Aliyu
(2009), hubungan dua arah menguntungkan Nigeria.
Pasar saham mendukung posisi neraca pembayaran,
JEJAK, Volume 3, Nomor 1, Maret 2010
3
dan meningkatkan stabilisasi nilai tukar. Sebaliknya
pasar valuta asing memperkuat pasar saham. Bukti
ini menunjukkan bahwa Nigeria adalah negara kecil
dengan perekonomian terbuka.
Alhayky (2009), menjelaskan argumen tanda
negatif atau positif pada hubungan antara kurs dan
harga saham. Ada dua pendekatan pada hubungan
antara kedua variabel. Pendekatan yang berorientasi
aliran (flow) dan jumlah (stock). Pertama, efek nilai
tukar terhadap pasar pasar saham (pendekatan
aliran) dijelaskan sebagai berikut. Depresiasi nilai
tukar akan meningkatkan daya saing yang mengarah
kepada peningkatan output domestik (ekspansi),
yang pada gilirannya merupakan indikator ekspansi
perekonomian dan meningkatkan atau mempengaruhi harga saham. Kedua, pengaruh harga saham
pada nilai tukar (berorientasi stok) menyatakan
bahwa kenaikan harga saham menyebabkan arus
modal masuk, yang pada gilirannya menyebabkan
peningkatan permintaan untuk mata uang domestik
dan menyebabkan nilai tukar mata uang domestik
meningkat. Pendekatan berorientasi aliran menunjukkan hubungan yang negatif antara nilai tukar dan
harga saham, di sisi lain pendekatan stok menunjukkan hubungan positif antara nilai tukar dan harga
saham.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Diasumsikan bahwa semua pelaku perekonomian mengoptimalkan hasil atau keuntungan dari
perdagangan saham dalam negeri. Para pelaku
perekonomian mendapatkan keuntungan dari capital
gain dan dari dividen. Para pelaku perekonomian
memiliki dua sumber dana untuk membeli saham.
Mereka bisa meminjam uang di dalam negeri dan
internasional. Untuk dana dari dalam negeri, mereka
harus membayar tingkat bunga domestik. Untuk
dana asing, mereka harus membayar suku bunga
asing. Para investor harus mempertimbangkan risiko
nilai tukar, jika mereka menggunakan dana dari luar
negeri. Fungsi laba dapat dirumuskan sebagai fungsi
Lagrange Multiplier sebagai berikut.
M ax..(Q )  P(Q ) * Q  R * Q 
rd(Qd, Qf ) * Qd  rf * E(Qf ) * Qf 
(1)
Sumber penghasilan modal capital gain
( P (Q) * Q), dan dividen (R * T), di mana P
adalah perubahan harga saham, Q adalah jumlah
saham yang diperdagangkan, R adalah tingkat
dividen . Agar sederhana, tingkat dividen (R) dan
suku bunga asing (rf) diasumsikan eksogen. Harga
saham ditentukan oleh permintaan (dan penawaran)
saham. Biaya kepemilikan saham adalah bunga yang
dibayar untuk pinjaman domestik (rd (Qd, Qf) * Qd)
dan bunga yang dibayar untuk pinjaman
internasional (rf * E (Qf) * Qf), di mana Qd adalah
sumber dana dalam negeri, dan Qf adalah sumber
dana luar negeri. Total dana untuk membeli saham
dalam negeri adalah Q, dimana Q terdiri dari Qf dan
Qd (Q = Qf + Qd). Pinjaman internasional
mengandung resiko perubahan nilai tukar. Karena
Indonesia adalah negara kecil, modal masuk (Qf)
tidak mempengaruhi tingkat suku bunga asing (rf),
tetapi mempengaruhi tingkat bunga domestik (rd
(Qf)), dan nilai tukar (E (Qf)) secara bersamaan.
Pelaku perekonomian memaksimalkan laba
dengan mengatur jumlah dana yang akan dialokasikan untuk membeli saham. Sumber dana untuk
membeli saham adalah sumber dana domestik dan
internasional. First Order Condition (FOC) adalah
sebagai berikut.
  { P(Q )}

Qd  P(Qd)  R 
Qd
Qd
rd
Qd  rd    0
Qd
  { P(Q )}
rd

Qf  P(Qf )  R 
Qd 
Qf
Qf
Qf
E
rf * Qf  rfE    0
Qf


 Q  Qd  Qf  0
(3)
(4)
FOC pertama (persamaan 2) berarti bahwa
perubahan sumber dana domestik mempengaruhi
harga saham dan tingkat bunga domestik. Peningkatan permintaan domestik untuk saham cenderung
meningkatkan harga saham, ( P/ Q)>0. Peningkatan saham yang diperdagangkan merangsang
kenaikan suku bunga domestik, ( rd/ P)>0 dan
meningkatkan biaya kepemilikan saham. FOC
 (Q  Qd  Qf )
4
(2)
Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang Perubahan Suku Bunga . . . . (Maryatmo: 1 – 11)
pertama, atau persamaan kedua dapat dirumuskan
sebagai berikut.
 { P(Q )}
rd
Qd  P(Qd)  R 
 rd
Qd
Qd
(5)
Kondisi di atas menyiratkan bahwa jika perubahan keuntungan memegang saham lebih tinggi
daripada biaya memegang saham dalam negeri, permintaan untuk saham meningkat. Jika biaya memegang saham domestik lebih tinggi dari keuntungan
memegang saham, permintaan saham menurun. Jika
biaya domestik dan profitabilitas memegang saham
sama, kondisi ekuilibrium tercapai. Kondisi FOC
terpenuhi.
FOC kedua (persamaan 3) menunjukkan bahwa
arus modal masuk memperkuat nilai tukar,
( E/ Qf) > 0, sehingga jumlah yang sama valuta
asing mendapatkan jumlah yang lebih kecil dari mata
uang domestik. mata uang Domestik dan aset
domestik semakin mahal dalam hal mata uang asing.
Masuknya investasi yang lebih tinggi memicu pasokan uang dan likuiditas, dan pada gilirannya menurunkan tingkat bunga domestik, ( rd/ Qf) < 0.
Semakin rendah tingkat bunga domestik, yang lebih
murah biaya modal. Lebih murah biaya modal,
semakin tinggi permintaan terhadap uang dan saham
adalah. Masuknya investasi juga secara langsung
merangsang permintaan untuk saham, dan berturutturut naik harga saham ( P/ Qf) > 0. Kondisi FOC
kedua dapat disajikan kembali sebagai berikut.
 { P(Q )}
rd
Qf  P(Qf )  R 
Qd 
Qf
Qf
E
rf * Qf  rf * E
Qf
Persamaan (6) di atas menyatakan bahwa jika
keuntungan dari memegang saham lebih tinggi dari
biaya memegang saham dari sumber dana luar
negeri, pelaku perekonomian cenderung untuk meminjam dana dari luar negeri. Jika biaya lebih tinggi
dari keuntungan, permintaan saham menurun. Kondisi kesetimbangan dicapai jika keuntungan memegang saham adalah sama dengan biaya memegang
saham. Jika persamaan (5) dan (6) digabungkan,
kondisi ekuilibrium untuk perekonomian terbuka
terpenuhi. Jika sumber dana domestik lebih murah
dibandingkan sumber dana asing, permintaan dana
dalam negeri meningkat. Peningkatan permintaan
dana dalam negeri mendorong tingkat bunga domestik meningkat, dan perbedaan suku bunga menghilang. Dipicu oleh arus modal masuk, jumlah uang
beredar meningat, dan sekaligus memperkuat nilai
tukar mata uang domestik. Peningkatan jumlah uang
beredar mendorong tingkat bunga turun, dan menghapus perbedaan suku bunga antar negara, dan
menghentikan arus modal antar negara.
Dari model di atas, ditemukan bahwa harga
saham, suku bunga domestik, dan nilai tukar adalah
endogen, sementara suku bunga asing dan tingkat
dividen adalah eksogen. Dari ketiga FOC bisa
diselesaikan ketiga variabel endogen sebagai fungsi
dari variabel eksogen. Karena kepentingan penelitian
ini fokusnya adalah hubungan antara harga saham
(P), dan dua variabel independen tingkat bunga
domestik (rd), dan nilai tukar (E), sangat mungkin
untuk membangun sebuah hubungan secara umum
sebagai berikut.
P  f  rd(rf ,R ), E (rf ,R ) 
(  or  )
 ( )

(7)
Persamaan di atas mengatakan bahwa harga
saham (P) adalah fungsi dari tingkat bunga domestik
(rd), dan nilai tukar (E). Suku bunga Asing (rf), dan
tingkat dividen (R) secara langsung, maupun tidak
langsung melalui tingkat bunga domestik, dan kurs
mempengaruhi harga saham (P). Jika tingkat bunga
domestik meningkat, biaya peminjaman uang domestik meningkat, sehingga permintaan saham menurun.
Jika permintaan saham menurun, harga saham
menurun. Hubungan antara suku bunga domestik
(rd) dan harga saham (P) adalah negatif. Kesimpulan
teoritis ini benar-benar bertentangan dengan semua
(6)
penelitian sebelumnya (Rjoub et.all, 2009; Shabri
dan Roslin, 2009; Akbar dan kundi, 2009; Shabri,
2009).
Jika nilai tukar mata uang domestik (E) meningkat, biaya pinjaman luar negeri lebih mahal, tapi
biaya pinjaman dalam negeri lebih murah. Penurunan biaya pinjaman dalam negeri disebabkan karena
arus modal masuk akan menyebabkan jumalah uang
beredar meningkat, dan selanjutnya mendorong
penurunan suku bunga domestik. Meningkatnya nilai
mata uang domestik di satu menurunkan permintaan
asing terhadap saham domestik, di sisi lain meningkatkan permintaan domestik terhadap saham domestik. Jika penurunan permintaan luar negeri lebih
JEJAK, Volume 3, Nomor 1, Maret 2010
5
tinggi dari pada peningkatan permintaan domestik,
harga saham turun. Jika peningkatan permintaan
domestik lebih tinggi dari penurunan permintaan luar
negeri untuk saham, harga saham dalam negeri
meningkat. Hubungan antara nilai tukar dan harga
saham adalah tak tentu. Kesimpulan teoritis ini mirip
dengan temuan beberapa penelitian sebelumnya
(Rjoub, 2009; Alhayky dan Houdou, 2009; Kettering,
2009).
seri ini akan stasioner jika rho adalah di antara nol
dan satu (0 < rho <1). Jika rho adalah sama dengan
satu (atau lebih dari satu atau kurang dari nol) seri
disebut akar unit. Berarti satu unit, dan seri tidak
stasioner. Persamaan (8) dikonversikan ke dalam
persamaan (9) dalam rangka memfasilitasi tes.
Yt = ( - 1) Yt-1 +
Yt =
theta
Metodologi
Ada tiga variabel yang digunakan dalam penelitian. Ketiganya adalah harga saham, nilai tukar, dan
tingkat suku bunga. Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) digunakan sebagai proxy untuk harga saham.
Kurs diukur sebagai rasio rupiah (mata uang
Indonesia) per dolar AS. Federal Reserve Tingkat
Indonesia, atau dikenal sebagai Suku Bunga Bank
Indonesia (BI rate), digunakan untuk mewakili tingkat
bunga.
Satu masalah serius yang dihadapi oleh ahli
ekonometri ketika berhadapan dengan data time
series adalah regresi lancung atau spurious
regression (Thomas, RL, 1997). Ada tiga cara untuk
menghindari masalah tersebut. Solusi yang mungkin
adalah, pertama, melakukan regresi untuk semua
variabel stasioner dalam persamaan. Solusi yang
kedua adalah menggunakan pendekatan kointegrasi.
Solusi ketiga adalah menerapkan model dinamik.
Karena motivasi dari penelitian ini adalah mengamati
hubungan jangka panjang, atau hubungan teoritis
antara variabel-variabel independen yakni tingkat
bunga dan nilai tukar dan variabel dependen yang
adalah harga saham, maka hanya solusi kedua dan
ketiga akan dilakukan.
Langkah penting pertama adalah menjalankan
uji akar unit dan menemukan derajat integrasi dari
variabel yang terlibat dalam model. Uji akar unit yang
dipergunakan adalah Dicky Fuller (DF) dan
Augmented Dicky Fuller (ADF) dan Phillip Perron
(Thomas, 1993). Pengertian dari uji DF dan uji ADF
adalah sebagai berikut. Diasumsikan bahwa realisasi
data time series mengikuti pola fungsi autokorelasi
sebagai berikut.
Yt =
6
Yt-1 +
t
(8)
Yt-1 +
t
(9)
t
= ( - 1).
Serial tersebut akan memiliki sifat akar unit jika
rho bernilai sama dengan satu, atau theta adalah
sama dengan nol. Uji akar unit atau uji Dicky Fuller
mengajukan hipotesis bahwa H null bahwa theta
sama dengan nol, yang berarti adalah rho ( ) adalah
sama dengan satu (unit). Dicky Fuller menyadari
bahwa residual dari persamaan (9) cenderung bersifat autocorrelatif. Untuk menghindari masalah autokorelasi, lag dari variabel dependen yang disertakan
sebagai independen variabel dalam persamaan.
Modifikasi uji tersebut kemudian terkenal dengan uji
Augmented Dicky Fuller (ADF), yang formula adalah
sebagai berikut.
i
Yt   0 Yt 1   1  Yt i   t
(10)
1
Persamaan (10) di atas menghadapi masalah
lain, yaitu panjang lag. Akaike dan kriteria Schwarz
digunakan dalam menentukan panjang lag.
Transformasi persamaan (8) ke persamaan (9)
dari uji DF mengilhami cara untuk membuat sebuah
seri data menjadi stasioner. Diferensiasi adalah salah
satu cara yang mungkin untuk membuat non-stasioner menjadi seri stasioner. Berapa kali diferensiasi
untuk mengkonversi non-stasioner untuk seri stasioner dikenal sebagai derajat integrasi. Tantangan
pertama adalah menemukan seri stasioner dan
menjalankan regresi semua variabel stasioner.
Tantangan kedua adalah membuktikan bahwa
ada suatu hubungan jangka panjang antara variabel
dependen yang adalah harga saham dan variabel
independen yang adalah tingkat bunga dan nilai
tukar. Hubungan jangka panjang akan tersirat oleh
regresi kointegrasi. Regresi kointegrasi statis akan
diuji dengan menggunakan uji DF dan ADF. Residual
regresi kointegrasi stasioner harus statis. Seperti
yang disarankan oleh Harris (1995), menguji
Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang Perubahan Suku Bunga . . . . (Maryatmo: 1 – 11)
kestasioneran dari sisa menyiratkan pengujian regresi kointegrasi statis dari persamaan utama. Regresi
kointegrasi statis dapat dirumuskan sebagai berikut.
Yt   0  1X 1t   2 X 2 t  t
(11)
Karena hubungan jangka panjang tidak
diketahui apakah linier atau non-linear, McKinnon,
White, dan Davidson (MWD) test harus dilakukan. Uji
MWD dilakukan dalam rangka untuk memilih apakah
sebuah model cenderung linear atau non linear. Uji
MWD mengikuti formula seperti itu (Gudjarati, 2009).
Yt   0  1X 1t   2 X 2 t   3 Z1  1t
(12)
log(Yt )   0  1 log(X 1t )   2 log(X 2 t ) 
 3 Z 2  2 t
(13)
Z1 adalah selisih antara log Yt predicted dan
log (Yt) predicted. Z2 adalah selisih antara antilog log
(Yt) predicted dan Yt predicted. Jika koefisien Z1
dalam persamaan (12) secara statistik signifikan, dan
koefisien Z2 dalam persamaan (13) secara statistik
tidak signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara variabel dependen dan independen
adalah non-linear. Sebaliknya, jika koefisien Z1 dalam persamaan (12) secara statistik tidak signifikan,
dan koefisien Z2 dalam persamaan (13) secara statistik signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara variabel dependen dan independen
cenderung linier.
Dengan asumsi bahwa tantangan kedua selesai, tantangan ketiga yang harus diselesaikan adalah
merumuskan dan menjalankan Engle-Granger Error
Correction Model (ECM). Seperti yang dinyatakan
oleh Engle dan Granger (1991), ECM adalah representasi dari regresi kointegrasi. Ada beberapa keuntungan ECM daripada regresi kointegrasi statis.
Keuntungan pertama adalah tidak hanya jangka
panjang tetapi juga hubungan jangka pendek bisa
diungkapkan. Kedua, dapat kecepatan penyesuaian
menuju keseimbangan yang baru dapat diketahui.
Perumusan ECM dapat ditulis sebagai berikut.
Yt  1X 1t  2 X 2 t  Z t 1   t
(14)
Di mana, Zt-1 adalah istilah koreksi kesalahan.
Koefisien
adalah koefisien penyesuaian, yang
merupakan besarnya reaksi variabel dependen atau
penyesuaian untuk setiap unit disekuilibrium di masa
lalu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data bulanan dari Januari 2001 hingga April
2010. Data unduh dari website Bank Indonesia.
Variabel yang digunakan adalah indeks komposit
harga saham (IHSG) sebagai variabel dependen,
nilai tukar uang rupiah terhadap dolar, dan suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai
variabel independen.
Diasumsikan bahwa persamaan dapat bersifat
linear atau non linear. Untuk persamaan yang nonlinear, untuk membuat persamaan menjadi linear,
semua variabel diubah menjadi linier dengan
pendekatan logaritma. Variabel linier dan logaritmik
diuji untuk kestasioneran mereka dengan cara uji
akar unit DF dan ADF. Hasil uji unit root dilaporkan
dalam tabel (1).
Sangat menarik untuk menginterpretasikan
hasil ADF untuk semua variabel. Pertama-tama,
semua variabel mengalami masalah autokorelasi
order satu. Untuk mengatasi masalah autokorelasi,
lag dari variabel-variabel yang diuji harus disertakan.
Untuk menentukan panjang lag, kriteria Akaike dan
Schwarz digunakan. Autokorelasi order satu menunjukkan bahwa panjang lag adalah satu. Karena data
yang digunakan adalah data bulanan, autokorelasi
order satu menunjukkan bahwa data masa kini
dipengaruhi oleh data bulan lalu. Sebagai contoh,
saat ini harga saham dipengaruhi oleh harga bulan
lalu. Kedua, hampir semua variabel mengandung
drift dan atau tren. Harga Saham (IHSG) dan Suku
Bunga (SBI) mengandung dengan drift dan trend.
Nilai tukar mata uang (Kurs) hanya mengandung
drift. Harga Saham bergerak ke atas sejak Maret
2001. Indek harga saham bernilai 318 poin pada
Maret 2001, dan mencapai puncak pada bulan April
2010 dengan nilai 2971,250 poin. Suku Bunga
bergerak turun sejak Agustus 2001. Tingkat tertinggi
17,67 persen pada Agustus 2001, dan mencapai
tingkat terendah pada bulan April 2010 dengan nilai
6,2 persen. Kurs, bahkan memiliki kecenderungan
untuk bergerak ke atas dan ke bawah secara acak,
tapi rata-rata agak bergeser ke atas. Ketika tren dan
drif telah dihapus dari persamaan, semua seri tidak
stasioner. Dapat disimpulkan bahwa semua variabel
level memiliki tingkat integrasi satu.
JEJAK, Volume 3, Nomor 1, Maret 2010
7
Table 1. Nilai ADF
Variabel
Dengan Intersep
Dengan Intersep dan Tren
Tanpa Intersep dan TanpaTren
Kesimpulan
IHSG
0.085497
-2.284437
1.281499
KURS
-3.759088*
-3.668761**
0.062949
SBI
-1.267095
-2.484059
-0.782013
Log IHSG
-0.147512
-2.855180
1.468068
Log KURS
-3.848434*
-3.734858**
0.310192
Log SBI
-1.269920
-2.544904
-0.690160
*Signifikan dengan =1%; ** Signifikan dengan =5% ***; Signifikan dengan =10%
Agar semua variabel menjadi stasioner perlu
dideferensiasi. Tidak ada drif dan tren di semua
variabel yang telah dideferensiasi order satu. Ketika
variabel dideferensiasi, trend dan drif hilang. Seperti
yang disarankan oleh Pindyck dan Rubinfeld (1991),
bahwa terdapat banyak variabel yang tidak stasioner,
namun ketika dideferensiasi satu kali atau lebih
menjadi stasioner. Hasilnya adalah bahwa variabel
yang telah dideferensiasi cenderung bebas dari
masalah autokorelasi. Dengan demikian karena
ketiadaan masalah autokorelasi pada semua seri
yang telah dideferensiasi, uji akar unit disederhanakan dari uji ADF menjadi uji DF. Dapat disimpulkan
bahwa semua variabel memiliki tingkat integrasi
derajat satu.
Langkah berikutnya adalah menjalankan regresi
kointegrasi. Ada dua model yang mungkin untuk
dibangun. Kedua model tersebut adalah model linier
dan logistik. Untuk memilih model yang lebih baik, uji
McKinnon, White, dan Davidson (MWD) dapat
digunakan. Hasilnya adalah bahwa model logistik
Akar Unit
Akar Unit
Akar Unit
Akar Unit
Akar Unit
Akar Unit
lebih baik dibandingkan dengan model linier. Z1
secara statistik signifikan pada model linier, tetapi Z2
secara statistik tidak signifikan dalam model logistik.
Karena Z1 berisi unsur logistik, dapat disimpulkan
bahwa model logistik lebih baik dibandingkan dengan
model linier.
Dengan informasi bahwa model logistik lebih
baik dibandingkan dengan model linier, model logistik
bisa digunakan untuk regresi kointegrasi statis. Hasil
estimasi dari regresi kointegrasi adalah sebagai
berikut (Tabel 4).
Regresi kointegrasi statis memiliki sifat bahwa
residual persamaan tersebut memiliki rata rata nol
dan varians konstan (Hamilton, 1994), atau residual
bersifat stasioner. Seperti yang disarankan oleh
Harris (1995), menguji kestasioneran residual persamaan menyiratkan pengujian kointegrasi persamaan
tersebut. Menguji kestasioneran residual dapat dilakukan dengan menggunakan uji DF, ADF, dan uji
Phillip Peron. Hasil uji DF, ADF dan uji Phillip Peron
terhadap residual adalah sebagai berikut (Tabel 5).
Tabel 2. Nilai ADF
Variabel
Dengan Intersep
Dengan Intersep dan Tren
(IHSG)
(KURS)
(SBI)
Log IHSG
Log KURS
Log SBI
* Signifikan dengan = 1%.
Tanpa Intersep dan Tren
Kesimpulan
-7.664464*
-9.808982*
-5.264705*
-8.756859*
-9.556683*
-4.861682
Stationer
Stationer
Stationer
Stationer
Stationer
Stationary
Model
Tabel 3. Uji MWD
Regression Result
Linear
IHSG t  817.87  72.35 * SBI t  0.05 * KURS t  0.59 * Z 1
Prob ( )
0.06*
lIHSG t  2.98  0.23 * lSBI t  0.37 * lKURS t  0.0008 * Z 2
0.16
( 1.87)*
Logistic
( 1.39)
*Signifikan untuk
8
= 10%
Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang Perubahan Suku Bunga . . . . (Maryatmo: 1 – 11)
Tabel 4. Regresi Kointegrasi
LISHG t   4.088 1.6177* LKURS  1.653 * LSBI
( 0.91129)
( 11.612)*
( 3.2751)*
Fc  69.12 *
*Signifikan dengan
=10%
Tabel 5. Nilai DF, ADF, dan Phillip Peron
Variabel
Dengan Intersep
Uji ADF
Phillip Perron
Dengan Intersep dan Tren
-1.827705
-1.614052
*Signifikan dengan
Tanpa Intersep dan Tren
-2.390041
-2.289241
-1.837601*
-1.620620*
Kesimpulan
Stationer
Stationer
=10%
Karena regresi kointegrasi statis (Tabel 4)
mengandung masalah autokorelasi, tidak hanya uji
DF dan ADF tetapi juga uji Phillip Peron diterapkan.
Semangat ADF dan tes Phillip Peron sebenarnya
sama. Kedua tes mempertimbangkan masalah autokorelasi, sehingga kedua uji memasukkan unsur lag
dari variabel-variabel dependen dalam model
pengujian. Hasil uji menunjukkan bahwa ada kointegrasi antara harga saham sebagai variabel dependen
dan suku bunga, dan nilai tukar sebagai variabel
independen, namun dengan probabilitas terjadinya
keputusan yang salah sebesar =10%.
Engle dan Granger (1991) menyatakan bahwa
regresi yang terkointegrasi dapat disajikan dalam
bentuk Model Koreksi Kesalahan (ECM). Keuntungan dari ECM adalah bahwa, hubungan jangka
pendek dan hubungan jangka panjang dapat diamati
secara bersamaan dalam satu model. Penggunaan
ECM memungkinkan merunut proses mencapai
tingkat keseimbangan. Hasil estimasi ECM disajikan
dalam tabel 6.
Hasil estimasi ECM menunjukkan bahwa
semua koefisien secara parsial dan simultan secara
statistik signifikan dengan % = 1. Nilai t hitung
untuk koefisien Error Correction Term (ECT) adalah
(-2,322074). Dengan probabilitas membuat keputusan yang salah sebesar 1%, t hitung lebih besar
dari t tabel. Hasil uji menegaskan bahwa ada
hubungan jangka panjang antara harga saham dan
variabel independen tingkat bunga, dan nilai tukar.
Koefisien ECT adalah negatif 0,03063. Koefisien
tersebut bisa ditafsirkan bahwa jika ada satu unit
persen disekuilibrium kejutan pada periode sebelumnya, harga saham akan bereaksi meredam kejutan
tersebut dan nilainya turun sebesar 0,03763%.
Karena data yang digunakan adalah data bulanan,
keseimbangan baru akan dicapai dalam 32 bulan
atau hampir tiga tahun.
Pengaruh tingkat bunga pada harga saham
adalah negatif, baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang. Hasil temuan ini benar-benar
berbeda dengan semua kesimpulan penelitian
sebelumnya. Semua studi sebelumnya menyimpulkan bahwa hubungan antara harga saham dan tingkat bunga adalah positif (Rjoub et.all, 2009; Shabri
dan Roslin, 2009; Akbar dan kundi, 2009; Shabri,
2009; Erdem, Arslan dan Erdem, 2005). Implikasi
dari penelitian ini adalah searah dengan kesimpulan
teoritis model penelitian.
Dampak negatif suku bunga pada harga saham
mungkin dapat dijelaskan oleh pengaruh dominan
dari arus modal masuk jangka pendek. Masuknya
investasi mendorong jumlah uang beredar dalam
negeri meningkat, dan menekan tingkat bunga
domestik turun ke bawah. Semakin rendah tingkat
bunga, semakin tinggi permintaan untuk saham ini.
Permintaan yang lebih tinggi untuk saham meningkatkan harga saham. Ketika terjadi penurunan tingkat
Tabel 6. Hasil Estimasi Regresi ECM
DLIHSG t   0.899326* DLKURS t  0.494331* DLSBI t  0.030763* LRES t 1
( 5.812958)*
( 3.193684 )*
( 2.322074 )*
Fc  69.12 *
DW  1.833986
*Signifikan dengan
=1%
JEJAK, Volume 3, Nomor 1, Maret 2010
9
bunga, harga saham meningkat. Salah satu penjelasan yang paling rasional adalah bahwa periode
waktu penelitian adalah antara Januari 2000 dan
April 2010. Selama masa studi pemerintah menjalankan program untuk meningkatkan efisiensi dalam
sistem perbankan. Tujuan dari program ini adalah
untuk mengurangi biaya investasi dengan menurunkan tingkat suku bunga. Didukung oleh kelimpahan
arus modal masuk, tingkat suku bunga terus mengalami penurunan. Pada saat yang sama, jumlah arus
modal masuk meningkatkan permintaan saham, dan
pada gilirannya mendorong harga saham meningkat.
Dampak perubahan kurs terhadap harga saham
berubah dari negatif dalam jangka pendek menjadi
positif dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek,
dampak langsung penguatan mata uang domestik
terhadap penurunan permintaan saham domestik
lebih rendah dari dampak tidak langsung melalui
penurunan suku bunga terhadap kenaikan permintaan saham. Hasil bersihnya adalah permintaan
saham domestik meningkat, dan selanjutnya memicu
kenaikan harga saham domestik. Dalam jangka
pendek hubungan antara perubahan kurs terhadap
harga saham negatif. Dalam jangka panjang,
penguatan mata uang domestik meningkatkan biaya
investasi asing dalam negeri, sehingga menyebabkan permintaan luar negeri untuk saham domestik
turun, dan pada gilirannya harga saham menurun.
Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya (Rjoub, 2009; Alhayky dan Houdou, 2009;
Kettering, 2009) dan juga sesuai dengan kesimpulan
teoretis model penelitian.
Dalam jangka panjang, harga saham sangat
elastis terhadap perubahan suku bunga dan nilai
tukar. Elastisitas harga saham terhadap perubahan
suku bunga adalah negatif 1,6553%. Jika terjadi
kenaikan suku bunga satu (1) persen, maka akan
terjadi penurunan harga saham sebesar 1,6553%.
Elastisitas harga saham yang disebabkan karena
perubahan nilai tukar adalah positif 1,6177%. Jika
terjadi kenaikan nilai tukar sebesar satu (1) persen,
maka akan mengakibatkan kenaikan harga saham
sebesar 1,6177%. Dalam jangka pendek, penurunan
elastisitas harga saham adalah sebesar 0.899326%
sebagai dampak dari peningkatan nilai tukar sebesar
satu (1) persen. Elastisitas harga saham menurun
sebesar 0,494331%, jika terjadi peningkatan suku
bunga sebesar satu persen.
10
KESIMPULAN
Tulisan ini meneliti hubungan antara variabel
dependen, Indeks Harga Saham Gabungan di Indonesia, dan variabel independen, yaitu suku bunga,
dan nilai tukar, dengan menggunakan kointegrasi
dan model koreksi kesalahan untuk periode Januari
2000 hingga April 2010. Pengujian kointegrasi
menunjukkan bahwa ada hubungan keseimbangan
jangka panjang antara Indeks Harga Saham
Gabungan sebagai variabel dependen, dan nilai
tukar dan suku bunga sebagai variabel independen.
Berdasarkan hasil uji empiris regresi kointegrasi dan
model koreksi kesalahan, hasil estimasi menunjukkan bahwa koefisien penyesuaian adalah sebesar
-0,030763. Koefisien menyiratkan bahwa jika ada
shok, keseimbangan baru akan dicapai selama kurun
waktu 32 bulan. Pengaruh jangka pendek dan jangka
panjang dari tingkat suku bunga terhadap harga
saham kedua duanya memiliki tanda negatif.
Dampak perubahan kurs terhadap harga saham
memiliki tanda dari negatif dalam jangka pendek, dan
memiliki efek positif dalam jangka panjang. Dalam
jangka panjang, harga saham sangat elastis terhadap perubahan suku bunga dan nilai tukar. Dalam
jangka pendek, dalam proses mencapai keseimbangan baru, elastisitas harga saham dalam
menanggapi perubahan nilai tukar dan suku bunga
menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Mohammad, and Omar Kundi, (2009),
“Monetary Policy Variables and Stock Prices in
Pakistan”, Interdiciplinary Journal of Contemporary Researchin Business, Vol 1. No. 6, page
84-101
Alhayky, Ahmed, and nDambendia Houdou, (2009),
“Stock Price and Exchange Rate: Empirical
Evidence From Kuwait Financial Market”, The
IUP Journal of Financial Economics, Vol. VII,
Nos. 3 & 4, page 71 – 82
Aliyu, Shuha Usman Rano, (2009), “Stock Prices and
Exchange Rate Interactions in Nigeria: A Maiden
Intra-Global Financial Crisis Investigation”, The
IUP Journal of Financial 8 Economics, Vol. VII,
Nos. 3 & 4, page 7-23
Binger, Brian, R., and Elizabeth Hoffman (1988),
Microeconomics with Calculus, Scott, Foresman
and Company, Illinois, page 68
Pengaruh Jangka Pendek dan Jangka Panjang Perubahan Suku Bunga . . . . (Maryatmo: 1 – 11)
Engle, R.F., and C.W.J. Granger, (1991), Long Run
Economic Relationships; Reading in Cointegration, Oxford University Press Inc., New York,
page 8-9
Erdem, C., Arslan, C.K. and Erdem, M.S., (2005).
“Effects of macroeconomic variables on Istanbul
stock exchange indexes”. Applied Financial Economics, vol. 15, pp. 987-994.
Gujarati, Domodar, N., and Dawn C., Porter, (2009),
Basic Econometrics, McGraw-Hill International
Edition, 5th Edd., Boston, page260-261
Hamilton, James, D. (1994), Time Series Analysis,
Princeton University Press, New Jersey, page,
571-579
Harris, Richard, (1995), Using Cointegration Analysis
in Econometrics Modelling, Prentice Hall, page 5
Husam Rjoub, Turgut Tu¨rsoy and Nil Gu¨nsel,
(2009), “The Effects of Macroeconomic Factors
on Stock Returns:Istanbul”, Studies in Economics and Finance, Vol. 26, No. 1, page 36-44
Kettering, Ronald, C.(2009), “The Effect of International Currencies Upon US Stock Prices”, Journal
of Business Research, Volume 8, No.2, page 8794
Madjid, Abdul, M., Shabri, (1997), “An Empirical
Examination on Money Demand – Stock Price
Relationship in Indonesia: Evidence from the
Post 1997 Financial Turmoil”, The IUP Journal of
Applied Finance, Vol. 15, No. 7, page 40-50
Mankiw, Gregory, N. (2004), Principles of economics,
3th eddition, page 609
Pindyck, Robert, S., and Daniel L. Rubinfeld, (1991),
Econometric Models & Economic Forecasts, 3rd
Edd., McGraw Hill, page 450-452
Shabri, Mohammad Abdul Madjid, and Roslin
Mohammad Yusof, (2009) “Long Run Relationship Between Islamic Stocks Return and
Macroeconomic Variables”, Humanomics, Vol.
25. No. 2, page 127-141
Stock Market
Thomas, R.L.,(1993), Introductory Econometrics, 2nd
Edd., Longman, New York, page 159-60
Thomas, R.L.,(1997), Modern Econometrics an
Introduction, Addison-Wesley Longman, Harlow
England, page 377
JEJAK, Volume 3, Nomor 1, Maret 2010
11
Download