Gempa Sumatera, Daerah Bengkulu dan Sumbar Harus Lebih Waspada Kamis, 01 Oktober 2009 WIB, Oleh: Gusti Yogya, KU Meski sulit untuk diprediksi, gempa bumi di Sumatera dipastikan akan kerap terjadi, terutama di daerah Sumatera Barat (Sumbar), Bengkulu, dan sekitarnya. Sehubungan dengan itu, masyarakat setempat diimbau untuk selalu mewaspadai kemungkinan munculnya gempa berikutnya. “Sesar Sumatera masih aktif, suatu saat masih akan bergeser sehingga daerah Sumatera perlu diwaspadai, seperti Bengkulu dan Padang, Pulau Siberut hingga Nias,” kata pakar gempa UGM, Dr. Ir. Subagyo Hamumijoyo, kepada wartawan di kampus UGM, Kamis (1/10), menanggapi terjadinya gempa bumi 7,6 SR di Sumbar kemarin. Disebutkan Subagyo, gempa yang terjadi di Sumatera dipastikan akibat zona subduksi (penunjaman lempeng) pada sesar yang ada di bawah Pulau Sumatera, terutama di samudera lepas pantai. Subduksi pula yang menyebabkan sejak tahun 2003 gempa bumi di Sumatera melonjak tajam. “Subduksi di Sumatera terjadi lebih besar sebabkan sesar bergeser. Sementara di Jawa, lengkung sesarnya lebih tajam dan tua sehingga gempa bumi lebih sedikit,” jelasnya. Dikatakan oleh staf pengajar Jurusan Geologi ini, gempa bumi terjadi akibat pelepasan energi karena pergeseran lempengan tektonik, seperti layaknya gelang karet ditarik dan dilepaskan dengan tiba-tiba. Cukup sulit untuk memprediksi kemungkinan daerah mana saja yang akan terjadi gempa selanjutnya. Namun, berdasarkan kajian peta seismologi, baik daerah yang sering maupun jarang terjadi gempa dapat saja terkena gempa selanjutnya. “Dari peta seismologi, dapat dilihat mana yang padat gempa bumi atau yang jarang terjadi gempa, tapi setiap daerah perlu waspada secara terus menerus karena kita hidup berkoeksistensi dengan bencana alam,” terangnya. Menyoroti bangunan beton yang justru lebih banyak runtuh dibandingkan dengan bangunan tradisional di Padang, Subagyo menilai masyarakat masih banyak mendiami bangunan hasil peninggalan kearifan lokal, rumah yang lebih fleksibel menahan goncangan gempa. “Yang runtuh bangunan dari tembok, bangunan tradisional lebih tahan gempa bumi karena nenek moyang memakai ilmu 'niteni', artinya megamati gejala gempa bumi sehingga membuat bangunan berdasarkan perhitungan gempa bumi,” jelasnya. Sementara itu, Kepala Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM, Dr. Sunarto, mengatakan pelatihan penyiapan masyarakat tanggap bencana di Sumatera dilakukan secara terus menerus. Dalam menyiapkan penanganan bencana gempa bumi berbeda dengan bencana longsor dan banjir. “Sebelumnya di Padang sudah dilakukan gladi pelatihan bencana alam. Namun, saat bencana datang tetap saja masyarakat panik. Saya kira bencana gempa paling repot karena sulit diprediksi dan kerusakan terjadi banyak sekali dan memanjang, berbeda dengan longsor dan banjir yang terjadi di satu lokasi,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson) Berita Terkait ● ● ● ● ● UGM akan Terjunkan 40 Mahasiswa KKN PPM Peduli Bencana Sumbar Bantu Rehabilitasi dan Rekonstruksi Sumbar, UGM Bentuk 4 Tim Ahli Gempa Susulan di Sumbar Diperkirakan Lebih dari Satu Bulan UGM Akan Membantu Upaya Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi di Bengkulu dan Padang UGM-UNAND-Sumatera Barat Kerja Sama Pengurangan Risiko Bencana