BAB 01 ETIKA DAN BISNIS.

advertisement
ETIKA DAN BISNIS
1.1 Pendahuluan
Salah satu dampak globalisasi adalah adanya persaingan bisnis yang semakin ketat,
yang ditandai oleh kegiatan bisnis yang kini tumbuh dan berkembang melewati apa
yang pernah diprediksikan dan di'visi'kan sebelumnya. Pelakunya terbuai dengan visi
dan, misinya, terjebak di antara harapan dan kenyataan. Bangkitnya negara
berkembang dengan industri labour intensive seperti Korea Selatan dan Taiwan pada
tahun 1980-an dan setelah runtuhnya rezim komunis 1990, mulailah dikenal Bisnis
Global yang berbasis pada efisiensi yang diperkirakan akan terus berlangsung sampai
tahun 2020 dan bahkan lebih.
Ketika mendengar kata ‘bisnis’ apa yang tersirat dalam pikiran Anda? Apakah yang
tersirat tersebut adalah perusahaan besar? Atau sebuah organisasi besar? Atau
perusahaan/organisasi biasa-biasa saja? Atau sebuah bisnis industry perumahan
(Home Industry)?
Bisnis bisa dijalankan dengan cara berbeda antara suatu negara atau organisasi atau
perusahaan baik dari sisi budaya, politik, hukum, ekonomi, perilaku maupun sudut
pandang. Bisnis sudah tak mengenal ruang dan waktu, dari bisnis yang hanya
mempertukarkan barang dengan barang (barter) sampai dengan bisnis dengan
menggunakan sarana teknologi dan informasi. Transaksi bisnis kini dapat diwujudkan
tanpa harus adanya pertemuan fisik pembeli dan penjual. Mereka bisa tinggal
dimana saja, dan kapan saja dapat menyelenggarakan aktivitas bisnisnya. Teknologi
dan Informasi (komunikasi) telah mengubah dunia yang begitu luas menjadi semakin
kecil, kini dunia seakan telah menjadi sebuah kampung besar yang dengan mudah
dijangkau manusia.
Bisnis merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran
yang ekstrim, kemampuan untuk menganalisis batas-batas kompetisi seseorang,
kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan. Kompetisi inilah
yang harus memanas belakangan ini. Kata itu mengisyaratkan sebuah konsep bahwa
mereka yang berhasil adalah yang mahir menghancurkan musuh-musuhnya. Banyak
yang mengatakan kompetisi lambang ketamakan. Padahal perdagangan dunia yang
lebih bebas di masa mendatang justru mempromosikan kompetisi yang juga lebih
bebas.
Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan eksportir kita yang
ditantang untuk terjun karena baru yaitu pasar bebas di masa mendatang.
Kemampuan berkompetisi seharusnya sama sekali tidak ditentukan oleh ukuran besar
kecilnya sebuah perusahaan. Inilah yang sering dikonsepkan berbeda oleh sudut
pandang pemerintah atau bahkan si pelaku bisnis itu sendiri.
Jika kita ingin mencapai target di tahun 2020, sudah saatnya dunia bisnis kita
mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat
perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah ke
bawah dan pengusaha golongan atas.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada bcberapa hal yang perlu diperhatikan antara
lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan
jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan
yang berkelanjutan, menghindari sikap 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi,
Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar itu benar, dll.
Kebutuhan dan keinginan manusia dengan bantuan ilmu dan teknologi kini semakin
mudah untuk dipenuhi. Peran dunia bisnis semakin terasa bagi kehidupan dan
pemenuhan kebutuhan manusia itu. Karena ada banyak peluang yang
menguntungkan, saat ini orang yang terlibat dalam kegiatan dan profesi bisnispun
semakin banyak pula. Kecenderungan manusia untuk menggantungkan hidup pada
sektor bisnis semakin meningkat dari waktu ke waktu. Semua orang yang hidup di
dunia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai pengaruh bisnis. Perilaku dunia
bisnis dapat membuat manusia lebih bahagia dan juga sebaliknya dapat menjadikan
manusia sengsara dan jauh dari kesejahteraannya. Semuanya terpulang kepada
itikad, perilaku para pebisnis dan pemangku kepentingannya. Tanpa etika, dunia
bisnis menjadi kejam dan beringas. Bisnis bagaikan suatu pertempuran sengit tanpa
kasih sayang dan rasa kemanusiaan. Yang satu berusaha dengan segala cara untuk
mematikan yang lainnya. Pada hal dalam pertempuran dan peperangan juga ada
etika. Di sana ada kode etik pertempuran dan peperangan.
Aktivitas bisnis adalah pekerjaan mulia, karena dapat memberikan sesuatu yang
bermakna bagi kehidupan manusia. Persaingan dalam bisnis adalah wajar dan
dibenarkan, tetapi tidak harus identik dengan pertempuran dan peperangan.
Persaingan yang baik dalam bisnis adalah persaingan damai. Damai dalam sebuah
dinamika persaingan dan bersaing dalam suasana perdamaian. Dalam bisnis beretika
persaingan hanyalah sarana untuk memperbaiki citra produk dan perusahaan di mata
pelanggannya. Di samping itu persaingan juga dapat menjadi instrumen untuk
memperbaiki kinerja organisasional. Justru itu makna persaingan dalam ranah bisnis
harus diluruskan, demikian juga pandangan terhadap bisnis itu sendiri.
Bisnis yang baik adalah bisnis bermoral, yakni suatu bisnis yang tidak saja
menempatkan dan mementingkan pribadi pelakunya semata. Bisnis tidak melarang
keuntungan yang besar bagi suatu perusahaan. Hanya saja semakin besar keuntungan
yang diperoleh, maka semakin besar pula tanggung jawab etika dan sosialnya kepada
masyarakat. Dalam ajaran etika, selain untuk membahagiakan dirinya, pelaku bisnis
juga mengemban amanah dan kewajiban untuk membahagiakan orang lain dan
masyarakat sekitarnya. Memelihara alam dengan segala sumber dayanya adalah juga
tanggung jawab kita semua, dan pelaku bisnis harus berada di barisan depannya.
Untuk melaksanakan tanggung jawab moral, diperlukan suatu panduan yang
mengandung prinsip-prinsip, norma-norma dan standar, sehingga didapatkan
kebenaran moral dalam sikap dan perilakunya. Kesemuanya itu telah dikemas oleh
para ahli dan filosof dalam bingkai etika. Aplikasi semua nilai-nilai etika dalam
kerangka bisnis disebut dengan etika bisnis. Dengan panduan etika bisnis, pelaku
usaha dan partisipan organisasi bisnis harus berlaku manusiawi
dengan
menempatkan manusia di atas segalanya. Sebagai mana dirinya, pebisnis seyogianya
menyadari bahwa setiap manusia itu mempunyai hak yang mendasar dan dilindungi,
yakni hak asasi manusia. Sayangnya hak-hak manusia ini sering diremehkan,
diabaikan dan dilecehkan banyak usahawan (pelaku bisnis) saat ini. Trend pelecehan
BAB I Etika dan Bisnis | 9
hak-hak dasar manusia ini terindikasi pada banyaknya skandal dan kasus eksploitasi
manusia dalam penyelenggaraan bisnis di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di
Indonesia.
Kita seharusnya tidak perlu pusing dan gelisah dengan isu dan skandal apapun yang
mengancam dunia bisnis pada awal abad ini. Berupaya berlaku etis dan berdoa
adalah solusi terbaik untuk mengatasi berbagai masalah. Selain banyak skandal
dalam dunia bisnis, kini juga masih banyak dan semoga lebih banyak lagi pelaku
bisnis bermoral yang aktif dan bertekad untuk dapat memberi sesuatu yang
bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraan umat manusia.
Bagaimanapun
manusia yang masih memiliki nurani dan meyakini adanya hari pembalasan, suatu
saat pasti kembali dan menyadari bahwa dia wajib berbuat baik untuk sesama
manusia, dimanapun dan apapun status jabatannya.
Pada dasarnya manusia itu adalah baik dan hanya faktor lingkungan dan
keterpaksaanlah kadangkala membuat dirinya berbuat kejahatan. Persoalannya
apakah manusia, termasuk pelaku bisnis menyadari bahwa dirinya itu diciptakan
dari yang baik dan dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kemudian pada dirinya
dibebankan amanah-amanah kebajikan. Terkait dengan situasi itu, Socrates
menghimbau "Kenalilah Dirimu" agar kita tidak berbuat kejahatan dengan sesama
makhluk Allah.
Dengan keyakinan bahwa manusia sesungguhnya mencintai dan membutuhkan
kebaikan dan tidak berharap adanya kerusakan di muka bumi, maka nilai-nilai etika
harus disebarluaskan dengan cara-cara yang arif dan bijaksana. Untuk itu semua
diperlukan metoda yang efektif dan perilaku keteladanan. Keteladanan yang paling
pokok dalam bisnis beretika adalah menjauhi keserakahan, kerakusan, dan merasa.
Bertanggungjawab secara moral terhadap semua orang yang terlibat langsung dan
tidak langsung dalam bisnis yang dijalankannya. Tokoh filsafat, pemuka agama,
negarawan dan para nabi dan rasul adalah sumber keteladanan.
Tokoh-tokoh negarawan dan guru dunia seperti Mahatma Gandhi dapat dijadikan
rujukan bagi pelaku bisnis. Beliau dicatat sebagai pembela demokrasi yang tangguh
dan kepribadiannya sangat menghargai semua orang terutama orang-orang kecil dan
rakyat jelata. Walaupun kedudukannya sebagai pemimpin yang berkuasa, beliau rela
di koreksi, dan tekun mengoreksi dirinya sendiri. Berpenampilan sederhana, dan
gemar memakai produk dalam negeri. Perilaku pemimpin yang demikian, diikuti
rakyat dan dengan demikian negerinya menjadi rnakmur dan masyarakatnya
sejahtera. Banyak sekali pemimpin agama yang pantas ditiru, karena nilai-nilai
kepemimpinan dan keteladannya antara lain adalah Imam Al Ghazali, Bunda Theresia
dan Budha Gautama. Tokoh-tokoh dan pelaku bisnis yang juga dapat diikuti jejaknya
antara lain: William Soerdjaja, Mochtar Riady, dan Boenyamin Setiawan dan
sejumlah pelaku bisnis bermoral lainnya. Mereka adalah pebisnis handal yang
visioner dan telah mengemban amanah kemanusiaan, sehingga dalam aktivitas
bisnisnya tidak mengeksploitasi manusia. Pebisnis besar yang dapat diteladani di
negara kita masih terbilang langka jumlahnya, namun pelaku-pelaku bisnis kecil yang
bermoral relatif menggembirakan. Kata orang di luar negeri pelaku bisnis kelas
kakap yang beretika masih relatif banyak dibandingkan dengan negara kita, baik
sebagai pemilik maupun manajer atau chief executive organizer-nya. Kita mengenal
nama Chris Miller CEO Anglian Water (Inggris), Konosuke Matsushita, Soichiro Honda
BAB I Etika dan Bisnis | 10
(Jepang), Anita Rhodick, Warren Buffet, Azim Premji dan lain-lainnya. Dibandingkan
dengan jumlah usaha swasta dan pelaku bisnis dunia, jumlah perusahaan dan pelaku
bisnis yang bermoral masih jauh dari yang diharapkan. Ini adalah tantangan yang
menghendaki perhatian kita semua. Mari kita mulai dari perusahaan kita untuk
mewujudkan etika dan kemudian mengajak yang lainnya.
Tantangan yang paling mendasar dalam upaya menciptakan pelaku usaha beretika
adalah bagaimana mensosialisasi nilai-nilai etika bisnis itu dan menjadikannya
sebagai acuan dalam setiap perilaku pebisnis kita. Nilai-nlai positif yang terkandung
dalam etika sepantasnya menjadi panutan dari pemimpin organisasi bisnis dalam
berbagai skala dan dimanapun mereka berada. Terkesan banyak pelaku usaha yang
masih keberatan dengan penyelenggaraan etika dalam usaha bisnisnya. Padahal
dalam banyak hasil penelitian etika, jarang sekali ditemukan pebisnis yang
mempraktikkan nilai etika gagal dalam bisnisnya. Malah sebaliknya praktik etika yang
baik dalam setiap kegiatan bisnis akan mendukung keberhasilan usaha, baik dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Keberadaan nilai dalam etika bisnis adalah penting, krusial dan strategis. Hal ini
bermakna bahwa penyelenggaraan etika bisnis tidak bisa terlepas dari kemampuan
menerima dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam setiap kegiatan bisnisnya.
Nilai adalah sesuatu yang benar, yang baik dan yang indah. Keberadaan nilai dalam
banyak hal dapat mempersatukan orang-orang yang terlibat dalam suatu bisnis dan
menyelesaikan konflik nilai yang terjadi, sehingga dengan demikian penganutan nilai
oleh pelaku bisnis itu akan memudahkan pencapaian tujuan organisasinya.
Organisasi bisnis adalah organisasi yang mengemban multi tanggung jawab. Selain
tanggungjawab dalam menciptakan keuntungan dan nilai bagi pemegang saham,
tanggung jawab terhadap karyawan, pelanggan dan mitra kerja, organisasi bisnis
juga mengemban tanggung jawab sosial yang Iebih besar. Organisasi bisnis
merupakan bahagian dari organisasi yang Iebih besar dan secara kolektif berarti
masyarakat. Karenanya usaha bisnis selain memiliki tanggung jawab dalam kinerja
ekonomi, juga dituntut untuk bertanggung jawab sosial. Ahli ekonomi Milton
Friedman hanya mengagungkan kinerja ekonomi sebagai tanggung jawab perusahaan.
Sebuah perusahaan yang tidak menghasilkan laba sekurang-kurangnya sama dengan
biaya modalnya adalah perusahaan yang tidak berkinerja ekonomi.
Perusahaan yang tidak mampu meraih kinerja ekonomi dengan baik tidak dapat
dikatakan secara sosial memenuhi tanggung jawabnya. Perusahaan ini dianggap
membuang-buang sumber daya masyarakat. Tanpa kinerja ekonomi, sebuah
perusahaan tak akan dapat menunaikan tanggungjawab apapun. Dia tak akan dapat
menjadi majikan yang baik, tetangga yang baik dan warga negara yang baik. Pakar
manajemen Peter F. Drucker juga menanggapi pandangan Friedman tersebut dan
menyatakan bahwa kinerja ekonomi bukanlah satu-satunya tanggung jawab sebuah
perusahaan. Seperti halnya kinerja pendidikan juga bukan satu-satunya
tanggungjawab sebuah sekolah atau universitas, demikian juga kinerja perawatan
kesehatan bukanlah satu-satunya tanggung jawab sebuah rumah sakit. Sebuah
organisasi mempunyai tanggung jawab penuh atas dampaknya terhadap masyarakat
lingkungan dan masyarakat luas. Tanggung jawab organisasi yang sesungguhnya
adalah mendapatkan suatu pendekatan ke masalah-masalah sosiat yang sesuai
BAB I Etika dan Bisnis | 11
dengan kompetensinya dan dapat menjadikan masalah-masalah sosial sebagai suatu
kesempatan bagi organisasi.
Tanggung jawab sosial adalah bahagian dari sebuah etika bisnis suatu organisasi
berorientasi keuntungan (profit oriented). Penyelenggaraan tanggung jawab sosial
dalam konteks etika harus mengacu kepada nilai-nilai moral. Nilai-nilai etika bisnis
itu dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dari ajaran filsafat,
pengalaman budaya, hukum dan aturan yang berlaku dan ajaran-ajaran agama.
Tanpa mengadopsi nilai etika bisnis, kemungkinan besar dunia bisnis akan dilanda
musibah dahsyat. Dalam makna bahwa kehadirannya dapat saling menghancurkan
semuanya dan jauh dari hakikat tujuan hidup manusia di dunia secara universal.
Dalam dunia bisnis Indonesia kini banyak didapati pelanggaran etika, penyimpangan
nilai-nilai etika sudah semakin kentara dan tanpa penanganan yang serius akan
berdampak negatif terhadap situasi persaingan, iklim bisnis, dan jalannya aktivitas
perekonomian bangsa. Beberapa perilaku menyimpang yang melanda dunia bisnis
Indonesia saat ini antara lain: sikap menghalalkan semua cara untuk mendapatkan
pendapatan dan keuntungan; berbisnis dengan pola kekerasan sudah menjadi suatu
tradisi; kolusi, kedekatan dan nepotisme (KKN) menjadi salah satu pendekatan dalam
praktik bisnis; penipuan dianggap trik-trik usaha dan biasa-biasa saja; semakin
banyaknya pebisnis bertopeng etika; tren saling membongkar rahasia dan hal-hal
privasi menjadi lumrah; serta maraknya pelanggaran hak cipta dan intelektual.
Karenanya kepada semua pihak yang berkompetensi diharapkan dapat mengambil
bagian sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing dalam
memasyarakatkan etika bisnis. Penulis berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama
etika bisnis menjadi suatu gerakan dan rujukan yang menyentuh dan dibutuhkan
berbagai lapisan masyarakat.
1.2 Pengertian Etika
Secara etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani yang dalam bentuk tunggal
yaitu ethos dan dalam bentuk jamaknya yaitu ta etha. "Ethos" yang berarti sikap,
cara berpikir, watak kesusilaan atau adat. Kata ini identik dengan perkataan moral
yang berasal dari kata latin "mos" yang dalam bentuk jamaknya Mores yang berarti
juga adat atau cara hidup. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner
mores atau manners, morals. Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak
atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati
nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Etika dan Moral
memiliki arti yang sama, namun dalam pemakaian sehari-harinya ada sedikit
perbedaan. Moral biasanya dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai/dikaji
(dengan kata lain perbuatan itu dilihat dari dalam diri orang itu sendiri), artinya
moral disini merupakan subjek, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem
nilai-nilai yang ada dalam kelompok atau masyarakat tertentu (merupakan aktivitas
atau hasil pengkajian).
Menurut Larkin (2000) "Ethics is concerned with moral obligation, responsibility, and
social justice" Hal ini berarti bahwa etika sangat memperhatikan hal-hal yang
berhubungan dengan kewajiban moral, tanggung jawab, dan keadilan sosial. Etika
yang dimiliki individu ini secara lebih luas mencerminkan karakter
BAB I Etika dan Bisnis | 12
organisasi/perusahaan, yang merupakan kumpulan individu-individu. Etika
menjelaskan standar dan norma perilaku baik dan buruk yang kemudian
diimplementasikan oleh masing-masing karyawan dalam organisasi (Fatt, 1995) dan
(Louwers, 1997). Perusahaan pada dasarnya merupakan sekumpulan individu,
sehingga etika yang dianut oleh individu tersebut pada akhirnya akan tercermin
dalam standar dan norma perilaku yang kemudian diimplementasikan oleh masingmasing karyawan dalam pekerjaan sehari-hari.
Etika menurut Gray (1994) merupakan nilai-nilai tingkah laku atau aturan-aturan
tingkah laku yang diterima oleh suatu golongan tertentu atau individu. Penulis
lainnya Magnis Suseno (1989) dan Sony Keraf (1991) menyatakan bahwa untuk
memahami etika perlu dibedakan dengan moralitas. Moralitas adalah suatu sistem
nilai tertang bagaimana seseorang harus berperilaku sebagai manusia. Sistem nilai ini
terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk
konkret tentang bagaimana harus hidup, bagaimana harus bertindak dalam hidup ini
sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak
baik. Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan
perilaku manusia dalam hidupnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah etika diartikan sebagai:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral.
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau
masyarakat.
Etika merupakan cabang dari filsafat etika mencari ukuran baik buruknya bagi
tingkah laku manusia. Etika hendak mencari, tindakan manusia yang manakah yang
baik. Etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
manusia dan masyarakat seperti: antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu
politik dan ilmu hukum. Perbedaannya terletak pada aspek keharusan (ought).
Perbedaannya dengan teologi moral, karena tidak bersandarkan pada kaidah-kaidah
keagamaan, tetapi hanya terbatas pada pengetahuan yang dihasilkan dari tenaga
manusianya sendiri. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang
menjadi etika. Etika (Ethics) yang dalam bahasa Yunani adalah ethos berarti adat
kebiasaan, adat istiadat dan akhlak yang baik dan banyak ahli filsafat menyebutnya
dengan istilah moralitas. Dengan kata lain "ethos" yang berarti karakter, watak
kesusilaan atau adat. Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu atau
kelompok untuk menilai apakah tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau
benar, buruk atau baik (Adams, 1995 dan Asgary, 2002).
Memasukkan kata adat atau kebiasaan yang baik dalam memberikan batasan Etika
berarti mempertimbangkan dan merujuk kepada nilai ajaran filsafat. Pada tataran
berikutnya pemahaman Etika dikaitkan dengan faktor waktu dan ruang, sehingga
dengan demikian akan memperkaya pemahamannya. Dalam makna filsafat, Etika
termasuk alam kategori filsafat moral. Istilah etika kadang digandengkan dengan
moral yang di namakan dengan etika moral. Etika moral terwujud dalam bentuk
kehendak manusia berdasarkan kesadaran dan kesadaran itu adalah suara hati.
BAB I Etika dan Bisnis | 13
Jadi secara etimologis, etika adalah ajaran atau ilmu tentang adat kebiasaan yang
berkenaan dengan kebiasaan baik atau buruk, yang diterima umurn mengenai sikap,
perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada
ukuran-ukuran yang telah diterima oleh sesuatu komunitas, sementara etika
umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai
wacana etika, atau dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu profesi.
Belakangan ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral
karena dalam banyak hal filsafat moral mengkaji pula prinsip-prinsip etika. Etika,
kadang-kadang didefinisikan sebagai ilmu perilaku, walaupun masih dipertanyakan
apakah etika dapat dipandang sebagai ilmu. Johnson (1989) menjelaskan etika
sebagai berikut:
"Ethics is a science in the sense that its study represents an intellectual enterprise, a
rational inquiry into its subject matter in the hope of gaining knowledge. As such
ethics can be contrasted with art or religion or technology, whose purposes are not
the same. Although ethics differ from the various empirical sciences both in its subject
matter and its special methodology, it shares with them a general methodology,
rational inquiry and an overall goal the attainment of truth. These relationships
between ethics and science have led philosophers to speaks of ethics as a normative
science, because it concerns itself with norm and standards, in contrast to the
descriptive sciences, which concerns themselves which describing empirical facts ".
Dapat disimpulkan bahwa etika adalah merupakan suatu cabang ilmu filsafat,
tujuannya adalah mempelajari perilaku, baik moral maupun immoral, dengan tujuan
membuat pertimbangan yang cukup beralasan dan akhirnya sampai pada
rekomendasi yang memadai yang tentunya dapat diterima oleh suatu golongan
tertentu atau individu. Menurut Wiley (1995 dalam Mauro et al., 1999) "Ethics is
concerned with moral obligation, responsibility, and social justice" Hal ini berarti
bahwa etika berpengaruh terhadap kewajiban moral, tanggung jawab, dan keadilan
sosial. Etika secara lebih kontemporer mencerminkan karakter perusahaan, yang
merupakan kumpulan individu-individu. Etika menjelaskan standar dan norma
perilaku tanggungjawab masyarakat, kemudian di internalkan kepada masing-masing
karyawan dalam organisasi (Daft, 1992).
Menurut Magnis Suseno (1989) dan Sony Keraf (1991) bahwa untuk memahami etika
perlu dibedakan dengan moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tentang
bagaimana seseorang harus berperilaku sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung
dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret
tentang bagaimana harus hidup, bagaimana harus bertindak dalam hidup ini sebagai
manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.
Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan
perilaku manusia dalam hidupnya.
Antonius Alijoyo (2004) menerangkan perusahaan perlu menerapkan nilai-nilai etika
berusaha, karena dengan adanya praktik etika berusaha dan kejujuran dalam
berusaha dapat menciptakan aset yang langsung atau tidak langsung dapat
meningkatkan nilai perusahaan. Etika bisnis tidak akan dilanggar jika terdapat aturan
dan sangsi. Kalau perilaku yang salah tetap dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi
kebiasaan. Sehingga perlu ada sanksi bagi yang melanggar untuk memberi pelajaran
kepada yang bersang-kutan.
BAB I Etika dan Bisnis | 14
Moral dan etika mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi orientasi bagaimana
dan ke mana harus melangkah dalam hidup ini, namun terdapat sedikit perbedaan
bahwa moralitas langsung menunjukkan inilah caranya untuk melangkah sedangkan
etika justru mempersoalkan apakah harus melangkah dengan cara ini? Dan mengapa
harus dengan cara itu. Dengan kata lain moralitas adalah suatu pranata, sedangkan
etika adalah sikap kritis setiap pribadi atau kelompok masyarakat dalam
merealisasikan moralitas. Pada akhirnya etika memang menghimbau orang untuk
bertindak sesuai dengan moralitas. Etika berusaha membantu manusia untuk
bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pelaku usaha dapat memperoleh ilmu etika melalui teori etika, selain pengalaman
dan informasi moral yang diterima dari berbagai sumber. Dalam teori etika
terungkap etika deontologi, etika teleologi, etika hak dan etika Keutamaan.
1) Etika Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berkewajiban" atau sesuai
dengan prosedur dan logos yang berarti ilmu atau teori. Menurut teori ini beberapa
prinsip moral itu bersifat mengikat betapapun akibatnya. Etika ini menekankankan
kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Suatu tindakan itu baik bukan
dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu,
melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Atau
dengan kata lain tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan
berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau
akibat dari tindakan itu. Teori ini menekankan kewajiban sebagai tolak ukur bagi
penilaian baik atau buruknya perbuatan manusia, dengan mengabaikan dorongan lain
seperti rasa cinta atau belas kasihan. Terdapat tiga kemungkinan seseorang
memenuhi kewajibannya yaitu: karena nama baik, karena dorongan tulus dari hati
nurani, serta memenuhi kewajibannya. Deontologist menetapkan aturan, prinsip dan
hak berdasarkan pada agama, tradisi, atau adat istiadat yang berlaku. Yang menjadi
tantangan dalam penerapan deontological di sini adalah menentukan yang mana
tugas, kewajiban, hak, prinsip yang didahulukan. Sehingga banyak filosof yang
menyarankan bahwa tidak semua prinsip deontological harus diterapkan secara
absolut. Teori ini memang berpijak pada norma-norma moral konkret yang harus
ditaati, namun belum tentu mengikat untuk kondisi yang bersifat khusus. Contohnya,
seseorang boleh saja merampok kalau hasil rampokannya dipakai untuk memberi
makan orang yang terkena musibah.
2) Etika Teleologi
Istilah teleologi berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan, sasaran atau hasii
dan logos yang berarti ilmu atau teori. Etika ini mengukur baik buruknya suatu
tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tin-dakan itu, atau
berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai
baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau konsekuensi yang
ditimbulkannya baik dan berguna. Bila kita akan memutuskan apa yang benar, kita
tidak hanya melihat konsekuensi keputusan tersebut dari sudut pandang kepentingan
kita sendiri. Tantangan yang sering dihadapi dalam penggunaan teori ini adalah bila
kita bisa kesulitan dalam mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam
mengevaluasi semua kemungkinan konsekuensi dari keputusan yang diambil.
BAB I Etika dan Bisnis | 15
3) Etika Hak
Etika Hak memberi, bekal kepada pebisnis untuk mengevaluasi apakah tindakan,
perbuatan dan kebijakan bisnisnya telah tergolong baik atau buruk dengan
menggunakan kaidah hak seseorang. Hak seseorang sebagai manusia tidak dapat
dikorbankan oleh orang lain apa statusnya.
Hak manusia adalah hak yang dianggap melekat pada setiap manusia, sebab
berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Etika hak kadangkala dinamakan
"hak manusia" sebab manusia berdasarkan etika hams dinilai menurut martabatnya.
Etika hak mempunyai sifat dasar dan asasi (human rights), sehingga etika hak
tersebut merupakan hak yang; (1) Tidak dapat dicabut atau direbut karena sudah
ada sejak manusia itu ada; (2) Tidak tergantung dari persetujuan orang; (3)
Merupakan bagian dari eksistensi manusia di dunia.
4) Etika Keutamaan
Etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak mendasarkan
penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal seperti kedua teori
sebelumnya. Etika ini lebih mengutamakan pembangunan karakter moral pada diri
setiap orang. Nilai moral bukan muncul dalam bentuk adanya aturan berupa larangan
atau perintah, namun dalam bentuk teladan moral yang nyata dipraktikkan oleh
tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Di dalam etika karakter lebih banyak
dibentuk oleh komunitasnya. Pendekatan ini terutama berguna dalam menentukan
etika individu yang bekerja dalam sebuah komunitas profesional yang telah
mengembangkan norma dan standar yang cukup baik. Keuntungan teori ini bahwa
para pengambil keputusan dapat dengan mudah mencocokkan dengan standar etika
komunitas tertentu untuk menentukan sesuatu itu benar atau salah tanpa ia harus
menentukan kriteria terlebih dahulu (dengan asumsi telah ada kode perilaku).
Indikator Etika (Ethics) merupakan kemampuan individu untuk memutuskan hal-hal
yang berhubungan dengan issue etika dan moral, baik dan buruk, salah dan benar
(Forsyth, 1980; Kohlberg, 1981; Velasques, 2005):
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Karena untuk menghindari hukuman;
Melakukan hal yang baik jika mendapat imbalan;
Sesuai dengan pendapatteman;
Mentaati hukum dan Peraturan;
Memenuhi kontrak sosial; dan
Kesadaran individu, memenuhi tuntutan moral dan menerapkan dengan
konsisten
1.3 Etika,Etiket, Moral, Hukum, dan Agama
1.3.1 Persamaan dan Perbedaan Etika dan Etiket
1.3.1.1 Persamaan Etika dan Etiket
Seringkali dua istilah tersebut disamakan artinya, padahal terdapat perbedaan yang
sangat mendasar antara keduanya. Dari asal katanya saja berbeda, yakni Ethics dan
Ethiquetle. Etika berarti moral sedangkan Etiket berarti sopan santun. Pengertian
etika berbeda dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette yang
BAB I Etika dan Bisnis | 16
berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama manusia. Sementara itu etika,
berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang
benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama. Namun meskipun berbeda, ada
persamaan antara keduanya, yaitu:
1. Keduanya menyangkut objek yang sama yaitu perilaku manusia;
2. Etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya memberi
norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus
dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
1.3.1.2 Perbedaan Etika dan Etiket
Setelah kita ketahui persamaan etika dan etiket, maka dapat kita bedakan etika dan
etiket sebagai berikut:
1. Etiket menyangkut cara suatu melakukan perbuatan harus dilakukan manusia.
Diantara beberapa cara yang mungkin, etiket menunjukkancara yang tepat,
artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu.
2. Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan. Etika menyangkut
pilihan yaitu apakah perbuatan boleh dilakukan atau tidak.
3. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan pada suatu kelompok tertentu. Bila tidak
ada saksi mata , maka etiket tidak berlaku.
4. Etika selalu berhku dimana saja dan kapan saja, meskipun tidak ada saksi mata,
tidak tergantung pada ada dan tidaknya seseorang.
5. Etiket bersifat relatif artinya yang dianggap tidak sopan dalam suatu
kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
6. Etika bersifat absolut. Prinsip-prinsipnya tidak dapat ditawar lagi, dan harus
dilakukan.
7. Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja.
8. Etika menyangkut manusia dari segi rohaniahnya. Orang yang bersikap etis adalah
rang yang sungguh-sungguh baik, dimana nilai moralnya sudah terinternalisasi
dalam hati nuraninya.
1.3.2
Etika dan Hukum
1.3.2.1 Hubungan Etika dengan Hukum
Hukum adalah refleksi minimum norma sosial dan standar dari sifat bisnis. Secara
umum, kebanyakan orang percaya bahwa sifat mematuhi hukum adalah juga sifat
yang beretika. Tapi banyak standar sifat di dalam sosial yang tidak tertuliskan dalam
hukum. Contohnya saja dalam konflik kepentingan mungkin tidak ilegal, tapi secara
umum dapat menjadi tidak beretika dalam kehidupan sosial.
1.3.2.2 Perbedaan Etika dan Hukum
Perbedaan etika dengan hukum dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Hukum pada dasarnya tidak hanya mencakup ketentuan yang dirumuskan
secara tertulis, tapi juga nilai-nilai konvensi yang telah menjadi norma di
masyarakat.
(2) Etika mencakup lebih banyak ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis.
(3) Pada umumnya kebanyakan orang percaya bahwa dengan perilaku yang patuh
terhadap hukum adalah juga merupakan perilaku yang etis.
BAB I Etika dan Bisnis | 17
(4)
(5)
Banyak sekali standar perilaku yang sudah disepakati oleh masyarakat yang
tidak tercakup dalam hukum, sehingga terdapat bagian etika yang tercakup
dalam hukum, namun sebagian juga belum tercakup di dalam hukum, seperti
contoh kasus di dalam masyarakat yang dianggap melanggar etika tetapi
dalam hukum itu tidak melanggar, sepanjang tidak ada aturan yang tertulis
bahwa tindakan tersebut adalah melanggar hukum.
Norma hukum cepat ketinggalan zaman, hingga bisa menyebabkan celah
hukum.
1.3.3 Perbedaan Moral dan Hukum
Sebenarnya antara keduanya terdapat hubungan yang cukup erat. Moralitas adalah
keyakinan dan sikap batin, bukan hanya sekedar penyesuaian atau asal taat terhadap
aturan. Karena antara satu dengan yang lain saling mempe-ngaruhi dan saling
membutuhkan. Kualitas penegakan hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu
moralitasnya. Karena itu hukum harus dinilai/diukur dengan norma moral. Undangundang moral tidak dapat diganti apabila dalam suatu masyarakat kesadaran
moralnya mencapai tahap cukup matang. Sebaliknya moral pun membutuhkan
hukum, moral akan mengambang saja apabila tidak dikukuhkan, diungkapkan dan
dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan
dampak sosial moralitas. Walaupun begitu tetap saja antara Moral dan Hukum harus
dibedakan. Perbedaan tersebut antara lain:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Hukum bersifat obyektif karena hukum dituliskan dan disusun dalam kitab
undang-undang. Maka hukum lebih memiliki kepastian yang lebih besar.
Moral bersifat subyektif dan akibatnya seringkali diganggu oleh pertanyaan atau
diskusi yang mengigingkan kejelasan tentang etis dan tidaknya.
Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah faktual.
Moralitas menyangkut perilaku batin seseorang.
Pelanggaran terhadap hukum mengakibatkan si pelaku dikenakan sanksi yang
jelas dan tegas.
Pelanggaran moral biasanya mengakibatkan hati nuraninya akan merasa tidak
tenang.
Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat.
Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat.
1.3.4 Etika dan Agama
Etika mendukung keberadaan Agama, dimana etika sanggup membantu manusia
dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Pada dasarnya agama
memberikan ajaran moral untuk menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya.
Menurut Kanter (2001) tidak mungkin orang dapat sungguh-sungguh hidup bermoral
tanpa agama, karena (1) moralitas pada hakikatnya bersangkut paut dengan
bagaimana manusia menjadi baik, jalan terbaiknya adalah kita mengikuti perintah
dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan kita (2) agama
merupakan salah satu pranata kehidupan manusia yang paling lama bertahan sejak
dulu kala, sehingga moralitas dalam masyarakat erat terjalin dengan kehidupan beragama (3) agama menjadi penjamin yang kuat bagi hidup bermoral. Perbedaan
antara etika dan ajaran moral agama yakni etika mendasarkan diri pada argumentasi
BAB I Etika dan Bisnis | 18
rasional. Sedangkan Agama menuntut seseorang untuk mendasarkan diri pada wahyu
Tuhan dan ajaran agama.
1.3.5 Etika dan Moral
Etika Iebih condong ke arah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu etika lebih
sering dikenal sebagai kode etik. Moral berasal dari kata bahasa latin mores yang
berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner
mores atau manners, morals (BP-7, 1993: Poespoprodjo, 1986). Dalam bahasa
Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata
tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin
dalam hidup. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai yang
berkenaan dengan baik buruk, atau dengan kata lain moralitas merupakan
pedoman/standar yang dimiliki oleh individu atau kelompok mengenai benar atau
salah dan baik atau buruk. Velasques (2005) menyebutkan lima ciri yang berguna
untuk menentukan hakikat standar moral, yaitu:
(1) Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan
secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
(2) Standar moral moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif
tertentu, standar moral tidak dibuat oleh kekuasaan, validitas standar moral
terletak pada kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung atau
membenarkannya, jadi sejauh nalarnya mencukupi maka standarnya tetap sah.
(3) Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai yang lain, khusus-nya
kepentingan pribadi.
(4) Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
(5) Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu,
seperti jika kita bertindak bertentangan dengan standar moral, normalnya kita
akan merasa bersalah, malu atau menyesal.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can act as
the performance index or reference for our control system". Dengan demikian, etika
akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan
manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus
dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam
bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan
sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional
umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika
adalah refleksi dari apa yang disebut dengan "self control", karena segala sesuatunya
dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu
sendiri. Jadi etika lebih berkaitan dengan kepatuhan, sementara moral lebih
berkaitan dengan tindak kejahatan.
1.4 Pengertian Bisnis
Bisnis adalah kegiatan manusia dalam mengorganisasikan sumberdaya untuk
menghasilkan dan mcndistribusikan barang dan jasa guna memenuhi kebu-tuhan dan
keinginan masyarakat. Bisnis adalah membuktikan apa yang dijanjikan (promise)
dengan yang diberikan (deliver). Bisnis adalah kegiatan diantara manusia untuk
BAB I Etika dan Bisnis | 19
mendatangkan keuntungan. Dalam bisnis terdapat persaingan dengan aturan yang
berbeda dengan norma-norma yang berada dalam masyarakat. Pengertian bisnis
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
a. Kegiatan dengan mengarahkan
mencapai sesuatu maksud.
tenaga,
pikiran,
atau
badan
untuk
b. Kegiatan di bidang perdagangan/perbisnisan.
Bisnis dapat pula diartikan berdasarkan konteks organisasi atau perusahaan, yaitu:
usaha yang dilakukan organisasi atau perusahaan dengan menyediakan produk barang
atau jasa dengan tujuan memperoieh nilai lebih (value added). Karena organisasi
(perusahaan) yang menyediakan produk barang atau jasa tentu dengan tujuan
memperoleh laba, tentu saja prospek mendapatkan laba, selalu memperhitungkan
perbedaan penerimaan bisnis dengan biaya yang dikeluarkan. Maka laba di sini
merupakan pemicu (driver) bagi pebisnis untuk memulai dan mengembangkan bisnis.
Bagai-manapun juga pebisnis mendapatkan laba dari risiko yang diambil ketika
mengivestasikan sumber daya (modal, keahlian/skill, dan waktu) mereka.
Dalam sistem kapitalis bisnis dijalankan untuk mendapatkan laba bagi pemilik yang
juga bebas untuk menjalankannya. Namun konsumen juga memiliki kebebasan untuk
memilih. Dalam memilih cara mengejar laba, bisnis harus memperhitungkan apa
yang diinginkan dan dibutuhkan konsu-men. Terlepas dari seberapa efisien bisnis itu
dijalankan.
1.5 Pengertian Etika Bisnis
Istilah etika bisnis (Business Ethics), jauh lebih muda dari etika itu sendiri. Etika
bisnis sudah mulai muncul sejak tahun 1960an. Pada saat itu ditandai dengan
perubahan-perubahan sudut pandang dalam perilaku komunitas di Amerika Serikat
dan juga menghadapi dunia bisnis. Setelah perang dunia kedua berakhir, perang
dingin dengan Uni Sovyet masih tetap berlanjut, Amerika saat itu melibatkan diri
dalam perang Vietnam, yang mendorong para oposisi untuk mengeluarkan isu-isu
kebijakan publik dan pergerakan-pergerakan hak-hak rakyat sipil mencuat di tengahtengah masyarakat.
Ekonomi Amerika kala itu bertumbuh cepat dan niendorninasi pertumbuhan ekonomi
dunia, Amerika merajai bisnis dunia, perusahaan-perusahaannya beroperasi di
banyak negara. Pelaku-pelaku bisnis yang memiliki harta yang cukup banyak
memasuki panggung politik dan berhasil, dan sebagian pengusaha lainnya menjadi
penguasa pemerintahan kala itu. Bisnis-bisnis besar telah menggeser posisi bisnisbisnis kecil dan menengah. Di sektor industri tercatat perkembangan yang cukup
tajam dengan meng- hasilkan banyak inovasi baru yang spektakuler. Tidak semua
inovasi dan teknologi yang ditemukan itu berdampak positif bagi kehidupan manusia
dan malah sebagian menjadi penyebab kerusakan lingkungan yang parah.
Sustainability nyaris terabaikan dalam pemikiran pebisnis saat itu, hingga mereka
menuai protes-protes dari berbagai lapisan masyarakat, terutama pencinta
lingkungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kritikan-kritikan dari politisi
pun bermunculan, demikian juga gerakan-gerakan swadaya masyarakat yang
mengusung kepentingan publik. Desakan-desakan tersebut akhirnya mendorong
BAB I Etika dan Bisnis | 20
perusahaan-perusahaan untuk merumuskan berbagai program tanggung jawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility). Tidak jelas apakah program tersebut
lahir dari nurani atau karena suatu keterpaksaan. Mulai saat itu etika bisnis mulai
diteliti dan dibahas oleh berbagai kalangan dan lapisan masyarakat dengan etika
dalih penyelamatan komunitas dalam jangka panjang dalam suatu tatanan nilai
moralitas.
Etika bisnis yang lahir di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an dan menjadi isu
utama yang mengglobal sejak tahun 1990-an, selanjutnya men-jadi isu yang ramai di
bicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat. Pada awalnya hanya kalangan ahli
agama dan filsafat saja yang fokus dengan etika ini, Itu pun masih pada hal-hal yang
bersifat makro dan universal. Dewasa ini isu dan topik etika bisnis menjadi hangat
dibicarakan mulai dari masyarakat awam, pemerintah, praktisi (manajer, konsultan
dan investor), para akademisi dari berbagai disiplin ilmu, lembaga swadaya, sampai
kepada para politisi. Walaupun dibahas oleh banyak kalangan dan diamini oleh para
pelaku bisnis, namun etika juga terlihat masih sangat langka diterapkan secara
sepenuh hati. Bagi pemerintah dan negara Amerika sebagai pelopor etika bisnis,
mengakui bahwa etika bisnis adalah sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral
yang meliputi dunia bisnis mereka. Ironisnya justru Amerika yang paling gigih
menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007. Ketika
sebagian besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negaranegara maju yang menjadi sumber penyebab global warning, Amerika menolaknya.
(Eldine, Achyar: 2008).
Sebagai cabang dari filsafat etika, maka etika bisnis tidak lain merupakan penerapan
prinsip-prinsip etika dengan pendekatan filsafat dalam kegiatan dan program bisnis.
Karenanya semua teori tentang etika dapat dimanfaatkan untuk membahas tentang
etika bisnis. Aspek yang dominan dari semua kata etika bisnis bermuara pada
perilaku bermoral dalam kegiatan bisnis.
Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah
tindakan, aktivitas atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karenanya
etika bisnis sudah tentu mengacu dan akan berbicara mengenai masalah baik atau
tidak baiknya suatu aktivitas bisnis. Dalam etika bisnis akan diuji peran-peran dan
prinsip etika dalam konteks komersial/bisnis (Rudito dan Famiola, 2007: 4). Moral
selalu berkaitan dengan tindakan manusia yang baik dan yang buruk sesuai dengan
ukuran-ukuran yang diterima umum dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam
hal ini ukuran baik dan buruk manusia adalah manusia bukan sebagai pelaku peran
tertentu, dengan menggunakan norma moral, bukan sopan santun atau norma hukum
(Sumodiningrat dan Agustian, 2008: 58)
Moral itas adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan dimensi nyata
dalam hidup manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa moralitas
dalam menjalan usaha bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos, tiada
keteraturan dan ketenteraman dan pada giliran-nya dunia bisnis menjadi sadis dan
saling mematikan.
Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli yang telah
dikemukakan, maka peran etika bisnis adalah membahas dan menunjuk alternatif
pemecahan masalah bisnis yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu
BAB I Etika dan Bisnis | 21
kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip, nilai
dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan perangai (akhlak) para pelaku
bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan menjunjung tinggi partisipan
bisnisnya.
Penelitian yang dilakukan Mauro et al. (1999) tentang etika bisnis dan pengambilan
keputusan perusahaan menggunakan definisi etika dan etika bisnis yang
dikembangkan oleh Walton. Menurut Walton (1977 dalam Mauro,1999):
Ethics. A critical analysis of human acts to determine their tightness or wrongness in terms of
two major: truth and justice Business ethics. A range of criteria whereby human actions are
judge to include such things as societal expectations: fair competition; the aesthetics or
advertising and the used public relations; the meaning of social responsibilities; reconciling
corporate behavior at home with behavior abroad; the extent of consumer sovereignty;
the relevance of corporate size; the handling communications, and the like
Maksudnya, etika merupakan analisis kritis tentang tindakan manusia untuk
menentukan kebenarannya atau kesalahannya dalam kerangka 2 kriteria utama:
kebenaran dan keadilan. Sementara etika bisnis merupakan sekumpulan kriteria di
mana tindakan manusia di nilai berdasarkan harapan masyarakat. Hasil penelitian
Mouro (1999) menemukan bahwa "that personal and business ethics are not separate
entities, that they coexist in the behavior of managers within the corporation, is
supported in the current literature". Maksudnya adalah etika personal dan etika
bisnis merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan keberadaannya saling
melengkapi dalam mempengaruhi perilaku manajer. Banyak literatur terbaru yang
mendukung perayataan dan hasil penelitian Mauro ini. Bagi mereka yang tidak
mempunyai etika dalam berbisnis adalah mereka yang hanya tergiur dengan
keuntungan jangka pendek. Mereka yang menjadikan keuntungan sebagai satusatunya tujuan bisa menyebabkan perusahaan menghalalkan segala macam cara
untuk mengejar keuntungannya. Akibatnya merekapun sering mengabaikan nilai-nilai
etika bisnis. Bisnispun dijalankan secara tidak jujur, tidak adil, melanggar
kewajaran, penuh mark-up.
Pada Seminar Manajemen Profetik (Profesional Etik) yang diselenggarakan
Universitas Paramadina Mulya (1999), Nurcholis Madjid menyimpulkan bahwa etika
subjektif seseorang akan terefleksikan dalam aktivitas bisnisnya. Dengan kata lain
etika bisnis seseorang merupakan perpanjangan moda-moda tingkah lakunya atau
tindakan-tindakan konstan, yang membentuk keseluruhan citra diri atau akhlak orang
itu. Hal ini didukung dengan pernyataan Fritzche (1995) yang mengatakan bahwa:
Tampak tidak ada pemisahan antara etika bisnis dengan etika sehari-hari. Dengan
kata lain kita berketetapan bahwa tidak mungkin kita etis dalam berbisnis dan tidak
etis dalam hal yang lainnya, atau sebaliknya. Secara sedeerhan etika adalah sesuatu
yang tidak terpisahkan dari individu, hal ini tidak dapat berubah pada setiap
kesempatan. Pada tingkat praktis, ini memunculkan tiga pernyataan dasar. Pertama,
orang yang etis harus menghormati orang lain. Kedua, etika itu dipelajari, tidak
muncul secara langsung dari lahir. Ketiga, akar dari semua hubungan etik yang
sebenarnya adalah kehidupan spiritual dari Islam, Kristen, Budha, Hindu ataupun
yang tidak beragama sekalipun.
BAB I Etika dan Bisnis | 22
Etika bisnis merupakan salah satu bagian dari prinsip etika yang diterapkan dalam
dunia bisnis (Lozano, 1996). Istilah etika bisnis mengan-dung pengertian bahwa etika
bisnis merupakan sebuah rentang aplikasi etika yang khusus mempelajari tindakan
yang diambil oleh bisnis dan pelaku bisnis. Epstein (1989) menyatakan etika bisnis
sebagai sebuah perspektif analisis etika di dalam bisnis yang menghasilkan sebuah
proses dan sebuah kerangka kerja untuk membatasi dan mengevaluasi tindakantindakan individu, organisasi, dan terkadang seluruh masyarakat sosial. Menurut
David (1998), etika bisnis adalah aturan main prinsip dalam organisasi yang menjadi
pedoman membuat keputusan dan tingkah laku. Etika bisnis adalah etika pelaku
bisnis. Pelaku bisnis tersebut bisa saja manajer, karyawan, konsumen, dan
masyarakat.
Etika bisnis merupakan produk pendidikan etika masa kecil, namun tetap dipengaruhi
oleh lingkungan sekitarnya. Sebagian besar pakar psikologi berkeyakinan bahwa
penanaman awal nilai-nilai kedisiplinan, moral, etika yang dilakukan pada masa
balita akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsi hati nurani
seseorang tatkala ia mulai beranjak dewasa (Faisal Afiff, 2003). Lingkungan bisnis
dapat merontokkan etika individu dan sebaliknya etika individu dapat mempengaruhi
lingkungan bisnis tergantung mana yang kuat. Terjadinya krisis multi dimensional
beberapa tahun terakhir menjadikan etika bisnis sebagai sorotan dan perhatian dari
masyarakat dan para pengamat. Tuntutan masyarakat akan etika dan tolok ukur
etika meningkat, hal ini disebabkan pula oleh pengungkapan dan publikasi,
kepedulian publik, regulasi pemerintah, kesadaran CEO akan etika dan
profesionalisme bisnis meningkat (Hoesada, 1997). Etika bisnis adalah bisnis setiap
orang di setiap hari, sehingga etika bisnis termasuk semua manajer dan hubungan
bisnis mereka serta tindakan-tindakan mereka. Etika bisnis adalah tuntutan harkat
etis manusia dan tidak bisa ditunda sementara untuk membenarkan tindakan dan
sikap tidak adil, tidak jujur dan tidak bermoral.
Sebagai cabang dari filsafat etika, maka etika dalam aktivitas bisnis tidak lain
merupakan penerapan prinsip-prinsip etika dengan pendekatan filsafat dalam
kegiatan dan program bisnis. Karenanya semua teori tentang etika dapat
dimanfaatkan untuk membahas tentang etika dalam aktivitas bisnis. Aspek yang
dominan dari semua kata etika dalam aktivitas bisnis bermuara pada perilaku
bermoral.
Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah
tindakan, aktivitas atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karenanya
etika bisnis sudah tentu mengacu dan akan berbicara mengenai masalah baik atau
tidak baiknya suatu aktivitas bisnis. Dalam etika bisnis akan diuji peranperan dan
prinsip etika dalam konteks komersial/bisnis. Moral selalu berkaitan dengan tindakan
manusia yang baik dan yang buruk sesuai dengan ukuran-ukuran yang diterima umum
dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini ukuran baik dan buruk manusia
adalah manusia bukan sebagai pelaku peran tertentu, dengan menggunakan norma
moral, bukan sopan santun atau norma hukum.
Moral (Moralitas) adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan dimensi
nyata dalam hidup manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa
moralitas dalam menjalan usaha bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos, tiada
BAB I Etika dan Bisnis | 23
keteraturan dan ketenteraman dan pada gilirannya dunia bisnis menjadi sadis dan
saling mematikan.
Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli yang telah
dikemukakan, maka peran etika adalah membahas dan menunjuk alternatif
pemecahan masalah bisnis yang berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu
kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip, nilai
dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan perangai (akhlak) para pelaku
bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan menjunjung tinggi partisipan
bisnisnya.
Pada dasarnya etika bisnis menyoroti moral perilaku manusia yang mempunyai
profesi di bidang bisnis dan dimiliki secara global oleh perusahaan secara umum,
sedangkan perwujudan dari etika bisnis yang ada pada masing-masing perusahaan
akan terbentuk dan terwujud sesuai dengan kebudayaan perusahaan yang
bersangkutan. Etika bisnis ini akan muncul ketika masing-masing perusahaan
berhubungan dan berinteraksi satu sama lain sebagai sebuah satuan stakeholder.
Tujuan etika bisnis disini adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis
untuk menjalankan bisnis dengan "baik dan bersih".
Etika bisnis dapat dibagi ke dalam 2 (dua) pandangan, yaitu:
(1) Normative ethics:
Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and
judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral
principles that are intended to guide behavior, actions, and decisions.
(2) Descriptive ethics:
Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a
people, a culture, or a society. It also compares and contrasts different moral
codes, systems, practices, beliefs, and values.
Banyak yang mempertanyakan apakah ada bukti bahwa etika dalam berbisnis secara
sistematis berkorelasi dengan keuntungan? Contoh yang paling sederhana coba kita
sajikan disini. Jika bisnis berusaha mengambil keuntungan dari karyawan, pelanggan,
pemasok, dan kreditur melalui perilaku yang sekarang tidak etis, maka kemungkinan
mereka akan menemukan cara untuk membalas dendam kepada kita ketika bertemu
lagi. Balas dendam dapat berbentuk sederhana seperti menolak untuk membeli,
menolak untuk bekerja, menolak berbisnis dengan pihak yang bersangkutan.
Secara empiris sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group,
sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical
Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa
pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental
compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak
profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau
persetujuan investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis
bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang
berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai duatiga kali dan pada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain,
seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997, menemukan
BAB I Etika dan Bisnis | 24
bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan
prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan) yang lebih bagus
dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Beberapa pebisnis berpendapat bahwa terdapat hubungan simbiosis antara etika dan
bisnis dimana masalah etik sering dibicarakan pada bisnis yang berorientasi pada
keuntungan. Dalam hal ini terdapat versi yang lemah dan versi yang kuat mengenai
pendekatan ini. Versi yang lemah mengatakan bahwa etika yang baik dihasilkan dari
bisnis yang baik, secara sederhana praktik bisnis yang bermoral adalah praktik bisnis
yang menguntungkan.
Kebutuhan aspek moral dalam bisnis adalah:
(1) Praktik bisnis yang bermoral hanya akan memberikan keuntungan ekonomis
dalam jangka panjang. Bagi bisnis yang didesain untuk keun-tungan jangka
pendek hanya akan memberikan insentif yang kecil. Dalam kompetisi bisnis di
pasar yang sama, keuntungan jangka pendek merupakan keputusan yang diambil
oleh kebanyakan perusahaan untuk dapat bertahan.
(2) Beberapa praktik bisnis yang bermoral mungkin tidak memiliki nilai ekonomis
bahkan dalam jangka panjang sekalipun. Sebagai contoh, bagaimana
mengkampanyekan kerugian merokok, sebagai lawan dari promosi rokok itu
sendiri.
(3) Praktik bisnis yang bermoral akan menghasilkan keuntungan akan sangat
tergantung pada saat bisnis tersebut dijalankan. Pada pasar yang berbeda,
praktik yang sama mungkin tidak memberikan nilai ekonomis. Jadi masalah
tumpang tindih antara eksistensi moral dan keuntungan sifatnya terbatas dan
insidental (situasional)
Versi yang kuat mengenai pendekatan keuntungan mengungkapkan bahwa dalam
pasar yang kompetitif dan bebas, motif keuntungan akan terkait dengan lingkungan
yang sesuai dengan isu moral tersebut. Itulah sebabnya, jika pelanggan
menginginkan produk yang aman, atau para pekerja menginginkan privasi, maka
mereka akan memperolehnya dari bisnis yang memenuhi kebutuhannya tersebut.
Bisnis yang tidak memenuhi harapan tersebut maka mereka tidak akan bertahan.
Sejak adanya pandangan bahwa dorongan untuk memperoleh keuntungan akan
menciptakan moralitas, versi yang kuat mengemukakan bahwa bisnis yang baik
dihasilkan dalam etika yang baik.
Dalam etika bisnis, kewajiban moral dalam bisnis dibatasi oleh persyaratan hukum.
Aspek yang paling universal dalam moralitas barat telah digunakan pada sistem legal
bangsa kita, yaitu hukum yang menegaskan mengenai sangsi bagi pembunuhan,
pencurian, penipuan, pelecehan dan perilaku yang membahayakan lainnya. Terlebih
lagi jika masalah etika itu sudah berkaitan dengan nilai budaya, politik dan agama.
Tuntutan masyarakat internasional terutama berkaitan dengan mutu barang atau
jasa yang dijual. Banyak kasus dimana pengusaha sangat mengabaikan lingkungan,
dan masyarakat pun kadangkala miris melihat pemerintah seolah tidak ada upaya
yang tegas terhadap perilaku pengusaha yang bandel ini. Kasus yang terjadi
beberapa tahun yang lalu yaitu ditolaknya pengiriman kayu kita ke Skotlandia karena
dinyatakan tidak berekolabel, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam berbisnis, tidak hanya memperhatikan keuntungan saja,
BAB I Etika dan Bisnis | 25
namun juga perlu memperhatikan etika dalam pengolahan. Disini kita melihat bahwa
etika bisnis menjadi suatu hal yang sangat mendesak untuk diterapkan, sebab
dengan etika pertimbangan mengenai baik atau buruk dapat distandardisasi secara
tepat dan benar. Namun perlu juga dicatat bahwa etika bisnis tidak akan berfungsi
jika praktik-praktik bisnis yang curang dilegalkan. Di sinilah diperlukan dua
perangkat utama yaitu moral dan legal politis.
1.6 Indikator Etika Bisnis
Kehidupan bisnis modern menurut banyak pengamat cenderung mementing-kan
keberhasilan material. Menempatkan material pada urutan prioritas utama, dapat
mendorong para pelaku bisnis dan masyarakat umum melirik dan menggunakan
paradigma dangkal tentang makna dunia bisnis itu sendiri. Sesungguhnya dunia bisnis
tidak sesadis yang dibayangkan orang dan material bukanlah harga mati yang harus
diupayakan dengan cara apa dan bagaimanapun. Dengan paradigma sempit dapat
berkonotasi bahwa bisnis hanya dipandang sebagai sarana meraih pendapatan dan
keuntungan uang semata, dengan mengabaikan kepentingan yang lainnya. Organisasi
bisnis dan perusahaan dipandang hanya sekedar mesin dan sarana untuk memaksimalkan keuntungannya dan dengan demikian bisnis semata berperan sebagai jalan
untuk menumpuk kekayaan dan bisnis telah menjadi jati diri tidak lebih dari mesin
pengganda modal atau kapitalis.
Untuk itu diperlukan pemahaman yang ideal tentang bisnis dalam nuansa paradigma
baru dan kata ideal itu tentunya mengacu kepada nilai-nilai filosofis dari bisnis itu
sendiri. Paradigma baru dalam bisnis penuh dengan nilai-nilai positif, didukung oleh
nilai-nilai moralitas yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan kini dan akan
datang. Pertanggungjawaban itu tidak saja bagi sesama manusia selama hidup di
dunia, tetapi juga kepada Yang Menciptakan Manusia Allah Azza Wajalla.
Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang baru, bahkan secara moral
keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral
keuntungan memungkinkan organisasi/ perusahaan untuk bertahan (survive) dalam
kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal
(investor) yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan
terjadi aktivitas yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga,
keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat
menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat
dipergunakan sebagai pengembangan (ekspansi) perusahaan sehingga hal ini akan
membuka lapangan kerja baru (Eldine, 2008).
Nilai-nilai etika yang positif hams menjadi referensi bagi pelaku usaha dan
partisipannya dalam penyelenggaraan bisnisnya. Pelaku bisnis seyogianya
menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis yang
digelutinya. Sementara itu tugas pelaku bisnis adalah berorientasi pada normanorma dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari sehingga pekerjaannya tetap
berada dalam sebutan etis dan tidak merugikan siapapun secara moral.
Penerapan dan penyampaian nilai moral dalam etika bisnis adalah suatu kewaj iban.
Dalam arti bahwa pebisnis mengemban misi untuk menyampaikan informasi moral,
baik secara formal maupun informal dalam lingkungan perusahaannya. Disadari atau
BAB I Etika dan Bisnis | 26
tidak, prosesi penyampaian informasi moral ini sebenarnya telah berlangsung lama di
luar kemauan dan hajat suatu organisasi/perusahaan. Prosesi penyampaian informasi
tersebut berasal dari berbagai sumber dan sebagian perusahaan dan pelaku bisnis
telah memperlakukan atau menyeleggarakannya dengan baik.
Sumber inier'nasi moral adalah orang tua, kerabat, lingkungan setempat, tokohtokoh agama dan tokoh masyarakat, baik dengan lisan maupun tertulis, yang
berintikan ajaran moral. Bentuk-bentuk informasi moral tersebut dapat berupa
nasehat (advis), lagu-lagu, permainan, tarian, pantun, pepatah, dongeng (mitos) dan
sebagainya.
Ditilik dari dimensi waktu, prosesi penyampaian dan sosialisasi informasi nilai moral
itu ternyata telah berlangsung lama dan terus menerus. Walaupun demikian tidak
semua nilai moral yang ada diterima dan dipraktikkan oleh pengelola
organisasi/perusahaan. Keterbatasan manusia sebagai pelaku bisnis memiliki nurani
dan moral, maka nilai kebajikan dan kebenaran itu akan diterima dengan tulus,
tentu setelah melalui suatu proses yang panjang dan berbagai upaya melalui
berpikir.
Moral agama sangat penting kedudukan dan peranannya dalam pembentukan
perilaku seseorang. Ada pengaruh signifikan antara pengajaran moral agama semasa
kecil dengan perilaku seseorang tatkala dia dewasa, sehingga berpengaruh pula
terhadap tindakan atau kebijakan bisnis yang dikelolanya. Membentuk atau
menanam moral bukanlah persoalan mudah. Prosesi itu memerlukan pengorbanan
waktu, metode yang tepat dan dilakukan dengan penuh kearifan dan kesabaran.
Untuk keefektifan prosesi pembentukan moral atau akhlak diperlukan pemahaman
watak dan karakter manusianya. Hal ini merupakan persoalan berat dan
membutuhkan perjuang-an panjang. Nabi saja di utus Allah untuk kepentingan
perbaikan akhlak manusia. Tuhan Pencipta manusia mengutus Nabi Muhammad SAW
untuk memperbaiki etika (bahasa Arab: identik dengan akhlak) manusia (Innama
Buistu Liutammima makarimal Akhlaq).
Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut
bidang tugas yang diembannya. Dengan kata lain mengikat manajer, pimpinan unit
kerja dan kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/ perusahaan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis
secara konsekuen dan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan sempit suatu
perusahaan dianggap sudah melaksanakan etika bisnis bilamana perusahaan yang
bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab sosial
itu timbul sebagai akibat adanya eksternalitas yang negatif dan perusahaan harus
membayar biaya sosialnya (social cost).
Dari berbagai pandangan tentang etika bisnis, beberapa indikator yang dapat dipakai
untuk menyatakan apakah seseorang dan suatu perusahaan telah melaksanakan etika
bisnis dalam kegiatan usahanya antara lain adalah: Indikator ekonomi; indikator
peraturan khusus yang berlaku; indikator hukum; indikator ajaran agama; indikator
budaya dan indikator etik dari masing-masing pelaku bisnis.
1.
Indikator Etika bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis
telah melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara
efisien tanpa merugikan masyarakat lain. Indikator etika bisnis menurut
BAB I Etika dan Bisnis | 27
peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan indikator ini seseorang pelaku bisnis
dikatakan beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing pelaku bisnis
mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya.
2.
Indikator etika bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hokum seseorang
atau suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnis apabila
seseorang pelaku bisnis atau suatu perusahaan telah mematuhi segala norma
hukum yang berlaku dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
3.
Indikator etika berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggap beretika
bilamana dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk kepada nilai-nilai
ajaran agama yang dianutnya.
4.
Indikator etika berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku bisnis baik secara
individu maupun kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnya dengan
mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang ada disekitar operasi
suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa.
5.
Indikator etika bisnis menurut masing-masing individu adalah apabila masingmasing pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankan integritas
pribadinya.
BAB I Etika dan Bisnis | 28
Download